DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI TAHUN 2014 (THE ACCEPTANCE OF ANALOG RICE FROM CASSAVA FLOUR AS A STAPLE FOOD AT DESA TANJUNG BERINGIN KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI IN 2014) Christi Gestarini1, Evawany Y. Aritonang2, Albiner Siagian3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg/capita/year in 2013. The consumption is not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice. This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM. The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both of the rice and analog rice contain of carbohydrates, phosphor and calcium and they produce nearly the same energy. So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content and need to be developed a diversification program of cassava that can be accepted by society. Keywords: cassava, food diversification, rice analog, acceptability test PENDAHULUAN Beras adalah salah satu bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi hampir seluruh penduduk di Indonesia. Beras berasal dari tanaman padi (Oryza sativa), salah satu jenis tanaman serealia yang tumbuh subur di wilayah Indonesia. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2013, produksi beras Indonesia mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan. Akan tetapi hal ini tidak berarti kebutuhan beras masyarakat Indonesia tercukupi. Salah satu penyebab pemenuhan
kebutuhan beras tidak dapat mencukupi adalah ketidakseimbangan antara produksi beras dengan jumlah penduduk. Tingkat kebutuhan beras masyarakat Indonesia termasuk yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan negara lain seperti Cina sekitar 90-100 kg/kapita/tahun, Malaysia 90 kg/kapita/tahun, Brunei Darussalam 80 kg/kapita/tahun, Jepang 70 kg/kapita/tahun dan konsumsi beras dunia 60 kg/kapita/tahun (Nurhayat, 2013). Kekurangan hasil produksi beras Indonesia dipenuhi pemerintah dengan cara mengimpor beras sebanyak 826 ribu 1
ton/tahun 2012 (Christianto, 2013) dan menghabiskan anggaran belanja sampai milyaran rupiah. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu, jagung, kentang dan serealia lain. Semua bahan pangan tersebut memiliki kandungan zat gizi tertentu yang lebih besar dibandingkan dengan beras. Ubi kayu memiliki kandungan kalsium dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras dan ubi jalar mengandung vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras dan memiliki beberapa kelebihan karena kandungan jenis antioksidannya. Ada beberapa penelitian yang mengembangkan pangan pokok selain beras di Indonesia, seperti pembuatan brownis dari tepung ubi kayu. Tepung ubi kayu digunakan untuk mensubsitusi tepung terigu dalam pembuatan brownis. Penelitian tersebut terdiri dari dua uji coba, yaitu menggunakan 100% tepung ubi kayu dan pencampuran tepung terigu dan tepung ubi kayu dengan perbandingan 1 : 1 (Pulungan, 2013). Selain itu, ada juga penelitian yang dilakukan Hardoko, dkk (2010), yaitu pembuatan roti tawar dari tepung ubi ungu. Biasanya roti tawar dibuat dari tepung terigu. Penelitian ini membantu menggeser kecenderungan pola konsumsi terigu yang juga sangat tinggi seperti konsumsi beras. Penganekaragaman bahan pangan seperti contoh di atas sudah dilakukan tetapi masih perlu ditingkatkan karena pola konsumsi masyarakat sumber karbohidrat masih mengutamakan beras. Kendala yang
dihadapi dalam penganekaragaman pangan ini adalah dukungan besar terhadap beras dalam pola makan berbasis nasi yang menyebabkan citra produk pangan selain beras masih sangat rendah. Menghadapi kendala di atas ahli teknologi pangan mulai mengembangkan pembuatan beras yang dibuat dari pangan lain yang dikenal dengan sebutan beras analog. Salah satu penelitian yang mengembangkan beras analog adalah penelitian yang dilakukan Hasnelly, dkk (2013). Beras analog yang dibuat berbahan dasar beberapa jenis ubi jalar, seperti ubi jalar putih, ubi jalar jingga, ubi jalar ungu dan ubi jalar organik. Jenis-jenis ubi jalar tersebut menghasilkan beras dengan variasi warna yang beragam. Proses pembuatan beras analog yang dilakukan Hasnelly dibuat dengan cara mencuci ubi jalar dan kemudian dikukus dengan tujuan untuk menguapkan air yang ada di dalam ubi jalar. Ubi jalar yang sudah dikukus kemudian dikupas. Setelah dikupas, ubi jalar ditimbang dan kemudian dicampur dengan 20% tepung tapioka dan 10% tepung beras menjadi adonan. Kemudian adonan dibentuk menjadi untaian dengan diameter 2 mm dan untaian tersebut dipotong-potong dengan ukuran panjang 1 cm. Butiran yang dibuat dari adonan tepung ubi jalar, tepung tapioka dan tepung beras tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu 700C selama 2 jam. Butiran kering ini disebut beras analog karena bentuknya mirip beras padi. Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu wilayah yang hampir seluruh penduduknya mengkonsumsi nasi sebagai pangan pokok. Konsumsi makanan pokok selain nasi kurang populer di masyarakat desa Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari pemanfaatan yang kurang maksimal dari bahan pangan tersebut. Misalnya, selain untuk dipasarkan, pemanfaatan jagung hanya sebagian kecil dikonsumsi sebagai jagung rebus atau jagung bakar dan pemanfaatan lain sebagai pakan ternak. Sama halnya dengan jagung, ubi jalar dan ubi kayu sering diolah sebagai konsumsi 2
selingan minimal sekali seminggu oleh penduduk desa dengan cara digoreng, direbus, dibakar atau dijadikan olahan seperti kolak. Padahal desa ini cukup potensial untuk pengembangan beras analog karena konsumsi pangan pokok masyarakat yang sangat bergantung pada ketersediaan beras dan hal ini didukung ketersediaan bahan pangan pokok sebagai dasar pembuatan beras analog. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul kabupaten Dairi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok dengan uji organoleptik. Manfaat dari penelitian ini, yaitu dapat memberikan informasi dalam pengembangan beras analog dari tepung ubi kayu berdasarkan penerimaan masyarakat dan pengenalan beras analog yang dibuat dari bahan pangan pokok lain bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa mengkonsumsi beras. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kesukaan ibu terhadap rasa, warna, aroma, dan tekstur produk beras analog yang dibuat dari tepung ubi kayu. Proses pembuatan beras analog dari tepung ubi kayu dimulai dari proses pembuatan tepung. Ubi kayu yang baik dan segar dikupas, dicuci, diiris tipis dan dijemur. Setelah irisan ubi kayu kering kemudian digiling dan diayak. Pembuatan beras dari tepung diawali dengan mencampur tepung dengan air kemudian dikukus dan dimasukkan ke dalam mesin untuk membentuk untaian panjang dengan diameter sekitar 0,2 cm, kemudian untaian adonan digunting menjadi butiran-butiran kecil menyerupai beras. Beras tiruan yang sudah jadi kemudian dikeringkan. Beras analog
diolah dengan cara dikukus. Sebelum dikukus beras dicuci dan direndam terlebih dahulu. Perendaman jangan terlalu lama agar nasi yang dihasilkan tidak terlalu lengket. Nasi yang sudah dikukus kemudian diujikan kepada panelis. Panelis dalam penelitian ini adalah 30 orang ibu yang mencicipi beras analog dari tepung ubi kayu. Panelis yang melaksanakan uji organoleptik adalah panelis tidak terlatih karena hanya menilai alat organoleptik yang sederhana, yaitu sifat kesukaan. Uji penerimaan mempergunakan skala hedonik sembilan titik sebagai acuan, namun untuk mempermudah panelis dan peneliti skala ini diperkecil menjadi 3 tingkatan dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang paling tinggi adalah 3. Penilaian diberikan pada formulir yang sudah disediakan. Kemudian data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Tabel 1. Interval Persentase dan Tingkat Kesukaan Persentase (%) Kriteria Kesukaan 78 – 100 Suka 56 – 77,99 Kurang suka 34 – 55,99 Tidak suka HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Tanjung Beingin merupakan salah satu desa di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 468 ha terdiri dari 83 ha luas wilayah permukiman, 375 ha luas lahan pertanian, dan 10 ha lahan kosong. Jumlah penduduk desa sebanyak 3074 orang terdiri dari 50,68% perempuan, 49,32% laki-laki dengan jumlah keluarga sebanyak 703 kepala keluarga. Lebih dari 75% penduduk bekerja sebagai petani. Hasil pertanian dari desa tersebut adalah kopi, sayur-sayuran, kentang, dan jagung. Penduduk menanam ubi kayu sebagai pakan ternak dan dikonsumsi sebagai makanan selingan. Beras analog yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna kuning 3
