DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU DI PASAR INTERNASIONAL
EKO PURWO SANTOSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Berkembang dan Negara Maju di Pasar Internasional” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Eko Purwo Santosa NIM H151137224
RINGKASAN
EKO PURWO SANTOSA. Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Berkembang dan Negara Maju di Pasar Internasional. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan TANTI NOVIANTI. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang terdiri sayursayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka (tanaman obat), dan florikultura (tanaman hias) menjadi salah satu komoditi strategis perdagangan internasional, yang permintaannya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan rumah tangga dan pertumbuhan penduduk. Selama periode 2005-2014, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor hortikultura negara berkembang sebesar 69,81 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekspor negara maju yang mencapai 40,78 persen. Peningkatan perdagangan komoditi hortikultura dunia juga dihadapkan dengan masalah volatilitas harga dan hambatan perdagangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dayasaing komoditi hortikultura di pasar internasional dan mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi hortikultura di pasar dunia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain FAO, WDI, WTO, Comtrade, dan CEPII. Komoditi hortikultura yang dianalisis dayasaingnya yaitu potatoes, fresh or chilled nes (HS. 070190); cabbages (HS. 070490); bananas, including plantains, fresh or dried (HS. 080300); pineapples, fresh or dried (HS. 080430); guavas, mangoes and mangosteens, fresh or dried (HS. 080450); dan ginger (HS. 091010). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) analisis deskriptif, (2) analisis daya saing dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD) untuk mengetahui posisi dayasaing berdasarkan performa ekspor hortikultura, serta (3) analisis data panel dengan gravity model. Estimasi analisis regresi model gravity menggunakan data panel tahunan periode 2004-2013 terdiri dari 3 negara maju yaitu Portugal, Amerika Serikat dan Australia serta 3 negara berkembang yaitu China, India, dan Indonesia dengan jumlah negara tujuan ekspor 5 sampai dengan 20 negara. Berdasarkan perhitungan RCA, negara-negara berkembang mendominasi perdagangan enam komoditi hortikultura di pasar dunia dengan nilai RCA lebih besar dari satu. Hasil estimasi Export Product Dynamic (EPD) menunjukkan bahwa terdapat tiga komoditi ekspor hortikultura yang memiliki posisi pasar yang dinamis di pasar dunia yaitu pisang, nanas serta jahe dalam persaingan perdagangan antar sesama negara berkembang. Demikian juga hasil analisis data panel menggunakan model gravity menunjukkan bahwa harga ekspor, populasi, GDP riil per kapita, jarak ekonomi, dan nilai tukar riil secara signifikan mempengaruhi volume ekspor. Untuk variabel hambatan perdagangan berupa tarif dan non tarif, kedua variabel berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditi hortikultura. Adanya liberalisasi perdagangan dicerminkan dengan kurang berpengaruhnya pemberlakuan tarif impor terhadap volume ekspor komoditi hortikultura dan nilai koefisiennya inelastis. Sedangkan variabel hambatan perdagangan non tarif yaitu pemberlakuan Sanitary and Phytosanitary (SPS) di negara tujuan ekspor masih menunnjukkan pengaruh yang negatif terhadap ekspor komoditi hortikultura di pasar dunia. Namun terdapat variabel jumlah SPS menunjukkan pengaruh positif pada ekspor komoditi kentang di Australia
dan kubis di Portugal, adanya pengaruh positif kebijakan SPS pada komoditi hortikultura tersebut membuktikan bahwa negara eksportir telah mampu memenuhi persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang. Kata kunci: Hortikultura, ekspor, dayasaing, data panel
SUMMARY
EKO PURWO SANTOSA. Competitiveness of the Horticultural Commodities Developing Countries and Developed Countries in the International Market. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and TANTI NOVIANTI. Horticulture is one of the agricultural sub-sector consisting of vegetables, fruits, biofarmaka mplants (medicinal plants) and floriculture (ornamentals) became one of the strategic commodities of international trade, which the demand is increasing in line with increasing household income and growth population. During the period 2005-2014, the average growth value of horticultural exports of developing countries amounted to 69,81 percent higher than the average growth of exports in developed countries as big as 40,78 percent. The global trading of horticulture is faced with price volatility and trade barriers problems. In addition, the increasing demand of these commodities also in line with the increase in household incomes and population growth. Therefore, this study aimed to analyze the competitiveness of horticulture commodities in the international market and the factors that influence trade flow. The results of Export Product Dynamic (EPD) show that there are two horticultural export commodities that has dynamic market position in world market, there are bananas (HS.080300) and pineapples (HS.080430). Generally, the panel data analysis results show that prices, trade barriers, population, real GDP per capita, economic distances, and real exchange rates significantly affect export volumes. The data which used in this research is secondary data obtained from various sources, including FAO, WDI, WTO, Comtrade, and CEPII. Horticulture commodities was analyzed its competitiveness ie potatoes, fresh or chilled nes (HS. 070190); cabbages (HS. 070490); bananas, Including plantains, fresh or dried (HS. 080300); pineapples, fresh or dried (HS. 080430); guavas, mangoes and mangosteens, fresh or dried (HS. 080450); and ginger (HS. 09 010). The analytical method that used in this research are: (1) descriptive analysis, (2) analysis of competitiveness by the method of Revealed Comparative Advantage (RCA) and the Export Product Dynamics (EPD) for determine the position of competitiveness based on the exports performance of horticulture, and (3) analysis panel data with gravity models. Estimated regression analysis using panel data models gravity annual period 2004-2013 consists of three developed countries, namely Portugal, United States and Australia as well as three developing countries, namely China, India, and Indonesia by the number of export destination countries 5 to 20 countries. Based on the calculation of RCA, developing countries dominate six horticultural commodities trade in the world market with RCA value greater than one. The estimation results Export Product Dynamics (EPD) shows that there are three horticultural export commodity that has a dynamic market position in the world market, namely banana, pineapple and ginger in trade competition among fellow developing countries. Likewise, the results of panel data analysis using gravity models showed that export prices, population, real GDP per capita, economic distance, and the real exchange rate significantly affect the volume of exports. For variable trade barriers in the form of tariff and non-tariff, these two variables negatively affect to the horticulture exports. The liberalization of trade is reflected by less influential imposition of import tariffs on horticultural commodities export volume and value of the coefficient inelastic. While the variable non-tariff barriers to trade that the application of
Sanitary and Phytosanitary (SPS) in destination countries still menunnjukkan a negative influence on the export of horticultural commodities in the world market. But there are a variable number of SPS show the positive influence on the commodity export of potatoes in Australia and cabbages in Portugal, their positive influence on horticulture SPS policy proved that the exporting countries have been able to meet the terms and standards imposed by the trading partner countries. Keywords: Horticulture, exports, competitiveness, panel data
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU DI PASAR INTERNASIONAL
EKO PURWO SANTOSA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis berjudul Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Maju dan Negara Berkembang di Pasar Internasional dapat diselesaikan. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dari itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Apresiasi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi dan Dr Tanti Novianti, SP MSi selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Lukytawati Anggraeni, MSi dan Dr Toni Irawan beserta para pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, istri dan secara khusus kepada anak tercinta yang telah memberikan dukungan, dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah baik kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2 maupun kelas regular yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Juni 2016 Eko Purwo Santosa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Definisi Hortikultura Teori Perdagangan Internasional Teori Dayasaing Gravity Model Penelitian Terdahulu Penelitian Mengenai Dayasaing Penelitian Mengenai Gravity Model Hipotesis Penelitian Kerangka Pemikiran 3 METODE Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Definisi Operasional 4 GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA Deskripsi Ekspor Produk Hortikultura Identifikasi Daya Saing Komoditi Hortikultura Dayasaing Kentang Dayasaing Kubis Dayasaing Pisang Dayasaing Nanas Dayasaing Jambu Mangga Manggis Dayasaing Jahe Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Pedagangan (Trade Flows) Komoditi Hortikultura di Pasar Dunia 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
iv iv v 1 1 5 7 7 7 8 8 8 8 13 14 15 15 16 16 17 19 19 19 24 25 25 29 30 31 32 33 34 35 37 43 43 44 45 48 56
DAFTAR TABEL Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian Tabel 2 Variabel dan ekspektasi tanda persamaan Tabel 3 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nominal tahun 2007-2013 (%) Tabel 4 Negara produsen terbesar 6 (enam) komoditi hortikultura di pasar dunia tahun 2007-2013 Tabel 5 Perkembangan neraca perdagangan hortikultura dunia tahun 2009-2014 (ribu US $) Tabel 6 Rata-rata volume produksi, ekspor, dan impor 6 (enam) komoditi hortikultura dunia tahun 2007-2013 (ton) Tabel 7 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kentang dunia tahun 2004-2013 Tabel 8 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kubis dunia tahun 2004-2013 Tabel 9 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD pisang dunia tahun 2004-2013 Tabel 10 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD nanas dunia tahun 2004-2013 Tabel 11 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jambu mangga manggis dunia tahun 2004-2013 Tabel 12 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jahe dunia tahun 2004-2013 Tabel 13 Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura di 3 (tiga) negara maju Tabel 14 Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura di 3 (tiga) negara berkembang
19 23 26 26 27 28 31 32 33 34 35 36 37 38
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Perkembangan nilai ekspor negara maju dan negara berkembang tahun 2005-2014 (juta US $) Gambar 2 Nilai ekspor komoditi hortikultura dunia tahun 2005-2014 (juta $ US) Gambar 3 Perkembangan nilai ekspor komoditi hortikultura negara maju dan negara berkembang tahun 2005-2014 (juta $ US) Gambar 4 Perkembangan harga ekspor komoditi hortikultura dunia tahun 2001-2014 Gambar 5 Model dasar Heckscher-Ohlin Gambar 6 Efek kebijakan tarif Gambar 7 Klasifikasi baru NTM Gambar 8 Kerangka pemikiran operasional Gambar 9 Daya tarik pasar dan kekuatan bisnis pada EPD Gambar 10 Komposisi rata-rata nilai ekspor komoditi hortikultura dunia tahun 2005-2014 Gambar 11 Perkembangan harga 6 (enam) komoditi hortikultura dunia tahun 2007-2014
1 3 4 6 9 10 12 18 21 27 29
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji Hausman komoditi potatoes. fresh or chilled nes (HS 070910) Lampiran 2 Hasil uji Hausman komoditi cabbages. kohlrabi. kale and sim edible brassicas nes. fresh or chilled (HS 070490) Lampiran 3 Hasil uji Hausman komoditi bananas. including plantains. fresh or dried (HS 080300) Lampiran 4 Hasil uji Hausman komoditi pineapples. fresh or dried (HS 080430) Lampiran 5 Hasil uji Hausman komoditi guavas. mangoes and mangosteens. fresh or dried (HS 080450) Lampiran 6 Hasil uji Hausman komoditi ginger (HS 091010)
48 49 50 51 52 54
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan suatu negara akan barang semakin bertambah pesat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang ada di negara tersebut. Hal ini mengakibatkan suatu negara melakukan impor dalam rangka memenuhi kebutuhan negaranya jika tidak mampu memenuhi dengan produksinya sendiri. Demikian hal yang sebaliknya jika suatu negara mengalami kelebihan produksi, maka negara itu juga akan mengimpor untuk memenuhi kebutuhan negaranya dari negara lain. Dengan adanya kelebihan akan suatu produk maka setiap negara akan mengekspor terhadap negara lain yang membutuhkannya. Kegiatan ekspor impor dapat berlangsung secara berkelanjutan apabila tidak ada pihak/negara yang dirugikan. Untuk menjaga kegiatan ekspor impor secara berkala maka diperlukanlah suatu aturan yang tidak memberatkan kedua belah pihak. Perkembangan kerjasama perdagangan internasional telah mengalami kemajuan serta semakin berperan seiring dengan perkembangan arus globalisasi ekonomi yang cepat. 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 0 2005 Ekspor Negara Maju
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
6.203.916 7.011.800 8.033.717 8.966.985 6.927.221 8.070.846 9.382.321 9.161.405 9.418.565 9.540.017
Ekspor Negara Berkembang 4.020.977 4.783.613 5.606.293 6.857.915 5.254.709 6.969.081 8.561.620 8.793.818 9.122.148 9.113.310
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan nilai ekspor negara maju dan negara berkembang tahun 2005-2014 (juta US $) Kerjasama Selatan-Selatan atau negara-negara berkembang mempunyai peranan yang penting dalam hubungan internasional. Pertumbuhan perdagangan dan investasi asing langsung (FDI) telah mengalir di antara negara-negara berkembang dan mengubah ekonomi dunia. Selama tahun 2008-2009, negara-negara berkembang melakukan ekspor satu sama lain (daripada ekspor dengan negara maju), dan sejak tahun 2011 total perdagangan negara berkembang mencapai lebih dari US$ 4 milyar. 1 Perkembangan perdagangan internasional menunjukkan bahwa nilai ekspor dunia dari tahun 2005-2014 mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan selama sepuluh tahun sebesar 52,72 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor negara maju 1
State of South-South cooperation, Report of the Secretary-General, Sixty-ninth session, 17 July 2014
2 hanya sebesar 37,03 persen, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor negara berkembang yaitu sebesar 79,79 persen. Pada tahun 2012 negara berkembang menyumbang setengah hampir dari produk domestik bruto dunia dan tahun 2025 konsumsi negara selatan-selatan secara keseluruhan (terdapat 600 juta rumah tangga dengan pendapatan lebih dari US$ 20.000) adalah sebesar US$ 30 triliun per tahun.2 Sistem perdagangan pertanian dan pangan global sedang mengalami proses cepat perubahan, dengan implikasi penting bagi pembangunan ekonomi (Mergenthaler et al, 2009; Reardon et al, 2009). Liberalisasi sektor pertanian adalah pokok bahasan yang menjadi perdebatan diantara negara-negara anggota WTO (World Trade Organization). Negara-negara maju atau negara-negara utara mendesak agar negara-negara selatan atau negara berkembang agar membuka pasarnya untuk produk pertanian yang berasal dari negara maju. Hal ini merupakan prinsip perdagangan bebas yang telah dianut semua negara anggota WTO. Manfaat bagi negara berkembang yang diberikan oleh sistem hukum perdagangan multilateral dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari kacamata eksportir. Kedua, dilihat dari sudut pandang importir. Bagi eksportir, pada perdagangan barang, hampir seluruh tarif di negara-negara maju dan sebagian besar tarif di negara berkembang dan negara transisi ekonomi dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Kepastian tidak akan adanya kenaikan tarif ini akan memperluas akses pasar dan terdapat jaminan bahwa akses pasar tersebut tidak akan dirusak oleh pembatasan yang diterapkan secara mendadak oleh negara pengimpor. WTO juga memberikan stabilitas bagi pasar eksportir dengan mewajibkan setiap negara anggota menerapkan ketentuan yang seragam tentang perbatasan (border). Negara-negara juga wajib menjamin bahwa aturan main tentang kepabeanan seperti aturan tentang pemeriksaan barang atau izin impor. Adanya keseragaman dimaksud menimbulkan efisiensi bagi eksportir karena mengurangi banyaknya perbedaan persyaratan diperlakukan oleh masing-masing negara. Bagi importir, yang mengimpor bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor, adanya ketentuan yang membolehkan melakukan impor tanpa adanya pembatasan kecuali tarif dan adanya keseragaman aturan akan menjamin kelangsungan usaha mereka. Aturan ini juga memberikan kepastian bagi importir bahwa mereka akan menerima barang pada waktunya dan dengan harga yang kompetitif. Disamping itu, adanya aturan tentang tarif yang mengikat membuat importir juga mengetahui dengan jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengimpor suatu barang. Disamping itu, WTO menciptakan hak-hak tertentu yang berguna bagi anggota. Hak tersebut dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, hak produsen domestik dan importir terhadap pemerintah. Kedua, hak eksportir mempertahankan kepentingannya terhadap tindakan yang diambil oleh negara pengimpor yang merugikan. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 3-6 Desember 2013 di Bali, telah dibicarakan berbagai permasalahan khususnya mengenai subsidi. Negara berkembang dalam G-33 mengusulkan penghapusan pembatasan subsidi pertanian bagi negara berkembang, untuk kepentingan public stock holding demi ketahanan pangan. Di lain pihak, negara maju setuju pemberian subsidi pertanian negara berkembang hingga 15 persen dengan masa berlaku aturan 4 (empat) tahun. Namun negara berkembang seperti India dan Indonesia menginginkan agar tidak ada batasan waktu aturan pemberian subsidi sebesar 15 persen. 2
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), South-South Trade Monitor, No. 2 (Geneva, July 2013).
