SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL DI KABUPATEN BENGKULU UTARA (DEIXIS IN PEKAL LANGUAGE OF NORTH BENGKULU REGENCY) Syamsurizal Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu Jalan K.S. Tubun Blok G Nomor 9, Kecamatan Gadingcempaka, Kota Bengkulu Ponsel: 081363114425 Pos-el:
[email protected] Tanggal naskah masuk: 15 April 2015 Tanggal revisi terakhir: 30 November 2015
Abstract THE 21st century is predicted to bring changes to the world's economy and culture which is hence feared to affect local languages and culture, including that of Pekal language. To avoid it from happening, a research on Pekal language is carried out in this article. It aims at describing the Pekal language's deictic persona, time, place, and discourse used by its speakers in the Districts of Ketahun and Napalputih, the North Bengkulu Regency. It used descriptive qualitative method. The data were collected using listening and speaking method with stimulating, writing, and recording techniques. The result showed that the deictic form of the first person singular is akui while those of the plural are aok, kami/ kaming, and kitung 'we'; the deictic forms of second person singular are ikau, aban/kaban, and mamang, while those of the second person plural are kami siko and masiko 'you all'; the third person singular deictic are iyu/iyung 'he/she', -yung and ikau, while the third person plural deictic are masiko, asiko, and toboh de. Deictic of time were petang 'yesterday', kining 'now', tading 'just now', paging 'tomorrow', siang, metang 'afternoon', senju 'evening', malam, biae 'have been to', awit/garang 'often', terus 'always', kadang kaleu 'sometimes', biasoyung 'usually', kining 'at present', kalu 'if', dan bilu 'when'. the deictic of discourse are words/phrases such as iko, itu/tunah, cak iko/cak konah, nyo, yung, cak itu. Among the deictic of person, only the third person that could be marked as anaphoric or cataphoric. The anaphoric deictic was divided into two entities, namely singular (-yung, e) and plural (-masiko 'you', toboh tui 'they'). Key words: pragmatics, deictic, Pekal language Abstrak ABAD XXI ini diramalkan akan membawa perubahan terhadap struktur ekonomi dan kebudayaan dunia. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi pergeseran terhadap budaya dan bahasa, termasuk budaya dan bahasa Pekal. Agar kondisi seperti ini tidak terjadi terhadap bahasa Pekal, bahasa ini perlu dipelihara, dibina, dan dikembangkan, yaitu melalui penelitian.Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan bentuk deiksis persona, waktu, tempat, dan wacana yang digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Pekal di Kecamatan Ketahun dan Napalputih, Kabupaten Bengkulu Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pada tahap pengumpulan data digunakan metode simak dan cakap dengan menggunakan teknik pancing, catat, dan rekam. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, ditemukan bentuk deiksis persona pertama tunggal, yaitu akui dan deiksis persona pertama jamak, yakni aok, kami/ kaming, dan kitung ‘kita’; deiksis persona kedua tunggal, yakni ikau, aban/kaban dan mamang; deiksis kedua jamak, yaitu kami siko dan masiko ‘kamu sekalian/kalian’; 229
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
deiksis persona ketiga tunggal, yakni iyu/iyung ‘ia’, -yung dan ikau; deiksis persona ketiga jamak, yaitu masiko, asiko, dan toboh de. Leksem waktu yang ditemukan di antaranya petang ‘kemarin’, kining ‘sekarang’, tading ‘tadi’, paging ‘besok’, siang, metang ‘sore’, senju ‘senja’, malam, biae ‘pernah’, awit/garang ‘sering, terus ‘selalu’, kadang kaleu ‘kadang-kadang’, biasoyung ‘biasanya’, kining ‘sekarang, kalu ‘kalau’, dan bilu ‘kapan’. Bentuk-bentuk deiksis wacana ialah kata/frasa iko, itu/ tunah, cak iko/cak konah, nyo, yung, cak itu, dan sebagainya. Di antara bentukbentuk persona, hanya deiksis persona ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Pemarkah anafora dibedakan antara bentuk yang tunggal (-yung, e) dan bentuk yang jamak (–masiko ‘kalian’, toboh tui ‘mereka’). Kata kunci: pragmatik, deiksis, bahasa Pekal
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa Pekal adalah salah satu bahasa daerah yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Ketahun, Napalputih, Ulokkupai, Seblat, dan Desa Ipuh (Kecamatan Mukomuko Selatan), Kabupaten Bengkulu Utara. Suku Pekal merupakan asimilasi antara orang Mukomuko di sebelah utara dengan orang Rejang di sebelah selatan. Dengan demikian, bahasa Pekal merupakan pembauran antara bahasa Mukomuko dengan bahasa Rejang. Hal ini dapat dipahami mengingat daerah Kecamatan Ketahun, Seblat, dan Ipuh terletak di antara Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Mukomuko. Sementara bahasa Mukomuko sendiri dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau. Abad milenium III perhitungan Masehi ini diramalkan akan membawa perubahan terhadap struktur ekonomi, kekuasaan, dan kebudayaan dunia. Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada saat ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan ini oleh Alvin Toffler disebut sebagai gelombang ketiga setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultur) dan gelombang kedua (industri) (Esten, WordPress.com). Perubahan ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapitalis atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) pada penguasaan terhadap 230
