DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
DIAN NAHRO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Dian Nahro NIM H34114017
ABSTRAK DIAN NAHRO. Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh DWI RACHMINA. Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu terbesar ketiga di dunia, setelah Thailand dan Vietnam. Lebih dari 80 persen ubi kayu olahan kering Indonesia diekspor ke Cina. Produktivitas ubi kayu Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 5.22 persen/tahun, tetapi total volume ekspornya cenderung menurun dengan dengan laju -4.40 persen/tahun. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia ke negara tujuan serta menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar Internasional. Data yang digunakan berupa time series tahun 2004-2011. Alat analisis yang digunakan yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina berkisar 1 hingga 8 persen (2001-2013), dengan laju pertumbuhan sebesar -8 persen/tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia cenderung menurun. Saat ini, Indonesia hanya menguasai sekitar 1 persen pasar ubi kayu olahan kering di Cina. Pesaing terbesar ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yaitu Thailand. Ubi kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional (2004-2011), dilihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Nilai RCA ubi kayu Indonesia berkisar antara 8.40 (2004) hingga 18.38 (2010). Kata kunci: Ubi kayu, daya saing komparatif, RCA
ABSTRACT DIAN NAHRO. The Competitiveness of Cassava Dried Indonesia in Internasional Trade. Supervised by DWI RACHMINA. Indonesia is the third largest exporter of cassava dried in the world. More than 80 percent of Indonesia’s cassava dried product are exported to China. Inspite of the productivity of Indonesia cassava that is increasing in rate of 5.22 percent per year, the export volume has decreased in rate of -4.4 percent per year. The purpose of this study is to analyze the market share behavior and the comparative advantage of Indonesia cassava dried product in the International market. The time series data used in this study and the Revealed Comparative Advantage (RCA) method used to analyze the data. Market share of cassava dried Indonesia in China around 1 to 8 percent (2001-2013), with -8 percent/year growth rate. It means Indonesia market share has dropped. Currently, Indonesia cassava dried market share in China around 1percent. Thailand is the biggest competitor of cassava dried Indonesia Cassava dried Indonesia has a comparative advantages in the international market (2004-2011), depend on RCA value which is more than 1. The RCA value of cassava dried Indonesia around 8.40 (2004) to18.38 (2010). Keywords : Cassava, Comparative Advantages, RCA
DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
DIAN NAHRO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulai Mei 2014 dengan topik mengenai daya saing, yang berjudul Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, arahan, dan saran hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Netti Tinaprila, MM selaku dosen evaluator kolokium , Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama, serta Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji akademik yang telah memberikan saran . Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Dian Nahro
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
8
Bentuk Olahan Ubi Kayu
8
Daya Saing Olahan Ubi Kayu
9
Perkembangan Ubi Kayu di Asia
10
Metode Pengukuran Daya Saing
11
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis
12 12
Teori Daya Saing
12
Teori Perdagangan Internasional
12
Teori Keunggulan Absolut Adam Smith
14
Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo
14
Teori Keunggulan Kompetitif
15
Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
15
Kerangka Pemikiran Operasional
16
METODE PENELITIAN
18
Jenis dan Sumber Data
18
Metode Analisis dan Pengolahan Data
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Gambaran Umum Ubi Kayu
19
Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri
20
Teknologi Peningkatan Produksi
21
Perkembangan Ekspor Ubi Kayu Indonesia
23
Gambaran Umum Ekspor Ubi Kayu di Negara Pengekspor Terbesar
24
Perkembangan Pangsa Pasar Ekspor Ubi Kayu Indonesia di Negara Tujuan
26
Daya Saing Ubi Kayu di Pasar Domestik
30
Keunggulan Komparatif Ubi Kayu Indonesia di Pasar Dunia
32
SIMPULAN DAN SARAN
36
Simpulan
36
Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
39
DAFTAR TABEL
1 Penggunaan ubi kayu di Indonesia Tahun 2007-2011 2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia Tahun 2007-2011 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima Provinsi di Indonesia 4 Nilai dan jumlah ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2004-2011 5 Total volume ekspor ubi kayu primer di Thailand, Vietnam, dan Indonesia tahun 2004-2011 6 Total ekspor tiga negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011 7 Rekomendasi lokasi areal tanam dan potensi pengembangan produksi ubi kayu 8 Perkembangan total ekspor ubi kayu Indonesia tahun 1989-2013 9 Negara tujuan ekspor ubi kayu Thailand tahun 2004-2011 10 Negara tujuan ekspor ubi kayu Vietnam tahun 2004-2008 11 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2005-2013 12 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina tahun 1989-2013 13 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea tahun 1989-2013 14 Pangsa pasar ekspor ubi kayu di pasar Cina dari negara eksportir terbesar tahun 2000-2013 15 Laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina tahun 1989-2013 16 Perkembangan harga ekpsor ubi kayu di pasar Cina tahun 2000-2013 17 Negara tujuan ekspor ubi jalar Indonesia tahun 2007-2011 18 Negara tujuan ekspor beras Indonesia tahun 2007-2011 19 Negara tujuan ekspor jagung Indonesia tahun 2007-2011 20 Negara tujuan ekspor kedelai Indonesia tahun 2007-2011 21 Nilai RCA negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011
2 2 3 5 7 20 23 24 25 26 27 27 28 29 29 30 31 31 32 32 32
DAFTAR GAMBAR
1 Kurva perdagangan internasional 2 Kerangka pemikiran operasional 3 Share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi pangan 4 Perkembangan pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina 5 Perkembangan impor ubi kayu olahan kering di Cina 6 Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia
13 17 30 33 33 34
DAFTAR LAMPIRAN
1 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2013 2 Nilai ekspor komoditi ubi kayu di tiga negara eksportir Terbesar dan dunia tahun 2004-2011 (US$) 3 Total ekspor komoditi pangan (beras, jagung, kedelai, ubi kayu, Ubi jalar) di empat negara ekpsortir dan dunia tahun 2004-2011 (US$) 4 Nilai RCA tiga negara eksportir terbesar ubi kayu tahun 2004-2011 5 Varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas di Indonesia sejak 1978-2009
39 40 40 40 41
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) atau yang lebih dikenal dengan nama singkong, merupakan tanaman pangan yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke- 17. Kemudian menyebar ke Asia tenggara, termasuk Indonesia. Produsen terbesar ubi kayu dunia yaitu Nigeria, namun bukan merupakan negara pengekspor terbesar dunia. Thailand merupakan negara pengekspor ubi kayu kering terbesar dunia, disusul oleh Vietnam, Indonesia, dan Kosta Rika (FAO, 2011). Indonesia menempati urutan keempat sebagai produsen terbesar ubi kayu di dunia setelah Nigeria, Thailand, dan Brazil (FAO, 2011). Menurut FAO (2011), ubi kayu mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 500 juta penduduk dunia dan menjadi tumpuan hidup bagi berjuta-juta petani dan para pelaku bisnis ubi kayu dunia. Hampir 60 persen produksi ubi kayu berada di Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia, dan Kongo. Ubi kayu merupakan komoditi pangan yang penting dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan dunia terutama di negara-negara berkembang. Thailand merupakan negara yang berhasil mengubah image ubi kayu, menjadi komoditi yang penting di dunia. Terutama setelah China menggunakannya sebagai biofuel selain sebagai bahan pelengkap pangan. Selain sebagai bahan pangan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubinya mengandung air sekitar 60 persen, pati 23-35 persen, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Pati ubi kayu digunakan sebagai bahan baku pangan maupun non pangan seperti kertas, tekstil, polywood, lem, dan alkohol. Pada awalnya ubi kayu dijadikan sebagai tanaman cadangan pangan apabila terjadi kelaparan. Namun, saat ini ubi kayu lebih banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan industri. Ubi kayu sangat potensial dijadikan salah satu komoditas utama sumber pangan dan energi terbarukan. Ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tanaman lainnya yaitu: a. Ubi kayu dapat tumbuh pada lahan kering dan kurang subur. b. Lebih tahan terhadap hama dan penyakit. c. Dapat dipanen sewaktu-waktu, sehingga dapat diolah menjadi beragam makanan utama maupun makanan ringan. d. Ubi kayu merupakan sumber kalori yang cukup tinggi. e. Resiko kegagalan relatif kecil. f. Biaya produksi relatif rendah. g. Hasil olahannya sangat bervariasi Sekitar 75 persen produksi ubi kayu Indonesia diolah menjadi makanan. Laju pertumbuhan permintaan ubi kayu di Indonesia tahun 2007-2011 sekitar 4,80
2 persen. Sedangkan, laju pertumbuhan produksi ubi kayu Indonesia di tahun yang sama sekitar 4,80 persen (Tabel 1).
Tabel 1 Penggunaaan Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2007-2011 Uraian 2007 2008 2009 2010 A. Penggunaan 19 989 21 756 22 039 23 917 (000 ton) 1. Pakan 2. Bibit 3. Diolah untuk : - makanan - bukan makanan 4. Tercecer 5. Bahan Makanan
400 15 156 426 4 007
2011*) 24 044
435 -
441 -
478 -
481 -
463 20 858
14 553 469 6 576
12 231 509 10 699
12 315 512 10 736
Sumber: Pusdatin, 2012 *) : angka sementara
Produktivitas ubi kayu Indonesia periode 2007-2011 cenderung naik dengan laju 5.22 persen/tahun (Tabel 2). Hal tersebut dikarenakan teknik budidaya yang semakin baik serta penggunaan bibit unggul. Berdasarkan Tabel 2, laju pertumbuhan luas panen ubi kayu di Indonesia sebesar – 0.34 persen, menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya luas panen ubi kayu nasional disebabkan oleh penggunaan lahan yang semakin terbatas karena harus bersaing dengan komoditi pangan lainnya. Tabel 2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia tahun 20072011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Laju(%/tahun)
Luas Panen (Ha) 1 201 481 1 204 933 1 175 666 1 183 047 1 184 696 -0.34
Produktivitas (Ton/Ha) 16.6 18.1 18.7 20.2 20.3 5.22
Produksi (Ton) 19 988 058 21 756 991 22 039 145 23 918 118 24 044 025 4.80
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
Ubi kayu dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Namun, pengembangannya dalam skala agribisnis memerlukan berbagai faktor pendukung yang terdapat pada masing-masing daerah (provinsi, kabupaten/kota). Faktor pendukung tersebut diantaranya luas areal panen, tersedia atau tidaknya perusahaan atau industri yang akan menampung dan mengolah ubi kayu, permintaan pasar, akses transportasi, tenaga kerja, dan lainnya. Hal tersebut sangat penting karena suatu daerah yang akan dialokasikan menjadi sentra produksi harus merupakan satu kesatuan dengan pembangunan daerah dan
3 diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar serta para pelaku agribisnis (Dirjen Tanaman Pangan, 2012). Batasan provinsi sentra ubi kayu yaitu provinsi yang mempunyai rata-rata luas panen selama 5 tahun lebih dari 50 000 ha untuk Pulau Jawa dan lebih dari 25 000 ha untuk luar pulau Jawa. Provinsi yang merupakan sentra produksi ubi kayu diantaranya Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara (Tabel 3). Lampung merupakan produsen ubi kayu terbesar Indonesia, berkontribusi sebesar 20 persen dari total produksi nasional. Luas panen dan produksi ubi kayu di Lampung cenderung meningkat berbeda dengan di Jawa yang semakin menurun. Sehingga Lampung menjadi andalan pemasok ubi kayu nasional. Saat ini, ubi kayu juga banyak dikembangkan di wilayah timur Indonesia seperti di Sulawesi (Kemenperin, 2013). Berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubi kayu di Lampung merupakan salah satu penyebab banyak petani yang membudidayakan ubi kayu. Selama ini petani ubi kayu di Lampung menjual produknya ke pabrik pengolahan ubi kayu terdekat. Sehingga, harga yang diterima petani sangat tergantung dengan harga beli pabrik. Petani tidak mempunyai posisi tawar dan fluktuasi harga menjadi risiko yang harus ditanggung petani. Perkembangan harga rata-rata ubi kayu di tingkat nasional selama tahun 2010-Juni 2014 terus mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan harga ubi kayu pada tahun 2010 sebesar 1.43 persen, tahun 2011 sebesar 1.87 persen, tahun 2012 sebesar 0.90 persen dan tahun 2013 sebesar 0.99 persen. Peningkatan harga tertinggi terjadi di bulan November 2011 mencapai 14.46 persen. pada bulan Juni 2014 terjadi peningkatan harga ubi kayu sebesar 0.20 persen, menjadi Rp5 155 /kg. Harga rata-rata ubi kayu pada bulan Juni 2014, di 13 ibukota provinsi di Indonesia, berkisar antaraRp1 700/kg (Bandar Lampung, Lampung) hingga Rp5 994 /kg (Ternate, Maluku Utara) (Pusdatin, 2014). Saat ini, terdapat 66 pabrik tapioka yang tersebar di wilayah sentra. Di Lampung, angka pertumbuhan produksi ubi kayu yang tertinggi tejadi pada 2003 sebesar 43.6 persen. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu. Hal ini terkait dengan peningkatan harga ubi kayu tahun sebelumnya. Sehingga, petani berusaha meningkatkan produksi ubi kayu (Balitkabi, 2010). Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima provinsi di Indonesia di tahun 2013 Provinsi
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ku/ha)
Produksi (ton)
Sumatera Utara
37 929
288
1 091 711
Lampung
368 096
250
9 193 676
Jawa Barat
103 244
199
2 058 785
Jawa Tengah
173 195
202
3 501 458
Jawa Timur
199 407
202
4 032 081
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Menurut Direktorat Budidaya Kacang dan Umbi (2012), meskipun secara umum produksi ubi kayu menunjukkan tren positif, tetapi komoditi ini masih dianggap sebagai komoditas inferior, hal itu dikarenakan :
4 1. Rendahnya minat petani melakukan budidaya ubi kayu, dikarenakan rendahnya insentif yang diperoleh bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. 2. Persaingan penggunaan sumber daya lahan dengan komoditas lain. 3. Pola tanam belum diterapkan dengan maksimal. 4. Rendahnya produktivitas di tingkat petani (rata-rata hanya mencapai 10-20 ton/Ha), sedangkan beberapa varietas unggul yang sudah dilepas mempunyai potensi produksi 20-40 ton/ha. Kesenjangan tersebut dikarenakan belum diterapkannya teknologi anjuran dengan sebaik-baiknya. 5. Kelembagaan atau kemitraan belum tumbuh dan berkembang. 6. Sistem pemasaran belum berjalan dengan baik. Sebagian besar usahatani ubi kayu di Indonesia dilakukan oleh petani kecil dengan modal dan teknologi terbatas. Sehingga, perubahan harga yang terjadi akan memengaruhi usahatani mereka tahun berikutnya. Jika harga ubi kayu baik, luas panen musim berikutnya naik, begitu pun sebaliknya. Pemanfaatan ubi kayu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai bahan baku industri (tepung tapioka atau gaplek) dan sebagai pangan langsung. Ubi kayu sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak mengandung racun HCN (< 50 mg per kg umbi basah). Sementara itu, umbi ubi kayu untuk bahan baku industri tidak disyaratkan adanya kandungan protein maupun ambang batas HCN, tapi yang diutamakan adalah kandungan karbohidrat yang tinggi (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Industri pengolahan ubi kayu merupakan salah satu cara untuk mengurangi susut produksi. Sebab, komoditi ini merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable), akan busuk dalam kurun waktu dua hingga lima hari setelah panen. Jika tidak mendapat perlakuan pasca panen yang baik, susut dari ubi kayu mencapai lebih dari 25 persen. Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar), maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi). Ubi kayu yang diolah menjadi produk antara seperti tepung tapioka, tepung singkong (moccaf), gaplek dan oyek. Selain itu, ubi kayu dapat diolah menjadi keripik singkong yang merupakan makanan kudapan/cemilan populer. Ubi kayu dalam bentuk olahan tepung misalnya tapioka, dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), sorbitol, dan sebagainya, yang digunakan dalam pembuatan/formulasi susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006). Permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi pangan berbasis pangan lokal mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/RC.110/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014, yaitu program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat.
