EFEK OLAHRAGA BERENANG TERATUR DAN TERAPI SULIH ESTROGEN TERHADAP DURASI REPOLARISASI OTOT JANTUNG TIKUS Sprague Dawley YANG TELAH DI OVARIEKTOMI BILATERAL Denny Agustiningsih Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran UGM ABSTRAK Sifat kelistrikan pada jantung wanita akan berubah setelah memasuki menopause. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kejadian aritmia pada usia sebelum menopause dan meningkatnya angka kejadian ini setelah kadar estrogen menurun pada usia menopause. Dibuktikan pula dengan tingginya angka kematian akibat aritmia pada usia menopause. Penyebab aritmia pada wanita ditengarai disebabkan karena memanjangnya waktu repolarisasi pada otot jantung. Pemanjangan waktu repolarisasi dapat dilihat dari rekaman EKG berupa pemanjangan interval QT yang sudah dikoreksi dengan frekuensi denyut jantung (QTc interval). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemberian olahraga yang teratur dengan dosis sesuai zona latihan sedang, dapat memperpendek durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi bilateral dibandingkan dengan terapi sulih estrogen. Desain penelitian ini adalah eksperimental dengan subyek tikus Sprague Dawley umur 40-50 hari yang telah diovariektomi bilateral sebanyak 24 ekor dan dibagi menjadi 4 kelompok. Perlakuan pada subyek adalah memberikan olahraga berenang pada kelompok I, terapi sulih estrogen pada kelompok II, kombinasi keduanya pada kelompok III dan kelompok IV sebagai kontrol tanpa perlakuan. Perekaman EKG untuk melihat durasi repolarisasi dilakukan pada awal minggu I dan akhir minggu 10 kemudan hasilnya dianalisis dengan ANOVA satu jalan. Kesimpulan penelitian ini adalah berenang secara teratur 1 jam, 5x/minggu selama 10 minggu dapat memendekan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. Pemberian sulih estrogen pada tikus yang diovariektomi dapat mencegah pemanjangan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. Kombinasi berenang dan sulih estrogen dapat mencegah pemanjangan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. Kata Kunci : Exercise, Ovariectomized, estrogen, QT interval, repolarization PENDAHULUAN Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan, sejak tahun 1992 penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat proporsinya sebagai penyebab kematian. Salah satu jenis penyakit jantung yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada wanita menopause adalah gangguan irama jantung atau aritmia. Aritmia yang sering menyebabkan kematian adalah aritmia ventrikuler. Aritmia ventrikular merupakan kejadian yang fatal pada wanita tetapi tidak pada pria (Malloy dan Babinski,
1999). Sifat kelistrikan pada jantung wanita akan berubah setelah memasuki menopause. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kejadian aritmia pada usia sebelum menopause dan meningkatnya angka kejadian ini setelah kadar estrogen menurun pada usia menopause. Penyebab aritmia pada wanita ditengarai disebabkan karena memanjangnya waktu repolarisasi pada otot jantung. Pemanjangan waktu repolarisasi dapat dilihat dari rekaman EKG berupa pemanjangan interval QT yang sudah dikoreksi dengan frekuensi denyut jantung (QTc interval) (Wolbrette et al, 2002). Waktu repolarisasi memanjang diduga berhubungan dengan jumlah dan aktivitas reseptor estrogen di otot jantung yang menurun pascamenopause. Korte et al., (2005) mendapatkan bahwa defisiensi reseptor estrogen dapat menyebabkan pemanjangan waktu repolarisasi otot ventrikel dan penurunan otomatisasi