2
Mengakali Aturan demi Kepentingan
4
Fenomena “Caleg Impor”
6
“Caleg Impor” dan Politik Imagologi
8
Massa, Pemilu dan Politik-Ekonomi Media
no.19 oktober 2008
konstelasi Analisis Dua Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Democracy Security eperluan untuk memajukan kualitas pemilu, adalah tahapan terpenting dari rangkaian upaya pelembagaan politik selama satu dekade reformasi ini. Keperluan itu terutama dalam rangka memastikan bahwa kultur politik demokrasi sudah harus mandiri, yaitu melembaga dalam kehidupan politik sehari-hari. Melembaga berarti bahwa kultur itu sudah menjadi kebutuhan publik dalam rangka menjalankan tiga tugas etis demokrasi: politik kesetaraan, politik keadilan sosial, dan politik kemajemukan. Dalam imperatif ini, pemilu menjadi peralatan distribusi kekuasaan, sekaligus peralatan pelembagaan konflik. Pada aspek distribusi, pemilu harus memungkinkan terjadinya sirkulasi elit agar regenerasi berlanjut. Kepentingan demokrasi adalah bukan pada akumulasi kekuasaan, melainkan pada distribusinya. Di sini kita “dipaksa” untuk menyediakan berbagai aturan yang dasarnya adalah kehendak untuk meratakan distribusi kekuasaan. Itulah alasan kita menerima misalnya prinsip “affirmative action” bagi kaum perempuan untuk masuk dalam parlemen. Etika politik ini adalah demi menjamin “democracy security”, yaitu kondisi yang harus ada agar demokrasi tidak mengarah pada
K
“mayoritarianisme”. Pada prinsip ini juga terletak jaminan kebudayaan bagi keseimbangan politik dalam masyarakat. Keseimbangan itu harus terus dievaluasi agar tidak terjadi kondisi hegemonistik yang kelak akan menutup dasar kemajemukan demokrasi. Jadi, amatlah penting untuk memastikan bahwa fungsi distributif dari pemilu harus bekerja, karena hanya dengan kepastian itu kita dapat mengatakan bahwa sebuah pemilu memang sungguh-sungguh sedang memajukan kualitas demokrasi. Tentang fungsi pelembagaan konflik, pemilu mengarahkan politik ke dalam persaingan argumentasi. Dengan itu kita membiasakan diri untuk mengejar “kebenaran” dan “keyakinan” politik semata-mata sebagai “barang publik”. Aturan pemilu harus menjamin bahwa persaingan politik harus diselenggarakan sepenuhnya dengan “tata bahasa” politik publik. Karena itu, aturan pemilu harus mengarahkan persaingan politik (kampanye, misalnya) melampaui simbol-simbol privat, terutama yang bersifat keagamaan dan etnisitas. Inilah kesempatan kita untuk merawat demokrasi sebagai ruang pengalaman majemuk. Proyek mendasar dari “democracy security” adalah untuk
membangun instalasi komunikasi politik yang sepenuh-penuhnya didasarkan pada sikap kesetaraan warga negara. Seluruh ideal dari “democracy security” itu, sekarang ini terganggu oleh kekacauan aturan karena ketidakmengertian para penyelenggara negara tentang tahapan konsolidasi demokrasi. Duduk perkaranya adalah kesemrawutan aturan yang diakibatkan oleh arogansi institusi (antara DPR dan pemerintah misalnya, atau antara KPU dan Mahkamah Konstitusi), yang hanya melihat pemilu semata-mata sebagai proyek rutin birokrasi, dan tidak mampu melihatnya sebagai proyek investasi demokrasi. Ketidakmampuan itu menyebabkan pemilu hanya dilihat dari segi rutinitas politik, dan bukan dari segi konsolidasi demokrasi. Cara pandang ini menyebabkan proses legislasi menjadi sekedar proses transaksi untuk kepentingan partai-partai utama. Dari sudut pandang “democracy security”, arogansi institusi dan kekacauan legislasi ini telah melalaikan aspek pendidikan ideologi publik. Pemilu tidak dipahami oleh rakyat sebagai sarana pencapaian “keutamaan” warga negara, melainkan sekedar pasar tenaga kerja, di mana uang mendahului ideologi n RGX www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Mengakali Aturan enjelang Pemilu 2009, aturan-aturan mengenai pemilu tampak karut-marut. Salah satunya berkaitan dengan kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu sebagaimana diatur dalam UU No.10/2008 tentang Pemilihan Anggota Legislatif. Berdasarkan UU No.10/2008, pada dasarnya ada dua macam parpol yang dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu parpol baru dan parpol lama (peserta pemilu sebelumnya). Agar dapat mengikuti Pemilu 2009, parpol baru harus memenuhi ketentuan Pasal 10 UU No.10 /2008, yaitu: (a) Berbadan hukum (b) Memiliki kepengurusan di 2/3 provinsi (c) Memiliki kepengurusan di 2/3 kabupaten/kota di provinsi bersangkutan (d) Menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat (e) Memiliki anggota sekurangkurangnya 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk di setiap kepengurusan Parpol (f) Mempunyai kantor tetap (g) Mengajukan nama dan tanda gambar parpol kepada KPU Sedangkan parpol lama, harus memenuhi ketentuan Pasal 315 UU No.10/2008, yang intinya, menyatakan bahwa peserta Pemilu 2004 dapat mengikuti Pemilu 2009 jika: memperoleh sekurangkurangnya 3% jumlah kursi DPR; atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di ½ dari jumlah selu-
M
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://ccc.byu.edu/prelaw/law.jpg
ruh provinsi di Indonesia; atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten yang tersebar sekurangkurangnya ½ dari jumlah seluruh kabupaten di Indonesia. Aturan inilah yang sering dinamakan sebagai persyaratan threshold.
