DAYA SAING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
SURYANI NURFADILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015
Suryani Nurfadillah NIM H351140456
RINGKASAN SURYANI NURFADILLAH. Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dibimbing oleh DWI RACHMINA dan NUNUNG KUSNADI. Pada akhir 2015 ini era perdagangan bebas ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai diberlakukan bagi negara-negara anggota ASEAN. MEA adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang bertujuan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil, dan modal yang lebih bebas. MEA yang merupakan bentuk liberalisasi perdagangan menuntut setiap negara untuk memiliki daya saing yang tinggi. Industri ayam ras pedaging adalah salah satu sektor yang memerlukan perhatian menjelang diberlakukannya MEA. Biaya produksi dan harga jual daging ayam ras Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Dengan berlakunya MEA, dikhawatirkan daging ayam lokal tidak dapat bersaing dengan daging impor yang harganya lebih murah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing ayam ras pedaging di Indonesia sebelum dan setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan membandingkan dua jenis pengusahaan, yaitu pengusahaan oleh peternak rakyat dan perusahaan yang terintegerasi. Data primer diperoleh dari 39 peternak rakyat yang terdiri dari 30 peternak mitra dan 9 peternak mandiri, satu buah perusahaan unggas yang terintegerasi secara vertikal, dan pedagang besar daging ayam ras. Metode sampling yang digunakan adalah stratified random sampling untuk kelompok peternak mitra¸ metode survey untuk kelompok peternak mandiri, dan purposive untuk perusahaan. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengusahaan daging daging ayam ras Indonesia pada berbagai bentuk pengusahaan menguntungkan pada harga privat. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah memberikan manfaat kepada produsen. Namun dilihat dari harga sosial, pengusahaan ayam ras pedaging oleh peternak rakyat bernilai negatif atau tidak menguntungkan, sedangkan pengusahaan oleh perusahaan masih menguntungkan. Analisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif berdasarkan nilai Private Cost Ratio (PCR) serta Domestic Resources Cost Ratio (DRC) menunjukan bahwa peternak rakyat memiliki nilai PCR<1 yang berarti memiliki keunggulan kompetitif namun peternak rakyat memiliki DRCR>1 yang berarti tidak memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan perusahaan memiliki nilai PCR dan DRCR yang kurang dari satu yang berarti memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengusahaan ayam ras oleh perusahaan lebih berdaya saing daripada peternak rakyat. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output ayam ras pedaging menunjukan transfer output bernilai positif, hal ini berarti pemerintah telah memberikan proteksi karena peternak memperoleh penerimaan diatas harga. Sedangkan kebijakan harga input usaha ayam ras pedaging juga menyebabkan peternak membeli input lebih mahal dibandingkan harga sosialnya. Secara
keseluruhan kebijakan input-output yang diterapkan pemerintah bersifat protektif Terdapat tiga skenario yang digunakan untuk menggambarkan daya saing ayam ras pedaging saat berlangsunngnya MEA, yaitu penurunan tarif impor, penurunan tingkat suku bunga, dan penurunan biaya logistik. Penurunan tarif impor daging menyebabkan penurunan daya saing. Saat tarif impor dihapuskan, maka hanya pengusahaan oleh perusahaan yang masih tetap berdaya saing. Sedangkan penurunan tingkat suku bunga dan biaya logistik akan menyebabkan peningkatan daya saing. Pelaksanaan MEA akan mengurangi keunggulan kompetitif tetapi meningkatkan keunggulan komparatif. Kata kunci: Ayam ras pedaging, daya saing, MEA, policy analysis matrix
SUMMARY
SURYANI NURFADILLAH. Indonesian Broiler Competitiveness Towards ASEAN Economic Community (AEC). Supervised by DWI RACHMINA and NUNUNG KUSNADI. By the end of this year the 10 countries that make up the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) are supposed to join forces as a single economic community, the Asean Economic Community (AEC). The goal of ASEAN economic integration is to become a single production base where goods can be manufactured anywhere and distributed efficiently to anywhere within the region. Asean needs to work towards the goal of freer movement of labour and capital, but in reality, integration and the free flow of resources will only be gradual, step by step, sector by sector. AEC which is a form of trade liberalization requires high competitiveness. Broiler industry is one of the sectors that needs attention before the enforcement of the AEC. The price and production of local chicken meat is higher than other countries. With the enactment of the MEA, local chicken meat would be threated by cheaper imported product. This study aimed to analyze the competitiveness and impact of government policy on the competitiveness of broiler in Indonesia before and after the implementation of the ASEAN Economic Community by comparing the two types of cultivation, ie cultivation by small farms and by vertically integrated company. Primary data were obtained from 39 people small farmers, an integrated company, and wholesalers. The sampling method used was stratified random sampling for partenered-farmers, survey method for independent farmers, and purposive sampling method for the company. The analytical method used was the Policy Analysis Matrix (PAM). Based on the benefit analysis, known that the income in various form of chicken meat production is positive or profitable. These results indicate that the government policy provides benefits to producers. But from a social price, chicken meat production done by small farms is unprofitable while the production by the company is still profitable. Analysis of competitive advantage and comparative advantage based on the value of Private Cost Ratio (PCR) and Domestic Resources Cost Ratio (DRC) showed that small farms have PCR <1, which means that it has a competitive advantage, but DRCR> 1 means that it does not have a comparative advantage. While the company has a PCR and DRCR value less than one, it means that production by company has comparative and competitive advantages. It can be concluded that the production of chicken meat by company has more competitiveness. The impact of government policies on output indicates the positive Output Transfer value, it means that the government has provided protection for farmers. Meanwhile, the input policies of broiler production also led farmers to buy inputs more expensive than its social price. Overall input-output policies applied by the government is protective. There are three scenarios that are used to describe the competitiveness of broiler when AEC is enforced, the reduction of import tariffs, reduction of interest rates, and reduction in logistics costs. So far, ASEAN overall has progressed to a level of 80% in terms of eliminating tariffs on goods traded within the region. Some items remain on sensitive lists in each country, but these items will have tariffs
reduced to zero by the end of 2015. ASEAN in general has been on the right track to eliminate all tariffs by the end of 2015. Meat import tariff reduction will lead to a decline in competitiveness. When import tariffs were eliminated, only the production done by company that remains competitive. While the reduction in interest rate and logistics costs will lead to increased competitiveness. The implementation of AEC will reduce competitive advantage but increase comparative advantage. Keywords: AEC, broiler, competitiveness, policy analysis matrix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYA SAING AYAM RAS PEDAGING DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
SURYANI NURFADILLAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Agribisnis pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc
Judul Tesis : Daya Saing Ayam Ras Pedaging di Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Nama : Suryani Nurfadillah NIM : H351140456
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian : 31 Agustus 2015
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari–Agustus ini adalah daya saing dengan judul Daya Saing Ayam Ras Pedaging Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa dorongan, bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terima kasih kepada Dr Ir Dwi Rachmina MSi dan Dr Ir Nunung Kusnadi MS selaku komisi pembimbing, Dr Ir Anna Fariyanti MSi selaku evaluator kolokium, Dr Ir Heny K. Daryanto MEc selaku penguji luar komisi, Dr Ir Joko Purwono MS selaku penguji wakil program studi, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bimbingan, saran dan bantuannya yang telah diberikan. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada PT. Malindo Feedmill serta para peternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih kepada teman-teman Agribisnis 47 IPB, MSA 4 IPB, dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2015
Suryani Nurfadillah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian
1 1 3 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Daya Saing Produk Peternakan Dampak Liberalisasi Perdagangan Metode Pengukuran Daya Saing
7 7 8 9 11
3 KERANGKA PEMIKIRAN Masyarakat Ekonomi ASEAN Konsep Perdagangan Internasional
12 12 20
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data
28 28 28 29 29
5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN Karakteristik Wilayah Kecamatan Pamijahan PT. Malindo Feedmill Kebijakan Pemerintah Pada Agribisnis Ayam Ras Pedaging
41 41 50 53
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Input Produksi Ayam Ras pedaging Biaya dan Penerimaan Analisis Tingkat Keuntungan Usaha Ayam Ras Pedaging Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Ayam Ras Pedaging Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Daya Saing Mutu Ayam Ras Pedaging Indonesia
57 57 62 67 69 70 75
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
76 76 77
DAFTAR PUSTAKA
77
LAMPIRAN
82
RIWAYAT HIDUP
90
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Neraca perdagangan pertanian Indonesia menurut subsektor 20112013 Konsumsi daging segar per kapita (kg/kapita/tahun), 2011-2013 Kebijakan harga pada komoditas pertanian Produksi daging ayam ras Indonesia beserta lima sentra produksi terbesar (ton), 2011-2013*) Alokasi biaya berdasarkan komponen domestik dan asing Policy Analysis Matrix (PAM) Kelompok usia penduduk Kecamatan Pamijahan Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Pamijahan Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pamijahan Kelompok usia responden Jenis kelamin responden Tingkat pendidikan formal responden Pekerjaan di luar beternak ayam Lama usaha ayam ras pedaging Kapasitas usaha ayam ras pedaging Alasan beternak ayam ras pedaging Harga ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan Mei 2015 Penggunaan DOC, pakan, dan obat-obatan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Penggunaan input penunjang pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Rata – rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mitra (per ton karkas) Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mandiri Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Perusahaan (per ton karkas) Tingkat keuntungan pengusahaan ayam ras pedaging Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usaha ayam ras pedaging Indikator dampak kebijakan output pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Indikator dampak kebijakan input pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Indikator dampak kebijakan input-output pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Indikator daya saing berdasarkan skenario terjadinya MEA
2 2 21 28 30 33 42 43 43 44 44 45 45 46 46 47 50 58 59 60 62 63 65 66 68 69 70 71 72 73
DAFTAR GAMBAR 1 Faktor-faktor Pembangun Daya Saing 2 Kurva Aliran Perdagangan Internasional 3 Dampak Subsidi terhadap Produsen dan Konsumen pada Barang Ekspor dan Impor 4 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable 5 Pajak dan Subsidi pada Input Non-tradable 6 Hubungan Daya Saing dengan Faktor Pembangunnya dalam Kerangka Teori Policy Analysis Matrix (PAM) 7 Integrasi vertikal sektor perunggasan
19 20 24 26 27 39 51
DAFTAR LAMPIRAN 1 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan 2 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan 3 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan 4 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan 5 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada perusahaan terintegerasi 6 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada perusahaan terintegerasi 7 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan tarif impor menjadi nol persen 8 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan interest rate menjadi 5 persen 9 Policy Analysis Matriks untuk skenario penurunan biaya logistik 20 persen 10 Policy Analysis Matriks untuk skenario kombinasi
82 83 84 85 86 87 88 88 89 89
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada akhir 2015 ini era perdagangan bebas ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai diberlakukan bagi negara-negara anggota ASEAN. MEA adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang bertujuan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil, dan modal yang lebih bebas. Selanjutnya MEA diharapkan dapat menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang mempunyai daya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata dan terintegrasi dalam ekonomi global. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan produk dalam negeri sehingga bersaing di pasar ASEAN. Dalam konteks ini, produk Indonesia dituntut untuk dapat bersaing menghadapi berbagai produk sejenis di pasar tunggal AEC 2015, khususnya produk‐produk pertanian. Pelaku usaha di dalam negeri diharuskan untuk mempersiapkan diri karena semua aturan ekonomi akan terintegrasi dan diberlakukan sama pada semua negara anggota. Kesepakatan MEA akan memberi peluang bagi Indonesia untuk memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan daya saing. Selain itu, MEA juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra‐ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan‐peraturan dan standarisasi domestik. Namun pada sisi lain, pembentukan MEA menimbulkan tantangan bagi Indonesia berupa keharusan untuk meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi, meningkatkan pemahaman masyarakat, menciptakan good governance, mampu menentukan prioritas sektor‐sektor yang akan di liberalisasi serta menyelaraskan posisi Indonesia dalam berbagai negosiasi baik bilateral, regional maupun multilateral. Apabila Indonesia tidak mampu menjawab tantangan tersebut maka akan semakin tertinggal di kawasan ASEAN bahkan tertinggal di tingkat global. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang perlu menjadi perhatian menjelang berlangsungnya MEA. Subsektor peternakan berperan penting dalam penyediaan sumber protein hewani, menciptakan lapangan kerja, dan turut berkontribusi dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) 2014a, diketahui bahwa kontribusi peternakan terhadap PDB tahun 2011-2014 selalu mengalami peningkatan dengan laju 4.72 persen per tahun. Namun subsektor peternakan merupakan subsektor dengan defisit perdagangan tertinggi kedua setelah tanaman pangan. Bahkan ketika subsektor lain menunjukkan penurunan defisit perdagangan, defisit subsektor peternakan justru semakin meningkat. Subsektor peternakan menjadi satu-satunya subsektor yang memiliki laju neraca perdagangan negatif selama tahun 2011 hingga 2013 (Tabel 1).
2 Tabel 1 Neraca perdagangan pertanian Indonesia menurut subsektor 2011-2013 Subsektor Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Pertanian
Neraca Perdagangan Volume (Ton) Nilai (000 $) Volume (Ton) Nilai (000 $) Volume (Ton) Nilai (000 $) Volume (Ton) Nilai (000 $) Volume (Ton) Nilai (000 $)
2011 -14 555 744 -6 439 075 -1 670 623 -1 194 827 23 551 764 31 845 976 -283 633 -1 445 730 7 041 764 22 766 344
Tahun 2012 -14 206 457 -6 156 086 -1 712 188 -1 308 676 28 255 073 29 367 336 -1 016 067 -2 141 573 11 320 361 19 761 000
2013 -12 776 045 -5 270 409 -1 263 442 -1 179 188 31 047 294 26 839 007 -1 048 694 -2 451 068 15 959 114 17 938 343
Laju (%) 6.23 9.39 11.86 0.18 14.93 8.19 -130.72 -31.29 50.87 -11.21
Sumber : Kementerian Pertanian 2014
Berdasarkan data sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (2014), dilihat dari jumlah ternak yang dipelihara oleh rumah tangga pertanian di Indonesia, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan (1.31 miliar ekor), diikuti ayam lokal (87.90 juta ekor) dan ayam ras petelur (81.15 juta ekor). Ternak ayam ras pedaging menjadi menarik untuk diusahakan karena waktu pemeliharaan yang lebih singkat dibanding ternak lainnya sehingga menyebabkan perputaran modal yang cepat pula. Selain itu, daging ayam ras merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi dibandingkan daging lainnya (Tabel 2). Konsumsi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan menyebabkan peningkatan permintaan daging ayam ras. Tabel 2 Konsumsi daging segar per kapita (kg/kapita/tahun), 2011-2013 No
Komoditas
2011
2012
2013
1 2 3 4 5 6
Sapi Babi Ayam Ras Pedaging Ayam Kampung Unggas Lainnya Daging Lainnya
0.31 0.21 3.08 0.52 0.05 0.05
0.37 0.21 3.55 0.63 0.05 0.05
0.42 0.26 3.65 0.63 0.05 0.05
Laju (% per th) 16.43 11.90 9.04 10.58 0.00 0.00
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak ) 2014, diolah
Permintaan terhadap produk ayam ras pedaging akan selalu meningkat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan demografi berupa pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pendapatan. Kedua, perubahan gaya hidup (life style ) menyebabkan permintaan terhadap makanan yang siap masak (ready to cook) dan siap santap (ready to eat) semakin meningkat. Ketiga,semakin banyaknya QSR (Quick Service Restaurant), pasar swalayan dan hypermarket yang menawarkan beragam komoditas dan produk olahan daging ayam ras. Keempat, semakin banyak konsumen terkait dengan alasan kesehatan beralih dari daging merah (red meat) ke daging ayam. Kelima, daging ayam memiliki peran sebagai penyedia protein hewani yang paling murah dibandingkan dengan komoditas peternakan lainnya.
3 Dilihat dari sisi produksi, Indonesia memiliki potensi besar. Hal ini ditunjukkan dengan produksi daging ayam ras yang semakin meningkat setiap tahunnya. Produksi daging ayam ras pada tahun 2010 sebesar 1.21 juta ton dan meningkat menjadi 1.52 juta ton pada tahun 2014. Rata-rata laju pertumbuhan produksi daging ayam ras dari tahun 2010 hingga 2014 sebesar 5.89 persen per tahun. Jawa Barat merupakan produsen daging ayam ras tertinggi yang menyumbang 35.91 persen dari total produksi nasional, disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah (Pusdatin 2014b). Walaupun produksi ayam ras pedaging di Indonesia terus meningkat, namun biaya yang harus dibayarkan untuk memproduksi setiap kilogram ayam masih relatif tinggi. Biaya produksi per kilogram di Indonesia mencapai US$ 1.39, biaya produksi di negara ASEAN (Thailand dan Malaysia) sebesar US$ 1.2, sedangkan biaya produksi di negara eksportir utama (US, Brazil, dan Argentina) kurang dari 1 dolar (US$ 0.85-0.97) (USDA 2014). Hal ini menunjukkan bahwa biaya untuk memproduksi ayam ras pedaging di Indonesia lebih mahal 20 hingga 54 persen dari negara lain. Tingginya biaya produksi secara otomatis akan menyebabkan harga output menjadi lebih mahal sehingga dapat kalah bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan mulai diberlakukan pada akhir 2015 merupakan salah satu bentuk implementasi perdagangan bebas. Untuk dapat bertahan dalam iklim perdagangan bebas, setiap negara dituntut memiliki daya saing yang tinggi. Daya saing adalah kemampuan produsen dalam memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang baik dan biaya yang cukup rendah sesuai harga di pasar internasional, serta dapat dipasarkan dengan harga yang cukup sehingga dapat melanjutkan kegiatan produksi. Secara sederhana daya saing juga berarti apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumberdaya domestik cukup rendah, sehingga harga jualnya cukup kompetitif dibandingkan harga yang terbentuk di pasar dunia. Melihat tingginya selisih biaya produksi ayam ras pedaging antara Indonesia dengan Thailand dan Malaysia, dikhawatirkan kesepakatan perdagangan bebas antarnegara ASEAN ini justru akan menjadi ancaman bagi agribisnis ayam ras pedaging Indonesia. Berdasarkan pemaparan diatas, daya saing ayam ras pedaging di Indonesia menarik untuk dikaji. Perumusan Masalah Ternak unggas merupakan salah satu komoditas subsektor peternakan yang sejak tahun 1972 mengalami pertumbuhan relatif cepat. Pertumbuhan tersebut didorong oleh adanya perkembangan yang kuat dari sektor industri hulu (pabrik pakan, pembibitan dan industri farmasi) dan industri hilir yang meliputi rumah potong ayam, restoran dan lain-lain. Usahaternak unggas yang mengalami paling dominan dan dianggap paling menarik untuk diusahakan adalah usaha agribisnis ayam ras pedaging. Hal ini dilandasi beberapa alasan, yaitu: (1) pada periode 1986-2014, produksi daging asal unggas didominasi oleh daging ayam ras, dengan pangsa 61.16 persen dari total daging unggas; (2) periode siklus produksinya yang relatif pendek sehingga perputaran modal relatif cepat, sehingga cocok untuk usaha peternakan rakyat; (3) usaha ayam ras pedaging mempunyai kaitan yang luas baik kaitan kebelakang
4 (backward linkage) dan kaitan kedepan (forward linkage); (4) kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja secara ekstensif. Namun di sisi lain industri ayam ras pedaging masih memiliki permasalahan-permasalahan di berbagai subsektor agribisnis yang akan berpengaruh negatif terhadap daya saing. Pada subsektor hulu, permasalahan terkait penyediaan pakan menjadi isu yang sangat menonjol. Sebagian besar bahan baku pakan masih sangat tergantung pada impor, seperti impor jagung yang mencapai 40-50 persen; bungkil kedelai 95 persen; tepung ikan 90-92 persen; tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir 100 persen impor. Jagung merupakan komponen utama pakan ayam ras pedaging. Negara-negara yang memiliki daya saing tinggi sangat tergantung pada pasokan jagung domestik. Ketergantungan terhadap impor jagung sangat merugikan bagi Indonesia karena pasokan untuk pakan (feed) semakin berkurang akibat persaingan dengan kebutuhan untuk pangan (food) dan bahan bakar nabati (fuel). Keadaan ini menyebabkan kecenderungan harga pakan yang terus meningkat. Padahal alokasi biaya untuk pakan merupakan yang terbesar, sekitar 60-70 persen dari biaya produksi. Dengan meningkatnya harga pakan, biaya produksi daging ayam ras secara otomatis juga akan meningkat. Subsektor budidaya ayam ras pedaging merupakan subsektor yang dianggap paling baik kinerjanya dibanding ketiga subsektor lainnya. Hal ini didasarkan pada terus meningkatnya produksi ayam ras dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2010 sudah dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun, tingginya produksi ayam ras pedaging nasional tidak dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi. Dapat disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa usaha ayam ras pedaging di Indonesia sudah efisien secara teknis, namun masih belum efisien secara alokatif maupun ekonomi. Dilihat dari segi efisiensi teknis, walaupun sudah tergolong efisien namun Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya karena budidaya ayam ras pedaging pada negara-negara tersebut sudah menggunakan sistem closed house. Dilihat dari segi biaya produksinya, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi perkilogram ayam ras pedaging di Indonesia juga lebih tinggi. Sebagai contoh, menurut laporan United States Department of Agriculture (USDA) 2014, rata-rata harga pokok produksi ayam ras pedaging di Thailand rata-rata sebesar 36 bath/kg atau setara dengan Rp 13 965 per kg. Penggunaan biaya tersebut dibagi dalam empat hal, yaitu untuk ayam umur sehari atau DOC (21.95 persen), pakan (63.41 persen), obat-obatan dan vaksinasi (2.44 persen), dan tenaga kerja (12.19 persen). Sedangkan di Indonesia harga pokok produksi ayam ras pedaging pada periode yang sama berkisar antara 16 500 - 17 000 rupiah. Hal ini berarti biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi perkilogram ayam ras pedaging di Indonesia lebih tinggi 20 persen dibandingkan apabila diproduksi di Thailand. Industri broiler di Indonesia telah berkembang sebagai bisnis komersial yang bersifat dualistik, yaitu tumbuhnya perusahaan peternakan skala besar pada satu sisi dan pada sisi lain tumbuhnya peternak rakyat. Peternak skala besar biasanya berupa perusahaan multinasional yang melakukan integrasi vertikal dari hulu ke hilir. Sedangkan peternak rakyat biasanya merupakan peternak dengan skala usaha kecil yang hanya beroperasi di subsistem budidaya (on-farm). Peternak rakyat kemudian dibedakan menjadi dua junis, yaitu peternak mandiri dan peternak yang bermitra. Peternak mandiri (non mitra) adalah peternak yang mampu menyelenggarakan usaha ternak dengan modal sendiri dan bebas menjual outputnya ke pasar. Pada