ventrikel pada tikus betina dengan infark miokardium kronik. Untuk mengatasi penyakit jantung pada menopause biasanya diberikan terapi sulih hormon. Terapi ini memiliki beberapa kerugian yaitu mahal serta banyak efek samping. Olahraga dibuktikan dapat meningkatkan kadar hormon estrogen pada menopause dan diduga melalui mekanisme aromatisasi ekstragonad (Agustiningsih, 2006). Mekanisme aromatisasi ekstragonad adalah sintesis estrogen diluar ovarium. Tempat terjadinya aromatisasi ekstragonad antara lain adalah payudara, kondrosit tulang, sel-sel mesenkim jaringan adiposa, osteoblas, endotel vaskular dan sel otot polos aorta serta beberapa tempat di otak. Wiik et al. (2005) dan Cartoni et al. (2005) mendapat hasil penelitian olahraga dapat meningkatkan kadar mRNA dan ekspresi reseptor-reseptor estrogen di otot skelet. Selain itu Billman (2002) dan Paterson (1996) menyebutkan bahwa olahraga aerobik dapat menjadi terapi alternatif untuk aritmia karena memperbaiki keseimbangan saraf otonom di jantung. Ovariektomi
pada
hewan
coba
seringkali
digunakan
sebagai
model
pascamenopause karena penurunan jumlah dan fungsi estrogen. Tikus yang telah diovariektomi dan diberikan olahraga aerobik berupa lari diatas treadmill terbukti meningkatkan ekspresi reseptor estrogen di hepar dan uterus dibandingkan dengan terapi sulih estrogen (Hao et al. 2010). Penggunaan tikus sebagai model untuk mempelajari aritmia pada manusia sudah sering digunakan, meskipun tikus memiliki banyak
keterbatasan. Jantung tikus banyak digunakan untuk penelitian mengenai fungsi mekanik, biokimia, molekular, genetik serta elektrofisiologik. Frekuensi denyut jantung tikus lebih cepat 4-10 kali lipat dibanding manusia dengan durasi potensial aksi yang lebih pendek. Jantung tikus secara kelistrikan lebih stabil dibanding manusia karena ukuran yang kecil. Aritmia ventrikuler pada tikus jarang menyebabkan kematian. Saluran ion pada jantung tikus sangat mirip dengan manusia. Bahkan saluran ion jantung tikus 95% identik dengan manusia pada tingkat protein dan memiliki sifat elektrofisiologis dan farmakologis yang sama. Penggunaan EKG juga telah diadaptasi untuk digunakan pada tikus. Secara teknis perbedaannya adalah pada desain dan letak elektroda serta penggunaan anestesi yang tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung maupun durasi potensial aksi. Gelombanggelombang EKG pada tikus mirip dengan manusia. Penentuan durasi repolarisasi dengan interval QT untuk tikus menggunakan formula koreksi yang ditemukan oleh London et al. (cit. London, 2004) dan telah banyak digunakan dalam penelitian aritmia pada tikus. Penentuan interval RR untuk koreksi interval QT menggunakan formula dari Mitchell et al. (1998). Penelitian dilakukan pada tikus yang diovariektomi untuk diamati sifat kelistrikan serta pengaruh hormon estrogen atau obat-obatan lain pada jantung yang diisolasi juga telah banyak dilakukan (Trepanier-Boulay et al., 2001, Philp et al. 2006, Korte et al., 2005). Masih perlu dibuktikan pengaruh olahraga terhadap kelistrikan jantung pada tikus sebagai model, salah satunya adalah terhadap durasi repolarisasi otot ventrikel. METODE dan CARA PENELITIAN Subjek penelitian yang digunakan adalah hewan coba menggunakan tikus SpragueDawley betina sehat usia 40-50 hari yang diovariektomi bilateral. Rekaman EKG istirahat posisi berbaring dibawah anestesi dengan Ketalar (0,1 cc/kgBB), elektroda jarum dipasang pada permukaan tungkai depan kanan dan kiri, serta pada permukaan dada di daerah apeks jantung dianalisis kompleks QRS, interval QT dan interval RR pada lead II. EKG direkam sebelum dimulai olahraga atau pemberian obat dan pada akhir minggu ke 10 setelah olahraga atau pemberian obat. Tiap subyek diambil 8 interval QT dan masing-masing dihitung 5x (Davey, 1999). Tikus dibagi menjadi 4 kelompok : Kelompok I tikus betina diovariektomi bilateral,
