DEKONSTRUKSI IDEOLOGI PENDIDIKAN DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA A. FAUDI
Rico Aprisa Abstract This study focuses on the analysis of the ideological deconstruction of education in novel. The main character is experiencing an inner conflict in ideology education, where one side of the main character wants to fulfill his desire choose public school he wants, on the one hand should be against the wishes of his parents. Through the story the main character is this phenomenon of education and ideology in the novel happen, and in the context of today's global society. Keywords : ideology, education, deconstruction A. Pendahuluan Dekonstruksi ideologi pendidikan dalam karya sastra khususnya novel mengandung nilainilai yang mencerminkan realitas sosial masyarakat, khususnya di dalam memilih dunia pendidikan. Seperti dalam Dalam novel Negeri 5 Menar karya A. Fuadi mengkonstruksi tokoh utama yang mengalami konflik batin dalam memilih ideologi pendidikan, di mana satu sisi tokoh utama ingin memenuhi keinginannya memilih sekolah umum yang ia mau, di satu sisi harus melawan keinginan orang tuanya. Begitipun dengan karya-karya Hamka, di mana tokoh yang dihadirkan dalam setiap Romanya selalu menghadirkan tokoh utama, dengan seting sedang menempuh dunia pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Hal ini terlihat dalam novel Tengelamya Kapal Van Der Wijck di mana tokoh Zainudin merantau dari Makasar ke Sumatera Barat dengan tujuan memperdalam ilmu agama di Padangpanjang, dan mengalami konflik batin di antara pengetahuan agama dan benturan budaya lokal. Konstruksi tokoh Hamid dalam novel Di bawah Lindungan Kabbah,
Hamid pindah dari kampungnya dengan tujuan belajar ke
Padangpanjang, dan mengalami konflik batin, antara Cinta dan Balas budi. Berdasarkan uraian yang dikemukakan, semua masalah dalam konstruksi sebuah karya sastra
berangkat
dari yang namanya ideologi, penelitian ini, berupaya mengungkapkan
bagaimana bentuk dekonstruksi ideologi pendidikan dalam karya sastra? sejauh mana dekonstruksi ideologi pendidikan dalam karya sastra mampu mencerminkan konteksnya dalam masyarakat.
B. Kajian Pustaka Modernisasi sebagai proses pergeseran zaman di mana pola pikir, sikap dan tingkah laku serta mentalitas masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Modernisasi tidak terlepas dari proses kehidupan manusia, karena manusia merupakan mahluk berpikir. Manusia sejak lahir telah membawa sejumlah pengetahuan dan nalurinya. Berdasarkan pengetahuan itulah manusia selalu mempertanyakan sesuatu yang baru. Untuk menjawab keingintahuannya, manusia sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain dalam lingkungannya. Adanya interaksi tersebut terkadang menciptakan aktivitas serta sikap, pola pikir, dan tingkah laku seseorang berbeda dari golongannya, atau dapat dikatakan bahwa modernisasi membawa dampak dalam kehidupan seseorang dalam bersikap, pola pikir dan tingkah laku sebagai wujud dari ideologi yang di anutnya (Tilaar, 2003). Hal ini yang tercermin di dalam karya-karya sastra (Wellek & Waren, 1993). C. Metode Penelitian Metode penelitian mengunakan metode hermeneutik yaitu metode yang menempatkan teks sebagai inti atau menempatkan teks sebagai posisi sentral (Hoed, 2008) dalam penelitian ini. Dekonstruksi ideologi pendidikan
dalam analisisnya mengunakan teori dekonstruksi untuk
keseluruhan analisis, dibantu teori semiotika, dan teori resepsi dipergunakan untuk mengetahui respon dari masyarakat pembaca (Ratna, 2007, 2010, 2013). Pada penelitian ini dekonstruksi ideology pendidikan diterapkan pada novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kutipan kata, kalimat dan paragraf yang pada novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Sedangkan sumber data dibagi menjadi sumber data primer yaitu novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, dan sumber data sekunder yang digunakan yaitu buku teori penunjang. Teknik pengumpulan data yaitu dengan teknik pustaka yaitu dengan menggunakan sumber tertulis untuk memperoleh data dan menggunakan teknik catata yaitu dengan mencatat kata, kalimat maupun paragraf yang dapat digunakan sebagai data dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi dan mengklasifikasikannya. Teknik analisis data pada penelitian ini dilaksanakan secara terus menerus yaitu dengan pembacaan hermeneutic. Pembacaan ini dilakukan secara intensif dan mendalam. D. Hasil dan Pembahasan Masyarakat global saat ini terjadi upaya penyeragaman di berbagai seluk beluk kehidupan, di mana segala aktivitas kehidupan ini dibuat instan atau dipermudah dengan
kemajuan teknologi, yang menghasilkan masyarakat maju dan modern. Hampir di seluruh kehidupan ini tidak terlepas dari cengkraman dunia modernisasi, yang membawa pengaruh baik maupun buruk terhadap kehidupan itu sendiri, salah satunya dunia pendidikan. Seiring majunya zaman maju pula pola pemikiran masyarakat. Sehingga di dalam kemajuan tersebut, manusia mulai mengelompokan dirinya berdasarkan kesamaan pandangan di antaranya ideologi yang dipahami dan dianutnya. Ideologi sebagai dasar dari terciptanya hubungan antara individu sehingga terbentuk sebuah golongan atau kelompok. Pemahaman yang berbeda-beda di antara individu-individu sebagai efek dari
majunya dunia atau akibat dari modernisasi kehidupan, yang membuat
