DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia Tim Penulis:
Arskal Salim Euis Nurlaelawati Lies Marcoes Natsir Wahdi Sayuti Layout:
A. Ilham Aufa Cetakan Pertama, 2009 Diterbitkan oleh PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation 104 hal, xxviii ISBN : 978-602-95541-0-6
Pusat Studi Konstitusi, Hukum, dan HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Ph. +62-21 7493367 Email:
[email protected]
ii
Kata Pengantar
B
uku ini merupakan karya akademis yang memotret cara pandang, sikap dan prilaku hakim agama dari perspektif keadilan jender di beberapa wilayah Indonesia. Terbitnya buku ini dimungkinkan berkat adanya kerjasama dengan berbagai pihak melalui proses interaksi, dialog dan tukar pikiran yang cukup memakan waktu, tenaga dan biaya. Untuk itu, tim penulis menghaturkan terimakasih kepada semua pihak yang turut berperan atas lahirnya buku ini. Pertama-tama, penghargaan disampaikan kepada the Asia Foundation sebagai pihak yang telah memberi dukungan gagasan dan finansial. Secara khusus, terima kasih disampaikan kepada Dr. Robin Bush, Representative the Asia Foundation, Dr. Sandra Hamid dan Lies Marcoes MA dari unit Aceh dan Dr. Budhy Munawar-Rachman, dan Clare Harvey MA dari unit IDEV the Asia Foundation. Terima kasih serupa kami sampaikan kepada pimpinan dan civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Lembaga Tinggi Mahkamah Agung terutama Dirjen Badan Peradilan Agama, Bapak Drs. Wahyu Widiana MA, yang memberikan dukungan penuh iii atas terselenggaranya kegiatan pendokumentasian ini, serta menulis Kata Sambutan yang menjelaskan di sisi mana manfaat dari buku ini untuk pembelajaran bersama.
iii
Yayasan Putroe Kandee, Banda Aceh, dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta adalah dua lembaga mitra the Asia Foundation yang telah melaksanakan berbagai aktivitas untuk peningkatan sensitivitas jender bagi para hakim dan petugas KUA di beberapa wilayah di Indonesia. Kedua lembaga tersebut telah memperkenankan kami menggunakan dokumen dan rekaman hasil kegiatan mereka untuk penulisan buku ini. Untuk itu, kami berterima kasih, terutama rekan-rekan dari PSW UIN Yogyakarta, antara lain: Ema Marhumah, Ruhaini Dzuhayatin, Waryono Abdul Ghafur, Mohammad Sodik, dan Muhammad Siswanto. Terimakasih yang sama kami ucapkan pula kepada rekanrekan dari Putroe Kandee Aceh: Rosmawardani, Amrina, Muhsina dan Muhammad Qusai. Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam bukan hanya membantu rekrutmen peserta Focus Group Discussion (FGD) dari beberapa Mahkamah Syar’iyah kota dan kabupaten, tetapi juga menyediakan dokumen yang sangat penting dalam proses pendokumentasian ini. Untuk itu, tim penulis menyampaikan terimakasih masing-masing kepada Drs. H. Soufyan Saleh, SH., Ketua Mahkamah Syar’iyah NAD periode 2002-2008, dan Drs. H. Saleh Puteh, Ketua Mahkamah Syar’iyah NAD, ketua Mahkamah Syar’iyah NAD periode 2008-sekarang. Penelitian lapangan yang menghantarkan terbitnya buku ini tidak lepas dari peran berbagai kawan-kawan baik peneliti dari PUSKUMHAM (Rahmat Baihaky, Andi Syafrani, Arief Mufraini, dan Mukmin Rauf) maupun sejumlah peneliti lokal di Aceh (Mujiburrahman, Muslim Zainuddin, Khairizzaman, Fiona, M. Ridha, Sayuthi, Mahmuddin, dan Dedy). Kepada mereka tim penulis menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kesungguhan mereka menghadiri FGD, melakukan wawancara dan membuat ringkasan hasil pengamatan. Naskah awal dokumentasi ini mendapatkan masukan yang bermanfaat mulai sejak pembahasan instrumen dan desain operasional hingga diskusi atas draf pertama dokumentasi ini. Sewajarnya bila tim penulis dalam kesempatan ini menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas partisipasi semua undangan yang telah hadir dan memberikan saran-saran perbaikan demi kesempurnaan buku ini. Begitupun, segala prakarsa dan jerih payah rekan-rekan di sekretariat PUSKUMHAM (Yayan Sopyan, Fahmi Muhammad Ahmadi, Ana I’anah, Eli Ratnasari) yang memfasilitasi semua kegiatan dalam berbagai bentuknya sejak awal hingga akhir patut mendapatkan apresiasi yang mendalam dan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya. Sejumlah peserta FGD di tiga kota (Banda Aceh, Padang dan Makassar), yang terdiri dari para hakim agama baik di tingkat Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama maupun hakim tinggi, telah memberi informasi, dan mengizinkan kami melaku-
iv
kan observasi atas perkara yang mereka periksa. Ini semua merupakan kontribusi yang tak terhitung nilainya. Karena itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada mereka dengan penuh takzim dan ketulusan yang mendalam. Kepada merekalah, sebagai korps profesi, buku ini didedikasikan. Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Namun kami berharap buku ini dapat memberikan sumbangan informasi dan analisis tentang hukum dan perempuan di Indonesia serta manfaatnya untuk perbaikan relasi dan keadilan jender di lingkungan peradilan agama. Akhirnya, kami berharap semoga segala kerja keras semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian naskah dokumentasi ini akan dapat menjadi sebuah titik cahaya terang yang mampu membawa inspirasi bagi siapapun untuk berupaya mengusir kegelapan dalam lorong-lorong penegakan keadilan jender di tanah air. Amien. Jakarta, Agustus 2009
Tim Penulis
v
Sambutan Representative The Asia Foundation Indonesia
A
kses terhadap keadilan merupakan satu aspek yang disepakati semua pihak sebagai hak dasar manusia. Kita semua setuju bahwa setiap warga, terlepas dari apapun latar belakangnya berhak mendapatkan layanan hukum yang adil dan setara. Dan dalam makna ini penegakan hukum yang sensitif dan responsif pada keberadaan dan kebutuhan kaum perempuan, sebagaimana juga responsif pada keberadaan kelompok yang termarjinalkan, menjadi niscaya. Peradilan Agama merupakan lembaga yang memiliki peran kunci dalam mengelola penyelesaian konflik di tingkat keluarga melalui proses peradilan. Tak sedikit perempuan yang menghadapi persoalan hukum dan prosesnya harus diselesaikan melalui lembaga Peradilan Agama. Karenanya mendukung upaya hakim dalam memperoleh wacana yang relevan untuk dunia kerja mereka diakui sangat bermanfaat.
vi
Saya menyambut gembira atas terbitnya buku ini. Buku ini mendokumentasikan penyelenggaraan program yang mendorong terbukanya akses perempuan pada keadilan dengan menambah wawasan bagi para penegak hukum tentang keadilan jender. Program itu diselenggarakan lewat kemitraan dengan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta serta Yayasan Putroe Kandee Aceh.
Buku ini diharapkan dapat memberi hikmah bukan saja disekitar manfaat dari kegiatan ini tetapi juga pembelajaran yang dapat dipetik bilamana hendak menyelenggarakan kegiatan serupa, baik di lingkungan Peradilan Agama atau di lembaga penegakan hukum lainnya. Kepada DANIDA dan Royal Netherlands Embassy yang telah mendukung kegiatan pelatihan yang diselenggarakan PSW UIN Yogyakarta maupun Putroe Kandee itu kami sangat berterima kasih. Royal Netherlands Embassy pula yang telah membantu terlaksananya pendokumentasian ini, dan untuk itu kami berterimakasih. Kami sampaikan juga penghargaan pada Direktur Badan Peradilan Agama, Bapak Drs. Wahyu Widiana M.A., yang selama ini sangat mendukung inisiatif rekan-rekan di berbagai daerah untuk meningkatkan keadilan jender di dunia Peradilan Agama. Demikian halnya kepada para ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tingkat provinsi dan kabupaten yang memungkinkan kegiatan ini terselenggara kami sangat berterima kasih. Akhirnya kepada PUSKUMHAM UIN Jakarta yang telah bekerja keras untuk pendokumentasian ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Semoga buku ini bermanfaat bagi usaha kita bersama dalam mendorong akses pada keadilan bagi perempuan di Indonesia.
Robin Bush, Ph.D
vii
Sambutan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia
Bismillahirrahmanirrahiem, Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
P
elbagai persoalan terkait diskriminasi terhadap perempuan dalam keluarga sering kali terdengar di Indonesia, dan ini menunjukkan bahwa sensitivitas jender dalam kehidupan keluarga masih dapat dikatakan sangat rendah. Peradilan Agama yang memiliki kewenangan untuk menangani persoalan keluarga bagi warga negara beragama Islam tak pelak lagi menjadi ujung tombak dalam memposisikan perempuan sebagaimana porsinya. Karena itu, beberapa lembaga yang menaruh perhatian terhadap isuisu jender memandang bahwa peradilan agama, dan para hakim, perlu memiliki kesadaran jender dalam menyelesaikan berbagai permasalahan keluarga, sebagai titik penting untuk terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
viii
Selain itu, seluruh hakim agama memiliki kewajiban untuk memahami berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan kewenangannya. Di saat yang bersamaan, para hakim juga diharapkan memiliki sensitivitas jender yang tinggi, sehingga mereka bisa menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan kepekaan berbasis jender. Kepekaan terhadap jender ini diperlukan untuk menambah cakrawala berpikir dan ketajaman analisis hakim yang berujung pada terciptanya rasa keadilan masyarakat.
Berkenaan dengan ini, kami berterima kasih kepada the Asia Foundation dan kedua mitranya, Putroe Kandee dan Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga yang telah menyelenggarakan program penguatan sensitivitas jender bagi para hakim agama. Kami juga berterima kasih atas partisipasi aktif para hakim yang telah mengikuti program tersebut, baik dari Mahkamah Syar’iyah, Aceh maupun dari Peradilan Agama. Kepada PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya atas upaya yang dilakukan dalam rangka mendokumentasikan pelaksanaan program penguatan sensitivitas jender yang dilaksanakan Putroe Kandee dan PSW, serta telah menyusun dan menerbitkannya dalam bentuk buku ini. Kami menyambut buku ini dengan baik dan rasa gembira, dan mengharapkan buku ini dapat menjadi bahan pembelajaran (lesson learned) bagi para hakim agama dan masyarakat luas dalam rangka meningkatkan kesadaran dan sensitivitas jender para hakim agama yang belum mengikuti program ini di wilayah lainnya di Indonesia. Demikian sambutan kami untuk menghantarkan buku ini, dan atas perhatiannya kami haturkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A.
ix
Pengantar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mewujudkan Keadilan Jender Tantangan Para Hakim Agama di Indonesia
J
ender merupakan isu yang sampai saat ini masih menarik diperbincangkan, mulai dari persoalan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, bahkan sampai pada kehidupan keluarga pun isu jender ini tidak luput dari pembicaraan. Hanya saja, seringkali istilah jender masih disalahpahami, bahkan tidak jarang banyak yang memaknai jender sama dengan jenis kelamin (sex), sehingga tidak sedikit pemaknaan ini memposisikan perempuan sebagai subhuman sekaligus permanen, karena jenis kelamin merupakan qadrat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yang tidak dapat ditukar atau diubah. Secara historis, jender merupakan istilah yang baru dan muncul di Barat pada sekitar tahun 80-an. Pada saat itu, jender digunakan pertama kali oleh sekelompok ilmuan wanita yang secara khusus membahas peran wanita pada wilayah publik. Dalam perkembangannya, jender kemudian dimaknai dengan “a basis for beginning the different contributions that man and woman make to culture and collective life by distinction which they are as man and woman.” Dengan demikian maka jender tidak sebatas perbedaan jenis kelamin (sex) antara lelaki dan perempuan, tetapi—lebih dari itu—bahwa jender merupakan konstruksi sosial yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan lelaki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya.
x
Oleh karena jender lahir dari konstruksi sosial maka jender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan ber-
tindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya setempat, yang secara faktual belum tentu sama antar satu tempat dengan tempat lainnya, dan pada saat yang bersamaan dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Konsep jender ini mengemuka ketika terjadi ketimpangan peran antar lelaki dan perempuan, baik pada sektor publik maupun domestik. Ketimpangan ini pada akhirnya menggiring pada discourse tentang perlunya kesetaraan dan keadilan jender. Kesetaraan jender dimaksudkan sebagai jawaban dari pentingnya menciptakan ruang yang sama bagi lelaki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan, sekaligus kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Sementara, keadilan jender mencakup penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap lelaki maupun perempuan, sehingga tidak ada lagi subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan dan lelaki. *** Dalam konteks Indonesia, kesetaraan dan keadilan jender menjadi agenda yang sangat penting diwujudkan dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia. Ikhtiar mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Argumentasi atas kebijakan PUG tersebut didasari oleh kenyataan bahwa keberhasilan pembangunan di Indonesia sangat bergantung kepada partisipasi dan peran aktif lelaki dan perempuan. Oleh karenanya, menjadi sangat penting diberlakukan kesetaraan dan keadilan jender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga lelaki dan perempuan memilik peluang dan peran yang sama dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan di Indonesia. Kebijakan PUG ini diberlakukan kepada semua instansi pemerintah, mulai dari pusat, provinsi sampai kabupaten/kota, terutama berkenaan dengan sensitivitas jender dalam penyusunan program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada evaluasi, sehingga kesetaraan dan keadilan jender dapat diimplementasikan dalam semua sektor pembangunan. Namun demikian, pelaksanaan sensitivitas jender di lapangan masih membutuhkan keseriusan semua pihak, baik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, karena bias jender masih mewarnai berbagai instansi pemerintah, sehingga kesetaraan dan keadilan jender masih berdiri di “persimpangan jalan”
xi
Bias jender juga tampak di tengah lapisan masyarakat dengan berbagai jenis profesi, termasuk juga hakim dan para penegak hukum lainnya. Bias jender ini disebabkan—antara lain—oleh seperangkat asumsi, mitos, stereotype dan penilaian stigmatis yang menyebar luas tentang pembagian peran seksual (sex roles) antara lelaki dan perempuan yang kaku dan timpang. Keseluruhan stereotype dan mitos itu pada umumnya terpusat pada pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan karenanya mereka menjadi subordinat dari manusia berjenis kelamin lelaki. Parahnya, interpretasi agama yang konservatif dan seringkali mendapat dukungan mainstream justeru mendorong penguatan stereotype dan stigma itu ke dalam berbagai tingkat kelembagaan informal dan formal, termasuk peradilan. Proses semacam ini akhirnya melahirkan diskriminasi jender dalam bermacam bentuknya yang merugikan pihak perempuan. Bias jender tersebut, secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebagai suatu kecenderungan dalam memperlakukan atau menafsirkan fakta atau kasus dengan hanya mempertimbangkan favoritisme atau preferensi kepada salah satu jenis kelamin tertentu berdasarkan prasangka dan stereotype. Dalam definisi yang dibuat oleh Judicial Council Advisory Committee on Gender Bias in the Courts Report (1990), bias jender dipahami sebagai “behaviour or decision making which is based on or reveals; (1) stereotypical attitudes about the nature and roles of men and women; (2) perceptions of their relative worth; or (3) myths and misconceptions about the social and economic realities encountered by both sexes.” Untuk mengurangi bias jender di kalangan hakim ini diperlukan sebuah perubahan paradigma, cara pandang dan cara membaca posisi perempuan pencari keadilan, dengan mengedepankan spirit sensitivitas jender dalam setiap proses ajudikasi. Sensitivitas jender dimaksudkan sebagai kemampuan memahami ketimpangan jender (gender gap) terutama dalam memproses perkara dan pembuatan keputusan. *** Membangun sensitivitas jender di kalangan hakim ini perlu dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang secara sinergis mendorong terwujudnya peningkatan sensitivitas jender di kalangan para hakim, terutama hakim agama dalam setiap proses ajudikasi, seperti halnya kegiatan peningkatan sensitivitas jender yang dilakukan oleh Putroe Kandee Aceh dan Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang diperuntukan bagi para hakim agama dan kepala KUA. Kegiatan tersebut merupakan sebuah kontribusi yang sangat berharga dalam rangka meningkatkan sensitivitas jender para hakim agama, sehingga kesetaraan dan keadilan jender dapat terwujud dalam setiap proses peradilan. Kegiatan ini
xii
viii
perlu disosialisasikan sebagai bahan pembelajaran (lesson learned) bagi para hakim lainnya dalam upaya meningkatkan sensitivitas jender di dunia peradilan. Dalam rangka sosialisasi tersebut, apresiasi saya sampaikan kepada Pusat Studi Konstitusi, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan dokumentasi dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan sensitivitas jender yang dilakukan oleh Putroe Kandee Aceh, dan PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya berharap mudah-mudahan hasil dokumentasi ini dapat bermanfaat dan menjadi insipirasi bagi para hakim agama dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender dalam proses peradilan. Semoga bermanfaat! Ciputat, Agustus 2009
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
xiii
Daftar Isi
Kata Pengantar
iii
sambutan representative the asia foundation
vi
sambutan direktur jenderal badan peradilan agama mahkamah agung republik indonesia PENGANTAR rektor uin syarif hidayatullah jakarta
viii x
daftar isi
xiv
executive summary
xvii
1. PENDAHULUAN A. PENGANTAR B. LATAR BELAKANG KEGIATAN DOKUMENTASI PROGRAM
2 2 3
1. Kondisi Faktual Peradilan Agama di Indonesia
3
2. Perluasan Yurisdiksi Peradilan Agama
4
3. Hakim Agama dan Sensitivitas Jender C. METODOLOGI DAN URGENSI PENULISAN DOKUMENTASI D. PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA
xiv
5 6 8
1. Kegiatan FGD, Interview dan Observasi
8
2. Penyajian Data Dokumentasi
9
2. SENSITIVITAS JENDER: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN 12 A. STRATEGI DAN PENDEKATAN PROGR AM ASIA FOUNDATION
12
1. Mengembangkan Gagasan Mitra
12
2. Penguatan Kapasitas Mitra
13
3. Kerjasama dalam teknik ‘Tandem’
13
4. Pemanfaatan Sumber Daya
14
5. Legitimasi Pusat B. STRATEGI DAN PENDEKATAN YAYASAN PUTROE KANDEE
14 14
1. Profil Lembaga
14
2. Pendekatan
15
3. Desain dan Pengembangan Kurikulum
16
4. Fasilitator, Narasumber, dan Peserta C. STRATEGI DAN PENDEKATAN PSW UIN YOGYAKARTA
16 17
1. Profil Lembaga
17
2. Pendekatan
19
3. Desain dan Pengembangan Kurikulum
19
4. Fasilitator, Narasumber dan Peserta D. MENGELOLA RESISTENSI
20 21
3. Pelaksanaan Training Sensitivitas Jender bagi Hakim
26
A. PELAKSANAAN TRAINING YAYASAN PUTROE KANDEE ACEH
31
1. Materi dan Metodologi Pembelajaran
31
2. Fasilitator, Narasumber dan Panitia Pendukung
36
3. Dampak dan Keberlanjutan Program B. PELAKSANAAN TRAINING PSW UIN YOGYAKARTA
40 41
1. Materi dan Metodologi Pembelajaran PSW
41
2. Fasilitator, Narasumber, dan Panitia Pendukung
44
3. Dampak dan Keberlanjutan Program B. KESAN DAN REFLEKSI
47 47
4. Sensitivitas Jender dalam Sikap dan Perilaku Hakim: analisis
52
A. SIKAP HAKIM DAN ANALISIS SENSITIVITAS JENDER
54
1. Pernikahan
54
2. Perceraian
59
vi ix
xv
3. KDRT dan Alasan Perceraian
60
4. Mut’ah dan Nafkah Iddah
65
5. Pemeliharaan Anak
69
6. Harta Bersama
72
7. Poligami
75
8. Kewarisan
79
9. Khalwat 84 B. HAKIM IN ACTION: PEMERIKSAAN PERKARA DI RUANG SIDANG 86
5. refleksi dan rekomendasi A. CATATAN REFLEKTIF B. REKOMENDASI DAN ACTION PLAN
92 92 94
1. Lembaga Penyelenggara dan Lembaga lain yang mempunyai
kepedulian terhadap program penguatan sensitivitas jender
2. Pemegang Kebijakan (Pemerintah dan Lembaga Legislasi)
95
3. Lembaga Donor (Nasional dan Internasional)
95
4. Para Hakim dan Aparat Penegak Hukum lainnya
96
DAFTAR PUSTAKA
97
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
98
BIODATA PENULIS
xvi
94
102
Executive Summary
I
I
This is the written documentation on the women’s empowerment programs conducted by the Women’s Studies Center (Pusat Studi Wanita, PSW) of Sunan Kalijaga State Islamic University (Universitas Islam Negeri, UIN), Yogyakarta and Putroe Kandee Foundation, Aceh, with support from the Asia Foundation. Since 2006, these two institutions have been working separately towards the same goal: upgrading the gender sensitivity of judges and Marriage Registrar Officers (employees of the Religious Affairs Office, Kantor Urusan Agama, KUA) through graded training activities and dissemination of information. This gender sensitivity training involves fostering perspectives and awareness among the participants toward the reality of social relations between men and women, which are in fact highly dynamic and contextual, and both influenced by and exerting influence on social, political, economic, cultural and religious aspects, from the household level to the level of the state.
Ini adalah pendokumentasian tertulis tentang program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Yayasan Putroe Kandee-Aceh dengan dukungan dari Asia Foundation. Sejak tahun 2006 kedua lembaga ini secara terpisah bekerja untuk kegiatan yang sama yaitu peningkatan sensitivitas jender bagi para hakim dan petugas KUA melalui kegiatan training berjenjang dan penyebaran informasi. Peningkatan sensitivitas jender dimaksud adalah menumbuhkembangkan cara pandang dan kesadaran peserta atas realitas relasi sosial lelaki dan perempuan yang pada kenyataannya sangat dinamis, kontekstual, dipengaruhi oleh dan berpengaruh kepada aspek sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, sejak di tingkat rumah tangga hingga negara.
xvii
The purpose of this documentation is to measure the results and impact of the programs for empowerment of women, as conducted by both PSW-UIN Yogyakarta and Putroe Kandee, on the participants. This documentation was created by an independent research institution, Puskumham (Center for Constitution, Law and Human Rights Studies, Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM) of UIN Jakarta, between November 2008 and February 2009, and continuing until July 2009 for the processes of confirmation and publication. Information was gathered through field research methods: data was processed based on the results of in-depth interviews, Focus Discussion Groups (FGD) and reading of documents. The geographical scope of this documentation is the provinces of Aceh (Putroe Kandee), West Sumatra and South Sulawesi (PSW UIN). These three provinces are representative of the several provinces selected as the two institutions’ areas of activity. Using social science methodologies, gender is used to open up new perspectives that are then employed specifically to examine the inequalities in men’s and women’s access to and control of resources. It is useful to question and at the same time seek ways out of these imbalanced relations and the impacts they create. In a social system that emphasizes the roles and status of men, the dynamics of social relations between men and women have been shown to produce a number of inequalities. These inequalities can be seen in the level of violence based on gender prejudice, the political and economic marginalization of women, the greater workloads for women
xviii
Pendokumentasian ini bertujuan untuk mengukur sejauhmana hasil dan dampak pemberdayaan perempuan yang diselenggarakan baik oleh PSW-UIN Yogyakarta maupun Putroe Kandee itu bagi para pesertanya. Pendokumentasian ini dilakukan oleh lembaga penelitian independen, PUSKUMHAM UIN Jakarta dari November 2008 sampai Februari 2009, dan berlanjut sampai Juli 2009 untuk proses konfirmasi dan publikasi. Informasi dikumpulkan dengan metode penelitian lapangan di mana data diolah berdasarkan hasil wawancara mendalam, FGD serta bacaan dokumen. Cakupan wilayah pendokumentasian ini adalah Provinsi Aceh (Putroe Kandee), Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan (PSW UIN). Ketiganya merupakan representasi dari beberapa provinsi yang dipilih sebagai wilayah kerja mereka. Sebagai metodologi dalam ilmu–ilmu sosial, jender digunakan untuk membuka cara pandang baru yang secara khusus digunakan untuk melihat ketimpangan akses dan kontrol lelaki dan perempuan terhadap sumber daya. Ia bermanfaat untuk menelisik sekaligus mencari jalan keluar atas ketimpangan relasi itu serta akibat yang ditimbulkannya. Dalam suatu sistem sosial yang lebih mengutamakan peran dan kedudukan lelaki, dinamika relasi sosial antar lelaki dan perempuan ini terbukti membuahkan sejumlah ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu dapat diukur dari tingginya kekerasan berbasis prasangka jender, termarjinalkannya peran politik dan ekonomi perempuan, bertambahnya beban kerja mereka baik di dalam maupun di luar rumah tangga, serta rendahnya penghargaan kumulatif atas sta-
both within and outside the home, and the low cumulative appreciation for their status. Over the past few decades, these unequal positions have become an important issue because they have been shown to create injustice, which generally leads to highly detrimental acts of discrimination based on gender prejudices. In the court system, these inequalities may manifest themselves in the form of court verdicts seen as unfair, which are produced by gender-biased perspectives and decision-making methods. Therefore, upgrading gender sensitivity through educational processes is an activity intended to raise the participants’ ability to accurately perceive the imbalance between the sexes in access to and control of various resources related to the law. In the context of the work of these two Asia Foundation partners, the focus of this empowerment is mainly on state officials who deal with gender justice, both in the KUA and the religious court system (Peradilan Agama/ Mahkamah Syar`iyah). Generally speaking, continuous efforts have been made in Indonesia for legal improvisation and legislation to defend the rights and equal status of women. For example, as early as 1957 female students were granted the opportunity to undertake legal studies in shariah law faculties to prepare them to become Islamic religious court judges on an equal level with male judges. Likewise, several articles in the Marriage Law (Law No. 1 of 1974) and in the Compilation of Islamic Law (1991) try to provide some protection to women, though the expectations and intentions have not been entirely fulfilled. For this
tus mereka. Ketimpangan-ketimpangan itu dalam beberapa dekade ini dipersoalkan karena terbukti memunculkan ketidakadilan yang secara umum bermuara pada tindakan diskriminasi berbasis prasangka jender yang sangat merugikan. Di dunia peradilan, manifestasi ketimpangan itu bisa saja mewujud dalam putusan pengadilan yang dianggap tidak adil yang disebabkan oleh cara pandang dan metode pengambilan keputusan yang bias jender. Karenanya, peningkatan sensitivitas jender melalui proses edukasi dimaksudkan untuk peningkatan kemampuan peserta dalam meneropong ketimpangan akses dan kontrol antar jenis kelamin terhadap sejumlah sumberdaya yang terkait dengan hukum. Dalam konteks kerja kedua mitra Asia Foundation itu, fokus pemberdayaan ini diutamakan kepada para aparatur yang melayani pemenuhan keadilan jender baik di KUA maupun di Peradilan Agama/ Mahkamah Syar`iyah. Secara umum, di Indonesia upaya untuk melakukan improvisasi dan legislasi hukum untuk membela kesetaraan status dan hakhak perempuan terus menerus dilakukan. Misalnya, pada tahun 1957 calon mahasiswi diberi kesempatan mengambil studi hukum pada Fakultas Syariah dan mempersiapkan mereka menjadi hakim agama Islam setara dengan hakim laki-laki. Begitupun, lahirnya Undang-undang Perkawinan, No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 di mana berbagai pasalnya berusaha memberi perlindungan terhadap perempuan meskipun belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan maksimal. Dengan alasan ini, belakangan produk-produk hukum
xix
reason, demands have recently emerged for continuing revision and refinement of these legal products so that they will respond to the many social changes that have occurred and have affected the dynamic relations between women and men. These efforts are considered urgent, particularly so because many of the legal products, and the legal culture, in Indonesia are seen as causing problems because they do not always reflect the gender relations needed to place women in a fairer position in continually changing situations. While awaiting amendment or judicial review of the most problematic laws and regulations, changing the perspective of judges through a series of trainings to upgrade gender sensitivity is seen as both a breakthrough and a highly strategic choice. Through this strategy of education, religious court judges gain a broader perspective, which, it is hoped, they can use when facing the gender injustice that arises in nearly all types of legal situations. Armed with this new perspective, religious court judges are legitimized and motivated to employ ijtihad in interpreting the texts of laws and regulations that contain injustice and bias, or even to go further, beyond legal texts, to discover the essence of justice.
tersebut dituntut untuk terus diperbarui agar mampu merespon berbagai perubahan sosial yang muncul yang berdampak pada perubahan relasi perempuan dan laki-laki, yang pada kenyataannya tak statis. Upaya-upaya ini dianggap urgen, khususnya ketika berbagai produk hukum dan kultur hukum di Indonesia dipersoalkan karena dianggap tidak selalu mencerminkan relasi jender yang dibutuhkan untuk menempatkan perempuan pada posisi yang lebih adil dalam situasi yang terus berubah. Sembari menanti upaya amandemen ataupun judicial review terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang dipersoalkan, perubahan cara pandang hakim melalui serangkaian pelatihan peningkatan sensitivitas jender ini dianggap dapat menjadi terobosan dan pilihan strategis. Melalui strategi edukasi ini, hakim agama mendapatkan wawasan tambahan yang diharapkan dapat digunakan untuk menghadapi situasi ketidakadilan jender di hampir segala ranah hukum. Dengan berbekal perspektif semacam itu, hakim agama terlegitimasi dan termotivasi untuk melakukan ijtihad menafsirkan teks-teks perundangundangan yang mengandung bias ketidakadilan, atau malah pergi lebih jauh ke balik teks hukum (beyond legal texts) untuk menemukan inti keadilan di sana.
II II The report is divided into five chapters. The first chapter describes the background to the activities documented herein and the methodology used, together with extensive descriptive information on the actual conditions of the Religious Court system in Indonesia and the background to the expansion
xx
Laporan ini terbagi ke dalam lima bab. Bab pertama menguraikan tentang latar belakang kegiatan pendokumentasian ini dan metodologi yang digunakan serta uraian informasi yang cukup lengkap tentang kondisi faktual Peradilan Agama di Indonesia serta
of jurisdiction of the Religious Courts, particularly in Aceh.
latar belakang perluasan yurisdiksi Peradilan Agama terutama di Aceh.
The second chapter describes the scope of the issues being documented, while the third chapter describes the implementation of the activities conducted by the two institutions. Since the background of gender problems differs between the three regions, these two chapters describe aspects related to the educational process, such as curricular scope, methodologies developed, the role of facilitators, support from local organizing committees, and the impact of the programs’ implementation. These chapters also contain opinions from the informants, gleaned from both the FGD and the in-depth interviews, on the implementation and the benefits of these activities for them.
Pada bab kedua, dijelaskan cakupan persoalan-persoalan yang didokumentasikan, sementara bab ketiga menguraikan tentang pelaksaan kegiatan yang diselenggarakan kedua lembaga tersebut. Mengingat latar belakang persoalan jender yang ditemui di tiga wilayah itu berbeda, maka dalam kedua bab ini dijelaskan tentang aspek-aspek yang terkait dengan proses edukasi itu seperti cakupan kurikulum, metodologi yang dikembangkan, peran fasilitator, dukungan kepanitiaan lokal serta dampak kemanfaatan program. Dalam bab-bab ini akan dijumpai kutipan-kutipan pendapat para informan sebagaimana terkumpul baik dari FGD maupun wawancara mendalam tentang pelaksanaan dan manfaat kegiatan ini untuk mereka.
The fourth chapter is the core of the report. It contains nine themes that are the key criteria used to measure the gender sensitivity of religious court judges in facing these issues. Gender analysis is included so that it can be used as a benchmark or a guideline to measure gender sensitivity. The themes selected are ones that are considered most crucial in connection with possible gender bias in the adjudication process in the religious courts or mahkamah syar’iyah. These themes are: (1) Marriage, including the issues of Wali Nikah (male relative/guardian for bride), Marriage Registration, and Isbat Nikah (marriage [re]confirmation); (2) Divorce; (3) Domestic Violence and Reasons for Divorce; (4) Mut’ah (alimony) and Nafkah Iddah (support during period immediately following divorce when ex-wife is not permitted to marry); (5) Child Rearing; (6) Division of Marital Property; (7) Polygamy; (8) Inheritance; and (9) Khalwat (close proximity between different sexes
Bab keempat merupakan inti dari laporan ini. Di dalamnya dimuat sembilan tema yang merupakan batu uji sejauhmana sensitivitas jender para hakim agama dalam menghadapi persoalan-persoalan tersebut. Analisis jender disertakan agar dapat digunakan sebagai patokan/panduan untuk mengukur sensitivitas jender dimaksud. Tema-tema yang dipilih ini merupakan tema-tema yang dianggap paling krusial terkait dengan kemungkinan adanya bias jender dalam proses ajudikasi di pengadilan agama/mahkamah syar’iyah. Tema-tema itu adalah: (1) Pernikahan yang meliputi isu Wali Nikah, Pencatatan Pernikahan dan Itsbat Nikah; (2) Perceraian; (3) KDRT dan Alasan Perceraian; (4) Mut’ah dan Nafkah ‘Iddah; (5) Pemeliharaan Anak; (6) Pembagian Harta Bersama; (7) Poligami; (8) Kewarisan; dan (9) Khalwat, perkara khusus yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah di Aceh.
xxi
who have no kin or spousal relationship), a case that exclusively falls under the authority of the Mahkamah Syar`iyah in Aceh. The fifth chapter contains conclusions and presents the analysis and recommendations from the team of writers on further steps for programs to strengthen gender sensitivity in law enforcement officials and parties that could support these activities, such as donor agencies and governments. III The experiences of Putroe Kandee and the Women’s Studies Center (PSW) have produced a number of important lessons regarding (1) time allocation; (2) strategies for approaching and recruiting resource people; and (3) determining target regions; and scope of curriculum. The following are some of the specific findings: 1. Fostering a proper understanding of gender takes time, energy, and no little effort. One aspect that significantly affects the success of these activities is the great amount of time and the intensity of intellectual interaction between the participants and the facilitators. Participants are very rarely able to fully absorb all the concepts of gender from a single training program limited to only four or five days. Therefore, both PSW and Putroe Kandee design their training programs to include at least two to six meetings, including basic-level training, advanced training, thematic discussions, monitoring meetings, and dissemination of information through the media. 2. Efforts to build discourse and enhance participants’ understanding and aware-
xxii
Bab kelima berisi kesimpulan yang menyajikan analisis dan rekomendasi dari tim penulis tentang kelanjutan program penguatan sensitivitas jender bagi para aparat penegak hukum serta pihak-pihak yang dapat mendukung kegiatan ini seperti lembaga donor dan pemerintah. III Berdasarkan pengalaman Putroe Kandee dan Pusat Studi Wanita tercatat beberapa catatan pembelajaran mulai dari (i) alokasi waktu; (ii) strategi pendekatan dan rekrutmen narasumber; (iii) penentuan wilayah sasaran; hingga (iv) cakupan kurikulum, sebagai berikut: 1. Untuk menumbuhkan pemahaman tentang jender dibutuhkan waktu, tenaga, dan usaha yang tidak sedikit. Satu hal yang secara signifikan berpengaruh pada keberhasilan kegiatan ini adalah curahan waktu dan intensitas perjumpaan pemikiran antara peserta dan fasilitator/narasumber. Pendokumentasian ini mencatat bahwa jarang sekali peserta mampu menyerap seluruh konsep jender secara utuh hanya dari satu kali kegiatan training dengan waktu terbatas 4-5 hari. Oleh karena itu, baik PSW maupun Putroe Kandee merancang program pelatihan ini minimal untuk 2-6 kali pertemuan meliputi training tingkat dasar, training tingkat lanjutan, diskusi-diskusi tematik, pertemuan monitoring dan penyebaran informasi melalui media 2. Upaya untuk meningkatkan wacana, pemahaman dan kesadaran peserta tentang sensitivitas jender membutuhkan strategi pendekatan dan rekrutmen narasumber yang secara matang diper-
ness of gender sensitivity require a carefully thought-out strategy for approach to and recruitment of resource persons, in order to avoid unnecessary resistance or rejection. To prevent resistance when discussing religious issues that can contribute to the construction of gender roles, the two organizing institutions have brought in resource persons with strong expertise in their fields. These resource people are then able to explain the meaning, definition and functions of gender and to relate this to tafsir (the science of textual interpretation) and usul fikh (principles of Islamic jurisprudence). Furthermore, the resource persons and facilitators also manage the classes using interactive “active learning” methods that make maximum use of various media and teaching aids. 3. Putroe Kandee was lucky to have a relatively homogeneous region whose culture Putroe Kandee knows extremely well. This certainly made it easier for Putroe Kandee to become involved with and approach participants, thereby reducing unnecessary resistance. PSW, in contrast, worked in many regions, including two in West Sumatra and South Sulawesi. As “outsiders,” PSW had to work extra hard to gain participants’ trust. Nevertheless, both Putroe Kandee and PSW worked based on mandates from the Directorate of Religious Courts under the Supreme Court and from the provincial-level Religious Courts/Mahkamah Syar’iyah, which also took responsibility for the activities, thereby giving them strong legitimacy.
hitungkan agar tak memunculkan resistensi atau penolakan yang tidak perlu. Kedua lembaga ini mendemonstrasikan strategi pendekatan dan proses pembelajaran yang diarahkan oleh fasilitator dan narasumber terpilih sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghindari resistensi dalam pembahasan isu agama sebagai salah satu unsur yang mengkonstruksikan peran jender, kedua lembaga ini menghadirkan narasumber yang sangat handal dalam bidangnya untuk menjelaskan makna pengertian dan fungsi jender serta menghubungkannya dengan ilmu tafsir dan usul fikih. Lebih dari itu, para narasumber dan fasilitator juga mengelola kelas dengan metode pembelajaran aktif-interaktif yang memanfaatkan semaksimal mungkin beragam media dan alat bantu belajar. 3. Putroe Kandee diuntungkan oleh pilihan wilayah yang relatif homogen yang secara kebudayaan sangat dikenali oleh Putroe Kandee. Bagaimanapun, ini memudahkan Putroe Kandee untuk masuk dan mendekati peserta sehinga dapat mengurangi resistensi yang tidak perlu. PSW sebaliknya bekerja di banyak wilayah, termasuk dua di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Sebagai ”orang luar”, PSW harus bekerja lebih keras untuk membangun kepercayaan peserta. Namun begitu, baik Putroe Kandee maupun PSW bekerja berdasarkan mandat baik dari Direktorat Peradilan Agama di Mahkamah Agung maupun Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’yah tingkat Provinsi yang juga berperan sebagai penanggung jawab dari kegiatan ini sehingga kegiatan mereka mendapatkan legitimasi yang kuat.
xxiii
xxiv
4. Differences in curriculum content between Putroe Kandee and PSW arose mainly from different identification of problems as perceived by the two institutions in their respective regions. Putroe Kandee started from legal problems and their implications for women in the wake of the tsunami and the conflict. In terms of curriculum scope, Putroe Kandee concentrated on the methodology for reading classical texts using a gender perspective and on enabling judges to undertake legal improvisation on the issues of gender inequality that they face in court every day. Although the scope of gender issues is very broad, Putroe Kandee did not stray far from these basic issues. As a result, knowledge regarding other gender issues remains quite limited. Putroe Kandee’s curriculum also did not systematically target issues that might require participants to change attitudes and behaviors on a personal level, though eventually the effects of the training did have significant implications in this direction.
