DAYASAING DAN DETERMINAN ALIRAN PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL INTRA ASEAN 7 DAN CHINA
YUNITA DWI PRATIKASARI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014 Yunita Dwi Pratikasari NIM H14100114
ABSTRAK YUNITA DWI PRATIKASARI. Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China. Dibimbing oleh SRI MULATSIH. Liberalisasi perdagangan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mulai berlaku efektif di kawasan ASEAN dan China pada 2010. China dan ASEAN 7 sebagai eksportir utama TPT dunia semakin dituntut untuk dapat bersaing dan mempertahankan industri masing-masing negara agar tidak tergeser produk impor dari luar. Hal ini membuat perlunya analisis terhadap performa keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki setiap negara serta faktorfaktor yang memengaruhi IIT TPT intra ASEAN 7 dan China sebagai implikasi dari berlakunya kerjasama ACFTA. Hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa China memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tertinggi dan mendominasi perdagangan TPT di kawasan ACFTA. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Revealed Comparative Advantages (RCA) dan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) negara China yang positif dan lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN 7. Aliran perdagangan TPT intra ASEAN 7 dan China secara umum yaitu sebesar 46% berada pada tingkat integrasi lemah berdasarkan hasil perhitungan indeks Grubel-Lloyd. Faktor-faktor country spesific yang memengaruhi IIT secara signifikan antara lain rata-rata GDP (AVGDP), Nilai tukar (ERP), Foreign Direct Investment (FDI), perbedaan fluktuasi nilai tukar (FER), dan peubah jarak (WDIST). Kata kunci : ACFTA, Dayasaing, Intra Industry Trade, TPT
ABSTRACT YUNITA DWI PRATIKASARI. Competitiveness and Determinants of Intra ASEAN 7 and China Textiles and Clothing Trade. Supervised by SRI MULATSIH.
Trade liberalization ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) that has been fully implemented on 2010 have implied the ASEAN region and China’s trade pattern. China and ASEAN 7 countries as the major exporter of world textile and clothing have to compete and maintain the industry of each country in order not displaced imported goods from foreign. This is important to analize each country’s comparative and competitive advantages as well as determinants of IIT between ASEAN 7 and China textile and clothing trade as the implications of ACFTA. The results shows that China has the highest comparative and competitive advantages, and become the most dominated country in the ACFTA textile and clothing market. This is indicated by the value of Revealed Comparative Advantages Index and Trade Specialization Index in China that tend to be positive and higher than the ASEAN 7 countries. ASEAN 7 and China textile and clothing bilateral trade flow in general are 46% at the weak level of integration based on the level of IIT calculation. Country spesific determinants of IIT from the econometric result are the average GDP (AVGDP), exchange rate (ERP), Foreign Direct Investment (FDI), the differences of countries exchange rate fluctuations (FER), and weighted distance (WDIST). Keywords : ACFTA, Competitiveness, Intra Industry Trade, Textile and clothing
DAYASAING DAN DETERMINAN ALIRAN PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL INTRA ASEAN 7 DAN CHINA
YUNITA DWI PRATIKASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Dayasaing dan Determinan Aliran Perdangangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China Nama : Yunita Dwi Pratikasari NIM : H14100114
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah perdagangan, dengan judul Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Alla Asmara, M.Si. dan Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan karya ilmiah ini, serta Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta masukan selama penulisan skripsi ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis, serta keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya yang sangat berarti selama ini, kepada temanteman satu bimbingan dan para sahabat saya atas doa dan dukungannya selama ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, April 2014 Yunita Dwi Pratikasari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN
vi vi vi 1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Landasan Teori
5
Penelitian Terdahulu
8
Kerangka Pemikiran
9
Hipotesis Penelitian
10
METODE
11
Jenis dan Sumber Data
11
Metode Analisis
12
GAMBARAN UMUM
17
ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)
17
Industri Tekstil dan Produk Tekstil
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Dayasaing dan Spesialisasi Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Negara-negara ASEAN 7 dan China di Kawasan ACFTA
20 20
Dinamika Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China 23 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China SIMPULAN DAN SARAN
29 32
Simpulan
32
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
36 41
DAFTAR TABEL 1 Persentase jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil negara-negara dunia tahun 2012 2 Klasifikasi nilai IIT 3 Jadwal penurunan tarif Early Harvest Package 4 Jadwal penurunan tarif Normal Track 5 Nilai RCA komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 6 Nilai ISP komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 7 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi Intra Industry Trade TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China
2 13 18 18 21 22 30
DAFTAR GAMBAR 1 Neraca perdagangan TPT antara ASEAN dan China tahun 20002012 berdasarkan SITC 65 dan 84 2 Kerangka pemikiran 3 Pohon industri tekstil dan produk tekstil berdasarkan KLUI 4 Nilai IIT TPT Indonesia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 5 Nilai IIT TPT Malaysia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 6 Nilai IIT TPT Filipina dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 7 Nilai IIT TPT Singapura dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 8 Nilai IIT TPT Thailand dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 9 Nilai IIT TPT Vietnam dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 10 Nilai IIT TPT Kamboja dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 11 Nilai IIT TPT China dengan negara-negara ASEAN 7
3 9 19 24 24 25 26 26 27 28 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kategori SITC 3-digit komoditi TPT 2 Nilai IIT TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 (%) 3 Uji Haussman 4 Hasil estimasi pendekatan Fixed Effect Model 5 Hasil uji normalitas 6 Uji asumsi multikolinearitas 7 Cross section hasil estimasi Fixed Effects Model
36 37 38 39 39 40 40
PENDAHULUAN Latar Belakang Semakin bebasnya pergerakan arus barang dan jasa serta arus modal antar negara-negara di dunia menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya globalisasi. Menurut Bank Indonesia, peningkatan keterbukaan ekonomi antarnegara atau liberalisasi ditunjukkan dengan kecenderungan terbentuknya organisasi perdagangan multinasional. Hal ini berdampak pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff barrier) maupun nontarif (non tariff barrier). Teori comparative advantage dari David Ricardo menyatakan bahwa setiap negara dapat melakukan spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan agar proses liberalisasi perdagangan berdampak positif bagi negara tersebut. Setiap negara saling berkompetisi dalam meningkatkan efisiensi aktivitas industri dan perdagangan yang berorientasi ekspor seiring dengan meningkatnya akses pasar (Nugraha 2010). Oktaviani et al (2008) menyatakan, dalam jangka panjang liberalisasi perdagangan dapat membuka kesempatan bagi pengembangan industri. Hal ini dimungkinkan karena integrasi merupakan mekanisme yang mendorong pembagian tenaga kerja intra kelompok secara rasional. Dengan menghilangkan barrier perdagangan negara antar anggota, maka koordinasi perencanaan industri mungkin tercipta, terutama berdasarkan skala ekonomisnya. Kerjasama ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement) merupakan salahsatu bentuk liberalisasi perdagangan barang, jasa maupun arus modal antara negara-negara anggota ASEAN (Association of South-East Asian Nation) dengan China, ACFTA menjadi kawasan perdagangan bebas dengan pangsa pasar terbesar dan terluas di dunia yang disahkan pertama kali sejak ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Pnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002. ASEAN terdiri dari negara-negara yang memiliki tingkat perekonomian beragam, dalam era globalisasi setiap negara bersaing mempertahankan tingkat perekonomiannya termasuk neraca aliran perdagangan dengan partner dagangnya. Berdasarkan ASEAN statistics data, tren perdagangan ASEAN dengan China semakin meningkat. Total nilai perdagangan ASEAN dan China mencapai US$ 319.5 milyar pada tahun 2012 dan jumlah tersebut merupakan 12.9% total perdagangan ASEAN. Pada lingkup ASEAN yang berintegrasi secara regional sejak tahun 1967 memiliki fokus dalam percepatan integrasi 11 sektor prioritas dalam menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, salah satunya adalah sektor Tekstil dan Produk Tekstil. Potensi negara-negara anggota ACFTA khususnya ASEAN 7 dan China dalam pengembangan dayasaing TPT tergolong besar. Berdasarkan Tabel 1, China menduduki peringkat pertama sebagai penguasa lebih dari 33% pasar TPT dunia. Begitupun beberapa negara ASEAN 7 seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Kamboja juga turut mendominasi pasar ekspor TPT dunia.