Parpol lama yang memenuhi persyaratan ini secara otomatis dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2009 apabila memiliki minimal 16 kursi di DPR (560 jumlah kursi DPR x 3% = 16,8 kursi). Parpol lama yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315,
demi Kepentingan
masih dapat menjadi peserta pemilu asalkan memenuhi salah satu prasyarat yang diatur dalam Pasal 316, yaitu: (a) Bergabung dengan Parpol yang memenuhi ketentuan Pasal 315 (b) Bergabung dengan Parpol yang
tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 tetapi dengan menggunakan nama dan gambar dari Parpol yang bergabung (c) Bergabung dengan Parpol yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dengan membentuk nama dan gambar baru (d) Memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004 (e) Memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU Munculnya ketentuan Pasal 316, terutama Huruf (d) dan Huruf (e), mengakibatkan ketentuan Pasal 315 menjadi tidak berguna. Artinya, meskipun tidak memenuhi ketentuan Pasal 315, parpol tertentu secara otomatis dapat mengikuti Pemilu 2009 asalkan memiliki kursi di DPR, meskipun hanya satu kursi saja. Selain itu, parpol lama masih dapat mengikuti Pemilu 2009, jika lolos verifikasi meskipun tidak bergabung dengan parpol lainnya. Parpol-parpol yang diuntungkan oleh Pasal 316 Huruf (d) antara lain: PBR (14 kursi), PDS (13 kursi), PBB (11 kursi), PKPI (1 kursi), PPDK (4 kursi), Partai Pelopor (3 kursi), dan PPDI (1 kursi). Parpol-parpol ini telah ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu 2009 bersama Parpolparpol lainnya yang memenuhi ketentuan Pasal 315. Selain itu, Parpol lama yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dan 316 tersebut, masih dapat menjadi peserta Pemilu 2009 yaitu dengan cara pura-pura menjadi parpol yang baru dibentuk dengan mengganti nama parpol. Parpol yang menerapkan cara ini
antara lain: PNBK berganti nama menjadi PNBKI (menambahkan kata Indonesia), Partai Patriot Pancasila berganti nama menjadi Partai Patriot, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) berganti nama menjadi Partai Perjuangan Indonesia Baru (Partai PIB). Partai Bulan Bintang hampir berganti nama menjadi Partai Bintang Bulan. Ketentuan Pasal 316 Huruf (d) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan tanggal 8 Juli 2008 (sehari setelah pengumuman KPU tentang peserta Pemilu 2009). Gugatan MK tersebut diajukan oleh Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila (PPP), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia, dan Partai Merdeka. Sebagian dari penggugat ini telah ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu 2009, karena berganti nama dan lolos verifikasi. Putusan MK tersebut kemudian dijadikan dasar oleh 4 parpol lama lainnya untuk mengajukan gugatan ke PTUN, yang kemudian dimenangkan. Akhirnya, KPU menerima putusan PTUN tersebut — tanpa upaya hukum lainnya — dan menetapkan 4 parpol tersebut sebagai peserta Pemilu tambahan. Parpol-parpol tersebut adalah, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia, Partai Merdeka, dan Partai Persatuan Nadlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Bersambung ke hlm. 11 www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Fenomena “Caleg enjelang Pemilu 2009, politik Indonesia kembali marak dengan fenomena “caleg impor”. “Caleg impor” yang dimaksud di sini adalah caleg yang bukan berasal dari kader partai politik, melainkan orang dari luar partai politik yang diminta untuk menjadi caleg mewakili partai yang mencalonkannya. Yang umumnya menjadi “caleg impor” adalah akademisi, artis, aktivis, pengusaha, serta mantan anggota TNI atau Polri. Mengingat pada dasarnya “caleg impor” ini diharapkan dapat menjaring suara (vote getters), atau memberi dukungan dana, atau juga memiliki keahlian yang bisa disumbangkan jika terpilih menjadi anggota legislatif, maka dalam tulisan ini fenomena “caleg impor” akan dilihat dalam tiga aspek: pertama, sebagai sumber dana; kedua, sebagai pencari suara; dan ketiga, sebagai cara untuk meningkatkan mutu dan kualitas caleg.