setelah 4 minggu kemudian diberikan perlakuan olahraga 5x/minggu selama 10 minggu, Kelompok II tikus diovariektomi bilateral, kemudian diberikan hormon 17 beta estradiol selama 10 minggu, Kelompok III tikus diovariektomi bilateral, kemudian diberikan hormon 17 beta estradiol selama 10 minggu selain diberikan perlakuan olahraga 5x/minggu selama 10 minggu, Kelompok IV dilakukan ovariektomi tanpa perlakuan olahraga. Olahraga berenang dilakukan di dalam suatu kolam kaca berukuran 100x50x50 cm, dengan ketinggian air 30 cm dan suhu 250C. Kaki tikus tidak dapat menyentuh dasar kolam. Berenang dilakukan bertahap mulai 10 menit hari pertama hingga 60 menit pada hari ke 6 dan dipertahankan sampai minggu ke 10 dengan frekuensi 5x/minggu (Yalcin et al, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai interval QT dan QTc, interval RR dan durasi QRS masing-masing kelompok beserta hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Durasi interval QT, interval RR, interval Qtc dan QRS sebelum dan sesudah perlakuan dalam ms. Kelompok
Interval QT (ms)
Interval RR (ms)
Interval Qtc (ms)
Durasi QRS (ms)
Rerata + SD
Rerata + SD
Rerata + SD
Rerata + SD
Pre II (HRT)
Pre
118,330 + 117,500 + 157,500 7,260
III
Post
3,953
12,353
Post
2,217
1,946
Pre
Post
40,000 + 40,000 + 0,000
0,000
150,000 + 92,687 + 92,2300+
40,000 + 40,000 +
+ 8,540
10,000
0,000
256,250 + 86,407 + 91,415 +
IV
135,000 + 148,750
251,250
(kontrol)
2,500
+ 14,200 10,680
+ 9,492
Pre
148,750 + 97,925 + 96,852 +
+ 12,330 12,640
110,625 + 113,750 + 142,500
(OR+HRT) 6,485
Post
4,321
4,135
8,062
5,292
0,000
40,000 + 40,000 + 0,000
0,000
* p<0,05 Berdasarkan tabel 1, tidak terdapat perubahan durasi QRS setelah diberikan perlakuan baik olahraga, sulih hormon maupun kombinasi keduanya demikian juga pada kelompok kontrol. Hal itu menunjukkan bahwa apabila ada perubahan pada durasi interval QT adalah karena perbedaan durasi repolarisasi otot ventrikel jantung bukan disebabkan
perubahan penjalaran impuls listrik jantung. Interval QT sangat dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung, oleh sebab itu untuk menetapkan nilai interval QT harus selalu dikoreksi terhadap denyut jantung. Formula yang sering digunakan untuk memberikan koreksi interval QT adalah rumus Bazett, yaitu Qtc=(QT/RR1/2) yang dimodifikasi untuk tikus menjadi Qtc=QT/(RR/100)1/2 (Smetana et al., 2002). Pada kondisi awal penelitian ini, tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok, baik pada interval QT, interval QTc, interval RR maupun durasi QRS yang menunjukkan bahwa semua kelompok dalam kondisi awal yang serupa. Pada kelompok IV diperoleh hasil adanya perbedaan durasi interval QT antara minggu pertama dengan minggu ke 10, yaitu sebesar 13,750 ms demikian pula QTc tetap ada pemanjangan yaitu sebesar 5 ms (+6%). Perbedaan ini dapat diasumsikan sebagai adanya pemanjangan durasi repolarisasi tikus pascaovariektomi selama 10 minggu secara alami seiring dengan pertambahan usia dan penurunan kadar estrogen. Pada kelompok I setelah berenang selama 10 minggu, interval QT memendek 56,25 ms (44%) dan QTc memendek 20 ms (25%) yang bermakna secara statistik (p<0,05). Apabila