5 Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perpres No.5/2006 dan UndangUndang Energi No.30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), ubi kayu sebagai sumber protein nabati merupakan suatu kekuatan dalam bentuk dukungan pemerintah untuk mendorong pemasaran produk ubi kayu berupa bioetanol. Peran ubi kayu sebagai bahan baku sumber energi, telah meningkatkan persaingan konsumsi ubi kayu untuk pangan, pakan, dan energi (food, feed, fuel). Kebijakan Energi Nasional pemerintah menargetkan pada 2025 pemakaian BBN mencapai 5 persen dalam bauran energi nasional (energy mix). Sektor industri olahan ubi kayu olahan kering (gaplek, pellet, dan lainnya) mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber devisa negara karena Indonesia termasuk negara terbesar ketiga pengekspor ubi kayu kering, setelah Thailand dan Vietnam. Sektor ini juga berperan sebagai lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan petani, menambah kesempatan berwirausaha, serta meningkatkan daya saing produk baik di pasar domestik maupun internasional. Laju pertumbuhan volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia sebesar -4,40 persen per tahun (Tabel 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa volume ekspor ubi kayu Indonesia cenderung menurun. Meskipun merupakan negara pengekpor terbesar ketiga, Indonesia masih mengimpor ubi kayu. Menurut Bayu Krisnamurthi, wakil menteri perdagangan, 98 persen impor ubi kayu Indonesia dalam bentuk tapioka, bukan dalam bentuk segar atau yang belum diproses. Sebab, industri pengolahan tepung Indonesia kualitasnya masih rendah. Belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan pengolahan makanan. Kapasitas produksi pabrik tapioka di Indonesia hanya 200 ribu ton per tahun. Hanya setengah dari itu yang memenuhi kriteria perusahaan pengolahan makanan. Selain itu, harga ubi kayu impor cenderung lebih murah dibandingkan domestik. Wujud ubi kayu yang diimpor pada tahun 2011 didominasi berupa pati ubi kayu sebesar 99,99 persen dari total volume impor Indonesia (UN Comtrade, 2012). Tabel 4 Nilai dan jumlah ekspor dan impor ubi kayu 1) Indonesia tahun 2004-2011 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Laju (%/tahun)
Ekspor
Impor
Nilai ($)
Jumlah (kg)
Nilai ($)
Jumlah (kg)
20 399 518 25 441 429 14 836 178 31 301 226 20 770 234 25 229 759 32 653 283 29 529 600
234 169 154 229 789 042 132 005 486 209 669 155 129 695 619 168 061 997 145 217 270 105 331 423
397 775 67 285 47 368 49 630 19 200 335 557 15 161 21 915
1 811 908 52 826 38 654 44.6 23 1 902 964 20 599 5 648
0.15
-4.40
2.04
1 034 152
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
1)
Ubi kayu yang dimaksud adalah ubi kayu olahan kering (cassava dried), baik berupa gaplek, pellet, dan lainya.
6 Berdasarkan pemaparan di atas, Indonesia sebenarnya sangat berpotensi dalam memproduksi ubi kayu mengingat ketersediaan lahan kering yang belum diusahakan masih cukup luas, termasuk di wilayah Lampung. Namun, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, potensi ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia masih terbuka, mengingat ubi kayu bersifat multiguna. Namun, Indonesia harus bersaing dengan negara lain seperti Thailand dan Vietnam yang mendominasi pasar ekspor ubi kayu kering dunia. Hambatan perdagangan yang semakin rendah akibat dilakukannya beberapa perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) dan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mengharuskan ubi kayu kering Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional. Melihat kecenderungan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yang menurun perlu dilakukan analisis daya saing ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar internasional.
Perumusan Masalah Permintaan ubi kayu semakin meningkat karena peranannya semakin strategis sebagai bahan baku berbagai sektor industri. Laju pertumbuhan permintaan ubi kayu domestik tahun 2007-2011 sekitar 4.80 persen/tahun. Sedangkan, laju produktivitasnya berkisar 5.22 persen/tahun. Berdasarkan data FAO terdapat tiga jenis produksi ubi kayu yang diekspor, salah satunya ubi kayu olahan kering (cassava dried) yang terdiri dari gaplek, pellet, dan lainnya. Empat negara pengekspor ubi kayu kering terbesar di dunia yaitu Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Kosta Rika. Indonesia merupakan negara eksportir ubi kayu kering yang berada pada urutan ketiga dengan rata-rata volume ekspor periode 20042011 sebesar 169 242 ton. Ubi kayu Indonesia yang diekspor dibedakan menurut kode HS (Harmonized System) sebagai berikut : (1) ubi kayu olahan kering (HS 071410) berupa ubi kayu kepingan kering (gaplek), ubi kayu dalam bentuk pellet, dan lainlain; (2) ubi kayu olahan pati (HS 110814) berupa pati ubi kayu. Ekspor ubi kayu Indonesia pada tahun 2012, sebagian besar dalam bentuk ubi kayu olahan kering berupa gaplek sebesar 84.67 persen dan pati ubi kayu sebesar 15.33 persen dari total ekspor ubi kayu Indonesia (Pusdatin, 2013). Pada tahun 2013, sebanyak 87 persen ubi kayu olahan kering Indonesia dieskpor ke Cina, kemudian 11 persen diekspor ke Korea (UN Comtrade, 2014). Indonesia juga mengimpor ubi kayu kering yang sebagian besar berasal dari Thailand. Menurut Bustanul Arifin, hal tersebut dikarenakan tingginya konsumsi ubi kayu dalam negeri, untuk bahan baku industri tepung dan bioethanol mencapai 28 juta ton per tahun. Angka tersebut belum termasuk kebutuhan untuk dikonsumsi. Pada tahun 2012, Indonesia mengimpor ubi kayu kering sebanyak 6 185 ton dari Thailand, atau 47 persen dari total impor. Kemudian dari China sebanyak 5 057 ton atau 38 persen, dan 2 048 ton atau 15 persen dari Vietnam (UN Comtrade, 2013). Pada tahun 2011, ekspor ubi kayu Indonesia mengalami penurunan sebesar 27.5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal serupa dialami oleh Thailand yang volume ekspornya menurun sebesar 12.59 persen. Sedangkan Vietnam mengalami peningkatan volume ekspor sebesar 57.62. Sehingga,
7 Indonesia merupakan negara yang mengalami penurunan volume ekspor tertinggi dibandingkan negara pengekspor lainnya. Laju rata-rata pertumbuhan volume ekspor negara pengekspor ubi kayu kering terbesar di dunia dari tahun 2004-2011 yakni Indonesia sebesar -4.40 persen per tahun, Thailand sebesar 0.93 persen per tahun, dan Vietnam sebesar 49.66 persen per tahun. Jadi, laju pertumbuhan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia merupakan yang terendah (Tabel 5). Tabel 5 Total volume ekspor ubi kayu kering di Thailand, Vietnam, dan Indonesia tahun 2004-2011 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Laju (%/tahun)
Indonesia 234 169 229 789 132 005 209 669 129 696 168 062 145 217 105 331 -4.40
Volume Ekspor (ton) Thailand 5 019 012 3 031 308 4 213 878 4 558 811 2 882 846 4 357 294 4 273 380 3 735 209 0.93
Vietnam 749 666 534 049 1 040 655 1 316 557 753 335 3 301 915 1 700 440 2 680 178 49.66
Sumber : FAO, 2012
Mengapa volume ekpor ubi kayu Indonesia cenderung turun? apabila dilihat dari potensi alam yang dimiliki Indonesia, dan laju produktivitas yang positif, seharusnya volume ekspor ubi kayu Indonesia dapat stabil bahkan meningkat. Apakah ubi kayu olahan kering Indonesia memiliki daya saing komparatif di pasar internasional ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor ubi kayu kering Indonesia di negara tujuan. 2. Menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu kering Indonesia di pasar internasional. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Peneliti, merupakan proses pembelajaran sekaligus sebagai latihan dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah. 2. Kalangan akademis, sebagai referensi atau sumber informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai ubi kayu. 3. Bagi petani maupun eksportir ubi kayu, merupakan sumber informasi mengenai perdagangan ubi kayu, khususnya olahan kering di pasar internasional.
8 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang daya saing komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar internasional. Klasifikasi yang digunakan adalah Harmonized System (HS) 071410 untuk cassava dried atau ubi kayu olahan kering. Data yang digunakan berupa time series dari tahun 2004-2011.