2 Tabel 1 Persentase jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil negara-negara dunia tahun 2012 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Negara Tekstil (%) Negara China 33.4 China Uni Eropa 32.1 Uni Eropa india 5.3 Bangladesh AS 4.7 Turki Korea 4.2 India Turki 3.9 Vietnam Taipei 3.6 Indonesia Pakistan 3 AS Jepang 2.7 Mexico Indonesia 1.6 Malaysia Vietnam 1.4 Pakistan Thailand 1.2 Thailand Mexico 0.8 Kamboja Arab Saudi 0.8 Srilanka Lainnya 1.3 Lainnya Jumlah 100 Jumlah Sumber : International Trade Statistics WTO, 2013
Produk Tekstil (%) 37.8 32.6 4.7 3.4 3.3 3.3 1.8 1.3 1.1 1.1 1 1 1 0.9 5.7 100
Perjanjian kerja sama ACFTA memfasilitasi integrasi perdagangan dengan pembebasan tarif secara penuh pada tahun 2010 untuk China dan ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darusalam), sedangkan negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) tahun 2015. Terdapat tiga kategori tahap penurunan tarif bea masuk barang yaitu, Early Harvest Package, Normal Track, dan Sensitive Track. Tahap pemotongan tarif komoditi TPT dalam kerja sama ACFTA tergolong dalam kategori Normal Track dan Sensitive Track (Highly Sensitive). Kategori Normal Track mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2005 dan diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 0% pada tahun 2010 dengan pengecualian sejumlah pos tarif yang dapat diturunkan menjadi 0% pada tahun 2012. Sedangkan Sensitive Track (Sensitive list dan Highly Sensitive) adalah program penurunan tarif bea masuk antara ASEAN dan China yang dilakukan lebih lambat dari normal track. Sesuai kesepakatan, produk yang masuk sensitive list memiliki tarif maksimum 20% pada tahun 2012 dan diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 5% pada tahun 2018. Sedangkan tarif bea masuk produk highly sensitive tidak boleh melebihi 50% pada tahun 2015. Dampak ACFTA mulai terjadi pada 2007 yaitu karena adanya ekspansi ekspor pada 10 sektor salah satunya adalah TPT. Pada periode tersebut dilakukan tahapan pemotongan tarif yang cukup besar yaitu setengah kalinya pada barangbarang yang dikenakan tarif tinggi sebelumnya (Li 2013). ACFTA merupakan pangsa pasar dengan 1.7 milyar konsumen, dengan GDP secara agregat lebih dari US$ 2 trilyun, dan total perdagangan yang mencapai US$ 1.23 trilyun. Pangsa pasar, perekonomian, dan perdagangan menunjukkan sebuah kesempatan yang
3 besar bagi negara-negara anggota ACFTA untuk memperluas pangsa pasarnya di dalam kawasan tersebut (Chuen dan Aslam 2012). Sektor industri TPT memiliki peranan penting dalam menopang perekonomian negara mengingat sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang dimiliki ASEAN 7 dan China. Industri TPT merupakan salah satu industri terpenting bagi negara-negara ASEAN dan China, TPT merupakan industri yang berkontribusi besar terhadap ekspor negara-negara ASEAN, sektor TPT mulai unggul di kawasan tersebut sejak tahun 1950-an. Peningkatan industri TPT China telah menyebabkan persaingan yang cukup signifikan terhadap ASEAN. Sektor industri TPT termasuk labor intensive yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat banyak di tengah semakin tingginya persaingan secara global. Aliran perdagangan bebas sektor industri TPT pada setiap negara turut menunjukkan sejauh mana kemampuan negara-negara tersebut dapat bersaing memenuhi kebutuhan domestik dan melakukan inovasi dalam pengembangan produknya agar memiliki dayasaing yang lebih unggul dalam lingkup kerjasama yang saling menguntungkan setiap negara. Perumusan Masalah Liberalisasi perdagangan ACFTA menuntut kesiapan industri masingmasing negara dalam menghadapi peluang dan tantangan yang muncul dari proses tersebut. ACFTA dapat berdampak positif maupun negatif bagi negara-negara yang terlibat. Menurut Tambunan (2002), perdagangan bebas akan berdampak positif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan GDP apabila ekspor atau pangsa pasar dari suatu negara meningkat, sebaliknya apabila terjadi penurunan pangsa pasar akan berdampak negatif serta meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Selain itu, apabila suatu negara tidak dapat menekan impor karena dayasaing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka pasar domestik negara tersebut terancam akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Tahun 0 -2,000
Juta US$
-4,000 -6,000 -8,000 -10,000 -12,000 -14,000 -16,000 -18,000
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah) Gambar 1 Neraca perdagangan TPT antara ASEAN dan China tahun 2000-2012 berdasarkan SITC 65 dan 84
4 Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa neraca perdagangan TPT ASEAN dengan China mengalami defisit sejak sebelum kerjasama ACFTA berlangsung. Defisit neraca perdagangan TPT yang terjadi semakin besar hingga mencapai US$ -15 823 juta pada tahun 2012, angka tersebut merupakan 44.32% dari total defisit neraca perdagangan ASEAN terhadap China. Hal tersebut menunjukan posisi China sebagai negara yang diuntungkan dalam kerjasama ACFTA. Meskipun demikian, peluang negara-negara anggota ACFTA khususnya ASEAN 7 dari segi pangsa pasar terbuka lebar. Sebagai negara yang memiliki keunggulan pada sektor industri yang sama yaitu industri TPT, negara-negara ASEAN 7 memiliki potensi untuk bertahan memenuhi permintaan domestik bahkan meningkatkan ekspor ke negara China yang juga merupakan importir tekstil terbesar ke tiga di dunia menurut WTO tahun 2012. Dampak positif dari perjanjian ACFTA akan secara langsung dirasakan oleh sektor yang produknya diekspor ke China (Andara 2012). Sementara dampak negatifnya dirasakan oleh negara produsen yang produknya sejenis dengan produk impor China, terlebih lagi karena harganya yang murah dan sangat kompetitif. Industri TPT China memiliki biaya tenaga kerja yang rendah dan ketersediaan terhadap bahan baku mendukung perluasan ekspor ke berbagai belahan dunia. Secara global, industri TPT memiliki beragam jenis output dengan nilai yang beragam. Negara-negara yang unggul dalam industri tersebut dituntut melakukan diferensiasi produk sehingga tercipta perdagangan. Perdagangan dunia bersifat intra industry ketika perdagangan terjadi dalam komoditas sejenis. Liberalisasi ACFTA yang menuntut pengembangan komoditi yang semakin kompetitif yang mendukung terjadinya intra industry trade. Berdasarkan Tabel 1 sebagian besar negara-negara ASEAN dan China memiliki keunggulan dalam ekspor komoditi TPT di pasar dunia, negara-negara tersebut diantaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Kamboja (ASEAN 7) serta China. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, diantaranya yaitu: 1. Bagaimana tingkat dayasaing dan spesialisasi perdagangan TPT negaranegara ASEAN 7 dan China di kawasan ACFTA? 2. Bagaimana perkembangan integrasi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China?
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi tingkat dayasaing dan spesialisasi perdagangan TPT negaranegara ASEAN 7 dan China di kawasan ACFTA. 2. Mengidentifikasi derajat integrasi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China.
5
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi pelaku ekonomi, penelitian ini memberikan informasi dan saran yang dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China. 2. Bagi pemerintah negara-negara ASEAN 7 dan China diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dalam pengambilan kebijakan guna meningkatkan integrasi perdagangan di sektor TPT, serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi peningkatan dayasaing komoditi TPT di kawasan ACFTA. 3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai perdagangan TPT negara-negara ASEAN 7 dan China dan mengaplikasikan teori yang telah dipelajari dengan kondisi yang sebenarnya terjadi. 4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menjadi referensi penelitian tentang komoditi TPT dan kerja sama perdagangan ACFTA secara lebih mendalam.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis dayasaing, spesialisasi perdagangan, intra industry trade, dan faktor-faktor yang memengaruhi intra industry trade terhadap komoditi TPT. Komoditi TPT yang digunakan berdasarkan pengelompokan 2 digit dan 3 digit SITC (Standard International Trade Classification) revision 3. SITC 2 digit membedakan pengelompokan tekstil dengan kode 65 dan produk tekstil dengan kode 84, sedangkan SITC 3 digit yang digunakan yaitu 651, 652, 653, 654, 655, 656, 657, 658, 659, 841, 842, 843, 844, 845, 846, dan 848. Analisis dilakukan pada periode setelah implementasi ACFTA yaitu tahun 2007 hingga 2012 pada negara-negara ASEAN 7 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja) dan China.
TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Teori Perdagangan Internasional Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperoleh barang yang saling dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997). Dilihat dari sisi penawaran, perdagangan didasari oleh adanya perbedaan dalam biaya komparatif. Menurut Donald et al (2007), keuntungan perdagangan diperoleh suatu negara karena mereka berkonsentrasi untuk memproduksi komoditas yang relatif efisien dan melakukan perdagangan untuk komoditas yang
6 diproduksi secara tidak efisien. Negara-negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan mendasar. Pertama, karena negara tersebut memiliki perbedaan satu sama lain sehingga secara individual dapat menguntungkan. Kedua, negara melakukan perdagangan karena ingin mencapai skala ekonomis dalam berproduksi. Free Trade Area (FTA) Teori integrasi ekonomi mengacu pada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Free Trade Area merupakan bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dari pengaturan perdagangan preferensial, FTA termasuk tahap awal dalam integrasi ekonomi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun nontarif di antara negaranegara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak memertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar nonanggota. Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat yang akan diperoleh akan lebih besar dibandingkan dengan resiko yang dihadapi (Nugraha 2010). Kebijakan ekonomi internasional memiliki ketetapan dan peraturan yang dijalankan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Aturan tersebut akan memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional dari atau ke negara tersebut. Teori Heckscher-Ohlin Berdasarkan jumlah atau proporsi kepemilikan faktor produksi setiap negara yang berbeda-beda menyebabkan munculnya perbedaan opportunity cost suatu produk. Hal ini menimbulkan terjadinya perdagangan internasional, negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam berproduksi akan melakukan spesialisasi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya. Heckscher Ohlin juga mengemukakan bahwa perdagangan internasional merupakan kelanjutan dari perdagangan antar daerah yang perbedaannya terletak pada jarak sehingga biaya transportasi tidak dapat diabaikan. Perdagangan internasional cenderung untuk menyamakan tidak hanya harga barang-barang yang diperdagangkan saja, tetapi juga harga-harga faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang tersebut (Apridar 2009). Teori Economies of Scale Negara-negara yang memiliki proporsi faktor yang sama akan mendapat banyak manfaat dari perdagangan apabila mereka mengkhususkan diri dalam industri yang memiliki skala ekonomis yang berbeda (skala ekonomis yang besar atau skala penghasilan yang semakin meningkat), hal ini berarti bahwa biayabiaya menurun pada saat skala produksi semakin membesar. Menurut Lindert dan Kindleberger (1993), negara memiliki alasan untuk melakukan spesialisasi secara
