DENSITAS DAN PERILAKU NYAMUK (DIPTERA : CULICIDAE) DI DESA BOJONG RANGKAS KABUPATEN BOGOR
RIZQY ARIF GINANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Densitas dan Perilaku
Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011 Rizqy Arif Ginanjar B04070048
ABSTRACT
Rizqy Arif Ginanjar. Density And Behaviour of Mosquitoes (Diptera : Culicidae) in Bojong Rangkas Village Bogor District. Under direction of Susi Soviana and Upik Kesumawati Hadi.
This study was aimed to know the species, density, and behavior of mosquitoes and its relationship with the temperature, humidity and rainfall in Cikampak Residence Bojong Rangkas Village Bogor District. This research was conducted in October 2010 to June 2011 and the data were gathered by bare leg collection method. Total of 1.350 Culicinae mosquitoes collected, Culex quinquefasciatus was the most abundant species (89,63 %) followed by Cx.hutchinsoni (6,22 %), Cx. tritaeniorynchus (2,96 %), and Ae. albopictus (1,19 %). The highest man biting rate and man hour density were appeared on Cx. quinquefasciatus as 28,81 mosquitoes/man/night and 10,80 mosquitoes /man /hour). In addition, the biting activity of Cx. quinquefasciatus was highest between 23.00 to 24.00 and there were positive relation to the humidity, but negative relation against the rainfall.
Keywords :
biting activity, Cx. quinquefasciatus, man biting rate, man hour density.
ABSTRAK
Rizqy Arif Ginanjar. Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Susi Soviana dan Upik Kesumawati Hadi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, kepadatan, dan perilaku nyamuk serta hubungannya terhadap suhu, kelembaban, dan curah hujan di daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 s/d Juni 2011 dan data diambil dengan menggunakan metode bare leg collection. Dari 1350 nyamuk subfamili Culicinae yang tertangkap, Culex quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak ditemukan (89,63 %) diikuti dengan Cx. hutchinsoni (6,22 %), Cx. tritaeniorynchus (2,96 %), dan Ae. albopictus (1,19 %). Nilai man biting rate dan man hour density tertinggi terlihat pada Cx. quinquefasciatus sebesar 28,81 nyamuk/orang/malam dan 10,80 nyamuk/orang/jam. Selain itu, puncak aktivitas menggigit Cx. quinquefasciatus terjadi pada pukul 23.00 s/d 24.00 dan terdapat hubungan yang positif terhadap kelembaban ruang namun memiliki hubungan yang negatif terhadap curah hujan.
Kata kunci :
aktivitas menggigit, Cx. quinquefasciatus, man biting rate, man hour density.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
DENSITAS DAN PERILAKU NYAMUK (DIPTERA : CULICIDAE) DI DESA BOJONG RANGKAS KABUPATEN BOGOR
RIZQY ARIF GINANJAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi Nama NIM
: Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor : Rizqy Arif Ginanjar : B04070048
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Drh. Susi Soviana, MSi NIP. 19630927 199002 2 001
Dr. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. NIP. 19581023 198403 2 001
Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001
Disetujui tanggal :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini ialah mengukur kepadatan nyamuk, dengan judul Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. drh. Susi Soviana, M.Si dan drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan perhatian, bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat berguna bagi penulis selama penulisan dan penyusunan skripsi. Terimakasih banyak penulis sampaikan kepada Dr. drh. Risa Tiuria MS sebagai penilai dalam seminar yang telah memberikan saran dan arahannya Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Agus Rosadi, Ibunda Een Kostini, Kakakku tercinta Suci Auliayana Fitrianti dan Adikku tersayang Kharisma Dhini yang telah memberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Laboratorium Entomologi FKH-IPB, yang telah membantu dan memberikan dukungannya. Terimakasih penulis tujukan juga kepada temanteman Gianuzzi 44 dan teman-teman Pondok Suzuran serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2011 Rizqy Arif Ginanjar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Air Molek, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau pada tanggal 24 Juni 1989 dari Ayahanda Agus Rosadi dan Ibunda Een Kostini. Penulis merupakan putra ke dua dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pasir Penyu pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama duduk di bangku kuliah penulis aktif dibeberapa organisasi, diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) 2007-2008, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) 20082009, Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwaliar 2008-2010. Penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Art and Edutainment Komunitas Seni Steril (KSS) FKH-IPB 2009-2010 dan Ketua Komunitas Basket FKH-IPB 2010-2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. ix DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar belakang ................................................................................. Tujuan .............................................................................................. Manfaat ...........................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi ................................................ Siklus Hidup .................................................................................... Bioekologi ....................................................................................... Penyakit yang Ditularkan ................................................................
3 5 9 11
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat........................................................................... Metode Penelitian ............................................................................ Analisis Data....................................................................................
13 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap ............................................. Kelimpahan Nisbi, Angka Frekuensi, dan Angka Dominansi Nyamuk yang Tertangkap ............................................................... Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap ............................................ Perilaku Nyamuk Menggigit di Malam Hari ................................... Hubungan Densitas Nyamuk dengan Suhu dan Kelembaban ......... Hubungan Densitas Nyamuk dengan Curah Hujan .........................
18 20 21 22 26
SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
31
16
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1
Skema tubuh nyamuk ....................................................................
4
2
Siklus hidup nyamuk .....................................................................
6
3
Telur (a) Culex sp. dan telur (b) Aedes sp. ....................................
7
4
Jentik (a) Cx. quinquefasciatus dan (b) Ae. albopictus .................
7
5
Pupa Culex sp. (a) dan pupa Aedes sp. ..........................................
8
6
Aedes sp. dewasa (a) dan Culex sp. dewasa (b) ............................
9
7
Lokasi Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ..........................................................................
13
Koleksi Nyamuk dengan Menggunakan Metode BLC, Di Rumah C 30 dan (b) di Rumah B 1 ..........................................
14
Cx. quinquefasciatus (a), Cx. hutchinsoni (b), Cx. tritaeniorynchus (c), dan Ae. albopictus (d) ...........................
17
10 Tempat-tempatperkembangbiakan nyamuk (a) selokan, (b) Parit, (c) Bak penampungan air, (d) Kolam, dan (e) Limbah rumah tangga .............................................................
20
11 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap suhu ..............................................................................
23
12 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap kelembaban....................................................................
23
13 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus terhadap suhu ...............
24
14 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan kelembaban .....
24
15 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap curah hujan ....................................................................
27
16 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan curah hujan ......
27
8 9
DAFTAR TABEL No 1 Jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 .......... 2
3
4
5
Halaman 17
Kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan angka dominansi nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 ..........................
18
Nilai MBR & MHD jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak Oktober-November 2010 .............................................................
21
Rata-rata persentase nyamuk yang tertangkap setiap jam di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak Oktober-November 2010 .............................................................
22
Hubungan fluktuasi jenis-jenis nyamuk yang tertangkap dengan terhadap curah hujan di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 ...........................................