5 prinsipnya peternak mandiri menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas memasarkan produknya. Pengambilan keputusan mencakup kapan memulai berternak dan memanen ternaknya, serta seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Peternak mitra pada dasarnya adalah peternak skala kecil yang menjalin kemitraan dengan peternak skala menengah atau besar untuk mendapat bantuan berupa bimbingan teknis, manajemen, permodalan, dan pemasaran hasil. Industri broiler pada dekade terakhir abad-20 menunjukkan struktur produksi yang timpang, di mana pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar (60%), skala menengah (20%) dan skala kecil (20%) (Yusdja et al. 1999). Padahal pelaku pengusaha ayam ras pedaging skala kecil ini paling banyak jumlahnya. Berdasarkan Sensus Pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2014), ayam ras pedaging diusahakan oleh 6 620 410 rumah tangga dari keseluruhan 12 969 210 rumah tangga di subsektor peternakan. Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar yang digerakkan oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi sistem rantai nilai dari hulu hingga hilir atau melakukan integrasi vertikal (Daryanto, 2009). Dengan terjadinya integrasi vertikal dalam industri broiler dari hulu hingga hilir tersebut pada satu sisi mampu memproduksi daging broiler secara efisien dan berdaya saing, namun pada sisi lain peran peternak rakyat makin terpinggirkan. Permasalahan pada subsektor hilir sangat terkait dengan berfluktuasinya harga output (daging ayam) dan inefisiensi pemasaran akibat sistem perdagangan ternak hidup. Pertama, fluktuasi harga jual ayam menyebabkan adanya ketidakpastian keuntungan penjualan yang diterima oleh para peternak, bahkan sering kali harga daging ayam lebih rendah daripada harga pokok produksi (HPP) perkilogramnya. Fluktuasi harga daging ayam ras ini juga merupakan akibat dari belum adanya upaya pengelolaan logistik yang efektif, informasi pasar dan saluran pemasaran yang belum efisien, belum terbentuknya agroindustri yang menciptakan nilai tambah berbasis perubahan bentuk/form utility (Daryanto 2009). Tingginya biaya logistik di Indonesia juga menjadi penyebab tingginya harga daging ayam di tingkat konsumen. Sebagai contoh, biaya logistik di Indonesia rata-rata sebesar US$ 13.5/km sedangkan biaya logistik Malaysia hanya US$ 7.9/km1. Kedua, perdagangan ternak yang selama ini masih dalam kondisi hidup tidak efisien karena banyak mengeluarkan retribusi, resiko kematian selama perjalanan yang tinggi, serta berpotensi sebagai sarana penyebaran penyakit ternak. Seharusnya perdagangan ternak hidup sudah mulai digantikan dengan perdagangan ternak karkas dengan rantai dingin. Permasalahan pada subsektor penunjang antara lain terkait investasi, kemitraan, dan kebijakan pemerintah. Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial dalam pengembangan agribisnis ayam ras pedaging, mengingat besarnya modal yang diperlukan untuk membangun dan menjalankan usahaternak ayam ras. Saat ini industri ayam ras pedaging masih didominasi oleh investasi asing, sedangkan investasi dari dalam negeri masih rendah apalagi setelah diberlakukannya UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang memperbolehkan usaha peternakan unggas diselenggarakan secara 1
Kesiapan Sektor Usaha Sektor Pertanian dalam Mengahadapi AEC 2015. Disampaikan dalam PENAS Petani dan Nelayan, 10 Juni 2014. http://bkp.pertanian.go.id/bahanseminarkadinpenas.pdf
6 terintegrasi (suatu badan usaha peternakan yang dapat memiliki usaha sejak dari hulu hingga hilir) dan hasil usaha terintegrasi tersebut dapat sepenuhnya dipasarkan pada pasar tradisional dalam negeri. Dalam kondisi seperti ini, para perusahaan kecil PMDN serta peternakan rakyat akan sulit bersaing bahkan di pasar tradisional yang selama ini sebagai tempat pemasaran para peternak rakyat. Permasalahan-permasalahan diatas merupakan permasalahan dasar yang semestinya dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan agribisnis ayam ras pedaging. Namun, pada kenyataannya agribisnis ayam ras pedaging terus menunjukkan kondisi yang semakin membaik, terutama dilihat dari sisi produksinya. Ternyata, hal ini disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah berupa berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memproteksi agribisnis ayam ras supaya menunjukkan performa yang baik. Pemerintah terus mendorong perbaikan dengan berbagai kebijakan, seperti subsidi input, kemudahan dalam mengakses modal, peraturan-peraturan bagi penanam modal asing, dan hambatan impor daging ayam. Berbagai kebijakan yang dijalankan terbukti efektif untuk meningkatkan kinerja agribisnis ayam ras pedaging. Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir 2015 ini akan menuntut daya saing komoditi antarnegara. Bagi negara produsen dengan daya saing yang rendah, maka secara otomatis akan tersingkir dari persaingan. Perdagangan bebas juga merupakan instrumen yang akan menuntut pemerintah melepaskan proteksinya. Dengan begitu maka agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia akan berada dalam masalah, karena selama ini baiknya kinerja industri ini adalah akibat berbagai kebijakan proteksi pemerintah. Berdasarkan hal tersebut pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana daya saing agribisnis ayam ras pedaging Indonesia dengan berbagai bentuk pengusahaan sebelum dan sesudah diberlakukannya era perdagangan bebas ASEAN Economic Community 2016. Apakah agribisnis ayam ras pedaging Indonesia masih dapat survive dan perform pada iklim perdagangan bebas. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas ayam ras pedaging di Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis daya saing agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada berbagai. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan diberlakukannya era perdagangan bebas ASEAN Economic Community 2016 terhadap daya saing agribisnis ayam ras pedaging di Indonesia.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling ekonomis dan banyak diusahakan bila dibandingkan dengan ternak lain. Kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertambahan/produksi daging dalam waktu yang relatif cepat dan singkat atau sekitar 4 - 5 minggu produksi daging sudah dapat dipasarkan atau dikonsumsi Keunggulan ayam ras pedaging antara lain pertumbuhannya yang sangat cepat dengan bobot badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, konversi pakan kecil, siap dipotong pada usia muda serta menghasilkan kualitas daging berserat lunak. (Situmorang 2013; Yunus 2009). Usahaternak ayam ras pedaging memiliki karakteristik 1) bisnis ayam ras pedaging didasarkan pada pemanfaatan pertumbuhan dan produksi, dimana ayam ras pedaging memiliki pertumbuhan yang tergolong cepat; 2) produktivitas ayam ras pedaging sangat tergantung pada pakan baik secara teknis (pemberian pakan yang tepat) maupun ekonomis (penggunaan pakan yang efisien); dan 3) produk akhir (final product) dari agribisnis ayam ras pedaging merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari hulu sampai hilir, dimana produk antara merupakan makhluk biologis bernilai ekonomi tinggi berupa ayam ras pedaging (Pakarti 2000; Situmorang 2013). Pada peternakan ayam ras biaya tetap tergantung pada jumlah investasi untuk kandang, tanah, dan peralatan. Sedangkan biaya variabel meliputi bibit (DOC), pakan, obat-obatan dan vaksin, makanan tambahan (feed suplemen), tenaga kerja dan biaya-biaya lain yang habis dipakai dalam satu periode proses produksi. Biaya terbesar digunakan untuk pakan, DOC, vaksin dan obat-obatan, kemudian disusul biaya tenaga kerja (Lestari 2009; Nurfadillah 2014; Sarwanto 2004; Situmorang 2013; Yunus 2009). Di Indonesia, ayam ras pedaging banyak diusahakan dengan pola kemitraan yakni mengintegrasikan antara perusahaan besar dengan peternak rakyat dengan tujuan meningkatkan efisiensi (Lestari 2009; Sarwanto 2014; Situmorang 2013; Yunus 2009). Petemakan rakyat umumnya mempunyai ciri-ciri berupa ukuran usaha relatif kecil, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan peternak, penerapan manajemen dan teknologi yang masih konvesional, terbatasnya modal usaha, belum digunakannya bibit unggul, dan belum tepatnya cara penggunaan pakan sehingga produksinya rendah (Blair et al 2001; Broadway 2009; Brown et al 2002; Ellis 2005; Gardner 2000). Karakteristik dasar bisnis ayam ras pedaging adalah sebagai industri biologi yang mempunyai implikasi pada tuntutan dalam pengelolaannya, yang akan berpengaruh terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri perunggasan (Saragih, 1998). Karakteristik-karateristik tersebut antara lain adalah: 1. Bisnis ayam ras pedaging didasarkan pada pemanfaatan serta pendayagunaan pertumbuhan dan produksi broiler yang memiliki sifat dan pertumbuhan yang tergolong cepat dan mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid. 2. Produk akhir perunggasan (ayam ras pedaging) merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari sub sistem agribisnis
8 hulu hingga hilir, di mana produk antara merupakan makhluk biologis bernilai ekonomi tinggi dan rentan terhadap keterlambatan waktu. 3. Produktivitas ayam ras pedaging sangat tergantung pada kualitas pakan. Produktivitas dan efisiensi produksi akan dicapai kalau memenuhi persyaratanpersyaratan tepat mutu, tepat waktu, dan konsumsi pakan yang efisien. Ketiga karakteristik tersebut diatas menjadi penjelas pentingnya melakukan integrasi vertikal, baik oleh perusahaan dalam satu sistem manajemen pengambilan keputusan maupun melalui kemitraan usaha industri ayam ras pedaging. Pengelolaan ayam ras pedaging dengan pendekatan manajemen rantai pasok dan manajemen rantai nilai yang inklusif menjadi suatu keharusan Daya Saing Produk Peternakan Secara umum daya saing dapat dikelompokkan dalam 2 jenis, yakni kompetitif dan komparatif. Sebuah komoditas dapat unggul secara komparatif dan kompetitif, unggul secara kompetitif atau komparatif saja, atau bahkan tidak unggul secara kompetitif dan komparatif (Puspitasari 2011; Oguntade 2009; Najarzadeh R et al 2011) Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya daya saing pada umumnya terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Feryanto 2010; Dewanata 2011). Subsektor peternakan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif subsektor peternakan Indonesia diantaranya berasal dari potensi sumber daya ternak, kekayaan alam dalam menyediakan pakan, dan rendahnya upah tenaga kerja (Deblitz et al. 2005; Daryanto 2009). Negara dengan tenaga kerja terampil yang melimpah akan memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu produk yang membutuhkan tenaga kerja terampil lebih intensif. Daryanto (2009) menyatakan Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dari segi komponen biaya tenaga kerja. Data National Wages and Productivity Commission (NWPC) menunjukan bahwa upah minimum pekerja per bulan Indonesia tahun 2013 sedikitnya sebesar US$ 75.58 yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina (US$ 171.36), Malaysia (US$ 241.02), Thailand (US$ 206.67). Hal ini ternyata masih lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (US$ 66.26) dan Kamboja (US$ 60.0) (NWPC 2013). Upah tenaga kerja Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seharusnya dapat dijadikan sumber keunggulan, dengan biaya input yang rendah maka biaya yang digunakan untuk membayar tenaga kerja lebih murah. Penelitian Serra et al. (2005) menyebutkan bahwa peningkatan daya saing usaha sapi potong di Uruguay salah satunya berkenaan dengan ketersediaan tenaga kerja yang tinggi dan murah, sedangkan di Selandia Baru berkaitan dengan
9 ketersediaan peternak terdidik dan produktivitas tenaga kerja yang cukup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan peternak berkorelasi positif dengan adopsi teknologi usaha peternakan, semakin tinggi pendidikan peternak, maka semakin cepat adopsi teknologi (Suppadit et al. 2006; Hendayana 2012). Berkaitan dengan hal diatas, inovasi teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna serta adaptasinya di tingkat petani/perusahaan juga merupakan faktor penentu daya saing (Simatupang dan Hadi 2004; Daryanto 2009). Daya saing selain ditentukan oleh produktivitas namun dapat pula dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (Rose 2010; Siggel 2007; Simanjuntak 1992; WB 2009). Selain itu, WB (2009) menambahkan bahwa kerangka kebijakan inti terhadap daya saing (core policy framework for competitiveness) adalah: (1) Insentif ekonomi seperti tarif impor dan ekspor, sistem nilai tukar, pasar faktor produksi dan kebijakan pajak, (2) Jasa dan biaya seperti energi, telekomunikasi, layanan bea cukai, transportasi dan logistik, keterampilan khusus dan layanan usaha serta (3) Lembaga dan kebijakan yang pro aktif antara lain badan promosi investasi dan ekspor, lembaga standarisasi, lembaga yang mendorong inovasi serta penelitian dan pengembangan. Pengaruh kebijakan pemerintah telah diteliti oleh berbagai pakar sebelumnya. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pengaruh kebijakan terhadap daya saing bervariasi, yaitu berpengaruh positif, negatif maupun tidak berpengaruh nyata. Banse et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara daya saing dengan kebijakan producer subsidy equivalent (PSE) ukuran mengenai besaran transfer dari konsumen dan pembayar pajak terhadap petani. Hal tersebut bermakna dengan semakin menurunnya daya saing (nilai DRC meningkat) maka nilai PSE akan semakin meningkat. Sebaliknya Bezlepkina et al. (2005) menyimpulkan bahwa kebijakan subsidi terhadap peternakan sapi perah di Rusia berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha melalui pengurangan hambatan dalam kredit usaha. Dari hasil kajian mengenai daya saing ayam ras pedaging di Indonesia , secara umum pengusahaan ayam ras pedaging di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga bisa dikatakan ayam ras pedaging di Indonesia berdayasaing. Saptana dan Rusastra (2003) menyatakan bahwa pengusahaan ayam ras pedaging di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai tipe pengusahaan, memiliki nilai PCR antara 0.851 – 0.989 dan nilai DRCR 0.790 – 0.917. Sedangkan Hidayati (2010) melihat pengaruh skala usaha terhadap daya saing dengan hasil bahwa pegusahaan dengan skala besar memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan skala kecil. Pada skala kecil nilai PCR sebesar 0.85 dan DRCR 0.79. Sedangkan pada skala besar nilai PCR sebesar 0.72 dan DRCR 0.67. berdasarkan penelitian Chikangaidze (2011) diketahui bahwa nilai PCR pengusahaan ayam ras pedaginng di Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan berturutturut 0.38, 0.43, dan 0.68. Dari nilai PCR dan DRCR tersebut dapat disimpulkan bahwa pengusahaan ayam ras pedaging di Indonesia masih kurang berdaya saing dibandingkan ketiga negara tersebut. Dampak Liberalisasi Perdagangan Dampak dari berlakunya liberalisasi perdagangan di pasar internasional dapat bermacam-macam tergantung pada perbedaan tingkat distorsi pasar, komitmen
10 unntuk mengurangi distorsi, serta konsistensi dalam implementasi komitmen. Secara umum, pelaksanaan liberalisasi perdagangan akan meningkatkan harga internasional, sementara dampak terhadap produksi, konsumsi, dan perdagangan bervariasi tergantung komoditas dan negaranya. Negara produsen yang efisien akan memeroleh manfaat yang lebih besar, sedangkan negara net-importir akan menderita kerugian akibat liberalisasi perdagangan (Susila 2005; Najarzadeh et al 2011). Dampak positif dari adanya liberalisasi perdagangan yang dapat diidentifikasi antara lain berupa peningkatan dalam produksi, efisiensi produksi, manfaat bagi konsumen, dan dalam pertumbuhan ekonomi. Perdagangan bebas memungkinkan suatu negara untuk mengkhususkan diri dalam produksi komoditas di mana mereka memiliki keunggulan komparatif. Dengan spesialisasi negara dapat mengambil keuntungan dari efisiensi yang dihasilkan dari skala ekonomi dan peningkatan output (Chen et al. 2009; Langley et al. 2007). Perdagangan internasional meningkatkan ukuran pasar perusahaan, sehingga biaya rata-rata yang lebih rendah dan peningkatan produktivitas, akhirnya menyebabkan peningkatan produksi dan efisiensi. Selain itu, ketatnya kompetisi dalam perdagangan bebas akan memberi manfaat bagi konsumen berupa rendahnya harga barang dan jasa yang tersedia (Suh et al. 2013). Tujuan jangka panjang dari kesepakatan perdagangan bebas (khususnya WTO) adalah menciptakan sistem perdagangan yang adil dan berorientasi pasar melalui 3 pilar yaitu perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan subsidi ekspor (export subsidy). Tujuan ini seharusnya mendatangkan manfaat bersama bagi seluruh negara di dunia. Namun faktanya kesepakatan perdagangan lebih banyak merugikan negara-negara sedang berkembang (Suryana 2004; Abdullateef dan Ijaiya 2010). Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba et.al (2007) dalam menilai dampak perdagangan bebas di sektor pertanian melalui WTO yang menggunakan model Agricultural Trade Policy Simulation Model (ATPSM). Menurut model ATPSM ini kesejahteraan total dihitung berdasarkan penjumlahan dari surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah. Liberalisasi perdagangan lebih banyak memberi keuntungan bagi negara maju melalui peningkatan kesejahteraan total dan sebaliknya merugikan negara berkembang. Negara maju mengalami total kesejahteraan yang diperoleh dari selisih surplus produsen dan konsumennya. Penurunan tarif bea masuk akan menurunkan surplus produsen negara yang mengenakan tarif, tetapi konsumennya akan mengalami peningkatan surplus sehingga kerugian produsen dapat diimbangi oleh keuntungan konsumen. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan meningkatkan surplus petani produsen negara berkembang, tetapi menurunkan surplus konsumennya sehingga total kesejahteraan menunjukkan nilai negatif. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan untuk menciptakan sistem perdagangan sektor pertanian yang adil dan berorientasi pasar tersebut antara lain 1) Negara-negara maju masih tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan dukungan domestik melalui subsidi kepada petaninya, terutama produsen pangan dan peternakan, 2) Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor yang besar untuk produk-produk pertaniannya. 3) Ketidakseimbangan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM,
11 dan infrastruktur antara negara maju dan negara berkembang menyebabkan ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field, 3) Ketidakadilan dalam membuka akses pasar, dimana di satu sisi negara maju memaksa negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya, namun di sisi lain mereka berusaha membatasi akses pasar bagi produk-produk negara berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif eskalasi, perlindungan sanitary dan phyto-sanitary, dan non-trade barrier lainnya. Metode Pengukuran Daya Saing Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitianpenelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual, (Karim dan Ismail 2007; Sembiring 2009). RCA ini biasa digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan daya saing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal. Kelemahan dari analisis ini adalah sifatnya yang statis, terbatas pada komoditas ekspor, dan tidak dapat menunjukkan darimana keunggulan komparatif berasal (Sembiring 2009; Purmiyanti 2002). Metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Berlian Porter (Porter’s diamond) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara, berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami. Manfaat penggunaan metode berlian porter dalam menilai daya saing sebuah komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas karena analisis yang dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehensif. Namun Model Berlian Porter ini banyak mendapat kritik dari peneliti dan akademisi. Model Berlian Porter ini dibangun dengan pendekatan studi kasus dari 10 negara maju sehingga cenderung hanya dapat diaplikasikan untuk negara–negara maju saja. Kritik ini mengakatan Berlian Porter agak sulit diterapan di negara berkembang dan atau negara kecil yang permintaan domestiknyanya juga kecil. Selain itu, argumen Porter yang menyatakan bahwa hanya arus keluar Foreign Direct Investment (FDI) yang berguna bagi penciptaan keunggulan kompetitif, sementara arus masuk FDI tidak signifikan meningkatkan keunggualan kompetitif hanya didukung oleh bukti empiris yang sangat sedikit. Pada kenyataannya, arus masuk FDI ikut pula berperan dalam meningkatkan factor conditions. Kritik lain tentang kelemahan model Berlian Porter adalah bahwa model ini tidak secara spesifik membahas peran Multi National Company (MNC), padahal bukti empiris menunjukkan bahwa eksistensi bisnis internasional justru berkontribusi besar
12 dalam keunggulan kompetitif suatu negara. (Dunning 1993; Cartwright 1993; Rugman dan Verbeke 1993; Bellak dan Weiss 1993; Rugman dan Verbeke 1993) Selain metode Revealed Comparative Adventage (RCA) dan metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing, terdapat juga metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang menggunakan tiga ukuran analisis yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan analisis daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Namun metode ini membutuhkan data yang komprehensif dan akurat serta memiliki range hasil yang lebar (Ugochukwu dan Ezedinma 2011; Kasimin 2012).
3 KERANGKA PEMIKIRAN Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan hasil Deklarasi ASEAN Concord II (Bali Concord II) pada Oktober 2003, yang implementasinya mengacu pada Cetak Biru MEA (Kementerian Perdagangan, 2010). Cetak Biru MEA merupakan pedoman bagi negara‐negara anggota ASEAN dalam mewujudkan MEA 2015. Cetak Biru MEA memuat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e‐commerse; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah; dan (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. 1. Pasar Tunggal dan Basis Produksi Melalui realisasi MEA, diharapkan ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Pembentukan ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi akan membuat ASEAN lebih dinamis dan berdaya saing dengan mekanisme dan langkah-langkah baru guna memperkuat pelaksanaan inisiatifinisiatif ekonomi yang ada, mempercepat integrasi kawasan di sektor-sektor prioritas, memfasilitasi pergerakan para pelaku usaha, tenaga kerja terampil dan berbakat, dan memperkuat mekanisme kelembagaan ASEAN. Pasar tunggal dan basis produksi ASEAN terdiri dari atas lima elemen inti: (i) arus barang yang bebas; (ii) arus jasa yang bebas; (iii) arus investasi yang bebas; (iv) arus modal yang lebih bebas; dan (v) arus tenaga kerja terampil yang bebas. Komponen dalam pasar tunggal dan basis produksi adalah termasuk 12 (dua belas) sektor-sektor prioritas integrasi, yakni produk berbasis agro, transportasi udara, otomotif, e-ASEAN, elektronika, perikanan, pelayanan kesehatan, produk berbasis karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, produk berbasis kayu dan logistik, ditambah makanan, pertanian dan kehutanan.