7 sepenuhnya, dengan prinsip economies of scale negara dapat unggul dalam menghasilkan produk yang berbahan baku impor dengan harga yang lebih murah. Adanya skala ekonomis menyebabkan suatu negara mampu berproduksi secara penuh pada suatu sektor, sehingga meskipun terdapat dua negara yang berproduksi pada sektor yang sama masing-masing akan berproduksi dengan menciptakan produk yang berbeda atau terdiferensiasi. Jika terdapat skala ekonomis, melipatgandakan input yang digunakan oleh suatu sektor industri akan meningkatkan produksi industri lebih dari dua kali lipat. Semakin banyak input yang ditambah maka semakin besar kelipatannya. Intra Industry Trade Pada dasarnya terdapat dua jenis perdagangan, yakni inter industry trade dan intra industry trade. Inter industry trade merupakan perdagangan antara dua industri yang berbeda karena ketersediaan faktor produksi yang juga berbeda secara luas, hal ini mencerminkan keunggulan komparatif yang berbeda antarindustri yang berbeda. Sedangkan intra industry trade adalah perdagangan di dalam industri yang sama, hal ini timbul karena kesamaan dalam faktor produksi yang dimiliki antarnegara. Kesamaan tersebut menyebabkan keunggulan komparatif di dalam suatu sektor industri menjadi tidak begitu jelas. Kegiatan perdagangan internasional lebih banyak yang terwujud berupa pertukaran dua arah di dalam industri-industri. Apabila diasumsikan bahwa komoditi yang diperdagangkan di dunia bersifat monopoli maka akan terjadi perdagangan dua arah pada sektor komoditi tersebut. Misalkan pada pertukaran komoditi pakaian dengan pakaian atau bersifat intra industry trade, dan perdagangan komoditi pakaian dengan makanan yang bersifat inter industry. Perdagangan yang bersifat intra industry trade tersebut tidak merefleksikan keunggulan komparatif, berbeda dengan inter industry trade. Pentingnya perdagangan tersebut tergantung pada seberapa besar kesamaan antarnegara atas faktor produksi yang dimiliki (Krugman dan Obstfeld 2009). Dari waktu ke waktu pola perdagangan dunia semakin mengarah pada intra industry trade dan semakin signifikan ketika hambatan tarif dan nontarif dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Negara-negara yang terlibat perdagangan relatif memiliki kesamaan faktor produksi akibatnya kadar inter industry trade di antara negara tersebut akan berkurang dan digantikan oleh intra industry trade. Skala ekonomis dan diferensiasi produk menjadi penting, sehingga keuntungan (gain) dari skala yang membesar dan semakin banyaknya pilihan terhitung besar. Besarnya volume intra industry trade dapat diukur berdasarkan studi oleh Grubel dan Lloyd (1975) dengan indeks berikut ini : | | dengan, IIT = indeks intra industry trade X = nilai ekspor M = nilai impor Tanda mutlak pada rumus di atas berarti bahwa adanya ketidakseimbangan perdagangan diabaikan. Apabila nilai IIT mendekati nol maka perdagangan
8 semakin bersifat inter industry atau hanya terjadi searah, sebaliknya bila mendekati 1 maka integrasi bersifat intra industry trade.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu mengenai komoditi TPT dan intra industry trade telah banyak dilakukan sebelumnya dan yang relevan dengan penelitian ini diantaranya yaitu penelitian AU dan Chan (2003). Dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan intra tekstil dan produk tekstil mengambil studi kasus pada negara-negara OECD. Data yang digunakan merupakan data cross section tahun 2000, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara agregat bilateral IIT komoditi TPT negara-negara OECD berkorelasi tinggi. Peubah country spesific yang digunakan dalam mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi IIT menunjukkan hasil signifikan. Peubah-peubah tersebut yaitu GDP per kapita, jarak antarnegara, jumlah populasi minimum, dummy land border dan NAFTA. Yuan (2012) melakukan analisis IIT terhadap Swedia dengan 30 negara berpendapatan menengah. Penelitian dilakukan dengan periode tahun 1995 sampai 2010 dan komoditi yang digunakan berdasarkan klasifikasi 4 digit SITC industri mesin. Berdasarkan perhitungan indeks RCA diketahui bahwa terdapat empat negara beserta Swedia yang memiliki keunggulan komparatif dalam industri mesin, selain itu negara-negara tersebut juga memiliki tingkat IIT yang tinggi. Dalam penelitian ini IIT dibedakan menjadi vertikal (VIIT) dan horizontal (HIIT), IIT horizontal berlangsung karena adanya diferensiasi karakteristik komoditi meskipun memiliki kualitas yang sama, sedangkan IIT vertikal berlangsung pada perdagangan komoditi yang sama namun kualitasnya berbeda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara umum IIT antara Swedia dan negara-negara OECD masih bersifat inter industry, meski demikian di antaranya terdapat IIT secara vertikal. Dettmer et al (2009) melakukan studi mengenai dinamika perubahan struktural terhadap perdagangan Uni Eropa dengan China. Jenis komoditi dalam penelitian ini dibedakan menjadi komoditi primer, resource intensive, labour intensive, human capital intensive, dan technology intensive. Kemunculan China di pasar dunia berdampak pada keunggulan komparatif Eropa, dilihat dari indeks RCA China terlihat memiliki peningkatan terhadap spesialisasi komoditi technology intensive. Share VIIT China meningkat seiring dengan peningkatan FDI dari negara-negara maju termasuk Eropa. Terdapat perubahan pola perdagangan bilateral antara tahun 1999 hingga 2008, IIT bilateral lebih merata karena ekspor China menggantikan kompetitor asing dari perluasan pasar lainnya. Penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi IIT komoditi pertanian China pada tahun 1997-2006 oleh Jing et al (2010) menunjukkan bahwa tingkat IIT China dengan tiga belas mitra dagang utama tergolong rendah. Melalui analisis panel data diperoleh bahwa pendapatan per kapita dan jarak antarnegara memiliki dampak negatif terhadap nilai IIT komoditi pertanian China. Kerjasama perdagangan bebas antara China dengan beberapa mitra dagang memperlemah dampak negatif dari perdapatan per kapita terhadap IIT. Selain itu adanya
9 kesamaan kultural antara China dengan beberapa negara memiliki pengaruh positif pada tipe perdagangan ini. Studi lainnya dilakukan oleh Jambor (2013) mengenai pola dan faktorfaktor country spesific IIT komoditi agrifood negara-negara visegard dengan Uni Eropa. Selama periode 2005-2010 nilai VIIT lebih besar dibandingkan HIIT dan perdagangan agrifood negara-negara visegard didominasi pola inter industry trade. Hasil estimasi menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi IIT dapat dijelaskan GDP yang merepresentasikan tingkat perekonomian secara positif, sedangkan jarak antarnegara secara negatif berhubungan dengan IIT. Sedangkan perbedaan absolut GDP perkapita tidak berpengaruh terhadap IIT dan FDI negara reporter hanya berpengaruh secara positif terhadap IIT secara vertikal. Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Kerangka pemikiran
10
Liberalisasi perdagangan internasional sejauh ini semakin banyak melibatkan sebagian besar negara-negara di dunia baik di tingkat regional maupun bilateral. ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama perekonomian antara ASEAN dengan China yang meliputi perdagangan barang, jasa, maupun arus modal. Kerja sama ACFTA dimulai dengan mengurangi hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun nontarif. Hal ini tentu berdampak terhadap aliran perdagangan komoditi antarnegara yang terlibat. Bagi negara-negara ASEAN 7 dan China yang memiliki kesamaan potensi dalam pengembangan industri TPT, pemberlakuan kerja sama ACFTA mengakibatkan semakin meningkatnya persaingan. Salah satu dampak dari perdagangan ACFTA terhadap perekonomian negara-negara ASEAN 7 dan China dapat dilihat dari kemampuan dayasaing setiap negara. Untuk mengetahui kemampuan setiap negara dalam perdagangan komoditi TPT di kawasan ACFTA maka dapat diketahui dengan melihat tingkat keunggulan komparatif dari nilai Revealed Comparative Advantage (RCA), selain itu tingkat keunggulan kompetitif dengan perbandingan total perdagangan TPT yang terjadi dapat dilihat dengan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP). Pola integrasi perdagangan TPT yang terjadi secara bilateral antara negaranegara ASEAN 7 dan China dapat diketahui melalui analisis IIT dengan perhitungan indeks Grubel-Lloyd. Selanjutnya dapat dianalisis mengenai faktorfaktor yang memengaruhi pola integrasi perdagangan TPT dari nilai IIT tersebut. Indikator-indikator yang dijelakan pada Gambar 2 dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif berdasarkan perhitungan secara keseluruhan. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini didasarkan pada teoriteori yang ada dalam penelitian-penelitian terdahulu. Pada analisis faktor-faktor determinan IIT adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata GDP berpengaruh positif terhadap IIT. Volume intra industry trade secara bilateral akan meningkat seiring dengan peningkatan ukuran negara atau market size yang ditunjukkan dengan GDP. Dalam hal ini, peningkatan market size berpotensi untuk melakukan produksi lebih besar dan beragam serta mengindikasikan peningkatan permintaan. Menurut Helpman dan Krugman (1985) nilai IIT dalam perdagangan jenis komoditi manufaktur akan meningkat seiring dengan peningkatan market size pada kedua negara yang juga menunjukkan peningkatan skala ekonomis. Peningkatan pangsa pasar menyebabkan peningkatan permintaan luar negeri dan berpotensi meningkatkan IIT. Oleh sebab itu market size memiliki dampak positif terhadap IIT. 2. GDP per kapita memiliki korelasi secara positif dengan IIT karena nilai tersebut menunjukkan kesamaan dalam pola permintaan negara-negara. Hasil studi empiris menyatakan bahwa GDP per kapita merupakan cara utama yang merepresentasikan standar hidup rata-rata suatu masyarakat yang kemudian memengaruhi pola permintaan terhadap keragaman barang (Andersen 2003). Semakin tinggi tingkat standar hidup maka semakin tinggi pula tingkat keragaman barang. Kondisi tersebut akan menyebabkan
11 peningkatan produksi dengan melibatkan diferensiasi produk, sehingga IIT akan meningkat. 3. Nilai tukar negara partner dagang dapat berpengaruh secara positif maupun negatif. Peningkatan nilai tukar negara partner dagang menyebabkan peningkatan harga barang impor dan ekspor secara relatif (Turkcan 2010). Tingginya nilai tukar negara membuat ekspornya ke negara reporter akan meningkat sedangkan impornya menurun begitu pula sebaliknya. Kondisi tersebut juga menimbulkan perbedaan antara ekspor dan impor yang semakin besar sehingga menurunkan nilai IIT. 4. Foreign Direct Investment (FDI) negara reporter berpengaruh positif maupun negatif terhadap nilai IIT, tergantung pada sifat investasi. Perusahaan multinasional memiliki dampak krusial terhadap IIT karena aktivitas FDI perusahaan tersebut. Investasi pada fasilitas produksi di luar negeri menciptakan kemungkinan terjadinya pertukaran produk pada tingkatan yang berbeda dalam tahapan produksi yang kemudian berpengaruh terhadap IIT. Selain itu, beberapa studi menyatakan bahwa FDI sebagai subtitusi IIT apabila perusahaan-perusahaan memiliki akses pasar luar negeri secara langsung dari perdagangan secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan hubungan negatif terhadap IIT. Sebaliknya, FDI akan berpengaruh positif apabila FDI berupa ekspansi perusahaan pada suatu negara ke negara lain yang kemudian outputnya diekspor kembali ke negara asal perusahaan tersebut maka IIT akan meningkat. 5. Distance atau jarak geografis antara ibukota negara reporter dan negara partner berpengaruh negatif terhadap IIT, peubah tersebut dianggap penting dalam menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IIT secara bilateral. Jarak akan meningkatkan biaya transaksi termasuk asuransi dan biaya transportasi. Sebagai konsekuensinya, nilai IIT diperkirakan akan menurun seiring dengan semakin besarnya jarak geografis.
METODE Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dengan series dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 dan cross section yang terdiri dari negara China dan negara-negara ASEAN 7 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, vietnam, dan Kamboja) yang tergabung dalam ACFTA. Data yang digunakan dalam analisis terdiri dari data perdagangan nilai ekspor dan impor negara yang diperoleh dari UN COMTRADE (Commodity Trade Statistics Database); jarak antarnegara dari Great Circle Distanc; GDP, GDP per kapita, dan exchange rate dari ASEAN organization; serta Foreign Direct Investment diperoleh dari United Nation Statistics Division (UNSD).