28
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropis yang kaya akan berbagai serangga. Baik yang bermanfaat maupun yang merugikan bagi manusia. Satu dari ribuan jenis serangga yang terdapat di Indonesia adalah nyamuk. Nyamuk merupakan kelompok ektoparasit yang menghisap cairan makanan atau darah sebagai sumber energinya. Nyamuk adalah kelompok serangga yang sangat merugikan manusia, karena selain sifatnya yang mengganggu kenyamanan juga berperan sebagai vektor penyebaran berbagai jenis penyakit. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam, karena telah melewati suatu proses evolusi yang panjang. Oleh karena itu nyamuk memiliki sifat spesifik dan sangat adaptif tinggal bersama manusia (Hadi & Koesharto 2006). Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia (bersifat kosmopolit) mulai dari daerah kutub hingga ke daerah tropis. Serangga ini bersifat kosmopolit karena daya tahan hidupnya terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tempat hidupnya yang berada di berbagai habitat seperti genangan air, semak-semak belukar, gundukan sampah, dan tempat-tempat yang gelap serta sempit. Dari 3.100 jenis nyamuk yang dilaporkan di seluruh dunia, 457 jenis diantaranya dilaporkan terdapat di Indonesia, yaitu 80 spesies Anopheles, 82 spesies Culex, 125 spesies Aedes, dan 8 spesies Mansonia. Sisanya sebagai anggota dari genera yang tidak penting dalam penularan penyakit (Hadi & Koesharto 2006). Nyamuk termasuk ke dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites sp), Anophelinae (Anopheles sp) dan Culicinae (Aedes sp, Culex sp, Mansonia sp, Armigeres sp). Nyamuk yang sering terdapat di daerah pemukiman manusia adalah nyamuk Culex quinquefasciatus yang merupakan vektor utama filariasis akibat Wuchereria bancrofti atau penyakit kaki gajah (Oemijati 1993). Selain nyamuk Cx quinquefasciatus, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus keberadaannya juga ditemukan disekitar pemukiman penduduk. Sebagaimana telah diketahui
bahwa selain Ae. aegypti, Ae. albopictus juga merupakan vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) yang sangat berbahaya. Kabupaten Bogor merupakan daerah yang mewakili iklim tropis di Indonesia. Kebiasaan hidup yang tidak sehat, membuang sampah sembarangan yang berpotensi sebagai tempat perkembanganbiakan nyamuk, dan kepadatan perumahan sangat mendukung perkembangan nyamuk dalam perannya sebagai vektor. Genangan-genangan air akibat curah hujan maupun sistem pembuangan limbah cair rumah tangga yang buruk juga menambah faktor pendukung perkembangan jenis nyamuk. Jenis-jenis nyamuk yang berada di sekitar pemukiman di daerah Kabupaten Bogor ini belum diteliti lebih dalam.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengukur kepadatan, dan perilaku mengisap darah nyamuk di Kompleks Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi yang sangat penting, agar masyarakat lebih waspada terhadap bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh gigitan nyamuk, terutama di Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian mulut untuk menusuk kulit dan mengisap darah yang disebut dengan probosis (Hadi & Koesharto 2006). Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia dari daerah kutub sampai daerah tropis, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 m di atas permukaan laut sampai kedalaman 1.500 m di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Karena keberadaannya menyebar di seluruh dunia, maka ektoparasit ini bersifat kosmopolit. Di seluruh dunia, dilaporkan terdapat 3.100 spesies dari 34 genus. Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia, Armigeres, Haemagogus, Sabethes, Culiseta, dan Psorophora merupakan kelompok dari genus nyamuk yang mengisap darah pada manusia dan berperan sebagai vektor penyebaran penyakit. Namun kelompok nyamuk yang sebagian besar tersebar di Indonesia adalah kelompok nyamuk dari genus Aedes, Culex, Mansonia, dan Anopheles (Hadi & Soviana 2010). Klasifikasi nyamuk menurut Womack 1993 adalah sebagai berikut : Kerajaan
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Famili
: Culicidae
Subfamili
: Culicinae
Genus
: Culex, Aedes, dan Mansonia
Nyamuk dewasa memiliki ukuran 3-6 mm. Selain tubuhnya yang kecil, nyamuk memiliki sepasang sayap yang lebar. Pada sayapnya terlihat vena dan terdapat sisik sayap yang melingkari seluruh bagian sayap. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, pada dasarnya bagian tubuh dari ektoparasit ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks (dada), dan abdomen (perut) (Hadi & Koesharto 2006).
Gambar 1 Gambar skema tubuh nyamuk. Sumber: Darsie & Ward 2000 Kepala Pada bagian kepala hampir seluruhnya tertutupi oleh sepasang mata majemuk. Pada bagian kepala terdapat antena yang panjang (filiform). Pada nyamuk betina antena tidak selebat pada antena nyamuk jantan. Antena betina disebut pilose sedangkan pada nyamuk jantan disebut plumose. Fungsi dari bulubulu yang lebat pada nyamuk jantan adalah sebagai alat bantu untuk mencari keberadaan nyamuk betina. Selain pada antena, penentuan jenis kelamin jantan dan betina dapat dilihat dari palpi maksilari. Pada nyamuk betina, palpi maksilari lebih pendek dari pada probosis, sedangkan palpi maksilari pada nyamuk jantan melebihi panjang probosis. Kepala nyamuk Culex sp. kebanyakan berwarna cokelat sedangkan nyamuk Aedes sp. berwarna hitam (Borror et al. 1992).
Toraks Pada bagian toraks, nyamuk memiliki skutum yang agak keras yang berfungsi sebagai pelindung. Pada bagian posterior toraks, terdapat skutellum yang berbentuk trilobus. Di samping itu, pada bagian ini juga terdapat halter yang berfungsi sebagai alat keseimbangan ketika terbang. Sayap dan kaki nyamuk Culex sp. biasanya terdapat bercak berwarna hitam putih. Kaki nyamuk terdiri atas tiga bagian yaitu, tungkai depan, tungkai tengah, dan tungkai belakang. Tiap tungkai terdiri atas femur, tibia, enam ruas tarsus, dan kuku. Kaki nyamuk Aedes sp. memiliki corak khusus, yakni pola belang-belang hitam dan putih. Warna, pola sisik, dan rambut pada toraks digunakan untuk membedakan genus dan spesies nyamuk. Culex sp. Toraks memiliki warna coklat, sedangkan Aedes sp. toraks berwarna hitam, dengan memiliki corak putih pada dorsal (Hadi & Koesharto 2006). Abdomen Bagian abdomen Culex sp. lebih mudah untuk diidentifikasi. Nyamuk ini umumnya memiliki warna abdomen coklat yang terang, dengan tergit berwarna belang-belang cokelat gelap terang dan bersisik. Biasanya nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki pola dorsal abdomen (tergit) berbentuk huruf “M”. Sedangkan Aedes sp. memiliki warna abdomen hitam dengan tergit berwarna belang-belang hitam dan putih. Ujung abdomen
Culex sp. betina biasanya
tumpul, dengan serkus yang tertarik kedalam. Sedangkan Aedes sp. betina, memiliki ujung abdomen yang meruncing, dengan serkus yang menonjol keluar (Borror et al.1992).
Siklus hidup Siklus hidup serangga umumnya dibagi dalam dua tahap yaitu tahap perkembangan dan tahap pendewasaan. Selama fase perkembangan energi tercurahkan untuk proses pertumbuhan, sedangkan selama pendewasaan energi tercurahkan untuk penyebaran dan reproduksi. Serangga yang baru menetas mempunyai ukuran dan bentuk yang kadang-kadang berlainan sama sekali dengan serangga dewasa. Perubahan bentuk yang dialami mulai dari telur sampai serangga dewasa disebut metamorfosis (Hadi & Koesharto 2006).