informasi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Hal ini dikhawatirkan juga akan menyebabkan terjadinya pergeseran terhadap budaya dan bahasa, termasuk budaya dan bahasa Pekal pada generasi berikutnya. Agar kondisi seperti ini tidak terjadi terhadap bahasa Pekal, bahasa ini perlu dipelihara, dibina, dan dikembangkan. Sehubungan dengan itu, dalam rangka pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan bahasa daerah, pemerintah telah merumuskan kebijakan pembinaan dan pengembangan bahasa itu melalui dua kegiatan, yaitu inventarisasi dan peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah. Untuk inventarisasi bahasa Pekal, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melalui penelitian. Melalui penelitian ini, data dan informasi tentang jumlah ataupun aspek-aspek bahasa Pekal dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis demi pengembangan bahasa itu sendiri. Salah satu aspek bahasa Pekal adalah deiksis. Deiksis merupakan suatu istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan melalui bahasa’. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menjelaskan ’penunjukan’ disebut ungkapan deiksis. Ungkapan-ungkapan deiksis kadang juga disebut dengan indeksikal (Yule, 2006:13). Penelitian tentang deiksis bukanlah merupakan penelitian awal. Sebelum penelitian ini sudah ada penelitian-penelitian yang mengangkat tema atau topik yang sama. Beberapa di antara penelitian tersebut adalah penelitian Bambang Kaswanti Purwo yang berjudul Deiksis dalam
SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
Bahasa Indonesia. Pada penelitiannya itu Purwo (1984) membedakan deiksis atas deiksis luar tuturan (eksofora); deiksis dalam tuturan (endofora); deiksis peka konteks; adanya pembalikan deiksis. Penelitian ini dititikberatkan pada bentukbentuk deiksis luar-tuturan (eksofora) dan deiksis dalam-tuturan (endofora) bahasa Pekal yang terdapat pada masyarakat Pekal yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, yang lebih difokuskan lagi pada masyarakat yang ada di Kecamatan Ketahun dan Napalputih. Bentuk-bentuk deiksis luar-tuturan yang akan dibahas meliputi deiksis persona, waktu, tempat, sosial, dan wacana. Sementara pada deiksis dalam tuturan (endofora), masalah yang akan disorot adalah masalah sintaksis, yaitu berkaitan dengan pemarkah bahasa. 1.2 Masalah Ada dua masalah yang diungkap dalam tulisan ini, yaitu sebagai berikut. (1) Apa saja bentuk dan jenis deiksis persona, waktu, tempat, sosial, dan wacana yang digunakan oleh masyarakat Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara yang sesuai dengan konteks tuturannya? (2) Apa saja bentuk pemarkah anafora dan katafora yang digunakan oleh masyarakat Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara? 1.3 Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk dan jenis deiksis persona, waktu, tempat, sosial, dan wacana yang digunakan oleh masyarakat Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara yang sesuai dengan konteks tuturannya serta (2) bentuk-bentuk pemarkah anafora dan katafora yang digunakan oleh masyarakat Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara. 1.4 Metode Dalam penelitian ini masalah dikaji berdasarkan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa, dan
kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan pada situasi yang sebenarnya. Metode penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif. Ada tiga tahapan strategis yang ditempuh dalam penelitian ini, yaitu tahapan pengumpulan data, tahapan penganalisisan data, dan tahapan penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1988:57). Pada tahap pengumpulan data digunakan metode simak dan cakap dengan menggunakan teknik pancing, catat, dan rekam. Metode simak dan metode cakap dengan teknik pancing digunakan untuk menggali data yang berasal dari informan yang merupakan penutur asli bahasa yang diteliti. Data yang diperoleh dari hasil pemancingan diabadikan dengan cara merekam dan mencatatnya pada kartu data. Hasil perekaman digunakan untuk mengecek kembali kebenaran data yang telah dicatat. Untuk menganalisis data digunakan metode padan ekstralingual. Pada metode ini alat penentunya berada di luar bahasa, tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Karena kajian deiksis melibatkan penutur dan mitra tutur, penelitian ini menggunakan metode padan pragmatis dengan mitra tutur sebagai alat penentunya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Pada teknik ini unsur penentu yang dijadikan dasar analisis adalah unsur yang berada di luar bahasa itu, seperti referen dan aspek sosial budaya Pekal. Tahap penyajian hasil analisis ini dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui metode formal dan metode informal. Metode formal adalah perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang dan metode informal adalah perumusan dengan menggunakan katakata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis (Sudaryanto, 1993:146). Beberapa tanda atau lambang yang digunakan adalah tanda kurung biasa [( )], tanda tambah (+), tanda kurang (-), dan tanda panah (à). Tanda kurung digunakan untuk menyatakan bahwa formatif yang berada di dalamnya memiliki 231
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
alternasi sejumlah formatif yang berada di dalamnya, misalnya dalam bahasa di wilayah penelitian ditemukan bentuk-bentuk iyung (yung, ikau) ‘dia’. Tanda tambah (+) digunakan untuk melengkapi leksem deiksis persona, misalnya dang/dang/uwo/etek + nama. Sumber data penelitian ini adalah anggota masyarakat yang terdapat di Kecamatan Ketahun dan Kecamatan Napalputih. Setiap daerah pengamatan dipilih dua orang informan yang mewakili daerahnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kemungkinan adanya variasi pemakaian bahasa yang bersifat lokal. Alat utama penelitian ini adalah peneliti sendiri ditambah dengan alat bantu lain, seperti alat tulis dan tape recorder.