12 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dilakukan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), indeks Grubel-Lloyd dan model ekonometrika panel data untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intra industry trade. Revealed Comparative Advantage (RCA) Untuk menentukan keunggulan komparatif atau dayasaing TPT negaranegara ASEAN 7 dan China di pasar ACFTA digunakan rumus Revealed Comparative Advantage (RCA), yaitu dengan rumus berikut :
dengan, Xj Xw Xij Xiw i j
= total ekspor negara j ke ACFTA = total ekspor dunia ke ACFTA = nilai ekspor komoditi i dari negara j ke ACFTA = nilai ekspor komoditi i dari dunia ke ACFTA = komoditi TPT berdasarkan SITC 2 digit = negara-negara ASEAN 7 dan China
Bila nilai RCA<1 atau sampai mendekati 0, maka dayasaing atau keunggulan komparatif komoditi i negara tersebut lemah di bawah rata-rata dunia. Sedangkan nilai RCA>1 maka dayasaing komoditi kuat atau negara tersebut memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditi tersebut. Semakin tinggi RCA menunjukkan semakin tinggi pula keunggulan komparatifnya. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat peran dan kemampuan keunggulan kompetitif negara-negara ASEAN 7 dan China dalam perdagangan TPT di pasar ACFTA, metode ini dapat melihat kecenderungan setiap negara sebagai importir atau eksportir. Perhitungan ISP dapat dirumuskan sebagai berikut :
dengan, ISP Xij Mij i j
= Indeks Spesialisasi Perdagangan = nilai ekspor komoditi i dari negara j ke ACFTA = nilai impor komoditi i negara j dari ACFTA = komoditi TPT berdasarkan SITC 2 digit = negara-negara ASEAN 7 dan China
Nilai dari hasil perhitungan ISP berkisar antara -1 hingga 1, negara memiliki kecenderungan sebagai eksportir apabila nilai ISP>0 dan cenderung sebagai importir jika -1≤ISP≤0. Selain itu, ISP digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan yang terbagi ke dalam lima tahapan sebagai berikut:
13 1. Tahap pengenalan Tahap ini berlangsung ketika suatu industri di suatu negara mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang setelahnya di negara lain mengimpor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai ISP dari industri pendatang adalah -1.00 sampai -0.50. 2. Tahap substitusi impor Pada tahap ini nilai ISP meningkat antara -0.51 sampai 0.00. Hal ini menunjukkan dayasaing industri yang rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonomisnya. Produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri, dengan kata lain negara tersebut lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. 3. Tahap pertumbuhan Nilai ISP meningkat antara 0.01 sampai 0.80 dan industri negara tersebut melakukan produksi dalam skala besar dan mulai menigkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan. 4. Tahap kematangan Pada tahap ini nilai ISP berada pada kisaran 0.81 sampai 1.00, produk yang bersangkutan berada pada tahap standardisasi terhadap teknologi yang dimiliki. Negara yang berada pada tahap ini merupakan negara net eksportir. 5. Tahap kembali mengimpor Nilai ISP pada tahap ini kembali menurun antara 1.00 sampai 0.00, industri di suatu negara kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara lain. Produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri. Indeks Grubel-Lloyd Indeks Grubel-Lloyd menunjukan derajat intensitas intra industry trade yakni merupakan tingkat integrasi perdagangan yang terjadi antarnegara. indeks Grubel-Lloyd dapat dirumuskan sebagai berikut: ∑ | | ( ) ∑ ∑ dengan, IITijk Xijk Mijk i
= perdagangan intra industri komoditi i antara negara j dan k = nilai ekspor komoditi i antara negara j (reporter) dan k (partner) = nilai impor komoditi i antara negara j(reporter) dan k (partner) = komoditi TPT berdasarkan SITC 3 digit
Tabel 2 Klasifikasi nilai IIT Intra Industry Trade (%) 0.00 0.01-24.99 25.00-49.99 50.00-74.99 75.00-100 Sumber : Austria, 2004
Klasifikasi Tidak ada integrasi (one way trade) Integrasi lemah Integrasi sedang Integrasi kuat Integrasi sangat kuat
14 Model Ekonometrika Metode permodelan ekonometrika digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi IIT komoditi TPT intra ASEAN 7 dan China dengan pendekatan data panel. Bentuk formulasi model dalam penelitian ini yakni sabagai berikut :
dengan, IITijkt AVGDPjkt AVGDPCjkt ERPkt FDIjt FERjkt WDISTjkt
= indeks Intra-Industry Trade (IIT) komoditi TPT antara negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (%) = rata-rata GDP negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (juta US$) = rata-rata GDP per kapita negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (US$) = nilai negara k (partner) pada tahun t (juta US$) = nilai Foreign Direct Investment (FDI) negara j (reporter) pada tahun t (US$) = perbedaan fluktuasi exchange rate per kapita negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (US$) = weighted distance antara ibukota negara j (reporter) dengan ibukota negara k (partner) pada tahun t (km)
Peubah rata-rata Gross Domestic Product (GDP) dan GDP per kapita (AVGDPC) yang digunakan dalam model dihitung secara rata-rata antar kedua negara yang terlibat perdagangan sebagai indikator ukuran tingkat perekonomian. Sedangkan, Fluktuasi exchange rate (FER) dalam model dirumuskan sebagai berikut. | | dengan, FER = Fluktuasi exchange rate Δ j = Fluktuasi exchange rate negara j (reporter) (US$) Δ k = Fluktuasi exchange rate negara k (partner) (US$) Peubah WDIST pada model merupakan jarak geografis yang didefinisikan sebagai weighted distance antara negara reporter dan negara partner dengan formulasi sebagai berikut. ∑ dengan, WDISTjkt DISTjk GDPkt
= weighted distance antara negara j (reporter) dengan negara k (partner)(km) = jarak antara negara j (reporter) dengan negara k (partner)(km) = GDP negara k (partner) pada tahun t (juta US$)
15 Panel Data Panel data merupakan penggabungan dari observasi cross section yang sama dalam beberapa periode (time series). Kelebihan dari data panel yaitu dapat mengatasi masalah ketersediaan data yang mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Peningkatan jumlah observasi dalam estimasi data panel berpengaruh pada peningkatan derajat bebas (degree of freedom) sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (Gujarati 1978). Berikut ini merupakan jenis pendekatan yang dapat digunakan dalam estimasi model data panel dengan bantuan program eviews 6. 1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pooled least square atau penggunaan model kuadrat terkecil merupakan pendugaan (pooling) terhadap semua data gabungan cross section dan time series. Sehingga terdapat N (jumlah unit cross section) dan T (jumlah periode waktu) dalam observasi yang dapat dituliskan ke dalam fungsi berikut. dengan, i (1,2,..., n) = individu ke-i t (1,2,..., n) = periode tahun ke-t Yit = peubah endogen individu ke-i periode tahun ke-t Xit = peubah eksogen individu ke-i periode tahun ke-t α = intersep β = slope ε = error/ simpangan Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa nilai intersep masing-masing peubah sama, dan slope koefisien dari dua peubah identik untuk semua unit cross section. Kelemahan pada model yaitu dapat mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y dan X antar unit cross section. 2. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM) Model efek tetap atau fixed effect model diperoleh dengan pertimbangan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat menyebabkan perubahan dalam intersep cross section dan time series. Dalam model ini juga dapat ditambahkan peubah dummy yang kemudian diduga dengan Ordinary Least Square (OLS). dengan, Yit = peubah endogen individu ke-i periode tahun ke-t Xit = peubah eksogen individu ke-i periode tahun ke-t α = intersep D = peubah dummy β = slope ε = error/ simpangan 3. Pendekatan Random Effect Model (REM) Model efek acak atau random effect model dapat mengatasi konsekuensi dari pengurangan banyaknya derajat bebas yang akan mengurangi efisiensi dari parameter yang di estimasi akibat penambahan peubah dummy dalam metode efek tetap. Dalam pendekatan ini parameter yang berbeda antar individu maupun waktu dimasukkan ke dalam error.
16 dengan, Uit ~ N(0,δu2) = komponen cross section error Vit ~ N(0,δv2) = komponen time series error 2 Wit ~ N(0,δ ) = komponen combination error Pendekatan efek acak dapat menghemat derajat bebas dan tidak mengurangi jumlahnya seperti pada model efek tetap, sehingga parameter hasil estimasi dapat lebih efisien. Dalam penelitian ini hanya dinekankan pada pendekatan fixed effect model dan random effect model. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa intersep berbeda untuk setiap individu. Pada pendekatan pooled least square digunakan asumsi bahwa intersep dan slope dari persamaan regresi konstan baik antar individu maupun antar waktu. Dari jenis pendekatan fixed effect dan random effect selanjutnya akan dipilih sebuah pendekatan terbaik berdasarkan hasil Uji Haussman. Uji Haussman dapat menentukan penggunaan metode fixed effect atau random effect. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. H0 : model random effect H1 : model fixed effect Apabila p-value lebih kecil dari taraf nyata (10%) pada random effect, maka cukup bukti untuk menolak H0 dan memilih model fixed effect begitu pula sebaliknya. Kriteria yang digunakan dalam pembobotan data panel berbeda-beda, diantaranya yaitu : 1. No weighting yang semua observasi diberi bobot yang sama. 2. Cross section weight dilakukan dengan Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, dan digunakan bila terdepan heteroskedastisitas pada cross section. 3. Cross section SUR dilakukan dengan GLS oleh estimasi residual covariance matrix cross section, dan digunakan untuk mengoreksi hateroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section. Pengujian asumsi model : 1. Uji Kenormalan Uji kenormalan digunakan untuk mengetahui error term telah terdistribusi normal atau tidak dengan cara melihat nilai probabilitas yang dihasilkan. Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata (10%) maka data dapat dinyatakan menyebar normal. 2. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara peubah independen dalam persamaan regresi. Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2 besar. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R2 yang tinggi (0.7-1), tetapi tidak terdapat atau hanya sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan General Least Square/GLS (cross section weight), sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan. 3. Uji Homoskedastisitas Jika seluruh faktor pengganggu pada model tidak memiliki varian yang konstan maka diduga model mengalami masalah heteroskedastisitas. Selain itu dapat pula dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted
17 statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted satistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. 4. Uji Autokorelasi Suatu data dikatakan mengandung autokorelasi dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson (DW) hasil estimasi dengan nilai DW pada tabel. Jika nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan berada pada area non autokorelasi mendekati dua maka dapat disimpulkan bahwa pada model tersebut terbebas dari autokorelasi. Hipotesis pada uji autokorelasi adalah sebagai berikut. H0: Tidak terdapat autokorelasi H1: Terdapat autokorelasi Selang nilai statistik Durbin Watson adalah sebagai berikut. 0
GAMBARAN UMUM ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan baik tarif maupun nontarif, peningkatan ekses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Dalam kerangka perjanjian tersebut, negara-negara yang terlibat saling memberikan preferential treatment pada tiga sektor, yaitu perdagangan barang, jasa, dan investasi. Preferential treatment adalah perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan yang diberikan kepada negara mitra dagang lain nonanggota. ACFTA mulai diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2010. Aturan impor dikenakan pada 90% produk-produk yang diperdagangkan antara ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam, Filipina, Thailand, dan Singapura) dan China dengan penghapusan tarif secara penuh pada 2010. Negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) penghapusan tarif secara penuh akan diberlakukan pada 2015. Perdagangan barang dalam ACFTA ditetapkan atas dasar urutan kategori produk yang paling siap untuk diliberalisasikan terlebih dulu. Terdapat tiga kategori produk dengan tahapan pemotongan tarif yang berbedabeda, yaitu Early Harvest Package (EHP), Normal Track, dan Sensitive Track. Early Harvest Package meliputi produk-produk dalam chapter 01 sampai 08 yaitu binatang hidup, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan. Berdasarkan Tabel 3, penurunan tarif pada kategori ini terdiri dari tiga tahap dimulai pada 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0% pada 2006.
18 Tabel 3 Jadwal penurunan tarif Early Harvest Package Tingkat tarif bea Jangka waktu tidak melewati 1 Januari masuk (X) 2004 (%) 2005 (%) 2006 (%) ≥ 15% 10 5 0 5% ≤ < 15% 5 0 0 X < 5% 0 0 0 Sumber: Kementerian Keuangan, 2012 Kategori Normal Track terbagi dalam Normal Track I dan II, pada Normal Track I dikenakan penurunan tarif sebesar 40% pada tahun 2005 dengan penurunan bertahap dari 0% sampai 5%, kemudian tarif akan menjadi 0% pada 2010. Sedangkan pada Normal Track II, tarif akan menjadi 0% pada tahun 2012. Pada setiap negara jenis produk yang termasuk dalam kategori-kategori pemotongan tarif berbeda-beda, tidak lebih dari 150 produk yang akan dihapuskan tarifnya pada 2012. Tabel 4 Jadwal penurunan tarif Normal Track Tingkat tarif Jangka waktu tidak melewati 1 Januari bea masuk 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (X) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) X>20% 20 20 12 12 5 0/5* 0/5* 15%≤ <20% 15 15 8 8 5 0/5* 0/5* 10%≤ <15% 10 10 8 8 5 0/0 0/0 5%<X<10% 5 5 5 5 0 0 0 ≤ 5% Tetap Tetap Tetap Tetap 0 0 0 Sumber: Kementerian Keuangan, 2012
2012 (%) 0/0* 0/0* 0/0* 0/0* 0/0*
Kategori Sensitive Track merupakan produk yang paling akhir diliberalisasi, produk-produk yang termasuk dalam kategori ini dibedakan menjadi Sensitive List (SL), Highly Sensitive List (HSL), dan General Exclusion List (GEL). Tarif bea masuk untuk SL akan diturunkan menjadi 0% hingga 20% pada rentang waktu 2012 hingga 2017 dan dijadwalkan menjadi 0% hingga maksimum 5% pada tahun 2018. Tarif sub kategori HSL akan diturunkan menjadi 0% hingga 50% pada tahun 2015. Sedangkan GEL merupakan pengecualian dari produk yang diliberalisasikan, maka besaran tarif yang diberlakukan tetap tarif MFN (Most Favoured Nation).
Industri Tekstil dan Produk Tekstil Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor industri manufaktur yang menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar dengan output yang dihasilkan berupa kain, bahan pakaian atau sejenisnya yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Secara garis besar, industri TPT meliputi tiga bagian, yaitu sektor industri hulu (upstream), sektor industri antara (midstream), dan sektor industri hilir (downstream).