13 Sebuah pasar tunggal untuk barang dan jasa akan memfasilitasi pengembangan jaringan produksi di wilayah ASEAN dan meningkatkan kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global dan sebagai bagian dari rantai pasokan dunia. Tarif akan dihapuskan dan hambatan non-tarif secara bertahap juga akan dihapus. Perdagangan dan sistem kepabeanan yang terstandardisasi, sederhana dan harmonis diharapkan dapat mengurangi biaya transaksi. Akan ada pergerakan bebas para profesional. Investor ASEAN akan bebas untuk berinvestasi di berbagai sektor, dan sektor jasa akan dibuka. 2. Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing Perwujudan kawasan ekonomi yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi merupakan tujuan dari integrasi ekonomi ASEAN. Terdapat enam elemen inti bagi kawasan ekonomi yang berdaya saing ini, yaitu: (i) kebijakan persaingan; (ii) perlindungan konsumen; (ii) Hak Kekayaan Intelektual (HKI); (iv) pembangunan infrastruktur; (v) perpajakan; (vi) ecommerce. Negara-negara anggota ASEAN telah berkomitmen untuk memperkenalkan kebijakan dan hukum persaingan usaha secara nasional untuk menjamin tingkat kesetaraan dan menciptakan budaya persaingan usaha yang sehat untuk meningkatkan kinerja ekonomi regional dalam jangka panjang. 3. Pembangunan Ekonomi yang Merata Di bawah karakteristik ini terdapat dua elemen utama: (i) Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan (ii) Inisiatif untuk Integrasi ASEAN. Kedua inisiatif ini diarahkan untuk menjembatani jurang pembangunan baik pada tingkat UKM maupun untuk memperkuat integrasi ekonomi Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam (CLMV) agar semua anggota dapat bergerak maju secara serempak dan meningkatkan daya saing ASEAN sebagai kawasan yang memberikan manfaat dari proses integrasi kepada semua anggotanya. 4. Integrasi dengan Ekonomi Global ASEAN bergerak di sebuah lingkungan yang makin terhubung dalam jejaring global yang sangat terkait satu dengan yang lain, dengan pasar yang saling bergantung dan industri yang mendunia. Agar pelaku usaha ASEAN dapat bersaing secara global, untuk menjadikan ASEAN lebih dinamis sebagai ”mainstream” pemasok dunia, dan untuk memastikan bahwa pasar domestik tetap menarik bagi investasi asing, maka ASEAN harus lebih menjangkau melampaui batas-batas MEA. Dua pendekatan yang ditempuh ASEAN dalam berpartisipasi dalam proses integrasi dengan perekonomian dunia adalah: (i) pendekatan koheren menuju hubungan ekonomi eksternal melalui Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Area/FTA) dan kemitraan ekonomi yang lebih erat (Closer Economic Partnership/CEP), dan (ii) partisipasi yang lebih kuat dalam jejaring pasokan global. Konsep Daya Saing Perkembangan konsep daya saing dimulai dari teori keunggulan pada perdagangan internasional absolut oleh Adam Smith dan kemudian berkembang menjadi teori baru daya saing model berlian yang dikemukakan Michael Porter (Cho dan Moon 2000). Teori daya saing yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada kerangka Policy Analysis Matrix (PAM). Konsep daya saing dalam PAM dikategorikan menjadi 2 macam yaitu keunggulan komparatif dan
14 keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif menyatakan keunggulan yang dimiliki ketika pasar tidak terdistorsi yaitu didekati dengan menilai biaya dan penerimaan menggunakan harga sosial sedangkan keunggulan kompetitif adalah keunggulan pada saat harga aktual. Keunggulan Absolut Konsep keunggulan absolut pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith yang merupakan tokoh pro perdagangan bebas. Asumsi dasar dari konsep ini adalah dua negara akan melakukan perdagangan secara sukarela apabila kedua negara tersebut memperoleh keuntungan. Jika satu negara memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka hal tersebut akan mendorong penolakan terhadap perdagangan (Salvatore 1997). Adam Smith berpendapat bahwa setiap negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam memproduksi barang secara efisien. Adam Smith mengasumsikan bahwa setiap negara dapat memproduksi satu atau lebih komoditas dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menyebabkan suatu negara akan melakukan spesialisasi dengan hanya memproduksi produk yang memiliki biaya terendah. Jika suatu negara lebih efisien dalam memproduksi suatu barang (memiliki keunggulan absolut) dan kurang efisien dalam memproduksi barang lainnya (tidak memiliki keunggulan absolut) dibanding negara lain maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara melakukan spesialisasi masing-masing negara dalam memproduksi barang yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Salah satu kelemahan dari keunggulan absolut Adam Smith ini adalah karena tenaga kerja diasumsikan sebagai satu-satunya faktor produksi. Pertukaran komoditas dengan negara lainnya berdasarkan proporsi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk produksi mereka. Produktivitas tenaga kerja menjadi basis dalam menentukan spesialisasi produksi suatu barang (Salvatore 1997). Keunggulan Komparatif Berdasarkan konsep keunggulan absolut, apabila suatu negara melakukan spesialisasi produksi maka akan menghasilkan keuntungan perdagangan (gain from trade). Kemudian muncul pertanyaan apakah semua negara memiliki keunggulan absolut dibandingkan negara lain, lalu bagaimana dengan negara yang tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi komoditas apapun, apakah masih dapat memperoleh keuntungan perdagangan. Atas pertanyaan-pertanyaan itulah maka David Ricardo membantah teori keunggulan absolut Adam Smith dengan menyatakan bahwa keunggulan absolut bukanlah kondisi yang sesuai untuk dua negara dalam memperoleh keuntungan perdagangan melalui perdagangan satu dengan yang lainnya. David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan akan menguntungkan kedua belah pihak apabila biaya relatif dalam meproduksi suatu barang berbeda untuk dua atau lebih komoditas. Perdagangan tergantung pada perbedaan keunggulan komparatif dimana suatu negara dapat tetap memperoleh keuntungan perdagangan meskipun memiliki biaya lebih tinggi atau lebih rendah pada setiap komoditas.
15 Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Perdagangan internasional akan terjadi apabila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Negara yang mengalami kerugian absolut untuk dua komoditas atau lebih masih dapat melakukan perdagangan internasional dengan melakukan spesialisasi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut terkecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut terbesar (komoditi dengan kerugian komparatif) (Salvatore 1997). Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo ini ternyata mendapatkan kritikan karena menggunakan asumsi teori nilai tenaga kerja yang sama seperti Adam Smith di mana asumsi menyebutkan bahwa tenaga kerja hanya satu-satunya faktor produksi dan tenaga kerja bersifat homogen (satu jenis). Pada dasarnya, tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi. Penggunaan tenaga kerja juga tidak dilakukan dalam proporsi yang tetap dan dalam jumlah yang sama pada setiap komoditas. Tenaga kerja juga tidak homogen karena adanya perbedaan dalam pendidikan, produktivitas, dan upah yang diterimanya (Salvatore 1997). Berlangsungnya perdagangan internasional pada kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh tenaga kerja tetapi juga faktor produksi lainnya seperti tanah, modal, keterampilan manajemen, sumber daya mineral, dan sebagainya. Dengan kata lain, sumber utama perdagangan internasional adalah adanya perbedaan sumber daya antar negara. Hal ini yang melandasi munculnya teori HeckscherOhlin yang dikembangkan oleh ekonom Eli Heckscher dan Bertil Ohlin sebagai penyempurnaan dari teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Heckscher dan Ohlin berpendapat bahwa keunggulan komparatif timbul dari adanya perbedaan faktor anugrah (factor endowment) suatu negara. Teori ini menyebutkan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut dan akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Sebuah negara yang relatif memiliki tenaga kerja yang melimpah akan mengekspor komoditi yang padat tenaga kerja dan mengimpor komoditi yang padat modal (yang merupakan faktor produksi langka dan mahal di negara tersebut). Teori ini sangat menekankan saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara dan perbedaan proporsi penggunaannya dalam memproduksi berbagai macam barang. Oleh karena itu, teori ini sering juga disebut dengan teori proporsi faktor (factorproportion theory) (Salvatore 1997). Keunggulan Kompetitif Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Michael Porter pada tahun 1990. Porter mencoba menjelaskan mengapa beberapa negara berhasil dan yang lainnya gagal dalam dunia persaingan internasional. Menurut Porter, suatu negara akan memiliki keunggulan kompetitif apabila memiliki empat faktor penentu (Hill et al. 2014). Faktor yang pertama adalah faktor pendukung yaitu posisi negara dalam penguasaan faktor produksi seperti tenaga kerja terampil atau kebutuhan infrastruktur. Faktor yang kedua adalah kondisi permintaan yaitu sifat alami dari permintaan atas barang atau jasa suatu industri. Faktor yang ketiga adalah
16 industri terkait dan pendukung yaitu kehadiran atau ketidakhadiran industri pemasok dan industri terkait yang kompetitif secara internasional. Faktor keempat adalah strategi, struktur, dan persaingan perusahaan yaitu berkaitan dengan keadaan dimana perusahaan didirikan, diatur, dan dikelola serta sifat persaingan di dalam negeri. Konsep keunggulan kompetitif merupakan suatu konsep baru dalam daya saing. Pada saat ini telah banyak dikemukakan mengenai konsep keunggulan kompetitif ini dalam literatur-literatur ekonomi. Konsep keunggulan kompetitif belum didefinisikan secara tepat pada literatur ekonomi sebelumnya. Hal ini menyebabkan belum adanya kesepakatan mengenai bagaimana mendefinisikan dan bagaimana mengukur keunggulan kompetitif secara tepat (Latruffe 2010). Latruffe (2010) mendefinisikan keunggulan kompetitif sebagai kemampuan untuk menghadapi dan mencapai kesuksessan dalam kompetisi di mana kompetisi dapat terjadi di pasar domestik (perusahaan atau sektor yang dibandingkan satu dengan yang lainnya dalam negara yang sama) atau internasional (perbandingan antar negara). Keunggulan kompetitif juga berarti kemampuan untuk menjual produk yang sesuai dengan permintaan (harga, kualitas, jumlah) dan pada waktu yang tepat, serta dapat menjamin keuntungan setiap saat yang dapat memajukan perusahaan. Keunggulan kompetitif merupakan dasar kesuksesan dalam pasar lokal dan pasar internasional (Ivan et al. 2011). Sementara itu, menurut Kannapiran dan Fleming (1999) keunggulan kompetitif merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam bersaing di pasar internasional dengan asumsi adanya intervensi pemerintah. Secara prinsip, beberapa peneliti di bidang ekonomi menunjukkan bahwa konsep keunggulan kompetitif dengan keunggulan komparatif berbeda. Menurut Warr (1994) dalam Kannapiran dan Fleming (1999) menyatakan bahwa keunggulan komparatif merupakan parameter pengambilan keputusan untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan komoditas eksport yang diukur dengan harga bayangan. Sementara itu, keunggulan kompetitif merupakan parameter pengambilan keputusan untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan komoditas eksport yang diukur dengan harga pasar. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Akhtar et al. (2009), Siggel (2007) dan Boossabong dan Taylor (2009) yang menyatakan bahwa keunggulan kompetitif memasukkan distorsi pasar (harga pasar) sedangkan keunggulan komparatif menggunakan asumsi pasar tidak terdistorsi (harga equilibrium). Secara lebih jelas, Warr (1994) dalam Kannapiran dan Fleming (1999) menunjukkan beberapa perbedaan dalam penggunaan parameter keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam persaingan perdagangan. Menurut Warr (1994), keunggulan komparatif menunjukkan keuntungan ekonomi dari suatu negara untuk memperluas produksi dan perdagangannya pada suatu komoditas yang spesifik. Keunggulan komparatif lebih sesuai untuk diaplikasikan pada perbandingan antar industri atau dalam industri pada suatu negara dalam sektor perdagangan, tetapi tidak sesuai untuk perbandingan industri antar negara. Sementara itu, keunggulan kompetitif menunjukkan bagaimana suatu perusahaan dapat berhasil dalam kompetisi perdagangan komoditas di pasar internasional dengan kebijakan dan struktur ekonomi yang ada. Keunggulan kompetitif ditentukan oleh kinerja komersial dari sebuah perusahaan sedangkan keunggulan
17 komparatif ditentukan oleh efisiensi alokasi sumberdaya pada tingkat nasional, terutama diantara sektor ekonomi produksi barang dan jasa yang diperdagangkan. Keunggulan kompetitif diukur pada kondisi pasar aktual di mana masih terdapat distorsi pasar, sedangkan keunggulan komparatif diukur dalam kondisi pasar tanpa adanya distorsi pasar. Keunggulan kompetitif dan komparatif akan menjadi sama pada kondisi pasar persaingan sempurna di mana kondisi pasar dengan produk yang homogen, arus informasi lancar, dan tidak ada kegagalan pasar (Kannapiran dan Fleming 1999). Di dunia nyata, kedua indikator tersebut berbeda dikarenakan adanya distorsi pada input dan sistem pemasaran produk yang sering dihubungkan dengan intervensi pemerintah secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menjadikan penting untuk menghitung kedua indikator tersebut dan mengidentifikasi akibat dari divergensi. Divergensi timbul dari distorsi dalam (Kannapiran dan Fleming 1999): (1) harga output dikarenakan kondisi ekonomi dan rezim perdagangan, (2) harga faktor produksi, (3) harga faktor yang digunakan dalam kegiatan pemasaran dan pengolahan yang mempengaruhi marjin pemasaran, (4) tingkat suku bunga dan (5) nilai tukar. Konsep Daya Saing dalam Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix merupakan sebuah pendekatan dalam analisis kebijakan pertanian yang menyediakan konsep dalam memahami pengaruh kebijakan maupun teknik untuk mengukur besaran transfer kebijakan. PAM dapat mengukur daya saing sistem usahatani sebuah negara dan pendapatan aktual yang diterima petani, efisiensi alokasi sumber daya pertanian, serta dampak dari kebijakan terhadap daya saing pertanian. Menurut Monke dan Pearson (1989) daya saing yang digunakan dalam Policy Analysis Matris diklasifikasikan menjadi 2 yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan keunggulan yang dimiliki ketika pasar tidak terdistorsi yang dinilai dengan harga sosial sedangkan keunggulan kompetitif merupakan keunggulan yang dimiliki pada tingkat harga yang diterima produsen aktual saat ini (harga pasar). Menurut Cafiero (2003), pendekatan PAM dapat menghindari kebutuhan untuk menghitung hubungan mikroekonomi sebagai dasar dari analisis penawaran dan permintaan (sebuah kerangka analisis kebijakan lainnya yang terkadang membutuhkan waktu dan data yang melimpah). Policy Analysis Matrix dibangun berdasarkan sistem produksi perwakilan dan kinerja yang ada dianalisis dengan analisis anggaran (budget analysis). Studi PAM memiliki fokus pada analisis komoditas yaitu komoditas basis. Komoditas tersebut dapat digambarkan oleh rantai produksi, pemrosesan dan pemasaran. Penggunaan PAM dapat menangkap semua pengaruh kebijakan dan distorsi pasar dengan memasukan harga yang berbeda atau dengan kata lain dengan mengevaluasi anggaran PAM saat harga privat (harga aktual yang diterima agen) dengan harga opportunity cost (seringkali berhubungan langsung dengan harga dunia). Keunggulan yang dimiliki PAM adalah secara konsep sederhana dan mudah dimengerti serta dalam membangun dan mengevaluasi hasil analisis PAM seorang analis dipaksa menguji dengan hati-hati berbagai aspek sosial dan teknis sistem produksi yang sedang dianalisis.
18 Faktor-Faktor yang Membangun Daya Saing Gupta (2009) memaparkan bahwa daya saing (competitiveness) dibangun oleh empat hal yaitu keunggulan teknologi (technological superiority), sumberdaya (resources endowment), pola permintaan (demand pattern), dan kebijakan pemerintah (policy). 1. Keunggulan teknologi akan menyebabkan proses produksi menjadi lebih efisien dengan cara menggeser kurva produksi ke atas. Hal ini berarti bahwa dengan adanya peningkatan ternologi maka produsen dapat menghasilkan output yang lebih banyak dengan jumlah input tetap. 2. Ketersediaan sumberdaya di suatu negara menjadi sumber lain untuk berdaya saing tanpa harus memiliki teknologi yang lebih unggul. Dengan asumsi pembatasan tertentu, keunggulan komparatif dapat diperoleh karena perbedaan sumberdaya relatif. Seperti dikemukakan oleh Heccksher dan Ohlin, suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam produksi bahwa komoditas yang menggunakan sumber daya cukup melimpah di negara itu secara lebih intensif. Selain sumberdaya alam, terdapat 3 faktor lain yang dapat dikatagorikan sebagai resources endowment. a. Kemampuan dari sumberdaya manusia (Human skills) dapat juga dianggap sumber daya. Negara-negara dengan kemampuan manusia yang melimpah akan memiliki keunggulan dalam produk yang menggunakan keterampilan manusia secara lebih intensif. Produk tertentu seperti elektronik membutuhkan tenaga kerja terampil (seperti insinyur, programer, desainer, dan tenaga profesional lainnya). Produk-produk yang dibangun oleh tenaga profesional tersebut dapat menyebabkan suatu negara memperoleh keunggulan, seperti Taiwan, Singapura, Hong Kong. Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk pendidikan dan pelatihan yang lebih baik dapat menciptakan sumberdaya manusia yang terampil. b. Skala ekonomi (Economies of scale) dapat memberikan suatu keunggulan dengan menurunkan biaya produksi. Skala ekonomi ini konsisten dengan model Ricardian dan Model Faktor Proporsi. Skala ekonomi (internal) yang dicapai melalui besarnya pasar dalam negeri atau aksesibilitas terhadap pasar luar yang lebih besar akibat adanya kebijakan (misalnya karena Custom Union) juga menyebabkan biaya produksi yang lebih rendah. c. Industri negara maju umumnya lebih awal (Benefits of an Early Start/ Technological Gap) dalam memproduksi produk dan jasa. Hal ini memungkinkan mereka untuk menikmati pasar nasional dan internasional yang besar karena industri negara maju dapat mengekspor produk baru hingga beberapa lama sampai negara lain dapat memproduksi dengan biaya yang cukup rendah (Product Cycle). 3. Permintaan (Demand Pattern) di pasar dalam negeri berperan sebagai batu loncatan menuju kesuksesan di pasar internasional. Produsen memulai produksi produk baru untuk memenuhi pasar lokal. Pada langkah ini, mereka belajar keterampilan yang diperlukan untuk membuat produk dengan teknik yang lebih efisien, yang kemuadian akan memberikan negara-negara tersebut keunggulan dalam produk tertentu dibanding negara lain. Postulat Linder menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor produk ke negara-negara dengan selera/pola permintaan yang sama.
19 4. Kebijakan pemerintah (Policy) diklasfikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kebijakan nasional, kebijakan industri, dan kebijakan komersil. Kebijakan nasional berupa kebijakan terhadap infrastruktur, promosi ekspor, pendidikan dan pelatihan, kebijakan R & D. Sedangkan kebijakan industri seperti subsidi produksi, preferensi pajak, tender terbatas kontrak pemerintah, kebijakan antitrust, dan sejumlah cara lain yang sering digunakan untuk memberikan keuntungan untuk industri dalam negeri. Kebijakan komersial bertujuan mengatur kegiatan perdagangan misalnya membatasi impor melalui tarif, kuota, pembatasan ekspor sukarela, lisensi impor, aturan konten lokal, pembatasan outsourcing, sehingga industri dalam negeri dapat bertahan ditengah persaingan dengan produk impor. Natural resource
Human Resource
Economic of Scale
Technological Gap/ Product
Cycle
Resource Endowment
Technological Superiority
Competitiveness
Demand Pattern
Infrastructure
Tariff
Export Promotion
Quota National Policy
Commercial Policy
Policy
Education & Training
Import Export Licencing Industrial Policy Local Content Rules
R&D Policy
Partnership
Productio Subsidies
Interest Rate
AntiTrust Policy
Gambar 1 Faktor-faktor Pembangun Daya Saing Sumber : Gupta (2009)
20 Konsep Perdagangan Internasional Krugman dan Obstfeld (2003) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.
Gambar 2 Kurva Aliran Perdagangan Internasional Sumber: Salvator 1997
Keterangan: P2 : Harga keseimbangan di pasar dunia P3 : Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 : Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da : Permintaan domestik negara A Sa : Penawaran domestik negara A D : Permintaan di pasar dunia S : Penawaran di pasar dunia Sb : Permintaan domestik negara B Db : Penawaran domestik negara B Gambar 2 menjelaskan mekanisme terjadinya perdagangan internasional antara negara A dan negara B. Pada perdagangan internasional antara negara A sebagai negara pengekspor dan negara B sebagai negara pengimpor terjadi keseimbangan harga komoditi relatif. Selain itu perdagangan internasional terjadi akibat kelebihan penawaran pada negara A dan kelebihan permintaan pada negara B. Pada negara A harga suatu komoditas sebesar P1, dan di negara B harga komoditas tersebut sebesar P3, cateris paribus. Pada pasar internasional harga yang dimiliki oleh negara A akan lebih kecil yaitu berada pada harga P* sehingga negara A akan mengalami kelebihan penawaran (excess supply) di pasar internasional.
21 Pada negara B, terjadi harga yang lebih besar dibandingkan harga pada pasar internasional. Sehingga akan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar internasional. Pada keseimbangan di pasar internasional kelebihan penawaran negara A menjadi penawaran pada pasar internasional yaitu pada kurva E*. Sedangkan kelebihan permintaan negara B menjadi permintaan pada pasar internasional yaitu sebesar ED. Kelebihan penawaran dan permintaan tersebut akan terjadi keseimbangan harga sebesar P*. Peristiwa tersebut akan mengakibatkan negara A mengekspor, dan negara B mengimpor komoditas tertentu dengan harga sebesar P2 di pasar internasional. Dari penjelasan di atas didapat bahwa perdagangan internasional (ekspor-impor) terjadi karena terdapat perbedaan antara harga domestik (P1 dan P3), dan harga internasional (P2), permintaan, dan penawaran pada komoditas tertentu
Konsep Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan pemerintah terdapat pada Tabel 2. Tabel 3 Kebijakan harga pada komoditas pertanian Instrumen Dampak bagi produsen Kebijakan Subsidi Subsidi pada produsen Tidak merubah harga Pada barang-barang substitusi impor (S+ PI ; S– PI) Merubah harga pasar Pada barang-barang dalam negeri substitusi impor (S+ PE ; S– PE) Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang (merubah harga pasar impor (TPI) dalam negeri)
Dampak bagi konsumen Subsidi bagi konsumen Pada barang-barang orientasi ekspor (S+ CI ; S– CI) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+ CE ; S– CE) Hambatan pada barang ekspor (TPE)
Sumber : Monke and Pearson 1989
Keterangan:
S+ SPE CE
: Subsidi : Pajak : Produsen barang orientasi ekspor : Konsumen barang orientasi ekspor
22 PI CI TCE TCI
: Produsen barang substitusi impor : Konsumen barang substitusi impor : Hambatan barang ekspor : Hambatan barang impor
Tabel 3 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan. Kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen, dan ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat di impor atau dapat di ekspor. 1. Tipe Instrumen Dalam kebijakan tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah, apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan apabila dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada ekspor atau impor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang di impor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang di impor dan meningkatkan harga domestik di atas harga internasional. Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang di ekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek. Pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan. a. Implikasi pada Anggaran Pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah. b. Tipe Alternatif Kebijakan Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang substitusi impor (SI) yaitu : 1) Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3) Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5) Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7) Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI)
23 8) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen membuat harga yang diterima menjadi lebih tinggi bagi produsen dan lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan tanpa ada kebijakan subsidi positif sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) membuat harga yang diterima produsen lebih rendah dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan. Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang impor dan hambatan perdagangan pada barang ekspor. Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan. c. Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non-tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). 2. Kelompok Penerima Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan sebaliknya ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang. Maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain. 3. Tipe Komoditas Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang di ekspor digunakan harga FOB (free on board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dan untuk barang yang dapat di impor digunakan harga CIF (cost, insurance, freight) atau harga pelabuhan impor. Kebijakan harga yang ditetapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif dan kuota.