M
Caleg Pengusaha Pengusaha menjadi sangat dibutuhkan karena semakin kuatnya kebutuhan pendanaan kampanye partai politik. Untuk membiayai kampanye di berbagai wilayah, dan berbagai taktik menarik perhatian massa lewat berbagai kegiatan amal, dana besar menjadi komponen utama. Semenjak media dinilai sangat efektif menjadi medan perang kampanye, dana yang sangat besar juga musti dialokasikan untuk bisa ikut bertempur di medan perang media massa. Persoalannya, tradisi keuangan partai lewat iuran anggota 4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber : http://sawali64.googlepages.com/pemilu4.jpg
untuk membiayai kegiatan partai tidak berjalan efektif, sehingga di titik ini para pengusaha akan dijadikan sandaran utama perolehan dana. Pengusaha-pengusaha yang menjadi caleg diharapkan dapat memberikan kontribusi dana yang besar bagi partai untuk mengikuti
pemilu. Ini bisa dilihat pada pemilu 1999, di mana sangat banyak pengusaha yang direkrut partai dan kemudian menjadi anggota legislatif. Namun, konsekuensinya juga berat, yakni mereka ingin agar usahanya tidak mendapatkan hambatan lewat undang-undang yang diproduksi DPR. Akibatnya,
Impor” banyak undang-undang sektor ekonomi, industri, pertambangan dan energi, perkebunan, dan lainnya, sangat tidak berpihak pada rakyat dan justru melindungi pengusaha. Selain sebagai konsekuensi dari Letter of Intent dengan IMF, kontribusi para pengusaha untuk melindungi usahanya lewat jalur legislatif juga besar. Ini juga merupakan bahaya besar dalam perjalanan membangun demokrasi Indonesia.
Gegap-Gempita Caleg Artis Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dengan bangga menyebutkan bahwa partainya merupakan salah satu pelopor yang memberikan banyak kesempatan bagi para artis dan selebritis dalam daftar calon anggota DPR yang diajukan PAN. Partai politik lainnya juga tidak sedikit yang mengajukan artis untuk menjadi anggota calon legislatif, seperti PDIP, Golkar, Partai Demokrat, dan lainnya. Masuknya artis sebagai anggota legislatif bukan fenomena baru dalam politik Indonesia. Semenjak Orde Baru, tidak sedikit artis yang menjadi anggota MPR dan DPR. Yang berbeda antara masa Orde Baru dan reformasi adalah bagaimana mereka masuk lembaga legislatif. Di era Orde Baru, artis yang menjadi anggota MPR/DPR lebih dilihat sebagai bentuk akomodasi Soeharto terhadap keterwakilan artis/ seniman ke dalam lembaga politik. Kalau dipahami secara umum, maka politik akomodasi lebih merujuk pada bentuk penundukan atau ujud relasi kuasa yang
ditampilkan Orde Baru. Organisasi perhimpunan para artis pun — waktu itu PARFI — berada di bawah kontrol kekuasaan. Biasanya ketua dan petinggi PARFI akan masuk menjadi anggota legislatif. Di bawah kekuasaan Orde Baru, artis tidak terlalu berbeda dengan akademisi, politisi, tentara, ataupun pengusaha, karena bukan pada mereka keputusan dibuat, melainkan pada Soeharto. Jaman Orde Baru, proses legislasi diajukan oleh pemerintah yang nantinya disetujui oleh DPR, dan hampir tidak ada UU yang diajukan pemerintah ditolak oleh DPR. Jadi para artis di era Orde Baru tidak perlu handal atau merupakan legislator ulung, karena toh pada dasarnya pengesahan dan pemberlakuaan suatu UU bukan ditentukan oleh mereka. Dalam konteks Orde Baru maka tidak menjadi soal apakah artis-artis yang menjadi wakil rakyat akan membawa suara rakyat, atau setidaknya kepentingan para artis. Keberadaan mereka di sana tidak lebih sebagai pajangan pada etalase “seolah-olah demokrasi” yang dipertontonkan Orde Baru. Di era reformasi para artis bukan lagi semata-mata boneka pajangan dalam etalase politik, melainkan diharapkan untuk bisa menjaring suara pemilih. Argumen dasarnya adalah bahwa popularitas yang dimiliki sang artis diyakini mampu memberikan sumbangan suara bagi partai. Keyakinan bahwa para artis akan bisa mendongkrak suara, cukup besar di kalangan partai politik. Kalau
merujuk pada kemampuan dan kapasitas, para artis terdahulu di awal reformasi yang sudah duduk di legislatif juga tidak menunjukkan kemampuan dan kualitas sebagai seorang legislator yang layak. Sementara di era reformasi jika para artis ini terpilih menjadi anggota DPR, maka mereka memiliki kekuasaan untuk ikut menyetujui atau membuat sebuah undang-undang. Bukan lagi seperti jaman Orde Baru, di mana mereka hanya tinggal menyetujui. Sekarang ini, anggota DPR harus mampu berargumentasi, berpendapat, berdebat, melakukan lobby, memiliki pemahaman dan pengetahuan yang sangat baik dalam bidang komisinya, dan lainnya, untuk menelurkan sebuah undang -undang. Bayangkan, jika ada artis yang tidak memiliki semua kemampuan itu, apa yang akan ia lakukan di Senayan selama lima tahun?