4. Perbedaan konten kurikulum antara Putroe Kandee dan PSW pada umumnya disebabkan oleh perbedaan identifikasi persoalan yang dilihat oleh kedua lembaga itu di masing-masing daerah. Putroe Kandee berangkat dari persoalan hukum dan implikasinya terhadap perempuan pasca tsunami dan konflik. Dari segi cakupan kurikulum Putroe Kandee berkonsentrasi pada metodologi pembacaan teks klasik dengan perspektif jender dan memampukan hakim untuk melakukan improvisasi hukum atas persoalan-persoalan ketimpangan jender yang dihadapi hakim sehari-hari di pengadilan. Walaupun cakupan isu jender pada kenyataannya sangatlah luas, Putroe Kandee tak melangkah jauh dari isu-isu itu. Akibatnya, pengetahuan lain terkait isu jender sangat terbatas. Kurikulum Putroe Kandee juga tak menyasar secara sistematis pada isu-isu yang dapat menggugah peserta melakukan perubahan sikap di tingkat pribadi, meskipun pada akhirnya cukup banyak efek pelatihan yang berimplikasi ke arah itu.
PSW, in contrast, introduced gender issues more comprehensively, including topics aimed specifically at challenging the participants’ awareness and personal attitudes, for example regarding reproductive health issues. Participants were also equipped with advocacy techniques and skills to struggle for women’s rights. At a fundamental level, PSW began from the problems of gender inequality generally identified in both West Sumatra and South Sulawesi. However, PSW’s trainings were also designed to respond to local issues when and as they arose, even if these themes were not specifically formulated in the curriculum, for example by
PSW, di lain pihak memperkenalkan isu-isu jender secara komprehensif, termasuk halhal yang ditujukan untuk menggugah kesadaran dan sikap personal pesertanya, antara lain melalui isu kesehatan reproduksi. Peserta juga dibekali keterampilan teknik advokasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. PSW pada dasarnya berangkat dari persoalan ketimpangan jender sebagaimana teridentifikasi secara umum baik di Sumatera Barat maupun Sulawesi Selatan. Namun training PSW juga dirancang untuk merespon isu-isu lokal manakala isu-isu itu muncul ke permukaan meskipun tema-tema dimaksud tak secara spesifik dirumuskan
analyzing themes directly faced by judges in connection with cases in court. From this perspective, the material offered by PSW was far richer and more varied, while Putroe Kandee’s was limited but in-depth.
dalam kurikulum, seperti membedah tematema yang secara langsung dihadapi hakim terkait dengan isu di pengadilan. Dari sisi ini materi yang ditawarkan PSW jauh lebih kaya dan beragam, sementara Putro Kandee terbatas namun mendalam.
IV IV Based on the experiences of these two institutions, this documentation makes recommendations for further action to various institutions regarding various different issues, as follows: For the executing institutions (PSW UIN and Yayasan Putroe Kandee) and other similar institutions:
Didasarkan dari pengalaman kedua lembaga itu, pendokumentasian ini merekomendasikan kepada lembaga yang berbeda-beda untuk persoalan yang juga berbeda yang merupakan rekomendasi untuk tindak lanjut: Bagi lembaga Penyelenggara (PSW UIN dan Yayasan Putroe Kandee) dan Lembaga lain yang sejenis:
• Activities should be undergo follow-up monitoring in a more specifically-programmed way, so that what has been sown, particularly with regard to gender sensitivity, can be further cultivated and implemented in the adjudication process. • These organizations should formulate of more practical instruments for gender equality and justice that can be used in the adjudication process in the courts. It is hoped that this method will become a blueprint that will serve as a reference for other institutions in developing similar training on gender sensitivity and gender analysis.
• Pemantauan secara lebih terprogram tindak lanjut kegiatan, sehingga apa yang sudah disemaikan, terutama yang berkenaan dengan gender sensitivity dapat terus ditumbuhkan dan diimplementasikan dalam proses ajudikasi. • Penyusunan instrumen-instrumen kesetaraan dan keadilan jender yang lebih praktis sehingga dapat digunakan dalam proses ajudikasi di pengadilan. Cara ini diharapkan dapat menjadi blueprint yang akan menjadi rujukan bagi lembaga sejenis dalam mengembangkan training gender sensitivity dan training analisis jender serupa.
For policy-making institutions (central and local governments):
Bagi Lembaga Pemegang Kebijakan (Pemerintah Pusat dan Daerah):
• Government institutions must effect changes in regulations that are still gender-biased. This will help judges make legal breakthroughs, particularly for
• Melakukan perubahan pada aspek regulasi yang masih bias jender. Hal ini akan membantu hakim untuk mencari terobosan hukum, terutama bagi mereka
xxv
those who feel strongly bound by positivistic legal perspectives and tend to be passive and rigid in referring to and using the provisions and certainties of written law. • These institutions should follow up on the results of these trainings by providing as many opportunities as possible for the judges to serve as mediators in conflicts rooted in gender inequality, from the family level to the community level, and to resolve these problems using the knowledge and skills they gained from this training. • These institutions must ensure the creation of gender-sensitive public policies; for example, through promotion of public officials with greater gender awareness; expansion of women’s participation in policy formulation processes; and preparation of local budgets and design of regulations so as to positively impact the quality of women’s lives. • From a legal standpoint, it is essential to ensure that any enacted regulation does not run opposite to gender-sensitive regulations; therefore, it will be very useful to make use of alumni of this training as resource persons when drafting regulations that are expected to be more gender sensitive. For donor agencies (national and international): • Training to upgrade gender sensitivity should not be designed as a stand-alone program. Enhancement of gender sensitivity for legal officials should be done based on a strong belief that gender analysis has been proven effective in improving the effectiveness and utility
xxvi
yang sangat terikat oleh pandangan legal positivistik dan cenderung pasif dan rigid dalam merujuk dan menggunakan ketentuan dan kepastian hukum tertulis. • Menindaklanjuti hasil pelatihan ini melalui cara memberikan sebanyak mungkin kesempatan para hakim untuk menjadi mediator-mediator berbagai konflik yang berakar dari ketimpangan jender sejak dari tingkat keluarga hingga komunitas, dan menyelesaikan persoalan itu dengan menggunakan ilmu-ilmu yang mereka dapati dari pelatihan ini. • Memastikan terbentuknya kebijakan publik yang sensitif jender; antara lain melalui promosi pejabat publik yang lebih memiliki kesadaran jender; perluasan partisipasi kaum perempuan dalam proses perumusan kebijakan; penyusunan anggaran daerah dan perancangan regulasi yang nantinya akan mempengaruhi tingkat kualitas kehidupan perempuan. • Dalam aspek hukum sangatlah penting untuk menjaga agar regulasi yang dilahirkan tidak justru makin jauh dari regulasi yang sensitif jender, dan karenanya, memanfaatkan para alumni sebagai narasumber dalam penyusunan regulasi yang diharapkan lebih sensitif jender akan sangat berguna. Bagi Lembaga Donor (Nasional dan Internasional): • Pelatihan peningkatan sensitivitas jender sepatutnya tak dirancang sebagai program yang berdiri sendiri. Peningkatan sensitivitas jender untuk aparat hukum harus dilakukan sebagai strategi yang didasarkan pada keyakinan bahwa anali-
of development programs in all sectors. Investment in educational processes is a highly strategic way to use this method of analysis to foster just and democratic patterns of relationships that, in turn, are very beneficial in reducing conflict, increasing appreciation of women, enhancing respect for both men and women in whatever they do, and directly reducing the level of women’s suffering due to gender inequality. • Training like this requires further support, so that it can be available not only for judges but also for other officials within law enforcement institutions such as the police, prosecutors and attorneys. This is important so that law enforcement personnel at all levels will systematically and effectively support the achievement of gender equality and justice in all stages of the legal process. • Efforts to promote gender equality can easily give rise to misunderstandings that can lead to setbacks in the efforts to empower women. It is therefore necessary for donors to understand the map of relevant gender issues in each particular region. Donors’ agendas to promote gender equality must be accompanied by the ability to measure ‘what is’ and ‘what is not’ possible in different contexts. Thus, working with local institutions is essential. The Asia Foundation has this behavior without having to avoid substantive issues.
sis jender terbukti dapat meningkatkan hasil guna/kemanfaatan program pembangunan di sektor apapun. Investasi melalui proses edukasi merupakan cara yang cukup strategis di mana analisisnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pola-pola hubungan yang adil dan demokratis yang pada gilirannya akan sangat bermanfaat untuk mengurangi konflik, meningkatkan apresiasi terhadap perempuan, penghargaan pada eksistensi keduanya (lelaki dan perempuan) di mana pun mereka berkiprah serta secara langsung mengurangi tingkat penderitaan perempuan akibat ketimpangan jender. • Pelatihan serupa ini masih membutuhkan dukungan, bukan hanya bagi para hakim melainkan bagi para aparat lainnya di lingkungan lembaga penegakan hukum, misalnya polisi, jaksa dan pengacara. Ini penting agar secara efektif dan sistematis semua jajaran penegak hukum mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender dalam setiap tahap proses hukum. • Upaya mendorong kesetaraan jender mudah memunculkan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kemunduran dari upaya pemberdayaan perempuan. Karenanya, sangat penting bagi donor untuk mengetahui peta persoalan jender yang relevan bagi wilayah tersebut. Agenda donor untuk mendorong kesetaraan jender harus dibarengi dengan kemampuan untuk mengukur apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan dalam konteks yang berbeda. Karenanya, bekerja dengan institusi lokal menjadi sangat penting. Asia Foundation memperlihatkan bagai-mana hal ini bisa dilakukan tanpa harus menghindari substansi persoalan.
xxvii
• To expand the reach and impact of gender sensitivity programs, efforts may be needed to expand involvement to include partners with different backgrounds and more varied targets. In the context of law enforcement, gender sensitivity training programs for leaders of traditional communities, local community leaders, and religious figures and scholars should also be considered. For judges and other law enforcement officials • To expand the reach and impact of gender sensitivity, judges need to create and develop networks to enable a process of sharing of information and experiences in achieving gender-sensitive judicial processes in their respective regions. • Judges should continue to explore methodologies for reading the law that will enable escape from rigid readings of legal texts that are obviously gender-biased. To this end, they should be endlessly challenged to continue their reading of works that offer a fresh understanding of the concepts of gender justice. By using gender analysis, they should be able to continue their study of and reflection on the legal cases they handle so that gender-biased adjudication processes and decisions can be avoided. [ ]
xxviii
• Untuk memperluas jangkauan impact program sensitivitas jender, kiranya diperlukan upaya-upaya untuk memperluas keterlibatan mitra kerjasama yang mempunyai latar belakang yang berbeda dan fokus sasaran yang beragam. Dalam konteks penegakan hukum ini, program pelatihan senstivitas jender bagi para pemangku adat, pimpinan lokal dan bagi tokoh agama dan ulama perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakan. Bagi Para Hakim dan Aparat Penegak Hukum lainnya • Untuk memperluas jangkauan impact sensitivitas jender, para hakim perlu membuka dan mengembangkan jejaring antar hakim, sehingga terjadi proses berbagi informasi dan pengalaman dalam mewujudkan proses peradilan yang sensitif jender di tempat masing-masing. • Untuk terus menggali metodologi pembacaan hukum yang memampukan para hakim keluar dari cara baca yang kaku terhadap teks hukum yang jelas-jelas bias jender. Untuk ini mereka hendaknya dimampukan untuk melanjutkan pembacaan referensi yang menawarkan pemahaman konsep keadilan jender. Dengan menggunakan analisis jender, seyogyanya mereka dapat terus melakukan kajian dan refleksi atas perkara-perkara hukum yang mereka tangani sehingga proses ajudikasi dan putusan pengadilan yang bias jender dapat dihindari. [ ]
Pendahuluan
1
1
Pendahuluan
B
A. PENGANTAR
uku ini merupakan hasil pendokumentasian pengalaman Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Yayasan Putroe Kandee Aceh dalam menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan perempuan atas dukungan Asia Foundation. Secara terpisah kedua lembaga ini bekerja untuk kegiatan yang sama yaitu peningkatan sensitivitas jender para hakim dan petugas KUA di beberapa wilayah di Indonesia. Peningkatan sensitivitas jender dimaksud adalah menumbuhkembangkan cara pandang dan kesadaran peserta atas realitas relasi sosial lelaki dan perempuan yang pada kenyatannya sangat dinamis, kontekstual, dipengaruhi dan berpengaruh kepada aspek sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Melampaui sangkaan orang yang kerap menganggap bahwa relasi jender itu terbatas di lingkup rumah tangga, pada kenyataannya dinamika sosial antar jenis kelamin itu merambah ke berbagai aspek kehidupan dan dalam tingkatan yang berbeda-beda mulai pada tingkatan keluarga, masyarakat, negara hingga tatanan masyarakat global.
Masalahnya, dalam suatu sistem sosial yang lebih mengutamakan peran dan kedudukan lelaki, dinamika relasi sosial antar lelaki dan perempuan ini terbukti membuahkan sejumlah ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu dapat dikenal dan diukur dari tingginya kekerasan berbasis prasangka jender, marjinalnya peran politik dan ekonomi perempuan, bertambahnya beban kerja di dalam dan
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
di luar rumah tangga, serta rendahnya penghargaan kumulatif atas status mereka. Ketimpangan-ketimpangan itu dalam beberapa dekade ini dipersoalkan karena terbukti memunculkan ketidakadilan yang secara umum disebabkan oleh tindakan diskriminasi berbasis prasangka jender.
Yogyakarta. Untuk Putroe Kandee pendokumentasian ini hanya meliputi Aceh karena Putroe Kandee hanya bekerja di wilayah ini. Sementara untuk PSW UIN Yogyakarta, pendokumentasian ini secara purposif memilih Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.
Karenanya, peningkatan sensitivitas jender dalam konteks ini berarti peningkatan kemampuan peserta dalam meneropong ketimpangan akses dan kontrol antar jenis kelamin terhadap sejumlah sumberdaya yang terkait dengan hukum. Cara ini diyakini dapat mempengaruhi tercapainya rasa keadilan baik laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks kerja kedua mitra Asia Foundation itu, fokus pemberdayaan ini diutamakan kepada para aparatur yang melayani pemenuhan keadilan bagi mereka yang datang ke Balai Nikah ketika bahtera rumahtangga hendak didayung atau ke ruang pengadilan ketika bahtera bersimpang haluan dan perkawinan terpaksa diakhiri.
B. LATAR BELAKANG KEGIATAN DOKUMENTASI PROGRAM
Selain menjelaskan tentang bagaimana program pemberdayaan ini dijalankan, dokumentasi ini juga memuat contoh-contoh dari proses membangun kesadaran itu. Sebagai sebuah karya yang dikonstruksikan dengan kaedah-kaedah keilmuan yang dapat diuji keabsahannya dan agar karya ini bisa dipertanggungjawabkan, buku ini juga menyajikan penjelasan metodologi pengumpulan data dan penulisannya. Cakupan wilayah penelitian untuk pendokumentasian ini adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Ketiganya merupakan representasi dari beberapa provinsi yang dipilih sebagai wilayah kerja Putroe Kandee dan PSW UIN
Kegiatan dokumentasi program ini dilakukan oleh Pusat Studi Konstitusi, Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dasar pikir dari pendokumentasian ini antara lain sebagai berikut: 1. Kondisi Faktual Peradilan Agama di Indonesia Tidak ada satu lembaga pun yang berpengaruh sangat besar kepada masyarakat Muslim kecuali lembaga perkawinan. Karenanya, sangatlah dimengerti, keberadaan lembaga yang mengatur bagaimana keluarga dibentuk atau diakhiri menjadi penting. Keberadaan peradilan agama merupakan fenomena khas yang terdapat di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di Indonesia, cikal bakal peradilan agama sudah muncul sejak zaman kesultanan Muslim pada abad ke-15 M di beberapa wilayah Nusantara. Kedudukan peradilan agama selanjutnya bahkan mendapat pengakuan dari kolonial Belanda pada abad ke-19 M. Namun, sungguhpun mempunyai status yuridis sejak 1882, keberadaan peradilan agama hingga hampir 50 tahun Indonesia merdeka lebih bersifat semu dan tetap berada di posisi marjinal. Padahal kedudukan dan peran mereka sangatlah sentral dalam tatanan masyarakat di Indonesia.
PENDAHULUAN
Gambar 1 Gedung Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membuka babak baru bagi proses penguatan yang signifikan untuk struktur dan kapasitas yurisdiksi peradilan agama. Boleh dibilang bahwa sejak dekade 1990-an, konsolidasi peradilan agama berlangsung dengan cukup intensif dan mengalami perkembangan institusional yang pesat dari waktu ke waktu. Integrasi struktur peradilan agama sejak tahun 2004 yang sebelumnya berada di bawah koordinasi Departemen Agama, ke dalam wilayah administrasi Mahkamah Agung mendorong percepatan proses kemajuan di berbagai bidang, termasuk peningkatan anggaran belanja tahunan dan kualitas sumberdaya manusia. 2. Perluasan Yurisdiksi Peradilan Agama
Perkembangan mutakhir berkenaan dengan Peradilan Agama adalah upaya struktural untuk beranjak tak terbatas sebagai pengadilan keluarga. Hal ini antara lain ditandai DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Peradilan agama merupakan sarana yang efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun nonmaterial yang berkeadilan jender. dengan lahirnya ketentuan baru tentang perluasan cakupan yurisdiksi peradilan agama sebagaimana terdapat di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebelum tahun 2006, yurisdiksi peradilan agama hanya meliputi masalah-masalah keluarga seperti: (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah. Ruang lingkup
yurisdiksi Pengadilan Agama pasca Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 itu bertambah dengan memasukkan perekonomian syariah seperti: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Dengan pertambahan yurisdiksi semacam ini, Pengadilan Agama di Indonesia tidak lagi menjadi pengadilan keluarga tetapi berkembang ke arah pengadilan sipil khusus bagi umat Islam. Perkembangan paling menonjol dari seluruh proses perubahan yang terjadi pada peradilan agama berlangsung di Aceh. Bersamaan dengan proses penerapan formal syariat Islam sejak disahkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam, Pengadilan Agama di Aceh bukan hanya berganti nama dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, tetapi juga kewenangan memeriksa perkara-perkara bertambah luas mencakup pelanggaranpelanggaran pidana ringan (jinayah) seperti berjudi, konsumsi minuman keras dan khalwat, yaitu berdua-duaan dengan lain jenis kelamin yang bukan muhrim. Kewenangan baru Mahkamah Syar’iyah ini selanjutnya diperteguh oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Semua perubahan spesifik ini hanya berlaku bagi peradilan agama di Aceh. Dengan perkembangan ini, peradilan agama di Aceh melangkah melampaui kewenangan peradilan agama di luar Aceh. 3. Hakim Agama dan Sensitivitas Jender Institusi peradilan agama sebagai bagian
dari sistem hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara lakilaki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kompetensi peradilan agama. Peradilan agama dengan demikian merupakan sarana yang efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-material yang berkeadilan jender. Dalam konteks ini, hakim agama sebagai aktor sentral dalam institusi peradilan agama memegang peran penting. Hakim agama tidak hanya sekadar bertindak sebagai aparatur penegak hukum dan keadilan tetapi juga dapat menjadi agen perubahan hukum untuk mengatasi masalah-masalah diskriminasi jender di dalam lingkup domestik keluarga. Upaya hakim agama untuk melakukan improvisasi hukum dalam membela kesetaraan status dan hak-hak perempuan kian terasa urgen, khususnya ketika berbagai produk hukum dan kultur hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya mengandung sensitivitas jender yang mampu menempatkan perempuan pada posisi yang sepatutnya. Sembari menanti upaya amandemen ataupun judicial review terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah dari perspektif jender, perubahan pola pikir dan cara pandang hakim melalui serangkaian pelatihan peningkatan sensitivitas jender dapat menjadi terobosan dan pilihan yang dianggap strategis. Melalui strategi edukasi, hakim agama diharapkan akan memiliki wawasan dan pengetahuan memadai untuk menghadapi
PENDAHULUAN
situasi ketidakadilan jender di hampir segala ranah hukum. Dengan perspektif jender semacam itu, hakim agama terlegitimasi dan termotivasi untuk melakukan ijtihad, menafsirkan teks-teks perundang-undangan yang mengandung bias ketidakadilan, atau malah pergi lebih jauh ke balik teks hukum (beyond legal texts) untuk menemukan keadilan di sana.
Reaksi para hakim yang pro-kontra atau optimis dan skeptis atas adanya gagasan gender mainstreaming ini dianggap penting untuk diamati, dicatat dan didokumentasikan, terutama karena dampaknya yang sangat langsung kepada keluarga melalui lembaga peradilan Bagi Indonesia upaya untuk meletakkan perempuan setara di depan hukum telah berlangsung bersama tumbuhnya negeri ini sebagai suatu negara yang merdeka. Tahun 1957, segera setelah Fakultas Syariah berdiri, misalnya, para pelajar putri lulusan pesantren diterima untuk belajar di Fakultas Syariah sebagai konsekuensi atas dibukanya pintu pendidikan bagi perempuan. Padahal di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Mesir, penerimaan mahasiswi baru di Universitas Al Azhar Kairo baru dimulai tahun 1960 dengan dibukanya Kuliyyah al-Banat.
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Akibat lanjutan dari kebijakan itu Pengadilan Agama yang kala itu bernama Majelis Hakim Agama harus membuka diri kepada para mahasiswi lulusan Fakultas Syariah untuk menduduki jabatan hakim agama.
C. METODOLOGI DAN URGENSI PENULISAN DOKUMENTASI Dokumentasi ini dilakukan para peneliti PUSKUMHAM yang dipimpin sendiri oleh direkturnya, Dr. Arskal Salim. Tim ini bekerja intensif selama 6 bulan sejak September 2008 sampai Februari 2009, ditambah beberapa bulan untuk revisi setelah dilakukan konsultasi dengan para pengguna dokumentasi ini. Bagi PUSKUMHAM, pendokumentasian ini penting setelah Dr. Salim mengamati dari dekat terjadinya perubahan-perubahan cara pandang hakim yang ia teliti dalam konteks penelitian yang berbeda. Sebagai peneliti yang pernah tinggal di Aceh dan bekerja untuk IDLO, ia melihat berbagai perubahan yang sangat signifikan terkait dengan cara pandang hakim terhadap perkembangan sosial dan jender.
Abdurrahman Wahid, “Dilema Budaya Wanita Islam Indonesia”, dalam Wanita Indonesia dalam Teks dan Konteks, INIS, 1993.
Lihat Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: Hawai’i University Press, 2008); Praktik Penyelesaian Formal dan Informal Masalah Pertanahan, Kewarisan dan Perwalian Pasca Tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar, (Banda Aceh: International Development Law Organization, 2006).
International Development Law Organization/ IDLO merupakan lembaga yang berpusat di Roma, Italy, dan sejak akhir tahun 2005, aktif berkiprah di Aceh memberikan fasilitas dan dukungan legal bagi para anggota keluarga korban tsunami dan masyarakat Aceh pada umumnya.
Gambar 2 Proses Persidangan di Mahkamah Syar’iyah
Meskipun tidak seintensif di Aceh, pengamatan serupa juga dilakukan PUSKUMHAM di wilayah-wilayah lain. Pengamatan ini terkait dengan semakin meluasnya gagasan gender mainstreaming yang diintroduksikan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan sebagai policy pemerintah berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG (Pengarus utamaan Jender). Reaksi para hakim yang pro-kontra atau optimis dan skeptis atas adanya gagasan gender mainstreaming ini dianggap penting untuk diamati, dicatat dan didokumentasikan, terutama karena dampaknya yang sangat langsung kepada keluarga melalui lembaga peradilan. Dalam pelaksanannya, penelitian lapangan ini didukung oleh peneliti lokal dari lembaga penelitian setempat. Di Aceh, PUSKUMHAM dibantu oleh Pusat Kajian Pendidikan dan Masyara
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional dan Keputusan Menteri Dalam Negeri, Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah.
kat (PKPM). Untuk memastikan kesamaan pemahaman para penelitinya, PUSKUMHAM melakukan workshop kerangka desain operasional penelitian dan teknik penggunaan perangkat penelitian. Satu aktivitas tambahan dilakukan berupa penyamaan persepsi tentang konsep dasar jender serta kekerasan berbasis jender melalui kegiatan inhouse training bagi para peneliti. Secara lebih spesifik tujuan pendokumentasian ini adalah: 1. Merekam pengalaman hakim agama dalam berbagai proses penguatan sensitivitas jender pada sektor penegakan keadilan dan perlindungan hak-hak perempuan di beberapa kota yang berbeda. 2. Mengidentifikasi bukan hanya sejauhmana sensitivitas jender aparat penegak hukum telah terbentuk melalui proses pelatihan yang telah diselenggarakan, tetapi juga mendeteksi dampak pelatihan dalam setiap proses ajudikasi yang dilakukan oleh mereka.
PENDAHULUAN
3. Menjadi sarana yang mampu membangkitkan kesadaran dan sensitivitas jender para hakim agama yang belum mengikuti pelatihan di wilayah lainnya di Indonesia. 4. Menjadi referensi bagi masyarakat luas, utamanya perempuan, yang mengharapkan keadilan dan perlindungan atas hakhak mereka. Dokumentasi ini menjadi bukti untuk membangun keyakinan di kalangan kaum perempuan bahwa ide kesetaraan jender mendapat dukungan riel dari sektor peradilan. 5. Menjadi acuan atau titik tolak bagi pihak-pihak terkait yang akan melakukan perencanaan program pelatihan peningkatan kualitas hakim, khususnya dalam rangka memantapkan kemampuan sensitivitas jender setiap hakim. Untuk mewujudkan tujuan di atas, pendokumentasian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Untuk maksud yang lebih spesifik, digunakan model evaluasi goal oriented untuk melihat kesesuaian hasil dan dampak pelaksanaan program dengan tujuan yang telah direncanakan. Untuk mendapatkan informasi tersebut, digunakan pendekatan partisipatif (participatory approach) yang menekankan pada 2 (dua) aspek, yakni internal actors (melibatkan para pelaksana program pelatihan) dan external actors (melibatkan kelompok-kelompok lain di luar pelaksana yaitu peserta pelatihan/stakeholders). Tahapan pendokumentasian dimulai dari perumusan konsep, studi dokumentasi, turun ke lapangan, workshop konsolidasi temuan lapangan, uji ulang hasil temuan lapangan, hingga cek silang informasi dan konfirmasi
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
kepada lembaga penyelenggara yaitu PSW UIN Yogyakarta, Putroe Kandee dan Asia Foundation untuk penulisan draf akhir.
D. PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA 1. Kegiatan FGD, Interview dan Observasi Data awal dikumpulkan melalui bacaan dokumentasi berupa makalah, transkripsi rekaman proses pelatihan yang didokumentasikan dengan baik oleh PSW dan Putroe Kandee. Selain itu, dilakukan in-depth interview dengan key informants terpilih dan observasi di lapangan. Untuk mengantarkan pada pandangan umum peserta, informasi digali melalui Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung serempak di tiga lokasi pada 29 November 2009. Sejumlah pertanyaan dipersiapkan dan secara konsisten diajukan kepada para peserta FGD di tiga wilayah penelitian terpilih. FGD Aceh diikuti sembilan orang hakim Mahkamah Syar’iyah sebagian diantaranya hakim perempuan. Para hakim ini bertugas di Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Banda Aceh, Jantho, Sigli, Lhokseumawe, Langsa, Blang Keujeren dan Tapak Tuan. FGD Sumatera Barat diikuti tujuh orang hakim, yang satu di antaranya perempuan. Mereka bertugas di lima Pengadilan Agama Sumatera Barat dan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Barat. Sementara di Sulawesi Selatan, FGD diikuti tujuh hakim agama dua, di antaranya perempuan. Mereka berasal dari Kantor Pengadilan Agama Makassar, Takalar, Pinrang, Watampone, Sengkang, Barru, dan Sungguminasa. Selain menggali informasi tentang penye-
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mendalam lebih spesifik pada respon personal mereka atas program training ini serta pengalaman mereka sehari-hari di pengadilan. lenggaraan training, FGD juga mengumpulkan cerita-cerita anekdotal bagaimana training itu berpengaruh baik secara kognitif maupun afektif (sikap). Terkait dengan penyelenggaraan training, FGD ini mengumpulkan informasi soal cakupan kurikulum, kualitas narasumber fasilitator dari perspektif peserta, serta alur training, pengorganisasian kegiatan dan referensi yang disediakan. Setelah FGD, penggalian informasi dilanjutkan melalui in-depth intervew. Sejumlah peserta FGD dihubungi ulang untuk proses ini. Di Aceh interview dilakukan kepada lima orang hakim, dua diantaranya perempuan. Sementara di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan wawancara mendalam dilakukan masing-masing dengan tiga orang hakim yang salah satu dari mereka perempuan. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mendalam lebih spesifik pada respon personal mereka atas program training ini serta pengalaman mereka sehari-hari di pengadilan.
Observasi dilakukan para peneliti dengan menyaksikan beberapa hakim terpilih ketika beraksi di persidangan. Sangat disadari bahwa persidangan pada umumnya merupakan sidang tertutup. Oleh karena itu, observasi dilakukan setelah majelis meminta persetujuan para pihak. Seusai persidangan, para peneliti melakukan wawancara ulang dengan para pihak untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kepuasan mereka atas hasil sidang. Demikian pula, wawancara dilakukan dengan hakim dan anggota mejelisnya untuk mengetahui pandangan mereka atas perkara yang sedang mereka tangani itu. Dalam kerangka observasi ini pula, para peneliti melakukan kajian atas dokumentasi putusan-putusan hakim. Cek silang temuan dari lapangan dilakukan para peneliti dengan pihak penyelenggara yaitu PSW UIN dan Putroe Kandee serta Asia Foundation. 2. Penyajian Data Dokumentasi Buku ini disajikan dengan sistimatika standar. Berangkat dari pendahuluan yang menjelaskan tentang konteks pendokumentasian ini serta latar belakangnya, buku ini berakhir di catatan refleksi. Pada bagian inti diuraikan tentang aktivitas sensitivitas jender sebagai media pembelajaran hakim. Menyadari bahwa karena konteks dan pendekatan yang dilakukan kedua lembaga ini berbeda, maka pendokumentasian ini disajikan secara terpisah tanpa upaya membandingkan baik persamaan maupun perbedaannya. Catatan Refleksi di bagian akhir menyimpulkan hasil temuan serta rekomendasi dari PUSKUMHAM yang pada intinya menekankan pada manfaat lanjutan dari kegiatan serupa. [*]
PENDAHULUAN
10 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Sensitivitas Jender:
Sebuah Proses Pembelajaran
2
2
Sensitivitas Jender: Sebuah Proses Pembelajaran
A. STRATEGI DAN PENDEKATAN PROGRAM ASIA FOUNDATION
P
endokumentasian ini mencatat bahwa strategi bermitra Asia Foundation dilandasi oleh prinsip-prinsip kerja kemitraan. Di dalamnya tergambar bahwa hubungan kemitraan antara Asia Foundation dengan mitranya tak terbatas pada penyaluran dana atau pendelegasian wewenang. Beberapa prinsip kerja berbasis kemitraan itu antara lain:
1. Mengembangkan Gagasan Mitra Bagi Asia Foundation peran mitra dalam mengembangkan programnya sangat diutamakan. Dalam konteks pemberdayaan hakim ini, gagasan program umumnya datang dari mitra. Gagasan itu kemudian didiskusikan hingga mencapai kesepakatan tentang bagaimana program ini didesain, diselenggarakan serta dievaluasi sesuai siklus program.
12
Sandra Hamid, Interview, Desember 2008
Dalam banyak kegiatan yang diselenggarakan Putroe Kandee, Ibu Hakim Rosmawardani berulang kali menjelaskan bahwa dia cukup lama membawa gagasan itu kepada banyak pihak termasuk donor. Baru dalam pertemuan dengan Dr. Sandra Hamid Direktur Program Aceh Asia Foundation, ide itu bersambut yang kemudian diproses menjadi program kegiatan Putroe Kandee (lihat prosiding laporan kegiatan dan rekaman proses pelatihan Yayasan Putroe Kandee sejak April 2006- sampai September 2008).
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Gambar 3 Workshop Penyusunan Kurikulum Training oleh Putroe Kandee di Aceh
13
2. Penguatan Kapasitas Mitra
3. Kerjasama dalam teknik ‘Tandem’
Setelah tercapai kesepakatan kerjasama, Asia Foundation menindaklanjutinya dengan identifikasi kebutuhan mitra untuk pendampingan. Karena basisnya kebutuhan mitra maka pendampingan bisa sangat beragam. Untuk PSW misalnya, pendampingan diutamakan pada aspek administrasi pengelolaan program dan keuangan. Sementara untuk Putroe Kandee pendampingan dilakukan lebih intensif mengingat Putroe Kandee adalah lembaga baru. Jadi, selain pelatihan administrasi dan manajemen organisasi, kepada Putroe Kandee diberikan pendampingan tentang pengelolaan lembaga, peningkatan kapasitas internal, peningkatan kemampuan memfasilitasi, Training of Trainers (ToT) bagi staf, pengenalan pada sejumlah konsep sensitivitas jender dan pembelajaran teknik penyelenggaraan training yang partisipatif.
Teknik tandem atau pendampingan langsung di lapangan merupakan cara lain yang dilakukan Asia Foundation untuk peningkatan kapasitas mitra. Untuk isu jender misalnya, teknik tandem dilakukan dengan memasangkan Lies Marcoes dan staf mitra yang dianggap memiliki kemampuan untuk memfasilitasi. Teknik kerja tandem dilakukan juga oleh PSW UIN Yogyakarta dengan PSW UIN/IAIN lokal, antara lain sebagai narasumber utama dan narasumber pendamping. Pilihan pendampingan dengan teknik terjun bareng ini juga dimaksudkan sebagai sarana pembelajaran langsung bagi staf lokal, utamanya Putroe Kandee, agar kelak siap menjadi penyelenggara kegiatan training secara mandiri. PSW UIN Yogyakarta sepenuhnya memanfaatkan fasilitator dari dalam lingkungan sendiri tanpa tandem dengan staf Asia
13 sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
Foundation. Dilihat dari segi jumlah dan kapasitasnya, PSW telah sangat memadai untuk menyelenggarakan kegiatan ini secara mandiri. PSW juga telah memproduksi modul sehingga seluruh alur kegiatan pelatihan senantiasa berpedoman pada modul tersebut. Alur pelatihan PSW yang relatif stabil sebagaimana tertuang dalam modul itu sangat membantu fasilitator PSW UIN Yogyakarta maupun PSW UIN/IAIN lokal untuk bekerja dalam mekanisme tandem seperti itu. 4. Pemanfaatan Sumber Daya Asia Foundation sangat mendorong mitranya untuk memanfaatkan sumberdaya setempat tanpa mengurangi kualitas bidang yang dibutuhkannya. Pelibatan narasumber lokal dilakukan PSW UIN Yogyakarta dengan mengundang narasumber baik dari lingkungan Peradilan Agama maupun dari Departemen Agama tingkat provinsi. Mereka juga mengundang narasumber tingkat nasional yang dianggap memiliki relasi dengan konteks lokal. Sebagai lembaga akademis, PSW memanfaatkan narasumber internal yang sangat handal dalam kajian studi jender. Dan untuk memastikan bahwa upaya sensitivitas jender ini terkait dengan isu–isu yang relevan dengan pemberdayaan perempuan, mereka mengundang beberapa aktivis dari Yogyakarta seperti dari WCC Rifka Annisa dan PKBI Yogyakarta.
14
Dalam konteks Aceh, Putroe Kandee senantiasa melibatkan narasumber setempat seperti dari lingkungan Kanwil Depag Provinsi NAD, dan jaringan ulama dayah, termasuk ketika membahas isu lokal seperti penerapan Qanun Nomor 12, 13, dan 14, dengan mengundang mantan Ketua Dinas Syariat
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Islam provinsi. Dari kalangan akademisi, Putroe Kandee mengundang dosen-dosen dari IAIN Ar –Raniry, sementara dari kalangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh, Putroe Kandee melibatkan Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Dan terkait dengan isu pemberdayaan perempuan, Putroe Kandee kerap menghadirkan aktivis lokal seperti MiSPI (Mitra Sejati Perempuan). 5. Legitimasi Pusat Asia Foundation dan para mitranya senantiasa mengkonsultasikan programnya dengan lembaga terkait dalam struktur yang lebih tinggi. Konsultasi ini berlangsung hingga ke tingkat pelaksanaan pelatihan. Pelatihan yang diselenggarakan PSW maupun Putroe Kandee dengan penuh mendapatkan dukungan dari Mahkamah Agung dan Departemen Agama Pusat. Pelatihan-pelatihan itu umumnya dihadiri oleh Direktur Badan Peradilan Agama, Drs. Wahyu Widiana M.A., atau Direktur Bimas Islam Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Bahkan, Direktur Badilag juga mengirimkan undangan langsung kepada kepala PA untuk hadir dalam kegiatan training yang diselenggarakan PSW. Beberapa narasumber dari Mahkamah Agung yang menjadi langganan dalam kegiatan Putroe Kandee adalah Drs. Taufik M.A., Drs. Mukhtar Zamzami SH dan Dr. Supandi SH, M. Hum.
B. STRATEGI DAN PENDEKATAN YAYASAN PUTROE KANDEE 1. Profil Lembaga Yayasan Putroe Kandee yang artinya Perempuan Penerang didirikan pada 1990 oleh sekumpulan anggota majelis taklim di Banda Aceh yang dipimpin Ibu Rosmawardani SH. Pada awalnya mereka merasa sangat priha-
tin atas nasib para korban konflik dan berusaha membantunya dengan membagikan sembako atau pengobatan gratis secara berkala selepas pengajian mingguan. Ketika tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, kantor Yayasan Putroe Kandee yang terletak di Jalan Teungku Daud Beureueh termasuk yang luluh lantak. Sebagai pengurus yayasan yang juga hakim agama, Ibu Rosmawardani (biasa disapa “Ibu Ros”) banyak didatangi keluarga korban untuk konsultasi hukum. Ibu Ros dan para hakim yang selamat melihat berbagai persoalan hukum yang timbul pasca tsunami. Sebagian besar persoalan itu sangat terkait dengan hak-hak kaum perempuan. Di luar isu-isu yang biasa mereka tangani seperti warisan, perwalian anak, harta bersama, Mahkamah Syar’iyah harus berhadapan dengan persoalan hukum yang jarang mereka jumpai sebelumnya seperti pergeseran batas tanah, hutang piutang, deposito, asuransi, pegadaian dan lain-lain. Menyadari bahwa dalam kondisi darurat itu dibutuhkan lembaga yang lebih responsif dan fleksibel, maka Ibu Ros dan beberapa pengurus Yayasan Putroe Kandee melakukan kegiatan yang dimaksudkan untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan hukum yang timbul. Mereka mulai dengan mendata persoalan-persoalan yang dinilai sangat mendesak untuk diselesaikan terkait dengan kepastian hukum bagi perempuan dan anakanak pasca tsunami.
15
Atas dasar identifikasi itu, Putroe Kandee kemudian lebih memfokuskan perhatiannya pada kegiatan penguatan sensitivitas jender para hakim baik melalui kegiatan training, penelitian dan kajian serta pendampingan
korban. Selain dengan Asia Foundation, Putroe Kandee membina kemitraan dengan lembaga dana yang bekerja di Aceh seperti UNIFEM, DFID/ World Bank, Royal Netherlands Embassy (RNE), termasuk dengan BRR.