3 Pada sektor pertanian, agribisnis hortikultura yang meliputi komoditi tanaman hias, sayuran, buah-buahan dan biofarmaka berpeluang besar mengalami dampak liberalisasi karena tiga hal yaitu: (1) Biaya input komersial seperti pupuk, pestisida dan bibit pada usahatani hortikultura, terutama sayuran, relatif tinggi dibandingkan komoditi pertanian lainnya. Konsekuensinya adalah, liberalisasi perdagangan yang diantaranya berdampak pada penghapusan berbagai subsidi faktor produksi akan meningkatkan ongkos produksi yang dikeluarkan petani. (2) Komoditi hortikultura umumnya diusahakan petani untuk dijual atau market oriented, bukan untuk konsumsi sendiri atau subsisten. Konsekuensinya adalah petani hortikultura dituntut untuk lebih mampu membaca peluang pasar dan menyesuaikan produksinya dengan preferensi konsumen yang dapat berubah cepat akibat globalisasi informasi. (3) Kebutuhan konsumsi setiap produk hortikultura umumnya bersifat dinamis akibat beragamnya jenis produk yang dikonsumsi, yang saling berstubstitusi satu sama lain. Konsekuensinya adalah, jika produk hortikultura lokal kalah bersaing dengan produk impor dalam kualitas organoleptik (rasa, penampilan, tekstur, aroma dst.) maka produk hortikultura yang diproduksi secara lokal dapat tergantikan oleh produk impor.3 Hortikultura saat ini menjadi komoditi yang menguntungkan karena pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat serta turut memicu peningkatan konsumsi hortikultura seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Menurut Saptana, et al (2006), komoditi hortikultura tergolong sebagai komoditi komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity), sehingga harus diproduksi secara efisien untuk dapat bersaing di pasar. Hortikultura merupakan kelompok komoditi yang penting dan strategis tersedia dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pasar hortikultura di dunia sangat besar dan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. 200.000
Juta $ US
150.000
149.813
100.000
84.872 95.629
110.178
124.843
119.389
134.115
161.783 164.889 145.339
50.000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
2014
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar
3
2
Nilai ekspor (juta $ US)
komoditi
hortikultura
dunia
tahun
2005-2014
Agribisnis Hortikultura:Peluang Dan Tantangan Dalam Era Perdagangan Bebas, 2002, Bambang Irawan, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
4 Perdagangan pertanian global telah mengalami peningkatan yang signifikan selama tiga dekade terakhir, dan berubah dalam struktur perdagangan dengan pentingnya peningkatan produk bernilai tinggi seperti produk hortikultura, susu dan produk daging (World Bank, 2008). Gambar 2 menunjukkan bahwa secara total, nilai ekspor hortikultura dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hanya pada tahun 2009 dan tahun 2012 mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor hortikultura dunia adalah sebesar 52,09 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai impor hortikultura dunia adalah sebesar 45,47 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryadi (2008) menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project), menunjukkan bahwa negara maju masih mendominasi perdagangan dunia baik untuk sektor industri maupun sektor pertanian sehingga pandangan bahwa negara maju mengekspor produk industri dan negara berkembang mengekspor produk pertanian ternyata tidak terbukti. Negara berkembang masih memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi impor komoditi pertanian. Selain itu, penghapusan hambatan perdagangan pertanian berdampak pada: (1) penurunan produksi, ekspor, dan impor pada sebagian besar sektor-sektor yang selama ini diberikan subsidi baik berupa dukungan domestik, maupun subsidi ekspor di negara maju, (2) peningkatan impor negara berkembang secara umum, meski ada juga komoditi yang mengalami peningkatan meski subsidinya dihapus, namun kebijakan ini merugikan sektor pertanian secara agregat, (3) meski terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh negara namun bila hambatan perdagangan dihapus secara total maka negara maju adalah kelompok yang paling diuntungkan, (4) dalam konteks Indonesia, maka Indonesia belum sanggup untuk melakukan perdagangan pada tingkat tarif nol. 100.000
90.562
90.000
82.958 76.429
80.000
74.369 69.980
67.832
70.000
77.466 72.668
57.886
60.000 52.836
89.159
81.788
67.633 60.491
63.930
50.000 47.219
40.000 30.000
48.786
41.367 36.525 31.653
20.000 10.000 0 2005
2006
2007
2008
Ekspor Negara Maju
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Ekspor Negara Berkembang
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar 3
Perkembangan nilai ekspor komoditi hortikultura negara maju dan negara berkembang tahun 2005-2014 (juta $ US)
Produk hortikultura merupakan sumber yang semakin penting dari pendapatan ekspor bagi banyak negara berkembang. Gambar 3 menunjukkan perbandingan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor dari tahun 2005-2014, negara berkembang dengan rata-rata
5 pertumbuhannya sebesar 69,81 persen masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan negara maju (40,78 persen). Hal ini menunjukkan bahwa komoditi hortikultura merupakan komoditi ekspor yang potensial bagi negara berkembang dalam perdagangan internasional. Peningkatan ekspor pertanian non-tradisional, seperti ekspor hortikultura, di negara-negara berkembang tidak hanya akan menyebabkan ekspansi pendapatan devisa yang digunakan untuk memenuhi meningkatnya impor komoditi lain, tetapi juga untuk memenuhi meningkatnya pembayaran utang. Dengan demikian, negara-negara berkembang harus menemukan potensi ekspor non-tradisional pada saat pertumbuhan pasar tradisional mengalami penurunan (Shah, 2007). Bhattacharya (2011) melakukan estimasi untuk mengukur sejauh mana India memiliki keunggulan komparatif dalam sayuran, buah-buahan dan perdagangan bunga di pasar Asia, Uni Eropa dan Amerika Utara (USA & Kanada) dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa India memiliki keunggulan komparatif di pasar sayur dan buah di Uni Eropa tapi ini tidak terjadi di pasar bunga. Sementara itu, Murat dan Emin (2009) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa sektor hortikultura Turki memiliki keunggulan kompetitif internasional,dengan tanaman yang paling kompetitif adalah tomat diikuti oleh melon, semangka dan jeruk untuk tahun 2004. Perumusan Masalah Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan Lindert, 1978). Namun karena terdapat perbedaan penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung dayasaing, sebagian pakar yang lain berpendapat liberalisasi pasar berpotensi menimbulkan dampak negatif karena mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu maka timbul pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional melalui pemberlakuan kendala atau hambatan perdagangan (Abidin, 2000). Penerapan kebijakan penghapusan tarif akan menyebabkan neraca perdagangan untuk beberapa komoditi mengalami defisit terutama untuk beberapa komoditi strategis di sektor pertanian dan manufaktur secara keseluruhan. Ini berarti bahwa kebijakan tersebut memperburuk neraca perdagangan Indonesia. 4 Meskipun secara teori, liberalisasi akan menghasilkan manfaat bagi para pelaku perdagangan, dalam implementasinya terjadi ketimpangan dan perbedaan. Produsen pertanian negara berkembang pada umumnya berada pada posisi yang dirugikan atau sedikit sekali memperoleh benefit perdagangan internasional komoditi pertanian. Liberalisasi dapat mengakibatkan dampak buruk yang bisa mengancam pasar domestik dan kepentingan domestik lainnya menyangkut kesejahteraan petani produsen dan ketahanan pangan. Hortikultura saat ini menjadi komoditi yang menguntungkan karena pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat saat ini turut memicu peningkatan konsumsi holtikultura, karena pendapatan masyarakat juga meningkat. Peningkatan 4
haryadikamal.wordpress.com/2009/12/17/dampak-liberalisasi-perdagangan-terhadap-neracaperdagangan-negara-berkembang
6 konsumsi hortikultura disebabkan karena struktur konsumsi bahan pangan cenderung bergeser pada bahan pangan dengan elastisitas pendapatan relatif tinggi seperti pada komoditi hortikultura. Konsumsi masyarakat sekarang ini memiliki kecenderungan menghindari bahan pangan dengan kolesterol tinggi seperti produk pangan asal ternak (Irawan, 2003). 3.000
US Dollar/Tons
2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sayur-sayuran
Buah-buahan
Biofarmaka
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar
4
Perkembangan harga tahun 2001-2014
ekspor
komoditi
hortikultura
dunia
Perdagangan produk pertanian dihadapkan pada masalah volatilitas harga dan berbagai hambatan perdagangan seperti hambatan tarif dan hambatan non tarif. Selama krisis harga pangan tahun 2008-2009, harga pasar produk pertanian dunia dan makanan meningkat tajam dan meningkatkan volatilitas harga pertanian di tahun-tahun berikutnya (Miet dan Johan, 2014). Selain itu, dengan semakin berkembangnya globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga akan memberikan peluang sekaligus tantangan baru dalam pembangunan pertanian kedepan khususnya komoditi hortikultura. Pasar komoditi yang semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara dapat memberikan peluang dalam pembangunan pertanian ini. Namun liberalisasi perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika komoditi yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditi impor, yang pada gilirannya akan merugikan petani. Oleh karena itu peningkatan dayasaing merupakan tuntutan yang tak bisa dihindari dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini menganalisis dayasaing komoditi hortikultura negara berkembang dan negara maju di pasar internasional serta faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi arus perdagangan komoditi hortikultura di pasar internasional.
7 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan secara umum adalah untuk menganalisis dayasaing komoditi pertanian di pasar internasonal. Secara khusus, tujuan penelitian yang dilakukan adalah: 1. Menganalisis dayasaing komoditi hortikultura antara negara berkembang dan negara maju serta antar sesama negara berkembang. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi hortikultura antar negara di pasar internasional. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan dan kalangan akademisi. Manfaat tersebut yaitu: 1. Sumber informasi ilmiah dan salah satu referensi bagi pemerintah dalam perumusanan kebijakan, khususnya terkait perdagangan komoditi pertanian. 2. Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah terutama berkaitan dengan dayasaing komoditi pertanian bagi penelitian selanjutnya. Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian yang dilakukan oleh Haryadi (2008) menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project), menunjukkan bahwa negara berkembang masih memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi impor komoditi pertanian. Namun jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan ekspor hortikultura periode 2005 – 2014, maka negara berkembang memiliki rata-rata pertumbuhan ekspor hortikultura yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekspor hortikultura dari negara maju per tahunnya. Oleh karena itu penelitian ini menganalisis dayasaing ekspor hortikultura di pasar dunia menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dinamycs (EPD) antara negara berkembang (Developing Countries) dengan negara maju (Developed Countries) dan juga dayasaing ekspor hortikultura antar sesama negara berkembang. Komoditi holtikultura yang dianalisis dayasaingnya berhubungan dengan pangan (sayuran, buahbuahan, dan tanaman biofarmaka) yaitu: sayuran yang diwakili oleh potatoes, fresh or chilled nes (HS 070190); cabbages, kohlrabi, kale and sim edible brassicas nes, fresh or chilled (HS 070490), buah-buahan yang diwakili oleh bananas, including plantains, fresh or dried (HS 080300); pineapples, fresh or dried (HS 080430); guavas, mangoes and mangosteens, fresh or dried (HS 080450); biofarmaka diwakili oleh ginger (HS 091010). Pemilihan 6 (Enam) komoditi hortikultura ini mengacu pada penelitianpenelitian sebelumnya dan juga didasarkan karena enam komoditi ini mempunyai pangsa pasar yang besar baik dari sisi produksi maupun ekspor di negara berkembang khususnya di Indonesia. Dengan menggunakan data panel tahunan periode 2004-2013 juga dianalisis faktorfaktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi hortikultura antar negara di pasar internasional menggunakan gravity model. Model ini menjelaskan hubungan antara volume ekspor (buah-buahan, sayuran dan tanaman biofarmaka) dengan variabel-variabel produksi tahun sebelumnya, harga ekspor, GDP perkapita riil negara importir, populasi negara importir, jarak ekonomi, nilai tukar negara eksportir, Ad Valorem Tariff serta jumlah Sanitary dan Phytosanitary (SPS) yang diberlakukan di negara importir.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Definisi Hortikultura Hortikultura dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang budidaya tanaman yang intensif dan produknya digunakan manusia sebagai bahan pangan, bahan obat (tanaman empon-emponan), bahan bumbu (tanaman rempah-rempah), bahan penyegar atau penyedap dan sebagai pelindung serta penyaman lingkungan (tanaman hias). Dilihat dari tempat usaha, hortikultura berorientasi pada pengusahaan tanaman di sekitar tempat tinggal (kebun) pada areal terbatas. Pada umumnya produk hortikultura dikonsumsi dalam bentuk segar, sehingga kadar air sangat menentukan kualitasnya. Dengan kadar air yang tinggi menyebabkan produk tersebut mudah rusak (Ashari, 1995). Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar individu, individu dengan pemerintah, atau antar pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain (Mankiw 2006). Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional karena dua alasan, pertama karena tiap negara berbeda satu dan lainnya. Negara sebagai sebuah individu dapat mengambil manfaat dari perbedaan dengan bekerjasama dengan negara lain. Kedua, negara terlibat dalam perdagangan internasional untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi (Krugman dan Obstfeld, 2003). Teori Heckscher-Ohlin merumuskan pernyataan bahwa perbedaan dalam kelimpahan faktor harga-harganya secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif komoditi (X dan Y) di antara kedua negara sebelum berlangsungnya perdagangan. Selisih harga absolut atas berbagai komoditi diantara kedua negara itulah yang merupakan penyebab langsung terjadinya perdagangan. Gambar 5 merupakan model dasar dari teori Heckscher-Ohlin, dimana panel sebelah kiri menggambarkan kurva batas kemungkinan produksi dari Negara 1 dan Negara 2. Bentuk kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 lebih memanjang atau melebar apabila dilihat dari sumbu X, karena komoditi X yang menjadi andalan ekspornya adalah komoditi yang padat tenaga kerja. Karena kedua negara itu memiliki selera yang sama, maka mereka pun menghadapi peta indiferen yang sama pula. Kurva indiferen I yang merupakan kurva indiferen bagi Negara 1 dan Negara 2 adalah tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 di titik A dan juga menjadi tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 2 di titik A′. Kurva indiferen I merupakan kurva indiferen yang tertinggi yang dapat diraih oleh Negara 1 dan Negara 2 (dalam kondisi tanpa perdagangan). Sedangkan titik A dan titik A′ melambangkan titik-titik ekuilibrium produksi dan konsumsi di kedua negara tersebut sebelum mereka terlibat dalam perdagangan. Titik A dan titik A′ yang menjadi tempat kedudukan tangen pada kurva indiferen I itu juga melambangkan terciptanya harga relatif komoditi ekuilibrium dalam kondisi tanpa perdagangan (PA di Negara 1 dan PA′ di Negara 2). PA lebih kecil daripada PA′ , maka Negara 1 memiliki keunggulan komparatif dalam produksi komoditi X sedangkan Negara 2 menguasai keunggulan komparatif dalam produksi komoditi Y (Salvatore, 1997).
9
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 5 Model dasar Heckscher-Ohlin Panel sebelah kanan memperlihatkan bahwa setelah perdagangan berlangsung maka Negara 1 akan melakukan spesialisasi produksi komoditi X, sedangkan Negara 2 akan berspesialisasi dalam produksi komoditi Y. Spesialisasi di Negara 1 akan terus berlangsung sampai ia mencapai titik B. Sedangkan spesialisasi produksi Negara 2 baru akan berhenti jika titik B′ telah tercapai. Pada titik-titik itulah maka kurva-kurva transformasi dari kedua negara menjadi tangen terhadap garis harga relatif bersama atau PB. Negara 1 akan mengekspor sejumlah komoditi X untuk memperoleh komoditi Y dari Negara 2 dan Negara 1 akan berkonsumsi di titik E yang terletak pada kurva indiferen II. Di lain pihak, Negara 2 akan mengekspor sebagian komoditi Y yang diproduksiknnya untuk memperoleh tambahan komoditi X dari Negara 1. Perdagangan ini akan memungkinkan Negara 2 berkonsumsi di titik E′ yang berhimpitan dengan titik E (Salvatore, 1997). Tarif adalah bentuk tertua dari kebijakan perdagangan dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah. Sampai pengenalan pajak penghasilan, misalnya, pemerintah AS menaikkan sebagian besar pendapatan dari tarif. Tujuan pengenaan tarif ini adalah untuk memberikan pendapatan dan perlindungan terhadap sektor domestik. Pada awal abad ke-19, misalnya Inggris menggunakan tarif (Undang-undang Gandum) untuk melindungi pertaniannya dari persaingan impor. Pada akhir abad ke-19 , Jerman dan Amerika Serikat yang melindungi sektor industri baru mereka dengan memberlakukan tarif atas impor barang-barang manufaktur. Pentingnya tarif telah menurun di zaman modern karena pemerintah yang modern biasanya lebih suka melindungi industri dalam negeri melalui berbagai hambatan nontarif, seperti impor kuota (pembatasan jumlah impor) dan pembatasan ekspor (pembatasan kuantitas ekspor - biasanya dikenakan oleh negara pengekspor atas permintaan impor negara tersebut). Meskipun demikian, studi tentang dampak tarif yang tetap penting dalam memahami kebijakan perdagangan lainnya. Gambar 6 menunjukkan efek dari tarif tertentu t per unit produk (ditampilkan sebagai t pada gambar). Dengan tidak adanya tarif, harga produk akan disamakan kedudukannya pada PW baik domestik maupun luar negeri, seperti yang terlihat pada titik 1 di panel tengah, yang menggambarkan pasar dunia. Dengan tarif di pasar domestik, eksportir tidak bersedia untuk menjual produknya dari negara asalnya ke pasar domestik kecuali harga di pasar domestik melebihi harga di pasar di negara eksportir, setidaknya sebesar t. Jika tidak ada produk yang diekspor, maka akan ada kelebihan permintaan (excess demand) di pasar domestik dan kelebihan pasokan (excess
10 suppply) di luar negeri. Dengan demikian harga di domestik akan naik dan di luar negeri akan jatuh sampai perbedaan harga t . Dengan adanya tarif, maka harga domestik akan meningkatkan di PT (titik 2) dan menurunkan harga di luar negeri untuk PT* (titik 3). Pada pasar domestik, produsen akan memasok produk pada harga yang lebih tinggi, sementara permintaan konsumen kurang, sehingga impor akan lebih sedikit (seperti yang terlihat bergerak dari titik 1 ke titik 2 pada kurva MD). Di luar negeri, harga yang lebih rendah menyebabkan berkurangnya pasokan dan permintaan meningkat, dan dengan demikian pasokan ekspor lebih kecil (seperti yang terlihat dalam pergerakan dari titik 1 ke titik 3 pada kurva XS). Dengan demikian volume produk yang diperdagangkan menurun dari QW, volume perdagangan bebas, ke QT, volume dengan tarif. Pada QT volume perdagangan, permintaan impor domestik sama dengan pasokan ekspor asing saat (Krugman dan Obstfeld, 2003).