Caleg Pakar, Akademisi dan Aktivis Dari yang dikategorikan “caleg impor”, hanya caleg yang diandalkan keahliannya saja yang bisa diharapkan memberikan kontribusi penting dalam proses legislasi. Contoh yang bisa dirujuk misalnya Abdul Hakim Garuda Nusantara, “caleg impor” PDIP. Abdul Hakim merupakan ahli hukum, aktivis dan pakar HAM dan juga mantan ketua Komnas HAM. Kalau kita ambil saja sisi positifnya, dengan adanya Abdul Hakim, Bersambung ke hlm. 12 www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
“Caleg Impor” dan enomena “caleg impor” secara umum bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, kurangnya kualitas kader-kader partai yang akan dijadikan legislator. Kedua, memberikan kesempatan kepada orang -orang berkualitas istimewa yang berada di luar partai untuk ikut menjalankan ketatanegaraan. Sudah menjadi tugas partai politik untuk mendidik dan mempersiapkan kader-kader yang memiliki kualitas dan kemampuan sebagai seorang legislator. Dan ketika hal itu belum bisa terpenuhi, langkah mengimpor caleg menjadi bisa dipahami sebagai upaya untuk melibatkan orang-orang tertentu yang dinilai bagus mutu dan kualitasnya dalam menjalankan ketatanegaraan dan membangun demokrasi. Lain halnya dengan fenomena “caleg impor” dalam bentuk caleg-caleg artis yang menjadi semakin marak dipergadangkan. Apakah fenomena ini bisa diterima juga sebagai upaya peningkatan kualitas caleg, atau lebih semata-mata hanya sebagai vote getters? Dalam sebuah artikelnya, Jon Simons (2000) menelaah kekecewaan Milan Kundera di dalam karyanya Immortality yang melihat terjadinya perubahan dalam politik, yakni dari ideologi menuju imagologi, yang dinilai Kundera sebagai suatu bentuk pemiskinan politik. Menurut Kundera, imagologi telah membuat pilihan politik menjadi tidak berbeda dengan pilihan konsumsi, dalam artian bahwa pilihan-pilihan yang dibuat sangat dipengaruhi semata-mata oleh daya tarik emosi dan rasa, ketimbang pilihan reflektif.
F
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://elproyectomatriz.files.wordpress.com/2007/05/hacking-democracy.jpg
Imagologi menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif, di mana yang terlibat dalam proyek ini adalah agensi periklanan, manajer kampanye politik dan perancang desain (designer). Para imagolog ini menciptakan sebentuk image yang mempengaruhi cita rasa, bahkan opini politik. Menurut Jean Baudrillard, ini merupakan suatu hiper-realitas, suatu penghapusan realitas yang merujuk pada dunia simulacra yang diciptakan oleh simulasi. Simulasi ini tidak merepresentasikan atau merujuk pada realitas, tapi pada dirinya sendiri, yang bahkan bisa lebih kuat dari realitas itu sendiri (Simons 2000: 2). Semakin kuatnya dunia media dan visual atau imagologi dalam merambah dan menggagahi tubuh politik, menurut Habermas telah
menyumbangkan distorsi komunikasi secara sistematis, dan juga suatu pemiskinan politik dengan digerusnya nalar kritis publik. Imagologi bagi Habermas telah menyediakan bentuk manipulatif atas publik dan menggantikan publikasi kritis (Habermas 1989: 178). Di sini Habermas melihat bahwa propaganda dan periklanan tampil sebagai otoritas publik yang mengarahkan publik menjadi konsumen. Partai-partai merayu para massa pemilih mengambang dengan menggunakan teknik media massa, dan dengan menampilkan image yang menarik dan atraktif. Menurutnya, hal ini menunjukkan bagaimana “old style propagandists give way to advertising experts” (Habermas, 1989: 216). Politik kita menjelang Pemilu 2009 semakin kentara terlihat sebagai sebuah wilayah yang terjajah
Politik Imagologi oleh uang dan imagologi. Pencitraan menjadi ujung tombak bagaimana kontestasi dijalankan di wilayah politik. Politik adalah iklan atau politik para perancang desain, di mana masalah-masalah digantikan oleh imaji-imaji, rayuan-rayuan menjadi seakanakan argumentasi, dan platform hanya dilihat lewat personalitas. Di sini ratapan Habermas menjadi relevan: nalar digantikan imaji, argumen digantikan slogan, diskusi digantikan iklan. Fenomena artis maupun iklan para capres memenuhi syarat imagologi, atau dalam bahasa Habermas menciptakan semacam ruang publik palsu (pseudo-public sphere). Politik imagologi telah memberikan ruang bagi munculnya para agen iklan dan figur layar kaca ke dalam politik. Logika dominannya menjadi: semakin sering seseorang tampil di televisi akan semakin besar peluangnya untuk dapat dipilih.Tidak penting argumentasi, kualitas, bobot atau kapabilitas orang tersebut, namun yang terpenting adalah bagaimana “mengemas” orang tersebut agar publik menyukainya. Dalam situasi ini para artis memiliki modal besar. Seringnya tampil di televisi, terutama peran-peran protagonis, dinilai cukup untuk mendongkrak popularitas. Sejumlah artis sudah membuktikannya di beberapa Pilkada.Asal ada uang, pasang iklan setiap hari di televisi, terutama jika iklannya baik dan menarik, maka tak ayal persentase pemilih akan meningkat! Dalam memaknai kepolitikan Indonesia hari ini, penting untuk mendengar tangisan Milan
