DEMOKRASI ELEKTORAL (Bagian II)
Sistem dan Perbandingan Pemerintahan
PiPit R. KaRtawidjaja M. Faishal aMinuddin
DEMOKRASI ELEKTORAL (Bagian II)
Sistem dan Perbandingan Pemerintahan Pipit R. Kartawidjaja M. Faishal Aminuddin Terbit pertama kali pada Februari 2015 Penerbit Sindikasi Indonesia Gedung Jatim Expo International Jl. Ahmad Yani No. 99 Kav. 5, Surabaya ©Sindikasi Indonesia, 2015 Editor: Fajar Ramadlan Penata Sampul: Kalam Jauhari Penata Isi: Mindiptono Akbar
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Kartawidjaja, Pipit R. dan M. Faishal Aminuddin DEMOKRASI ELEKTORAL (Bagian II): Sistem dan Perbandingan Pemerintahan/Pipit R. Kartawidjaja dan M. Faishal Aminuddin — Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2015. x, 224 hlm.; 15,5 x 24 cm ISBN 978-602-70459-0-3 ISBN 978-602-70459-1-0
Daftar Isi
Daftar Isi Kata Pengantar
-v - vii
Bab I Pendahuluan
-1
Bab II Parlemen
-7
1. 2. 3. 4.
Legislatif dan Parlemen Legislator Antara Trustee dan Delegate Cara Pemilihan Calon Legislator Parlemen: Jumlah anggota Majelis Pertama (Dewan Perwakilan Rakyat) 5. Fraksi Parlemen
Bab III Sistem Parlementer 1. 2. 3. 4.
- 58 - 100
- 109
Sistem Westminster Lembaga-Lembaga Negara Sistem Pemilihan Umum Perkembangan Sistem Parlementer
- 109 - 111 - 120 - 122
Bab IV Sistem Presidensial 1. 2. 3. 4. 5.
-7 - 41 - 55
- 131
Munculnya Presidensialisme Amerika Serikat Peranan Lembaga-Lembaga Negara Problem Sistem Presidensialisme AS Sistem Presidensial Amerika Latin Pembagian Kekuasaan Presidensialisme Amerika Latin
- 131 - 135 - 150 - 151 - 155
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l v
Bab V Quasi dan Semi Presidensial
- 181
1. Munculnya Semi-presidensialisme Perancis 2. Pelaksanaan Semi Presidensialisme Perancis 3. Modifikasi dan Munculnya Sistem Quasi Presidensialisme dan Semi-Presidensialisme
- 181 - 190 - 202
Daftar Pustaka
- 213
Tentang Penulis
- 219
Daftar Tabel
Tabel 1.
Pembagian Senator Grup Berbahasa Belanda dan Perancis - 13
Tabel 2.
Sistem Pemilihan Umum untuk DPR dan Senat di Amerika Latin
Tabel 3.
Indeks Disproporsionalitas DPR dan Senat di Amerika Latin - 19
Tabel 4.
Muasal Pengesahan RUU di Amerika Latin
Tabel 5.
Persentase Keterpilihan Anggota DPR
Tabel 6.
Dukungan Kinerja Legislator Amerika Latin (Data Tahun 2000)
Tabel 7.
Jumlah Rata-Rata Komisi dan Anggotanya
- 26
- 28
serta Kementerian di Beberapa Negara Barat (1970-1999) Tabel 8.
- 36
- 37
Pembagian Kursi dengan Metoda Divisor d'Hondt
Tabel 10. Persebaran Komisi
- 39
- 40
Tabel 11. Masa Jabatan Legislator di Amerika Latin
- 42
Tabel 12. Simulasi Sistem Proporsional Daftar Terbuka Suara Terbanyak vi l
- 33
Perbandingan Jumlah Kementerian dan Komisi Parlemen di Amerika Latin
Tabel 9.
- 15
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
- 46
Tabel 13. Proporsi Keterwakilan Perempuan di Parlemen Uni- dan Bikameral Amerika Latin 2014
- 51
Tabel 14. Peranan Sistem Pemilihan Umum Terhadap Representasi Perempuan di Parlemen di Dunia
- 53
Tabel 15. Cara Pemilihan Legislator di Beberapa Negara Tabel 16.
- 55
Penghitungan Proporsi jumlah Penduduk dan Jumlah Legislator
Tabel 17. Penghitungan Jumlah Legislator di Amerika Serikat Tabel 18. Jumlah Penghitungan Legislator di Indonesia
- 59 - 60
- 61
Tabel 19. Beberapa Alokasi House of Representatives Amerika Serikat Tabel 20. Perubahan Kursi 2010 Terhadap 2000
- 64
Table 21. Alokasi Kursi DPR Indonesia 2014
- 67
Tabel 22. Alokasi Kursi DPR 2014 Jawa Barat
- 71
Tabel 23. Perhitungan Ulang Alokasi Kursi DPRD Jawa Barat Tabel 24. Proporsionalitas
- 64
- 72
- 73
Tabel 25. Penghitungan Alokasi Kursi DPRD Jawa Barat dengan LHI
- 76
Tabel 26. Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat Berdasar UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif
- 78
Tabel 27. Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat Seharusnya
- 79
Tabel 28. Alokasi Ulang Jumlah Kursi di Daerah Pemilihan Jatim VI
- 80
Tabel 29. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI
- 80
Tabel 30. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Blitar)
- 81
Tabel 31. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Blitar)
- 82
Tabel 32. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI
- 82
Tabel 33. Alokasi Kursi Provinsi Jawa Barat
- 83
Tabel 34. Daerah-daerah Pemilihan Anak Emas dan Anak Tiri dalam Provinsi Saat Pemilu DPR 2014 yang Diabsahkan oleh Mahkamah Konstitusi
- 84
Tabel 35. Hasil Perkawinan Malapportionment antara Kota dengan Pedalaman serta Gerrymandering dalam Sistem Mayoritan Multak Republik ke V Perancis (Pemilu 1958-1981)
- 90
Tabel 36. Gerrymandering dalam Pemilu DPR AS Tahun 2004 di Daerah Pemilihan Connecticut
- 90
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l vii
Tabel 37. Ambang Terselubung dalam Pemilu 2014 Indonesia
- 93
Tabel 38. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur I
- 96
Tabel 39. Jumlah Kursi/Mandat dalam Satu Daerah Pemilihan Tabel 40. Rice Indeks
- 98
- 102
Tabel 41. Kekompakan Fraksi Pemerintahan KIB II
- 103
Tabel 42. Kekompakan Fraksi dalam Parlementarisme dan Presidensialisme - 103 Tabel 43. Kekompakan Fraksi dalam Presidensialisme Amerika Latin Tabel 44. Hubungan Parlemen dan Pemerintah
- 106
Tabel 45. Perolehan Suara dan Kursi DPR Inggris Raya 2010 Tabel 46. Hasil Pemilihan Presiden 2012
- 121
- 136
Tabel 47. Presiden Terpilih Tanpa Mayoritas Popular Vote Tabel 48. Alokasi Kursi DPR Amerika Serikat 1970 s.d. 2010
- 136 - 143
Tabel 49. Kekuasaan Presiden di dalam Presidensialisme Amerika Latin
- 156
Tabel 50. Perbandingan Kekuasaan Presiden-Presiden Amerika Latin dan Amerika Serikat
- 159
Tabel 51. Oposisi dan Partai Presiden di Amerika Latin 1978-2004
- 164
Tabel 52. Basis Politik Pemerintah dalam Presidensialisme Amerika Latin
- 165
Table 53. Hasil Pemilu Legislative Chile 2013
- 169
Tabel 54. Kabinet Presidensial di Brazil 1985-1998
- 171
Tabel 55. Perbandingan Strategi Pembentukan Pemerintahan Tabel 56. Strategi Parlementarisasi Presidensialisme di Amerika Latin
- 174
Table 57. ENPP dalam Kursi di Majelis Rendah
- 175
Tabel 58. Evolusi Sistem Pemerintahan Perancis
- 183
Tabel 59. Koalisi Partai Dalam Dewan Perwakilan Rakyat Perancis Hasil Pemilu 2012
- 197
Tabel 60. Komposisi Kelompok Politik di Senat 2013
viii l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
- 199
- 173
- 104
BAB II
Parlemen
1. LEgISLATIF DAn PARLEMEn Dalam pembahasan tentang keberadaan parlemen dan legislatif seringkali terjadi tumpang tindih pemahaman. Ada hal yang perlu diperjelas dalam kategori kerja didalam parlemen. Beberapa penyebutan seringkali mempersamakan antara parlemen dan legislatif, yang dalam bahasa Inggrisnya parliament dan legislature. Sekalipun keduanya sama, namun jika diletakkan dalam konteks yang berbeda, akan terlihat kinerja keduanya bisa berlainan. Perbedaan antara legislatif dan parlemen muncul dari perbandingan sistem pemerintahan presidensialisme AS, parlementarisme Inggris dan Jerman. Winfried Steffani1 membedakan tipologi parlemen ke dalam Redeparlament (Parlemen yang Berbicara) atau parliament dan Arbeitsparlament (Parlemen yang Bekerja) atau legislature. Sebutan legislature diberikan kepada konggres di Amerika Serikat (House of Representative atau Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat) dan sebutan parliament diberikan kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di Eropa Barat. Pembedaan ini hendak memperjelas kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem presidensialisme AS dengan kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem parlementarisme Eropa Barat. Di dalam sistem parlementarisme Eropa Barat, parliament dalam pengertian kategori Redeparlement, mayoritas parlemen berfungsi 1
Suzanne S. Schuettemeyer, „Parlamentarische Demokratie: Die Logik der parlamentarischen Demokratie“, Informationen zur politischen Bildung Heft 295, 22/08/2007. Dieter Nohlen/Florian Groetz (Editor), Kleines Lexikon der Politik, Jilid 1145, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn 2011, hal. 421-422. DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 7
untuk mendukung pemerintah yang dibentuknya dalam meloloskan RUU (Rancangan Undang-Undang) serta segenap perencanaan dan persiapan programnya. Sifatnya sangat politis. Parlemen ini merupakan forum terpenting bagi pendapat publik dan menjadi panggung terbesar yang resmi untuk menggelar diskusi politik nasional teraktual. Komisi-komisi dan Panitia-panitia Kerja dalam parlemen berperan hanya sebagai organ pembantu. Forum aksi penentu terletak pada Plenum. Pidato-pidato yang disampakan oleh perwakilan partai di dalam parlemen mempunyai berbagai peranan yang mendasar: pengabsahan keputusan sendiri, kritik terhadap posisi kubu lain, kontrol publik yang efektif, informasi dan pernyataan pendapat serta juga merupakan pendidikan politik. Tujuan utama diskusi dalam Plenum tidaklah untuk saling meyakinkan kubu lain. Pembicaraan jenis meyakinkan itu umumnya berlangsung di tingkat lain dalam kelompokkelompok besar atau kecil atau dalam bentuk-bentuk dan cara-cara lain pula. Pidato-pidato dalam parlemen lebih bertujuan demi pembentukan pendapat publik yang dikonsumsi media massa dan para pemilih. Pidato dalam Plenum berbeda dengan pidato-pidato politis lainnya, karena pidato dalam plenum diutarakan dalam organ negara tertinggi dan terbuka serta dihadiri langsung oleh lawan politik, yang memilki hak untuk membalas pidato tersebut. Di depan konstituen dan publik secara luas, parlemen harus berjuang untuk menjaga citranya karena mereka berbicara mewakili kekuasaan politik. Hal tersebut membuat segenap perdebatan terpusatkan pada perdebatan antara kepala pemerintahan dan pihak oposisi. Di Inggris, Perdana Menteri haruslah anggota parlemen (Member of Parliament). Beberapa pengecualian seperti di Perancis, Belanda, dan Norwegia, dimana legislator haruslah melepaskan mandatnya, bila legislator memangku jabatan di pemerintah. Apa yang dijalankan di Eropa Barat menjadi jelas berbeda dengan sistem presidensialisme Amerika Serikat dimana legislature dipahami sebagai Arbeitsparlament. Di AS, wakil-wakil rakyat tidak bisa menyentuh pemerintah yang menyebabkan mereka harus membangun politik secara mandiri. Wakil-wakil rakyat ini yang bekerja merancang UU dan mengendalikannya lewat proses parlemen. Konggres AS merupakan salah satu prototipe dari legislature. Setiap wakil rakyat, baik di DPR maupun di Senat, merupakan wirausaha politik (political entrepreneurs) yang mandiri. Setiap wakil rakyat dilengkapi oleh sejumlah 8 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
staf pembantu. Dengan bantuan mereka, setiap wakil rakyat dapat mengambil inisiatif merancang UU, mempersiapkan langkah-langkah dan kerja detail dalam komisi-komisi. Komisi-komisi ini merupakan tempat penting guna membangun koalisi-koalisi. Dalam sistem presidensialisme, terdapat aturan tentang inkompatibiltas, yaitu larangan rangkap jabatan antara mandat parlemen dan jabatan pemerintah. Di AS, presiden dilarang menjadi anggota DPR dan Senat. Dalam Redeparlement, plenum berperan utama, sebaliknya dalam Arbeitsparlament, kekuasaan dan pekerjaan beralih ke komisi-komisi. Bukan hanya mengandalkan pada kekuatan membentuk opini publik dari para politisi partai yang menjadi anggota parlemen, melainkan para ahli yang berpengetahuan luas dan mendetail, atau pejabat-pejabat profesional yang mengetahui informasi lengkap. Mereka mempunyai peranan kunci untuk menghasilkan RUU yang baik. Pengaruh kekuasaan setiap legislator tergantung terutama pada posisinya dalam sistem komisi-komisi parlemen. Dari sini terlihat bahwa legislator dalam sistem presidensialisme AS bukanlah pemberi restu kebijakan presiden. Sementara anggota parlemen di Inggris dan Jerman merupakan pemberi restu kebijakan pemerintahannya. Tentu saja, dalam perkembangannya, legislature dan parliament itu bercampur. Parliament lebih mengarah ke legislature. Misalnya, bila semula Bundestag (DPR Jerman) dalam kurun waktu yang panjang hanya berperan sebagai parliament, di mana antara mayoritas dan oposisi secara terbuka saling berdebat beradu mulut, maka titik berat kerja para wakil rakyat beralih kepada efisiensi pembentukan UU dan banyak berfokuskan dalam komisi-komisi kerja.2 Di luar Eropa Barat dan AS, penjelasan yang dikemukakan bisa berbeda. Dalam mencermati lembaga legislatif di Amerika Latin, Nolte dan Krummwiede berpendapat, bahwa pemilahan antara parliament dengan legislature tidak menjelaskan partisipasi wakil-wakil rakyat di sana dalam pembentukan UU. Sebab, agar bisa mendiskusikan atau memperdebatkan, memperbaiki atau menyempurnakan satu RUU dalam Parlemen yang Berbicara atau parliament diperlukan persyaratan
2
Suzanne S. Schuettemeyer, „Die Logik der parlamentarischen Demokratie“, Informationen zur politischen Bildung No. 295, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Bonn, 22/8/2007. Josef Braml, „Politisches System der USA: Konkurrenz und Kontrolle der Machthaber: checks and balances“, Informationen zur politischen Bildung No. 320/2013, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn 12/6/2014 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 9
yang hampir setara dengan dalam Parlemen Yang Bekerja atau legislature.3 Terlepas dari parliament atau legislatur, menurut Walter Bagehot, parlemen memiliki fungsi: (a) “elective function”: Mendukung kepala pemerintah; (b) “expressive function”: Artikulasi preferensi (pilihan) masyarakat; (c) “teaching function”: penyadaran/pendidikan masyarakat; (d) “informing function”: agen (perantara) kepentingan partikuler masyarakat; (e) “legislative function”: pembuatan/pembentukan Undang-Undang.4 Legislatif Uni- dan Bikameralisme Di dalam parlemen atau lembaga legislatif, dikenal istilah unikameral dan bikameral. Secara sederhana, bikameralisme bisa diartikan sebagai desain kelembagaan untuk majelis dua perwakilan. Majelis dua kamar itu terdiri dari majelis pertama (Dewan Perwakilan Rakyat) dan majelis kedua (Senat). Sebutan Senat dipakai di Amerika Utara, di Eropa Barat (Perancis, Belgia, Spanyol dan Italia) serta di Amerika Latin. Di Belanda sebutan majelis kedua adalah Tweede Kamer, sedangkan majelis pertama Eerste Kamer. Majelis kedua juga tidak disebut sebagai Senat di Austria dan Jerman, melainkan Bundesrat, Rajya Sabha di India, Federatsii di Rusia atau House of Lords di Britania Raya.5 Paling tidak, empat alasan pokok yang mendukung keberadaan majelis kedua:6 (a) Elemen pengawas kekuasaan dan pengimbang (checks and balances), agar dalam proses pembuatan undang-undang, dominasi DPR yang berkemungkinan merugikan kaum minoritas dapat di3
4 5
6
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 70. Walter Bagehot, The English Constitution, Second Edition 1873, hal. 118-120, Samuel C. Patterson/Anthony Mughan, Senate and the Theory of Biccameralism, dalam Samuel C. Patterson/Anthony Mughan (Edior), Senates Bicameralism in the Contemporary World, Ohio State University Press, Columbia 1999 (Editor), hal. 1-2. Detlef Nolte/Francisco Sánchez, „Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 8. Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 128. Thomas Gross, „Zwei-Kammer-Parlemente in der Europaeischen Union“, Max-PlanckInstitut fuer auslaendisches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, ZabRV 63 (2003), hal. 46. Bicameralism around the world: position and prospects, http://www.senat.fr/. Samuel C. Patterson/Anthony Mughan, Senate and the Theory of Bicameralism, dalam Samuel C. Patterson dan Anthony Mughan (Edior), Senates Bicameralism in the Contemporary World, Ohio State University Press, Columbia 1999 (Editor), hal. 9-16.
10 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
cegah. Dengan kata lain bikameralisme adalah keniscayaan dari pengertian modern tentang upaya untuk memastikan adanya pemisahan kekuasaan dari masyarakat yang tidak mempunyai basis konstitusional sebelumnya. (b) Peningkatan efisiensi dan perbaikan kualitas pembuatan UU lewat pembagian kerja (dua kali pembahasan atau perestuan dalam dua lembaga yang berbeda), lamanya jabatan dan tingginya persyaratan (misalnya usia) yang dikenakan kepada Senat serta lebih sedikitnya jumlah anggota Senat sehingga lebih mempermudah proses penemuan kesepakatan.7 Singkatnya, bikameralis me muncul sebagai penjamin efisiensi (guarantor of efficiency) atas peranan perwakilan dalam menyempurnakan proses legislatif. (c) Senat berkontribusi menciptakan stabilitas, sebab lebih sulit mengubah status quo dalam sistem legislatif bikameralisme; termasuk juga sebagai penjamin stabilitas dalam transisi demokrasi. (d) Sebagai elemen representasi kepentingan masyarakat majemuk atau kepentingan daerah, terutama di negara-negara federal atau negara-negara yang memiliki/melakukan politik desentralisasi (misalnya otonomi daerah). Karena itu, di Perancis dan Belgia, majelis kedua dikatakan sebagai “chambre de réflexion” (majelis untuk mempertimbangkan/memikirkan) atau di Italia sebagai “raffreddamento” (penyejuk)8 atau di Cile sebagai “cuerpo moderator” (penyejuk).9 Maksud pendirian majelis kedua di AS juga serupa. Sekembalinya dari Perancis, Thomas Jefferson (salah seorang pendiri Amerika Serikat yang absen kala konvensi Konstitusi dan berada di luar jangkauan perpolitikan Amerika Serikat oleh sebab sedang berada dalam misi diplomatik ke Perancis) bertanya kepada George Wahington dalam sebuah percakapan pada saat sarapan bersama, kenapa the founders had created a second house of Congress,
7
8
9
Catatan penulis: umumnya, di negara-negara bersistemkan bikameral, terdapat perbedaan masa jabatan antara kamar/majelis pertama (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan kamar/ majelis kedua (Senat/Dewan Perwakilan Daerah). Misalnya masa jabatan legislator DPR Amerika Serikat 2 tahun, sedangkan Senator 6 tahun. Atau masa jabatan legislator DPR Brazil 4 tahun, sementara Senator 8 tahun. Thomas Gross, „Zwei-Kammer-Parlemente in der Europaeischen Union“. Max-Planck-Institut fuer auslaendisches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, ZaoeRV 63 (2003), hal. 47. Detlef Nolte, Das politische System: Verfassung und Verfassungspraxis. Dalam Peter Imbusch/ Dirk Messner/Detlef Nolte (Editor), Chile heute, Frankfurt am Main 2004, hal 352-353. DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 11
the Senate?. Washington balik bertanya, “Why did you pour your coffee into your saucer?”. Jawab Jefferson: “To cool it”, kata Jefferson. Washington merespon pendek, “we pour legislation into the senatorial saucer to cool it”.10 Di Amerika Latin, sesuai dengan semangat “inquisition republikanistik” gaya Napoleon yang ditiru oleh Simon Bolivar, Senat adalah pouvoir neutre (power/kekuasaan netral), kekuatan keempat, pengimbang dari poder electoral (kekuasaan elektoral/DPR), yang tugasnya mengawasi Undang-Undang dan moral publik.11 Guna mencapai sasaran tersebut, maka cara-cara yang ditempuh bisa berbeda dengan DPR seperti: cara pemilihan, sistem pemilihan, jumlah anggota, besaran daerah pemilihan, masa jabatan, jadwal penyelenggaraan pemilihan dan pergantian anggota.12 Secara historis, majelis kedua lahir di Eropa. Sampai sekarang, dari jenis susunan atau pemilihan anggota majelis kedua di Eropa dapat dibagi ke dalam tiga tipe dasar:13 (a) Representasi Federal, (b) Representasi Teritorial, dan (c) Representasi Sosial. Representasi Federal, yang anggota-anggotanya dipilih: (1) Oleh parlemen negara bagian (setara provinsi) seperti 59 wakil daerah di Austria; (2) Oleh pemerintah negara bagian seperti di Jerman, di mana duduk di dalam majelis kedua adalah pemerintah daerah yang jumlah wakilnya tergantung pada jumlah penduduk daerah, sehingga saat ini duduk di Bundesrat (Dewan Perwakilan Eksekutif Daerah) tercatat 69 orang
10
11
12
13
Samuel C. Patterson/Anthony Mughan, Senate and the Theory of Biccameralism, dalam Samuel C. Patterson/Anthony Mughan (Edior), Senates Bicameralism in the Contemporary World, Ohio State University Press, Columbia 1999 (Editor), hal. 15. Andreas Timmermann, „Simón Bolívar (1783-1830) und die Verfassung der Bolivarischen Republik Venezuela von 1999: eine verfassungsgeschichtliche Bestandsaufnahme“, Verfassung und Recht in Uebersee – Law and Politics in Afrika, Asia and Latin America, Tahun 18 Kuartal I/2005, Hamburg, hal. 84-85 Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 129-130 Thomas Gross, „Zwei-Kammer-Parlemente in der Europaeischen Union“, Max-Planck-Institut fuer auslaendisches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, ZabRV 63 (2003), hal. 36-39. Bundesrat, „Stimmenverteilung – Zusammensetzung des Bundesrates“.
12 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
(3) Secara kombinasi seperti di Belgia:14 Sampai 25 Mei 2014, Senator terdiri dari 40 senator dipilih langsung, 21 senator ditunjuk oleh dewan komunitas, 10 senator yang sudah dipatok dari haknya seperti anak dari raja yang berusia diatas 18 tahun. Prinsipnya, ke 71 Senator ini dibagi ke dalam dua grup bahasa. Yaitu: grup berbahasa Belanda diwakili oleh 41 Senator dan grup berbahasa Perancis diwakili oleh 29 Senator., sedangkan sisanya Senator dari penunjukan berdasarkan haknya. Adapun pembagian Senator grup berbahasa Belanda dan Perancis itu sebagai berikut. Tabel 1. Pembagian Senator Grup Berbahasa Belanda dan Perancis Kelompok berbahasa Belanda (41 senator): đƫ 25 senator, dipilih secara langsung oleh electoral college di wilayah berbahasa Belanda. đƫ 10 senator ditunjuk oleh Dewan Flemish. đƫ 6 senator diambil dari kedua kelompok (Belanda dan Flemish)
Kelompok berbahasa Perancis (29 senator): đƫ 15 senator dipilih secara langsung oleh Electoral College diwilayah berbahasa Perancis. đƫ 10 senator ditunjuk oleh Dewan Komunitas Perancis. Termasuk didalamnya Komunitas Jerman yang međƫ nyumbang seorang senator. đƫ 4 senator diambil dari kedua kelompok (Perancis dan Jerman)
Sejak 25 Mei 2014 jumlah Senator turun menjadi 60, terbagi ke dalam Senator yang diangkat dan Senator Kooptasi. Perinciannya. 50 Senator diangkat/ditetapkan oleh parlemen-parlemen komunitas bahasa (29 dari Vlaams Parlement, 10 dari Parlement de la Communauté française, 8 dari Parlement Wallon, 2 dari Parlement de la Région de Bruxelles-Capitale dan 1 dari Parlament der Deutschsprachigen Gemeinschaft) dan 10 Senator adalah Senator Kooptasi (4 pilihan Senator komunitas bahasa Perancis dan 6 pilihan komuntas bahasa Belanda). Representasi Teritorial (selain wilayah, juga badan-badan yang tak termaktubkan dalam wilayah) yang anggota-anggota dipilih: (1) Langsung seperti 315 Senator di Italia, di mana jumlah Senator setiap region (wilayah) tergantung pada jumlah penduduk (minimal 7 Senator, terkecuali 2 Senator untuk wilayah Molise dan 1 Se-
14
Karena uraian Thomas Gross tidak terperinci, maka tentang Senat Belgia dikutip dari Situs resmi Senat Belgia (The composition of Senate, http://www.senate.be/english/SenateCompoEN.html. Der belgische Senat, Die Zusammensetzug des Senates, http://senate.be/deutsch/ index.html)
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 13
nator untuk Lembah Aosta), kemudian ditambah 5 Senator seumur hidup yang diangkat oleh Presiden; (2) Tidak langsung seperti di Perancis, di mana 321 Senator dipilih oleh Dewan Pemilih yang anggotanya terdiri legislator DPR, DPRD Departemen, DPRD Region, DPRD komunal; (3) Secara campuran seperti 259 Senator di Spanyol, dimana 208 Senator dipilih langsung di setiap provinsi berwakilkan 4 Senator dan 51 Senator dipilih oleh parlemen daerah-daerah otonom, dengan jumlah Senator tiap daerah tergantung pada jumlah penduduk. Representasi Sosial yang diwakili: (1) Kaum bangsawan seperti di House of Lords Britania Raya yang berjumlah 778 orang (data tahun 2014) yang terdiri dari Lords Temporal dan Lords Spritual. (2) Kelompok profesi seperti di Irlandia, di mana 60 Senator berasal dari kelompok budaya, pertanian, karyawan/pegawai, industri/ perdagangan dan birokrasi publik/negara serta lembaga-lembaga sosial, yang dipilih oleh Dewan Pemilih yang anggota-anggotanya terdiri dari anggota DPR, para Senator yang masih menjabat serta wakil-wakil dewan counties (kabupaten) dan kota serta Universitas. Dalam perkembangannya kemudian, Senat di Amerika Serikat merupakan representan kepentingan federal (negara bagian), di mana setiap negara bagian (setara provinsi), tidak tergantung pada jumlah penduduk, mengirimkan 2 Senator. Berdasarkan data 1996-2001, di 8 dari 16 negara Amerika Latin, berparlemenkan bikameralisme yaitu Argentina, Bolivia, Brazil, Cile, Kolumbia, Republik Dominika, Meksiko, Paraguay. Seperti halnya di Amerika Serikat, para wakilnya umumnya representan wilayah. Pengecualian di Argentina, Bolivia dan Meksiko (selain representan wilayah terdapat Senator wakil kelompok minoritas), di Cile (sebagian Senatornya diangkat) dan di Uruguay (Senator adalah wakil penduduk secara nasional dan Legislator DPR merupakan wakil penduduk daerah pemilihan).15 Seusai runtuhnya rezim komu-
15
Detlef Nolte/Francisco Sánchez, “Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German
14 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
nis, di Rusia, majelis kedua, Soviet Federatsii (Federal Council atau Dewan Perwakilan Daerah) beranggotakan masing-masing seorang wakil eksekutif dan legislatif subyek federasi. Sistem pemilihan Senator di Amerika Latin beragam, yang kadangkadang berbeda dengan sistem pemilihan DPR: sistem mayoritas sederhana atau kerap disebut plurality (Brazil, Republik Dominika), mayoritas sederhana dengan keterwakilan minoritas (Argentina dan Bolivia), proporsional (Kolumbia, Paraguay dan Uruguay), campuran jenis segmentaris (Meksiko) dan Binominal (Cile). Sedangkan sistem pemilihan untuk majelis pertama (DPR) umumnya proporsional (closed list atau open list suara terbanyak), terkecuali di Meksiko (campuran jenis segmentaris) dan Cile ( Binominal).16 Tabel 2. Sistem Pemilihan Umum untuk DPR dan Senat di Amerika Latin Sistem Pemilihan Negara
DPR
Senat
Besaran Daerah Jumlah Masa Pemilihan Anggota Jabatan Senat DPR (wakil per DPR Senat DPR Senat provinsi)
plurality dengan 2-25 3 257 72 4 8 a) representasi minoritas plurality campuran jenis dengan 1 (nasional) Bolivia personalized 3 130 27 5 5 representasi dan 8-31 proportional minoritas prop. Open Brazil list suara plurality 8-70 1 atau 2 513 81 4 8 b) terbanyak Cile Binominal *) Binominal *) 2 2 120 48 c) 4 8 campuran jenis segmentaris 1 (nasional) 3 dan campuran jenis 500 128 3 6 Meksiko dengan dan 200 32 d) segmentaris representasi minoritas 5 5 Uruguay Prop. closed list prop. Closed list 2-45 30 99 31 e) Penjelasan: Penggunaan istilah sistem pemilu (pemilihan umum): plurality digunakan umumnya untuk mayoritas sederhana, closed list sengaja dibiarkan aslinya, sebab closed list itu bukan hanya daftar tertutup seperti yang dipahami di Indonesia, melainkan daftar tetap (Starre Liste) seperti di Jerman (artinya, di samping nama partai, tercantumkan juga susunan calon legislator dan tidak boleh dirubah sama sekali ). *) Sistem pemilihan Binominal adalah sistem pemilu yang besaran daerah pemilihannya (district magnitude) berkursi 2. Partai terkuat hanya berhak memperoleh kursi kedua, jika porsi suaranya duakali lipat partai terkuat kedua. Argentina
16
Prop. closed list
Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 7. Ibid, hal. 9-10 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 15
a) Argentina: Separuh anggota DPR dipilih tiap 2 tahun; sepertiga anggota Senat dipilih tiap 2 tahun b) Brazil: pemilihan Senat tiap 4 tahun, namun akibat setiap provinsi mengirimkan 3 wakil, maka tiap 4 tahun sepertiga anggota Senat dan dua pertiganya sisanya dipilih 4 tahun kemudian c) Cile: termasuk 10 non-elected Senator, separuh anggota Senat dipilih tiap 4 tahun d) Meksiko: setiap provinsi mengirimkan 3 Senator ditambah 32 Senator wakil minoritas; separuh Senator dipilih tiap 3 tahun e) Uruguay: Wakil Presiden sekaligus merangkap menjadi anggota Senat dan memiliki hak suara, 30 Senator dipilih secara nasional dalam satu daerah pemilihan Dirangkum dari: Detlef Nolte/Francisco Sánchez, „Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 10. Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 130-131. Dieter Nohlen, Wahrecht und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, hal. 258-260
Kewenangan Majelis Kedua di Eropa Barat17 (a) Berkedudukan Sama Dengan Majelis Pertama Pembentukan UU dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Senat, yang berarti kedua majelis harus menyetujuinya seperti di Italia dan di Belanda. Hanya saja, DPR Belanda tidak dapat mengubah UU, kewenangannya terbatas pada menyetujui atau menolak UU produk majelis kedua. Di Belgia, Perancis, Italia, Jerman, Belanda, Italia atau Spanyol, kedua majelis harus memberikan persetujuan dalam hal perubahan Undang Undang Dasar. Yang berbeda adalah sahnya keputusan: misalnya di Austria dan Jerman diperlukan 2/3 suara mayoritas atau di Spanyol 3/5 suara mayoritas masing-masing majelis sedangkan di Perancis diperlukan 3/5 suara parlemen (DPR dan Senat). Persamaan hak kedua majelis berlaku untuk memutuskan Budget (Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara) berlaku di Italia, Spanyol atau Belanda. Dalam hal pembentukan pemerintah, hanya di Italia yang perlu persetujuan kedua majelis. Majelis kedua juga bisa mempunyai hak untuk (a) mengangkat separuh hakim Mahkamah Konstitusi seperti di Jerman (b) bersama dengan majelis pertama mengang17
Thomas Gross, „Zwei-Kammer-Parlemente in der Europaeischen Union“, Max-Planck-Institut fuer auslaendisches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, ZaoeRV 63 (2003), hal. 40-45. Situs resmi Senat Perancis membagi kekuasaan Senat ke dalam (1) Legislative powers (the model of egalitarian dan non-egalitarian bicameralism), (2) Extra-legislative powers (Senates as guarantors of institutional stability yang terdiri atas Senates as constitutional guarantors, powers of appointment of state officials, the judicial powers of Senates dan scrutiny of government policy) dalam “Bicameralism Around The World”, http://www.senat.fr/
16 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
kat sepertiga hakim Mahkamah Konstitusi seperti di Italia, (c) mengusulkan pengangkatan sepertiga hakim Mahkamah Konstitusi setelah disepakati 3/5 suara mayoritas kepada Raja seperti di Spanyol. (b) Dominasi Majelis Pertama (DPR) Dalam hal pembentukan UU, majelis kedua Belgia hanya mempunyai kewenangan sama dengan DPR yang menyangkut urusan daerah, selebihnya usulan perubahan UU dapat ditolak oleh majelis pertama. Kendati Senat di Perancis berkewenangan sama dengan DPR, namun apabila tidak terjadi kesepakatan, DPR menjadi pemutusnya. Di Inggris, majelis kedua hanya dapat menurunkan veto suspensif terhadap UU produk majelis pertama selama maksimal satu tahun. Menyangkut perubahan UUD, veto suspensif juga hanya dapat dilakukan oleh Senat Irlandia, dengan tambahan bahwa referendum berkewajiban untuk diselenggarakan. Dalam hal Budget, pemutusnya hanya DPR (a) seperti di Austria, (b) majelis kedua hanya diminta pendapatnya seperti di Jerman, (c) dengan suara mayoritas untuk menggugurkan penolakan Senat seperti di Perancis, (d) hanya dapat mengajukan saran seperti di Irlandia; (e) apabila tidak disepakati oleh majelis kedua, UU Tentang Keuangan hanya dapat tertahan selama satu bulan seperti di Inggeris. Berkaitan dengan pembentukan pemerintah di bikameralisme Eropa, umumnya yang berkewenangan hanyalah DPR. Tidak memiliki kewenangan memilih hakim-hakim lembaga Yudikatif itu misalnya Senat Irlandia. Supreme Court di Inggris dijabat oleh hakim-hakim agung yang berasal dari Law Lords yang anggota House of Lords. Kewenangan di Majelis Kedua Amerika Latin18 Di Amerika Latin, umumnya kedua majelis berkewenangan sama dalam hal inisiatif pembuatan UU, yakni diperlukan persetujuan dua majelis sebelum UU disahkan oleh Presiden. Di Paraguay agak berbeda: melalui 2/3 suara mayoritas, satu majelis hanya dapat menggugurkan UU yang disepakati secara mayoritas mutlak oleh majelis lainnya.