Para hakim yang selamat melihat berbagai persoalan hukum yang timbul pasca tsunami. Sebagian besar persoalan itu sangat terkait dengan hakhak kaum perempuan. 2. Pendekatan Seperti diketahui Putroe Kandee hanya bekerja di satu wilayah yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sampai saat ini kegiatan penguatan para hakim telah dilakukan secara intensif selama 2 tahun. Dalam pelaksanaannya, Putroe Kandee melakukan kerjasama dengan institusi penerima manfaat yaitu Mahkamah Syar’iyah NAD yang melibatkan seluruh kantor Mahkamah Syar’iyah dari 23 kabupaten/kota. Keterlibatan peserta tersebut, berlangsung secara terus menerus dan bertingkat-tingkat, mulai dari pelatihan tingkat dasar, pelatihan tingkat pendalaman, kegiatan sosialisasi publik, pertemuan evaluasi dan monitoring berkala, serta kunjungan lapangan dari Putroe Kandee untuk diskusi tematik. Keterlibatan peserta yang sangat intensif ini tidak hanya terjadi pada saat pelaksanaan program tetapi juga dalam program lain yang dikembangkan Putroe Kandee dengan donor lain.
sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
15
Putroe Kandee lebih difokuskan pada konteks dan kebutuhan lokalnya.
Para hakim dikenalkan pada metodologi pembacaan teks klasik/ ushul fikih dengan cara pembacaan baru, yaitu dengan menggunakan analisis jender
Selain para hakim di lingkungan Mahkamah Syar’iyah, Putroe Kandee juga melatih para pengurus KUA, URAIS dan BP4 dari beberapa kabupaten di Aceh. Dalam pelaksanaannya, training bagi KUA ini tidak digabungkan dengan Mahkamah Syar’iyah dengan alasan bahwa keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Dalam pandangan Putroe Kandee, meskipun tema besarnya sama yaitu peningkatan sensitivitas jender, namun lantaran wilayah kerjanya berbeda, maka cakupan dan muatan kurikulumnya juga berbeda. Secara garis besar isu jender yang diangkat dalam training bagi para hakim lebih terkait dengan persoalan-persoalan sengketa pasca perkawinan. Sementara bagi KUA isu jender lebih ditekankan pada cara pembacaan baru terhadap relasi keluarga menjelang atau di dalam perkawinan. 3. Desain dan Pengembangan Kurikulum
16
Dalam mendesain dan mengembangkan kurikulumnya, Putroe Kandee berangkat dari kebutuhan yang sangat spesifik bagi hakim dalam upaya memberikan kepastian hukum pasca konflik dan tsunami di NAD. Karenanya, kurikulum yang didesain oleh
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Dengan mengkhususkan pada sejumlah persoalan yang secara langsung dihadapi hakim, seperti praktik talak di luar pengadilan, cerai gugat dari pihak perempuan, hak nafkah pasca perceraian, hak perwalian anak, praktik poligami dan implikasi hukumnya dan lain-lain, para hakim dikenalkan pada metodologi pembacaan teks klasik/ushul fikih dengan cara pembacaan baru, yaitu dengan menggunakan analisis jender, misalnya persoalan itsbat nikah (nikah ulang untuk mendapatkan legalitas resmi dari negara) yang dibutuhkan banyak perempuan/pasangan yang menikah di masa konflik, atau perempuan sebagai wali harta peninggalan korban tsunami. 4. Fasilitator, Narasumber, dan Peserta Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Putroe Kandee biasanya dipandu oleh tiga orang fasilitator yakni Rosmawardani, Abdul Moqsith dan Lies Marcoes. Lies Marcoes M.A., merupakan ahli jender yang berpengalaman dari Asia Foundation. Sebagai sarjana IAIN dan Master dalam bidang Antropologi Kesehatan, Lies telah lama aktif di LSM berbasis pesantren untuk pemberdayaan perempuan. Lies juga memiliki kepiawaian dalam menjelaskan konsep jender dan kaitannya dengan kondisi sosial, budaya, politik dan agama di Indonesia. Lies juga banyak melakukan penelitian tentang tema-tema itu. Dr. Abdul Moqsith Ghazali merupakan tokoh muda NU yang cakap dalam menjelaskan isu-isu jender dengan pendekatan teori ushul fiqh. Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memiliki latar belakang pesantren dan sangat fasih dalam menguasai literatur klasik (kitab kuning). Se-
dangkan Dra. Hj. Rosmawardani, SH adalah salah satu fungsionaris Yayasan Putroe Kandee yang memiliki pengalaman bertugas sebagai hakim agama. Dengan pengalaman selama 25 tahun, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho ini mampu mengemas isuisu jender yang berhubungan dengan persoalan hukum di pengadilan dan kondisi sosial dan budaya masyarakat Aceh. Dalam kegiatannya mereka dibantu oleh beberapa co-fasilitator, seperti Amrina Habibi SH, Dra. Muhsina serta Drs. Muhammad Qusai. Secara kuantitatif sampai akhir tahun 2008 terdapat 136 hakim, 14 diantaranya perempuan yang telah mengikuti kegiatan training yang diselenggarakan Putroe Kandee. Ini merupakan sebagian besar dari hakim yang ada di NAD, yang totalnya berjumlah saat itu adalah 180 hakim dan 19 di antaranya perempuan. Jika dirinci berdasarkan jabatannya, mereka terdiri dari 5 orang hakim tinggi, 117 hakim, 8 calon hakim, dan 6 panitera. Lebih dari 80 orang di antara mereka telah mengikuti training pendalaman (advance training).
C. STRATEGI DAN PENDEKATAN PSW UIN YOGYAKARTA 1. Profil Lembaga Konferensi Perempuan sedunia yang melahirkan Dekade Perempuan I (1975-1985) dan Dekade Perempuan II (1985-1990)
17
Jumlah ini bertambah pada tahun 2009 menjadi 136 dengan ditunjuknya hakim-hakim baru yang didatangkan dari luar Aceh. Pada tahun 2009 ini, para hakim baru juga telah mengikuti training yang sama. Kurikulum training bagi mereka sedikit berbeda karena latar belakang mereka yang merupakan pendatang baru di wilayah ini dengan menambahkan konteks sosio-kultural masyarakat Aceh.
mendorong kesepakatan internasional agar negara-negara peserta konferensi seperti Indonesia, berikhtiar meningkatkan status perempuan. Dalam kerangka itu, pusat-pusat studi wanita di perguruan-perguruan tinggi didirikan, tak terkecuali PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan PSW UIN Yogyakarta lebih berkembang dibandingkan dengan PSW UIN/IAIN/STAIN lain. Tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas di satu pihak, kuatnya komitmen pimpinan UIN dalam pengembangan studi wanita di pihak lain, serta atmosfir gerakan perempuan di Yogyakarta yang kondusif untuk tumbuhnya pemikiran jender dan Islam, menyebabkan lembaga ini berkembang dengan pesat. Secara eksternal, PSW UIN Yogyakarta menikmati keuntungan dari dinamisnya gerakan LSM Perempuan di Yogyakarta. PSW dituntut mampu menjawab berbagai persoalan yang diajukan kalangan LSM perempuan terkait dengan isu-isu krusial yang dihadapi kaum perempuan. Sebagai pusat studi berbasis agama, PSW dianggap memiliki legitimasi moral dan otoritas akademis. Beberapa LSM yang secara spesifik bekerja untuk isu perempuan telah tumbuh ketika PSW berdiri, antara lain Yasanti, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), PKBI dan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) NU, dan WCC Rifka Annisa. Di luar itu, Yogyakarta merupakan ranah subur untuk tumbuh kembangnya organisasi kemasyarakatan berbasis Islam seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah, atau Fatayat dan Muslimat yang merupakan sayap perempuan NU. Beberapa pendiri dan pe-
17 sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
ngurus PSW UIN hingga kini merupakan aktivis ormas Aisyiyah seperti Dra. Susilaningsih, M.A., dan Dra. Siti Ruhaini Dzuhayatin M.A., atau Dr. Ema Marhumah, M. Pd., yang juga aktif di Fatayat NU. PSW UIN Yogyakarta berdiri 5 Desember 1995 melalui SK Rektor No. 128/1995. Cikal bakal PSW UIN Yogyakarta ini telah tumbuh sejak 1990 ketika sejumlah dosen perempuan di lingkungan IAIN mendirikan Kelom-
Gambar 4 Beberapa terbitan PSW UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
pok Program Studi Wanita (KPSW). Berbeda dengan banyak PSW IAIN/UIN lain yang perkembangannya tergantung kepada para pengurusnya, PSW UIN Yogyakarta segera tumbuh menjadi lembaga otonom dalam struktur organisasi civitas akademika UIN (dahulu IAIN) Yogyakarta. Dengan bergerak di tiga level sekaligus yaitu kajian, pengembangan organisasi dan advokasi, PSW UIN Yogyakarta menjadi salah satu lembaga otonom dalam civitas akademika UIN Yog-
18 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
yakarta yang diminati oleh para dosen baik perempuan maupun laki-laki yang menekuni bidang kajian Islam dan jender. Melalui PSW mereka mempublikasikan karya mereka dalam jurnal yang cukup bergengsi Musâwa; Jurnal Studi Jender dan Islam. PSW juga sangat produktif menerbitkan buku–buku hasil penelitian mereka. PSW UIN Yogyakarta merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan UIN Yogyakarta dalam mengembangkan civitas akademika keilmuan Islam yang modern dan progresif; sebagaimana juga keberhasilan PSW dalam memasukkan gender mainstreaming ke dalam nomenklatur studi Islam di seluruh bidang kajian UIN Yogyakarta. Terkait dengan program promosi kesadaran jender bagi komunitas Muslim, PSW bermitra dengan Peradilan Agama (PA), BP4 dan KUA. Pemilihan kelompok strategis itu dilakukan setelah sebelumnya mereka melebarkan sasaran dengan melibatkan ormas keagamaan dan partai Islam. Atas dukungan dari Kedutaan Denmark (DANIDA) dan belakangan Kedutaan Belanda (RNE), Asia Foundation bekerjasama dengan PSW UIN Yogyakarta dalam menjalankan program penguatan perspektif jender melalui gender mainstreaming untuk lingkungan Peradilan Agama (PA), BP4 dan KUA. Kegiatan ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Riau. Melalui kegiatan ini setidaknya lebih dari 400 orang telah terlibat, 170 orang diantaranya adalah hakim pada Pengadilan Agama. Sisanya adalah pegawai KUA dan pimpinan ormas keagamaan dan anggota partai politik
dari partai Islam. 2. Pendekatan Program sensitivitas jender bagi para hakim yang dikembangkan PSW UIN Yogyakarta semula merupakan program yang dikemas dengan nama ”Workshop Rights from Home”. Program ini merupakan kerjasama antara PSW UIN Yogyakarta dengan DANIDA yaitu lembaga bantuan pembangunan dari Kerajaan Denmark. Program ini diperuntukkan bagi unsur penegak hukum; yaitu hakim, pegawai KUA yang bertugas sebagai pencatat nikah, anggota ormas, pengelola PSW, dan tokoh masyarakat, yang berasal dari 9 provinsi (termasuk Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan). Kegiatan pelatihan pada masing-masing provinsi itu umumnya dilakukan satu kali pertemuan yang berlangsung antara 4-5 hari kerja. Karena wilayah pelaksanaan program yang tidak satu, maka PSW menerapkan sistem perwakilan untuk setiap-tiap kabupaten/provinsi yang dipilih. Para wakil inilah yang diharapkan oleh PSW melakukan penularan gagasan kepada mitra kerjanya yang lain.
19
Dalam pelaksanaan programnya, PSW menggabungkan semua unsur peserta hakim agama dan KUA di satu wilayah dalam satu pelaksanaan training/workshop. Penggabungan ini dimaksudkan agar para pihak itu dapat saling memahami problem-problem yang dihadapi para pencari keadilan yang seringkali mengalami kesulitan akibat ketidakjelasan wilayah kerja dan kewenangan di antara para pihak itu. Hal ini terutama untuk isu-isu yang secara langsung bersinggungan antara KUA dan peradilan agama, misalnya kawin dan cerai di bawah tangan. Untuk memelihara hubungan dengan para
alumni peserta pelatihan, PSW menyelenggarakan diskusi tematik dan FGD secara berkala. Ini juga digunakan sebagai ajang monitoring. Mereka juga menjaga intensitas hubungannya dengan cara pengiriman produk-produk penerbitan mereka secara berkala. Diharapkan melalui buku-buku tersebut, para alumni dapat melanjutkan pendalaman kajian mereka seputar isu jender dan Islam. 3. Desain dan Pengembangan Kurikulum Dalam mendesain dan mengembangkan kurikulum programnya, PSW melihat bahwa perubahan paradigma berpikir aparat penegak hukum sangat terkait dengan keislaman, hukum keluarga, dan isu-isu perempuan. Karenanya, mengenalkan perspektif jender merupakan sebuah keniscayaan manakala hendak memperbaiki relasi jender yang lebih adil dan seimbang. Berangkat dari cara pandang itu, kurikulum yang dikembangkan PSW dilandaskan pada kerangka teoritis bagaimana seharusnya sebuah keluarga dibangun dan keadilan di tingkat keluarga ditegakkan. Untuk memastikan bahwa kerangka itu relevan dengan konteks lokalnya, dalam setiap kegiatan trainingnya PSW terlebih dahulu mengidentifikasi kasus-kasus yang dihadapi para penegak hukum yang terkait dengan relasi jender. Secara garis besar komponen kurikulum itu terdiri dari konsep Islam progresif, dasar-dasar konsep HAM, kebijakan pemerintah dalam pengarusutamaan jender, pengenalan konsep kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hak reproduksi perempuan dan hak anak. Untuk menumbuhkan kesadaran tentang hak-hak perempuan atas tubuhnya, PSW memasukan isu kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pelatihan. Untuk itu, mereka juga
sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
19
mengundang pakar dalam isu kesehatan reproduksi yang mendemonstrasikan dengan sangat menarik tentang perbedaan tubuh organ reproduksi perempuan dan laki-laki serta akibat-akibatnya baik yang disebabkan oleh organ dan fungsi itu maupun oleh adanya ketimpangan relasi jender. Relasi jender yang timpang berpengaruh pada buruknya akses perempuan untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya. Diharapkan melalui pengetahuan ini, kesadaran para hakim tentang tanggung jawab suami untuk melindungi isterinya akan tumbuh, termasuk untuk tidak menularkan penyakit yang disebabkan oleh praktik poligami. 4. Fasilitator, Narasumber dan Peserta
20
Dalam pelaksanaan training bagi aparat penegak hukum, PSW tidak melibatkan fasilitator dari Asia Foundation maupun dari luar lembaga. Fasilitasi sepenuhnya dilakukan oleh staf PSW sendiri. Mereka adalah Dr. Ema Marhumah, M.Pd., Inayatul Rohmaniyah, S.Ag., M. Hum., M.A., Dra. Hj. Ruhaini Dzuhayatin, M.A., Drs. Mohammad Sodik S.Sos., M.Si., Drs. M. Isnanto, M.Si., Dra. Hj. Siti Syamsiyatun, M.A., Ph.D., dan Waryono Abdul Ghafur, M.Ag. Dan untuk memperkaya materi dan penguasaan peserta terhadap kerangka teoritik tentang relasi jender dalam Islam dan beberapa kasus ketidakadilan jender di Indonesia, PSW mengundang beberapa narasumber yang memiliki kapabilitas dan kompetensi dalam bidangnya masingmasing. Di antara narasumber yang dilibatkan dalam kegiatan Training PSW yang diselenggarakan di Sumatera Barat adalah Prof. Dr. Amin Abdullah, Dr. Hamim Ilyas, Dra. Budi Wahyuni, M.M., M.A., Drs. H. Mudzakir M.M., dan Dr. Muhammad Joni. Sementara untuk narasumber di Sulawesi Selatan, PSW melibatkan narasumber lain seperti Prof. Dr.
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Nasaruddin Umar, Dr. Amelia Tristiana, dan Prof. Dr. Musdah Mulia. Prof. Dr. Amin Abdullah merupakan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang memiliki kapabilitas dalam menjelaskan tentang kajian filosofis tentang keadilan dan kese-taraan jender. Prof. Hamim Ilyas adalah dosen pada Fakultas Syariah UIN Yogyakarta, dan pernah menjadi anggota MTT PP Muhammadiyah. Adapun Budi Wahyuni M.A. adalah Ketua LOS, Yogyakarta dan Ketua PHD PKBI Yogyakarta dengan latar belakang S2 di AMMA Amsterdam bidang Antropologi Kesehatan, dan sedang menempuh pendidikan S3 di UGM Yogyakarta. Muhammad Joni adalah Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak (2005-2009) dan Staf Ahli DPD RI (20072008). Adapun Drs. Wahyu Widiana M.A., adalah Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag), yang sebelumnya dikenal dengan Ditbinbapera (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama). Narasumber yang dilibatkan dalam kegiatan di Sulawesi Selatan adalah Dr. Nasaruddin, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jendral Bimas Islam di Departemen Agama. Sebelum memegang jabatan ini, ia pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor III dan IV di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai Rektor PTIQ. Dr. Amelia Tristiana adalah alumni S2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Prof. Dr. Musdah Mulia adalah dosen pada program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dra. Hj. Ruhaini Dzuhayatin, M.A., adalah mantan Koordinator Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga (dahulu IAIN) dan S2 di Universitas Monash, Melbourne,
Australia, ia menempuh program Doktoral pada bidang Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan di Sumatera Barat diikuti oleh 24 peserta, dengan komposisi 17 peserta laki-laki dan 7 peserta perempuan. Secara keseluruhan, 24 peserta tersebut terdiri dari; 9 orang dari Pengadilan Agama (PA), 3 orang dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA), 5 orang dari KUA, 1 orang dari Departemen Agama, 3 orang dari partai politik dan organisasi massa, 2 orang dari PSW IAIN Padang, 1 orang dari IAIN Padang. Dari 24 peserta, hakim berjumlah 12 orang. Mereka terdiri dari para hakim yang bertugas di 9 Pengadilan Agama yang berbeda di Sumatera Barat dan sisanya berasal dari Pengadilan Tinggi Agama Padang. Sedangkan pelatihan yang dilakukan di Sulawesi Selatan diikuti oleh 23 orang, dengan komposisi 13 peserta laki-laki dan 10 peserta perempuan. Secara keseluruhan, 23 peserta tersebut, terdiri dari; 9 orang dari PA, 2 orang dari KUA, 1 orang dari Departemen Agama, 6 orang dari UIN Makassar, 1 orang dari PSW UIN Makassar, 1 orang dari partai politik (PPP Sulawesi Selatan) dan 3 orang dari organisasi massa dan LSM (NU, Muhammadiyah dan Kaukus Perempuan LPPKS).
21
Pemilihan para peserta dari Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan ini didasarkan pada penunjukan Ketua Pengadilan Tinggi Agama di masing-masing provinsi. Para peserta merupakan perwakilan wilayah. Sembilan Pengadilan Agama dipilih dan diminta mengirimkan satu perwakilan. Mereka dihubungi melalui para ketua PA di mana mereka ber-
tugas. Mengingat kenyataan bahwa jumlah hakim laki-laki lebih banyak dari jumlah hakim perempuan, maka peserta hakim yang mengikuti pelatihan kebanyakan laki-laki. Namun begitu, PSW senantiasa memastikan bahwa peserta perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan peserta lakilaki.
D. MENGELOLA RESISTENSI Jender hanyalah salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk meneropong ketimpangan relasi kekuasaan dan sekaligus menawarkan rekontsruksinya agar tercapai relasi yang lebih setara dan adil. Namun hampir tak terhindarkan, bicara soal jender senantiasa mendulang kontroversi dan bahkan resistensi. Kontroversi dan resistensi bisa disebabkan oleh berbagai hal; mulai dari kesalahpahaman dalam memaknai konsep sampai pada hal-hal yang lebih substantif serta terkait dengan kenyamanan posisi sosial lelaki yang dianggap terancam. Baik PSW maupun Putroe Kandee sangat menyadari kemungkinan munculnya resistensi itu, dan karenanya mereka sangat memperhatikan pengelolaan program pelatihan agar sedapat mungkin menghindari kontroversi
Bagi Asia Foundation, jender bukanlah tujuan melainkan sarana untuk membaca realitas ketidakadilan serta upaya mencari solusi atas ketimpangan itu.
21 sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
yang tidak produktif apalagi untuk hal-hal yang tidak substantif. Bagi Asia Foundation, sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Program Aceh, Dr. Sandra Hamid, yang pertama-tama dijaga adalah menghindari munculnya kesalahpahaman yang disebabkan oleh ketidakjelasan atas apa yang ingin dicapai dari aktivitas ini. Bagi Asia Foundation, jender bukanlah tujuan melainkan sarana untuk membaca realitas ketidakadilan serta upaya mencari solusi atas ketimpangan itu. Asia Foundation sangat menyadari bahwa isu jender mudah menyulut kontroversi, bukan saja karena “sudah bawaannya” gampang mengundang kecurigaan, tetapi juga karena kontroversi seringkali disebabkan oleh hal-hal yang sesungguhnya bisa dikelola, seperti ketidakpekaan pelaksana program dalam membaca keragaman latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan sikap para peserta. Oleh karena itu, Asia Foundation sedapat mungkin hadir dalam setiap kegiatan untuk memberikan pengantar tentang tujuan kegiatan ini dan bagaimana kerjasama dengan mitra dijalin, serta menjawab pertanyaan peserta terkait dengan program dan kegiatan Asia Foundation di Indonesia. Jenis dan penyebab resistensi bisa sangat beragam. Dalam pengalaman PSW, resistensi misalnya pernah terjadi hanya karena cara berpakaian salah satu narasumbernya yang dianggap kurang sesuai dengan nilainilai Islam seperti tak memakai jilbab atau baju panjang. Sementara dalam pengalaman Putroe Kandee, resistensi muncul karena narasumber yang diundang dianggap terlalu yunior dan atau karena mereka mengangkat isu yang tidak relevan untuk konteks Aceh, seperti kawin beda agama.
22 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Sebagai lembaga yang masih terhitung baru dalam mengelola program, Putroe Kandee mengakui bahwa mereka sangat berhatihati dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Sedemikian rupa keberhati-hatian itu, hingga istilah training pun pada mulanya tak terlalu ditonjolkan dan diganti dengan kegiatan “silaturahmi pemikiran”. Demikian halnya dengan istilah jender yang sedapat mungkin tak digunakan dan digantikan dengan ungkapan yang sedikit lebih panjang namun mudah dipahami seperti “ketimpangan relasi sosial lelaki dan perempuan”. Seleksi narasumber merupakan cara lain untuk menghindari kontroversi. Narasumber diusahakan mereka yang benar-benar senior dan punya pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan peserta. Bagi PSW UIN Yogyakarta, sikap penolakan peserta dihadapi dengan kearifan. Meskipun mereka sudah sangat berpengalaman dalam mengelola resistensi, sikap hati-hati dan menghindari hal-hal yang mudah memunculkan kesalahfahaman mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Upaya mengurangi resistensi mereka lakukan antara lain dengan membuka sebanyak mungkin kesempatan tanya jawab dan mengelola alur diskusi yang induktif. Dari sisi teknis fasilitasi mereka dengan sengaja menyeimbangkan fasilitator perempuan dan laki-laki agar peserta tidak menganggap bahwa isu jender hanya menjadi perhatian narasumber dan fasilitator perempuan. Resistensi juga kerap muncul karena terkait dengan isu-isu yang substantif. Dalam konsep jender misalnya, resistensi muncul karena jender dipahami sebagai upaya perempuan yang hendak mengalahkan lelaki atau menyamakan perempuan dengan lelaki.
Untuk itu, baik PSW maupun Putroe Kandee menganggap penting untuk memberi prioritas pada terbangunnya pemahaman yang paling dasar terkait dengan konsep jender ini. Demikian halnya dengan isu agama yang pada kenyataannya berperan dalam mengkonstruksikan perbedaan fungsi sosial dan status lelaki dan perempuan dalam masyarakat. Meskipun konsep jender telah dijelaskan dan peserta memahami bahwa peran lakilaki dan perempuan adalah sebuah konstruksi sosial dan karenanya sangat mungkin untuk berubah, namun perubahan itu bagi sebagian peserta dianggap dapat mengguncangkan aturan dan sendi-sendi agama yang dianggap telah baku. Terkait dengan hal itu, Putroe Kandee menghadapinya dengan teknik tarik–ulur yang mengajak peserta untuk berpikir secara bertahap mengikuti alur logika tentang perubahan-perubahan hukum fikih terkait dengan relasi jender baik akibat perbedaan penafsiran maupun akibat konteks sosial , ekonomi dan geografis yang berpengaruh pada konstruksi pembentukan hukum. Untuk itu, sebanyak mungkin mereka mengambil contoh-contoh yang berasal baik dari sejarah Islam maupun lokal. Sementara untuk kajian agama, Putroe Kandee menghadirkan narasumber yang menguasai ilmu ushul fikih yang menjelaskan perbedaan lelaki dan perempuan berdasarkan ketegori ushul fikih seperti konsep ushul (prinsip/universal) dan furu’ (partikular).
23
Selain menghadirkan narasumber handal dan menyediakan publikasi berdasarkan kajian ilmiah yang memadai, teknik untuk
menghadapi resistensi yang dilakukan PSW UIN Yogyakarta adalah dengan mengajak peserta melihat pada kenyataan di lapangan seperti membawa mereka ke RPK (Ruang Penanganan Khusus) di Polda Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di Sumatera Barat dan Rumah Sakit Bhayangkari di Mappaodang, Makassar. Selain itu, teknik untuk menghadapi resistensi juga dilakukan dengan membahas isu-isu yang secara nyata menunjukkan ketertindasan perempuan seperti isu kesehatan reproduksi. Sebagaimana di Aceh, terkait dengan isu agama, PSW menghadirkan narasumber handal dalam ilmu fikih dan tafsir, seperti Prof. Dr. Hamim Ilyas dan Prof. Dr. Amin Abdullah. Dari sisi substansi, strategi lain yang dilakukan adalah memposisikan analisis jender sebagai satu tarikan nafas dengan analisis sosial lain yang digunakan untuk membedah ketimpangan relasi kuasa berbasis suku, ras, agama, ideologi yang membuahkan ketidakadilan. Bagi Putroe Kandee, pengalaman Aceh di masa konflik cukup memudahkan mereka untuk membawa peserta secara kognitif dan afektif masuk ke dalam wilayah sensitivitas jender itu. Dengan mendudukkan pengalaman Aceh yang mengalami kekerasan dan diskriminasi di masa konflik, analisis jender digunakan Putroe Kandee untuk menjelaskan diskriminasi berbasis prasangka jender sebagaimana analisis sosial-politik lainnya yang digunakan untuk menjelaskan cara kerja diskriminasi berbasis prasangka ras, agama atau aliran politik. [*]
23 sensitivitas jender: SEBUAH PROSES PEMBELAJARAN
24 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Pelaksanaan Training Sensitivitas Jender bagi Hakim
3
3
Pelaksanaan Training Sensitivitas Jender bagi Hakim
P
erubahan kesadaran, perilaku, dan sikap peserta training terhadap isu kesetaraan jender diharapkan terjadi pasca pelatihan. Harapan ini dicanangkan baik oleh para pelaksana kegiatan maupun pendukung programnya. Pendokumentasian ini mencatat bahwa apa yang dicanangkan itu membuahkan hasil yang tidak sedikit. Ini bisa dilihat dari meningkatnya pengetahuan teoritis para hakim, meluasnya perbincangan tentang tema ini di kalangan mereka, serta-secara relatif-tumbuhnya minat untuk menerapkan kesadaran itu pada tingkat legal praksis dalam kapasitas sebagai aparat penegak hukum.
26
Pada bab ini rekam jejak pergulatan pemikiran dan pemahaman peserta baik yang dilakukan Putroe Kandee maupuan PSW UIN dapat dibaca. Dalam pemaparan ini dapat dilihat bagaimana kedua lembaga ini mengejawantahkan visi dan misinya ke dalam elemen-elemen pelatihan seperti kurikulum dan proses penyusunannya, peran fasilitator, narasumber dan teknik pengelolaan kegiatan sebagaimana telah dielaborasi sekilas dalam
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Mereka tertantang untuk mencari jalan keluar atas keterbatasan produk hukum (baik hukum positif maupun fikih) yang dapat dipakai untuk penyelesaian sengketa keluarga secara adil.
bab sebelumnya. Suatu hal yang secara khas menonjol sebagai efek menyeluruh dari pelatihan ini adalah bahwa pelatihan ini, dalam rentang pemahaman yang beragam, telah berhasil memunculkan sikap terbuka sekaligus kritis para pesertanya atas wacana pemberdayaan perempuan dan konsep kesetaraan jender. Apapun hasilnya, peserta pelatihan itu telah menangkap dan menyimpan pemahaman baru terkait dengan konsep jender dan elemen-elemennya. Konsep-konsep paling elementer tentang jender telah berhasil dijelaskan, dan pada gilirannya dapat menggeser kesalahpahaman konsep yang selama ini ada di benak banyak peserta. Rangsangan pemikiran seputar persoalan hukum keluarga dan upaya penyelesaiannya telah pula ditumbuhkan. Mereka tertantang untuk mencari jalan keluar atas keterbatasan produk hukum (baik hukum positif maupun fikih) yang dapat dipakai untuk penyelesaian sengketa keluarga secara adil. Training ini telah pula membukakan mata dan pikiran peserta bahwa perubahan-perubahan sosial dewasa ini berpengaruh besar pada perubahan relasi lelaki dan perempuan. Kenyataan atas perubahan sosial ini mereka akui membutuhkan alat analisis hukum yang lebih responsif terhadap realitas perubahan sosial itu. Mereka menyadari bahwa tanpa upaya serius dalam menyikapi perubahanperubahan sosial yang berimplikasi pada perubahan relasi jender ini, tak mustahil akan melahirkan sengketa-sengketa keluarga yang lebih besar yang disebabkan oleh tercederanya rasa keadilan. Bersama segenap kehati-hatiannya yang termanifes dalam sikap yang beraneka, para
Analisis Jender menawarkan pembaharuan hukum yang dapat digunakan untuk penyelesaian persoalan sengketa keluarga dengan menimbang secara lebih seksama relasi lelaki dan perempuan yang pada kenyataannya tak lagi statis. peserta umumnya mengaku bahwa analisis jender yang diperkenalkan dalam pelatihan ini merupakan salah satu tawaran untuk mengatasi keterbatasan atau ketidakpekaan hukum terkait dengan perubahan sosial tadi. Ini berarti bahwa pelatihan-pelatihan itu, baik yang dilakukan Putroe Kandee maupun PSW UIN Yogyakarta telah berhasil menumbuhkan kesadaran kritis peserta tentang perlunya pembaharuan hukum atau cara pembacaan dan pemaknaan hukum yang lebih tepat guna. Terkandung dalam maksud itu adalah pembaharuan hukum yang dapat digunakan untuk penyelesaian persoalan sengketa keluarga dengan menimbang secara lebih seksama relasi lelaki dan perempuan yang pada kenyataannya tak lagi statis. Secara lebih spesifik, training Putroe Kandee di Aceh telah memberikan muatan lokal yang memberdayakan sekaligus muatan universal yang mencerahkan kepada para peserta tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari agama. Misalnya, training ini diakui peserta telah memberikan “peringatan dini” agar dapat memaknai relasi jender dalam konteks Aceh yang tengah menerapkan syariat Islam secara
27 pelaksanaan training
Terserapnya pemikiran tentang kesetaraan jender yang ditunjukkan dengan sikap yang tidak mendikotomikan konsep jender dan Islam menunjukan keberhasilan program training PSW di Sulawesi Selatan. formal. Ini merupakan capaian yang sungguh penting untuk menghindari munculnya benturan yang tidak perlu antara berbagai elemen atau pandangan, semisal konsep jender di satu pihak dan posisi adat dan status syariat Islam yang juga mendefinisikan peran dan posisi perempuan di Aceh pada pihak lainnya. Lebih dari itu, banyak hakim peserta training ini mengakui bahwa mereka mendapatkan justifikasi keagamaan yang kokoh yang dapat digunakan untuk mengambil posisi lebih tegas dalam membela pihakpihak yang (di)lemah(kan) dengan mempertimbangkan analisis keadilan jender dalam tiap-tiap perkara yang mereka tangani. ”Dulunya sebelum training ini tidak tergambar adanya perbedaan lakilaki dan perempuan. Keluarga saya 11 orang bersaudara, ayah saya ulama kecil-kecilan, kami 6 laki-laki dan 5 perempuan. Keluarga kami pas-pasan tapi dalam kesempatan pendidikan tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, siapa yang mau sekolah ya harus cari sendiri (...).
28
Tapi setelah ikut pelatihan ini, bertambah ilmu, rupanya nafkah iddah tidak hanya bisa didapatkan oleh istri kalau
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
dalam perkara cerai talak saja, tapi bisa saja dengan wewenangnya hakim memberikan hak nafkah iddah pada kasus gugat cerai. (Jender) ini salah satu ilmu luar biasa yang saya dapat dari training ini. Saya melihat secara analisa baik sekali seperti materi yang disampaikan Kyai Husen dalam menganalisa ayat al-Quran dan hadits. Hal semacam ini belum saya dapati di bangku pendidikan. Saya memang membaca kitab-kitab yang beliau sebutkan, tapi pemahaman saya lain ketika itu, dan sekarang lain lagi, begitu rupanya cara untuk memahaminya. Saya sering teringat keputusan saya di masa lalu, merinding saya, saya sering shalat tahajud memohon ampun kepada Allah, jangan-jangan saya telah berbuat zhalim karena saya tidak mengerti ilmu seperti ini. (Ahmad Zaini Dahlan Ketua Mahkamah Syar’iyah Calang). Pelatihan yang diselenggarakan di Sumatera Barat oleh PSW UIN Yogyakarta juga membawa pengaruh serupa bagi para pesertanya. Dengan nyata pendokumentasian ini melihat tumbuhnya pengetahuan dan kesadaran peserta tentang isu-isu kontemporer terkait dengan pemberdayaan perempuan. Dengan sikap yang cukup kritis atas penyajian materi-materi yang diberikan PSW UIN, pelatihan ini secara umum berhasil menumbuhkan kesadaran peserta akan pentingnya mempertimbangkan aspek kesetaraan lelaki dan perempuan dalam proses peradilan. Dalam pandangan peserta, kesetaraan perempuan dan laki-laki merupakan wacana yang perlu disikapi secara terbuka meskipun tetap hati-hati. Mereka bersetuju, masalah-
masalah yang muncul terkait dengan pengabaian hak-hak perempuan harus dihapuskan atau setidaknya dikurangi. Pelatihan di Sulawesi Selatan yang dilakukan PSW UIN Sunan Kalijaga juga telah memunculkan perubahan mindset para peserta tentang relasi jender. Perubahan itu dapat dilihat dari cara mereka memahami relasi jender yang semula dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan permanen sebagai kehendak Tuhan, kini mereka pahami sebagai suatu bentukan sosial yang berpengaruh dan dipengaruhi berbagai kepentingan. Sampai batas tertentu terlihat pula adanya perubahan sikap dalam menangani perkara yang semula tak sensitif, kini secara relatif menjadi lebih peka pada kemungkinan adanya sikap dan cara pandang yang diskriminatif yang dapat merugikan perempuan sebagai salah satu pihak berperkara. Hakim Basyir dari PA Sungguminasa, misalnya, berpendapat bahwa Islam datang justru dengan pemahaman yang sangat sensitif jender. Meskipun pandangan itu menyederhanakan kenyataan lebarnya celah antara pandangan ideal dan praktik umat Islam terhadap perempuan, namun setidaknya hal ini menunjukkan bahwa ada sikap yang sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru seputar isu jender yang ditawarkan PSW UIN Yogyakarta. “…kebetulan saya mempunyai anak perempuan satu dan anak laki-laki satu, setelah mengikuti pelatihan jender saya bersama istri mencoba perlahan-lahan meninggalkan kekerasan dalam mendidik anak, mungkin itu dari segi perlakuan terhadap anak. Jadi ada perubahan secara drastis. (Hakim Basir).
Terserapnya pemikiran tentang kesetaraan jender yang ditunjukkan dengan sikap yang tidak mendikotomikan konsep jender dan Islam menunjukan keberhasilan program training PSW di Sulawesi Selatan. Seorang hakim perempuan, Walha, yang bertugas di Pengadilan Agama Takalar, misalnya, menilai bahwa apa yang dibawa oleh PSW sebagaimana disampaikan oleh para narasumbernya merupakan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. Pandangan hakim Walha ini juga didukung oleh peserta lain seperti hakim Majidah dan hakim Nahiruddin. Menurut Nahiruddin, selama ini ada pandangan yang keliru seolah-olah Islam tidak sensitif jender. Secara umum pendokumentasian ini juga mencatat bahwa pelaksanaan training telah memberikan dampak yang relatif sama terhadap para pesertanya yaitu adanya perubahan mindset tentang relasi lelaki dan perempuan. Dengan cara pandang ini hakim diharapkan dapat melihat bahwa timpangnya relasi itu akan berpengaruh pada pencapaian keadilan. Sensitivitas jender yang dikembangkan baik oleh PSW maupun Putroe Kandee pada dasarnya diakui para peserta sangat berguna untuk menimbang dan meletakkan hukum secara adil. Dalam maksud ini, hukum diletakkan bukan pada ruang hampa melainkan pada kenyataan relasi lelaki dan perempuan yang tak selalu seimbang. Sebagai sarana penyegaran, pelatihan PSW juga mampu menggugah kembali kesadaran para pesertanya baik yang terkait dengan prilaku personalnya di dalam keluarga maupun sebagai hakim yang tanggung jawabnya melampaui tugas-tugas rutin administratif.