Sumber: Krugman dan Obstfeld, 2003
Gambar 6 Efek kebijakan tarif Non Tarif Measures (NTMs) Pemberlakuan NTM dalam arti sempit tidak menimbulkan masalah bagi perekonomian, terlebih setelah tahun 2005, semua NTM untuk pertanian, tekstil dan pakaian telah dihapus sesuai dengan perjanjian WTO. Akan tetapi, dalam arti luas, NTM akan menjadi masalah yang sangat berkembang pada perdagangan internasional dan atau untuk forum-forum internasional lainnya secara khusus. Robert Baldwin dalam PECC (2000) bahwa kebijakan distorsi perdagangan non tarif adalah setiap ukuran/langkah/tindakan (publik atau swasta) yang menyebabkan perdagangan barang dan jasa internasional, atau sumber daya yang dikhususkan untuk produksi barang dan jasa yang dialokasikan dengan cara mengurangi pendapatan potensial riil dunia. Cakupan NTM dapat terus berkembang menjadi lebih luas seiring dengan pemerintah yang dengan cerdik mengembangkan langkah baru untuk menolong produsen domestiknya dari persaingan dengan pihak asing. NTM mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan pelabelan hingga makro yang mempengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan ini telah tumbuh sebagai pengurangan tarif yang besar dan kadang-kadang dihapuskan melalui banyak perjanjian komprehensif dan perdagangan preferensial, seperti WTO dan sebelumnya, serta perjanjian perdagangan regional (RTAs/Regional Trade Agreements). Di antara NTM, khususnya tindakan SPS (Sanitary dan Phytosanitary) dan hambatan teknis perdagangan (TBTs/Technical Barriers to Trade) telah diproliferasi/dikembangkan.
11 Tindakan ini memiliki banyak kesamaan tindakan standar yang mempengaruhi biaya dan potensi permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar (informasi asimetris), pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013). Istilah NTM meliputi sejumlah tindakan yang bukan tarif, dan definisi dari NTM agak komprehensif dengan daftar yang cukup panjang. Secara umum untuk definisi NTM oleh Von Lampe, OECD, Nicita, UNCTAD, dan Rau, LEI, cukup berbeda antara satu sama lain. Tetapi dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah NTM mengacu pada tindakan dan tidak mengacu pada kondisi yang berlaku yang ada di negara seperti infrastruktur, kualifikasi dan pemerintahan. NTM cenderung dipicu oleh kurangnya sarana transportasi yang efisien dan jalan sebagai contoh yang berkontribusi terhadap kemungkinan NTM membatasi pengaruh perdagangan (Mellado et al. 2010). Sejak tahun 1994, UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan Non Tariff Barriers (NTBs) berdasarkan Coding System of Trade Control Measures (TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan Non Tariff Measures (NTMs) ke dalam 100 sub kategori. Coding system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and Information System (TRAINS). Kemudian kerja sama yang dibangun oleh UNTAD dan World Bank mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS). Melalui klasifikasi dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dapat dibedakan antara inti NTM, seperti tingkat tarif kuota dan pajak ekspor, dan langkah-langkah tradisional lainnya. Berdasarkan kategori klasifikasi utama oleh UNCTAD tersebut fokus utama pada NTM adalah kebijakan perdagangan. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD. Enam kategori utama yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measure; dan technical measures. Kebijakan non tarif pada perdagangan internasional dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan. Perkembangan ini terjadi sesuai dengan kondisi beberapa tahun terakhir. Terjadi perubahan dalam metodologi klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTM. Pada tahun 2006, dibentuk tim yang dinamakan Multi Agency Support Team dalam rangka menyusun dan memperbarui klasifikasi, metode penghitungan, dan pengumpulan data NTM. Non tariff measures (NTM) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Hal yang baru dari klasifikasi NTM ini yaitu dengan adanya penambahan beberapa cabang klasifikasi baru.Secara garis besar, dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures dan Export Measures. Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu technical measures dan non technical measures. Sementara pada export measures hanya satu klasifikasi yaitu export related measures.
12
Sumber: UNCTAD, 2013
Gambar 7 Klasifikasi baru NTM SPS dan TBT Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan. Misalnya untuk menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan lingkungan, dan sebagainya). Tindakan SPS seperti hukum, keputusan, regulasi, kebutuhan, standar dan prosedur untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan. Untuk hambatan teknis perdagangan (TBT) merupakan regulasi/standar yang mengacu pada spesifikasi teknis dari suatu produk dan adanya sistem kesesuaian penilaian. Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya terhadap suatu negara dari entry, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar. Definisi technical barriers to trade (TBT) menurut UNCTAD (2013) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian
13 SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya. Perjanjian SPS dan TBT diperbolehkan untuk diadopsi oleh anggota WTO. Kedua perjanjian ini memuat ketentuan mengenai bantuan teknis dan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) untuk membantu negara berkembang dan negara yang kurang berkembang (developing and least developed countries/DC and LDC) untuk melaksanakan dan memanfaatkan perjanjian ini. Disdier et al. (2007) menyatakan bahwa walaupun adanya dukungan dengan perjanjian SPS dan TBT, negara DC dan LDC menghadapi kesulitan dalam pelaksanannya. Protes yang secara teratur terhadap meningkatnya penggunaan SPS dan TBT oleh negara-negara maju. Penggunaan SPS dan TBT ini dilihat sebagai bentuk proteksionisme yang terselubung. Meningkatnya notifikasi SPS dan TBT dan potensi penggunaannya dalam cara proteksionis yang dapat menjadi sumber sengketa perdagangan antar negara. Sengketa yang banyak terjadi terdapat pada ketentuan SPS dibandingkan dengan ketentuan TBT. Banyaknya sengketa ini menjadi salah satu fokus pada perdagangan untuk segera diselesaikan. Teori Dayasaing Sorensen (1975) menyebutkan secara eksplisit bahwa perdagangan bebas didasarkan atas konsep keunggulan komparatif dan keuntungan yang diperoleh berasal dari spesialisasi atas keunggulan komparatifnya tersebut. Hal senada disampaikan oleh Dunn dan Mutti (2000) yaitu bahwa konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut. Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Menurut Porter (1994) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan kompetitif disamping SDA, yaitu ketersediaan sumber daya manusia, sumber daya pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), sumber daya modal dan sumber daya infrastruktur, keadaan permintaan dan tuntutan mutu, eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional, hubungan dan koordinasi dengan pemasok terutama dalam menjaga dan memelihara value chain, strategi perusahaan, dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan. Faktor-faktor yang bersifat endogen bagi suatu negara adalah dari sisi penawaran yang meliputi sumber daya manusia (SDM), ketersediaan/penguasaan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi di tingkat perusahaan, pendanaan yakni ketersediaan pinjaman dan skim-skim pendanaan ekspor dan impor dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah tetapi juga kualitas dan harga (walaupun untuk faktor satu ini sifat endogennya terbatas), infrastruktur dan logistik dalam kuantitas dan kualitas, pembangunan industri-industri
14 pendukung yang membuat komponen, barang-barang modal dan perantara dan mengolah bahan baku (di dalam model “berlian” mengenai konsep dayasaing ekonomi dari M. Porter, industri pendukung termasuk diantara empat pilar utama dayasaing), enerji dalam kuantitas, kualitas dan harga, ketersediaan informasi, dan kebijakan khusus ekspor.5 Gravity Model Gravity model menampilkan analisis empiris dari pola aliran perdagangan bilateral antara negara-negara yang berada pada daerah-daerah yang berbeda secara geografis. Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan Tinberger pada tahun 1962 untuk menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa. Model ini didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda tersebut dan sebaliknya secara proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Pada gravity model aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel, yaitu: 1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor. 2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor. 3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antara negara pengimpor dan negara pengekspor. Secara umum, Gravity model dapat digambarkan seperti berikut: Xij =A
Y iYj Dij
Dimana: Xij = Ekspor Y = Pendapatan Nasional (GDP); Yi adalah GDP untuk negara i dan Yj untuk negara j Dij = Jarak geografis antara kedua negara Model gravity kemudian dikembangkan dengan mengestimasi menggunakan data panel, dimana model fixed effect dalam penelitiannya tersebut digunakan untuk mengestimasi dampak pembatasan impor terhadap ekspor dengan menambahkan indikator trade policy. Model gravity yang diperluas tersebut dituliskan sebagai berikut: ln Xijt = α + ln + γ ln -δ ln Dij + λ + Dimana: X = Ekspor Y = Pendapatan Nasional (GDP) D = Jarak Ekonomi T = Trade Policy Index i = negara pengekspor j = negara pengimpor t = tahun yang akan menjadi model rujukan untuk penelitian.
5
Ekspor Dan Daya Saing, Policy Paper 2, 2012, Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE) Programme, KADIN Indonesia
15 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian mengenai dayasaing komoditi hortikultura beserta faktorfaktor yang memengaruhi ekspor komoditi holtikultura tersebut sudah banyak dilakukan. Berbagai metode telah digunakan dalam menjawab pertanyaan mengenai bagaimana dayasaing komoditi hortikultura antara sesama negara berkembang dan juga dengan negara maju serta faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi ekspor komoditi hortilultura di pasar internasional. Penelitian Mengenai Dayasaing Bhattacharya (2011) melakukan estimasi untuk mengukur sejauh mana India memiliki keunggulan komparatif dalam sayuran, buah-buahan dan perdagangan bunga di pasar Asia, Uni Eropa dan Amerika Utara (USA & Kanada) dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Untuk mempelajari daaya saing produk India tersebut digunakan dua indeks yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Comparative Export Performance (CEP). Kedua indeks dan regresi hasil menunjukkan bahwa India memiliki keunggulan komparatif mencolok tinggi di pasar sayur dan buah di Uni Eropa tapi ini tidak terjadi di pasar bunga. Penelitian yang dilakukan oleh Murat dan Emin (2009), yang melakukan penelitian menggunakan pendekatan biaya sumber daya domestik untuk dayasaing internasional produk hortikultura Turki. Perbandingan dilakukan dengan menghitung Domestic Resource Cost (DRC), rasio yang mengacu pada perbandingan antara Opportunity costsproduksi dalam negeri dan nilai tambah. Hasilnya, sektor hortikultura Turki memiliki keunggulan kompetitif internasional. Tanaman yang paling kompetitif adalah tomat diikuti oleh melon, semangka dan jeruk untuk tahun 2004. Vildan dan Abdulkadir (2008) mengukur sejauh mana Turki memiliki keunggulan komparatif dalam tomat, minyak zaitun, dan industri jus buah dan bagaimana hal ini telah berubah selama periode 1995-2005 di pasar Uni Eropa dengan mengunakan Revealed Comparative Advantage dan Comparative Export Performance. Selain itu, fungsi permintaan impor dari Uni Eropa diperkirakan untuk negara-negara saingan. Dengan menggunakan analisis regresi kita berhipotesis bahwa jika Turki merupakan pesaing bagi negara-negara ini, harga akan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik pada fungsi permintaan ekspor. Kedua indeks dan regresi hasil menunjukkan bahwa Turki memiliki keunggulan komparatif dalam jus buah dan pasar minyak zaitun di Uni Eropa tapi tidak terjadi di pasar tomat. Jalil (2012) melakukan identifikasi komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Uni Eropa serta tingkat dayasaing dan derajat integrasinya, serta mengetahui aliran perdagangan komoditi unggulan ekpor Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Hasilnya menunjukkan komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Uni Eropa teridentifikasi menjadi sepuluh komoditi dengan ekspor tertinggi, yaitu komoditi produk minyak sawit, karet, kopi, alas kaki serta produk elektronik. Tingkat dayasaing seluruh komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Uni Eropa tergolong tinggi dengan nilai RCA yang lebih dari satu. Tiga komoditi dengan RCA terbesar merupakan primary goods yang dibutuhkan bagi Uni Eropa dalam industrinya. Sementara itu, tingkat integrasi seluruh komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Uni Eropa termasuk ke dalam klasifikasi strong integration yang menunjukkan hubungan perdagangan dua arah antara Indonesia dengan Uni Eropa. Komoditi-komoditi unggulan ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa secara agregat
16 signifikan dipengaruhi oleh ekspor komoditi tersebut pada tahun sebelumnya, GDP riil Indonesia, GDP riil negara tujuan ekspor Indonesia, GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor Indonesia, serta jarak ekonomi memiliki tingkat signifikansi yang berbeda-beda pada setiap komoditinya. Penelitian Mengenai Gravity Model Bhattacharya dan Bhattacharyay (2007) melakukan estimasi untuk mengetahui keuntungan dan kerugian pada impor baik India ataupun China yang disebabkan oleh Free Trade Agreement dengan menggunakan analisa gravity model. Penelitian ini untuk melihat kemungkinan peningkatan perdagangan India-China.Hasil analisa menunjukkan bahwa GDP, GDP per kapita, dan nilai tukar berpengaruh positif sedangkan jarak dan tarif berpengaruh negatif terhadap ekspor India ke China. Selain itu hasil analisis juga menyampaikan bahwa semakin tinggi tingkat tarif awal sebelum FTA, semakin besar efek penghapusan dan pengurangan tarif. Hasil empiris menunjukkan bahwa India akan mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dari China pada saat short run dikarenakan tingkat tarif yang tinggi. Tetapi pada long run India akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari China ketika tingkat tarif sama. Free Trade Agreement dapat menjadi solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua negara. Gul dan Hafiz (2011) meneliti tentang potensi perdagangan Pakistan ke-42 negara dalam periode 1980-2005 dengan menggunakan analisa gravity model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi perdagangan Pakistan tertinggi dengan negaranegara ASEAN, Uni Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin dan Amerika Utara. Sedangkan potensi perdagangan maksimum dicapai Pakistan dengan Jepang, Sri Lanka, Malaysia, Bangladesh, Philipina, New Zealand, Norwegia, Swedia, Italia, dan Denmark. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk hubungan perdagangan dengan Negara tetangga-India (Pakistan dan India anggota of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) and Economic Cooperation Organization (ECO)) dimana mempunyai potensi yang sangat rendah karena faktor hubungan politik dan sosial yang tidak baik antar kedua Negara. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan permasalahan dan tinjauan pustaka, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan positif antara produksi hortikultura pada tahun sebelumnya di negara eksportir dengan volume ekspor produk hortikultura. 2. Harga ekspor komoditi hortikultura berpengaruh positif terhadap volume ekspor produk hortikultura. 3. Jarak antar negara sebagai proxy dari biaya perdagangan antar negara berhubungan negatif dengan arus ekspor. 4. GDP perkapita riil dan populasi negara tujuan ekspor mempunyai hubungan positif dengan volume ekspor komoditi hortikultura. 5. Nilai tukar mata uang negara eksportir mempunyai hubungan positif dengan volume ekspor komoditi hortikultura. 6. Tarif dan jumlah Sanitary and Phytosanitary (SPS) di negara tujuan ekspor mempunyai hubungan negatif dengan volume ekspor komoditi hortikultura.
