Dimensi Sosial dan Kultural Kekerasan Berdasarkan Jender di Indonesia: Dari Penjulukan ke Diskriminasi ke Kekerasan1 Mely G. Tan (Komisi Indonesia untuk Kekerasan terhadap Perempuan)
Abstract This article examines the social and cultural roots of gender-based violence in Indonesia. The emphasis is on social relations, particularly ethnic group relations, and on cultural practices—especially those within the family that endanger women. The author argues that there is a process which begins with labeling, followed by state-sanctioned discrimination, and that culminates in the creation of situations prone to violence. The author provides examples from various regions in Indonesia as well as from different periods in Indonesian history. She further argues that the process can be stopped with a more positive attitude towards the diversity of Indonesian society, which must be brought about by education in the home and in schools, and by legal reforms.
Pendahuluan
ketakutan dan tidak berani ke luar rumah. Malam dia sering terbangun bermandikan keringat’ (Melly, Jakarta, Mei 1998, dalam Aksi 1998 ).
‘Waktu sampai di Jembatan Lima, kami melihat kerumunan orang dan beberapa toko sudah dibakar. Tiba-tiba terdengar: ‘Cina, Cina’. Sepeda motor kami dirampas dan suami saya dipukuli. Saya ditarik dari kerumunan dan pakaian saya dirobek’. Sekitar 8 orang lelaki mengelilinginya, kemudian menjamah dadanya dan bagian lain tubuhnya. Melly nyaris bugil. Meskipun tidak diperkosa, sejak itu Melly selalu
‘…Pada suatu hari saya sedang mandi di belakang rumah. Dua orang tentara mencoba memperkosa saya. Saya berontak, tetapi mereka berjanji akan membebaskan bapak saya (dari tahanan) jika saya menyerah. Jika tidak, mereka akan membunuhnya. Saya digagahi kedua orang itu, sedangkan senjata-senjata mereka diletakkan di samping saya. Saya pingsan dan setelah itu menderita radang pada alat kelamin saya selama dua minggu’ (Rosnita, Aceh, September 1998 dalam Media Indonesia 1998).2
1
Tulisan ini merupakan versi bahasa Indonesia yang disempurnakan dari makalah berbahasa Inggris dengan judul The Social and Cultural Dimensions of GenderBased Violence: Labelling, Discrimination, and Violence. Makalah ini dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and Multicultural Society’, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIAke-3:‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural ’ , Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002,.
46
2
Kutipan pertama dan ke dua tampil dalam sebuah buku kecil terbitan 1998, dari Tim Relawan untuk Bantuan Kemanusiaan, bagian kekerasan terhadap perempuan. Judulnya adalah Kerusuhan Mei 1998 dalam Perspektif: Memahami Kekerasan terhadap Perempuan dan Mencari Pemulihan Bersama. Tim
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Peristiwa-peristiwa di atas hanyalah dua dari sejumlah besar representasi kekerasan berdasarkan jender yang dapat saya pilih dari maraknya tulisan yang muncul dalam sekitar sepuluh tahun terakhir ini. Kutipan pertama adalah tentang kerusuhan masal, pembakaran, serta penjarahan yang terjadi di Jakarta pertengahan Mei 1998. Kutipan ke dua adalah tentang konflik senjata di Aceh antara pasukan pemerintah dan anggota-anggota Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dalam kedua kasus ini kekerasan berdasarkan jender dialami kaum perempuan. Kekerasan berdasarkan jender telah dijabarkan secara luas dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (UN Info: International Instruments ‘Declaration on Elimination of Violence against Women’, hlm.2). Pasal 1. Untuk tujuan-tujuan Deklarasi ini, istilah ‘kekerasan terhadap perempuan’ berarti setiap tindakan kekerasan berdasarkan jender yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan bahaya fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan bagi perempuan, termasuk ancaman-ancaman tindakan tersebut, tekanan atau perampasan kebebasan secara sewenangwenang, yang terjadi dalam kehidupan umum atau pribadi. Pasal 2. Kekerasan terhadap perempuan mencakup, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut: (a) kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penganiayaan seksual terhadap anak perempuan dalam keluarga, kekerasan Relawan ini adalah tim pertama yang menolong para korban pemerkosaan dan bentuk-bentuk lain penyerangan serta penganiayaan seksual. Anggotanya merupakan orang-orang pertama yang membeberkan kekejian ini dengan menerbitkan sebuah laporan tentang jumlah korban, tempat kejadian, dan apa yang terjadi kepada korban-korban tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
yang bertalian dengan mas kawin, pemerkosaan istri, mutilasi alat kelamin perempuan, dan kebiasaan-kebiasaan tradisional yang membahayakan perempuan, kekerasan oleh orang yang bukan suami, dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi; (b) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis di masyarakat umum, termasuk pemerkosaan, penganiayaan seksual, pelecehan seksual, dan intimidasi di tempat kerja, lembaga pendidikan, dan di mana pun, perdagangan perempuan dan prostitusi paksa; (c) Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau diperbolehkan oleh Pemerintah, yang terjadi di mana pun. Apabila kita perhatikan definisi panjang tentang kekerasan terhadap perempuan, mulai dari kekerasan dalam keluarga sampai kekerasan yang dilakukan atau diperbolehkan pemerintah, dari kekerasan fisik sampai kekerasan psikologis, kita lihat bahwa perempuan di Indonesia terus-menerus ‘menjadi korban serangan serta teror terhadap tubuh dan seksualitasnya’. Pandangan ini dinyatakan dalam Catatan Akhir Tahun 2001, selanjutnya disebut Laporan 2001, yang berjudul ‘Terorisme seksual mencekam perempuan Indonesia’,3 dikeluarkan oleh Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan (selanjutnya di sini disebut Komnas Perempuan) pada bulan Desember 2001. Terorisme seksual di sini didefinisikan sebagai ‘serangan di mana-mana terhadap tubuh serta seksualitas perempuan, yang menyebabkan perempuan terus-menerus merasa diintimidasi dan terancam karena dia perempuan’ (hlm.1). 3
Laporan tahun 2001 ini merupakan laporan pertama dari penerbitan tahunan terencana tentang keadaan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia oleh Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan.