TINJAUAN PUSTAKA Bentuk Olahan Ubi Kayu Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar), maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi). Ubi kayu diolah menjadi bahan setengah jadi seperti tepung tapioka, tepung singkong (moccaf), gaplek dan lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk membuat ubi kayu bertahan lebih lama. Bahan-bahan tersebut, khususnya tepung tapioka, sebagian besar diserap oleh industri pangan maupun non pangan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Ubi kayu mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan pokok selain beras. Saat ini, ubi kayu untuk konsumsi langsung sudah menjadi komoditas inferior. Ubi kayu dimanfaatkan untuk substitusi beras terutama di kalangan penduduk miskin di musim paceklik di mana harga beras relatif tinggi. Gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air, sebagai bahan makanan pokok. Berdasarkan bentuknya gaplek dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu: 1) gaplek gelondong, 2) gaplek chips (irisan tipis), 3) gaplek pelet, 4) gaplek tepung dan 5) gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk tepung digunakan sebagai bahan makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan sebagai bahan industri pati, dekstrin, dan glukosa (Oramahi dalam Supriadi, 2006). Ubi kayu dalam bentuk pati asli (native starch), pati ubi kayu (tapioka) dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, juga bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat diproses menjadi bentuk lanjut menjadi pati termodifikasi (modified starch) yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan makanan modern seperti makanan instan (instant food), permen, dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Pati ubi kayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), serta sorbitol, yang digunakan dalam pembuatan susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006). Ubi kayu merupakan tanaman yang dapat menjadi sumber bahan baku pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yaitu bioetanol. Etanol lebih dikenal sebagai etil alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman
9 yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu. Keuntungan penggunaan bioetanol adalah mampu menurunkan emisi CO2 hingga 10 persen. Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku yang mengandung pati seperti ubi kayu. Sebagai bahan bakar, bioetanol dapat digunakan sebagai campuran (5–10 persen) BBM tanpa perlu memodifikasi mesin kendaraan dan bioetanol juga memilki kelebihan dibanding BBM karena sumbernya terbarukan dan memiliki nilai oktan tinggi sehingga proses pembakaran menjadi lebih sempurna (Puslitbang, 2014). Varietas ubi kayu yang cocok dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol yaitu Litbang UK 2, yang merupakan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Sebab, varietas ini mampu menghasilkan satu liter bioethanol hanya dengan 4.25 kg umbi. Berbeda dengan varietas lain yang membutuhkan lebih dari 5 - 6 kg umbi untuk jumlah yang sama. Berdasarkan perhitungan, Litbang UK 2 mampu menghasilkan rata-rata 100 ribu liter bioetanol untuk luasan satu hektar. Pada kondisi optimal potensinya mencapai sekitar 140 ribu liter/ha. Keunggulan lain yang dimiliki varietas ini adalah tahan terhadap hama penyakit. Litbang UK 2 tahan terhadap serangan tungau dan tahan terhadap penyakit busuk akar/umbi (Fusarium spp). Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung tapioka dan tepung mocaf (Modified Cassava Flour). Mocaf dapat dijadikan alternatif sebagai substitusi terigu yang banyak diimpor Indonesia. Menurut Media Data Riset (2010) pada tahun 2009, konsumsi tepung terigu nasional sebesar 4.6 juta ton. Adapun impor tepung terigu sebesasar 646.7 ribu ton atau 14.2 persen dari total konsumsi. Permintaan ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2014, konsumsinya mencapai 5.7 juta ton atau meningkat sebesar 7.4 persen. Hasil penelitian Asmara dan Pradana (2011) menyatakan bahwa rata-rata total penerimaan usaha chips ubi kayu sebagai bahan baku mocaf di daerah penelitian yakni Kabupaten Trenggalek sebesar Rp1 847 186.67 dan rata-rata total biaya sebesar Rp1 696 003.56 sehingga diperoleh nilai R/C Ratio sebesar 1 089. Hal tersebut menggambarkan bahwa setiap Rp1 000 000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1 089 000. Sehingga, dapat dikatakan rata-rata usaha Agroindustri chips mocaf sudah mengguntungkan.
Daya Saing Olahan Ubi Kayu Pada umumnya negara-negara berkembang meyakini bahwa sektor industri mampu mengatasi masalah perekonomian. Industri di bidang pertanian atau agroindustri bertujuan untuk menciptakan nilai tambah produk hasil pertanian, sehingga pendapatan petani menjadi lebih tinggi. Selain itu, kegiatan agroindustri dapat membuka lapangan kerja produktif serta menciptakan daya saing produk baik di pasar domestik maupun internasional. Porter (1998) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Melalui pengembangan agroindustri pangan di pedesaan yang menggunakan bahan baku pangan lokal, diharapkan akan meningkatkan jumlah pangan dan produk pangan yang tersedia di pasar lebih beragam. Sehingga, berdampak pada
10 keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan. Selain itu, adanya pengembangan agroindustri pangan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani serta berkembangnya perekonomian di pedesaan secara luas dan menghemat devisa. Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor. Pengertian ekspor menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang ketentuan umum di bidang ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklisif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku UndangUndang No.10 ahun 1995 tentang Kepabeanan. Produksi ubi kayu Indonesia tidak diekspor dalam bentuk segar tetapi dalam bentuk olahan kering (gaplek, pelet, dan lain-lain) serta olahan berupa pati ubi kayu. Selama 1990-2009 ekspor ubi kayu kering maupun pati ubi kayu cenderung menurun. Pasar ekspor ubi kayu dikuasai oleh Thailand sebesar 81 persen, Vietnam 14 persen dan Indonesia 3 persen. Importir terbesar ubi kayu yaitu Cina, yang menyerap sebesar 85 persen dari total ekspor gaplek dunia (Saliem, 2011). Maka, dapat disimpulkan bahwa daya saing ubi kayu Indonesia semakin menurun. Pesaing terbesar ubi Indonesia adalah Thailand yang merupakan eksportir ubi kayu terbesar dunia. Harga ekspor Indonesia berperan sebagai leader dalam pergerakan harga di Cina, Uni Eropa, Thailand, dan Malaysia. Hal tersebut membuat posisi tawar Indonesia dalam penentuan harga ubi kayu di pasar dunia cukup kuat dan harga ubi kayu kering Indonesia relatif stabil (Asriani, 2010). Perkembangan Ubi Kayu di Asia Ubi kayu mempunyai peran mendasar bagi petani di daerah yang memiliki marjinal dengan ekonomi rendah. Tanaman ini dijadikan sumber kalori yang murah dan mudah didapat, meskipun sebagian besar penduduk Asia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Baik sektor industri maupun konsumen memperoleh manfaat dari produk olahan berbahan baku ubi kayu. Devisa suatu negara bertambah dengan adanya ubi kayu sebagai komoditi ekspor. Ubi kayu sangat berperan menggerakkan perekonomian suatu negara. Saat ini, ubi kayu di Asia merupakan tanaman komersial. Ubi kayu lebih dominan dimanfaatkan untuk keperluan sektor industri, baik pangan maupun non pangan. Meskipun ubi kayu relatif baru dikenal oleh masyarakat Asia dibandingkan dengan beras, tetapi saat ini ubi kayu telah menjadi komoditi ekpor unggulan di beberapa negara di Asia (Thailand dan Vietnam). Ubi kayu pertama kali diperkenalkan di Filiphina oleh bangsa Spanyol, hingga sampai ke Indonesia pada awal abad ke-19. Saat itu, sentra produksi ubi kayu yaitu di Jawa dan Malaysia hingga usai perang dunia ke-2. Indonesia merupakan produsen terbesar ubi kayu di wilayah Asia hingga akhir 1970 (FAO, 2000). Pada tahun 1980 hingga saat ini, produksi dan perdagangan ubi kayu dipengaruhi beberapa hal, yaitu : (1) pertumbuhan ekonomi yang cepat di banyak negara di Asia, disertai perubahan pola konsumsi pangan; (2) meningkatnya
11 permintaan pati untuk bahan baku industri; (3) dilakukannya beberapa perjanjian perdagangan internasional yang mempermudah ekspor. Menurut FAO (2000), tren produksi ubi kayu di Asia dibagi ke dalam tiga periode: 1. Sebelum 1960-an. Perdagangan ubi kayu didominasi dalam bentuk pati. Luas areal tanam mengalami peningkatan tiap tahunnya. 2. Periode 1960-1970. Pasar ekspor ubi kayu didominasi dalam bentuk gaplek untuk pakan ternak, terutama untuk diekspor ke Eropa. India dan Indonesia, periode ini meningkatkan produksi ubi kayu sebagai upaya menangani produksi beras yang menurun. 3. Periode 1980-1990. Luas areal panen cenderung konstan, begitu juga dengan Indonesia. Bahkan, luas areal panen ubi kayu di Indonesia cenderung menurun. pada periode ini penggunaan pupuk sudah mulai diaplikasikan dalam usahatani ubi kayu di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Di periode ini, volume ekspor Thailand cenderung meningkat. Metode Pengukuran Daya Saing Analisis daya saing dapat dilakukan dengan berbagai metode. Suprehatin (2006) melakukan analisis daya saing ekspor nenas segar Indonesia menggunakan metode analisis regresi data panel. Analisis ini memasukkan peubah-peubah yang diduga secara signifikan berpengaruh terhadap daya saing (pangsa pasar) ekspor nenas segar Indonesia ke pasar Internasional. Selain menggunakan metode analisis regresi data panel, sistem Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) juga dapat digunakan sebagai metode analisis daya saing, seperti yang dilakukan oleh Wulandari (2013). Teori Berlian Porter dapat digunakan untuk mengetahui daya saing suatu komoditi berdasarkan kondisi dari komponen-komponen yang saling mendukung dan saling menguatkan di suatu negara terkait dengan komoditas tersebut. Constant Market Share (CMS) juga dapat digunakan sebagai alat analisis, seperti yang dilakukan oleh Hermanto et al (2011). CMS digunakan untuk mengukur kinerja suatu komoditi di pasar dunia. Sedangkan, untuk menjelaskan struktur input output di tingkat usahatani menggunakan Policy Analysis Market (PAM). Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) digunakan untuk menggambarkan struktur dan pangsa pasar yang dimiliki oleh suatu komoditas (Wulandari, 2013). Kemudian dilakukan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif ubi jalar Indonesia jika dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Hafni (2011), Kalaba (2012), Wulandari (2013) menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui daya saing komparatif suatu komoditi. Hafni (2011) menggunakan metode Export Product Dinamic (EPD) dan Intra-Industry Trade (IIT) serta pendekatan gravity model untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor pisang Indonesia ke negara tujuan. Kalaba (2012) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) untuk mengetahui apakah untuk suatu jenis produk, Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir. Kemudian metode Acceleration Ratio (AR) menunjukkan
12 apakah suatu negara dapat merebut pasar di luar negeri (dalam arti dapat mengalahkan negara-negara pesaingnya) atau posisinya semakin lemah di pasar ekspor ataupasar domestik. Terakhir, metode yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regression (SUR) yang merupakan analisis regresi untuk membangun persamaan garis lurus dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat perkiraan. Dengan mengunakan alat analisis regresi dapat diketahui variabelvariabel yang mempengaruhi pola perubahan daya saing ekspor produk kakao Indonesia. Metode yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui apakah ubi kayu kering Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau tidak. Hal itu serupa dengan yang dilakukan oleh Hafni (2011), Kalaba (2012) dan Wulandari (2013). Analisa ini dikembangkan oleh International Trade Centre sebagai analisa RCA yang menganalisa arus perdagangan, indikator keunggulan komparatif yang bertujuan untuk mengukur spesialisasi. Spesialisasi suatu negara merupakan indikasi tentang bagaimana suatu negara mengalokasikan sumber daya untuk berbagai industri, di bawah asumsi total perdagangan yang seimbang.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Daya Saing Porter (1998) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaanperusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Jadi, dapat dikatakan bahwa daya saing adalah kemampuan suatu komoditi untuk diterima di pasar Internasional akibat adanya keunggulan baik komparatif maupun kompetitif. Esterhuizen et al, 2008 (dalam PSE Litbang, 2014) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan. Teori Perdagangan Internasional Faktor-faktor penting yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain diantaranya keinginan untuk memperluas pemasaran, memperbesar penerimaan devisa, adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu serta perbedaan permintaan dan penawaran antar negara karena tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakat. Lipsey et al (1997) mengatakan bahwa dengan perdagangan, setiap orang, wilayah, atau bangsa dapat memusatkan perhatian untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukannya secara efisien,
13 sementara mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan jasa lain yang tidak diproduksinya.Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonom antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan Internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor. Perdagangan internasional berada dalam lingkup komoditi dalam pertukaran barang, dengan adanya perbedaan alam di tiap negara. Px/PY
Sa
Px/PY
Px/PY ES
P3
Sb
P3
X E*
P2
P* ED
P1
M
Db
Da
0 Qa Negara A (pengekspor)
Q* Perdagangan Internasional
Qb Negara B (pengimpor)
Gambar 1 Kurva perdagangan internasional Sumber : Salvatore, 1997 (diolah)
Keterangan : P1 = harga domestik di negara A tanpa perdagangan internasional P3 = harga domestik di negara B tanpa perdagangan internasional Qa = jumlah yang diperdagangkan di negara A tanpa perdagangan internasional Qb = jumlah yang diperdagangkan di negara B tanpa perdagangan internasional X = jumlah yang diekspor oleh negara A M = jumlah yang diimpor oleh negara B P* = harga di pasar internasional setelah perdagangan internasional Q* = jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional Negara A akan memproduksi dan konsumsi sebesar Qa dengan harga yang berlaku sebesar P1. Sedangkan, negara B akan berproduksi dan berkonsumsi sebesar Qb dengan harga yang berlaku sebesar P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar pada P1 dan P3. Seandainya harga yang berlaku diatas P1, maka negara A akan memasok komoditi X lebih banyak daripada permintaan domestik. Kelebihan produksi itu selanjutnya diekspor ke negara B. Jika harga yang berlaku lebih rendah daripada P3, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan. Sehingga, produksi domestik tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Hal ini akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya dari negara A. Hanya pada harga P2 kuantitas impor yang diminta negara B akan sama dengan yang kuantitas ekspor ditawarkan oleh negara A. Sehingga, terbentuklah
14 Q*. Maka, P2 merupakan harga relatif ekuilibrium setelah berlangsung perdagangan diantara kedua negara tersebut. Teori Keunggulan Absolut Adam Smith Menurut Adam Smith, perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi akan meningkat. Sebagai contoh, lahan Indonesia merupakan lahan yang efisien untuk menanam pisang, namun kurang efisien jika dipakai menanam gandum. Sedangkan, Amerika merupakan tempat yang baik untuk menanam gandum. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan absolut terhadap Amerika dalam menanam pisang, namun memiliki kerugian absolut dalam komoditi gandum. Hal sebaliknya terjadi pada Amerika. Menurut Adam Smith semua negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dan dengan tegas menyarankan untuk menjalankan kebijakan yang dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Melalui perdagangan, sumber daya dunia dapat didayagunakan secara efisien dan memaksimumkan kesejahteraan dunia. Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo David Ricardo dikenal melalui teorinya “keunggulan komparatif (comparative adavantage)”. Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997), perdagangan internasional dapat saja terjadi, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua negara tersebut. Sebagai contoh, Inggris memiliki kerugian absolut baik dalam memproduksi kain maupun gandum bila dibandingkan dengan Amerika. Sebaliknya, Amerika memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi kain maupun gandum dibanding Inggris. Menurut hukum keunggulan komparatif, kedua negara tersebut akan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut terkecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut terbesar. Menurut Ricardo, perdagangan antara dua negara tersebut akan timbul bila masing-masing negara memilki biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Oleh karena itu, teori Ricardo sering disebut teori biaya relatif. Titik pangkal dari teori ini adalah nilai atau harga suatu barang ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan tiap pekerja dan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi suatu barang. Jadi, dalam model Richardo, penilaian terhadap keunggulan suatu negara atas negara lain dalam membuat suatu jenis barang didasarkan pada tingkat efisiensi atau produktivitas tenaga kerja.