24 Kebijakan Pemerintah pada Harga Output Kebijakan pemerintah berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada konsumen maupun produsen dan pada barang ekspor maupun impor. Secara lebih jelas pengaruh subsidi terhadap barang impor dan ekspor tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3 Dampak Subsidi terhadap Produsen dan Konsumen pada Barang Ekspor dan Impor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Keterangan : PW : Harga di Pasar Internasional PD : Harga di Pasar Domestik : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi PP PC : Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S + PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor S + CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor S + CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang Ekspor Gambar 3(a) menunjukkan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Pemerintah menginginkan penambahan produksi dalam negeri dengan melakukan subsidi kepada produsen. Kebijakan ini menyebabkan harga yang diterima produsen dalam negeri (PP) lebih tinggi dari harga di pasar internasional (PW). Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2. Sementara itu, konsumsi dalam negeri Q3 tetap karena harga yang diterima konsumen (harga domestik) sama dengan harga di pasar dunia. Kebijakan
25 subsidi ini menyebabkan jumlah barang yang diimpor turun dari (Q3-Q1) menjadi (Q3-Q2). Tingkat subsidi yang diberlakukan per output sebesar (PP – PW) untuk memproduksi output Q2. Besarnya transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (PP – PW) atau PPABPW. Kebijakan subsidi menyebabkan adanya tambahan produksi domestik untuk menggantikan impor yaitu sebesar (Q 2 – Q1). Nilai dari sumber daya lokal yang digunakan untuk memproduksi output tambahan tersebut sebesar Q1CAQ2. Nilai opportunity cost yang harus dikorbankan untuk memproduksi tambahan barang tersebut adalah sebesar Q1CBQ2. Kebijakan subsidi ini menyebabkan terjadinya kehilangan efisensi sebesar segitiga CAB. Gambar 3(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Pada kondisi perdagangan bebas, harga yang berlaku di pasar domestik sama dengan harga di pasar internasional (PW). Pada saat harga ini, produksi dalam negeri (Q3) lebih besar daripada permintaan dalam negeri (Q1). Hal ini menyebabkan adanya kelebihan penawaran yang dimanfaatkan untuk ekspor sebesar (Q3 – Q1). Dalam rangka meningkatkan ekspor, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen sebesar (PD – PW) per unit barang. Kebijakan ini menyebabkan harga yang diterima produsen (PD) lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari (Q3 – Q1) ke (Q4 – Q2). Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH. Kebijakan subsidi pada produsen barang ekspor ini menyebabkan kehilangan efisiensi perekonomian negara sebesar (ABF + EGH). Gambar 3(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi yang diberikan kepada konsumen menyebabkan harga domestik (PD) lebih rendah daripada harga internasional (PW). Besarnya subsidi yang diberikan kepada konsumen per unit barang impor adalah sebesar (PW–PD). Kebijakan subsidi ini berdampak pada penurunan produksi dari Q1 ke Q2 dan terjadi peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4. Jumlah barang yang diimpor meningkat dari (Q3 – Q1) menjadi (Q4 – Q2). Transfer yang terjadi akibat kebijakan ini terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PWAPD. Kebijakan ini berdampak pada kehilangan efisiensi pada sisi konsumsi maupun produksi. Pada sisi produksi, penurunan produksi sebesar (Q2 – Q1) menyebabkan kehilangan pendapatan sebesar Q2AFQ1. Akan tetapi dengan menurunnya produksi tersebut berarti ada sumber daya lokal yang di hemat dengan nilai sebesar Q2BFQ1, sehingga pendapatan bersih yang hilang yaitu sebesar AFB. Pada sisi konsumsi, subsidi impor dan turunnya harga konsumen dalam negeri menyebabkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4. Nilai opportunity cost dari peningkatan konsumsi ini adalah sebesar Q3EGQ4. Total kemampuan membayar konsumen pada peningkatan konsumsi ini adalah sebesar Q3EHQ4 dan efisiensi konsumen yang hilang dalam konsumsi adalah sebesar segitiga EGH. Jadi kebiajakan subsidi konsumen barang impor menyebabkan kehilangan efisiensi sebesar AFB dan EGH. Gambar 3(d) menunjukkan subsidi yang diberlakukan kepada konsumen barang ekspor. Kebijakan subsidi yang diberikan menyebabkan harga yang diterima konsumen dalam negeri (PC) lebih rendah daripada harga internasional (PW). Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi barang impor dari Q1 menjadi Q2. Nilai opportunity cost dari peningkatan konsumsi ini adalah sebesar Q1CBQ2. Total kemampuan membayar konsumen pada peningkatan konsumsi ini adalah sebesar
26 Q1CAQ2 dan efisiensi konsumen yang hilang dalam konsumsi adalah sebesar segitiga CBA. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Input dalam kegiatan pertanian dapat dibedakan menjadi input tradable (input impor) dan input non-tradable (input domestik). Kebijakan pemerintah dapat diperlakukan terhadap kedua jenis input tersebut. Kebijakan subsidi dapat diaplikasikan pada input tradable maupun input non-tradable. Sementara itu, kebijakan hambatan perdagangan hanya dapat diterapkan pada input tradable karena kebijakan hambatan perdagangan hanya dapat diterapkan jika terdapat aliran perdagangan ke pasar internasional. 1. Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable Sumber: Monke and Pearson (1989)
Keterangan : S – II = Pajak pada input untuk produksi barang substitusi impor S + II = Subsidi pada input untuk produksi barang substitusi impor Gambar 4 menunjukkan pengaruh subsidi dan pajak terhadap input tradable. Gambar 4a menunjukkan pengaruh pajak yang dibebankan pada input untuk memproduksi barang substitusi impor. Pajak pada input ini menyebabakan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga yang sama, produksi barang substitusi impor domestik turun dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran bergeser ke atas (S ke S’). Efisiensi ekonomi yang hilang ditunjukkan oleh segitiga ABC. Sementara itu, nilai produksi yang hilang dari penurunan produksi ini adalah sebesar Q2CAQ1. Gambar 4b menunjukkan pengaruh subsidi input terhadap produksi barang substitusi impor. Kebijakan subsidi pada input dapat menurunkan biaya produksi. Hal ini menyebabkan kurva penawaran bergeser ke bawah (S ke S’) sehingga produksi barang substitusi impor domestik meningkat dari Q1 ke Q2. Biaya produksi yang
27 dikeluarkan karena memproduksi lebih banyak output ini sebesar Q1ABQ2 dan nilai peningkatan output tersebut sebesar Q1BQ2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari peningkatan produksi ini adalah sebesar segitiga ABC. 2. Kebijakan Input Non-tradable Kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada input non-tradable hanyalah kebijakan subsidi atau pajak. Kebijakan pemerintah terkait hambatan perdagangan tidak dapat diaplikasikan karena input non-tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Menurut Pearson et al. (2005), kebijakan harga pada input non-tradable (domestik) berpengaruh secara langsung terhadap biaya produksi pertanian. Kebijakan subsidi pada input nontradable berpengaruh terhadap produsen maupun konsumen. Pengaruh subsidi dan pajak pada input non-tradable dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Pajak dan Subsidi pada Input Non-tradable Sumber : Monke and Pearson (1989)
Keterangan : S – N = Pajak untuk Input Non-tradable S + N = Subsidi untuk Input Non-tradable Gambar 5 memperlihatkan dapak pajak dan subsidi pada input non-tradable terhadap efisiensi produsen dan konsumen. Gambar 5a. menunjukkan pada kondisi keseimbangan tanpa adanya kebijakan pemerintah, permintaan barang sebesar Q1 pada harga PD. Pemerintah menetapkan pajak pada input nontradable sehingga biaya produksi meningkat sehingga harga meningkat menjadi PC. Pada tingkat harga ini (PC), produksi turun dari Q1 menjadi Q2 dan harga di tingkat produsen menjadi PP. Besarnya pajak yang ditanggung konsumen adalah sebesar PDBCPC dan besarnya pajak yang ditanggung produsen sebesar PPDBPD. Efisiensi ekonomi yang hilang akibat pajak input non-tradable ini adalah sebesar segitiga BCA bagi produsen dan sebesar segitiga DBA bagi konsumen. Gambar 5b. memperlihatkan pengaruh subsidi pada input nontradable terhadap efisiensi produsen dan konsumen. Adanya subsidi pada input non-tradable menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2 karena harga yang diterima produsen naik menjadi PP dan harga yang diterima konsumen
28 turun menjadi PC. Efisiensi ekonomi yang hilang akibat subsidi input nontradable ini adalah sebesar segitiga ABC bagi produsen dan sebesar segitiga ABD bagi konsumen.
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Jawa Barat merupakan sentra produksi ayam ras pedaging dengan produksi dan populasi ternak ayam ras tertinggi di Indonesia. Tabel 4 Produksi daging ayam ras Indonesia beserta lima sentra produksi terbesar (ton), 2011-2013*) Laju per No Provinsi 2012 2013 2014 tahun (%) 1 Jawa Barat 498 862 563 529 547 584 5.07 2 Jawa Timur 162 845 162 892 166 149 1.01 3 DKI Jakarta 117 913 129 206 142 126 9.79 4 Jawa Tengah 114 178 123 726 125 066 4.72 5 Banten 111 159 109 029 114 807 1.69 Indonesia 1 400 470 1 497 873 1 524 907 4.38 Sumber : Pusdatin 2014b, diolah.
Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa provinsi Jawa Barat merupakan daerah penghasil ayam ras pedaging tertinggi di Indonesia dengan laju produksi 5.07 persen setiap tahunnya. Produksi daging ayam ras Jawa Barat tahun 2014 mencapai 35.90 persen dari keseluruhan produksi Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi daging ayam ras terbesar di provinsi Jawa Barat dengan proporsi sebesar 19.01 persen terhadap total produksi daging ayam ras di provinsi Jawa Barat (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2014). Total produksi daging ayam ras di Kabupaten Bogor tahun 2014 sebesar 95 315 188 kg. Produksi daging ayam ras di Kabupaten Bogor tersebar di 40 kecamatan dengan rata-rata produksi per kecamatan sebesar 2 383 880 kg. Tiga kecamatan produsen tersebas ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Pamijahan, Gunung Sindur, dan Parung (Dinas peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2013). Selanjutnya lokasi yang dipilih pada penelitian ini Kecamatan Pamijahan karena ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan banyak diusahakan secara kemitraan dan berskala kecil. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi: (1) data harga input-input
29 tradable dan nontradable (factor domestic) yang berlaku di Kabupaten, (2) karakteristik usahaternak ayam ras pedaging. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung (observasi) dan wawancara langsung terhadap responden dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder yang dibutuhkan terdiri dari: (1) Kebijakan pemerinah pusat, provinsi dan kabupaten dalam pengembangan usahaternak ayam ras pedaging dan komoditas daging ayam ras; (2) Data ekspor dan impor, nilai pendapatan pajak ekspor dan impor, nilai total dari kegiatan impor dan eskpor; (3) Perkembangan data harga daging ayam ras (domestik dan impor); dan (4) nilai tukar. Untuk input dan output yang diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance, and Freight). Untuk komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Selanjutnya, untuk menghitung harga sosial input non-tradable digunakan prinsip opportunity cost. Data sekunder dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer adalah observasi dan wawancara langsung. Sumber data primer dalam penelitian ini terdiri dari empat kelompok yaitu peternak rakyat, perusahaan besar, rumah potong ayam (RPA), dan pelaku pemasaran. Peternak rakyat digunakan untuk merepresentasikan karakter pengusahaan ayam ras pedaging dengan skala kecil, kemitraan, dan penggunaan teknologi yang sederhana. Sedangkan perusahaan digunakan untuk menggambarkan karakter pengusahaan dengan skala besar dan teknologi yang lebih modern (closed house). Metode penentuan sampel terhadap peternak rakyat yang bermitra adalah stratified random sampling dengan cara mengambil 15 peternak dengan kapasitas kurang dari 5000 ekor dan 15 peternak dengan kapasitas lebih dari 5 000 ekor dari total populasi 196 peternak ayam ras pedaging yang bermitra di Kecamatan Pamijahan. Sedangkan untuk jumlah sampel peternak rakyat yang mandiri sama dengan populasinya yaitu 9 peternak. Perusahaan yang akan digunakan sebagai sampel adalah PT. Leong Ayam Satu Primadona (anak perusahaan PT. Malindo Feedmill yang bergerak di bidang budidaya ayam ras pedaging). Metode yang digunakan untuk RPA dan pemasar adalah snowball yang dimulai dari peternak. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum sistem agribisnis ayam ras pedaging dan lokasi penelitian, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis daya saing ayam ras pedaging dan dampak kebijakan pemerintah yaitu analisis Policy Analysis Matrix (PAM)
30 Policy Analysis Matrix (PAM) Penelitian ini menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai, yaitu dapat diketahui keunggulan kompetitif dan keunggulan komperatif usahaternak ayam ras pedaging. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel. Diperlukan beberapa langkah pendekatan dalam melakukan analisis daya saing. Tahapan penyusunan analisis menggunakan PAM adalah sebagai berikut : 1. Penentuan input dan output usahaternak ayam ras pedaging. 2. Pengidentifikasian input ke dalam komponen input tradable dan non-tradable. Input tradable adalah input yang diperdagangkan di pasar internasional baik di ekspor maupun di impor dan identifikasi input non-tradable yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Tabel 5 menunjukkan alokasi biaya berdasarkan kompinen domesti dan asing. Tabel 5 Alokasi biaya berdasarkan komponen domestik dan asing Komponen Komponen Jenis Biaya Domestik (%) Asing(%) DOC 0.253 0.747 Pakan 0.681 0.319 OVD 0.646 0.354 Pembersih kandang 0.546 0.454 Sekam 0.000 1.000 Kayu bakar 0.000 1.000 Gas 0.000 1.000 Listrik 0.000 1.000 PBB 0.000 1.000 Tenaga kerja 0.000 1.000 Kandang &peralatan 0.579 0.421 Lahan 0.000 1.000 Bunga modal peternak rakyat 0.000 1.000 Bunga modal perusahaan 0.693 0.307 Beban manajemen 0.428 0.572 Transportasi 0.617 0.383 Pemotongan 0.090 0.910 Ayam hidup 0.375 0.625 3. Penentuan harga bayangan input dan output. Menurut Gittinger (1986), penggunaan harga pasar dalam melakukan analisis ekonomi seringkali tidak menggambarkan opportunity cost-nya. Oleh karena itu, setiap input dan output yang digunakan dalam analisis ekonomi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial. Harga sosial atau harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Namun dalam kenyataanya sulit untuk menemukan kondisi pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Adapun alasan penggunaan harga bayangan dalam menganalisis ekonomi adalah pertama, harga yang berlaku di masyarakat tidak mencerminkan
31 harga yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan suatu aktivitas. Kedua, harga pasar yang berlaku tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan jika seandainya terdapat sejumlah pilihan sumber daya yang digunakan dalam aktivitas, namun tidak digunakan pada aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat. Harga Bayangan Output Harga bayangan output adalah harga output yang terjadi di pasar dunia apabila diberlakukan pasar bebas. Harga bayangan output untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan yaitu harga FOB (Free on Board). Sedangkan harga bayangan output untuk komoditas impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight). Untuk menghitung harga bayangan daging ayam ras dalam penelitian ini digunakan harga CIF karena posisi volume impor Indonesia lebih tinggi dibandingkan volume ekspornya. Harga CIF ini ditambah biaya tataniaga yang dikeluarkan dari pelabuhan ke lokasi penelitian dan transfer pembayaran. Harga ouput tersebut disesuaikan dengan nilai tukar Rupiah bayangan (SER= Shadow Exchange Rate). Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Penentuan harga bayangan nilai tukar menggunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire dan Van der Tak (1982) dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut: SER =
OERt SCFt
Keterangan : SER : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCF : Faktor konversi Standar Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan eskpor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut: Xt+Mt
SCF = (Xt−Txt)+(Mt+Tmt) Keterangan : SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Harga Bayangan Input Harga bayangan input terdiri atas: a. Harga Bayangan DOC
32
b.
c.
d.
e.
f.
Harga bayangan DOC didekati dengan harga pakan yang diterima peternak dikurangi dengan dampak dari distorsi yang ada. Dalam DOC, distorsi yang paling berpengaruh adalah adanya kecenderungan praktek kartel oleh beberapa produsen penghasil DOC (breeder). Kartel ini menyebabkan pasar DOC menjadi bersifat oligopoli. Hal ini ditunjukkan oleh lima produsen DOC yang menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar. Selanjutnya harga bayangan DOC diperoleh dari proposi harga minimum (Rp 3 275/ekor) ditambah keuntungan normal 20 persen terhadap harga yang terjadi saat itu. Nilai proporsi yang ada dijadikan faktor konversi untuk memperoleh harga bayangan dalam penelitian ini, dimana besarnya harga bayangan DOC adalah 82 persen dari harga pasar. Harga Bayangan Pakan Ternak Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan harga bayangan pakan dalam penelitian ini sama dengan pendekatan harga bayangan untuk DOC. Hal ini dikarenakan bentuk pasar pakan ternak di Indonesia juga cenderung oligopoli akibat kartel oleh perusahaan besar. Selanjutnya harga bayangan pakan diperoleh dari proposi harga minimum (Rp 4 647/kg) ditambah keuntungan normal 20 persen terhadap harga yang terjadi saat itu. Nilai proporsi yang ada dijadikan faktor konversi untuk memperoleh harga bayangan dalam penelitian ini, dimana besarnya harga bayangan pakan adalah 74.75 persen dari harga pasar. Harga Bayangan Obat-obatan Harga bayangan terhadap obat-obatan yang diimpor adalah dengan menggunakan pendekatan harga CIF. Jenis obat-obatan yang didekati dengan harga CIIF adalah vaksin ND, vaksin IBD, Obat Colli, vitamin, dan skim. Sedangkan harga bayangan untuk obat Cocci, CRD, dan Coryza didekati dengan harga aktualnya. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga bayangan untuk tenaga kerja didekati dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran. Rumus menghitung harga bayangan TK = (100%-Tingkat Penganguran) X tingkat upah aktual. Harga Bayangan Lahan Tanah atau lahan merupakan faktor produksi utama dan termasuk input nontradable dalam usahatani atau usaha peternakan. Harga bayangan dalam penelitian ini ditentukan dengan merujuk pada Gittinger (1986) yaitu dengan pendekatan nilai sewa aktualnya. Harga Bayangan Modal Kerja Harga bayangan bunga modal diperoleh dari total biaya produksi peternak, baik biaya tetap maupun biaya operasional dikalikan dengan hasil pengurangan interest rate yang berlaku dengan tingkat inflasi. Interest rate yang berlaku adalah 14 persen sedangkan tingkat inflasi satu semester awal 2015 sebesar 6.8 persen (Bank Indonesia 2015)
33 4. Tabulasi dan analisis indikator matriks kebijakan. Tabel 6 Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga privat Harga sosial Efek divergensi
A E I
Input Tradable B F J
Input Non-tradable C G K
Keuntungan D H L
Sumber: Monke and Pearson 1989
Keterangan : 1. Keuntungan Privat (D) = A – (B + C) 2. Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G) 3. Transfer Output (I) = A – E 4. Transfer Input Tradable (J) = B – F 5. Transfer Input Non-tradable (K) = C – G 6. Transfer Bersih (L) = I – (K + J) 7. Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A – B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E – F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H Adapun Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM ini adalah : 1. Harga privat atau harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang didalamnya terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar lainnya. 2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan faktor asing (tradable) dan faktor domestik (non-tradable). 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan, dengan demikian dianggap sama dengan nol. Disamping keempat asumsi diatas, penelitian ini juga mengasumsikan bahwa pengusahaan sistem komoditi ayam ras pedaging adalah terintegerasi dari peternak (farm gate) hingga pedagang besar (wholesale market). Dengan demikian unit analisisnya adalah sistem komoditi, seperti yang dianjurkan oleh Monke dan Pearson (1989). Karena unit analisisnya adalah sistem komoditi maka biaya dan penerimaan dihitung dalam masing-masing subsistem mulai dari subsistem budidaya (di peternakan), pengolahan (Rumah Potong Ayam), hingga pemasaran di tingkat pedagang besar. Kelebihan model PAM ini adalah diketahuinya indikator komparatif yang diperoleh dari koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio). Analisis ini juga menghasilkan beberapa indikator lain yang terkait dengan variabel dayasaing seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on Tradable Output), NCPI (Nominal Protection Coefficient on Tradable Input), dan PC (Profitablity Coefficient). Untuk
34 mendapatkan nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan kedalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Selisih dari kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak kebijakan pemerintah. Tabel 6 menunjukkan bahwa matriks PAM terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama perhitungan dengan harga privat (harga pasar) yaitu harga yang diterima peternak. Baris kedua perhitungan dengan harga sosial (harga bayangan) yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsure biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masing-masing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara harga privat dengan harga sosial disebabkan terjadinya kegagalan pasar yang terletak pada baris ketiga. Setiap matriks mempunyai empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik (domestic factor). Penggunaan harga privat dan sosial dalam matrik PAM menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial. Analisis sosial, akan merujuk aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan sedangkan pada analisis privat kita meninjau aktivitas pelaku ekonomi (individu atau perusahaan) yang berkepentingan langsung dalam kegiatan ekonomi. Berdasarkan matriks PAM tersebut dapat dilakukan beberapa analisis yaitu: 1. Analisis Keuntungan a. Keuntungan Privat (Private Profitability) PP = D = A – (B + C) D= Keuntungan berdasarkan harga aktual (keuntungan privat). A= Penerimaan (harga aktual). Diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi (Kg) dengan harga jual (Rp). B= Biaya input yang diperdagangkan (tradable) berdasarkan harga aktual. C= Biaya faktor domestik (biaya input non-tradable) berdasarkan harga aktual. Jika keuntungan privat bernilai positif (D>0) maka usahaternak ayam pedaging menguntungkan berdasarkan harga aktual sehingga layak diusahakan. Sebaliknya, jika bernilai negatif (D<0), maka usahaternak ayam ras pedaging mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan. b. Keuntungan Sosial (Social Profitability) SP = H = E – (F + G) H= Keuntungan berdasarkan harga sosial (keuntungan sosial). E= Penerimaan (harga sosial). Diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi (Kg) dengan harga sosial ayam ras pedaging (Rp). F= Biaya input yang diperdagangkan (tradable) berdasarkan harga sosial. G= Biaya faktor domestik (biaya input non-tradable) berdasarkan harga sosial.