2. Kerangka Teori Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu deiktikos, yang berarti ‘hal penunjukan secara langsung’. Istilah deiktikos sebelumnya digunakan oleh tata bahasawan Yunani, yang dalam pengertian sekarang disebut dengan kata ganti demonstratif. Untuk menerjemahkan kata deiktikos, tata bahasawan Roman menyebutnya dengan demonstrativus (bahasa Latin). Istilah ini telah dipakai dalam tata bahasa sejak zaman kuno dan diperkenalkan kembali kepada linguistik dalam abad ke-20 oleh Karl Buhler (Nababan, 1987:40). Lyons (1977:636) seperti dikutip oleh Purwo (1984:2) mengatakan bahwa dalam linguistik sekarang, kata deiksis dipakai untuk menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu, dan bermacammacam ciri gramatikal serta leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujar. Sejalan dengan pendapat di atas, Cummings (2007:31) mengatakan bahwa deiksis adalah suatu istilah yang mencakup ungkapan-ungkapan dari kategori-kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya, seperti kata ganti dan kata kerja, menerangkan berbagai entitas dalam konteks sosial, linguistik, atau ruang-waktu ujaran yang lebih luas. Melalui acuan pada entitas berbagai konteks ini kita dapat memperoleh 232
makna ungkapan-ungkapan deiksis, misalnya Pagi aok alui komu ga Tanjung ‘Besok kami pergi ke ladang di Tanjung’. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa, seperti kata penunjuk dan pronomina. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian, yang disebut dengan katafora. Nababan (1987:40) membagi deiksis atas lima bagian, yaitu deiksis personal (personal deixis), deiksis waktu (time deixis), deiksis tempat (space deixis), deiksis wacana (discourse deixis), dan deiksis sosial (social deixis). Namun, Purwo (1984), Fromklin, et al. (1988), dan Yule (1996) membagi deiksis atas tiga bagian, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. 2.1 Deiksis Persona Istilah persona disebut juga pronominal persona atau kata ganti orang. Menurut Djajasudarma (1999:42), sistem pronomina persona di dalam bahasa Indonesia terdiri atas persona pertama saya, kita, dan kami (tunggal dan jamak), persona kedua kamu, kalian, saudara (tunggal dan jamak), dan persona ketiga dia dan mereka (tunggal dan jamak). Rujukan kata ganti persona pertama dan kedua bersifat eksoforis. Oleh sebab itu, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara, kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dinyatakan. Apabila persona pertama dan kedua yang akan dijadikan endofora, kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora karena bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami, masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal. Berbeda dengan pronomina persona pertama dan kedua,
SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
pronomina persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, ia dapat berwujud anafora dan katafora. 2.2 Deiksis Tempat Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi orang/peserta dalam peristiwa bahasa itu. Semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia membedakan antara yang dekat kepada pembicara ‘di sini’ dan yang tidak dekat kepada pembicara (termasuk yang dekat kepada pendengar ‘di sana’) (Nababan, 1987:41). Contoh penggunaan deiksis tempat dapat dilihat pada contoh di bawah ini. (1) Doduk ngen siko tegal, yo. ‘Duduk di sini sebentar, ya.’ (2) Tunggai abak ngen siko, yo. ‘Nantikan ayah di sini, ya.’ (3) Ngen siko masyarakatyung heterogen. ‘Di sini masyarakatnya heterogen.’ Frasa di sini pada kalimat (1) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Acuan pada kalimat (2) lebih luas lagi, yakni suatu tempat. Sementara acuan pada kalimat (3) lebih luas daripada (2), yaitu sebuah kampung atau kota. 2.3 Deiksis Waktu Deiksis waktu ialah pengungkapan atau pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa berbahasa, misalnya sekarang, kemarin, besok, dan lusa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk kala (Nababan, 1987:41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam kalimat adalah sebagai berikut. (4) Aok alui ngael ga menyahu Ketaon petang. ‘Kami pergi memancing di muara Ketahun kemarin.’ (5) Etek kayah mamagi. ‘Bibi ke sungai pagi sekali.’