masyarakat pun terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok atau golongan baik yang mendukung (pro) dan tidak mendukung (kontra). Pergesekan atau konflik baik secara fisik maupun fisikis sering terjadi seiring majunya zaman sehingga perlu adanya penanaman pemahaman ideologi bagi masyarakat pemeluknya. Peletakan landasan ideologi dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan ideologi tersebut agar tetap hidup dan berkembang dalam diri pemeluknya. Proses penanaman nilai-nilai ideologi tersebut dilaksanakan sejak atau mulai dari pendidikan dasar dalam keluarga. Pendidikan sendiri merupakan jalan terbaik di dalam mempertahankan dan mengembankan ideologi, baik itu dimulai dari pendidikan yang formal dan non formal. Proses penanaman landasan dari ideologi
tersebut pada individu-individu di dalam
masyarakat tidak terlepas dari masalah, yang di antaranya mendapat godaan atau cobaan, akibat dari kemajuan zaman (pengaruh lingkungan) sehingga tak jarang menimbulkan konflik batin dalam diri individu itu sendiri, atau pun dari luar individu itu. Karya sastra sebagai sebuah konstruksi dunia nyata yang dibawa ke dalam dunia fiksi, sebagai sebuah cerminan, maka konteks saat ini, di mana masyarakat mengalami dilema dalam menentukan
ideologi
pendidikan. Pada kenyataannya Orang tua menginginkan anak-anaknya berbakti kepadanya, serta tuhannya, dengan jalan pendidikan agama sebagai solusinya, hal ini dikemukaan A Fuadi dalam Negeri 5 Menara, di mana tokoh utama mengalami konflik batin antara kemauan dirinya sendiri, dan kemauan orang tuanya. Di samping itu pendidikan agama menjadi hal utama sebagai kebutuhan rohani, hal ini pula yang disajikan oleh Hamka dalam beberapa novelnya, dimana setiap tokohnya selalu mengedepankan kebenaraan agama yang mengendalikan sikap jasmani dibandingkan sebuah konvensi adat beradat. Hal ini terlihat dari tokoh-tokoh utama (Zainudin
dan Hamid) dalam dua novelnya Tengelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabbah. Namun pada sisi lain, konstruksi dunia pendidikan agama mendapat stigma negatif yang telah lama dibangun oleh dunia pendidikan barat, bahwa pendidikan agama tidak dapat bersaing di dunia internasional sebagai bagian dari modernisasi pendidikan, di mana dunia pendidikan didominasi oleh sekolah-sekolah umum non agama. hal ini pula di ungkap oleh Hamka dalam Tengelamya Kapal Van Der Wijck, di mana ada keluarga pribumi (Minangkabau) yang berupaya memodernkan dirinya seperti orang Belanda (keluarga tokoh Azis), atau dalam Negeri 5 Menara di mana tokoh Alif yang memiliki keinginan menjadi tenokrat di dunia barat. Bagi kaum konservatif
pendidikan agama sebagai bagian ideologi yang harus
dipertahankan sebagai hal yang utama, serta diyakini, dikarenakan melalui pendidikan agama sesungguhnya
pendidikan umum telah masuk di dalamnya, di antaranya
yaitu nilai-nilai,
kaedah, permasalahan, solusi yang ada di dunia serta akhirat, telah dibicarakan di dalam pendidikan agama tersebut. Sementara pada sekolah umum, proses pembelajarannya pendidikan agama diberi porsi yang sangat sedikit dan dapat dikatakan sebagai pelengkap saja. Bagi kaum modernis sekolah umum adalah pendidikan yang terbaik dikarenakan maju mengikuti zaman, tidak seperti sekolah agama yang kuno dan terlihat kaku. Bagi mereka jika seorang individu maupun golongan telah masuk ke dalam lingkungan yang berbau pendidikan agama, maka dia takan bisa maju, serta bergaul dengan masyarakat internasional, dan hanya dapat menjadi pengajar agama atau juru dakwah saja. Stigma-stigma negatif yang terbagun oleh masyarakat terhadap sekolah agama, tidak terlepas dari campur tangan pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan, dalam pengambilan kebijakan terhadap sekolah-sekolah agama. Di samping itu banyak penyimpangan perilaku, yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang
mengatas namakan agama. Sehingga terlihat oleh masyarakat awam bahwa itu adalah hasil dan bagian dari pendidikan agama, yang secara langsung akan mengaitkan dengan sekolah agama tersebut, pada akhirnya citra buruk tentang sekolah agama makin menguat. Dari uraian sebelumya hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam mengetahui manfaat dari dekonstruksi ideologi pendidikan di tengah era modernisasi serta manfaat karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakatnya modern itu sendiri. Bentuk dan wujud merupakan unsur terpenting sebagai identitas suatu benda agar dapat dilihat secara langsung. Namun bentuk pun dapat tersirat dari ideologi yang dianut serta dapat
ditarik beberapa kesimpulan yaitu: Bentuk dari dekonstruksi ideologi pendidikan dalam karya sastra, diperoleh dengan mengkritisi beberapa aspek di dalam karya sastra antara lain adalah; (a) pemertahanan
tatanan sosial, dan (b) penerimaan perubahan zaman. Hal ini menjadi