35 Jika keuntungan sosial bernilai positif (H>0) maka usahaternak ayam pedaging efisien dan memiliki keunggulan komparatif. Sebaliknya, jika bernilai negatif (H<0), maka usahaternak ayam ras pedaging tidak efisien. 2. Analisis Keunggulan a. Keunggulan Kompetitif Keuggulan Kompetitif dapat dilihat dengan analisis efisiensi finansial menggunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). PCR = C / (A – B) Keterangan : A = Penerimaan Privat B = Biaya Privat Input Tradable C = Biaya Privat Input Non Tradable PCR yang bernilai kurang dari 1 menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging memiliki keunggulan kompetitif. Apabila nilai PCR semakin kecil, maka usaha tersebut juga semakin kompetitif. b. Analisis Keunggulan Komparatif Keuggulan Komparatif dapat dilihat dengan analisis efisiensi ekonomi yang menggunakan indikator Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). DRCR = G / (E – F) Keterangan : A = Penerimaan Privat B = Biaya Privat Input Tradable C = Biaya Privat Input Non Tradable Apabila DRCR positif, berarti usahaternak ayam ras pedaging efisien atau menguntungkan secara ekonomis dalam pemanfaatan sumberdaya domestik. Sebaliknya, DRCR yang bernilai negatif menunjukkan usahaternak ayam ras pedaging tidak efisien. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah 1. Dampak Kebijakan Output a. Transfer Output TO = I = A – E Keterangan : A = Penerimaan Privat E = Penerimaan Sosial Transfer output menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai transfer output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Nilai transfer output yang positif berarti masyarakat harus membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga yang seharusnya
36 dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih besar dari harga yang seharusnya diterima. b. Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO = A / E
Keterangan : A = Penerimaan Privat E = Penerimaan Sosial Koefisien proteksi output nominal (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Apabila nilai NPCO>1 berarti harga output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau berarti sistem mendapat suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai NPCO<1 berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di pasar dunia. 2. Dampak Kebijakan Input a. Transfer Input TI = J = B -F Keterangan :
B = Biaya Privat Input Tradable F = Biaya Sosial Input Tradable
Transfer input terjadi ketika terjadi perbedaan pada harga input tradable yang menyebabkan biaya input tradable privat berbeda dengan biaya sosialnya. Transfer input (TI) yang bernilai positif mengindikasikan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Kerugian produsen tersebut disebabkan adanya divergensi/distorsi pasar. Sebaliknya, transfer input yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input karena subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat privat lebih rendah daripada tingkat harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal. b. Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI = B/F Keterangan :
B = Biaya Privat Input Tradable F = Biaya Sosial Input Tradable
37 Koefisien proteksi input nominal (NPCI) merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable dengan harga sosialnya. Jika nilai NPCI>1 biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya jika nilai NPCI<1 biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri. c. Transfer Faktor TF = C- G Keterangan :
C = Biaya Privat Input Non Tradable G = Biaya Sosial Input Non Tradable
Nilai transfer faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input nontradable, dimana jika nilai TF positif maka terdapat subsidi negatif atau pajak pada input non-tradable, sedangkan jika TF memiliki nilai negatif maka terdapat subsidi positif pada input non-tradable. 3. Input-Output a. Koefisien Proteksi Efektif EPC = (A - B)/(E – F) Keterangan : A = Penerimaan Privat B = Biaya Privat Input Tradable E = Penerimaan Sosial F = Biaya Sosial Input Tradable Nilai koefisien proteksi efektif (EPC) menunjukkan arah kebijakan apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan tingginya proteksi dalam sistem produksi suatu komoditas, sedangkan jika nilai EPC kurang dari satu menunjukkan proteksi terhadap sistem produksi sangat rendah. b. Transfer bersih NT = D – H Keterangan :
D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial
Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output,
38 transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai NT>1 berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai NT<1 berarti terjadi pengurangan pada surplus prosen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output. c. Koefisien Keuntungan PC = D/H Keterangan :
D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial
Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC>1 berarti secara keseluruhan kebijakan yang diterapkan memberikan insentif terhadap produsen. d. Subsidy Ratio to Producer SRP = L/E Keterangan :
L = Transfer Bersih H = penerimaan Sosial
Rasio subsidi untuk produsen (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Nilai SRP yang negatif berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya suatu kebijakan tersebut. Berdasarkan konsep daya saing menurut kerangka teori Policy Analysis Matrix maka dibuat kerangka teori yang menggambarkan hubungan antar variabel (Gambar 6). Dalam penelitian ini digunakan tujuh faktor yang akan dilihat pengaruhnya terhadap daya saing ayam ras pedaging di Indonesia, yaitu teknologi, kemitraan, infrastruktur, tarif, subsidi, dan suku bunga. Ketujuh faktor tersebut digunakan dalam analisis ini karena berhubungan dengan karakteristik pengusahaan ayam ras di Indonesia dan dampak yang akan ditimbulkan akibat liberalisasi perdagangan saat MEA nanti.
39 NOP RP POP
NTIP TICP PTIP
Tarif
Teknologi
Keunggulan Kompetitif
Produktivitas
NNTIP NTICP
PNTIP Kemitraan NOS RS
Skala Usaha POS Subsidi Input NTIS
TICS Suku Bunga
Infrastruktur
B. Transport
Keunggulan Komparatif
PTIS
NNTIS NTICS
PNTIS
Gambar 6 Hubungan Daya Saing dengan Faktor Pembangunnya dalam Kerangka Teori Policy Analysis Matrix (PAM) Keterangan: NOP : Jumlah output privat NOS : Jumlah output sosial POP : Harga output privat POS : Harga output sosial NTIP : Jumlah input tradable privat NTIS : Jumlah input tradable sosial PTIP : Harga input tradable privat PTIS : Harga input tradable sosial NNTIP : Jumlah input nontradable privat NNTIS: Jumlah input nontradable sosial PNTIP : Harga input nontradable privat PNTIS : Harga input nontradable sosial Ketentuan mengenai tarif akan secara langsung mempengaruhi harga privat. Misalnya apabila tarif impor daging ayam dihapuskan maka harga daging ayam impor akan semakin murah sehingga akan berdampak menurunkan harga daging ayam di pasar dalam negeri. Begitu pula yang terjadi apabila terjadi perubahan terhadap tarif impor input. Selanjutnya perubahan teknologi akan mengubah produktivitas. Perubahan produktivitas terjadi melalui perubahan dalam jumlah input yang digunakan atau jumlah output yang dihasilkan. Dengan perubahan
40 jumlah input maupun output ini maka perubahan teknologi akan mempengaruhi baik keuntungan sosial maupun keuntungan privat. Dengan kata lain perubahan teknologi akan berdampak pada keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif. Kemitraan merupakan salah satu bentuk pengusahaan ayam ras pedaging di Indonesia. Kemitraan akan mempengaruhi produktivitas dan skala usaha. Dengan adanya kemitraan maka sumberdaya dari beberapa peternak mitra yang berskala kecil akan digabungkan dan dikelola dalam manajemen perusahaan inti. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan skala usaha. Skala usaha yang semakin besar akan meningkatkan jumlah output atau menekan penggunaan jumlah input, serta dapat menekan harga input menjadi lebih murah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kemitraan akan mempengaruhi jumlah dan harga secara privat dan sosial sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi keunggulan kompettitif dan komparatif. Kebijakan subsisdi input menyebabkan harga input yang diterima peternak menjadi lebih murah sehingga akan memengaruhi harga input baik privat maupun sosial. Begitu pula dengan kebijakan suku bunga yang akan mempengaruhi biaya privat dan sosial dari pengusahaan ayam ras pedaging. Biaya privat dan sosial selanjutnya akan berdampak pada keunggulan kompetitif dan komparatif usaha ayam ras pedaging. Infrastruktur merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang berada dalam katagori kebijakan investasi publik. Infrastruktur memang tidak secara langsung mempengaruhi daya saing, namun infrastruktur sangat berpengaruh terhadap biaya logistik, terutama biaya transportasi. Apabila suatu negara memiliki infrastruktur yang baik, maka biaya logistik akan semakin murah. Biaya logistik selanjutnya akan mempengaruhi harga, baik harga input maupun output. Kemudian harga dan jumlah input/output bersama-sama akan membangun biaya privat dan sosial. Karena biaya merupakan salah satu komponen dari keunggulan, maka secara tidak langsung infrastruktur akan mempengaruhi keunggulan kompetitif dan komparatif. Skenario Masyarakat Ekonomi ASEAN Dalam penelitian ini dilakukan skenario terhadap dampak perubahan kebijakan pemerintah terkait berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. 1. Tarif impor daging ayam turun dari 5 persen ke 0 persen. 2. Interest rate turun dari 14% ke 5% (rata-rata interest rate negara ASEAN). 3. Biaya logistik turun 20 persen (estimasi penurunan biaya logistik dalam 10 tahun).
41
5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN Karakteristik Wilayah Kecamatan Pamijahan Letak, Luas, dan Kondisi Alam Kecamatan Pamijahan merupakan salah satu dari empat puluh kecamatan yang berada di daerah Kabupaten Bogor. Secara administratif wilayah Kecamatan Pamijahan dibatasi oleh : Sebelah utara : Kecamatan Cibungbulang Sebelah selatan : Kecamatan Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi Sebelah barat : Kecamatan Leuwiliang Sebelah timur : Kecamatan Tenjolaya Kecamatan Pamijahan terletak kurang lebih 51 km dari Ibukota Kabupaten Bogor dan dapat ditempuh dalam waktu 2 jam 10 menit menggunakan kendaraan bermotor. Luas daerah kecamatan Pamijahan adalah 8 088 286 ha dan terbagi ke dalam 15 desa. Kecamatan pamijahan berada di dataran tinggi dimana tinggi dari permukaan laut mencapai 250 hingga 300 meter. Topografi wilayah kecamatan berupa 60 persen berombak, 20 persen berombak sampai berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung. Berdasarkan Monografi Kecamatan Pamijahan (2013), suhu udara maksimum di Kecamatan Pamijahan maksimal 280ºC dengan rata-rata curah hujan dalam lima tahun terakhir 296,9 mm dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Juli. Potensi Agribisnis Kecamatan Pamijahan termasuk dalam wilayah pembangunan Bogor Barat yang merupakan wilayah penyangga urbanisasi serta daerah resapan air dan konservasi sumber daya air. Berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Pamijahan merupakan salah satu wilayah pertanian dengan kondisi pengembangan yang mulai bervariasi, diantaranya untuk pengembangan pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata. Komoditas pertanian potensial dari daerah ini adalah padi sawah, jagung, kedelai, dan pisang. Sedangkan untuk komoditi peternakan, terdapat kambing, domba, ayam ras, ayam buras, dan bebek. Dalam lingkup perikanan, terdapat beberapa komoditi potensial antara lain lele dan gurame. Hanya terdapat dua komoditi kehutunan yaitu albazia dan jati. Potensi agribisnis yang dimiliki Kecamatan Pamijahan cenderung ke arah pertanian dan peternakan. Terdapat beberapa komoditas potensial yang diunggulkan antara lain lele, ikan hias khususnya cupang, itik, ayam ras pedaging, ayam buras, dan sapi potong. Lele, ikan hias, dan itik biasanya diusahakan perorangan, sedangkan sapi potong diusahakan secara kelompok. Di samping itu usaha ayam ras dan buras banyak dikelola dalam bentuk kemitraan. Keadaan lingkungan khususnya suhu udara merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam budidaya ayam ras pedaging. Suhu udara di Kecamatan Pamihahan sangat cocok untuk budidaya ayam ras pedaging. Menurut Rasyaf (2007) suhu ideal untuk usaha budidaya ayam ras pedaginga adalah 230ºC hingga 290ºC. Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas peternakan dan perikanan Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan merupakan daerah yang
42 memiliki populasi ayam terbesar pada tahun 2013 dengan jumlah 3 362 000 ekor ayam. Keadaan Sosial Ekonomi Sarana dan prasarana di suatu wilayah hendaknya disediakan dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Fasilitas transportasi yang baik akan menunjang kelancaran mobilitas barang dan jasa yang dibutuhkan maupun dihasilkan penduduk setempat. Tersedia tiga jenis alat transportasi umum di Kecamatan Pamijahan, antara lain angkutan umum (angkot), ojek, dan becak. Angkutan umum tidak melewati jalan desa, akan tetapi hanya melewati jalan kabupaten. Oleh karena itu untuk melanjutkan perjalanan ke kampung, bisa ditempuh dengan ojek atau kendaraan pribadi. Fasilitas jalan di Kecamatan Pamijahan terdiri dari 28 jalur jalan kabupaten dan 13 jalur jalan desa. Kondisi jalan kabupaten sudah beraspal, sedangkan sebagian besar jalan desa masih belum beraspal. Apabila musim hujan tiba, sangat sulit untuk menuju lahan pertanian maupun peternakan karena jalan desa menjadi licin dan berlumpur. Kondisi ini menjadi salah satu penghambat untuk distribusi input dan hasil pertanian/ peternakan. Kecamatan Pamijahan memiliki sarana pengairan berupa 3 buah waduk/situ dengan kondisi baik. Waduk ini biasa digunakan untuk mengairi areal persawaan milik penduduk. Sarana pendidikan di kecamatan ini meliputi 10 unit Taman Kanak-Kanak, 45 unit Sekolah Dasar, 16 unit Sekolah Menengah Pertama, 32 unit Madrasah Ibtidaiyah, 10 unit Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan. Sarana perekonomian yang dimiliki Kecamatan Pamijahan antara lain 8 unit koperasi simpan pinjam, 23 unit koperasi produksi, 128 kelompok tani, 10 kelompok wanita (KWT), 1 unit pasar tradisional, dan 8 unit pasar mingguan. Keadaan Penduduk Keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Pamijahan adalah 132 193 jiwa, yang terdiri dari 71 406 laki-laki dan 68 894 perempuan. Jumlah penduduk Kecamatan Pamijahan berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kelompok usia penduduk Kecamatan Pamijahan Kelompok Usia (tahun) Jumlah (orang) 0 - 14 30 030 15 - 29 40 045 30 - 44 33 902 >45 28 216 Total 132 193
Presentase (%) 22.72 30.29 25.65 21.34 100.00
Sumber : Monografi Kecamatan 2015
Berdasarkan data Tabel 6 diketahui bahwa penduduk Kecamatan Pamijahan didominasi oleh usia 15-29 tahun yang tergolong usia produktif (15 – 64 tahun) dengan presentase sebesar 30.29 persen. Hal ini menunjukkan bahwa persediaan tenaga kerja di Kecamatan Pamijahan cukup besar. Mayoritas penduduk Kecamatan Pamijahan berprofesi sebagai petani/peternak dengan presentase 33.40 persen. Data penduduk berdasarkan kelompok pekerjaan tersaji pada Tabel 8.
43
Tabel 8 Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Pamijahan Jenis pekerjaan Jumlah (orang) Petani 44 151 Pengrajin 6 646 Karyawan 21 906 Pedagang 23 727 Pegawai Negeri 789 TNI/Polri 17 Lainnya 34 957 Total 132 193
Presentase (%) 33.40 5.03 16.57 17.95 0.60 0.01 26.44 100.00
Sumber : Monografi Kecamatan 2015
Kualitas sumberdaya manusia salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Mayoritas penduduk Kecamatan Pamijahan tidak mendapatkan pendidikan formal. Disamping itu penduduk yang memiliki tingkat pendidikan S1 hanya sebesar 0.71 persen. Klasifikasi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pamijahan Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Presentase (%) Tidak sekolah 64 001 48.41 SD 20 324 15.37 SMP 27 213 20.59 SMA 19 088 14.43 D3 622 4.71 S1 945 0.71 Total 132 193 100.00 Sumber : Monografi Kecamatan 2015
Karakteristik Peternak Rakyat Ayam Ras Pedaging Karakteristik petani merupakan aspek penting dalam menilai keberhasilan usahatani. Seseorang yang mempunyai kemampuan pendidikan yang baik dan memiliki lebih banyak pengalaman serta kemampuan teknis yang memadai akan berada pada posisi yang terbaik (Setianingsih et al dalam Cempaka 2009). Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan usahaternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan, baik yang mengelola usaha secara mandiri maupun yang mengikuti kemitraan. Responden terdiri dari 30 peternak mitra dan 9 peternak mandiri. Karakteristik responden dibagi menjadi dua hal, yakni karakteristik peternak dan karakteristik usahaternaknya. Karakteristik peternak mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaaan di luar beternak ayam. Sedangkan karakteristik usahaternak mencakup lama usaha, kapasitas usaha, dan alasan beternak ayam ras. Karakteristik-karakteristik tersebut penting diketahui karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan peternak dalam pengelolaan usahanya.
44 Usia Usia peternak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dalam usahaternak ayam. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa peternak responden memiliki usia yang beragam, mulai 36-62 tahun. Mayoritas peternak mitra berusia antara 40-60 tahun dengan presentase sebesar 46.67 persen. Sedangkan peternak mandiri mayoritas berusia antara 31-40 tahun dengan presentase sebesar 55.56 persen. Peternak mandiri umumnya berusia lebih muda dibandingkan peternak mitra. Hal ini erat kaitannya dengan sikap berani mengambil risiko yang biasanya dimiliki oleh kelompok orang dengan usia yang lebih muda. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kelompok usia responden Peternak Mitra Kelompok Jumlah Presentase Usia (thn) (orang) (%) 31-40 3 10.00 41-50 14 46.67 51-60 8 26.67 >60 5 16.67 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 5 55.56 3 33.33 1 11.11 0 0.00 9 100.00
Jenis Kelamin Sebagian besar peternak ayam ras pedaging berjenis kelamin laki-laki, yakni sebesar 93.33 persen pada peternak mitra dan 100 persen pada peternak mandiri. Terdapat empat peternak mitra yang berjenis kelamin perempuan. Keempat peternak tersebut merupakan ibu rumah tangga yang memutuskan untuk beternak sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis kelamin responden Peternak Mitra Jenis Jumlah Presentase Kelamin (orang) (%) Laki-laki 28 93.33 Perempuan 2 6.67 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 9 100.00 0 0.00 9 100.00
Pendidikan Kecakapan dalam mengelola suatu usaha salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan pelaku usaha. Pendidikan dapat berupa pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Tingkat pendidikan formal peternak mitra relatif tersebar merata, namun mayoritas mengenyam pendidikan setingkat SMA dengan presentase masing-masing sebesar 33.33 persen. Sedangkan sebagian besar peternak mandiri berlatar belakang pendidikan SMA dan perguruan tinggi. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 12.
45 Tabel 12 Tingkat pendidikan formal responden Peternak Mitra Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (orang) (%) SD 6 20.00 SMP 8 26.67 SMA 10 33.33 Perguruan Tinggi 6 20.00 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 0 0.00 1 11.12 4 44.44 4 44.44 9 100.00
Pendidikan non-formal biasanya didapatkan dalam bentuk pelatihan atau penyuluhan. Seluruh peternak mitra pernah mendapatkan pelatihan pada awal mereka bergabung dengan perusahaan inti. Pelatihan biasanya ditujukan untuk menanamkan proses budidaya yang sesuai dengan prosedur perusahaan inti. Selama periode produksi pertama, perusahaan inti akan mendampingi peternak mitra baru secara intensif. Sedangkan pada peternak mandiri, penyuluhan biasanya didapatkan dari asosiasi dokter hewan. Pekerjaan di Luar Beternak Ayam Ras Pedaging Selain menjadi peternak ayam ras pedaging, beberapa responden memiliki pekerjaan lain yang juga menyita waktu serta tenaga. Sebesar 53.33 persen peternak mitra menjadikan usahaternak ayam ini sebagai prioritas, begitu pula yang terjadi pada 77.78 persen peternak mandiri. Dari 14 peternak mitra yang lebih dari setengahnya juga berprofesi sebagai PNS dan sisanya sebagai petani serta ibu rumah tangga. Sedangkan 77.78 persen peternak mandiri fokus mengelola usahaternak ayamnya. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan di luar beternak ayam dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 13 Pekerjaan di luar beternak ayam Peternak Mitra Pekerjaan lain Jumlah Presentase (orang) (%) Pegawai Negeri 9 30.00 Petani/peternak 3 30.00 Ibu Rumah Tangga 2 6.67 Tidak ada 16 53.33 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 0 0.00 2 22.22 0 0.00 7 77.78 9 100.00
Karakteristik Usahaternak Rakyat Ayam Ras Pedaging Lama Usaha Usahaternak ayam ras pedaging yang diusahakan oleh ke 39 responden memiliki lama usaha yang bervariasi antara 3 - 13 tahun. Mayoritas usaha ayam yang dimiliki oleh peternak mitra dan peternak mandiri berumur 5-10 tahun dengan presentase masing-masing sebesar 53.33 persen dan 55.56 persen. Sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada Tabel 14.
46 Tabel 14 Lama usaha ayam ras pedaging Peternak Mitra Lama Usaha (tahun) Jumlah Presentase (orang) (%) 1–5 9 30.00 5 – 10 16 53.33 10 - 15 5 16.67 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 2 22.22 5 55.56 2 22.22 9 100.00
Kapasitas Usaha Ayam Ras Pedaging Tiga puluh sembilan responden mengusahakan ayam ras pedaging dengan kapasitas yang berbeda, berkisar antara 3 000 hingga 10 000 ekor. Lima puluh persen peternak mitra mengusahakan ayam dengan kapasitas 3 001 – 5 000 ekor. Peternak mandiri umumnya berusaha dengan kapasitas yang lebih besar dibandingkan peternak mitra. seluruh peternak mandiri mengusahakan diatas 5 000 ekor ayam. Sebaran responden berdasarkan kapasitas usaha dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Kapasitas usaha ayam ras pedaging Peternak Mitra Kapasitas (ekor) Jumlah Presentase (orang) (%) 3 001 – 5 000 15 50.00 5 001 – 7 000 3 10.00 7 001 – 9 000 7 23.33 > 9 000 5 16.67 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 0 0.00 4 44.44 1 11.12 4 44.44 9 100.00
Alasan Beternak Ayam Ras Pedaging Terdapat tiga alasan utama yang menyebabkan responden bersedia menjalankan usahaternak ayam, yaitu keuntungan yang besar, perputaran modal yang yang lebih cepat dibandingkan usahaternak lainnya, dan sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Sebagian besar peternak mitra menjalankan usaha ini karena ekspektasi keuntungan yang besar. Dua orang peternak mitra yang memilih menjalankan usaha ini sebagai kegiatan mengisi waktu luang merupakan ibu rumah tangga. Mereka menyatakan bahwa mengelola usahaternak tidak menyita banyak waktu dan dapat dilakukan sambil menyelesaikan kegiatan rumah tangga. Sedangkan 66.67 persen peternak mandiri memilih usaha ini atas dasar perputaran modal yang cepat. Sebaran responden berdasarkan alasan beternak ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 16.