kecoklatan, teksturnya keras, beraroma khas ubi kayu dan ukuran panjangnya sekitar 0,4 cm. Beras diolah dengan cara dikukus. Sebelum dikukus beras yang sudah kering direndam sebentar kurang dari satu menit, perendaman jangan terlalu lama agar nasi tidak terlalu lengket. Rasa Beras Analog Hasil uji organoleptik rasa nasi dari beras analog dengan skla hedonik dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Kriteria S P N % Suka 3 3 9 10 Krg Suka 2 7 14 23,333 Tdk Suka 1 20 20 66,667 30 43 100 Total Berdasarkan tabel 2 di atas, diperoleh hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu yaitu, suka sebanyak 3 orang (10%), kurang suka sebanyak 7 orang (23,333%) dan tidak suka sebanyak 20 orang (66,667%). Persentase nilai hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu adalah 43/90 x 100% = 47,778. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 1 dan berada di interval 34 – 55,99 sehingga hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori tidak suka. Rasa khas ubi kayu yang agak hambar dibanding beras padi menjadi alasan untuk tidak menyukai beras analog ini. Pemberian gula atau garam dalam pembuatan nasi akan menambah cita rasanya. Nasi biasanya dikonsumsi bersama lauk dan sayur, keberagaman dan cita rasa lauk dan sayur akan menyamarkan rasa asli nasi dari beras analog. Aroma Beras Analog Hasil uji organoleptik aroma nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Kriteria S P N % Suka 3 13 39 43,333 Krg Suka 2 16 32 53,333 Tdk Suka 1 1 1 3,334 30 72 100 Total Berdasarkan tabel 3 di atas, dari 30 orang panelis diperoleh nilai 72 sehingga persentase nilai hasil uji organoleptik adalah 72/90 x 100% = 80. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 1 dan berada di interval 78 - 100 sehingga hasil uji organoleptik aroma beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori suka. Aroma yang dihasilkan nasi dari beras analog sangat khas selama proses pengukusan dan aroma ini bertahan selama nasi dalam keadaan panas. Aroma ini mirip dengan aroma beberapa jenis makanan olahan dari ubi kayu seperti “lampet” ubi kayu. Aroma yang khas nasi dari beras analog ini dapat merangsang selera untuk mengkonsumsinya. Akan tetapi, aroma yang enak berbanding terbalik dengan rasanya yang tidak enak. Aroma enak akan tetap bertahan saat beras masih baru diproduksi. Beras analog yang disimpan lama akan berbau apek. Pencampuran tepung dengan air pada saat proses pembuatan beras dapat ditambahkan dengan air perasan daun pandan agar aroma beras tetap wangi selama disimpan. Warna Beras Analog Hasil uji organoleptik warna nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Kriteria S P N % Suka 3 5 15 16,667 Krg Suka 2 17 34 56,667 Tdk Suka 1 8 8 26,666 4
Total
30
57
100
Berdasarkan tabel 4 di atas, diperoleh hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu yaitu, suka sebanyak 5 orang (16,667%), kurang suka sebanyak 17 orang (56,667%) dan tidak suka sebanyak 8 orang (26,666%). Persentase nilai hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu adalah 57/90 x 100% = 63,333. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 1 dan berada di interval 56 – 77,99 sehingga hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori kurang suka. Beras analog yang dihasilkan dari tepung ubi kayu memiliki warna kecoklatan membuat penampakan beras dan nasi kurang menarik. Proses pengeringan beras yang tergelatinisasi memungkinkan sesnyawa-senya terlarut, seperti gula pereduksi dan protein bereaksi menghasilkan pigmen berwana coklat (Palupi, 2007). Warna kecoklatan ini mirip dengan warna beras padi yang mengalami kerusakan dan memiliki kualitas yang buruk sehingga dari penampakan warnanya beras analog dari tepung ubi kayu kurang disukai. Warna kekuningan ini dipengaruhi warna dasar dari ubi kayu yang berwana kuning kecoklatan dan warnanya akan semakin coklat setelah proses perebusan atau pengukusan karena pati dalam ubi kayu mengalami gelatinisasi. Tekstur Beras Analog Hasil uji organoleptik tekstur nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Kriteria S P N % Suka 3 12 36 40 Krg Suka 2 17 34 56,667 Tdk Suka 1 1 1 3,333 30 71 100 Total
Berdasarkan tabel 5 di atas, diperoleh total nilai sebanyak 71 dari hasil uji organoleptik tekstur beras analog dari tepung ubi kayu. Persentase nilainya adalah 71/90 x 100% = 78,889. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 1 dan berada di interval 78 - 100 sehingga hasil uji organoleptik tekstur beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori suka. Tekstur suatu makanan atau bahan pangan dipengaruhi oleh kadar air, kandungan lemak, dan juga jumlah dan jenis karbohidrat dan protein yang terkandung di dalamnya. Kandungan yang dimiliki bahan pangan tersebut akan menentukan keras, lembut, kenyal, kasar tektur yang dihasilkan suatu makanan atau bahan pangan. Tekstur nasi dan beras analog yang kenyal dan agak lengket menyerupai tekstur beras pulut yang sudah biasa dikonsumsi. Penginderaan yang dilakukan dalam proses analisis sensori dalam pengujian daya terima panelis dilakukan oleh indera pengecap, indera penglihatan, penciuman dan perabaan. Proses penginderaan terdiri dari tiga tahapan yaitu, indera menerima rangsangan dari suatu produk (makanan) yang kemudian rangsang tersebut diteruskan ke sel-sel syaraf dan datanya diproses di otak sehingga akan diperoleh kesan tertentu terhadap suatu produk (makanan). Kesan yang dihasilkan dari proses penginderaan tersebut akan disimpan di dalam memori otak dan akan diinterpretasi, diatur dan diintegrasikan menjadi sebuah persepsi. Tanggapan dan respon yang diberikan terhadap rangsang yang diterima diformulasikan dari hasil persepsi dan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda. Oleh karena persepsi itu, orangorang yang terbiasa mengonsumsi nasi padi dan makanan lainnya akan menyukai makanan tersebut karena telah terbiasa dengan rasa, aroma, warna dan teksturnya. Sehingga seringkali respon yang diberikan berbeda-beda terhadap rangsangan yang 5
sama. Perbedaan respon dari dua orang dapat disebabkan perbedaan sensitifitas organ penginderaan seseorang, atau kurangnya pengetahuan terhadap bau dan rasa tertentu yang dipengaruhi rekaman memori otak dan bisa juga disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam mengekspresikan apa yang dirasakan dalam bentuk kata-kata atau angka. Masyarakat Desa Tanjung Beringin yang sudah terbiasa dalam mengonsumsi nasi sebagai pangan pokok akan sulit menerima bahan pangan pokok lain sebagai makanan pokok sekalipun pangan pokok tersebut sudah diolah menyerupai beras/nasi. Rasa, aroma, warna, dan tekstur nasi analog tidak mampu mengubah persepsi masyarakat yang sudah terbiasa dengan beras padi. Kandungan Zat Gizi Beras analog dari tepung ubi kayu mengandung karbohidrat yang lebih besar dibanding dengan beras padi dan menghasilkan energi yang hampir sama. Perbandingan jumlah kandungan gizi dalam 100 gram beras analog dan 100 gram beras padi dapat dilihat di tabel 6. Tabel 6. Perbandingan Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Beraas Analog dan 100 gram Beras Padi Kandungan Gizi Energi (kkal) Protein Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Kalsium (mg) Zat Besi (mg) Vit B Fosfor (mg)
Padi 360 6,8 0,7 78,9 6 0,8 0,12 140
Analog 363 1,1 0,5 88,2 84 1 0,04 125
Dilihat dari tabel 6 di atas diperoleh bahwa perbandingan kandungan zat gizi beras padi dan beras analog tidak memiliki perbedaan yang besar. Perbedaaan mencolok terlihat pada kandungan kalsium, protein, karbohidrat, kalsium dan fosfor. Beras analog unggul dengan karbohidrat dan kalsium yang dikandungnya.
Proses pengukusan beras analog menjadi nasi akan mempertahankan jumlah zat gizinya sampai 82%. Jadi, dalam 100 gram beras analog yang dikukus kira-kira mengandung 0,9 gram protein, 0,41 gram lemak, 72,3 gram karbohidrat, 68,88 mg kalsium, 0,82 mg zat besi, 0,03 Vitamin B dan 102,5 mg fosfor. Perkiraan banyaknya kandungan zat gizi tersebut diperoleh dengan cara mengalikan jumlah zat gizi yang dikandung berdasarkan DKBM dengan 0,82 yaitu jumlah kemungkinan zat gizi yang dapat dipertahankan karena proses pengukusan. Karbohidrat akan dipecah melalui proses pengukusan untuk mempermudah proses pencernaan. Selain memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tepung ubi kayu juga mengandung fosfor dan kalsium yang tinggi. Dalam 300 gram beras analog yang dikukus menjadi nasi akan menyumbang sekitar 307,5 mg fosfor dan 206,6 mg kalsium. Fosfor dan kalsium merupakan mineral makro yang jumlahnya paling banyak di dalam tubuh dan dibutuhkan asupan lebih dari 100 mg/hari. Jumlah kalsium sekitar 2-3% berat badan dan sebanyak 98% disimpan di dalam tulang dan gigi. Kalsium memiliki peranan dalam pemeliharaan tulang dan gigi, membantu kontraksi dan relaksasi otot, pembekuan darah, fungsi hormon, sekresi enzim, penyerapan vitamin B12 dan pencegahan batu ginjal dan penyakit jantung. Pangan yang memiliki kandungan kalsium antara lain, susu dan produk susu, telur, ikan, kacang-kacangan, sayuran hijau tua, dan ubi kayu. Fosfor dalam tubuh memiliki fungsi yang hampir sama dengan fungsi kalsium dalam pemeliharaan tulang dan gigi, mempertahankan keseimbangan asambasa, metabolism karbohidrat, lemak dan protein, dan sebagai transport asam lemak. Fosfor dapat diperoleh dari daging, unggas, ikan, telur, susu dan produk olahannya, kacang-kacangan, biji-bijian, sayur-sayuran, dan dimiliki ubi kayu.