47
Berdasarkan data yang dihimpun 35 LSM di bidang hak asasi manusia (mitra-mitra Komnas Perempuan) di 14 kota dan provinsi di Jawa, Sumatra, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Kalimantan Barat, untuk tahun 2001 dilaporkan sebanyak 3167 kasus kekerasan terhadap perempuan (Laporan 2001, Lampiran 1). Kasuskasus ini dibagi menjadi 5 kelompok kekerasan: kekerasan dalam keluarga, pemerkosaan, penganiayaan, penyerangan/pelecehan seksual, dan pembunuhan. Hal yang menarik adalah angka tertinggi, yaitu 1253 kasus, diduduki kasus kekerasan dalam keluarga (39,5%), disusul 1023 kasus pemerkosaan (32,3%), 543 kasus penganiayaan (17,2%), 228 kasus penyerangan/ pelecehan seksual (7,2%), dan 122 kasus pembunuhan (3,8%). Bila kita perhatikan jumlah kasus ini berdasarkan kota dan provinsi, penyebarannya tampak bervariasi. Jumlah tertinggi terdapat di Jawa Tengah, sebanyak 636 kasus, dengan angka tertinggi dalam kelompok penganiayaan (270 kasus). Berikutnya adalah Jakarta yang mencatat 500 kasus, dengan angka tertinggi (hampir setengahnya) dalam kelompok pemerkosaan (227 kasus). Kemudian Jawa Timur dan Yogyakarta, yang masing-masing mencatat 356 kasus, tetapi dari kelompok yang sangat berbeda. Di Jawa Timur jumlah kasus terbesar adalah di kelompok pemerkosaan (249), sedangkan di Yogyakarta hampir semua kasus tergolong dalam kelompok kekerasan dalam keluarga (320). Angka terendah terdapat di Maluku yang mencatat hanya 5 kasus. Mengingat bahwa sejak bulan Januari 1999 daerah ini secara terus-menerus dilanda konflik antara dua kelompok agama, dapat dipastikan bahwa laporan ini sangat tidak lengkap disebabkan faktor keamanan. Namun demikian, terjadinya perbedaan semacam ini dalam berbagai kelompok kekerasan, jelas memerlukan penelitian lanjut, terutama peneliti-
48
an kualitatif dengan kelompok-kelompok diskusi yang terfokus serta wawancarawawancara mendalam. Harus kita akui bahwa gejala kekerasan terhadap perempuan bukanlah pusat perhatian kebanyakan orang di Indonesia, sampai terjadinya peristiwa-peristiwa mengerikan pada bulan Mei 1998. Meskipun sebelumnya sudah banyak berdiri kelompok-kelompok perempuan, dan juga laki-laki, yang mempedulikan keadaan perempuan. Pusat perhatian kebanyakan ditujukan kepada ketimpangan, ketidakadilan, dan konflik antara suami dan istri. Oleh karena itu, banyak di antara kelompok-kelompok tersebut memberi bantuan hukum dan atau pertolongan (nomor telpon darurat, tempat berlindung, rumah aman) kepada perempuan yang mengalami kerja paksa di tempat kerja dan/atau dianiaya suami. Orang Indonesia baru menyadari betapa mengerikannya keadaan perempuan setelah diterimanya laporan tentang pemerkosaan massal terutama terhadap perempuan dan gadis Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998, terungkapnya kasus-kasus serangan seksual dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan Aceh di daerah konflik Aceh (khususnya selama 8 tahun dinyatakan sebagai zona militer khusus [daerah operasi militer atau DOM]), serta keadaan kaum perempuan di Papua dan di Timor Timur sebelum dipisahkan dari Indonesia. Di Jakarta, meskipun terus-menerus terdengar desas-desus tentang pemerkosaan massal terhadap perempuan dan gadis Tionghoa, ‘bukti kuat’ baru terungkap dalam laporan suatu kelompok Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang dipimpin seorang pendeta Katolik yang sudah terkenal karena kegiatan-kegiatan kelompoknya membantu kaum miskin perkotaan dan anak-anak jalanan. Namun, pihak berwajib, yaitu kalangan sipil, militer dan polisi tetap menyangkal kejadian pemerkosaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
massal, karena tidak ada korban tampil untuk melaporkan peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, sebagai jawaban langsung atas laporan serta sangkalan di atas, sekelompok perempuan yang secara longgar membentuk sebuah perkumpulan bernama Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendesak untuk bertemu dengan Presiden Habibie. Kelompok ini diterima Habibie pada tanggal 15 Juli 1998 dan pada akhir pertemuan beliau memenuhi tuntutan kelompok, yaitu mengeluarkan pernyataan di depan kamera-kamera TV dan kalangan media yang isinya mengutuk kerusuhan-kerusuhan bulan Mei termasuk tindakan-tindakan keji terhadap perempuan. Kemudian terbentuklah Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan dengan Keputusan Presiden No.181 tahun 1998, yang diterbitkan di Jakarta tanggal 9 Oktober 1998. Pada saat yang bersamaan Habibie juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertugas menyelidiki kerusuhankerusuhan 13–15 Mei 1998, termasuk peristiwaperistiwa kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan berkelompok.4 4
Tentang tulisan rinci mengenai pembentukan Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan, yang dikenal sebagai Komnas Perempuan serta kejadiankejadian yang berkaitan dengan pembentukan tersebut, baca tulisan saya berjudul ‘The Indonesian Commission on Violence against Women’ dalam Charles Coppel (peny.) yang akan terbit. Buku ini merupakan hasil Lokakarya tentang Kekerasan di Indonesia, yang diadakan ASAA di Melbourne, Australia, 6–7 Juli 2000. Baca juga terbitan-terbitan Komnas Perempuan dalam Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Dokumen ini memuat Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta, Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Dokumentasi Awal no. 1, 2, 3; no. 3 adalah yang paling banyak dibaca dan dikutip, karena secara rinci melaporkan kekerasan seksual dan pemerkosaan massal), pernyataan kepada presiden dari Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, serta pernyataan presiden tentang tragedi Mei. Terbitan kedua dalam seri dokumen adalah ‘Laporan Pelapor Khusus PBB
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Tulisan ini mencoba meneliti dasar-dasar sosial dan kultural dari kekerasan berdasarkan jender di Indonesia, dengan titik berat pada hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan antarkelompok etnik, pada kebiasaankebiasaan kultural—terutama di lingkungan keluarga—yang membahayakan kaum perempuan. Saya merasa bahwa suatu proses sedang terjadi, yaitu mulai dari tindakan penjulukan sampai ke diskriminasi yang diperbolehkan atau bahkan didorong dan dihalalkan pemerintah, sehingga proses tersebut menciptakan suatu lingkungan yang rawan kekerasan.
Hubungan sosial berdasarkan etnisitas yang mengarah ke tindakan penjulukan, diskriminasi dan kekerasan Hubungan sosial antara kelompok-kelompok orang dalam suatu masyarakat dapat ditandai dengan suatu rangkaian ciri, mulai dari kerjasama sampai ke konflik, dengan variasivariasi di antara kedua ciri tersebut. Dalam tulisan ini saya akan menggunakan hubungan antara kelompok etnik Tionghoa dan Indonesia sebagai suatu contoh kekerasan berdasarkan jender yang bertolak dari hubungan sosial. Akan tampak adanya keragaman dalam hubungan antara kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Indonesia di daerahdaerah tertentu, dan dalam keadaan tertentu hubungan tersebut dapat mendekati ujung kerjasama atau, di sisi lain, lebih mendekati ujung berseberangan, yaitu konflik. Keragaman ini ditentukan oleh suatu proses yang dimulai dengan sejarah kedatangan orang-orang tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Misi ke Indonesia dan Timor Timur. 20 November–4 Desember 1998’. Terbitan terakhir adalah Laporan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan: ‘Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan: Penyebab dan Akibatnya’. 29 Februari 2000.
49
Tionghoa dalam jumlah besar, pemukiman mereka, dan keadaan serta penerimaan penduduk setempat pada waktu pemukiman tersebut terbentuk. Tampak bahwa di kawasan yang penduduk setempatnya berperan besar dalam kegiatan ekonomi, terdapat sedikit saja, atau tidak ada permukiman Tionghoa, seperti di daerah Minangkabau atau Batak, di luar kota-kota besar. Sebaliknya, di Jawa, oleh karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda, dan keengganan terselubung penduduk setempat untuk berdagang, orang-orang Tionghoa menetap terutama di sepanjang pantai utara. Mereka menjadi kekuatan dominan dalam perekonomian. Hubungan antara penduduk Indonesia asli secara umum dengan etnik Tionghoa (berjumlah kurang lebih 3% dari seluruh penduduk) sering digambarkan sebagai hubungan minoritasmayoritas. Orang Tionghoa yang menempati kedudukan penting dalam ekonomi, terutama di sektor swasta, tidak memiliki kedudukan sama sekali di bidang politik atau dalam birokrasi. Pertanyaan relevan sehubungan dengan kehadiran masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah: mengapa ketidakpuasan yang tersebar luas, apa pun penyebabnya, yang selalu mengarah pada kericuhan sosial serta meningkat menjadi tindakan kekerasan menyebabkan orang Tionghoa menjadi kambing hitam dan sasaran berbagai serangan. Pola peristiwa seperti ini selalu berulang dalam hampir semua tindakan kekerasan terhadap orang Tionghoa, terutama sejak kemerdekaan sampai sekarang (lihat juga Coppel 1983).5 Pola yang tampak dalam kekerasan antiTionghoa adalah bahwa kekerasan tersebut biasanya diarahkan kepada harta milik: pabrik, toko, rumah, dan kendaraan, alih-alih kepada nyawa atau tubuh (Coppel 1983:38). Namun, 5
Buku ini merupakan salah satu kajian yang paling komprehensif tentang kelompok etnik Tionghoa dan masalah-masalah mereka mulai dari zaman kolonial sampai pertengahan era Soeharto.