Gambar 2 Siklus hidup nyamuk Sumber: McCafferty & Patrick 2010 Dalam perkembangannya nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yang diawali dengan stadium telur, larva (jentik), pupa, dan dewasa (imago) (Gambar 2). Air merupakan faktor terpenting dalam perkembangan nyamuk, karena proses perkembangan pradewasa terjadi di dalam air (Clements 2000). Telur Telur-telur nyamuk subfamili Culicinae tidak memiliki pelampung seperti telur nyamuk subfamili Anophelinae. Telur nyamuk Culex sp. tampak pada Gambar 3a berukuran 0,735 mm berkelompok membentuk rakit sehingga terlihat mengapung pada permukaan genangan air (Chadee & Tikasings 1986). Telur nyamuk Aedes sp. berbentuk oval, tunggal, berwarna hitam, dan berukuran 0,664 mm seperti yang terlihat pada Gambar 3b (Christophers 1960). Pada keadaan kering, telur nyamuk Aedes sp. dapat bertahan hingga enam bulan.
a
b Gambar 3 Telur Culex sp. (a) dan Telur Aedes sp. (b) Sumber: McCafferty & Patrick 2010
Telur-telur nyamuk ini biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang berisi genangan air jernih yang tidak beralaskan tanah, seperti gentong air, bak mandi, vas bunga, drum, barang bekas, lipatan daun yang menampung air, dan sebagainya di daerah urban dan suburban. Telur menetas antara dua sampai tiga hari pada suhu 30 °C, tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16 °C (Hadi & Soviana 2010). Larva Larva nyamuk beras al dari telur nyamuk yang telah menetas. Larva nyamuk tidak berkaki dan memiliki toraks yang lebih besar daripada kepala. Kepala berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk, serta sikat mulut (mouth brush) yang menonjol. Abdomen memiliki sembilan ruas yang jelas, dan pada ruas yang terakhir terdapat sifon (tabung udara) sebagai alat pernapasan sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Ketika berada di dalam air, larva terlihat membentuk sudut terhadap permukaan air. Larva Culex sp. memiliki sifon yang panjang dan ramping, sedangkan larva Aedes sp. memiliki sifon yang relatif lebih pendek dan menggembung (Borror et al.1992). Bagi seekor nyamuk stadium larva ini merupakan stadium makan. Kebanyakan jenis larva memakan alga dan kotoran organik, tetapi beberapa bersifat pemangsa dan makan larva nyamuk lain. Dalam kondisi yang sesuai, larva nyamuk akan berkembang dalam waktu 6-8 hari sejak dari larva stadium pertama (instar I) hingga stadium terakhir (instar IV), dan akan berubah menjadi pupa (kepompong). Selama perkembangan larva terjadi pertambanhan ukuran dari instar I-IV yaitu 0,3-0,95 mm (Christophers 1960).
a
b
Gambar 4 Jentik Cx. quinquefasciatus (a) dan jentik Ae. albopictus (b) Sumber: ICPMR 2002
Pupa Pupa (kepompong) merupakan stadium terakhir yang berada di dalam air. Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dada bersatu dilengkapi dengan sepasang terompet pernapasan, sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Stadium ini disebut juga stadium inaktif dan tidak memerlukan makanan. Tetapi tetap ada proses pernapasan melalui sifon yang menempel pada permukaan air. Bentuk sifon pada stadium pupa, menyerupai sifon pada stadium larva dan bervariasi bergantung pada jenis spesies nyamuk (Clements 2000). Pada fase ini pupa membutuhkan dua sampai tiga hari untuk menjadi nyamuk dewasa, namun fase ini dapat menjadi lebih lama hingga sepuluh hari pada suhu rendah (< 25 °C). Pada suhu lingkungan dibawah 10 °C tidak akan terjadi perkembangan menjadi dewasa (Hadi & Soviana 2010). Dewasa Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang melepaskan diri. Siklus hidup nyamuk dapat selesai atau sempurna dalam kurun waktu seminggu (6-7 hari) tergantung terhadap suhu, makanan, spesies, dan faktor lain. Nyamuk jantan rata-rata dapat hidup di alam selama satu minggu, sedangkan nyamuk betina dewasa rata-rata hidupnya selama 3-6 minggu bahkan dapat mencapai diatas 5 bulan. Nyamuk dewasa hanya mengisap sari-sari tanaman sebagai sumber energi. Namun, nyamuk betina juga mengisap darah untuk memenuhi kebutuhan energi dalam upaya proses pematangan telur (Rey 2006).
a
b Gambar 5 Pupa Culex sp. (a) dan Pupa Aedes sp. (b) Sumber: McCafferty & Patrick 2010
a
b Gambar 6 Culex sp. dewasa(a) dan Aedes sp. dewasa (b) Sumber: ICPMR 2002
Nyamuk dewasa akan mencari pasangan dan melakukan perkawinan setelah keluar dari pupa. Nyamuk betina yang sudah kawin akan mengisap darah. Darah merupakan
sumber
protein
yang
esensial
untuk
mematangkan
telur.
Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
Bioekologi Perilaku dan daur hidup nyamuk bergantung kepada kondisi lingkungan di sekitar seperti ketersediaan makanan, habitat, dan predator. Nyamuk tertarik pada cahaya, lokalisasi yang dekat pada suhu yang hangat, dan lembab serta manusia dan hewan. Ketertarikan nyamuk akan manusia dan hewan adalah, karena kemampuan manusia dan hewan untuk mengeluarkan zat-zat yang mampu merangsang nyamuk untuk menghampiri, seperti karbon dioksida (CO2), panas tubuh, dan bau badan atau keringat (Hadi & Koesharto 2006). Kesukaan nyamuk terhadap inang yang berbeda-beda mempengaruhi perilaku mengisap darah. Beberapa nyamuk lebih menyukai darah manusia (anthropophilic) dan lainnya lebih menyukai darah hewan (zoophilic) atau bahkan menyukai keduanya seperti nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan Ae. albopictus merupakan salah satu dari beberapa spesies yang tergolong anthropophilic (Hadi & Soviana 2010). Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan nyamuk rumahan yang biasanya hidup atau tinggal di sekitar rumah. Habitat yang biasanya menjadi tempat berkembangbiak adalah genangan air yang keruh, kolam ikan yang sudah tidak terpakai lagi, selokan, dan tempat-tempat lembab lainnya. Nyamuk ini aktif mengisap ketika matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit, namun puncak terjadi sekitar pukul 22.00-02.00 (Hadi & Koesharto 2006).