18
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 132-135. Pasal 75 ayat 22 UUD Argentina (Verfassungen Argentiniens, www.verfassungen.net. Detlef Nolte, Das politische System: Verfassung und Verfassungspraxis. Dalam Peter Imbusch/Dirk Messner/Detlef Nolte (Editor), Chile heute. Frankfurt am Main 2004, hal 355. DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 17
Dalam hal pemakzulan Presiden (impeachment), umumnya DPR-lah inisatornya, sedangkan Senat pemutusnya, Senat mempunyai hak istimewa dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat tinggi negara (Hakim Tinggi, Hakim Agung, Pejabat militer) dan hubungan internasional. Sebaliknya, urusan Budget dan UU Perpajakan, kewenangan pembahasan pertama umumya di DPR (Kolumbia dan Cile), sedangkan di Argentina, Senat memiliki kewenangan dalam hal alokasi dana pusat ke daerah (Argentina) dan di Brazil DPR dan Senat harus bersidang bersama. Dari pengamatan di Amerika Latin, muncul pertanyaan, dimana kegunaan bikameralisme dalam hal representasi, fungsi pembuatan Undang-undang dan pengawasan? Kuatnya majelis kedua dapat memperkuat fungsi representatif terutama karena menyertakan kepentingan daerah. Majelis kedua dapat memperkuat fungsi pengawasan (jika kedua majelis, tak tergantung satu sama lainnya, mengawasi pemerintah). Kuatnya majelis kedua dapat meningkatkan kinerja proses pembuatan Undang-Undang lewat lamanya dan intensifnya pertimbangan yang didukung alat-alat kelengkapan masing-masing majelis. Dari kewenangan bikameralisme, menurut Krumwiede dan Nolte, bikameralisme di Amerika Latin itu kuat (Argentina dan Cile) dan moderat (misalnya di Brazil, Meksiko, Bolivia dan Uruguay). Dikatakan moderat, misalnya di Meksiko, hanya DPR-lah yang berhak menangani urusan Budget seperti UU APBN (Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara), tapi sebaliknya, cuma Senatlah yang berhak menangani urusan perjanjian internasional. Sementara di Argentina dikatakan kuat, sebab selain merestui UU produk DPR, Senat masih memiliki kewenangan berinisatif membuat UU menyangkut alokasi hasil pajak ke daerah dan memberikan persetujuannya dalam urusan perjanjian internasional. . Kritik Terhadap Bikameralisme Pelaksanaan bikameralisme tidak lepas dari kritik yang bisa dikategorikan dalam beberapa argumentasi yaitu: (a) Pengaburan representasi demokratik, (b) Perlambatan pengambilan keputusan (kemungkinan blokade) dan (c) Tingginya ongkos pemeliharaan. Dalam hal “pengaburan representasi demokratik”, di negara-negara Amerika Latin yang menganut bikameralisme ditemukan kesenja18 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
ngan keterwakilan (malapportionment) dan disproporsionalitas sebagai akibat representasi daerah yang mengirimkan sejumlah wakil tertentu dan tidak tergantung pada jumlah penduduk (terkecuali Uruguay), serta mempersulit kaum perempuan duduk di majelis kedua.19 Tabel 3. Indeks Disproporsionalitas DPR dan Senat di Amerika Latin Indeks Disproporsionalitas Negara
Tahun Pemilihan
Loosemore-Hanby-index (LHI)
Least-squares-index (LSq)
DPR
Senat
DPR
Senat
31,16
4,08
11,71
Argentina
2001
9,41
2003
10,44
17,19
2,64
3,10
Brazil
1994
8,47
21,59
3,11
7,82
1998
7,02
34,39
2,30
13,78
2002
6,28
10,46
1,93
4,69
Cile
1993
14,16
22,84
5,49
8,08
1997
14,07
33,99
6,00
13,58
2001
18,83
17,49
7,10
7,64
Meksiko
1994
9,57
23,98
5,18
13,58
1997
8,70
21,66
4,74
12,88
2000
9,44
12,04
4,49
6,28
Uruguay
1994
0,80
3,11
0,54
1,57
1999
0,84
3,24
0,43
2,10
2004 4,14 5,25 1,77 2,18 Detlef Nolte / Francisco Sánchez, “Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 23 Catatan: The Independent Commission on the Voting System United Kingdom observed that “full proportionality ... is generally considered to be achieved as fully as is normally practicable if [LHI%] falls in the range of 4 to 8”. More generously, we might allow LHI under 10 percent to characterise full PR. LHI ranging 10–15 percent could then encompass semi-PR (‘broad PR’); with LHI over 15 percent constituting non-PR (Philip Kestelman, “Apportionment and Proportionality: A Measured View”, Voting matters, Issue 20 June 2005, hal. 15
Dari tiga argumentasi di atas, bikameralisme ditiadakan di Denmark tahun 1953 dan Swedia tahun 1970. Motif penciptaan atau peniadaan bikameralisme di setiap negara berbeda-beda. Di Cile misalnya,
19
Detlef Nolte/Francisco Sánchez, “Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 8 dan 29. DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 19
bikameralisme dimanfaatkan buat mempersulit pembentukan mayoritas parlemen yang mengarah ke perubahan status quo. Senat mewakili kepentingan nasional yang kerap tidak diketahui atau diabaikan oleh penilaian mayoritas massa yang cenderung bersiklus naik turun dan mendesak perubahan. Lewat perubahan UUD tahun 1993, penghapusan bikameralisme di Peru dimaksudkan untuk memperkuat posisi Presiden. Hal yang sama dilakukan oleh Venezuela dengan perubahan UUD tahun 1999.20 Dukungan Kinerja Legislator di Amerika Serikat21 Konggres AS terdiri dari DPR dan Senat, merupakan lembaga yang mandiri terhadap Eksekutif. Mereka membutuhkan keahlian yang spe sifik dalam kebijakan publik dengan pelibatan tenaga ahli dan perangkat pendukung lainnya, yang didanai oleh negara. Demi memenuhi tugas resmi dan representasi, setiap periode legislatur (antara 3 Januari sampai dengan 2 Januari tahun depannya), setiap anggota House of Representatives memperoleh tunjangan negara MRA (Member´s Representational Allowance) untuk mendanai personal, kantor dan perangko pos. Jika komponen personal setiap anggota dewan itu setara, maka ongkos kantor dan perangko pos bervariasi — tergantung pada jarak daerah pemilihan dengan kantor di Washington, ongkos luasnya kantor dan jumlah mitra yang memperoleh pos di daerah pemilihannya. Untuk tahun 2011, besar tunjangan MRA setiap anggota House of Representatives tercatat USD 1.446.009. Dari tunjangan tersebut, lebih dari separuh anggota House of Representatives membelanjakan 70 persen anggaran MRA untuk personal (USD 1.273.017). Umumnya, di kantor daerah pemilihannya, dipekerjakan antara 5 s.d. 8 orang tenaga pembantu. Biaya kantor, utamanya di daerah pemilihan, menghabiskan 7% dana MRA (USD 152.784). Dengan persentase yang hampir setara, dibelanjakan buat komunikasi dengan para pemilih seperti biaya cetak dan ongkos perangko (USD 140.888). Biaya perjalanan antara
20
21
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 128-129. Tentang Senat Cile: Detlef Nolte, Das politische System: Verfassung und Verfassungspraxis. Dalam Peter Imbusch/Dirk Messner/Detlef Nolte (Editor), Chile heute. Frankfurt am Main 2004, hal 352 Kurt L. Shell, „Kongress und Praesident“, dalam Willi Paul Adams/Peter Loesche (Editor), „Laenderbericht USA“, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Jilid 357, Bonn 1998, hal. 213-214
20 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
daerah pemilihan dengan Washington DC untuk anggota dewan dan tenaga pembantunya menghabiskan 3,5% dana MRA (USD 61.730).22 Berdasarkan data tahun 2013, setiap anggota House of Representatives rata-rata memiliki 15 s.d. 20 tenaga pembantu. Bahkan beberapa Senator memiliki sampai 100 (seratus) tenaga pembantu23. Menurut peraturan tahun 2013, setiap anggota House of Representatives maksimal boleh merekrut 18 tenaga pembantu. Boleh ditambah dengan 4 tenaga pembantu, asal tenaga pembantu ini tergolong dalam part-time employees; shared emplosees, interns receiving pay; employees on leave without pay; and temporary employees.24 Sesuai peraturan untuk tahun 2014, tenaga pembantu seorang Senator itu tergantung pada jumlah penduduk satu negara bagian (setara provinsi). Per tahunnya, disediakan dana sebesar USD 2.361.820 untuk negara bagian berpendudukan di bawah 5 juta jiwa, dan dana sebesar USD 3.753.614 bagi negara bagian yang merepresentasikan 28 juta jiwa atau lebih 25. Tenaga pembantu tersebut diatas terdiri dari tiga kelompok penting yakni: Legislative Assistants dan Administrative Assistants yang membantu sang anggota dewan di Konggres. Para tenaga ahli berkumpul di kelompok Legislative Assistants. Kelompok ketiga, Case Worker bekerja di daerah pemilihan anggota dewan. Kelompok ketiga ini bertujuan untuk memperkuat hubungan anggota Konggres dengan elite lokal dan massa pemilih.26 Selain Case Worker atau Constituent Services Representative (bergaji rata-rata USD 47.543 per tahun), di kantor di daerah pemilihannya dipekerjakan District Director (bergaji rata-rata USD 92.250 per tahun), Field Representative (bergaji rata-rata USD 42.500 per tahun) dan Staff Assistant (bergaji USD 31.013 per tahun).27 22
23
24
25 26
27
Generalsekretaer des Europaeischen Parlaments, „Aufbau einer Kontinent umfassenden Demokratie: US Kongress, Europaeisches Parlament, Aufgaben und Kosten“, Studie fuer die gemeinsame Arbeitsgruppe des Praesidiums und des Haushaltsausschusses fuer den Haushaltsplan des Europaeischen Parlaments No. PE 504.929, Desember 2012, hal. 80. Ida A. Brudnick, “Members´Representational Allowance: History and Usage”, Congressional Research Service, 25/11/2013. Josef Braml, „Konkurrenz und Kontrolle der Machthaber: checks and balances“, Informationen zur politischen Bildung No. 320/2013, Bundeszentrale fuer politischen Bildung, Bonn, hal. 12, juga aktualisasi 12/6/2014 Ida A. Brudnick, “Members´Representational Allowance: History and Usage”, Congressional Research Service, 7/1/2014, hal. 4 Ibid, hal. 8 Kurt L. Shell, Kongress und Praesident, dalam Willi Paul Adams/Peter Loesche (Editor), Laenderbericht USA, Bundeszentrale fuer politische, Jilid 357, Bonn 1998, hal. 213-214 Generalsekretaer des Europaeischen Parlaments, „Aufbau einer Kontinent umfassenden Demokratie: US Kongress, Europaeisches Parlament, Aufgaben und Kosten“, Studie fuer die geDEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 21
Pertumbuhan jumlah tenaga pembantu yang eksplosif tersebut tentu menimbulkan bahaya penciptaan birokrasi staf dan sekaligus lepas kontrolnya staf birokrasi dari pengamatan anggota dewan. Para tenaga pembantu seringkali mewakili anggota DPR atau Senat dalam perundingan dan konsultasi, bahkan merekayasa kompromi. Mereka juga bisa memberikan informasi terpercaya kepada pers, sehingga legislator acapkali menjadi sandera dari para staf pembantunya. Namun demikian, prinsipnya para tenaga ahli yang bekerja di Kongres harus independen dari eksekutif. Di samping para tenaga ahli yang memang disediakan, Kongres juga didukung oleh para tenaga ahli independen dalam tahapan pralegislasi dan legislasi yang dapat diperoleh dari:28 (a) Congressional Budget Office (CBO) berstafkan 240 orang, yang tugasnya melakukan analisa dan perkiraan dampak dari proporsal anggaran eksekutif (analisa ex-ante) (b) Government Accountability Office (GAO) atau Badan Pemeriksa Keuangan AS, berstafkan 3.300 orang, yang melaporkan analisa dan perkiraan dampak eksekutif, melakukan pemeriksaan independen dan penilaian terhadap keuangan dan efisiensinya serta penilaian terhadap program-program dan segenap kebijaksanaan (termasuk Konggres). Selain itu juga melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan yang penting. (c) Congressional Research Service (CRS) berstafkan 651 orang, bertugas memberikan informasi. Selain itu, dalam tahapan pralegislasi, legislasi dan pengawasan, CSR melakukan investigasi di setiap bidang politik untuk para anggota konggres. (d) Office of the Legislative Counsel (OLC) yang independen dan bertugas menjawab dan membantu komisi serta para anggota Konggres dalam hal merancang Undang-Undang. (e) Parliamentarian adalah pegawai negeri (catatan penulis: yang bukan pegawai pemerintah seperti di Indonesia29), yang membantu
28
29
meinsame Arbeitsgruppe des Praesidiums und des Haushaltsausschusses fuer den Haushaltsplan des Europaeischen Parlaments No. PE 504.929, Desember 2012, hal. 81-82. Der Generalsekraeter, „Parlamentarische Demokratie in Aktion: Uebersicht Vergleichende Studien Europaeisches Parlament mit dem US-Kongress, Deutschen Bundestag, Unterhaus (VK), italienischen Abgeordnetenhaus und der franzoesischen Nationalversammlung“, Europaeisches Parlament, Bruessel, Maret 2013, hal. 21-22. Di dalam Sekretariat Jenderal DPR Indonesia bekerja Pegawai Negeri Sipil, yang diganti menjadi Aparat Sipil Negara (ASN). Pegawai ASN di Indonesia adalah pegawai pemerintah. Da-
22 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
dan memberikan saran tentang proses legislasi dan parlementarisasi secara obyektif kepada para anggota Konggres (d) Clerk adalah pegawai negeri Konggres, bertugas mengerjakan Undang-Undang secara teknis, sebelum Undang-Undang tersebut disampaikan kepada Presiden untuk ditandatangani. (e) Law Revision Counsel, bertugas mengkodifikasi Undang-Undang yang ada dan yang baru. Selain itu bertanggungjawab untuk mengumumkan Undang-Undang dan mengaktualisasi peraturan hukum di Amerika Serikat. Selain sarana dan tenaga pendukung yang besar, tingkat penghasilan anggota House of Representatives Amerika Serikat pun lebih tinggi dibandingkan dengan gaji anggota parlemen Eropa. Sebagai perbandingan, pada tahun 2012, seorang anggota parlemen Eropa mendapatkan penghasilan kotor sebesar 7.957 EUR perbulan ditambah dengan tunjangan 6 tenaga pembantu. Sementara seorang anggota House di AS bergaji USD 14.500 atau setara 11.256 EUR perbulan ditambah 18 s.d. 22 tenaga pembantu. Dari aspek penunjang kinerja legislator di AS, tampak kebutuhan biaya yang sangat besar. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan legislator yang bekerja secara mandiri tanpa banyak ditunjang oleh kinerja dan sumber daya partai. Dukungan Kinerja Anggota Parlemen Jerman30 Terhitung sejak 1 Juli 2014, per bulannya, seorang legislator Bundestag menerima gaji kotor sebesar 8.667 EUR dan mulai 1 Januari 2015 naik menjadi 9.082 EUR. Jika mangkir dalam satu sidang pengambilan keputusan (termasuk sakit), gaji dipotong 20 s.d. 100 EUR per hari.31 Seorang legislator Bundestag, dapat merekrut staf pembantu. Besarnya 16.019 EUR per bulan untuk membiayai gaji kotor segenap
30
31
pat dibaca misalnya dalam Pasal 23 ayat a. UU Aparat Sipil Negara (ASN) No. 5 Tahun 2014, bahwa “Pegawai ASN wajib: a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah“. UU ASN No. 5 Tahun 2014 merupakan pengganti UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sumber data dirujuk dari Deutscher Bundestag, „Aufwandsentschaedigung für die Abgeordneten des Deutschen Bundestages“, http://www.bundestag.de/ Dr. Matthias Miersch (Anggota Bundestag Fraksi Sosialdemokrat), "Glaeserne Abgeordnete", http://www.matthias-miersch.de/bundestag/glaeserner-abgeordneter/
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 23
staf pembantu yang dipekerjakan di ibukota Berlin dan di daerah pemilihan. Dana tersebut termasuk biaya perjalanan para staf pembantu. Tunjangan 16.019 EUR itu tidak disetorkan kepada sang legislator, namun administrasi DPR (Bundestagsverwaltung) yang membayarkannya kepada para staf pembantu sang legislator. Tunjangan ini tidak berlaku jika sang legislator mempekerjakan sanak keluarganya.32 Dengan tunjangan negara itu, maka seorang legislator dapat mempekerjakan di kantornya di Berlin 2 staf ahli dan seorang staf administratif serta 2 staf administratif di kantor di daerah pemilihannya. Adapun ketiga staf administratif tersebut bekerja tidak penuh dengan gaji 25 persen lebih rendah daripada gaji staf administratif secara umum. Jika dana untuk pengupahan para pegawai tidak habis akhir tahun, maka dana tersebut musnah dengan sendirinya.33 Agar dapat memenuhi tugas-tugas resmi dan representasi, negara mendukungnya dengan tunjangan-tunjangan berupa uang dan barang. Untuk kebutuhan kantor di DPR dan di daerah pemilihannya seperti kertas, laptop, fax, buku sesuai tugas, perlengkapan IT atau biaya telepon dan sejenisnya, seorang legislator disediakan dana maksimal 12.000 EUR per tahunnya. Untuk legislator baru, pada tahun pertama dihibahi ekstra 255,65 EUR. Selain itu, seorang legislator menerima tunjangan sebesar 4.204 EUR per bulannya untuk biaya sewa apartemen di Berlin34 dan tentu saja juga memperoleh penggantian perjalanan dinas.35 Berbeda dengan di Amerika Serikat, legislator Jerman dapat mengandalkan bantuan dari partainya di daerah pemilihannya. Agaknya, di sinilah salah satu peranan penting partai yang melembaga. Sebagai lembaga yang mandiri, parlemen idealnya harus steril dari pengaruh dan intervensi lembaga eksekutif. Namun dalam implementasinya, terdapat lembaga yang berada dibawah kontrol eksekutif berada di dalam legislatif sebagai unsur penunjang. Didalam parlemen Jerman, unsur penunjang Bundestag adalah Bundestagsver32
33
34
35
Deutscher Bundestag, "Aufwandsentschaedigung fuer die Abgeordneten des Deutschen Bundestages“, http://www.bundestag.de/bundestag/abgeordnete18/mdb_diaeten Dr. Matthias Miersch (Anggota Bundestag Fraksi Sosialdemokrat), "Glaeserne Abgeordnete", http://www.matthias-miersch.de/bundestag/glaeserner-abgeordneter/ Seperti yang dilakukan oleh Dr. Matthias Miersch (Anggota Bundestag Fraksi Sosialdemokrat) yang berasal dari daerah pemilihan Hannover, berjarak sekitar 300 km dari Berlin (Dr. Matthias Miersch, "Glaeserne Abgeordnete", http://www.matthias-miersch.de/bundestag/glaesernerabgeordneter/ Deutscher Bundestag, "Aufwandsentschaedigung fuer die Abgeordneten des Deutschen Bundestages", http://www.bundestag.de/
24 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
waltung atau adminstrasi/birokrasi negara di DPR yang dipimpin seorang direktur.36 Sang direktur diangkat dan diberhentikan oleh Ketua DPR dan berada di bawahnya langsung. Komposisi Bundestagsverwaltung terdiri atas pegawai negeri sipil (Beamte termasuk polisi DPR) dan pegawai publik (Angestellte) serta pegawai honorer. Khusus untuk yang berstatus pegawai negeri sipil diangkat langsung oleh ketua Bundestag sementara pegawai publik diangkat oleh sekretaris Bundestag. Segenap perincian dan perumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi serta tata kerjanya diatur didalam Pasal 64 dan Pasal 129 Bundesbeamtengesetz (UU Pegawai Negeri Federal). Dengan demikian, didalam tubuh legislatif Jerman, sama sekali tidak berbau eksekutif. Sebagai kontrasnya adalah DPR Indonesia, di mana eksekutif merambah ke legislatif: Birokrasi DPR atau Sekretariat Jenderal DPR adalah aparatur pemerintah (Pasal 1 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Jenderal DPR). Dalam rincian tugas, fungsi, susunan dan tata kerja satuan organisasi misalnya di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR, Sekjen DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara (Pasal 28 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Jenderal DPR). Oleh sebab itu, pimpinan DPR Indonesia pun ganda: Marzuki Alie, Ketua DPR periode 2009-2014, menyatakan, bahwa “Renovasi Gedung DPR Urusan Setjen“ (Sekretariat Jenderal).37 Kinerja Legislatif di Amerika Latin Dalam relasi antara eksekutif dan legislatif, terdapat pembagian kekuasaan yang sudah diatur sedemikian rupa. Jika berangkat dari definisi Max Weber dan Robert Dahl bisa dijelaskan sebagai berikut: “A itu berkuasa atas B sedemikian rupa, sehingga A bisa memerintah B untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan”. Dari pengertian tersebut, maka kekuasaan terbagi ke dalam “Gestaltungsmacht” (Kekuasaan Membentuk) dan “Verhinderungsmacht” (Kekuasaan Mencegah).38 36 37 38
Bundestagsverwaltung setara dengan Sekretariat Jenderal DPR Indonesia Marzukie Alie, "Renovasi Gedung DPR Urusan Setjen", RMOL.CO 11 Januari 2012, Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 98. Agustin Ferraro, „Machtwille und Machtressourcen der lateinamerikanischen Parlamente. Unter besonderer Beruecksichtigung des argentinischen Kongresses, seiner ‚technischen Krise‘ 1999 und der Ereignisse Anfang 2002“, Verfassung und Recht im Uebersee - Law and Politics in Africa, Asia DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 25
Bukan hanya dalam sistem parlemeter, namun dalam sistem presidensialisme Amerika Latin, kekuasaan parlemen umumnya hanya terbatas pada perubahan satu RUU. Menjadi satu kekhasan sistem presidensialisme Amerika Latin, bahwa mayoritas pembentukan/perancangan UU, terutama UU terpenting, umumnya bukan oleh parlemen, melainkan berasal dari Eksekutif. Alhasil Eksekutif menjadi pemilik Kekuasaan Membentuk. Misalnya di Bolivia, Brazil, Cile dan Meksiko, 8 atau 9 dari 10 insiatif pembuatan UU berasal dari eksekutif. Di Argentina separuhnya.39 Dalam dua dasawarsa terakhir, hampir 80 persen segenap legislasi merupakan proporsal eksekutif Brazil40 Sedangkan Kekuasaan Membentuk parlemen umumnya hanyalah kemampuan mengubah RUU produk Eksekutif sesuai dengan keinginannya.41 Tabel 4. Muasal Pengesahan RUU di Amerika Latin Negara
Legislatif
Argentina (1983-1989)
Eksekutif
Dan lain-lain/Yudikatif
52%
Argentina (1983-1995)
46%
Bolivia (1994)
90%
Brazil (1989-1994)
14%
79%
7%
Brazil (1995-1996)
20%
77%
3%
Cile (1990-1993) Cile (1993-1997)
92% 13%
Meksiko (1991-1993)
87% 89%
Dikutip dari: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 99
Kekuasaan Membentuk parlemen bisa disebut terwujudkan, bila parlemen mampu mengubah RUU sesuai dengan kehendaknya. Perubahan atau penambahan yang menyangkut hal tertentu demi memuaskan kepentingan klien-klien atau karena kelompok-kelompok parlemen tertentu berkewajiban terhadap klien-kliennya, tidaklah dapat digolongkan ke dalam Kekuasaan Membentuk. Jika satu parlemen
39
40
41
und Latin America, (Hamburg), Tahun ke 35, Kuartal I/2002, hal. 31-40 Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 98-99 Paul Chaisty/Nic Cheeseman/Timothy Power, “Rethinking the ‘presidentialism debate’: conceptualizing coalitional politics in cross-regional perspective”, Politics and International Relations, Oxford University, Oxford, UK, 24 Aug 2012, hal. 5-6, Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 99-100
26 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
dapat membuktikan dirinya mampu menggunakan Kekuasaan Membentuk, maka parlemen itu telah menjalankan fungsi “ikut memerintah”. Tampaknya, faktor penentu dari Kekuasaan Membentuk adalah eksistensi disiplin fraksi. Kehadirannya memudahkan parlemen yang terdiri dari fraksi-fraksi atau koalisi fraksi-fraksi untuk bisa beraktivitas. Ini merupakan persyaratan kesepakatan grup-grup dalam parlemen untuk bergerak bersama dan memungkinkan pembentukan koalisi-koalisi tetap. Tentu hal ini berbeda dengan parlemen yang memiliki disiplin fraksi yang lemah buat menggerakan bersama para anggota-anggota dewan. Umumnya, disiplin fraksi dinilai sebagai ressource kekuasaan eksekutif. Tapi, jika disiplin fraksi itu independen (tidak tergantung pada pemerintah), maka disiplin fraksi dapat dikelompokkan kedalam bagian kekuasaan legislatif. Lebih lanjut perlu disimak bahwa dalam parlemen berdisiplin fraksi itu biasanya fraksi-fraksi pemerintah yang memiliki Kekuasaan Membentuk, sementara Kekuasaan Membentuk kubu opisisi biasanya lemah. Tentu saja, persyaratan kuatnya Kekuasaan Membentuk fraksifraksi pemerintahan adalah ketidaktergantungannya pada eksekutif. Fraksi-fraksi pemerintah yang buta tunduk pada eksekutif seperti di Peru di bawah Presiden Alberto Fujimori, telah menyerahkan secara sukarela Kekuasaan Membentuk tersebut. Umumnya, politisi amatir tidak bisa menggunakan Kekuasaan Membentuk. Kekhusuan ini biasanya dimiliki oleh politisi profesional. Politisi ini biasanya dibentuk oleh pengalaman duduk didalam parlemen dalam waktu yang lama atau berpengalaman menduduki jabatan publik. Keahlian ini dapatlah dipahami juga sebagai sumber kekuasan dari Kekuasaan Membentuk.42 Di Jerman misalnya, sejak tahun 1970, sekitar 80 persen anggota DPR terpilih kembali. Duapertiganya terpilih dua kali berturut-turut. Separuhnya tiga kali berturut-turut. Hampir 25 persen, sudah sejak tahun 1969 duduk di Bundestag (DPR Jerman), dengan catatan penelitian dibuat tahun 1999.43 Ini tentu berbeda dengan legislator di beberapa negara Amerika Latin yang tingkat keterpilihannya rendah. Di Argentina, antara tahun 1993 s.d. 1995, hanya 20 persen legislator terpilih kembali. Di Brazil
42
43
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte: Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde – Hamburg 2000, hal. 100 Ibid, hal. 118 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 27
tahun 1994 cukup tinggi, yaitu 64 persen. Di Meksiko, sejak 1993 anggota DPR tidak boleh dipilih kembali secara berturut-turut. Maksudnya untuk memperkuat kedudukan Presiden. Ketika penelitian dilakukan tahun 2000, Meksiko merencanakan untuk mengubah ketentuan larangan dipilihnya kembali anggota DPR secara berturut-turut.44 Rendahnya keterpilihan kembali para legislator tersebut masih berlangsung sampai tahun 2008.45 Tabel 5. Persentase Keterpilihan Anggota DPR Persentase terpilihnya legislator DPR - Pertengahan tahun 1990an Argentina
1993-1995
20%
Argentina
1997
24%
Brazil
1994
61%
Brazil
1998
54%
Kolumbia
1998
Meksiko
47% tidak boleh dipilih secara berturut-turut
(Sumber: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 119)
Menurut Ismayr, ciri perofesionalisasi parlemen adalah meningkatnya jumlah anggota parlemen yang terpilih kembali.46 Adalah bukan kebetulan jika dalam hal ini, masa jabatan dalam Senat yang lama itu dapat mengimbangi kelemahan yang ada di dalam tubuh DPR akibat pendeknya masa jabatan untuk berprofesionalisasi.47 Dalam rangka menciptakan sumber Kekuasan Membentuk, parlemen perlu kehadiran struktur informasi dan kepenasehatan yang memungkinkan atau memudahkan anggota dewan untuk menilai dan mengambil keputusan. Untuk menjalankan Kekuasaan Membentuk, diperlukan struktur kerja yang mendukung. Perubahan-perubahan satu RUU biasanya tidak dirembuk dalam pleno, melainkan dalam
44 45
46
47
Ibid, hal. 120-121 Scott Morgenstern/Juan Javier Negri/Aníbal Pérez-Liñán, „Parliamentary Opposition in NonParliamentary Regimes: Latin America“, The Journal of Legislative Studies, Vol.14, Nos.1/2, March/June 2008, hal. 174. Detlef Nolte, „Gestaltung der politischen Systeme“, dalam „Demokratien auf schwachem sozialen Fundament“, Informationen zur politischen Bildung No. 300, 14.11.2008, Bundeszentrale fuer politischen Bindung, Bonn, Wolfgang Ismayr, Parlamentarische Kommunikation und Abgeordnetenfreiheit, Frankfurt/M. 1982. Juga dalam “Das deutsche Parlament“, Leverkusen/Berlin 2010. Detlef Nolte, „Parlamentarisierung oder Staerkung der Parlamente“, hal. 21,
28 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
komisi-komisi. Tentu saja, komisi-komisi mesti digunakan sebagai partisipasi dalam proses pembuatan UU. Juga seberapa jauh komisikomisi tersebut melibatkan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses perembukan (fungsi representasi parlemen). Semuanya perlu disiplin fraksi, profesionalisme dan stuktur informasi dan advisory yang baik. Seberapa jauh satu parlemen dapat menggunakan sumber kekuasaan ini, tergantung juga pada faktor lain.48 Dalam hal profesionalisasi dan perlengkapan legislator, Scott Morgenstern, Juan Javier Negri and Aníbal Pérez-Liñán mencatat, bahwa legistator di Amerika Latin mengalami kesenjangan sumberdaya yang membatasi peran politiknya karena angka keterpilihan kembali yang rendah. Legislator umumnya mengalami gagap keahlian terhadap proses politik dan pengambilan kebijakan sehingga menyebabkan mereka mudah terjebak pada praktek penadah keuntungan dari keterlibatan mereka memperdagangkan legislasi.49 Jenis kekuasaan yang lain adalah “Verhinderungsmacht” (Kekuasaan Mencegah) dimana parlemen bisa menampik kebijakan-kebijakan politis dengan cara tidak merestui RUU produk eksekutif.50 Jika parlemen dapat menghalangi tindakan-tindakan politis di atas tersebut, maka parlemen bisa dikategorikan sebagai “veto player”. Namun demikian, di Amerika Latin, Kekuasaan Mencegah parlemen kerap terbatas hanya pada mempengaruhi pemerintah, bahwa RUU tidak bertentangan dengan keinginan dan kepentingan fraksi-fraksi pemerintah. Praktis, kedudukan parlemen di Amerika Latin tidaklah sekuat seperti di Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan divided government. Namun demikian, kedudukan parlemen di Amerika Latin itu sesuai dengan pemahaman di masyarakat. Dalam hal parlemen memiliki fraksi-fraksi berdisiplin tinggi dan fraksi-fraksi pemerintah itu mayoritas, maka jelas parlemen tidak mencegah inisiatif UU pihak eksekutif. Kekuasaan Mencegah digunakan agar UU tidak merugikan kepentingan fraksi-fraksi pendukung pemerintah. Dalam keadaan seperti ini, parlemen oposisi tidak me48
49
50
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde – Hamburg 2000, hal. 101 Scott Morgenstern/Juan Javier Negri/Aníbal Pérez-Liñán, “Parliamentary Opposition in NonParliamentary Regimes: Latin America”, The Journal of Legislative Studies, Vol. 14, Nos. 1/2, March/June 2008, hal. 174. Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 101-102. DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 29
miliki Kekuasaan Mencegah secara langsung. Mereka hanya bisa menggalang opini diluar parlemen. Sebaliknya, jika disiplin fraksifraksi lemah, baik dalam kubu pemerintah maupun oposisi, terbukti kerap terjadinya Kekuasaan Mencegah parlemen. Dalam kondisi parlemen yang demikian, pemerintah tidak pernah bisa memastikan bahwa RUU inisiatifnya dapat direstui. Kekuasaan Mencegah model seperti ini bisa dikelompokkan dalam Kekuasaan Semu. Contoh yang menarik adalah Presiden Cardoso dari Brazil. Meski mayoritas parlemen berada sekubu dengan pemerintahan Cardoso, namun berulangkali Cardoso mendapatkan masalah dalam meloloskan RUU-nya. Kasus lain terjadinya Kekuasaan Mencegah itu adalah jika oposisi berdisiplin tinggi menguasai parlemen. Misalnya Presiden Kolumbia yang sekalipun diberikan kewenangan luas oleh konstitusi, ternyata tidak mampu menembuskan politik reformasi sosialnya di parlemen. Penyebab utamanya adalah munculnya perlawanan dalam parlemen yang hebat, yang justru berasal dari partai Presiden yang sangat tidak disiplin. Demokrasi presidensial dengan mayoritas oposisi dalam parlemen itu setara dengan demokrasi parlementer dengan mayoritas oposisi dalam parlemen. Bedanya, secara politis presiden tidak dapat dilengserkan oleh parlemen dan karenanya berisiko dapat menimbulkan blokade dalam proses-proses pembuatan UU. Kekuasaan Mencegah itu lebih mudah daripada Kekuasaan Membentuk. Parlemen dapat berbuat asal menolak RUU pemerintah, tanpa berusaha untuk ikut memperbaiki RUU. Dalam hal ini, dispilin fraksi tidaklah diperlukan. Parlemen yang hanya bisa berperan menolak, juga tidak perlu anggotaanggota dewan yang profesional, tapi cukup yang amatir tetapi berani. Dalam mengembangkan peran pengawasan parlemen yang efektif, yang diperlukan bukan hanya Kekuasaan Membentuk namun juga Kekuasaan Mencegah. Atau dalam standar yang minimal, parlemen hanya melakukan penguatan atas Kekuasaan Mencegah dengan tujuan membatasi kekuasaan presiden. Pemahaman pembatasan Kekuasaan Membentuk parlemen di negara Amerika Latin bisa diperoleh dari pemahaman tentang pembagian kekuasaan. Di Argentina misalnya, presiden itu bertugas mengurusi politik kelas berat, sedangkan parlemen untuk urusan yang lebih ringan. Bahkan begitu juga di Uruguay, negara yang paling lama berparlemen dan menganut demokrasi. Di kebanyakan negara-nega30 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
ra presidensialisme Amerika Latin, terdapat pemahaman tentang pembagian kekuasaan antara presiden dengan parlemen: presiden itu inovator dan eksperimentator, sedangkan parlemen sebagai penjaga status quo. Maka, cukup bagi parlemen, jika kekuasaannya hanya terbatas pada “Verhinderungsmacht”. Begitu juga, pemahaman bahwa presiden mewakili kepentingan nasional, parlemen mewakili kelompok dan membatasi “Gestaltungsmacht” parlemen. Berkaitan dengan “Gestaltungsmacht“ dan “Verhinderungsmacht”, Agustin Ferraro menjelaskan hal-hal di luar kebutuhan parlemen akan infrastruktur yang memadai.51 Pertama, selama diktatur militer, kekuasaan eksekutif sebagai lembaga sama sekali tak terusik dan tetap berfungsi, sehingga dapat mempertahankan dan mengonsolidasi pegawai negeri dan tenaga-tenaga ahlinya. Sebaliknya, advisory service dan badan informasi parlemen berserta para tenaga ahlinya dibubarkan, sehingga pada masa demokratisasi lembaga-lembaga tersebut harus dibangun kembali. Maka, pemahaman eksekutif tentang ketatanegaraan lebih unggul keimbang legislatif. Kedua, bahwa pada dasarnya presidensialisme Amerika Latin itu terilhami oleh konstitusi Amerika Serikat. Namun terdapat perbedaan mendasar antara kedua sistem pemerintahan tersebut. Kewenangan reglementasi Undang-Undang oleh eksekutif di Amerika Serikat tidak dikenal. Sementara di Amerika Latin (contoh Brazil, Argentina, Cile, Peru atau Uruguay yang berasal dari konstitusi Cádiz, Spanyol, tahun 1812), eksekutif berkewenangan menurunkan Dekrit Reglementasi terhadap Undang-Undang. Sementara UU umumnya kabur dan multi interpretasi, maka Dekrit Reglementasi lebih terperinci dan jelas. Pihak eksekutif sebagai pembuatnya, diharapkan menyertakan hal-hal yang rinci ke dalam Dekrit Reglementasi, yang tidak dapat atau tidak ingin diketahui oleh pembentuk Undang-Undang (legislatif). Dekrit Reglementasi itu setara dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri guna menjalankan Undang-Undang. Dekrit itu adalah interpretasi eksekutif terhadap Undang-Undang. Di Amerika Latin, Dekrit Reglementasi tidak memerlukan restu legislatif.