50
sejarah mencatat beberapa kejadian yang benar-benar merupakan pembunuhan massal terhadap kaum Tionghoa. Pembunuhan massal paling terkenal di zaman kolonial adalah ‘Chineezen moord’ (pembunuhan massal orang Tionghoa) di Batavia pada tahun 1740, yang membantai sekitar 6.000 jiwa (Lohanda 2001:14– 19; Blusse 1986:bab 5).6 Sejarah juga mencatat bahwa pembunuhan orang Tionghoa di Indonesia terjadi pada masa revolusi fisik masyarakat Indonesia menentang kembalinya sekutu ke tanah air. Dalam pertempuran tersebut para pejuang Indonesia menggelar aksi bumi hangus. Orang-orang Tionghoa di luar kota besar yang memiliki toko di pinggir jalan raya, atau yang bertani seperti di daerah Tangerang, terjebak di tengah-tengah dan menjadi sasaran utama aksi pembakaran dan penjarahan. Keadaan ini diperparah lagi oleh rasa curiga para nasionalis Indonesia kepada masyarakat Tionghoa yang dianggap tidak mendukung perjuangan Indonesia, dan malah bersikap pro-Belanda. Peristiwa terburuk waktu itu terjadi pada bulan Juni 1946 di sebuah permukiman Tionghoa, sebelah barat sungai Tanggerang. Sebagaimana dikutip Victor Purcell (1965: 475– 476) sebanyak 600 orang Tionghoa dibunuh orang Indonesia. Pembunuhan massal tersebut terjadi dari tanggal 6–8 Juni 1946. Peristiwa tersebut ditulis dalam sebuah memorandum yang dibuat oleh perkumpulan masyarakat Tionghoa pada saat itu yang bernama Chung Hwa Chung Hui. Tulisan ini secara rinci menggambarkan tindakan kekejian termasuk pembakaran hidup-hidup kaum perempuan dan anak-anak. 6
Buku Lohanda (2001) merupakan kajian paling komprehensif (dalam bahasa Inggris) tentang korps perwira yang diangkat pemerintah kolonial, untuk mengendalikan penduduk Tionghoa secara tidak langsung, sedangkan buku Blusse (1986) memuat salah satu gambaran paling rinci tentang ‘pembantaian orang-orang Cina tahun 1740’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Menurut sebuah laporan yang diterima Yang Send (Palang Merah) [Mungkin Rumah Sakit Tionghoa Yang Seng Ie? (penulis)] di Batavia, sebanyak 653 orang Tionghoa dibunuh di Tangerang dan sekitarnya, termasuk 136 orang perempuan dan 36 anak. Di Batavia terdapat sekitar 25.000 orang pengungsi dari daerah ini, 1268 rumah dibakar habis, dan 236 lagi dirusak. Selanjutnya dilaporkan bahwa pada tanggal 18 September 1946, 200 orang Tionghoa dibunuh. Pada bulan Januari 1947, 250 orang lagi dibunuh dalam suatu kerusuhan di Palembang. Selama pemerintahan Soekarno, kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa tetap berlanjut, terutama sebagai akibat diberlakukannya Peraturan Pemerintah 10 (dikenal sebagai PP 10) dari tahun 1959–1960, yang melarang kegiatan pengusaha kecil bangsa asing di kawasan-kawasan di bawah tingkat kabupaten. Peraturan tersebut mengakibatkan 100.000 Tionghoa hengkang dari Indonesia. Selanjutnya, terjadi insiden 1963 di Bandung, Sukabumi dan di tempat-tempat lain di Jawa Barat yang mengakibatkan sejumlah orang Tionghoa tewas dan terluka (Coppel 1983:34, 37, 40). Namun, meskipun terjadi pengrusakan harta secara luas, tidak ada laporan tentang serangan sengaja terhadap orang. Laporan tentang pembunuhan terdengar lagi selama kerusuhan pada waktu jatuhnya Soekarno serta naiknya Soeharto di tahun 1965. Kejadian ini disebabkan anggapan umum kebanyakan sukubangsa di Indonesia bahwa orang-orang Tionghoa berpihak kepada komunis. Hal tersebut dihubungkan dengan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dipimpin oleh Siauw GiokTjhan yang dipandang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jumlah orang tewas dibunuh dalam kekacauan dan suasana anarkis itu tetap merupakan topik perdebatan hingga sekarang.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Sebagaimana dikemukakan Coppel: ’...pada umumnya bentuk paling khas kekerasan antiTionghoa segera sesudah peralihan kekuasaan, bukanlah pembunuhan, kekerasan terhadap orang atau pengurungan, melainkan pengrusakan harta kekayaan, seperti penghancuran, penjarahan, serta pembakaran toko, sekolah, rumah dan mobil’ (1983:58–61). Meskipun demikian, angka-angka jumlah pembunuhan tetap tampil di media, khususnya pers di luar negeri. Misalnya, seperti dikutip dalam Coppel (hlm.58–59), majalah Life dan Far Eastern Economic Review mengungkapkan bahwa ‘ratusan ribu orang Tionghoa dibantai’. Robert Shaplen menyebut angka 20.000. Penting untuk dicatat bahwa menurut Coppel, New China News Agency, yang sepatutnya cenderung memberitakan penganiayaan kaum Tionghoa di Indonesia, ‘hanya bersedia memperkirakan angka ‘ratusan’ terbunuh selama enam bulan sesudah percobaan perebutan kekuasaan’. Sebuah contoh kekerasan jenis ini terjadi di Makasar dan Medan (Coppel 1983:60). Di Makasar berlangsung aksi unjuk rasa antiTionghoa terhadap Konsulat Tionghoa pada tanggal 10 November 1965 (bertepatan dengan Hari Pahlawan) yang digelar mahasiswa Muslim dan perkumpulan pemuda HMI dan ANSOR. Pada hari itu dan hari berikutnya ‘ribuan pengunjuk rasa melakukan tindakan kekerasan secara menggila terhadap orang Tionghoa. Yang menjadi sasaran para perusuh sebagian terbesar adalah bangunan-bangunan milik warga Tonghoa serta harta kekayaan lain, dan bukan orang; tetapi kerusakan yang terjadi sangat banyak’. Di Medan insiden anti-Tionghoa terjadi pada tanggal 10 Desember 1965 (Coppel 1983:60, 61). Pengrusakan harta milik tidak begitu banyak, tetapi banyak orang Tionghoa diserang. Dalam peristiwa ini kantor Konsulat Tionghoa sempat diserang dan tiga orang
51
pegawainya terluka. Tampaknya aparat polisi menembaki kerumunan demonstran, tetapi para perusuh mengaku bahwa tembakan justru datang dari gedung konsulat. Kemudian mereka berkeliling kota melakukan pengrusakan, ‘...menyeret orang-orang Tionghoa dari becak dan sepeda motor, membacok mereka dengan golok, merusak warung-warung di Pasar Sentral, dan membunuh atau melukai siapa saja yang mengadakan perlawanan. Mungkin sebanyak 200 orang dibantai’ (Coppel mengutip dari sejumlah berita dari Barat). Sudah pasti bahwa pada waktu itu kaum Tionghoa dicekam rasa takut yang mendalam, bukan saja takut kehilangan harta, melainkan takut direnggut nyawanya. Sebagaimana dikutip Adam Schwarz (1994:105), Mackie melukiskan secara tepat keadaan di atas sebagai masa ‘ gawat yang mengerikan dan kekerasan yang bertubi-tubi bagi orang-orang Tionghoa. Pemenang-pemenang dalam perebutan kekuasaan tahun 1965–1966 adalah justru orangorang yang sebelumnya merupakan seteru mereka yang paling ditakuti, yaitu pihak militer dan kelompok Muslim sayap-kanan’. Tidak lama setelah Soeharto memegang kekuasaan di tahun 1967, terjadi insiden mengerikan di Kalimantan Barat ketika orang Dayak melancarkan tindakan kekerasan terhadap kaum Tionghoa di luar kota (Coppel 1983:145–149). Peristiwa-peristiwa ini terjadi di bulan Oktober dan November 1967. Aksi kekerasan ini terutama dipicu oleh konflik antara anggota militer setempat dan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS), yang sebenarnya merupakan sisa-sisa konfrontasi Indonesia-Malaysia. Anggota PGRS terutama terdiri dari pemuda Tionghoa Serawak yang mendapat latihan militer dari tentara Indonesia sebelum berakhirnya Konfrontasi. Pada akhir Konfrontasi dan pergantian pemerintah di Indonesia, pemuda Tionghoa yang kebanyakan berhaluan kiri ini (bersama dengan sejumlah
52