Berbeda dengan Cx. quinquefasciatus, nyamuk Aedes sp. cenderung memilih berkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah dan berisi air bersih seperti bak mandi, gentong air, drum, vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air. Aktivitas Ae. albopictus mengisap darah terjadi pada pagi dan sore hari. Daya jelajah terbang nyamuk ini tidak jauh, hanya sekitar 50 sampai 100 m, kecuali jika terbawa angin kencang (Hadi & Soviana 2010). Setelah nyamuk betina mengisap darah, nyamuk akan beristirahat selama 2 sampai 3 hari pada tempat yang gelap dan lembab. Waktu istirahat ini digunakan untuk proses penyerapan darah untuk perkembangan telur. Kemudian nyamuk ini akan mencari tempat untuk bertelur. Setelah bertelur, nyamuk akan mencari darah lagi untuk proses pematangan telur selanjutnya siklus ini disebut sebagai siklus gonotrofik (Clements 2000). Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk adalah suhu, kelembaban, dan curah hujan. Suhu Suhu merupakan kandungan panas pada suatu zat atau benda tertentu (Wang et al. 2001; Grissom et al. 2000). Suhu udara diartikan sebagai suatu derajat panas udara, yang dinyatakan dalam derajat celcius ( °C). Suhu udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sinar matahari, vegetasi, dan polusi udara (Flannigan et al. 2000). Suhu optimum perkembangbiakan nyamuk adalah 25-27 °C, suhu terlalu tinggi (>35 °C) dapat meningkatkan mortalitas nyamuk (Martens 1997; Epstein et al. 1998). Kelembaban Air sangat penting bagi fungsi fisiologis bagi tubuh, kondisi air dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor kelembaban. Kelembaban udara merupakan jumlah air yang terdapat dalam udara yang dinyatakan dalam persen (%). Uap air di alam sebagian besar berasal dari penguapan air laut. Kelembaban udara mempengaruhi kelangsungan hidup (survival rate), kebiasaan mencari darah dan istirahat nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Peningkatan kelembaban udara berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al. 1998). Pada kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk akan
menjadi lebih aktif dan lebih sering mengisap darah. Menurut Martens 1997, nyamuk pada umumnya menyukai kelembaban diatas 60 %. Penularan lebih mudah terjadi ketika kelembaban tinggi, sebaliknya di daerah yang gersang penularan tidak terjadi karena usia nyamuk yang pendek sehingga parasit tidak dapat menyelesaikan masa siklusnya. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spirakle). Curah hujan Epstein et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi curah hujan akan menaikan kepadatan nyamuk, demikin juga sebaliknya rendahnya curah hujan akan mengurangi kepadatan nyamuk. Hujan yang tidak terlalu deras akan menguntungkan bagi perkembangbiakan nyamuk, namun sebaliknya jika hujan yang turun terlalu deras akan menyapu tempat perkembangbiakan nyamuk yang berpotensi untuk menjadi telur, larva, dan pupa nyamuk. Hujan juga dapat meningkatkan kelembaban relatif, sehingga dapat memperpanjang usia nyamuk. Curah hujan minimal yang dibutuhkan oleh perkembanganbiakan nyamuk adalah 1,5 mm per hari (Martens 1997).
Penyakit yang ditularkan Peranan nyamuk dalam dunia kesehatan sangat jelas yaitu sebagai serangga pengganggu dan juga vektor penularan berbagai jenis penyakit. Berbagai agen penyakit dapat ditularkan oleh nyamuk karena sifatnya yang mengisap darah. Proses penularan penyakit oleh nyamuk diawali ketika seekor nyamuk mengisap darah seseorang yang mengandung agen penyakit dalam stadium infektif. Di dalam tubuh nyamuk tesebut agen penyakit berkembang dan akhirnya dapat ditularkan kepada orang lain ketika nyamuk mengisap darah kembali (Rey 2006). Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh nyamuk Culex sp. adalah penyakit kaki gajah atau filariasis Wuchereria bancrofti, West Nile Virus (WNV), dan juga encephalitis. Sedangkan beberapa penyakit yang sering kali ditularkan oleh nyamuk Aedes sp. adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan penyakit Chikungunya (Hadi & Soviana 2010).
Nyamuk juga mengganggu hewan dan menularkan penyakit cacing jantung pada anjing (Dirofilariasis immitis) yang ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus. Selain pada manusia, Japaneses encephalitis (JE) juga dapat menyerang kuda, babi, unggas, dan kelelawar dengan perantara nyamuk Cx. tritaeniorynchus, dan Cx. quinquefasciatus (Hadi & Koesharto 2006)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, merupakan tahap pengumpulan nyamuk dewasa yang dilaksanakan sejak Oktober s/d November 2010. Tahap kedua merupakan tahapan identifikasispesimen yang dilaksanakan sejak awal Maret 2011 hingga Juni 2011. Koleksi nyamuk dilakukan di dalam 14 rumah diKompleks Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Gambar 7). Identifikasi nyamuk dilaksanakan di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 7 Lokasi Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Desa Cikampak Kecamatan Ciampea Bogor Jawa Barat. Metode Penelitian Penelitian diawali dengan penentuan 14 rumah dalam satu komplek perumahan secara random (acak). Rumah-rumah yang telah dipilih harus memiliki tipe dan ukuran yang sama satu dengan yang lainnya. Setelah itu ditentukan orang yang bertindak sebagai penangkap nyamuk (kolektor) dan orang yang bertindak sebagai umpan dari masing-masing rumah tersebut. Penangkapan dilakukan tiap jam selama 4 jam sejak pukul 21.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB. Tiap jamnya waktu yang dilakukan untuk penangkapan nyamuk yang hinggap pada umpan selama 40 menit sedangkan 20 menit waktu untuk persiapan dan istirahat bagi kolektor. Penangkapan dilakukan sebanyak tiga kali dengan jarak antar penangkapan selama satu minggu. Penangkapan nyamuk ini dilakukan dengan metode bare leg collection (BLC). Pertama-tama orang yang bertindak sebagai umpan menggulung celana hingga ke bagian lutut dan duduk pada tempat yang telah disediakan. Kemudian ketika nyamuk hinggappada umpan, kolektor dengan cepat menangkap nyamuk dengan aspirator. Nyamuk yang telah tertangkap kemudian dimasukan ke dalam gelas kertas (paper cup) yang tertutup kain kasa. Setiap nyamuk yang tertangkap, dipisahkan berdasarkan jam penangkapannya. Nyamuk yang sudah tertangkap kemudian dimatikan dengan menggunakan klorofom dan nyamuk dipinning.
a
b
Gambar 8 Koleksi nyamuk dengan menggunakan metode BLC, (a) di Rumah C 30 dan (b) di Rumah B 1
Proses identifikasi nyamuk dilakukan dengan menggunakan Mikroskop Stereo dan dicocokkan dengan Kunci Identifikasi Culex dan Aedes Jentik dan Dewasa di Jawa (DEPKES 1989).
Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan hubungan antara beberapa parameter dianalisis dengan menggunakan uji korelasi pearson (bivariate) dan kemudian dijelaskan dengan menggunakan gambar dan grafik serta dijabarkan dalam bentuk narasi. Man Hour Density (MHD) merupakan jumlah nyamuk spesies tertentu yang menggigit orang per jam dalam satu hari. Σ Spesies nyamuk tertentu
MHD =
Σ waktu (jam) x Σ kolektor
Man Biting Rate (MBR) merupakan jumlah nyamuk spesies tertentu yang menggigit orang dalam sehari. MBR =
Σ Spesies nyamuk tertentu Σ waktu (malam) x Σ kolektor
Kelimpahan Nisbi merupakan perbandingan antara jumlah nyamuk spesies tertentu dengan total jenis nyamuk dari berbagai spesies yang ditangkap. Kelimpahan Nisbi =
Σ Spesies nyamuk tertentu Σ total spesies nyamuk yang tertangkap
Angka Frekuensi adalah perbandingan antara banyaknya nyamuk spesies tertentu yang ditangkap dengan banyaknya penangkapan yang dilakukan menurut cara tertentu. Angka Frekuensi =
Banyaknya spesies nyamuk yang tertangkap Σ Perlakuan
Angka Dominansi Spesies merupakan hasil perkalian dari kelimpahan nisbi dengan angka frekuensi nyamuk spesies tertentu yang tertangkap. Angka Dominansi =
Angka Frekuensi x Kelimpahan Nisbi
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap Hasil penangkapan nyamuk dengan metode BLC yang dilakukan di Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menunjukkan keanekaragaman fauna nyamuk yang mengisap darah manusia atau bersifat antropofilik. Data yang dihasilkan menunjukkan bahwa nyamuk yang tertangkap pada pukul 21.00 WIB s/d 01.00 WIB berjumlah 1.350 nyamuk, yang terdiri atas dua genus nyamuk dan empat spesies, yaitu tiga spesies Culex (98,82 %) dan satu spesies Aedes (1,18 %), seperti yang tertera pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa jenis nyamuk yang paling banyak tertangkap adalah nyamuk Cx. quinquefasciatus, yakni sebanyak 1.210 nyamuk (89,63 %), 84 nyamuk Cx. hutchinsoni (6,22 %), 40 nyamuk Cx. tritaeniorynchus (2,96 %), dan 16 nyamuk Ae. albopictus (1,19 %). Banyaknya spesies Culex yang tertangkap disebabkan karena sifatnya yang nokturnal, yaitu beraktivitas pada malam hari. Selain itu, Culex juga bersifat endofagik dan endofilik, yaitu mencari makan dan beristirahat di dalam rumah (Rey 2006). Cx. quinquefasciatus memiliki ciri-ciri yang spesifik yaitu tidak memiliki gelang putih pada probosisnya, memiliki tergit belang hitam-putih, toraks berwarna coklat pudar dan integument pleuron berwarna pucat merata. Nyamuk Cx. hutchinsoni memiliki ciri-ciri yang hampir serupa dengan nyamuk Cx. quinquefasciatus, tetapi integument pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman sehingga Cx. hutchinsoni terlihat lebih gelap dibandingkan Cx. quinquefasciatus (Gambar 9a dan 9b). Nyamuk Cx. tritaeniorynchus (Gambar 9c), memiliki perbedaan yang mendasar pada probosisnya. Probosis nyamuk ini memiliki gelang putih, sebagaimana pada nyamuk dari grup sitiens dan secara umum menjadi dasar pembeda dengan nyamuk grup pipiens. Jenis nyamuk yang termasuk dalam grup pipiens
adalah Cx. quiquefasciatus dan Cx. hutchinsoni, sedangkan yang
termasuk dalam grup sitiens adalah Cx. tritaeniorynchus. Pada ventral probosis grup pipiens juga tidak ditemukan bercak pucat.
Tabel 1
Jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010. Spesies
Jumlah
Cx. quinquefasciatus
1210
89,63
Cx. hutchinsoni
84
6,22
Cx. tritaeniorynchus
40
2,96
Ae. albopictus
16
1,19
1350
100,00
Total
Persentase (%)
Ciri-ciri grup pipiens lainnya adalah tergit abdomen belang hitam dan putih, scutum tertutup sisik-sisik coklat merata, dan pada sayap terdapat noda seperti pada Anopheles dengan sisik berwarna kuning atau putih yang jelas.
Gambar 9
a
b
c
d
(a) Cx. quinquefasciatus, (b) Cx. hutchinsoni, (c) Cx. tritaeniorynchus, (d) Ae. albopictus.
Nyamuk yang berhasil ditangkap selain jenis Culex sp. adalah nyamuk jenis Ae. albopictus (Gambar 9d). Ciri-ciri khusus yang terdapat pada semua Ae. albopictus adalah garis putih memanjang pada mesonotum, pada pleuron terdapat bercak putih juga tungkai berpola belang hitam-putih. Probosis lebih pendek dari pada femur kaki depan (DEPKES 1989). Ae. albopictus yang ditemukan pada malam hari menunjukkan adanya perubahan aktivitas mencari inang, karena pada umumnya Ae. albopictus memiliki sifat diurnal, yaitu beraktivitas pada siang hari (Hadi & Koesharto 2006).
Kelimpahan Nisbi, Angka Frekuensi, dan Angka Dominasi Nyamuk Yang Tertangkap Data Tabel 2 menunjukkan bahwa nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki kelimpahan nisbi 89,62 %, frekuensi tertangkap 0,99, dan angka dominansi 88,73. Hal ini menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus merupakan jenis nyamuk yang mendominasi komposisi nyamuk antropofilik di wilayah ini. Populasi terendah adalah Ae. albopictus dengan kelimpahan nisbi 1,19 %, frekuensi tertangkap 0,05, dan angka dominansi 0,06. Nyamuk Cx. hutchinsoni dan Cx. tritaeniorynchus juga berhasil ditangkap dalam penelitian ini dengan angka kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominansi berturut-turut adalah 6,22 %, 0,23, dan 0,50 pada nyamuk Cx. hutchinsoni dan 2,96 %, 0,08, dan 0,68 pada nyamuk Cx. tritaeniorynchus. Tabel 2
Kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan angka dominansi nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010.
. Spesies
Kelimpahan nisbi
Angka
Angka
(%)
frekuensi
dominansi
89,62
0,99
88,73
Cx. hutchinsoni
6,22
0,23
0,50
Cx. tritaeniorynchus
2,96
0,08
0,68
Ae. albopictus
1,19
0,05
0,06
Cx. quinquefasciatus
Banyaknya nyamuk Cx. quinquefasciatus yang tertangkap disebabkan karena nyamuk Culex sp. memiliki sifat nokturnal (aktif di malam hari) dan nyamuk Aedes sp. sangat sedikit tertangkap dikarenakan sifatnya yang diurnal (aktif di siang hari) (Borror et al, 1992). Satriyo (2009) melaporkan bahwa dari 1.323 ekor nyamuk yang tertangkap dengan menggunakan metode BLC di Desa Babakan Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor terdiri atas lima spesies Culex (99,24 %), dua spesies Aedes (0,61 %), dan satu spesies Armigeres (0,15 %). Nyamuk yang paling banyak tertangkap adalah Cx. quinquefasciatus dengan angka dominansi 63,87 %. Nyamuk Cx. tritaeniorynchus ditemukan cukup tinggi, hal ini dikarenakan adanya banyak warga yang berternak kerbau di sekitar pemukiman penduduk. Diketahui bahwa nyamuk ini bersifat antropozoofilik. Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan jenis nyamuk yang dominan ditemukan di wilayah sekitar permukiman penduduk di daerah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hampir di seluruh genangan air yang terdapat dalam sistem pembuangan air limbah (selokan, kolam, parit dan lain-lain) jentik dan nyamuk Cx. quinquefasciatus dewasa selalu ditemukan (Laksono 2010). Tingginya angka kelimpahan nisbi dari nyamuk Cx. quinquefasciatus juga ditemukan oleh Zinser et al. (2007) di Harris County, Texas Amerika Serikat. Dari
total
nyamuk
yang
berhasil
ditangkap,
kelimpahan
nisbi
Cx.
quinquefasciatus mencapai 95 %. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi nyamuk ini dominan dan menjadi vektor potensial bagi penyebaran penyakit West Nile Virus (WNV). Tinggi rendahnya angka kelimpahan nisbi nyamuk juga dipengaruhi oleh banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk. Di lokasi penelitian ini ditemukan banyak sekali tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti selokan yang tersumbat sehingga terlihat genangan air yang keruh dan kotor, parit di sekitar pekarangan rumah, bak penampungan air dan kolam milik warga yang tidak digunakan lagi, dan limbah cair rumah tangga yang menyebabkan aliran air tersumbat sehingga tampak menggenang. Genangan air akibat air hujan maupun limbah rumah tangga merupakan faktor yang mendukung perkembangan nyamuk.
b
a
c
d
e
Gambar 10 Tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk(a) Selokan, (b) Parit, (c) Bak penampungan air, (d) Kolam, dan (e) Limbah rumah tangga. Nyamuk Culex sp. biasanya hidup pada genangan air dan lingkungan yang kotor sedangkan nyamuk Aedes sp. cenderung menyukai genangan air yang jernih dan bersih (Hadi & Koesharto 2006).