Meskipun tanpa keterangan waktu, penggunaan deiksis waktu dalam kalimat (4) dan (5) sudah jelas. Namun, apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan suatu kata/frasa keterangan waktu, umpamanya mamagi ‘pagi-pagi’, tadi, petang ‘kemarin’, siang kelok ‘siang nanti’, dan soboh ‘subuh-subuh’. 2.4 Deiksis Wacana Deiksis wacana ialah rujukan pada bagianbagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987:42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/ frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dan sebagainya. Sebagai contoh deiksis dapat dilihat pada kalimat berikut. (6) Ibu baru datang dari sungai membawa hasil cuciannya. (7) Karena sepatunya basah, Rudi tidak pergi ke sekolah. Dari kedua contoh (6) dan (7) dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (6) mengacu ke ibu yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan contoh (7) mengacu ke Rudi yang disebut kemudian.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Deksis Persona A. Bentuk Deiksis Persona Pertama Bentuk deiksis persona pertama bahasa Pekal yang lazim digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Napalputih dan Ketahun adalah akui. Dalam percakapan sehari-hari bentuk akui lazim digunakan, baik oleh penutur laki-laki maupun penutur perempuan, anak-anak ataupun orang tua/dewasa. Kata-kata ini digunakan dalam situasi 233
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
informal (dalam percakapan sehari-hari). Bentuk akui juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya umak akui ‘ibu saya’ dan abak akui ‘ayah saya’. Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Pekal juga mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni aok, kami/kaming, dan kitung ‘kita’. Kata kaming ‘kami’ bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain di pihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain di pihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, aok dan kitung ‘kita’ bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca dan mungkin pula pihak lain. B. Bentuk Deiksis Persona Kedua Pronomina persona kedua tunggal dalam bahasa Pekal mempunyai beberapa wujud, yakni ikau, aban/kaban dan mamang. Pronomina persona kedua aban/kaban dipakai oleh orang yang lebih tua terhadap orang yang lebih muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial. Pronomina persona kedua ikau dan mamang digunakan oleh orang muda kepada orang yang lebih tua; orang yang status sosialnya lebih tinggi. Penggunaan bentuk ikau dianggap lebih santun daripada bentuk aban/ kaban. Ikau dan aban/kaban digunakan untuk mitra tutur, baik yang berjenis kelamin perempuan maupun untuk mitra tutur laki-laki. Bentuk persona kedua ini merupakan bentuk tunjukan yang dinyatakan dalam hal penyapaan, misalnya dapat dilihat pada contoh berikut. (8) Kebilu ikau endok alui Makolui? ‘Kapan engkau mau ke Bengkulu?’ (9) Aban sahi de babiduk gah Sungai Ketaon. ‘Kamu kemarin berperahu di Sungai Ketahun.’ Di samping kedua bentuk tersebut, juga ditemukan bentuk lain yang dapat digolongkan 234
ke dalam bentuk ketakziman. Bentuk ketakziman dalam bahasa Pekal di Kecamatan Napalputih banyak ragamnya, seperti boyung/boyTng, mamak, uwok/saudara perempuan nenek, amak, abak, etek, tengah, tuwok, buyung, upik; leksem kekerabatan, seperti dang, mamak, tengak, uwok, asik, asik laking, asik bining, ninik, datuk, sebe/sebai, dan puyang. Kata aban/kaban dan ikau ‘kamu’ digunakan dalam pembicaraan antara penutur dengan mitra tutur yang belum dikenal dan seusia dengan penutur, biasanya digunakan oleh penutur laki-laki kepada mitra tutur yang juga laki-laki. Kata buyung dan upik digunakan oleh orang yang usianya lebih tua daripada mitra tutur. Kata sapaan boyung, mamak, uwok, amak, abak, etek, tengah, dan tuwok digunakan oleh penutur yang lebih muda usianya daripada mitra tuturnya. Kata etek dan tengah digunakan kepada mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan dan masih muda atau memiliki selisih umur relatif tidak terlalu jauh dengan penutur. Kata tuwok digunakan kepada mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan dan berusia lebih tua daripada mitra tutur. Sementara kata boyung, mamak, dan uwok digunakan kepada mitra tutur yang sudah sangat tua umurnya jika dibandingkan dengan penutur dan berjenis kelamin laki-laki. Di samping bentuk persona kedua tunggal dalam penelitian di daerah Napalputih ini juga ditemukan bentuk persona kedua jamak. Bentuk ini tidak terlalu banyak ditemukan. Bentuk persona kedua jamak dalam bahasa Pekal di daerah ini dinyatakan dengan kami siko dan masiko ‘kamu sekalian/kalian’. Hal ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini. (10) Masiko go lak akui katu, usak manyok rangai kalu diam umak uhang. kalian sudah saya katakan, jangan banyak tingkah kalau tinggal di rumah orang ‘Sudah saya katakan kepada kalian, jangan banyak tingkah kalau tinggal di rumah orang.’ C. Bentuk Deiksis Persona Ketiga Deiksis persona ketiga dipakai oleh penutur kepada mitra tutur untuk membicarakan orang lain
SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
yang tidak terlibat dalam pembicaraan. Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas iyu/iyung ‘ia’, -yung, dan ikau. Dalam posisinya sebagai subjek atau di depan verba, iyung ‘ia’ dan ikau samasama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk -yung yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal ikau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari ketiga pronomina tersebut, hanya iyung, -yung, dan ikau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik. Pronomina persona ketiga jamak dalam bahasa Pekal di Kecamatan Napalputih ialah masiko, asiko, dan toboh de. Bentuk masiko dan asiko lebih halus daripada bentuk toboh de. Contohnya dapat dilihat berikut. (11) Toboh de tehos nalok pites otuk makan. ‘Mereka selalu mencari uang untuk makan.’ Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain, misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya. Di samping itu, juga ditemukan bentuk deiksis persona ketiga lain, yaitu abak akui, mamak akui, uwo ikau, umak aban, uhang toung ‘orang tua’, dan anok kakok yung. Hal ini dapat dilihat pada contoh kalimat di bawah ini. (12) Abak akui endok alui kek kayah. ‘Ayah saya mau ke sungai.’ (13) Petang toboh de ga siko. ‘Kemarin mereka ke sini.’ (14) Uhang toung tuna ngindai kaluk ngingek mendiang anok e. ‘Orang tua itu menangis kalau mengingat almarhum anaknya.’ 3.2 Deiksis Tempat/Ruang Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relatif penutur dengan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Dalam bahasa Pekal di Kecamatan Napalputih terdapat beberapa bentuk leksem kata yang deiksis, baik leksem verba maupun leksem bukan verba. Leksem verba itu misalnya datang, balik ‘pulang’, dan alui ‘pergi’.