51
Agustin Ferraro, „Machtwille und Machtressourcen der lateinamerikanischen Parlamente. Unter besonderer Beruecksichtigung des argentinischen Kongresses, seiner ‘technischen Krise’ 1999 und der Ereignisse Anfang 2002“, Verfassung und Recht im Uebersee - Law and Politics in Africa, Asia und Latin America, (Hamburg),Tahun ke 35, Kuartal I/2002, hal. 40-52
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 31
Akibatnya terjadi perkembangan yang negatif: keahlian untuk menjalankan Undang-Undang dengan segenap norma-normanya serta pengawasan terhadap birokrasi pemerintah dikuasai sepenuhnya oleh eksekutif. Hal ini tentu berbeda dengan Amerika Serikat, Inggris atau Jerman. Untuk mengawasi administrasi negara (birokrasi eksekutif), di Amerika Serikat dibentuk oleh Senat satu badan yang tak tergantung pada eksekutif, yaitu Independent Agencies. Tugasnya adalah mengimplementasikan Undang Undang, artinya membuat semacam Dekrit Reglementasi. Badan independen ini memiliki kewenangan delegatif legislatif. Dengan demikian, Konggres, secara rinci memiliki infomasi dan pengetahuan teknis terhadap badan ini dan implementasi satu Undang-Undang. Di parlemen Inggeris terdapat komisi Joint Select Committee on Statutory Instruments yang mengawasi statutory instruments atau Dekrit Reglementasi. Komisi, tentu dengan para legislatornya, memiliki pengetahuan lengkap tentang birokrasi eksekutif dan pelaksanaan Undang-Undang. Di Jerman sendiri, jika satu Undangundang perlu Dekrit Reglementasi, maka Peraturan Pemerintahnya hanya menyangkut pasal tertentu dalam Undang-Undang.52 Jika komisi-komisi parlemen di Brazil, Cile atau Argentina dicermati, maka komisi-komisi tersebut sangat jarang atau bahkan sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap kementerian dan badanbadan, apalagi hal-hal teknis seperti implementasi Undang-Undang. Akibatnya, kerja komisi hanya terbatas pada merancang/membahas Undang-Undang. Memang, wawasan bahwa kegiatan utama anggota parlemen adalah merancang Undang-Undang merupakan wawasam yang beredar di kalangan para politisi dan publik, sedangkan pengawasan terhadap birokrasi eksekutif (administrasi negara) tidak mendapatkan perhatian. Oleh sebab kegiatan birokrasi eksekutif tidak dipantau oleh parlemen, maka para legislator tidak memiliki informasi langsung tentang pemerintahan. Akibatnya, parlemen hanya berfungsi sebatas membuat aturan umum yang tidak perlu mendetail.
52
Catatan penulis: di Jerman, untuk menjalankan Undang-Undang tidak perlu peraturan pemerintah. Misalnya Verwaltungsverfahrensgesetz (Undang-Undang Prosedur Administrasi Negara) yang bisa berjalan tanpa peraturan pemerintah. Dalam hal ini, para legislator Jerman memang profesional.
32 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Karenanya, tak ada kebutuhan mencari dan mengumpulkan pengetahuan khusus atau informasi empiris tentang kegiatan pemerintahan. Tanpa informasi dan pengetahuan ini, tidaklah mungkin parlemen dapat menggunakan kekuasaan “aktif”, yaitu “Gestaltungsmacht“ secara serius dan baik. Akhirnya, yang termudah adalah menggunakan kekuasaan “pasif”, yaitu “Verhinderungsmacht”. Tugasnya cukup mencegah insiatif presiden yang tidak berkenan, sehingga mencegah profesionalisasi legislator. Produk dari Dekrit Reglementasi menciptakan lingkaran setan: Karena eksekutif satu-satunya kekuatan yang mengetahui persis pengimplementasian Undang-Undang, maka legislatif di Amerika Latin makin kerap mendelegasikan Dekrit Reglementasi. Akibatnya, segenap pengetahuan tentang pembuatan dan pelaksanaan Undang-Undang terpusatkan di eksekutif. Oleh karena itu, demikian Agustin Ferraro, UUD 1994 Argentina mengamanatkan agar kewenangan eksekutif membuat dekret reglementasi dikembalikan kepada legislatif. Artinya, seperti presidensialisme “murni” macam di Amerika Serikat, Presiden hanyalah organ eksekutor Undang-Undang (dengan beberapa pengecualian). Mendelegasikan kewenangan legislatif kepada eksekutif diharamkan, termasuk Dekrit Reglementasi.53 Dukungan Kinerja Legislator Amerika Latin54 Di negara-negara Amerika Latin, dukungan terhadap kinerja legislator bisa dirangkum dalam tabel di bawah ini: Tabel 6. Dukungan Kinerja Legislator Amerika Latin (Data Tahun 2000)
53
54
Negara
Perlengkapan Legislator
Argentina
Konggres mendanai perekrutan staf ahli buat setiap legislator DPR dan Senator Dewan Perwakilan Daerah (Senat). Pada tahun 1997, Setiap legislator dipasok 4.000 USD, sama dengan 2 tenaga ahli/penasehat. Setiap Senator memperoleh 6.000 USD guna mempekerjakan tenaga ahli/penasehat. Seorang senator dapat memperoleh 10 tenaga ahli/penasehat. Setiap Komisi diperkuat oleh 8 s.d. 12 tenaga ahli/penasehat.
Agustin Ferraro, „Machtwille und Machtressourcen der lateinamerikanischen Parlamente. Unter besonderer Beruecksichtigung des argentinischen Kongresses, seiner ‘technischen Krise’ 1999 und der Ereignisse Anfang 2002“, Verfassung und Recht im Uebersee - Law and Politics in Africa, Asia und Latin America, Tahun ke 35, Kuartal I/2002, Hamburg, hal. 40-52. Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 160-170.
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 33
Negara
Perlengkapan Legislator
Bolivia
Para legislator DPR dan senator Konggres (Bikameral) tak memiliki kantor di Konggres. Hanya 40 persen legislator dan senator memiliki kantor di luar konggres, umumnya pribadi. Cuma ketua komisi saja yang berhak memperoleh ruang buat kantor di Konggres. Legislator tak ditunjang dana buat menggaji tenaga penasehat/ahli (menurut rencana, setiap legislator memperoleh 1.000 USD per bulannya guna merekrut tenaga ahli/penasehat). Komisi-komisi memperoleh 2 tenaga ahli/penasehat (asesores). Selain itu, setiap komisi diperkuat oleh seorang sekretaris teknik (secretario técnico). Oktober 1995 dibentuk Comisión de Modernizatión Legislativa (CML), bentukan Konggres. Terdiri dari Ketua yang wakil ketua Konggres, Ketua DPR dan Ketua Senat , 3 Senator dan 6 Legislator DPR. Diperbantukan kepada CML 10 s.d. 12 tenaga ahli/penasehat profesional.
Brazil
Brazil memiliki lembaga advisory service terbaik, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Advisory service dalam parlemen memang sudah dibangun semasa rejim milter berkuasa (1964-1985), sesuai dengan pemahaman politik teknokratis militer kala itu. Lagipula, lembaga advisory service diperlukan, sebab singkatnya waktu yang diberikan kepada eksekutif dan legislatif buat membahas dan mengesahkan UU. Setiap kamar masing-masing memiliki lembaga advisory service. Setiap legislator DPR dan Senator memiliki penasehat pribadi. Setiap fraksi dapat memperoleh advisory service. Assessoria Legislativa yang diciptakan tahun 1972, memberikan advisory service kepada DPR. Lembaga ini memiliki 188 ahli/spesialis untuk berbagai topik tahun 1996 terdapat 20 topik). Lembaga ini menjalankan penelitian-penelitian, mempersiapkan analisa politik, mengerjakan rancangan undang-undang atau mengerjakan pernyataan terhadap satu RUU (jika anggota dewan menanyakannya), membuatkan naskah pidato anggota-anggota dewan, membantu komisi-komisi parlemen yang tak memiliki laskar penasehat. Seorang penasehat/ahli Assessoria Legislativa berpenghasilan 4.500 s.d. 6.000 USD per bulannya. Di samping Assessoria Legislativa, DPR Brazil memiliki Assessoria de Orçamento e Fiscalização Financeira, lembaga penasehat khusus urusan Keuangan dan APBN.
Kolumbia
Sistem Setiap Legislator DPR dan Senator berhak memperoleh 5 asistentes legales asesores. Sebagaian tugas para asisten ini adalah di daerah pemilihan. Untuk komisi-komisi tidak disediakan Satuan penasehat hanya disediakan buat keseluruhan parlemen (DPR dan Senat), tapi tidak untuk komisi-komisi.
Para legislator memperoleh gaji rendah. Legislator biasa tidak mempunyai kantor, tenaga pembantu dan sekretaris. Jadi, legislator amat tergantung pada Venezuela fraksi. Karena itu rapat-rapatnya berpusat pada fraksi-fraksi dan komisi-komisi. Untuk segenap parlemen hanya disediakan satu jasa penasehat hukum, terdiri dari 8 (delapan) sampai dengan 9 (sembilan) pengacara.
Meksiko
Parl Seluruh fraksi (grupos parlamentarios) masing-masing memiliki porsi dana dari konggres untuk merekrut tenaga penasehat. Secara pribadi, Legislator dan Senator tidak diperkuat oleh tenaga penasehat. Bila diperlukan,tenaga penasehat fraksi yang melayani mereka. Umumnya, ketua fraksi dan wakil ketua fraksi atau koordinator fraksi bidang tertentu memiliki tenaga penasehat permanen. Tenaga penasehat ini direkrut dari tim penasehat fraksi yang berjumlah 30 orang di DPR. Tahun 1998, seorang tenaga penasehet berpenghasilan antara 1.000 s.d. 1.500 USD perbulannya.
Uruguay
Setiap Legislator mempunyai hak buat diperkuat oleh maksimal 5 asessores. Satu kekhususan: Asessoresnya adalah Pegawai Negara, yang dipinjamkan secara gratis oleh kementerian-kementerian.
Paraguay
Setiap Para anggota dewan Paraguay menolak pembentukan satu lembaga advisory service yang independen. Kontrak tentang advisory service dibuat oleh parlemen Paraguay dengan fakultas ekonomi Universitas Nasional
34 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Organ Koordinasi dan Pengendalian Parlemen Agar mampu menyelesaikan tugasnya, parlemen perlu organ koordinasi dan pengendalian. Tentu saja harus dipisahkan antara tugas teknis (pengorganisasian rapat, laporan, pengawasan terhadap administrasi parlemen dsb.) dengan tugas politis (pemungutan suara, susunan acara sidang, penentuan anggota-anggota komisi dsb.). Di beberapa negara Amerika Latin, kedua tugas itu dipegang oleh presidium parlemen. Sedangkan di negara-negara lainnya terdapat pemisahan pembagian tugas di mana masing-masing lembaga diisi oleh wakil-wakil dari fraksi. Dalam kasus Brazil (bikameral), di samping presidium parlemen, sejak 1987-1988 diciptakan Komisi Koordinasi Politik (Cólegio de Lideres), beranggotakan ketua-ketua fraksi. Dalam prakteknya. Komisi Koordinasi Politik menjadi berperan, sebab setelah berkonsultasi dengan ketua parlemen dan dengan kesepakatan pleno, ketua-ketua fraksi itu menentukan RUU yang dianggap mendesak atau sangat mendesak untuk dibahas. Jika terdapat kesepakatan luas dalamnya, maka dipastikan usulan bakal diterima di pleno. Di Meksiko (bikameral), Komisi Koordinasi Politik (Gran Comisión), dalam sejarah perjalanan parlemennya, malahan berkenderungan mendesak posisi ketua parlemen. Sejak tahun 1978, komisi ini diganti oleh Comision de Régimen interno y Concentratión Politica (CRICP). Duduk di dalam komisi ini ketua-ketua fraksi, yang nilai suaranya sesuai dengan kekuatan fraksi di parlemen.55 Selain perlengkapan yang memadai di atas, agar parlemen dapat menciptakan “Gestaltungsmacht” dan melakukan pengawasan terhadap eksektutif,56 dibentuklah komisi-komisi. Berdasarkan hasil studi Harfst & Schnapp, tahun 1970-1999, di negara-negara Barat terdapat dua sistem komisi:57 (a) non-paralelistas komisi terhadap kementerian seperti di Belgia, Britania Raya, Irlandia, Swis dan Perancis dan (b)
55
56
57
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 92-93 Sistem Pengawasan legislatif dibagi ke dalam (a) karakteristika strukur parlemen (jumlah dan besarnya komisi tetap, pembagian wilayah kewenangan komisi dibandingkan dengan pembagian tugas kementerian), (b) Perlengkapan/fasilitas parlemen dan komisi-komisinya (dukungan tenaga ahli atau jasa bantuan lainnya) dan (c) hak-hak memperoleh informasi dan hak-hak formal parlemen terhadap eksekutif (Philipp Harfst und Kai-Uwe Schnapp, „Instrumente parlamentarischer Kontrolle der Exekutive in westlichen Demokratien“, Wissenschaftszentrum Berlin für Sozialforschung (WZB), Juli 2003, hal. 11) Philipp Harfst und Kai-Uwe Schnapp, „Instrumente parlamentarischer Kontrolle der Exekutive in westlichen Demokratien“, Wissenschaftszentrum Berlin für Sozialforschung (WZB), Juli 2003, hal. 12-18 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 35
paralelistas komisi terhadap kementerian seperti di Australia, Denmark, Jerman, Belanda, Swedia, Finlandia, Italia atau di Amerika Serikat. Umumnya seperti di Jerman, satu komisi berurusan dengan satu kementerian. Tabel 7. Jumlah Rata-Rata Komisi dan Anggotanya serta Kementerian di Beberapa Negara Barat (1970-1999) Negara
Komisi
Anggota
Paralelitas Komisi terhadap Kementerian Kementerian
Australia *)
6
12
Paralel sejak 1987
17
Belgia
10
22
Non-paralel
19
Jerman **)
21
28
Paralel
17
Denmark
23
17
paralel
21
Perancis
6
97
Non-paralel
26
Inggeris a)
10
12
Non-paralel
22
Italia b)
16
43
Paralel
27
Belanda
28
22
Paralel sejak 1989
14
Swedia
16
17
Paralel
21
Norwegia
12
14
Paralel
18
Finlandia
12
17
Paralel sejak 1992
17
Swis
12
23
Non-paralel
7
Amerika Serikat c) ***)
20
43
Paralel
17
Dikutip dari Philipp Harfst/Kai-Uwe Schnapp, „Instrumente parlamentarischer Kontrolle der Exekutive in westlichen Demokratien“, Wissenschaftszentrum Berlin für Sozialforschung (WZB), Juli 2003, hal. 12 a) Hanya Select Committees b) Hanya tahun 1999 c) Hanya tahun 1999 dan komisi di House of Representatives *) Berdasarkan data unduhan 15/09/2014 terdapat 18 Kementerian, 15 komisi di DPR 17 dan komisi di Senat 17(Australian Government (List of departements and agencies, http://www.australia.gov.au/directories/australian-government-directories/list-of-departmentsand-agencies; House of Representative, Commitees, http://www.aph.gov.au/Parliamentary_ Business/Committees/House; Parliament of Australia, Senate Committee)http://www.aph. gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Senate) **) Catatan Penulis: sebagai produk pemilu Bundestag (DPR Jerman) September 2013 terdapat 14 Kementerian (Bundesregierung, Bundesministerien, www.bundesregierung. de), sementara jumlah komisi setidak-tidaknya cerminan pemerintah. Prinsipnya, satu kementerian berhadapan dengan satu komisi. Jumlah komisi itu berubah-ubah, misalnya 40 pada pemerintahan pertama (1949) atau hanya 17 pada pemerintahan keenam. Selain itu, DPR dapat membentuk komisi-komisi tambahan untuk membahas bidang-bidang tertentu. Saat ini terdapat 26 komisi. Di dalam komisi itu sendiri, bisa terdapat sub-komisi. Di samping ke 26 komisi tersebut, masih terdapat komisi-komisi lain (Gremium) seperti komisi pasar modal dan dana stabilisasi, komisi penempatan pasukan di luar negeri, komisi pengawasan badan intelejen dan sebagainya (Deutscher Bundestag, Funktion und Aufgabe der staendigen Ausschuesse, http://www.bundestag.de) ***) Berdasar data unduhan 6/12/2014 terdapat 15 Kementerian yang ditetapkan oleh Konggres, sedangkan Standing Commitees di DPR berjumlah 21 dan di Senat berjumlah 21 (House of Representatives, Committees, http://www.house.gov/; Standing Commitees, United States Senate, http://www.senate.gov/pagelayout/committees.d._three_sections_with_teasers/committees_home. htm; USA.gov, Federal Executive Branch, http://www.usa.gov/Agencies/Federal/Executive.shtml.
36 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Dalam perkembangannya, demikian Harfst dan Schnapp, negaranegara Barat umumnya, merubah sistem komisi non-paralelitas ke sistem paralelitas dengan kementerian, sebab telah terbukti lebih efektif untuk memonitor, memahami dan mendampingi kegiatan di setiap kementerian secara rinci dan memungkinkan legislator berspesialisasi. Jumlah komisi non-paralel di Swiss yang melebihi jumlah kementerian diakibatkan ketetapan konstitusi, bahwa jumlah kementerian harus 7. Begitu juga di Perancis, di mana UUD Republik ke V sudah menetapkan jumlah 6 komisi, sehingga setiap komisi beranggotakan rata-rata 97 dan menyebabkan tidak dapat bekerjanya komisi secara efektif dan optimal. Maka, UUD coba disiasati melalui pembentukan komisi jadi-jadian berupa délégations, misalnya Délégation pour l’Union Européenne atau Komisi Eropa. Merubah jumlah komisi tidak mudah, sebab harus merubah UUD. Umumnya, di dalam tubuh komisi dibentuk sub-sub komisi. Di House of Representatives AS pada tahun 2002 misalnya, terdapat 92 sub-komisi yang beranggotakan rata-rata 18 orang.58 Setara dengan jumlah kementerian, jumlah komisi DPR dan Senat di presidensialisme Amerika Latin-pun demikian: Tabel 8. Perbandingan Jumlah Kementerian dan Komisi Parlemen di Amerika Latin Negara
Kementerian 2014
Komisi DPR 2014
Komisi Senat 2014
Brazil
24
22
18
Argentina
16
45
24
Meksiko
18
58
62
Cile
21
28
22
Kolumbia
13
7
10
Uruguay
13
16
12
Peru
17
25
-
Data diunduh tanggal 13 September 2014 dari: Brazil Ministérios, http://www.brasil.gov.br/servicos/contato Comissões Permanentes, http://www2.camara.leg.br/atividade-legislativa/comissoes/ comissoes-permanentes; Números das Comissõnes, http://legis.senado.leg.br/comissoes/;jse ssionid=D3E901C56323C8DC4AD1C2EFFE73BB5D?0
58
Saat ini ditemui 98 sub-komisi di Standing Committees House of Representatives (Karen L. Haas, “List of Standing Committees and Select Committees and Their Subcommittees of the House of Representatives of the United States”, Washington 18 Agustus 2014, http://clerk. house.gov/committee_info/scsoal.pdf.
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 37
Meksiko Gabinete Ampliado, http://en.presidencia.gob.mx/cabinet/, http://sitl.diputados.gob.mx/ LXII_leg/listado_de_comisioneslxii.php?tct=1, Listado de Comisiones Listado de Comisiones Ordinarias. http://sitl.diputados.gob.mx/LXII_leg/listado_de_comisioneslxii.php?tct=1, Comisiones de la LXII Legislatura (Senadores), http://genero.ife.org.mx/legislativo_sen. html#comisionesLXI Cile Gobierno de Chile, Ministros, http://www.gob.cl/ministros/, Camara de Diputados de Chile, http://www.camara.cl/trabajamos/comisiones_tipo.aspx?prmT=P; COMISIONES PERMANENTES, http://www.senado.cl/appsenado/index.php?mo=comisiones&ac=listado Kolumbia Ministros, http://www.presidencia.gub.uy/gobierno-nacional/ministros; COMISIONES Y COMITES, http://www.senado.bo/comisiones_y_comites); Comisiones, Camara de Representantes, Congreso De La Republica De Columbia, http://www.camara.gov.co/ portal2011/; Comisiones Permantes, Organigrama Cámara De Representantes, http://www. camara.gov.co/portal2011/la-camara/composicion/organigrama Uruguay Ministros, http://www.presidencia.gub.uy/gobierno-nacional/ministros; Comisiones y Comités, http://www.diputados.bo/index.php/diputados/comisiones-y-comites; Comisiones Permanentes, http://www.parlamento.gub.uy/forms2/asest.asp?Cuerpo=D Peru List of Peruvian Ministries, http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Peruvian_Ministries, Congress of the Republic of Peru, http://en.wikipedia.org/wiki/Congress_of_Peru Argentina Comisiones, Senado de la Nación Argentina, http://www.senado.gov.ar/; Listado de comisiones permanentes, Honorable Cámara de Diputados de la Nación, http://www. diputados.gov.ar/comisiones/index.html?mostrar=permanentes; Argentina: Ministries, Europa World Plus, http://www.europaworld.com/pub/entry/ar.dir.30
Di samping paralelitas, tentu saja, jumlah anggota dalam komisi pun harus dibatasi. Kerja dalam satu komisi yang efektif, bila jumlah anggotanya antara 13 sampai 25 orang. Di Swedia, anggota komisi dibatasi maksimal 15 orang. Selain jumlah anggota komisi, juga pembatasan legislator untuk duduk di beberapa komisi. Di Italia dan Norwegia, seorang legislator maksimal boleh duduk di satu komisi, di Swis dan Finlandia maksimal dua komisi. Di Indonesia terdapat 31 Kementerian ditambah 3 Kementerian Koordinator.59 Sedangkan komisi di DPR-RI berjumlah 11. DPR-RI tidak menganut sistem komisi non-paralelitas terhadap kementerian, yaitu berdasarkan “Ruang Lingkup. Misalnya Komisi V, beranggotakan 50 orang, menangangani Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal, Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika”. Kementerian mitranya berjumlah 4 ditambah 4 badan-badan negara.60 Artinya, satu komisi DPR rata-rata
59
60
Pasal 1 Peraturan Presiden RI No. 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Komisi V – DPR, http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-V DPR 2009-2014
38 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
berkeanggotaan 48 orang dan berhadapan dengan 3 kementerian dan sejumlah lembaga negara. Akibatnya, tidak mudah bagi seorang legislator DPR dengan perlengkapan yang masih minim buat mengkhususkan diri pada isu tertentu, memperoleh pengetahuan mendalam dan profesional. Dari perbandingan parlemen di mancanegara itu, maka pembentukan jumlah komisi kerja dapat dipakai untuk menciptakan sistem multikeprtaian multisederhana di parlemen. Misalnya, jika untuk periode DPR 2014-2019 dibentuk 34 komisi kerja paralel terhadap 34 kementerian, maka jumlah anggota komisi kerja rata-rata antara 16 s.d. 17 orang (560 anggota DPR/34 komisi kerja). Dengan demikian syarat partai/fraksi untuk boleh ikut ke dalam komisi kerja itu harus memiliki 6,07 persen kursi DPR (34 komisi kerja/560 anggota DPR). Maka, jika tak memenuhi syarat, haruslah bergabung. Selain itu, penetapan jumlah anggota komisi kerja juga dapat dipakai untuk menciptakan sistem multikepartaian sederhana dalam parlemen. Kita bisa mengambil contoh sebagaimana di Jerman: Meskipun tingkatannya DPRD, namun kasus susunan anggota satu komisi layak disimak. Peristiwanya pada tahun 2002 di DPRD Landsberg am Lech di negara bagian Bavaria.61 Di DPRD itu terdapat 6 komisi, dengan jumlah anggota 12 orang untuk Komisi Urusan Wilayah, 12 orang untuk Komisi Urusan Sosial, 12 orang untuk Komisi Lingkungan Hidup, 8 orang untuk Komisi Urusan Remaja, 7 orang untuk Komisi Urusan Pemeriksaan Anggaran dan 7 orang untuk Komisi Keuangan. Karena susunan anggota komisi itu berdasarkan cara penghitungan metoda divisor varian d’ Hondt, maka partai-partai gurem BP, OeDP dan FDP harus bergabung membentuk fraksi bersama. Misalnya untuk Komisi Wilayah yang berjumlah 12 anggota itu. Lewat metoda divisor d`Hondt pembagian kursinya menjadi sebagai berikut. Tabel 9. Pembagian Kursi dengan Metoda Divisor d'Hondt
61
CSU
SPD
GAL
FW
BP/OeDP/FDP
UBV
Divisor/ KURSI
30
11
5
5
5
4
1
[1] 30
[3] 11
[9] 5
[10] 5
[11] 5
4
2
[2] 15
[7] 5,5
2,5
2,5
2,5
2
Bayerischer Verwaltungsgerichtshof, No. 4 BV 03.1159, 17. Maret 2004 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 39
CSU
SPD
GAL
FW
BP/OeDP/FDP
UBV
Divisor/ KURSI
30
11
5
5
5
4
3
[4] 10
3,7
1,7
1,7
1,7
1,3
4
[5] 7,5
2,8
1,3
1,3
1,3
1
5
[6] 6
2,2
1
1
1
0,8
6
[8] 5
1,8
0,8
0,8
0,8
0,7
7
[12] 4,3
1,6
0,7
0,7
0,7
0,6
8
3,8
1,4
0,6
0,6
0,6
0,5
Partai CSU boleh mengirimkan 7 wakil, SPD 2, GAL, FW dan Aliansi BP/OeDP/FDP masing-masing 1. Sedangkan partai gurem UBV yang menolak berkoalisi itu, tidak berhak mengirimkan wakilnya ke setiap komisi: Tabel 10. Persebaran Komisi CSU
SPD
GAL
FW
Aliansi BP/ OeDP/FDP
UBV
Komisi Urusan Wilayah
7
2
1
1
1
0
Komisi Urusan Sosial
7
2
1
1
1
0
Komisi Urusan Lingkungan Hidup
7
2
1
1
1
0
Komisi Urusan Remaja
5
2
0
0
0
0
Komisi Urusan Pemeriksaan Anggaran
5
1
0
0
0
0
KOMISI
Komisi Urusan Keuangan
5
1
0
0
0
0
JUMLAH
36
10
3
3
3
0
Dari tabel di atas terlihat CSU yang mempunyai 30 kursi di DPRD, berhak menduduki 36 kursi di seluruh komisi; SPD yang beranggotakan 11 anggota di DPRD hanya boleh mengisi 10 pos komisi, GAL dan FW yang beranggotakan DPRD masing-masing 5 itu cuma boleh mengisi masing-masing 3 kursi komisi, sedangkan aliansi BP/OeDP/FDP yang total anggota DPRDnya 5 orang, mendapatkan jatah 3 kursi komisi. Dalam komisi yang beranggotakan 7 orang, partai-partai gurem harus absen. Dalam komisi terjadi penyederhanaan sistem kepartaian, dari semula 8 partai, lalu tinggal 6.