tentara Indonesia simpatisan sayap kiri) berhadapan baik dengan pasukan Indonesia maupun tentara Malaysia. Tentara Indonesia sangat mencemaskan kegiatan-kegiatan PGRS dan berusaha mengisolasi pasukan gerilya ini dari kaum Cina di daerah yang dianggap sebagai kekuatan pendukung yang potensial. Ada laporan bahwa mereka memainkan peranan penting dalam kegiatan menghasut kaum Dayak terhadap kelompok Tionghoa. Sebagaimana dikutip Coppel, ‘Pada permulaan orang-orang Dayak bersikap pasif/apatis terhadap masalah para komunis Tionghoa/PGRS, (tetapi) akhirnya tumbuh semangat untuk menumpas PGRS disebabkan oleh perang syaraf yang dilancarkan KODAM. Keadaan ini memuncak dengan dibunuhnya salah seorang dari mereka oleh PGRS’ (Coppel 1983:147). Akhirnya jumlah orang Tionghoa yang dibantai mencapai ratusan orang dan lebih dari 50.000 pengungsi melarikan diri dari daerah pedalaman ke kawasan pesisir untuk menghindari pembunuhan membabibuta oleh suku Dayak. Sejarah masyarakat Tionghoa selama pemerintah Soeharto memang dapat dilukiskan sebagai sejarah sebuah sukubangsa minoritas yang tidak punya pilihan lain kecuali mematuhi kebijakan-kebijakan yang dikenakan kepada mereka. Kebijakan yang direkayasa ini berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia, tetapi ditujukan khususnya kepada kaum Tionghoa demi ‘mempercepat proses pembauran’. Selama pemerintah Soeharto pembauran didefinisikan semata-mata sebagai suatu proses yang akhirnya memusnahkan kelompok etnik Tionghoa sebagai sebuah kelompok sosio-kultural dan religius tersendiri. Kebijakan-kebijakan ini langsung berdampak pada kehidupan sosial, kultural, religius, politik, serta ekonomi mereka. Kini dapat dikatakan bahwa perlakuan terhadap kaum Tionghoa oleh Soeharto dan rejimnya adalah yang paling diskriminatif secara
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
sistematis dan nyata sejak kemerdekaan. Kebijakan ini adalah yang paling mengganggu dan yang menentukan arah keberadaan kaum Tionghoa di era Soeharto. Nama atau sebutan Cina menjadi julukan yang membenarkan setiap kebijakan atau tindakan yang dikenakan kepada mereka. Kita tahu bahwa teori penjulukan berkembang dari stigmatisasi yang berkaitan dengan perilaku yang menyimpang (Lihat Berger dan Berger 1972:292–295). Stigmatisasi dan penjulukan terhadap seseorang, atau dalam hal ini sekelompok orang, sebagai ‘menyimpang’ atau, dalam kasus orang Tionghoa, sebagai ‘berbeda’, biasanya terjadi dalam konteks suatu konflik atau keadaan yang berpotensi konflik. Berger dan Berger (1972:294) menyatakan bahwa ‘Konfliknya terjadi antara orang-orang atau kelompok yang relatif kecil dan tidak berdaya di satu pihak, dan kekuatan-kekuatan sosial yang besar, berkuasa, serta relatif terorganisasi dengan baik, di pihak lain.’ Tindakan stigmatisasi ini, yaitu dengan istilah ‘berbeda’ dan penjulukan, dapat diterapkan dalam hubungan antara kaum Tionghoa dan kelompok mayoritas Indonesia, yang dalam hal ini didukung atau diprakarsai para penguasa. Bila kita periksa kembali pergantian istilah ke ‘Cina’ pada masa pemerintahan Soeharto, berawal dari sebuah seminar tingkat atas dari petinggi-petinggi militer yang berlangsung di Bandung pada bulan Agustus 1966 (Suryadinata 1978:121–122; lihat juga Tan 1999:692–693). Dalam laporan seminar ini pemikiran yang menentukan untuk memakai kata Cina tertulis sebagai berikut: ’...tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior orang-orang kita, sekaligus menghilangkan rasa superior kelompok bersangkutan di negara kita, maka dirasakan tepat untuk melaporkan bahwa seminar ini telah memutuskan bahwa untuk istilah Republik Rakyat Tiongkok dan warganegaranya, akan digunakan lagi istilah ‘Republik
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Rakyat Tjina’ dan ‘warga negara Tjina’. Langkah ini dapat dibenarkan jika dipandang dari sudut sejarah dan sosiologis’. Secara jelas laporan ini menyatakan bahwa kata ‘Cina’ diterapkan kepada Republik Rakyat Tiongkok serta warga negaranya, tetapi dalam kenyataannya istilah ini dikenakan juga kepada warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dampak kuat keputusan militer ini tampak dari kenyataan bahwa pada awal September 1966, hampir semua koran, kecuali Suluh Marhaen dan Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis), menggunakan istilah ‘Cina’ untuk menyebut WNI keturunan Tionghoa. Pada tanggal 25 Juli 1967 Kabinet Presidium mengambil keputusan seminar ABRI ini dan meresmikan pemakaian istilah ‘Cina’ tersebut bagi orang asing dan warga negara Indonesia. Bertalian dengan kata ‘Cina’ terdapat istilah ‘nonpribumi’ atau singkatan ‘nonpri’ yang berseberangan dengan ‘pribumi’ atau ‘pri’. Seorang ‘nonpribumi’ sebetulnya berarti seorang yang ‘nonasli’, tetapi dalam konteks Indonesia istilah itu mengacu secara khusus kepada orang Tionghoa, tidak pandang kewarganegaraannya. Dari sudut sosial-politik istilah ‘nonpribumi’ mendapat konotasi: tidak seluruhnya merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan dari sudut ekonomi istilah tersebut menunjuk ke kelompok orang yang berkedudukan ekonomi kuat. Julukan lain yang diberikan kepada etnik Tionghoa, khususnya para pengusaha besar, adalah kata ‘konglomerat’. Sangat mungkin kata ini pertama kali dipakai oleh kalangan pers dan kemudian digunakan oleh masyarakat umum. Sejak pertengahan tahun 1980-an muncul juga usahawan dan usahawati besar di antara orang Indonesia, terutama anak dan cucu serta anggota keluarga lain Soeharto, yang dinamakan ‘Kelompok Cendana’. Istilah tersebut juga secara khusus mengacu kepada orang-orang Tionghoa dalam kelompok tersebut. Dengan
53
demikian, seorang ‘konglomerat’ digambarkan sebagai pengusaha besar keturunan Tionghoa, yang sering disebut ‘kroni’ Soeharto dan keluarganya, yang mudah mendapat pinjaman besar dari bank-bank negara (dan dari biro-biro keuangan luar negeri). Oleh karena itu mereka seringkali dituduh terlibat dalam penyuapan pegawai-pegawai negeri. Mereka diketahui sebagai orang-orang yang menjadi kaya raya dengan cara memperkaya pegawai korup. Mungkin hanya terdapat tidak lebih dari 200 orang pengusaha besar, dan kalangan pers, terutama majalah-majalah ekonomi, yang secara teratur menampilkan mereka sebagai ‘pelindung’. Banyaknya berita pers ini memperkuat stereotip bahwa semua orang Tionghoa kaya. Kemudian muncul tuduhan bahwa mereka menjadi kaya dengan mengorbankan mayoritas etnik Indonesia dan merusak lingkungan. Masih terdapat banyak julukan lain bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia yang biasanya didasarkan atas stereotip. Untuk tujuan makalah ini—yang membahas kekerasan berdasarkan jender—terdapat julukan lain yang relevan, yaitu kata ‘amoy’. ‘Amoy’ berasal dari bahasa Hakka yang mengacu kepada gadis muda Tionghoa. Namun, cara yang dipakai kalangan non-Tionghoa menyebabkan kata itu kemudian mendapat konotasi negatif. Hal ini dapat diinterpretasi dari berita yang menginformasikan bahwa Galuh Wandita (2000:120) mengutuk tabloid Aksi yang memakai kata ‘amoy’ di judul berita utama: ‘Kisah Tragis Amoy-amoy’. Galuh mengutuk tabloid itu karena menamakan korban sebagai ‘amoy’. Hal tersebut dianggap merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan Indonesia keturunan Tionghoa. Dengan kata lain, kata ‘amoy’ dianggap merendahkan atau melecehkan. Tindakan penjulukan terhadap kaum Tionghoa secara teratur dan berkesinambungan ini mendorong diterbitkannya undang-undang
54
dan peraturan yang ditujukan kepada masyarakat Tionghoa, yang kebanyakan adalah warga negara Indonesia. Kebijakan ini jelas bersifat diskriminatif, baik dalam tujuannya maupun akibat-akibatnya. Menyusul perebutan kekuasaan yang gagal pada September 1965, diterbitkan serangkaian Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden. Kebijakan paling komprehensif adalah Inpres No.14 tahun 1967, yang berlaku mulai 6 Desember 1967, dan Keppres No.240 tahun 1967. Peraturanperaturan tersebut menyatakan bahwa setiap ungkapan kebudayaan yang berasal dari Kebudayaan Cina harus dilakukan di lingkungan rumah, dan kegiatan yang berkaitan dengan kuil Tionghoa, harus dibatasi di lingkungan kuil. Dalam praktik, setiap ungkapan ketionghoaan dilarang. Peraturan lain yang sangat mengganggu adalah mengenai kewarganegaraan. Sebagai akibat perjanjian antara Republik Rakyat Tiongkok dan Indonesia tentang kewarganegaraan, peraturan ini mewajibkan orangorang Tionghoa untuk menunjukkan bukti kewarganegaraannya dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia atau SBKRI. Namun, pada tahun 1996 Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No.56 tahun 1996 yang menyatakan bahwa untuk tujuan-tujuan tertentu sudah cukup dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga dan akta kelahiran. Selanjutnya Presiden Habibie menerbitkan Inpres No.4 tahun 1999 yang memperkuat Keppres 1996. Namun, dalam kenyataan, SBKRI masih saja harus ditunjukkan, misalnya untuk memperoleh atau memperbarui paspor di Kantor Imigrasi, yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Akhir-akhir ini masalah tersebut mendapat perhatian luas dari pihak media dan organisasi-organisasi yang menangani penghapusan undang-undang dan peraturan yang diskriminatif. Kasus ini