Kepadatan Nyamuk Yang Tertangkap Kepadatan nyamuk dapat dinyatakan dalam man hour density (MHD) dan man biting rate (MBR). MHD menggambarkan jumlah nyamuk yang hinggap atau mengisap darah seseorang yang menjadi inang dalam satu jam, dan MBR menggambarkan jumlah nyamuk yang menggigit orang dalam semalam. Nilai MBR dan MHD dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai MBR dan MHD tertinggi ditemukan
pada
nyamuk
Cx.
quinquefasciatus
yaitu
sebesar
28,81
nyamuk/orang/malam dan 10,80 nyamuk/orang/jam. MBR dan MHD terendah didapatkan pada nyamuk Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus yakni 0,38 nyamuk/orang/malam dan 0,14 nyamuk/orang/jam. Satu faktor yang menentukan keberhasilan vektor dalam menularkan penyakit
adalah
kepadatan
spesies
yang
tinggi.
Di
permukiman
Cx.
quinquefasciatus merupakan vektor utama penyebaran penyakit kaki gajah (filariasis) yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti. Penularan filariasis memerlukan gigitan jumlah nyamuk yang tinggi (Oemijati 1993).
Tabel 3 Nilai MBR & MHD jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010. Spesies
MBR
MHD
(nyamuk/orang/malam)
(nyamuk/orang/jam)
Cx. quinquefasciatus
28,81
10,80
Cx. hutchinsoni
2,00
0,75
Cx. tritaeniorynchus
0,95
0,36
Ae. albopictus
0,38
0,14
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huda (2002) di daerah endemik filariasis di Desa Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus merupakan spesies nyamuk yang memiliki kepadatan populasi yang paling tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya dengan MHD sebesar 9,20, sehingga dikatakan sebagai vektor utama penyebaran filariasis di Desa Gondanglegi Kulon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. MHD di lokasi penelitian sebesar 10,80 berindikasi bahwa risiko warga yang bermukim di perumahan tersebut untuk tertular penyakit kaki gajah cukup tinggi, apabila di lingkungan tersebut terdapat reservoir atau penderita filariasis.
Perilaku Nyamuk Menggigit Di Malam Hari Tabel 4 menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus yang menggigit di dalam rumah di Perumahan Pegawai FKH IPB, di lokasi penelitian sudah sangat tinggi pada pukul 21.00 WIB yaitu dengan angka persentase 19,78. Angka ini meningkat mencapai 22,96 % dan puncaknya terjadi pada pukul 23.00 WIB hingga 24.00 WIB 24,89 %. Pada pukul 24.00-01.00 WIB persentase Cx. quinquefasciatus yang tertangkap terlihat mengalami penurunan menjadi 22,00 %. Pipitgool et al. (1998) menyatakan bahwa aktivitas Cx. quinquefasciatus mengisap darah di Khon Kaen City dimulai pada pukul 18.00-06.00. Dari total 1.429 Cx quinquefasciatus yang tertangkap, 4 % tertangkap pada pukul 18.0019.00 WIB. Jumlah ini terus meningkat hingga puncaknya pada pukul 22.0023.00 mencapai 17 % dari total keseluruhan nyamuk yang tertangkap. Pukul 24.00-06.00 jumlah nyamuk yang tertangkap terus mengalami penurunan.
Tabel 4
Rata-rata persentase nyamuk yang tertangkap setiap jam di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010.
Spesies
21.00-22.00
22.00-23.00
23.00-24.00
24.00-01.00
Cx. quinquefasciatus
19,78
22,96
24,89
22,00
Cx. tritaeniorynchus
0,37
0,96
0,07
1,56
Cx. hutchinsoni
0,89
1,48
1,70
2,15
Ae. albopictus
0,22
0,15
0,30
0,52
Mahanta et al. (1999) menyatakan bahwa nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan jenis nyamuk yang dominan tertangkap di daerah Permukiman Perkebunan Teh Assam India adalah pada 19.00-20.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 22.00-24.00. Menurut Klein et al. (1992) puncak Cx. quinquefasciatus menggigit di dalam rumah di daerah Costa Marques Randonia Brazil pada pukul 23.00-02.00. Hal ini menunjukkan bahwa puncak aktivitas nyamuk Cx. quinquefasciatus adalah pada tengah malam (22.00-02.00) sehingga disebut dengan nyamuk nokturnal. Beier et al. (1990) menyatakan bahwa kepadatan Cx. quinquefasciatus pada malam hari di luar rumah lebih tinggi jika dibandingkan di dalam rumah. Namun, jumlah kasus gigitan pada manusia lebih tinggi (88 %) di dalam rumah jika dibandingkan dengan di luar rumah (23 %). Hal ini dikarenakan aktivitas manusia pada malam hari lebih banyak di dalam rumah, sehingga nyamuk Cx. quinquefasciatus cenderung masuk ke dalam rumah untuk mencari darah (endofagik).
Hubungan Densitas Nyamuk Terhadap Suhu danKelembaban. Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, didapatkan rata-rata suhu ruang selama empat jam dari pukul 21.00 WIB hingga 01.00 WIB adalah 26,6-28 °C dan kelembaban ruang sebesar 79,3-80,3%.
Gambar 11 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan suhu.
Gambar 12 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan kelembaban. Jumlah nyamuk Cx. quinquefascatus yang berhasil tertangkap pada pukul 21.00 WIB rata-rata berjumlah 89 nyamuk. Kemudian diamati pada jam berikutnya didapatkan jumlah nyamuk sebanyak rata-rata 103 nyamuk. Pada pukul 23.00 WIB didapatkan rata-rata jumlah nyamuk sebanyak 112 nyamuk dan terakhir pada pengamatan pukul 01.00 WIB didapatkan nyamuk berjumlah 99 nyamuk. Gambar 11 menunjukkan hubungan antara kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap suhu ruang. Dengan uji korelasi didapatkan angka korelasi antara kepadatan Cx. quinquefasciatus terhadap suhu sebesar 0,311. Angka ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap perubahan suhu.
Gambar 13
Hubungan fluktuasi jenis nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan suhu.
Gambar 14 Hubungan fluktuasi jenis nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan kelembaban. Angka korelasi pearson antara kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap perubahan kelembaban (Gambar 12) bernilai 0,990, hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara kepadatan jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap perubahan kelembaban ruang. Semakin tinggi kelembaban maka akan semakin meningkatkan jumlah kepadatan nyamuk.