40 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
2. LEgISLATOR: AnTARA TRUSTEE DAn DELEgATE Legislator Menurut ahli ketatanegaraan Inggris Edmund Burke, legislator dibagi ke dalam trustee dan delegate. Trustee adalah wakil yang secara politis bebas berpendapat dan menentukan, namun secara umum wajib bertanggungjawab kepada para pemilihnya. Trustee misalnya produk daftar terbuka baik dalam sistem pemilu proporsional maupun mayoritan. Sedangkan Delegate adalah utusan yang terikat pada kehendak para pemilihnya atau partainya dan berperan sebagai pelaksana.62 Sebagian legislator Konggres Amerika Serikat berpandangan, bahwa mereka harus memenuhi tugas yang diembankan oleh para pemilihnya (disebut gaya Delegate). Yang lain bertindak atas dasar tanggungjawabnya sendiri dan berangkat dari penilaiannya sendiri (disebut gaya Trustee).63 Umumnya, baik trustee maupun delegate amatiran tak bisa menggunakan kekuasaan berlegislasi. Kekhusuan ini biasanya dimiliki oleh politisi profesional. Politisi ini biasanya dibentuk oleh pengalaman berparlemen yang lama atau berpengalaman menduduki jabatan politisi. Keahlian ini dapatlah dipahami juga sebagai sumberdaya kekuasan buat berlegislasi.64 Keahlian itu umumnya diperoleh dari masa jabatan di DPR: Di Jerman misalnya, sejak tahun 1970, sekitar 80 persen anggota DPR terpilih kembali. Duapertiganya terpilih dua kali berturut-turut. Separuhnya tiga kali berturut-turut. Hampir 25 persen, sudah sejak tahun 1969 duduk di Bundestag (DPR Jerman), dengan catatan penelitian dibuat tahun 1999.65 Hal tersebut tentu berbeda dengan legislator di beberapa negara Amerika Latin yang tingkat keterpilihannya rendah. Di Argentina, antara tahun 1993 s.d. 1995, hanya 20 persen legislator terpilih kembali. Di Brazil tahun 1994 lumayan tinggi (64 persen). Di Meksiko, sejak 1993
62
63
64
65
Suzanne S. Schuettemeyer, „Parlamentarische Demokratie“, Informationen zur politischen Bildung, Nomor 295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 29 Generalsekretaer des Europäischen Parlaments, Aufbau einer Kontinent umfassenden Demokratie, „US Kongress, Europaeisches Parlament, Aufgaben und Kosten“, Studie fuer die gemeinsame Arbeitsgruppe des Praesidiums und des Haushaltsausschusses fuer den Haushaltsplan des Europaeischen Parlaments No. PE 504.929, Desember 2012, hal. 71. Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, 4, hal. 100 Ibid, hal. 118 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 41
anggota DPR tidak boleh dipilih kembali secara berturut-turut. Maksudnya untuk memperkuat kedudukan Presiden. Ketika penelitian dilakukan tahun 2000, Meksiko merencanakan untuk mengubah ketentuan larangan dipilihnya kembali anggota DPR secara berturutturut. Menurut Ismayr, ciri profesionalisasi parlemen adalah meningkatnya jumlah anggota parlemen yang terpilih kembali.66 Selain itu, pada tahun 1990-an, menurut penelitian Universitas Salamanca, Spanyol, kurang dari 45 persen legislator Amerika Latin beraktivitas hanya di bidang politik (politik sebagai profesi). Di Argentina, Bolivia dan Cile kurang dari 30 persen. Di Peru, Brazil dan Meksiko antara 30 s.d. 35 persen. Selain itu yang menyulitkan profesionalisasi itu adalah tingginya fluktuasi para legislator, sehingga menyulitkan mereka untuk spesialisasi di satu bidang tertentu.67 Jika dibandingkan dengan legislator di Jerman, Wolfgang Ismayr pada tahun 1992 mencatat: “Di Bundestag (DPR Jerman), para legislator yang menguasai bidang tertentu, bukanlah klas tersendiri yang ada dalam fraksi, akan tetapi para legislator ini secara kontinyu menangani dan menggumuli bidangnya dengan penuh kesungguhan secara kontinyu, dan kemudian sebagai pembawa berita”.68 Adalah bukan kebetulan jika dalam hal ini, masa jabatan dalam Senat yang lama itu dapat mengimbangi kelemahan yang ada di dalam tubuh DPR akibat pendeknya masa jabatan untuk berprofesionalisasi.69 Misalnya masa jabatan senator di Argentina, Brazil, Cile dan Meksiko (lihat tabel). Tabel 11. Masa Jabatan Legislator di Amerika Latin Masa Jabatan Negara
Jumlah Anggota
Legislator DPR
Senator
DPR
Senat
4 a)
6 a)
257
72
Brazil
4
8 b)
513
81
Cile
4
8
Meksiko
3
Argentina
66 67 68
69
c)
6
120
48
500
128
Ibid, hal. 120-121 Ibid, hal. 117 Wolfgang Ismayr, Der Deutsche Bundestag. Funktionen, Willensbildung Reformansaetze, Opladen 1992 Detlef Nolte, „Parlamentarisierung oder Staerkung der Parlamente“, hal. 21, http://www.kas.de/
42 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Argentina: Separuh anggota DPR dipilih tiap 2 tahun, sepertiga anggota Senat dipilih tiap 2 tahun Brazil: setiap negara bagian (setara provinsi) mengirimkan 3 Senator; 1 atau 2 Senator negara bagian dipilih tiap 4 tahun c) Cile: 10 Senator diangkat dan separuh dari sisanya dipilih tiap 4 tahun. Meksiko: seperti halnya anggota DPR, senator tidak boleh langsung dipilih kembali. a)
b)
Detlef Nolte/Francisco Sánchez, „Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 10
Di samping “lama”-nya masa jabatan seorang legislator sebagai syarat “profesionalisasi”, Mark P. Jones berpandangan, bahwa dengan membandingkan legislator Konggres Amerika Serikat, “amatir”-nya legislator Argentina, penyebab lemahnya Konggres Argentina itu merupakan produk sistem pemilu yang terpusatkan pada partai, yaitu proprosional closed list (daftar tetap/tertutup) dengan luasnya fragmentasi ketua-ketua partai di tingkat provinsi. Sistem pemilu ini dianggap merenggangkan kepentingan pemilih dan lebih mengakomodasi pimpinan partai di tingkat provinsi.70 Tentu saja, posisi ini dapat diperdebatkan, sebab sistem proporsional closed list di Jerman dapat menghasilkan legislator profesional juga –berkat berfungsinya kaderisasi. Yang jelas, dengan rendahnya “profesionalisasi” tentu menyulitkan pembahasan RUU sodoran pemerintah, apalagi jika dalam satu periode tidak selesai. Legislator Bermasalah Hannah Pitkin (1967) menulis bahwa perwakilan harus bertindak sesuai dengan jalan yang sudah diatur dan melekat pada perannya, sekalipun dia independen dan konstituennya mempunyai kapabilitas untuk bertindak dan memberikan penghakiman. Dia harus berbuat sesuai kepentingannya sekalipun masuk dalam konflik di luar yang dikehendakinya.71 Persoalan akan muncul ketika hubungan legislator dengan para pemilihnya lebih diikat dengan pola kolusi dan nepotisme atau dirinya sendiri, bukan kepentingan umum. Di Ukraina, hubungan politik dengan ekonomi sangat kuat, yang berasal dari keruntuhan Uni Soviet, di mana ketika berlangsung pem-
70
71
Mark P. Jones/Sebastian Saiegh/Pablo T. Spiller/Mariano Tommasi, “Ameteur Legislator – Professional Politicans: The Consequences of Party-Centered Electoral Rules in a Federal System”, American Journal of Political Science, Vol. 46, No. 3, Juli 2002, hal. 667-668 Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 111-112 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 43
bagian kekayaan publik, banyak anggota elite politik atau sekongkolan mereka yang meraup rejeki tersebut. Hubungan erat antara politik dan ekonomi ini saling menguntungkan kedua belah pihak. Hanya, hubungan politik itu berisiko, sebab apabila yang didukung terdepak dari dunia politik, bisnisnya ikut tergoncang. Oleh karena itu, banyak pebisnis terjun ke gelanggang politik. Sehubungan dengan bangunan Ukrania yang sentralistik itu, maka duduk di parlemen berarti pintu masuk ke proses pengambilan keputusan dan berarti memiliki peluang meloloskan kepentingan bisnisnya. Maka, persaingan untuk memperoleh mandat parlemen menjadi bagian dari bisnis. Sebagai anggota parlemen, mereka mempunyai hak imunitas dan indemnitas. Kekebalan hukum tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan non parlemen, sehingga jabatan legislator itu direbut agar lebih leluasa bergerak demi memenuhi kepentingan jangka pendeknya.72 Sampai tahun 2003, Rusia menerapkan sistem campuran: separuh dari 450 kursi Duma (DPR Rusia) diperebutkan lewat sistem proporsional closed list (daftar tertutup/tetap)73 dan sisanya melalui sistem mayoritarian. Dari sistem mayoritariannya, terpilih legislator independen 8 persen pada tahun 1994-1995, 16 persen pada tahun 1996-1999 dan 4 persen pada tahun 2000-2003. 74 Dalam pemilu Duma 2007, sistem pemilunya diganti menjadi sistem proporsional daftar tertutup/tetap (daftar partai). Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari sistem mayoritarian yang melahirkan legislator-legislator independen (Trustee) yang memiliki sumber dana kuat. Begitu legislator ini masuk ke Duma, mereka bergabung ke salah satu fraksi partai. Tapi, kedudukannya di fraksi berbeda dengan Delegate (legislator yang meraup mandat lewat daftar partai). Dengan dananya yang kuat pula, legislator independen ini memperoleh keistimewaan. Yaitu semacam otonomi tersendiri dalam fraksinya, lepas dari jangkauan pimpinan partai/
72
73
74
Nico Lange/Anna Reismann, „Die politische Dauerkrise und Probleme der ukrainischen Verfassungsordnung”, ukraine-analysen 64/09, 10.11.2009, hal. 3. Istilah daftar tertutup di Indonesia berasal dari bahasa Inggeris closed list. Di Jerman namanya starre Liste atau daftar tetap. Penggunaan istilah daftar tertutup itu tidak menguntungkan. Sebab daftar tertutup di Indonesia dipahami sebagai memilih kucing dalam karung, yang dicoblos hanya gambar partai. Sementara itu, di Jerman, di dalam kertas suara, selain nama partai, di bawahnya tertera nama calon legislatornya secara berurutan. Dan jika nama partai itu dicoblos, maka terpilihlah caleg-caleg secara berurutan berdasarkan nomor sesuai dengan persentase perolehan partai. Jadi, nama-nama caleg itu terbuka, hanya saja urutannya tetap, tidak bisa dirubah-rubah. Juga setelah pemilu usai. Silvia von Steinsdorff, „Die russische Staatsduma“, Russlandanalysen 3/2003, hal. 4.
44 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
fraksi. Akibatnya, disiplin fraksi di parlemen melemah.75 Kehadiran legislator-legislator independen itu menimbulkan masalah baru, yaitu instabilitas politik dalam Duma tahun 1994-1995.76 Presiden Yeltsin misalnya, kesulitan memerintah oleh karena mayoritas parlemen tidak jelas. Fluktuasi antar fraksi sangat tinggi dengan kekaburan identifikasi partai para legislator tersebut.77 Akibat sistem mayoritarian dalam sistem pemilu campuran (hybrida) itu, tidak diherankan jika Duma kemasukan tokoh-tokoh terkenal seperti artis, seniman dan mantan olahragawan. Tentu saja, dengan dihapusnya sistem mayoritarian itu, tak sedikit tokoh-tokoh selebriti seperti juara olimpiade tari es, Irina Rodnina atau pemain hockey es yang legendaris, Wladislaw Tretjak, berbondong-bondong masuk ke partai pemerintah, Jedinaja Rossija (Rusia Bersatu atau Persatuan Rusia).78 Alexander Weschnjakow, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rusia, menyatakan, perubahan sistem campuran ke sistem proporsional daftar tertutup dimaksudkan untuk memperkuat pembangunan sistem kepartaian. Wladimir Schirinowski, wakil ketua Duma menyebutkan bahwa penghapusan sistem mayoritarian dalam sistem campuran itu ditujukan buat memberantas korupsi. Dalam prakteknya, dalam satu daerah pemilihan biayanya mencapai setengah juta USD. Hal ini jelas membuat perbedaan kesempatan para kontestan. Selain itu, tujuan politi para legislator tidak jelas.79 Nasib serupa menimpa Brazil, yang sistem pemilu Câmara dos Deputados (DPR Brazil) menerapkan sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak. Kata-kata “karnaval” dan “sirkus” kerap muncul di rubrik politik media massa Brazil. Terutama jika berbicara soal sistem dan UU pemilu legislatif. Satu bukti ganjil adalah terpilihnya komedian dan penyanyi kesohor Francisco Everardo Oliveira, terkenal dengan
75
76
77
78
79
Grigorii V. Golosov, „Die Novellierung von Partei- und Wahlgesetz in ihren Folgen fuer das russische Parteiensystem“, Russlandanalysen 53/05, hal. 3. Dieter Nohlen/Mirjana Kasapovic, Wahlsysteme und Systemwechsel in Osteuropa, Leske und Budrich, Opladen 1996, hal. 78-79. Margareta Mommsen, Russlands politisches Systems des Superpraesidentialismus dalam Hans-Hermann Hoehmann/Hans-henning Schroeder (Editor), Russland unter neuer Führung, Bundeszentrale fuer politische Bildung“, Krips B.V. Meppel/NL 2001, hal. 49. Angelika Nußberger/Dmitry Marenkov, „Wahlgesetz als Steuerungsmechanismus: Zu den neuen rechtlichen Grundlagen der Duma-Wahlen im Dezember 2007“, russlandanalysen Nr. 146, 26.10.2007, hal. 2. Experten kommentieren geplante Abschaffung direkter Parlamentsmandate, russland.ru, 11. Nov. 2004,
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 45
nama Tiririca. Semboyannya: “Apa sih yang dikerjakan oleh seorang anggota dewan? Jujur saja, saya tidak tahu. Tapi, pilihlah saya dan saya akan ceritakan kepada anda”. Dia terpilih menjadi anggota DPR Brazil dengan perolehan suara tertinggi 1,35 juta dalam pemilu tahun 2010. Keganjilan perolehan suara yang diraup sang humoris dan penyanyi Brazil itu dimungkinkan oleh sistem pemilu DPR Brazil. Akibat sistem ini, maka seorang pesohor cukup meraup 13.018 suara untuk terpilih karena partainya memperoleh jatah kursi, meski pun 56 calon legislatif (caleg) partai lain meraup suara lebih banyak ketimbang sang pesohor, tapi gagal masuk ke DPR gara-gara gagalnya partai ke 56 caleg untuk mendapatkan kursi. Sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak ini berkecenderung memperkuat dominasi seseorang di atas partai.80 Ihwal keberadaan caleg yang mendompleng dalam sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak dapat dijelaskan sebagai berikut: Dua partai A dan B berlaga di satu daerah pemilihan berkursi 6. Partai A meraup 12.000 suara dan Partai B 8.000 suara. Alhasil, dengan BPP 3.333, partai A berhak mendapatkan 4 kursi, sedangkan partai B memperoleh 2 kursi. Tabel 12. Simulasi Sistem Proporsional Daftar Terbuka Suara Terbanyak Partai
Perolehan Suara Caleg
Perolehan Suara Partai
A
Caleg D
Kursi Final
Terpilih
Caleg A
200
Caleg B
250
Caleg C
50
Caleg A
Caleg D
11.500
Caleg C
12.000
4
Caleg B
B
Caleg E
1.500
Caleg F
1.000
Caleg G
2.000
Caleg H
3.500
8.000
2
Caleg G Caleg H
Total Suara
20.000
Kursi
6
6
BPP
3.333
80
Martin Kores, „Die politische Reform in Brasilien – eine endlose Geschichte?“, Tópicos 03 | 2011, hal. 22
46 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Persoalannya: dari perolehan suara partai A yang 12.000 itu, yang 11.500 diraup oleh Caleg D (seorang caleg pesohor), sedangkan Caleg A, B dan C adalah caleg-caleg yang hanya dikenal didalam partai atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya saja. Tapi, berkat perolehan suara caleg D, ketiga pendompleng yaitu caleg A bersuara 200, B bersuara 250 dan C bersuara 50 berhak masuk ke parlemen, karena partai memborong 4 (empat) kursi. Dalam hal ini, caleg D berperan sebagai “kuda penarik pedati”. Secara tak disengaja, dengan mencoblos caleg D, pemilih memberikan suaranya kepada caleg A, B dan C. Sementara itu, karena parpol B hanya meraup 2 (dua) kursi, maka yang berhak menduduki kursi legislatif adalah caleg H (3.500 suara) dan G (2.000 suara), sedangkan caleg F (1.000 suara) dan E (1.500 suara) tidak lolos. Di Brazil disebut ganjil sebab suara caleg F (1.000) dan caleg E (1.500) jauh lebih banyak ketimbang caleg A (250), B (200) dan caleg C (50) dari parpol A. Jika sistem pemilunya mayoritarian berkursi 6, pasti caleg F dan G terpilih. Dengan keganjilan itu, maka dapat disimpulkan, bahwa Caleg A, B dan C masing-masing boleh meraup 1 suara alias coblosannya sendiri dan membiarkan caleg D yang berkampanye. Strategi parpol A adalah menurunkan pesohor disetiap dapil. Misalnya artis, pembawa acara TV, penyanyi dangdut dan sebagainya. Akibat yang terjadi, partai tidak mempunyai pengaruh terhadap caleg yang masuk ke parlemen. Setiap caleg bukan saja bersaing dengan caleg partai lain, namun dengan caleg separtainya juga. Tak bisa dihindari, jika pemilunya sarat kampanye dan membutuhkan dana luar biasa, melebihi ongkos pemilu di AS. Tak sedikit caleg yang terbelit hutang piutang dan karenanya harus mengikat dirinya pada pemberi hutang. Seusai kampanye, ongkos tersebut haruslah dibayar dan kewajiban melunasi hutang mesti dipenuhi. Hal ini kerap menjadi sumbernya kebobrokan ekonomi dan korupsi.81 Gaya pemilihan ini, ternyata menimbulkan segudang masalah. Umpamanya, tidak menguatkan kedudukan partai. Sebab, hubungan kandidat yang terpilih lebih dekat kepada para pemilihnya. Dengan melemahnya partai, persaingan internal dalam tubuh partai tidak bisa dielakkan. Lantas, dana pemilu umumnya harus ditanggung
81
Stefanie Laschinski, „Parteienkatalog Brasilien: Überblick über das brasilianische Wahl- und Parteiensystem im Wahljahr 2010“, Konrad Adenauer Stiftung, 1 April 2010, hal. 5-6, http:// www.kas.de/ DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 47
sendiri oleh masing-masing kandidat. Ini tentu memecut mentalitas individual (bukan lagi gotong royong) dan pengambilan jarak dari partai. Gara-gara dana juga, bibit-bibit patronase tradisional pun tumbuh subur. Pasalnya, kandidat yang sukses masuk ke DPR, biasanya berhutang budi kepada sang sponsor yang jelas mengharapkan “imbalan suka-rela”.82 Masalahnya: karena legislator lebih dekat pada daerah pemilihannya, agar sang legislator juga bisa terpilih kembali dalam pemilu berikutnya, maka kepentingan daerah menjadi mengemuka. Tak heran bila muncul keluhan, bahwa kualitas legislator menurun dan meningkatnya ketergantungan pada uang.83 Kendurnya hubungan antara wakil rakyat dengan fraksinya, tentu membawa masalah pelik di DPR. Disiplin fraksi menjadi amburadul. Di Brazil, seringkali didapati wakil rakyat yang cedera janji, bila sang Presiden perlu suara mayoritas. Sehingga, meski kubu koalisi Presiden menguasai mayoritas di parlemen, namun Presiden tidak bisa mengandalkan dukungan partai koalisi, kendati dari partai-partai itu direkrut anggota-anggota kabinet. Lemahnya disiplin partai koalisi pendukung Presiden, bahkan juga terjadi di Bolivia, Ekuador, Uruguay, Kolumbia dan Cile sebelum era Fujimori. Agar pemerintah memperoleh dukungan parlemen, maka jalan pintasnya adalah membeli para legislator. Hal tersebut terjadi misalnya pada saat pemerintahan Presiden Lula da Silva (1/1/2003 s.d. 1/1/2011). Bos kabinet dan orang terkuat di pemerintahannya, José Dirceu, ternyata telah membeli para kutu loncat partai lain dan mengucurkan dana kepada partaipartai dan legislatornya.84 Di Kolumbia, RUU yang umumnya berasal dari pemerintah memerlukan biaya tinggi, sebab harus memenuhi tuntutan-tuntutan pribadi para legislator. Inisiatif RUU jarang datang dari legislatif, terkecuali sebatas pada proyek-proyek regional demi memenuhi kepentingan konstituennya. Namun demikian, Presiden tidak harus tergantung pada kemauan legislator karena dia mempunyai kewenangan dekrit untuk mengesahkan UU.85
82
83 84
85
Harrald Barrion/Joerg Meyer-Stamer, „Vorwaerts-ruckwaerts-seitwaerts-Schluss: Wiedersprueche in den politischen und wirtschaftlichen Reformprozessen in Brasilien“, Brennpunkt Lateinamerika Nr. 5, 15 Maret 2000, Universitas Hamburg, hal. 14 Detlef Nolte, „Parlamentarisierung oder Staerkung der Parlamente?“, Hamburg 2000, hal. 15, Wilhelm Hofmeister, „Brasilien seit mehr als 100 Tagen im Bann der politischen Krise und kein Ende in Sicht, Focus Brasilien”, Nr. 7 / 2005 – 23/8/2005, hal 1 Kolumbien, Bertelsmann Transformation Index 2003, hal. 5-6,
48 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Secara individual, legislator tersebut mempunyai hak untuk pindah fraksi. Di Brazil, dalam dua periode antara tahun 1990-1994 dan 1994-1998, masing-masing 30 persen wakil rakyat menyeberang (kutu loncat).86 Dan bahkan ditemui wakil rakyat yang sudah empat kali pindah kubu.87 Pada tahun 1994, partai yang mendapatkan keuntungan dari kutu loncat tersebut adalah Partai PSDB dan PFL, poros penunjang pemerintah di bawah pimpinan Presiden Cardoso. Kursi Fraksi PSDB, partai Presiden, bertambah 33, dari 62 menjadi 95. Para kutu loncat tersebut merasa penting untuk bisa lebih merapat ke Presiden. Partai yang tidak mujur karena ditinggal legislatornya adalah partai-partai koalisi Presiden Cardoso, seperti PMDB yang kehilangan 19 kursi (dari 107 menjadi 88), PPB 12 kursi (dari 89 menjadi 77) dan PTB 8 kursi (31 menjadi 23). Penyeberangan para legislator itu memperkuat posisi tawar Presiden Cardoso. Dalam hal permainan uang dan kepentingan pribadi, di Brazil tahun 2006 misalnya terungkap 90 anggota DPR yang menerima uang gratifikasi yang bersumber dari anggaran belanja negara karena jasa mereka memasok mobil-mobil ambulans ke pemdapemda Brazil. Kasus suap membeli suara anggota dewan demi mayoritas parlemen tercatat pada bulan Mei 2005 sampai awal tahun 2006.88 Kasus-kasus penyuapan dan gratifikasi di Brazil menyebabkan lembaga legislatif dan sistem kepartaian menjadi lemah. Tentu saja, berlangsung usaha-usaha untuk memperbaiki sistem pemilu. Tahun 2011, partai pemerintah, misalnya PT, mengusulkan penerapan sistem “Lista Fechada” atau sistem proporsional daftar tertutup/tetap. Diharapkan, personalisasi pemilu bisa berakhir. Bukan pribadi sang caleg yang ditonjolkan, namun para caleg harus mengedepankan program partai. Lalu usulan larangan kutu loncat. Atau pada tahun 2005, Komisi Konstitusi DPR Brazil sudah mengusulkan antara lain penerapan sistem proporsional daftar tertutup, larangan kutu loncat, keharusan kesetiaan pada partai. Namun usulan tersebut ditolak oleh DPR.89 Melalui UU Kepartaian 1999, Bolivia menerapkan peraturan
86
87
88
89
Harrald Barrion/Joerg Meyer-Stamer, „Vorwaerts-ruckwaerts-seitwaerts-Schluss: Wiedersprueche in den politischen und wirtschaftlichen Reformprozessen in Brasilien“, Brennpunkt Lateinamerika Nr. 5, 15/3/2000, hal. 14, Universitas Hamburg 2000 Winfried Jung, „Cardoso als erster brasilianischer Praesident wieder gewaehlt“, KAS-Auslandsinformationen, Tahun 14 (1998), hal 9-10. Gilberto Calcagnotto, „Megawahlen – Mikroresultate? Brasilien unter Lula II“, GIGA Focus Lateinamerika 10/2006, hal. 4 Wilhelm Hofmeister, „Brasilien seit mehr als 100 Tagen im Bann der politischen Krise und kein DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 49
yang sama.90 Di Cile sendiri, kendati jumlah partai banyak, namun di sana dimainkan sistem pemilu “Binominal”, yang memaksa setiap partai harus berkoalisi sebelum terjun ke arena sistem mayoritan/ lurality berwakil ganda. Wakil rakyat yang ingin menyeberang menjadi terbatas karena diikat oleh janji koalisi sebelum turun berlaga.91 Sebenarnya, daftar terbuka itu bisa positif seperti yang terjadi di Britania Raya, Jerman dalam sebagian sistem pemilunya, Denmark atau Swiss. Penetapan daftar terbuka bisa bekerja dengan baik dalam sistem kepartaian yang sudah melembaga dan mengakar dalam masyarakat. Untuk menanggulangi problem munculnya legislator daerah atau daerah pemilihan dalam DPR-Nasional, maka misalnya di Denmark, Nikaragua atau Venezuela, dikenal legislator nasional. Caranya: (a) tidak semua kursi DPR diperebutkan sampai habis, tapi disediakan untuk daftar partai nasional atau (b) sisa kursi diberikan kepada daftar partai nasional.92 Satu hal perlu dicatat, bahwa legislator di Amerika Latin umumnya jarang berwawasan kenegaraan dan berorientasi untuk kepentingan umum. Akan tetapi kerap tunduk kepada kepentingan populistis dan kepentingan patron mereka. Mereka memperjuangkan kepentingan partikular. Tanggungjawab secara keseluruhan diserahkan kepada pihak eksektutif.93 Keterwakilan Perempuan Di dalam sistem proporsional terbuka (suara terbanyak), keterwakilan perempuan jauh lebih rendah ketimbang sistem proporsional daftar tertutup. Brazil yang menggunakan sistem tersebut, DPR-nya hanya sanggup diisi oleh 9 persen wakil-wakil perempuan, sedangkan dalam sistem proporsional closed list Argentina, DPR-nya diisi oleh 40 persen wakil-wakil perempuan (lihat tabel di bawah).
90
91
92
93
Ende in Sicht“, Focus Brasilien, Nr. 7 / 2005 – 23/8/2005, hal. 7 Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteinsystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, Cetakan ke 6, hal. 151 Hans-Hartwig Blomeier, „Cile 1997 – Die Parlamentswahlen im aktuellen politischen Kontext“, KAS-AI/98, hal. 27-35. Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, hal. 124-125, 261, 387-388, Ibid hal. 257.
50 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Tabel 13. Proporsi Keterwakilan Perempuan di Parlemen Uni- dan Bikameral Amerika Latin 20141) Peringkat di Dunia 1)
Negara 1)
Kuota ketetapan konstitusi atau UU Pemilu 2)
DPR % 1)
Senat
Sistem Pemilu 3)
% 1)
Sistem Pemilu 4)
20
Argentina
Ya
36,6 Prop. closed list
38,9 plurality with minority representation
52
Bolivia
Ya
25,4 campuran personalized proportional
47,2
plurality with minority representation
131
Brazil
hanya untuk DPR
8,6
Prop. open list
16,0
plurality
95
Cile
Tidak
15,8
Binominal
18,4
Binominal
33,3
Prop. closed list 9,4
plurality
27
Costa Rica
Ya
72
Rep. Dominika
hanya untuk DPR
9
Ekuador
Ya
41,6
20,8 Prop. closed list Plurality berdistrict magnitude rata-rata 4,5
42
El Salvador
Tidak
27,4
Prop. closed list
107
Guatemala
Tidak
13,3
Prop. closed list
50
Honduras
Ya
76
Kolumbia
Tidak
19,9
Prop. open list
22,5 Prop. open list
18
Meksiko
Ya
37,4
campuran segmented proportional
34,4 campuran segmented proportional with minority representation
8
Nicaragua
Tidak
25,8 Prop. closed list
42,4 Prop. closed list
79
Panama
Ya
19,3
Prop. open list
99
Paraguay
Ya
15,0
Prop. closed list
67
Peru
Ya
22,3
Prop. open list
109
Uruguay
Ya
13,1
Prop. closed list
89
Venezuela
Ya
17,0
campuran personalized proportional
20,0 Prop. closed list 6,5
Prop. closed list
Penjelasan (a) sistem mayoritan kerap disebut plurality; (b) proporsional closed list sengaja tidak diterjemahkan, sebab di Indonesia diartikan sebagai daftar tertutup. Padahal, pemahaman di Jerman misalnya adalah daftar tetap/baku, artinya di samping nama partai, tertera susunan daftar calon legislatif yang tidak boleh dirubah seusai pemilu.