19
Sumber: Kementrian Perindustrian Gambar 3 Pohon industri tekstil dan produk tekstil berdasarkan KLUI Sektor industri hulu (upstream) merupakan sektor yang memproduksi serat dan benang yang berbahan dasar output dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan hasil tambang atau bahan kimia. Jenis industri yang termasuk sektor hulu adalah industri serat alam, serat buatan staple, benang filamen, pemintalan dan pencelupan benang. Sektor hulu merupakan industri yang relatif padat modal, tingkat teknologi tinggi, berskala besar dan menggunakan mesinmesin otomatis dan nilai tambahnya paling besar. Sektor industri antara (midstream) adalah industri yang memproduksi kain, diantaranya industri pertenunan (weaving), perajutan (knitting), pencelupan (dyeing), pencapan (printing), penyempurnaan (finishing), dan industri nonwoven. Sifat industri ini semi padat modal, teknologi madya dan terus berkembang, jumlah tenaga kerja lebih besar dari sektor industri hulu. Pada segmen printing mengutamakan aspek krativitas, sedangkan segmen dyeing memerlukan manajemen pengolahan limbah yang memadai dengan biaya cukup besar. Sektor industri hilir (downstream) memproduksi barang-barang jadi tekstil konsumsi masyarakat. Industri yang termasuk didalamnya adalah industri pakaian jadi, embroideri, dan industri produk tekstil lainnya selain pakaian jadi. Industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing, dan finishing yang menghasilkan produk siap pakai. Pada sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja atau memiliki sifat industri padat karya. Industri manufaktur TPT saat ini mulai bergeser ke negara-negara Asia karena faktor biaya tenaga kerja yang murah dan ketersediaan bahan baku yang melimpah. Orientasi ekspor produsen di ASEAN terutama pada segmen garmen akan mendorong integrasi bisnis dari hulu ke hilir antar negara-negara anggota ASEAN. Kekuatan ASEAN dapat menjadi domestic market dengan mata rantai produksi tekstilnya sendiri.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Dayasaing dan Spesialisasi Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Negara-negara ASEAN 7 dan China di Kawasan ACFTA Kemampuan bersaing dan keunggulan kompetitif negara-negara ASEAN 7 dan Cina dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) ditunjukkan dengan besaran nilai RCA dan ISP. Perhitungan tingkat dayasaing yang dilihat dari nilai RCA dan tingkat keunggulan kompetitif yang dilihat dari nilai ISP tidak saling berkorelasi. Negara yang memiliki dayasaing TPT tinggi tidak berarti cenderung sebagai eksportir. Tabel 5 menunjukkan nilai RCA dimana setiap negara memiliki keunggulan komparatif komoditi TPT yang berbeda-beda, tingginya keunggulan komparatif TPT yang dimiliki negara menunjukkan kemampuan negara dalan memproduksi output sektor TPT dibanding negara lain. Sedangkan nilai ISP yang ditunjukkan Tabel 6 merupakan tingkat permintaan dan penawaran setiap negara terhadap komoditi TPT, sehingga negara tersebut memiliki kecenderungan sebagai negara eksportir atau importir TPT. Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa nilai RCA Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand memiliki keunggulan komparatif rendah (RCA<1) baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil. Pada tahun 2012 nilai RCA tekstil Indonesia sebesar 0.64 dan Singapura sebesar 0.17, kedua negara tersebut mengalami penurunan keunggulan komparatif komoditi tekstil di pasar ACFTA pada periode 2007 hingga 2012. Sementara untuk Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing memiliki indeks RCA komoditi tekstil pada 2012 sebesar 0.36, 0.13, dan 0.78. Penurunan dayasaing TPT Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, faktor utama yaitu Indonesia tidak memiliki pasokan bahan baku TPT yang memadai. Kebutuhan akan kapas masih sepenuhnya diimpor terutama dari Amerika dan Australia. Industri pemintalan tergantung pada kualitas kapas yang tinggi karena mengandalkan kualitas benang yang tinggi agar dapat bersaing dengan produk TPT asal China. Setiap tahun neraca perdagangan TPT Indonesia mengalami defisit yang semakin besar dengan China, produk China yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar domestik Indonesia. Indonesia memiliki pasar yang tergolong besar menjadi sasaran penetrasi pasar komoditi TPT dari negara-negara lain. Komoditi tekstil Kamboja mengalami penurunan dayasaing cukup drastis dimulai pada 2008 hingga nilai RCA<1, sedangkan pada 2007 nilai RCA tergolong tinggi yaitu sebesar 1.46. Berbeda dengan tekstil, produk tekstil Kamboja berdayasaing semakin tinggi hingga mencapai 2.12 pada tahun 2012 meskipun sempat terjadi penurunan secara signifikan pada 2009 sebesar 0.75 dikarenakan guncangan krisis. Vietnam memiliki keunggulan komparatif tekstil maupun produk tekstil yang tinggi (RCA>1) dan semakin meningkat dengan RCA tekstil sebesar 2.12 dan produk tekstil sebesar 1.35 pada tahun 2012. Daya saing Kamboja dan Vietnam meningkat tajam khususnya pada komoditi produk tekstil,
21 industri garmen yang padat karya menjadi keunggulan kompetitif kedua negara tersebut. Posisi China dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA pada tahun 2007 sampai 2012 memiliki dayasaing tinggi terutama untuk jenis produk tekstil atau garmen. Seperti halnya dengan komoditi tekstil, produk tekstil Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berdayasaing lemah dengan nilai RCA setiap tahun yang berfluktuasi. Setelah implementasi ACFTA, perdagangan TPT setiap negara mengalami penurunan dayasaing, secara umum indeks RCA lebih kecil dari 1 kecuali untuk negara Vietnam, Kamboja, dan China yang mampu mempertahankan dayasaingnya di kawasan ACFTA. Tabel 5 Nilai RCA komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 Negara Komoditi 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Indonesia 0.89 0.81 0.71 0.73 0.63 0.64 Malaysia 0.36 0.39 0.39 0.38 0.41 0.36 Filipina 0.09 0.10 0.12 0.09 0.12 0.13 Singapura 0.23 0.22 0.21 0.18 0.18 0.17 Tekstil Thailand 0.76 0.81 0.90 0.94 0.86 0.78 Vietnam 1.22 1.42 1.92 2.41 2.38 2.12 Kamboja 0.53 0.25 0.28 0.29 0.54 1.46 China 2.65 3.04 3.25 3.80 4.27 3.91 Indonesia 0.70 0.79 0.20 0.90 0.77 0.60 Malaysia 0.37 0.52 0.12 0.62 0.69 0.49 Filipina 0.22 0.33 0.07 0.16 0.41 0.30 Singapura 0.44 0.59 0.14 0.53 0.49 0.50 Produk Tekstil Thailand 0.34 0.43 0.12 0.65 0.56 0.43 Vietnam 0.71 0.86 0.20 1.35 1.84 1.35 Kamboja 6.09 6.64 0.75 6.57 10.5 12.2 China 7.39 6.27 1.38 6.61 6.40 7.09 Sumber : UN Comtrade (diolah) Dampak krisis global berpengaruh pada tingkat dayasaing TPT ASEAN, terutama pada produk tekstil. Pada Tabel 5, indeks RCA yang dimiliki setiap negara mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2009. Krisis yang pada 2008 melanda Amerika dan Uni Eropa yang merupakan negara tujuan utama eksportir TPT, menyebabkan penurunan produksi karena adanya pembatalan transaksi. Hal yang perlu diperhatikan dari kondisi krisis global adalah pengaruhnya terhadap nilai tukar domestik terhadap US dollar, karena nilai tukar domestik yang tinggi akan merugikan eksportir sehingga menurunkan kinerja ekspor TPT. Tabel 6 menunjukkan nilai ISP negara-negara ASEAN 7 dan China di pasar ACFTA, nilai ISP tertinggi dan stabil untuk tekstil dan produk tekstil dimiliki oleh h na. N la ISP h na berada pada tahap pertumbuhan (0.01≤ISP≤0.08) meski pada 2009 sempat mengalami penurunan karena dampak krisis global. Nilai ISP komoditi tekstil tahun 2007 hingga 2009 masing-masing sebesar 0.63, 0.62, dan 0.58, sedangkan produk tekstil sebesar 0.54, 0.34, dan 0.34. Nilai ISP pasca
22 krisis tahun 2010 hingga 2012 secara signifikan mulai meningkat. Hal tersebut berarti bahwa China mulai meningkatkan ekspornya di pasar ACFTA baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil. Tabel 6 Nilai ISP komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 20072012 Komoditi Negara 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Indonesia 0.47 0.42 0.37 0.31 -0.29 -0.37 Malaysia -0.12 -0.03 -0.02 -0.08 -0.11 -0.12 Filipina -0.05 -0.10 0.00 -0.06 -0.08 -0.13 Singapura 0.08 0.03 0.10 0.06 0.07 0.11 Tekstil Thailand -0.05 -0.10 0.00 -0.06 -0.08 -0.13 Vietnam -0.06 -0.11 -0.01 -0.07 -0.09 -0.14 Kamboja -0.97 -0.99 -0.99 -0.99 -0.99 -0.98 China 0.63 0.62 0.58 0.64 0.66 0.64 Indonesia 0.71 0.57 0.50 0.31 0.02 0.07 Malaysia -0.31 -0.31 -0.21 -0.18 -0.24 -0.29 Filipina -0.24 -0.27 -0.23 -0.22 -0.27 -0.30 Singapura -0.60 -0.51 -0.54 -0.55 -0.55 -0.38 Produk Tekstil Thailand -0.24 -0.27 -0.23 -0.22 -0.27 -0.30 Vietnam -0.19 -0.23 -0.19 -0.17 -0.22 -0.26 Kamboja -0.08 -0.05 0.04 0.19 0.17 0.36 China 0.54 0.34 0.34 0.42 0.41 0.41 Sumber : UN Comtrade (diolah) Banyak faktor yang menyebabkan China unggul dalam komoditi TPT, diantaranya yaitu karena China memiliki bahan baku TPT yang memadai, salah satunya kapas. Kemudian harga yang ditawarkan China jauh lebih murah, dengan biaya produksi yang rendah. Industri TPT di China bersifat massal dengan skala produksi yang sangat besar didukung dengan kondisi infrastruktur dan sektor keuangan yang baik. Setelah China, Indonesia juga memiliki nilai ISP yang menunjukkan kecenderungan sebagai pengekspor komoditi tekstil dan produk tekstil. Pasca diberlakukannya liberalisasi ACFTA, keunggulan kompetitif Indonesia semakin menurun setiap tahunnya. Industri TPT Indonesia kalah bersaing dari produk negara-negara lain terutama desakan produk China, sehingga besaran ISP berada pada tahapan embal meng mpor (1.00≤ISP≤0.00). Pada tahun 2007 n la ISP komoditi tekstil sebesar 0.47 menurun hingga sebesar -0.37 pada 2012, sementara untuk produk tekstil pada 2007 sebesar 0.71 dan menurun pada 2012 mencapai 0.07. Singapura memiliki keunggulan kompetitif untuk komoditi tekstil, nilai ISP yang positif berarti bahwa ekspor komoditi tekstil Singapura lebih dominan dibanding impornya. Nilai ISP tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah 0.08 dan 0.11, sedangkan komoditi produk tekstil kurang kompetitif di pasar ACFTA karena memiliki nilai ISP negatif yaitu -0.60 pada 2007 namun memiliki kecenderungan yang perlahan meningkat.