Kundera yang menyebutkan,“Saat ini, keseluruhan seni politik tidak lagi memiliki tujuan untuk menjalankan polis… Tapi berhenti pada rayuan para politisi yang hanya dilihat, dipahami dan diukur dalam bentuk pemungutan suara, baik terpilih atau tidak pada saat pemilu”. Politik Indonesia hari ini menjadi ajang pertarungan antar para imagolog. Jauh dari politik sebagai sarana untuk kebaikan bersama, atau mencapai kebahagiaan (eudaimonia) sebagaimana harapan Aristoteles, dan para pemikir serta aktivis politik yang memperjuangkan demokrasi. Seandainya hasrat para artis dan pengusaha menjadi anggota legislatif lebih didorong oleh motif untuk memperoleh popularitas, kedudukan dan kekayaan, maka politik kita berada dalam bahaya. Anggota legislatif adalah para pembuat undang-undang, para penata prosedur politik, sekaligus salah satu penopang berjalannya tatanan kenegaraan. Kalau salah satu tiang pancang politik Indonesia diserahkan pada para pencari ketenaran dan kekayaan, maka celakalah Indonesia! Persoalan ini hanya bisa dihadapi dengan prinsip kewargaan yang aktif dan memiliki tanggungjawab terhadap kebaikan bersama. Pendidikan kewargaan demokratik menjadi penting, baik yang diadakan oleh pemerintah, maupun organisasi politik dan kemasyarakatan. Warga yang demikian akan menilai dan memilih kepemimpinan nasional atas dasar pertimbangan rasional dan bernalar, bukan karena kreasi
visual dan naratif semata. Bukan karena konstruksi pencitraan seseorang, melainkan sejauh mana kepemimpinan tersebut memiliki tanggungjawab bagi kebaikan bersama. Partai-partai politik juga akan mencalonkan orang-orang yang memiliki kemampuan, kapabilitas, intelektualitas, dan loyalitas terhadap kebaikan bersama, bukan yang sekedar memiliki pencitraan untuk mengekploitasi khayalan publik n DGX
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Redaktur Ahli Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Massa, Pemilu dan Pol ontestasi politik di Indonesia menjelang 2009 pada dasarnya adalah kontestasi industrial. Semua dimulai melalui perang makna dalam industri media massa. Sejak kebanyakan elite percaya sepenuhnya bahwa iklan adalah segala-galanya, industri media dan politik berhubungan sedemikian rupa sehingga bahkan yang muncul bukan lagi politik dalam arti substantifnya, melainkan makna imaji melalui mesin industrial media massa. Substansi apa yang bisa dikemukakan dalam potongan iklan semenit-dua menit? Tidak ada substansi apapun selain polesan konsultan, make-up dan jargon. Dalam hubungan politik-industri makna mesin politik adalah gerbong yang ditarik oleh lokomotif mesin industri media cetak dan elektronik. Dengan itu, diskursus politik rasional sebenarnya terpendam karena digantikan “pabrik kesan dan kata-kata”. Apa akibatnya? Akibatnya jelas! Proses ini menandai awal dari kekacauan esensial dalam demokrasi dan kepolitikan kita. Kekacauan pertama adalah kekacauan etis. Dalam logika industri, media hampir tidak memiliki ikatan etis apapun, karena ia menyajikan siapapun tanpa memperhatikan sejarah, rekam jejak dan kemungkinankemungkinan politik apa di masa depan, sejauh si pemesan bisa membayar lebih mahal. Media yang sama menyiarkan hampir semua iklan dari tokohtokoh yang bertentangan satu
K
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber : http://www.nicholsoncartoons.com.au/cartoons/new/2007-10-18%20Me%20too%20politics%20med
sama lain, bahkan iklan-iklan dari tokoh-tokoh yang sedang/kerap bermusuhan dengan media itu sendiri. Di sinilah kita bisa menempatkan mengapa figur semacam Prabowo Subianto, Wiranto,
Sutiyoso bisa menikmati pengenal an dari publik melalui polling. Televisi dan koran mentransformasi mereka, menghapus latar belakang politik Orde Barunya, mengidentifikasi (memanipulasi)
litik-Ekonomi Media
dia%20550.jpg