pendorong lahirnya penafsiran baru terhadap ideologi pendidikan. Pemertahanan Tatanan Sosial Jika dihubungkan mempertahankan tatanan sosial pada diri dan kelompok kolektifitas tradisi daerah tertentu, dengan ideologi pendidikan, dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap tatalaku seseorang, atau kelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, yang tetap pada mempertahankan nilai-nilai tradisi, dan menghendaki perubahan sosial, yang bertahap demi menjaga stablitas pranata sosial yang sudah ada. Dalam hal ini pranata sosial yang dipertahankan adalah tardisi masyarakat Minangkabau sebagai pemeluk agama Islam. Pada novel Negeri 5 Menara, pengarang mengahadirkan bentuk-bentuk konstruksi dinamis tentang ideologi konservatif, dan ideologi modern, lewat teks-teks dalam novelnya. Sementara peneleti lebih melihat bentuk dekonstruksi ideologi pendidikan dalam novel Negeri 5 Menara, sebagai bentuk pemertahanan tatanan sosial dalam menunjukan ideologinya lewat teks, ikon, indeks, serta simbol, yang terangkum dalam objek estetis teks novel tersebut, antara lain; “Buku yang saya niatkan jadi ibadah sosial, setelan melayuku, es tebak, pasar ateh, kulit tropisku, Danau Maninjau yang serba biru dan hijau. Selemparan batu, mencucuk (merasuk) tulang, sikumbang, randai, amak (ibu), ambo (saya), waang (kamu), rantau (luar daerah), urang (orang), ke mana mukaku kan di surukkan (disembunyikan), talempong, balerong, dan lain lain”. Konsep pemertahanan tatanan sosial dari keluarga tokoh utama juga ditujukan oleh orang tuanya, sebagai awal dari mulainya pendidikan dan pembentukan ideologi pendidikan dalam keluarga, hal ini dapat dilihat pada kutipan teks berikut: Amakku (ibuku) seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih yang dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan di lehernya tergantung selendang. (Hal 6) Pada kutipan di atas, tampak keluarga tokoh utama sangat menentang perubahan yang radikal, atau yang seperti dinginkan oleh zaman modern. Orang tua tokoh utama sangat idealis, dengan mempertahankan nilai tatanan sosial yang telah ada (“Kalau keluar rumah selalu
menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan di lehernya tergantung selendang”) baik itu dari kehidupan keseharianya dan juga agamanya. Teks ini, dapat diartikan sebagai busana muslim menurut sariah, yang artinya orang tua menjadi contoh dan panutan bagai anakanaknya. Ketika orang tua menginginkan anaknya menjadi baik, harus baik pula orang tuanya. Karena pendidikan dimulai dari keluarga terutama seorang ibu. Lebih lanjut ibu dari tokoh utama ini pun, menunjukan ideologi pendidikan yang mempertahankan nilai-nilai agamanya yang tidak hanya pada diri dan keluarga, namun di dalam lingkungan masyarakat, serta dalam pekerjaan pun ditunjukan seperti teks berikut; Di lain kesempatan, aku dengar Amak bercerita kepada Ayah tentang rapat majelis guru menyambut Ebtanas. Beberapa guru sepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan bahkan memberikan bantuan jawaban buat pertanyaan sulit, supaya rangking sekolah kami naik di tingkat kecamatan. Semua yang hadir setuju, atau terpaksa setuju karena takut kepada kepala sekolah. Hanya Amak sendiri yang berani angkat tangan dan berkata, “Kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. Ke mana muka kita disembunyikan dari Allah yang Maha Melihat. Amak tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidak jujuran ini”. frontal dan pas di ulu hati. Sejenak ruang rapat hening. Sebelum kepala sekolah bisa mengatupkan mulutnya yang ternganga, Amak keluar ruang rapat. Walau resah harus berbeda dengan kawan-kawannya, dia puas karena berhasil menegakkan kebenaran. Amak pun mengulang sebuah hadist yang cukup masyhur, “Bila kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu, ubahlah dengan kata-kata, kalau tidak mampu juga, dengan hatimu”. Walhasil, berbulanbulan Amak tidak disapa dilihat dengan sudut mata, dan dibicarakan di belakang punggung. (Hal 139-140) Aku juga terkenang dengan perjuangan Amak melawan sistem yang korup di SDnya. Beberapa oknum guru dan kepala sekolah malah menarik keuntungan pribadi dari dana pendidikan. seandainya keikhlasan gaya ustad khalid dipraktikan alangkah hebat sekolah-sekolah di seluruh negeri. (Hal 254) Pada teks di atas, orang tua tokoh utama dengan tegas mengedepankan ideologi yang dianutnya, (“Kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. Ke mana muka kita disembunyikan dari Allah yang Maha Melihat. Amak tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidak jujuran ini”). Bahkan, ketika beliau di bawah ancaman dijahui oleh kawan sesama pekerja yang terpenting bagi beliau (orang tua tokoh utama) bahwa beliau selalu diawasi oleh tuhannya. Sesunguhnya tidak hanya keluarga tokoh utama yang berlatar belakang agama yang
kuat, yang menginginkan anaknya masuk sekolah agama (Madrasah), namun ada juga orang tua yang berlatar belakang non agama, menginginkan anaknya bersekolah di sekolah agama dengan tujuan agar anak-anaknya memiliki dasar agama yang kuat di dalam kehidupan kelak, seperti terungkap pada teks berikut: Kawanku yang beralis tebal dan berbadan ramping tinggi ini adalah anak saudagar kaya yang tinggal di kampungku. Walau berlatar pedagang, orang tuanya ingin anaknya bisa mendalami ilmu agama dulu sebelum dipercaya jadi penerus usaha, mulai dari toko sampai perusahaan konveksi dan bordir yang produknya sampai ke Tanah Abang. Randai pun dikirim masuk sekolah agama di Madrasah Tsanawiyah Negeri dan menjadi teman sekelasku. (Hal 99) Pada teks di atas, tampak jelas orang tua menginginkan anaknya menempuh sekolah agama, terlebih anak-anak yang terlahir dari keluarga yang bukan berlatar pendidikan agama. Hati kecil para orang tua, masih menginginkan anak yang saleh lahir batin, dunia akhirat, namun karena dipengaruhi oleh lingkungan yang modern, di mana banyaknya tuntutan dunia, yang pada akhirnya orang tua sepenuhnya menyerahkan pendidikan agama anaknya kepada sekolah. Padahal sesunguhnya pendidikan agama dimulai dari keluarga terlebih dahulu. Cara-cara penanaman dasar ideologi pendidikan yang mempertahankan nilai-nilai tatanan sosial di masyarakat dari orang tua terhadap anak-anak, dilakakuan dengan berbagai cara, mulai dari yang persuasif sampai yang represif.