29 pelaksanaan training
Analisis jender yang dikembangkan kedua lembaga ini membantu para hakim untuk melihat bagaimana cara kerja budaya, politik dan sosial yang dapat melemahkan posisi perempuan, dan situasi semacam itu sangat penting untuk dipertimbangkan ketika perempuan berperkara di pengadilan. Dengan kemampuan membaca realitas serupa itu, pembelaan hakim bagi perempuan tak sekadar menggunakan pertimbangan belas kasihan sebagai kewajiban moral, melainkan karena benar-benar didasarkan pada argumentasi yang dapat diuji secara obyektif dan netral, antara lain dengan menggunakan cara pembacaan hukum yang sensitif pada realitas ketimpangan struktur relasi dan posisi sosial perempuan diperhadapkan dengan stuktur dan posisi sosial lelaki pada umumnya. Sejauh yang terdokumentasikan, kesadaran kritis para peserta baik di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan itu cenderung masih dalam kerangka wacana. Di Aceh sebagian kecil peserta telah dapat melampaui arus wacana menuju tindakan yang lebih nyata, namun sangatlah jelas bahwa upaya itu bersifat sangat individual dan tak selalu sebagai buah dari program pelatihan itu. Kenyataan ini sungguh dapat dipahami, bukan saja karena proses pergulatan pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan jender itu masih terus berlangsung, tetapi juga karena desain kurikulum yang dikembangkan baik oleh Putroe Kandee maupun PSW UIN Yogyakarta tak mencakup pada pembekalan praktis bagaimana tools of gender analysis digunakan di pengadilan. Persoalan lain, para hakim merasa bahwa mereka sangat terikat dengan aturan baku
30 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
yang telah ada dan merasakan kekhawatiran bila harus menabrak koridor hukum yang ada. Seorang peserta dari Sumatera Barat menyatakan: ”Kami rasa kita perlu sepakati dulu sampai dimana kajian ini akan diterapkan, sebab, bila kajian kesetaraan jender ini ingin kita terapkan dalam peradilan maka kendala utama kita adalah bahwa kita akan menyimpang aturan tertulis/aturan hukum positif. Sistem hukum kita adalah Kontinental, yang mengacu pada tekstual peraturan perundangundangan. Hakim tidak dibenarkan keluar dari aturan tersebut. Kami juga harus menyikapinya sedemikian rupa karena kalau itu diterapkan, bagi kami di Sumbar/Minangkabau akan menimbulkan persoalan, dalam kata lain kesetaraan jender malah lebih dari yang kita inginkan”. (Hakim Pelmizar). Sementara, hakim lain dari Aceh mengungkapkan pernyataan serupa: “Kalau dilihat dari segi ilmunya, pelatihan Putroe Kandee ini sangat bermanfaat bagi kita. Tapi kalau harus kami praktikkan di pengadilan belum tentu semuanya bisa kami praktikkan, karena dalam pengadilan ini tergantung pada kasusnya, dan majelis hakim tidak boleh berpihak pada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. (Hakim Yusniati). Tanggapan ini sangat fundamental, bukan saja menunjukkan bahwa pelatihan ini telah berhasil membangun wacana, namun juga menyangkut bagaimana tindak lanjut dari program ini mau dikembangkan. Umumnya
peserta mengatakan bahwa upaya ini tidak bisa berhenti pada tingkat pembangunan wacana tanpa memperhatikan bagaimana pemahaman baru ini dapat diimplementasikan. Hal lain yang dapat digarisbawahi adalah bahwa penerapan hukum yang sensitif jender tak mungkin dipercayakan kepada lembagalembaga di luar stuktur lembaga peradilan, seperti PSW dan Putroe Kandee, melainkan harus menjadi kebijakan yang menyeluruh. Ini juga berarti program penyadaran serupa ini seharusnya terjadi di semua lapisan elemen-elemen penegak hukum dari hulu ke hilir, tak terbatas pada perubahan mindset melainkan juga pada produk hukumnya. Pendokumentasian ini juga mencatat bahwa yang mereka butuhkan di masa depan adalah peningkatan kemampuan dalam metodologi pembacaan hukum yang sensitif jender serta implementasinya. Cara ini dapat memandu mereka mengintegrasikan sensitivitas itu ke dalam sistem hukum yang ada.
tercatat akibat konflik memperoleh pengesahan melalui isbat nikah meskipun penyebabnya tak sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam KHI. Pertanyaan-pertanyaan ini dan sejumlah persoalan lain yang dikumpulkan melalui kegiatan need assessment, yang diadakan beberapa bulan sebelum training, dibahas dalam workshop rancangan dasar kurikulum dan silabi. Selain tenaga ahli dalam bidang kajian jender dan dalam metode pembelajaran orang dewasa (adult education), workshop itu dihadiri para pakar di bidang hukum dari Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah, aktivis Perempuan, perwakilan calon peserta dari Mahkamah Syar`iyah, dan pejabat dari lingkungan Departemen Agama dan Mahkamah Syar`iyah.
Gambar 5 Workshop Pembahasan Kurikulum Training bersama Direktur Badilag MA dan Ketua Mahkamah Syar’iyah yang diselenggarakan oleh Putroe Kandee di Aceh
A. PELAKSANAAN TRAINING YAYASAN PUTROE KANDEE ACEH 1. Materi dan Metodologi Pembelajaran Pendokumentasian ini mencatat bahwa Putroe Kandee mendesain kurikulum dengan sedekat mungkin memenuhi kebutuhan pesertanya. Jauh sebelum training berlangsung sejumlah persoalan terkait dengan kepastian hukum bagi perempuan telah mengemuka pasca tsunami dan setelah tercapainya perdamaian. Sejumlah pertanyaan yang dikumpulkan Putroe Kandee ketika itu misalnya; dapatkah perempuan menjadi wali atas harta peninggalan suami atau anak laki-laki dan dapatkah perkawinan yang tak
Kurikulum Putroe Kandee meliputi sensitivitas jender, jender dan Islam, kekerasan berbasis jender, perangkat-perangkat hukum positif yang terkait dengan relasi jender, KHI, CEDAW, dan analisis tentang Qanun Jinayah Aceh. Seluruh subjek materi itu dibapelaksanaan training
31
Diharapkan setelah melalui pelatihan ini hakim tak ragu lagi untuk menggunakan berbagai sumber hukum seperti surat edaran atau yurisprudensi Mahkamah Agung yang sudah banyak mengakomodir rasa keadilan bagi perempuan has dalam kerangka untuk memecahkan sejumlah persoalan yang dihadapi hakim. Berangkat dari kebutuhan spesifik seperti itu, kurikulum yang dirancang Putroe Kandee sangat terbatas. Mereka menekankan pada metodologi penggalian hukum utamanya fikih yang pada kenyataannya masih digunakan sebagai sumber hukum di masyarakat. Dr. Moqsith Ghazali yang kerap berperan sebagai narasumber dan fasilitator merumuskan rancangan kurikulum Putroe Kandee itu sebagai berikut:
32
Kurikulum Putroe Kandee ini ditujukan agar hakim dapat memahami nalar hukum baik yang bersumber dari fikih maupun hukum positif yang dibaca dengan perspektif jender. Desain kurikulumnya sedemikian rupa dimaksudkan agar hakim secara lebih mandiri berani melakukan “ijtihad” baru baik dalam ijtihad istinbathi (metode penggalian hukum) maupun tathbiqi (penerapan hukum). Diharapkan setelah melalui pelatihan ini hakim tak ragu lagi untuk menggunakan berbagai sumber
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
hukum seperti surat edaran atau yurisprudensi Mahkamah Agung yang pada kenyataannya sudah banyak mengakomodir rasa keadilan bagi perempuan namun oleh sebagian hakim dianggap berseberangan dengan fikih klasik dan karenanya ragu-ragu untuk digunakan sebagai sumber hukum (Moqsith Ghazali). Putroe Kandee tampaknya berusaha mengolah kurikulum itu dalam alur pelatihan yang dinamik. Agar pelatihan tak menjemukan, kegiatan belajar diatur dengan mengkombinasikan antara model ceramah dan diskusi. Fasilitator juga menggunakan media belajar yang cukup kreatif seperti kartu warna, gambar, pemutaran film dan alat peraga yang memudahkan peserta memahami konsep-konsep yang hendak dipaparkan. Dalam pengelolaan kelas, Putroe Kandee mengedepankan prinsip-prinsip active learning. Namun karena sebagian peserta Putroe Kandee adalah hakim-hakim senior bahkan tak sedikit di antara mereka berperan rangkap sebagai teungku pimpinan dayah, Putroe Kandee jarang menggunakan aktivitas gerak berupa game atau role play dan sejenisnya. Paling jauh mereka melibatkan peserta dalam diskusi berpasangan, diskusi kelompok atau diskusi pleno. Pelibatan secara aktif dan memperhatikan semua peserta dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan serta mengedepankan pendekatan active learning menjadikan training Putroe Kandee sangat dihargai. Seorang hakim perempuan yang menjadi peserta dalam training Putroe Kandee menyampaikan pendapatnya;
”Di pelatihan ini saya senang karena hakim-hakim perempuan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Memang mereka tak selalu aktif bicara dalam forum besar seperti peserta laki-laki, tapi mereka mengikuti debat-debat yang berlangsung selama pelatihan. Dalam diskusi kecil mereka aktif mengemukakan pendapat, bisa mendengar pendapat orang lain tentang persoalan persoalan yang sehari harinya juga mereka hadapi”. (Hakim Rita Nurtini). Rancangan kurikulum yang dibangun Putroe Kandee tampaknya cukup disukai peserta. Hal itu antara lain karena kurikulum tersebut dianggap sistematis dengan mendahulukan aspek penyamaan pemahaman dan persepsi seperti penyamaan konsep jender atau kekerasan berbasis jender. ”....termasuk pengertian yang selama ini belum dipahami yaitu soal jender. Dengan datangnya ibu Lies, semua sudah angguk-angguk. Oh itu rupanya jender. Selama ini jender kami pahami, sepertinya perempuan mau sama rata dengan pria, naik pohon sama-sama, begitulah jender. Tapi setelah ada pelatihan itu perubahan persepsi itu sangat nampak. Cara yang diberikan oleh ibu Lies dengan alat peraganya sangat mengena buat kami.” (Hakim Zakian). Setelah konsep jender terjelaskan, Putroe Kandee mengajak peserta melakukan identifikasi persoalan yang dihadapi oleh hakim dalam pekerjaan mereka sehari hari yang mereka asumsikan bersinggungan dengan ketimpangan jender. Pembatasan persoalan hanya pada wilayah kerja mereka dimak-
sudkan agar isu yang diangkat tidak melebar pada persoalan-persoalan yang meskipun penting namun tak akan cukup waktu untuk dibahas dalam pelatihan dengan waktu yang sangat terbatas ini. ”Pelatihan seperti ini sangat membantu kami dalam upaya pencerahan menterjemahkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an ke dalam masyarakat sesuai dengan kondisi sekarang. Dari segi pematerinya kami nilai sangat bagus. Narasumber ahli dan narasumber dari Mahkamah Agung sangat membantu kami bagaimana seharusnya seorang hakim memutuskan perkara, ini terus terang sangat membantu kami untuk mempraktikkannya di lapangan.” (Hakim Yuniar A. Hanafiah). Pendokumentasian ini juga mencatat bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan training ini adalah karena rancangan kurikulum dan metodenya dibangun sedemikian rupa mendekati kebutuhan peserta sehingga pelatihan dinilai sangat bermanfaat untuk setidaknya menambah wawasan. “Saya mengambil program S2, saya harus akui sampai beberapa semester belum tentu kami mendapatkan materi selengkap dan sejelas ini. Saya sangat senang dengan cara fasilitator mengatur materi yang mengkombinasikan antara pengalaman kami di lapangan dengan teori-teori. Meskipun teoriteori itu sebetulnya cukup berat tapi kami tetap semangat karena narasumber dan fasilitatornya telah menguasai baik isi maupun teknis penyampaian-
33 pelaksanaan training
nya. Coba saja perhatikan jarang sekali peserta yang lari dari kelas atau jatuh terkantuk-kantuk. Sesekali memang ada (yang terkantuk-kantuk), tapi biasanya karena mereka semalaman ngobrol dengan hakim lain yang lama tidak berjumpa atau melanjutkan diskusi. (Hakim Khurriyah). Metode lain yang dikembangkan dalam proses pembelajaran di Putroe Kandee adalah membangun empati peserta. Cara ini tak hanya digunakan untuk membangun keberpihakan peserta tetapi bahkan digunakan untuk menjelaskan konsep yang abstrak seperti konsep jender. Untuk menunjukkan adanya ketimpangan relasi antara ureung inong (perempuan) berhadapan dengan ureung agam (laki-laki), peserta terlebih dahulu diposisikan sebagai korban dalam isu konflik. Dengan menjelaskan situasi orang Aceh di masa DOM (Daerah Operasi Militer) yang diperhadapkan dengan kekuatan militer, atau Aceh sebagai anak bangsa yang
Gambar 6 Proses training yang diselenggarakan oleh Putroe Kandee, Aceh
34 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
mengalami diskriminasi akibat prasangkaprasangka negatif yang muncul mengiringi konflik, peserta diperkenalkan pada cara kerja stereotype yang secara kolektif mereka pernah rasakan. Melalui cara itu fasilitator menganalogikan penderitaan kolektif mereka dengan penderitaan kaum perempuan akibat adanya prasangka dan stereotype jender. Demikian halnya ketika menjelaskan tentang konsep diskriminasi dan kekerasan yang merupakan konsep paling penting dalam konsep jender dikaitkan dengan kerja hakim. Kedua konsep ini dijelaskan oleh fasilitator dengan menganalogikan cara kerja diskriminasi dan kekerasan berbasis suku, ras dan agama. Dengan teknik analogi serupa itu peserta dimudahkan untuk paham bahwa dalam semua basis-basis diskriminasi itu terdapat satu jenis diskriminasi yang lintas basis, yaitu diskriminasi yang berangkat dari prasangka jender. Dan semua bentuk diskriminasi itu menghasilkan pelanggaran ter-
hadap hak dan martabat manusia, sesuatu yang dengan nyata pernah mereka lihat atau mereka alami di masa konflik. Cara lain yang digunakan adalah mengangkat contoh-contoh kasus yang terkait dengan metodologi pembacaan teks, seperti yang dilakukan K.H Husein Muhammad. Ia menyajikan sejumlah contoh yang hampir sama yaitu bagaimana ulama-ulama klasik melakukan ijtihad dalam bidang hukum (fikih). Dan contoh-contoh yang diambil tak terbatas pada peristiwa di masa lampau di zaman Nabi dan Sahabat tetapi juga di masa lampau para ulama Nusantara. Misalnya, contoh yang diambil dari konsep waris Prof. Hazairin seorang guru besar hukum Islam dari Universitas Indonesia yang telah meletakkan hak anak perempuan dan laki-laki secara seimbang dengan menimbang peran perempuan dalam mengelola atau mengusahakan ekonomi keluarga. Contoh yang kerap digunakan adalah ijtihad yang dilakukan Sayidina Umar yang membatalkan aturan tentang ucapan talak tiga sebagai talak tiga melainkan sebagai talak satu. Keputusan Sayidina Umar ini pada dasarnya berbeda dengan aturan yang telah digariskan Nabi Muhammad SAW yang menetapkan hal yang sebaliknya di mana talak yang diucapkan tiga kali dianggap sah sebagai talak tiga, dan karenanya menghalangi pasangan yang bercerai itu untuk rujuk langsung. Melalui contoh itu peserta diajak untuk memahami latar belakang munculnya sebuah aturan/hukum fikih. Dan titik tekan dari pengambilan contoh-contoh itu adalah untuk memahami maqasid syari’ah atau tujuan hukumnya dan bukan penerapan hasil akhirnya yang terlepas dari konteksnya.
Narasumber dan fasilitator juga mengambil contoh lokal Indonesia, seperti aturan tentang pembacaan perjanjian perkawinan atau talik talaq, pembagian harta bersama (gono gini/ hareuta seharkat) yang tidak dikenali dalam fikih klasik serta upaya-upaya lain dari ulama-ulama Nusantara dalam melakukan kontekstualisasi atau pribumisasi fikih. Hal yang ditekankan dari proses ini adalah bagaimana inovasi di bidang hukum itu dijelaskan dari sisi metodologinya dengan menggunakan prinsip-prinsip kerja teori ilmu ushul fikih untuk membaca ketidakadilan jender atau membangun pandangan yang lebih adil. Peserta umumnya mengapresiasi cara kerja para narasumber dalam mendemonstrasikan bagaimana ilmu ushul fikih (teori hukum Islam) digunakan untuk mengkritisi hadishadis dan ketentuan-ketentuan legalistik yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih yang cenderung dipahami secara bias jender. Narasumber lain dari Aceh seperti Prof. Rusjdi Muhammad dan Dr. Hamid Sarong dari IAIN Ar-Raniry menghadirkan contoh-contoh yang dipraktikkan sebagai hukum adat lokal. Satu hal yang menarik dari contoh-contoh lokal itu adalah bahwa kendatipun hukum adat itu tak senantiasa sejalan dengan hukum fikih, tetapi ulama dan masyarakat telah menerimanya sebagai hukum yang dipraktikkan dan dianggap sebagai sesuatu yang didasarkan pada ajaran agama. Salah satu yang dicontohkan misalnya tentang pemberian hareuta peunulang yaitu hibah harta kepada anak perempuan baik berupa rumah dan pekarangan seperti dalam adat Aceh Besar, termasuk juga di Pidie, atau sawah dan kerbau dalam adat Lamno dan
35 pelaksanaan training
wilayah pesisir Aceh Barat lainnya. Melalui contoh-contoh itu narasumber dan fasilitator mengajak peserta untuk memahami kontekstualisasi hukum. Lalu contohcontoh lokal itu oleh fasilitator dinaikkan ke tingkat metodologi yang lebih abstrak untuk menjelaskan bagaimana reinterpretasi teks dapat dilakukan dengan tujuan kemaslahatan. Pengungkapan contoh-contoh itu dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa hukum pada dasarnya senantiasa berkembang secara dinamis sesuai dengan konteksnya. Analisis jender dihadirkan dalam konteks ini untuk membantu menganlisa bagaimana perubahan hukum itu hendaknya bertujuan untuk kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Dan analisis jender sangat berguna untuk dijadikan parameter dengan mengukur sejauhmana suatu produk hukum membuahkan maslahat. Parameter jender yang digunakan itu adalah bagaimana hukum diputuskan tidak didasarkan pada prasangka dan diskriminasi (stereotype), tidak berakibat memiskinkan
36
Parameter jender yang digunakan itu adalah bagaimana hukum diputuskan ... tidak didasarkan pada anggapan bahwa salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih rendah dihadapan Allah dan di antara sesama manusia (subordinasi). DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
salah satu pihak (marjinalisasi), tidak memunculkan kekerasan baik fisik maupun non-fisik (kekerasan berbasis jender), tidak didasarkan pada anggapan bahwa salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih rendah dihadapan Allah dan di antara sesama manusia (subordinasi). 2. Fasilitator, Narasumber dan Panitia Pendukung Dalam konteks pelatihan yang diselenggarakan Putroe Kandee di Aceh, peran fasilitator dan narasumber adalah sentral. Meskipun ada narasumber, fasilitator senantiasa mendampingi peserta sepanjang pelatihan berlangsung untuk menjaga perkembangan proses belajar. Untuk peran itu, kadangkala fasilitator menempatkan diri dalam posisi peserta dan ikut mengajukan pertanyaan kepada narasumber dengan memformulasikan pertanyaan yang menjadi pokok perdebatan dalam diskusi sebelumnya. Selain fasilitator, peran yang juga penting adalah panitia pendukung. Peran mereka bukan hanya pada pengaturan logistik semata tetapi lebih sebagai co-fasilitator. Dalam pelatihan di Putroe Kandee, peran panitia pendukung ini sepenuhnya dijalankan oleh staf Putroe Kandee dibantu staf dari Mahkamah Syar’iyah provinsi. Dalam pelaksanaannya, panitia pendukung Putroe Kandee berperan sejak perencanaan kegiatan dengan menghubungi kantor Mahkamah Syar`iyah untuk bersama-sama menyeleksi calon peserta. Berbekal surat dari Mahkamah Syar`iyah peserta kemudian dihubungi. Pengelompokan peserta umumnya didasarkan pada klaster geografi. Dari 23 kabupaten/kota itu, Putroe Kandee membaginya ke dalam 4 klaster. Agar tak mengganggu aktivitas pelayanan publik, kegiatan pelati-
Gambar 7 Lies Marcoes ketika jadi narasumber dalam in-house training di Aceh
han dilakukan di ujung akhir pekan dan dari tiap satu kantor Mahkamah Syar’iyah paling banyak diikuti oleh 4 peserta. Karenanya, selama 2 tahun kegiatan hampir 90% dari seluruh hakim di Privinsi NAD telah mengikuti kegiatan ini. Pada hari-hari kegiatan berlangsung peran co-fasilitator bertambah. Sebelum kegiatan harian dimulai, mereka menyiapkan format ruangan yang disesuaikan dengan kebutuhan pada hari itu, penyediaan fotokopi referensi yang akan dibagikan, pengecekan peralatan audio visual, sound system, LCD, pendokumentasian rekaman proses dan sejenisnya. Setiap harinya mereka hadir satu jam lebih awal dan pulang paling akhir dan menjadi time keeper. Kesuksesan fasilitator dalam memfasilitasi kegiatan di Putroe Kandee praktis sangat bergantung kepada peran tenaga pendukung ini. Putroe Kandee nampaknya berusaha menggunakan fasilitator dan narasumber yang sama untuk semua pelatihan mereka. Di luar
itu mereka juga mengundang narasumber tamu untuk mengisi acara dalam jam-jam tertentu sesuai perkembangan proses belajar. Para hakim Aceh menilai bahwa narasumber dianggap sudah memadai pada aspek kapasitas dan kapabilitias. Bahkan narasumber dan fasilitator utama masih sangat berkesan bagi para hakim seperti KH. Husein Muhammad dan Dr. Moqsith Ghazali. ”Kami terus terang mengakui bahwa pemateri yang sudah dipilih oleh Putroe Kandee ini sangat memuaskan. Tapi yang paling banyak dibicarakan adalah materi yang disampaikan oleh Dr. Moqsith dan KH Husein.” (Hakim Amri). Namun respon berbeda mengemuka untuk beberapa narasumber tamu yang didatangkan dari luar Aceh. Dalam training pertama yang diselenggarakan Putroe Kandee misalnya, narasumber tamu dari sebuah LSM perempuan dinilai sangat mengecewakan. Seorang peserta menyatakan kekesalannya:
37 pelaksanaan training
“Kami ini Bapak-bapak yang sudah makan asam garam rumah tangga. Menasihati perkawinan itu hal yang biasa, membujuk agar orang tak bercerai juga makanan kami sehari hari.Kok ini kami diajari anak muda tentang bagaimana seharusnya kami (bertingkah laku) kepada perempuan kepada isteri,macam kami ini tak tahu adat diajar-ajari begitu” (Hakim A. Jalil, Idi). Narasumber lain dari Jakarta juga mendapat tanggapan yang kurang lebih sama dalam training lain dan membuat suasana training sempat dibuat keruh. Pasalnya, materi yang disajikan melampaui apa yang diminta Putroe Kandee terkait dengan hukum yang berperspektif perempuan. Narasumber ini membahas soal kawin beda agama, Undangundang Kesehatan yang membahas tentang aborsi dan Rancangan Undang-undang Pornografi yang ketika itu sedang hangat dibahas. Semula, Putroe Kandee berharap narasumber dapat menjelaskan hukum yang berperspektif perempuan dan implikasinya kepada perempuan. Namun contoh-contoh yang diangkat narasumber dianggap tak relevan untuk konteks Aceh. Dalam pelatihan yang lain Putroe Kandee mengundang narasumber yang lebih senior seperti Nursyahbani Katjasungkana. Meskipun narasumber ini berasal dari luar Aceh, kehadirannya tak memunculkan penolakan berarti. Belajar dari pengalaman itu, pelatihan-pelatihan Putroe Kandee berikutnya berusaha lebih selektif dalam memilih narasumber. Di luar narasumber dari Mahkamah Agung, Putroe Kandee lebih banyak mengundang narasumber lokal, seperti Syarifah Rahmatillah dari MiSPI. Kehadirannya sangat
38 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
diterima oleh para peserta meskipun tema yang disampaikan tetap sama yaitu bias jender dalam hukum. Dengan mengambil contoh proses legislasi berbagai Qanun, Direktur MiSPI yang memiliki pengalaman luas dalam isu perempuan di Aceh ini berhasil menjelaskan di mana letak bias gender dari proses itu, sehingga menarik perhatian peserta karena penggunaan istilah-istilah lokal dan contohcontoh yang mudah dipahami peserta. Dalam konteks narasumber ini para peserta dari Aceh juga mengajukan usulan yang cukup penting. Menurut mereka, Putroe Kandee dianggap kurang memberi perhatian kepada kelompok dan cara pandang ulama dayah. Beberapa hakim mengaku telah menyarankan agar para ulama dayah ikut dihadirkan. Dengan cara itu, diharapkan akan terjadi dialog atau saling mendengarkan cara pandang yang berbeda dalam melihat teks yang sama khususnya dalam kaitannya dengan fikih tentang relasi suami dan isteri. ”Maunya tafsiran fikih yang diberikan Kyai Husein digandeng dengan fikih klasik yang dipahami oleh para Teungku dan Abu-Abu kita di dayah. Itu selalu saya sarankan kepada Putroe Kandee tapi belum terlaksana juga rupanya. Karena kalau tidak, kita tidak akan pernah ketemu. Sementara Kyai Husein meroket sampai ke bulan, kami tetap di sini, kami tak mau jatuh. Maunya saya, mereka itu digandeng, ayo sama-sama. Kemudian materi fikih perempuan; dulu-dulunya kan fikih perempuan ini tidak dibedakan, tidak ada garis pemisahnya. Fikih ya fikih. Datang pelatihan ini kami lihat sekarang, rupanya begitu dalil-dalil fikih yang adil jender itu. Nah menurut
saya semua pandangan fikih yang menyangkut keperempuanan itu harusnya menjadi satu”. (Hakim Rafiuddin). Para hakim di Aceh menilai bahwa para fasilitator umumnya dianggap berhasil memadukan perspektif baru seperti kesadaran jender, hak-hak perempuan, isu kekerasan dengan perspektif lama sebagaimana termuat dalam pandangan teologis berbasis fikih. Perpaduan antara perspektif jender dengan fikih mampu menggugah cara pandang mereka terhadap produk fikih yang semula diyakini sebagai sesuatu yang baku dan harga mati. Melalui penyajian faktafakta yang menunjukkan terjadinya perubahan relasi jender yang berimplikasi pada munculnya sejumlah masalah kepada kaum perempuan, para peserta diajak untuk menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih atau penafsiran teks dengan cara pembacaan baru sehingga mampu digunakan untuk melihat ketimpangan itu dan sekaligus mencari solusinya. Kepiawaian para fasilitator dan narasumber juga ditunjang oleh sensitivitas mereka dalam menggunakan istilah yang mudah dipahami, contoh-contoh lokal, dan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam khazanah klasik serta penggunaan bahasa yang tidak provokatif. Ini bukan berarti tak terjadi perdebatan yang hangat antara fasilitator atau narasumber dengan peserta. Dalam beberapa kali pertemuan di Aceh, Kyai Husein mengaku sering dibuat gemas karena tak merasa cukup puas untuk menjelaskan pandangan dan metodologinya. Sebaliknya, pihak peserta merasa bahwa narasumber terkesan memaksakan pendapat dan memilih hadits atau argumen yang menunjukan keberpihakannya kepada perempuan tanpa memperhatikan pendapat
Perpaduan antara perspektif jender dengan fikih mampu menggugah cara pandang mereka terhadap produk fikih yang semula diyakini sebagai sesuatu yang baku dan harga mati. umum yang berlaku di masyarakat. Karenanya, pandangan-pandangan Kyai Husein atau Moqsith dianggap mengejutkan dan di luar kelaziman cara berpikir awam. Mereka juga menganggap Kyai Husein sering tidak cukup sabar untuk menjelaskan konsepnya atau tak kunjung menjelaskan apa yang hendak disampaikan dengan penyajian sejumlah contoh bias jender dalam teks. Atas pengalaman itu, dalam pelatihan berikutnya Kyai Husein berusaha lebih sistematis dalam penyampaian presentasinya. Sebagaimana dikemukakan beberapa peserta, Kyai Husein tampaknya telah mengubah alur presentasinya dengan terlebih dahulu mengkontraskan pandangan yang merendahkan perempuan dengan pandangan yang memberi keutamaan pada perempuan di mana kedua-duanya termaktub dalam teks klasik. Setelah tampak kontradiksinya, Kyai Husein kemudian memasukkan tawaran pandangan dan cara pembacaan baru atas teks-teks yang dianggap bermasalah dari sisi keadilan jendernya. Tawaran itu bisa berupa kritik bahasa, kritik atas kualitas teks, perbandingan teks dengan teks lain yang lebih tinggi kualitasnya, dan lain-lain. Metodologi lain yang juga dipakai untuk menawarkan cara baca yang digunakan oleh Kyai Husein di Aceh adalah menggunakan
39 pelaksanaan training
Di Aceh dampak yang paling nyata adalah tumbuhnya keinginan untuk membuat buku panduan hakim yang berisi parameter-parameter yang terukur tentang sensitivitas jender hakim di ruang pengadilan. kaidah ushul fikih seperti nasikh mansukh (satu ayat menyempurnakan ayat yang lain). Bersamaan dengan itu, dikemukakan prinsip-prinsip dasar tentang kesetaraan relasi antar manusia, antar jender yang merupakan prinsip universal dan abadi (qath’i) seperti mu’asyarah bil ma’ruf (saling berinteraksi dalam kebaikan), musawah (setara) dan ‘adalah (adil) . Beberapa peserta mengaku sempat dibuat terkaget-kaget atas pemaparan pandanganpandangan narasumber seperti yang diakui peserta dari Aceh. Resistensi terhadap Kyai Husein dan atau Moqsith pada mulanya tak jarang terjadi. Meski tak secara langsung dianggap radikal, beberapa peserta secara diam-diam mengaku melakukan pengecekan tingkat akurasi referensi yang dikutip oleh narasumber. Di sini terlihat bahwa sikap kehati-hatian peserta disalurkan dengan cara yang sangat dewasa dan positif, sehingga proses dialog pemikiran berlangsung dengan sehat dan didasarkan pada trust.
40
Penguasaan narasumber dan fasilitator pada isu fikih dan ushul fikih serta ilmu alat seperti bahasa Arab dan referensi kitab klasik yang
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
relevan menurut peserta dari Aceh sangat membantu untuk memahami jender dari referensi klasik yang mereka kenal. Sebagian peserta Aceh adalah juga ulama dayah (pesantren) yang lahir dan tumbuh besar di dayah. Penguasaan mereka akan teks klasik menurut Moqsith sangat mengagumkan dibandingkan dengan yang ia jumpai di luar Aceh. Di Aceh dampak yang paling nyata adalah tumbuhnya keinginan untuk membuat buku panduan hakim yang berisi parameter-parameter yang terukur tentang sensitivitas jender hakim di ruang pengadilan. Di luar itu mereka aktif melakukan sosialisasi tentang hukum yang berperspektif jender dan melakukan penerangan hukum di kampungkampung. Kegiatan ini dilakukan dalam kerangka kerjasama dengan LSM lokal terutama untuk isu-isu yang sangat relevan. Di antara LSM yang saat ini telah bekerjasama dengan mereka adalah MiSPI, LBH APIK Lhokseumawe dan PPSW. 3. Dampak dan Keberlanjutan Program Tak diragukan pelatihan yang diterima hakim baik di Aceh maupun Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan membawa dampak kepada peserta. Dampak itu antara lain munculnya diskusi dan perbincangan setiap kali pelatihan selesai digelar. Secara umum peserta yang terlibat dalam kegiatan training yang diselenggarakan Putroe Kandee menyatakan penghargaannya terhadap narasumber yang dihadirkan. Training ini mereka nilai telah memberikan pengayaan pengetahuan sekaligus mendorong perilaku para hakim (peserta) untuk bersikap dan bertindak atas dasar keadilan yang kontekstual dan sensitif.
“Setelah mengikuti serangkaian kegiatan yang diselenggarakan Putroe Kandee, saya melakukan pemantauan langsung keadaan di daerah. Saya pasang mata dan kuping di mana-mana untuk mendengar apa respon daerah. Bagaimanapun ini menyangkut isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu saya melakukan pemantauan. Memang nampak ada beda yang nyata sekarang. ... Dulu, perkara gugat cerai itu di mana pihak istri yang menggugat dipastikan tak mendapatkan apa-apa. Sekarang hakim-hakim yang telah ikut training itu mencoba melakukan penyelidikan mendalam dulu sebelum menjatuhkan hukuman. Padahal selama ini, mereka tak pikir panjang lagi, si istri yang menggugat langsung kena hukuman pinalti, tidak mendapatkan harta apa-apa; bahkan hak atas peng-asuhan anak pun bisa diberikan pada bapaknya. Sekarang hakim lebih peka.. Saya senang dengan ini semua”. (Soufyan Saleh, mantan Ketua Mahkamah Syariyah NAD dan kini Ketua Pengadilan Tinggi Agama-Banten).
banyak oleh kawan-kawan di daerah.” (Hakim Amri). Kegairahan sebagian hakim untuk memperoleh pengetahuan tentang isu-isu seputar perempuan dan hukum Islam, dan untuk berbagi ilmu di antara teman sekerja dan seprofesi tampaknya merupakan salah satu dampak dari pelatihan ini. Hakim Amri menceritakan pengalamannya betapa ia tak jarang menggandakan bahan-bahan materi yang diperolehnya dari pelatihan itu untuk didiskusikan bersama rekan-rekannya di Mahkamah Syar’iyah Langsa. Lebih dari itu, untuk memperkaya wawasan pengetahuan seputar hukum Islam dan persoalan relasi jender, ada di antara hakim peserta training yang berusaha sendiri mencari dan membeli bahan-bahan bacaan terkait. Salah satu buku yang menarik perhatian peserta adalah karya Husein Muhammad yang berjudul Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, yang diterbitkan pertama kali pada 2001 oleh Rahima bekerjasama dengan LKiS dan Ford Foundation.
B. PELAKSANAAN TRAINING PSW UIN YOGYAKARTA
Seorang hakim dari Langsa menuturkan; ”Pelatihan yang dilaksanakan oleh Putroe Kandee ini rasanya telah membuka wawasan, memberi inspirasi kepada saya dan hakim-hakim di Langsa. Hampir selalu setiap ada yang mengikuti pelatihan, besoknya atau lusanya sudah didiskusikan bersama hakim-hakim lainnya meskipun sudah sama-sama mengikuti. Biasanya kawan-kawan meminta apa buku yang dikasih, makalah yang dibagikan, dan biasanya diper-
1. Materi dan Metodologi Pembelajaran PSW Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, PSW merancang program ini sebagai upaya untuk membangun dan mengubah perspektif para hakim, dan dengan cara itu diharapkan mereka lebih sensitif pada persoalan yang dihadapi perempuan sejak dari lingkup pribadi, keluarga, komunitas sampai negara. Untuk tujuan itu, PSW menawarkan cara pandang baru tentang bagaimana seharusnya pola ideal relasi lelaki dan perem-
pelaksanaan training
41
puan itu diaktualisasikan dalam tingkatan yang berbeda-beda. Sebagaimana disampaikan Dr. Ema Marhumah M.Pd., ketua PSW UIN Yogyakarta, PSW berpendapat bahwa melalui pemberian perspektif jender kepada para hakim, diharapkan keputusan legal para hakim akan lebih sensitif dan melalui itu hakim akan terus memberdayakan perempuan. Dengan demikian, kurikulum cenderung lebih generik menyangkut konsep-konsep dasar jender, tetapi itu tidak berarti bahwa kurikulum tidak fleksibel. Ketika isu lokal muncul dalam diskusi, para fasilitator berusaha membahasnya secara kontekstual. Muatan kurikulum PSW meliputi dasar-dasar konsep jender, pengarusutamaan jender, isu HAM dan Hak Asasi Perempuan, KDRT, hakhak reproduksi perempuan dan hak anak, aspek-aspek hak dan kewajiban dalam keluarga, prinsip-prinsip Islam tentang keluarga, dan tantangan keluarga Muslim kontemporer. Di luar itu, PSW menawarkan konsep
PSW menawarkan konsep Islam yang ramah terhadap perempuan dengan memperkenalkan metode penafsiran yang lebih progresif serta dasar-dasar teori ushul fikih yang dapat digunakan untuk memahami perempuan.
42 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Islam yang ramah terhadap perempuan dengan memperkenalkan metode penafsiran yang lebih progresif serta dasar-dasar teori ushul fikih yang dapat digunakan untuk memahami perempuan. Selain itu, PSW juga melengkapi kurikulumnya dengan melakukan kunjungan ke PPA Poltabes atau Polres setempat atau mengunjungi LSM yang peduli dengan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. PSW sangat menyadari bahwa dalam cakupan waktu yang sangat terbatas tak memungkinkan semua isu terbahas secara sempurna dan oleh karena itu mereka melakukan kegiatan lanjutan dengan format FGD yang diikuti para alumni pelatihan beberapa bulan setelah training berlangsung. Dalam pelaksanaannya, PSW mengolah kurikulum itu dengan alur pelatihan yang sangat dinamik. Agar pelatihan tak menjemukan, kegiatan belajar diatur dengan mengkombinasikan antara model ceramah dan diskusi. Dalam waktu-waktu tertentu dilakukan permainan atau game untuk penyegaran yang menunjang proses belajar berjalan secara kondusif. Untuk memposisikan semua peserta setara dan sekaligus menciptakan suasana belajar yang kondusif demi terjadinya dialog, peserta PSW dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Tiap kelompok itu duduk melingkar dalam satu meja yang memudahkan mereka untuk bergerak atau beraktivitas. Peserta lelaki dan perempuan tidak diperlakukan secara berbeda dan mereka bebas untuk menempati tempat duduk yang mereka anggap nyaman. Selain itu, seperti halnya PK, PSW juga mengedepankan pendekatan active learning dan menjadikan training PSW juga sangat dihargai.
Narasumber untuk isu Islam dan jender, Prof. Dr. Hamim Ilyas membedah isu jender dengan teori ushul fikih, bahasa dan tafsir alQur’an. Contoh-contoh bagaimana perempuan diposisikan dalam Islam pada masa Nabi dihadirkan untuk menjelaskan prinsipprinsip dasar Islam dalam meletakkan posisi perempuan baik dalam keluarga, masyarakat dan negara. Melalui contoh-contoh itu, peserta dikenalkan pada berbagai metodologi untuk pembacaan ulang atas teks-teks keagamaan yang tatkala bicara dalam konteks kekinian menjadi bias jender. Selain rancangan kurikulum dan metode penjelasannya yang tidak satu arah, PSW berusaha membangun empati peserta sebagai bagian dari strategi pengelolaan kelas. Tak sedikit peserta yang tergugah atas fakta kekerasan yang dialami perempuan setelah mereka bertemu langsung dengan korban atau melihat cara kerja lembaga-lembaga yang menangani korban kekerasan seperti rumah sakit atau WCC sebagaimana dilakukan PSW. Untuk menjelaskan tentang fungsi reproduksi misalnya, narasumber yang dihadirkan PSW menggunakan alat peraga berupa gambar alat reproduksi yang dikenakan menyerupai pemakaian celemek. Cara ini diakui peserta sangat menggugah pandangan mereka. Seorang peserta dari Sulawesi Selatan mengemukakan pendapatnya: “Meskipun saya telah berkeluarga selama 30 tahun baru kali ini saya tahu alat dan fungsi reproduksi perempuan, saya sangat berterima kasih kepada narasumber yang telah mencerahkan saya. Saya harus semakin menghargai kaum perempuan”. (Muhajir, Kepala KUA).
Pendokumentasian ini mencatat bahwa peserta terlihat masih bersikap ambivalen terhadap isu jender dan kesetaraan yang hendak diusung. Di satu pihak mereka mengakui adanya ketimpangan jender dalam masyarakat dan karenanya sangat mengapre-siasi usaha PSW dalam menjelaskan isu ini, tapi di lain pihak mereka menganggap bahwa di wilayah mereka (terutama Minang) perempuan tak menghadapi masalah tersebut dengan alasan karena secara kultural kaum perempuan telah diberi tempat dan posisi yang tinggi seperti dalam sistem kekerabatan matrilinial itu. Dalam situasi ini, PSW telah berusaha menjelaskan bahwa meskipun kaum perempuan terlindungi secara kultural, namun pada kenyatannya kaum perempuan sedang berhadapan dengan perubahan besar di mana posisi mereka semakin termarjinalkan dalam sistem kekerabatan matrilinial ini baik karena masuknya modernisasi pertanian, pembangunan hukum dan ekonomi yang bertumpu pada cara pandang patriarkal, maupun akibat perubahan-perubahan hukum positif yang tak mengakomodasi keutamaan mereka secara adat.