kebutuhan kontemporer masyarakat kini, kemudian mengambil potongan kesan dan imaji orangorang itu dan menampilkannya sebagai calon-calon pahlawan baru yang siap menyelamatkan
Indonesia. Kekacauan kedua adalah kekacauan diskursif. Relasi partai/ tokoh dengan industri media bukanlah relasi yang hambar. Dalam praktiknya, relasi itu bersifat strategis dalam arti: pertama, merupakan relasi yang murni bisnis; yang kedua, dalam kondisi di mana banyak industrialis media, sekaligus juga adalah pemain politik/partai, maka hubungan mereka — dalam taraf tertentu — sudah bisa dipastikan akan menghasilkan hubungan antara mediapublik yang asimetris. Dengan demikian, sekali lagi secara etis, iklan politik pada dasarnya adalah — dalam istilah Habermas — praktik manipulasi ketimbang praktik diskursif rasional. Kondisi semacam ini mengembalikan kita kepada diktum ideologi dan ekonomi-politik paling klasik dari Marx, yakni: “siapa yang menguasai alat produksi material akan menguasai ide”. Industrialis-industrialis media nyaris telah menjadi pemenang pertama dari kontestasi politik di Indonesia. Pertanyaan berikutnya, lantas di mana tempat orang banyak dalam konstelasi semacam ini? Lepas dari reaksi dan kesadaran apa yang belakangan muncul, industri-politik telah memperlakukan orang banyak atau rakyat bukan lagi sebagai agen melainkan sebagai massa dan konsumen. Di sini, kenyataan ini secara ironis membalik pandangan klasik kebanyakan intelektual di era tahun 60an mengenai peran massa
selaku agen dan promotor utama pembaharuan dan pembalikan struktur. Massa di hadapan era elektronik dan perang imaji ini bukan lain adalah — dalam istilah Baudrillard — mayoritas bisu yang bukannya menjadi agen aktif, melainkan malah berfungsi sebagai kumpulan organis yang menyerap dan mensedimenkan beragam ampas politik, sebagai mana dalam In the Shadow of the Silent Majorities (2007) dinyatakan oleh Baudrillard :“the masses aren’t the Social. They absorb all the social energy, but no longer refract it. They absorb every sign and every meaning, but no longer reflect them.They never participate” (Baudrillard 2007: 67). Jadi massa bukan lagi rujukan, mereka tidak mengekspresikan diri, mereka hanya sebagai obyek untuk survei. Mereka bukan lagi bagian dari suatu representasi (politik) mereka hanya bagian dari suatu simulasi politik. Massa sudah menjadi kuburan bagi yang politis dan “yang sosial”. Singkatnya, reproduksi dan politik -ekonomi media-politik sudah menghancurkan basis paling primordial dari politik itu sendiri, yakni publik yang rasional dan otonom. Persoalannya, bagaimana soal ini mesti diatasi? Di luar eksotisme Barack Obama, dari pemilu AS terdapat banyak pelajaran kecil lain yang sangat berguna untuk menjawab persoalan itu. Salah satunya adalah ketika media massa mengungkap penggunaan belanja kampanye Cawapres Sarah Palin. Disebutkan, Palin membelanjakan ratusan ribu US
www.p2d.org — konstelasi
9
Sumber : http://aboutmiracle.files.wordpress.com/2008/02/pemilu.jpg
dollar untuk busana. Menariknya, laporan itu secara rinci bahkan menyebutkan jenis, bahkan merek pakaian dalam apa, dan di tokotoko apa barang itu dibeli. Laporan lain menyebutkan perolehan dana kampanye dan biaya iklan kampanye Obama yang luar biasa. Berkaitan dengan itu, muncul pertanyaan etis dari publik AS mengenai apa batas-batas etis penggunaan dana publik itu. Dari situ ada tiga hal yang bisa
10
konstelasi — www.p2d.org
dipelajari: pertama, bahwa semua dana yang mengalir dalam proses politik harus memiliki asal-usul yang jelas dan bisa dirujuk sumber -sumbernya serta, ke mana alirannya; kedua, penggunaannya selalu terbuka dan harus dipertanggungjawabkan secara publik; ketiga, tersedia hukum yang jelas dan tegas untuk menyelidiki dan menghukum segala bentuk skandal keuangan menyangkut hubungan politisi dan industri
(ingat skandal penasehat Bush, Karl Rove); keempat, adanya pembatasan belanja iklan politik atau kalau mungkin dihapuskan dan dilarang sama sekali. Dengan mekanisme-mekanisme itu diharapkan politik akan dikembalikan kepada cara dan mekanisme otentisnya, yakni: deliberatif, rasional, humanistis, dan publik diakui sebagai publik, bukan lagi sekedar massa yang bisu n RBX
Sambungan dari hlm. 3 Akhirnya, melalui UU No 10/2008, putusan MK, putusan PTUN, dan putusan KPU, seluruh parpol peserta Pemilu 2004 telah menjadi peserta Pemilu 2009. Persyaratan threshold — sebagai alat seleksi bagi parpol peserta pemilu — menjadi tidak berguna.