Namun dengan tujuan akhir adalah
mempertahankan ideologi keluarga. Orang tua tokoh utama bernegosiasi dengan anaknya (tokoh utama) di dalam menentukan sekolah mana yang akan dipilih anaknya sebagai berikut; Tidak biasanya, malam ini Amak (ibu) tidak mengibarkan senyum. Dia melepaskan kacamata dan menyeka lensa double focus dengan ujung lengan baju. Amak memandangku lurus-lurus. Tatapan beliau serasa melewati kacamata minusku dan langsung menembus sampai jiwaku. Di ruang tengah, Ayah duduk di depan televisi hitam putih 14 inchi. Terdengar suara Sazli Rais yang berat membuka acara dunia dalam berita TVRI. (Hal 6) Pada teks di atas waktu, stuasi dan kondisi sangat diperhitungkan oleh orang tua tokoh utama, di dalam melakukan negosiasi yang tepat pada anaknya, (“Amak memandangku luruslurus. Tatapan beliau serasa melewati kacamata minusku dan langsung menembus sampai jiwaku”) agar anak tersebut dapat menerima dengan bijak keputusan yang di ambil orang tuanya. Hal ini pun terlihat pada kutipan berikut; “Tentang sekolah waang (kamu), Lif…”
“Iya, Mak, besok ambo (saya) mendaftar tes ke SMA. Insya Allah, dengan doa Amak dan Ayah, bisa lulus…” “Bukan itu maksud Amak…” beliau berhenti sebentar. “Aku curiga, ini pasti soal biaya pendaftaran masuk SMA. Amak dan Ayah mungkin sedang tidak punya uang. Baru beberapa bulan lalu mereka mulai menyicil rumah. Sampai sekarang kami masih tinggal di rumah kontrakan beratap seng dengan dinding dan lantai kayu.” Amak meneruskan dengan hati-hati. “Amak mau bercerita dulu, coba dengarkan…” Lalu diam sejenak dengan muka rusuh. Aku menjadi ikut kalut melihatnya. (Hal 6-7) Teks di atas, menunjukan bagaimana orang tua tokoh utama secara halus memberikan sebuah pemahaman terhadap anaknya, tentang apa yang sedang terjadi pada keluarga mereka, dan bagaimana orang tua mau merealisasikan keinginannya pada anaknya, yang memiliki pendapat berbeda, pada satu hal yang sama (pendidikan). Pada akhirnya orang tua tokoh utama memberikan alasan-alasan seperti teks berikut; “Beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama karena tidak punya cukup uang. Ongkos masuk Madrasah lebih murah….” Kecurigaanku benar, ini masalah biaya. Aku meremas jariku dan menunduk melihat ujung kaki. “…Tapi lebih banyak lagi yang mengirim anak ke sekolah agama karena nilai anakanak mereka tidak cukup untuk masuk SMP atau SMA…” “Akibatnya, Madrasah menjadi tempat murid warga kelas dua, sisa-sisa… Coba waang bayangkan bagaimana kualitas para Buya, Ustad dan Da’i tamatan Madrasah kita nanti. Bagaimana mereka akan bisa memimpin umat yang semakin pandai dan kritis? Bagaimana nasib umat Islam nanti?” Wajah beliau meradang. Keningnya berkerut-kerut masygul. Hatiku mulai Tidak enak karena tidak mengerti arah pembicaraan ini. (Hal 7) Kebanyakan orang tua memang menginginkan anak-anak mereka masuk sekolah agama (Madrasah) namun karena keadaan, stuasi dan kondisi lingkungan sekolah berbasis agama menjadi pilihan terakhir (“Madrasah lebih murah, Madrasah tempat warga kelas dua”) akibatnya Madrasah atau sekolah agama tidak lagi menjadi tempat bersemai bibit-bibit ungul, namun sebaliknya bibit-bibit yang gagal produksi. Dalam hal orang tua dari tokoh utama sangat mempertimbangkan masa depan sekolah agama, serta masa depan agamanya sebagai ideologi
yang dipegangnya selama ini. Terlebih orang tua tokoh utama memiliki latar belakang agama yang begitu kuat, hal ini dijelaskan pada teks berikut; Amak memang dibesarkan dengan latar agama yang kuat. Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah orang alim yang berguru langsung kepada Inyiak Canduang atau Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly. Di awal abad kedua puluh, Inyiak Canduang ini berguru ke Mekkah di bawah asuhan ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad Khatib Al- Minangkabawy dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani. (hal 7) Dari teks di atas terlihat bahwa orang tua tokoh utama memiliki garis keturunan yang memang berideologikan pemahaman Islam yang konservatif, dengan penunjukan istilah “Inyiak, Syeikh, dan Buya”, yang diartikan sebagai orang yang dituakan, serta ahli dibidang agama Islam. Hal inilah mempengaruhi orang tua tokoh utama, yang menginginkan anaknya (tokoh utama), sebagai anak laki-laki, agar melanjutkan ideologi yang dipegang oleh orang tua mereka. Hal ini diungkap pada teks berikut; Mata Amak menerawang sebentar. “Buyuang (sebutan untuk anak laki-laki), sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya cita-cita,” mata Amak kembali menatapku. “Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nabi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan. Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku Cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang. Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela napas panjang, Amak meneruskan dengan suara bergetar. “Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk Madrasah Aliyah.” (Hal 8) Keinginan orang tua tokoh utama, tidak terlepas dari lingkungan yang membentuk orang tua tokoh utama
juga. Di mana pada lingkungan tokoh utama, lahir beberapa tokoh
kemerdekaan, birokrat, agamawan yang berasal dari kampung mereka, seperti Hamka. Sehingga orang tua tokoh utama menginginkan anaknya juga seperti tokoh-tokoh yang menjadi panutan orang tua tokoh utama. Keinginan orang tua tokoh utama ini berbanding terbalik dengan keinginan anaknya (tokoh utama). Hal ini dapat dilihat pada teks berikut ini; Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. Kursi rotan tempat dudukku berderit ketika aku menekurkan kepala dalam-dalam. SMA dunia impian yang sudah