dibandingkan antara kelompok IV dengan kelompok I pada minggu ke 10 ternyata keduanya berbeda bermakna (p<0,05) yang berarti perubahan interval QT maupun QTc terjadi akibat perlakuan berenang yang diberikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Genovesi et al (2007) yaitu durasi QTc pada wanita yang melakukan olahraga teratur lebih pendek dibandingkan dengan yang tidak berolahraga. Kelompok II yang diberi perlakuan terapi sulih estrogen, mengalami pemendekan interval QT dan QTc sebesar 1 ms (0,8%) yang tidak bermakna secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasca ovariektomi yang seharusnya terjadi pemanjangan interval QT dan QTc seperti kelompok kontrol tidak terjadi pada kelompok ini. Namun pemberian hormon estrogen selama 10 minggu belum dapat memendekan interval QT dan QTc seperti pada perlakuan olahraga. Walaupun tidak terjadi pemendekan namun juga tidak terjadi pemanjangan sehingga pemberian terapi sulih estrogen pun berpotensi untuk mengurangi risiko aritmia. Hasil ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok I dan II yang berarti perbedaan perlakuan yang diberikan menyebabkan perbedaan hasil. Hasil
ini
tidak sesuai dengan pendapat Malloy dan Babinski (1999) yang mengatakan tidak ada
perbedaaan bermakna antara pemberian HRT dengan plasebo sebagai pencegahan aritmia pada pascamenopause. Demikian pula dengan penelitian Hara (1998) yang melaporkan bahwa estrogen pada HRT tidak mempengaruhi durasi repolarisasi ventrikel jantung pascamenopause namun memendekan durasi potensial aksi di otot papilaris. Berbeda dengan Vrotevec et al (2001) setelah 10 minggu pemberian HRT pada pascamenopause terjadi pemendekkan repolarisasi ventrikel tanpa mempengaruhi tonus saraf otonom. Kemungkinan estrogen yang ada di dalam HRT yang menyebabkan terjadi pemendekan interval QTc. Kelompok III diberikan kombinasi antara sulih estrogen dan olahraga. Pada kelompok ini durasi interval QT terjadi pemanjangan 3 ms (2,7%) yang tidak bermakna secara statistik, namun setelah dikoreksi terhadap denyut jantung tidak terjadi perubahan durasi. Pemendekan interval QTc antara minggu pertama dengan minggu ke 10 hanya 0,45 ms (0,4%). Perbedaaan interval QT awal dan akhir disebabkan karena perbedaan interval RR yang melambat 7,5 ms. Hasil penelitian pada kelompok kombinasi ini menunjukkan bahwa dengan kombinasi sulih estrogen-olahraga masih belum dapat memendekan durasi repolarisasi, namun dapat melambatkan frekuensi denyut jantung. Ketika dibandingkan dengan kelompok I dan IV terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik, berarti bahwa perbedaan perlakuan memberikan hasil yang berbeda. Interval RR pada kelompok kombinasi ini mengalami pemendekan durasi yang berarti mengalami perlambatan panjang siklus sinus yang mencerminkan perlambatan frekuensi denyut jantung. Perlambatan frekuensi denyut jantung menunjukkan adanya perbaikan kemampuan dan efektifitas kerja pompa ventrikel kiri. Penurunan frekuensi denyut jantung akan diikuti oleh peningkatakan jumlah stroke volume agar kebutuhan sirkulasi tetap dapat terpenuhi. Menurut Hayes (2006), pada tahun 2004 American Heart Association (AHA) mengeluarkan petunjuk pencegahan penyakit jantung pada wanita yang disusun berdasarkan bukti (evidence-based). Rekomendasi yang diberikan meliputi intervensi gaya hidup dan obat-obatan untuk pencegahan penyakit jantung dan stroke. Intervensi gaya hidup yang dapat dilakukan adalah berhenti merokok, latihan fisik, diet sehat dan mempertahankan berat badan.