Membuat Aturan untuk Kepentingan Sesaat Karut-marutnya kepesertaan pemilu tersebut sebenarnya suatu gambaran nyata bagaimana aturan-aturan mengenai pemilu begitu gampang diakali untuk meraih kekuasaan. Sejak semula, pengaturan mengenai pemilu di negeri kita sudah cukup janggal. Seperti sebuah tradisi, setiap akan mengadakan pemilu dibentuk aturanaturan baru mengenai pemilu. Selama reformasi sekarang ini, belum ada aturan pemilu yang sekali dibentuk berlaku ajeg untuk pemilu-pemilu selanjutnya. Sebaliknya aturan-aturan tersebut begitu gampang diubah. Sebenarnya tidak begitu masalah jika aturan-aturan tersebut diubah, asalkan prinsip utamanya terus dipertahankan demi suatu cita-cita bersama. Namun, dalam persiapan Pemilu 2009 ini prinsip-prinsip tersebut telah ditelikung. Antara lain terkait dengan persyaratan threshold — yang dipakai untuk menciptakan sistem multi-partai yang sederhana. Dalam praktiknya, ada sejumlah upaya yang telah dipakai untuk mengakali persyaratan threshold ini agar tetap dapat mengikuti Pemilu 2009. Pertama, melalui gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Persyaratan threshold, yang diatur dalam Pasal 9 UU No.12/2003 pernah diajukan ke MK oleh sebagian besar parpol
Sumber: http://singleforareason.files.wordpress.com/2008/08/lairs.jpg
yang tidak mencapai 3% jumlah kursi di DPR, antara lain PPD, PPIB, PBR, PDS, PBB, PKPI, PPDK, PNBKI, Partai Pelopor, PPDI, PBSD, PSI, dan PKPB. Namun, dalam putusannya tanggal 23 Oktober 2007, MK menyatakan bahwa Pasal 9 tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK ini telah menggagalkan upaya sejumlah parpol untuk meniadakan persyaratan threshold. Upaya kedua dilakukan dalam pembahasan RUU tentang Pemilu Legislatif di DPR. Kemunculan bunyi Pasal 316 Huruf (d) UU No.10/2008 dapat dikatakan sebagai keberhasilan sejumlah parpol — yang tidak lolos threshold — untuk mengakali persyaratan threshold. Sehingga bunyi Pasal 315 UU No.10/2008 yang serupa bunyinya dengan Pasal 9 UU No.12/2003, tidak berlaku bagi parpol yang memiliki kursi di DPR — meskipun tidak memenuhi persyaratan threshold. Bunyi Pasal 316 Huruf (d) tersebut kemudian diajukan ke MK oleh parpol lama yang tidak memiliki wakil di DPR, dan MK mengabulkan tuntutan mereka
dan membatalkan Pasal 316 huruf (d). Sebenarnya, patut dipertanyakan mengapa putusan MK yang membatalkan bunyi Pasal 316 Huruf (d) tersebut dibacakan sehari setelah pengumuman KPU. Patut dicurigai juga bahwa hal ini merupakan bagian dari upayaupaya mengakali aturan pemilu tersebut. Padahal KPU sudah terlanjur mengumumkan peserta pemilu yang tentunya berdasarkan Pasal 316 Huruf (d). Putusan MK tersebut kemudian dipakai pula oleh parpol lama lainnya untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Dengan demikian lengkap sudah upaya mengakali persyaratan threshold. Jalan menuju kekuasaan terbuka lebar melalui Pemilu 2009. Dari sudut pandang etika, jelaslah tindakan tersebut tidak etis. Namun, tindakan tidak etis ini disembunyikan oleh prosedur hukum. Meskipun penuh dengan intrik yang cenderung licik, tindakan tersebut dianggap sah karena melalui prosedur hukum yang sah. Dengan demikian, sedari awal Pemilu 2009 telah diakalakali n FGX
www.p2d.org — konstelasi
11
Sambungan dari hlm. 5 diharapkan undang -undang yang akan diproduksi DPR akan memiliki aroma penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang kental. Beberapa partai juga mengajukan sejumlah nama akademisi, intelektual dan aktivis untuk menjadi caleg. Mereka ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pikiran dan ide-ide yang cemerlang dalam penyusunan undang-undang jika terpilih menjadi anggota legislatif. Harapannya, kualitas keahlian dan pengetahuan mereka menjadi ukuran utama dalam menempatkan mereka di lembaga legislatif.