aku bangun lama di kepalaku pelan-pelan gemeretak, dan runtuh jadi abu dalam sekejap mata. Bagiku, tiga tahun di Madrasah Tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak Madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadist. Aku ingin suaraku didengar di depan civitas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya berceramah dimimbar surau di kampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk Madrasah lagi? (Hal 8) Keinginan orang tua yang berbanding terbalik dengan keinginan anak (tokoh utama) ini, menimbulkan perlawan pada diri tokoh utama yang lebih memilih ke sekolah umum, dan mengangap ilmu agamanya telah cukup setelah menamatkan 3 tahun di Madrasah Tsanawiyah. Dalam diri tokoh utama lebih menginginkan dirinya menjadi orang modern, di mana menjadi insiyur bukan juru dakwah. Karena keinginan yang berbenturan inilah terjadi perdebatan antara tokoh utama dan orang tuanya seperti teks berikut ini; “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas. “Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” “Tapi aku tidak ingin…” “Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” “Tapi aku tidak mau.” “Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat.” “Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang kurang cadiak masuk Madrasah….” “Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA!” “Tapi…” “Tapi…” “Tapi…” Setelah lama berbantah-bantahan, aku tahu diskusi ini tidak berujung. Pikiran kami jelas sangat berseberangan. Dan aku di pihak yang kalah. (Hal 9)
Dari kutipan di atas, orang tua tokoh utama melakukan diplomasi dengan berbagai logika, dan alasan agar anaknya mau mengikuti kemauan orang tua, di tengah perdebatan yang tak berujung, pada akhirnya diplomasi dengan legitimasi orang tua lah yang membuat anaknya tunduk dan mau mengikuti kemauan orang tuanya (“Pokoknya Amak tidak rela waang masuk SMA!”), walau pun konflik batin dalam dirinya terjadi, di mana dia dihadapkan pada 2 pilihan, yakni mengikuti kemauannya dan menjadi anak yang durhaka pada orang tua, atau mengikuti kata orang tua, namun bertentangan dengan kata hatinya, Hal ini dapat dilihat dari peristiwa di mana tokoh utama berpamitan kepada orang tuanya untuk menempuh pendidikan ke pulau Jawa: “Sebelum meninggalkan rumah, aku cium tangan Amak sambil minta doa dan minta ampun atas kesalahanku. Tangan kurus Amak mengusap kepalaku. Dari balik kacamatanya aku lihat cairan bening menggelayut di ujung matanya” (Hal 14). Kutipan di atas jelas memperlihatkan kesederhanaan, dan keihklasan keluarga tokoh utama lewat kalimat “tangan kurus amak mengusap kepalaku. Dari balik kacamatanya aku lihat cairan bening menggelayut di ujung matanya (air mata)”. Namun yang sangat terlihat sekali, dan diutamakan di dalam pendidikan agama bahwa jangan pernah lupa minta doa kedua orang tua dan minta ampun atas kesalahan kita terhadapnya. Hal-hal seperti ini merupakan bagian dari ajaran agama, yang harus terus dipertahankan, dalam era globalisasi saat ini. Mengingat keluarga tokoh utama merupakan keluarga yang berasal dari keluarga yang berpaham konservatif, yang memberi dasar pada anaknya bahwa mempelajari agama adalah hal lebih baik. Hal ini terlihat pada teks berikut; “Baik-baik di rantau urang, Nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama dengan berjihad di jalan Allah,” kata beliau. Wajahnya tampak ditegartegarkan. Katanya, cinta ibu sepanjang hayat dan mungkin berpisah dengan anak bujangnya untuk bertahun-tahun bukan perkara gampang. (Hal 14) Kutipan di atas jelas menggunakan
simbol “jihad” sebagai bagian dari pendidikan
agama Islam. “jihad” dalam fenomena kekinian mengalami pengkaburan, sehingga dipahami sebagai bagian dari terorisme. Padahal “jihad”
sesunguhnya memiliki banyak cara dan jalan,
salah satunya dunia pendidikan sebagai cara menuntut ilmu. Menuruti perintah kedua orang tua dalam pandangan ideologi pendidikan Islam sesunguhnya adalah kewajiban, dan bagian dari
penghormatan anak kepada orang tua, sekaligus sebagai pendidikan moral anak terhadap orang tuanya (patuh dan taat). Tentunya perintah yang tidak bertentangan syariat agama. Ketika di dalam keluarga telah terpatri kepatuhan, dan kepatutan terhadap syariat, maka sesungguhnya di dalam masyarakat pun akan tercipta masyarakat yang madani. Kesemua ini berawal dari namanya proses pendidikan, dan penanaman ideologi, hal tersebut dapat dilihat pada teks berikut; “Awal dari kekacauan hukum adalah ketika orang meremehkan aturan, dan tidak adanya penegakan hukum”. Di sini lain. Semua kesalahan pasti langsung dibayar dengan hukuman. Sebagai murid baru, kalian harus mencamkan prinsip ini ke dalam hati. (Hal 74) Dalam ideologi pendidikan yang mempertahankan nilai-nilai dalam tatanan sosial di masyarakat, setiap kesalahan langsung dibayar menurut kadar kesalahan. Ketentuan hukuman telah diatur di dalam syariat (berdasarkan AL-Quran & Hadist) yang masyarakat pegang. Hal ini dilakukan tentu dengan tujuan bagaimana seorang yang dalam proses pendidikan, tidak lagi mengulang kesalahannya di masa yang akan datang. Dalam kehidupan masyarakat global saat ini, ideologi pendidikan mengalami banyak ujian, dari berbagai aspek di dalam kehidupan ini. Untuk itu perlu dilakukan penegakan norma, aturan, kaedah yang telah diberlakukan baik itu adat dan agama, begitu pun di dalam proses penanaman ideologi pendidikan dalam lembaga pendidikan (PM) yang antara lain dapat diungkap pada teks berikut; Salah satu bagian penting dari qanun (aturan) adalah pengaturan arus informasi yang sampai kepada kami para murid. Agar semua informasi mengandung pendidikan, semua saluran harus dikontrol dan disensor. Di PM, kami hanya bisa membaca 3 koran nasional yang telah disensor oleh bagian keamanan dan pengajaran. Potongan kertas putih ditempel khusus di bagian tulisan yang disensor. (Hal 17) Tapi aturannya amat jelas: Mamnu (Terlarang). Selama di PM, kami tidak diizinkan untuk berpacaran dan berhubungan akrab dengan perempuan. Jangankan saling bertemu, bersurat-suratan saja dilarang. Hukumannya tidak main-main, paling rendah dibotak, dan bisa naik kategori menjadi dipulangkan. (Hal 231) Dari teks di atas, bagaimana disiplinya lembaga pendidikan (PM) yang ideologis di dalam mempertahankan nilai-nilai agama, serta menanamkan dasar pendidikan pada anak-anak didiknya, tentu, hal ini dibuat dengan tujuan untuk menyaring arus modernisasi dari dunia luar