23 Komoditi produk tekstil Kamboja mulai memasuki tahap pertumbuhan dari nilai ISP sebesar -0.08 pada 2007 menjadi 0.36 pada 2012. Sementara itu, komoditi tekstil Kamboja tidak memiliki keunggulan kompetitif bahkan memiliki nilai ISP terendah yaitu sebesar -0.98 pada 2012. Dapat dikatakan bahwa Kamboja cenderung sebagai eksportir komoditi tekstil, namun untuk komoditi produk tekstil cenderung sebagai importir. Ketersediaan bahan baku TPT negara Kamboja tergolong kurang memadai, pada sektor industri hulunya pun didominasi oleh perusahaan asing dunia sementara perusahaan multinasional di Kamboja yang dirancang oleh warga setempat masih sangat minim sehingga terlihat bahwa nilai ISP produk tekstil Kamboja terus meningkat. Ekspansi perusahaan asing ke Kamboja dapat disebabkan karena tingkat upah dan biaya produksi yang rendah. Komoditi tekstil dan produk tekstil Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam kurang memiliki keunggulan kompetitif, dilihat dari nilai ISP dari 2007 hingga 2012 yang terus menurun. Malaysia memiliki nilai ISP komoditi tekstil pada 2007 sebesar -0.12, Filipina dan Thailand sebesar -0.05, serta Vietnam sebesar -0.06. Sama halnya dengan komoditi produk tekstilnya, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam memiliki nilai ISP yang rendah (ISP<1) dan cenderung pada kisaran tetap pada 2007 hingga 2012. Hal ini berarti bahwa negara-negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang lemah dengan nilai impor yang lebih besar daripada ekspor.
Dinamika Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China Berdasarkan perhitungan indeks Grubel-Lloyd pada Lampiran 2, secara umum nilai IIT komoditi TPT secara bilateral antara negara-negara ASEAN 7 dan China pada 2012 sebanyak 46% berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%24.99%). Integrasi lemah berlangsung antara negara Kamboja dan China dengan partner dagangnya. Sementara itu, sebanyak 34% dari hasil perhitungan IIT berada pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%). Sedangkan 20% tergolong tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) yaitu terdapat pada IIT komoditi TPT Indonesia dan Singapura dengan partner dagangnya yang termasuk negara-negara ASEAN 7 dan China. Indonesia Berdasarkan Gambar 4, nilai IIT TPT Indonesia terhadap negara China dan ASEAN 6 lainnya mengalami perubahan kecenderungan pada periode 2007 hingga 2012. Nilai IIT dengan negara ASEAN-6 lainnya sebagian besar mulai meningkat pada tahun 2007, hal tersebut menunjukkan integrasi perdagangan TPT antara Indonesia dan negara ASEAN semakin menguat terutama dengan negara Thailand, Vietnam, dan Singapura yang pada 2012 bernilai masing-masing sebesar 70.40%, 69.69%, dan 53.23%.
24 80 MAL IIT (%)
60
PHI SNG
40
THA 20
VTM CAM
0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
CHI
Gambar 4 Nilai IIT TPT Indonesia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Perdagangan TPT Indonesia dengan Malaysia menguat pada tingkat integrasi sedang sebesar 40.22% pada 2012. Sedangkan aliran perdagangan TPT Indonesia dengan Filipina dan Kamboja menunjukkan adanya fluktuasi namun masih dalam kategori integrasi lemah dengan rata-rata nilai IIT setiap tahunnya masing-masing sebesar 8.08% dan 8.92%. Berbanding terbalik dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura, nilai IIT Indonesia dengan China semakin menurun hingga sebesar 25.86% pada 2012 dari tingkat semula yang termasuk integrasi kuat sebesar 51.78% pada 2007. Semakin terbukanya akses perdagangan menyebabkan dominasi produk TPT asal China yang masuk ke Indonesia. Malaysia 80 INA PHI SNG THA VTM CAM CHI
IIT (%)
60 40 20 0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Gambar 5 Nilai IIT TPT Malaysia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Aliran perdagangan TPT antara Malaysia dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya ditunjukkan oleh Gambar 5, integrasi secara kuat terjadi dengan negara Thailand dan Vietnam, namun integrasi keduanya mengalami penurunan. Antara Malaysia dengan Thailand pada 2007 sebesar 64.86% hingga sebesar 37.46% pada 2012, sedangkan antara Malaysia dengan Vietnam menurun hingga sebesar 45.07% pada 2012. Integrasi yang paling lemah (0.01%-24.99%) terjadi pada Kamboja dan Filipina dengan rata-rata selama periode 2007 hingga 2012 masingmasing sebesar 1.97% dan 14.48%, sedangkan IIT Malaysia dengan Indonesia
25 menunjukkan peningkatan perlahan dan sempat mencapai tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) pada 2010 sebesar 53.07% dan 2011 sebesar 51.93%. Begitupun integrasi dengan China yang meningkat hingga 41.54% pada 2010, sementara itu pada periode yang sama integrasi dengan Singapura menurun pada posisi 28.67%. Fluktuasi yang terjadi antara Malaysia dengan Indonesia, China, dan Singapura tidak terlalu besar setiap tahunnya dan integrasi ketiganya cenderung pada tingkat sedang (25.00%-49.99%) masing-masing memiliki ratarata IIT sebesar 48.22%, 33.40%, dan 32.87%.
IIT (%)
Filipina Tingkat IIT antara Filipina dengan negara China dan ASEAN 6 secara umum memiliki tingkat integrasi yang lemah (0.01%-24.99%). Pada Gambar 6 terlihat nilai IIT komoditi TPT yang paling tinggi terjadi antara Filipina dengan Singapura, nilainya pun berfluktuasi cukup tajam yakni pada tahun 2009 dan 2011 sebesar 57.71% dan 56.84%, sempat mengalami penurunan pada angka 36.72% tahun 2010. Sementara itu, terdapat lonjakan nilai IIT yang terjadi antara Filipina dengan Thailand pada tahun 2012 yakni meningkat sebesar 29.78% menjadi 57.51% dimana angka tersebut tergolong dalam integrasi kuat (50.00%-74.99%). Hal ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya ekspor Filipina pada jenis komoditi produk tekstil. Berikutnya, IIT antara Filipina dengan Kamboja terus mengalami penurunan hingga mendekati 0% yaitu pada 2012 sebesar 1.90%, begitupula antara Filipina dengan Indonesia, Vietnam, dan China yang rata-rata IIT selama periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 15.37%, 14.43%, dan 14.07%. Sedangkan IIT dengan Malaysia berada pada tingkat integrasi sedang pada kisaran 26.49% selama periode enam tahun. 70 60 50 40 30 20 10 0
INA MAL SNG THA VTM
CAM
CHI 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun Gambar 6 Nilai IIT TPT Filipina dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Singapura Hasil perhitungan indeks IIT pada Gambar 7, aliran perdagangan TPT antarnegara Singapura dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang rata-rata berada pada tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%). Aliran perdagangan yang paling tinggi dan stabil berlangsung antara Singapura dengan Thailand pada 2012 mencapai 63.56%. Aliran perdagangan Singapura
26
IIT (%)
dengan Filipina meningkat mencapai tingkat integrasi kuat pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 67.98% dan 61.65%. 80 INA 60 MAL PHI
40
THA 20
VTM
0
CAM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
CHI
Gambar 7 Nilai IIT TPT Singapura dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Pada Gambar 7 juga terlihat pengelompokan nilai IIT antara Singapura dengan negara partner dagang tertentu secara jelas, nilai IIT antara Singapura dan Kamboja berada pada tingkat integrasi lemah dengan rata-rata 9.38%, begitu pula dengan China dengan rata-rata sebesar 8.37%. Dilihat dari aliran ekspor dan impornya. perdagangan TPT antara Singapura dan China cenderung didominasi oleh impor TPT dari China ke Singapura dengan perbedaan nilai yang cukup besar. Integrasi aliran perdagangan TPT antara Singapura dengan Indonesia dan Vietnam selama periode 2007 hingga 2012 stabil pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%) dengan rata-rata nilai IIT sebesar 42.70% dan 40.61%. Thailand 80 INA IIT (%)
60
MAL PHI
40
SNG 20
VTM
0
CAM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
CHI
Gambar 8 Nilai IIT TPT Thailand dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Berdasarkan Gambar 8, nilai IIT untuk komoditi TPT antara Thailand dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya sangat beragam. Antara Thailand dengan Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat intregasi yang tergolong kuat (50.00%-74.99%) dengan perubahan nilai yang cukup stabil dalam periode enam tahun, dan pada 2012 masing-masing memiliki nilai IIT sebesar 68.31% dan 66.55%.
27 Berikutnya antara Thailand dengan Vietnam, Singapura, dan China berada pada tingkat IIT sedang (25.00%-49.99%) rata-rata nilainya masing-masing sebesar 41.51%, 26.27%, dan 36.42%. Sedangkan aliran perdagangan paling rendah yaitu antara Thailand dengan Singapura dan Filipina. angka IIT keduanya cukup berfluktuasi, namun ada kecenderungan peningkatan dimulai tahun 2010 hingga pada 2012 sebesar 42.98% dan 32.64%. Integrasi terendah terdapat pada aliran perdagangan antara Thailand dengan kamboja, nilainya hampir mendekati 0%, namun pada 2010 mulai mengalami peningkatan meskipun masih tergolong integrasi lemah (0.01%-24.99%) rata-rata sebesar 8.10%.