Perbedaan utama arah gerak verba deiksis datang, balik, dan alui ‘pergi’ terletak pada tempat tuturan itu diucapkan. Secara eksoforis tempat gerakan yang digambarkan oleh verba datang dan balik adalah tempat persona pertama atau kedua pada saat tuturan, sedangkan tempat tuturan verba alui adalah tempat yang tidak diduduki oleh si pembicara pada saat tuturan. Titik labuh kata datang, alui, dan balik dapat pada persona pertama atau persona kedua. Dalam konteks tertentu, kata datang dan alui ‘pergi’ dapat tidak disebutkan; hanya preposisinya yang disebutkan secara formatif, misalnya terdapat pada contoh berikut. (15) Setiap akui (datang) ngen umakyung, iyung codo gek umak. ‘Setiap saya (datang) ke rumahnya, ia selalu tidak di rumah.’ Kata datang dan alui ‘pergi’ tidak dapat dipakai apabila lokasi tutur adalah rumah yang pemiliknya adalah subjek yang melakukan perbuatan datang dan alui ‘pergi’ itu. Contohnya adalah sebagai berikut. (16) *Biaso e de jam epek iyung lak (datang) gah umakyung. ‘Biasanya pukul empat ia sudah (datang) ke rumahnya.’ (17) *Biaso e de jam epek iyung lak (alui) gah umakyung. ‘Biasanya pukul empat ia sudah pergi dari rumahnya.’ Sebagai ganti kata datang dan alui ‘pergi’ pada contoh (16) dan (17), digunakan kata balik dan sampai. Kata balik ‘pulang’ dan sampai dapat dipakai dalam pengertian ‘pergi dari rumah’ dan ‘datang ke rumah’, contoh (18) Biaso e de jam epek iyung lak (balik) gah umakyung. ‘Biasanya pukul empat ia sudah pulang ke rumahnya’. Contoh leksem bukan verba adalah gah siko ‘di sini’, gah sanu ‘di sana’, ngen mokung ‘di depan’, pahok ‘dekat’, jawik ‘jauh’, pandok ‘pendek’, gek luah ‘ di luar’, kidau ‘kiri’,kanan ‘kanan’, ka ileh ‘ke hilir’, ka mudik, tembak ‘rendah’, dan aling ‘belakang’. Semua leksem kata yang deiksis itu akan dipahami secara berbeda antara penutur dengan 235
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
mitra tuturnya. Pronomina demonstratif gah siko menunjuk pada tempat yang dekat dengan persona pertama atau penutur. Bagi mitra tutur atau persona kedua, leksem kata itu akan dipahami dengan gah sanu ‘di sana’. Kata tuna ‘itu’ digunakan untuk menunjuk pada benda yang jauh dari penutur dan mitra tutur, misalnya tatkala seseorang menanyakan perihal sesuatu kepada mitra tutur. (19) A: Endok ka mano tobo tuna de? ‘Mau ke mana mereka itu?’ B: Tuna iyung!‘Itu dia!’ Pronomina lokatif (dalam rangkaian dengan preposisi ke) dapat menjadi dasar bagi pembentukan verba; hal yang seperti ini dapat dijumpai dalam konstruksi pasif, misalnya di pahok ‘ke sinikan’ dan di jawek ‘ke sanakan’. Begitu pula halnya dengan leksem kata pahok ‘dekat’, jawek ‘jauh’, pandek ‘pendek’, sikek ‘singkat’, tembak ‘rendah’, ileh ‘hilir’, kidau ‘kiri’, kanan ‘kanan’, mokung ‘muka’, dan aling ‘belakang’. Kata pahok ‘dekat’, jawek ‘jauh’, kidau ‘kiri’, kanan, mokung ‘muka, dan aling ‘belakang’ akan bermakna ‘dekat’, ‘jauh’, ‘pendek’, ‘singkat’, ‘rendah’, ‘kiri’, ‘kanan’, ‘muka’, dan ‘belakang’, bergantung pada tempat si penutur berdiri sewaktu ia mengucapkan kata-kata itu. Kata pahok akan bermakna ‘dekat’ bagi penutur, tetapi bagi mitra tutur justru kata itu akan bermakna ‘jauh’. Kata tembak akan bermakna ‘rendah’ bagi penutur, tetapi akan bermakna ‘tinggi’ bagi mitra tutur. Leksem-leksem tersebut tidak akan bersifat deiktis apabila orientasi pembicaraannya tidak jelas atau pembandingnya tidak jelas. Oleh sebab itu, agar ia menjadi deiksis, orientasi pembicaraan dan pembandingnya harus jelas. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut. (20) Dusun Uhai de pahok dahing Ketaon. ‘Desa Urai lebih dekat daripada Ketahun.’ (21) Otuk iyung jarak de agok jawek. ‘Bagi dia jarak itu agak jauh.’ Leksem ruang seperti kanan ‘kanan’ dan kidau ‘kiri’ tidak deiksis apabila dirangkaikan dengan benda bernyawa (seperti manusia). 236