15 Teori ini merupakan yang sering digunakan di dalam banyak penelitian empiris mengenai kinerja ekspor. Teori Keunggulan Kompetitif Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997), keunggulan kompetitif dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik oleh sebuah perusahaan jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan saingan”. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Sedangkan menurut Porter (1990), keunggulan kompetitif suatu negara sangat tergantung pada tingkat sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan sumber daya lokal yang dimiliki suatu negara, dapat dilihat apakah suatu negara mempunyai keunggulan kompetitif atau tidak. Keunggulan kompetitif dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai, kebudayaan, kelembagaan, dan sejarah menentukan keberhasilan kompetitif. Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara untuk bersaing secara global. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumber daya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm strategy, structure,and rivarly). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (goverment) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan daya saing, sistem tersebut dikenal dengan “The National Diamond”. Teori Heckscher-Ohlin (H-O) Teori Heckscher dan Ohlin (H-O) termasuk dalam kelompok teori modern. Teori H-O disebut juga sebagai factor proportion theory atau teori ketersediaan faktor. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Jepang, terjadi karena biaya alternatif (opportunity cost) berbeda antara kedua negara tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan tanah) yang dimiliki oleh kedua negara tersebut. Indonesia memiliki tanah yang lebih luas dan tenaga kerja yang jauh lebih banyak, namun memiliki modal yang lebih kecil dibandingkan Jepang. Maka sesuai hukum pasar (permintaan dan penawaran), harga faktorfaktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Jepang. Upah tenaga kerja dan harga tanah di Indonesia lebih murah, sebaliknya harga modal di Indonesia lebih mahal dibandingkan di Jepang. Namun, bukan berarti Indonesia lebih unggul daripada Jepang. Hal ini tergantung pada tingkat intensitas pemakaian tenaga kerja, tanah, dan modal dalam memproduksi barang tersebut. Intensitas pemakaian faktor produksi dapat diukur dengan rasio antara nilai faktor produksi dengan nilai output. Jelas bahwa pertanian adalah jenis sektor yang
16 proses produksinya lebih padat tenaga kerja dan tanah daripada sektor industri manufaktur. Oleh sebab itu, paling tidak secara teori, Indonesia memiliki keunggulan atas Jepang dalam menghasilkan komoditi pertanian. Jadi menurut teori H-O, struktur perdagangan luar negeri dari suatu negara tergantung pada ketersediaan dan intensitas pemakaian faktor-faktor produksi dan yang terakhir ini ditentukan oleh teknologi. Suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor barang-barang yang input (faktor produksi) utamanya lebih banyak di negara tersebut dan sebaliknya. Asumsi-asumsi pokok teori H-O sebagai berikut: a. Di dunia hanya tedapat dua negara saja (Negara 1 dan Negara 2), dua komoditi (komoditi X dan Y), dan dua faktor produksi (tenaga kerja dan modal). b. Kedua negara tersebut memiliki dan menggunakan metode atau tingkat teknologi produksi yang persis sama. c. Komoditi X secara umum bersifat padat karya, sedangkan komoditi Y secara umum bersifat padat modal. d. Kedua komoditi tersebut sama-sama diproduksi berdasarkan skala hasil yang konstan, dan hal ini sama-sama terjadi di kedua negara. e. Spesialisasi produksi yang berlangsung di kedua negara sama-sama tidak lengkap atau tidak menyeluruh, artinya masing-masing negara tetap memproduksi kedua komoditi itu sekaligus, meskipun dalam komposisi berbeda. f. Terdapat kompetisi sempurna dalam pasar produk (tempat perdagangan kedua komoditi) dan juga dalam pasar faktor (yakni tempat bertemunya kekuatan penawaran dan permintaan atas berbagai faktor produksi, yang dalam teori ini dibatasi pada modal dan pasar tenaga kerja). Harga semata-mata dibentuk oleh kekuatan pasar. g. Terdapat mobilitas faktor yang sempurna dalam ruang lingkup masing-masing negara. Namun, tidak ada mobilitas faktor antarnegara/internasional. h. Sama sekali tidak ada biaya transportasi, tarif, dan berbagai bentuk hambatan perdagangan antar kedua negara. Kerangka Pemikiran Operasional Permintaan ubi kayu semakin meningkat tiap tahunnya, baik di sektor pangan maupun industri. Sektor industri ubi kayu mempunyai peranan dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai sumber devisa juga sebagai lapangan kerja produktif. Indonesia merupakan negara eksportir ubi kayu terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Vietnam. Ekspor ubi kayu Indonesia didominasi berupa olahan kering. Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia diantaranya Belanda, Jerman, Cina, dan Korea. Sebagian besar ekspor Indonesia diserap oleh Cina. Laju pertumbuhan produktivitas ubi kayu di Indonesia tahun 2007-2011 sebesar 5.22 persen per tahun. Laju permintaan domestik ubi kayu sebesar 4.80 pesen per tahun. Volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia berfluktuasi bahkan cenderung turun, dengan laju pertumbuhan pada tahun 2004-2011 sebesar -4.40 persen per tahun. Laju pertumbuhan volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan negara pengekspor terbesar lainnya.
17 Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia jika dibandingkan dengan negara produsen lain, seperti Thailand dan Vietnam .
- Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu terbesar ketiga di dunia - Volume ekspor ubi kayu Indonesia periode 2004-2013 berfluktuasi bahkan cenderung turun - Produktivitas ubi kayu Indonesia meningkat setiap tahunnya Analisis Daya Saing
Keunggulan Komparatif -
-
-
-
Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia Nilai total ekspor komoditi pangan Indonesia Nilai total ekspor ubi kayu olahan kering dunia Nilai total ekspor komoditi pangan dunia
Rekomendasi untuk meningkatkan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Keterangan : = ruang lingkup penelitian
Keunggulan Kompetititf
18
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu mulai dari tahun 2004-2011. Hal ini dikarenakan, dalam rentang waktu tersebut sudah terlihat fluktuasi volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia (HS 071410) dengan trend menurun. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian (Deptan), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), FAO (Food and Agriculture Organization), UN Comtrade (United Nations Commodity of Trade), dan sumber lain yang terkait dengan objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah produksi ubi kayu Indonesia, nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia, total nilai ekspor ubi kayu olahan kering di dunia, negara-negara importir dan eksportir ubi kayu olahan kering di dunia, nilai ekspor komoditas pangan Indonesia, dan total nilai ekspor komoditas pangan dunia. Pengumpulan data dilakukan pada bulan MeiJuni. Metode Analisis dan Pengolahan Data Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar dunia dengan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage) menggunakan alat bantu Microsoft Office Excel 2010. Analisis deskriptif dilakukan untuk merumuskan suatu kebijakan yang tepat setelah melihat daya saing komparatif ubi kayu Indonesia di pasar Internasional. Revealed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif dari komoditas tertentu di suatu negara dapat dianalisis menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage) yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnnya, serta menunjukkan daya saing industri suatu negara. Menurut Hady (2004), tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian yaitu ingin mengetahui keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu negara. Sehingga, untuk mengetahui apakah ubi kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif diantara negara-negara lain di pasar internasional serta untuk mengukur daya saing industri di Indonesia, digunakan alat analisis RCA. Formula RCA dirumuskan sebagai berikut: Xij / Xj RCA =
Xiw / Xw
19 Dimana : Xij Xj Xiw Xw
= nilai ekspor komoditas ubi kayu olahan kering Indonesia = total nilai ekspor komoditas pangan Indonesia = nilai ekspor komoditas ubi kayu olahan kering dunia = total nilai ekspor komoditas pangan dunia
Jika, nilai RCA komoditas suatu negara lebih besar dari 1, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat. Namun, apabila nilai RCA kurang dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif atau mempunyai daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka daya saing suatu negara akan semakin kuat. Keuntungan menggunakan metode ini yaitu dapat melihat keunggulan intrinsik ekspor komoditi tertentu, dan konsisten dengan perubahan produktivitas. Sedangkan, kekurangan metode RCA yakni pengaruh dari kebijakan perdagangan pemerintah di suatu negara tidak terlihat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu merupakan sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung di negara tropis. Permintaan ubi kayu terus meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan. Produksi ubi kayu dunia sekitar 250 juta ton per tahun (UNCTAD, 2014). Afrika merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia, lebih dari 50 persen berasal dari benua ini. Ubi kayu di Afrika sebagian besar digunakan sebagai pangan pokok. Hal yang berbeda terjadi di Asia, dimana produksi ubi kayu digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan bakar alternatif. Asia memberikan kontribusi olahan ubi kayu sekitar sepertiga dari produksi dunia, sebanyak 60 persen diproduksi oleh Thailand (UNCTAD, 2014). Produk olahan ubi kayu berupa pati maupun tepung terus meningkat, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya sektor industri. Olahan pati maupun tepung berasal dari jenis ubi kayu yang sama, hanya proses produksinya yang berbeda. Beberapa olahan ubi kayu yakni : (a) Tepung ubi kayu, yang diperoleh dari pengeringan akar yang telah dipotongpotong, kemudian digiling. Di Brazil, 70-80 persen dari produksi singkong digunakan untuk membuat tepung. (b) Pati ubi kayu, merupakan zat yang diekstrak dari umbi-umbian. Pati digunakan dalam banyak sektor industri, seperti industri makanan, farmasi kimia, pengecoran, tekstil, kertas dan perekat. Menurut FAO, secara keseluruhan rata-rata 60 juta ton pati diekstrak per tahun dari berbagai sereal, akar dan umbi-umbian, tetapi hanya 10 persen dari pati ini berasal dari singkong. Sedangkan, negara-negara tropis mengimpor tepung jagung setiap tahun lebih dari 80 juta dollar Amerika. Sehingga, pati ubi kayu ini dapat dikembangkan sebagai alternatif substitusi.
20 (c) Etanol , yang produksinya diprediksi akan meningkat sebesar 50 persen pada tahun 2020. Namun, penggunaan ubi kayu untuk biofuel masih rendah. Sehingga, peranannya perlu ditingkatkan seperti yang telah dilakukan oleh Cina, menggunakan ubi kayu sebagai pengganti jagung. (d) Pakan ternak, ubi kayu dapat dijadikan campuran pakan ternak seperti yang dilakukan di Cina. Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa ketiga eksportir ubi kayu terbesar dunia memberikan sumbangan ekspor lebih dari 90 persen dari total ekspor dunia. Thailand berkontribusi sebesar 67 persen dari total ekspor dunia. Vietnam sebesar 25 persen. Sedangkan, Indonesia sebesar 3 persen. Thailand merupakan eksportir terbesar ubi kayu di dunia. Tabel 6 Total ekspor tiga negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011 2004
2005
Dunia 6 672 Thailand 5 019 Vietnam 750 Indonesia 234 Lainnya 669 % 3 negara 90 terhadap dunia
4 114 3 031 534 230
2006 2007 2008 (...dalam ribu ton...) 5 594 6 786 4 010 4 214 4 559 2 883 1 041 1 317 753 132 210 130
2009
2010
2011
7 960 4 357 3 302 168
6 380 6 682 4 273 3 735 1 700 2 680 145 105
319
207
700
244
133
262
162
92
96
90
94
98
96
98
Sumber : FAO, 2012 (diolah)
Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri Ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri (pangan dan kimia). Jumlah penduduk yang terus meningkat dan semakin berkembangnya industri peternakan serta industri berbahan baku ubi kayu dipastikan akan mendorong kebutuhan ubi kayu meningkat secara tajam. Menurut Suryadi (2013) sebagian besar produksi ubi kayu di Indonesia, digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90 persen), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chips dan tepung tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di Indonesia yaitu untuk bahan pangan sekitar 58 persen, bahan baku industri 28 persen, ekspor dalam bentuk gaplek sekitar 8 persen, pakan sekitar 2 persen, sedangkan sisanya 4 persen digunakan sebagai limbah pertanian (Suryadi, 2013). Hal tersebut mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif, mendukung ketahanan pangan nasional. Pada industri pakan, ubi kayu digunakan dalam bentuk pellet maupun limbah industri ubi kayu (onggok). Meskipun pemanfaatan ubi kayu di sektor pakan hanya 2 persen, tetapi usaha peternakan meningkat dengan laju pertumbuhan 12.9 persen/tahun untuk ternak pedaging dan 18 persen/tahun untuk ternak petelur. Ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri yang diolah melalui proses dehidrasi (chip, pellet, tepung tapioka), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose) dan proses fermentasi (alkohol, butanol, aseton,
21 asam laktat, sorbitol, dan lainnya). Pencanangan bio-ethanol sebagai sumber energi alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium dengan 10 persen etanol), dimana 8 persen keperluan etanol berasal dari ubi kayu dan peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7 persen/tahun akan lebih memacu kebutuhan ubi kayu.