IIT (%)
Vietnam Peningkatan nilai IIT antara Vietnam dengan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9, pada tahun 2008 terjadi tren meningkat hingga mencapai tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%) pada tahun 2012 sebesar 60.46%. Nilai IIT tertinggi terjadi antara Vietnam dengan Malaysia dengan nilai yang cenderung stabil dengan rata-rata selama periode 2007 hingga 2012 sebesar 61.29%. Berikutnya aliran perdagangan TPT dengan negara Thailand pada kategori integrasi sedang (25.00%-49.99%) dan mulai terjadi penurunan perlahan mulai 2008, meski demikian secara rata-rata nilainya sebesar 43.51%. 70 INA 60 MAL 50 40 PHI 30 SNG 20 THA 10 CAM 0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 CHI Tahun Gambar 9 Nilai IIT TPT Vietnam dengan negara-negara ASEAN 6 dan China Pada Gambar 9 juga ditunjukkan IIT komoditi TPT antara Vietnam dengan Singapura, China, Filipina, dan Kamboja yang rata-rata berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%-24.99%) dalam periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 22.43%, 14.85%, 8.67%, dan 5.87%. Meski secara rata-rata rendah, integrasi antara Vietnam dan Singapura memiliki kecenderungan yang perlahan meningkat mulai 2009 dan pada 2012 tergolong integrasi sedang dengan nilai IIT 27.74%. Kamboja Aliran perdagangan TPT antara Kamboja dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya pada Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%). Nilai IIT antara Kamboja dan Filipina pada periode 2007 tergolong integrasi sedang sebesar 40.26%, namun nilai tersebut terus menurun secara signifikan mendekati 0% hingga pada 2012 sebesar 2.35%. Bila dilihat dari neraca perdagangan, Kamboja cenderung sebagai importir
28 komoditi TPT bila dibandingkan dengan negara China, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura. Oleh sebab itu integrasi yang terjalin antara Kamboja dengan negara lainnya terlihat lemah dan pada 2012 seluruhnya berada pada tingkat integrasi lemah. 50 INA
IIT (%)
40
MAL
30
PHI
20
SNG
10
THA
0
VTM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
CHI
Gambar 10 Nilai IIT TPT Kamboja dengan negara-negara ASEAN 6 dan China China Berdasarkan Gambar 11, IIT TPT antara China dan negara-negara ASEAN 7 selama periode 2007 hingga 2012 rata-rata berada pada tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%).Rata-rata nilai IIT China dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Kamboja masing-masing sebesar 20.36%, 13.80%, 8.61%, 4.09%. 14.21%, dan 4.92%. Sementara antara Cina dengan Thailand berada pada tingkat integrasi kuat (25.00%-49.99%) dibandingkan negara lainnya yaitu sebesar 47.94% pada 2007 meski perlahan menurun hingga 32.23% pada 2012. China merupakan negara importir TPT yang berpengaruh cukup besar dalam mendominasi perdagangan TPT di kawasan ACFTA bila dibandingkan negara-negara ASEAN 7. 60 INA
IIT (%)
50
MAL
40 30
PHI
20
SNG
10
THA
0
VTM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
CAM
Gambar 11 Nilai IIT TPT China dengan negara-negara ASEAN 7 Intra industri trade komoditi TPT menunjukkan terdapat kesamaan faktor produksi yang dimiliki setiap negara dalam sektor tersebut. Nilai IIT yang rendah mengindikasikan terjadinya ketimpangan aliran perdagangan pada salah satu
29 negara, yakni negara memiliki kecenderungan nilai impor yang tinggi dan negara lainnya memiliki nilai ekspor yang tinggi dalam pasar bilateral. Perbedaan kemampuan negara dalam pertukaran ekspor dan impor komoditi TPT dapat menyebabkan pergeseran industri TPT ke negara yang memiliki faktor produksi yang lebih mendukung. Hal ini dapat memperlemah posisi negara yang kalah bersaing dalam komoditi TPT diperburuk dengan berlakunya sistem perdagangan bebas. Berdasarkan data yang dianalisis terhadap negara-negara ASEAN 7 dan China secara bilateral, terdapat perbedaan pada nilai perdagangan antarnegara yang bertindak sebagai reporter dan partner perdagangan. Idealnya antar dua negara memiliki nilai perdagangan yang sama. misal bila Indonesia sebagai negara reporter dan china sebagai partner maka nilai komoditi yang diekspor atau impor dari indonesia besarnya sama dengan nilai komoditi yang di impor atau diekspor oleh China dari Indonesia saat China menjadi reporter. Ketimpangan yang terjadi antara nilai perdagangan negara secara bilateral hampir pada seluruh data antarnegara yang dianalisis, hal ini disebabkan antara lain dikarenakan perbedaan sistem pencatatan pada negara-negara yang bersangkutan. Misal Indonesia yang selama ini memakai sistem pencatatan Freight on Board (FOB) yang tidak mencakup pembayaran jasa pengiriman, sedangkan ketika barang sampai ke China sebagai importir pencatatan dilakukan berdasarkan Cost Insurance Freight (CIF) yang nilainya lebih besar karena memperhitungkan biaya jasa pengiriman. Selain hal tersebut, juga dapat disebabkan karena perbedaan waktu pencatatan, misal ekspor dari Indonesia tercatat pada akhir bulan sampai ke China pada awal bulan berikutnya maka di China akan tercatat pada bulan tersebut. Meski demikian, ketimpangan pencatatan nilai perdagangan antarnegara juga dapat dimungkinkan karena faktor-faktor lainnya seperti underinvoicing, misclassification, maupun underpricing yang tergolong human error.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China Uji Kesesuaian Model Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan TPT antar negara-negara ASEAN 7 dan China dilakukan dengan menggunakan analisis data panel dengan periode tahun 2007 hingga 2012. Sebelumnya. model dianalisis menggunakan pendekatan Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Berdasarkan hasil uji Haussman Lampiran 3, nilai probabilitas (0.0397)
30
Tabel 7 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi Intra Industry Trade TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China Variable Coefficient AVGDP 3.558614 AVGDPC 0.782099 ERP 8.816301 FDI -0.28282 FER 0.702591 WDIST -5.13822 C -89.3204 R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Sum squared resid (weighted) Sum squared resid (unweighted)
Prob. 0.0799 0.7437 0.0002 0.0713 0.0001 0.0627 0.027 0.984361 0.980483 0.000000 1.888862 10382.72 11292.05
Selanjutnya adalah uji asumsi autokorelasi yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan korelasi antar residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Uji autokorelasi dilakukan dengan membandingkan nilai Durbin Watson (DW) hasil estimasi pada Tabel 6 sebesar 1.8888 dengan nilai DW pada tabel. Berdasarkan tabel DW dengan taraf nyata 5%, n=56, dan k=6, maka diperoleh nilai batas bawah (DL) sebesar 1.3424 dan batas atas (DU) sebesar 1.8124. Nilai DW hasil estimasi menunjukkan bahwa model terbebas dari autokorelasi dengan nilai DW berada pada rentang DU
31 yang dipilih memiliki lima peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap IIT komoditi TPT intra ASEAN 7 dan China. Faktor-faktor yang memengaruhi IIT Berdasarkan tanda dan signifikansi peubah independen rata-rata GDP antar kedua negara (AVGDP) pada model diketahui bahwa peubah tersebut memiliki pengaruh positif terhadap peubah dependennya dengan tingkat signifikansi cukup tinggi dimana probabilitas peubah adalah 0.0799
taraf nyata (10%). Perubahan standar hidup masyarakat pada negara-negara ASEAN 7 dan China tidak berpengaruh terhadap aliran perdagangan intra industry TPT. Kondisi tersebut dapat dijelaskan dari segi tingkat pendapatan per kapita sebagai faktor yang memengaruhi pola permintaan. Pada komoditi TPT, adanya perbedaan tingkat pendapatan per kapita tidak menjadi hambatan bagi negara-negara ASEAN 7 dan China untuk melakukan perdagangan intra industry, juga tidak memengaruhi pola permintaan dari negaranegara tersebut. Tipe selera masyarakat di kawasan ASEAN 7 dan China atas komoditi TPT tidak tergantung besarnya pendapatan. Pada masyarakat berpendapatan tinggi biasanya memiliki tingkat permintaan yang juga tinggi terhadap barang yang terdiferensiasi dengan kualitas baik, namun untuk komoditi TPT terdapat pergeseran dalam persaingan karena permintaan semakin meningkat untuk komoditi yang harganya murah dan menjangkau kalangan menengah ke bawah. Pola perdagangan TPT di kawasan ACFTA didominasi produk asal China yang memiliki ciri tersebut. Selain itu ketimpangan kondisi perekonomian antarnegara yang terlibat perdagangan membuat banyaknya permintaan yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Peubah independen berikutnya yaitu ERP atau nilai tukar negara partner, berdasarkan hasil estimasi ERP berpengaruh secara signifikan terhadap IIT TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China. ERP berpengaruh secara positif, apabila terjadi peningkatan ERP sebesar 1% membuat peningkatan IIT sebesar 8.81% (cateris paribus). Terjadinya kenaikan nilai tukar negara partner dagang akan menyebabkan peningkatan harga barang impor dan ekspor secara relatif. Saat nilai tukar negara partner meningkat maka ekspornya ke negara reporter akan meningkat sedangkan impornya menurun, begitupula sebaliknya. Kondisi tersebut menimbulkan selisih antara nilai ekspor dan impor semakin besar sehingga menurunkan nilai indeks IIT.
32 Sedangkan peubah Foreign Direct Investmet (FDI) negara reporter menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan peubah dependen IIT, hal tersebut berarti kenaikan FDI sebesar 1% menyebabkan penurunan aliran perdagangan TPT sebesar 0.28% (cateris paribus). Aliran FDI yang berasal dari perusahaan multinasional yang emndirikan cabang-cabang perusahaan ke negara reporter membuat dampak negatif terhadap aliran perdagangan TPT karena permintaan dari negara reporter tidak lagi dipenuhi impor dari negara dimana perusahaan tersebut berasal. Perbedaan fluktuasi nilai tukar antar dua negara berpengaruh positif terhadap IIT komoditi TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China. Tingkat signifikansi peubah FER tergolong tinggi sebesar 0.0001
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis dayasaing dan spesialisasi perdagangan setiap negara ASEAN 7 dan China menunjukkan bahwa China memiliki kemampuan tertinggi terhadap komoditi TPT di kawasan ACFTA. Berdasarkan hasil tersebut, negara yang memiliki potensi komoditi tekstil cukup baik adalah negara Vietnam dan Singapura, sedangkan untuk komoditi produk tekstil adalah Indonesia dan Kamboja. Meski begitu, kemampuan negara-negara tersebut masih di bawah China. Sedangkan negara ASEAN 7 lainnya yaitu Thailand, Malaysia, dan Filipina memiliki nilai RCA dan ISP yang tergolong rendah. Selama periode 2007 hingga 2012, TPT asal China menjadi komoditi yang mendominasi pasar ACFTA karena keunggulan produknya yang memiliki harga bersaing dan menjangkau pasar menengah ke bawah. Aliran perdagangan TPT antar negara-negara ASEAN 7 dan China secara bilateral yang diperoleh dari perhitungan indeks Grubel-Lloyd menunjukkan bahwa secara umum sebanyak 46% perdagangan TPT berintegrasi secara lemah.
33 Integrasi yang paling rendah terjadi antara China dengan partner dagangnya serta Kamboja dengan partner dagangnya. Sementara itu, integrasi perdagangan yang cukup kuat terjadi antara beberapa negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi tingkat IIT TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China adalah rata-rata GDP antarnegara (AVGDP), Nilai tukar negara partner (ERP), Foreign Direct Investment (FDI), perbedaan fluktuasi nilai tukar antarnegara terhadap dollar (FER), dan peubah jarak (WDIST). Sedangkan variabel rata-rata GDP per kapita antarnegara (AVGDPC) tidak berpengaruh signifikan karena tingginya tingkat diferensiasi produk untuk sektor industri TPT sehingga perubahan standar hidup masyarakat menjadi tidak berpengaruh.
Saran Dalam melakukan kerjasama perekonomian antarnegara, setiap negara yang terlibat dituntut agar mempersiapkan kemampuannya dalam menghadapi persaingan dan kemungkinan terjadinya kendala-kendala yang dapat merugikan negara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain yaitu dengan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IIT agar dapat dimanfaatkan dengan realisasi kebijakan-kebijakan yang efektif sesuai dalam meningkatkan aliran perdagangan TPT antarnegara di kawasan ACFTA terutama bagi negara-negara ASEAN 7. Strategi setiap negara dalam rangka mempertahankan industri TPT dari persaingan dengan negara-negara lain penting untuk dilakukan. Setiap negara dapat melakukan program peningkatan kualitas sumber daya manusia dan juga penguasaan teknologi agar aktivitas produksi di sektor TPT menjadi lebih efisien dan menghasilkan output dengan harga bersaing. Selain itu penting untuk meningkatkan inovasi produk TPT melalui Research and Development (R&D), serta kegiatan promosi terhadap produk TPT yang unik dan berkualitas di pasar internasional, dengan demikian produk yang dihasilkan lebih beragam dan tidak hanya dikenal di pasar domestiknya saja. Beberapa usaha tersebut dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan dayasaing dan keunggulan kompetitif perdagangan TPT negara-negara ASEAN 7 dan China dalam kerja sama perdagangan di kawasan ACFTA.