Menurut Gunawan 2000 dalam Suwito 2010, kelembaban berpengaruh penting terhadap perkembangan hidup nyamuk. Semakin tinggi kelembaban udara maka akan membuat nyamuk lebih aktif dan sering menggigit sehingga dapat memperpanjang umur nyamuk, dan sebaliknya jika kelembaban udara rendah maka akan memperpendek umur nyamuk. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa adanya fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus yang tertangkap (Gambar 13 dan 14). Pada pukul 21.00 WIB diketahui jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni yang tertangkap rata-rata 4 nyamuk. Jumlah nyamuk pada pukul 22.00 WIB rata-rata 6,67 nyamuk. Pada waktu sejam kemudian jumlahnya kembali naik yaitu rata-rata 7,6 nyamuk. Puncak menggigit nyamuk ini terjadi pada pukul 01.00 WIB yaitu rata-rata 9,67 nyamuk. Kepadatan jumlah nyamuk Cx. tritaeniorynchus pada pengukuran selama empat jam paling berfluktuatif. Hasil penangkapan yang dimulai pada pukul 21.00 WIB didapatkan rata-rata nyamuk Cx. tritaeniorynchus yang mengigit sebanyak 1,67 nyamuk. Jumlah nyamuk ini mengalami peningkatan mengisap darah pada pukul 22.00 s/d 23.00 WIB yaitu dengan rata-rata 4,33 nyamuk. Pada pukul 24.00 WIB jumlahnya mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata 0,3 nyamuk saja. Satu jam kemudian terjadi peningkatan yang sangat signifikan, yaitu rata-rata berjumlah tujuh nyamuk. Nyamuk Ae. albopictus yang mengisap darah rata-rata berjumlah satu nyamuk pada pukul 21.00 WIB. Satu jam kemudian mengalami penurunan jumlah yang menggigit yaitu rata-rata 0,6 nyamuk. Pada pukul 24.00 WIB nyamuk Ae. albopictus yang tertangkap mengalami peningkatan yaitu rata-rata sebesar 1,3 nyamuk. Pada pukul 01.00 WIB jumlah nyamuk yang menggigit kembali mengalami peningkatan yaitu rata-rata 2,3 nyamuk. Gambar 13 dan 14 menunjukkan hubungan antara jumlah kepadatan nyamuk Cx. hutchinsoni, Cx. tritaeniorynchus dan Ae. albopictus terhadap suhu dan kelembaban. Hasil uji korelasi kepadatan nyamuk Cx. tritaeniorynchus terhadap suhu didapatkan nilai sebesar -0,866. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah kepadatan nyamuk Cx. tritaeniorynchus berbanding terbalik terhadap perubahan suhu. Sehingga semakin tinggi suhu akan membuat jumlah kepadatan
nyamuk ini akan semakin rendah dan begitu juga sebaliknya. Penghitungan angka korelasi antara kepadatan jumlah nyamuk ini terhadap perubahan kelembaban didapatkan nilai sebesar -0,284. Angka ini berarti hubungan antara kepadatan nyamuk Cx. tritaeniorynchus terhadap perubahan kelembaban sangatlah kecil di Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak. Berdasarkan uji korelasi pearson terlihat bahwa hubungan kepadatan nyamuk Ae. albopictus terhadap perubahan suhu ruangan bernilai -0,860. Hal ini berarti jumlah kepadatan nyamuk berbanding terbalik terhadap perubahan suhu. Sehingga semakin tinggi suhu ruang akan membuat kepadatan nyamuk yang mengisap darah inang akan semakin rendah dan sebaliknya jika suhu ruang semakin rendah maka kepadatan nyamuk ini akan semakin tinggi. Uji korelasi terhadap kelembaban ruangan diperoleh nilai 0,074. Angka menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara perubahan kelembaban terhadap kepadatan nyamuk Ae. albopictus. Hubungan antara jumlah kepadatan nyamuk Cx. hutchinsoni terhadap perubahan suhu dan kelembaban dengan uji korelasi bernilai -0,622 dan 0,539. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kepadatan Cx. hutchinsoni terhadap perubahan suhu saling bertolak belakang, namun jika kepadatan jumlah nyamuk ini dibandingkan terhadap kelembaban ruangakan tampak hubungan yang positif. Berarti jika suhu ruangan rendah dan kelembaban tinggi, maka akan meningkatkan kepadatan nyamuk Cx. hutchinsoni.
Hubungan Densitas Nyamuk Terhadap Curah Hujan Faktor yang menentukan kepadatan jumlah nyamuk selain suhu dan kelembaban adalah tinggi rendahnya curah hujan (Martens 1997). Data yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, menunjukkan curah hujan per minggu selama bulan Oktober-November 2010 adalah berkisar antara 9,14-15,4 mm.
Gambar 15 Hubungan fluktuasi Cx. quinquefasciatus dengan curah hujan.
Gambar 16 Hubungan perubahan fluktuasi jenis nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan curah hujan. Gambar 15 dan 16 terlihat hubungan fluktuasi kepadatan nyamuk yang tertangkap terhadap perubahan curah hujan tiap minggunya. Hasil penangkapan pada minggu pertama terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus didapatkan rata-rata berjumlah 112,25 nyamuk. Pada minggu kedua terjadi penurunan jumlah nyamuk yang tertangkap, yaitu rata-rata 94 nyamuk. Pada penangkapan minggu terakhir jumlah nyamuk yang tertangkap sedikit mengalami peningkatan yaitu rata-rata berjumlah 96,26 nyamuk. Penangkapan nyamuk Cx. hutchinsoni pada minggu
pertama didapatkan rata-rata berjumlah 11,25 nyamuk. Seminggu kemudian, nyamuk jenis ini yang tertangkap mengalami penurunan yaitu rata-rata berjumlah 8,5 nyamuk. Penangkapan pada minggu terakhir, jumlah nyamuk yang tertangkap kembali mengalami penurunan yaitu rata-rata 1,25 nyamuk. Rata-rata jumlah nyamuk Cx. tritaeniorynchus yang tertangkap juga terlihat pada Gambar 16. Pada minggu pertama rata-rata jumlah nyamuk jenis ini yang tertangkap 2,5 nyamuk. Pada minggu kedua jumlah yang tertangkap mengalami peningkatan yaitu ratarata 6,75 nyamuk. Jumlah nyamuk yang tertangkap pada minggu ketiga kembali mengalami penurunan, yaitu hanya rata-rata berjumlah 0,75 nyamuk. Nyamuk Ae. albopictus yang tertangkap pada minggu pertama rata-rata berjumlah 1,25 nyamuk. Pada penangkapan berikutnya rata-rata jumlah nyamuk yang tertangkap meningkat yaitu sebanyak 1,75 nyamuk. Jumlah nyamuk yang tertangkap kembali turun yaitu rata-rata seekor nyamuk pada penangkapan diminggu terakhir. Pada Tabel 5 dapat terlihat perbandingan antara jumlah kepadatan nyamuk Cx. qunquefasciatus dan Cx. hutchinsoni terhadap perubahan curah hujan dengan menggunakan uji korelasi pearson didapatkan nilai -0,752 dan -0,985. Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. hutchinsoni terhadap curah hujan adalah saling bertolak belakang, jika curah hujan tinggi maka kepadatan rendah dan apabila curah hujan rendah maka jumlah kepadatan nyamuk akan tinggi. Hal ini berkaitan dengan tempat-tempat perkembangbiakan yang ada. Di lokasi penelitian ditemukan beberapa tempat perkembangbiakan nyamuk sebagai akibat dari sistem drainase yang buruk. Tabel 5
Hubungan fluktuasi jenis-jenis nyamuk yang tertangkap dengan terhadap curah hujan di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010. Spesies
Nilai korelasi
Cx. quinquefasciatus
-0,752
Cx. tritaeniorynchus
-0,362
Cx. hutchinsoni
-0,985
Ae. albopictus
-0,404
Jika curah hujan tinggi, maka akan membuat tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk-nyamuk tersebut rusak, sehingga akan menurunkan jumlah telur yang menetas. Sebaliknya, apabila curah hujan rendah, maka tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk tersebut akan tetap terjaga sehingga telur-telur nyamuk akan menetas untuk menjadi nyamuk dewasa. Nilai uji korelasi pearson antara perubahan curah hujan dan kepadatan jenis nyamuk Cx. tritaeniorinchus dan Ae. albopictus adalah -0,362 dan -0,404. Angka ini menunjukkan bahwa perubahan curah hujan memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap kepadatan nyamuk jenis ini. Hal ini berkaitan dengan sifat Ae. albopictus yang diurnal (aktif di siang hari) sehingga perubahan curah hujan pada malam hari tidak mempengaruhi kepadatan Ae. albopictus menghisap darah. Menurut Epstein et al. (1998), perubahan curah hujan berbanding lurus terhadap jumlah kepadatan nyamuk yaitu, semakin tinggi curah hujan maka akan menaikan kepadatan nyamuk, demikian juga sebaliknya rendahnya curah hujan akan mengurangi kepadatan nyamuk. Peningkatan kepadatan nyamuk didasari atas meningkatnya jumlah air yang menggenang, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1
Spesies nyamuk yang paling banyak ditemukandi Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 pada malam hari adalah Cx. quinquefasciatus dengan kelimpahan nisbi 89,63 %.