Contohnya dapat dilihat pada kalimat (22) Rina doduk gek sabelak kidau Ana. ‘Rina duduk di sebelah kiri Ana’, tetapi akan menjadi deiksis apabila dirangkaikan dengan benda tidak bernyawa (misalnya pohon). (23) Boyung tegok gek sabelak kanan batang laang. ‘Buyung berdiri di sebelah kanan pohon jengkol.’ Di samping leksem ruang seperti yang disebut sebelumnya, terdapat leksem waktu yang mengungkapkan pengertian ruang, yaitu saelum ‘sebelum dan saudak ‘sesudah’. Contoh: (24) Dosun Uhai de saelum Lakok. ‘Desa Urai itu sebelum Desa Lakok.’ Hal tersebut akan bermakna ‘sebelum’ ketika penutur mengucapkan kata itu sedang berada di Kota Bengkulu, tetapi ketika si penutur berada di Mukomuko, posisi Desa Urai terletak sesudah Lakok. 3.3 Deiksis Waktu Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Dalam setiap bahasa pengungkapan waktu dapat dilakukan dengan cara yang berbeda. Ada yang pengungkapannya dilakukan secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Dalam banyak bahasa hal waktu diambil dari leksem ruang. Misalnya dalam bahasa Inggris, hampir setiap preposisi atau partikel yang bersifat lokatif juga bersifat temporal. Preposisi yang bersifat lokatif dan temporal pada awalnya hanya bersifat lokatif dan baru kemudian digunakan secara temporal. A. Leksem Ruang yang Mengungkapkan Pengertian Waktu Dalam bahasa Pekal leksem ruang yang dipakai dalam pengertian waktu adalah mokung, aleng ‘belakang’, panjang, dan pandok ‘pendek’. Leksem ini memberikan kesan seolaholah waktu itu merupakan hal yang diam. Kata mokung digunakan untuk menyatakan futur, contoh minggui mokung ‘minggu di muka’,
SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
Senen mokung ‘Senin di muka’, bulan mokung ‘bulan di muka’, dan taon mokung ‘tahun di muka’ Satuan kalender (calendar units), seperti Minggu mokung, berarti hari Minggu berikutnya atau tepat tujuh hari sesudah saat tuturan diujarkan. Hal tersebut dapat pula menunjuk pada hari dalam jangkauan waktu tujuh hari. Senen mokung dapat berarti tujuh hari setelah saat tuturan. Begitu pula halnya dengan bulan mokung, dapat berarti satu bulan atau 30 hari (31 hari) sesudah saat tuturan berlangsung. Nama hari dan nama bulan dapat dirangkaikan dengan kata mokung karena bersiklus (cyclic); perputaran waktu setiap kali dapat berulang lagi. Beda halnya dengan nama tahun, nama tahun tidak dapat dirangkaikan dengan mokung karena tahun tidak bersiklus sehingga seorang penutur tidak mungkin mengatakan tahun 2016 mokung. Namun, kata aleng ‘belakang’ sebagai lawan dari kata mokung ‘di muka’ tidak ditemukan dalam utaraan masyarakat di daerah penelitian. Tidak ditemukan masyarakat mengatakan minggu aleng, senin aleng, bulan aleng, atau tahun aleng. Sebagai ganti kata aleng, mereka menggunakan kata petang/lebeak ‘kemarin’, misalnya minggu petang ‘minggu kemarin’, Senin petang ‘Senin kemarin’, bulan petang ‘bulan kemarin’, dan tahun petang ‘tahun kemarin’. Bentuk lainnya adalah dengan menggunakan kata panjang dan pandok atau sikek ‘singkat’ yang dapat dilihat pada contoh di bawah ini. (25) Apokah masiak bisa diperpanjang waktuyung, Pak? ‘Apakah masih bisa diperpanjang waktunya, Pak?’ Waktuyung pandok amek. ‘Waktunya terlalu pendek.’
pada saat si pembicara mengucapkan kata-kata tersebut dalam suatu kalimat atau yang disebutkan saat tuturan berlangsung. Kata kining ‘sekarang’ misalnya, bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu atau yang disebutkan saat tuturan berlangsung. Begitu juga kata petang ‘kemarin’, bertitik labuh pada satu hari sebelum tuturan berlangsung. Untuk menyebutkan waktu satu hari sesudah tuturan berlangsung, digunakan kata paging ‘besok’. Untuk dua hari sebelum tuturan berlangsung, digunakan kata petangpetang, dan untuk menyebutkan waktu dua hari sesudah tuturan berlangsung digunakan kata dou ahing aging ‘dua hari lagi’. Kata kelok ‘nanti’dapat dirangkaikan dengan kata maging kelok atau kelok maging, siang kelok, metang kelok, dan malam kelok atau kelok malam yang dapat menandai perubahan hari atau tanggal; kelok malam/ malam kelok ‘nanti malam’, kelok siang/siang kelok ‘nanti siang’, kelok metang/ metang kelok ‘nanti sore’, dan kelok senju/ senju kelok ‘nanti senja’ Rangkaian kelok pagi jarang digunakan walaupun diucapkan pada waktu malam hari. Sebagai gantinya digunakan kata pagi ‘besok’, kecuali diucapkan pada waktu sesudah pukul dua belas malam sampai dengan pukul tiga pagi. Kata kelok pagi ‘besok’ tidak dapt diucapkan pada siang hari, sore hari, atau malam hari. Jika kata kelok ‘nanti’ tidak dapat dirangkaikan dengan kata paging ‘pagi’, kata tading ‘tadi’ dapat dirangkaikan dengan kata pagi, siang, metang, senju, dan malam. Frasa tading malam atau malam tading hanya dapat diucapkan pada pagi hari, siang hari, atau sore hari pada hari berikutnya. Apabila frasa tading malam diucapkan pada malam hari, digunakan frasa malam petang.