(dunia modern), pada anak didiknya demi menjaga tetap eksistensinya ideologi pendidikan yang berbasis agama. Penegakan aturan diperlukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak. Pengawasan secara tidak langsung, dengan tujuan agar orang selalu merasa diawasi sehingga terhindar perbuatan yang tidak terpuji. Untuk pengawasan ini dibutuhkan sebuah metode yakni jasus (intel) hal ini terekam dalam teks berikut; Aku sempat bimbang. Kenapa orang diajar untuk menjadi whistle blower, orang yang mencari kesalahan orang lain dan kemudian melaporkan kepada pihak yang berwajib? Ini kan bisa menjadi fitnah. Apakah ini akhlakul karimah yang diajarkan agama? Hal ini aku tanyakan kepada Ustad Salman. “Akhi, sekarang semakin banyak orang menjadi tak acuh terhadap kebobrokan yang terjadi di sekitar mereka. Metode jasus adalah membangkitkan semangat untuk aware dengan ketidak beresan di masyarakat. Penyimpangan harus diluruskan. Itulah inti dari kullil haqqa walau kaana murran. Katakanlah kebenaran walau itu pahit. Ini self correction, untuk membuat efek jera. Dan yang paling penting, memastikan semua warga PM sadar sesadar-sadarnya, bahwa jangan pernah meremehkan aturan yang sudah dibuat. Sekecil apa pun, itulah aturan dan aturan ada untuk ditaati,” jelas wali kelas kami panjang lebar kepada seisi kelas. ( Hal 78) Dalam melakukan penanaman ideologi, khususnya ideologi pendidikan yang berbasis agama dibutuhkan metode, dengan tujuan menciptakan anak-anak didik, yang militan dalam membela kebenaran. Metode ini, dalam penanaman ideologi pendidikan seakan terlihat seperti dipaksakan, namun dibalik keterpaksaan lambat laun anak didik akan terbiasa. Karena pada dasarnya manusia bisa karena biasa. Penanaman ideologi pendidikan yang berbasis agama ini juga dilakukan berkesinambungan dengan budaya setempat (budaya asal), selama aturan budaya tidak bertentangan dengan agama. Hal ini dapat dilihat dari tokoh utama ketika menempuh pendidikan di pulau Jawa; Setelah sarung, giliran kopiah yang aku songkokkan ke kepala. Di PM, kopiah harus berlapis bahan beludru hitam, tidak boleh warna lain. Sedangkan model bisa saja bermacam-macam. Ada yang lurus sederhana, bergombak di atasnya, ada yang bisa dilipat dan yang keras seperti helm. Umumnya kopiah keras dan bergombak ini karya pengrajin kopiah terkenal di Sumatera Barat, H. Sjarbaini. Sedangkan buatan Jawa umumnya bisa dilipat dan lebih ringkas. (Hal 85) Teks di atas menunjukan identitas dan paham dari ideologi yang dibawa tokoh utama di pulau Jawa, walau pun jauh dari kampung halamnnya, nilai-nilai yang diterimanya dari keluarga di Sumatera Barat masih dipeganngya. Hal ini diperbolehkan oleh lembaga pendidikan (PM) bukan karena ingin mengkotak kotakan anak didik, namun perbedaan budaya menjadi warna
tersendiri di dalam kehidupan, yang terpenting adalah bagaimana memperkuat tauhid dari anakanak didik tersebut, seperti kutipan berikut; “Bacalah Al-Quran dan Hadist dengan mata hati kalian. Resapi dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita bagi kehidupan kita,” (Hal 113) Teks di atas secara hermeniotik dapat diartikan bahwa dalam menilai suatu objek jangan hanya menilai dari satu sisi, namun lihatlah secara lengkap yang keseluruhanya saling berkaitan, dan yang terpenting untuk menilai itu semua haruslah berdasar pada Al-Quran dan Hadist. Penerimaan Perubahan Zaman Walau sekilas novel ini bercerita tentang pendidikan di pesantren, di mana prinsi-prinsip tatanan sosial di pertahankan, namun sesunguhnya Ideologi pendidikan yang menerima perubahan zaman juga disajikan. Lewat teori dekonstruksi, semiotika, serta metode hermeniotik dapat dianalisa bahwa dalam objek estetis, juga menampilkan ideologi pendidikan yang menerima perubahan zaman dari awal cerita sampai pada akhir cerita, dalam novel Negeri 5 Menara sebagai bagian dari kedinamisan perkembangan ideologi pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari teks, ikon, indeks, dan simbol yang dihadirkan pengarang antara lain: “Sang rennaaissance man, shopping day, agen 007, thank god it’s Friday, Maradona hapal Quran, berlian dari Belgia, orator dan terminator, princess of madani, parlez vouz francais, adate on the atlantic, it’s show time, shaolin temple, trafalgar square, the capitol, weather channel, winter time, independence avenue, the mall, dan lain-lain. Hal ini dilakukan
sebagai bagian dari
penunjukan perubahan zaman atau kemoderenan dunia Barat. Hal yang sama dapat dilihat dari kutipan teks berikut; Kamera, digital recorder, dan tiket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicie-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku bebatkan di leher. Oke, semua beres. Tanganku segera bergerak melipat layar Apple PowerBook-ku yang berwarna perak. (Hal 3) Dari teks di atas tokoh utama mengalami perubahan identitas setelah dia berada di Amerika, di mana perbedaan dunia Barat dan Timur sangat kontras sekali, terlebih dari segi pengetahuan teknologi (IT). Perubahan ini jelas dari identitas budaya yang di tampilkan dalam berpakaian, dulunya memakai sarung dan kopiah, kini memakai jas dan syal. Dulunya pakai mesin ketik sekarang mengenakan Power Book Apple. Penunjukan teks “National Geographic hijau pupus” mengidikasikan bahwa saat ini tokoh utama telah mengalami perubahan zaman dan sangat modern dan berpengetahuan, di mana National Geographic berada di Amerika dan
merupakan cainel TV pengetahun, kemudian penunjukan simbol “Apple Power Book-ku yang berwarna perak” ini pun menunjukan kelas dari tokoh utama dan perubahan tatanan sosialnya. Segala kebutuhan teknologi yang menggunakan merek “Apple” adalah barang mewah alias mahal. Tidak hanya sampai di situ, perubahan tokoh utama, soal pekerjaan mengalami perubahan yang drastis seperti terungkap pada teks berikut; Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan. Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa. Ini hari terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas dan sekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris, dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di Amerika Serikat, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk serangan 11 September 2001. (Hal 2) Dari teks di atas terlihat tokoh utama mengalami perubahan-perubahan tatanan sosial setelah dia berada pada linkungan modern. Tokoh utama dalam kehidupannya, dikelilingi oleh simbol-simbol kebangaan orang-orang yang berpaham modernitas. Perubahan zaman mempengaruhi lingkungan dari tokoh utama dan secara tidak langsung juga mempengaruhi tokoh utama. Hal ini terlihat dari adanya gejolak tak seimbangnya paham ideologi pendidikan yang begitu menerima perubahan zaman, tanpa ada filterisasi, membuat tokoh utama mengalami gejolak dalam hatinya, yang terkadang membuat pembenaraan dirinya atas kesalahan yang dilakukannya. Seperti terkonstruksi dalam teks novel Negeri 5 Menara di mana kebablasan paham individu modern seseorang, yang mencoba menyamakan peristiwa agama dan peristiwa budaya, di mana persoalan agama adalah persoalan yang sakral, namun karena paham kebebasan individu dan modernitasnya mereka (tokoh utama) mengambil kesimpulan tersendiri, tanpa dasar yang jelas pada objek agama (mencoba menyeragamkan agama dan budaya) Hal ini dapat dilihat pada teks berikut; Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar. Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji (hal 1)