Teknologi Peningkatan Produksi Kebutuhan ubi kayu yang terus meningkat setiap tahunnya dengan laju sekitar 4.80 persen/tahun, mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produktivitas ubi kayu dalam negeri. Produktivitas ubi kayu Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2011, hanya sebesar 20.3 ton/Ha, lebih rendah dibandingkan potensi hasil beberapa varietas unggul yang bisa mencapai 30-40 ton/Ha. Rendahnya produktivitas ubi kayu diantaranya disebabkan oleh: (a). sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya produktivitasnya rendah, (b). kualitas bibit yang digunakan seringkali kurang baik, (c). ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). pengelolaan tanaman dilakukan secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya. Secara umum, peningkatan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi), terutama pada daerah-daerah sentra produksi, dan perluasan areal tanam/panen (ekstensifikasi) ke daerah pengembangan baru di lahan kering dan lahan tidur terutama di luar Jawa. Menurut Wargiono (2007) dalam Balitkabi (2011) untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu perlu peningkatan produksi yang tumbuh secara berkelanjutan 5-7 persen/tahun. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas 3-5 persen/tahun dan perluasan areal 10-20 persen/tahun. 1. Intensifikasi a. Varietas unggul baru (VUB). VUB merupakan teknologi produksi yang sangat strategis sebagai upaya meningkatkan produksi ubi kayu. Varietas unggul baru sebaiknya mempunyai karakter sesuai dengan kebutuhan petani dan mudah diterima petani. Hingga tahun 2009, Badan Litbang Pertanian telah melepas 10 varietas unggul ubi kayu (Lampiran 5). Pelepasan varietas unggul ubi kayu di Indonesia tergolong lambat, karena selama ini ubi kayu belum mendapat prioritas, serta umur panennya yang panjang (8–10 bulan). Ubi kayu varietas UJ- 5 dan UJ-3 yang mempunyai hasil dan kadar pati yang tinggi telah berkembang secara luas di propinsi Lampung, sebagai bahan baku industri tepung dan pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Malang-4 beradaptasi dan menghasilkan umbi 40-55 ton/ha di kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Utara (Balitkabi, 2011). Varietas Adira-4, MLG-6 dan Kaspro yang juga mempunyai produksi dan kadar pati tinggi telah berkembang luas di Jawa Timur.
22 b. Teknologi Budidaya pendukung Selain varietas, teknologi budidaya pendukung akan membantu masingmasing varietas untuk menghasilkan sesuai dengan potensi hasilnya. Jarak tanam atau populasi tanaman per hektar merupakan komponen teknologi yang paling pertama mendapat perhatian para petani, sebab mudah dipahami dan diterapkan, serta sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. b.1 Jarak tanam Jarak tanam ubi kayu yang sesuai sangat ditentukan antara lain oleh sistem tanam, pola pertumbuhan tanaman dan tingkat kesuburan lahan. Pada sistem monokultur, penanaman ubi kayu dapat dilakukan pada jarak tanam 100 cm x 100 cm atau 100 cm x 80 cm. Ubi kayu dengan pola percabangan di bawah (misal varietas Darul Hidayah) umumnya ditanam dengan jarak yang lebih lebar (125 cm x 125 cm). Pada tanah yang kurang subur (daerah Lampung) untuk mendapatkan hasil yang tinggi per satuan luas, ubi kayu dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat. Dengan demikian, meskipun hasil per tanaman lebih rendah tapi karena populasinya tinggi hasil umbi per satuan luas menjadi lebih tinggi pula. b.2 Pemupukan Ubi kayu merupakan tanaman yang daya adaptasi lebih baik dibanding tanaman pangan lainnya (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al -dd yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi tanaman ubi kayu yang baik menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan meskipun diusahakan pada lahan suboptimal maupun marjinal. Jumlah hara yang diambil untuk setiap ton umbi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 2002) dalam Balitkabi (2011). Oleh karena itu, dalam jangka panjang produktivitasnya pada lahan suboptimal/marjinal juga akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya tanpa disertai dengan pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi. Pemupukan sangat diperlukan untuk memperoleh hasil ubi kayu yang tinggi , mengingat tanaman ini banyak dibudidayakan pada lahan yang tanahnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K, ubi kayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut. 2.Ekstensifikasi (Perluasan areal tanam/panen) Saat ini, luas panen ubi kayu berkisar 1.2 –1.5 juta hektar. Di sisi lain, lahan kering berupa tegalan, maupun ladang yang belum dimanfaatkan masih luas. Pada beberapa daerah sentra produksi ubi kayu juga masih terdapat lahan tidur yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan. Lahan Ultisol, Inceptisol dan Alfisol yang mendominasi sentra produksi ubi kayu dan belum diusahakan (merupakan lahan tidur berupa padang alangalang) di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur masing-
23 masing sekitar 3.1 juta hektar, 6.2 juta hektar, 0.8 juta hektar dan 1.2 juta hektar sangat potensial sebagai daerah pengembangan ubi kayu, terutama pada daerah beriklim basah (Balitkabi, 2011). Selain mengembangkan ubi kayu pada lahan yang baru, peningkatan luas areal tanam ubi kayu juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan pada perkebunan atau hutan industri yang tanaman utamanya masih berumur 1- 3 tahun. Di Lampung, ubi kayu banyak diusahakan pada perkebunan karet atau kelapa sawit muda. Di Jawa Timur, ubi kayu banyak ditanam brsama dengan jati muda. Di lahan tadah hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ubi kayu banyak ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain seperti padi gogo, jagung, kacang-kacangan atau sayuran. Tabel 7 Rekomendasi lokasi areal tanam dan potensi pengembangan produksi ubi kayu Provinsi Maluku Yogyakarta Bangka Belitung Lampung Sultra Papua NTT Jateng Kaltim Jatim
Nilai LQ
Produktivitas (ton/ha)
2.9 (tinggi) 2.7 (tinggi) 2.7 (tinggi)
12.1 14.0 11.5
22.7 58.4 2.0
Potensi produksi (000 ton) 274.9 817.3 22.8
2.5 (tinggi) 2.3 (tinggi) 2.1 (tinggi) 1.9 (sedang) 1.2 (sedang) 1.2 (sedang) 1.2 (sedang) Total
17.5 15.4 11.2 10.4 16.2 13.8 16.1
279.1 26.5 4.6 79.3 228.4 8.0 248.6 947.6
4 884.4 254.5 51.4 824.8 3 699.7 109.7 4 002.7 14 942.3
Luas areal (000 ha)
Sumber : Kementan, 2011
Perkembangan Ekspor Ubi Kayu Indonesia Ubi kayu yang termasuk ke dalam tanaman pangan, mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh keadaan iklim Indonesia, sehingga tanaman ini dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, permintaan ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun olahan terus meningkat. Perkembangan sektor industri dan pengembangan biofuel menjadi pemicu hal tersebut. Indonesia berada dalam peringkat ketiga sebagai pengekspor ubi kayu setelah Thailand dan Vietnam. Perkembangan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia mengalami fluktuasi, bahkan cenderung menurun. Meskipun produksi dalam negeri terus meningkat. Perkembangan total ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia dibagi menjadi 3 periode, yaitu periode sebelum krisis moneter (1989-1997), setelah krisis moneter (1998-2007) dan setelah krisis ekonomi global (2008-2013). Hal tersebut dilakukan untuk melihat pengaruh dari masing-masing periode terhadap volume ekspor ubi kayu Indonesia.
24 Rata-rata volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia menurun drastis pasca krisis moneter menjadi 16 840 ton/tahun, dengan laju 85 persen/tahun. Hal tersebut merupakan imbas dari krisis moneter. Banyak industri pengolahan yang gulung tikar. Selain itu, Indonesia mempunyai pesaing baru yaitu Vietnam. Volume ekpsor Vietnam terus meningkat, bahkan sejak tahun 2002 pangsa pasar Indonesia beralih ke Vietnam (Tabel 8). Tabel 8 Perkembangan total ekspor ubi kayu Indonesia tahun 1989-2013 Periode 1989-1997 1998-2007 2008-2013
Rata-rata volume ekspor (ton/tahun) 765 760 16 840 119 314
Rata-rata harga jual (US$/ton) 107.65 94.65 223.31
laju pertumbuhan vol.ekspor (%/tahun) -16 85 43
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Harga rata-rata ekspor Indonesia pasca krisis moneter mengalami penurunan yang cukup tinggi, sebesar 14 persen dari 107.65 (US$/ton) menjadi 94.65 (US$/ton). Hal tersebut dikarenakan munculnya supplier baru, yaitu Vietnam yang menawarkan harga lebih rendah. Kemudian, pasca krisis ekonomi, harga ekspor ubi kayu Indonesia naik sebesar 57 persen dibandingkan periode sebelumnya. Permintaan yang semakin meningkat dan terbatasnya jumlah penawaran menjadi penyebab hal tersebut. Laju pertumbuhan ubi kayu Indonesia pasca krisis ekonomi tutun menjadi 43 persen/tahun. Gambaran Umum Ekspor Ubi Kayu di Negara Pengekspor Terbesar 1. Thailand Di Thailand, ubi kayu merupakan komoditi pangan yang penting setelah padi. Ubi kayu disini lebih dikembangkan sebagai bahan baku industri, yang berorientasi ekspor. Sebanyak 68 pesen ubi kayu Thailand diekspor dan sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik. Ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku ethanol sebanyak 5 persen, sebanyak 8 persen digunakan untuk kebutuhan pellet dalam negeri, sebanyak 32 persen merupakan pellet yang diekspor, sebanyak 19 persen digunakan untuk bahan baku industri tepung dalam negeri dan 36 persen merupakan olahan tepung yang diekspor. Thailand memiliki beberapa varietas ubi kayu. Namun, hampir semua variates merupakan jenis ubi kayu pahit, yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan dan pati. Rayong 1 merupakan varietas unggulan. Varietas lokal ini dikeluarkan pada tahun 1975 dengan produktivitas sebesar 14 ton/Ha. Sejak 1960, penggunaan ubi kayu sebagai bahan baku pakan dan pati semakin meningkat, terutama untuk ekspor (Piyachomkwan, 2011). Thailand menyumbang lebih dari 90 persen pati ubi kayu dan sekitar 70 persen dalam bentuk ubi kayu olahan kering dari total ekspor dunia. Ubi kayu Thailand dalam bentuk chips mempunyai 3 pasar utama, yaitu (1) industri pakan domestik, (2) diekspor ke Cina sebagai bahan baku ethanol, (3) sebagai bahan baku pembuatan pellet pada industri pakan. Pellet kemudian dicampur dengan
25 bahan baku lainnya untuk memproduksi pakan senyawa pada peternakan dengan skala besar (Poramacom, 2013). Thailand mulai mengekspor ubi kayu pada pertengahan 1960, dengan tujuan pasar Eropa dalam bentuk kepingan dan pellet. Pada tahun 1989, ekspor ubi kayu ke Eropa menurun drastis sebanyak 9 juta ton, akibat perubahan kebijakan perdagangan di Eropa. Kemudian, Cina menjadi tujuan utama ekspor Thailand (Tabel 9). Ada beberapa hal yang mendasari pergeseran tersebut, diantaranya : 1. Perbedaan kebutuhan. Ubi kayu di pasar Eropa digunakan untuk bahan baku industri pakan. Sehingga, Thailand harus mengekspor dalam bentuk pellet. Bentuk dan ukuran menjadi penting, agar memudahkan mencampur dengan bahan lainnya. Sedangkan, Cina menggunakan ubi kayu untuk kebutuhan pembuatan ethanol. Bentuk dan ukuran bukanlah prioritas, tetapi kandungan patinya. Chip yang diminta Cina harus memiliki kandungan pati sebesar 67 persen, lebih tinggi dibandingkan yang diminta Eropa sebesar 65 persen. 2. Jarak Thailand ke Cina lebih dekat dibandingkan ke Eropa. Hal ini berpengaruh pada biaya transportasi. 3. Memproduksi chips lebih mudah dibandingkan memproduksi pellet, teknologi yang digunakan pun relatif lebih mudah. Tabel 9 Negara tujuan ekspor ubi kayu Thailand tahun 2004-2011
Belgia Korea Cina Belanda Spanyol Lainnya
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3 2 56 17 19 3
0 0 91 1 7 1
2 0 90 0 4 4
1 0 64 18 10 7
0 16 44 17 14 9
0 2 96 0 0 2
0 0 98 0 0 2
0 0 99 0 0 1
Rata-rata (%/tahun) 0.75 2.50 79.75 6.63 6.75 3.63
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
Pada 2004-2011, ubi kayu olahan kering Thailand sebagian besar diekspor ke Cina. Rata-rata volume ekspor ke Cina sekitar 80 persen dari total ekspor. Kemudian Belanda dan Spanyol meyerap masing-masing sekitar 7 persen dari total ekspor Thailand. Selain itu, Korea menyerap 2.5 persen dari total ekspor ubi kayu Thailand. Pada 2008, ekspor ubi kayu kering ke Cina menurun sebesar 20 persen. Sedangkan, ekspor ke Korea meningkat sebesar 16 persen dan ke Spanyol meningkat sebesar 4 persen. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan harga ekspor yang cukup tinggi antara Korea dan Cina. Harga ekspor ke Korea sebesar US$ 181/ton. Sedangkan, harga ekspor ke Cina hanya US$ 164/ton atau lebih rendah 9 persen. Pada 2009, volume ekspor ubi kayu Thailand ke Cina sebesar 96 persen dan ke Korea sebesar 2 persen. Harga ekspor ke Cina sebesar US$137/ton dan ke Korea sebesar US$149/ton. Pada 2010, 98 persen ubi kayu olahan kering Thailand diekspor ke Cina dengan harga US$191/ton, atau meningkat sebesar 28 persen dibandingkan harga jual tahun sebelumnya. Kemudian tahun 2011, Thailand