B. Leksem Waktu yang Deiktis
C. Leksem Waktu yang Lain
Leksem waktu seperti kining ‘sekarang’, tading ‘tadi’, paging ‘besok’, siang, metang ‘sore’, senju ‘senja’ dan malam akan bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara. Kata-kata ini memiliki titik labuh, yaitu
Leksem waktu yang lain yang ditemukan dalam bahasa Pekal di daerah penelitian adalah biae ‘pernah’, awit/garang ‘sering’, terus ‘selalu’, kadang kaleu ‘kadang-kadang’, biasoyung ‘biasanya’, kining ‘sekarang’, kalu 237
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
‘kalau’, bilu ‘kapan’. Leksem ini, di samping dapat menjadi konjungsi temporal, juga dapat menjadi konjungsi kondisional, contoh (26) Kalu malam ahing, iyung codo gek umak. ‘Kalau malam hari, dia tidak ada di rumah.’ (27) Amak awit codo di umak mamaging ahing. ‘Ibu sering tidak di rumah pagi hari.’ Dalam bahasa Pekal konjungsi temporal memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk preposisi lokatifnya. Bentuk saelum ‘sebelum’ dan saudak ‘sesudah’ adalah bentuk konjungsi temporal, sedangkan bentuk preposisi lokatifnya adalah aling ‘belakang’ dan mokung ‘depan’. Selain bentuk temporal, kata saudak dan saelum juga dapat dipakai dalam bentuk tidak temporal, misalnya (28) Saelum masjid, belok ka kidau.‘Sebelum mesjid, belok ke kiri.’ (29) Saudak masjid, gek saping uhang nyagal minyok tuna umakyung. ‘Sesudah mesjid, di samping orang menjual minyak itulah rumahnya.’ Ada leksem waktu yang deiktis yang dapat direduplikasikan, yaitu leksem yang bertitik labuh pada saat sebelum tuturan berlangsung (tading dan petang) serta sesudah tuturan berlangsung (pagi ‘besok’ dan kelok ‘nanti’), misalnya (30) Sejak petang-petang akui kecekan. ‘Sejak kemarin sudah saya katakan.’ Bentuk reduplikasi seperti ini menyatakan rasa penyesalan pada diri si pembicara. Bentuk ini juga dapat menyatakan sikap seenaknya, tidak bersungguh-sungguh (tidak serius) dari si pembicara, misalnya: (31) Pagi-pagilak akui datang kek umak aban. ‘Besok-besoklah saya datang ke rumahmu.’ Bentuk reduplikasi dari leksem waktu yang berpatokan pada posisi bumi terhadap matahari dapat memberikan arti ‘mengawalkan atau mendinikan, seperti pada kata maging ‘pagi-pagi’ atau sasubuh ‘subuh-subuh’, misalnya dapat dilihat pada contoh (32) berikut. (32) Amak, sasubuh lak ke pekan. ‘Ibu subuhsubuh sudah ke pasar.’ 238
Leksem waktu yang reduplikatif ini juga dapat bermakna melambatkan atau melalaikan suatu perbuatan, seperti pada kata malammalam dalam contoh berikut. (33) Usak malam-malam amek tiduh e. ‘Jangan terlalu malam tidurnya.’ Kata paging-paging atau subuh-subuh bermakna ‘sangat pagi’ atau ‘terlalu pagi’ dan kata malam-malam bermakna ‘terlalu malam’, atau ‘malam sekali’. Pengertian awal atau dini dan lambat menunjukkan bahwa pagi atau subuh dianggap sebagai awalnya hari dan malam sebagai akhirnya hari. 3.4 Deiksis Wacana Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan pada sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana ini adalah kata/frasa iko, itu/tunah, cak iko/cak konah, e, nyo, yung, cak itu, dan sebagainya. Misalnya (34) Dang akui sapai dahi dusun petang, diakekyung dian. ‘Kakak saya datang dari kampung kemarin, dibawanya durian.’ (35) Karno asu e padek, dian de manyok dibeling uhang. ‘Karena rasanya enak, durian itu banyak dibeli orang.’ Dari kedua contoh tersebut dapat kita ketahui bahwa -yung pada contoh (34) mengacu ke dang ‘kakak’ yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (35) –e mengacu ke durian yang disebut kemudian. Di antara bentuk-bentuk persona hanya kata ganti persona ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Dalam bahasa Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara, pemarkah anafora dibedakan antara bentuk yang tunggal (yung, e) dan bentuk yang jamak. Untuk bentuk jamak digunakan kata –masiko ‘kalian’ dan toboh tui ‘mereka’.