47 Tabel 16 Alasan beternak ayam ras pedaging Peternak Mitra Alasan Jumlah Presentase (orang) (%) Keuntungan yang besar 17 56.67 Perputaran modal cepat 11 36.67 Mengisi waktu luang 2 6.66 Jumlah 30 100.00
Peternak Mandiri Jumlah Presentase (orang) (%) 3 33.33 6 66.67 0 0.00 9 100.00
Budidaya Ayam Ras Pedaging Oleh Peternak Rakyat Teknik budidaya ayam ras pedaging yang dilakukan oleh peternak rakyat, baik peternak mitra maupun peternak mandiri pada dasarnya sama, yakni meliputi tiga tahap utama, yakni persiapan kandang, pemeliharaan, dan panen. Untuk setiap satu siklus produksi membutuhkan waktu sekitar 40-50 hari. Satu siklus produksi ayam ras pedaging dimulai dari persiapan kandang hingga panen. Peternak mitra biasanya maksimal memiliki enam siklus produksi selama satu tahunnya, sedangkan peternak mandiri bisa mencapai delapan siklus. Peternak mitra hanya memiliki enam siklus produksi dalam satu tahun karena perusahaan inti harus menyediakan sapronak secara bergiliran kepada peternak mitra lainnya. Hal ini menyebabkan peternak mitra terkadang harus menunggu untuk mendapat pasokan sapronak walaupun kondisi kandang sudah siap untuk digunakan berproduksi kembali. Persiapan Kandang Kandang yang akan digunakan untuk budidaya ayam harus benar-benar bersih, bebas dari mikroorganisme penyebab penyakit (patogenik), nyaman untuk ayam, dan terbebas dari gangguan yang menyebabkan ayam menjadi stress. 1. Pembersihan dan strerilisasi kandang Setelah siklus produksi sebelumnya telah selesai, maka kandang harus segera dibersihkan dan di sterilisasi. Kandang dibersihkan dari sekam, sisa kotoran, dan bulu-bulu yang tertinggal. Kemudian seluruh bagian kandang dicuci dengan menggunakan air bersih. Setelah kandang benar-benar bersih, kandang didiamkan selama 6 jam dan barulah disemprot formalin yang bertujuan untuk membunuh kuman dan virus. Setelah itu kandang disemprot desinfektan secara merata ke setiap sudut kandang dan lingkungan sekitar kandang. Kemudian kandang ditutup dan didiamkan kembali selama satu minggu. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum juga dicuci dengan air bersih dan detergen khusus di luar kandang supaya tidak mengotori kandang yang sudah dibersihkan. 2. Penebaran sekam dan pengaturan peralatan Sekam ditebar di lantai kandang dengan ketebalan 3-5 cm. Sekam yang digunakan harus bersih, kering, dan ditebar merata. Penggunaan sekam sebagai alas bertujuan untuk menghangatkan, mencegah luka pada ayam, dan menyerap air yang berasal dari kotoran mapun tumpahan minum sehingga lantai tetap kering. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum ayam disusun di dalam kandang sesuai dengan kebutuhan ayam. Tempat pakan dan tempat minum dipasang secara berselang-seling.
48 3. Persiapan indukan atau brooder Indukan atau brooder berfungsi untuk menghangatkan anak ayam. Peternak ayam di Kecamatan Pamijahan menggunakan kayu bakar atau briket batu bara yang dibakar di dalam tong sebagai pemanas. Setiap kandang cukup dengan satu pemanas karena biasanya hanya sebagian ruang kandang yang digunakan untuk memanaskan ayam. Kandang disekat dengan tirai maupun seng (chick guard) untuk memperkecil ruangan dan meminimalisir panas yang keluar. Ukuran brooder tergantung dari jumlah dan umur ayam. Semakin besar dan umur semakin bertambah, maka brooder diperluas. Usahakan udara di dalam kandang jangan terlalu pengap, artinya tetap harus memperhatikan kepentingan ventilasi udara bagi ayam. Brooder dipergunakan sampai ayam berumur kurang lebih 15 hari. Setelah ayam berumur diatas 15 hari, pada umumnya brooder mulai tidak dipergunakan lagi. Walaupun semua itu tergantung dari keadaan cuaca yang ada. Apabila kondisi cuaca dingin kemungkinan peternak akan menambah waktu dalam pemakaian broodernya. Pemeliharaan 1. DOC masuk Kandang sudah harus dipastikan kesiapannya dan pemanas juga dinyalakan minimal 2 jam sebelum DOC masuk. DOC yang datang harus diperiksa dulu kualitas dan beratnya secara acak. Selanjutkan DOC dimasukkan ke dalam kandang yang sudah hangat. DOC masuk diberi air untuk menghindari dehidrasi akibat perjalanan, lima jam kemudian barulah diberi pakan. 2. Pemberian pakan Sejak awal DOC masuk hingga berusia tujuh hari, tempat pakan yang digunakan bukan berupa hanging feeder, namun berupa nampan yang hanya diletakkan di atas sekam. Hal ini bertujuan untuk memudahkan anak ayam yang masih kecil menjangkau pakan mereka. Para peternak memilih menggunakan kardus bekas DOC sebagai tempat pakan untuk meminimalisir biaya investasi. Sepuluh hari pertama, pemberian pakan dilakukan sebanyak 5-6 kali sehari. Setelah sepuluh hari, pemberian pakan dilakukan 3-4 kali. Pemberian pakan diusahakan harus tepat waktu, terukur, seragam, dan pasti per tempat makan. Waktu pemberian pakan diusahakan dilakukan saat kondisi tidak sedang panas. Air minum yang diberikan pada ayam haruslah air bersih. Hal ini ditujukan untuk menghindari penyakit-penyakit yang utamanya ditimbulkan oleh bakteri. Pemberian minum pada ayam dilakukan sesering mungkin, jangan sampai tempat minum sudah kosong. 3. Pemberian vaksin dan obat-obatan Vaksinasi adalah pemasukan bibit penyakit yang dilemahkan ke tubuh ayam untuk menimbulkan kekebalan alami. Vaksinasi penting yang dilakukan oleh keseluruhan peternak yaitu vaksinasi ND (tetelo) dan IBD (gumboro). Vaksinasi ND dilaksanakan pada umur 4 hari dengan metode tetes mata dan pada umur 21 hari dengan vaksin ND Lasotta melalui suntikan atau air minum. Sedangkan vaksinasi IBD dilakukan saat ayam berumur 14 hari dengan cara tetes mulut. Pada peternak mitra, pemberian vaksin dilakukan oleh petugas dari perusahaan inti. Obat-obatan yang banyak digunakan adalah obat-obatan yang ditujukan untuk mengobati penyakit cocci (berak darah), coli, gumboro, CRD (ngorok), dan coryza (snot). Pemberian obat-obatan disesuaikan pada kondisi fisik ayam dan
49 gejala-gejala penyakit yang timbul. Penyakit yang timbul sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, khususnya kebersihan kandang. 4. Pengontrolan Pengontrolan harus sering dilakukan untuk mengetahui kondisi pakan, kondisi lingkungan (temperatur, kebersihan, kerusakan), dan kesehatan ayam. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengecek ketersediaan pakan dan minum ayam. Selanjutnya memastikan semua ayam makan dengan cukup yang ditunjukkan dengan pertumbuhan normal. Disamping itu, kebersihan kandang juga harus diperhatikan. Apabila sekam nampak mulai basah dan menggumpal harus segera dibalik, ditambah, atau diganti. Apabila kandang berbentuk panggung, maka pada saat ayam berumur 14 hari, seluruh sekam dapat diangkat. Sekam yang kotor tersebut harus segera dipindahkan dan diletakkan jauh dari kandang untuk mencegah kontaminasi penyakit. Sirkulasi udara dalam kandang juga harus diperhatikan. Selama tiga hari pertama, tirai kandang tidak perlu dibuka. Selepas masa itu, barulah tirai dibuka secara bertahap dan pada hari ke 10 tirai sudah bisa dibuka secara total supaya udara dalam kandang bersirkulasi dengan baik. Namun pengaturan tirai ini juga harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Kegiatan pengontrolan lainnya yang harus dilakukan adalah pengontrolan terhadap berat badan ayam. Kontrol berat badan ini ditujukan untuk mengetahui penambahan berat badan mingguan dan membandingkannya dengan standar berat yang ada. Kontrol berat dilakukan dengan menimbang sampel ayam yang diambil secara acak dari setiap bagian dan sudut kandang. Ayam dengan pertumbuhan yang tidak normal harus dipisahkan dengan ayam-ayam lainnya kemudian diberi perlakuan khusus. Seleksi juga dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan ayam. Setiap harinya dilakukan screening untuk mencari ayam yang pertumbuhannya lambat, cacat, kerdil, maupun sakit. Ayam yang sakit juga harus segera dipisahkan supaya tidak menularkan penyakit kepada ayam sehat. Biasanya saat ditemukan beberapa ayam sakit, peternak langsung melakukan tindakan pengobatan untuk seluruh ayam. Pemanenan Pada peternak mitra, seluruh keputusan panen ditentukan oleh inti. Inti menyesuaikan antara permintaan (jumlah dan berat yang diminta) dengan ketersediaan ayam di peternak mitra. Pembeli biasanya menghubungi inti untuk mengecek kesediaan ayam dan menyepakati harga. Setelah kedua belah pihak setuju, pembeli dan inti bertemu di kandang mitra untuk melakukan pemanenan. Menjelang waktu pemanenan, pemberian pakan sudah mulai dikurangi dan benarbenar dihentikan 4-5 jam sebelum ayam diangkat. Hal ini bertujuan untuk menghindari tembolok penuh dengan pakan sehingga berat ayam yang ditimbang tidak nyata. Kegiatan pemanenan biasanya dilakukan pada malam hari. Penangkap biasanya sudah dapat menduga berat dari penampakan fisik/ukuran ayam. Pemanenan dilakukan dengan menangkap kaki ayam secara hati-hati. Tujuannya agar didapatkan jumlah ayam yang cukup banyak dalam sekali tangkapan dan ayam-ayam yang ditangkap tidak memar atau rusak. Ayam dengan ukuran/berat serupa diikat dan ditimbang per sepuluh ekor, kemudian dicatat. Hal ini terus
50 dilakukan berulang kali hingga memenuhi kebutuhan pembeli. Selanjutnya ayamayam yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam keranjang pembeli. Biasanya satu keranjang berisi 20-22 ekor ayam. Setelah itu keranjang ayam disusun ke dalam pick-up/ truk dan diangkut ke tempat tujuan. Pembayaran dilakukan pembeli kepada inti sesuai dengan total berat ayam yang dibeli. Mekanisme pemanenan yang sama juga diterapkan oleh peternak mandiri. Hanya saja pada peternak mandiri segala keputusan disepakati antara peternak dengan pembeli secara langsung. Pembayaran juga dilakukan langsung kepada peternak. Harga yang digunakan merupakan kesepakatan antara inti atau peternak mandiri dengan calon pembeli (tengkulak). Harga yang ditetapkan untuk ayam ras pedaging ini dibedakan berdasakan berat ayam per ekor, semakin tinggi berat ayam per ekor maka harganya akan semakin rendah. Rata-rata harga per kilogram ayam ras pedaging yang diterima oleh peternak mitra lebih tinggi dibandingkan peternak mandiri. Harga rata-rata yang berlaku pada bulan Mei 2015 dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Harga ayam ras pedaging pada peternak mitra dan mandiri berdasarkan ukuran ayam di Kecamatan Pamijahan Mei 2015 Peternak Mitra Peternak mandiri Ukuran (kg) (Rp) (Rp) 0.8 – 1.0 19 266 19 075 1.0 – 1.2 18 495 18 319 1.2 – 1.4 17 677 17 503 1.4 – 1.6 16 611 16 530 1.6 – 1.8 15 820 15 633 1.8 – 2.0 15 177 15 113 >2,0 14 923 14 645 PT. Malindo Feedmill PT Malindo Feedmill Tbk didirikan untuk pertama kalinya pada tahun 1997 sebagai anak cabang dari dua perusahaan asal Malaysia yakni Leong Hup Holding Berhad dan Emivest Berhad sesuai Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Perusahaan ini memproduksi dan mendistribusikan pakan ternak, khususnya pakan ternak broiler dan Commerciall Day Chicks (DOC). Disamping itu, perusahaan ini juga berinvestasi pada anak perusahaan yang memproduksi dan memasarkan induk produksi DOC, Commercial DOC dan ayam broiler. Pada awal berdirinya tahun 1997, perusahaan ini bernama PT Gymtech Feedmill Indonesia yang kemudian berganti nama pada tahun 2000 menjadi PT malindo Feedmill sejak Lau Family mengambil alih usaha pakan ternak ini. Pada tahun 2003 perusahaan telah membukukan produksinya yang mencapai lebih dari 300.000 juta ton per tahunnya. Dengan ini perkembangan bisnis yang dicapai Malindo menempatkan perusahaan ini untuk "go public" dan mencatatkan sahamnya untuk pertama kali di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2006. Selain itu, perusahaan ini juga memberikan investasi terhadap PT Bibit Indonesia dan PT Prima Fajar masing-masing pada tahun 2003 dan 2007.
51 Perusahaan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 10 Februari 2006. Sejak tahun 2006, Perusahaan terus menerus secara konsisten mengembangkan bisnisnya secara berkelanjutan lewat ekspansi hingga dapat berkembang menjadi grup perusahaan dengan 4 entitas anak dengan kepemilikan langsung dan 1 entitas anak dengan kepemilikan tidak langsung yang memproduksi dan memasarkan induk ayam ras DOC (DOC Parent Stock), DOC Komersial, ayam ras pedaging dan makanan olahan. Pada tahun 2013, salah satu entitas anak Perusahaan meluncurkan produk ayam olahan dengan merek “SunnyGold” dan “Ciki Wiki”. Pada bulan November 2012, Malindo masuk dalam MSCI Global Small Cap Index, salah satu index yang dikeluarkan oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan dijadikan acuan para investor internasional dalam pertimbangan berinvestasi. Selama 4 tahun berturut-turut sejak 2011 hingga 2014, Perusahaan menerima “Best of The Best Top 50 Award” dari majalah bisnis dan keuangan Forbes Indonesia. Di tahun 2014, Perusahaan juga mendapat penghargaan Bisnis Indonesia Award 2014 dari surat kabar Bisnis Indonesia, untuk kategori Emiten Terbaik Sektor Industri Dasar dan Kimia. Perusahaan saat ini memiliki empat divisi usaha di sektor hulu dan hilir yang terdiri dari Divisi Pakan Ternak, Divisi Pembibitan Ayam, Divisi Peternakan Ayam Pedaging, dan Divisi Makanan Olahan. Divisi Pakan Ternak dijalankan oleh PT Malindo Feedmill Tbk dengan kontribusi terhadap total penjualan kotor terbesar, yaitu sejumlah 73.6 persen. Divisi Pembibitan Ayam dijalankan oleh PT Malindo Feedmill dan PT Bibit Indonesia dengan kontribusi terhadap total penjualan kotor sejumlah 16.9 persen. Divisi Peternakan Ayam Pedaging dioperasikan oleh PT Prima Fajar dan PT Leong Ayamsatu Primadona, sementara Divisi Makanan Olahan dipegang oleh PT Malindo Food Delight. Keempat divisi yang dimiliki perusahaan ini menjadikan Malindo sebagai perusahaan perunggasan yang melakukan integrasi vertikal (Gambar 8).
Gambar 7 Integrasi vertikal sektor perunggasan
52 Divisi Peternakan Ayam Pedaging Perusahaan dijalankan oleh PT Prima Fajar dan PT Leong Ayamsatu Primadona, berlokasi di Jawa Barat dan Sumatra. Divisi ini mencatat total penjualan sebesar Rp373.4 miliar di tahun 2014, meningkat sebesar Rp50 miliar atau 15.4 persen dibandingkan Rp323.4 miliar pada tahun 2013. Divisi ini memberikan kontribusi sebesar 8.3 persen dari total penjualan Perusahaan. PT. Leongsatu Primadona memiliki beberapa peternakan ayam pedaging yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Peternakan yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini adalah Kompleks Kandang II Subang. Kompleks Kandang II ini terdiri 3 flocks kandang closed house dengan luas kandang masing masing 4 978 m2, 4 978 m2, dan 4 124 m2. Biaya investasi untuk pembuatan ketiga kandang ini sebesar 6.268 milyar. Kandang closed house merupakan sistem kandang yang bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal yang dapat disesuaikan untuk kenyamanan ayam. Kandang tertutup ini harus sanggup mengeluarkan kelebihan panas, kelebihan uap air, gas-gas yang berbahaya seperti CO, CO2, dan NH3 yang ada di dalam kandang. Perberdaaan kandang tertutup dengan kandang terbuka antara lain: 1. Perbedaan Konstruksi Bahan Kandang Kandang tipe open house mempunyai dinding yang terbuka. Pada umumnya dinding kandang terbuka terbuat dari kayu atau bambu. Sedangkan pada kandang close house (merupakan inovasi yang diperkenalkan oleh industri peternakan ayam broioler di USA) biasanya terbuat dari bahan-bahan permanen seperti besi yang dilengkapi atap plavon. Bahan permanen seperti besi dipilih untuk melindungi berbagai alat peternakan yang terdapat di dalamnya. 2. Perbedaan Sirkulasi Udara Tipe kandang open house dengan dinding yang terbuka cenderung memiliki sirkulasi udara yang terlalu bebas, ini mengakibatkan ternak dapat terpapar udara bebas. Ternak tidak akan terlindung dari panas, dingin, angin, hujan, dan intensitas sinar matahari yang terik. Akibatnya ternak dengan kandang terbuka rawan terhadap berbagai penyakit akibat perubahan udara. Pada kandang close house menawarkan sirkulasi udara yang nyaman. Peternak dapat mengatur suhu udara yang diinginkan menggunakan berbagai peralatan yang terdapat di dalam kandang. Bila suhu udara terlalu panas, peternak dapat menggunakan cooling system yang ada untuk mendinginkan suhu di dalam kandang. 3. Perbedaan Higienitas Kandang open house (kandang terbuka) sama sekali tidak melindungi ternak dari kontak dengan dunia luar. Akibatnya, ternak sangat rentan terjangkit berbagai penyakit ataupun wabah ternak akibat bakteri dan virus yang tersebar melalui udara. Berbeda dengan konstruksi kandang close house yang menawarkan higienitas tingkat tinggi. Ternak terbebas dari kontak dengan lingkungan luar dan artinya lebih bebas dari segala ancaman penyakit. 4. Perbedaan Biaya Pembuatan Pembuatan kandang ayam tertutup membutuhkan biaya yang relatif jauh lebih mahal dari pada kandang terbuka. Peternak perlu membeli bahan-bahan permanen seperti besi, plavon, dan berbagai peralatan pendukung sirkulasi udara dalam kandang seperti pendingin dan kipas angin.
53 Walaupun biaya investasi yang diluarkan untuk pembuatan kandang jenis ini lebih tinggi daibandingkan kandang terbuka, namun penggunaan kandang closed house memiliki beberapa keunggulan dibandingkan open house, diantaranya: 1. Meningkatkan kapasitas pemeliharaan. Dengan sirkulasi udara lebih baik, kondisi lingkungan yang nyaman, dan sistem pemberian pakan yang otomatis, maka peningkatan kapasitas pemeliharaan per meter persegi dapat ditingkatkan tanpa membuat ayam merasa terganggu. 2. Ayam lebih sehat, nyaman, segar dan tenang karena semakin sedikitnya kontak dengan manusia. Selain itu kandang juga benar-benar dijaga kebersihannya sehingga meminimalisir kemungkinan terjadinya penyakit pada ayam. 3. Efisiensi tenaga kerja. Karena sistem ini memiliki kendali otomatis maka penggunaan tenaga kerja dapat berkurang. Misalnya untuk pemberian pakan sudah tidak perlu lagi ada pekerja yang menuangkan pakan ke tempat pakan secara satu-persatu 4. Mendukung produktivitas maksimal. Dengan tingkat kematian ayam yang rendah, maka produksinya menjadi lebih tinggi. Padahal di sisi lain penggunaan input pada kandang tertutup ini lebih rendah. Hal ini menyebabkan produktivitas menjadi lebih tinggi. Kebijakan Pemerintah Pada Agribisnis Ayam Ras Pedaging Menurut Pearson et al. (2005) terdapat 3 tujuan diberlakukannya kebijakan pemerintah yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan. Yang dimaksud dengan efisiensi di sini yaitu alokasi sumber daya yang dapat memberikan keuntungan yang maksimum dan memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan adalah distribusi pendapatan antara berbagai golongan masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan ketahanan adalah ketersediaan pasokan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Monke dan Pearson (1989) membagi kebijakan dalam tiga kategori yaitu: (1) Kebijakan komoditas (harga output atau input); (2) Kebijakan faktor (kebijakan yang berpengaruh langsung terhadap biaya tenaga kerja, lahan dan modal) dan (3) Kebijakan makroekonomi (kebijakan yang mempengaruhi kegiatan ekonomi nasional). Berbagai kebijakan pada agribisnis ayam ras pedaging dipaparkan sebagai berikut. Kebijakan Output Daging Ayam Ras Dalam rangka melindungi pelaku usaha/produsen dan konsumen, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkait dengan pemasukan produk ayam ras. Masuknya produk ayam ras dari luar negeri akan mengancam keberlangsungan pengusahaan ayam dalam negeri, terutama yang diusahakan oleh peternak rakyat. Sehingga untuk tetap dapat memberdayakan peternak maka pemerintah perlu mengatur jumlah dan jenis produk yang dapat dimasukkan ke Indonesia (PP No.6 Tahun 2013). Pemerintah memberlakukan kebijakan proteksi terhadap impor daging ayam dengan menyatakan bahwa pemasukan produk hewan atau bahan pangan dari luar negeri ke Indonesia hanya dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan nasional (UU No. 41 Tahun 2014 dan UU No. 18 Tahun 2012).