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
menimpa Hendrawan, pemain bulu tangkis nasional yang berhasil mempertahankan piala Thomas Cup dengan meraih kejuaraan tunggal putra. Ternyata dia mengalami kesulitan mendapatkan SBKRI. Pertanyaan kemudian muncul: mengapa dia memerlukan SBKRI? Bukankah peraturan mengenai SBKRI sudah ditarik kembali di tahun 1996 dan 1999, bahkan oleh dua orang presiden? Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), sebuah LSM yang khusus menangani soal penghapusan diskriminasi yang dipimpin Ester Indahyani Jusuf, telah menerbitkan sebuah buku untuk memperingati hari jadi keduanya (SNB 2000:143–149). Di dalamnya dimuat daftar 62 peraturan hukum sejak masa kolonial sampai tahun 1988 yang langsung atau tidak langsung bersifat diskriminatif terhadap kaum Tionghoa; 45 di antara peraturan tersebut dikeluarkan di era Soeharto. Gabungan dari tindakan penjulukan dan penerapan undang-undang serta peraturan diskriminatif menciptakan suatu sikap dalam masyarakat luas yang mengizinkan dan membenarkan tindakan merendahkan dan membenci segala sesuatu yang sifatnya berbau Tionghoa, yang mengarah ke perilaku, terutama dari para birokrat tingkat tinggi dan rendah, yang melecehkan, memeras, menyiksa, menteror kaum Tionghoa, dan akhirnya memperkosa secara massal para perempuannya. Menurut saya, pertanyaan Ariel Heryanto (2000:82–88) mengapa perempuan Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan dan penganiayaan massal di bulan Mei 1998 harus ditambah dengan dimensi polarisasi yang meningkat dalam hubungan antara orang Tionghoa dan Indonesia yang menajam di awal tahun 1990an. Selanjutnya, menurut fakta, dalam aksi-aksi anti-Tionghoa selalu terdapat amarah yang terselubung terhadap perasaan serta sikap superioritas mereka. Indikasi perasaan superior (perhatikan alasan yang dikemukakan pada
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
seminar militer tahun 1966 ketika kata Tionghoa diganti menjadi Cina) yang biasanya dituduhkan orang Indonesia adalah apa yang disebut ’eksklusivitas’, yaitu memilih hidup sebagai masyarakat terpisah di kawasan perumahan real estate mewah yang dikelilingi pagar tinggi, bergaul hanya di antara kelompok mereka, dan keengganan untuk mengawinkan anak perempuannya dengan orang Indonesia, terutama yang beragama Islam. Keadaan kacau ditambah suasana penuh permusuhan dan amarah terhadap kaum Tionghoa di pertengahan Mei 1998, merupakan kesempatan bagi elemen-elemen aparat yang dilatih untuk tujuan-tujuan itu, [pandangan Heryanto (2000:74)], untuk memperkosa perempuan mereka yang merasa dirinya terlalu superior untuk mengawinkan anak perempuannya (dengan laki-laki non-Tionghoa). Dengan menyerang dan menggagahi kaum perempuan, yaitu milik paling berharga dari kelompok mana pun, mereka berarti tidak saja menundukkan kaum perempuanya, tetapi seluruh kelompok (lihat juga Galuh Wandita 2000:127). Dapat dipastikan bahwa pelaku-pelaku tindakan keji ini, tidak saja beramai-ramai memperkosa dan menyiksa, serta dalam sejumlah kasus membunuh perempuan dengan cara menusukkan benda ke dalam alat kelaminnya di depan umum. Tanpa rasa malu atau takut oleh kritikan masyarakat atau oleh seranganserangan dari kalangan yang bersimpati kepada para korban, atau oleh tindakan tentara atau polisi, mereka bersikap seperti pemenang terhadap yang dikalahkan. Di samping itu, ‘dikabarkan bahwa beberapa malah mendapat sambutan sorak-sorai dari penonton’ (Heryanto 2000:74). Ada tiga buah tulisan bagus tentang peristiwa kekejaman Mei 1998 yang terbit di tahun 2000 dan 2001. Satu artikel ditulis Ariel Heryanto (sudah dikutip beberapa kali lebih awal), berjudul ‘Perkosaan Mei 1998: beberapa
55
catatan konseptual’. Tulisan ini berupa wacana yang menganalisis sebab-sebab, proses, serta akibat peristiwa Mei 1998, yang mengemukakan sejumlah tesis yang amat provokatif tentang peran pemerintah dan aparatnya dalam serangan seksual serta pemerkosaan massal perempuan Tionghoa. Tulisan lainnya adalah tulisan Rene Pattiradjawane yang berjudul ‘Peristiwa Mei 1998 di Jakarta: Titik terendah sejarah orang etnis Cina di Indonesia’ dalam I. Wibowo (ed), 2000, Harga Yang harus dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Tulisan ini merupakan kisah yang teliti dan rinci tentang jalannya peristiwa Mei 1998, dilengkapi keterangan rinci tentang tempat kejadian dan apa yang terjadi. Tulisan ketiga ditulis Parsudi Suparlan, yang berjudul ‘Konflik Etnik dan Agama di Indonesia’, dalam Kultur Jilid 1, Nomor 2 tahun 2001. Meskipun tulisan ini merupakan pembahasan tentang gejala yang lebih luas dari konflik antarsukubangsa dan antaragama di Indonesia, ada bagian tentang kejadian Mei 1998 di mana dia juga mengemukakan pendapatnya tentang bukti keterlibatan langsung aparat sebagai para pelaku serangan seksual dan pemerkosaan massal terhadap perempuan dan gadis Tionghoa. Ada sebuah artikel di majalah Suarabaru, terbitan INTI (Indonesia-Tionghoa),7 dalam terbitan Mei 2000, untuk memperingati dua tahun kejadian Mei 1998, dengan judul ‘Haruskah pil pahit ditelan lagi?’ Tulisan ini menceritakan kisah sebuah keluarga yang terperangkap di rukonya di salah satu kawasan rusuh. Seluruh keluarga, termasuk neneknya, mengunci diri di salah satu kamar di tingkat atas. Mereka mendengar orang-orang turun naik tangga dan merusak toko di bawah. Di luar orang-orang melempari toko dengan batu
sambil berteriak: ‘Cina! Cina! Keluar!’. Mereka sendiri selamat dari malapetaka itu, tetapi kehilangan seisi toko. Jelas bahwa aksi kekejian terhadap perempuan Tionghoa di Jakarta, Aceh, Papua, Timor Timur sebelum merdeka, serta di daerah lain, termasuk kategori ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Kejahatan tersebut dilakukan secara sistematik dan luas. Kejahatan-kejahatan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan pemerintah, karena para pelakunya adalah anggota dan/atau berafiliasi dengan pemerintah, yang bertindak atas perintah pemerintah, atau sepengetahuan pemerintah, dan pemerintah tidak turun tangan untuk menghindari kejadian-kejadian tersebut. Kekerasan berdasarkan jender dalam kasuskasus ini merupakan akibat dari diskriminasi majemuk atau ganda atau apa yang sekarang disebut interseksionalitas dalam diskriminasi. Konsep ini muncul dalam kaitannya dengan proklamasi yang dikeluarkan PBB pada tahun 2001 yang dinamakan Tahun Internasional Mobilisasi terhadap Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia dan Intoleransi Terkait.8 Sebagaimana dinyatakan dalam Laporan Rapat Kelompok Ahli untuk Diskriminasi Jender dan Ras yang diadakan di Zagreb, Kroatia, dari tanggal 21 sampai 24 November 2000 (salah satu dari sejumlah rapat ahli yang mempersiapkan Konferensi Dunia), ‘Gagasan ‘interseksionalitas’ berusaha untuk menemukan akibat-akibat struktural dan dinamik dari interaksi antara dua atau lebih bentuk diskriminasi atau sistem subordinasi. Gagasan ini khususnya menangani cara-cara bagaimana rasisme, patriarki, ketimpangan-ketimpangan ekonomi serta caracara diskriminatif lainnya turut mengakibatkan 8
7
INTI adalah salah satu dari sejumlah organisasi yang didirikan kaum Tionghoa yang berfungsi sebagai kelompok penekan.