DAFTAR PUSTAKA Andara MAB. 2012. Pengaruh Penerapan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) Terhadap Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia [Thesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Andersen M. 2003. Empirical Intra-Industry Trade: What We Know and What We Need to Know. Canada. Apridar. 2009. Ekonomi Internasional. Sejarah, Teori, konsep dan Permasalahan dalam aplikasinya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
34 [ASEAN] Association of South East Asian Nation. 2012. ASEAN Statistical Yearbook. 2012 [diunduh 2014 Feb 14]. Tersedia pada: http://www.asean.org. AU KF dan Chan Y. 2003. Determinants of Intra-Textile and Clothing Trade: The Case of OECD Countries. J Textile and Apparel, Technology and management. vol 3 issue 1 summer 2003. Austria MS. 2004. The Pattern of Intra-ASEAN trade in priority good sectors. REPSF Project [Internet]. [diunduh pada 5 Februari 2014]; 3(6):83-84. [BI] Bank Indonesia, Direktorat Internasional. 2007. Kerja Sama Perdagangan Internasional. Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. Arifin S, Rae DE, Joseph CPR, editor. Jakarta (ID): Elex media Komputindo. Chuen T, Aslam M. 2012. The ASEAN-China FT : Manufacturer ssoc at on’s Views on Impacts to The ASEAN Textile and Clothing Sector. Kuala Lumpur (MY). ICS Working Paper 2012-2. Dettmer B, Fredrik E, Andreas F, Tremblay L, Olivier P. 2009 The Dynamics of Structural Change. The European Union’s Trade with China. Jena (DE): Jena Econ Research Paper-053. Donald AB, Wandell H, Mc Culloch Jr, Paul L, Geringer JM, Minor MS. 2007. Volume ke-2. Sungkono C, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: International Business. The Challenge of Global Competition. Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia, Cetakan ke-2. Jakarta (ID): Erlangga Gujarati D. 1978. Dasar-Dasar Ekonometrika. Zain S, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Basic econometrics. Jambor A. 2013. Country Spesific Determinants of Horizontal and Vertical Intra Industry Agri Food Trade of The Visegrad Countries [working paper]. FIW 104. Jing W, Carlos LN, Faustino H. 2010. Intra Industry Trade in Agricultural Product: The Case of China. WP06. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. Krugman PR, Obstfeld M. 2009. International Economics: Theory & Policy. Clinton D, editor. Boston (US): The Addison-Wesley. Ed ke-8. Li Q. 2013. Industry Effect on The ASEAN China Free Trade Agreement on China [working paper]. Auckland (NZ): University of Auckland. Lindert PH, Kindleberger CP. 1993. Ekonomi Internasional. Abdullah B, penerjemah; Mochtar K, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari International Economics. Ed ke-8. Nugraha AG. 2010. Tantangan dan Peluang serta Langkah-Langkah yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Implementasi Penuh ACFTA. Bul KPI -02. Oktaviani R, Widyastutik, Novianti T. 2008. Integrasi Perdagangan dan Dinamika Ekspor Indonesia ke Timur Tengah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Oktaviani R. Novianti T. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Volume ke- 1. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Ekonomi IPB. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar H, penerjemah. Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: International Economics. Ed ke-5.
35 Tambunan TTH. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Sikumbank RF, editor. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Turkcan A dan Ates A. 2010. Structure and Determinants of Intra Industry Trade in The US Auto Industry. J International and Global Economic Studies, 2(2). 15-46. [UNCOMTRADE] United Nation Commodity Trade. 2014. Commodity Trade. [Diunduh 5 Februari 2014]. Tersedia pada: http://comtrade.un.org. [WTO] World Trade Organization. 2013. International Trade Statistics 2013 [diunduh 28 Februari 2014]. Tersedia pada: www.wto.org/statistics. Yuan L. 2012. Intra Industry Trade Between Sweden and Middle Income Countries [Thesis]. Stockholm (SE): KTH.
36 Lampiran 1 Kategori SITC 3-digit komoditi TPT Kode SITC 651 652 653 654 655 656 657 658 659 841 842 843 844 845 846 848
Deskripsi Komoditi Textile yarns Cotton fabrics, woven Fabrics, of man made fibres Other textile fabrics, woven Knit, crochet fabrics NES Tulle, lace, embroidery, etc Special yar, textile fabrics Textile articles NES Floor coverings, NES Men's coats/ jacket, Not knitted Women's coats/ jacket, Not knitted Men's coats/ jacket, Knitted Women's coats/ jacket, Knitted Articles of apparel Clothing accessories of textiles fabrics Articles of apparel and clothing accessories of other
Jenis konstruksi Benang Kain Kain Kain Kain Kain Kain Kain Kain Pakaian jadi Pakaian jadi Pakaian jadi Pakaian jadi Pakaian jadi Pakaian jadi Pakaian jadi
37 Lampiran 2 Nilai IIT TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 20072012 (%) Reporter Partner INA MAL PHI SNG THA VTM CAM CHI Reporter Partner MAL INA PHI SNG THA VTM CAM CHI Reporter Partner PHI INA MAL SNG THA VTM CAM CHI Reporter Partner SNG INA MAL PHI THA VTM CAM CHI Reporter Partner THA INA MAL PHI SNG VTM CAM CHI
2007 18.19 4.66 23.22 42.82 9.66 1.42 51.78 2007 38.55 18.73 36.29 64.86 63.39 1.44 30.09 2007 11.90 28.57 38.05 27.73 13.61 13.43 12.17 2007 44.92 45.82 47.31 51.48 30.96 6.89 8.17 2007 60.94 52.78 14.74 21.27 43.16 31.38 36.84
2008 41.28 10.57 62.98 52.65 62.36 8.12 28.15 2008 46.65 18.35 30.17 70.34 59.47 0.71 28.51 2008 15.26 20.35 43.14 25.63 13.19 30.30 13.18 2008 47.97 50.00 51.12 63.21 35.82 11.30 8.14 2008 58.95 61.55 15.54 28.33 43.01 33.71 33.99
2009 38.92 3.52 62.96 60.43 54.93 14.52 26.93 2009 49.62 16.20 28.43 62.48 58.94 1.62 36.97 2009 8.95 33.41 57.71 27.75 10.96 17.56 17.23 2009 40.03 54.62 49.02 59.07 40.43 11.67 9.02 2009 66.72 64.14 11.38 24.32 40.24 31.60 40.82
2010 39.87 8.24 56.11 59.33 60.11 7.74 24.36 2010 53.07 8.13 28.67 64.70 65.12 1.68 41.54 2010 8.39 26.57 36.72 20.63 9.34 10.12 14.05 2010 43.71 48.58 37.54 59.01 46.03 8.26 7.87 2010 59.24 67.62 19.82 20.21 43.37 34.31 38.24
2011 38.25 10.92 53.14 61.50 60.10 6.61 21.73 2011 51.93 12.23 32.91 65.46 53.87 3.10 33.02 2011 18.13 23.26 56.84 21.57 24.97 0.94 14.12 2011 43.35 54.82 67.98 64.31 44.58 13.05 8.12 2011 58.97 65.75 24.80 20.56 38.89 31.44 36.22
2012 40.22 10.59 53.23 70.40 69.69 15.11 25.86 2012 49.57 13.27 40.79 37.46 45.07 3.31 30.31 2012 29.61 26.83 48.44 57.51 14.56 1.90 13.70 2012 36.27 52.29 61.65 63.56 45.86 5.13 8.91 2012 68.31 66.55 32.64 42.98 40.43 30.52 32.44
38 Reporter Partner VTM INA MAL PHI SNG THA CAM CHI Reporter Partner CAM INA MAL PHI SNG THA VTM CHI Reporter Partner CHI INA MAL PHI SNG THA VTM CAM CHI
2007 35.94 61.61 11.71 19.55 45.41 8.23 7.27 2007 2.71 0.64 40.26 16.74 2.94 7.01 2.69 2007 21.12 14.37 11.30 2.31 47.94 9.54 3.36 8.17
2008 35.87 60.90 10.94 26.09 48.56 11.15 13.89 2008 3.59 0.75 31.74 4.24 1.75 6.77 0.52 2008 20.01 12.98 11.68 3.39 42.75 12.78 3.04 8.14
2009 38.41 58.36 6.47 16.46 44.05 5.05 14.94 2009 14.15 1.26 30.66 13.48 0.72 4.82 0.58 2009 22.61 12.63 9.40 4.33 43.73 12.39 3.33 9.02
2010 43.70 64.41 4.91 20.19 41.08 2.16 17.88 2010 3.93 0.92 36.07 7.94 0.91 2.94 0.56 2010 19.95 16.74 7.63 6.75 41.96 15.90 4.38 7.87
2011 52.21 62.64 10.02 24.62 41.02 1.86 17.42 2011 19.88 2.23 2.58 7.08 2.06 4.24 0.38 2011 19.04 15.78 6.98 4.77 39.17 17.49 6.56 8.12
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
13.217872
6
0.0397
Lampiran 3 Uji Haussman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
2012 60.46 59.86 8.00 27.74 40.96 6.78 17.71 2012 17.38 6.26 2.35 2.54 4.19 13.36 0.64 2012 19.48 10.32 4.69 3.04 32.23 17.21 8.91 8.91
39 Lampiran 4 Hasil estimasi pendekatan Fixed Effect Model Dependent Variable: IIT Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/14/14 Time: 09:58 Sample: 2007 2012 Periods included: 6 Cross-sections included: 56 Total panel (unbalanced) observations: 308 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
AVGDP AVGDPC ERP FDI FER WDIST C
6.803511 -0.537836 6.851977 -0.333096 0.806479 -0.020591 -167.3920
2.238335 2.214049 2.303740 0.148615 0.172806 0.008274 39.03234
3.039540 -0.242920 2.974285 -2.241327 4.666957 -2.488680 -4.288546
0.0026 0.8083 0.0032 0.0259 0.0000 0.0135 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.987907 0.984908 6.436326 329.4515 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
43.58104 51.74728 10190.87 1.913091
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.914795 11170.70
Mean dependent var Durbin-Watson stat
27.56965 1.721186
Lampiran 5 Hasil uji normalitas 25
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2012 Observations 308
20
15
10
5
0 -15
-10
-5
0
5
10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.00e-16 0.007488 13.65784 -14.07117 5.815490 -0.014419 2.433145
Jarque-Bera Probability
4.134344 0.126543
40 Lampiran 6 Uji asumsi multikolinearitas Nilai korelasi parsial antar peubah
IIT AVGDP AVGDPC ERP FDI FER WDIST
IIT AVGDP AVGDPC ERP 1.000 -0.103 0.266 -0.069 -0.103 1.000 0.053 -0.192 0.266 0.053 1.000 -0.311 -0.069 -0.192 -0.311 1.000 0.048 0.507 0.225 0.015 0.040 0.005 -0.137 0.149 -0.113 0.588 0.031 -0.279
FDI 0.048 0.507 0.225 0.015 1.000 0.045 0.035
Lampiran 7 Cross section hasil estimasi Fixed Effects Model CROSSID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Effect 24.08260 -20.03152 47.34961 29.63296 -19.52515 -50.80537 81.96418 -16.15280 -8.419394 31.19285 43.11989 -4.169615 -50.68419 72.81588 -46.47890 21.09276 48.21513 8.459821 -50.39523 -39.51992 28.94619 -21.03697 45.58830 30.76651 39.35199 -22.00782 -39.98086 50.84345
CROSSID 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Effect -0.734389 55.71666 -4.295872 26.34876 -24.47939 -41.21124 59.75008 -19.05455 56.19163 -13.83677 24.00284 21.75318 -42.22952 20.46379 -53.04130 -3.112188 8.172665 14.46475 -18.96725 -53.07877 23.01532 -49.61304 -7.140813 -31.26040 -9.732705 4.561186 -68.58144 -67.43331
FER WDIST 0.040 -0.113 0.005 0.588 -0.137 0.031 0.149 -0.279 0.045 0.035 1.000 0.028 0.028 1.000
41
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purworejo pada tanggal 22 Juni 1991 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suprayitno dan Ibu Sukartiningsih. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pondok Kopi 04 Pagi Jakarta Timur tahun 2003, kemudian menamatkan pendidikan tingkat menengah pertama di SMP Negeri 252 Jakarta Timur tahun 2006. Selanjutnya, pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atas di SMA Negeri 12 Jakarta Timur dan pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa IPB Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikuti organisasi yaitu Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB pada periode 2010-2013.