2
Nilai MHD dan MBR dari nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki nilai yang paling tinggi yaitu mencapai 10,80 ekor per orang/jam dan 28,81 ekor per orang/malam.
3
Puncak aktifitas menggigit dari nyamuk Cx. quinquefasciatus adalah antara pukul 23.00 s/d 24.00 WIB (24,89 %).
4
Kelembaban udara memiliki hubungan yang positif terhadap kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus.
5
Curah hujan memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus.
6
Suhu memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus.
Saran 1
Tingginya angka kepadatan nyamuk berkorelasi terhadap penularan penyakit tular vektor, maka perlu diadakannya tindakan untuk menekan angka kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus di lokasi penelitian.
2
Pengamatan atau survei entomologi sebaiknya dilakukan secara rutin terutama untuk kesiapan menghadapai kasus penyakit tular vektor.
DAFTAR PUSTAKA
Borror DJ, Triphelone CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. S Partosordjono. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study Insect. Beier JC, Odago WO, Onyango FK, Asiago CM, Koech DK, Roberts CR. 1990.Relative abundance and blood feeding behavior of nocturnally active culicine mosquitoes in western Kenya. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 2 :207212. Chadee DD, Tikasinghs ES. 1986. The Eggs of Culex: (Carollia) urichii (Coquillett) (Diptera: Culicidae) in Trinidad, W. I. Mosq. Syst. 18:3-4. Christophers SR. 1960. Aedes Aegypti (L.) The Yellow Fever Mosquito. Cambridge : Cambridge University press. Clements AN. 2000. The Biology of Mosquitoes Volume 1 Development, Nutrition and Reproduction. USA: CABI Publishing. Darsie RF Jr, Ward RA. 2000. Summary of new distribution records for mosquito species in the United States and Canada for the period 1981-99. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 1: 1-4. [DEPKES] Departemen Kesehatan RI. 1989. Kunci Identifikasi Aedes Jntik dan Dewasa di Jawa, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: DEPKES. [DEPKES] Departemen Kesehatan RI. 1989. Kunci Identifikasi Culex Jentik dan Dewasa di Jawa, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: DEPKES. Epstein PR, Diaz HR, Elias S, Grabherr G, Graham NE, Martens WJM, Thomson EM, Susskind J. (ED). 1998. Biological and physical signs of climate change : focused on mosquito-borne diseases. Bull. Amer. Meterolog. Soc. 79: 409-417. Flanningan MD, Stocks BJ, Wotton BM. 2000. Climate change and forest fires. Bull. Sci. Environ. 262: 221-229. Grissom P, Alexander ME, Cella B, Cole F, Kurt JT, Malotte NP, Martell DL, Mawdsley W, Roessler J, Quilin R, Ward PC. 2000. Effects of climate change on management and policy: Mitigation option in the North American Boral Forest. Bull. Ecol. Stud. 138: 85-101. Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Diagnosa, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Press.
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam : Sigit SH, Hadi UK, editor. Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Bogor : IPB Pr. hlm 23-51. Huda AH. 2002. Studi Komunitas Nyamuk Tersangka Vektor Filariasis Di Daerah Endemis Desa Gondonglei Kulon Malang Jawa Tengah [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [ICPMR] Institute for Clinical Pathology and Medical Research. 2002. New South Wales Arbovirus Surveillance & Vector Monitoring Program. Sydney: University of Sydney. Laksono SB. 2010. Karakterisik habitat larva Culex quinqurfasciatus di beberapa wilayah perkotaan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Klein TA, Lima JBP, Tang AT. 1992. Seasonal distribution and diel biting patterns of culicinae mosquitoes in Costa Marques, Randonia, Brazil. Mem. Inst. Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 87 (1):141-148. Mahanta B, Handique R, Dutta P, Narain K, Mahanta J. 1999. Temporal variations in biting density and rhytm of Culex quinquefasciatus in Tea Agro-cosystem Assam, India. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 30 (4):804-809. Martens WJM. 1997. Malaria and climate change. Environ Hlth Perpective. 97 : 103-116. McCafferty, Patrick W. 2010. Biological Notes on Mosquitoes. Diakses dari http://www.mosquitoes.org/LifeCycle.html. [7 Maret 2011]. Oemijati S. 1993. Current status of filariasis in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth. 2:2-4. Pipitgool V, Waree P, Sithihaworn P, Limviroj W. 1998. Study on biting density and biting cycle of Culex quinquefasciatus, say in Khon Kaen City, Thailand. Southheast Asian J. Trop. Med. Pub Hlth. 21 (2) : 333-336. Rey JR. 2006. The Mosquitoes.Diakses dari http://edis.ifas.ufl.edu/in652. September 2011].
[8
Satriyo MD. 2009. Jenis dan fluktuasi nyamuk serta pengaruh antinyamuk liquid vaporizer terhadap nyamuk yang menghisap darah pada malam hari di desa babakan kecamatan darmaga [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Suwito. 2010. Bioekologi nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran : Ditribusi spasial, keragaman, karakteristik, dan kepadatan [disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wang J, Price KP, Rich PM. 2001. Spatial patterns of NDVI response to precipitation anf temperature in central Greats plains. Int. J. Rem. Sens. 20 (18): 3827-3844. Womack M. 1993. The yellow fever mosquito, Ae aegypti. Wing Beats 5(4): 4-7. Zinser M, Ramberg F, Willot E. 2004. Cx quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) as a potential west nile virus vector in Tucson, Arizona: Blood Meal Analysis Indicates Feeding on Both Humans and Birds. J. Insect. Sci. 4:20.