17 Kerangka Pemikiran Nilai ekspor komoditi hortikultura dunia yang meningkat dari tahun ke tahun memberikan potensi yang besar bagi negara berkembang salah satunya Indonesia untuk menjadi salah satu negara eksportir terbesar. Meskipun rata-rata pertumbuhan ekspor hortikultura negara berkembang menunjukan pergerakan yang positif dan nilainya lebih tinggi dari negara maju, hal ini tidak diikuti oleh shared ekspor hortikultura negara berkembang ke dunia yang nilainya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan shared negara maju. Ini mengindikasikan bahwa pangsa ekspor komoditi hortikultura masih didominasi oleh negara maju. Perkembangan liberasasi perdagangan di dunia khususnya komoditi pertanian yang menjadi bahasan pokok utama dalam perundingan WTO turut menjadi salah satu pemicu meningkatnya biaya produksi (harga meningkat). Kebutuhan konsumsi setiap produk hortikultura umumnya bersifat dinamis (berstubstitusi satu sama lain). Konsekuensinya adalah jika produk hortikultura lokal kalah bersaing dengan produk impor dalam kualitas organoleptik (rasa, penampilan, tekstur, aroma dst.) maka produk hortikultura yang diproduksi secara lokal dapat tergantikan oleh produk impor, dalam hal ini berkaitan erat dengan ketahanan pangan. Selain itu, bertambahnya penduduk dan dengan semakin meningkatnya pendapatan juga turut memicu peningkatan permintaan komoditi hortikultura. Komoditi hortikultura merupakan komoditi komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity), sehingga harus diproduksi secara efisien untuk dapat bersaing di pasar. Dengan semakin meningkatnya permintaaan komoditi hortikultura, fluktuasi harga hortikultura dan masalah ketahanan pangan, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dayasaing enam komoditi hortikultura di pasar internasional. Penelitian ini akan menganalisis keunggulan komparatif dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage dan untuk mengukur tingkat dinamika serta dayasaing beberapa komoditi utama hortikultura berdasarkan performa produk ekspor yang dimilikinya menggunakan Export Product Dinamyc, serta juga akan dianalisis faktorfaktor yang mempengaruhi arus perdagangan (trade flows) komoditi hortikultura di pasar dunia. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan produksi dan perdagangan komoditi hortikultura serta menganalisis datadata yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perumusan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan dayasaing hortikultura khususnya bagi Indonesia. Gambaran lengkap mengenai kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 8.
18
1. Liberalisasi sektor pertanian (WTO) 2. Pangsa pangsa ekspor negara berkembang komoditi hortikultura meningkat 3. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya pendapatan 4. Komoditi hortikultura merupakan komoditi komersial bernilai ekonomi tinggi (high value commodity)
1. Permintaan komoditi hortikultura semakin meningkat 2. Fluktuasi harga komoditi hortikultura dan kebijakan tarif dan non tarif perdagangan 3. Produk hortikultura lokal harus mampu bersaing produk impor 4. Ketahanan pangan
Tujuan Penelitian: 1. Menganalisis daya saing komoditi hortikultura di pasar internasonal. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi hortikultura.
1. Negara Maju 2. Negara Berkembang
Performa Ekspor
Deskripsi: Gambaran umum perdagangan holtikultura dunia
Faktor-faktor Penentu Ekspor Hortikultura
Komoditi Unggulan Hortikultura - Daya Saing Produk (RCA) - Pertumbuhan Pangsa Ekspor (EPD)
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Gambar 8 Kerangka pemikiran operasional
Panel Data (Model Gravity)
19
3 METODE Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain FAO, WDI, WTO, UN Comtrade, dan CEPII. Komoditi holtikultura yang dianalisis dayasaingnya yaitu potatoes, fresh or chilled nes (HS. 070190); cabbages (HS. 070490); bananas, including plantains, fresh or dried (HS. 080300); pineapples, fresh or dried (HS. 080430); guavas, mangoes and mangosteens, fresh or dried (HS. 080450); dan ginger (HS. 091010). Estimasi analisis regresi model gravity menggunakan data panel tahunan periode 2004-2013 terdiri dari 3 negara maju yaitu Portugal, Amerika Serikat dan Australia serta 3 negara berkembang yaitu China, India, dan Indonesia dengan jumlah negara tujuan ekspor 5 sampai dengan 20 negara. Pemilihan 6 (enam) negara ini didasarkan karena keenam negara ini merupakan produsen dan eksportir utama komoditi hortikultura di pasar dunia dan masing-masing tiga negara mewakilili negara maju dan negara berkembang. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 8
Jenis Data Ekspor dan Impor Produksi Harga Ekspor Komoditi Hortikultura GDP, GDP riil, GDP per kapita Populasi Jarak ekonomi antar negara Tarif Sanitary and Phytosanitary (SPS) Nilai Tukar Mata Uang (Exchange Rate)
Satuan
US$
Sumber Trade Map, UN Comtrade FAO Trade Map, UN Comtrade Worldbank, WDI
Jiwa Km/ US$
WDI CEPII, WDI
Persen Unit
WTO WTO
Mata uang negara pengekspor/US$
WDI
Kg Ton US$/Kg
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan nilai ekspor hortikultura di pasar internasional serta menganalisis datadata yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif yang digunakan menganalisis keunggulan komparatif komoditi hortikultura negara berkembang dan negara maju serta antar sesama negara berkembang adalah menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA), sedangkan metode Export Product Dynamic (EPD) digunakan untuk mengetahui posisi dayasaing berdasarkan performa ekspor hortikultura. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara bertahap, tahap pertama yaitu pengelompokan data, tahap kedua yaitu pengolahan data dalam RCA, EPD dan model gravity.
20 Revealed Comparatif Advantage (RCA) RCA pertama kali diperkenalkan oleh Bela Ballasa pada tahun 1989 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia (Yuliati, 2010). Indeks RCA atau biasa dikenal sebagai indeks Balassa adalah indikator yang dapat menggambarkan keunggulan komparatif atau tingkat dayasaing industri dan perdagangan suatu negara di pasar global. Kinerja ekspor produk dari suatu negara diukur dengan menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia. Secara matematis, nilai RCA dapat dirumuskan sebagai berikut: RCA =
Xij/Xj Xiw/Xw
Dimana, Xij = nilai ekspor negara j untuk komoditi i ke dunia (US$) Xj = nilai total ekspor negara j ke dunia (US$) Xiw = nilai ekspor dunia untuk komoditi i (US$) Xw = nilai total ekspor dunia (US$) i = jenis komoditi hortikultura j = nama negara eksportir komoditi hortikultura w = dunia Jika nilai RCA lebih dari satu (RCA>1) berarti negara itu mempunyai keunggulan komparatif (di atas rata-rata pasar tersebut) dalam komoditi tersebut sehingga komoditi tersebut memiliki dayasaing yang kuat. Dan jika nilai RCA kurang dari satu (RCA<1) berarti keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut rendah (di bawah rata-rata pasar tersebut) sehingga komoditi tersebut berdayasaing lemah (Tambunan, 2001). Export Product Dynamic (EPD) Export Product Dynamics (EPD) merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat dayasaing. Indikator ini mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Selain itu dengan menggunakan EPD, dinamis atau tidaknya performa suatu produk dapat diketahui. Sebuah matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu (sumbu y), sementara itu informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu (sumbu x). Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi sebagai Rising Star, ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produkproduk yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan pangsa pasar pada produk yang dinamis. Kondisi ini paling tidak diinginkan karena hal ini berarti kita kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di pasar dunia. Kondisi Falling Star juga tidak diinginkan walaupun tidak seperti kondisi Lost Opportunity, karena pangsa pasarnya meningkat meskipun bukan pada produk
21 yang dinamis di pasar dunia. Sementara itu, Retreat berarti produk tersebut tidak diinginkan lagi di pasar. Namun bisa diinginkan kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gumilar, 2010). Pada Gambar 9 menunjukkan posisi dayasaing ekspor masing-masing komoditi, di mana komoditi yang diestimasi posisi dayasaingnya akan menempati salah satu dari empat kuadran.
Catatan:
Sumbu x menggambarkan peningkatan pangsa pasar ekspor negara tersebut di perdagangan dunia. Sumbu y menggambarkan peningkatan pangsa pasar produk tersebut di perdagangan dunia.
Gambar 9 Daya tarik pasar dan kekuatan bisnis pada EPD Mengacu pada penelitian Tarman et al (2011), berikut merupakan rumus untuk menghitung posisi pasar dan produk: Sumbu x: Pertumbuhan pangsa pasar ekspor suatu negara
Sumbu y: Pertumbuhan pangsa pasar produk n
Dimana, Xij = nilai ekspor komoditi i dari negara j ke dunia (US$) Xj = nilai total ekspor negara j ke dunia (US$) Xiw = nilai ekspor dunia untuk komoditi i (US$) Xw = nilai total ekspor dunia (US$) T = Jumlah tahun analisis yang dipergunakan t = tahun ke-t n = jenis produk
22 Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opppotunity”, dan “Retreat”. Gravity Model Metode yang digunakan untuk menganalisis tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah Gravity Model dimana model ini telah secara luas digunakan untuk mengukur potensi perdagangan dan dampak dari penerapan suatu kebijakan perdagangan. Pada dasarnya, model ini dapat merepresentasikan kekuatan permintaan dan penawaran. Formula standar gravity model secara spesifik menerangkan aliran perdagangan antara Negara h dan d berdasarkan tiga faktor. Pertama, model telah mencakup indikasi potensi penawaran dari negara eksportir (h). Kedua, model dapat mengakomodasi potensi permintaan dari negara importir (d), dan poin ketiga mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan hambatan aliran perdagangan. Berdasarkan penelitian Dahar (2014) secara empiris mengkonfirmasi bahwa pendapatan perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, dan jarak ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perdagangan ekspor hortikultura Indonesia. SPS dan TBT baik dengan menggunakan pendekatan coverage ratio maupun frequency index berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3. Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini, spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian mengacu pada gravity model yang digunakan oleh Bhattacharya KS. dan Bhattacharyay BN (2007) yang telah dimodifikasi sebagai berikut: Ln EKS
= β + β ln R_GDPC + β ln P_EKS + β ln POP + β ln PROD_T_1 + β TRF + β ln Ecodist + β ln SPS + ε
+ β ln R_EXR
Dimana: EKS
:
R_GDPCdt P_EKS
: :
POPdt PROD_T_1 TRF
: : :
Ecodisthdt
:
R_EXR
:
SPS
:
β0 β1,β2,β3,β4, β5, β6, β7, β8 εhdt
: :
Volume ekspor komoditi hortikultura dari negara eksportir (h) ke negara importir (d) pada tahun t (Kg) GDP riil perkapita negara importir pada tahun t (US$) Harga ekspor komoditi hortikultura di negara eksportir pada tahun t (US$/Kg) Populasi negara importir pada tahun t (Jiwa) Produksi komoditi hortikultura pada tahun sebelumnya (Ton) Tarif ad valorem komoditi hortikultura di negara importir pada tahun t (%) Jarak Ekonomi antar negara eksportir dan importir pada tahun t (dalam satuan km yang telah dibobot dengan share GDP masingmasing negara partner) Nilai tukar riil mata uang negara eksportir terhadap dolar Amerika pada tahun t (LCU/US$) Jumlah Sanitary and Phytosanitary (SPS) komoditi hortikultura yang diterapkan di negara importir pada tahun t (Unit) Konstanta/Intersep Parameter yang diestimasi
:
Error term
23 h d t
: : :
Negara asal ekspor (home) Negara tujuan ekspor (destination) Tahun yang akan menjadi model rujukan untuk penelitian
Berdasarkan perilaku masing – masing variabel penjelas dalam persamaan di atas, maka tanda yang diharapkan dari koefisien masing – masing variabel penjelas tersebut disajikan pada tabel berikut: Tabel 2 Variabel dan ekspektasi tanda persamaan Variabel Independent Ekspektasi PROD_T_1 + P_EKS + POP + R_GDPC + ECODIST R_EXR + TRF SPS Pemilihan Model Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yakni kombinasi antara data cross section yang sama diobservasi menurut waktu atau time series (Gujarati 2004). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) lebih baik dalam studi dynamics of adjustment; (iv) lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh data cross section atau time series murni; dan (v) dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni (Baltagi 2005). Teknik Common Effect merupakan teknik yang paling sederhana untuk mengestimasi parameter model data panel, yaitu dengan mengkombinasikan data cross section dan time series sebagai satu kesatuan tanpa melihat adanya perbedaan waktu dan entitas (individu). Dimana pendekatan yang sering dipakai adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Model Common Effect mengabaikan adanya perbedaan dimensi individu maupun waktu atau dengan kata lain perilaku data antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Menurut Gujarati (2004), model regresi linear yang baik harus memenuhi asumsi model linear klasik yang artinya model terbebas dari masalah multikolineritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas serta didasarkan pada asumsi bahwa faktor kesalahan menyebar secara normal. Pada pengolahan data panel dalam penelitian ini, terindikasi terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastis dan autokorelasi. Meskipun terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa dalam model data panel tidak harus dilakukan pengujian asumsi model linear klasik, namun pada pengolahan data ini sengaja dilakukan pembobotan untuk mengantisipasi pelanggaran asumsi yang terjadi. Pembobotan General Least Square (GLS) yang dilakukan adalah cross section weighted
24 dan seemingly unrelated regression. Pembobotan cross section weight dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross section. Sementara itu pembobotan seemingly unrelated regression (SUR) adalah salah satu jenis pembobotan yang dapat mengatasi masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi antara individu dalam data panel (Timm, 2002). Analisis panel yang digunakan dalam penelitian ini bersifat statis karena peubah lag dependen tidak dimasukkan dalam komponen peubah independen. Analisis panel statis dibedakan menjadi dua pendekatan berdasarkan pada asumsi atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regresor), yaitu Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Hausman Test Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih apakah model Fixed Effect atau Random Effect yang paling tepat digunakan. Pengujian uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut: H0 : E(I xit ) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(I xit ) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (β
−β
), (M
−M
) (β
−β
)−
dan
( )
di mana: M adalah matriks kovarians untuk parameter β adalah degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari 2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. (Firdaus, 2011)
Definisi Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain: 1. Volume ekspor ( ) merupakan volume ekspor komoditi hortikultura dari negara eksportir (h) ke negara importir (d) dalam satu tahun yang diukur dalam satuan kilogram. 2. GDP perkapita riil (R_GDPCdt) yaitu jumlah pendapatan dari penduduk suatu negara tujuan ekspor pada suatu periode tertentu t yang dinyatakan dalam US$ (tahun dasar 2005). 3. Populasi (POPdt) merupakan jumlah penduduk negara tujuan ekspor pada tahun ke t dan dinyatakan dalam jiwa. 4. Harga ekspor ( _ ) merupakan harga ekspor komoditi hortikultura di negara eksportir pada tahun ke-t yang dinyatakan dalam US$/kilogram.
25 5. Produksi tahun sebelumnya ( _ _ ) merupakan volume produksi komoditi hortikultura pada tahun sebelumnya dan dinyatakan dalam ton. Variabel ini menangkap sisi penawaran komoditi hortikultura dunia. 6. Jarak ekonomi ( ) merupakan pengukuran jarak antar ibukota (pusat ekonomi) antara negara eksportir dan negara j pada tahun ke-t. Jarak geografis digunakan sebagai proksi untuk biaya transportasi dan komunikasi, serta waktu pengiriman yang dibutuhkan oleh suatu negara dalam melakukan ekspor dan impor. Penghitungan jarak ekonomi adalah sebagai berikut: Jarak
= Jarak geogra is
X GDP ⁄GDP
7. Nilai tukar riil ( _ ) merupakan nilai tukar riil mata uang negara eksportir (LCU) terhadap dolar Amerika pada tahun ke-t. R_EXR
Indeks harga konsumen USA = Nilai tukar nominal LCU US $ x Indeks harga konsumen negara eksportir
8. Tarif (
) yaitu menyatakan ad valorem tariff terhadap komoditi hortikultura yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor pada tahun ke-t dan dinyatakan dalam persen. Tarif ini bertindak sebagai hambatan perdagangan terhadap ekspor produk hortikultura Indonesia. 9. Sanitary and Phytosanitary ( ) merupakan jumlah SPS yang diterapkan di negara tujuan ekspor pada tahun t.