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 51
1)
2)
3)
4)
Woman in national parliaments, Inter-Parliamentary Union, 1 Agustus 2014, http://www. ipu.org/wmn-e/classif.htm Leslie Schwindt-Bayer, „Die Repraesentation von Frauen in der Politik Lateinamerikas“, German Institute of Global and Area Studies, Institut fuer Lateinamerika-Studien, No. 5/2012, hal. 3. Anayeli García Martínez, „Mexiko: Frauen stellen mehr als ein Drittel des Parlaments Historisches Wahlergebnis“, LATEINAMERIKA/1359: IPS-Tagesdienst vom 13/7/2012, Dieter Nohlen, Wahlsystem und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Famington Hills, MI 2009, Cetakan ke 6, hal. 258-260 Detlef Nolte/Francisco Sánchez, “Representing Different Constituencies: Electoral Rules in Bicameral Systems in Latin America and Their Impact on Political Representation”, German Overseas Institute, GOI-WP-11/2005, hal. 26
Penetapan kuota perempuan secara formal memang sangat membantu. Hal ini juga bisa dilihat misalnya di luar Amerika Latin: dengan diterapkannya ketentuan kuota tahun 2007, di Kyrgiztan, persentase perempuan meningkat dari 0 persen (pemilu 2005) menjadi 23,3 persen (pemilu 2011). Di Eropa Timur, sejak berakhirnya kekuasaan komunis, ditetapkan kuota perempuan untuk parlemennya (Slovania, Polandia. Albania, Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Serbia, Montenegro).94 Meski misalnya UU Kepartaian di Argentina dan Brazil menetapkan keharusan kuota perempuan 30 persen,95 namun perbedaan sistem itu berpengaruh juga. Di Argentina, misalnya, wakil-wakil perempuan diuntungkan dengan proporsional closed list (daftar tertutup/tetap), oleh sebab mereka harus diletakkan pada nomor urut tertentu. Partai Ley de Cupos Argentina umpamanya, meletakkan perempuan di nomor urut ke 3, 6, 9 dan seterusnya. Ketetapan kuota perempuan yang dicantumkan dalam UU berlaku untuk seluruh partai di Bolivia. Di Paraguay sebaliknya, setiap nomor urut ke lima, sepuluh dan seterusnya harus lah diisi oleh kandidat feminista.96 Yang patut menjadi perhatian itu adalah mudahnya manipulasi ketentuan kuota dalam hal pergantian legislator perempuan di tengah-tengah periode jabatan. Di Kyrgyztan, kursi kosong tersebut diisi oleh legislator satu partai berdasarkan urutan selanjutnya, tanpa menyebutkan calon pengganti itu laki-laki atau perempuan 97.
94
95
96 97
Louise Sperl, “Women underrepresented in public decision-making. Can quotas help?”, 13/10/ 2011, http://europeandcis.undp.org Mala N. Htun, “Women’s Leadership in Latin America: Trends and Challenges”, New School University/Inter-American Dialogue, August 2000, hal . 5, http://www.iadb.org Ibid, hal . 8 Louise Sperl, “Women underrepresented in public decision-making. Can quotas help?”, 13/10/ 2011, http://europeandcis.undp.org
52 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Selain akibat ketetapan formal, proporsi perempuan di DPR dan Senat di mancanegara berkecenderungan tinggi, apabila untuk kedua majelis tersebut diterapkan sistem proprosional closed list. Tabel 14. Peranan Sistem Pemilihan Umum Terhadap Representasi Perempuan di Parlemen di Dunia Sistem
2012 a)
2000 b)
Sistem mayoritan (plurality)
14%
9
Sistem campuran
18%
11
Sistem proporsional
25%
15
Drude Dahlerup, ”Wahlquoten– Ein neuer globaler Trend” , Stockholm University, EAF Berlin 30/4/2014, hal. 33, http://frauen-macht-politik.de b) Mala N. Htun, “Women, Political Parties and Electoral Systems in Latin America”, Women in Parliament: Beyond Numbers, hal. 117, http://www.idea.int a)
Peranan Perempuan di Parlemen Amerika Latin Walaupun terjadi peningkatan kaum perempuan di parlemen unikameral dan bikameral Amerika Latin, namun beberapa catatan menarik untuk disimak: (a) Berdasarkan hasil pengamatan di Argentina, Kosta Rika, legislator perempuan menjadi panutannya kaum perempuan, merasa mewakili kepentingan dan bertanggung jawab atas isu-isu yang menyangkut perempuan.98 Survei 2002 di Brazil menyebutkan, bahwa 88 persen legislator Konggres Brazil secara konstan memperjuangkan isu kesejahteraan perempuan dan anak-anak.99 (b) Para legislator perempuan di Argentina, Kolumbia dan Kosta Rika berkemampuan berbeda dari para legislator laki-laki dalam bidang non-perempuan. Maka, dalam merealisasikan urusan nonperempuan (misalnya rancangan undang-undang), para legislator perempuan kalah sukses dibandingkan dengan para legislator lakilaki.100 (c) Terjadi proses marginalisasi terhadap para legislator perempuan di Argentina, Kolumbia dan Kosta Rika akibat norma-norma parlemen yang masih menganak-emaskan legislator laki-laki. Para
Leslie Schwindt-Bayer, „Die Repraesentation von Frauen in der Politik Lateinamerikas“, German Institute of Global and Area Studies, Institut fuer Lateinamerika-Studien, No. 5/2012, hal. 3. 99 Mayra Buvinic/Vivian Roza: „Women, Politics and Democratic Prospects. Latin America“, Inter-American Development Bank, Washington D.C, December 2004, hal. 10. 100 Leslie Schwindt-Bayer, „Die Repraesentation von Frauen in der Politik Lateinamerikas“, German Institute of Global and Area Studies, Institut fuer Lateinamerika-Studien, No. 5/2012, hal. 3 98
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 53
legislator laki-laki menganggap legislator perempuan berpendidikan rendah, tidak mampu untuk mengambil alih peran sebagai pimpinan, atau memenuhi kewajibannya sebagai anggota parlemen. Dengan marginalisasi ini, akhirnya para legislator perempuan didesak buat menggeluti bidang “betina” atau di bidang-bidang yang secara politis tak berpengaruh, sehingga para legislator lakilaki tetap mempertahankan pengaruhnya. Di Argentina misalnya, para legislator perempuan lebih cenderung beraktivitas di bidang yang secara tradisional berurusan dengan kepentingan perempuan. Misalnya menjadi anggota komisi di bidang pendidikan atau kesehatan, tapi jarang duduk di komisi seperti anggaran, ekonomi, pertanian atau luar negeri, sehingga produk legislasinya pun bisa dipastikan dekat dengan urusannya. Maka, sejak 1983 hanya 4 legislator perempuan yang berhasil menjadi wakil ketua parlemen.101 Berbeda dengan di Meksiko, para legislator laki-laki mendesak para legislator perempuan ke bidang yang lebih luas seperti menangani bidang sosial.102 Umumnya, legislator perempuan di Amerika Latin menangani isu politik yang “lembut”, seperti hak-hak perempuan, pendidikan dan kesehatan. Bidang-bidang yang berpengaruh seperti ekonomi, pertahanan dan luar negeri dikuasai legislator laki-laki, meskipun banyak legislator perempuan tertarik pada bidang-bidang tersebut. Agak berbeda di Kosta Rika. Di sana, para legislator perempuan lebih berhasil menyalurkan isu-isu “non-perempuan” ke dalam rancangan undang-undang. Namun demikian, mereka lebih banyak menduduki komisi urusan sosial ketimbang anggaran. Meskipun para legilator perempuan sukses menjabat wakil ketua parlemen atau ketuaketua komisi, tapi jarang ditemukan menjadi ketua komisi-komisi yang dikuasai oleh para legislator laki-laki, terutama di komisi yang sangat berpengaruh (komisi anggaran). Antara tahun 1974 s.d. 2006, hanya dua legislator perempuan berhasil menjadi ketua parlemen. Juga di Kolumbia, para legislator perempuan berhasil duduk di berbagai bidang di komisi-komisi DPR. Tapi di Senat, senator-senator perempuan lebih banyak mangajukan rancangan undang-undang di
101 102
Ibid, hal. 15, http://web.utk.edu Anayeli García Martínez, „Mexiko: Frauen stellen mehr als ein Drittel des Parlaments - Historisches Wahlergebnis“, LATEINAMERIKA/1359: IPS-Tagesdienst vom 13/7/ 2012,
54 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
bidang kesehatan, tapi jarang di bidang pertanian dan luar negeri. Meskipun di kedua majelis, legislator perempuan terwakili secara proporsional, namun tak ditemukan legislator perempuan yang menjabat sebagai ketua komisi ekonomi, anggaran atau luar negeri. Di Senat hanya satu legislator perempuan yang menduduki pos ketua komisi kesehatan. Antara tahun 1974 s.d. 2006 hanya dua perempuan yang sukses menjadi ketua DPR, dan satu perempuan menjadi ketua Senat.103
3. CARA PEMILIhAn CALOn LEgISLATOR104 Cara pemilihan caleg DPR terbagi ke ke dalam terbuka (inklusif) dan tertutup (eksklusif). Ke dalam yang terbuka adalah pemilihan yang diikuti oleh bukan anggota partai (segenap pemilih atau hanya simpatisan partai) dan anggota partai ditambah musyawarah delegasi. Dikategorikan kedalam tertutup jika yang memilih calon legislatornya hanya satu komite atau segelintir pimpinan partai atau ketua parpol. Tabel 15. Cara Pemilihan Legislator di Beberapa Negara
BERDASARKAN HIRARKHI ORGANISASI PARTAI
CARA PEMILIHAN CALEG
Lokal/ Daerah
Regional/ Provinsi
Nasional
Pemilih
USH
Simpatisan Partai
USH
Anggota
DKF, FANPSPCF, MCPANPRD BRACPT, USH
Konferensi Delegasi
DB, BAK, UKC
DB, CZAK
Komite atau segelintir ICDCPSI pimpinan/pengurus
ARGC
RUSDKPRFEINH, ICDPCI, FANRPRUDF, MCPRI
Ketua Partai
RUSDLDPR
NonPartai Inklusif
Partai
Eksklusif
Leslie Schwindt-Bayer, „Die Repräsentation von Frauen in der Politik Lateinamerikas“, German Institute of Global and Area Studies, Institut fuer Lateinamerika-Studien, No. 5/2012, hal. 3; 104 Erik Fritzsche, „Innerfraktionelle Geschlossenheit im internationalen Vergleich“, Technische Universitaet Dresden, Philosophische Fakultaet, Institut fuer Politikwissenschaft, 20/3/2008, hal. 77 103
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 55
PENJELASAN DPR
Partai di DPR
ARGC
Cámara de Diputados (DPR Argentina)
Partido Justicialista dan Unión Cívica 1989 s.d. 1997 Radical
Tahun Penelitian
BAK
Volksvertegenwoordigers/ Chambre des Représentants (DPR Belgia)
Katolik, Liberal dan Sosialis dua wilayah 1995 s.d. 2003 bahasa
BRACPT
Partai Buruh Câmara dos Deputados (DPR (Partido dos Brazil) Trabalhadores)
CZAK
Poslanecká sněmovna (DPR Ceko)
Semua partai kecuali Komunis dan parpol gurem
DB (DPR Jerman)
Deutscher Bundestag
Kristen, Liberal dan 1990an s.d. 2005 Sosdem
1998 s.d. 2000
1996 s.d. 2002
DKF (DPR Denmark) Folketing (DPR Denmark)
Semua partai
1990an s.d. 2005
FANPSPCF
Sosialis, Komunis
1998 s.d. 2002
Gaulistan dan Giscardistan
1988 s.d. 2002
Partai Kristen dan Sosialis
1970an s.d. 1988
Komunis
1970an s.d. 1988
FANRPRUDF ICDCPSI ICDPCI
Assembleé Nationale (DPR Perancis) Camera die Deputati (DPR Italia)
MCPANPRD Cámara Federal de Disputados (DPR Meksiko) MCPRI RUSDKPRFEINH
Duma (DPR Rusia)
RUSDLDPR
Partido Acción Nacional (PAN), Partido de la 1998 s.d. 2000 Revolución Democrática (PRD) Partido Revolucionario Institucional (PRI)
1998 s.d. 2000
Komunis dan United Russia
2000 s.d. 2003
Demokrat Liberal
2000 s.d. 2003
UKC
House of Commons (DPR Inggeris)
Konservatif, Buruh
1996 s.d. 2002
USH (DPR AS)
House of Representative (DPR AS)
Demokrat dan Republikan
1990an s.d. 2005
Sumber: Erik Fritzsche, „Innerfraktionelle Geschlossenheit im internationalen Vergleich“, Technische Universitaet Dresden, Philosophische Fakultaet, Institut fuer Politikwissenschaft, 20/3/2008, hal. 77
Cara Pemilihan Caleg Inklusif Di Amerika Serikat, caleg untuk DPR dipilih melalui berbagai ragam Primary. Misalnya Open Primary, di mana segenap pemilih terdaftar, dapat berpartisipasi di setiap primary yang diselenggarakan oleh setiap partai. Metoda Pemilihan ini diselenggarakan misalnya di negaranegara bagian (setara provinsi) Albama, Arkansas, Missisipi, Montana atau Wisconsin. Di negara bagian Illinois, North Carolina atau Ohio 56 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
umpamanya, diselenggarakan Semi-Open Primary. Setiap orang hanya dapat ikut serta dalam satu primary salah satu partai: di Primary Partai Republikan atau di Primary Partai Demokrat. Kemudian, di negara-negara bagian umpamanya Florida, Kentucky atau New York pemilihannya lewat Closed Primary. Artinya, hanya anggota partai yang terdaftar belaka atau setiap pemilih yang terdaftar asal menyatakan secara publik pilihannya. Jadi, Republikan atau simpatisan Republikan hanya boleh memilih Republikan. Di samping itu, hanya di negara bagian Massachusetts diterapkan Semi Closed Primary. Artinya, selain hanya anggota partai yang terdaftar, yang boleh memilih juga pemilih yang terdaftar, asalkan bukan anggota dari salah satu yang ada. Cara Pemilihan Caleg Ekskusif Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, contohnya Colorado, Wyoming, Nevada atau Alaska, pemilihan dilakukan lewat Caucus yang dibagi ke dalam Closed Caucus, artinya pemilih yang teregristasi di satu partai yang boleh memilih. Open Caucus berarti pemilih tak perlu menyatakan identitas partainya. Cara pemilihan ekslusif ini umumnya dianut di banyak negara. Caleg segenap Partai untuk DPR Denmark (DKF), Partai Sosialis dan Komunis Perancis (FANPSPCF), dan Partai Buruh Brazil (BRACPT) dipilih oleh anggota-anggota partai di tingkat lokal (dalam hal ini anak cabang partai misalnya di satu kabupaten/kota). Sementara itu, calon legislator Partai PAN dan PRD Meksiko (MCPANPRD) dipilih oleh anggota partai di tingkat regional/ provinsi. Perbedaan lokal dan regional dapat dijelaskan sebagai berikut: karena caleg mewakili daerah pemilihan, maka di Denmark dan Brazil dengan sistem proporsional daftar terbuka dan Perancis dengan sistem mayoritan alias di ketiga negara berdasarkan open list, maka daerah pemilihannya adalah administrasi pemerintahan yang setara dengan kabupaten/kota. Sementara itu, di Meksiko yang separoh sistem pemilunya proporsional daftar tertutup/tetap (closed list), legislatornya mewakili regional/provinsi. Calon legislator DPR partai-partai Katolik, Liberal dan Sosialis di Belgia (BAK) untuk kedua wilayah bahasa ditentukan oleh delegasi musyawarah partai tingkat daerah yang merupakan daerah pemilihan. Belgia adalah negara berbaahasa nasional Belanda dan Perancis dan akibatnya terdapat Partai Sosialis Belanda dan Partai Sosialis Perancis DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 57
atau Partai Kristen Belanda dan Partai Kristen Perancis). Artinya, selain inklusif dan eksklusif, pemilihan itu dibedakan juga dalam hierakhi partai. Seperti partai anak cabang (tingkat lokal), partai cabang (tingkat regional/provinsi) dan parpol pusat. Misalnya untuk caleg DPR tingkat nasional: wakil provinsi atau daerah pemilihan, yang menetapkan adalah partai cabang provinsi atau daerah pemilihan (prinsip desentralisasi partai). Biasanya, di setiap daerah pemilihan, diselenggarakan musyawarah partai untuk memilih calegnya. Atau jika terbuka, simpatisan partai juga dapat berpartisipasi untuk memilih.
4. PARLEMEn: JUMLAh AnggOTA MAJELIS PERTAMA (DEwAn PERwAKILAn RAKyAT) Jumlah anggota DPR yang ideal bisa dihitung dari jumlah penduduk sebuah negara. Rein Taagepera dan Matthew Shugart menyebutkan adanya hubungan antara besarnya parlemen dengan jumlah penduduk, yang secara matematis mengacu pada cube law yang bisa diformulasikan dalam rumus sebagai:105 s
=
3
p atau
s = p 1/3
dengan s = kursi parlemen dan p = populasi, jumlah penduduk Selain itu, ada dalil yang mendasarkan pada penduduk “aktif”, yaitu dengan menyertakan jumlah penduduk usia kerja dan yang “melek huruf”. Untuk kebanyakan negara berkembang, hanya penduduk “aktif” itu yang diperhitungkan. Rumusnya adalah: s
=
3
2LWp atau
s = (2Lwp) 1/3
dengan Wp = jumlah penduduk usia produktif dan L = tingkat kemampuan baca-tulis, bagian penduduk yang bebas buta-aksara
105
Rein Taagepera, “Limiting Frames of Political Games: Logical Quantitative Models of Size, Growth and Distribution”, Center for the Study of Democracy (University of California, Irvine), Year 2002 Paper 02-04, hal. 5.
58 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Di negara demokrasi yang sudah mapan dan juga negara industri maju, besaran parlemen umumnya adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk. Hampir tidak ada negara dengan parlemen yang anggotanya dua kali lebih banyak dari prediksi. Hanya beberapa negara yang parlemennya lebih kecil dari setengah angka prediksi. Tabel 16. Penghitungan Proporsi jumlah Penduduk dan Jumlah Legislator Negara
Penduduk
s = p 1/3
Kursi DPR
Nama DPR
Italia (2014)
59.960.000
391
625
Camera dei deputati
Britania Raya (2014)
64.510.000
401
650
House of Common
Jepang (2014)
127.060.000
503
480
Shūgiin
Perancis (2014)
63.950.000
400
577
Assemblee-Nationale
AS (2014)
318.810.000
683
435
House of Representatives
Jerman (2014)
80.500.000
432
598
Bundestag
Swis (2013)
8.050.000
200
200
Conseil national, Nationalrat, Consiglio nazionale, Cussegl naziunal
Belanda (2013)
16.820.000
256
150
Tweede Kamer
Swedia (2013)
9.600.000
213
349
Riksdag
Spanyol (2013)
46.100.000
359
350
Congreso de los Diputados
Kanada (2013)
35.310.000
328
308
House of Common
Australia (2013)
23.050.000
285
150
House of Representatives
Denmark (2013)
5.590.000
177
179
Folketing
Finlandia (2013)
5.450.000
176
200
Eduskuntatalo
Norwegia (2013)
5.090.000
172
169
Stortinget
Ausria (2014)
8.520.000
204
183
Nationalrat
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 59
Negara
Penduduk
s = p 1/3
Kursi DPR
Nama DPR
Belgia (2013)
11.180.000
224
150
Volksvertegenwoordigers, Chambre des Représentants, Abgeordnetenkammer
Portugis (2013)
10.560.000
219
230
Assembleia Da Republica
Untuk House of Representatives Amerika Serikat misalnya, jumlah kursi itu mula-mula 105 (Tahun 1790), kemudian bertambah dengan bergabungnya negara-negara bagian baru. Sejak tahun 1920 sampai sekarang menjadi 435.106 Namun dalam perkembangannya, jumlah kursi DPR AS sederap dengan dalil Cube Law. Tabel 17. Penghitungan Jumlah Legislator di Amerika Serikat Negara
Jumlah Penduduk
s = p 1/3
Kursi DPR
Amerika Serikat 1790
3.615.920
153,49
105
Amerika Serikat 1800
4.889.823
169,73
141
Amerika Serikat 1810
6.584.255
187,43
181
Amerika Serikat 1820
8.969.878
207,78
213
Amerika Serikat 1830
11.931.000
228,5
240
Amerika Serikat 1840
15.908.376
251,5
223
Amerika Serikat 1850
21.840.083
279,52
234
Amerika Serikat 1870
38.115.641
336,54
292
Amerika Serikat 1910
91.072.117
449,91
433
Amerika Serikat 1920
105.210.729
472,08
435
Amerika Serikat 2004
290.809.777
662,53
435
Antara 1790 s.d. 1920 dikutip dari Michel L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C. 2001, hal. 158-180; Data tahun 2004 dikutip dari Der Fischer Weltalmanach 2005, Frankfurt am Main, hal. 454.
Lalu bagaimana dengan jumlah kursi di DPR-RI? Jumlah kursi DPR Indonesia tidak mengikuti cube law yang memang bukan satu keharusan. Contoh adalah kursi DPR 1955, 1971, 1999, dan 2004.
106
Michel L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C. 2001, hal. 158-180.
60 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Tabel 18. Jumlah Penghitungan Legislator di Indonesia Tahun
Penduduk
p 1/3
Kursi DPR
Penjelasan Pra Orde Lama
78.362.080
428
260
1971 b)
119.208.229
492
360
Orde Baru
1999 c)
209.389.400
594
462
Orde Reformasi
2004 d)
214.884.220
599
550
1955
a)
TAHUN 1955: RANTJANGAN, Bab 15. Penduduk, Angka Pendaftaran Pemilu DPR/Konst. penduduk, Pendaftaran tahun 1954, hal. 299¸ www.bappenas.go.id; Pemilu Untuk Pemilu, Modul 1 – PEMILU UNTUK PEMULA, Bab V Hasil Pemilu, Jumlah Anggota DPR (menurut Daerah Pemilihan), Jakarta, November 2010, hal. 34, www.kpu.go.id Data penduduk Irian Barat dikutip dari UU 15/1956, PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM PROPINSI IRIAN BARAT
a)
TAHUN 1971: Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010, http://www.bps.go.id; Pasal 7 ayat 3 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor 2 Tentang Pelaksanaan UU No. 16 Tahun 1969, Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
b)
TAHUN 1999: Komisi Pemilihan Umum, „Penjelasan Tentang Tata Cara Pembagian Kursi DPR dan DPRD dan Tentang STEMBUSH ACCORD“, http://www.kpu.go.id; „Anggota DPR Akan Wakili 450 Ribu Rakyat“, detikcom, 01.04. 1999; „KPU Putuskan Timtim Tetap Ikut Pemilu“, Media 06.04.1999. Tentang TimTim: “Dengan mengingat keadaan di Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang jumlah Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum bagi daerah Pemilihan Timor Timur ditetapkan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang” (Pasal 1 ayat 2 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1985 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1969 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTAANGGOTA BADAN PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH TIGA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1985) dan „Jumlah Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum bagi Daerah Pemilihan Timor Timur sesuai ketentuan Pasal 176 Peraturan Pemerintah ditetapkan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang“ (Pasal 3 ayat 1 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1991 TENTANG PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI PROPINSI DAERAH TINGKAT I TIMOR TIMUR); Lihat juga Komisi Pemilihan Umum, “Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1999”, Buku Lampiran IV Pemilihan Umum 1999, hal. 3; c)
TAHUN 2004: Komisi Pemilihan Umum, Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 640 Tahun 2003 tanggal 20 November 2003 mengenai Penetapan Daerah Pemilihan dan Tata Cara Perhitungan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Setiap Provinsi Seluruh Indonesia dalam Pemilihan Umum Tahun 2004; Pipit R. Kartawidjaja/Sidik Pramono, “Akal-Akalan Daerah Pemilihan”, Perludem, Jakarta 2007, hal. 32
d)
Alokasi Kursi DPR Ke negara Bagian atau Provinsi Pada tahap pertama, tidak tergantung pada sistem pemilu, kursi DPR dialokasikan ke daerah pemilihan berupa wilayah administrasi negara/pemerintahan berupa negara bagian/provinsi. Berbeda misalnya dengan di Belanda yang tidak mengalokasikan kursinya ke setiap 12
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 61
provinsinya107 akibat daerah pemilihannya nasional,108 maka contohnya 435 kursi DPR AS (Amerika Serikat) itu dialokasikan ke 50 negara bagian (setara provinsi). Pada awal perjalanan bangsa, pertanyaannya adalah bagaimana mengalokasikan kursi DPR AS itu? Berdasarkan jumlah penduduk ataukah wilayah? Sebagai bagian kompromi besar dari dukungan terhadap gagasan parlemen yang terdiri dari dua majelis, House of Representatives yang mewakili populasi dan Senate sebagai representan negara bagian yang setara.109 Tahun 1992, Supreme Court AS mengukuhkan, bahwa faktor penentu satu daerah pemilihan DPR adalah jumlah penduduk: “House of Representatives mewakili manusia dan bukan luas kilometerpersegi atau banyaknya pepohonan”.110 Dengan demikian jelaslah, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat itu mewakili hanya penduduk, sedangkan Senat mewakili daerah. Setiap 10 tahun, ke 435 kursi DPR dialokasi ulang, sesuai dengan sensus penduduk per 10 tahunan. Dalam hal ini, pihak yang berwenang untuk mengalokasi ulang kursi DPR adalah US Census Bureau.111 Seperti halnya di AS, pengalokasian ulang dilakukan sederap dengan sensus penduduk. Misalnya Belgia per 10 tahun, Denmark per 5 tahun, Kanada per 10 tahun, Inggeris per 10 sampai 15 tahun, Spanyol menjelang pemilu atau Amerika Serikat per 10 tahun.112 Bukan penduduk, melainkan berdasarkan jumlah pemilih sah yang terdaftar menjadi tolok ukur besaran daerah pemilih (district magnitude) seperti di Portugis.113 Untuk mengalokasi 435 kursi DPR AS, Supreme Court mengukuhkan penggunaan metoda divisor varian Huntington-Hill, juga dikenal sebagai
Verwaltungsstrukturen in den Niederlanden“, Westfaelische Wilhelms-Universitaet Muenster http://www.uni-muenster.de/NiederlandeNet/ 108 Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensysteme, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, hal. 217 109 Michel L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C. 2001, hal. 157. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas dan Disproporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies, Jakarta Maret 2012, hal. 9. 110 „Black & White“, Der Spiegel 40/1964, 30.09.1964, 111 United States Cencus Bureau, “Congresional Apportionment”, 2010 Census Briefs, November 2011, https://www.census.gov/ 112 Max-Planck-Institut fuer auslaendisches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, „Wahlkreiseinteilung in westlichen europaeischen Demokratien, den USA und Kanada“, rekomendasi terhadap permintaan Mahkamah Konstitusi Jerman 29/1/1997, hal. 635. Kristin D. Burnett, “Congressional Apportionment”, 2010 Cencus Briefs November 2011, hal. 2, http://www.census.gov 113 Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, Cetakan ke VI, hal. 89. 107
62 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
method geometric mean atau equal proportion,114 yang dipakai sejak 1941: Divisor Huntington-Hill:115 dengan n = 0, 1, 2, 3. . dst, sehingga divisor menjadi 0 - 1,414 - 2.449 - 2,464, dst. Divisor 0 (nol) berarti, bahwa setiap negara bagian dijamin memperoleh 1 (satu) kursi, seperti misalnya Alaska, Delaware, Montana, North Dakota, Vermont dan Wyoming yang masing-masing memperoleh 1 (satu) kursi DPR.116 Alokasi Kursi DPR AS 2010-2019
United States Cencus Bureau, Congressional Apportionment; 2010 Census Briefs
114
115
116
Michel L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C. 2001, hal. 157.Method of Aportionment, United States Census, https://www. census.gov/. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas dan Disproporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies, Jakarta Maret 2012, hal. 91-121. Michel L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C. 2001, hal. 99. Kristin D. Burnett, “Congressional Apportionment”, 2010 Cencus Briefs November 2011, hal. 6, http://www.census.gov/. Das Divisorverfahren mit geometrischer Rundung, http://www.wahlrecht.de/.Pipit R. Kartawidjaja/M. Faishal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian I), Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2014, hal. 144-147 Kristin D. Burnett, “Congressional Apportionment”, 2010 Cencus Briefs November 2011, hal. 6, http://www.census.gov/ DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 63
Jika perkembangan alokasi kursi DPR AS ke negara-negara bagian New York, California, Texas dan Florida itu misalnya dicermati, maka kursi negara bagian New York terus menerus menyusut, sedangkan negara bagian California, Texas dan Florida bertambah. Maklum, tolok ukur alokasi kursi DPR adalah jumlah penduduk. Tabel 19. Beberapa Alokasi House of Representatives Amerika Serikat Beberapa Alokasi House of Representatives Amerika Serikat (Total Kursi 435) Negara Bagian
1960 a)
1970 a)
1980 a)
1990 a)
2000 a)
2010 b)
New York
41
39
34
31
29
27
California
38
43
45
52
53
53
Texas
23
24
27
30
32
36
Florida
12
15
19
23
25
27
a) b)
Michael L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C, Cetakan kedua, 2001, hal. 174-180 U.S. Census Bureau, U.S. Department of Commerce: “2010 Apportionment Results, Table 1: Apportionment Population and Nummber of Representatives, by State: 2010 Census”, http://www.census.gov
Pasang surutnya jumlah kursi untuk setiap negara bagian merupakan hal yang lumrah di Amerika Serikat: Tabel 20. Perubahan Kursi 2010 Terhadap 2000 Perubahan Kursi 2010 Terhadap 2000 Bertambah 4 kursi
Texas
Bertambah 2 kursi
Bertambah 1 kursi
Berkurang 1 kursi
Berkurang 2 kursi
Florida
Arizona Georgia Nevada South Carolina Utah Washington
Illinois Iowa Louisiana Massachusetts Michigan Missouri New Jersey Pennsylvania
New York Ohio
Sumber: United States Cencus Bureau, “Congressional Apportionment”; 2010 Census Briefs http://www.census.gov
Keharusan mengalokasi ulang akibat perubahan jumlah penduduk tidak dikenal di Indonesia. Alokasi kursi di Indonesia dianggap sebagai hak warisan, yang tak boleh diganggu gugat. Sejarah alokasi kursi DPR AS terbilang menarik. Perdebatan seru
64 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
selalu berlangsung dalam parlemen. Alokasi kursi DPR Amerika Serikat berkaitan erat dengan jumlah delegasi electoral college satu negara bagian buat memilih Presiden. Sebagai contoh: untuk kurun waktu 2010 s.d. 2019, negara bagian New York berhak mengirimkan 29 delegasi electoral college. Jumlah tersebut diperoleh dari jumlah kursi New York di House of Representatives sebanyak 27 ditambah jumlah kursi New York di Senat sebanyak 2. Begitu pula juga ke 55 orang delegasi electoral college dari negara bagian California yang berasal dari 2 kursi di Senat dan 53 kursi di DPR.117 Metoda perhitungan alokasi kursi DPR AS memang berganti-ganti: Tahun 1791, disepakati memakai metoda divisor Jefferson (sama dengan d`Hondt) guna mengalokasikan 105 kursi DPR AS ke setiap negara bagian (setera dengan provinsi). Tahun 1842 dipilih metoda divisor varian Webster (sama dengan Saint Lagûe) untuk mengalokasikan 223 kursi DPR AS. Buat membagi 234 kursi DPR pada tahun 1852 dipakai metoda kuota Hamilton (sama dengan Hare) dengan sisa suara terbanyak (metoda penghitungan suara yang dipakai di Indonesia ssekarang). Seteleh diketemukannya Alabama Paradox (1880), New State Paradox (1902) dan Population Paradox (1907) akibat metoda kuota Hamilton dengan sisa suara terbanyak itu, maka cara penghitungannya beralih ke metoda divisor varian Webster buat mengalokasikan 433 kursi (1911).118 Tahun 1992 Supreme Court AS menolak gugatan negara bagian Montana yang kehilangan 1 (satu) kursi akibat cara penghitungan pengalokasian kursi DPR metoda divisor tersebut,119 dan menetapkan metoda divisor varian Huntington-Hill yang dipakai sejak 1941.120 Metoda penghitungan yang hanya dipakai di Amerika Serikat itu, khasiatnya meminimalisasi kesenjangan kadar keterwakilan antar satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain.121
U.S. Electoral College, “Distribution of Electoral Votes”, http://www.archives.gov/. Congressional Appoortionment, 2010 CENSUS, U.S. Census Bureau, http://www.census.gov 118 Pipit R. Karatawidjaja/M. Faishal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian I), Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2014, hal. 127-131 119 A Little History, http://www.ctl.ua.edu/math103/apportionment/apphisty.htm 120 A Little History, http://www.ctl.ua.edu/math103/apportionment/apphisty.htm; Kisah menarik dapat dibaca juga dalam Michael L. Balinski/H. Peyton Young, Fair Representation, Brookings Institution Press, Washington D.C, Cetakan kedua, 2001. 121 Martin Fehndrich, „Hill/Huntington: Das Divisorverfahren mit geometrischer Rundung“, 10.04.2007, http://www.wahlrecht.de/l 117
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 65
Alokasi Kursi DPR-RI ke Provinsi dan Bagian-Bagian Provinsi Di Indonesia, apabila jumlah kursi untuk DPR 2004 setidak-tidaknya mengacu pada Cube Law, maka problem besar alokasi kursi DPR 2004, yang tetap menjadi masalah pada alokasi kursi DPR 2009 dan 2014 itu, tidak akan terjadi. Perkaranya: untuk DPR 2004, ditetapkan 550 kursi. Jumlah ini ternyata kurang, jika amanat UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu anggota Legislatif dipatuhi. Padahal, KPU sudah meminta agar kursi DPR ditambah menjadi minimal antara 557 s.d. 560. Namun permintaan KPU ditolak. Akibatnya, alokasi DPR 2004 harus dimanipulasi dan sarat akal-akalan. Kekeliruan alokasi kursi DPR 2004 sama sekali tidak direvisi oleh UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk DPR 2009. UU ini samasekali tidak menyebutkan cara dan kriteria alokasi kursi yang bertambah menjadi 560. Alokasi ke 560 kursi ibarat jatuh dari langit dan tiba-tiba muncul di dalam lampiran UU. Kekeliruan alokasi kursi DPR 2004 itu didiamkan. Begitu juga dengan UU No. UndangUndang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sama sekali tidak menyebut cara dan kriteria alokasi kursi, serta tanpa memperhatikan jumlah penduduk. Akibatnya, jika alokasi DPR 2004, DPR 2009 dan 2014 dipersandingkan, provinsi-provinsi yang menjadi anak emas adalah Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Sedangkan provinsi-provinsi yang menjadi anak tiri adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Kursi di provinsiprovinsi anak tiri tersebut “dicuri” masing-masing 1 sampai 3. Terbanyak adalah provinsi Papua yang harus menyerahkan tumbal sebanyak 3 kursi.122 Paparan di sini tidak hendak menguraikan secara rinci permasalahan alokasi kursi DPR 2004 dan 2009, namun langsung mencermati
122
Pipit R. Kartawidjaja, Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004, INSIDE, Jakarta September 2004, hal. 7-32. Pipit R. Kartawidjaja/Sidik Pramono, Akal-Akalan Daerah Pemilihan, Perludem, Jakarta 2007, hal. 51-58. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas dan Disproporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies, Jakarta Maret 2012, hal. 19-30. Harun Husein, „Mahalnya Kursi Luar Jawa“, Teraju, REPUBLIKA, 16/4/2013, hal. 23-26. Harun Husein, Pemilu Indonesia: Fakta, Angka, Analisis dan Studi Banding, Perludem, Jakarta 2013, hal. 325-356.