Secara semiotik simbol warna putih dalam ideologi pendidikan Islam dapat ditafsirkan sebagai simbol keikhlasan, dan kesucian serta kejujuran, sementara diksi “haji” merupakan sebuah gelar atau derajat yang diberikan pada manusia dalam paham ke-Islaman, namun harus digaris bawahi yaitu haji yang mabrur (haji yang benar, yang sempurna yang cukup syarat dan rukunya) pula, sementara simbol diksi “kubah” sering di identikan dengan Masjid sebagai tempat bernaung. Pada hal ideologi pendidikan yang menerima perubahan zaman, tokoh utama menyandingkan gambaran negara Amerika Serikat sebagai simbol modernitas lewat simbol “The capitol, gedung parlemen yang anggun”, itu sama dengan kesucian berpergian haji dalam Islam. Padahal kita tahu selama ini simbol-simbol pemerintah Amerika Serikat lewat kebijakannya cenderung, atau bahkan sangat bertentangan dengan Islam. Lewat asumsi ini, peneliti merasa bahwa tokoh utama sengaja bernegosiasi dengan dirinya sendiri, yang mengalami pengaruh modernisasi,
bahwa
pergi ke Amerika sama dengan pergi haji. Pernyataan ini
didasarkan atas logika-logika alasan yang dibangunya lewat simbol-simbol yang ada. Alasanalasan yang dikemukakan ini sangat bertentangan dengan kaum konservatif. Teks lain yang juga menandakan tokoh utama mencoba membandingkan paham tradisional dan paham modern dengan alasan dan logika bahwa paham modern memiliki nilai lebih adalah sebagai berikut; Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluar dari alat pemanas di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau begitu, badan setelan melayuku tetap menggigil melawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujung ruang kantor menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi. (Hal 2). Pada teks di atas, terungkap bagaimana tokoh utama mencoba mengakurkan tradisi lama Minangkabau (setelan melayu, secawan es tebak di pasar ateh, Bukittinggi). Kalimatkalimat ini menunjukan kontra diksi, di mana tokoh utama membandikan peristiwa tradisional yang terjadi di daerah Bukittinggi, tanpa mempertimbangan situasi, kondisi, dan masa, di mana hal ini terjadi. Terlihat jelas tokoh utama membanggakan kemajuan teknologi seperti pemanas ruangan, TV , yang di mana, pada masa itu sudah terjadi perkembangan industri di negara Amerika Serikat. Sementara tokoh utama membandingkannya dengan secawan es tebak di Bukittinggi pada masa sebelum penjajahan. Hal ini sangat terlihat sekali paham modern, atau menerima perubahan zaman. Ketika tokoh utama berada di negara modern dan maju, secara
tidak langsung telah mempengaruhi pola pikir tokoh utama. Hal ini pun terlihat ketika tokoh utama lebih memilih paham modern dibandingkan paham tradisionalnya ketika telah berada di negara Amerika Serikat; Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membebat diri dengan baju tebal yang berat. Yang lebih menyebalkan, kulit tropisku berubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku selalu terpesona melihat bangunan, pohon, taman dan kota diselimuti salju putih berkilat-kilat. Rasanya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda dengan alam kampungku di Danau Maninjau yang serba biru dan hijau. Setelah dipikir-pikir, aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter time seperti hari ini. (Hal 2) Kejadian di atas, sangat jelas sekali tokoh utama memasuki paham modern dengan melewati konflik batin dalam hatinya. Ketika tokoh utama mencoba membandikan
antara
kampungnya, dan negara Amerika Serikat, di mana waktu itu kampung tokoh utama begitu asri dan tradisional, sementara negara Amerika Serikat yang sudah maju dan modern. Walau pun mempesona kampung halamnya, ternyata lebih mempesona kampung orang (Amerika Serikat), yang pada akhirnya tokoh utama lebih memilih susah di negara modern (“aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter time seperti hari ini”). Ketika tokoh utama lebih memilih paham modern, tidaklah mengkagetkan lagi, hal ini dikarenakan paham ini telah muncul sejak masa remaja, di mana tokoh utama berteman dekat dengan kawanya Randai, yang juga memilih paham modern, lewat pendidikan yang juga pendidikan modern atau sekolah non agama. Hal ini terlihat pada teks berikut; Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di Madrasah Tsanawiyah, sekarang waktunya aku Menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di Madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi. (Hal 5) Konflik batin dalam diri tokoh utama sesungguhnya dimulai saat masa remaja di mana dihatinya sudah ditanam, kenginan yang kuat untuk tidak lagi menempuh sekolah agama, di mana tokoh utama lebih memilih sekolah umum sebagai bagian paham ideologi yang dipilihnya. Dalam paham modernitasnya tokoh utama merasa selama 3 tahun bersekolah di sekolah agama Madrasah, merupakan sebuah beban dan bukan sebagai sebuah kewajiban (“Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di Madrasah Tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama SMA”). Keinginan tokoh utama menjadi kaum modernitas ini juga tidak terlepas dari pengaruh kawanya randai yang memang juga memiliki
paham pendidikan yang sama (“Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA”). Kebanggaan tersendiri dari tokoh utama sebagai bagian dari kemoderinitas terlihat jelas ketika nilai yang bagus akan menjaminya diterima pada sekolah umum non agama (“Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi”). Kenginan tokoh utama yang kuat untuk memilih ideologi pendidikan modern tidak berjalan mulus
ketika
ditentang oleh orang tuanya
yang memiliki paham