26 mengekspor ubi kayu ke Cina sebesar 99 persen dari total ekspor, dengan harga jual US$ 262/ton, atau meningkat 27 persen dibandingkan tahun 2010. 2. Vietnam Saat ini, ubi kayu di Vietnam berubah fungsi dari bahan pangan menjadi bahan baku industri. Ubi kayu merupakan salah satu komoditi ekspor unggulan di Vietnam. Vietnam merupakan eksportir terbesar kedua, setelah Thailand. Terdapat 25 pabrik pengolahan ubi kayu di negara ini, dengan kapasitas produksi 1.2-2 juta ton/tahun. Vietnam memproduksi 400-600 ribu ton ubi kayu kering/tahun (Van Bien, 2008). Pasar utama ubi kayu Vietnam yaitu Cina, Korea, dan Jepang. Rata-rata ekspor ubi kayu ke Cina tahun 2004-2008 sebesar 79 persen/tahun dari total ekspor. Sedangkan, rata-rata ekspor ubi kayu ke Korea dalam periode yang sama sekitar 16 persen/tahun. Rata-rata volume ekspor ke Jepang hanya sekitar 2 persen/tahun. Pada 2008, ekspor ubi kayu ke Cina menurun sebesar 19 persen. Sedangkan, ekspor ke Korea meningkat sebesar 79 persen (Tabel 10). Harga jual ubi kayu Vietnam ke negara tujuan relatif sama Tabel 10 Negara tujuan ekspor ubi kayu Vietnam tahun 2004-2008
Cina Korea Jepang Lainnya
2004
2005
66 29 1 4
66 25 7 2
2006 (...dalam %...) 91 8 0 1
2007
2008
95 3 0 2
80 13 3 4
Rata-rata (%/tahun) 79.60 15.60 2.20 2.60
Sumber : UN Comtrade, 2010 (diolah)
Perkembangan Pangsa Pasar Ekspor Ubi Kayu Indonesia di Negara Tujuan Negara tujuan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia diantaranya Spanyol, Inggris, Itali, Swiss, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Belanda, Korea, dan Cina. Pada 1989-1997, negara utama tujuan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yaitu Cina, Belanda, Jerman, dan Korea. Rata-rata ekspor ke Cina sebesar 22 persen/tahun dari total ekspor. Sedangkan, Belanda 21 persen/tahun; Korea 10 persen/tahun; dan Jerman 23 persen/tahun. Setelah krisis moneter, negara tujuan utama Indonesia hanya Cina dan Korea. Pada tahun 2013, negara tersebut menyerap ubi kayu Indonesia masingmasing sebesar 87 persen dan 11 persen, sedangkan negara lain menyerap kurang dari 1 persen. Sehingga, 98 persen volume ekspor ubi kayu Indonesia diserap oleh kedua negara tersebut (Lampiran 1). Negara produsen bioetanol seperti Cina, Jepang, dan Korea membutuhkan ubi kayu dalam bentuk yang berbeda. Di pasar Cina, ubi kayu harus diolah menjadi gaplek. Sedangkan di Jepang, ubi kayu harus diolah menjadi pelet atau chips. Cina merupakan importir terbesar ubi kayu di dunia. Sejak 1990an negara ini mengalami defisit energi. Sehingga, usaha untuk mengembangkan energi alternatif semakin tinggi. Pengembangan energi terbarukan dijadikan prioritas oleh para pengambil kebijakan, termasuk biofuel. Pemerintah Cina menargetkan
27 penggunaan energi terbarukan sebanyak 15 persen dari total konsumsi energi pada 2010. Permintaan ubi kayu di Cina terus meningkat, karena harga domestik jagung yang semakin tinggi. Tabel 11 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2005-2013 Tahun
Cina
2005 81 2006 90 2007 77 2008 80 2009 77 2010 81 2011 75 2012 81 2013 87 Laju (%/th)
Pertumbuhan (%) 11 -14 4 -4 5 -7 1 7
Korea
0.43
18 8 20 17 19 17 22 11 11
Pertumbuhan Lainnya Pertumbuhan (%) (%) 1 -56 100 2 150 50 3 -15 0 3 12 33 4 -11 -50 2 29 50 3 -50 167 8 0 -3 2 7.51 44.00
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Laju pertumbuhan ubi kayu Indonesia ke Cina sebesar 0.43 persen. Sedangkan ke Korea sebesar 7.51 persen dan negara lainnya sebesar 44 persen. Rata-rata volume ekspor ubi kayu ke Cina pasca krisis moneter menurun sebesar 40 persen, tetapi harga jual meningkat sebesar 12.66 persen. Pasca krisis ekonomi, volume ekspor ke Cina meningkat sebesar 43.47 persen dan harga jualnya naik sebesar 58 persen (Tabel 13). Tabel 12 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina tahun 1989-2013 Periode 1989-1997 1998-2007 2008-2013
Rata-rata volume ekspor (ton/tahun) 155 060 110 683 195 798
Rata-rata harga jual (US$/ton) 75.90 86.90 206.91
Laju pertumbuhan (%/tahun) 7 81 21
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Hal serupa terjadi di Korea, mereka mengembangkan ubi kayu olahan kering yang diubah menjadi ethanol, untuk diekspor ke Eropa. Lahan baru dibuka khusus untuk budidaya komoditas ini. Ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea mempunyai trend menurun. Setelah krisis moneter, rata-rata volume ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea turun sebesar 31.32 persen. Namun, laju pertumbuhan meningkat tajam, dikarenakan pada tahun 2004, volume ekspor Indonesia meningkat 100 persen. Harga ekspor di periode ini meningkat sebesar 48 persen (Tabel 14). Harga ekspor ubi kayu Indonesia di Korea lebih tinggi dibandingkan di Cina. Pada periode setelah krisis ekonomi, rata-rata volume ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea juga menurun sebesar 104 persen dibandingkan periode sebelumnya. Laju pertumbuhan juga menurun drastis dikarenakan pada tahun 2012, volume ekspor menurun sebesar 243 persen dibandingkan tahun
28 sebelumnya. Harga ekspor meningkat sebesar 48 persen dibandingkan periode sebelumnya (Tabel 14). Tabel 13 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea tahun 1989-2013 Rata-rata volume ekspor (ton/tahun) 57 726 43 957 21 541
Periode 1989-1997 1998-2007 2008-2013
Rata-rata harga jual (US$/ton) 86.88 113.04 218.81
Laju pertumbuhan (%/tahun) 605 17 399 3
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Saat ini negara utama tujuan ekspor ubi kayu Indonesia yaitu Cina. Volume ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina mempunyai trend menurun. Berbeda dengan Thailand dan Vietnam yang mempunyai trend meningkat. Pada tahun 2001, volume ekspor Indonesia menurun drastis, dikarenakan munculnya pesaing baru yakni Vietnam. Setelah itu, pangsa pasar Indonesia di Cina beralih ke Vietnam. Pemerintah Vietnam secara intensif mengembangkan ubi kayu sebagai komoditi industri, bukan lagi sebagai pangan pokok. Mereka mencanangkan program pengembangan ubi kayu selama 10 tahun (1991-2001), diantaranya dengan cara memanfaatkan lahan tandus untuk ditanami ubi kayu sebagai upaya memperluas lahan panen. Mengembangkan beberapa varietas unggul, serta membangun industri pengolahan baru, dengan teknologi yang modern. Dampak dari program tersebut yaitu volume eskpor ubi kayu Vietnam meningkat dan banyak petani yang lebih sejahtera karena ubi kayu. Tabel 14 Pangsa pasar ekspor ubi kayu di pasar Cina dari negara eksportir terbesar tahun 2001-2013 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Laju Pertumbuhan (%/th) Sumber :FAO, 2014 (diolah)
Indonesia 8 7 2 5 7 3 3 6 2 2 2 0 1
Thailand 84 81 79 79 81 78 69 63 63 80 68 68 78
Vietnam 8 12 19 15 12 19 28 31 34 18 30 31 20
-8
19
11
29 Pada tahun 2013, Indonesia hanya menguasai 1 persen pasar ubi kayu di Cina. Sedangkan, Thailand dan Vietnam masing-masing mengusai pasar Cina sebesar 78 persen dan 20 persen. Laju pertumbuhan pasar ekspor Indonesia di Cina merupakan yang terendah, yakni sebesar -8 persen/tahun. Hal itu mengindikasikan bahwa volume ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina terus menurun. Berbeda dengan Vietnam yang mempunyai laju pertumbuhan pangsa pasar sebesar 11 persen/tahun yang menunjukkan bahwa pangsa pasar ubi kayu Vietnam di Cina terus meningkat (Tabel 15). Laju pertumbuhan pangsa pasar Thailand merupakan yang tertinggi, sebesar 19 persen/tahun. Laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina sebelum krisis moneter sebesar 54.15 persen/tahun. Kemudian, setelah krisis moneter turun menjadi 17.28 persen/tahun atau turun sebesar 68 persen (Tabel 16). Hal tersebut dikarenakan banyak perusahaan pengolahan yang gulung tikar akibat krisis moneter. Selain itu, mulai muncul pesaing baru yakni Vietnam, yang secara khusus mengembangkan ubi kayu sebagai komoditas ekspor. Setelah krisis ekonomi dunia, laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina kembali turun sebesar 87 persen, menjadi 2.30 persen/tahun. Tabel 15 Laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina tahun 1989-2013 Periode
1989-1997 1998-2007 2008-2013
Laju pertumbuhan pangsa pasar di Cina (%/tahun) 54.15 17.28 2.30
Perubahan (%)
-68 -87
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Harga ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina berfluktuasi, namun cenderung meningkat (Tabel 17). Pada tiga tahun terakhir (2011-2013), harga ekspor Indonesia ke Cina merupakan yang tertinggi dibandingkan Thailand dan Vietnam. Sedangkan, harga ekspor Vietnam merupakan yang terendah. Rata-rata harga ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$265/ton. Thailand sebesar US$262/ton dan Vietnam sebesar US$245/ton. Perbedaan harga tersebut salah satunya dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi Indonesia. Rata-rata total pengeluaran per musim tanam untuk satu hektar luas panen ubi kayu sebesar 11.27 juta rupiah. Biaya terbesar yaitu upah pekerja, yakni 6.12 juta rupiah (49.86 persen). kemudian sewa lahan sebesar 2.50 juta rupiah (20.34 persen) dan biaya pupuk seebsar 1.26 juta rupiah (10.25 persen). Thailand dan Vietnam telah menjadikan ubi kayu sebagai komodias industri dengan tujuan ekspor. Sehingga, perusahaan pengolahan telah menggunakan teknologi produksi yang lebih modern dengan kapasitas produksi lebih tinggi, yang dapat menurunkan biaya per satuan unit. Berbeda dengan Indonesia yang menganggap ubi kayu sebagai komoditi marjianl. Sehingga, ubi kayu belum mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut dapat dilihat dari pengembangannya yang tergolong lambat. Industri pengolahan ubi kayu di Indonesia sebagian besar merupakan industri rumahan, yang masih menggunakan teknik pemotongan
30 tradisional, yakni menggunakan pisau atau mesin yang berkapasitas produksi rendah. Hal tersebut berpengaruh pada kualitas dan biaya produksi. Tabel 16 Perkembangan harga ekspor ubi kayu di pasar Cina tahun 2000-2013 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Laju (%/tahun)
Harga Ekspor Thailand 59.69 56.67 69.66 71.02 76.48 106.77 109.16 118.77 164.40 138.68 190.93 262.01 233.22 226.31 12
Harga Ekspor Indonesia 65.01 75.38 69.62 76.07 85.99 106.60 106.70 142.87 149.53 148.95 217.83 279.38 238.83 240.59 11
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Daya Saing Ubi Kayu di Pasar Domestik Share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi pangan Indonesia tergolong tinggi, dengan nilai rata-rata sekitar 50 persen/ tahun (20042011). Share ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 66.67 persen, dan yang terendah pada tahun 2011 sebesar 34.08persen (Gambar 4). 80.00% 65.00%
70.00%
66.54%
66.67%
63.60%
60.00% 50.00% 40.00% 30.00%
48.80%
48.09%
share ekspor
35.15%
34.08%
20.00% 10.00% 0.00% 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 3 Share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi pangan Indonesia
31 Saat ini, pangsa pasar utama ubi kayu olahan kering Indonesia yaitu Cina yang merupakan negara importir terbesar ubi kayu. Pada tahun 2013, volume ekspor ke Cina mencapai 87 persen dari total ekspor. Indonesia juga mengekspor ubi kayu ke Korea dengan volume ekspor sebesar 11 persen dari total ekspor. Berbeda dengan ubi kayu, pasar utama ekspor ubi jalar Indonesia yaitu Malaysia dengan volume ekspor pada tahun 2007-2011 sekitar 36 persen/tahun dari total ekspor, kemudian Jepang yang menyerap sekitar 35 persen/tahun dari total ekspor ubi jalar Indonesia. Singapura dan Korea masing-masing menyerap 16 persen/tahun dan 12 persen/tahun (Tabel 17). Komoditi ini menyumbang sekitar 26 persen/tahun dari total ekspor komoditi pangan Indonesia. Tabel 17 Negara tujuan ekspor ubi jalar Indonesia tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Jepang 35 43 41 26 32 35
Malaysia 32 28 31 47 39 36
Singapura 14 15 15 19 20 16
Korea 19 14 12 7 7 12
Lainnya 0 0 1 0 3 1
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
Sedangkan, negara tujuan utama ekspor beras Indonesia yaitu Singapura yang menyerap sebesar 54 persen/tahun dari total ekspor pada tahun 2007-2011. Malaysia juga menjadi tujuan ekspor beras Indonesia yang menyerap sebesar 18 persen/tahun dan Amerika Serikat sebesar 3 persen/tahun dari total ekspor (Tabel 18). Share ekspor beras Indonesia sekitar 5 persen/tahun. Tabel 18 Negara tujuan ekspor beras Indonesia tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Malaysia 44 30 0 11 5 18
Singapura 34 49 14 89 82 54
USA 0 0 10 0 6 3
Lainnya 22 21 76 0 7 25
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
Jagung Indonesia sebagian besar diekspor ke Malaysia dengan rata-rata volume ekspor pada tahun 2007-2011 sebesar 38 persen per tahun. Indonesia juga mengekspor jagung ke Filiphina dengan rata-rata volume ekspor sebesar 29 persen/tahun. Cina dan Singapura masing-masing menyerap 18 persen/tahun dan 7 persen/tahun (Tabel 19). Share ekspor jagung Indonesia sebesar 5 persen/tahun.