Pemendekan interval QT setelah berolahraga kemungkinan disebabkan peningkatan kontrol parasimpatis terhadap fungsi jantung yang bertujuan sebagai efek antiaritmia. Menurut Billman (2002) olahraga tipe endurance, termasuk berenang, sangat baik untuk mengubah keseimbangan saraf otonom. Olahraga tipe ini akan meningkatkan tonus parasimpatis dan menurunkan tonus simpatis. Meskipun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa selama olahraga akan terjadi kenaikan aktivitas simpatis dan peningkatan kateolamin serta penurunan aktivitas parasimpatis. Setelah masa pemulihan akan terjadi hal sebaliknya yaitu adanya dominasi parasimpatis yang akan mengembalikan ke kondisi semula (Sundaram et al. 2008). Selain akibat perubahan dominasi saraf otonom, pemendekan durasi repolarisasi juga dapat disebabkan oleh mekanisme kontrol yang lain, yaitu melalui mekanisme hormonal. Hal ini disebabkan pengaturan homeostasis tubuh selalu dikendalikan oleh kedua sistem yaitu sistem saraf dan sistem endokrin, melalui aktivitas hormon. Perbedaan keduanya adalah waktu mulai bekerja dan durasi waktu bekerja. Sistem saraf segera bekerja namun berlangsung singkat, sedangkan sistem endokrin waktu yang dibutuhkan untuk bekerja lebih lambat tetapi waktu bekerja panjang. Perlakuan berenang yang diberikan tergolong perlakuan kronik, yaitu selama 10 minggu. Perlakuan ini kemungkinan dapat mengaktifkan kerja sistem endokrin khususnya estrogen di otot jantung, yaitu terjadi peristiwa aromatisasi ekstragonadal di otot jantung yang menyebabkan kenaikan kadar hormon estrogen jaringan yang langsung digunakan oleh otot jantung saat itu juga. Hormon estrogen dapat bekerja secara langsung pada otot jantung melalui reseptor alfa dan beta yang ada di otot jantung. Selain itu hormon estrogen dapat mengaktifkan saluran ion Kalium, baik densitas reseptor maupun aktivitas saluran ionnya. Demikian juga hormon estrogen dapat mengaktifkan saluran ion Kalsium sebagaimana ion Kalium. Selain itu olahraga teratur juga menurunkan perbedaan regional pada repolarisasi otot ventrikel, sehingga irama denyut jantung lebih seragam di seluruh area otot ventrikel. Olahraga teratur juga menstabilkan aliran listrik jantung sehungga mencegah aritmia maligna saat terjadi iskemia miokardium (Billman, 2002). Pada pemanjangan interval QT karena mutasi gena pun olahraga teratur juga bermanfaat (Perhonen et al. cit. Genovesi et al, 2007).