konservatif. Kekecewaan tokoh utama terlihat jelas dalam kutipan berikut; Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. Kursi rotan tempat dudukku berderit ketika aku menekurkan kepala dalam-dalam. SMA dunia impian yang sudah aku bangun lama di kepalaku pelan-pelan gemeretak, dan runtuh jadi abu dalam sekejap mata. (Hal 8) Kekecewaan
begitu mendalam terhadap harapan-harapan tokoh utama, yang begitu
tinggi terhadap kehidupan modern, yang penuh dengan citra keasikan dunia runtuh bagai abu, oleh karena pilihan yang ditentang orang tuannya. Namun, setelah tokoh utama mengikuti kemauan orang tuanya, paham modern tokoh utama belumlah runtuh. Hal ini terungkap ketika tokoh utama berada pada lembaga pendidikan PM, dan bertemu Karim, gurunya yang mengajarkan keindahan dunia barat: Buku pelajaran kami adalah sebuah buku bacaan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di Inggris. Ceritanya antara lain tentang seorang yang berjalan-jalan ke jantung Kota London yang klasik, mengagumi Big Ben, Melintas lapangan Trafalgar Square, bolak balik masuk museum- museum terbaik dan kemudian menyeberang ke Perancis melalui laut. Selain pelajaran ini, kepala kami disesaki gambar Eropa yang sangat antik, tapi juga modern. Apalagi, sebagai seorang yang pernah tinggal di Inggris, Ustad Karim bercerita dengan tertif, seperti menceritakan kampung halamannya sendiri ternganga-nganga dengan cerita ini. (Hal 117) Gambaran cerita gurunya Karim, membuat paham modern tokoh utama yang hapir sirna bangkit kembali. Sehingga membangkitkan ingatannya kembali, atas keputusannya mengikuti kemauan orang tuanya. Konflik batin yang kuat pada diri tokoh utama ini membuat batinya bergejolak. Sebagai anak yang masih remaja, dalam dirinya, berusaha membentuk
alasan
dengan logika-logika yang membenarkan dirinya tanpa ia sadari apa yang menjadi alasannya tersebut tidaklah benar. Hal ini terlihat ketika tokoh utama sudah merasa cukup terhadap pengetahuan agamanya yang ternyata tidak ia sadari baru seujung kuku; Bagiku, 3 tahun di Madrasah Tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak Madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu
aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. Aku ingin menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadist. Aku ingin suaraku didengar di depan civitas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya berceramah di mimbar Surau di kampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk Madrasah lagi? (Hal 8-9) Kami juga sepakat, setamat MTsN, kami akan meneruskan ke SMA yang sama. Karena menurut kami ilmu dasar agama dari MTsN sudah cukup sebagai dasar untuk memasuki kancah ilmu pengetahuan umum. Beruntungnya Randai, orang tuanya sama sekali tidak keberatan. Dia telah punya Pakta baru dengan orang tuanya untuk boleh keluar jalur setelah Madrasah. Sayangnya, aku dan Amak tidak punya pakta ini. (Hal 100) Alasan-alasan dengan logika pembenaran, yang terbagun dalam diri tokoh utama tidaklah sepenuhnya kesalahan tokoh utama. Namun konstruksi masyarakat dan kebijakan pemerintah di saat itulah, yang menjadi faktor eksternal tokoh utama ingin menempuh pendidikan umum, lewat ideologi pendidikan yang dibangun dalam dirinya sendiri. Pemerintah di saat itu sangat mengutamakan tamatan dari sekolah umum, yang menggunakan paham modern untuk diterima diperguruan tinggi negeri, serta terjadinya pembangunan stigma negatif di masyarakat bahwa tamatan sekolah agama hanya bisa menjadi juru dakwah, dan tidak bisa diterima di instansi pemerintah sekaligus ijazah pendidikan agama tidaklah diakui pada saat itu. E. Kesimpulan Kesimpulan dari uraian hasil pembahasan, yaitu dengan dikemukakan hasil dekonstruksi sudut pandang
bentuk dekonstruksi. Bentuk
dekonstruksi yang dilakukan adalah bentuk
persoalan di dalam memilih jenjang pendidikan antara orang tua terhadap anaknya, yaitu memilih atau menentukan sekolah umum, atau memilih sekolah agama, atau dengan pandangan positivistik dapat dikatakan sekolah SMP atau MTsN, antara SMA atau MAN. Sementara hasil dekonstruksi pada sisi laian, lebih melihat karya sastra (novel) sebagai persoalan ideologi, di mana ideologi yang dibagun orang tua terhadap anaknya, sehingga terjadi pilihan ideologi, di dalam memilih atau menentukan jenjang pendidikan, dan dipengaruhi lingkungan luar (modern), terhadap ideologi itu sendiri. Dari hasil dekonstruksi
tersebut maka, peneliti dapat
merangkumnya dalam bentuk dekonstruksi yang mengkritisi beberapa aspek dalam karya sastra yaitu (a) bentuk pemertahanan tatanan sosial, dan (b) penerimaan perubahan zaman. Daftar Pustaka Al-Fayyadi, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta : Lkis
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies; teori & Praktek. Terjemahan Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model, Teori, & Aplikasi. Yogyakarta: Medpress. Fuadi, Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara. Jakarta : Gramedia. Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme & Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. Hamka. 1950. Falsafah Hidup. Medan: Pustaka Islamiayah . 1962. Lembaga Hidup. Jakarta : Djajamurni. Hoed, Benny. H. 2008. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Junus, Umar. 1993. Dongeng Tentang Cerita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kurniawan, Syamsul & Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta : Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. 2011. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung : Matahari. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. . 2013. Glosarium 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, Dan Sosial Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rahman, Budi Munawar. 2010. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta : Grasindo. Santoso, Listiyono. 2012. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Susanto, Budi. 2008. Membaca Poskolonialitas di Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan & Pendidikan. Magelang : Indonesia Tera. Wellek, Rene & Austin Waren. 1993. Teori Kesusastraan. (Tjetjep Melani Budianta, pentj). Jakarta : Gramedia. Widja, I Gde. 2012. Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya. Denpasar : Krishna Abadi.