32 Tabel 19 Negara tujuan ekspor jagung Indonesia tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Malaysia 82 5 17 0 85 38
Singapura 0 22 1 1 13 7
Filiphina 0 0 46 98 0 29
Cina 13 43 36 0 0 18
Lainnya 5 30 0 0 2 8
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
Negara tujuan utama ekspor kedelai Indonesia yaitu Filiphina dengan ratarata volume ekspor sekitar 98 persen/tahun dari total ekspor pada tahun 20072011 (Tabel 20). Komoditi ini menyumbnag sekitar 12 persen/tahun dari total ekspor komoditi pangan Indonesia. Tabel 20 Negara tujuan ekspor kedelai Indonesia tahun 2007-2011 Negara Tujuan Filiphina Lainnya
2007 96 4
2008 99 1
2009 93 7
2010 100 0
2011 Rata-rata 100 98 0 2
Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
Keunggulan Komparatif Ubi Kayu Indonesia di Pasar Dunia Negara eksportir ubi kayu terbesar di dunia, pada tahun 2004-2011 yaitu Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional, hal tersebut terlihat dari nilai RCA masingmasing negara (Tabel 21). Tabel 21 Nilai RCA negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011 Negara
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Indonesia 8.40 13.73 13.46 14.24 Thailand 3.05 3.57 3.12 3.08 Vietnam 1.48 1.15 1.86 2.14 Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)
16.98 2.69 1.74
17.97 3.02 2.75
18.38 3.73 1.63
8.52 3.20 2.30
Laju (%/tahun) 6 2 14
Ratarata 13.96 3.18 1.88
Rata-rata nilai RCA Thailand sebesar 3.18 dengan laju 2 persen/tahun; Vietnam sebesar 1.88 dengan laju 14 persen/tahun; Indonesia sebesar 13.96 dengan laju 6 persen/tahun. Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan Thailand dan Vietnam (Lampiran 2). Indonesia memiliki rata-rata RCA terbesar diantara kedua negara lainnya. Namun, kemampuan ekspor Indonesia masih di bawah Thailand dan Vietnam.
33 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8 7
7 6 5 3
2
Indonesia
3 2
2
2 1 0
Gambar 4 Perkembangan pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina
Rata-rata pangsa pasar ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina yang merupakan importir terbesar ubi kayu dunia, hanya sebesar 3.69 persen/tahun (2001-2013) dengan trend cenderung turun dan laju pertumbuhan sebesar -8 persen/tahun (Gambar 5). Sedangkan Thailand sebesar 74.69 persen/tahun dan mempunyai trend cenderung turun dengan laju pertumbuhan 19 persen/tahun, Vietnam sebesar 21.31 persen/tahun dengan trend cenderung naik dan mempunyai laju pertumbuhan 11 persen/tahun. Padahal trend impor ubi kayu olahan kering di Cina cenderung naik (Gambar 6). 7000000 6107209.77 5762746.389
(dalam 000 kg)
6000000 4950361.994
5000000 4000000 3000000 2000000
3442143.3
4619098.704
5026181.8
China 3335414.693 1976254.189
1000000 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Gambar 5 Perkembangan impor ubi kayu olahan kering di Cina
Hal itu dikarenakan share ekspor ubi kayu olahan kering dibandingkan dengan total komoditi pangan Indonesia cukup besar, sekitar 50.16 persen per tahun. Sedangkan, share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi pangan Thailand sekitar 12.06 persen per tahun. Ubi kayu olahan kering Vietnam berkontribusi sekitar 7.58 persen per tahun dari total ekspor komoditi pangan (Lampiran 3). Pada tahun 2006, nilai RCA Indonesia turun sebesar 0.27 point (Lampiran 4), dikarenakan turunnya nilai ekspor ubi kayu sebesar 74.50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, nilai total ekspor komoditi pangan Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 56 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada
34 tahun 2011, nilai RCA ubi kayu Indonesia juga menurun sebesar 9.85 dikarenakan menurunnya nilai ekspor ubi kayu sebesar 10.58 persen (Lampiran 3). Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia memengaruhi keunggulan komparatif. Nilai ekpsor ubi kayu olahan kering Indonesia berflukstuasi tetapi cenderung meningkat. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 2007, sebesar US$31 301 226 dan yang terendah pada 2006, sebesar US$14 836 178 (Gambar 3). 35.000.000 31.301.226
30.000.000
25.441.429
25.000.000 20.000.000 15.000.000
20.399.518
32.653.283 29.529.600 25.229.759
20.770.234 Indonesia
14.836.178
10.000.000 5.000.000 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 6 Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia
Selain nilai ekspor ubi kayu, nilai total ekspor komoditas pangan juga memengaruhi berpengruh terhadap keunggulan komparatif. Nilai total ekspor komoditi pangan Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan negara pengekspor lainnya Nilai total ekspor komoditi pangan Indonesia berfluktuasi (2004-2011), tetapi cenderung meningkat (Lampiran 3).. Nilai total ekspor komoditi pangan Indonesia berkisar antara US$22 juta hingga US$86 juta, yang terendah terjadi pada 2006 sekitar 22 juta dollar Amerika dan tertinggi pada 2011 sekitar 86 juta dollar Amerika. Meskipun ubi kayu olahan kering Indonesia mempunyai daya saing komparatif di pasar internasional, namun tergolong rendah karena kemampuan ekspor yang masih rendah serta volume ekspornya cenderung menurun. Hal tersebut perlu diperhatikan karena berkaitan dengan keberlanjutan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia. Apalagi hambatan perdagangan Internasional semakin rendah, jika ubi kayu Indonesia tidak berdaya saing, maka kontribusinya terhadap devisa negara akan terus menurun bahkan hilang. Rendahnya daya saing komparatif ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Kualitas. Ubi kayu Vietnam dan Thailand memiliki diameter yang lebih besar dan kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. 2. Teknologi. Teknologi industri pengolahan ubi kayu di Indonesia tergolong sederhana. Sebab, industri pengolahan ubi kayu di Indonesia didominasi oleh industri rumahan. Sebagai contoh, untuk proses pemotongan ubi kayu masih menggunakan pisau atau teknologi produksi dengan kapasitas yang rendah. Berbeda dengan Thailand dan Vietnam yang sudah menggunakan teknologi lebih modern. Industri pengolahan ubi kayu di kedua negara tersebut berorientasi ekspor dengan kapasitas produksi yang lebih tinggi. Seperti pabrik pengolahan ubi kayu di Vietnam yang memiliki kapasitas produksi 1.2-2 ribu ton /tahun. Perbedaan teknologi ini akan berpengaruh pada biaya per satuan
35 unit. Semakin tinggi kapasitas produksi maka biaya per satuan unit semakin rendah. Sehingga, harga ekspor ubi kayu Indonesia merupakan yang tertinggi diantara pengekspor terbesar lainnya. 3. Peran pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap komoditi ubi kayu dinilai masih kurang. Ubi kayu di Indonesia masih dianggap sebagai komoditi marjinal. Sebagai contoh, pengembangan varietas unggul ubi kayu yang tergolong lambat jika dibandingkan dengan komoditi lainnya seperti jagung dan beras. Berbeda dengan negara pengekspor lainnya yang menganggap ubi kayu sebagai komoditi komersial dan dijadikan sebagai komoditi ekspor unggulan. Pemerintah Thailand sangat peduli terhadap pengembangan ubi kayu. Hampir setengah dari total petani ubi kayu mendapatkan pinjaman dari Bank for Agriculture adn Agricultural Cooperatives (BAAC). Negara ini berhasil mengangkat citra ubi kayu menjadi komoditi pangan yang patut diperhitungkan. Kini, Thailand telah mengembangkan ethanol untuk diekspor ke China. Sedangkan di Vietnam, pemerintahnya secara intensif mengembangkan ubi kayu sebagai komoditi indutri. Program pengembangan ubi kayu dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu dari 1991 hingga 2001. Pelaksanaan program tersebut berupa pengembangan beberapa varietas unggul, pemanfaatan lahan tandus dan memperluas lahan panen ubi kayu, pembangunan industri baru dengan teknologi modern. Hal tersebut berdampak pada kesejahteraan petani ubi kayu yang semakin baik. 4. Sumber daya manusia. Petani ubi kayu di Indonesia sebagian besar merupakan petani kecil yang menjual hasil panennya dalam bentuk segar ke industri pengolahan. Mereka belum mengetahui cara penangangan pasca panen untuk menciptakan nilai tambah seperti diolah menjadi gaplek atau pati. Berbeda dengan petani di Vietnam dan Thailand yang diberikan penyuluhan untuk memproses ubi kayu hasil panennya, baik berupa gaplek maupun pati. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi susut produksi, karena sifat ubi kayu yang bulky dan perishable. Sebab, areal panen ubi kayu jauh dari wilayah industri. Sehingga, penanganan pasca panen menjadi penting.