Kombinasi sulih estrogen dengan olahraga ternyata tidak lebih baik dibanding perlakuan olahraga saja. Salah satu kemungkinan adalah pada tikus yang diberikan HRT dengan dosis suprafisiologis akan memberikan umpan balik negatif pada proses aromatisasi ekstragonadal sehingga tidak terjadi pembentukan estrogen dalam jaringan. KESIMPULAN Berenang secara teratur 1 jam, 5x/minggu selama 10 minggu dapat memendekan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. Pemberian terapi sulih estrogen pada tikus yang diovariektomi dapat mencegah pemanjangan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. Kombinasi berenang dan terapi sulih estrogen dapat mencegah pemanjangan durasi repolarisasi otot jantung tikus yang diovariektomi. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian dilaksanakan dengan biaya dari Dana Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM tahun anggaran 2007-2008. Terimakasih diucapkan kepada Agnilia, Aike dan Rahimi yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data. DAFTAR PUSTAKA Agustiningsih, D. 2006. Pengaruh olahraga teratur dan terukur terhadap kadar hormon estrogen wanita pascamenopause. MIFI 5(3):123-134. Genovesi S, Zaccaria D, Rossi E, Valsecchi MG, Stella A and Stramba-Badiale M. 2007. Effect of exercise training on heart rate and QT interval in healthy young individuals: are there gender differences? Europace 9(1):55-60 Trepanier-Boulay V, S.T Michel C, Tremblay A and Fiset C. 2001.Gender-based differences in cardiac repolarization in mouse ventricle. Circ res 89:437-47. Cartoni R, Leger B, Hock MB, Praz, M, Crettenand A, Pich S, 2005. Mitofusins ½ and ERRalpha expression are increased in human skeletal muscle after physical exercise. J Physiol 567(Pt 1):349-58. Hara M, Danilo Jr P and Rosen MR. 1998. Effects of gonadal steroids on ventricular repolarization and on the response to E40311. JPET 285 (3): 1068-72. Korte T, Fuchs M, Arkudas A, Geertz S, Meyer R, Gardiwal A. 2005. Female mice lacking estrogen receptor display prolonged ventricular repolarization and reduced ventricular automaticity after myocardial infarction. Circulation 111:2282-90. Malloy KJ and Babinski A. 1999. Cardiovascular disease and arrhythmias: Unique risks in women. JGSM 2(1):37-44. Wiik A, Gustafson T, Esbjornsson M, Johansson O, Ekman M, Sundberg CJ. 2005. Expression of estrogen receptor alpha and beta is higher in skeletal muscle of highly endurance-trained than of moderately active men. Acta physiol scand 184(2):105-12. Wolbrette D, Naccarelli G, Curtis A, Lehmann M, Kadish A. 2002. Gender differences in arrythmias. Clin. Cardiol 25;49-56. Sundaram S, Carnethom M, Polito K, Kadis AH and Goldberger JJ. 2008. Autonomic effects on QT-RR interval dynamics after exercise. Am J Physiol Heart Circ Physiol
294:H490-97. Yalcin O, Bor-Kucukatay M, Senturk UK and Baskurt OK. 2000. Effects of swimming exercise on red blood cell rheology in trained and untrained rats. J Appl Physiol 88: 2074–2080. Hayes SN. 2006. Peventing Cardiovascular disease in Women. Am Fam Physician 74:13340. London B.2004. Mouse models of cardiac arrhythmias. In: Zipes DP and Jalife J. Cardiac electrophysiology from cell to bedside 4th ed. Saunders, Pennsylvania. Mitchell GF, JEron A and Koren G. 1998. Measurement of heart rate and QT interval in the conscious mouse. Am J Physiol (Heart Circ Physiol) 271(43):H747-751 Philp KL, Hussain M, Byrne NF, Diver MJ, Hart G and Cooker SJ. 2006. Greater antiarrhythmic activity of acute 17 beta estradiol in female than male anaesthezided rats: correlation with Ca2+ channel blockade. Br J Pharmacol 149(3):233-242. Paterson DJ. 1996. Antiarrhythmic mechanisms during exercise. J Appl Physiol 80(6):1853-1862. Billman GE. 2002. Aerobic exercise conditioning: a non-pharmacological anti-arrhythmic intervention. J Appl Physiol 92:446-454. Davey P. 1999. A new physiological methods for heart rate correction of the QT interval. Heart 82:183-186. Vrotevec B, Starc V and Meden-Vrotevec H. 2001. The effect of estrogen replacement therapy on ventricular repolarization dynamics in healthy postmenopausal women. J electrocardiol 34(4):277-283. Smetana P, Batchvarov VN, Hnatkova K, Camm J and Malik M. 2002. Sex differences in repolarization homogeneity and its circadian pattern. Am J Physiol Heart Circ Physiol 282:H1889-1897.