SYAMSURIZAL: DEIKSIS DALAM BAHASA PEKAL...
Bentuk tunggal biasanya mempunyai bentuk terikat, yaitu lekat kanan pada verba maN-, verba di-, serta dalam konstruksi posesif. Contohnya dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut. (36) Mak Tou mitok dowa pas masuk puaso gek umak e. ‘Bibi mengadakan syukuran ketika mau masuk puasa di rumahnya.’ (37) Alangka ibo atikui kalu maliek sebe suhang dihing idok dimiyu anok ngan cucungyung. ‘Alangkah iba hatiku melihat nenek seorang diri yang tidak dipedulikan oleh anak dan cucunya.’ (38) Yu kan anok uhang kayo, telak yu kojan bagaol ngan aok da. ‘Dia kan anak orang kaya makanya dia tidak bergaul dengan kita.’ (39) Ikrak ngan Agus alui ngael ikan, masiko ngael ga Sungai Ketaon. ‘Ikrak dan Agus pergi memancing ikan, mereka memancing di Sungai Ketahun.’
4. Penutup
b.
c.
d.
e.
4.1 Simpulan Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu sebagai berikut. a. Ada dua bentuk deiksis persona pertama dalam bahasa Pekal, yaitu deiksis persona pertama tunggal dan deiksis persona pertama jamak. Deiksis persona pertama tunggal adalah akui. Deiksis persona pertama jamak adalah aok, kami/kaming, dan kitung ‘kita’. Pronomina persona kedua tunggal ialah ikau, aban/kaban, dan mamang. Di samping bentuk persona kedua tunggal, juga ditemukan bentuk persona kedua jamak, yaitu kami siko dan masiko ‘kamu sekalian/kalian’. Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas iyu/iyung ‘ia’, -yung, dan ikau. Dari ketiga pronomina tersebut hanya iyung, -yung, dan ikau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik. Pronomina persona ketiga jamak ialah
f.
masiko, asiko, dan toboh de. Bentuk masiko dan asiko lebih halus daripada bentuk tobo de. Ditemukan bentuk lain yang dapat digolongkan ke dalam bentuk ketakziman, seperti boyung/boyeng, mamak, uwok/ saudara perempuan nenek, amak, abak, etek, tengah, tuwok, buyung, dan upik. Contoh leksem kekerabatan adalah dang, mamak, tengak, uwok, asik, asik laking, asik bining, ninik, datuk, sebe/sebai, dan puyang. Terdapat beberapa bentuk leksem kata yang deiksis, baik leksem verba maupun leksem bukan verba. Leksem verba misalnya datang, balik ‘pulang’, dan alui ‘pergi’. Perbedaan utama arah gerak deiksis datang, balik, dan alui ‘pergi’ terletak pada tempat tuturan itu diucapkan. Leksem ruang yang dipakai dalam pengertian waktu adalah mokung, aleng ‘belakang’, panjang, dan pandok ‘pendek’. Leksem ini memberikan kesan seolah-olah waktu itu merupakan hal yang diam. Leksem waktu seperti petang ‘kemarin’, kining ‘sekarang’, tading ‘tadi’, paging ‘besok’, siang, metang ‘sore’, senju ‘senja’, dan malam akan bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara. Leksem waktu yang lain adalah biae ‘pernah’, awit/garang ‘sering, terus ‘selalu’, kadang kaleu ‘kadang-kadang’, biasoyung ‘biasanya’, kining ‘sekarang, kalu ‘kalau’, dan bilu ‘kapan’. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana adalah kata/ frasa iko, itu/tunah, cak iko/cak konah, nyo, yung, cak itu, dan sebagainya.
4.2 Saran Berkenaan dengan penelitian deiksis dalam bahasa Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara ini perlu dilakukan penelitian serupa dengan ancangan yang sama dan ruang lingkup yang lebih sempit. Hal ini penting dilakukan untuk memperoleh 239
Metalingua, Vol. 13 No. 2, Desember 2015:229—240
analisis yang lebih lengkap dan mendalam sehingga masalah yang mengemuka semakin menjangkau pada hal-hal yang mendasar. Di samping itu, perlu pula dilakukan penelitian tentang deiksis yang terjadi pada pemakaian bahasa Pekal pada dialek-dialek bahasa Pekal yang terdapat di Bengkulu Utara.
Apabila ini dilakukan, akan semakin lengkaplah pemerian deiksis dalam masyarakat dan budaya Pekal. Dengan demikian, diharapkan jangkauan hasil penelitian nantinya akan memiliki tingkat kebermaknaan yang lebih besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi perkembangan linguistik pragmatik di tanah air.
Daftar Pustaka Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. Esten, Mursal. WordPress.com, diunduh Kamis, 2 Oktober 2014. Fromklin, Victoria & Robert Rodman. 1988. An Introduction to Language. (4 m j Edition). Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Lavinson, S.C. 1994. Pragmatic. Cambridge: Cambridge University Press. Nababan. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
240