6
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Tanjung Beringin, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Daya terima masyarakat terhadap rasa beras analog dari tepung ubi kayu termasuk dalam kategori tidak suka. 2. Masyarakat menyukai aroma dan tekstur beras analog dari tepung ubi kayu. 3. Warna yang dihasilkan beras analog dari tepung ubi kayu kurang disukai masyarakat. 4. Hasil penilaian tingkat kesukaan beras analog tidak dapat dijadikan pangan pokok. 5. Hasil analisis kandungan zat gizi beras analog dapat dijadikan sebagai pangan pokok. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Tanjung Beringin, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlu penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog dan untuk melengkapi kandungan zat gizinya. 2. Diperlukan analisis kandungan zat gizi yang lebih akurat dari laboratorium. 3. Diperlukan penelitian-penelitian sejenis untuk pengembangan diversifikasi pangan dari pangan lokal khususnya ubi kayu. DAFTAR PUSTAKA Asnawi, Robet dan Ratna Wylis Arief. 2008. Teknologi Budidaya Ubi Kayu. Lampung: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2011. Proses Pengolahan Tepung Kasava dan Tapioka. Agroinovasi Sinartani.
Edisi 4-10 Mei No. 3404 tahun XLI. Pp. 6 – 11. Budijanto, Slamet.2013. 40 Resep Kreatif Olahan Beras Analog Pangan Alternatif Mirip Beras dari NonPadi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chamdani, Ukul. 2012. Ilmu Gizi Olahraga. Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Negeri Semarang Christianto, Edward. 2013. Faktor yang Memengaruhi Volume Impor Beras di Indonesia. Jurnal JIBEKA Vol. 7, no. 2 Agustus 2013. Pp. 38 – 43. Gardjito, dkk. 2013. Pangan Nusantara: Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversifikasi Pangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hardoko, dkk. 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L. poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung Terigu dan Antioksidan pada Roti Tawar. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan. Vol. XXI, no. 1 Th. 2010. Pp. 25 – 32. Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hasnelly, dkk. 2013. Kajian Proses Pembuatan dan Karakteristik Beras Analog Ubi Jalar (Ipomea batatas). Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Hidayah, Nurul. 2011. “Kesiapan Psikologis Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok”. Humanitas, Vol. VIII No. 1 Januari. Pp. 92 – 104. Hindarto Putra, Gideon. 2012. Pembuatan Beras Analog Berbasis Tepung Pisang Goroho (Musa acuminate) dengan Bahan 7
Pengikat Carboximethil Celluloce (CMC). Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado. Nurhayat, Wiji. 2013. Konsumsi Beras Tertinggi di Dunia, Indonesia Rawan Kena Diabetes. http://finance.detik.com/read/201 3/07/17/152223/2305835/4/kons umsi-beras-tertinggi-di-duniaorang-indonesia-rawan-kenadiabetes. Diakses tanggal 6 April 2014 Pukul 16.35 WIB Palupi, Hapsari Titi dkk. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung Singkong. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan Prabawati, Sulusi. dkk. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan
Diversifikasi Pangan. Mei. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pulungan, Elvina. 2013. Uji Daya Terima dan Nilai Gizi Brownies Singkong. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Setia Budi, Faleh, dkk. 2013. Teknologi Proses Ekstruksi Untuk Membuat Analog. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Siagian, Darmawan. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan RI Simanjuntak, Dahlia. 2006. Pemanfaatan Komoditas Non Beras dalam Diversifikasi Pangan Sumber Kalori. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Vol. 4 No.1 April. Pp. 45-54
8