56
Mencakup sejumlah konferensi regional dan mencapai puncaknya pada Konferensi Dunia melawan Rasisme dsb yang berlangsung di Durban dari 31 Agustus sampai 7 September 2001.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
terciptanya lapisan-lapisan ketimpangan yang membentuk kedudukan-kedudukan relatif dari perempuan dan lelaki, ras, dan kelompokkelompok lain. Di samping itu, gagasan tersebut menangani cara bagaimana tindakan dan kebijakan khusus menciptakan beban yang mengalir sepanjang poros-poros yang berinterseksi tersebut dan yang secara aktif turut menciptakan suatu dinamika yang merenggut kekuatan’.9 Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan Tionghoa Mei 1998 terdapat interseksi jender, etnisitas dan kelas sosial, yang bersamasama menciptakan suatu keadaan yang mendorong para korban menjadi sasaran kekerasan seksual.
Kebiasaan-kebiasaan tradisional yang membahayakan kaum perempuan Kesadaran dan pengakuan bahwa dalam praktik semua masyarakat terdapat kebiasaan berdasarkan budaya dan tradisi yang membahayakan kesehatan fisik dan mental kaum perempuan, belum lama muncul. Dalam sidang ke-58 Komisi HAM bulan Januari 2002, Ny. Radhika Coomaraswamy memberikan laporan khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, sebab-sebab serta akibatnya sesuai dengan Resolusi Komisi HAM 2001/49.10 Laporan tersebut adalah Integrasi HAM Perempuan dan Perspektif Jender yang berjudul kebiasaankebiasaan tradisional dalam keluarga yang 9
Dari Report Expert Group Meeting Race Croatia, di Zagreb, Kroatia, 21-24 November 2000, hlm.9, 10. Rapat tentang Jender dan Diskriminasi Rasial ini diselenggarakan PBB Divisi Memajukan Perempuan (DAW) bekerjasama dengan Office of the High Commissioner on Human Rights dan UNIFEM. Penulis juga diundang UN DAW menjadi satu di antara empat ahli yang akan menyajikan makalah tentang Jender dan Rasisme pada Sidang ke-45 Komisi PBB tentang Kedudukan Perempuan, di New York, 13 Maret 2001. 10
Versi Lebih Awal Yang Disunting. E/CN.4/2002/83, 31 Januari 2002.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
membahayakan perempuan. Dia mengemukakan secara jelas masalahnya seperti berikut: ‘Patokan-patokan universal hak-hak asasi manusia sering tidak diberlakukan sepenuhnya bila diterapkan kepada hak-hak perempuan. Di seluruh dunia terdapat kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga yang bersifat kekerasan terhadap kaum perempuan dan yang membahayakan kesehatan mereka. Gadis-gadis muda disunat, perempuan harus patuh pada aturan-aturan ketat dalam berpakaian, dipaksa menjadi pelacur, dirampas haknya atas pemilikan harta, dan dibunuh demi kehormatan keluarganya. Laporan ini mencatat sejumlah kebiasaan tradisional yang melanggar hak-hak asasi perempuan atas keutuhan jasmaninya dan hak bicaranya. Kebiasaan tradisional tersebut merusak nilai-nilai penting persamaan kedudukan serta harkat perempuan. Kebiasaankebiasaan ini dan banyak lagi kebiasaan lainnya merupakan bentuk-bentuk kekerasan dalam keluarga yang luput dari perhatian baik bangsanya sendiri maupun dunia luar, karena kebiasaan tersebut dipandang sebagai kebiasaan tradisional yang harus diterima dan dihormati. Relativisme budaya sering dipakai sebagai alasan untuk menghalalkan kebiasaankebiasaan tidak berperikemanusiaan serta diskriminatif bagi kaum perempuan dalam masyarakat tersebut…’ (Ringkasan Eksekutif thn:3). Dalam konteks Indonesia saya akan menitikberatkan sebuah gejala yang secara diamdiam telah berlangsung mungkin beberapa dasawarsa, tanpa sepengetahuan masyarakat umum, atau bahkan tanpa dipertanyakan mereka. Gejala ini menerpa kalangan gadis Tionghoa muda belia, bahkan sangat muda, kebanyakannya dari keluarga yang serba kekurangan, yang oleh orang tuanya dikawinkan dengan lelaki asing, dalam hal ini orang Taiwan.
57
Data berikut ini didasarkan atas sebuah penelitian mendalam yang dilakukan Andy Yentriyani (2000:32-47). Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan informasi yang diperoleh dari wawancara mendalam terhadap tiga orang makcomblang (dua orang perempuan dan satu orang laki-laki), tiga orang gadis yang menikah dengan orang Taiwan (seorang di antara mereka belum berumur 14 tahun waktu dinikahkan), dan tiga orang ibu yang anaknya menikah dengan lelaki Taiwan. Data statistik tentang perkawinan transnasional didapat dari kantor Kotamadya Tingkat I Pontianak, Kabupaten Tingkat II Pontianak dan Kabupaten Sambas. Data statistik (Yentriyani 2000:39) yang diambil dari ketiga kantor tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 1992 sampai Oktober 1999 tercatat seluruhnya 5293 perkawinan antara perempuan Tionghoa-Indonesia dan orang asing. Sebagian besar suami berasal dari Taiwan (5159), 129 orang dari Malaysia, 2 dari Australia, dan masing-masing satu orang dari Amerika, Brunei Darussalam, dan Jepang. Perkawinan dengan bangsa Taiwan menunjukkan angka tertinggi untuk tahun 1996, yaitu sebanyak 1119. Disusul tahun 1999 (sampai Oktober dan tanpa data dari kantor Kabupaten Sambas), yang menunjukkan angka 7754. Angka tertinggi ketiga adalah tahun 1995 dengan jumlah 784 untuk Kabupaten Sambas saja (tidak ada data dari dua daerah lainnya). Sesungguhnya untuk tahun-tahun 1992–1999 Kabupaten Sambas menunjukkan angka yang tertinggi, yaitu 3268, sedangkan Kotamadya Pontianak dan Kabupaten Pontianak menunjukkan angka yang hampir sama, yaitu masing-masing 903 dan 988. Sebenarnya informasi paling lengkap berasal dari Kabupaten Sambas (kecuali untuk tahun 1999). Dua kantor lainnya memiliki data mulai 1996 saja. Apabila kita perhatikan angka 5293 untuk jumlah perkawinan transnasional,
58
maka terjadi rata-rata 661 perkawinan setahunnya. Namun, mengingat data yang kurang lengkap, bisa dikatakan secara aman bahwa setiap tahun terjadi rata-rata 1000 perkawinan. Angka perkawinan dengan orang Taiwan yang sangat tinggi ini tampak dari kenyataan bahwa Kotamadya Pontianak menunjukkan proporsi 90%, Kabupaten Pontianak 98%, dan Kabupaten Sambas 99 %. Berdasarkan itu, penulisnya mengacu kepada kegiatan perkawinan transnasional di Kalimantan Barat itu sebagai ‘perdagangan perempuan’, yaitu suatu bentuk pelanggaran berat terhadap hak asasi perempuan. Kita lihat bahwa makna istilah ‘perdagangan perempuan’ telah berubah dari arti sempit ke arti luas. Resolusi yang diterima PBB di tahun 1994 tentang masalah ini (dikutip Yentriyani 2000:14, 15), mengacu kepada perdagangan perempuan sebagai tindakan melawan hukum yang dilakukan para penyalur, penyelundup, serta sindikat-sindikat kejahatan yang menyelundupkan manusia. Kebanyakan mereka berasal dari negara berkembang, pergi secara ilegal ke negara lain melalui perbatasan internasional, dengan tujuan memaksa kaum perempuan dan anak-anak mengalami tekanan dan eksploitasi seksual dan ekonomi. Tindakan-tindakan ilegal ini mencakup penyaluran tenaga Pembantu Rumah Tangga (PRT) secara paksa, kawin paksa, penyelundupan tenaga kerja dan adopsi terselubung. Resolusi Senat Amerika Serikat No.82 tahun 1998, juga mengacu pada perdagangan sebagai berikut: ‘...mencakup satu atau lebih bentuk penculikan, kurungan terselubung, pemerkosaan, pemukulan, kerja paksa, atau tindakantindakan yang menyerupai perbudakan yang melanggar hak asasi manusia yang mendasar. Perdagangan terdiri dari semua tindakan penyaluran atau pengangkutan orang, di dalam atau lewat garis perbatasan negara, yang menyangkut penipuan, penekanan atau paksaan,
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