Upaya Meningkatkan Daya Saing Ubi Kayu Indonesia Jika dilihat dari potensi alam yang dimiliki, Indonesia masih berpotensi untuk mengembangkan ubi kayu. Pengembangan ubi kayu yang bermutu tinggi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan permintaan ekspor yang semakin meningkat. Usaha peningkatan mutu ubi kayu yang akan berdampak pada peningkatan daya saing, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Penelitian. Kegiatan penelitian masih sangat diperlukan untuk menghasilkan varietas unggul, metode pemanenan yang efektif dan pengurangi kerusakan produk, metode penanganan pasca panen untuk mengurangi susut produksi, penyimpanan ubi kayu segar agar dapat memperluas daerah distribusi. Penelitian mengenai fermentasi ubi kayu belum banyak dilakukan. Padahal sangat berpotensi untuk industri pangan maupun kimia, seperti alkohol, sirup fruktosa, dan lainnya. 2. Penyuluhan. Penyuluhan mengenai penanganan pasca panen lebih diperlukan untuk saat ini. Penyuluhan tentang bagaimana pemanenan, penyimpanan, proses
36 pembuatan gaplek, proses menghasilkan pati, serta tentang mutu produk yang diminati pasar. Dengan demikian, diharapkan para petani secara sadar berusaha untuk memperbaiki mutu produk yang dihasilkan untuk dapat meningkatkan pendapatan. 3. Memperbaiki infrastruktur. Infrstruktur sangat berpengaruh terhadap biaya produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi pada terhambatnya distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut, sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan infrastruktur akan sangat menekan biaya produksi. 4. Kebijakan pemerintah. Biaya produksi yang rendah bagi industri dalam negeri dapat diciptakan salah satunya dengan cara menurunkan suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia sebesar 13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani para pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga pinjaman tersebut akan membebani pengusaha dan membuat biaya produksi lebih tinggi. Sehingga, memaksa harga produk menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan penurunan suku bunga pinjaman agar meringankan beban biaya produksi dan mendorong pembukaan usaha-usaha baru agar terbuka lapangan kerja yang lebih luas.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Ekspor ubi kayu Indonesia sebagian besar diserap oleh Cina dan Korea. Pangsa pasar di kedua negara tersebut mempunyai kecenderungan menurun. Pada 2013, pangsa pasar Indonesia di Cina sebesar 1.37 persen. Sedangkan, pangsa pasar di Korea berkisar 2 persen. Pesaing terkuat Indonesia yaitu Thailand. 2. Meskipun nilai RCA ubi kayu olahan kering Indonesia merupakan yang tertinggi, namun kemampuan ekspor Indonesia masih rendah dibandingkan Thailand dan Vietnam. Rata-rata pangsa pasar Indonesia di Cina hanya sekitar 3.69 persen per tahun (2001-2013) dan memiliki trend yang cenderung menurun. Sehingga, dapat dikatakan bahwa ubi kayu olahan kering Indonesia memiliki daya saing yang rendah. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini maka saran yang diperlukan adalah: 1. Ubi kayu Indonesia lebih dikembangkan dengan maksimal. Sehingga, dapat meningkatkan daya saingnya baik di pasar domestik maupun internasional. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi produksi. 2. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji mengenai faktor-faktor yang memengaruhi daya saing ubi kayu Indonesia di pasar internasional.
37
DAFTAR PUSTAKA
[Balitkabi]. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi- umbian. 2010. Peningkatan Produksi dan Kualitas Umbi-Umbian. Jakarta. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2004–2011 [internet]. [diacu 2014 Maret 10]. Tersedia dari http://bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3&id_subyek [FAO].Food and Agriculture Organization. .=53 2012. Top Imports-Cassava Dried 2004-2011 [internet]. [diacu 2014 Maret 10]. Tersedia dari http://faostat.fao.org. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Road Map Peningkatan Produksi Ubi Kayu Tahun 2010-2014. Jakarta : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2011. Analisis Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Vol.3 no.1. Jakarta : Pusdatin. [Puslitbang]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2014. Ubi Kayu unggul untuk Bioetanol. Jakarta. [UN Comtrade]. UN Comtrade database. 2014. Exporter Cassava Dried [internet]. [diacu 2014 Mei 1]. Tersedia dari http://comtrade.un.org/data/. [UNCTAD]. United Nations Conference on Trade and Development. 2012. Commodity Profile Cassava [internet]. [diacu 2014 Mei 1]. Tersedia dari http://www.unctad.info/en/Infocomm/AACP-Products/COMMODIRYPROFILE---Cassava/. Asmara, Rosihan dan Eka Pradana. 2011. Analisis Efisiensi Alokatif Agroindustri Chips Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Mocaf (Modified Cassava Flour) di Kabupaten Trenggalek [Jurnal]. Malang : AGRISE Hlm 1412-1425, Vol 11, No.3. Asriani, Putri Suci. 2010. Analisis Integrasi Pasar dan Permintaan Ubikayu Indonesia di Pasar Dunia [Disertasi]. Yogyakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Jakarta. David, Fred R. 2009. Manajemen Strategi Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat. Direktorat Jenderal P2HP. 2014. Perkembangan Harga Ubi Kayu Tingkat Produsen, Grosir, dan Eceran 2004-2011. Jakarta: Kementrian Pertanian. Hady, Hamdy.2004. Manajemen Bisnis Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia. Hafni, Nurriska. 2011. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Pisang Indonesia [Skripsi]. Bogor : Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional [Prosiding]. Kementrian Pertanian. Kalaba, Yulianti. 2012. Analisis Daya Saing Kakao Indonesia [Thesis]. Yogyakarta : Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada
38 Lipsey, Richard G., Paul N. Courant,Douglas D. Pulvis, dan Peter O. Steiner. 1997. Pengantar Mikroekonomi Jilid Dua Edisi Kesepuluh. Penerjemah Agus Maulana. Jakarta: Binarupa Aksara Mauludyan, Anna Vipta Resti. 2008. Elastisistas Permintaan Pangan Strategis Berdasarkan Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya Terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Msyarakat Indonesia [Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Piyachomkwan, Kuakoon dan Morakot Tanticharoen. 2011. Cassava Industry in Thailand: Prospects [Jurnal]. The Journal of the Royal Institute of Thailand Volume III – 2011. Poramacom, Nongnooch, Am-on Ungsuratana, Prasert Ungsuratana, dan Pornchai Supavititpattana. 2013. Cassava Production, Prices and Related Policy in Thailand [Jurnal]. American International Journal of Contemporary Research Vol. 3 No. 5; May 2013 Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage [Bulletin] . Amerika Serikat : Harvard University . Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5., tentang Kebijakan Energi Nasional. Saliem, Handewi dan Sri Nuryanti. 2011. Perspektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubikayu Mendukung Swasembada. Jakarta : Kementrian Pertanian. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi kelima Jilid I. Penerjemah Haris Munandar. Jakarta : Erlangga Saptana. 2011. Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan Strategi Pembanguan Pertanian. Bogor: Forum Penelitian Agro Ekonomi Hlm. 118, Vol.28,No.1. Suprehatin.2006. Analisis Daya Saing Ekspor Nenas Segar Indonesia [Jurnal]. Bogor: Ilmu Pertanian Indonesia Hlm. 42-48, Vol.11, No.3. Supriadi, Herman. 2006. Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubi Kayu. Jakarta : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suprihatini. 2005. Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh Dunia [Jurnal]. Jakarta : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Hlm. 1-29, Vol 23, No.1. Suryadi, Tatang. 2013. Analisis Penawaran dan Permintaan Ubi Kayu di Indonesia [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Susilowati, Sri Hery dan Benny Rachman. Perkembangan Harga Pangan dan Implikasinya bagi Masyarakat Pedesaan [Paper]. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Tijaja, Julia. 2009. The Impact of China’s Demand of SME’s in Thai CassavaValue Chains [Paper]. Inggris : The Open University. Van Bien, Pham, Hoang Kim, Tran Ngoc Ngoan, dan Joel J. Wang. 2008. New Developments in The Cassava Sector of Vietnam [Paper]. Thailand: CIAT Region Cassava Office for Asia. Wulandari, Riana A. 2013. Analisis Daya Saing Ubi Jalar Indonesia di Pasar Internasional [Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
39 Lampiran 1 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2013 Negara Tujuan Australia Brunei Darussalam China China, Hong Kong SAR Hungary Rep. of Korea Malaysia Other Asia, nes Oman Netherlands New Zealand Pakistan Saudi Arabia Singapore Viet Nam United Arab Emirates United Kingdom USA TOTAL
Nilai Ekspor (US$) 118 198 159 599 26 706 142 912 1 250 3 502 287 233 219 55 143 56 165 902 96 707 8 922 1 154 28 109 2 775 4 910 320 896 705 225 32 111 406
Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)
Volume Ekspor (kg) 57 489 46 060 111 003 182 338 500 14 280 688 108 811 221 714 30 75 345 212 864 39 300 540 8 055 553 8 280 172 548 788 434 127 024 731
persentase (%) 0.05 0.04 87.39 0.00 0.00 11.24 0.09 0.17 0.00 0.06 0.17 0.03 0.00 0.01 0.00 0.01 0.14 0.62 100.00
40 Lampiran 2 Nilai Ekspor Komoditi Ubi Kayu di Tiga Negara Eksportir Terbesar dan Dunia Periode 2004-2011 (US$) Negara Indonesia Thailand Vietnam Dunia
2004 20 399 518 373 437 370 62 858 494 1 092 442 255
2005 25 441 429 317 127 763 61 619 922 935 056 587
2006 14 836 178 453 966 766 139 485 889 1 321 816 232
2007 31 301 226 556 783 688 187 995 554 1 801 936 341
2008 20 770 234 477 546 872 156 923 705 1 649 789 184
2009 25 229 759 605 198 056 323 587 559 2 040 627 601
2010 32 653 283 814 645 037 211 299 224 2 286 512 398
2011 29 529 600 978 593 112 413 360 939 3 048 016 524
Lampiran 3 Total Ekspor Komoditas Pangan (beras, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar) di Tiga Negara Eksportir Ubi Kayu Terbesar dan Dunia Periode 2004-2011 (US$) Negara Indonesia Thailand Vietnam Dunia
2004 58 038 878 2 929 158 795 1 014 536 085 26 107 988 167
2005 52 132 068 2 497 741 101 1 509 906 693 26314 126198
2006 22 825 009 3 011 491 910 1 551 258 844 27 362 482 580
2007 46 948 821 3 867 571 806 1 873 102 702 38 499 403 156
2008 43 191 199 6 278 640 861 3 179 908 418 58 243 757 853
2009 37 919 139 5 412 477 926 3 176 023 403 55 119 023 656
2010 51 344 879 6 302 886 887 3 756 195 861 66 067 344 702
2011 86 637 191 7 648 810 940 4 490 963 771 76 194 223 105
Lampiran 4 Nilai RCA Tiga Negara Eksportir Ubi Kayu Terbesar Periode 2004-2011 Negara Indonesia Thailand Vietnam
2004 8.40 3.05 1.48
2005 13.73 3.57 1.15
2006 13.46 3.12 1.86
2007 14.24 3.08 2.14
2008 16.98 2.69 1.74
2009 17.97 3.02 2.75
2010 18.38 3.73 1.63
2011 8.52 3.20 2.30
Laju (%/tahun) 6 2 14
Rata-rata 13.96 3.18 1.88
41 Lampiran 5 Varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas di Indonesia sejak 1978-2009 Varietas
Asal usul
Tahun dilepas
Umur (bln)
Hasil (t/ha)
Adira 1
Mangi/Ambon
1978
7-10
22
Adira 2
Mangi/Ambon
1978
8-12
22
Adira 4
Silang bebas dari induk betina BIC 528
1978
10
35
Malang 1
CM101519/CM849-1
1992
9-10
36,5
Malang 2
CM9222/CM507-37
1992
8-10
31,5
1998
8-12
102
Darul Hidayah
UJ-3
Thailand
2000
8-10
20- 35
UJ-5
Thailand
2000
9-10
25- 38
Malang 4
Silang bebas dari induk betina Adira 4
2001
9
39,7
Malang 6
MLG10071/M LG 10032
2001
9
36,4
Sumber: Balitkabi, 2011
Keunggulan
-Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap bakteri hawar daun, Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis -Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis -Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) -Adaptasi cukup luas -Agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) -Agak peka tungau merah (Tetranichus sp.) - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.) -Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight) - Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight) -Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara suboptimal -Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara suboptimal
42
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 07 Maret 1990 di Cirebon, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, sebagai anak kandung dari pasangan Bapak H. Drs. Siswono dan Hj. Ibu Mahiro, S.Pd. Pendidikan lanjutan tingkat menengah ditempuh penulis di SMP Negeri 1 Cirebon dan diselesaikan pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 1 Cirebon dan dapat diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Diploma Institut Pertanian Bogor Program Keahlian Manajemen Agribisnis melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yang dapat diselesaikan tahun 2011. Penulis aktif sebagai sekretaris Laboratorium Bisnis Mahasiswa periode 2009-2010. Selain itu, penulis menjadi panitia di beberapa acara program keahlian. Prestasi akademik yang pernah diperoleh penulis yaitu sebagai Mahasiswi Kedua Terbaik Direktorat Program Diploma IPB pada tahun 2010 dan sebagai Lulusan Terbaik pada Program Keahlian Manajemen Agribisnis Direktorat Program Diploma IPB tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima dan melanjutkan studi pada Program Sarjana Alih Jenis Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.