66 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
alokasi kursi DPR 2014. Di bawah ini bisa disimak alokasi kursi DPR 2014 (Urutan Berdasarkan Kuota): Table 21. Alokasi Kursi DPR Indonesia 2014 PROVINSI
PENDUDUK
KURSI
KUOTA
%THD RATA2
% THDTERENDAH (PAPUA BARAT) 173,72%
KEP. RIAU
1.895.590
3
631.863
140,51%
RIAU
6.456.322
11
586.938
130,52%
161,37%
NUSA TENGGARA BARAT
5.398.573
10
539.857
120,05%
148,43%
SULAWESI TENGGARA
2.691.623
5
538.325
119,71%
148,00%
LAMPUNG
9.586.492
18
532.583
118,43%
146,43%
SULAWESI BARAT
1.589.162
3
529.721
117,80%
145,64%
KALIMANTAN TIMUR
4.154.954
8
519.369
115,50%
142,79%
KALIMANTAN BARAT
5.193.272
10
519.327
115,49%
142,78%
SUMATERA UTARA
15.227.719
30
507.591
112,88%
139,55%
JAMBI
3.532.126
7
504.589
112,21%
138,73%
SUMATERA SELATAN
8.528.719
17
501.689
111,56%
137,93%
BENGKULU
1.996.538
4
499.135
111,00%
137,23%
SULAWESI TENGAH
2.935.343
6
489.224
108,79%
134,50%
BALI
4.227.705
9
469.745
104,46%
129,15%
MALUKU
1.866.248
4
466.562
103,75%
128,27%
DKI JAKARTA
9.603.417
21
457.306
101,69%
125,73%
BANTEN
9.938.820
22
451.765
100,46%
124,21%
BANGKA BELITUNG
1.349.199
3
449.733
100,01%
123,65%
INDONESIA (RATA-RATA)
251.824.296
560
449.686
123,63%
KALIMANTAN TENGAH
2.640.070
6
440.012
97,85%
120,97%
JAWA BARAT
39.910.274
91
438.574
97,53%
120,58%
DI YOGYAKARTA
3.458.029
8
432.254
96,12%
118,84%
SULAWESI UTARA
2.583.511
6
430.585
95,75%
118,38%
JAWA TIMUR
37.269.885
87
428.389
95,26%
117,78%
JAWA TENGAH
32.578.357
77
423.096
94,09%
116,32%
PAPUA
4.224.232
10
422.423
93,94%
116,14%
MALUKU UTARA
1.258.354
3
419.451
93,28%
115,32%
NUSA TENGGARA TIMUR
5.343.902
13
411.069
91,41%
113,02%
SUMATERA BARAT
5.617.977
14
401.284
89,24%
110,33%
SULAWESI SELATAN
9.368.107
24
390.338
86,80%
107,32%
ACEH
5.015.234
13
385.787
85,79%
106,07%
GORONTALO
1.147.528
3
382.509
85,06%
105,16%
KALIMANTAN SELATAN
4.145.843
11
376.895
83,81%
103,62%
1.091.171
3
363.724
80,88%
100,00%
PAPUA BARAT
Lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Data Penduduk berdasarkan Keputusan KPU, 93 s.d. 126/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 Maret 2013
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 67
Kuota Indonesia rata-rata untuk DPR 2014 tercatat 449.686. Artinya, seorang legislator DPR layaknya mewakili 449.686 penduduk, jika diterapkan asas umum: “umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial” dan “derajat keterwakilan yang lebih tinggi”.123 Dari kuota rata-rata tersebut, maka keterwakilan terbagi ke dalam dua kelompok. Yaitu (a) “over-represented” (keterwakilan anak emas), yang berkuota kurang rata-rata, meliputi 15 provinsi (mulai dari Kalimantan Tengah sampai Papua Barat) dan (b) “underrepresented” (keterwakilan anak tiri), yang berkuota melebihi rata-rata, meliputi 18 provinsi (dari Kepulauan Riau sampai Bangka Belitung). Perbedaan antar overrepresented terburuk dan underrepresented terbaik sangat mencolok. Contoh: seorang legislator mewakili 631.863 penduduk Kepulauan Riau, tapi hanya mewakili 363.724 penduduk Papua Barat. Dengan kata lain, perbedaan keterwakilan penduduk Kepulauan Riau dengan penduduk Papua Barat mencapai 173,72%. Artinya, nilai penduduk Papua Barat itu 1,74 kalinya nilai penduduk Kepulauan Riau. Dan alasan perbedaan-perbedaan tersebut sama sekali tidak dijelaskan oleh Undang-Undang. Padahal, misi pemilu 2014 itu berbunga-bunga: bersifat “adil” dan “umum” (bermakna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial) dan mempunyai “derajat keterwakilan yang lebih tinggi“.124 Meski bertentangan dengan misi Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, alokasi kursi DPR 2014 itu diabsahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 96/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 5 September 2013. Jika alokasi kursi DPR-RI 2014 sudah tidak benar, maka bagaimana nasib alokasi kursi di setiap provinsi?
Bab I. Umum Penjelasan Tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 124 Bab I. Umum Penjelasan Tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 123
68 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Alokasi Kursi negara Bagian (Provinsi) ke Daerah-daerah Pemilihan Sesuai dengan sistem pemilunya mayoritan sederhana (kerap disebut sebagai plurality), maka pada tahap kedua (setelah kursi dialokasikan ke negara bagian), di setiap negara bagian dibentuk daerah pemilihan berwakil tunggal. Contohnya negara bagian California berkursi 53 itu dibagi menjadi 53 distrik pemilihan (atau daerah pemilihan). Dan sesuai dengan azas one person one vote, maka setiap penduduk mestilah berderajat keterwakilan sama. Mahkamah Agung AS tahun 1964 sudah menyatakan bahwa “districts should be drawn to reflect substantial equality of population”, Dan akibat fatwa tersebut, perbedaan sekecil apapun antar daerah pemilihan dalam satu negara bagian (setara provinsi) haruslah beralasan.125 Oleh sebab ketatnya pengaturan ini, maka perbedaan jumlah penduduk antardaerah pemilihan di kebanyakan negara bagian terhadap kuota rata-rata tercatat hanya 1 persen.126 Di negara lainnya, berlaku hal serupa. Bundesverfassungsgericht (Mahkamah Konstitusi Jerman) misalnya menurunkan fatwa, bahwa perbedaan kuota (perbandingan jumlah penduduk terhadap kursi satu daerah pemilihan) terhadap kuota rata-rata tak boleh melebihi 15 persen.127 Bahkan, tolok ukur jumlah penduduk itu juga memperhatikan jumlah anak-anak di bawah umur di setiap daerah pemilihan. 128 Mahkamah Agung Jepang berfatwa, bahwa 4 daerah pemilihan pemilu 2001 tidak sesuai dengan konstitusi. Besaran daerah pemilihan (district magnitude) wilayah administrasi pemerintahan Tochigi dan Gunma yang semula masing-masing berkursi 4 dikurangi menjadi masingmasing 2 kursi. Sementara besaran daerah pemilihan wilayah administrasi pemerintahan Chiba dan Tokyo naik menjadi 6 (dari 4) dan 10 (dari 8) kursi.129 Fatwa Supreme Court Irlandia melarang perbedaan
Dimuat dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) Nomor 2 BvF 1/95, 10/04/1997 126 Michael Schroeder, Gebiete optimal aufteilen: OR – Verfahren fuer die Gebietsaufteilung als Anwendungsfall gleichmaessiger Baumzerlegung, Universitaet Friedericiana Karlsruhe 2001, hal. 12 127 Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) Nomor 2 BvR 1252/99, 2 BvR 1253/99, 2 BvR 1254/99, 2 BvR 1255/99, 2 BvR 1256/99, 2 BvR 1257/992 BvF 1/95, 18/07/2001Bundesverfassungsgericht, Wahlkreiseinteilung Krefeld, 2 BvR 1252/99, 2 BvR 1253/99, 2 BvR 1254/99, 2 BvR 1255/99, 2 BvR 1256/99, 2 BvR 1257/99, 128 Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) Nomor 2 BvC 3/11 tanggal 10/02/2011 129 Axel Klein, “Das Politische System Japan”, http://www.dijtokyo.org/ 125
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 69
besaran daerah pemilihan (district magnitude) di atas 17 (tujuh belas) persen. Tidak konstitusional bila perbedaan jumlah penduduk satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain dalam satu Departemen melebihi 20 persen di Kanada dan dalam satu Departemen di Perancis (catatan penulis: departemen itu tingkatan di bawah region).130 Di Selandia baru jumlah penduduk setiap daerah pemilihan harus setara, perbedaan hanya diperbolehkan maksimal 5 (lima) persen.131 Oleh karena di Indonesia dipakai sistem proporsional open list suara terbanyak dan diterapkan untuk besaran daerah pemilihan antara 3 s.d. 10 kursi,132 maka provinsi yang memiliki kursi lebih dari 10 mesti dibagi ke dalam daerah-daerah pemilihan. Misalnya, provinsi Jawa Barat untuk pemilu 2014 yang berkursi 91 itu dibagi menjadi 11 daerah pemilihan. Sedangkan provinsi Papua yang mendapatkan 10 kursi tetap utuh satu daerah pemilihan. Alhasil, daerah pemilihan DPR 2014 berjumlah 77. Terdiri dari murni provinsi (contoh Papua, Papua Barat, Kepulauan Riau atau Gorontalo), gabungan kabupaten/kota (contoh kota Surabaya dan kabupaten Sidoarjo), gabungan kota/kota (misal kota Depok dan kota Bekasi), gabungan kabupaten/kabupaten (contoh: Kabupaten Probolinggo, Kab. Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo) atau hanya kabupaten. Gabungan kabupaten/kota terbanyak ditemui di provinsi Papua, yang mencapai 23.133 Berangkat dari kenyataan ihwal amburadulnya alokasi kursi DPR 2014, maka bagaimana dengan nasib alokasi kursi misalnya di provinsi Jawa Barat?
Bundesverfassungsgericht alias Mahkamah Konstitusi Jerman mengutip fatwa Supreme Court AS, Fatwa No. 2 BvF 1/95, 10.04.1997 131 Michael Schroeder, Gebiete optimal aufteilen: OR – Verfahren fuer die Gebietsaufteilung als Anwendungsfall gleichmaessiger Baumzerlegung, Universitaet Fridericiana Karlsruhe 2001, hal. 14 132 Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 133 Lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 130
70 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Tabel 22. Alokasi Kursi DPR 2014 Jawa Barat DAPIL
PENDUDUK a)
KURSI b)
KUOTA
% THD RATA-RATA
%THD TERENDAH (JABAR III)
JABAR VI
3.691.500
6
615.250
140,28%
190,35%
JABAR VII
5.182.247
10
518.225
118,16%
160,33%
JABAR VIII
4.355.716
9
483.968
110,35%
149,73% 148,39%
JABAR IX
3.837.116
8
479.640
109,36%
JABAR II
4.512.574
10
451.257
102,89%
139,61%
39.910.274
91
438.574
100,00%
135,69%
JABAR XI
4.261.942
10
426.194
97,18%
131,86%
JABAR X
2.749.479
7
392.783
89,56%
121,52%
JABAR
JABAR I
2.728.679
7
389.811
88,88%
120,60%
JABAR V
3.489.223
9
387.691
88,40%
119,95%
JABAR IV
2.192.819
6
365.470
83,33%
JABAR III
2.908.979
9
323.220
73,70%
113,07% 100,00%
Lampiran II.32.01 s.d. 32.17 dan 32.71-32.79, 104/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 Maret 2013 Lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
a)
b)
Dari tabel di atas terdapat tiga temuan penting yakni pertama. Perbedaan keterwakilan antara daerah pemilihan JABAR VI (kuota 615.250) dengan keterwakilan daerah pemilihan JABAR III (kuota 323.220) mencapai 190 persen atau hampir duakali lipatnya. Praktis nilai penduduk daerah pemilihan JABAR III itu 1,90 kalinya penduduk daerah pemilihan JABAR VI. Bahkan, perbedaan nilai penduduk daerah pemilihan yang bertentanggaanpun, misalnya di Dapil JABAR V (Kabupaten Bogor) dengan Dapil JABAR VI (Kota Depok dan Kota Bekasi) sangat mencolok (387.691 berbanding 615.250). Artinya, dalam satu provinsi sendiripun, nilai pemilih tidak setara. Temuan kedua: Jika dilihat dari sudut Indonesia secara keseluruhan, maka daerah kuota kursi di daerah pemilihan JABAR III (323.220) lebih rendah daripada di Papua Barat (363.724). Artinya, penduduk daerah pemilihan JABAR III lebih baik ketimbang penduduk provinsi Papua Barat. Temuan ketiga. Perbedaan keterwakilan antara daerah pemilihan Kepulauan Riau (kuota 631.863) dengan keterwakilan daerah pemilihan JABAR III (kuota 323.220) mencapai 195,47 persen atau hampir duakali lipatnya. Praktis nilai penduduk daerah pemilihan JABAR III itu 1,95 kalinya penduduk daerah pemilihan Kepulauan Riau.
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 71
Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat Untuk Pemilu DPR 2014
Sumber: Daerah Pemilihan, kpu.go.id; Lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Lalu bagaimana alokasi seharusnya, jika dengan mengabaikan perkembangan jumlah penduduk, di provinsi Jawa Barat dilakukan alokasi ulang? Hasilnya, Dapil JABAR VII yang berkursi 12 itu mesti dipilah. Tabel 23. Perhitungan Ulang Alokasi Kursi DPRD Jawa Barat ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT DAPIL
PENDUDUK
MENURUT UU No. 8/2014 KURSI
KUOTA
KURSI
KUOTA
SELISIH MENURUT UU TERHADAP ULANG
SEHARUSNYA PORSI KURSI
JABAR I
2.728.679
7
389.811
6,22
6
454.780
+1
JABAR II
4.512.574
10
451.257
10,29
10
451.257
0
JABAR III
2.908.979
9
323.220
6,63
6
484.830
+3
JABAR IV
2.192.819
6
365.470
5
6
365.470
0
JABAR IX
3.837.116
8
479.640
8,75
9
426.346
-1
JABAR V
3.489.223
9
387.691
7,96
8
436.153
1
JABAR VI
3.691.500
6
615.250
8,42
8
461.438
-2
JABAR VII
5.182.247
10
518.225
11,82
12
431.854
-2
JABAR VIII
4.355.716
9
483.968
9,93
10
435.572
-1
JABAR X
2.749.479
7
392.783
6,27
6
458.247
+1
JABAR XI
4.261.942
10
426.194
9,72
10
426.194
0
JABAR
39.910.274
91
438.574
91
438.574
72 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Proporsionalitas, Derajat Keterwakilan, dan Bias Misi Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah (a) proprosionalitas yang terkandung dalam “umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial” dan karenanya digunakan sistem pemilu proporsional serta (b) “derajat keterwakilan yang lebih tinggi”.134 Proporsionalitas dan Derajat Keterwakilan yang lebih tinggi itu tidak hanya berlaku untuk perolehan suara partai, namun juga untuk keterwakilan penduduk satu daerah pemilihan. Meski menyangkut alokasi kursi di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, namun selaras dengan semangat pemilu secara menyeluruh, Pasal 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 5 Tahun 2013 Tanggal 18 Februari 2013 juga menyebutkan, bahwa: “1. Kesetaraan nilai suara yaitu mengupayakan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai (....). 3. Proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan“.135 Tentu saja, Proporsionalitas dan Derajat Keterwakilan secara matematis dapat diukur. (a) Proporsionalitas Dikatakan Proporsional bila porsi perolehan suara setiap partai atau jumlah penduduk (vi/V) di satu daerah pemilihan sama dengan porsi perolehan kursi partai atau jumlah penduduk di segenap daerah pemilihan (si/S), lihat tabel di bawah ini:136 Tabel 24. Proporsionalitas Partai/Daerah Pemilihan
Vote/Penduduk
A
10%
Seat 10%
B
30%
30%
C
60%
60%
Total
100%
100%
Bab I. Umum Penjelasan Tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 135 Pasal 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 5 Tahun 2013 Tanggal 18 Februari 2013 136 Contoh dikutip dari Douglas W. Rae, The Political Consequence of Electoral Laws, New Haven and London, Yale University Press 1967, hal. 18 134
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 73
Jika Daerah Pemilhan A berpendudukan 10 persen dari total jumlah penduduk, maka kursi keterwakilannya selayaknya juga 10 persen. Dan seterusnya. Jika dibuat skema, maka:
Guna menghitung proporsionalitas, Douglas Rae menawarkan Indeks Disproporsionalitas Rae Index berupa137
Dengan: Vp persentase suara Sp persentase kursi N jumlah partai/daerah pemilihan
137
Philip Kestelman, “Apportionment and Proportionality: A Measured View” dalam Voting matters, Issue 20, June 2005, hal. 14. Arend Lipjhart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995, hal. 58
74 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Namun penggunaan Indeks ini bersyarat, bahwa Vp% harus lebih besar ketimbang 0,5 persen. Indeks Disporporsionalitas yang dipakai resmi oleh lembaga negara Inggeris, Independent Commission on the Voting System, yaitu Indeks Loosemore-Hanby-Index138 rumusnya adalah:
Dengan: Vp persentase suara Sp persentase kursi Indeks Disproporsionalitas Loosemore-Hanby Index itu sama dengan Malaportionment-Indeks atau MAL-Indeks.139
Umumnya, rumusan yang standar digunakan di dunia akademik bidang sosial politik adalah Indeks Disporporsionalitas Gallagher (GHI).140
Dengan:
Vp persentase suara Sp persentase kursi
Philip Kestelman, “Apportionment and Proportionality: A Measured View” dalam Voting matters, Issue 20, June 2005, hal. 14. Arend Lipjhart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995, hal. 60. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas dan Disproporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies, Jakarta Maret 2012, hal. 27-28. M. Faishal Aminuddin, „Problematika Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Derajat Keterwakilan Tinggi Dalam Sengketa Alokasi Kursi Pemilu“, Jurnal Rechtsvinding, Volume 3 Nomor 1, April 2014, hal. 63. 139 David Samuels/Richard Snyder, “The Value of Vote: Malapportionment in Comparative Perspective”, B.J.Pol.S. 31, Cambrige University Press 2001, hal. 655. 140 Philip Kestelman, “Apportionment and Proportionality: A Measured View”, Voting matters, Issue 20, June 2005, hal. 14. Arend Lijphart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995,, hal. 61. M. Faishal Aminuddin, “Problematika Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Derajat Keterwakilan Tinggi Dalam Sengketa Alokasi Kursi Pemilu”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 3 Nomor 1, April 2014, hal. 63. 138
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 75
Melalui Indeks Disporporsionalitas yang digunakan oleh Independent Commission on the Voting System, maka LHI Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tercatat 6,82 persen. Sedangkan LHI Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat seharusnya adalah 2,01 persen. Atau Indeks Disporporsionalitasnya lebih kecil atau alokasi kursi seharusnya lebih proporsional. Tabel 25. Penghitungan Alokasi Kursi DPRD Jawa Barat dengan LHI ALOKASI KURSI PROVINSI JAWA BARAT
ALOKASI KURSI MENURUT UU No. 8/2014 ttg Pemilu Legislatif
ALOKASI KURSI SEHARUSNYA
PENDUDUK a)
Vp%
KURSI
Sp%
|Vp%-Sp%|
KURSI
Sp%
||Vp%-Sp%|
JABAR I
2.728.679
6,84%
7
7,69%
0,86%
6
6,59%
0,24%
JABAR II
4.512.574
11,31%
10
10,99%
0,32%
10
10,99%
0,32%
JABAR III
2.908.979
7,29%
9
9,89%
2,60%
6
6,59%
0,70%
JABAR IV
2.192.819
5,49%
6
6,59%
1,10%
6
6,59%
1,10%
JABAR IX
3.837.116
9,61%
8
8,79%
0,82%
9
9,89%
0,28%
JABAR V
3.489.223
8,74%
9
9,89%
1,15%
8
8,79%
0,05%
JABAR VI
3.691.500
9,25%
6
6,59%
2,66%
8
8,79%
0,46%
JABAR VII
5.182.247
12,98%
10
10,99%
2,00%
12
13,19%
0,20%
JABAR VIII
4.355.716
10,91%
9
9,89%
1,02%
10
10,99%
0,08%
JABAR X
2.749.479
6,89%
7
7,69%
0,80%
6
6,59%
0,30%
JABAR XI
4.261.942
10,68%
10
10,99%
0,31%
10
10,99%
0,31%
JABAR
39.910.274
91
∑
13,63%
91
∑
4,02%
LHI
6,82%
LHI
2,01%
DAPIL
a)
PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014, PROVINSI JAWA BARAT, Lampiran I.32 Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Nomor 104/Kpts/KPU/TAHUN 2013, Tanggal 9 MARET 2013
(b) Derajat Keterwakilan Indeks pengukur proporsionalitas menghadapi persoalan, apabila persentase suara partai-partai atau persentase jumlah penduduk daerahdaerah pemilihan itu kecil. Akibat pekanya RaI dan LHI sehingga dapat mengaburkan hasil penghitungan yang diperoleh, maka Arendt Lijphart misalnya mengusulkan, bahwa untuk mengukur Indeks Disproporsionalitas RaI dan LHI hanyalah menyertakan persentase suara partaipartai atau persentase jumlah penduduk daerah-daerah pemilihan di 76 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
atas 5 persen.141 Itulah sebabnya, Lipjhart mengusulkan penggunaan Indeks Disporporsionalitas GhI. Untuk mengukur Indeks-Disproporsionalitas daerah pemilihan provinsi Jawa Barat melalui LHI di atas tidaklah bermasalah, sebab persentase jumlah penduduk per daerah pemilihan di atas 5 persen. Itulah sebabnya, akibat perbedaan hasil ketiga Indeks Disproporsionalitas tersebut, para pengamat pemilu dari dunia akademik bidang ilmu pasti (matematika, fisika, statistik) menawarkan solusi Derajat/Kadar Keterwakilan. Misalnya Friedrich Pukelsheim menawarkan dalil, bahwa porsi kursi seorang penduduk di satu bagian daerah pemilihan i (kursi di satu bagian daerah pemilihan i dibagi dengan jumlah penduduk di satu bagian daerah pemilihan i atau si /vi) secara idealnya harus sama dengan porsi kursi seorang penduduk di daerah pemilihan tersebut (kursi total daerah pemilihan dibagi total penduduk daerah pemilihan atau S/V).142 Sehingga formulanya: (si /vi) = (S/V) atau (si /vi) / (S/V) = 1 atau (si /vi) / (S/V) – 1 = 0 atau Deviasi per penduduk =
|( si / vi ) / (S/V) – 1| 143
Jika diterapkan pada Alokasi Kursi DPR-RI 2014, Provinsi Jawa Barat berdasarkan UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Legislatif, maka untuk Dapil JABAR I berpenduduk 2.728.679 orang (vi) dan berkursi 7 (si), porsi seorang penduduk adalah 0,0000026 kursi (si/vi = 7/2.728.679)
Klaus Kopfermann, Mathematische Aspekte der Wahlverfahren: Mandatsverteiling bei Abstimmungen, Wissenschatsverlag Mannheim/Wien/Zuerich 1991, hal. 113. Arend Lipjhart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995, hal. 58-62 142 Friedrich Pukelsheim/ChristianSchumacher, „Das neue Zürcher Zuteilungsverfahren für Parlamentswahlen“, AJP/PJA 5/2004, hal. 510-513. Friedrich Pukelsheim, „Mandatszuteilungen bei Verhältniswahlen: Erfolgswertgleichheit der Wählerstimmen“, Allgemeines Statistisches Archiv 84 (2000) 447-459. Agar tidak membingungkan, sengaja dalil itu tidak dilanjutkan ke deviasi Gaus yang ditawarkan oleh Friedrich Pukelsheim. 143 Penjelasan tentang formula Derajat Keterwakilan dapat dibaca dalam Pipit R. Kartawidjaja/M. Faishal Aminuddin, „Demokrasi Elektoral (Bagian I)“, Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2014, hal. 161-167 141
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 77
melebihi ideal. Idealnya di daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat, porsi penduduk adalah 0,0000023 (S/V=91/39.910.274). Derajat keterwakilan atau perbandingan antara porsi sebenarnya dengan porsi idealnya adalah 1,1250943 (0,0000026/0,0000023). Artinya terdapat deviasi 0,1250943 (over-represented). Tabel 26. Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat Berdasar Uu No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif DAPIL
PENDUDUK KURSI UU
si/vi
S/V
(si/vi)/ (S/V)
|(si/vi )/(S/V)-1|
JABAR I
2.728.679
7
0,0000026 0,0000023
1,1250943
0,1250943
JABAR II
4.512.574
10
0,0000022 0,0000023
0,9718942
0,0281058
JABAR III
2.908.979
9
0,0000031
0,0000023
1,3568919
0,3568919
JABAR IV
2.192.819
6
0,0000027
0,0000023
1,2000291
0,2000291
JABAR V
3.489.223
9
0,0000026 0,0000023
1,1312461
0,1312461
JABAR VI
3.691.500
6
0,0000016
0,0000023
0,7128394
0,2871606
JABAR VII
5.182.247
10
0,0000019
0,0000023
0,8463017
0,1536983
JABAR VIII
4.355.716
9
0,0000021
0,0000023
0,9062046
0,0937954
JABAR IX
3.837.116
8
0,0000021
0,0000023
0,9143835
0,0856165
JABAR X
2.749.479
7
0,0000025 0,0000023
1,1165828
0,1165828
JABAR XI
4.261.942
10
0,0000023 0,0000023
1,0290484
0,0290484
TOTAL
39.910.274
91
0,0000023 0,0000023
DEVIASI
1,6072692
Sebaliknya di Dapil JABAR VI misalnya, berpendudukan 3.691.500 dan berkursi 6, porsi kursi seorang penduduk adalah 0,0000016 kursi (si/vi), kurang dari porsi ideal 0,0000023 (S/V). Derajat keterwakilan atau perbandingan antara porsi sebenarnya dengan porsi idealnya sama dengan 0,7128394. Artinya terdapat deviasi 0,2871606 (under-represented). Jika segenap deviasi dijumlahkan, maka deviasi per penduduk alokasi kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif tercatat 1,61 (dibulatkan), artinya 61 persen meleset dari alokasi ideal. Namun, jika alokasi kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat diulang, maka deviasi per penduduknyanya hanya tercatat 1,29 (dibulatkan), artinya 29 persen meleset dari alokasi ideal.