Gambar 8 Budi Wahyuni sedang menjelaskan alat reproduksi dalam workshop yang diselenggarakan oleh PSW UIN Yogyakarta
pelaksanaan training
43
Gambar 9 Salah satu aktivitas dalam Workshop “Hak-hak dalam Keluarga” di Padang
2. Fasilitator, Narasumber, dan Panitia Pendukung
tik tetapi juga sebagai co-fasilitator.
Karena PSW mengelola sendiri kegiatan ini, maka dalam pelaksanaannya PSW tak tergantung kepada fasilitator atau narasumber dari luar. Tentu saja dalam pelatihan yang dikelola PSW, peran fasilitator dan narasumber adalah sentral. Pada pelatihan PSW fasilitator kadangkala juga berfungsi sebagai narasumber. Karenanya, secara bersamaan fasilitator dan narasumber inti senantiasa mendampingi peserta sepanjang pelatihan berlangsung.
Apresiasi peserta di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan terhadap narasumber yang menyampaikan materi dalam kegiatan training sensitivitas jender yang diselenggarakan PSW UIN Yogyakarta sangat baik sebagaimana terungkap dalam pernyataan peserta berikut ini:
Peran yang juga penting dalam suksesnya kegiatan training PSW adalah para pimpinan Pengadilan Agama setempat dan dukungan dari Direktur Jendedral Badilag Drs. Wahyu Widyana M.A. Mereka bertindak sebagai narasumber baik lokal maupun pusat yang sekaligus pemberi legitimasi kegiatan. Demikian halnya PSW IAIN/STAIN lokal yang berperan sebagai penyelenggara. Peran mereka bukan saja untuk pengaturan logis-
44 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
”Menurut saya narasumber sanggup dan mempunyai kapasitas untuk jurusan seperti itu. Antara lain memberikan modul, memberikan bantuan dana, kunjungan juga sosialisasi, dan itu memberikan pengaruh kepada peserta dan itu terasa efektif dengan adanya evaluasi-evaluasi yang telah dilakukan. Cuma masalahnya adalah tingkat kebawah itu yang belum tersentuh begitu. Perlu dicari formulasinya bagaimana gagasan ini sampai kebawah itu yang perlu ditindaklanjuti...”. (Hakim Nahiruddin).
Para narasumber yang dianggap kapabel dan sangat menguasai bidangnya adalah Prof. Dr. Hamim Ilyas dan Prof. Amin Abdullah soal kerangka teologis dan filosofis bagaimana seharusnya Islam dipahami. Kepala KUA, Muhajir, mengatakan: ”menurut pendapat saya penyampaian narasumber sudah cukup kena, selain itu metode ceramah itu sudah kena”. Hakim Basir menambahkan, ”saya kira dari konteks tersebut [penguasaan materi] kepada beliau kita angkat jempol, teman-teman merasa bahwa beliau-beliau itu memang menguasai bidangnya utamanya dalam mempersentasikan materi...”. Begitu besarnya apresiasi banyak peserta terhadap narasumber, terutama Prof. Hamim Ilyas, mereka meminta agar panitia memberi tambahan waktu untuk diskusi dan tanya jawab. Di Sulawesi Selatan, kehadiran narasumber tingkat nasional tetapi mempunyai pertalian dengan daerah setempat juga sangat diapresiasi seperti Prof. Dr. Musdah Mulia atau Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang keduanya memang berasal dari Sulawesi Selatan. Sebagaimana di Aceh, perdebatan alot dengan narasumber juga berlangsung dalam pelatihan yang diselenggarakan PSW di Padang dan Makassar. Dari evaluasi internal, PSW melihat sangatlah penting peserta terlebih dahulu mendapatkan pemahaman tentang problem-problem yang dihadapi perempuan yang terkait dengan peran jendernya. Karenanya, pada pelatihan berikutnya PSW tak lagi menempatkan narasumber yang menjelaskan kerangka teoritis pada sesi awal melainkan di bagian akhir dengan maksud untuk membingkai konsep Islam yang lebih ramah terhadap perempuan.
Dalam kaitannya dengan penjelasan soal konsep jender di Sumatera Barat, terdapat perbedaan pandangan di antara peserta sebagaimana terungkap dari FGD yang dilakukan oleh PUSKUMHAM. Sebagian peserta menyatakan sudah mendapatkan penjelasan tentang konsep jender, dan, karenanya memahami jender adalah konstruksi sosial yang diciptakan manusia. Sebagian yang lain me-nganggap bahwa penjelasan tentang konsep dasar jender serupa itu telah mengabaikan satu wilayah keyakinan yang mereka anggap tidak mungkin berubah. Karenanya, kelompok kedua ini menyimpulkan bahwa isu jender yang dibawa oleh PSW UIN Yogyakarta itu merupakan konsep Barat yang merela-tifkan semua hal termasuk peran sosial lelaki dan perempuan yang pada dasarnya telah ditentukan oleh agama sebagai ketentuan yang tak dapat berubah. Pembelajaran yang dicatat dalam pendokumentasian ini adalah bahwa isu jender bukanlah isu yang cukup mudah untuk dijelaskan, terutama karena di dalamnya terkait dengan wilayah agama sebagai salah satu elemen yang mengkonstruksikannya. Pembahasan isu agama karenanya sangat fundamental untuk dibedah mengiringi pembahasan isu jender itu. Dan wilayah yang seharusnya diurai dengan sangat terbuka adalah wilayah kerja fikih. Sejalan dengan situasi itu, beberapa hakim Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan menilai bahwa kompetensi sebagian narasumber lebih terarah kepada isu jender yang tampak bersikeras demi penyeimbangan hak-hak lelaki dan perempuan. Sebagian narasumber oleh beberapa peserta dianggap hanya bertahan dalam kerangka pemikiran modern dan tak mau masuk ke dalam bahasan fikih kla-
45 pelaksanaan training
sik. Padahal menurut mereka isu-isu yang dibicarakan terkait dengan fikih. Dalam pandangan mereka, wacana substantif jender kontemporer terlihat berseberangan dengan isu substantif jender dari fikih klasik. ”... dari segi materi kami nilai sudah sangat bagus. Cuma antara materi dengan kemampuan peserta dengan pengantar menjadi persoalan. PSW ini pada visi dan misi menerapkan kesetaraan jender berdasarkan isu HAM internasional berdasarkan isu modern. Kalau hanya standar pendidikan S1 atau S2 tanpa ilmu hadis dan segala macamnya maka akan terjadi benturan. Sebab kajian klasik yang lama-lama itu tak sejalan dengan HAM internasional yang ingin diterapkan sesuai menurut visi dan misi PSW. Ini jelas akan menimbulkan benturan yang sa-ngat keras sebab kajian klasik itu sangat lama dan kuat dianut masyarakat. (Hakim Pelmizar). Dalam memperkuat penilaiannya itu, peserta tersebut mengajukan contoh salah seorang narasumber yang mengungkapkan pandangannya tentang hak perempuan menjadi wali dalam perkawinan. Pandangan itu dianggap tidak bijaksana bahkan narasumber dianggap tak paham latar belakang hikmah dari penunjukkan lelaki sebagai wali. Peserta menganggap pandangan itu bertujuan hendak mengubah tatanan hukum yang sudah baku. Dan atas dasar itu, narasumber dianggap kurang memiliki kearifan, padahal menurutnya kearifan itu sering menjadi pertimbangan para hakim dan tokoh masyarakat dalam menyelesaikan perkara. Para hakim di Sumatera Barat menilai bahwa
46 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
substansi materi isu jender yang disampaikan sangat maju dalam upayanya memberikan nuansa perubahan pemikiran. Namun mereka menganggap materi yang diberikan itu kurang memberi ruang atas fikih klasik atau pemahaman tradisional ulama. Kenyataan tersebut, dalam catatan pendokumentasian ini cenderung membuka ruang ‘kepanikan’ kepada para hakim. Untuk itu, mereka memandang bahwa perlu disusun muatan kurikulum yang lebih mengakomodir ‘tahapan’ (gradually strengthening) pada setiap pemahaman muatan substantif dari sensitivitas jender. Di sini terlihat peserta nampaknya membutuhkan rasa aman tentang mengapa perubahan itu penting dan mendasar dalam konteks keadilan dalam Islam dan sejauhmana proses belajar ini akan berimplikasi kepada implementasinya kelak dalam keseharian mereka sebagai hakim, sesuatu yang tak cukup terjelaskan dalam training ini. Sebagaimana terjadi di Aceh, para peserta di Sumatera Barat juga mengeluhkan soal kesulitan mereka dalam melakukan pengejawantahan materi menjadi sesuatu yang aplikatif-rekonstruktif. Mereka merasa tidak mendapatkan panduan bagaimana sensitivitas jender dapat diaplikasikan ke dalam putusan-putusan Peradilan Agama, khususnya jika dikaitkan dengan hukum materiel seperti KHI dan Undang-undang Perkawinan ataupun adat istiadat (budaya lokal). Keluhan ini dapat dipahami sebab baik kurikulum yang dibangun PSW UIN Yogyakarta maupun Putroe Kandee memang tidak memasukkan keterampilan dalam mengaplikasikan sensitivitas itu ke dalam materi hukum atau prosedur peradilan yang telah baku.
3. Dampak dan Keberlanjutan Program Training yang diselenggarakan PSW sebagaimana terekam di atas telah menggugah peserta untuk memikirkan ulang fakta-fakta ketimpangan jender yang terjadi dalam masyarakat. Beberapa dari mereka mengaku lebih semangat untuk melakukan analisa terhadap isu-isu hukum yang mereka hadapi. Di Sulawesi Selatan dampak dari pelatihan ini adalah tumbuhnya semangat untuk membagi pengalaman ini kepada semua hakim yang belum mendapatkan kesempatan mengikutinya. Atas insiatif para alumni pelatihan PSW di Sulawesi, mereka mengumpulkan dana stimulan (masing-masing lembaga terima Rp. 2,5 juta) dari PSW untuk kegiatan sejenis yang diperuntukkan bagi hakim-hakim yang belum mengikuti training ini. Selain itu, peserta training dari Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan lebih terdorong untuk meningkatkan pengetahuan tentang isu-isu seputar perempuan dan hukum Islam. Hakim Abdul Hakim, misalnya, mengakui bahwa setelah pelatihan itu ia selalu termotivasi untuk menggali literatur-literatur terkait dengan masalah-masalah hukum yang selalu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ia khawatir bahwa sebagai hakim ia telah ketinggalan banyak perkembangan hukum di Indonesia. Seperti halnya usaha yang dilakukan oleh beberapa hakim di Aceh, hakim dari Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan juga melakukan beberapa upaya untuk memperkaya wawasan pengetahuan seputar hukum Islam dan persoalan relasi jender melalui referensi. Ada di antara hakim peserta training yang berusaha sendiri mencari dan membeli bahan bacaan terkait. Beberapa literatur yang diperoleh dari training PSW dijadikan
bahan bacaan untuk memperkaya wawasan pengetahuan hukum mereka. Dalam poin ini, mereka menyayangkan bahwa jurnal yang diterbitkan PSW, Musawa, tidak didistribusikan kepada mereka dengan lancar. Padahal mereka sangat berharap bahwa mereka bisa memperoleh tambahan wawasan dari jurnal tersebut.
Gambar 10 Salah satu aktivitas dalam Workshop “Hak-hak dalam Keluarga” di Makassar
B. KESAN DAN REFLEKSI Dari uraian di atas, tercatat sejumlah isu yang dapat dijadikan refleksi tentang pelaksanaan kegiatan training untuk peningkatan kesadaran para penegak hukum. Beberapa catatan pembelajaran itu adalah: 1. Untuk menumbuhkan pemahaman tentang jender dibutuhkan waktu, tenaga, pelaksanaan training
47
sekali peserta mampu menyerap seluruh konsep jender dengan utuh hanya dari satu kali penyelenggaraan kegiatan training dengan waktu terbatas 4-5 hari. Oleh karena itu, baik PSW maupun Putroe Kandee merancang program pelatihan ini minimal untuk 2 kali pertemuan yaitu 1 kali training dan 1 kali pendalaman atau diskusi tematik. Untuk kasus Aceh, kegiatan itu dilakukan selama 2 tahun dan diselenggarakan secara bertahap dan bertingkat-tingkat sehingga seorang peserta mengikuti kegiatan antara 2 sampai 6 kali pertemuan.
Gambar 11 Diskusi metodologi pembacaan teks yang sensitif jender dengan K Husein Muhammad
dan usaha yang tidak kecil. Juga dibutuhkan cara dan strategi yang beragam. Menggabungkan berbagai pendekatan yang tidak seragam harus selalu dilakukan. Dua lembaga ini mendemonstrasikan cara-cara yang telah mereka tempuh dengan kelebihannya masing-masing. Apalagi untuk mengubah dari tahapan wacana/pemahaman ke sikap dan prilaku yang lebih operasional, seperti di dunia pengadilan, membutuhkan strategi yang berbeda lagi. Namun satu hal yang secara signifikan berpengaruh pada keberhasilan kegiatan ini adalah curahan waktu dan intensitas perjumpaan pemikiran antara peserta dan fasilitator/narasumber. Dalam training pendalaman yang diselenggarakan Putroe Kandee akhir Maret 2009, peserta umumnya baru dapat memahami konsep jender secara lebih jelas setelah mereka mengikuti kegiatan secara berulang-ulang minimal dua kali pertemuan. Pada kenyataannya, jarang
48 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
2. Meskipun isu jender merupakan isu yang sangat penting dan analisisnya mampu menyempurnakan alat analisis sosial yang dapat digunakan untuk meneropong praktik ketidakadilan di ruang pengadilan, namun upaya untuk meningkatkan wacana, pemahaman dan kesadaran peserta tentang sensitivitas jender itu tak terlalu mudah. Karenanya dibutuhkan kurikulum dan pendekatan yang secara matang diperhitungkan agar tak memunculkan resistensi atau penolakan yang tidak perlu. Kedua lembaga ini mendemonstrasikan keragaman isi kurikulum, pendekatan dan proses pembelajaran yang mereka bangun untuk tujuan tersebut. Perbedaan konten kurikulum antara Putroe Kandee dan PSW pada umumnya disebabkan oleh perbedaan identifikasi persoalan yang dilihat oleh kedua lembaga itu di masing-masing daerah. Putroe Kandee berangkat dari persoalan hukum dan implikasinya terhadap perempuan pasca tsunami dan konflik, sementara PSW berangkat dari persoalan ketimpangan jender di masyarakat sebagaimana teridentifikasi baik di Sumatera Barat
maupun Sulawesi Selatan. 3. Isu jender adalah isu yang mudah dihinggapi kecurigaan dan membuahkan resistensi. Untuk mengelola hal itu, kedua lembaga tersebut melakukan berbagai cara dan pendekatan yang sedapat mungkin menghindari resistensi itu. Namun begitu, bukan berarti mereka menghindari pembahasan yang secara substantif sulit, seperti membahas isu agama sebagai salah satu unsur yang mengkonstruksikan peran jender. Untuk itu, kedua lembaga ini menghadirkan narasumber yang sangat handal dalam bidangnya dan mengelola kelas dengan metode pembelajaran yang aktif-interaktif dengan memanfaatkan semaksimal mungkin beragam media dan alat bantu belajar. 4. Salah satu strategi penting yang dilakukan kedua lembaga itu adalah membangun kepercayaan peserta. Secara teknis upaya itu dilakukan dengan menjelaskan visi, misi lembaga dan tujuan program, mengundang pihak pemberi dana untuk menjelaskan visi dan misi pihak lembaga dana, menyamakan persepsi tentang tujuan program antara peserta dan penyelenggara, mengundang narasumber yang handal dan menguasai isu, mengelola program secara partisipatif, dan membangun komunikasi yang terus menerus baik ketika training berlangsung maupun setelah kegiatan kelas berakhir. Komunikasi itu dilakukan baik secara formal, seperti melakukan pengiriman newsletter, sampai cara-cara yang sangat informal seperti saling mengirim SMS (short message services) antara fasilitator dengan peserta/alumni. Semakin sering kegiatan dilakukan di suatu tempat, dan semakin informal relasi yang dibangun antara
lembaga dengan peserta, maka semakin besar kemungkinan terbangunnya kepercayaan dari pihak peserta kepada pihak penyelenggara dan semakin mudah untuk mendialogkan isu-isu yang selama ini dianggap sulit. 5. Letak geografis dan asal penyelenggara berpengaruh cukup signifikan kepada keberhasilan program. Putroe Kandee diuntungkan oleh pilihan wilayah yang relatif homogen, dan yang secara kebudayaan sangat dikenali oleh Putroe Kandee. Bagaimanapun ini memudahkan Putroe Kandee untuk masuk dan mendekati peserta dan ini dapat mengurangi sejak awal resistensi yang tidak perlu. PSW sebaliknya bekerja di banyak wilayah, termasuk dua diantaranya di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Sebagai ”orang luar”, mau tidak mau PSW harus bekerja lebih keras untuk membangun kepercayaan peserta. Oleh karenanya, kerjasama dengan instansi setempat atau lembaga lokal yang dipercaya oleh peserta training sangat diutamakan. PSW selalu memulai kegiatannya setelah mendapatkan restu baik dari Badilag di Mahkamah Agung maupun dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama di masing-masing provinsi yang juga berperan sebagai penanggung jawab dari kegiatan ini. 6. Baik PSW maupun Putroe Kandee bekerja berdasarkan mandat sepenuhnya dari Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar`iyah Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai penerima manfaat, Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat terlibat penuh dalam proses pelatihan. Untuk Aceh, Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar`iyah Provinsi periode tahun 2000-2008, secara intens
49 pelaksanaan training
ikut terlibat dalam kegiatan pelatihan di luar perannya sebagai narasumber. Dan kebijakan ini terus dilanjutkan oleh Ketua Mahkamah Syar`iyah yang sekarang. Keterlibatan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar`iyah berlangsung sejak perumusan kurikulum, penyelenggaraan pelatihan diskusi-diskusi tematik, monitoring dan evaluasi kegiatan sampai pada proses sosialisasi publik. Bagi Putroe Kandee ini sangat membantu karena beban psikologis dan moral atas kegiatan ini ditanggung bersama dengan Mahkamah Syar’iyah. 7. Problem-problem yang dihadapi hakim agama di Aceh yang terkait dengan persoalan budaya, politik dan agama berada dalam satu pemahaman yang sama dengan pihak penyelenggara. Ini memudahkan penyelenggara untuk masuk ke dalam persoalan secara lebih mendetail dalam framework yang sama. Sebaliknya, pilihan yang paling strategis untuk PSW adalah menyentuh isu-isu umum yang secara pasti dihadapi oleh semua wilayah dan sesuai perkembangan kelas ketika membutuhkan mereka masuk secara lebih mendetail pada isu lokal. 8. PSW adalah lembaga yang sudah sangat mapan dan canggih dalam kajian Islam dan jender. Bagi mereka, perdebatan konsep seputar isu-isu ini merupakan menu diskusi sehari-hari. Sebaliknya Putroe Kandee adalah lembaga yang baru berdiri yang baru belajar isu-isu jender. Karenanya Putroe Kandee tak sepenuhnya menguasai isu-isu yang sangat penting dalam gerakan perempuan. Pembahasan isu-isu penting dalam gerakan perempuan in-
50 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
ternasional secara selektif ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan. Akibatnya, muatan materi yang berhubungan dengan isu gerakan perempuan yang diterima para hakim sangat terbatas. 9. Terkait dengan hal di atas (No. 8), dari segi cakupan kurikulum Putroe Kandee lebih berkonsentrasi pada isu-isu seputar persoalan jender yang dihadapi hakim sehari-hari di pengadilan. Padahal, cakupan isu jender pada kenyataannya sangatlah luas. Akibatnya, pengetahuan lain di luar isu itu sangat terbatas. Mereka juga tak digugah untuk melakukan perubahan sikap di tingkat pribadi, meskipun secara tak langsung cukup banyak efek pelatihan yang berimplikasi ke arah itu. Sebaliknya, PSW memperkenalkan isu-isu jender secara komprehensif, termasuk kesehatan reproduksi dan teknik advokasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dari sisi ini, materi yang ditawarkan PSW jauh lebih kaya dan beragam. Inilah sejumlah catatan reflektif dari penyelenggaraan yang dikelola oleh kedua lembaga itu. Pada bab berikutnya disajikan bagaimana respon peserta terhadap elemen-elemen pelatihan yang dikembangkan kedua lembaga. Tak mengejutkan jika kesan peserta atas pelajaran yang dipetik dari training–training itu berbeda-beda; di satu daerah muncul resistensi, sementara di daerah lain justru mendapat apresiasi, untuk satu isu di satu wilayah terjadi penolakan, tetapi di daerah lain tak memunculkan persoalan. Semua ini adalah proses pembelajaran yang sungguh sangat berharga. [ * ]
Sensitivitas Jender dalam Sikap dan Perilaku Hakim: Analisis
4
4
Sensitivitas Jender dalam Sikap dan Perilaku Hakim: Analisis
D
alam bab sebelumnya telah diuraikan bahwa para hakim yang telah mengikuti training sensitivitas jender ini mengalami perubahan pola pikir di sana sini tentang jender, kesetaraan jender, dan keadilan jender. Sebagian dari mereka sudah dalam keadaan sadar jender, yaitu suatu kesadaran di mana jender dipahami sebagai sebuah konsep kesetaraan tentang hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan. Pengetahuan para hakim yang diperoleh selama proses pelatihan sangat membantu mereka untuk lebih memahami realitas hukum agama dalam perspektif jender. Meskipun tidak merata, pelatihan ini telah mengubah pandangan sebagian hakim baik dari Mahkamah Syar’iyah Aceh, Pengadilan Agama Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, tentang pentingnya memproteksi kepentingan perempuan ketika berhadapan dengan laki-laki dalam struktur masyarakat yang timpang. Pada tataran aplikasi proses peradilan, secara individual sebagian dari mereka telah mengakomodasikan kepentingan perempuan. Sebuah upaya yang tak hanya berangkat dari perasaan belas kasihan yang berbasis pada pendekatan moral, tetapi berangkat dari keyakinan tentang prinsip-prinsip penerapan keadilan yang objektif.
52
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, perubahan mindset tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam pola sikap dan perilaku
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
hakim di pengadilan. Ini bisa dimengerti karena kurikulum pelatihan yang dibangun oleh kedua lembaga PSW dan Putroe Kandee lebih bertumpu pada pengenalan wacana. Sementara itu, secara faktual para hakim berhadapan dengan aturan dan ketentuan hukum positif yang dalam beberapa segi belum sensitif jender. Lain dari itu, mereka juga berhadapan dengan kondisi dan budaya masyarakat yang menganggap dan memahami hukum sebagai sesuatu yang statis. Pandangan itu berkelindan dengan cara pandang tradisional agama yang mengukuhkan konservativisme doktrin agama. Padahal, posisi pandangan semacam itu masih cukup sentral dalam struktur masyarakat baik di Aceh, Sumatera Barat maupun Sulawesi Selatan. Persoalan lain adalah terkait dengan prosedur. Para hakim baik dari Aceh, Sumatera Barat maupun Sulawesi Selatan memandang bahwa acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di lingkungan peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat. Dalam situasi di mana pengetahuan hukum kebanyakan kaum perempuan sebagai pihak litigan masih rendah, peran paralegal atau penasihat hukum juga tak berfungsi maksimal. Maka tak heran jika seringkali materi permohonan gugatan sangat minimal dan pada akhirnya merugikan perempuan sebagai penggugat. Sesungguhnya ada satu celah yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan tuntutan, misalnya, melalui permintaan menetapkan putusan berdasarkan pada prinsip ex aequo et bono, yang memberikan kelonggaran bagi hakim untuk menggali hukum seluas-luasnya
demi menegakkan keadilan. Prinsip ex aequo et bono ini memberikan ruang pada para hakim untuk tidak lagi terikat pada tuntutan yang diajukan padanya. Mereka dapat melangkah melampaui tuntutan jika memang norma keadilan yang dipegang oleh hakim dan hukum menghendaki demikian. Proses pencarian keadilan oleh hakim di sini membuka ruang yang lebar untuk dieksplorasi, karena bagaimanapun seorang hakim tidak hanya berfungsi sebagai jurubicara hukum, tapi juga sebagai penafsir dan penemu hukum. Dan dalam fungsi ini, pengetahuan, pengalaman, dan juga kemampuan hakim menelusuri hukum dan fakta menjadi relevan untuk terus digali dan dikembangkan. Dalam konteks inilah, terletak signifikansi pelatihan sensitivitas jender bagi hakim. Untuk dapat melihat sejauhmana wawasan hakim tentang isu jender, berikut ini dihadirkan beberapa tema hukum keluarga yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar`iyah. Sebagai catatan, perlu kiranya diketahui bahwa secara metodologis instrumen pendokumentasian ini tidak sampai pada tahap pengujian yang dipakai untuk mengukur tingkat sensitivitas jender hakim di tingkat praktis, seperti melakukan kajian hasil putusan atau mengikuti secara khusus dan intensif sebuah proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Apa yang terekam dalam laporan ini semata-mata didasarkan kepada pengakuan hakim yang disampaikan dalam FGD ditambah dengan beberapa interview mendalam dan hasil bacaan dari rekaman proses. Namun begitu, pada tiaptiap tema disertakan satu catatan analisis yang secara tidak langsung dapat dijadikan patokan sejauhmana tingkat sensitivitas jen-
53 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
der telah berlaku untuk masing-masing tema itu. Dengan menyertakan analisis jender itu pembaca diharapkan akan dimudahkan untuk melakukan refleksi. Sekali lagi hal ini dimaksudkan sebagai proses pembelajaran.
A. SIKAP HAKIM DAN ANALISIS SENSITIVITAS JENDER 1). Pernikahan a. Wali Nikah Menurut doktrin fikih, suatu pernikahan dikatakan sah jika telah memenuhi rukun dan syaratnya. Salah satu rukun pernikahan adalah adanya wali nikah, yaitu salah seorang yang berasal dari kerabat calon pengantin perempu an berjenis kelamin lakilaki, mulai dari bapak, saudara, kakek sampai paman semuanya dari garis keturunan ayah. Kerabat berjenis kelamin perempuan, termasuk ibu, tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Sesungguhnya dalam doktrin fikih dikenal juga konsep wali yang lain, yaitu wali untuk pemeliharaan anak terutama anak yatim serta harta yang ditinggalkan orang tuanya. Namun, karena konsep wali yang dominan adalah wali di dalam perkawinan, di mana
Persoalan konsep wali mencuat pasca tsunami di Aceh. Konsep wali untuk pemeliharaan anak dan harta anak yatim saat itu senantiasa dinisbatkan pada konsep wali dalam perkawinan.
54 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
lelaki dianggap lebih berhak dibandingkan perempuan, maka aturan yang sama dalam wali nikah itu seringkali berlaku pula untuk pemeliharaan anak dan harta. Persoalan konsep wali ini mencuat pasca tsunami di Aceh. Konsep wali untuk pemeliharaan anak dan harta anak yatim saat itu senantiasa dinisbatkan pada konsep wali dalam perkawinan. Akibatnya, banyak orang tua atau kerabat korban dari pihak perempuan atau isteri kehilangan haknya (secara de jure) atas pemeliharaan cucu dan harta yang menjadi hak anak yatim itu sebagai peninggalan orang tuanya yang menjadi korban tsunami. Padahal, secara de facto anak-anak yatim piatu itu biasanya lebih merasa nyaman berada dalam asuhan kerabat ibunya. Itu berarti yang terkait dengan pemeliharaan anak berada dalam tanggung jawab kerabat pihak perempuan, sementara penguasaan harta berada dalam kekuasaan kerabat pihak suami. Hingga batas tertentu, ini memunculkan masalah karena terganggunya rasa keadilan. Situasi ini menggugah para hakim dan utamanya hakim perempuan untuk mempertanyakan kembali doktrin wali tersebut dengan mengusulkan dibolehkannya keluarga dari garis ibu menjadi wali untuk pemeliharaan anak dan harta anak yatim tersebut. Isu ini merupakan salah satu tema yang cukup menarik dilihat dari sensitivitas jender. Meski begitu, dalam FGD yang dilakukan untuk kepentingan pendokumentasian di Aceh, isu ini tidak dikembangkan lebih luas. Namun, dalam pelatihan–pelatihan Putroe Kandee isu semacam ini mengemuka beberapa kali. Pada umumnya, para peserta bersepakat bahwa perempuan dapat menjadi wali untuk pemeliharaan harta dan anak
yatim, tetapi mereka tidak atau setidaknya merasa kesulitan untuk bersetuju dengan pandangan bahwa perempuan dapat menjadi wali untuk pernikahan anak.
narasumber itu cukuplah di bidangnya, jangan menyinggung bidang orang lain. (Hakim Maksum Nasution). Hakim lain menuturkan bahwa:
Dalam kegiatan FGD di wilayah Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, isu ini mengemuka cukup kencang. Isu ini merupakan salah satu persoalan yang menyebabkan mereka keberatan dengan konsep kesetaraan jender jika jender dimaknai sampai sejauh itu. Dalam pelatihannya, PSW telah mewacanakan bahwa perempuan bisa menjadi wali didasarkan pada prinsip darurat. Mereka juga mendasarkan pada pandangan bahwa syarat-syarat wali tak terkait dengan jenis kelamin (biologis), melainkan kualitas kepemimpinan (jender). Agaknya peserta menangkap gagasan ini sebagai doktrin baru yang, menurut mereka, menyimpang dari doktrin hukum yang telah mapan dalam fikih klasik. Sejumlah hakim Sumatera Barat menolak ide dibolehkannya perempuan sebagai wali nikah. Simaklah penuturan salah seorang hakim di bawah ini: ”.... tentang gagasan (perempuan menjadi wali) itu saya kira beliau kurang mendalami kitab, sehingga ada perbenturan. Kalau kita menyampaikan apa yg disampaikan dengan cara yang disampaikan itu (kita) akan diabaikan orang. Taruh dengan cara berbeda dengan materi penyampaian yang berbeda itu, pasti akan diusir orang... Berkaitan dengan ini ada satu lagi, ini dari perempuan, ini ada contoh kebetulan, terkait wali nikah. Menurut peraturan sekarang yang dianut, wali nikah itu laki laki. Tapi ia bilang kalo memang tidak ada laki-laki, apa salahnya dengan pihak perempuan... Jadi seharusnya
‘’Dalam prinsip Islam, wanita itu memiliki peranan yang penting. PSW melihatnya dari konteks yang berbeda. Kesetaraan jender itu apakah artinya semua aspek bisa dimasuki? Bagi kami masalah wali belum bisa diterima. ... Narasumber kemarin itu terlalu agresif, terlalu mementingkan kesetaraan jender tanpa mempertimbangkan ajaran...’ (Hakim Pelmizar). Senada dengan itu, beberapa peserta di Sulawesi Selatan memandang bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi wali bagi pernikahan anaknya. Dasar pemikiran mereka sama dengan apa yang diungkapkan oleh para hakim Sumatera Barat yaitu doktrin fikih klasik yang menetapkan bahwa wali dalam pernikahan adalah salah satu anggota kerabat yang berjenis kelamin laki-laki dari mempelai perempuan. Doktrin tersebut sampai saat ini nampaknya belum bisa diubah dan anggota kerabat yang berjenis kelamin perempuan tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan. ”... Kalau selama ini di peradilan kayaknya belum kesana arahnya, karena kita pikirkan kalau perempuan juga jadi wali akan banyak akibat-akibat lainnya lagi. Jadi, kita belum lari kesana, karena memang kasusnya belum pernah ada juga perempuan yang mau menjadi wali dalam pernikahan anaknya...” (Muhajir, Kepala KUA).
55 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Namun, sedikit berbeda dengan para peserta Sumatera Barat, beberapa hakim Sulawesi Selatan menunjukkan pandangan mereka yang lebih progresif untuk mencoba mendobrak aturan klasik ini dengan mengijinkan perempuan menjadi wali dalam pernikahan anaknya. Meski begitu, mereka sangat menyadari kendala-kendala yang akan dihadapi. Simaklah penuturan seorang peserta:
Analisis
Jika digunakan analisis jender terhadap sikap hakim terkait dengan isu wali nikah ini, setidaknya muncul dua pandangan. Pandangan pertama mengatakan bahwa aturan ini merupakan bukti bahwa hukum bersikap diskriminatif terhadap perempuan karena perempuan dibatasi aksesnya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang sangat penting yaitu perkawinan anaknya. Dan hal itu dikatakan diskriminatif karena basis pelarangannya adalah prasangka bahwa perempuan dianggap tak memiliki kecakapan untuk mengambil keputusan. Pandangan kedua mengatakan bahwa aturan itu tak diskriminatif karena tidak ada unsur prasangka terhadap perempuan sebagai basis pelarangannya. Aturan itu diterapkan sematamata didasarkan pada doktrin keagamaan yang menuntut kepatuhan. Menurut cara pandang yang terakhir ini, untuk hal-hal yang terkait dengan ibadat, parameter objektif seperti diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan tidak dapat dijadikan ukuran. Namun, pandangan ini rentan atas kritikan. Salah satunya adalah karena cara pandang seperti itu mendasarkan diri pada doktrin pelarangan yang berasal dari pandangan tradisional fikih yang pada umumnya menempatkan perempuan secara subordinatif di bawah laki-laki.
Meskipun baru bersifat gagasan, pandangan peserta dari Sulawesi Selatan itu menunjukkan bahwa di luar isu doktrinal sesungguhnya sangat memungkinkan bagi perempuan untuk menjadi wali. Dan hal itu juga dibuktikan dari terbukanya akses pada perempuan menjadi wali untuk anak yatim dan pemeliharaan harta. Syarat wali dengan demikian bisa bergeser dari yang bersifat biologis (kepemilikan alat kelamin) ke karakteristik jender (bertanggung jawab, adil, amanah, dapat mengambil keputusan dan lain-lain).
Analisis jender akan sangat membantu mencarikan jalan keluar atas situasi ini. Menyadari bahwa soal wali dalam ritual perkawinan itu dianggap sebagai aturan yang permanen, sementara dalam konsep kesetaraan dan keadilan jender, perempuan tidak dapat diasingkan dari proses pengambilan keputusan, maka jalan yang harus dicari adalah bagaimana akses perempuan tetap dibuka tanpa mencederai doktrin. Antara lain, misalnya, ketika tiba masa penentuan calon
”...kalau dari segi logika, memang kalau wali maksudnya wali untuk kepengurusan anak-anak dengan harta itu kan perempuan dan laki-laki kan sudah sama. Tetapi kemudian dalam perkawinan, itu memang dibedakan,...kenapa perempuan pada saat perwalian pernikahan itu tidak dibenarkan. Memang itu adanya semacam tanda tanya, kenapa ada pembedaan, apakah karena memang dari sananya. Cuma dari peradilan kami belum bisa lari ke sana pada saat ini. Kita hanya mena-ngani kalau ada perkawinan yang tidak ada walinya, walinya itu kan rata-rata masih wali yang dari laki-laki. Jadi wali perkawinan itu cenderung masih lakilaki . (Muhajir, Kepala KUA).
56
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
suami untuk anak perempuannya, seorang ibu seharusnya dapat intens terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Itu berarti dalam proses peminangan yang tak terikat aturan doktrinal, perempuan (ibu dari calon pengantin) harus dilibatkan penuh. Mereka harus diajak serta dalam musyawarah dan diminta pendapatnya. Jika ini sudah terpenuhi, kesetaraan jender antara ayah dan ibu dalam memperoleh akses pengambilan keputusan telah terpenuhi di sana.
Mereka juga bersepakat bahwa manfaat pencatatan ini untuk memberikan kepastian hukum bukan hanya kepada istri, terutama bila terjadi perceraian, tetapi juga kepada anakanak yang dilahirkannya.