penyalahgunaan kekuasaan, terikat hutang atau korupsi, dengan tujuan melecehkan atau mengeksploitasi orang, seperti prostitusi paksa, pemukulan dan kekejaman ekstrem, PRT paksa atau dieksploitasi (Yentriyani 2000:14). Koalisi untuk penghapusan perbudakan dan perdagangan (Yentriyani 2000:15) menyampaikan definisi yang lebih luas: ‘...pengerahan atau pemindahan orang secara paksa atau dengan ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan penting, penipuan atau segala bentuk kekerasan, dengan tujuan mengeksploitasi orang-orang tersebut baik secara seksual maupun ekonomis untuk menguntungkan orang lain, seperti para penyalur, mucikari, pedagang, perantara, pemilik tempat pelacuran dan karyawan lain, pelanggan atau sindikat kejahatan. Perdagangan juga diartikan sebagai memindahkan orang di dalam sebuah negara, antarnegara, di suatu daerah atau antarbenua’. Definisi terakhir ini dapat diterapkan pada keadaan di Kalimantan Barat. Pada dasarnya proses di sana dapat dianggap sebagai perkawinan yang diatur yang melibatkan seorang perantara atau makcomblang, ibubapak si gadis, gadis itu sendiri, dan calon suami, yang biasanya didampingi seorang anggota keluarganya. Semuanya diatur secara terbuka oleh perantara, dan si gadis diperkenalkan kepada calon suami sebelum keputusan akhir ditetapkan. Namun, kejadian itu bukan saja merupakan perkawinan yang diatur, melainkan juga suatu transaksi keuangan. Usaha makcomblang merupakan sebuah bisnis dengan pembagian kerja yang melibatkan satu orang (biasanya si perantara) yang bertugas mencari dan mengatur calon ‘pelanggan’ di Taiwan, orang lain akan mencari gadis-gadis yang cocok (yang disalurkan), seorang lagi menyelesaikan dokumendokumen serta perizinan yang diperlukan. Hal yang menarik, sebagaimana diungkapkan kajian
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
ini (Yentriyani 2000:45), adalah bahwa ketiga perantara yang diwawancarai tersebut mengaku bahwa mereka melakukan semua itu bukan untuk berbisnis (mereka memiliki perusahaan yang sah, seperti perusahaan dagang), melainkan untuk ‘menolong para lelaki Taiwan ini yang kesulitan mendapat istri’. Meskipun demikian, si ‘pelanggan’ itu harus membayar sejumlah uang untuk pertolongan/ jasanya, sebelum dimulainya proses pencarian seorang mempelai wanita. Sudah barang tentu hubungan antara keluarga si gadis dan pelanggan adalah asimetrik. Adalah khas bahwa si gadis berasal dari keluarga besar yang berpendapatan rendah, sehingga dia berpendidikan rendah saja, meskipun para pelanggan ternyata kebanyakan berasal dari kelompok pekerja ‘krah biru’ (bisa jadi seorang buruh pabrik, buruh pertanian atau tukang sampah), karyawan di perusahaan swasta (mungkin seorang montir atau pramuniaga saja), petani atau nelayan. Kajian tersebut mencatat bahwa mereka adalah kelompok yang mengalami marjinalisasi dalam kegiatan industrialisasi di Taiwan, yang merupakan bagian dari proses kapitalisme global (Yentriyani 2000:43). Namun, meskipun para lelaki ini termasuk kelompok ‘prasejahtera’ di Taiwan, dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis di Pontianak dan Sambas, mereka termasuk orang yang kaya, karena mampu membiayai perjalanan ke Kalimantan Barat, membayar jasa perantara, dan ongkos pesta perkawinan. Di sinilah terjadi masalah penyalahgunaan kekuasaan, kedudukan, dan oleh karenanya juga masalah eksploitasi, yaitu masalah kedudukan si gadis dan keluarganya yang tidak mempunyai daya tawar-menawar, dan dia bersedia menerima pelanggan pertama yang setuju mengawininya. Kasus yang dipaparkan menggambarkan khas keadaan ini (Yentriyani 2000:46–47). Si gadis yang berumur 21 tahun adalah yang ketiga dari 8 kakak-beradik. Dia
59
sekolah sampai dengan kelas 2 SMU, kemudian pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai pramuniaga. Tokonya dibakar. Karena takut, dia kembali ke Pontianak untuk mengurus orang tua serta ketiga adiknya yang termuda. Kemudian ada yang mengusulkan agar dia kawin saja dengan orang Taiwan. Perantaranya adalah seorang kerabat kerja Bapak Liu, salah seorang narasumber kajian ini. Bagi si gadis perkawinan dengan orang Taiwan adalah lumrah, karena dua orang kakaknya sudah kawin dan ada di sana. Kedua perkawinan ini merupakan karunia bagi keluarga, karena mereka bisa mengirim uang. Mengingat bahwa si gadis sedang menganggur, dia menerima tawaran untuk dimasukkan ‘bursa pengantin’. Dia diperkenalkan kepada 6 atau 7 orang pelanggan, tetapi tidak seorang pun berminat. Akhirnya dia diperkenalkan kepada seorang montir berumur 42 tahun, yang bercerai dari istrinya dan beranak 2 orang, yang paling tua berumur 8 tahun. Ketika ditanya tentang kesediaannya mengawini lelaki itu, dia merasa tidak mampu untuk memilih; dia tidak membenci, tetapi juga tidak menyukai orang itu. Mereka bertemu tiga kali sebelum perkawinan dan mengadakan persiapan untuk berangkat ke Taiwan. Pada pertemuan pertama dia diperkenalkan kepada lelaki itu, pada pertemuan kedua mereka berkenalan lebih dekat, di sebuah restoran. Pada pertemuan ketiga, juga hari ketiga kunjungan orang Taiwan itu, mereka belanja pakaian untuk dibawa gadis itu ke Taiwan. Sementara itu si perantara dan orang tua gadis menyiapkan pesta perkawinan yang berlangsung sederhana saja dan yang hanya dihadiri keluarga dekat. Mengapa peristiwa ini dianggap tindakan pelanggaran hak asasi si gadis dan ribuan gadis lainnya di Kalimantan Barat yang kawin dengan orang asing, dalam kasus ini lelaki Taiwan? Kita perlu melihat lagi laporan Ny. Coomaraswamy yang disebut lebih awal, yang menyatakan bahwa: ‘Laporan ini
60
mencatat sejumlah kebiasaan tradisional... dan merusak nilai-nilai penting persamaan kedudukan dan harkat.… Kebiasaan-kebiasaan ini dan banyak lagi kebiasaan lainnya merupakan suatu bentuk kekerasan dalam keluarga’. Dalam penggambaran perilaku gadis-gadis tampak bahwa mereka patuh kepada keputusan apa pun bagi mereka, karena tidak punya pilihan lain. Namun keputusan tersebut memang melanggar nilai-nilai persamaan kedudukan dan derajat serta merupakan kekerasan dalam lingkungan keluarga. Kepatuhan gadis tersebut adalah refleksi nilai Tionghoa yang tertanam kokoh dalam budaya Tionghoa yang masih dianut mereka yang sudah beberapa generasi menetap di Indonesia. Nilai ini disebut ‘kesalehan anak’, yaitu rasa hormat serta kebaktian kepada orang tua dari anak dan cucu (tadinya dari anak lelaki saja, yang menunjukkan sifat patriarkal kebudayaan tradisional Tionghoa), yang diungkapkan dengan cara mengurus ibu dan bapak di hari tua mereka, menjunjung tinggi nama keluarga, serta bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Dalam kasus gadisgadis di Kalimantan Barat, mereka merasa bertanggung jawab untuk meringankan beban keuangan keluarga mereka. Kawin dengan orang Taiwan merupakan salah satu cara memberi bantuan kepada orang tua. Dengan demikian, mereka telah memenuhi kewajiban mengembalikan kepada orang tuanya apa yang telah mereka dapatkan dari ibu dan bapaknya. Di sebuah simposium di Denpasar, saya menemukan majalah berbahasa Inggris Latitudes yang diterbitkan di Denpasar, Bali (Jilid 11, Desember 2001), yang memuat sebuah artikel tentang topik yang berjudul ‘Brides for Sale’ (Dijual: Mempelai Perempuan), tulisan Bodrek Arsana. Sesuai dengan judulnya, tulisan ini mengetengahkan perdagangan wanita yang benar-benar terjadi di Kalimantan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Barat. Kasus yang diambil adalah kisah seorang gadis berumur 15 tahun, anak ketiga dari 10 kakak-beradik dari keluarga Tionghoa miskin di sebuah kampung kecil dekat Singkawang. Dia bersedia kawin dengan lelaki Taiwan, karena keluarganya akan menerima sejumlah uang yang akan dipakai untuk membayar hutang-hutang abangnya yang peminum dan penjudi. Dia tidak terlalu merisaukan perkawinan ini, karena ada gadis-gadis yang kawin dengan orang Taiwan dan mampu mengirim uang kepada keluarga mereka. Keluarganya akan menerima sejumlah 2.500 dolar Amerika sebagai imbalan perkawinannya dengan lelaki Taiwan. Satu minggu kemudian dia sudah dalam perjalanan ke Taiwan. Ternyata lelaki itu bukan pengusaha, sebagaimana yang dikatakan kepada keluarga si gadis. Ia hanyalah seorang buruh rendahan di pabrik, yang tinggal dengan orang tuanya di luar kota. Selang enam bulan kemudian dia mengaku telah dipecat dari pekerjaannya. Laki-laki itu lalu menjual istrinya kepada seorang mucikari. Setiap malam dia mengantarkan istrinya ke sebuah klab untuk bekerja sebagai pekerja seks. Perempuan itu berhasil melarikan diri dan kembali ke Singkawang. Tulisan itu mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 10.000 perempuan dari Singkawang yang menetap di Taiwan dan bahwa dalam kurun waktu satu tahun, yaitu 1993–1994, 2.000 perempuan berangkat ke Taiwan.