Etika Partai dan Caleg Impor Secara internal kepartaian, persoalan pokok “caleg impor” ini adalah mereka telah mengambil jatah posisi/kursi yang seharusnya menjadi milik kader-kader partai politik. Sebagaimana sebelumnya diuraikan mengenai kualitas kader, kebutuhan dana besar dan kebutuhan penjaring suara, menjadi faktor-faktor pokok diimpornya caleg dari luar partai. Namun, perlu diperhatikan bahwa “caleg impor” adalah pelanggaran etis organisasi kepartaian, terutama “caleg impor” yang sebelumnya sama-sekali tidak pernah terlibat di partai tersebut. Setidaknya, musti ada keterlibatan atau minimal sebagai simpatisan pada sebuah partai sebagai pertimbangan ketika diajukan menjadi caleg. “Caleg impor” merupakan pangabaian terhadap kader-kader partai yang selama ini bekerja untuk partai. Meskipun demikian, dalam derajat tertentu, bisa dipertimbangkan apakah seseorang
12
konstelasi — www.p2d.org
memiliki kepantasan untuk diajukan menjadi caleg, sekalipun bukan aktivis partai tersebut. Misalnya, jika seseorang meleburkan suatu organisasi massa ke dalam sebuah partai, yang membawa massa pemilih dalam jumlah besar, bisa dipertimbangkan untuk dimajukan sebagai caleg. Fenomena ini hanya kentara di partai-partai lama, di mana kader-kader dan aktivisnya sudah cukup lama terlibat dalam membesarkan partai. Untuk partaipartai baru tentu saja sulit untuk dikatakan apakah caleg tersebut berstatus “impor” atau tidak, kecuali sebagai anggota partai atau bukan. Jika yang diajukan bukan anggota partai, maka palanggaran etis juga terjadi.
Penutup “Caleg impor” menjadi ukuran bagaimana partai-partai tidak mampu membangun dan mengelola dirinya, atau umumnya disebut institusionalisasi partai. Kegagalan banyak partai untuk melakukan institusionalisasi menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan kader-kader maupun pengelolaan partai secara modern. Kalah dalam pemilihan ketua partai bisa menyebabkan sang kandidat yang kalah untuk hengkang masuk partai lain, atau mendirikan partai baru. Tanggung jawab etis terhadap partai sangatlah rendah. Contoh paling anyar yang bisa diambil adalah ketika Hillary Clinton dikalahkan Obama dalam konvensi capres Partai Demokrat. Kekalahan itu tidak menjadikan Hillary keluar dari partai dan bergabung dengan Partai Republik, sebagaimana dilakukan banyak politisi Indonesia. Hillary tetap bersikap konsisten terhadap apa yang telah diputuskan dan digariskan oleh partai, dan langsung
menjadi pendukung utama Barack Obama. Di sini etika dan moral politisi bisa dilihat dan diukur. Dari sini menjadi penting buat partai-partai politik untuk secara serius mempersiapkan kader-kader mereka agar memiliki kualitas dan kepantasan menjadi seorang legislator dan politisi, agar tidak lagi perlu mengimpor caleg dari luar partai. Perekrutan anggota partai, pendidikan politik, penanaman etika politik kepartaian, menjadi hal yang sangat penting bagi partai untuk bisa membentuk kader-kader yang memiliki kualitas baik. Selain itu kebutuhan pendanaan partai juga tidak bisa lagi semata-mata disandarkan pada para pengusaha dan pemilik modal. Ketergantungan seperti ini akan menjadikan partai menjadi barang sandera para pengusaha, terutama pada saat pembuatan undang-undang, di mana bentukbentuk “balas jasa” akan dilakukan. Untuk mengurangi ketergantungan seperti ini diperlukan kemandirian keuangan partai yang bisa diperoleh dari anggota partai. Dengan kemampuan partai menciptakan kader-kader yang pantas dan berkualitas serta kemampuan membiayai diri sendiri, partai akan bisa konsisten dalam menjalankan program-program dan proyek politiknya untuk memperoleh dukungan dari para pemilih. Jika ini bisa dilakukan, maka partai-partai tidak memerlukan “caleg impor” untuk menjaring suara, menjaring dana atau “seolah-olah kelihatan intelek” dengan mengimpor akademisi dan intelektual. Partai yang moderen, kuat dan progresif akan menjadi daya tarik bagi artis, pengusaha dan akademisi untuk masuk menjadi anggotanya, bukan sebaliknya n DGX