Dalam konteks ini, para hakim umumnya bersetuju bahwa perempuan telah mengambil peran dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan penentuan calon suami anaknya. Sebagian dari mereka mengatakan hal itu memang telah diatur dalam agama melalui konsep bermusyawarah secara ma`ruf atau, dengan kata lain, larangan pemaksaan perkawinan.
pencatatan pernikahan itu merupakan keharusan yang berhubungan dengan pemenuhan administrasi negara.
b. Pencatatan Pernikahan dan Itsbat Nikah Isu ini diperdebatkan dalam training di Aceh karena terkait dengan konteks lokalnya pasca konflik, tapi tidak dibahas di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Namun begitu, dalam pendokumentasian ini para hakim agama di Mahkamah Syar`iyah Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan sepakat bahwa pencatatan pernikahan merupakan suatu keharusan. Mereka juga bersepakat bahwa manfaat pencatatan ini untuk memberikan kepastian hukum bukan hanya kepada istri, terutama bila terjadi perceraian, tetapi juga kepada anak-anak yang dilahirkannya. Namun, kenyataan atas banyaknya praktik pernikahan yang tidak tercatat adalah sebuah realitas yang berada di hadapan mereka. Di ketiga wilayah ini, para hakim terlihat ambigu dalam memposisikan pandangan mereka. Sikap yang paling umum adalah bahwa
Kegamangan mereka ini diperkuat oleh adanya lembaga itsbat nikah (penetapan keabsahan nikah suatu pasangan oleh pengadilan sehingga mendapatkan surat bukti nikah). Dalam KHI, itsbat nikah yang diatur hanya berlaku bagi pasangan yang menikah di luar KUA yang memenuhi kondisi yang disebutkan di dalam KHI, yaitu perkawinan yang berlangsung sebelum diberlakukannya Undang-undang Perkawinan tahun 1974. Pada praktiknya, pemberian izin itsbat nikah bisa dilakukan di luar batasan yang diatur dalam KHI. Para hakim berpendapat bahwa atas desakan masyarakat yang membutuhkan buku nikah, praktik itsbat nikah mereka lakukan. Dalam konteks Aceh misalnya, izin memperluas persyaratan itsbat nikah di luar ketentuan KHI itu jelas sangat mereka butuhkan. Konflik yang berlangsung lebih dari 30 tahun dan kemudian tsunami menyebabkan banyak pasangan tak memiliki atau kehilangan buku nikah. Oleh karena, itu lembaga itsbat nikah benar benar sangat dibutuhkan. Adalah benar perbedaan cara pandang terhadap praktik ini kerap menimbulkan
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
57
pertentangan baik antara hakim yang berusaha konsisten dengan aturan KHI yang membatasi praktik itu dengan mereka yang berusaha lebih fleksibel. Namun, beberapa hakim percaya bahwa selama mereka masih bisa melihat kejelasan maslahatnya untuk semua pihak, mereka tetap dapat mengeluarkan putusan pemberian izin itsbat nikah tersebut. Dalam hal ini, para hakim sering mempertimbangkan kemungkinan adanya kesulitan dari pihak pejabat pencatat nikah seperti terjadi di Aceh semasa konflik. Memang terdapat alasan yang berbeda antara pihak yang menginginkan itsbat nikah dipermudah dan pihak yang menghendakinya untuk dipersulit. Bagi pihak yang mempermudah, itsbat nikah merupakan jalan keluar atas kesulitan yang dihadapi perempuan yang tak memiliki surat nikah padahal perkawinannya dianggap sah secara agama. Sementara mereka yang menginginkan itsbat nikah dipersulit atau dibatasi dan bahkan dihapuskan, mereka meyakini bahwa dengan cara itu pernikahan di bawah tangan dapat diminimalisasi. Mereka yang cenderung untuk mempermudah pelaksanaan itsbat nikah dan mempertahankannya, mempercayai bahwa lembaga itsbat nikah diatur untuk memberikan solusi bagi pasangan yang pada saat menikah berhalangan untuk mencatatkan pernikahannya. Sementara pihak yang lainnya menganggap dengan adanya lembaga itsbat nikah, praktik kawin sirri (di bawah tangan) akan terus merajalela. Analisis
58
Pencatatan pernikahan merupakan aspek yang fundamental bagi warga negara Indonesia. Melalui pencatatan itu seseorang akan memperoleh status hukum pasti. Pencatatan perkawinan karenanya sangat pen-
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
ting bagi perempuan karena dapat memberikan kepastian hukum baik bagi dirinya maupun anak yang dilahirkannya. Dengan menggunakan analisis jender, seorang hakim dapat melihat apa akibatnya bagi seorang perempuan jika tak memiliki surat nikah. Antara lain secara sosial perempuan tersebut rentan terhadap tindakan diskriminasi. Demikian pula dengan anaknya. Lebih dari itu, posisi mereka sebagai istri pun rentan terhadap kekerasan. Tanpa surat nikah, seorang perempuan akan sangat tergantung pada suaminya. Dan ketergantungan serupa itu sangat tidak sehat, karena bila terjadi tindakan kekerasan oleh suaminya sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari ikatan perkawinannya. Jadi dari sudut pandang itu, pencatatan perkawinan semestinya diletakkan sebagai hal yang prinsipil. Dan jika dilihat dari sisi doktrin agama, pencatatan seharusnya mungkin bisa dimasukkan ke dalam rukun perkawinan yang menentukan sah dan tidaknya perkawinan. Analogi yang biasa dikemukakan narasumber dengan gagasan ini adalah bahwa dalam perjanjian jual beli saja
Tanpa surat nikah, seorang perempuan akan sangat tergantung pada suaminya. Dan ketergantungan serupa itu sangat tidak sehat, karena bila terjadi tindakan kekerasan oleh suaminya sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari ikatan perkawinannya.
diperintahkan untuk dilakukan pencatatan apalagi dalam perkawinan yang dalam al Qur’an disebut sebagai sebuah ”perjanjian yang kuat”. Sementara dalam hal itsbat nikah, analisis jender dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah tindakan hukum dapat memberi manfaat berupa kepastian hukum kepada perempuan. Jadi dalam konsep jender, itsbat nikah dapat diartikan sebagai sebuah tindakan afirmatif yaitu sebuah tindakan khusus yang berguna untuk memperoleh persamaan hak. Di sisi lain, memang ada dampak dari diberlakukannya itsbat nikah, yaitu menyuburkan praktik kawin sirri, padahal kawin yang tak dicatatkan akan sangat merugikan perempuan. Dalam konteks ini, sosialisasi tentang pentingnya pencatatan nikah harus terus disosialisasikan. Dengan cara itu, praktik kawin sirri bisa dikurangi semaksimal mungkin. 2). Perceraian Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang Pengadilan Agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama. Para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh, Pengadilan Agama Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan nampaknya sepakat dan setuju dengan aturan tersebut. Namun, ketika aturan perceraian tersebut dikaitkan dengan keabsahan perceraian dari sisi agama, mereka merasa sulit untuk memposisikan pemahaman tersebut. Perlu dikemukakan bahwa, seperti di wilayah Pengadilan Agama lainnya di Indonesia, di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, perkara perceraian memperlihatkan dua
ragam. Pertama, perceraian yang diajukan dan diakui bahwa perceraian tersebut belum jatuh karena tak memenuhi syarat dan ketentuan yang sah. Kedua, perceraian yang diakui sudah terjadi dan pasangan atau penggugat mendatangi Pengadilan Agama untuk mendapatkan pengesahan secara administratif. Jika pada ragam pertama, pihak yang berperkara sepakat bahwa mereka datang ke Pengadilan Agama untuk memproses perceraian mereka, pada ragam kedua, para pihak atau salah satu pihak menganggap bahwa mereka telah bercerai secara agama dan datang ke Pengadilan Agama untuk mengesahkan perceraian mereka secara negara atau administratif dan atau untuk mendapatkan akte cerai. Untuk kasus kedua ini, beberapa hakim Sumatera Barat mengungkapkan bahwa beberapa pasangan datang ke Pengadilan Agama dan memperlihatkan secarik kertas yang menyatakan atau berisi pernyataan cerai dari suami terhadap istrinya. Menghadapi kenyataan ragam perceraian yang kedua itu, para hakim, meskipun tetap memproses perkara dan menyatakan bahwa perceraian mereka belum terjadi, tidak mampu mengontrol apakah perceraian yang diputusnya di Pengadilan dipakai sandaran bagi dijalaninya efek dari perceraian tersebut seperti dalam hal masa ‘iddah istri. Pernyataan salah seorang hakim patut disimak di bawah ini: ”Talak liar di Sumatera Barat banyak. Istri sering datang ke PA dengan secarik kertas saja yang menyatakan bahwa suaminya telah menceraikannya. Untuk penasihat perkawinan harus memasukkan materi-materi hukum dalam nasehatnya, sehinga pasangan
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
59
mengetahui hak-hak dan kewajibankewajibannya”. (Hakim Sabri Syukur).
suami yang melakukan hal itu sangat perlu untuk diupayakan.
Analisis
3). KDRT dan Alasan Perceraian
Praktik kawin atau cerai di luar pengadilan sesungguhnya menunjukan adanya dualisme hukum di Indonesia yang tak kunjung terselesaikan. Hukum positif di satu pihak dan hukum agama di pihak lain. Seseorang yang sudah mengikrarkan talak, dalam doktrin fikih dapat dianggap telah jatuh talaknya. Sementara menurut Undang-undang, talak tersebut belum terjadi karena ikrar itu tak dilakukan di depan pengadilan.
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) seringkali menjadi penyebab pihak istri mengajukan cerai gugat. Bahkan dari kasus-kasus gugatan perceraian yang tercatat di tiga wilayah itu, KDRT dalam artinya yang luas – dari kekerasan fisik berupa pemukulan sampai kekerasan non fisik seperti penelantaran – merupakan penyebab yang paling banyak diajukan sebagai alasan perceraian.
Bagaimanakah analisis jender dapat membantu memecahkan persoalan ini? Pertamatama yang harus dilihat adalah siapa yang paling dirugikan jika terjadi ketidakpastian hukum akibat adanya dualisme hukum itu. Sangatlah pasti bahwa yang paling dirugikan adalah perempuan karena status hukumnya menjadi tak menentu. Implikasinya bisa sangat jauh. Misalnya, terkait dengan hitungan masa ‘iddah dan hak-hak yang menyertainya. Perempuan juga sangat dirugikan dengan ikrar talak yang tak dilakukan di depan pengadilan karena dirinya tak mendapatkan bukti tertulis secara legal yang dapat digunakan untuk melanjutkan kehidupannya, misalnya untuk menikah lagi. Dengan demikian, apa yang selama ini telah diupayakan negara dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa talak dinyatakan telah jatuh manakala diikrarkan oleh suami di depan pengadilan itu merupakan upaya yang sangat membantu memberi kepastian hukum dan kepastian status kepada kaum perempuan. Penegakan hukum berupa pemberian sanksi kepada
60 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Namun sebagaimana terungkap dalam FGD, tidak semua hakim menanggapi tuntutan itu dengan alasan tak cukup bukti. Banyak hakim menyatakan bahwa sebagai hakim sedapat mungkin mereka mengusahakan jangan sampai terjadi perceraian. Karenanya hakim sering kali berperan sebagai mediator yang meminta mereka untuk berpikir ulang atas tuntutan itu. Dalam konteks itu, tak jarang hakim meminta pihak istri untuk lebih bersabar, begitu pula halnya kepada pihak suami agar lebih bertanggung jawab. Para hakim baik di Aceh, Padang maupun Makassar mengakui bahwa mereka tidak mengetahui bila KDRT merupakan suatu kekerasan yang sangat membahayakan istri. Mereka hampir tidak menyadari bahwa kekerasan ternyata mempunyai siklus tersendiri yang dapat terjadi berulang-ulang kali mengikuti peredaran siklus tersebut. Sebelum mendapatkan informasi tentang hal ini dari pelatihan, mereka umumnya menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi berulang kali itu disebabkan oleh gangguan psikologis yang bersifat individual. Dari training inilah mereka akhirnya
memahami bagaimana KDRT merupakan suatu pola kekerasan yang berbasis jender. Analisis KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab terbesar dari tuntutan perceraian. Namun sebagian besar hakim masih menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan menyatakan bahwa itu merupakan bunga-bunga kehidupan atau romantika rumah tangga. Ini terutama untuk jenis kekerasan non fisik yang tanda-tandanya tak nampak secara jelas sehingga sangat sulit untuk dibuktikan oleh hakim yang belum memiliki perspektif jender dalam melihat isu KDRT. Analisis jender dapat membantu hakim untuk memahami cara kerja KDRT khususnya menganalisis apakah seorang suami mempunyai pandangan stereotype yang menganggap istrinya layak mendapat kekerasan agar patuh, tunduk, tak cerewet, tak banyak menuntut dan seterusnya. Analisis jender juga membantu hakim memahami daur peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi berulang kali mengikuti siklus kekerasan. Menurut siklus ini, setelah suatu tindakan kekerasan terjadi lalu biasanya diikuti oleh masa penyesalan oleh pelaku. Kemudian, ini dilanjutkan dengan sikap pelaku yang sangat baik atau disebut masa bulan madu. Situasi ini membuat perempuan bingung untuk mengajukan tuntutan perceraian. Namun setelah masa romantis ini hilang, suami kembali lagi melakukan tindakan kekerasan berikutnya dengan berbagai alasan. Demikian seterusnya hingga kekerasan berlangsung berulang kali mengikuti daur kekerasan itu. Hal yang paling membahayakan dari keadaan ini adalah semakin
Analisis jender juga membantu hakim memahami daur peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi berulang kali mengikuti siklus kekerasan. lama kekerasan itu terjadi berulang-ulang, akan semakin berat dampaknya karena frekuensi siksaan atau penyerangan yang terus meningkat. Analisis jender juga dapat membantu hakim untuk memahami bahwa kekerasan berbasis prasangka jender meliputi berbagai jenis kekerasan mulai dari yang bersifat fisik sampai non fisik. Selama ini, hakim telah sangat memahami kekerasan fisik karena biasanya hal itu bisa dibuktikan oleh visum dokter atau ditunjukkan bekas-bekasnya di dalam persidangan. Namun dibutuhkan pemahaman lebih untuk mengerti kekerasan non fisik, seperti penghinaan, perendahan martabat, pengucapan kata-kata kasar, penelantaran, tak diberi nafkah, pembatasan aktivitas di luar rumah dan lain-lain yang tak meninggalkan jejak nyata secara fisik. Pemahaman ini perlu untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang konsep syiqaq (percekcokan yang terus menerus). Selama ini, para hakim memang mengenali syiqaq ini sebagai alasan terjadinya kekerasan, tetapi dalam konsep yang dipahaminya itu terkandung makna bahwa percekcokan itu sebagai kesalahan kedua belah pihak. Dengan analisis jender, mereka dapat menelusuri pangkal atau asal muasal percekcokan itu.
61 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Hal lain yang juga sangat membantu, analisis jender dapat digunakan untuk memahami bahwa cara kerja kekerasan berbasis jender jauh lebih parah efeknya dibandingkan dengan kekerasan berbasis suku, ras dan agama misalnya. Justru, karena kejadiannya di dalam rumah tangga yang tak nampak dari luar dan dianggap tak mungkin terjadi dibandingkan dengan tiga jenis kekerasan lainnya itu, kekerasan di dalam rumah tangga sering terabaikan. Lebih dari itu, kekerasan berbasis jender dapat memanipulasikan pandangan agama yang seolah-olah membenarkan tindakan kekerasan sehingga korban pun menerima keadaan tersebut karena adanya pembenaran religius semacam itu. Konsep siklus kekerasan dalam rumah tangga itu benar-benar penting untuk dipahami oleh hakim. Sebab, dengan itulah hakim dapat mengerti mengapa seorang perempuan tiba-tiba membatalkan tuntutannya meskipun bukti telah sangat kuat menunjukkan terjadinya kekerasan fisik. Tanpa pemahaman tentang siklus kekerasan itu, hakim bisa keliru memahami fenomena ini dengan menganggap sang istri itu telah mampu untuk bersikap lebih sabar atau sang suami telah berubah insyaf. Padahal yang sesungguhnya berlangsung adalah si istri semakin masuk ke dalam lingkaran setan daur kekerasan itu. Yang kerap terjadi, gugatan yang dibatalkan sendiri oleh istri itu antara lain disebabkan oleh suami yang mengancam dan akan memperlakukan istri lebih buruk lagi, dengan misalnya memisahkannya dari anaknya, atau menakuti-nakuti akan sulitnya hidup dengan menyandang status janda. Setelah pelatihan, para hakim dapat memahami bahwa permintaan pembatalan itu disebabkan adanya siklus kekerasan. Dengan pengetahuan tentang siklus itu, ha-
62 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
kim kini lebih waspada untuk tidak dengan serta merta mengiyakan dan menganggap persoalan kekerasan itu telah selesai. Adalah penting bagi hakim untuk memiliki pegangan bagaimana mengakhiri tindakan kekerasan, baik dengan meminta rujuk kembali dan membatalkan tuntutan ataupun meminta mereka berpisah. Semua pilihan itu harus mengarah pada tujuan yang satu yaitu mengakhiri tindakan kekerasan dengan memberikan perlindungan secara hukum. Perlindungan juga bisa dilakukan dalam proses awal peradilan, misalnya dengan menerapkan konsep kompetensi relatif. Sudah sejak lama kompetensi relatif yang memihak perempuan berlangsung di wilayah jurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Aceh. Bila ketentuan hukum acara dalam peraturan perundangundangan mengatur bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa suatu perkara adalah pengadilan yang berada di tempat tinggal tergugat, hakim agama di Aceh telah mentradisikan bahwa Mahkamah Syar’iyah yang berwenang memeriksa perkara perceraian adalah Mahkamah Syar’iyah yang berada di wilayah tempat tinggal pihak istri sekalipun kedudukannya adalah sebagai penggugat. Salah satu tujuan di balik praktik hukum ini adalah untuk melindungi pihak isteri yang seringkali tidak berdaya secara ekonomi untuk melakukan perjalanan jauh ke wilayah kabupaten/kota tempat tinggal suami. Kompetensi relatif seperti ini menjadi terlegitimasi lebih-lebih apabila kasus perceraian itu mengandung alasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hakim dan Penanganan Kasus Kekerasan
Dra. Hj. Rosmawardani, S.H.
Ibu Rosmawardani, hakim perempuan yang juga pengurus Yayasan Putroe Kandee menuturkan pengalamannya bagaimana dia memaknai sensitivitas jender itu dalam memutus perkara gugat cerai akibat KDRT. Seorang istri menggugat cerai suaminya dengan alasan suami sering tidak memberi nafkah lahir batin dan sering tidak pulang dalam jangka waktu yang panjang. Sekalinya pulang dan menetap sang istri akan hamil lagi. Tapi belum lagi anak lahir sang suami akan merantau lagi. Hal ini telah berlangsung berulang kali hingga memiliki lima orang anak. Istri mengakui, suaminya tak pernah melakukan tindakan kekerasan fisik, tidak juga terjadi keributan atau perselisihan yang terus menerus. Jadi hampir tidak ada alasan kuat yang bisa digunakan istri untuk meminta cerai. Namun sang istri benar-benar sudah tidak tahan hidup bersama suami yang dianggapnya tidak bertanggung jawab itu. Bagi Rosmawardani, yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho, masalah yang merundung perempuan itu sungguh nyata namun dari segi hukum cukup dilematis. Di satu sisi dari perundang-undangan tidak ditemukan alasan kuat yang secara eksplisit bisa digunakan sebagai pasal untuk memutuskan pernikahan perempuan itu. Namun, pada sisi lain, perempuan itu sudah tidak bahagia lagi dengan kehidupan rumah tangganya dan memilih cerai. Dalam keadaan inilah, hakim Rosmawardani melakukan improvisasi hukum dengan menjatuhkan putusan bahwa hubungan pernikahan pasangan itu dapat diakhiri oleh pengadilan. Putusan majelis hakim yang dipimpin Rosmawardani itu didasarkan pada KHI pasal 116 ayat d. Satu hal yang menarik, walaupun ketentuan dalam pasal itu menyebutkan alasan perceraian adalah ’penganiayaan berat’, hakim Rosmawardani berani melampaui bunyi peraturan dengan memberi tafsiran penganiayaan berat yang lebih bersifat ‘mental dan rohani’ yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam perkara tersebut. Upaya terobosan penafsiran hukum yang dilakukan hakim Rosmawardani ini pada mulanya tidak disepakati oleh dua orang anggota majelis hakim yang dipimpinnya, karena merupakan sebuah hal yang tak lazim. Namun, setelah Rosmawardani meyakinkan mereka dengan argumentasi tentang konsep kekerasan non fisik yang berperspektif jender, akhirnya interpretasi hukum semacam itu dapat diterima dan menjadi keputusan kolektif hakim.
63 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Perkara menarik sehubungan dengan alasan perceraian diungkapkan pula oleh Rafiuddin, ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho. Rafiuddin menceritakan bahwa ia pernah menangani kasus yang menurutnya sangat memerlukan kejelian hakim dalam memutus perkara, dan perspektif jender sangat membantunya untuk menangani kasus ini secara adil. Kasusnya, seorang perempuan mengajukan cerai gugat dengan alasan suaminya senang berjudi, mabuk-mabukan dan pelaku tindak kekerasan. Dalam pemeriksaan, suami mengakui bahwa ia memang pernah satu dua kali memukul istrinya, tetapi menolak bila dirinya dikatakan suka judi. Menurut pengakuannya, ia hanya sering duduk-duduk bersama teman-temannya yang hobi berjudi. Sedangkan untuk tuduhan bermabuk-mabukan, sang suami tidak menolaknya. Majelis hakim yang dipimpin oleh Rafiuddin pada waktu itu mengarahkan untuk proses mediasi agar kedua belah pihak berdamai. Namun, mediator yang ditunjuk oleh hakim rupanya gagal mencapai tujuan itu. Pada saat majelis hakim ingin melanjutkan memeriksa perkara cerai gugat ini, sang suami selaku tergugat mengajukan permintaan khulu’, yaitu permintaan tebusan 16 mayam emas atau senilai 14 juta rupiah sebagai pengganti (iwadh) ikrar talak yang secara sukarela akan diucapkan oleh suami di depan pengadilan. Sesungguhnya, ketika suami mengajukan khulu’ dan istri menerimanya, perkara perceraian akan sangat mudah diselesaikan karena tidak memerlukan pembuktian lanjutan.
Rafiuddin, SH
64 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Namun, Hakim Rafiuddin berpikiran lain dan berpendapat untuk mengabaikan permintaan khulu’ sang suami. Ia justru melanjutkan pemeriksaan bukti-bukti yang diajukan oleh istri untuk mendukung gugatannya. Bagi Rafiuddin, tindakannya untuk menolak permintaan khulu’ suami adalah sebuah bentuk pembelaannya kepada perempuan yang menjadi korban. Rafiuddin melihat bahwa sungguh merupakan hal yang tidak adil bila istri yang sudah mengalami derita fisik seperti itu harus mengeluarkan uang yang jumlahnya cukup besar untuk sekedar mendapatkan sehelai akta cerai. Persidangan selanjutnya berupa pemeriksaan bukti-bukti dengan menghadirkan saksi-saksi oleh penggugat menunjukkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh istri memang benar adanya. Dan atas dasar ini majelis hakim kemudian mendapatkan dasar hukum dan keyakinan untuk mengakhiri hubungan pernikahan pasangan tersebut secara resmi.
4). Mut’ah dan Nafkah ‘Iddah Pemberian mut’ah dan nafkah ‘iddah pasca perceraian sering dijadikan tolak ukur sensitivitas jender hakim dalam penyelesaian perkara perceraian. Terkait penilaian ini, seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh, Karim, misalnya, mengungkapkan bahwa menurutnya sensitivitas jender seorang hakim dalam memeriksa perkara perceraian dapat dilihat sejauhmana hakim dapat menjamin tersedianya uang mut’ah dan nafkah ‘iddah bagi istri. Karim berpendapat bahwa dirinya tidak akan segan-segan untuk mengabulkan permohonan sita jaminan yang diajukan seorang istri atas harta milik suaminya dalam kasus perkara perceraian. Hal ini dilakukan untuk menggaransi agar uang mut’ah dan nafkah ‘iddah dapat dibayarkan oleh suami dengan baik dan tepat waktu kepada mantan i strinya. Karim memiliki pemahaman bahwa proses berjalannya hukum Islam dari waktu ke waktu senantiasa bersifat dinamis dan menyesuaikan diri dengan konteks perubahan zaman. Karim mempunyai latar belakang pendidikan dayah yang luas, ia tidak kaku dalam memahami masalahmasalah hukum kontemporer yang tidak memiliki referensi langsung dalam sumbersumber hukum Islam. Menurutnya, dalam konteks semacam itulah, terdapat peluang hakim Mahkamah Syar`iyah untuk melakukan ijtihad, membuat inovási dan improvisasi sesuai dengan adat istiadat dan budaya lokal yang menyertainya. Pandangan Karim ini tidak mengherankan. Dalam pengalamannya sebagai hakim ia seringkali melihat kenyataan betapa beratnya nasib perempuan pasca perceraian. Padahal ia sangat meyakini bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Keyakinan itu bukan saja datang
dari ajaran agama, tetapi juga karena dia melihat ketauladan orang tuanya. Ia meyakini nilai-nilai kesetaraan dalam Islam, tetapi ia juga menyadari adanya kesenjangan antara realitas dan idealitas. Masalah uang mut’ah dan nafkah ‘iddah juga menjadi perhatian hakim lain seperti di Padang maupun Makassar. Satu hal menarik tentang putusan pemberian uang ‘iddah dan mut’ah bagi istri dalam lingkungan Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah bahwa putusan tersebut tidak terbatas hanya untuk kasus cerai talak saja seperti yang diisyaratkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi juga untuk perkara cerai gugat. Padahal, ketentuan yang terdapat dalam KHI pasal 152 menyatakan bahwa tidak ada mut’ah dan nafkah ‘iddah bagi istri yang mengajukan cerai karena dinilai melakukan nusyuz. Sebagian hakim di Aceh tetap mewajibkan suami memberikan uang ‘iddah dan mut’ah bagi mantan istrinya. Praktik ini sesungguhnya telah dilakukan oleh beberapa hakim jauh sebelum terlibat dalam program sensitivitas jender ini. Bedanya adalah saat ini hakim memiliki argumentasi kuat dan mendasar tentang keputusan itu, yaitu pemenuhan minimal hak-hak istri pasca perceraian. Hakim di Aceh juga mewajibkan suami yang hendak mengucapkan talak agar membawa tunai uang ‘iddah dan mut’ah pada hari pelaksanaan ikrar talak. Dalam FGD terungkap bahwa jika suami tidak membawa uang yang telah ditetapkan dalam putusan sebagai uang ‘iddah dan mut’ah, mereka tidak akan mengizinkan suami melafalkan ikrar talak. Namun hakim lain menyatakan, aturan ini sangat tergantung pada kondisi pasangan itu, sebab, ada kalanya si suami memang belum sanggup membayar uang
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
65
‘iddah dan mut’ah atau si istri tak mau lagi menunggu lebih lama. Bagi istri, penundaan ikrar talak hanya akan memperpanjang penderitaan. Dalam situasi demikian, atas izin istri, hakim akan meminta suami mengucapkan ikrar talak dan meminta mereka bersepakat soal teknis pembayaran uang ‘iddah dan mut’ah. Situasi ini menurut hakim di Aceh jauh lebih baik daripada proses perceraian terlunta-lunta.
Sebagaimana di Aceh, problem yang dihadapi hakim di Sumatera Barat adalah sulitnya mengawasi jalannya eksekusi baik dalam putusan provisi maupun putusan pemenuhan hak-hak istri setelah perceraian. Secara teknis, kesulitan ini biasanya disebabkan keberadaan suami yang tidak jelas dan tidak adanya sanksi yang diatur dalam undangundang atas tindakan suami yang menolak menunaikan kewajiban itu.
Dalam perkara cerai gugat, hakim agama di Aceh menuturkan bahwa mereka sulit memaksa dan memastikan para suami untuk membayar uang ‘iddah dan mut’ah setelah putusan cerai dikeluarkan oleh majelis hakim. Hakim juga tidak dapat mengetahui apakah pada akhirnya suami yang menceraikan istri itu akan membayarkan uang ‘iddah dan mut’ah di luar persidangan. Menurut beberapa hakim di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, keadaan yang sama juga terjadi di wilayah mereka. Penyebabnya, karena tidak adanya suatu mekanisme yang dapat menjalankan eksekusi putusan hakim yang memerintahkan suami wajib membayar uang ‘iddah dan mut’ah kepada mantan istrinya.
Pembahasan nafkah ‘iddah dan mut’ah dalam kasus perceraian juga menyita perhatian para hakim agama di Sulawesi Selatan. Mereka menilai bahwa secara normatif, hukum yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang mut’ah ini adalah sunnah. Artinya, pemberian uang mut’ah dalam proses perceraian itu tidak dianggap wajib untuk dipenuhi, tetapi baik untuk dilakukan. Ketentuan normatif ini umumnya dipraktikkan para hakim sebelum mereka mengikuti training sensitivitas jender. Bahkan, mereka mengaku tidak berani untuk menahan ikrar talak meskipun uang mut’ah bagi istri belum tersediakan. Namun setelah mengikuti pelatihan, muncul kesadaran yang kuat untuk menjadikan pelaksanaan pembayaran uang mut’ah sebagai jaminan hak perempuan yang ditalak.
Upaya lain dilakukan oleh hakim di Sumatera Barat dalam rangka memberikan perlindungan kepada calon janda yang masih dalam proses perkara yang berkepanjangan dengan membolehkan istri mengajukan gugatan provisi. Dalam periode interval antara statusnya yang masih sebagai istri dan statusnya sebagai janda ini, ia masih berhak mendapatkan nafkah penuh dengan mengajukan provisi. Gugatan provisi ini diatur untuk menjamin kesejahteraan istri agar ia tidak terkatung-katung dalam masa proses perceraiannya itu.
66 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Sejalan dengan pemahaman baru ini, para hakim memberikan penekanan tingkat sunnah menjadi muakkadah dalam memberikan mut’ah dan ‘iddah sebagaimana disebutkan dalam KHI tersebut. Artinya, ketentuan pemberian mut’ah yang dulunya hanya bersifat non-imperatif (ghairu muakkadah), ditingkatkan menjadi semi imperatif (muakkadah). Dengan cara itu maka dalam setiap perkara permohonan cerai, suami disyaratkan secara mutlak untuk membayar uang kompensasi
ini kepada pihak istri setelah perceraian terjadi. Penegasan tentang adanya upaya untuk mewajibkan pihak suami yang menceraikan istrinya memberi uang mut’ah ini, diafirmasi oleh semua hakim yang mengikuti FGD. Menurut mereka, dengan menekankan pada aspek pewajiban pemberian mut’ah ini, kepentingan perempuan dapat terlindungi. Laki-laki akan merasa hak mereka menceraikan istrinya tidak semudah yang dibayangkan karena adanya beban untuk memberikan kepada mantan istri sejumlah dari harta kekayaan ekonomi mereka. Analisis Penggunaan perspektif jender yang paling nampak di pengadilan terkait dengan hakhak istri yang diceraikan suaminya adalah dari pemenuhan mut’ah, kiswah dan nafkah. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada eksekusi. Namun dengan berbagai cara, hakim-hakim di tiga daerah itu telah melakukan upaya-upaya inovasi agar kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya dapat dipenuhi.
Ada beberapa cara untuk menggunakan analisis jender dalam isu ini. Pertama-tama soal cerai gugat. Analisis jender dapat membantu hakim untuk memahami bahwa cerai yang diajukan istri tidak dengan serta merta dimaknai sebagai sikap nusyuz istri. Logikanya adalah hampir tidak mungkin seorang istri mengajukan cerai jika keadaan rumah tangganya tentram, damai dan tidak ada kekerasan. Hanya karena situasinya yang begitu buruk maka jalan yang paling beratpun terpaksa mereka tempuh yaitu cerai gugat. Dengan menggunakan cara pandang empati ini, hakim dapat meneliti lebih seksama mengapa istri melakukan cerai gugat. Sebagaimana telah dipraktikkan oleh para hakim di tiga wilayah itu, pemberian mut’ah dan uang ‘iddah kepada istri, apapun jenis perceraiannya, merupakan suatu upaya yang nyata dalam menerapkan keadilan jender pasca perkawinan.
Hakim dan ikhtiar mengeksekusi uang mut’ah dan ‘iddah Hakim Nadirah mengisahkan upayanya di Pengadilan Makassar, Sulawesi Selatan, terkait eksekusi uang mut’ah kepada seorang suami yang hendak menceraikan istrinya. Yang ia lakukan adalah menahan hak talak seorang laki-laki terhadap mantan istrinya sampai sang suami mampu menyerahkan uang mut’ah sebesar enam juta rupiah. Laki-laki tersebut diberi batas waktu maksimal enam bulan. Nadirah menegaskan, jika dalam waktu yang telah ditentukan itu suami tidak menyerahkan uang mut’ah maka haknya untuk menceraikan istrinya menjadi batal. Keberanian hakim Nadirah dalam menahan hak talak suami itu karena dia melihat ada celah dalam KHI yang bisa dia manfaatkan untuk melindungi perempuan. Celah itu adalah aturan KHI yang menyatakan bahwa mut’ah merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami ketika menceraikan istrinya. Namun dalam KHI tidak ada aturan batas sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
67
waktu (had), dan atas dasar itu, hakim Nadirah berinisiatif untuk memberi waktu yang wajar yaitu enam bulan untuk mengumpulkan enam juta sebagai uang mut’ah. ”...sebenarnya aturan itu (menafsirkan batas waktu pembayaran uang ‘iddah) masuk daerah kekuasaan hakim, tinggal tergantung kepada hakimnya mau mempertimbangkan itu atau tidak. Kalau diantara kita yang sudah mengikuti pelatihan, upaya itu jelas kami lakukan karena disemangati oleh apa yang didapatkan dari pelatihan...”(Hakim Nadirah)
Drs. Amri, S.H.
68 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Menurut Amri, seorang hakim yang bertugas di Mahkamah Syar’iyah Langsa, sensitivitas jender seorang hakim terefleksikan dengan baik bila ia dapat mengerti dan memahami kebutuhan dasar yang diperjuangkan oleh istri dalam hal uang mut’ah dan nafkah ‘iddah. Hakim Amri menuturkan pengalamannya saat menangani cerai gugat karena rumah tangga sering cekcok (syiqaq). Menurut si istri, penyebab syiqaq karena suami melakukan poligami tanpa izin. Istri berkeras tak mau dimadu, dan suami pun menyetujuinya dengan mengajukan izin menjatuhkan talak. Dalam persidangan, istri meminta kepada majelis agar sesudah bercerai nanti ia memperoleh nafkah ‘iddah sebesar tiga juta rupiah setiap bulan dan uang mut’ah dari mantan suaminya bukan dalam bentuk tunai, tetapi sebuah rumah yang sekarang menjadi tempat kediaman pasangan itu. Dalam sidang berikutnya, suami bukan hanya berkeberatan mengabulkan permintaan istri atas rumah sebagai mut’ah, tetapi juga tidak mau membayar sebesar jumlah nafkah ‘iddah perbulan yang diminta oleh istri. Suami tersebut hanya bersedia memberi uang ‘iddah sebanyak satu juta rupiah perbulan. Menyikapi persoalan ini, majelis hakim yang dipimpin Amri akhirnya menjatuhkan putusan bahwa suami diharuskan membayar nafkah ‘iddah sebesar satu juta rupiah perbulan selama masa ‘iddah dan rumah yang dimaksud diberikan kepada mantan istri sebagai mut’ah. Putusan pengadilan ini akhirnya mendapat kekuatan hukum yang tetap setelah masa 14 hari terlewati dan suami tidak mengajukan banding dalam periode itu. Tidak adanya banding suami atas putusan pengadilan membuat hakim Amri yakin bahwa apa yang telah diputuskan oleh majelis telah mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak.
5). Pemeliharaan Anak Pemeliharaan anak (hadhanah) merupakan salah satu isu penting yang timbul dalam perkara perceraian bagi pasangan yang telah dikaruniai anak. Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti antara lain terlihat jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa. Anak dalam KHI diidentifikasi dengan dua kondisi. Pertama, anak di bawah umur (ghair mumayyiz), yang di dalam KHI ditetapkan di bawah 12 tahun, dan kedua, anak di atas 12 tahun (mumayyiz). Peraturan pemeliharaan anak dalam KHI tidak diembel-embeli dengan syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa kriteria, jika ia ingin mendapatkan hak asuhnya. Para hakim di ketiga wilayah setuju dengan aturan KHI tersebut. Para hakim di Aceh memahami bahwa secara yuridis, anak-anak
yang masih berada di bawah usia 12 tahun harus berada dalam pengasuhan ibunya, sementara anak-anak di atas 12 tahun dibebaskan untuk memilih antara ikut atau diasuh ayah atau ibunya. Meski mereka menilai bahwa sensitivitas jender dalam ketentuan peraturan ini masih dapat diperdebatkan, sebagian besar hakim Aceh melihat bahwa aturan itu sudah memenuhi keadilan bukan hanya bagi ibu tetapi juga untuk anak, khususnya bila anak berusia di bawah 12 tahun. Bertolak dari pandangan ini, para hakim agama di Aceh dalam memeriksa sengketa pemeliharaan anak memberi perhatian yang besar kepada hak istri untuk mengasuh anaknya yang masih berusia di bawah 12 tahun. Sementara di Minangkabau, aturan KHI ini merupakan pengukuhan atas tradisi setempat yang memberikan hak asuh secara ekslusif kepada keluarga pihak perempuan apapun kondisinya.
Hakim dan Upaya Perlindungan Anak
Drs. Zakian, MH.
Hakim Zakian, yang pernah bertugas di Takengon Aceh Tengah, menuturkan kisahnya terkait dengan kasus hadhanah yang ditanganinya. Sepasang suami istri memiliki anak berumur 7 tahun. Ketika gugat cerai disidangkan dan berujung pada hak pemeliharaan anak, Zakian melihat bahwa meskipun dalam KHI hak pengasuhan harus jatuh pada sang ibu, tetapi dari pemeriksaan saksi-saksi ternyata si anak cenderung lebih dekat kepada ayahnya. Ketika majelis hakim memeriksa dan bertanya tentang keadaan ibu apakah ia mempunyai perbuatan tercela, sebetulnya tidak ada jawaban yang dapat merugikan posisi ibu. Hakim Zakian sebenarnya ingin memutuskan memberikan hak pengasuhan anak itu kepada ibu, tetapi di persidangan si istri menyatakan bahwa demi si anak, dia merelakan anak ikut bapaknya karena hubungannya yang begitu dekat dengan bapaknya. Ha-
69 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
kim Zakian menyatakan bahwa dia bukan tak ingin membela si Ibu sebagaimana tertera dalam KHI, namun pada kenyataannya hubungan emosional anak lebih dekat dengan bapaknya. Kasus serupa dipaparkan Hakim Rafiuddin dari Jantho. Dalam kasus ini, si hakim memberi dukungan bagi istri yang mendapat tekanan dan intimidasi dari pihak keluarga suami agar melepaskan pengasuhan anaknya yang masih balita kepada ayahnya. Rafiuddin menceritakan: “Si Istri rela melepaskan anak berusia 2,5 tahun untuk diasuh suami, dengan catatan diberi waktu untuk [bertemu dan] melihat. Di sini saya curiga, kenapa ada kerelaan, tetapi minta waktu untuk melihat anak. Ternyata setelah diperiksa secara terpisah saya melihat adanya indikasi tekanan keras dari keluarga suami. Karena istri merasa tertekan dan tidak berdaya sehingga melepaskan anaknya yang masih balita. Di sini kami mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satupun alasan suami [yang dapat diterima] bahwa istri tidak berhak merawat anak. Kami [akhirnya] memutuskan anak...bersama ibu dan biaya [pemeliharaan] dibebankan kepada ayah si anak.”
Dra. Yuniar AH, S.H.
Yuniar, hakim perempuan dari Banda Aceh menceritakan kasusnya. Dalam kasus hak pengasuhan anak yang ditanganinya dia berhadapan dengan persoalan batas umur sebagaimana diatur dalam KHI. Dalam KHI diatur bahwa untuk anak di atas 12 tahun diberikan sebuah pilihan bagi anak itu sendiri; ia ingin berada di bawah pengasuhan siapa, ayah atau ibunya. Hakim Yuniar memilih jalan lain untuk menafsirkan aturan KHI itu. Meskipun anak itu telah berumur 13 tahun, anak itu merupakan anak bungsu yang sangat dekat dengan ibunya. Di tambah lagi, karena bapaknya melakukan poligami secara diam-diam, yang menjadi alasan perceraian ayah dan ibu kandungnya, psikologi anak tersebut tidak siap untuk tinggal bersama ibu tirinya. Maka dari itu, hakim Yuniar tidak memberikan pilihan pengasuhan kepada anak itu sendiri, tetapi langsung menetapkan bahwa anak itu diasuh oleh ibu kandungnya. Di Sumatera Barat, hakim Pelmizar dan hakim Abdul Hakim menceritakan bahwa di Minang pengasuhan anak selalu diberi-
70 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
kan kepada ibunya tanpa harus melihat aturan di KHI. Bukan saja karena hubungan emosional anak dengan ibunya yang umumnya selalu lebih erat dibandingkan bapaknya, tetapi karena dalam tradisi masyarakat Minang yang matrilinial, pengasuhan anak memang selalu diberikan kepada ibunya atau keluarga garis ibu. Bahkan jika si ibu meninggal, pengasuhan anak di bawah umur selalu dberikan kepada keluarga dari pihak ibunya.