54 1. PP No.6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak a. Perlindungan harga Produk Hewan dilakukan melalui: i. Penetapan jumlah dan jenis produk hewan yang dapat dimasukkan dari luar negeri serta unit usaha di negara asal. ii. Pengaturan mengenai penyerapan produk hewan dalam negeri bagi pemasok produk hewan dari luar negeri. iii. Pemberian jaminan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, aman, sehat, dan utuh. (pasal 45 ayat :1). b. Penetapan jumlah dan jenis Produk Hewan sebagaimana dimaksud harus memperhatikan ketersediaan Produk Hewan yang dihasilkan di dalam negeri dan kebutuhan Produk Hewan dalam negeri. (Pasal 45 Ayat : 2). 2. UU No. 41 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan a. Pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi (Pasal 36B pada ayat :1). b. Setiap orang dilarang mengedarkan produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah NKRI yang tidak disertai dengan sertifikat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan (Pasal 58 ayat : 5). c. Persyaratan dan tatacara pemasukan produk hewan (segar dan olahannya) dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta mengutamakan kepentingan nasional (Pasal 59 ayat : 4). d. Pemasukkan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta memperhatikan kebijakan perwilayahan bibit (Pasal 15 ayat : 2). 3. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan a. Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri (Pasal 36 ayat : 1). b. Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha mikro dan kecil (Pasal 39). Selanjutnya, apabila impor terpaksa dilakukan maka harus memenuhi persyaratan pemasukan bahan pangan/ produk ternak yang ditetapkan (PP No.85 Tahun 2012 dan Permentan No. 139 Tahun 2014) yaitu pemasukan hanya boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri, dalam bentuk karkas utuh, berasal dari unit usaha halal, dan penyembelihan dilakukan secara halal dan manual (oleh juru sembelih halal). Ketentuan halal yang sangat ditekankan di Indonesia menjadi salah satu bentuk natural barrier yang dapat berperan sebagai hambatan impor. Selain itu, daging ayam yang masuk juga harus memenuhi persyaratan terkait Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (PP No. 28 Tahun 2004), serta Perlindungan Konsumen (UU No.8 tahun 1999).
55 1. PP No.85 Tahun 2012 Tentang Kesmavet dan Kesejahteraan Hewan a. Produk Hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk diedarkan, harus berasal dari Negara dan unit usaha yang telah disetujui Menteri. (Pasal 29). b. Dalam memberikan persetujuan tersebut, Menteri harus mempertimbangkan status penyakit hewan menular di negara asal, dan hasil analisis risiko rencana pemasukan produk hewan dari luar negeri (Pasal 30 ayat : 2). 2. Permentan No. 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 13) a. Unit usaha harus di bawah pengawasan dan terdaftar sebagai unit usaha pengeluaran oleh otoritas veteriner negara asal b. Tidak menerima hewan dan/atau mengolah produk hewan yang berasal dari negara tertular penyakit hewan menular. c. Menerapkan sistem jaminan keamanan pangan sesuai dengan ketentuan internasional yang dibuktikan dengan sertifikat sistem jaminan keamanan pangan yang diterbitkan oleh otoritas kompeten yang diakui secara internasional. d. Memiliki dan hanya menerapkan sistem jaminan kehalalan untuk seluruh proses produksi (fully dedicated for halal practices) serta mempunyai pegawai tetap yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penyembelihan, pemotongan, penanganan, dan pemrosesan secara halal. e. Mempunyai juru sembelih halal bagi rumah potong hewan selain rumah potong hewan babi dan disupervisi oleh lembaga sertifikasi halal yang diakui oleh otoritas halal Indonesia. 3. PP No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan a. Terhadap pangan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas kewenangan masing-masing dapat menetapkan persyaratan bahwa: i. Pangan telah diuji, diperiksa dan/atau dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal. ii. Pangan telah memenuhi standar dan persyaratan lain, Menteri wajib memperhatikan perjanjian TBT/SPS, WTO atau perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah. iii. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan. iv. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum diedarkan (Pasal 37:ayat : 1). 4. UU No.8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label (Pasal 8 ayat (1) huruf a dan h).
56 Selain kebijakan-kebijakan diatas, terdapat kebijakan tarif impor daging ayam (Perpres No 26 tahun 2011 tentang Persetujuan pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN–Australia–Selandia Baru; Permenkeu No 208 tahun 2013 tentang penetapan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka perdagangan bebas ASEAN-Australia–Selandia Baru; Permenkeu No 213 tahun 2011 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor). Peraturan-peraturan tersebut menetapkan besar tarif impor untuk daging ayam sebesar 5 persen. Kebijakan Input Ayam Ras Pedaging 1. Pengaturan sumber daya genetik (SDG) hewan dan perbibitan ternak (pasal 12 UU No 18 tahun 2009; PP No 48 tahun 2011; Permentan No 19 tahun 2012). Peraturan ini mengatur penguasaan SDG Hewan, pengelolaan SDG Hewan; perbibitan ternak, pemasukan dan pengeluaran SDG Hewan, benih, dan/atau bibit ternak dan sistem dokumentasi dan jaringan informasi SDG Hewan dan perbibitan ternak. Permentan No 19 tahun 2012 dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi: (1) Pelaku usaha dalam memproduksi benih, bibit, dan/atau SDG Hewan; (2) Pelaku usaha dalam melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran benih dan/atau bibit dan (3) pelaku usaha dalam pengeluaran SDG Hewan dan pengawas bibit ternak dalam melaksanakan pengawasan mutu benih, bibit dan/atau SDG hewan. Adapun Peraturan Menteri ini bertujuan agar benih dan/atau bibit yang beredar memenuhi standar mutu dan produksi. 2. Penyediaan bibit ayam atau DOC mengutamakan produksi dalam negeri (Pasal 13 UU No 18 tahun 2009). 3. Pengaturan pemenuhan kebutuhan pakan, pengawasan peredaran pakan, batasan tertinggi cemaran dalam pakan dan persyaratan teknis pakan (Pasal 19Pasal 23 UU No 18 tahun 2009). 4. Pedoman pengawasan mutu pakan (Permentan No 65 tahun 2007). Peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin mutu pakan yang diberikan kepada ternak telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis minimal guna meningkatkan produksi ternak. Ruang lingkup peraturan ini meliputi pengawas mutu pakan, rencana pengawasan, lokasi dan obyek pengawasan, tata cara dan teknik pengambilan sampel, tata cara pengawasan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pengawasan mutu pakan meliputi persyaratan administratif seperti surat izin usaha, label atau nomor pendaftaran, kualitas pakan dan bahan baku serta pengemasan. Adapun lokasi pengawasan dilakukan di tingkat produsen, distributor/agen/pengecer, alat transportasi dan pengguna bahan baku pakan dan pakan. Namun demikian peraturan ini belum mengatur beredarnya pakan yang berasal dari impor. 5. Syarat dan tata cara pendaftaran pakan (Permentan No 19 tahun 2009). Peraturan ini merupakan dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran, pengujian, dan labelisasi pakan, dengan tujuan agar pakan yang beredar terjamin keamanannya dan memenuhi standar mutu pakan. Ruang lingkup peraturan antara lain mengenai persyaratan pendaftaran, tata cara pendaftaran, biaya pengujian, pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan sanksi. Peraturan
57 ini telah memuat aturan mengenai pakan yang berasal dari impor sehingga peraturan diberlakukan sama terhadap pakan domestik maupun impor. Selain itu kini industri perunggasan ayam ras menghadapi over-suplay / kelebihan pasokan DOC FS sebagai konsekuensi bahwa ayam ras telah menjadi industri yang pada dasarnya harus dikendalikan sendiri oleh industri ayam ras sehingga dapat suistanable. Adapun upaya pengendalian tersebut adalah pengendalian terhadap kelebihan DOC FS dengan : a. Pengurangan produksi DOC FS melalui afkir dini PS b. Pengaturan import bibit DOC GGPS dan GPS yang disesuaikan dengan kebutuhan c. Para pelaku usaha perunggasan ayam ras melakukan usaha yang transparan untuk kepentingan usaha perunggasan ayam ras secara keseluruhan. Berbagai peraturan tersebut diberlakukan untuk pemenuhan standar mutu dari berbagai input produksi ayam ras pedaging, sehingga diharapkan kualitas input produksi terjamin. Khusus untuk input produksi yang berasal dari impor, peraturan ini juga dapat berfungsi sebagai faktor pembatas non tarif terhadap jumlah impor input produksi tersebut. Selain kebijakan non tarif, ada pula kebijakan tarif terhadap input produksi. Kebijakan ini diharapkan industri hulu usaha ayam ras pedaging dapat lebih berkembang karena adanya pembatasan input produksi impor. Namun, bagi pemerintah daerah pungutan retribusi dimaksudkan agar memastikan keamanan pakan yang beredar. Adapun kebijakan tarif input produksi ayam ras pedaging diatur dalam peraturan: 1. Tarif pakan ternak sesuai dengan Permenkeu No 213 tahun 2011 bervariasi antara 0% dan 5%. Input produksi yang dikenakan tarif sebesar 5% antara lain dedak padi, tepung jagung, bahan tepung tulang dan vitamin B6 sedangkan input yang tidak dikenakan adalah premiks atau bahan tambahan makanan dan vitamin campuran pakan. 2. Selain kebijakan yang telah disebutkan diatas, pemerintah juga telah mensubsidi bahan bakar minyak. Berkenaan dengan input maka adanya subsidi akan memproteksi peternak dikarenakan peternak akan membayar ongkos transportasi pembelian input produksi lebih murah dibandingkan harga sesungguhnya.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Input Produksi Ayam Ras pedaging 1. DOC, Pakan, dan Obat-obatan Input utama dari usahaternak ayam ras pedaging adalah DOC, pakan, dan obat-obatan. Disebut input utama karena ketiga input ini merupakan input yang paling menentukan keberhasilan usahaternak ayam ras pedaging ini dan ketiganya merupakan komponen penyusun biaya yang terbesar. Tabel 18 menunjukkan penggunaan input produksi utama untuk memproduksi satu ton karkas.
58 Tabel 18 Penggunaan DOC, pakan, dan obat-obatan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Peternak Rakyat Uraian Perusahaan Mitra Mandiri DOC (ekor) 1 361.26 1 421.67 933.54 Pakan (kg) 2 333.22 2 450.29 1 656.92 Obat cair (ml) 928.37 1 186 37.34 Obat padat (kg) 0.99 1.02 0.00 Vitamin (kg) 0.63 1.24 0.69 Skim (kg) 0.26 0.35 0.24 Jumlah input utama yang digunakan oleh perusahaan untuk memproduksi satu ton karkas ayam lebih rendah dibanding peternak rakyat, baik mitra maupun mandiri. Jumlah DOC yang diperlukan untuk memproduksi 1 ton karkas pada perusahaan hampir 30 persen lebih rendah dari penggunaan oleh peternak rakyat. Jumlah pakan yang digunakan perusahaan merupakan yang terendah, yakni 1 656.92 kg terdiri dari 933.54 pakan starter dan 1 198.17 pakan finisher. Sedangkan penggunaan pakan yang paling banyak adalah oleh peternak mandiri dengan jumlah pakan yang digunakan sebanyak 2 450.29 kg. Berdasarkan data pada Tabel 18, diketahui bahwa penggunaan pakan oleh peternak rakyat lebih boros dibandinngkan perusahaan. Hal ini dapat disebabkan oleh manajemen pemberian pakan pada peternak rakyat yang tidak efisien, dimana banyak ditemukan pakan yang tercecer di dalam dan sekitar kandang. Banyaknya pakan yang tercecer sering terjadi karena ketidakhati-hatian saat memindahkan pakan dan saat menuangkan pakan ke dalam feeder. Berbeda dengan pengusahaan oleh perusahaan, tercecernya pakan sangat jarang terjadi di dalam kandang closed house. Hal ini disebabkan karena pemberian pakan di dalam kandang tidak dilakukan oleh manusia, namun sudah dilakukan secara otomatis oleh mesin melalui pipa-pipa. Obat-obatan yang digunakan selama masa produksi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu obat cair, obat padat, dan obat penunjang. Obat cair terdiri dari vaksin ND, vaksin IBD, obat cocci, obat CRD, dan obat coryza. Sedangkan obat padat berupa Ampicol dan Therapy yang biasa digunakan untuk mengobati IBD dan coli. Vitamin dan skim digolongkan kepada obat penunjang. Vitamin yang digunakan peternak ayam ras pedaging biasanya ditujukan untuk menurunkan FCR, merangsang pertumbuhan, dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Sedangkan skim biasanya digunakan untuk campuran air minum ayam setelah dilakukan vaksinasi. Rata-rata penggunaan obat-obatan pada perusahaan juga paling sedikit dibandingkan peternak rakyat. Obat-obatan yang digunakan perusahaan hanya berupa vaksin ND dan IBD untuk diberikan di awal pemeliharaan. Kandang yang bersih dapat menekan penyebaran penyakit ayam. Selain itu kondisi kandang yang dapat diatur sesuai standar kenyamanan ayam membuat ayam-ayam yang dibudidayakan di kandang closed house menjadi tidak mudah stress. Kedua hal tersebut menyebabkan ayam yang diproduksi perusahaan tidak mudah terserang penyakit dan dapat meminimalisir penggunaan obat-obatan. Peternak mitra menggunakan obat-obatan lain sepanjang periode produksi. Namun penggunaan obat oleh peternak mitra lebih sedikit jumlahnya dibandingkan
59 peternak mandiri. Hal ini dikarenakan pengunaan obat-obatan pada peternak mitra dikontrol oleh petugas medis dari perusahaan. Pengontrolan oleh petugas medis pada peternak mitra menyebabkan waktu, jumlah, dan dosis pemberian obat benarbenar tepat. Sedangkan pada peternak mandiri, pemberian obat-obatan tidak seakurat pada peternak mitra, biasanya hanya didasarkan pada perkiraan peternak. Peternak mandiri juga cenderung memberikan obat-obatan secara berlebih dengan asumsi semakin banyak obat yang diberikan maka semakin cepat untuk mencegah maupun mengobati penyakit. Padahal dalam prakteknya penggunaan obat yang berlebihan tidak saja meningkatkan biaya untuk pembelian obat-obatan namun juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan ternak, misalnya ayam menjadi kebal terhadap penyakit maupun hyperactive. Peternak mandiri menggunakan vitamin dengan jumlah yang jauh lebih tinggi dibandingkan peternak mitra. Rata-rata penggunaan vitamin pada peternak mandiri hampir dua kali dibanding penggunaan pada peternak mitra dan perusahaan. Peternak mitra dan perusahaan menggunakan vitamin sebesar sebesar 0.63 kg dan 0.69 kg sedangkan pada peternak mandiri sebesar 1.24 kg. Peternak mandiri menganggap penggunaan vitamin yang banyak sangatlah penting pada masa pemeliharaan ayam karena dapat menekan penggunaan pakan, merangsang pertumbuhan, dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Hal ini tidak sepenuhnya benar dibuktikan dengan penggunaan pakan dan mortalitas pada peternak mandiri yang justru lebih tinggi. Efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat dari nilai Feed Convertion Ratio (FCR). FCR menggambarkan berapa banyak (kg) pakan yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging, semakin kecil nilai FCR akan semakin baik. Nilai FCR didapatkan dari membagi jumlah pakan selama pemeliharaan dengan total bobot ayam yang dipanen. Tingkat FCR dan mortalitas ayam dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Peternak Rakyat Uraian Perusahaan Mitra Mandiri FCR 1.40 1.46 1.29 Mortalitas (%) 5.19 5.37 3.71 Besarnya FCR pada Tabel 18 menunjukkan bahwa penggunaan pakan pada peternak mandiri tidak lebih efisien walaupun penggunaan vitaminnya jauh lebih tinggi dibanding peternak mitra. Berdasarkan nilai FCR dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan yang paling efisien dilakukan oleh perusahaan dengan nilai FCR sebesar 1.29 sedangkan yang paling inefisien adalah peternak dengan FCR sebesar 1.46. Tingkat kematian ayam atau mortalitas pada peternak mandiri juga lebih tinggi dibandingkan pada peternak mitra dan perusahaan. Mortalitas terendah dimiliki oleh perusahaan dengan tingkat kematian sebesar 3.71 persen. Angka 3.71 memiliki arti bahwa dari 1 000 ekor ayam masuk, maka sampai akhir masa produksi terdapat rata-rata 37 ekor ayam yang mati. Mortalitas yang tinggi pada peternak mandiri menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan serta vitamin dalam jumlah besar tidak secara signifikan dapat meningkatkan kesehatan dan ketahanan hidup ayam. Mortalitas ayam
60 memang tidak hanya dipengaruhi oleh obat-obatan yang diberikan. Fakor lain yang terbukti dapat mempengaruhi tingkat kematian ayam adalah kepadatan kandang. 2. Penggunaan input penunjang Input penunjang dalam usaha ayam ras pedaging berupa detergen, formalin, sekam, kayu bakar, dan kapur. Detergen dan formalin digunakan untuk membersikan kandang serta peralatannya sebelum masa pemeliharaan dimulai. Sterilisasi kandang sangat penting untuk memutus rantai penyakit dari periode produksi sebelumnya. Sekam berfungsi sebagai alas kandang dan kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar saat masa pemanasan. Penggunaan input penunjang dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Penggunaan input penunjang pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Peternak Rakyat Uraian Perusahaan Mitra Mandiri Detergen (lt) 0.77 0.73 1.36 Formalin (lt) 0.94 0.62 0.79 Sekam (kg) 1 294.32 1 216.20 949.72 Bahan bakar (kg) 420.97 510.00 16.76 Penggunaan detergen dan formalin tertinggi dimiliki oleh perusahaan sedangkan yang terendah adalah peternak mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sangat memperhatikan kebersihan kandang sejak awal masa produksi. Sedangkan bagi peternak mitra, kebersihan kandang merupakan salah satu tuntutan dari perusahaan inti yang harus dipenuhi oleh peternak mitra. Sebelum input produksi dikirim ke kandang, petugas dari perusahaan inti akan mengecek dan memastikan kebersihan kandang. Apabila kandang belum bersih dan layak pakai sesuai dengan standar yang ditetapkan, maka DOC, pakan, dan input lainnya tidak akan diantarkan. Selain input untuk pembersihan kandang, jumlah sekam yang digunakan untuk oleh peternak mitra juga lebih banyak dibandingkan peternak mandiri. Selama masa pemeliharaan ayam, sekam yang digunakan sebagai alas kandang akan menjadi basah dan menggumpal akibat kotoran ayam maupun tumpahan air minum. Biasanya apabila sudah mulai basah dan menggumpal, maka sekam segera dibalik agar tetap kering dan nyaman. Namun, apabila sudah memasuki hari ke 15, biasanya seluruh bagian sekam sudah basah, sehingga harus menambahkan atau mengganti dengan sekam baru. Peternak mitra lebih sering melakukan penggantian sekam dibandingkan peternak mandiri. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan sekam oleh peternak mitra lebih banyak dibandingkan peternak mandiri. Bahan bakar pemanas selama masa brooding yang digunakan oleh peternak rakyat adalah kayu bakar, sedangkan bahan bakar yang digunakan oleh perusahaan adalah gas. Kayu bakar yang digunakan peternak mitra lebih banyak dibandingkan peternak mandiri. Banyak sedikitnya kayu bakar yang digunakan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain cuaca, letak kandang, dan bentuk kandang. Apabila cuaca sering hujan atau temperatur udara dingin, maka pemanasan akan lebih lama sehingga meningkatkan penggunaan kayu bakar. Namun perbedaan penggunaan
61 kayu bakar antara peternak mitra dan mandiri tidak dapat didasarkan atas faktor cuaca karena cuaca akan perubahan pada keduanya. Alasan yang paling mungkin menyebabkan perbedaan penggunaan kayu bakar adalah bentuk dan lokasi kandang. Kandang berbentuk panggung relatif lebih dingin dan membutuhkan lebih banyak pemanasan dibanding kandang postal. Terdapat tiga responden yang memiliki kandang berbentuk panggung dan ketiganya merupakan peternak mandiri. Selain itu kecenderungan letak atau lokasi kandang milik peternak mandiri dan peternak mitr juga berbeda. Peternak mitra cenderung membangun kandang di lahan sempit yang sangat dekat dengan tempat tinggal mereka. Kandang yang dibangun dekat pemukiman akan lebih hangat dibandingkan kandang yang sekelilingnya kosong. Kedua hal tersebutlah yang diduga menjadi penyebab perbedaan penggunaan kayu bakar antara peterna mitra dan peternak mandiri selama masa brooding. 3. Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam usahaternak ayam ras pedaging dibedakan menjadi tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Peternak mitra tidak ada yang menggunakan pekerja luar keluarga, sehingga seluruh kegiatan dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga. Peternak mandiri menggunakan TKDK dan TKLK, maupun salah satunya. Sedangkan perusahaan hanya mengunakan TKLK. Tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita tidak dibedakan karena kegiatan yang dikerjakan dalam usahaternak ayam ras pedaging ini tidak membutuhkan kerja fisik yang berat seperti pengolahan lahan dalam usahatani. Penggunaan tenaga kerja baik yang berasal dari keluarga maupun dari luar keluarga telah dikonversi dalam satuan hari orang kerja (HOK). Nilai HOK didapatkan dengan mengalikan jumlah pekerja dengan waktu melakukan suatu pekerjaan, kemudian dibagi dengan jam kerja efektif dalam satu hari (8 jam). Seluruh kegiatan usahaternak ayam ras pedaging pada peternak mitra dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Peternak mitra enggan menggunakan tenaga kerja luar keluarga karena merasa belum perlu dan menganggap bahwa dengan membayar pekerja akan mengurangi pendapatan. Tenaga kerja luar keluarga hanya digunakan oleh peternak mandiri. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 21.