78 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Tabel 27. Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat Seharusnya DAPIL
PENDUDUK KURSI UU
si/vi
S/V
(si/vi)/(S/V) (si/vi)/(S/V)-1
JABAR I
2.728.679
6
0,0000022 0,0000023
0,9643665
JABAR II
4.512.574
10
0,0000022 0,0000023
0,9718942
0,0281058
JABAR III
2.908.979
6
0,0000021 0,0000023
0,9045946
0,0954054
JABAR IV
2.192.819
6
0,0000027 0,0000023
1,2000291
0,2000291
JABAR V
3.489.223
9
0,0000026 0,0000023
1,1312461
0,1312461
JABAR VI
3.691.500
8
0,0000022 0,0000023
0,9504525
0,0495475
JABAR VII
5.182.247
8
0,0000015 0,0000023
0,6770414
0,3229586
JABAR VIII
4.355.716
12
0,0000028 0,0000023
1,2082728
0,2082728
JABAR IX
3.837.116
10
0,0000026 0,0000023
1,1429794
0,1429794
JABAR X
2.749.479
6
0,0000022 0,0000023
0,9570710
0,0429290
JABAR XI
4.261.942
10
0,0000023 0,0000023
1,0290484
0,0290484
TOTAL
39.910.274
91
DEVIASI
1,2861556
0,0356335
Maka, terbukti bahwa derajat keterwakilan Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat berdasarkan UU No. 8 Tahun 2014 itu lebih rendah ketimbang Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat yang sebenarnya. (c) Proporsionalitas versus Derajat Keterwakilan Dalam contoh yang lain dimana terdapat persoalan proporsionalitas dan derajat keterwakilan bisa disimak dari alokasi kursi DPR-RI 2014 di daerah pemilihan Jawa Timur VI: DAPIL JATIM VI PEMILU DPR 2014
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 79
Jika dilakukan alokasi ulang, sebenarnya jumlah kursi di daerah pemilihan Jatim VI itu bukan 9, melainkan 10 kursi. Tabel 28. Alokasi Ulang Jumlah Kursi di Daerah Pemilihan Jatim VI ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA TIMUR
Menurut UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Legislatif
SEHARUSNYA
DAPIL
PENDUDUK a)
KURSI
KUOTA
PORSI KURSI
KURSI
KUOTA 446.813
JATIM I
4.468.134
10
446.813
10,43
10
JATIM II
2.906.153
7
415.165
6,78
7
415.165
JATIM III
3.089.416
7
441.345
7,21
7
441.345
JATIM IV
3.380.900
8
422.613
7,89
8
422.613
JATIM V
3.278.797
8
409.850
7,65
8
409.850
JATIM VI
4.074.531
9
452.726
9,51
10
407.453
JATIM VII
3.213.896
8
401.737
7,50
7
459.128
JATIM VIII
4.282.801
10
428.280
10,00
10
428.280
JATIM IX
2.255.859
6
375.977
5,27
5
451.172
JATIM X
2.457.712
6
409.619
5,74
6
409.619
JATIM XI
3.861.686
8
482.711
9,01
9
429.076
JUMLAH
37.269.885
87
428.389
87
428.389
PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014, PROVINSI JAWA TIMUR, Lampiran I.35 Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Nomor 107/Kpts/ KPU/TAHUN 2013, Tanggal 9 MARET 2013 a)
Jika 10 kursi, maka PKB misalnya, akan memperoleh 2 kursi. Dan bukan 1 kursi seperti hasil Pemilu DPR 2014. Tabel 29. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI a) PARTAI
SUARA
% SUARA
9 KURSI
Seharusnya 10 Kursi
NASDEM
87.000
4,01%
1
0,40
1
PKB
308.253
14,20%
1
1,42
2
PKS
81.017
3,73%
0
0,37
PDI-P
666.338
30,70%
3
3,07
3
GOLKAR
192.811
8,88%
1
0,89
1
GERINDRA
229.513
10,57%
1
1,06
1
DEMOKRAT
171.222
7,89%
1
0,79
1
PAN
246.975
11,38%
1
1,14
1
PPP
77.248
3,56%
0
0,36
HANURA
81.857
3,77%
0
0,38
PBB
21.143
0,97%
0
0,10
PKPI
7.130
0,33%
0
0,03
2.170.507
9
JUMLAH
80 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
10
Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Secara Nasional Dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, No. 411/ Kpts/KPU/TAHUN 2014, 9 Mei 2014 dan Rekapitulasi Jumlah Perolehan Kursi Partai Politik Secara Nasional Dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, No. 416/Kpts/KPU/TAHUN 2014, 14 Mei 20l4
a)
Namun, jika kursi tetap 9 buah seperti dalam Pemilu DPR 2014 kemarin, sangatlah mencolok perbandingan perolehan suara Partai NASDEM (87.000) dengan PKB (308.253), sebab keduanya masing-masing memperoleh 1 kursi. Oleh karena itu, Friedrich Pukelsheim, salah seorang penggagas pengukuran derajat perwakilan, mengusulkan metoda divisor varian Webster/Sainte-Laguë dengan divisor 1, 3. 5, 7 dan seterusnya. Hasilnya: PKB memperoleh 2 kursi, sedangkan NASDEM tidak. Tabel 30. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Blitar) PARTAI
SUARA
% SUARA
KURSI Menurut KURSI MENURUT KPU Webster/ Sainte-Laguë
NASDEM
87.000
4,06%
1
PKB
308.253
14,39%
1
2
PKS
81.017
3,78%
PDI-P
666.338
31,10%
3
3
GOLKAR
192.811
9,00%
1
1
GERINDRA
229.513
10,71%
1
1
DEMOKRAT
171.222
7,99%
1
1
PAN
246.975
11,53%
1
1
PPP
77.248
3,61%
HANURA
81.857
3,82%
JUMLAH
2.142.234
9
9
Jika dipersandingkan Indeks Disproporsionalitasnya, maka alokasi kursi ke partai-partai berdasarkan penghitungan KPU lebih proporsional daripada penghitungan berdasarkan Webster/Sainte-Laguë (LHI: 14,90 persen berbanding 15,69 persen)
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 81
Tabel 31. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Blitar) Menurut Webster/SainteLaguë
Menurut KPU PARTAI
SUARA
% SUARA KURSI % KURSI
|%SuaraKursi %KURSI Kursi|
|%SuaraKursi|
NASDEM
87.000
4,06%
1
11,11%
7,05%
0
0,00%
PKB
308.253
14,39%
1
11,11%
3,28%
2
22,22%
7,83%
PKS
81.017
3,78%
0
0,00%
3,78%
0
0,00%
3,78%
666.338
31,10%
3
33,33%
2,23%
3
33,33%
2,23%
GOLKAR
192.811
9,00%
1
11,11%
2,11%
1
11,11%
2,11%
GERINDRA
229.513
10,71%
1
11,11%
0,40%
1
11,11%
0,40%
PDI-P
4,06%
DEMOKRAT
171.222
7,99%
1
11,11%
3,12%
1
11,11%
3,12%
PAN
246.975
11,53%
1
11,11%
0,42%
1
11,11%
0,42%
PPP
77.248
3,61%
0
0,00%
3,61%
0
0,00%
3,61%
HANURA
81.857
3,82%
0
0,00%
3,82%
0
0,00%
3,82%
JUMLAH
2.142.234
9
∑
29,81%
9
∑
31,38%
LHI
14,90%
LHI
15,69%
Namun apa yang terjadi jika derajat keterwakilan diperbandingkan? Akan tampak bahwa Derajat Keterwakilan per pemilih berdasarkan penghitungan Sainte-Laguë lebih tinggi ketimbang penghitungan KPU, oleh sebab deviasi dari porsi kursi ideal per pemilih lebih kecil (5,313991 berbanding 5,733389). Tabel 32. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur VI S/V (Total PARTAI
V
Kursi dibagi Total Suara)
Menurut KPU
Menurut Webster/St.Lague |( si / vi )/
S
si /vi
(si /vi)/(S/V)
1
0,0000115
2,7359310
1,735931
0,0000032
0,7721774
0,227823 2 0,0000065
(S/V)–1|
S
si /vi
(si /vi)/(S/V)
|( si / vi )/ (S/V)–1|
NASDEM
87.000
0,0000042
PKB
308.253
0,0000042
1
PKS
81.017
0,0000042
0 0,0000000 0,0000000 1,000000 0 0,0000000 0,0000000 1,0000000
PDI-P
0 0,0000000 0,0000000 1,0000000 1,5443548
0,5443548
666.338
0,0000042
3
0,0000045
1,0716453
0,071645 3 0,0000045
1,0716453
0,0716453
GOLKAR
192.811
0,0000042
1
0,0000052
1,2345043
0,234504 1 0,0000052
1,2345043
0,2345043
GERINDRA
229.513
0,0000042
1
0,0000044
1,0370916
0,037092 1 0,0000044
1,0370916
0,0370916
DEMOKRAT
171.222
0,0000042
1
0,0000058
1,3901601
0,390160 1 0,0000058
1,3901601
0,3901601
PAN
246.975
0,0000042
1
0,0000040
0,9637656 0,036234 1 0,0000040
0,9637656
0,0362344
PPP
77.248
0,0000042
0 0,0000000 0,0000000 1,000000 0 0,0000000 0,0000000 1,0000000
HANURA
81.857
0,0000042
0 0,0000000 0,0000000 1,000000 0 0,0000000 0,0000000 1,0000000
JUMLAH
2.142.234
∑
5,733389 9
∑
5,313991
Alhasil, proporsional belum tentu berderajat keterwakilan tinggi, meskipun pada umumnya, proporsional seringkali berderajat keterwakilan tinggi. 82 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
(d) Bias Di samping kedua alat pengukur di atas. Para permerhati pemilu dari bidang ilmu pasti lebih suka berbicara tentang “bias” bisa berarti ” favoring one person or side over another” dan Bias dalam terminologi sistem pemilu adalah “it is not a fair fight”.144 Secara umum bisa dinyatakan bahwa bias berarti adanya hal yang tidak jelas dari sisi ukuran atau ketetapan. Dalam melihat lebih jauh tentang potensi dan adanya bias, terdapat rumus untuk mengukurnya yaitu Relative Bias: persentase diviasi dari kesatuan rasio antara kursi dibagi populasi (S%/V%) rasio dari over-represented/under-represented.145 Formulanya: Rel. Bias = (S%over-repr./V%over-repr.) / (S%under-repr. /V%under-repr.) Bila formula ini diterapkan untuk provinsi Jawa Barat, maka Jawa Barat dikelompokkan ke dalam dua golongan: pertama, “over-represented” untuk daerah-daerah pemilihan yang berkuota di bawah kuota rata-rata dan kedua, “under-represented” untuk daerah-daerah pemilihan yang berkuota di atas kuota rata-rata. Dalam hal alokasi kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat menurut UU No. 8 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Legislatif, kawasan “over-represented” mencakup DAPIL JABAR III, IV, V, I, X dan XI, sebab kuota di daerah-daerah pemilihan tersebut berada di bawah kuota rata-rata Jawa Barat 438.574. Sedangkan DAPIL JABAR II, IX, VIII, VII dan VI tergolong dalam kawasan “underrepresented” akibat kuotanya melebihi kuota rata-rata. Tabel 33. Alokasi Kursi Provinsi Jawa Barat ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT MENURUT UU No. 8/2014
ALOKASI KURSI PROVINSI JAWA BARAT SEHARUSNYA
DAPIL
DAPIL
PENDUDUK
KURSI
KUOTA
PENDUDUK KURSI
JABAR III
2.908.979
9
323.220
JABAR IV
2.192.819
6
JABAR IV
2.192.819
6
365.470
JABAR XI
4.261.942
10
426.194
JABAR V
3.489.223
9
387.691
JABAR IX
3.837.116
9
426.346
JABAR I
2.728.679
7
389.811
JABAR VII
5.182.247
12
431.854
365.470
435.572
JABAR X
2.749.479
7
392.783
JABAR VIII
4.355.716
10
JABAR XI
4.261.942
10
426.194
JABAR V
3.489.223
8
436.153
JABAR
39.910.274
91
438.574
JABAR
39.910.274
91
438.574
144 145
KUOTA
Overrepresented
General election 2010, The Telegraph, 04.2011, http://www.telegraph.co.uk Philip Kestelman, “Apportionment and Proportionality: A Measured View” dalam Voting matters, Issue 20, June 2005, hal. 18 DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 83
ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT MENURUT UU No. 8/2014
ALOKASI KURSI PROVINSI JAWA BARAT SEHARUSNYA
DAPIL
DAPIL
PENDUDUK
KURSI
KUOTA
PENDUDUK KURSI
KUOTA
JABAR II
4.512.574
10
451.257
JABAR II
4.512.574
10
451.257
JABAR IX
3.837.116
8
479.640
JABAR I
2.728.679
6
454.780
JABAR VIII
4.355.716
9
483.968
JABAR X
2.749.479
6
458.247
JABAR VII
5.182.247
10
518.225
JABAR VI
3.691.500
8
461.438
JABAR VI
3.691.500
6
615.250
JABAR III
2.908.979
6
484.830
Underrespresented
48
S over-represented
S% over-
55
52,75%
represented
V over-represented V% over-
18.331.121 45,93%
60,44%
23.319.063
58,43%
Overrepresented Sp% > Vp%
represented
S% over-rep / V% over-repr
114,84%
103,44%
43
S under-represented S% under-
47,25%
represented
V under-represented V% under-
21.579.153
36
39,56%
16.591.211
54,07%
41,57%
Underrepresented Sp% < Vp%
represented
S% under-rep / V% under-repr
87,39%
Rel. Bias
131,41%
95,16%
108,70%
Adapun Relative Bias Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat menurut UU No. 8 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Legislatif tercatat 131,41 persen. Relative Bias hanya 108,70 persen adalah produk alokasi kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat yang sesungguhnya. Dengan demikian, terbukti bahwa Alokasi Kursi DPR 2014 Provinsi Jawa Barat menurut UU No. 8 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Legislatif tidak sesuai dengan misi UU itu sendiri. Oleh karena di dalam provinsi tidak dilakukan alokasi ulang, maka dalam Pemilu DPR 2014 daerah-daerah pemilihan sebagai berikut berposisi sebagai peraup keuntungan dan korban “korupsi” kursi:. Tabel 34. Daerah-daerah Pemilihan Anak Emas dan Anak Tiri dalam Provinsi Saat Pemilu DPR 2014 yang Diabsahkan oleh Mahkamah Konstitusi PROVINSI BANTEN
DAERAH PEMILIHAN
+1
BANTEN II
+1
BANTEN III
84 l
DIUNTUNGKAN
BANTEN I
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
DIRUGIKAN
-2
JABAR I
+1
JABAR III
+3
JABAR IX JAWA BARAT
JABAR V
-1 +1
JABAR VI
-2
JABAR VII
-2
JABAR VIII JABAR X
-1 +1
JATIM VI JAWA TIMUR
-1
JATIM VII
+1
JATIM IX
+1
JATIM XI SULAWESI SELATAN JAKARTA JUMLAH
-1
SULSEL I
-1
SULSEL II
+1
JAKARTA I
+1
JAKARTA II
-1 +12
-12
(e) Malapportionment Biasanya, alokasi kursi DPR ke negara bagian atau provinsi mengenal Malapportionment (perbedaan keterwakilan). Atau ada yang menyebutnya sebagai “representation subsidy”.146 Misalnya di AS, setiap negara bagian mendapatkan minimal 1 kursi, meskipun kuotanya lebih rendah dari kuota rata-rata (nasional). Prinsip ini juga dikenal di Indonesia, misalnya dalam Pemilu 1955 atau 2004. Di sana disebutkan, bahwa setiap provinsi minimal mendapatkan 3 kursi DPR. Atau dalam Pemilu 1971, di mana setiap Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) mendapatkan minimal 1 kursi, sebab Orde Baru mengedepankan prinsip Jawa dan Non-Jawa semasa Orde Baru. Sebagian prinsip ini kemudian diwariskan dalam Pemilu 1999 dan 2004. “Malapportionment merujuk pada kesenjangan antara jumlah pemilih dalam sebuah daerah pemilihan dimana disana terdapat jumlah perwakilan yang sama. Juga disebut sebagai diskrepansi antara pembagian kursi legislatif dan pembagian populasi dari unit geografisnya. Taagepera & Shugart menyebutnya sebagai ‘pathology’ sistem pemilu.147 Pipit R. Kartawidjaja/Sidik Pramono, Akal-Akalan Daerah Pemilihan, Perludem, Jakarta 2007, hal. 113. 147 David Samuels/Richard Snyder, “The Value of a Vote: Malapportionment in Comparative Perspective”, B.J.Pol.S. 31, Cambridge University Press 2001, hal. 652. 146
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 85
Tujuan pembentukan daerah pemilihan ber-Malapportionment adalah memberi kesempatan/peluang lebih besar kepada penduduk pedalaman (pedesaan) atau daerah yang dianggap telantar ataupun daerah yang secara kesukuan dianggap berada dalam posisi minoritas. Dengan memberikan porsi lebih tinggi, diharapkan suara “pinggiran” ini lebih bergaung. Misalnya Britania Raya pra 1917 membagi daerah pemilihan ke wilayah Inggeris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara, dengan pemberian keterwakilan lebih kepada wilayah tertinggal. Hanya saja, menurut studi Dieter Nohlen, alasan tersebut tidak mengena. Model itu hanya merupakan cara mereka-reka kubu politik tertentu. Argumen pembelaan daerah “pinggiran” terpatahkan karena kenyataannya wakil daerah daerah pemilihan “telantar” itu pada umumnya berasal dari kubu pembela status quo dan pembendung arus reformasi.148 Di Amerika Latin, disebut bertujuan memberikan makna bagi pembilahan politik dari kubu konservatif di pedesaan dan progresif di perkotaan dan dalam prakteknya memang memberikan keuntungan bagi partai sayap kiri dan kanan.149 Dalam pemilu DPR-RI 1999 dan 2004 misalnya, Golkar diuntungkan dengan Malapportionment Jawa dan Non-Jawa, sebab Golkar memang kuat di luar Jawa, dan di Jawa sendiri di pedalaman (kabupatenkabupaten).150 Malapportionment dapat menjadi masalah dalam sistem presidensialisme. Sebab di satu pihak DPR dipilih dengan nilai suara yang berbeda, sementara presiden dipilih dengan nilai suara yang sama, sehingga dapat menyebabkan perbedaan orientasi politik lembagalembaga negara. Misalnya untuk DPR-RI 2014 nilai suara pemilih kepulauan Riau berbeda dari nilai suara pemilih di Jawa atau Papua, namun persis pemilihan presiden, nilai suaranya sama. Di beberapa negara, cara yang ditempuh guna menghindari malapportionment adalah: (1) Pembentukan lembaga independen Boundary Commission di Britania Raya (pertama 1917 bersifat ad hoc, sejak 1944 tetap untuk wilayah Inggeris, Skotlandia, Wales dan Irlanndia Utara). Tujuannya: mentaati asas persamaan hak buat memilih. Maka, berlaku
Dieter Nohlen, Wahlsysteme der Welt, R. Piper & Co. Verlag, Muenchen/Zuerich 1978, hal. 87-88 David Samuels/Richard Snyder, “The Value of a Vote: Malapportionment in Comparative Perspective”, B.J.Pol.S. 31, Cambridge University Press 2001, hal. 668 150 Pipit R. Kartawidjaja/Sidik Pramono, Akal-Akalan Daerah Pemilihan, Perludem, Jakarta 2007, hal. 103-131. 148
149
86 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
jumlah pemilih yang berhak memilih dalam daerah pemilihan sebagai tolok ukurnya 151. (2) Pembentukan daerah pemilihan nasional, seperti di Belanda dan Israel sehingga tidak terjadi malapportionment. Di Israel, sebanyak 120 anggota Knesset dipilih secara tunggal dalam distrik besar nasional, sekalipun masalah ini masih ditemukan dalam pemilihan majelis rendahnya. Artinya, Malapportionment merupakan karakteristik bawaan dari kebanyakan sistem pemilu.152 (3) Penerapan sistem pemilu “biproporsional” atau “penggandaan proporsional“ atau “penggandaan Pukelsheim“ seperti yang diterapkan di Swiss.153 Sebagai akibat malapportionment, terjadi perbedaan keterwakilan antarprovinsi di Indonesia. Namun untuk DPR-RI 2014, proporsionalitas dan derajat keterwakilan dalam satu provinsi sendiri tidak dihiraukan. Akibatnya mempengaruhi perolehan suara partai-partai politik dalam pemilu DPR 2014. (f) Gerrymandering Fatwa Mahkamah Agung AS menyebutkan bahwa pembentukan daerah pemilihan harus memperhatikan kriteria Contiguity, yang artinya daerah pemilihan haruslah berwilayah yang berkesinambungan. Sedangkan compactness adalah tuntutan membentuk daerah pemilihan yang kompak, misalnya bulat, dan tidak tipis memanjang atau berupa mander (kadal). Compactness juga merupakan tuntutan pembentukan daerah pemilihan di Wales guna mencegah daerah pemilihan yang berbentuk pisang. Di Kanada, pembentukan daerah pemilihan haruslah memperhatikan Communities of Interest, Communities of Identity dan Historical Patterns berwilayahkan yang secara geografis terjangkau. Memperhatikan communities of interest, tidak dihalangi oleh rintangan alam seperti bukit atau sungai, mengindahkan rute komunikasi dan lalulintas serta tak melakukan per-
Dieter Nohlen, Wahlsysteme der Welt, R. Piper & Co. Verlag, Muenchen–Zuerich 1978, hal. 89 David Samuels/Richard Snyder, “The Value of a Vote: Malapportionment in Comparative Perspective”, B.J.Pol.S. 31, Cambridge University Press 2001, hal. 654 153 Friedrich Pukelsheim/Christian Schumacher, „Das neue Zuercher Zutielingsverfahren fuer Parlamentswahlen“, AJP/PJA 5/2004, hal. 505-522. Michel Balinski/Friedrich Pukelsheim, „Die Mathematik der doppelten Grechtigkeit“, Spektrum der Wissenschaft, April 2007, hal 76-80. 151
152
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 87
ubahan besar terhadap batasan daerah pemilihan sebelumnya merupakan syarat pembentukan daerah pemilihan di Selandia baru.154 Sebagaimana ketentuan-ketentuan di mancanegara, KPU Indonesia dalam Pasal 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2013 menyebutkan, bahwa “Dalam penyusunan daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memperhatikan prinsip: (3) Integralitas wilayah yaitu beberapa kabupaten/kota atau kecamatan yang disusun menjadi satu daerah pemilihan harus saling berbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan dan aspek kemudahan transportasi; (4) Berada dalam cakupan wilayah yang sama (Coterminous) yaitu penyusunan daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kabupaten/kota, harus tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPR; begitupula dengan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kecamatan harus tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi; (5) Kohesivitas yaitu penyusunan daerah pemilihan memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat dan kelompok minoritas; (6) Kesinambungan yaitu penyusunan daerah pemilihan dengan memperhatikan daerah pemilihan yang sudah ada pada pemilu tahun 2009, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut melebihi 12 (dua belas) kursi atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas“. Pengabaian prinsip-prinsip Compactness, Contiguity, Communities of Interest, Communities of Identity, Historical Patterns itu digolongkan ke dalam Gerrymandering, yaitu pembentukan daerah pemilihan manipulatif demi untuk memenangkan perolehan suara pemilu. Daerah pemilihan tersebut dibentuk sedemikian rupa secara tidak adil dan merugikan pihak yang lain dengan membagi wilayah geografis dalam daerah pemilihan secara tidak beraturan dengan tujuan menguntungkan sebuah partai atau kandidat tertentu.155 Istilah ini dinamakan sesuai nama pencetusnya, Elbridge Gerry, Gubernur negara bagian
Michael Schroeder, Gebiete optimal aufteilen: OR-Verfahren fuer die Gebietsaufteilung als Anwendungsfall gleichmaessiger Baumzerlegung, Universitaet Fridericiana Karlsruhe 2001, hal. 12-15 155 Michel Balinski, “Fair Majority Voting (or How to Eliminate Gerrymandering)”, The Mathematical Association of America, Monthly 115, February 2008, hal 97. 154
88 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Massachussets pada awal abad ke 19 dan kemudian menjadi Wakil Presiden AS. Dia memanipulasi daerah pemilihan sedemikian rupa, agar bisa terpilh. Daerah pemilihan ciptaannya, seperti satir koran di bawah ini menggambarkannya, mirip Salamander (kadal). Karenanya, Gerry + Salamander = Gerrymandering.156 Contoh Penciptaan Gerrymandering: KASUS I
KASUS II
KASUS III
Dalam gambar di atas, terdapat tiga kasus:157 Untuk Kasus I: Jika hanya disusun 1 daerah pemilihan, maka A akan menggunguli B (5:4). Untuk Kasus II: Tapi jika dibentuk 3 daerah pemilihan, maka A akan unggul di 2 daerah pemilihan, sedangkan B hanya di 1 daerah pemilihan. Untuk kasus III: Jika 3 daerah pemilihan Kasus II dirubah seperti ragaan kasus III, maka B yang akan unggul di 2 daerah pemilihan, sementara A di 1 daerah pemilihan. Gerrymandering dibedakan antara: 1.
Partisan Gerrymander (manipulasi batasan daerah pemilihan demi kepentingan satu partai); 2. Bipartisan Gerrymander (penciptaan daerah pemilih demi melindungi legislator incumbent); 3. Racial Gerrymander (memperkuat atau memperlemah kedudukan minoritas).158 Michael Schroeder, Gebiete optimal aufteilen: OR-Verfahren fuer die Gebietsaufteilung als Anwendungsfall gleichmaessiger Baumzerlegung, Universitaet Fridericiana zu Karlsruhe 2001, hal. 10. Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensysteme, Leske+Budrich, Opladen 2000, hal. 80, 118, 193, 341, 466. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas & Disporporsionalitas Alokasi Kursi DPR Serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies, Jakarta Maret 2012, hal. 74-76. John Mackenzie, “Gerrymandering and Legislator Efficiency”, University of Delaware, http://www.udel.edu/ 157 Martin Fehndrich, „Wahlkreisgeometrie – Gerrymandering“, 1 Juli 2006,http://www.wahlrecht.de 158 Michael Schroeder, Gebiete optimal aufteilen: OR-Verfahren fuer die Gebietsaufteilung als Anwendungsfall gleichmaessiger Baumzerlegung, Universitaet Fridericiana zu Karlsruhe 2001,
156
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 89
Dari perkawinan Malapportionment antara kota dengan pedalaman serta Gerrymandering dalam sistem mayoritan mutlak (juga disebut majority run off) di awal Republik ke V Perancis, semasa berkuasa 1958-1968, Charles de Gaulle sukses menggemboskan representasi politik kubu Komunis. Berkat manipulasi tersebut, mayoritas Gaullista dilahirkan.159 Ragaan di bawah ini memperlihatkan bahwa pada awal Republik ke V, kubu Gaulista cuma perlu 21.253 suara untuk merebut 1 kursi, sedangkan kubu Sosialis dan Komunis masing-masing membutuhkan 80.370 dan 367.018 suara. Sebelum lengser, kubu Gaulista hanya perlu 29.461 suara untuk 1 kursi pada tahun 1968, sementara kubu Sosialis dan Komunis masing-masing perlu 84.635 dan 134.388 suara. Tabel 35. Hasil Perkawinan Malapportionment antara Kota dengan Pedalaman serta Gerrymandering dalam Sistem Mayoritan Multak Republik ke V Perancis (Pemilu 1958-1981) Nilai Suara Per Kursi Pemilu
Gaulista
Sosialis
1958
21.253
80.370
Komunis 367.018
1962
25.421
35.957
100.252
1967
36.713
36.825
69.932
1968
29.461
84.635
134.388
1975
30.796
47.013
68.655
1976
46.665
62.633
68.260
1981
63.027
33.808
92.399
Sumber: Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, Cetakan ke VI, hal. 312
Menurut Michel Balinski, Gerrymandering juga terjadi misalnya dalam pemilu DPR AS tahun 2004 di daerah pemilihan Connecticut: Tabel 36. Gerrymandering dalam Pemilu DPR AS Tahun 2004 di Daerah Pemilihan Connecticut 2004 Connecticut Congressional Elections District Republican
1 st
2 nd
3 rd
4th
5 th
Total
Votes
Seat
Votes
Seat
Votes
Seat
Votes
Seat
Votes
Seat
Votes
Seat
73.273
0
165.558
1
68.810
0
149.891
1
165.440
1
622.972
3
hal. 11. Nicholas M. Goedert membagi ke dalam Partisan Gerrymander, Bipartisan Gerrymender dan Nonoartisan Gerrymander dalam “Redistricting, Risk, and Representation: How Five State Gerrymanders Weathered the Tides of the 2000s”, Election Law Journal, Volume 13, Number 3, 2014, hal. 2. 159 Dieter Nohlen, Wahlrecht und Parteiensystem, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, Cetakan ke VI, hal. 91
90 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Democratic 197.964
1
139.987
0
199.652
1
136.481
0
105.505
0
779.589
2
Michael Balinski, "Fair Majority Voting (or How to Eliminate Gerrymandering)", The Mathematical Association of America, Monthly 115, February 2008, hal. 100
Meski secara keseluruhan Demokrat meraup 779.589 suara mengalahkan Republikan yang bersuara 622.972, namun justru perolehan mandat Demokrat (2 kursi) lebih sedikit ketimbang Republikan (3 kursi). Nah, guna mengelimisasi Gerrymandering di Amerika Serikat, tahun 2008 Michel Balinski menawarkan cara penghitungan baru, yaitu Fair majority voting (FMV). Prinsipnya tak berbeda dengan cara penghitungan sistem biproporsional produk Friedrich Pukelsheim. Michel Balinski itu mitranya Friedrich Pukelsheim. Gerrymandering di Indonesia Praktek-praktek Gerrymandering banyak diketemukan dalam pemilu Indonesia 2014. Dan kasar pula. Untuk DPR-RI 2014, pelanggaran terhadap asas-asas yang termaktub dalam Peraturan KPU contohnya terjadi di DAPIL JABAR IIII (Gabungan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur) pemilu 2014. Perlu digaris bawahi, bahwa dalam hal pembentukan daerah pemilihan untuk DPR, KPU tidak berkewenangan, sebab daerah-daerah pemilihan DPR 2014 sudah terlampirkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat Untuk Pemilu DPR 2014
Sumber: Daerah Pemilihan, kpu.go.id; Lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Namun, dalam pembentukan daerah-daerah pemilihan tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk Pemilu 2014, KPU lah yang berwenang. Di sana, banyak diketemukan Gerrymandering. Dalam DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 91
hal ini, KPU melanggar prinsip-prinsip yang dibuatnya sendiri.160 Gerrymandering melanggar prinsip demokrasi. Alasan penting yang bisa dikemukakan berkaitan dengan hal tersebut bisa dirujuk dari keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) yang menyebutkan bahwa prinsip demokrasi itu dicederai apabila daerah pemilihan disusun sedemikian rupa, sehingga komunikasi antarpemilih dengan calon legislator menjadi sulit, yang akhirnya mencederai pembentukan kehendak. Kasus-kasus demikian bisa terjadi, jika penciptaan daerah pemilihan menghalangi atau mempersulit kehendak politik orang per orang. Misalnya (1) satu daerah pemilihan yang amat panjang, atau (2) satu daerah pemilhan dengan rintangan-rintangan lalu lintas, atau (3) daerah pemilihan yang terdiri dari gabungan wilayah-wilayah yang terpencar-pencar dan tidak kompak menyatu. Mahkamah Konstitusi Jerman lalu menyebut untuk contoh pertama adalah daerah pemilihan di North Carolina, satu daerah pemilihan yang panjangnya 160 mil dan lebarnya hanya beberapa meter saja. Bahkan, terdapat sebagian wilayah yang hanya berupa noktah. Di daerah pemilihan ini hidup 53,34 persen bangsa negro.161 Ambang Terselubung Di dalam setiap daerah pemilihan, selalu terdapat Threshold (ambang batas). Ambang batas ini dikenal juga sebagai hidden/mathematical/ effective/informal/natural threshold.162 Untuk pertama kalinya, Ambang Terselubung diperkenalkan oleh Rae/Handby/Loosemore pada tahun 1971. Ambang Terselubung mengenal Threshold Upper (Tupper) atau Ambang Terselubung Atas dan Threshold Lower (Tlowr) atau Ambang Terselubung Bawah. Tak jarang, Threshold ini disebut Thresholds of Exclusion, Threshold Inclusion dan Threshold of Representation. Untuk mengetahui
Contoh lain di DKI Jakarta dan Yahukimo, Papua bias dilihat di lembar lampiran. Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman, „Wahlkreiseinteilung Krefeld“, Keputusan 2 BvR 1252/99, 2 BvR 1253/99, 2 BvR 1254/99, 2 BvR 1255/99, 2 BvR 1256/99, 2 BvR 1257/99, 18 Juli 2001. Gerrymandering di North Carolina bisa dilihat dilembar lampiran. 162 ACE, “Electoral Systems”, http://aceproject.org/. Pippa Norris, “ Radical Right”, Chapter 5, 10 /9/2004, hal. 6. James Bourbeau/Richard Vengroff, “Democracy and the Impact of the Limited Vote: Evidence from Connecticut Municipalities”, Southern Political Science Association, Atlanta, GA January 5-7, 2006, hal. 166, http://www.hks.harvard.edu 160 161
92 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
adanya ambang terselubung bisa menggunakan rumus:163 Tupper = 100% / (M + 1) Tlower = 100% / (2M) M: jumlah kursi dalam satu daerah pemilihan Formula tersebut dipakai oleh Schweizerisches Bundesgericht/ Tribunal Fédéral Suisse (Mahkamah Federal Swiss) untuk mengukur adilnya kadar keterwakilan antardaerah pemilihan.164 Dari formula tersebut, Arend Lipjhart kemudian mengembangkan Treshold Effective dengan rumus: Teff = (Tupper + Tlower) / 2 = 75% / (M+1) 165 Jika formula-formula tersebut diterapkan untuk besaran daerah pemilihan Pemilu 2014 di Indonesia, maka tersusunlah tabel sebagai berikut. Tabel 37. Ambang Terselubung dalam Pemilu 2014 Indonesia M (kursi)
T upper
T eff
T lower
1 2
50,00%
37,50%
50,00%
33,33%
25,00%
25,00%
Penjelasan
Dieter Nohlen, Wahlsysteme der Welt, R. Piper & Co. Verlag, Muenchen – Zuerich 1978, hal. 65. Arend Lipjhart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995, hal. 26-27. Secara lengkapnya dapat dibaca dalam: Douglas Rae/Victor Hanby/John Loosemore, “Threshold of Representation and Threshold of Exclusion”, Comparative Political Studies January 1971, hal. 479-488. Arend Lipjhart/Robert W. Gibberd, “Thresholds and Payoffs in List Systems of Proportional Representation”, European Journal of Political Research, 5 (1977), Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, hal. 219-244 164 Bundesgericht (Mahkamah Swis) Putusan 1 P. 267/2002; BGE 129 I 185, 18 Desember 2002 165 Arend Lipjhart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, Oxford University Press, New York 1995, hal. 27, 182-183. 163
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 93
M (kursi)
T upper
T eff
T lower
3
25,00%
18,75%
16,67%
4
20,00%
15,00%
12,50%
5
16,67%
12,50%
10,00%
6
14,29%
10,71%
8,33%
7
12,50%
9,38%
7,14%
8
11,11%
8,33%
6,25%
9
10,00%
7,50%
5,56%
10
9,09%
6,82%
5,00%
11
8,33%
6,25%
4,55%
12
7,69%
5,77%
4,17% 3,85%
13
7,14%
5,36%
14
6,67%
5,00%
3,57%
15
6,25%
4,69%
3,33%
Penjelasan Besaran Daerah Pemilihan DPR 2014
Besaran Daerah Pemilihan DPRD Provinsi dan Kab./ Kota 2014
Atau dapat dilihat dalam grafik seperti di bawah ini:
Diolah dari ragaan Dieter Nohlen, Wahlsysteme der Welt”, R. Piper & Co. Verlag, Muenchen – Zuerich 1978, hal. 65 dengan tambahan grafik Teffective
Dari tabel dan grafik di atas dapatlah dilihat bahwa: 94 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
(a) setiap Daerah Pemilihan (district magnitude) selalu memiliki ambang terselubung; (b) untuk cara penghitungan suara Hare/Hamilton/Niemeyer dengan sisa suara terbanyak seperti yang dipakai di Indonesia, partai atau Legislator dapat duduk di parlemen bila dapat melampaui setidaktidaknya Ambang Terselubung Bawah (T lower). Kadang-kadang, akibat cara penghitungan suara Hare/Hamilton sisa suara terbanyak, partai dapat memperoleh kursi atau Legislator dapat terpilih, meski perolehannya kurang dari Tlower; (c) semakin besar Besaran Daerah Pemilihan (District Magnitude) atau semakin banyak kursi yang terdapat dalam satu daerah pemilihan, semakin rendah Ambang Terselubungnya. Karena semakin rendah, maka semakin besar pula partai-partai kecil berpeluang untuk masuk ke parlemen; dan (d) Perbedaan ambang terselubung di Indonesia termasuk mencolok. Misalnya: Ambang Terselubung Bawah (T lower) untuk pemilu DPR dan DPRD 2014 tercatat antara 16,67 persen (daerah pemilihan berkursi 3) sampai dengan 5 persen (daerah pemilihan berkursi 10) dan 4,14 persen (daerah pemilihan berkursi 12). Dengan demikian, maka tidak mudah misalnya Legislator dari partai kecil atau tidak berbasis massa di provinsi seperti Gorontalo, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Riau, Maluku Utara atau Papua Barat untuk bisa duduk di DPR-RI 2014, oleh sebab di sana masing-masing hanya diperebutkan 3 kursi atau memiliki Ambang Terselubung Bawah 16,67 persen. Sebaliknya, legislator dari partai kecil lebih mudah merebut kursi di misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua atau di Daerah Pemilihan Jawa Timur I (gabungan kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo), karena di tempat-tempat tersebut masingmasing memiliki 10 kursi atau ber-Ambang Terselubung Bawah hanya 5 persen. Untuk memperjelasnya, bisa dilihat melalui hasil pemilu DPR 2014 untuk daerah pemilihan Jawa Timur I (Gabungan Kota Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo). Di daerah pemilihan tersebut diperebutkan M = 7 kursi. Dikatakan bahwa partai pasti memperoleh kursi jika lolos Ambang Terselubung Atas (T upper) yang sebesar 100%/(M+1) = 9,09 persen. Yang memenuhi persyaratan ini adalah PKB (19,33 persen), PDIP (24,94 persen) dan Gerindra (12,56 persen), Demokrat (9,34 persen) dan PAN (9,86 persen). DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 95
Tabel 38. Hasil Perolehan Suara dan Kursi DPR 2014 Daerah Pemilihan Jawa Timur I (Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo) PARTAI
SUARA a)
% SUARA
KURSI b)
67.451
3,38%
0
PKB
385.629
19,33%
2
PKS
102.720
5,15%
1
PDI-P
497.347
24,94%
3
GOLKAR
133.644
6,70%
1
GERINDRA
250.459
12,56%
1
DEMOKRAT
186.270
9,34%
1
PAN
196.645
9,86%
1
PPP
87.293
4,38%
0
HANURA
87.069
4,37%
JUMLAH
1.994.527
NASDEM
KURSI (M)
10
T upper (Ambang Terselubung Atas)
9,09%
T lower (Ambang Terselubung Bawah)
5,00%
0 10
Catatan: Hanya menyertakan partai-partai yang lolos ambang batas parlemen. a) Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Secara Nasional Dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, No. 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014, 9 Mei 2014 b) Rekapitulasi Jumlah Perolehan Kursi Partai Politik Secara Nasional Dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, No. 416/Kpts/ KPU/TAHUN 2014, 14 Mei 2Ol4
Namun karena Ambang Terselubung Bawah (T lower) sebesar 100%/ (2M) = 5 persen, maka PKS (5,15 persen) dan Golkar (6,70 persen) boleh mendapatkan kursi. Tidak mencapai 5 persen adalah NASDEM (3,38 persen), PPP (4,38 persen) dan HANURA (4,37 persen). Formula Teff dan T upper dapat dipakai untuk memprediksi kepastian perolehan kursi partai di satu daerah pemilihan. Sedangkan Tlower dipakai untuk memprediksi perolehan sisa kursi/sisa suara yang ditimbulkan oleh cara penghitungan suara yang dipakai di Indonesia saat ini. Selain formula-formula tersebut di atas, Rein Taagepera menyodorkan formula Ambang Terselubung seperti berikut.