Senada dengan para hakim agama di Sumatera Barat dan Aceh, hakim agama dari Sulawesi Selatan memandang bahwa dalam memutuskan masalah pemeliharaan anak, yang dijadikan rujukan adalah ketentuan hukum yang ada dalam KHI. Semua hakim menyatakan bahwa proses peradilan yang terkait dengan pemeliharaan anak dikembalikan kepada ketentuan yang ada dalam KHI, seperti telah diutarakan di atas. Mereka mengungkapkan bahwa dalam kasus anak di bawah umur, orang tua laki-laki hanya akan diberikan hak pengasuhan jika si ibu berbeda agama atau keluar dari Islam, keputusan ini diambil demi kepentingan masa depan anak. Seperti halnya di Aceh dan Sumatera Barat, para peserta di Sulawesi Selatan berpendapat bahwa jika ada benturan antara kepentingan ibu dengan anaknya, maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan anak. “... sebelum pelatihan kami sudah punya dasar-dasar aturan (tentang pemeliharaan anak) yang ditetapkan seperti itu, bahwa pengasuhan anak itu tidak dibebankan pada kepentingan orang tuanya, tetapi harus melihat selalu ke kepentingan anaknya. Dengan adanya pelatihan dan juga seperti yang
kemarin, semakin menambah pemahaman kita, bahwa yang harus kita lihat dalam hal ini adalah kepentingan anak. Ada contohnya seperti di daerah sini waktu itu, saya lihat kondisinya si anak sudah melekat pada bapaknya sejak umur 2 tahun, malah sebelum 2 tahun. Pada umur 5 tahun (ketika gugatan cerai dilakukan) mamanya sampai meneteskan air mata meminta hak asuh anak, tapi tidak bisa dibuktikan keterikatan secara lahiriyah dengan si anak...” (Muhajir, Kepala KUA) Analisis Dalam hal pengasuhan anak, yang pertamatama harus diperhatikan adalah kepentingan anak. Analisis jender depat membantu mengeliminasi kemungkinan adanya stereotype jender yang seolah-olah memandang setiap perempuan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memelihara anak, atau sebaliknya seolah-olah laki-laki tak memiliki kemampuan itu. Namun adalah benar karena selama ini secara adat dan sosio-kultural pengasuhan anak ada dibawah ibunya, hubungan anak dan ibu umumnya jauh lebih dekat sebagai kelanjutan dari fungsi biologisnya yang melahirkan dan menyusuinya. Dalam konteks itu, KHI nampaknya menggunakan alasan kebiasaan dan kelaziman
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
71
anak berada dalam asuhan ibunya terutama dibawah umur 12 tahun. Seorang hakim dapat menggunakan analisis jender untuk mendudukkan posisi dan kepentingan anak, dengan mengeliminasi stereotype tentang perempuan dan laki-laki terkait dengan kemampuan/ketidakmampuan mengasuh anak yang seolah-olah bersifat permanen. Jika memang tanpa tekanan seorang ibu melepaskan hak asuh anak kepada bapak, maka sangat boleh jadi memang sang bapak memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian. Demikian juga sebaliknya. Meskipun si anak telah berusia diatas 12 tahun, anak bisa saja masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya. Dalam hal yang semacam ini, sensitivitas jender dapat membantu hakim untuk memupuskan stereoptype tentang peran ibu dan bapak dalam pengasuhan anak. Pegangan utama hakim adalah bagaimana memberi perlindungan dan kebaikan bagi anak. 6). Harta Bersama
72
Pembagian harta bersama atau gono-gini (hareuta sehareukat dalam bahasa Aceh) merupakan perkara yang muncul sebagai akibat lanjutan dari perceraian. Dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya menggunakan ketentuan KHI, di mana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian maupun karena salah satu pasangan meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua belah pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya pandangan yang sama. Meskipun hukum materil, seperti KHI sudah memberikan aturan yang berperspektif kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaannya kerap muncul penaf-
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
siran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat ½ dari harta yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah publik yang menghasilkan uang. Namun, bukan tidak mungkin bila ada hakim yang menerapkan pembagian dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tak jarang dicarikan justifikasinya yaitu dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana diatur dalam Al Qur’an. Terkait hal ini, para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh nampak mengakomodasi aturan KHI secara jelas dan kongkrit. Bagi mereka, status istri yang bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga sama pentingnya dengan status suami yang bekerja di luar rumah tangga. Perannya sebagai ibu rumah tangga memberi kontribusi penting dalam proses penciptaan harta bersama suami istri selama masa pernikahan mereka, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta bersama itu terdaftar. Oleh karenanya, dalam penyelesaian kasus harta bersama para hakim di Aceh memberikan hak seperdua bagian kepada istri. Bagi mereka tidak ada unsur apapun yang dapat menghalangi dipenuhinya hak istri terkait harta bersama. Kontrak atau perjanjian yang tercermin dalam akad pernikahan sudah cukup dijadikan bukti adanya kerjasama suami dan istri dalam perolehan harta bersama.
Hakim dan Upaya Pembagian Harta Bersama Secara Adil Abdullah Tgk. Nafi adalah seorang hakim yang berdinas di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah memeriksa perkara cerai yang di dalamnya tersangkut pula masalah harta bersama. Si istri mengajukan cerai gugat dari suaminya, karena tidak tahan terus menerus menerima tuduhan bahwa istri telah berbuat serong dengan seorang pria lain. Suami bersedia menceraikan istrinya asalkan istri bersedia menandatangani surat pernyataan bahwa ia tidak akan menuntut harta bersama. Surat yang disiapkan oleh suami itu ditandangani si istri dan dibawa ke pengadilan sebagai barang bukti. Akan tetapi, hakim Abdullah memandang surat pernyataan yang ditandatangani di bawah materai tersebut tidak sah. Pertama, karena kesepakatan itu dilakukan di luar persidangan sebelum ada pemeriksaan. Kedua, ia menilai bahwa hak perempuan terhadap harta bersama setelah perceraian tetap harus diperhitungkan, terlepas apapun penyebab dan alasan terjadinya perceraian itu. Penyelesaian kasus harta bersama di Sulawesi Selatan cukup mengindikasikan kuatnya keberpihakan hakim kepada perempuan dalam pembagian harta bersama pasca perceraian. “… ada pernah kasus di Maros, suaminya tidak mempunyai pekerjaan tetap, sementara istrinya pengusaha hotel. Mereka bersepakat untuk mengakhiri perkawinan dan pergi ke pengadilan. Suaminya minta setengah daripada harta sebagai harta gono-gini. Tapi teman-teman hakim memiliki pertimbangan lain. Adalah betul bahwa hukum harta gono-gini harus dibagi dua, tapi pembagian sama rata itu harus ada dasarnya. Misalnya, si istri menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga, kita menilai pekerjaannya [adalah] sepenting pekerjaan suaminya. Tapi dalam kasus ini, si suami tidak ikut banting tulang dan tak pula urus rumah tangga. Bagaimana dia mau mendapatkan fifty-fifty? Kami putuskan saat pembagian harta bersama bukannya fifty-fifty, tapi lebih banyak perempuan…”
73 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Para hakim telah menilai dengan adil bahwa pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga dalam bentuk mengelola rumah tangga sebanding dengan suami yang bekerja di luar rumah. Para hakim di Sumatera Barat pada dasarnya setuju dengan aturan KHI soal harta bersama. Namun pada praktiknya, mereka cenderung untuk lebih mengutamakan hak-hak perempuan atas dasar untuk melindungi masa depan kehidupannya dan anak-anaknya yang secara pasti berada dalam tanggung jawabnya, apapun status perkawinannya kelak.
74
Para hakim Sumatera Barat ini menilai bahwa pembagian harta bersama dalam kasus tertentu bisa menyimpang dari aturan hukum, di mana aset bersama tidak dibagikan rata. Dalam kasus istri yang mencari nafkah, sementara suami sama sekali tidak bekerja, maka rasio pembagian harta bersama bisa tidak satu banding satu. Istri, dalam kondisi seperti itu, bisa mendapat porsi lebih banyak. Seorang hakim pernah menyelesaikan perkara dengan memberikan ¾ dari harta bersama kepada istri. Penafsiran dan sikap para hakim ini merupakan hasil pembacaan mereka atas kenyataan tentang beratnya tanggung jawab istri pasca perceraian. Dan untuk itu mereka tak merasa telah melangkahi KHI, melainkan memanfaatkan peluang yang diatur KHI. Dalam KHI, pembagian 1:1 itu tidak mempermasalahkan siapa yang bekerja di luar, melainkan soal perlindungan bagi perempuan pasca perceraian.
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Penerjemahan dari aturan KHI terkadang dapat terjadi dalam bentuk lain. Misalnya, harta bersama tidak dibagikan dengan alasan bahwa harta yang dicari semuanya diperuntukkan bagi anak. Terlebih jika rumah dibangun oleh suami dan istri di atas tanah harta pusako tinggi. Analisis Sekilas terlihat bahwa para hakim telah sedemikian rupa mengupayakan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan pasca perceraian. Bentuk perlindungan itu diberikan dalam menerapkan konsep gono-gini yang diatur KHI. Terlihat bahwa analisis jender telah digunakan ketika mereka berargumentasi tentang berapa bagian yang diberikan kepada istri dan alasannya. Alasan yang mereka kemukakan dengan jelas menunjukan sensitivitas mereka bahwa secara de facto istri ikut bekerja dengan mengurus rumah tangga sehingga harta bisa dikumpulkan sepanjang usia rumah tangga berlangsung. Para hakim telah menilai dengan adil bahwa pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga dalam bentuk mengelola rumah tangga sebanding dengan suami yang bekerja di luar rumah. Dalam konteks itu, adalah sangat adil secara jender bila hakim memutuskan perempuan mendapat bagian yang sama dengan lelaki yang bercerai. Demikian halnya ketika hakim memberi bagian lebih banyak kepada istri yang bekerja. Analisis jender membantu mereka untuk memahami bahwa ketika istri bekerja di luar rumah —sangat jarang suami mengambil alih pekerjaan rumah tangganya. Dengan demikian, istri pada dasarnya telah bekerja rangkap melakukan produksi sekaligus reproduksi. Atas dasar itulah, menjadi sangat layak jika mereka berpisah si istri akan mendapat ¾ bagian dan suaminya ¼ bagian.
Di sini sumbangan suami tetap dinilai dengan wajar dan adil. 7). Poligami Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh memandang bahwa poligami merupakan perkara yang pelik untuk diperbincangkan. Pertama, karena tidak ada satupun di antara hakim yang berani menetapkan hukum poligami itu terlarang, walaupun dalam praktiknya mereka sebagai hakim sangat mengetahui bahwa perkawinan poligami adalah perkawinan yang paling bermasalah dan dipandang sebagai amalan yang hanya dapat dilakukan karena terpaksa alias darurat. Bukti bahwa aktivitas poligami merupakan sesuatu yang bermasalah adalah karena hampir semua praktik poligami dilakukan dengan memanfaatkan “kadi liar”. Dalam konteks Aceh sesungguhnya hakim jarang memproses perkara permohonan izin resmi untuk berpoligami di pengadilan, meskipun dalam kenyataannya banyak sekali praktik poligami di Aceh. Alih-alih mengantongi izin dari pengadilan, poligami itu pada umumnya dilangsungkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan istri. Dalam hal ini, praktik poligami sebetulnya terkait dengan masih banyaknya praktik kawin siri dan peran penghulu tidak resmi atau institusi di luar negara. Kedua, karena perempuan Aceh pada umumnya lebih memilih bercerai daripada hidup dimadu. Dalam FGD di Sulawesi Selatan, tema poligami dibahas cukup hangat dan memunculkan perdebatan seru. Sebagian besar hakim (lelaki) menyatakan dasar poligami adalah boleh. Sementara hakim perempuan, meskipun tidak secara tegas menyatakan haram, memandang poligami sebagai tindakan penyimpangan dari tujuan perkawinan sebagaimana tersurat dalam ayat “…wa ja`alna
bainakum mawaddatan warahmatan..” (mewujudkan kehidupan yang penuh kasih sayang). Menurut mereka, adalah tidak mungkin tujuan seperti itu akan dapat dicapai bila laki-laki sudah berkeinginan atau melakukan poligami. Dalam diskusi masalah ini terdapat titik berangkat yang berbeda antara hakim lelaki dan perempuan. Dengan mengutip ayat yang sama kedua kubu memberi tekanan yang berbeda. Namun, seorang peserta (laki-laki) dalam FGD di Makassar mengungkapkan pendapatnya, sesuatu yang cukup sering dikemukakan oleh mereka yang menolak poligami: ”Kaum bapak umumnya hanya menitik beratkan pada penggalan ayat “... fankihu maa thoba lakum minannisaa matsnaa wa tsulatsa wa rubaa (kawinilah di antara perempuan itu, dua, tiga atau empat), karenanya hukum poligami adalah boleh. Namun ada penggalan ayat berikutnya yang jarang dibaca yaitu, “dan jika tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah satu saja, sungguh, kata Allah kamu tidak akan sanggup berlaku adil meskipun kamu menginginkannya”. Lebih dari itu, ada ayat lain yang juga dianggap sering terlupakan , yaitu ayat ”wamin ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaja litaskunu ilaiha waja’ala bainakum mawaddatan warahmah’. Saya ingin menonjolkan ’mawaddah warahma’ itu cinta dan kasih sayang. Di ayat lain ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu sebenarnya menekankan untuk meningkatkan rasa kasih sayangmu pada istrimu”. (Muhajir, Kepala KUA). Di sini terlihat bahwa dalam praktiknya, para hakim laki-laki, meskipun memandang hu-
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
75
kum poligami adalah “boleh”, mereka selalu menganalisis penyebab keinginan laki-laki tersebut untuk berpoligami. Dengan kata lain, keinginan berpoligami seorang laki-laki tidak selalu dijawab dan dikabulkan oleh para hakim. Meski demikian, tidak berarti kasus poligami sama sekali tidak masuk dalam dossier perkara mereka. Di Aceh, Padang dan Makasar kasus poligami biasanya masuk ke pengadilan dalam kaitannya dengan keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian. Terkait kasus permohonan izin poligami, para hakim Sumatera Barat cenderung pada pemikiran bahwa poligami diperbolehkan dalam agama Islam dengan bertumpu pada nash yang menurut mereka sangat jelas ada di dalam Al-Qur’an. Namun, ketika mereka dihadapkan pada perkara permohonan izin poligami, mereka cenderung untuk melihat kondisi nyata dari masing-masing kasus dan bukan pada wacana boleh atau tidaknya praktik poligami. Untuk itu umumnya hakim mengundang istri sebagai parapihak dalam persidangan.
Meskipun sudah mulai bergeser, beberapa hakim nampaknya masih kesulitan menolak pertimbangan budaya lokal yang menganggap poligami adalah bagian dari identitas dan status sosial seseorang.
76 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Bagi para hakim Sumatera Barat, perkaraperkara poligami terekam dalam tiga karakter dilihat dari sejauhmana istri dilibatkan sebagai parapihak. Pertama, poligami yang melibatkan istri sepenuhnya dalam proses pengurusannya, dan istri dalam hal ini diasumsikan telah memberi izin. Kedua, poligami yang melibatkan istri dalam pengurusannya, tapi istri tidak sepenuhnya mengikuti keseluruhan prosesi, dan izin dikeluarkan dengan setengah hati. Ketiga, poligami yang tidak melibatkan istri secara langsung, dalam arti istri hanya diwakili melalui izin tertulisnya. Dari tiga kondisi itu, secara garis besar hakim tak membedakan pemberian izin poligami. Alasannya, karena apapun bentuknya, izin istri secara formal telah diperoleh. Pertimbangan lainnya, jikapun dihalang-halangi, misalnya karena kelengkapan syarat-syarat tidak terpenuhi, poligami itu mereka yakini akan tetap dilakukan dan perkawinan poligami itu tidak akan tercatat. Memang dalam kasus yang melibatkan istri yang dalam pemberian izinnya terlihat setengah-setengah, hakim, pada umumnya, akan selalu memproses dan menyelidiki dengan lebih seksama. Namun demikian, akhir dari proses persidangan sering berujung pada pengabulan permohonan. Meskipun sudah mulai bergeser, beberapa hakim nampaknya masih kesulitan menolak pertimbangan budaya lokal yang menganggap poligami adalah bagian dari identitas dan status sosial seseorang. Dalam konteks semacam ini, tidak heran jika ada beberapa hakim yang cenderung meyakini bahwa tidak semua praktik poligami dimaksudkan untuk melecehkan perempuan.
Hakim dan Penanganan Izin Poligami Hakim Zakian yang pernah bertugas di Takengon, Aceh Tengah, mengakui pernah menyelesaikan perkara permohonan izin poligami. Seorang suami mengajukan permohonan izin poligami ke pengadilan. Suami tidak punya alasan jelas untuk poligami. Biasanya lelaki mengajukan izin poligami karena kesehatan istri tak memungkinkan untuk melayani kebutuhan seks suami. Namun dalam kasus ini, si istrinya dalam keadaan sehat dan tak ada gangguan untuk memenuhi kewajibannya. Ketika pemeriksaan berlangsung, suami menghadirkan istri yang dalam sidang itu menyatakan dirinya rela suaminya menikah lagi. Hakim menduga pasti ada pemaksaan dari pihak suami. Namun hakim tidak punya bukti yang memadai, meskipun telah mengkonfirmasi beberapa kali kepada istri. Hakim akhirnya memberikan izin kepada suami untuk menikah lagi. Namun pada penetapan yang sama dinyatakan juga bahwa harta bersama berupa sebuah rumah kediaman pasangan itu menjadi hak milik istri. Si suami ternyata menerima keputusan hakim ini. Ketua Mahkamah Syariyah NAD, Saleh Puteh, mengisahkan bahwa ia pernah menangani perkara poligami yang pada intinya menunjukkan betapa penting hakim untuk bersikap waspada terutama terkait dengan izin poligami. Seorang istri mengaku terpaksa menandatangani surat izin poligami karena dibohongi. Ceritanya, sang istri dibangunkan tengah malam dan diberitahu oleh suaminya jika tandatangan istri diperlukan untuk mengurus uang di bank. Tanpa mempelajari dokumen yang disodorkan suaminya, ia lantas menandatangani dokumen itu. Belakangan istri baru tahu bahwa itu ternyata dokumen untuk permohonan izin poligami. Hakim Saleh Puteh menyatakan bahwa pada kenyataannya banyak sekali poligami yang dilakukan dengan tidak mengindahkan ketentuan hukum. Poligami dilakukan secara sembunyi sembunyi, dengan melakukan pemalsuan dokumen dan tanpa ada persetujuan dari istri terdahulu. Permintaan izin dari istri juga seringkali tidak dilakukan dengan mengedepankan hak-hak istri untuk menolak, melainkan dengan cara paksa dan intimidasi serta memanfaatkan posisi rentan istri. Istri yang tidak memiliki sumber penghasilan, misalnya, pasti tidak punya pilihan lain kecuali menyetujuinya. Menurut Hakim Saleh Puteh,
77 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
seorang hakim dituntut untuk sensitif terhadap situasi si istri yang tidak ada pilihan itu.
Basir, S.H.
Basir, seorang hakim dari Pengadilan Agama Sungguminasa, Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa dalam mengadili perkara permohonan izin poligami, ia sering memulai dengan mengingatkan laki-laki untuk berpikir ulang atas keputusannya, kalau perlu dia meminta agar jangan berpoligami. Dalam nasihatnya itu, ia sering menyelipkan pesan-pesan agama dan moral dengan, misalnya, mengutipkan cerita yang diambilnya dari riwayat-riwayat ”hadis” yang menjelaskan bahwa orang yang berpoligami itu kelak di akhirat akan berjalan miring di jembatan shiratal mustaqim karena berlaku tidak adil terhadap istri-istrinya. Ia meyakini melalui nasihat yang ia sampaikan di persidangan itu, lelaki pemohon izin dapat berpikir ulang tentang kemampuannya bersikap adil. Memang, seperti diakui Hakim Basir, tidak mudah untuk menggoyahkan tekad kebanyakan pihak pemohon dalam urusan ini. Tapi dalam beberapa kasus, nasihatnya ternyata ampuh sehingga membuat seorang pemohon izin poligami mengurungkan niatnya. Kalaupun pihak pemohon terus bersikeras, Hakim Basir selalu memeriksa semua bukti yang ada secara teliti dan sangat hati-hati. Dengan cara itu, para suami tidak dengan mudah melakukan poligami seperti yang di bayangkannya dalam memperoleh izin poligami. Abdul Hakim, hakim dari Sumatera Barat menceritakan pendapatnya tentang izin poligami. Menurutnya, dalam poligami harus ada alasan yang jelas mengapa melakukan poligami. Dalam praktiknya, izin dari istri dianggap yang paling prinsipil dan menentukan. Jadi, jika ada izin dari istri, meski alasanalasan yang membolehkan poligami tidak ada, hakim biasanya sering mengabulkan permohonan izin poligami tersebut. Sebab, jikapun pihak pemohon tidak diberi izin, sementara istri sudah memberikan izinnya, maka poligami akan tetap dilakukan oleh suami dan perkawinannya itu akan menjadi perkawinan yang tidak tercatatkan. Menurutnya, hal ini akan memunculkan masalah lain lagi. Akan tetapi, bila terlihat istri setengah-setengah dalam memberi izin, majelis hakim akan memproses dan menyelidikinya lebih lanjut sebelum memutuskan mengabulkan atau menolak permohonan itu.
78 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Analisis Perkara izin poligami yang ditangani para hakim di tiga wilayah ini tampaknya selalu mempertimbangkan kepentingan istri dan anak yang akan menerima dampak poligami. Dengan segala daya, para hakim akan melakukan yang terbaik untuk menghindari terjadinya poligami. Namun jika pun pada akhirnya terjadi, sedapat mungkin mereka telah memberikan perlindungan maksimal kepada keluarga. Dalam pelatihan di Aceh, para hakim menyepakati bahwa poligami bisa merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kesimpulan itu mereka ambil dari pengalaman mereka di persidangan yang menunjukkan betapa banyaknya kasus di mana istri dan anak-anak mengalami penderitaan lahir batin atas kelakuan suami, atau ayah, yang berpoligami itu. Izin poligami menurut beberapa hakim pada dasarnya bukan hak, tetapi sebagai jalan darurat yang ditempuh karena keterpaksaan. Jika tidak ada kondisi darurat, izin itu sangat boleh jadi ditutup. Perspektif jender membantu hakim untuk memaknai apa arti kondisi darurat itu. Sebab, hal itu bisa menjadi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kehendak suami. Analisis jender membantu hakim untuk mengeser patokan dari memenuhi keinginan suami ke perlindungan maksimal bagi istri. Hakim juga dapat mengukur sejauhmana poligami tak memunculkan proses pemiskinan (marginalisasi) istri yang ditinggal poligami seperti istri pertama. Apa yang dilakukan hakim Zakian dalam kasus di atas, misalnya, menunjukan upaya minimal hakim agar sang istri tidak terlantar oleh suaminya yang melakukan perkawinan poligami.
Tentu penyelesaian perkara semacam itu, seperti diungkapkan oleh hakim Zakian, amat bergantung pada keberanian istri untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Dan dalam hal ini, kejelian dan kesabaran hakim untuk mengajak sang istri menyatakan pendapatnya sangat penting. Di sini hakim harus dapat membuat istri merasa nyaman untuk menceritakan apa yang ditakutkannya, termasuk ketakutannya bila suaminya berkehendak menceraikannya. Ada dua hal terkait sensitivitas jender yang sepatutnya dimiliki oleh hakim dalam kasus permohonan izin poligami. Pertama, sikap kehati-hatian hakim untuk tidak begitu saja mempercayai pengakuan izin yang diberikan istri di depan persidangan. Faktanya, hakim sampai harus berulang-ulang bertanya kepada istri untuk memastikan tidak adanya unsur ancaman dalam pemberian izin poligami tersebut. Kedua, sikap empati kepada istri yang mungkin saja akan dirugikan atau terabaikan setelah suaminya menikah lagi. Untuk mengantisipasi hal ini, hakim berinisiatif memasukkan persoalan pembagian harta bersama dalam amar penetapan izin poligami. Hakim juga dapat memberi informasi bahwa dengan berpoligami istri bisa sangat rentan terpapar penyakit menular seksual. Apalagi jika pasangan yang dinikahinya itu telah pernah kawin dengan pria lain. Meskipun dari sisi fiqih perkawinan itu sah namun dari sisi yang lain poligami dapat memunculkan kemudaratan berupa penularan penyakit seksual. 8). Kewarisan Persoalan keadilan jender dalam masalah kewarisan Islam selalu menjadi isu kontro-
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
79
versial. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang sudah diterima tanpa dipertanyakan lagi (taken for granted) bahwa hak waris anak perempuan setengah dari hak waris anak laki-laki. Karenanya, setiap upaya penerapan hukum yang berbeda dari doktrin ini secara normatif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Namun upaya untuk menafsirkan ketentuan itu tak henti-hentinya dilakukan seperti oleh para pemikir dan ulama kontemporer. Semuanya itu merupakan ikhtiar mencari solusi bagaimana rasa keadilan dapat diterapkan. Dan, jika rasa keadilan tidak terpenuhi, tak mengherankan bila masyarakat pergi ke pengadilan untuk meminta penetapan atau putusan yang adil. Fikih Indonesia sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menawarkan konsep kesetaraan kedudukan antara anak lakilaki dan anak perempuan. Keinginan itu tidak lantas terjelma dalam kesetaraan porsi yang harus diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan dalam warisan, tetapi dapat terlihat pada kesamaan kedudukan dalam menghalangi pihak lain untuk menerima warisan dari orang tua mereka. Meski tidak mengakomodasi ketentuan satu banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan, KHI menetapkan bahwa anak, tanpa menyebutkan jenis kelaminnya, dapat menghalangi saudara pewaris untuk memperoleh warisan. Ketentuan kesetaraan kedudukan anak lelaki dan perempuan ini dipahami dari aturan KHI yang menetapkan bahwa saudara pewaris baru berhak menerima warisan manakala pewaris tidak mempunyai anak. Aturan ini memberikan pemahaman bahwa jika ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris dikelu-
80 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
arkan dari lingkaran kelompok yang berhak atas warisan. Ketentuan ini merupakan salah satu upaya KHI untuk menempatkan kesetaraan posisi perempuan dengan laki-laki. Sangatlah menarik bahwa secara normatif para hakim di tiga daerah ini selalu berpegang pada ketentuan yang digariskan Al Qur’an dan penafsiran para ulama klasik yang tak beranjak jauh dari ketentuan Al Qur’an, yaitu 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Namun di tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya parsial yang bertujuan menerapkan hukum waris secara kontekstual. Para hakim mahkamah Syar’iyah Aceh, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengikuti aturan hukum kewarisan Islam sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab fikih klasik. Namun, seperti diakui oleh para hakim, pembagian waris yang diatur oleh hukum adat seperti pemberian hibah kepada anak perempuan berupa tanah rumah dan pekarangannya yang dipraktikkan dalam masyarakat Aceh Besar, Pidie dan Lamno mereka terima sebagai ketentuan yang tidak bertentangan dengan aturan agama. Patut kiranya dicatat bahwa terdapat sebuah yurisprudensi di lingkungan Mahkamah Syar’iyah tingkat provinsi yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang tidak habis dibagi kepada seorang ahli waris anak perempuan satusatunya yang masih hidup. Sesungguhnya dalam kasus sejenis, setelah anak perempuan itu memperoleh seperdua harta warisan, sisanya akan diberikan kepada paman (wali) yang masih hidup. Akan tetapi, berdasarkan yurisprudensi tersebut, persentase perolehan harta warisan anak perempuan
digenapkan menjadi penuh seratus persen. Dengan kata lain, seorang anak perempuan tunggal, walaupun ia masih mempunyai paman, dapat menerima seluruh harta peninggalan pewaris. Yurisprudensi ini seolah-olah bertentangan secara diametral dengan bunyi pasal 176 KHI yang menyatakan: anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri, dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Namun dari penjelasan hakim yang menangani perkara ini yaitu seorang hakim perempuan, Hafidzah, kita mendapatkan penjelasan yang sangat logis. Sebagai anak tunggal, anak perempuan itu mendapatkan separuh dari haknya. Tapi, karena tidak ada saudara yang lain, dia memperoleh hak atas sisanya sebagai zawil furud. Ketentuan ini tidak menggunakan aturan-aturan terkait zawil arham, yang mana saudara dari si pewaris dianggap berhak karena hanya ada satu-satunya ahli waris anak perempuan yang masih hidup. Penafsiran seperti ini merupakan suatu terobosan hukum (ijtihad) yang dipandang mampu mengatasi persoalan ketimpangan pembagian porsi harta warisan pada pihak anak perempuan. Para hakim Sumatera Barat nampaknya setuju dengan apa yang secara umum dipahami para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh terkait masalah kewarisan. Namun dalam aturan yang menentukan anak perempuan setara dengan anak laki-laki yang dapat menghalangi hak saudara dari si pewaris, mereka tidak seluruhnya bersepakat. Mereka menyatakan bahwa anak perempuan hanya dapat menghalangi hak saudara lakilaki pewaris, manakala ia bukan anak tunggal. Artinya, jika kebetulan anak perempuan itu tunggal, maka ia tidak bisa menghalangi paman dan bibi (saudara orang tuanya) un-
tuk memperoleh hak warisan. Apa yang dikemukakan para hakim Sumatera Barat ini nampaknya merupakan pemahaman yang secara ketat akan mereka terapkan manakala berhadapan dengan kasus-kasus semisal. Mereka mendasarkan sikapnya karena khawatir melakukan penyimpangan dari doktrin fikih. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka bisa menerima penyimpangan semacam itu bila anak perempuan jumlahnya lebih dari satu. Artinya, ahli waris anak-anak perempuan yang jumlahnya lebih dari satu itu, yang secara muasalnya hanya berhak atas dua pertiga atas harta warisan, dapat menghalangi hak saudara dari si pewaris untuk menerima sisa warisan yang tinggal sepertiga itu. Ini memang masih merupakan wacana pemikiran hukum. Apakah sikap yang diambil oleh hakim di Sumatera Barat akan mencerminkan wacana tersebut bila memeriksa dan memberi putusan atas kasus semacam itu, tentu belum bisa dijelaskan saat ini, mengingat perkara kewarisan sejenis ini teramat jarang, untuk tidak mengatakan tidak pernah, masuk ke dosir perkara pengadilan agama di Sumatera Barat. Lagi-lagi karena sistem kekerabatan yang mereka anut membendung masuknya perkara kewarisan ke pengadilan. Berpijak pada sistem kekerabatan yang dianut, aset rumah tangga yang terkumpul akan diberikan kepada yang ditinggalkan, istri dalam hal ini, untuk kemudian dialihkan kepada anak perempuan. Keengganan para hakim beranjak dari aturan fikih waris dan beberapa aturan kewarisan yang ditetapkan dalam KHI teramati juga di kalangan hakim Sulawesi Selatan. Perlu dicatat bahwa penanganan kasus kewarisan di
81 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Gambar 12 Para Hakim dan seorang panitera tengah menjalankan persidangan di PA Sungguminasa.
82
Sulawesi Selatan biasanya dilakukan oleh keluarga atas bantuan ulama setempat dengan berdasarkan pada ketentuan yang tertera dalam Al Qur’an. Dalam hal ini, para hakim biasanya menjadi mediator dalam menghitung pembagian harta warisan di dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam posisinya sebagai mediator, para hakim sering menerapkan prinsip perdamaian atau pembagian harta warisan secara kekeluargaan atau kesepakatan. Sikap ini diambil untuk dapat merealisasikan prinsip pemeliharaan dan perlindungan terhadap kepentingan perempuan, terutama kaitannya dengan rasio dua banding satu (2:1) untuk anak lak-laki dan perempuan.
merata atau paling tidak memperhatikan aspek kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Hakim Basir, misalnya, menceritakan bagaimana ia mengajak pihak laki-laki untuk mengalah dan kemudian mau merelakan bagiannya menjadi sama rata dengan saudari perempuannya.
Dalam kasus di mana pertikaian terjadi, para hakim mengupayakan secara maksimal terwujudnya kesepakatan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang bertikai oleh hakim diajak untuk bermusyawarah membicarakan masalah pembagian harta warisan secara
Peserta lain mengatakan:
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
“Kalau selama ini kita tuangkan masih 2:1, tapi biasanya kita mengedepankan perdamaian di dalam persidangan, [sehingga] terkadang seimbang. laki-laki di[beri] bagi[an yang] sama dengan perempuan sebagai upaya didamaikan sehingga dia sepakat untuk dibagi rata...” (Hakim Basir).
“Kadang banyak yang ngotot untuk mendapatkan porsinya lebih besar sesuai Al-Qur’an. Kita akan melihatnya secara kasuistik dengan berupa-
ya mencarikan jalan keluarnya agar pada akhirnya pihak perempuan juga mendapatkan jatah yang sama rata...” (Muhajir, Kepala KUA). Proses mediasi ini kadang berhasil, dan hakim akan memanfaatkan proses ini semaksimal mungkin untuk mengarahkan tujuan bagi perlindungan hak perempuan. Munculnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 yang mewajibkan mediasi untuk setiap perkara, mendukung upaya pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan. Dan, proses ini juga menjadi lahan hakim, yang pada hari-hari tertentu sedang tidak bertugas dalam majelis hakim, untuk menawarkan konsep-konsep perdamaian yang adil bagi kedua belah pihak. Dalam hal perdamaian atau kesepakatan tidak dapat diwujudkan, seperti diakui oleh Basir, para hakim selalu mengikuti aturan yang tertuang dalam KHI. Maksudnya, rasio pembagian dua banding satu untuk masingmasing anak laki-laki dan perempuan akan diterapkan. Sikap ini merupakan konsekuensi dari sistem hukum Indonesia, termasuk peradilan agama, yang menganut tradisi civil law dan bukan common law. Para hakim menegaskan bahwa mereka harus mengikuti aturan yang ada, terutama klausul yang tertera pada KHI pasal 176, kecuali bila aturan tersebut diubah. Selama aturan itu masih ada, mereka harus menjalankannya karena, menurut mereka, fungsi hakim adalah menegakkan dan menjalankan aturan yang ada. Mereka bukan pembuat hukum, tetapi penegak hukum, suatu sikap yang agak berbeda dengan sikap-sikap mereka pada kasus lain. Analisis Kewarisan adalah salah satu isu yang paling
penting dibahas dalam konteks penerapan keadilan jender. Ini tentu bisa dipahami karena masalah harta warisan memang sangat nyata terkait dengan akses dan kontrol terhadap aset keluarga. Analisis jender dapat digunakan untuk melihat maksud dan tujuan sebuah ketentuan spesifik kewarisan (baik itu teks agama, fikih atau peraturan perundang-undangan). Dan bagaimana suatu pembagian harta waris dilakukan berdasarkan ketentuan spesifik itu dan juga bila diletakkan dalam sebuah konteks sejarah. Dengan cara itu, akan dapat terlihat apa sesungguhnya asumsi-asumsi yang mendasari ketentuan spesifik kewarisan itu. Apakah asumsi-asumsi tersebut masih tetap berlaku dalam bentuknya itu atau mungkinkah dilakukan modifikasi dan perubahan atasnya. Selain soal akses dan kontrol, analisis jender juga dapat digunakan untuk menganalisa apakah sebuah aturan hukum memarjinalkan posisi perempuan atau tidak. Sebab sangatlah diyakini bahwa tidak ada satu pun aturan hukum atau agama yang bertujuan untuk memiskinkan atau memarjinalkan salah satu pihak atau kelompok. Hal lain yang dapat dilihat melalui analisis jender adalah ke arah mana upaya-upaya perubahan hukum mesti diarahkan dan diperjuangkan. Pertanyaannya, ke arah mana perubahan hukum itu bergerak? Pada umumnya, perubahan hukum yang mengarah kepada kemaslahatan berpangkal pada pandangan yang mendudukkan secara setara antara anak lelaki dan anak perempuan. Bagi para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh, masalah sensitivitas jender hakim dalam hal kewarisan ini tidak dapat diukur sematamata dengan bunyi keputusan majelis hakim
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
83
yang berani mendobrak doktrin dua banding satu dan menetapkan hak waris yang sama jumlah porsi pembagiannya bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Yang dapat dikedepankan sebagai parameter untuk menilai dengan lebih adil keberadaan sensitivitas jender seorang hakim dalam masalah kewarisan, adalah apakah anak perempuan satu-satunya, seperti halnya anak laki-laki, dapat menghalangi saudara laki-laki dan atau saudara perempuan dari pihak ayah anak perempuan tunggal itu. Menurut mereka, hakim bisa dikatakan sensitif jender jika memiliki pandangan bahwa anak perempuan tunggal dapat menerima seluruh harta peninggalan kedua orang tuanya walaupun terdapat pihak laki-laki dari keluarga ayah dari anak perempuan itu (e.g. saudara lakilaki ayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah). 9). Khalwat
84
Perkara khalwat adalah yurisdiksi khusus dalam lingkungan Mahkamah Syar’iyah Aceh dan tidak ditemukan di pengadilan agama di luar Aceh. Yurisdiksi khusus ini berlaku sejak mulai diresmikannya penerapan syariat Islam secara formal di Aceh pada tahun 2002. Menurut Qanun no. 14 tahun 2003, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyisunyi antara dua orang mukallaf (dewasa) atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Ketentuan sanksi bagi pelanggar Qanun ini adalah cambuk paling banyak sembilan kali dan paling sedikit tiga kali. Dengan ketentuan seperti ini, sensitivitas jender hakim mungkin dapat diukur melalui beberapa parameter yang validitasnya masih dapat diperdebatkan, yaitu apakah seorang hakim memutuskan jumlah hukuman cambuk bagi tiap-tiap pelaku dengan mempertimbang-
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
kan (1) faktor perbedaan jenis kelamin, (2) faktor siapa pihak yang pertama-tama berinisiatif melakukan khalwat dan (3) faktor di tempat siapa khalwat itu dilangsungkan. Walaupun faktor perbedaan jenis kelamin menjadi pegangan, di mana hakim memutuskan jumlah hukuman cambuk lebih sedikit bagi perempuan pelaku khalwat sementara untuk pelaku laki-laki dikenakan hukuman cambuk yang jumlahnya lebih banyak, tampaknya hakim juga memasukkan unsur siapa pihak yang berinisiatif mengajak khalwat dan di tempat siapa khalwat itu dilakukan sebagai pedoman dalam menentukan besar kecilnya jumlah hukuman cambuk yang dijatuhkan. Hakim Yuniar menceritakan sebuah kasus khalwat yang pernah diperiksanya sebagai berikut: ”Kasus ini terjadi sekitar awal atau pertengahan tahun 2007 di Banda Aceh... Kasusnya si A (laki-laki) dan si B (perempuan) kedua-duanya mahasiswa menyewa rumah kontrakan [yang terpisah] di Lampeuneurut. Kebetulan malam itu malam minggu dalam keadaan hujan [sehingga] laki-laki beralasan tidak bisa mengantar perempuan ke rumahnya. Lantas laki-laki tersebut mengajak perempuan itu menginap di rumah kosnya. Perbuatan mereka ini sudah diketahui oleh orang kampung setempat. Namun dibiarkan saja [karena] masih beranggapan mungkin pulang agak larut malam. Ternyata di waktu pagi melintas salah seorang kampung dan menyampaikan bahwa di rumah kos laki-laki itu ada perempuan. Lalu mereka langsung ditangkap di tempat itu juga. Sesampai kasus ini di pengadilan, laki-laki mengakui apa
yang telah dilakukan semuanya terhadap perempuan tersebut. Demikian pula perempuan mengakui [hubungan suami istri]. Di sini kami [hakim] menetapkan hukuman bagi laki-laki tujuh kali cambuk dan perempuan [mendapat] lima kali cambuk. Pertimbangannya adalah mereka sama-sama kuat keinginannya melakukan perbuatan asusila. Malahan perempuan ketika diajak ke tempat laki-laki juga bersedia [dan] tidak menolak. [Walaupun perbuatan tersebut dilakukan atas dasar sama-sama suka], dari perspektif jendernya, tidak sama menghukum laki-laki maupun perempuan... Sebenarnya di dalam Qanun tidak diatur harus berapa kali cambuk untuk lakilaki dan perempuan... Ini hanya semata-mata pertimbangan hakim. Sebab dari segi fisiknya, perempuan tetap lemah. Pertimbangan kami lebih mempertimbangkan di hati nurani. Rasanya kalau lima kali [untuk perempuan] itu pun kalau bisa jangan, melainkan tiga kali cambuk sudah cukup.” Sebuah persidangan kasus khalwat di Mahkamah Syar’iyah Jantho pada 4 Desember 2008, yang sempat disaksikan oleh peneliti, mungkin menarik juga untuk didiskusikan di sini. Pemeriksaan kasus khalwat tersebut dipandang telah berperspektif jender karena tidak memojokkan posisi perempuan yang seringkali dianggap sebagai pihak yang bersalah menyebabkan timbulnya hasrat lakilaki untuk berkhalwat. Lebih dari itu, hakim memberikan perhatian khusus terhadap kondisi psikis yang dialami oleh terdakwa perempuan saat pemeriksaan berlangsung. Ketika sidang sudah berjalan selama 15 menit, terdakwa perempuan mengeluh menda-
dak pusing. Hakim ketua, Rafiuddin, menunda sidang beberapa menit untuk memberi waktu kepada perempuan tersebut untuk beristirahat sejenak. Saat sidang dimulai kembali, hakim Rafiuddin memberi semangat agar terdakwa perempuan tidak perlu takut dengan persidangan dan memberitahu bahwa tak perlu merasa gusar dengan tuntutan jaksa karena majelis hakim akan memutus perkara itu dengan seadil-adilnya. Pada waktu majelis hakim memutuskan vonis bagi pasangan yang berkhalwat itu sebanyak tujuh kali cambuk dan meminta mereka untuk menandatangani putusan, hakim tidak memaksa terdakwa yang masih merasa pusing itu untuk maju ke meja hakim, melainkan memperkenankannya menanda tangani putusan dalam keadaan duduk di atas kursinya. Analisis Isu kasus khalwat merupakan topik yang sangat pelik untuk dianalisis dari perspektif jender. Namun begitu, bukan berarti analisis jender tidak dapat diterapkan. Pertamatama, analisis jender dapat digunakan untuk membantu merumuskan konsep pelanggaran itu. Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang dilanggar dan kemudian diatur dalam ketentuan Qanun khalwat itu? Apakah mereka melanggar kesusilaan umum atau khalwat itu adalah pelanggaran atas integritas perempuan. Ini berarti sejak awal cara pandangnya harus berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya telah terjadi ketimpangan pengambilan keputusan antara lelaki dan perempuan. Ketika khalwat terjadi, maka jika menggunakan analisis ini, yang pertama tama harus ditanya adalah apakah terjadi pemaksaan, intimidasi dan situasi yang menyebabkan pihak perempuan tak ada pilihan. Jika ternyata tidak ada unsur itu maka
sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
85
hukum khalwat bisa ditegakkan. Perbedaan jumlah cambukan mungkin saja dapat dimaknai bahwa hukum khalwat itu telah menimbang keadaan fisik dan psikologis perempuan. Namun dampak yang diterima secara sosial pasti berbeda. Pada perempuan stigma yang diterima jauh lebih besar meski hanya dicambuk satu kali pun, dibandingkan dengan stigma yang dialami laki-laki. Hal-hal semacam inilah yang seharusnya dijadikan pertimbangan untuk penerapan hukum khalwat ini.