4 GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA Deskripsi Ekspor Komoditi Hortikultura Pertanian merupakan salah satu jenis lapangan usaha yang menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar bagi perekonomian suatu negara khususnya negara berkembang. Data Bank Dunia (WDI) menunjukkan bahwa total PDB nominal dunia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, akan tetapi kontribusi PDB dari sektor pertanian terhadap PDB dunia antara tahun 2007 sampai dengan 2013 mengalami tingkatan stabil berada pada kisaran 3 persen. Berdasarkan penggolongan area kawasan, maka Afrika merupakan penyumbang kontribusi pertanian paling besar yaitu rata-rata selama tujuh tahun sebesar 15,6 persen. Sedangkan untuk kategori berdasarkan pendapatan maka negara dengan pendapatan rendah (low income) menyumbang kontribusi terbesar yaitu rata-rata pertahun sebesar 33,3 persen. Indonesia yang merupakan salah satu negara agraris, selama tahun 2007-2013 memiliki rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional adalah sebesar 14,1 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand (11,9 persen) dan China (9,8 persen) namun lebih rendah jika dibandingkan dengan India (18,1 persen).
26 Tabel 3 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nominal tahun 2007-2013 (%) Country Name
2007
East Asia & Pacific Euro area Latin America & Caribbean Sub-Saharan Africa High income Middle income Low income World Sumber: FAO, 2015
2008
2009
2010
2011
2012
2013
4,27 1,74
4,29 1,66
4,22 1,52
4,16 1,64
4,16 1,68
4,10 1,72
4,04 1,75
5,15 16,35 1,48
5,10 16,74 1,48
5,15 17,51 1,40
5,08 15,03 1,48
5,07 14,67 1,56
5,06 14,68 1,53
5,12 14,16 1,58
10,33 32,32 3,09
10,32 33,32 3,05
10,38 33,60 2,99
10,12 33,66 3,00
10,17 33,39 3,12
10,03 34,09 3,06
10,02 32,70 3,08
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang terdiri sayursayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka (tanaman obat), dan florikultura (tanaman hias) menjadi salah satu komoditi subjek perdagangan internasional. Karena tingkat konsumsinya yang tinggi, maka setiap negara berlomba-lomba untuk memproduksi komoditi hortikultura, baik untuk memenuhi kebutuhan/konsumsi domestik maupun untuk diperdagangkan di pasar internasional guna mendatangkan devisa bagi negara mereka. Pada Tabel 4 dapat dilihat sepuluh negara produsen enam komoditi hortikultura terbesar di pasar dunia. Pada Tabel 4 ini, China dan India merupakan produsen terbesar lima komoditi hortikultura dunia (kecuali nanas), yaitu kentang, kubis, pisang, nanas, jambu mangga manggis dan jahe. Untuk Indonesia, negara ini masih masuk dalam 10 (sepuluh) produsen hortikultura buah-buahan dan biofarmaka yaitu pisang, nanas, jambu mangga manggis, dan jahe. Tabel 4 Negara produsen terbesar 6 (enam) komoditi hortikultura di pasar dunia tahun 2007-2013 No
Kentang
Kubis
Pisang
Nanas
Jambu, Mangga, Manggis
Jahe
1
China
China
India
Costa Rica
India
India
2
India
India
China
Brazil
China
China
3
Rusia
Rusia
Philippines
Philippines
Thailand
Nepal
4
Ukraine
Republic of Korea
Brazil
Thailand
Indonesia
Indonesia
5
Amerika Serikat
Japan
Ecuador
Indonesia
Mexico
Nigeria
6
Jerman
Ukraine
Indonesia
China
Pakistan
Thailand
7
Bangladesh
Indonesia
Guatemala
India
Brazil
Bangladesh
8
France
Amerika Serikat
Angola
Nigeria
Bangladesh
Japan
9
Belanda
Romania
Tanzania
Mexico
Nigeria
Cameroon
Angola
Burundi
Colombia
Egypt
Philippines
10 Polandia Sumber: FAO, 2015
27 Neraca perdagangan pada komoditi hortikultura secara agregat dari tahun 2009 sampai dengan 2013 masih menunjukkan tren defisit neraca perdagangan negara maju yang relatif besar. Berdasarkan data UN Comtrade, neraca perdagangan hortikultura negara berkembang bernilai positif dan untuk negara maju bernilai negatif. Artinya, nilai ekspor komoditi hortikultura di negara maju mempunyai nilai lebih kecil dibandingkan nilai impornya. Neraca perdagangan komoditi tersebut jika dilihat pada Gambar 7, dari tahun 2008 sampai dengan 2013, nilai surplus negara berkembang semakin membesar yaitu dari surplus US $ 303 ribu pada tahun 2009 menjadi surplus US $ 598 ribu pada tahun 2013. Tabel 5 Perkembangan neraca perdagangan hortikultura dunia tahun 2009-2014 (ribu US $) Neraca Perdagangan
2009 Negara Maju -601.976 303.373 Negara Berkembang Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
2010 -647.659 483.992
Tahun 2011 2012 -824.410 -783.697 601.533 592.695
2013 -547.554 575.081
2014 -634.233 598.372
Berdasarkan pengelompokan berdasarkan kode HS, secara agregat komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman hias (HS 06), sayur-sayuran (HS 07), buahbuahan (HS 08) dan biofarmaka (HS 0910) mengalami kenaikan dalam hal nilai ekspornya. Komoditi hortikultura yang memiliki rata-rata nilai ekspor terbesar adalah buah-buahan yang mencapai US$ 55,24 juta pada periode 2005 – 2009, meningkat menjadi US$ 71,16 juta selama periode 2010 – 2014. Produk lainnya (tanaman hias, sayuran dan biofarmaka) memberikan kontribusi sebesar 53 persen terhadap ekspor hortikultura dunia pada periode 2009 – 2014. Tahun 2010 – 2014
Tahun 2005 – 2009 Biofarma ka 1,12%
Biofarma ka 1,37%
Tanaman Hias 13,93%
Buahbuahan 46,09%
Tanaman Hias 12,55%
Buahbuahan 47,07% Sayursayuran 39,01%
Sayursayuran 38,85%
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar
10
Komposisi rata-rata tahun 2005-2014
nilai
ekspor
komoditi
hortikultura
dunia
Perbandingan produksi dan perdagangan hortikultura dunia berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Gambar 8. Selama periode tahun 2007-2013, rata-rata volume produksi terbesar dunia adalah kentang dengan Asia merupakan penyumbang terbesar yaitu rata-rata produksi per tahunnya adalah sebesar 160 juta ton. Untuk komoditi jambu mangga manggis dan jahe, kawasan Eropa bukan merupakan produsen, namun kawasan ini masih tetap dapat menjadi eksportir. Jika dilihat dari kontribusi
28 volume ekspor terhadap volume produksi dunia, maka secara rata-rata kontribusi ekspor jahe merupakan yang terbesar yaitu 21,9 persen. Namun jika dilihat per kawasan, secara rata-rata kontribusi volume ekspor terhadap produksi terbesar adalah nanas di kawasan Eropa yaitu 17.198,9 persen (volume ekspor lebih besar dari volume produksinya). Hal ini menunjukkan bahwa ekspor pada kawasan ini sangat tergantung pada impornya (neraca perdagangan defisit). Tabel 6 Rata-rata volume produksi, ekspor, dan impor 6 (enam) komoditi hortikultura dunia tahun 2007-2013 (ton) Kawasan HS. 070190 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%) HS. 070490 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%) HS. 080300 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%) HS. 080430 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%) HS. 080450 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%) HS. 091010 Produksi Ekspor Impor Share Ekspor thd Produksi (%)
Afrika
Amerika
Asia
Eropa
25.021.153 492.920 1.457.788
41.462.557 884.428 899.546
160.238.521 1.727.271 1.305.508
120.682.340 6.512.386 7.313.230
1.782.384 55.900 25.837
349.186.956 9.709.975 11.065.192
1,97
2,13
1,08
5,40
3,14
2,78
3.369.206 6.041 8.366
2.282.859 353.390 418.664
50.366.184 612.283 839.424
11.482.491 647.180 802.875
121.702 1.673 936
67.622.442 1.654.196 2.071.925
0,18
15,48
1,22
5,64
1,37
2,45
15.699.736 578.858 680.374
26.960.699 13.231.939 5.534.721
57.373.594 2.719.543 3.352.704
396.317 2.522.613 8.872.106
1.381.120 108 86.278
101.811.466 19.148.845 18.734.530
3,69
49,08
4,74
636,51
0,01
18,81
3.523.081 93.147 6.158
7.850.179 2.005.755 928.556
10.276.842 339.773 346.767
3.209 551.890 1.404.270
153.820 98 7.957
21.807.130 2.991.854 2.698.673
2,64
25,55
3,31
17.198,94
0,06
13,72
4.436.543 89.255 18.502
4.695.972 625.394 398.252
28.837.736 664.973 484.735
141.515 363.129
49.262 4.149 3.544
38.019.513 1.534.632 1.277.865
2,01
13,32
2,31
-
8,42
4,04
235.753 27.474 13.125
6.979 7.856 38.653
1.615.286 550.487 246.645
14.550 45.139
2.636 936 1.559
1.860.654 408.384 341.391
11,65
112,57
34,08
-
35,50
21,95
Sumber: FAO dan UN Comtrade, 2015 (diolah)
Oceania
Dunia
29
Ton/US$
Perkembangan harga ekspor enam komoditi hortikultura tahum 2007 – 2014 menunjukkan fluktuasi yang cukup beragam (Gambar 11). Peningkatan cukup signifikan ditunjukkan oleh jahe dengan rata-rata pertumbuhannya sebesar 62 persen dan berada pada kisaran harga rata-rata sebesar US $ 892/ton. Demikian halnya jambu mangga dan manggis menunjukkan tren peningkatan. Sementara itu. beberapa komoditi seperti kentang, kubis, pisang, dan nanas mengindikasikan tingkatan stabil dalam periode yang sama. 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 0 2007 Kentang
2008 Kubis
2009 Pisang
2010 Nanas
2011
2012
2013
Jambu, Mangga, Manggis
2014 Jahe
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Gambar 11 Perkembangan harga 6 (enam) komoditi hortikultura dunia tahun 2007-2014
Identifikasi Dayasaing Komoditi Hortikultura Produksi dan perdagangan komoditi pertanian memainkan peran ekonomi utama di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. karena sebagian besar masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian. Komoditi hortikultura yang bernilai tinggi telah diindikasikan sebagai sektor yang dapat memberikan peluang nyata untuk meningkatkan pendapatan pertanian dan mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Menurut Bank Dunia. komoditi yang bernilai tinggi memberikan kesempatan bagi petani di negara berkembang untuk bersaing dalam pangsa pasar ekspor yang menguntungkan ini. Keunggulan komparatif merupakan salah satu faktor penentu dayasaing suatu komoditi di pasar tujuan ekspor. Analisis keunggulan komparatif digunakan karena nilai ekspor yang tinggi bukan merupakan suatu acuan utama apakah suatu komoditi memiliki performa yang baik di pasar tujuan. Untuk memperkuat argumen tingkat kinerja ekspor komoditi hortikultura. penelitian ini menggunakan analisis pendekatan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) dan nilai Export Product Dynamic (EPD) sebagai pengukur dayasaing ekspor komoditi hortikultura negara eksportir di pasar dunia. Nilai EPD mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Selain itu dengan menggunakan EPD. dinamis
30 dan kompetitif atau tidaknya performa suatu produk dapat diketahui. Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi sebagai Rising Star. ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produk-produk yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan pangsa pasar pada produk yang dinamis. Kondisi ini paling tidak diinginkan karena hal ini berarti kita kehilangan kesempatan pangsa ekspor untuk komoditi yang dinamis di pasar dunia. Kondisi Falling Star juga tidak diinginkan walaupun tidak seperti kondisi Lost Opportunity. karena pangsa pasarnya meningkat meskipun bukan pada produk yang dinamis di pasar dunia. Sementara itu. Retreat berarti produk tersebut tidak diinginkan lagi di pasar. Namun bisa diinginkan kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis. Komoditi hortikultura yang dianalisis dayasaingnya yaitu kentang, kubis, pisang, nanas, jambu mangga manggis, dan jahe. Dayasaing Kentang Kentang merupakan sumber karbohidrat sebagian besar negara di dunia khususnya di negara maju. Rata-rata total produksi kentang dunia tahun 2007-2013 sebesar 349 juta ton per tahun, di mana penyumbang produksi terbesar dunia adalah kawasan Asia sebesar 160 juta ton atau sebesar 45,89 persen dari total produksi dunia. Namun jika dilihat dari share ekspor terhadap produksi, maka kawasan Eropa merupakan kawasan dengan rata-rata share ekspor terbesar yaitu 67,07 persen ekspor dunia atau rata-rata share ekspor terhadap produksi selama tujuh tahun sebesar 5,4 persen (tertinggi di pasar dunia). Berdasarkan hasil perhitungan nilai RCA 124 negara eksportir kentang (HS. 070190) di pasar dunia tahun 2004-2013, maka terdapat 41 negara yang memiliki dayasaing yang kuat (nilai RCA > 1) dan 83 negara yang memiliki dayasaing yang lemah. Dari 41 negara dengan dayasaing kuat, 26 negara merupakan negara berkembang dan 15 negara merupakan negara maju. Hasil perhitungan kombinasi RCA dan EPD menunjukkan 13 negara mempunyai dayasaing ekspor kentang yang kuat dan berada pada posisi falling stars di pasar dunia, terdiri dari 8 negara berkembang dan 5 negara maju; 28 negara mempunyai dayasaing ekspor yang kuat dan berada pada posisi retreat, terdiri dari 10 negara maju dan 18 negara berkembang; 34 negara mempunyai dayasaing ekspor kentang yang lemah dan berada pada posisi falling stars, terdiri dari 5 negara maju dan 29 negara berkembang; serta 49 negara mempunyai dayasaing ekspor yang lemah dan berada pada posisi retreat, terdiri dari 15 negara maju dan 34 negara berkembang. Selama periode 2004 – 2013, Indonesia merupakan negara eksportir kentang dengan daya saing ekspor kentang lemah (nilai rata-rata RCA 0,121) dan berada pada posisi falling stars, hal ini berarti ekspor kentang Indonesia mengalami peningkatan di pasar dunia dengan permintaan kentang dunia yang stagnan atau menurun. Sedangkan dalam persaingannya dengan sesama negara berkembang, dayasaing ekspor kentang Indonesia menghasilkan nilai yang lebih tinggi (nilai rata-rata RCA 0,256). Untuk perhitungan EPD, ekspor kubis Indonesia masih tetap berada pada posisi falling stars. Namun jika dibandingkan dengan empat negara eksportir kentang di kawasan ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand maka dayasaing ekspor kentang Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan keempat negara tersebut dengan nilai ratarata RCA ekspor kentang secara berturut-turut sebesar 0,04; 0,056; 0,096; dan 0,014. Selama periode 2004 – 2013, di kawasan ASEAN hanya negara Laos yang memiliki dayasaing ekspor kentang kuat yaitu nilai rata-rata RCA nya sebesar 2,056.
31 Tabel 7 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kentang dunia tahun 2004-2013 Kentang Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Falling Stars Retreat RCA & EPD Kuat Falling Stars Kuat Retreat Lemah Falling Stars Lemah Retreat
Dunia
%
124
Antar Negara Berkembang
%
89
41 83
33,06 66,94
27 62
30,34 69,66
47 77
37,90 62,10
37 52
41,57 58,43
13 28 34 49
10,48 22,58 27,42 39,52
8 19 29 33
8,99 21,35 32,58 37,08
Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan EPD ekspor komoditi kentang dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 27 negara dengan dayasaing ekspor yang kuat (8 negara posisi falling stars dan 19 negara posisi retreat) serta 62 negara berkembang dengan dayasaing ekspor kentang yang lemah (29 negara posisi falling stars dan 33 negara posisi retreat). Dayasaing Kubis Kubis merupakan salah satu sayuran yang potensial untuk dikembangkan dalam perdagangan internasional. Rata-rata ekspor kubis dunia sebesar 1,65 juta ton per tahun atau hanya sekitar 2,45 persen dari rata-rata total produksi kubis dunia. Selama tahun 2004-2013, terdapat 93 eksportir negara berkembang dan 34 eksportir negara maju di pasar dunia. Berdasarkan hasil perhitungan RCA, terdapat 33 negara berdaya saing ekspor kubis kuat (5 negara maju dan 28 negara berkembang) serta 94 negara berdaya saing lemah (29 negara maju dan 65 negara berkembang). Hasil perhitungan EPD menunjukkan bahwa pangsa pasar komoditi kubis dunia berada pada pertumbuhan yang tidak dinamis. Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan EPD, terdapat lima negara maju yang memiliki nilai rata-rata RCA lebih dari satu (RCA > 1) di pasar dunia dengan satu negara maju yaitu Spanyol pada posisi falling stars dan empat negara maju berada pada posisi retreat yaitu Lhituania, Belanda, Polandia, dan Portugal. Sedangkan dari 93 eksportir negara berkembang, terdapat 28 negara berkembang yang memiliki nilai ratarata RCA lebih dari satu di pasar dunia terdiri dari 11 negara berkembang pada posisi falling stars dan 17 negara berkembang berada pada posisi retreat. Untuk perhitungan RCA dan EPD kubis dengan posisi dayasaing yang lemah (RCA < 1), terdiri dari 29 negara maju dengan 10 negara maju berada pada posisi falling stars dan 19 negara maju berada pada posisi retreat, serta 65 negara berkembang dengan 30 negara berkembang berada pada posisi falling stars dan 35 negara berkembang berada pada posisi retreat. Untuk kinerja ekspor komoditi kubis dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 44 negara dengan dayasaing ekspor yang kuat (19 negara posisi falling stars dan 25 negara posisi retreat) serta 49 negara berkembang dengan dayasaing ekspor kubis yang lemah (22 negara posisi falling stars dan 27 negara posisi retreat).