Implikasi Dimensi sosial dari kekerasan berdasarkan jender yang tumbuh dari hubungan-hubungan antar kelompok atau kategori manusia merupakan hasil suatu proses yang dimulai dengan tindakan penjulukan, kemudian mengarah ke diskriminasi, dan akhirnya ke kekerasan. Untuk menghentikan proses ini, dan karenanya menghindari kerusakan terhadap struktur masyarakat, perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia adalah multikultural,
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
yang pada gilirannya perlu diterima dengan pandangan positif tentang keragaman yang akan memperkaya semua pihak, yang bisa disamakan dengan keadaan alam dengan biodiversitasnya. Juga perlu disadari bahwa perilaku diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu mengisyaratkan adanya pola pikiran yang pada dasarnya tidak adil. Ketidakadilan pola pikir dan perilaku ini, jika ditujukan kepada suatu kelompok etnik atau jender tertentu, lebih tidak bisa diterima, bila disadari bahwa menjadi anggota suatu kelompok tertentu, atau menjadi perempuan atau lelaki, merupakan suatu ‘kejadian kelahiran’ atau ‘suatu tindakan Tuhan’. Kita juga tahu bahwa sikap dan perilaku seperti ini adalah diakuisisi dan bukan pembawaan sejak lahir. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bahwa sedini mungkin, terutama di lingkungan keluarga dan kemudian di sekolah, anak-anak belajar nilai keragaman dan rasa hormat serta penghargaan bagi keragaman. Inilah inti pluralisme serta inti komponen-komponen dari budaya damai.1 1 Namun, untuk memupuk jenis sikap dan perilaku seperti ini diperlukan lingkungan yang mendukung. Ini berarti diperlukan adanya reformasi hukum, perubahan pola pikir masyarakat dan pola pikir kaum perempuan sendiri. Dalam segi hukum perlu diidentifikasi dan dihapus semua undang-undang, peraturan dan kebijaksanaan serta penerapannya, yang bagaimana pun menandakan adanya diskriminasi berdasarkan jender, terutama jender perempuan dari ras atau etnik tertentu. Pada umumnya, proses-proses hukum dan kriminal yang ada sama sekali tidak memadai untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Dewasa ini konsep keadilan peralihan sedang 11
Bagian makalah ini diambil dari makalah/pernyataan saya ‘Gender and All Forms of Discrimination, in Particular Racism, Racial Discrimination, Xenophobia and Related Intolerance’ (hlm.4,5) (Lihat catatan 9).
61
dibahas agar dapat diterapkan untuk menegakkan keadilan dalam kasus-kasus ini. Komnas Perempuan bekerjasama dengan organisasiorganisasi perempuan lain sedang berusaha mengajukan ke parlemen antara lain UndangUndang tentang perlindungan korban dan saksi dan Undang-Undang tentang kekerasan dalam keluarga. Perubahan pola pikir masyarakat berhubungan dengan makna persamaan jender dan keadilan, peningkatan nilai, kedudukan, serta peran perempuan. Perubahan itu berhubungan dengan pemberdayaan perempuan, keikutsertaan serta perwakilan mereka dalam jalur-jalur kekuasaan dalam masyarakat. Dalam keluarga perubahan pola pikir ini menyangkut tanggung jawab bersama orang tua dalam mengurus dan menjamin kesejahteraan seluruh keluarga. Aspek terpenting adalah makna pluralisme, dan oleh karena itu kemampuan dalam masyarakat untuk menangani keragaman, dan berkaitan dengan hal ini, untuk menangani konflik. Perubahan pola pikir perempuan orang per orang berkaitan dengan peningkatan jenjang pendidikan mereka, peningkatan yakin-diri, harkat diri, serta nilai diri. Aspek kuncinya adalah memungkinkan perempuan menjadi pribadi mandiri secara ekonomi, keuangan, serta dalam hidup bermasyarakat. Dimensi kultural dari kekerasan berdasarkan jender, khususnya kebiasaan-kebiasaan tradisional yang membahayakan perempuan,
memerlukan perhatian khusus kita kepada apa yang terjadi dalam lingkungan keluarga yang dilakukan demi nilai budaya serta tradisi. Kasus kaum perempuan di Kalimantan Barat yang dikawinkan dengan lelaki Taiwan yang baru ditemuinya beberapa kali, serta kemudian dibawa ke Taiwan, menunjukkan bahwa kaum perempuan menerima suatu keadaan yang mereka tidak mampu pertanyakan, apalagi mengubahnya. Para gadis serta keluarga mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa curiga, bahkan juga ketika seorang perempuan mengetahui kalau suaminya adalah seorang peminum. Ibunya yang sedang datang berkunjung berpikir bahwa anak perempuannya masih beruntung, karena si suami tidak memukulinya. Bahkan beberapa perempuan yang kawin dengan lelaki Taiwan, kemudian menjadi mucikari juga. Tampak di sini betapa pentingnya merubah pola pikir baik masyarakat maupun kaum perempuan itu sendiri. Sehubungan dengan perempuan, makna multikulturalisme, jika dipahami sebagai relativisme kultural, dalam arti menjunjung tinggi hak-hak kelompok-kelompok budaya atau kelompok-kelompok etnik untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaan tertentu atas nama nilai-nilai budaya meskipun kebiasaankebiasaan tersebut membahayakan kaum perempuan, maka nilai-nilai budaya serta kebiasaan-kebiasaan ini perlu ditinjau kembali, dan bila dianggap membahayakan, harus dihapus.
Referensi Arsana, B. 2001 ‘Brides for sale,’ Latitudes jilid 11, Desember. Berger P.L. dan B. Berger 1972 Sociology. A Biographical Approach. New York: Basic Books Inc.
62
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Blusse, L. 1986 Strange Company. Chinese Settlers, Mestizo Women, and the Dutch in VOC Batavia. Dordrecht: Foris Publications. Coppel, C.A. 1983 Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Heryanto, A. 2000 ‘Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual,’ dalam N.I. Subono (peny.) Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Hlm.74,82–88. Lohanda, M. 2001 The Kapitan Cina of Batavia. 1837–1942.Jakarta: Penerbit Djambatan. Media Indonesia 1998 ‘Korban DOM,’ September. Purcell, V. 1965 The Chinese in Southeast Asia. Second edition. London: Oxford University Press. Schwarz, A. 1994 A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Australia: Allen and Unwin. Solidaritas Nusa Bangsa 2000 Dua Tahun Solidaritas Nusa Bangsa Menentang Rasialisme. Jakarta: SNB. Suryadinata, L. 1978 The Chinese Minority in Indonesia. Seven papers. Singapore: Chopmen Enterprises. Tabloid Aksi jilid 2, no.83, Juni 1998. Tan, M.G. 1999 ‘The ethnic Chinese in Indonesia: Trials and Tribulations,’dalam F. Suleeman dkk. (peny.) Bergumul dalam Harapan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.692–693. Wandita, G. 2000 ‘Air Mata telah Terkuras, tetapi Kekerasan Belum Selesai,’ dalam N.I. Subono (peny.) Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Hlm. 120,127. Yentriyani, A. 2000 Perdagangan Perempuan: Sebuah Konsekuensi Sistem Kapitalis Dunia. Studi Kasus: Perkawinan Transnasional Indonesia-Taiwan 1992–1999. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
63