B. HAKIM IN ACTION: PEMERIKSAAN PERKARA DI RUANG SIDANG Berdasarkan pengamatan di lapangan, sikap, gesture dan tutur kata para hakim sudah menunjukkan kesetaraan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Sikap dan prilaku para hakim juga telah mengarah pada profesionalisme kerja dan memperlihatkan bahwa lembaga peradilan agama adalah lembaga hukum formal dan berwibawa. Sikap-sikap dan prilaku para hakim yang telah mencerminkan kenyataan ini, seperti diakui, kurang lebih dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki yang didapatkan melalui pelatihan.
86
Beberapa hakim mengakui bahwa sebelum mengikuti pelatihan mereka kurang memperhatikan hal-hal terkait dengan kesamaan hak dan kewajiban para pihak berperkara dalam perspektif jender. Beberapa mengakui bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu jender, tetapi mereka sering merasa khawatir
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
bahwa apa yang mereka lakukan menyalahi aturan dan ditentang oleh teman-teman seprofesi. Pelatihan yang diikuti bersamasama oleh para hakim membuat mereka yang tadinya belum tersadarkan akan pentingnya pemahaman dan pengejawantahan prinsip relasi jender menjadi tercerahkan dan mulai sensitif terhadap isu jender, dan membuat mereka yang sudah memiliki kecenderungan mendapatkan legitimasi konsep, paling tidak, jika bukan legitimasi hukum, dan merasa memiliki sandaran dan acuan yang lebih jelas. Mereka dapat menerima dengan baik setiap isu permasalahan jender, di mana para hakim berusaha untuk mengindahkan kesetaraan jender pada setiap tahapan proses ajudikasi hingga pada level banding, selama hal tersebut tidak bertentangan secara langsung dengan regulasi (UU No.1/1974 KHI), kebijakan lokal dan lain sebagainnya. Isu permasalahan jender sudah menjadi bagian dari pertimbangan hakim dalam mengeluarkan amar putusannya (proses ajudikasi). Artinya, dalam mengambil keputusan, hakim selain merujuk pada aspek yuridis dan kemudian filosofis, juga mempertimbangkan aspek sosiologis (kearifan lokal). Isu sensitivitas jender yang berada dalam tataran filosofis dan sosiologis otomatis dapat terakomodir dalam pertimbangan para hakim. Dalam kasus pembagian harta bersama di mana pihak istri yang mencari nafkah sementara suami hanya main-main saja dan sama sekali tidak bekerja, misalnya, harta bersama bisa dibagikan tidak rata. Istri bisa mendapat lebih. Ada kasus di mana hakim memberikan harta bersama ¾ bagi istri. Sejalan dengan kesadaran baru para hakim
... mereka sering merasa khawatir bahwa apa yang mereka lakukan menyalahi aturan dan ditentang oleh temanteman seprofesi.
ini, hakim di PTA mengakui, seperti diutarakan oleh beberapa hakim PTA yang terlibat dalam training dan kemudian FGD, sudah banyak menemukan bahwa putusan PA saat ini dalam beberapa kasus, tidak lagi secara harfiah dan kaku mengikuti aturan tertulis kerena pertimbangan kondisi perekonomian yang terkait dengan masalah jender. Walaupun demikian, sebagian besar hakim PA Sumatera Barat merasa beberapa isu jender pada kasus perikatan keluarga di ranah Minang masih sangat sulit untuk diterapkan. Penerapan secara penuh terkait dengan isu
jender masih membutuhkan waktu. Hakim masih membutuhkan jaminan hukum tertulis dan penyesuaian pemahaman dengan kondisi lokal. Untuk itu hakim meminta pihak-pihak yang berkepentingan dapat mensponsori gerakan yang mendorong kesetaraan jender menjadi bagian dari hukum tertulis, atau paling tidak terlebih dahulu tersosialisasikan dengan institusi adat lokal. Karena untuk hal tersebut, hakim sendiri tidak bisa mempunyai ruang gerak yang cukup. Selain itu, masalah lain dalam penerapan dan penguatan kesetaraan jender ini, juga terkait dengan bagaimana peran para pejabat Departemen Agama/KUA dan Ulama. Pada permasalahan perikatan rumah tangga, aparatur sering kali bertindak sebagai ulama memberikan nasihat, pemahaman dan pengetahuan. Sementara banyak ‘ulama yang kemudian bertindak sebagai aparatur, seperti menetapkan kehalalan dan keharaman sesuatu. Padahal, ulama tugasnya hanya memberikan nasihat, pemahaman dan pengetahuan.
Gambar 13 Para Hakim sedang membacakan hasil keputusan di Peradilan Agama di hadapan para pemohon
87 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
Selain itu, dalam kerangka penguatan sensitivitas jender, putusan-putusan PA itu harus didiskusikan dengan pihak-pihak lain. Hakim perlu masukan dan bantuan dari pihak-pihak luar yang terkait. Hakim sering menemukan kesulitan untuk menerapkan aturan, misalnya dalam masalah perceraian, karena ketidakhadiran suami. Hakim tidak bisa melakukan eksekusi terhadap apa yang telah diputuskan, sedang ketentuan sanksi untuk hal tersebut tidak ada. Kondisi lain adalah istri terkadang tidak bisa menunjukkan mana harta yang bisa dieksekusi. Ada yang pernah meminta eksekusi dan menunjuk mobil yang akan dieksekusi, tapi kemudian diketahui bahwa mobil tersebut atas nama kakak (mantan) suami, maka eksekusi tidak bisa dilakukan. Terkait sikap dan perilaku yang mengarah pada profesionalisme hakim dan kewibawaan lembaga peradilan, seorang hakim, misalnya, meminta para litigan untuk berpakaian sopan ketika memasuki ruang persidangan. Hakim menegur pihak lakilaki untuk tidak menggunakan topi pada saat masuk dalam persidangan. Hakim juga memperhatikan cara dan kerapihan berpakaian dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah persidangan selesai, hakim memperlihatkan sikapnya
Sikap yang sangat jelas memperlihatkan bentuk perhatian hakim terhadap kepentingan perempuan dapat dilihat dalam kasus penyerahan uang nafkah dan mut`ah.
88 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
yang santun dan egaliter dengan mencoba mengarahkan para pihak untuk tidak datang ke meja sidang majelis hakim dan langsung mempersilahkan mereka keluar tanpa harus menjabat tangan para hakim. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kesan takzim yang berlebih-lebihan terhadap majelis hakim oleh para pihak yang berperkara. Kesetaraan perlakuan diperlihatkan oleh para hakim dalam beberapa sikap dan prilaku. Seorang hakim, misalnya, selalu memberikan waktu kepada masing-masing pihak litigan untuk dapat mengungkapkan dengan baik mengenai pembelaan, tuntutan, keterangan, argumentasi dan lain sebagainya. Secara bersamaan, seperti terlihat pada kasus perceraian, hakim meminta pihak laki-laki dan perempuan, baik sebagai penggugat maupun tergugat, untuk fokus pada jawaban pertanyaan hakim tanpa perlu memberikan komentar-komentar tambahan yang tidak perlu. Hakim tampak imbang dalam memperlakukan pihak laki-laki dan perempuan, ketika mengajukan pertanyaan dan meminta kejelasan perkara tanpa berupaya mengintervensi dengan kalimat-kalimat yang tendensius yang dapat mempengaruhi salah satu pihak. Hakim juga menanyakan dengan serius alasan kenapa pihak laki-laki tidak bisa datang dalam persidangan, dan hanya diwakili oleh penasehat hukum atau orang yang ditunjuknya. Sikap yang sangat jelas memperlihatkan bentuk perhatian hakim terhadap kepentingan perempuan dapat dilihat dalam kasus penyerahan uang nafkah dan mut`ah. Kepada pihak suami pemohon talak, hakim memintanya untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai nafkah pada bulan pertama dan mut’ah istri sebelum hakim memba-
cakan putusan perkaranya dan memperkenankan suami mengucapkan ikrar talak. Ketika suami sudah dapat menunjukkan sejumlah uang yang ditetapkan di dalam putusan dan menitipkannya pada panitera untuk diberikan kepada istri, ikrar talak baru kemudian perkenankan untuk diucapkan. Secara umum, dalam mengambil keputusan, para hakim terlebih dahulu merujuk kepada aspek yuridis, kemudian filosofis dan aspek sosiologis (kearifan lokal). Ketika mereka tidak menemukan aturan hukum perkara yang sedang dihadapi, beberapa hakim mengakui merujuk pada fikih dan juga menggunakan pendapat ulama kontemporer untuk menentukan keputusan atas sebuah perkara. Walaupun demikian, itu tidak berarti mereka menutup kemungkinan untuk berijtihad sendiri, misalnya dengan mengembangkan kepekaan jender dalam sebuah perkara yang mereka periksa. Isu jender dalam suatu permasalahan yang terkait tampaknya sudah menjadi elemen penting dalam pertimbangan majelis hakim pada saat mempersiapkan amar putusannya. Seperti telah terlihat dalam paparan pada bab ini, meski dalam banyak kasus dan wilayah, isu sensitivitas jender masih berada dalam tataran wacana dan konsep, sensitivitas semacam itu sudah terefleksikan dengan baik pada tataran aplikasi di beberapa tempat lain. Dalam putusan berkenaan perkara
perceraian, misalnya, karena pertimbangan kondisi perekonomian, majelis hakim sering menetapkan jumlah uang nafkah ‘iddah dan mut’ah yang cenderung lebih tinggi dibanding jumlah yang ditetapkan sebelum perekonomian stabil. Contoh lainnya adalah pengabulan permohonan itsbat nikah oleh hakim dengan pertimbangan beberapa alasan yang tidak tersebut di dalam aturan hukum positif. Putusan-putusan yang mempunyai relevansi dan pertimbangan sensitivitas jender secara umum dapat diterima oleh para pihak berperkara, meski terkadang belum sepenuhnya mendapat respon yang positif dari masyarakat. Para hakim menyadari bahwa setiap putusan yang mereka buat sedikit banyak pasti mengundang kritik dan komentar dari berbagai pihak. Namun, para hakim merasa yakin bahwa selama kemaslahatan yang ingin mereka ciptakan melalui putusan-putusan tersebut dapat terlihat dan terwujud, semua pihak pada akhirnya akan dapat menerima. Hukum positif selalu menjadi pijakan yang utama, yang diimbangi pula dengan pertimbangan budaya lokal atau adat tradisi setempat. Akan tetapi, bunyi aturan hukum dan semua norma-norma itu pada saat yang sama terbingkai pula oleh sensitivitas jender para hakim yang telah mengikuti training, sehingga menjadi referensi yang terus hidup di dalam diri para hakim ketika memeriksa dan dalam proses pengambilan putusan. [*]
89 sensitivitas jender dalam sikap dan perilaku hakim: ANALISIS
90 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Refleksi dan Rekomendasi
5
5
Refleksi dan Rekomendasi
P
A. CATATAN REFLEKTIF
eradilan Agama merupakan institusi pemerintah yang melibatkan banyak pihak dalam hal organisasi, operasionalisasi, perangkat hukum terapan dan kapasitas sumberdaya manusia. Pengembangan sumber daya manusia peradilan, dalam hal ini para hakim, melalui pendidikan dan pelatihan yang disediakan baik sebelum maupun sesudah bertugas (pre and in-service training) turut membantu membentuk kualitas kecakapan hukum para hakim. Latar belakang pendidikan yang mungkin masih fikih oriented serta sangat sedikitnya—untuk tidak mengatakan nihil sama sekali—muatan kurikulum yang bersentuhan dengan keadilan jender jelas sangat mempengaruhi respon dan penerimaan para hakim terhadap gagasan jender.
92
Pelatihan terkait isu jender yang diberikan kepada para hakim pada saat mereka telah ”malang-melintang” dalam profesi itu membawa efek dan implikasi tersendiri. Betapapun, kesulitan penerimaan dan penerapan akan terasa, mengingat para hakim sudah sangat terbiasa dengan cara pandang (paradigma) lama. Lebihlebih mereka juga adalah bagian dari masyarakat yang tidak terlepas dari budaya dan tradisi lokal mereka. Meski beberapa hakim dengan sangat terbuka menerima isu jender, beberapa yang lain cenderung mempertanyakan relevansi dan signifikansinya.
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Para hakim agama di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yang telah mendapatkan pengayaan materi dan pembinaan selama pelatihan, merasakan pengaruh dan efek yang berbeda-beda dari pelatihan jender tersebut. Di antara mereka ada yang melihat manfaat besar pelatihan bagi pengembangan pemahaman hukum keluarga Islam dan penyelesaian perkara yang lebih mempertimbangkan relasi suami dan istri. Sementara sebagian peserta merasakan memperoleh sesuatu yang baru, peserta yang lain menerima doktrin-doktrin baru di atas doktrin-doktrin yang sudah sangat lekat dalam kesadaran hukum mereka. Di atas segalanya, seluruh peserta pelatihan merasakan adanya suatu kesadaran dan pemahaman baru yang muncul terhadap konsep jender. Ini jelas suatu pencapaian awal yang sungguh berarti terlepas seberapa besar atau kecil hal itu membawa pengaruh dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Meskipun pelatihan yang diberikan kepada para hakim diakui sangat bermanfaat dan telah memberikan pencerahan terhadap pemahaman jender dan telah mempengaruhi banyak sikap dan perilaku para pesertanya, kunci awal dari kesuksesan itu justru terletak pada desain program pelatihan. Desain program pelatihan menjadi krusial dalam menentukan seberapa besar dampak yang mungkin terbentuk dari proses keikutsertaan para hakim dalam pelatihan itu. PUSKUMHAM melihat bahwa kualifikasi dan keterampilan narasumber untuk menjelaskan dan melakukan reinterpretasi ajaran hukum Islam merupakan faktor yang sungguh menentukan. Berhadapan dengan para hakim, yang sebagian dari mereka mempunyai latar belakang khusus dan mungkin sekali juga memiliki profesi tambahan sebagai ula-
ma atau penceramah agama di luar lingkungan kantor, kepiawaian narasumber dalam menerangkan konsep dan pemikiran baru, dan kemudian membandingkannya dengan pemikiran lama dan ataupun budaya lokal merupakan aset penting yang harus diperhitungkan agar suatu pelatihan bisa berjalan sukses dan membawa dampak signifikan setelahnya. Kepiawaian semacam ini bahkan dapat menutupi kelemahan minimnya pengetahuan narasumber atas budaya lokal. Selain itu, pola rekrutmen peserta pelatihan yang dipergunakan mempunyai cukup pengaruh dalam membangun suasana pelatihan yang nyaman dan kondusif. Rekrutmen peserta yang homogen dari segi jenis latar belakang pendidikan dan profesi pekerjaan tidak saja memudahkan proses transmisi konsep dan gagasan, tetapi juga atmosfer diskusi dan debat pemikiran yang berlangsung lebih hidup dan dinamis. Rekrutmen peserta dari berbagai kalangan yang berbeda-beda secara profesi dan pendidikan untuk dilatih meningkatkan sensitivitas jender bukan hanya membuat suasana diskusi yang tidak seimbang, tetapi juga cenderung menimbulkan resistensi yang sengit dan tidak perlu. Putroe Kandee tampaknya cukup memperhitungkan dan banyak mempertimbangkan faktor-faktor ini sehingga apa yang dilakukannya telah memberikan pembelajaran dan kesan yang lebih baik bagi peserta pelatihan. Sebagai implikasi dari berbagai pelatihan tersebut, PUSKUMHAM melihat adanya pergeseran paradigma dan prilaku para hakim, baik di Aceh, Sumatera Barat, maupun di Sulawesi Selatan. Secara umum, para hakim tersebut memiliki kepekaan terhadap isu-isu kesetaraan hak-hak perempuan dan
93 refleksi dan rekomendasi
laki-laki, hanya saja tingkat kepekaan mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya. Beberapa hakim memang cenderung memiliki kepekaan jender lebih baik dan mengisyaratkan bahwa kepekaan tersebut sudah terbawa dalam diri mereka sejak sebelum mengikuti pelatihan. Sementara untuk beberapa yang lain, kecenderungan untuk sangat berhati-hati dalam menyerap dan menerapkan isu jender begitu jelas tampak terlihat di antara mereka saat pertama kali konsep itu diperkenalkan kepada mereka. Harus diakui, kesadaran dan kepekaan terhadap kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki dalam diri beberapa hakim di ketiga wilayah tersebut boleh jadi bukanlah terutama dibangun melalui pelatihan, karena mungkin sekali itu merupakan sesuatu yang sudah bawaan secara alami ataupun karena terbentuk melalui interaksi sosial baik dalam lingkup keluarga maupun relasi pertemanan mereka sejak kecil. Faktor-faktor eksternal semacam ini jelas memberi pengaruh peningkatan kepekaan jender para hakim di dalam lingkungan keluarga di mana mereka dibesarkan dan dididik, dan juga termasuk kegemaran mereka untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait. Namun, pemahaman yang tepat dan kesadaran penuh untuk merefleksikannya dalam aktivitas profesional kesehari-harian mereka tentunya sedikit banyak dipengaruhi oleh pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh kedua mitra Asia Foundation itu. Pelatihan peningkatan sensitivitas jender, terlepas seberapa efektif pengaruhnya dalam diri tiap peserta, telah memberikan sebuah cara pandang yang lebih sistematis dan lebih berkeadilan dalam melihat persoalan kesetaraan relasi antara manusia yang berbeda jenis kelamin. Bukan hanya itu, pelatihan tersebut lebih
94 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
jauh ikut mengokohkan pemahaman dan kesadaran jender yang sudah dimiliki sebelumnya oleh sebagian para hakim. Sehingga tidak heran jika dalam keseharian aktivitas profesional, para hakim mendapatkan suatu bentuk legitimasi untuk melakukan perubahan sosial pada umumnya dan membela keadilan jender pada khususnya.
B. REKOMENDASI DAN ACTION PLAN Agar penguatan sensitivitas jender ini dapat terus terpelihara dan tepat sasaran, serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat maka perlu diupayakan langkah-langkah strategis sebagai bahan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait. Beberapa rekomendasi dan rencana tindak lanjut yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Lembaga Penyelenggara dan Lembaga lain yang mempunyai kepedulian terhadap program penguatan sensitivitas jender a) Pemantauan secara lebih terprogram tindak lanjut kegiatan, sehingga apa yang sudah disemaikan, terutama yang berkenaan dengan gender sensitivity dapat terus ditumbuhkan dan diimplementasikan dalam proses ajudikasi. b) Penyusunan instrumen-instrumen kesetaraan dan keadilan jender yang lebih praktis sehingga dapat digunakan dalam proses ajudikasi di pengadilan. Cara ini diharapkan dapat menjadi blueprint yang akan menjadi rujukan bagi lembaga sejenis dalam mengembangkan training gender sensitivity dan training analisis jender serupa.
2. Pemegang Kebijakan (Pemerintah dan Lembaga Legislasi) a) Melakukan perubahan pada aspek regulasi yang masih bias jender. Hal ini akan membantu hakim untuk mencari terobosan hukum, terutama bagi mereka yang sangat terikat oleh pandangan legal positivistik dan cenderung pasif dan rigid dalam merujuk dan menggunakan ketentuan dan kepastian hukum tertulis. b) Menindaklanjuti hasil pelatihan ini melalui cara memberikan sebanyak mungkin kesempatan para hakim untuk menjadi mediator-mediator berbagai konflik yang berakar dari ketimpangan jender sejak dari tingkat keluarga hingga komunitas, dan menyelesaikan persoalan itu dengan menggunakan ilmu-ilmu yang mereka dapati dari pelatihan ini. c) Memastikan terbentuknya kebijakan publik yang sensitif jender; antara lain melalui promosi pejabat publik yang lebih memiliki kesadaran jender; perluasan partisipasi kaum perempuan dalam proses perumusan kebijakan; penyusunan anggaran daerah dan perancangan regulasi yang nantinya akan mempengaruhi tingkat kualitas kehidupan perempuan. d) Dalam aspek hukum sangatlah penting untuk menjaga agar regulasi yang dilahirkan tidak justru makin jauh dari regulasi yang sensitif jender, dan karenanya, memanfaatkan para alumni sebagai narasumber dalam penyusunan regulasi yang diharapkan lebih sensitif jender akan sangat berguna. 3. Lembaga Donor (Nasional dan Internasional)
a) Pelatihan peningkatan sensitivitas jender sepatutnya tak dirancang sebagai program yang berdiri sendiri. Peningkatan sensitivitas jender untuk aparat hukum harus dilakukan sebagai strategi yang didasarkan pada keyakinan bahwa analisis jender terbukti dapat meningkatkan hasil guna/kemanfaatan program pembangunan di sektor apapun. Investasi melalui proses edukasi merupakan cara yang cukup strategis di mana analisisnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pola-pola hubungan yang adil dan demokratis yang pada gilirannya akan sangat bermanfaat untuk mengurangi konflik, meningkatkan apresiasi terhadap perempuan, penghargaan pada eksistensi keduanya (lelaki dan perempuan) di mana pun mereka berkiprah serta secara langsung mengurangi tingkat penderitaan perempuan akibat ketimpangan jender. b) Pelatihan serupa ini masih membutuhkan dukungan, bukan hanya bagi para hakim melainkan bagi para aparat lainnya di lingkungan lembaga penegakan hukum, misalnya polisi, jaksa dan pengacara. Ini penting agar secara efektif dan sistematis semua jajaran penegak hukum mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender dalam setiap tahap proses hukum. c) Upaya mendorong kesetaraan jender mudah memunculkan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kemunduran dari upaya pemberdayaan perempuan. Karenanya, sangat penting bagi donor untuk mengetahui peta persoalan jender yang relevan bagi wilayah tersebut. Agenda donor untuk mendorong kesetaraan jender harus dibarengi dengan kemampuan untuk mengukur apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan dalam konteks
refleksi dan rekomendasi
95
yang berbeda. Karenanya, bekerja dengan institusi lokal menjadi sangat penting. Asia Foundation memperlihatkan bagaimana hal ini bisa dilakukan tanpa harus menghindari substansi persoalan. • Untuk memperluas jangkauan impact program sensitivitas jender, kiranya diperlukan upaya-upaya untuk memperluas keterlibatan mitra kerjasama yang mempunyai latar belakang yang berbeda dan fokus sasaran yang beragam. Dalam konteks penegakan hukum ini, program pelatihan senstivitas jender bagi para pemangku adat, pimpinan lokal dan bagi tokoh agama dan ulama perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakan. 4. Para Hakim dan Aparat Penegak Hukum lainnya a) Untuk memperluas jangkauan impact sensitivitas jender, para hakim perlu
96 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
membuka dan mengembangkan jejaring antar hakim, sehingga terjadi proses berbagi informasi dan pengalaman dalam mewujudkan proses peradilan yang sensitif jender di tempat masing-masing. b) Untuk terus menggali metodologi pembacaan hukum yang memampukan para hakim keluar dari cara baca yang kaku terhadap teks hukum yang jelas-jelas bias jender. Untuk ini mereka hendaknya dimampukan untuk melanjutkan pembacaan referensi yang menawarkan pemahaman konsep keadilan jender. Dengan menggunakan gender analysis, seyogyanya mereka dapat terus melakukan kajian dan refleksi atas perkara-perkara hukum yang mereka tangani sehingga proses ajudikasi dan putusan pengadilan yang bias jender dapat dihindari. [*]
Daftar Pustaka
Chapanskiy, Karen, Gender Bias in the Courts: Social Change Strategies, Georgetown Journal of Legal Ethics, Vol. 4:1, 1991 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, UU Perkawinan No. 1/1974, dan UU Peradilan Agama No. 7/1989. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Jakarta, 1992 Effendi, Satria, “Analisis Fiqh terhadap Yurisprudensi tentang Perceraian: Hak Hadhanah Akibat Perceraian sebagai Fokus”, Mimbar Hukum, 21:6, 1995 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional Keputusan Menteri Dalam Negeri, Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah. Nurlaelawati, Euis, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice of Indonesian Religious Courts, Thesis, Utrecht University, The Netherlands, 2007. Salim, Arskal, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: Hawai’i University Press, 2008. ______________, Preparing Legal Research and Documentation and Gender Sensitivity in Religious Courts of Indonesia, makalah dipresentasikan pada Diskusi ‘Desain Operasional Program Dokumentasi Training Sensitivitas Gender para Penegak Hukum’, 23 November, 2008. ______________, Praktik Penyelesaian Formal dan Informal Masalah Pertanahan, Kewarisan dan Perwalian Pasca Tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar. Banda Aceh: International Development Law Organization, 2006. Wahid, Abdurrahman, Dilema Budaya Wanita Islam Indonesia, Wanita Indonesia dalam Teks dan Konteks, ISIM, the Netherlands, 1993.
97
Daftar Istilah dan Singkatan
98
BP4
: Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian
BRR
: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
CEDAW
: Convention on Elimination of Discrimination Against Women
Civil Law
: Sistem hukum yang mengharuskan hakim tunduk atau merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang ada (hakim sebagai penegak hukum)
Common Law
: Sistem hukum yang memungkinkan hakim untuk terus menemukan keadilan berdasarkan berbagai pertimbangan (hakim sebagai pembuat hukum)
DANIDA
: Danish International Development Assistance
DFID
: Department for International Development
Ditbinbapera
: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Ditjen Badilag
: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
DOM
: Daerah Operasi Militer
Dzawil Arham
: Sekelompok anggota keluarga yang memilki hubungan kekerabatan dengan pewaris, tetapi bagian warisannya tidak ditetapkan dalam al-Quran
Dzawil Furud
: Sekelompok ahli waris yang bagian warisannya sudah ditetapkan dalam al-Qur’an
Ex Aequo et Bono
: Prinsip yang memberikan ruang bagi hakim untuk tidak terikat hanya pada tuntutan yang diajukan pihak berperkara dan membolehkan hakim untuk mengabaikan sumber hukum yang ada dengan memutuskan berdasarkan pada rasa keadilan secara pantas berdasarkan hati nurani para hakim
Ghairu Mumayyiz
: Anak yang belum sampai pada masa usia mumayyiz
Hadlanah
: Pengasuhan anak (biasanya ditekankan pada pasca perceraian)
Hareuta Peneulang
: Harta hibah menurut tradisi Aceh yang diberikan khususnya kepada anak perempuan berupa tanah, rumah dan pekarangannya
Hareuta Seharkat
: Istilah Aceh untuk harta pencaharian bersama
Harta Gono-gini
: Harta bersama (harta pencaharian bersama yang diperoleh dalam ikatan pernikahan)
IAIN
: Institut Agama Islam Negeri
Iddah
: Masa tunggu bagi perempuan akibat dari putusnya perkawinan baik karena perceraian maupun kematian suami
IDLO
: International Development Law Organization
Ijtihad
: Usaha interpretasi atas hukum
In-Service Training
: Pendidikan atau pelatihan yang diperoleh hakim dalam masa tugasnya sebagai hakim
Itsbat Nikah
: Usaha pengesahan nikah yang tidak tercatat oleh Pengadilan Agama setelah dimohonkan oleh pihak-pihak terkait
Iwadl
: Harta penebus yang diberikan oleh istri kepada suami untuk memperoleh perceraian
Judicial Review
: Hak uji material yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kawin Sirri
: Kawin yang dilakukan di luar kantor Urusan Agama dan tidak terdaftar, tetapi telah memenuhi syarat dan rukun seperti ditetapkan dalam fiqh
KDRT
: Kekerasan dalam Rumah Tangga
Khalwat
: Perbuatan sepasang insan berbeda jenis (perempuan dan laki-laki) yang bersunyi-sunyi atau berada di sebuah lokasi yang jauh dari ruang publik untuk tujuan bermesraan.
Khulu’
: Permohonan cerai oleh istri dengan keharusan istri membayar uang tebusan (iwadl) kepada suami
99
KUA
: Kantor Urusan Agama
Kulliyat al-Banat
: Salah satu fakultas pada departemen di Universitas alAzhar, Mesir, yang diperuntukkan untuk mahasiswi.
LSPPA
: Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak
Maqasid Syar’iyyah : Tujuan-tujuan diberlakukan atau dibuatnya hukum Islam MiSPI
: Mitra Sejati Perempuan Indonesia; sebuah LSM di Aceh
Mu’akkad
: Tradisi agama yang kurang dikuatkan
Mu’asyarah bil Ma’ruf : Sikap saling berinteraksi satu sama lain dengan kebaikan Mumayyiz
: Anak yang sudah sampai pada masa dapat membedakan baik dan buruk. Di dalam KHI, batasannya ditetapkan pada usia 12 tahun
Musawah
: Kesetaraan
Mut’ah
: Harta pemberian dari suami yang menceraikan istrinya untuk menyenangkan hati atau perasaan si istri (kompensasi)
NAD
: Nanggroe Aceh Darussalam
Nusyuz
: Sikap membangkang dari pihak istri atas suaminya dalam ikatan perkawinan.
P2TP2A
: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
Patriarkal
: Sistem hubungan sosial yang memihak kepada jenis kelamin laki-laki
PKBI
: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
PKPM
: Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat
Pre-service training : Pendidikan atau pelatihan yang diikuti oleh calon hakim sebelum melaksanakan tugasnya sebagai hakim
100
PSW
: Pusat Studi Wanita
PTIQ
: Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran
Putroe Kandee
: Lembaga independen yang didirikan di Banda Aceh oleh beberapa Ibu-Ibu yang punya kepedulian dalam bidang pengembangan hukum Islam dan pendampingan terhadap para pencari keadilan
RNE
: Royal Netherlands Embassy
RPK
: Ruang Penanganan Khusus
STAIN
: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Stereotype
: Prasangka atau penilaian negatif (stigma negatif) terhadap satu kelompok, suku, atau jender
Sunnah mu’akkad
: Tradisi agama yang dikuatkan dan mendekati wajib
Syiqaq
: Perselisihan atau percekcokan yang terus menerus antara suami dan istri
Tandem
: Pendampingan langsung dari donor di lapangan terhadap kegiatan yang dilaksanakan mitra kerja
ToT
: Training of Trainers
UNIFEM
: United Nations Development Fund for Women
URAIS
: Urusan Agama Islam
WCC
: Women Crisis Centre
YKF
: Yayasan Kesejahteraan Fatayat
101
Biodata Penulis
102
ARSKAL SALIM adalah lulusan S1 Fakultas Syari`ah IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebelum terangkat menjadi dosen tetap pada almamaternya pada tahun 1998. Pada tahun ini pula, ia menyelesaikan program Master dalam bidang studi Islam di Pascasarjana UIN yang sama. Setahun setelah itu ia berangkat ke Montreal, Kanada, untuk mengikuti program PhD Sandwich di McGill University selama dua semester, Fall 1999--Spring 2000. Sepulang dari Kanada, Arskal melanjutkan studi doktoral di benua Australia dengan beasiswa dari AusAid/ADS (2002-2006). Setelah meraih gelar PhD dari Faculty of Law, University of Melbourne, ia menjadi postdoctoral fellow di Max Planck Institute for Social Anthropology, Germany, selama tiga tahun (2006-2009) dengan fokus riset: ‘agama, penyelesaian sengketa dan pluralisme hukum di Aceh pasca tsunami’. Selain aktif melakukan penelitian dan melatih para peneliti dalam bidang sosial keagamaan, keterlibatan Arskal dalam bidang hukum dan hak asasi manusia sudah cukup lama ditekuninya hingga ia dipercaya menjabat Direktur Pusat Studi Hukum, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (PUSKUMHAM), UIN Syarif Hidayatullah. Dalam kapasitasnya sebagai akademisi, Arskal telah menghasilkan beberapa publikasi yang bertalian dengan Aceh. Antara lain: “Shari’a from Below in Aceh 1930s-1960s: Islamic Identity and the Right to Self Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front (MILF)”, in Indonesia and Malay World, 32 (March 2004); Praktek penyelesaian formal dan informal masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar, (Banda Aceh, International Development Law Organization, 2006); Challenging the Secular State: The Islamization of Laws in Modern Indonesia, (Honolulu: Hawaii University Press, November 2008).
LIES MARCOES NATSIR adalah Senior Program Officer The Asia Foundation. Bekerja di lembaga ini sejak 2001. Lies semula menjadi Program Officer untuk Program Islam dan Civil Society. Beberapa bulan setelah tsunami menerjang Aceh di tahun 2004 Lies kemudian bergabung dengan unit Aceh di lembaga yang sama untuk pemberdayaan perempuan korban konflik dan tsunami. Melalui program itu Lies banyak bekerja dengan lingkungan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Lies adalah salah seorang di antara sedikit ahli yang benar–benar menguasai isu jender terutama dilihat dari aspek antropologi agama. Pengalamannya baik dalam dunia penelitian maupun pendidikan serta advokasi dengan menggunakan analisis jender sangat luas. Lies memperoleh gelar Master dalam bidang Antropologi Kesehatan dari Universitas Amsterdam (2001). Sebelumnya dia menyelesaikan sarjananya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan bekerja di sebuah LSM yang membawanya mengenal dunia pesantren lebih dekat. Bakat penelitiannya berkembang setelah dia mendapatkan bimbingan intensif dari seorang antropolog ternama dari Belanda Prof. Dr. Martin van Bruinessen. Pada tahun 1983-1984 ketika Lies masih kuliah di IAIN mereka melakukan penelitian dan tinggal lebih dari 1 tahun di daerah kumuh di Bandung Selatan untuk melakukan studi tentang pola perpindahan penduduk dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Bersama dengan itu mengalir pula bakatnya dalam dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya kerap dapat dijumpai di Kompas dan beberapa bukunya yang membedah berbagai isu terkait dengan persoalan perempuan telah diterbitkan baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa di antaranya diterbitkan oleh VENA – Leiden, the Netherlands, the ANU publication – Canberra, the Archiple Journal – Paris, dan Reproductive Health Matters – London. EUIS NURLAELAWATI adalah dosen hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia memperoleh gelar Master untuk program Islamic Studies dari Universitas Leiden Belanda pada 1999, setelah ia berhasil menyelesaikan studi s1 nya pada Fakultas Syariah IAIN Syarif Hiayatullah Jakarta pada 1995. Pada 2002 ia memeproleh kesempatan untuk mengikuti program doktor di Universitas Utrceht, Belanda, dan berhasil menyelesaikannya pada 2007. Selain mengajar, ia juga menekuni penelitian dan beberapa kali diundang untuk menjadi pembicara pada seminar-seminar baik nasional maupun internasional tentang isu perkembangan dan penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia dan Asia Tenggara. Ketertarikannya untuk melakukan penelitian mengenai isu penerapan hukum Islam terus menguat seiring dengan perkembangan diskursus isu terkait di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa tulisannya dimuat di jurnal-jurnal yang menyajikan kajian-kajian hukum Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, seperti, Studia Islamika, al-Jami’ah, dan Ahkam. Sebuah buku yang berasal dari disertasi doktornya yang ia pertahankan pada Universitas Utrecht, Belanda, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, diterbitkan oleh Amsterdam University Press (Okto-
103
ber 2009). Buku tersebut mengupas dan menganalisa tentang bagaimana sikap para hakim agama terhadap hukum terapan, Kompilasi Hukum Islam, yang telah disiapkan untuk dijadikan rujukan dan pedoman ketika menyelesaikan perkara hukum dan bagaimana sikap masyarakat di beberapa daerah terhadap hukum yang dibuat negara ketika mereka dihadapkan pada masalah-masalah hukum keluarga. Selain mengajar, saat ini Euis menjabat sebagai koordinator bidang jender dan kelompok minoritas pada Pusat Studi, Konstitus,i Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSKUMHAM) dari 2008 hingga sekarang. WAHDI SAYUTI, adalah dosen Pendidikan Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah menyelesaikan studi S-1 pada 1999 di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian di Pusat Penelitian IAIN (sekarang UIN) Jakarta sampai tahun 2002. Aktivitas penelitian ini, telah membentuknya menjadi sosok yang cukup akrab dan piawai dalam mendesain dan melakukan penelitian. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain ”Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Kewargaan di IAIN dan STAIN se-Indonesia” (2000), ”Persepsi Demokrasi di Kalangan Mahasiswa UIN Jakarta (2004)” dan ”Gender Mainstreaming dalam Pelaksanaan Pendidikan Dasar dan Menengah (2005)”. Selain aktif melakukan penelitian, Wahdi juga terlibat aktif dalam pengembangan Pendidikan Demokrasi dan HAM untuk Perguruan Tinggi, kerjasama UIN Jakarta dengan The Asia Foundation pada 2000 - 2005, bahkan bersama-sama dengan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. membidani pembentukan lembaga yang secara khusus menangani pengembangan Pendidikan Demokrasi dan HAM (Pendidikan Kewargaan) di Perguruan Tinggi pada tahun 2002, yakni Indonesian Center for Civic Education (ICCE). Sebagai akademisi, Wahdi juga telah mempublikasikan beberapa buku ajar, antara lain Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (Prenada Media, 2003) sebagai tim penulis dan editor, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Madrasah Ibtidaiyah (FITK UIN Jakarta, 2008), dan Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan (UIN Jakarta Press, 2006). Selain mengajar, saat ini Wahdi dipercayakan menjadi associate researcher pada Pusat Studi Konstitusi, Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) dan Koordinator Penelitian dan Pengembangan pada Center for Research and Development in Education (CERDEV) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
104