32 Tabel 8 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kubis dunia tahun 2004-2013 Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Falling Stars Retreat RCA & EPD Kuat Falling Stars Kuat Retreat Lemah Falling Stars Lemah Retreat
Kubis Dunia
%
127
Antar Negara Berkembang 93
%
33 94
25,98 74,02
44 49
47,31 52,69
52 75
40,94 59,06
41 52
44,09 55,91
12 21 40 54
9,45 16,54 31,50 42,52
19 25 22 27
20,43 26,88 23,66 29,03
Kinerja ekspor kubis Indonesia pada periode 2004 – 2013 menunjukkan hasil yang kurang bagus, dayasaing ekspor kubis lemah dan berada pada posisi falling stars di pasar dunia baik dalam persaingan antar negara maju dan negara berkembang (nilai rata-rata RCA 0,157) serta dalam persaingan antar negara berkembang (nilai rata-rata RCA 0,775). Namun jika dilihat perbandingan selama lima tahunan, maka dalam persaingan antar negara berkembang nilai rata-rata RCA ekspor kubis Indonesia mengalami penurunan yaitu dengan nilai rata-rata RCA periode 2004 – 2008 sebesar 1,203 menjadi sebesar 0,348 pada periode 2009 – 2013. Selama periode 2004 – 2013, di kawasan ASEAN hanya negara Laos yang memiliki dayasaing ekspor kubis kuat yaitu nilai rata-rata RCA nya sebesar 6,627. Namun ekspor kubis negara Laos berada pada posisi retreat, artinya ekspor kubis Laos mengalami penurunan atau mulai ditinggalkan di saat permintaan komoditi kubis dunia stagnan/menurun. Dayasaing Pisang Jumah negara eksportir pisang adalah 127 negara terbagi menjadi 93 negara berkembang dan 34 negara maju. Pisang merupakan buah-buahan yang potensial bagi perdagangan di dunia khusunya di kawasan Amerika. Selama tahun 2007-2013, ratarata volume ekspor pisang terbesar di dunia adalah berada di kawasan Amerika yaitu sekitar 13,231 juta ton per tahun dengan share ekspor terhadap produksi sebesar 49,08 persen per tahun. Jika dilihat dari hasil perhitungan RCA ekspor komoditi pisang antar negara di pasar dunia, maka hanya sekitar 20,5 persen yang mempunyai nilai rata-rata RCA lebih dari satu atau sekitar 26 negara, yaitu 22 negara berkembang dan 4 negara maju. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 44 negara berkembang yang memiliki nilai rata-rata RCA lebih dari satu dan sisanya 49 negara mempunyai sayasaing ekspor pisang yang lemah. Berdasrkan perhitungan EPD, terdapat 69 negara (54,3 persen) yang mempunyai posisi rising stars dan 58 negara berada pada posisi lost opportunity dalam persaingan antar negara di pasar dunia. Sedangkan dalam persaingan antar sesame negara berkembang di pasar dunia, terdapat 41 negara berkembang berada pada posisi rising stars dan 52 negara berada pada posisi lost opportunity. Untuk kombinasi perhitungan RCA dan EPD, maka hanya ada sekitar 15 persen atau 19 negara eksportir di dunia yang mepunyai dayasaing kuat dan berada
33 pada posisi rising stars, di mana 89 persen merupakan negara berkembang atau sebanyak 17 negara berkembang dan hanya dua negara maju. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 19 negara berkembang dengan posisi rising stars dan mempunyai dayasaing yang kuat. Tabel 9 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD pisang dunia tahun 2004-2013 Pisang Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Rising Stars Lost Opportunity RCA & EPD Kuat Rising Stars Kuat Lost Opportunity Lemah Rising Stars Lemah Lost Opportunity
Dunia
%
127
Antar Negara Berkembang
%
93
26 101
20,47 79,53
44 49
47,31 52,69
69 58
54,33 45,67
41 52
44,09 55,91
19 8 50 50
14,96 6,30 39,37 39,37
19 25 22 27
20,43 26,88 23,66 29,03
Selama periode 2004 – 2013, ekspor pisang Indonesia mempunyai dayasaing lemah dan berada pada posisi lost opportunity di pasar dunia baik dalam persaingan antar negara maju dan negara berkembang (nilai rata-rata RCA 0,015) serta dalam persaingan antar sesama negara berkembang (nilai rata-rata RCA 0,054). Hal ini berarti dalam kondisi dayasaing komoditi pisang Indonesia yang lemah, ekspor pisang Indonesia mengalami penurunan/mulai ditinggalkan pada saat permintaan dunia mengalami peningkatan (pasar dunia dinamis). Selama periode 2004 – 2013, Indonesia harus bersaing dengan 6 negara eksportir pisang di kawasan ASEAN, 4 negara mempunyai dayasaing ekspor pisang lemah dan posisinya rising stars yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam serta 2 negara mempunyai dayasaing ekspor pisang kuat dan posisinya lost opportunity yaitu Laos dan Philipina. Dayasaing Nanas Nanas merupakan komoditi ekspor hortikultura unggulan di negara berkembang. Sepuluh negara produsen nanas terbesar dunia merupakan negara berkembang, lima negara di kawasan Asia (Philippines, Thailand, Indonesia, China, dan India) dan empat negara di kawasan Amerika (Costa Rica, Brazil, Mexico, dan Colombia) serta satu negara yaitu Nigeria berada di kawasan Afrika. Berdasarkan hasil perhitungan nilai RCA 108 negara eksportir nanas di pasar dunia untuk komoditi nanas (HS. 080430) tahun 2004-2013, maka terdapat 21 negara yang memiliki dayasaing yang kuat (nilai RCA > 1) dan 87 negara yang memiliki dayasaing yang lemah. Dari 21 negara dengan dayasaing kuat, 17 negara merupakan negara berkembang dan 4 negara merupakan negara maju. Hasil perhitungan kombinasi RCA dan EPD menunjukkan 13 negara mempunyai dayasaing ekspor nanas yang kuat dan berada pada posisi rising stars di pasar dunia, terdiri dari 12 negara berkembang dan hanya satu negara maju; 8 negara mempunyai dayasaing ekspor yang kuat dan berada pada posisi lost opportunity, terdiri
34 dari 3 negara maju dan 5 negara berkembang; 42 negara mempunyai dayasaing ekspor nanas yang lemah dan berada pada posisi rising stars, terdiri dari 12 negara maju dan 30 negara berkembang; serta 45 negara mempunyai dayasaing ekspor yang lemah dan berada pada posisi lost opportunity terdiri dari 17 negara maju dan 28 negara berkembang. Sementara itu, hasil perhitungan EPD di persaingan antar sesama negara berkembang di pasar dunia menunjukkan hasil yang berbeda dengan persaingan antar negara di pasar dunia. Dalam persaingan antar negara (baik negara maju maupun negara berkembang) di pasar dunia, komoditi nanas berada pada posisi pasar yang dinamis. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang di pasar dunia, komoditi pisang berada pada posisi pasar yang tidak dinamis (stagnan). Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan EPD dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 30 negara berkembang dengan dayasaing ekspor nanas yang kuat (22 negara posisi falling stars dan 8 negara posisi retreat) serta 63 negara berkembang dengan dayasaing ekspor nanas yang lemah (21 negara posisi falling stars dan 42 negara posisi retreat). Tabel 10 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD nanas dunia tahun 2004-2013 Nanas Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Rising Stars Lost Opportunity RCA & EPD Kuat Rising Stars Kuat Lost Opportunity Lemah Rising Stars Lemah Lost Opportunity
Dunia
Antar Negara Berkembang
%
108
%
93
21 87
19,44 80,56
30 63
32,26 67,74
43 65
39,81 Falling Stars 60,19 Retreat
41 52
44,09 55,91
13 8 42 45
12,04 7,41 38,89 41,67
22 8 21 42
23,66 8,60 22,58 45,16
Kuat Falling Stars Kuat Retreat Lemah Falling Stars Lemah Retreat
Untuk Indonesia, selama sepuluh tahun ekspor nanas Indonesia mempunyai dayasaing yang lemah baik dalam persaingan antar negara maju dengan negara berkembang maupun dalam persaingan antar sesama negara berkembang. Berdasarkan perhitungan RCA dan EPD, dayasaing ekspor nanas Indonesia mempunyai nilai ratarata RCA sebesar 0,015 dan berada pada posisi rising stars dalam persaingan antar negara baik negara maju maupun negara berkembang di pasar dunia. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang, nilai rata-rata RCA Indonesia adalah sebesar 0,073 dan berada pada posisi falling stars di pasar dunia.
Dayasaing Jambu Mangga Manggis Produksi jambu mangga manggis terbesar dunia terdapat di kawasan Asia yaitu sebesar 28,84 juta ton per tahun atau sekitar 75,9 persen dari total produksi dunia. Namun jika dilihat dari share ekspor terhadap produksi, maka kawasan Amerika merupakan kawasan dengan share ekspor terhadap produksi tertinggi yaitu sebesar
35 13,32 persen per tahun sedangkan di kawasan Asia hanya 2,31 persen per tahun. Berdasarkan hasil perhitungan kombinasi RCA dan EPD, dari 34 negara yang mempunyai dayasaing ekspor jambu mangga manggis yang kuat, terdapat 16 negara yang berada pada posisi falling stars, terdiri dari 14 negara berkembang dan 2 negara maju serta 18 negara berkembang berada pada posisi retreat. Sedangkan dari 83 negara dengan dayasaing ekspor jambu mangga manggis yang lemah, 33 negara berada pada posisi falling stars (9 negara maju dan 24 negara berkembang) serta 50 negara pada posisi retreat (22 negara maju dan 28 negara berkembang). Untuk persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 46 negara berkembang mempunyai nilai RCA > 1 dan 47 negara berkembang dengan nilai RCA < 1 (dayasaing ekspor lemah). Dari 46 negara tersebut, 19 negara berada pada posisi falling stars dan 29 negara berada pada posisi retreat. Tabel 11 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jambu mangga manggis dunia tahun 2004-2013 Jambu Mangga Manggis Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Falling Stars Retreat RCA & EPD Kuat Falling Stars Kuat Retreat Lemah Falling Stars Lemah Retreat
Dunia
%
117
Antar Negara Berkembang
%
84
34 83
29,06 70,94
35 49
41,67 58,33
63 54
53,85 46,15
41 43
48,81 51,19
16 18 33 50
13,68 15,38 28,21 42,74
16 19 22 27
19,05 22,62 26,19 32,14
Berdasarkan hasil perhitungan RCA, ekspor jambu mangga manggis Indonesia mempunyai dayasaing yang lemah dalam persaingan antar negara di pasar dunia dengan nilai rata-rata RCA sebesar 0,843. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang, ekspor jambu mangga manggis Indonesia mempunyai dayasaing yang kuat dengan nilai rata-rata RCA sebesar 1,149 pada periode 2004 – 2013. Untuk perhitungan EPD, komoditi jambu mangga manggis Indonesia berada pada posisi falling stars baik dalam persaingan antar negara maupun antar sesama negara berkembang di pasar dunia. Dayasaing Jahe Produksi jahe dunia tahun 2007-2013 dengan rata-rata sebesar 1,86 juta ton per tahun, di mana penyumbang produksi terbesar dunia adalah kawasan Asia sebesar 1,615 juta ton atau sebesar 86,81 persen dari total produksi dunia. Berdasarkan perhitungan RCA periode 2004 – 2013, terdapat 101 negara eksportir jahe di pasar dunia, dengan 21 negara (2 negara maju dan 19 negara berkembang) mempunyai nilai rata-rata RCA > 1 dan 80 negara (30 negara maju dan 50 negara berkembang) mempunyai nilai rata-rata RCA < 1. Hasil perhitungan EPD menunjukkan bahwa terdapat 14 negara berkembang mempunyai dayasaing ekspor jahe yang kuat dan berada pada posisi falling stars di
36 pasar dunia; 7 negara mempunyai dayasaing ekspor jahe yang kuat dan berada pada posisi retreat, terdiri dari 2 negara maju dan 5 negara berkembang; 33 negara mempunyai dayasaing ekspor jahe yang lemah dan berada pada posisi falling stars, terdiri dari 7 negara maju dan 26 negara berkembang; serta 47 negara mempunyai dayasaing ekspor yang lemah dan berada pada posisi retreat terdiri dari 23 negara maju dan 24 negara berkembang. Hasil perhitungan EPD dalam persaingan ekspor jahe antar sesama negara berkembang di pasar dunia menunjukkan hasil yang berbeda dengan posisi pasar yang dinamis. Sedangkan dalam persaingan antar negara baik antara negara maju maupun negara berkembang di pasar dunia, komoditi jahe berada pada posisi pasar yang tidak dinamis (stagnan). Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan EPD ekspor jahe dalam persaingan antar sesama negara berkembang, terdapat 22 negara berkembang dengan dayasaing ekspor nanas yang kuat (15 negara posisi rising stars dan 7 negara posisi lost opportunity) serta 47 negara berkembang dengan dayasaing ekspor nanas yang lemah (25 negara posisi rising stars dan 22 negara posisi lost opportunity). Tabel 12 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jahe dunia tahun 2004-2013 Jahe Daya Saing dan Posisi Pasar Jumlah Negara Eksportir RCA Kuat Lemah EPD Falling Stars Retreat RCA & EPD Kuat Falling Stars Kuat Retreat Lemah Falling Stars Lemah Retreat
Dunia
Antar Negara Berkembang
%
101
%
69
21 80
20,79 79,21
22 47
31,88 68,12
51 50
50,50 Rising Stars 49,50 Lost Opportunity
40 29
57,97 42,03
14 7 33 47
13,86 6,93 32,67 46,53
15 7 25 22
21,74 10,14 36,23 31,88
Kuat Rising Stars Kuat Lost Opportunity Lemah Rising Stars Lemah Lost Opportunity
Selama periode 2004 – 2013, ekspor jahe Indonesia mempunyai nilai rata-rata RCA yang berbeda yaitu ekspor jahe Indonesia mempunyai dayasaing yang lemah dalam persaingan antar negara maju dan negara berkembang (nilai rata-rata RCA 0,994); sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang ekspor jahe Indonesia mempunyai dayasaing yang kuat (nilai rata-rata RCA 4,109). Indonesia harus bersaing dengan Thailand untuk mengembangkan ekspor jahe, karena ekspor jahe Thailand mempunyai dayasaing yang kuat ( nilai rata-rata RCA 3,543) walaupun jahe Thailand berada pada posisi retreat dalam persaingan antar negara di pasar dunia.