96 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
T = 75 / [√(M+1)(S/M)] 166 M: district magnitude S: assembly size. Perhitungan Ambang Batas Terselubung di atas ini jarang dipakai, tapi dalam hal-hal tertentu terlibat dalam perdebatan sistem pemilu. Pelanggaran Prinsip One Man One Vote One Value Dalam Pemilu Legislatif DPR dan DPRD 2014, terdapat perbedaan Ambang Batas Terselubung dalam satu wilayah administrasi negara/ pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota). Tentu saja, hal ini membuat nilai suara/keterwakilan penduduk dalam satu wilayah berbeda, atau melanggar prinsip-prinsip yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum seperti tertera dalam Pasal 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penetapan Dearah Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014. Yaitu: “Kesetaraan nilai suara dengan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai, Proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan”. Sebagai contoh adalah pembentukan daerah-daerah pemilihan DPRD Provinsi 2014: Di Provinsi Aceh terdapat 1 daerah pemilihan kecil (5 kursi), 7 daerah pemilihan menengah (6 s.d. 9 kursi) dan 2 daerah pemilihan besar (11 s.d. 12 kursi). Ambang Terselubung Bawah di daerah pemilihan kecil 10 persen, sedangkan di daerah pemilihan besar berkursi 12 tercatat 4,2 persen. Yang mencolok itu misalnya di Provinsi Banten dan Provinsi Bali: Di satu pihak Daerah Pemilihan terkecil berkursi 3 dengan atau Ambang Terselubung Bawah 16,7 persen dan di lain pihak Daerah Pemilihan berkursi 12 atau Ambang Terselubung Bawah 4,2 persen. Tentu saja, jika perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan di satu wilayah administrasi negara/pemerintahan itu dicederai, maka hal ini akan mempengaruhi peluang pemilih, partai 166
Robin E. Best, „Toward a Bidirectional Account of the Relationship between Party System Size and Electoral Institutions”, Department of Political Science, University of Missouri, hal. 12.
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 97
politik atau calon legislator. Sebab di daerah pemilihan berkursi 3 misalnya, hanya sejumput partai atau calon legislator yang terpilih daripada di daerah pemilihan berkursi 12. Tabel 39. Jumlah Kursi/Mandat dalam Satu Daerah Pemilihan Jumlah Kursi/Mandat dalam satu Daerah Pemilihan
Jenis
2 s.d. 5
Kecil
6 s.d. 9
Menengah
10 dan selebihnya
Besar
Dieter Nohlen: „Wahlrecht und Parteiensystem“, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI 2009, Cetakan ke VI, hal. 92
Oleh sebab itu, perbedaan besaran daerah pemilihan untuk DPRD Zuerich (Swiss) antara 4 s.d. 16 kursi diharamkan oleh Bundesgericht/ Tribunal Fédéral Suisse (Mahkamah Federal Swiss). Di daerah pemilihan terkecil yang berkursi 4, satu partai haruslah melewati Ambang Terselubung Atas 100%/5 = 20 persen suara buat berkepastian memperoleh kursi. Sementara di daerah pemilihan terbesar, satu partai cuma perlu melewati Ambang Terselubung Atas 100%/17 = 6 persen suara buat memperoleh kursi 167. Selain itu, Bundesgericht menuntut, agar Ambang Batas Terselubung Atas (T upper) tidak melebihi 10 persen. Artinya, jumlah kursi dalam satu daerah pemilihan minimal 9 dan perbedaan antar daerah pemilihan dalam satu wilayah pemerintahan tidak terlampau mencolok.168 Untuk memenuhi amanat tersebut, solusinya adalah menggunakan Sistem Biproporsional. Dalam daerah pemilihan kecil (2 s.d. 5) dan menengah (6 s.d. 9), perlu diketengahkan ihwal perbedaan daerah pemilihan ganjil dan genap. Umumnya, di daerah pemilihan berkursi genap menguntungkan partai terkuat kedua, sedangkan di daerah pemilihan berkursi ganjil partai terkuat. Efek ini melemah dengan semakin besarnya daerah pemilihan. Dari pengamatan Friedrich Pukelsheim, dapat dilihat
Friedrich Pukelsheim/Christian Schumacher, “Das neue Zuercher Zuteilungsverfahren fuer Parlamentswahlen”, AJP/PJA 5/2004, hal. 505. Pipit Rochijat Kartawidjaja/Didi Achdijat Kartawidjaja, Proporsionalitas & Disporporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD, 7 (Seven) Strategic Studies Jakarta, Maret 2012, hal. 30. Menyangkut Besaran Daerah Pemilihan dapat dilihat dalam Keputusan-Keputusan Mahkamah Agung Swis misalnya BGE 129 I 185 ff 18. Desember 2002 dan BGE 131 I 85 dst. 168 Keputusan Dewan Pemerintah Kanton Obwalden, Swis dalam Entscheid des Regierungsrats vom 25. Oktober 2005 (Nr. 184). 167
98 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
pengaruh ganjil dan genapnya satu daerah pemilihan berkursi 6 s.d. 30 (Jenis Kursi Menengah dan Besar) seperti tertera dalam grafik di bawah ini: Pengaruh Daerah Pemilihan Genap dan Ganjil Berkursi 6 s.d. 30 Dengan Cara Penghitungan Suara Metoda Kuota Yang Dipakai di Indonesia saat ini
Sumber: Friedrich Pukelsheim, „Mandatszuteilungen bei Verhaeltniswahlen: Idealansprueche der Parteien“, Zeitschrift fuer Politik 47/2000, hal. 252
Dari grafik di atas, jika kita kontekstualisasikan dengan menggunakan besaran daerah pemilihan di Indonesia (3 s.d. 10 untuk DPR atau 3 s.d. 12 untuk DPRD, maka dapat dikatakan, bahwa: (a) partai-partai tergurem (termasuk yang kecil lainnya), juga para calegnya, adalah pihak-pihak yang dirugikan; (b) antara partai terbesar (misalnya partai terkuat) dengan partai menengah (misalnya partai terkuat kedua), juga para calegnya, terjadi pergulatan di daerah-daerah pemilihan berkursi genap dan ganjil. Di daerah pemilihan berkursi genap 6 contohnya, kedudukannya seimbang mirip daerah pemilihan berkursi 2. Sedangkan di daerah pemilihan berkursi ganjil 7, partai terkuat yang menarik keuntungan. Kedudukannya berbalik di daerah pemilihan berkursi genap 8. Dan seterusnya. Pengamatan Dieter Nohlen dan Friedrich Pukelsheim di atas dapat dipakai oleh partai-partai atau calon-calon legislator guna menyusun kekuatannya agar bisa masuk ke nirwananya demokrasi (parlemen).
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 99
5. FRAKSI PARLEMEn Setelah pemilu legislatif dan legislator terpilih, mereka harus bergabung ke dalam fraksi. Pembentukan fraksi itu sendiri, dapat dimanfaatkan untuk menciptakan sistem multikepartaian sederhana dalam tubuh parlemen. Dalam tahun pemilu DPR Jerman 1990, parpol Gabungan 90/Hijau (Buendnis 90/Die Gruenen) dan PDS/Linke Liste (Partai Demokrasi Sosialis.d.aftar Kiri) masuk ke DPR Jerman. Bündnis 90/ Die Gruenen und PDS masing-msing mengirimkan 8 (delapan) dan 17 (tujuhbelas) wakil.169 Dalam pemilu DPR 2002, PDS hanya berhak mengirimkan 2 (dua) wakilnya ke Bundestag.170 Partai-partai yang masuk ke DPR Jerman itu tidak berhak membentuk fraksi. Aturannya, pembentukan fraksi perlu 5 persen kursi DPR.171 Akibatnya partai tidak punya kewenangan yang berarti dalam proses legislasi kalau tidak mempunyai fraksi. Mereka tidak bisa mengajukan RUU, tidak memiliki hak bertanya kepada pemerintahan yang berkuasa. Di dalam komisi DPR Jerman, para legislatornya paling-paling hanya menjadi tamu, tapi tak punya hak bicara dan mengajukan usul.172 Alhasil, legislator yang tak berfraksi itu paling jauh hanya melempar wacana didalam ruang publik tetapi tidak mampu mempengaruhi kebijakan di dalam parlemen. Disiplin Fraksi Ilmuwan politik memberikan perhatian penting terhadap pembedaan antara kohesi partai dengan disiplin partai. Kohesi partai merujuk pada perluasan dimana anggota partai didalam majelis bertindak secara seragam bersama-sama, sementara disiplin partai merupakan penguatan dari kohesi partai.173 Dalam bagian ini akan dibahas tentang pentingnya disiplin partai didalam parlemen atau dikenal dengan disiplin fraksi. Di samping koalisi, eksistensi disiplin partai atau fraksi bisa lebih memudahkan parlemen dalam beraktivitas. Tentu hal ini berbeda dengan parlemen yang memiliki disiplin fraksi yang lemah buat menggerakkan bersama para anggota-anggota dewan. Umumnya,
Bundestag, „Folge 12: Die Einheit als Aufgabe (1990-1994)“, http://www.bundestag.de/ Martin Fehndrich/Matthias Cantow, „Fraktion“, 27/10/2004 http://www.wahlrecht.de/ 171 Bundestag, „Fraktionen“, http://www.bundestag.de/ 172 Martin Fehndrich/Matthias Cantow, “Fraktion”, 27/10/2004 http://www.wahlrecht.de/ 173 John E. Owens, “Parties in Democratic National Assemblies, Comparative Assessment of Parliaments (CAP) Note”, Center for International Development, Rockefeller Cillege University at Allaby, State University of New York, 2011, hal. 27 169 170
100 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
disiplin fraksi dinilai sebagai sumberdaya kekuasaan eksekutif. Tapi, jika disiplin fraksi itu independen (tidak tergantung pada pemerintah), maka disiplin fraksi dapat dikelompokkan ke dalam bagian kekuasaan legislatif. Namun patut disimak, bahwa dalam parlemen berdisiplin fraksi/koalisi itu biasanya ditemui pada fraksi-fraksi pemerintah, sementara kubu opisisi biasanya lemah. Tentu saja, persyaratan kuatnya fraksi-fraksi pemerintahan adalah ketidaktergantungannya pada eksekutif. Fraksi-fraksi pemerintah yang buta tunduk pada eksekutif macam Peru di bawah Presiden Fujimori, telah menyerahkan secara sukarela kewenangan legislasinya.174 Disiplin partai, dan kemudiannya disiplin fraksi dalam parlemen merupakan salah satu kunci menejemen koalisi dalam sistem presidensial agar presiden dapat memerintah.175 Dalam penelitiannya terhadap 31 negara,176 Kailitz menemukan, secara umum, disiplin/kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme itu tinggi, sedangkan dalam sistem presidensialisme rendah. Dalam hal pengaruh sistem pemilu, kekompakan fraksi sangat tinggi dalam sistem parlementarisme yang tidak mengenal persaingan antarkandidat (misalnya lewat proporsional closed list atau daftar tertutup/ tetap). Sebaliknya, sangat lemahnya kekompakan fraksi dalam sistem presidensialisme yang mengenal persaingan antar kandidat (misalnya akibat proporsional daftar terbuka atau sistem mayoritan alias plurality). Dalam sistem presidensialisme itu sendiri, kekompakan fraksi berbeda-beda. Umumnya tergantung pada hak monopoli pimpinan partai dalam menetapkan kandidat. Di dalam sistem presidensialisme yang mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai (demokrasi internal) seperti di AS, kekompakan fraksi sangat rendah. Sebaliknya, dalam sistem presidensialisme yang tidak mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai, kekompakan fraksi sangat tinggi. Dalam sistem parlementerisme, kekompakan fraksi tetap tinggi, tidak tergantung pada bentuk penetapan
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde – Hamburg 2000, 4, hal. 100 175 Paul Chaisty/Nic Cheeseman/Timothy Power, “Rethinking the ‘presidentialism debate’: conceptualizing coalitional politics in cross-regional perspective”, Politics and International Relations, Oxford University, Oxford, UK, 24 Aug 2012, hal. 5-6. 176 Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 302 174
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 101
calon legislator.177 Kekompakan fraksi itu diukur lewat Rice-Index dengan rumus:
RICE ij = |%Setuju - %Menolak|
178
untuk Fraksi i dalam voting j. Nilainya antara 0 s.d. 100 atau 0 s.d. 1. Penjelasan: 0 berarti, 50 persen anggota fraksi setuju dan 50 persen sisanya menolak. Jadi, fraksinya total terpecah. 100 atau 1 berarti fraksinya kompak. Selain angka 0, maka penggolongan angka-angkanya sebagai berikut. Tabel 40. Rice Indeks Rice Indeks
Tingkat Disipilin/Kekompakan Fraksi
100-91
Sangat Tinggi/Langitan
90-81
Tinggi
80-61
Rendah
60-41
Sangat Rendah/Tiarap
di bawah 40
Tidak kompak/Ambrul-adul
Di Indonesia, contoh kekompakan fraksi koalisi misalnya bisa dilihat dari kekompakan fraksi partai koalisi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Kenaikan Harga BBM. Untuk memudahkan perhitungan, kita ambil data tanggal 30 Maret 2012 ketika Golkar dan PKS menolak:179
Ibid, 318 Erik Fritzsche. „Der Rice-Index, seine Varianten und andere Indizes zur Verdichtung des Informationsgehaltes der Daten namentlicher Abstimmungen“, Oktober 2007, hal. 1. RICE-INDEX dinilai tidak memuaskan. “This index is not ideal, as it ignores abstentions and absences, but it probably provides a good rank ordering, which in the narrow .6 to 1.0 range use here cannot be far off” (Michael Coppedge, “Party Systems, Governability, and the Quality of Democracy in Latin America”, Kellogg Institute, Hesburgh Center, University of Notre Dame, June 7-8, 2001, hal. 8). Namun demikian, RICE-Index membantu buat menyimaki disiplin fraksi, apalagi jika posisinya hanya pro dan kontra. Untuk kriteria Rice Index bisa dilihat didalam Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 306). 179 “Golkar dan PKS Tolak Kenaikan Harga BBM”, Kompas 30 Maret 2012. „Manuver PKS Bikin Galau Koalisi“, Gatra 11 April 2012, hal. 12-16 177
178
102 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Tabel 41. Parpol DPR
Kursi Koalisi DPR
% Setuju BBM naik
% Menolak BBM naik
GOLKAR
106 (25,06%)
-
25,06%
DEMOKRAT
148 (34,99%)
34,99%
-
PAN
46 (10,8%)
10,87%
-
PKB
28 (6,62%)
6,62%
-
PPP
38 (8,98%)
8,98%
-
PKS
57 (13,48%)
-
13,48%
JUMLAH
423 (100%)
61,47%
38,54%
RICE-INDEX
| %Setuju-%Menolak|
22,93%
Berdasarkan RICE-Index, kekompakan fraksi pemerintah SBY hanya sebesar 22,93% dan tergolong tidak kompak. Berangkat dari hitungan tersebut, maka bisa dilhat perbandingan tingkat kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme dan presidensialisme. Di dalam sistem parlementarisme, Indeks RICE di atas 87 s.d. 99 (derajat kekompakan fraksi yang tinggi). Sementara itu, di dalam sistem presidensialisme antara rendah dan sangat rendah (41 s.d. 80) —kecuali Argentina, Cile dan Kosta Rika yang berada dalam perbatasan rendah dan tinggi (81 s.d. 83). Tabel 42. Parlementarisme Negara
Presidensialisme Voting
Waktu
Australia
457
1996-1998
Denmark
33.751 1142
Jerman Inngeris
Voting
Waktu
I-Rice
99
Argentina
217
1984-1997
83
1990-1996
93
Brazil
675
1989-1998
75
1949-1990
95
Cile
737
1997-2000
81
97
Costa Rica
17
1967-2000
81
Italia
630
1996-2001
97
Filipina
147
1995-1997
66
Kanada
735
1994-1997
87
Uruguay
63
1985-1994
79
777
1990-1994
96
AS (1)
tak diketahui
1965-1985
52
11.339
1979-1994
97
AS (2)
tak diketahui
1985-2001
69
tak diketahui 1994-1995
97
Nikaragua
693
2000
66
1993-1998
87
Peru
1.124
2000-2001
79
tak diketahui 1995-1996
97
Ukraina
tak diketahui 1989-2003
80
99
Rusia
tak diketahui 1994-2003
75
Selandia Baru Norwegia Swedia Ceko Islandia Austria
tak diketahui 1992-2001
I-Rice Negara
9.808 76
1994-1997
(Sumber: Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 303-304).
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 103
Dari perbandingan tersebut, disiplin fraksi dalam sistem parlementarisme lebih tinggi ketimbang sistem presidensialisme. Hal tersebut disebabkan karena (a) berfungsinya sistem parlementarisme itu sangat tergantung pada disiplin fraksi dan (b) jika tak ada disiplin fraksi, berarti ambang perestuan Rancangan Undang-Undang pemerintah sistem pemerintahan parlementer menjadi sukar dilampaui, dan karenanya sistem parlementerisme tidak dapat mentolerir pemerintahan yang tidak berdisiplin fraksi, sebab pemerintah yang berkuasa selalu memerlukan mayoritas parlemen.180 Untuk mengetahui lebih dalam tentang kekompakan fraksi dalam sistem presidensialisme di Amerika Latin, bisa dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 43. Sangat Tinggi
Tinggi
Rendah
Tiarap
Meksiko 19942000 Venezuela 194548 dan sejak 1958
Argentina sejak 1983, Cile 1955-73 dan sejak 1990; Kosta Rika sejak 1946, Ekuador sejak 1986; El Salvador sejak 1984; Guatemala 1966-1982 dan sejak 1986; Meksiko sejak 2000
Bolivia 1979-80 dan sejak Brazil 1946-64; 1982; Amerika Serikat Brazil sejak 1985; Republik 1945-85 Dominika sejak 1978; Ekuador 1946-54; 1958-63; 1966-82; Honduras 1957-63; 1971-72 dan sejak 1981; Kolumbia 1945-53 dan sejak 1958; Nikaragua sejak 1990; Panama 1949-51, 1952-68 dan sejak 1994; Paraguay sejak 1993; Filipina 1946-72 dan sejak 1987; Uruguay sejak 1985; Amerika Serikat sejak 1985
Sumber: Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 308).
180
Steffen Ganghof, „Kohaerente Demokratietypen und behavioral-institutionelle Gleichgewichte Koalitionsbildung und institutioneller Wandel im Laendervergleich“, Universitas Potsdam 2009, hal. 17
104 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
Kasus yang ganjil terjadi Kolumbia dimana selama puluhan tahun hanya didominasi dua partai yakni Partido Liberal Colombiano dan Partido Conservador Colombiano. Hal itu terjadi sejak tahun 1858. Sampai tahun 1990an, dua partai itu menguasai kehidupan politik Kolumbia. Meskipun sistem partainya hanya dua, namun banyaknya faksi di dalam tubuh kedua partai tersebut menyebabkan loyalitas kepada presiden rendah dan disiplin fraksinya lemah.181 Dengan UUD tahun 1991, Kolombia memperluas partisipasi politik masyarakat. Partai Polo democrático Alternativo, berhasil memenangkan pemilukada tahun 2007. Praktis, perkembangan sistem kepartaian Kolumbia itu dari dwi partai menjadi multipartai. Dalam Pemilu 2006, masuk ke parlemen 11 partai yang lolos ambang batas parlemen 2 persen.182 Dalam perkembangan sistem presidensialisme, partai-partai dan kekompakan/disiplin fraksi dalam parlemen menjadi sangat berperan.183 Maka usaha untuk membentuk atau meningkatkan disiplin fraksi di parlemen presidensialisme di Amerika Latin ditempuh melalui dekret Presiden seperti di Argentina (“decretos de necesidad y urgencia“). Di sana fraksi pemerintah terbelah ke dalam beberapa faksi. Para disiden dalam fraksi pemerintah biasanya tak menentang pemerintah secara terang-terangan, namun dengan ketidakhadiran mereka dalam komisi tertentu dapat mempersulit pencapaian syarat kuorum yang ditetapkan. Semasa pemerintahan presiden Menem 1989-1999, sang presiden menurunkan 545 “decretos de necesidad y urgencia” dan 267-nya sah. Penerusnya, De la Rúa, melanjutkan tradisi ini. Pemerintahan Fernando Belaúnde (1980-1985) menurunkan 667 dekrit, dan dekrit pemerintahan Alan García (1985-1990) berjumlah sampai 1.338.184
Michael Coppedge, “Party Systems, Governability, and the Quality of Democracy in Latin America”, Kellogg Institute, Hesburgh Center, University of Notre Dame, 7-8/6/2001, hal.11 182 Wahlen in Kolumbien, Viento de Popayán, http://rothen.info/ 183 Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 300 184 Detlef Nolte, „Reform des Praesidentialismus und Staerkung der Parlamente“, hal. 22, www1.unihamburg.de/IIK/ . Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 138. 181
DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 105
hubungan Lembaga Eksekutif dan Legislatif185 Hubungan Lembaga Eksekutif dan Legislatif dalam sistem parlementer dan dalam sistem presidensialisme oleh Kailitz diragakan sebagai berikut. Tabel 44. Hubungan Parlemen dengn Pemerintah dalam Parlementerisme
Hubungan Parlemen dengan Pemerintah dalam Presidensialisme
1. Parlemen secara politis dapat melengserkan pimpinan pemerintah (Perdana Menteri) – misalnya dalam hal mayoritas parlemen berseberangan dengan pemerintah lewat mosi tak percaya (motion of non confidence) *)
1. Parlemen secara politis tidak dapat melengserkan pimpinan pemerintah (Presiden) – misalnya dalam hal mayoritas parlemen berseberangan dengan pemerintah lewat mosi tak percaya (motion of non confidence) *)
2. Perdana Menteri dapat menyodorkan mosi percaya (confidence motion) *)
2. Presiden tidak dapat menyodorkan mosi percaya (confidence motion) *)
3. Pemilu parlemen dan pembentukan pemerintahan menyatu. Pemilih hanyalah memilih parlemen. Dalam hal ini pemerintah hanyalah gerbong parlemen (legitimasi tunggal)
3. Pemilu parlemen dan pembentukan pemerintahan terpisah. Pemilih memilih parlemen dan presiden. Presiden tidak tergantung pada perimbangan kekuatan di parlemen. Presiden bukan gerbong parlemen (legitimasi ganda)
4. Perdana Menteri bisa membubarkan parlemen
4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen
*) Istilah motion of non confidence dan confidence motion dikutip dari Dissoltion of Parliament, www.parliament.uk dan Lucinda Flavelle/Philip Kaye, “Party Discipline and Legislative Voting”, canadian Parliamentary review, http://www.revparl.ca/english/issue. asp?param=117&art=665 Ragaan dikutip dari Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 295
Dengan pemisahan berdasarkan ragaan di atas, maka dapatlah diduga sikap pengambilan keputusan partai-partai di parlemen. Presidensialisme “murni“ ala kubu “Federalis“ AS di bawah pimpinan Hamilton/Madison/Jay itu berangkat dari penolakan mereka terhadap kehadiran partai. Logika parlementarismus merupakan hasil evolusi
185
Catatan: di Amerika Serikat, jika tak seorang pun calon presiden meraih mayoritas mutlak dalam Dewan Elektoral, maka DPR memilih salah seorang dari tiga calon presiden yang mengantongi suara terbanyak. Kasus ini pernah sekali terjadi pada tahun 1825 (Suzanne S. Schüttemeyer, „Parlamentarische Demokratie: Die Logik der parlamentarischen Demokratie“, Informationen zur politischen Bildung Heft 295, 22/08/2007, http://www.bpb.de/izpb. Atau di sistem presidensialisme Bolivia misalnya, presiden itu dipilih oleh parlemen bila dalam putaran pertama calon-calon presiden terkuat pertama dan kedua gagal meraup mayoritas (Detlef Nolte, „Reform des Praesidentialismus und Staerkung der Parlamente“, www1.unihamburg.de)
106 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN
dari demokrasi kepartaian. Maksudnya, kehidupan politik itu diisi oleh persaingan berbagai partai dan terutama dualisme antara partai pemerintah dan partai oposisi, presidensialisme “murni“ berangkat dari separation of powers. Menurut logikanya, pemerintah hanyalah eksekutor UU dan parlemen pembuat UU. Di satu pihak, menurut kaum “federalis“ bahaya yang mengancam perimbangan kekuasaan itu datang dari parlemen; di lain pihak, dari kacamata parlementarisme, bahaya datang dari pemerintah. Itulah sebabnya, partai dianggap perlu sebagai agen penghubung antara pemerintah dan mayoritas parlemen. Agar pemerintah tidak seenaknya, maka setiap saat mayoritas parlemen dapat menghentikan sepak terjang pemerintah. Tipe ideal dari presidensialisme itu sistem ketidaksalingtergantungan antara parlemen dan pemerintah, sedangkan tipe ideal dari parlementerisme itu kesalingtergantungan antara parlemen dan pemerintah. Bentuk pemerintahan parlementarisme itu merupakan pertandingan antara tim pemerintah dengan tim oposisi. Sementara itu, pembentukan tim pemerintah dalam presidensialisme dibuat melampaui batas kelembagaan. Pemisahan antara eksekutif dan legislatif yang ideal hanya mungkin bila anggota tim pemerintah dan parlemen tidak tunduk pada satu garis partai. Dalam perkembangannya, separation of powers dalam presidensialisme “murni“186 itu bertabrakan dengan kenyataan kehidupan politik. Sebab presiden hanya sebagai eksekutor UU saja tidak cukup. Dengan kata lain, presiden boleh merancang/membuat UU. Tanpa kewenangan ini, dengan memisahkan tugas antara pembuat dan eksekutor UU, Presiden tidak mungkin bisa mengendalikan negara. Itulah sebabnya, sama seperti di kebanyakan presidensialisme Amerika Latin, berdasarkan Pasal 5 UUD 1945, di Indonesia “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat“. Agar RUU eksekutif direstui oleh DPR, maka Presiden harus mendapatkan dukungan atau menguasai mayoritas DPR, sebab “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan 186
Ini perbeda dengan pandangan Denny J.A yang melihat presidensialisme „murni“ hanya sebatas „Baik parlemen dan presiden, dalam sistem presidensialisme murni, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Legitimasi politik mereka sama besarnya“ (Denny J.A, Presidensialisme: Tapi Kabinet Jatuh-Bangun, Gatra Nomor 31, 16/6/2001), tetapi tidak menyinggung berhak dan tidaknya presiden mengajukan RUU atau ada jenis presidensialismenya yang presidennya tidak dipilih langsung (lihat catatan hubungan parlemen dengan pemerintah dalam sistem presidensialisme). DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN II)
l 107
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama“. Dengan kata lain: pemerintahan presidensialisme Indonesia berasaskan Convergence of Powers, Convergence of Purpose dan Unified (atau United) Government, dan tergolong ke dalam demokrasi konsensual/konkordans. Jelas berseberangan dengan presidensialisme di Amerika Serikat yang sejak 1945 berasaskan Separation of Powers, Separation of Purpose dan Divided Government sehingga digolongkan ke dalam demokrasi persaingan/mayoritan.
108 l
PIPIT R KARTAWIDJAJA DAN M FAISHAL AMINUDDIN