37 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Pedagangan (Trade Flows) Komoditi Hortikultura di Pasar Dunia Aliran perdagangan komoditi hortikultura di pasar dunia dijelaskan menggunakan gravity model. Model ini digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi dan non ekonomi lainnya terhadap aliran perdagangan komoditi ekspor hortikultura di pasar dunia. Dalam analisis aliran perdagangan ini juga telah mewakili dua sisi ekonomi yaitu sisi penawaran diwakili oleh variabel produksi dan harga. sedangkan sisi permintaan diwakili oleh variabel pendapatan, jarak, populasi, dan hambatan perdagangan. Variabel independen yang digunakan dalam analisis aliran perdagangan ini adalah produksi komoditi hortikultura tahun sebelumnya (prod_t_1). harga ekspor (p_eks), pendapatan per kapita riil negara tujuan ekspor (r_gdpc), jarak ekonomi (ecodist), populasi negara tujuan ekspor (pop), nilai tukar riil mata uang negara eksportir terhadap US$ (r_exr), ad valorem tariff di negara tujuan ekspor (trf), dan jumlah Sanitary and Phytosanitary yang diberlakukan di negara importir (sps). Sedangkan variabel dependennya adalah volume ekspor komoditi hortikultura negara eksportir ke negara tujuan ekspor (eks). Tabel 13 Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura di 3 (tiga) negara maju Variabel
Nanas
Jambu Mangga Manggis
Kentang
Kubis
Pisang
Jahe
0,5388 0,0313 1,5674** -0,5121 -6,6483** 1,2003** -0,0082 0,0059 -26,7638
-1,9092 2,0206** 2,4831** -2,4576** 25,8211** 3,3164** -0,0636 -0,0623* -19,6379
3,1895* 1,8469** 2,9146** -3,3927** -3,8190 3,5672** 0,0907 -0,1632** -70,1649**
-1,2024 1,9339* 1,7053 -1,3944 -0,8100 2,1808 -0,0379 -0,0360 -15,8854
-0,3662 1,7815* 1,1506 0,1633 1,6689 0,6668 -0,0131 0,0496 -13,9499
0,7915 1,5766* -1,0764 0,0288 -0,2590 0,1616 0,2303 0,0120 9,7381
0,0135 0,8754** 1,1812 -0,7528 0,8455 1,0314 -0,0290 -0,1315 3,3467
3,8160* 1,9082** 5,8493* -0,6575 0,2789 2,3619* 1,5559* -3,1208** 213,9702*
3,9923* 1,7130** 39,7957** -31,2298** 4,0090 76,5316** -12,2018** -1571,381*
-0,4752 1,5509** 3,0945* -3,8467** -4,1402 4,8130** 0,0579 -80,6249*
1,4844** 2,9008 2,3673* 3,5783 -3,0901 -0,4137 22,6934
1,0163** 0,2546 0,7262 2,4043 7,3934 -123,4616
Amerika Serikat Ln(PROD_T_1) Ln(P_EKS) Ln(R_GDPC) Ln(ECODIST) Ln(R_EXR) Ln(POP) Ln(SPS) TRF C
Portugal Ln(PROD_T_1) Ln(P_EKS) Ln(R_GDPC) Ln(ECODIST) Ln(R_EXR) Ln(POP) Ln(SPS) TRF C
Australia Ln(PROD_T_1) -5,5861 1,9460 -0,8405 -0,3436 0,1747 Ln(P_EKS) 1,3795** 1,2627** 1,4391** 1,3948** 1,5678** 1,2973** Ln(R_GDPC) 4,7893** 0,1761 5,6042 5,0850 1,0609 1,3813 Ln(ECODIST) -3,3666** -0,1607 -2,2916* -1,8786 -0,2418 -0,2255 Ln(R_EXR) 3,3920** 3,3351** 2,5105 1,7806* 1,0461** 1,3082 Ln(POP) 3,5106** -0,0947 4,2711* -3,5647 0,5185 0,2440 Ln(SPS) 0,1638** 0,1288 0,8067 -0,3920** -0,0727** 0,0039 TRF 0,1674** -0,0779 -0,0035 -0,0053 0,0226 C -6,9565 -3,9948 -176,3716 27,5833 -10,5440 -12,6523 Keterangan: **) signifikan pada taraf nyata 1 persen dan *) signifikan pada taraf nyata 5 persen
38 Dalam analisis regresi aliran perdagangan ini diambil delapan negara yang terdiri dari tiga negara maju dan tiga negara berkembang yang merupakan eksportir dan produsen utama komoditi hortikultura dunia. Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan yang menggunakan gravity model tersebut dilakukan dengan program software Eviews 8 dan menggunakan metode panel data seperti yang telah diuraikan pada metode penelitian. Keputusan penggunaan metode panel data didasarkan pada kondisi sampel dalam penelitian ini, di mana aliran perdagangan komoditi ekspor hortikultura di pasar dunia didapatkan dari hasil analisis terhadap volume ekspor komoditi hortikultura ke negara-negara tujuan ekspor dalam jangka waktu sepuluh tahun. Tabel
14
Koefisien variabel negara berkembang
Variabel
Kentang
Kubis
-1,7282 2,3354** -1,2693 0,7361 -1,7479** -0,5098 -0,0876* -0,0457 73,1382** -2,2022* 2,0710** -1,5704** 0,0305 0,9225 -0,1590 0,0377 -0,1796 85,6810**
penduga
ekspor
hortikultura
di
Jambu Mangga Manggis
3
(tiga)
Pisang
Nanas
Jahe
0,4398 1,8541** 0,8420 1,2935 1,3913* 4,4072* 0,0005 0,0279 -86,4245
5,8944* 1,3683** -3,4165 1,5052 6,3887** 5,6474 0,0530 0,0660 -175,4515
-0,7769 0,9266* -0,0789 0,0618 -0,3876 0,2574 0,0386 8,4885 -230,0460
6,1001* 1,4507** -5,4282 6,0742** 2,9034** -10,4658 -0,0394 -0,3258 151,5989
-0,1589 1,7604** 1,7247 1,0543 -1,1479 -0,7546 -0,0680 -0,0299 14,7402
4,4817 1,9056** 4,4321 -4,0359* 0,0135 2,9897 0,2590 -0,0950 -123,7799
1,0683 1,0725** -0,8364 -0,0427 -1,2777 0,7624 0,0248 17,5972 -1859,284
0,0842 1,6909** 1,0407 -1,0850 -2,5290* 1,7210* 0,0530 0,1125 -26,1187
-0,1216 1,8172** 1,1806 -0,3722 1,9899* 0,7663 -0,0300 -0,0088 -13,8508
0,5815 1,5700** 1,7229** -1,3621** -2,3545* 2,1285** -0,0119 -0,0185 -32,6437*
China Ln(PROD_T_1) Ln(P_EKS) Ln(R_GDPC) Ln(ECODIST) Ln(R_EXR) Ln(POP) Ln(SPS) TRF C
India Ln(PROD_T_1) Ln(P_EKS) Ln(R_GDPC) Ln(ECODIST) Ln(R_EXR) Ln(POP) Ln(SPS) TRF C
Indonesia Ln(PROD_T_1) 1,7836 6,4599 -12,2667** 0,1179 -0,0405 4,0931** Ln(P_EKS) 1,7453** 1,7044** 1,8199** 1,5679** 1,9113** 1,8237** Ln(R_GDPC) 16,1967** -5,3394 20,5150** 1,8356 0,7357 1,7118 Ln(ECODIST) -2,2968 2,5935 -6,5339* -0,8895 -0,6635 -1,9199 Ln(R_EXR) 1,9412 -1,0936 4,3128* 9,9686** -1,7251** 3,6424** Ln(POP) -15,4455 -6,8068 28,2887** -0,7694 0,8807 2,3386 Ln(SPS) -4,6575** 1,5039 3,2327 0,4770 -0,0986** 0,0295 TRF 0,0053 -0,2649 0,0237 0,0436 C 56,8576 90,0270 -459,8364 -81,4013 5,4336 -121,5647* Keterangan: **) signifikan pada taraf nyata 1 persen dan *) signifikan pada taraf nyata 5 persen
39 Produksi tahun sebelumnya Variabel produksi komoditi hortikultura tahun sebelumnya merupakan proksi dari sisi penawaran komoditi hortikultura di pasar dunia. Peningkatan produksi suatu komoditi hortikultura berhubungan positif dengan peningkatan kuantitas/volume komoditi hortikultura yang diekspor. Variabel produksi menggunakan data tahun sebelumnya untuk mencegah adanya potensi endogenitas (Wei, et al 2012). Hasil estimasi di negara maju menunjukkan bahwa variabel produksi tahun sebelumnnya memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap volume ekspor kubis di Amerika Serikat serta volume ekspor pisang di Portugal dan Amerika Serikat. Untuk negara berkembang, produksi tahun sebelumnya memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor pada komoditi pisang dan jambu mangga manggis di China serta komoditi jahe di Indonesia. Jika dilihat dari besarnya nilai koefisien, maka produksi jambu mangga manggis di negara China merupakan nilai koefisien terbesar yaitu 6,1. Nilai ini berarti jika produksi komoditi jambu mangga manggis di China pada tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka volume ekspor pisang China akan meningkat sebesar 6,1 persen, cateris paribus. Sementara itu, nilai koefisien produksi tahun sebelumnya pada komoditi kentang di India dan pisang di Indonesia bertanda negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wei, et al (2012) dan Nugroho (2014). Harga ekspor Harga ekspor merupakan faktor utama yang mempengaruhi penawaran ekspor. Hasil estimasi menunjukkan bahwa harga ekspor berpengaruh signifikan dan nyata terhadap volume ekspor pada pada sebagian besar komoditi yang diamati, di mana nilai elastisitasnya berada pada kisaran 0 sampai dengan 2,3. Koefisien harga ekspor yang bernilai positif sesuai dengan teori penawaran dan hipotesis pada penelitian ini. Untuk negara maju, nilai koefisien harga ekspor tertinggi adalah pada komoditi kubis di negara Amerika Serikat yaitu sebesar 2,02. Hal ini berarti bahwa peningkatan harga ekspor sebesar satu persen akan meningkatkan volume ekspor komoditi kubis Amerika Serikat sebesar 2,02 persen ke dunia, cateris paribus. Berdasarkan nilai koefisien yang dihasilkan, terlihat bahwa hampir semua komoditi hortikultura di negara maju tergolong ke dalam komoditi elastis, hanya komoditi kentang di negara Portugal yang tergolong ke dalam komoditi inelastis. Untuk negara berkembang, dari nilai koefisien harga ekspor yang dihasilkan, terlihat bahwa hampir semua komoditi hortikultura di negara berkembang tergolong ke dalam komoditi elastis. Hanya satu komoditi hortikultura yang memililiki nilai koefisien kurang dari satu yaitu koefisien harga ekspor nanas di China sebesar 0,93. Nilai koefisien harga ekspor tertinggi adalah pada komoditi kentang di negara China yaitu sebesar 2,3. Hal ini berarti bahwa peningkatan harga ekspor kentang China sebesar satu persen akan meningkatkan volume ekspor komoditi kentang China sebesar 2,3 persen ke dunia, cateris paribus. GDP perkapita riil negara tujuan ekspor Sebagian besar nilai koefisien GDP perkapita riil negara tujuan ekspor (negara pengimpor) memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap volume ekspor di negara maju pada beberapa komoditi hortikultura. Di Amerika Serikat, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada komoditi kubis, pisang, dan nanas.
40 Nilai koefisiennya berturut-turut yaitu 2,25; 3,12; dan 7,19. Jika terjadi peningkatan GDP perkapita riil negara tujuan ekspor sebesar 1 persen maka pengaruhnya akan meningkatkan volume ekspor kubis, pisang, dan nanas sebesar berturut-turut 2,25 persen; 3,12 persen; dan 7,19 persen, ceteris paribus. Nilai koefisien GDP perkapita riil pada estimasi produk kentang. jambu mangga manggis, dan jahe berturut-turut bernilai 0,11; 2,47 dan 0,55 tetapi tidak signifikan secara statistik. Hasil estimasi gravity model di Portugal menunjukkan GDP perkapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada komoditi kubis dan mangga. Nilai koefisiennya berturut-turut yaitu 6,59 dan 25,24. Sedangkan nilai koefisien GDP riil pada estimasi produk kentang, nanas, jambu mangga manggis, dan jahe berturut-turut bernilai 2,01; 3,05; 12,51 dan 0,12 tetapi tidak signifikan secara statistik. Di negara Australia, hanya nilai koefisien GDP perkapita riil negara tujuan ekspor pada komoditi nanas yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap volume ekspor yaitu sebesar 6,01. Nilai koefisien GDP perkapita riil pada estimasi produk kentang, pisang, jambu mangga manggis, dan jahe berturut-turut bernilai 0,34; 4,76; 0,58 dan 1.50 tetapi tidak signifikan secara statistik sedangkan pada produk kubis nilai koefisiennya negatif. Hasil estimasi gravity model di negara berkembang menunjukkan nilai koefisien GDP perkapita riil negara tujuan ekspor (negara pengimpor) yang bervariasi pada beberapa komoditi hortikultura. Di China, salah satu produsen utama komoditi hortikultura dunia, semua nilai koefisien GDP perkapita riil di enam komoditi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor. Sedangkan di India, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada komoditi kentang dan nanas. Nilai koefisiennya berturut-turut yaitu 2,959 dan 3,43. Nilai koefisien GDP perkapita riil pada estimasi produk kubis, jambu mangga manggis dan jahe berturut-turut bernilai 0,46; 0,09 dan 0,50 tetapi tidak signifikan secara statistik sedangkan pada produk pisang nilai koefisiennya negatif. Di Thailand, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada komoditi kentang dan jambu mangga manggis, dengan nilai koefisien yaitu 4,89 dan 3,11. Sedangkan nilai koefisien GDP riil pada estimasi produk kubis, pisang, nanas, dan jahe bernilai negatif serta tidak berpengaruh signifikan secara statistik. Untuk Indonesia, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada komoditi kentang pisang, nanas, dan jambu mangga manggis. Nilai koefisiennya berturut-turut yaitu 17,74; 20,41; 22,29 dan 2,14. Nilai koefisien GDP perkapita riil pada komoditi kubis dan jahe berturut-turut bernilai negatif 5,60 dan 1,23 serta tidak berpengaruh signifikan secara statistik. Peningkatan pendapatan perkapita yang terjadi pada negara tujuan ekspor (negara pengimpor) akan meningkatkan permintaan ekspor beberapa produk hortikultura suatu negara. Tingkat pendapatan di proxy dengan nilai GDP per kapita riil (r_gdpc) negara tujuan ekspor. Selain itu, GDP per kapita merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan daya beli masyarakat suatu negara. Penelitian yang dilakukan Gu (2008), Hermawan (2011) dan Tang (2011) menunjukkan bahwa pendapatan atau GDP per kapita secara nyata mempengaruhi ekspor. Nilai koefisien GDP perkapita yang negatif sesuai dengan penelitian Ferro, et al (2015) yang menyatakan bahwa arus perdagangan akan meningkat seiring dengan besarnya GDP negara importir tidak selalu menjadi jaminan.
41 Jarak ekonomi (ecodistance) Biaya ekspor (biaya transportasi) dalam penelitian ini diukur dengan nilai jarak ekonomi suatu negara. Jarak ekonomi merupakan salah satu syarat yang cukup penting pada gravity model dan besarnya jarak ekonomi akan mempengaruhi arus perdagangan ekspor secara negatif. Hasil estimasi yang diperoleh model menunjukkan bahwa variabel jarak ekonomi (ecodistance) memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap volume ekspor beberapa komoditi hortikultura di negara yang dianalisis. Di negara maju, jarak ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan pada volume ekspor komoditi kentang di negara Australia, volume ekspor komoditi kubis di negara Amerika Serikat, volume ekspor pisang di negara Australia, Portugal dan Australia, serta volume ekspor nanas di negara Portugal. Nilai koefisien jarak ekonomi tertinggi terdapat pada komoditi pisang di Negara Portugal, yaitu sebesar -31,23. Hal ini berarti bahwa penurunan jarak ekonomi China dengan negara tujuan ekspor sebesar satu persen akan meningkatkan volume ekspor komoditi kentang China sebesar 31,23 persen ke dunia, cateris paribus. Untuk negara berkembang, variabel jarak ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan dengan volume ekspor pada komoditi kubis di India (-4,036); komoditi pisang di Indonesia (-6,534); komoditi jahe di India (-1,362). Namun terdapat pengaruh positif variabel jarak ekonomi terhadap volume ekspor komoditi hortikultura dan tidak sesuai dengan hipotesis, yaitu pada komoditi jambu mangga manggis di Portugal dan China. Hal ini disebabkan karena negara importir jambu mangga manggis dari Portugal seperti Spayol dan Belanda memiliki volume impor yang besar dengan jarak ekonomi yang besar juga. Selain itu sebagian besar pasar ekspor jambu mangga manggis Portugal berada di kawasan Eropa yang nilai jarak ekonominya hampir sama, sehingga berpengaruh positif. Untuk negara China, diduga karena China merupakan negara produsen jambu mangga manggis terbesar dunia, maka China dapat melakukan ekspor ke negara manapun tanpa memperhitungkan jarak. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya variabel jarak ekonomi yang berpengaruh nyata dan signifikan terhadap volume ekspor di seluruh komoditi holtikultura yang dianalisis di negara China. Nilai tukar mata uang riil Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana pelaku ekonomi dapat memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain sehingga terkadang disebut terms of trade (Mankiw, 2006). Sehubungan dengan transaksi perdagangan dunia menggunakan mata uang Dolar, maka pada penelitian ini nilai tukar yang digunakan dalam bentuk nilai mata uang negara eksportir per Dolar. Dengan demikian, apabila hasil estimasi menunjukkan tanda positif, maka diartikan bahwa kondisi tersebut adalah depresiasi. Begitu pula sebaliknya, tanda negatif menunjukkan terjadinya apresiasi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2013) dimana depresiasi nilai rupiah akan dapat meningkatkan ekspor komoditi Indonesia, maka terkait penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa depresiasi nilai nilai mata uang negara eksportir terhadap dolar akan dapat meningkatkan volume ekspor. Sejalan dengan hal tersebut, Krugman dan Obstfeld (2003) menyebutkan bahwa perlemahan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing (depresiasi nilai tukar) akan berdampak pada peningkatan volume ekspor.
42 Populasi negara tujuan ekspor Jumlah populasi dapat mempengaruhi ekspor dari dua sisi yaitu dari segi penawaran maupun permintaan. Pada sisi permintaan, pertumbuhan populasi akan dapat mendorong peningkatan konsumsi baik terhadap komoditi dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, pertambahan penduduk akan mendorong peningkatan jumlah barang ekspor yang diminta. Hasil perhitungan dengan model gravity menunjukkan bahwa perubahan populasi paling sensitif dihasilkan oleh komoditi pisang di negara Portugal yaitu dengan nilai elastisitas 76,53 dibandingkan dengan komoditi lainnya. Hal ini diduga karena komoditi pisang merupakan komoditi yang memiliki banyak kegunaan, selain sebagai produk akhir pisang juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Tarif Tarif merupakan salah satu instrumen yang digunakan suatu negara dalam mengatur perdagangan lintas negara. Tarif ad valorem (ad valorem tariffs) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel tarif hanya memberikan pengaruh yang signifikan dan nyata terhadap komoditi kubis di negara Amerika Serikat dan Portugal dengan nilai koefisien sebesar -0,06 dan -3,12 serta pada komoditi pisang di negara Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar -0,16 artinya, jika terjadi peningkatan tarif sebesar 1 persen, maka volume ekspor kubis dari negara Amerika Serikat dan Portugal akan turun sebesar 0,06 persen dan 3,12 persen serta volume ekspor pisang dari negara Amerika Serikat akan turun sebesar 0,16 persen ke dunia, cateris paribus. Nilai koefisien tarif pada estimasi ekspor komoditi kentang di Australia bernilai 0,17 tetapi berpengaruh positif dan signifikan secara statistik, nilai koefisien ini tidak sesuai dengan hipotesis. Hal ini disebabkan, dari 15 (lima belas) negara importir kentang Australia, hanya Indonesia dan Rusia yang memberlakukan tarif impor komoditi kentang dan Indonesia merupakan salah satu importir kentang terbesar dari Australia. Jumlah Sanitary and Phytosanitary (SPS) di negara tujuan ekspor Jumlah SPS yang diterapkan oleh negara importir menurunkan volume ekspor komoditi hortikultura. Variabel SPS mempunyai pengaruh positif terhadap volume ekspor komoditi hortikultura, artinya dengan semakin banyak SPS yang diterapkan maka volume ekspor komoditi hortikultura akan menurun. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel SPS memberikan pengaruh yang signifikan dan nyata terhadap komoditi kentang di negara China dan India dengan nilai koefisien sebesar -0,09 dan -4,66; komoditi pisang di negara Portugal dengan nilai koefisien sebesar -12,20; komoditi nanas di negara Australia dengan nilai koefisien sebesar -0,39; serta komoditi jambu mangga manggis di negara Australia dan Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0,07 dan 0,10. Nilai koefisien SPS yang paling elastis terdapat pada komoditi kentang di India yaitu sebesar -4,66 artinya, jika terjadi peningkatan jumlah SPS yang diterapkan di negara importir sebesar 1 persen, maka volume ekspor kentang dari negara India akan turun sebesar 4,66 persen, cateris paribus. Variabel jumlah SPS negara tujuan ekspor pada model menunjukkan pengaruh positif pada ekspor komoditi kentang di Australia pada taraf 1 persen dan ekspor komoditi kubis di Portugal pada taraf 5 persen dengan nilai berturut-turut sebesar 0,16
43 dan 1,56. Koefisien positif pada dua variabel tersebut memperlihatkan bahwa ternyata kebijakan SPS tidak selalu memiliki dampak negatif pada perdagangan. Adanya pengaruh positif kebijakan SPS pada komoditi hortikultura membuktikan bahwa negara eksportir telah mampu memenuhi persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang. Hasil koefisien SPS yang positif sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Crivelli dan Groschl (2012).
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Arus perdagangan ekspor komoditi hortikultura di pasar dunia (sayuran, buah-buahan dan tanaman biofarmaka) dari tahun 2005 – 2014 mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan komposisi rata-rata kontribusi nilai ekspor komoditi hortikultura adalah buahbuahan sebesar 46,7 persen; sayuran sebesar 38,9 persen; dan biofarmaka sebesar 1,3 persen. 2. Berdasarkan analisis dayasaing ekspor komoditi hortikultura menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), menunjukkan bahwa negara-negara berkembang mempunyai dayasaing yang kuat pada enam komoditi hortikultura yang dianalisis. Perbandingan negara-negara eksportir yang memiliki dayasaing kuat (nilai RCA > 1) di pasar dunia dengan metode RCA adalah 15 negara maju dan 26 negara berkembang untuk komoditi kentang, 5 negara maju dan 28 negara berkembang untuk komoditi kubis, 4 negara maju dan 22 negara berkembang untuk komoditi pisang, 4 negara maju dan 17 negara berkembang untuk komoditi nanas, 2 negara maju dan 32 negara berkembang untuk komoditi jambu mangga manggis, serta 2 negara maju dan 19 negara berkembang untuk komoditi jahe. Sedangkan dalam persaingan antar sesama negara berkembang, hasil analisis RCA menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata RCA negara eksportir pada enam komoditi hortikultura. Hal ini berdampak terhadap peningkatan nilai dayasaing ekspor komoditi dan bertambahnya jumlah eksportir negara berkembang yang mempunyai dayasaing kuat. 3. Berdasarkan perhitungan EPD diperoleh tiga komoditi hortikultura yang memiliki pangsa pasar yang dinamis yaitu pisang dan nanas antar negara di pasar dunia, serta jahe dalam persaingan antar sesama negara berkembang. Sementara itu, empat komoditi lainnya yaitu kentang, kubis, jambu mangga manggis, jahe bukan merupakan komoditi yang dinamis di pasar dunia, artinya komoditi ini mengalami penurunan permintaan di pasar dunia. 4. Analisis data panel menunjukkan bahwa sebagian besar variabel bebas pada keenam komoditi hortikultura signifikan pada taraf nyata 5 persen dan memiliki koefisien yang sesuai dengan teori permintaan dan penawaran ekspor, meskipun ada sebagian nilai koefisien variabel bebas yang berkebalikan dan tidak sesuai dengan hipotesis. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan (ekspor) di pasar dunia dipengaruhi oleh produksi tahun sebelumnya, harga ekspor, jumlah populasi negara importir, GDP perkapita riil negara importir, jarak ekonomi, dan nilai tukar mata uang riil.
44 5. Pengaruh kebijakan perdagangan direpresentasikan dengan adanya variabel tarif dan SPS dalam analisis regresi menggunakan gravity model. Dampak liberalisasi perdagangan dicerminkan dengan kurang berpengaruhnya pemberlakuan tarif impor terhadap volume ekspor komoditi hortikultura dan nilai koefisiennya inelastis. Sementara itu untuk hambatan non tarif yaitu pemberlakuan SPS mempunyai pengaruh negatif terhadap ekspor komoditi hortikultura di pasar dunia. Sedangkan pengaruh positif kebijakan SPS pada komoditi hortikultura membuktikan bahwa negara eksportir telah mampu memenuhi persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka beberapa hal yang dapat disarankan yaitu: 1. Pemerintah perlu melakukan pembenahan terkait aturan standar keamanan pangan khususnya untuk komoditi hortikultura Indonesia sehingga kualitas komoditi hortikultura yang dihasilkan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan dayasaing serta nilai ekspornya sekaligus memperketat masuknya produk pertanian impor. 2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian terkait hambatan non tarif lainnya seperti technical barrier to trade (TBT), kuota, dan fasilitasi perdagangan serta menggunakan metode pendekatan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ashari S. 1995. Hortikultira Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. Balassa B. 1989. Comparative Advantage. Trade Policy and Economic Development. Harvester Wheatsheaf. New York. Baldwin R. 2000. Regulatory Protectionism, Developing Nations and a Two Tier World Trade System, Graduate Institute of International Studies, Geneva. Baltagi B. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. West Sussex : John Wiley & Sons. Ltd. Beghin J-C. 2013. Non-Tariff Measures with Market imperfections: Trade and Welfare Implications. Journal.Volume 12 in Frontiers of Economics and Globalization.Emerald Press. Bhattacharya KS, Bhattacharyay BN. 2007. Gains and Losses of India-China Trade Cooperation – A Gravity Model Impact Analysis.CESIFO Working Paper No. 1970. Bhattacharyya R. 2011. Revealed Comparative Advantage And Competitiveness: A Case Study For India In Horticultural Products. International Conference On Applied Economics. Department Of Economics. Calcutta Girls‘ College. Kolkata. India. Criveli P and Groschl J. 2012. The Impact of Sanitary and Phytosanitary Measures on Market Entry and Trade Flows. Geneva: Universite de Geneve. Dahar D. 2014. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara- negara ASEAN +3. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Disdier A-C, Lionel F, Mondher M. 2007. The Impact of Regulations on Agricultural Trade: Evidence from SPS and TBT Agreements. Working Paper 06/22. Agricultural Trade Agreements. http://tradeag.vtamib.com. Dunn R and Mutti J. 2000. International Economics Fifth Edition. New York (USA): Routledge. Estherhuizen D. 2006. Measuring and Analyzing Competitiveness in the Agribusiness Sector: Methodological and Analytical Framework. University of Pretoria. [FAO] Food and Agriculture Organization. [Internet]. [Diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://faostat3.fao.org/download/Q/QC/E. Ferro E, Otsuki T and Wilson J. 2015. The Effect of Product Standards on Agricultural Exports. Food Policy 50 68-79. Published by Elsevier Ltd. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika: untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Ginting AM. 2013. Pengaruh Nilai Tukar terhadap Ekspor Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 7 (1): 1-18. Jakarta: Kementerian Perdagangan. Gu J. 2008. A Gravity Analysis of China’s Export Growth. Victoria (AUS): University of Victoria. Gujarati D. 2004. Basic Econometrics. 4th Edition. The McGraw-Hill Companies. Gul N dan Hafiz MY. 2011. The Trade Potential of Pakistan: An Application of the Gravity Model. European Scientific Journal. University of the Free State. South Africa.
46 Gumilar N. 2010. Dayasaing Komoditi Sayuran Utama Indonesia di Pasar Internasional. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor. Haryadi. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pertanian Terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hermawan I. 2010. Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor. Irawan B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 21 No. 1. Juli 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. [ITC] International Trade Center [Internet]. [Diunduh September 2015] Tersedia pada: http://www.trademap.org/Index.aspx. Jalil NA. 2012. Identifikasi. Analisis Daya Saing. dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Komoditi Unggulan Ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krugman PR, Obstfeld M, Melitz. 2003. International Economics, Theory and Policy. An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Massachosetts. Kindleberger CP and Lindert PH. 1978. International Economics, Six Edition. Richard D Irwin, Inc, Homewood. Illinois. Mankiw G. 2006. Macroeconomics Fifth Edition. New York: Worth Publishers. Mellado A-G, Sophie H, Rau M-L, Monika T, 2010. Non-tariff measures affecting agrofood trade between the EU and Africa. Summary of Workshop. European Commission Join Research Centre. Institute for Prospective Technological Studies. European Union. Mergenthaler M, Weinberger K, and Qaim K. 2009. The Food System Transformation in Developing Countries: A Disaggregate Demand Analysis for Fruits and Vegetables in Vietnam. Food Policy 34(5): 426-36. Miet M and Johan S. 2014. Agricultural Trade And Development: A Value Chain Perspective. WTO Working Paper ERSD. Murat Y and Emin I. 2009. Domestic resource cost approach for international competitiveness of Turkish horticultural products. Full Length Research Paper. Ege University. Faculty of Agriculture. Department of Agricultural Economics. Turkey. Nicholson W. 1991. Teori Mikroekonomi Jilid 1. Edisi 5 Terjemahan. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Nugroho A. 2014. The Impact of Food Safety Standard on Indonesia’s Coffe Exports. Procedia Environtmental Sciences 20: 425-433. Porter M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Jakarta: Binarupa Aksara. Reardon T, Barrett CB, Berdegué JA, & Swinnen JFM. (2009). Agrifood Industry Transformation and Farmers in Developing Countries, World Development 37(11): 1717-1727. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Saptana A, Agustian H, Mayrowani, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditi Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Shah D. 2007. Horticultural Exports of Developing Countries: Prospects and Issues. MPRA Paper No. 3925. posted 9. July 2007.
47 Sorensen V. 1975. International Trade Policy: Agriculture Development. USA: Michigan State University. Tambunan T. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran-Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. Tang D. 2011. The Potential of the APEC Grouping to Promote Intra Regional Trade in The Asia Pacific Region. The Journal of Applied Business Research. 17(4): 63-83. Tarman, Kartikawati D, Widodo H, Fakhrudin U, Muna N, dan Bambang SW. 2011. Kajian Kebijakan Pengembangan Diversifikasi Pasar dan Produk Ekspor. Jakarta (ID): Kementerian Perdagangan. Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer. [UN COMTRADE] Commodity Trade Statistics Database. 2015. Acces From World Trade Organization. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2013. Acces From World. http://unctad.org/. UNCTAD. 2013. Non Tariff Measures to Trade: Economic and Policy Issues for Developing Countries. Switzerland. Geneva Vildan S and Abdulkadir C. 2008. Revealed Comparative Advantage and Competitiveness: A Case Study for Turkey towards the EU. Journal of Economic and Social Research. Turkey. Wei G, Huang J and Yang J. 2012a. The Impact of Food Safety Standard on China’s Tea Export. China Economic Review 23: 253-264. Wei G, Huang J and Yang J. 2012b. Honey Safety Standard and Its Impact on China’s Honey Export. Journal of Integrative Agriculture: 11(4): 684-693. [WDI] World Development Indicators. [Internet]. [Diunduh Januari 2015]. Tersedia pada: http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. World Bank. Washington DC. Yuliati A. 2010. Analisis Dayasaing Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2005-2009. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor.
48
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji Hausman komoditi potatoes. fresh or chilled nes (HS 070910) 1. Australia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KENTANG Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
2. Portugal Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KENTANG Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
7
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
3. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KENTANG Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
4. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KENTANG Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
12.267221
8
Prob. 0.1397
49 5. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KENTANG Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Lampiran 2 Hasil uji Hausman komoditi cabbages. kohlrabi. kale and sim edible brassicas nes. fresh or chilled (HS 070490) 1. Australia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KUBIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
2. Portugal Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KUBIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
7
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
3. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KUBIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Prob. 1.0000
50 4. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KUBIS Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
28.159253
8
Test Summary Cross-section random
Prob. 0.0004
5. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KUBIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Lampiran 3 Hasil uji Hausman komoditi bananas. including plantains. fresh or dried (HS 080300) 1. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PISANG Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
2. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PISANG Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
21.924410
8
Prob. 0.0051
51 3. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PISANG Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
20.751856
8
Test Summary Cross-section random
Prob. 0.0078
4. Indonesia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PISANG Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
18.733825
8
Test Summary Cross-section random
Prob. 0.0163
Lampiran 4 Hasil uji Hausman komoditi pineapples. fresh or dried (HS 080430) 1. Portugal Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: NANAS Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
7
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
2. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: NANAS Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Prob. 1.0000
52 3. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: NANAS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
7
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
4. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: NANAS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
5. Indonesia Redundant Fixed Effects Tests Equation: NANAS Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
d.f.
Prob.
Cross-section F Cross-section Chi-square
1.545478 7.536467
(4.38) 4
0.2087 0.1101
Lampiran 5 Hasil uji Hausman komoditi guavas. mangoes and mangosteens. fresh or dried (HS 080450) 1. Australia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
9.551299
8
Prob. 0.2979
53 2. Portugal Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAMBU MANGGA MANGGIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
6
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. ** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero.
3. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAMBU MANGGA MANGGIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
4. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAMBU MANGGA MANGGIS Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
18.069609
8
Test Summary Cross-section random
Prob. 0.0207
5. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAMBU MANGGA MANGGIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Prob. 1.0000
54 6. Indonesia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAMBU MANGGA MANGGIS Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Lampiran 6 Hasil uji Hausman komoditi ginger (HS 091010) 1. Australia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAHE Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
2.931590
7
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 0.8913
2. Amerika Serikat Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAHE Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
3. China Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAHE Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
26.783915
8
Prob. 0.0008
55 4. India Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAHE Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
5. Indonesia Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: JAHE Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
8
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Prob. 1.0000
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunungkidul pada tanggal 7 Januari 1982 dari pasangan Bapak Poerwono dan Ibu Rahartini. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 1 Wonosari pada tahun 1994. kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Wonosari dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Wonosari dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi UNS pada tahun 2001-2006. Pada tahun 2007. penulis bekerja sebagai asisten Relationship Manager di Consumer Loan Group Bank Mandiri. Penulis kemudian diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Perdagangan pada tahun penerimaan 2009 dan mulai aktif bekerja pada awal tahun 2010. Pada tahun 2013. penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi program master pada Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Kesempatan studi ini merupakan beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perdagangan dan IPB.