62 Tabel 21 Rata – rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1 ton karkas) Peternak Rakyat Perusahaan Uraian Mitra Mandiri TKDK TKDK TKLK TKLK Pencucian 1.31 0.40 1.22 0.89 Pengapuran 0.43 0.06 0.24 0.26 Desinfeksi 0.32 0.00 0.23 0.10 Pengaturan alat 0.34 0.08 0.19 0.81 Pemanasan 2.57 0.39 1.81 0.45 Pemberian pakan 4.62 1.87 3.60 1.63 Pemberian obat 1.42 0.32 1.43 0.93 Pembersihan 2.90 0.63 2.42 2.25 Panen 1.59 0.58 0.75 0.86 Jumlah 15.50 4.33 11.89 8.17 Tabel 21 menunjukkan rata-rata curahan tenaga kerja pada masing-masing jenis pengusahaan ayam ras pedaging, baik peternak mitra, peternak mandiri, maupun perusahaan. Curahan tenaga kerja di kandang tertinggi terdapat pada peternak mandiri dengan penggunaan tenaga kerja sebesar 16.22 HOK. Curahan tenaga kerja pada peternak rakyat hampir dua kali curahan tenaga kerja pada perusahaan. Hal ini disebabkan karena pemeliharaan ayam yang dilakukan oleh perusahan sudah banyak dilakukan secara otomatis oleh mesin-mesin. Curahan tenaga kerja pada peternak rakyat paling banyak digunakan untuk pemberian pakan. Sedangkan pada perusahaan curahan tenaga kerja paling banyak digunakan untuk pembersihan kandang. Hal ini dikarenakan pembersihan kandang closed house tetap harus dilakukan oleh manusia. Sebagian besar kegiatan dalam usahaternak ayam pada peternak mandiri dilakukan oleh tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga mengerjakan 73.3 persen kegiatan pemeliharaan selama satu periode budidaya. Hal ini berarti bahwa semakin besar skala usaha yang dimiliki oleh peternak mandiri, maka keterlibatan pemilik terhadap kegiatan budidaya akan semakin kecil. Biaya dan Penerimaan Biaya yang dikeluarkan oleh peternak rakyat, baik mitra maupun mandiri, dibedakan menjadi dua, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh peternak di farm dan biaya yang dikeluarkan pedagang hingga ke pasar. Hal ini dikarenakan output yang diproduksi oleh peternak rakyat hanya sampai berbentuk ayam hidup siap potong. Selanjutnya ayam hidup tersebut dibeli oleh pedagang besar untuk kemudian diolah/dipotong dan dijual dalam bentuk karkas. Biaya yang dikeluarkan oleh peternak di farm terdiri dari biaya sarana produksi utama (DOC, Pakan, dan Obatobatan), biaya bahan pembersih kandang, biaya bahan bakar, biaya listrik, biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biaya tenaga kerja, biaya penyusutan, biaya sewa lahan, dan biaya bunga modal. Sedangkan dan biaya yang oleh pedagang terdiri dari biaya transportasi dari kandang, biaya pemotongan, dan biaya transportasi hingga
63 ke pasar. Biaya transportasi disini sudah memperhitungkan penggunaan kendaran angkut, biaya bahan bakar, tol, dan upah tenaga kerja (supir dan anak buahnya). Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak dibedakan menjadi dua seperti yang terjadi pada peternak rakyat. Hal ini dikarenakan perusahaan melakukan integrasi proses produksi, dimana budidaya di farm hingga pemotongan dan penanganan di RPA yang mengasilkan output karkas dilakukan sendiri perusahaan. Biaya dan Penerimaan Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mitra Komponen biaya pengusahaan daging ayam yang dimulai oleh peternak mitra untuk memproduksi 1 ton karkas terdiri dari biaya produksi ayam hidup di farm yang ditanggung peternak serta biaya pemotongan dan transportasi yang ditanggung pedagang. Biaya yang dikeluarkan oleh peternak untuk memproduksi ayam hidup mencapai 89.73 persen dari biaya total memproduksi karkas. Sedangkan proporsi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang sebesar 12.07. Biaya pengusahaan ayam ras pedaging yang diawali oleh peternak mitra dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mitra (per ton karkas) Uraian Peternak DOC Pakan obat-obatan cair obat-obatan padat Pembersih kandang Sekam Bahan Bakar Listrik PBB Tenaga kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total biaya Peternak (a) Pedagagang Transportasi kandang ke RPA Pemotongan dan penanganan Transportasi RPA ke pasar Total biaya Pedagang Biaya total (b)
Satuan
Jumlah (satuan)
Harga (Rp/ satuan)
ekor kg ml ml lt kg kg
1 361.26 2 333.22 927.38 1.88 1.71 1 294.32 420.97
4 424 6 449 819 156 105 21 847 155 704
HOK HOK
0.00 16.50
0.00 28 813
m2
95.84
1 333
Biaya (Rp) 6 022 631 15 046 415 759 902 294 008 37 435 200 228 296 315 78 274 2 515 0 475 367 154 713 68 359 127 793 3 298 954 26 862 909 2 395 544 1 291 993 718 500 3 687 537 30 550 446
Alokasi thd a (% ) 22.42 56.01 2.83 1.09 0.14 0.75 1.10 0.29 0.01 0.00 1.77 0.58 0.25 0.48 12.28 100.00
Alokasi thd b (% ) 19.71 49.25 2.49 0.96 0.12 0.66 0.97 0.26 0.01 0.00 1.56 0.51 0.22 0.42 10.80 89.73 7.84 4.23 2.35 12.07
Pengeluaran terbesar dari usahaternak ayam ras pedaging dialokasikan untuk pembelian pakan. Peternak mitra ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan tidak menggunakan pakan starter, melainkan hanya menggunakan jenis pakan finisher selama masa pemeliharaan. Biaya pakan mencapai 56.01 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 49.25 persen dari total biaya produksi karkas. Pengeluaran terbesar kedua adalah DOC dimana harga beli DOC rata-rata pada kelompok peternak mitra sebesar Rp4 424 per ekor. Biaya DOC ini mencapai
64 22.42 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 19.71 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya penggunaan obat-obatan pada peternak mitra sebesar Rp1 053 910 atau sekitar 3 4 persen dari total biaya produksi. Harga obat-obatan yang diterima peternak mitra lebih mahal dibanding peternak mandiri, namun jumlah penggunaan obat-obatan oleh peternak mitra lebih rendah. Dosis dalam pemberian obatan-obatan pun relatif lebih tepat dibandingkan pada peternakan mandiri. Hal inilah yang menjadi penyebab jumlah dan biaya obat-obatan yang digunakan peternak mitra dapat lebih kecil dibanding peternak mandiri. Bunga modal menjadi komponen penyusun biaya terbesar ketiga, yakni sebesar 10.80 persen dari total biaya yang dikeluarkan unntuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 12.28 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya modal ini didapatkan dari perkalian antara jumlah modal kerja yang dibutuhkan perperiode produksi ayam siap potong dengan tingkat bunga yang berlaku (14 persen). Penerimaan yang diterima peternak mitra adalah penerimaan dari penjualan ayam hidup siap potong, penerimaan dari penjualan kotoran, dan penerimaan dari insentif perbedaan harga. Penerimaan dari ayam hidup siap potong sebesar Rp28 889 886.26. Sedangkan penerimaan dari penjualan kotoran sebesar Rp105 485.43. insentif yang didapatkan dari adanya selisish harga jual dengan harga kontrak sebesar Rp761 837.13. Penerimaan yang diterima pedagang dalam rantai nilai daging ayam ras yang dimulai dari peternak mitra adalah penerimaan dari penjualan karkas kan penjualan produk sampingan. Penerimaan dari penjualan karkas sebesar Rp 31 880 000 per ton dan penerimaan dari penjualan produk sampingan per ton karkas sebesar Rp4 743 240.85. Biaya dan Penerimaan Pengusahaan Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri Komponen biaya pengusahaan daging ayam yang dimulai oleh peternak mandiri untuk memproduksi 1 ton karkas terdiri dari biaya produksi ayam hidup di farm yang ditanggung peternak serta biaya pemotongan dan transportasi yang ditanggung pedagang. Biaya yang dikeluarkan di kandang untuk memproduksi ayam hidup mencapai 85.54 persen dari biaya total memproduksi karkas. Sedangkan proporsi biaya yang dikeluarkan untuk pemotongan dan pemasaran sebesar 14.46 persen. Biaya pengusahaan ayam ras pedaging yang diawali oleh peternak mandiri dapat dilihat pada Tabel 23.
65
Tabel 23 Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Peternak Mandiri (per ton karkas) Uraian Peternak DOC Pakan obat-obatan cair obat-obatan padat Pembersih kandang Sekam Bahan Bakar Listrik PBB Tenaga kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total biaya Peternak (a) Pedagagang Transportasi kandang ke RPA Pemotongan dan penanganan Transportasi RPA ke pasar Total biaya Pedagang Biaya total (b)
Satuan
Jumlah (satuan)
Harga (Rp/ satuan)
ekor kg ml ml lt kg kg
1 421.67 2 450.29 3 636.25 2.60 1.35 1 216.20 510.00
4 177 6 575 210 129 587 22 030 148 711
HOK HOK
12.38 4.18
41 557 96 596
m2
114.29
1 000
Biaya (Rp) 5 938 539 16 110 744 765 211 337 539 29 786 180 531 362 514 65 373 1 793 514 352 403 466 142 885 69 431 114 289 3 505 104 28 541 559 2 801 593 2 023 826 691 667 4 825 419 33 366 978
Alokasi thd a (% ) 20.81 56.45 2.68 1.18 0.10 0.63 1.27 0.23 0.01 1.80 1.41 0.50 0.24 0.40 12.28 100.00
Alokasi thd b (% ) 17.80 48.28 2.29 1.01 0.09 0.54 1.09 0.20 0.01 1.54 1.21 0.43 0.21 0.34 10.50 85.54 8.40 6.07 2.07 14.46
Pengeluaran terbesar dari usahaternak ayam ras pedaging mandiri juga digunakan untuk pembelian pakan. Sama seperti peternak mitra, peternak mandiri di Kecamatan Pamijahan tidak menggunakan pakan starter, melainkan hanya menggunakan jenis pakan finisher selama masa pemeliharaan. Biaya pakan mencapai 56.45 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 48.28 persen dari total biaya produksi karkas. DOC menjadi penyumbang biaya terbesar kedua setelah pakan, dimana harga beli DOC rata-rata pada peternak mandiri sebesar Rp4 177 per ekor. Biaya DOC ini mencapai 17.80 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 20.81 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya penggunaan obat-obatan pada peternak mandiri sebesar Rp1 102 750. Proporsi biaya obat-obatan pada peternak mandiri adalah sebesar 3.96 persen dari biaya produksi ayam hidup atau dari 3.30 persen dari total biaya produksi karkas. Perkembangan dan kesehatan ayam pada peternakan mitra terus dikontrol secara teratur oleh petugas medis dari perusahaan inti. Bunga modal menjadi komponen penyusun biaya terbesar ketiga, yakni sebesar 10.50 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ayam hidup siap potong, atau sebesar 12.28 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya modal ini didapatkan dari perkalian antara jumlah modal kerja yang dibutuhkan perperiode produksi ayam siap potong dengan tingkat bunga yang berlaku (14 persen). Penerimaan yang diterima peternak mandiri adalah penerimaan dari penjualan ayam hidup siap potong dan penerimaan dari penjualan kotoran. Penerimaan dari ayam hidup siap potong sebesar Rp29 174 976.78. Sedangkan
66 penerimaan dari penjualan kotoran sebesar Rp116 914.03. Total penerimaan yang diperoleh peternak mandiri untuk output yang nantinya akan mengasilkan satu ton karkas adalah Rp29 757 188.81, nilai lebih rendah dibanding peternak mitra karena tidak adanya insentif akibat perbedaan harga. Penerimaan yang diterima pedagang dalam rantai nilai daging ayam ras yang dimulai dari peternak mandiri adalah penerimaan dari penjualan karkas kan penjualan produk sampingan. Penerimaan dari penjualan karkas sebesar Rp 31 622 222.22 per ton dan penerimaan dari penjualan produk sampingan per ton karkas sebesar Rp4 855 307.07. Penerimaan per ton karkas ini lebih rendah dibanding pada pedagang yang membeli dari peternak mitra karena harga per kilogram karkas pada peternak mandiri hanya Rp31 622.22. Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Perusahaan Perusahaan melakukan integrasi proses produksi, dimana budidaya di farm hingga pemotongan dan penanganan di RPA yang mengasilkan output karkas dilakukan sendiri perusahaan. Hal ini menyebabkan seluruh biaya produksi karkas ditanggung sendiri oleh perusahaan. Biaya pengusahaan ayam ras pedaging oleh perusahaan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Biaya Pengusahaan Ayam Ras Pedaging oleh Perusahaan (per ton karkas) Jumlah (satuan)
Harga (Rp/satuan)
Uraian
Satuan
DOC Pakan obat-obatan cair obat-obatan padat Pembersih kandang Sekam Bahan Bakar Listrik PBB Tenaga kerja : LK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Beban Manajemen : TK tetap lainnya Transportasi kandang ke RPA Pemotongan dan penanganan Total biaya di Peternakan Transportasi RPA ke pasar Biaya total (b)
ekor kg ml ml lt kg kg
933.54 1 921.55 1 235.51 0.94 2.15 949.72 16.76
3 725.00 5 800.58 277.30 96 209.18 18 950.00 178.00 19 000.00
HOK
8.17
45 879.35
184.99
887.50
m2
Biaya (Rp) 3 477 452.73 11 146 109.82 342 610.78 90 276.13 40 824.61 169 050.34 318 362.56 307 938.53 5 812.18 374 853.96 232 130.21 110 420.50 164 174.55 2 349 202.37 1 022 590.13 845 236.63 249 084.42 932 835.82 425 000.00 20 997 046.05 22 261 356
Alokasi thd Biaya Total (% ) 16.56 53.08 1.63 0.43 0.19 0.81 1.52 1.47 0.03 1.79 1.11 0.53 0.78 11.19 4.87 4.03 1.19 4.44 2.02 100.00 100.00
Pengeluaran terbesar dari usahaternak ayam ras pedaging yang diusahakan oleh perusahaan juga digunakan untuk pembelian pakan. Dalam memproduksi ayam hidup siap potong, perusahaan menggunakan dua jenis pakan, yaitu pakan starter dan pakan finisher selama masa pemeliharaan. Harga pakan starter adala Rp6 050 per kilogran dan harga pakan finisher sebesar Rp5 650 per kilogram. Biaya pakan pada perusahaan mencapai 53.08 persen dari total biaya.
67 Harga beli DOC rata-rata pada perusahaan sebesar Rp3 725 per ekor. Biaya DOC ini mencapai 16.56 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya penggunaan obat-obatan pada perusahaan sebesar Rp432 886.91. Proporsi biaya obat-obatan pada perusahan adalah sebesar 2.06 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya obat-obatan yang dikeluarkan oleh perusahaan kurang dari setengah biaya obatobatan oleh peternak rakyat. Perkembangan dan kesehatan ayam pada perusahaan terus dikontrol secara teratur oleh petugas. Ayam yang dibudidayakan oleh perusahaan di kandang closed house lebih tidak mudah terserang penyakit karena kondisi kandang yang nyaman. Hal inilah yang menjadi penyebab jumlah penggunaan obat-obatan oleh perusahaan lebih sedikit. Bunga modal menjadi komponen penyusun biaya terbesar ketiga, yakni sebesar 1.19 persen dari total biaya produksi karkas. Biaya modal ini didapatkan dari perkalian antara jumlah modal kerja yang dibutuhkan perperiode produksi ayam siap potong dengan tingkat bunga yang berlaku (14 persen). Penerimaan yang diperoleh perusahaan hanya bersasal dari penjualan daging ayam, produk sampingan, dan kotoran. Seluruh hasil produksi dari Kandang II Subang PT. Leong Ayamsatu ini dijual dalam bentuk karkas, tidak ada yang dijual dalam bentuk ayam hidup. Penerimaan dari karkas sebesar Rp27 950 000 per ton. Hal ini berarti perusahaan menjual karkas dengan harga Rp27 950.00 per kilogram, dimana harga tersebut 11 hingga 13 persen lebih rendah daripada harga output yang diproduksi peternak rakyat. Total penerimaan produk sampingan adalah Rp3 625 296.34 dan penerimaan dari penjualan kotoran sebesar Rp 49 190.60. penerimaan yang diterima perusahaan memang lebih rendah daripada penerimaan total yang diterima peternak rakyat dan pedagangnya. Namun biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi per ton karkas juga lebih rendah, hal ini menyebabkan keuntungan perusahaan menjadi lebih tinggi. Analisis Tingkat Keuntungan Usaha Ayam Ras Pedaging Tingkat keuntungan menjadi salah satu indikator daya saing. Keunggulan kompetitif dapat dicerminkan dari keuntungan privat, sedangkan keunggulan komparatif dicerminkan oleh keuntungan sosial. Keuntungan privat adalah selisih antara penerimaan dan biaya pada kondisi harga aktual yang diterima oleh peternak disertai pengaruh kebijakan pemerintah dan adanya kegagalan pasar. Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dan biaya pada tingkat harga dunia yang merupakan cerminan efisiensi secara ekonomi. Keuntungan sosial juga mencerminkan keuntungan yang dapat diperoleh dalam kondisi tidak adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi baik terhadap input maupun output. Tingkat keuntungan pengusahaan daging ayam ras pada peternak mitra, mandiri dan perusaan dapat dilihat pada Tabel 25.
68 Tabel 25 Tingkat keuntungan pengusahaan ayam ras pedaging pada berbagai bentuk pengusahaan Biaya Bentuk Penerimaan Input Non- Keuntungan Pengusahaan Input Tradable tradable Mitra Harga privat 66 380 430 24 221 370 35 937 442 6 221 617 Harga sosial 44 627 130 18 815 421 25 971 448 -159 738 Efek divergensi 21 753 300 5 405 949 9 965 995 6 381 356 Mandiri Harga privat 65 769 420 26 615 416 36 618 206 2 535 798 Harga sosial 44 324 534 19 830 631 26 084 609 -1 590 706 Efek divergensi 21 444 886 6 784 785 10 533 597 4 126 504 Perusahaan Harga privat 31 624 487 11 800 865 11 289 566 8 534 056 Harga sosial 24 159 154 8 594 604 9 430 337 6 134 213 Efek divergensi 7 465 333 3 206 261 1 859 230 2 399 843 Berdasarkan data pada Tabel 25, diketahui bahwa penerimaan yang diterima oleh peternak rakyat dan perusahaan pada harga prival lebih tinggi dibandingkan pada harga sosial. Hal ini berarti bahwa dengan adanya hambatan impor daging ayam ras, harga yang diterima peternak perkilogram daging ayam menjadi lebih tinggi dibandingkan apabila tidak ada hambatan impor. Dengan adanya hambatan impor ini maka peternak ayam ras pedaging dalam negeri diuntungkan. Biaya yang dikeluarkan peternak ayam ras pedaging baik untuk input tradable maupun non-tradable pada harga privat lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Hal ini berarti bahwa peternak membayar lebih mahal per satuan input yang digunakan. Input utama yang paling mempengaruhi biaya produksi adalah DOC dan pakan. Lebih tingginya harga aktual DOC dan pakan dibandingkan harga sosialnya disebabkan oleh adanya kegagalan pasar berupa indikasi praktek kartel yang dilakukan oleh lima perusahaan produsen input ayam ras pedaging terbesar di Indonesia (PT. Japfa Comfeed Indonesia, PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Sierad Prduce, PT. Malindo Feedmill, PT. Wonokoyo Jaya Corporindo). Kartel yang dilakukan oleh lima perusahaan tersebut menyebabkan struktur pasar untuk DOC dan pakan yag merupakan input utama dalam usaha ayam ras pedaging berbentuk oligopoli, dimana lima perusahaan menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar. Tingginya interest rate di Indonesia juga menjadi penyebab biaya privat untuk modal kerja yang dikeluarkan peternak lebih tinggi dibanding biaya sosialnya. Interest rate di Indonesia yang mencapai 14 persen dengan rata-rata tingkat inflasi semester pertama 2015 sebesar 6.8 persen, sehingga harga bayangan untuk bunga modal hanya 7.2 persen (Bank Indonesia 2015). Biaya privat yang dikeluarkan untuk transportasi sebenarnya lebih rendah dibandingkan biaya sosialnya. Rendahnya biaya privat transportasi dibandingkan biaya sosialnya ini disebabkan karena adanya kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Namun proporsi biaya transportasi terhadap biaya total untuk
69 memproduksi karkas kurang dari sepuluh persen sehingga tidak terlalu signifikan menurunkan biaya privat. Keuntungan secara privat bernilai positif sedangkan keuntungan sosial bernilai bernilai negatif pada pengusahaan ayam ras pedaging pengusahaan ayam ras pedaging yang dilakukan oleh peternnak mandiri dan peternak mitra. Hal ini berarti bahwa pengusahaan ayam ras pedaging menguntungkan pada harga aktual dan layak diusahakan. Namun dilihat dari harga sosial, pengusahaan ayam ras pedaging ini belum menguntungkan atau dengan kata lain tanpa ada kebijakan apapun maka usaha daging ayam ras pedaging yang dilakukan peternak rakyat di Indonesia masih tidak layak diusahakan. Sedangkan pada pengusahaan yang dilakukan oleh perusahaan menguntungkan pada tingkat harga privat maupun sosial. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Ayam Ras Pedaging Keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dapat dicerminkan dari Rasio Biaya Privat (PCR) dan Rasio Biaya Sosial (DRCR). PCR adalah rasio antara total biaya faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable yang dihitung pada harga privat. PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif. Sedangkan DRCR adalah adalah rasio antara total biaya faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradeable yang dihitung pada harga sosial. DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai PCR dan DRCR pada usahaternak ayam ras pedaging untuk masing-masing jenis pengusahaan terdapat pada Tabel 23. Tabel 26 Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usaha ayam ras pedaging Peternak Rakyat Keunggulan Perusahaan Mitra Mandiri Kompetitif (PCR) 0.85 0.94 0.57 Komparatif (DRCR) 1.01 1.06 0.61 Berdasarkan Tabel 26, diperoleh nilai PCR<1 yang berarti bahwa sistem komoditi ayam ras pedaging yang diusahakan oleh peternak rakyat mitra, mandiri, maupun perusahaan, memiliki keunggulan kompetitif walaupun kecil (kurang kompetitif). Pengusahaan oleh perusahaan merupakan yang paling kompetitif diantara ketiganya karena faktor teknologi (closed house) dan skala usaha. Closed house merupakan kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga kondisi di dalam kandang dapat dengan mudah disesuaikan untuk kenyamanan ayam. Penggunaan kandang closed house akan meningkatkan produktifitas karena dapat mengurangi risiko sakit pada ayam sehingga menekan tingkat kematian ayam dan mengurangi penggunaan obatobatan. Skala pengusahaan yang besar juga menjadi penyebab keunggulan kompetitif perusahan lebih tinggi dibanding peternak rakyat. Rata-rata kapasitas produksi per periode oleh peternak mitra, mandiri, dan perusahaan berturut-turut 8 500, 8 222, dan 195 000 ekor ayam masuk. Semakin besar skala maka akan meningkatkan
70 efisiensi hal ini terbukti dengan lebih rendahnya penggunaan input dan total biaya per ton karkas oleh perusahaan dibandingkan peternakan rakyat. Pengusahaan oleh peternak yang bermitra lebih memiliki daya saing dibandingkan peternak mandiri. Hal ini dikarenakan peternak mitra mendapatkan manfaat dari kemitraan berupa bimbingan teknis dan adanya kontrak harga. Dengan adanya bimbingan teknis, proses budidaya selalu dikontrol oleh inti sehingga lebih efisien dalam penggunaan input. Harga kontrak menyebabkan harga rata-rata ayam siap potong yang diterima peternak mitra lebih tinggi dibanding peternak mandiri. Kelebihan lain dari kemitraan adalah biaya pascapanen (pemotongan) menjadi lebih efisien. Output berupa ayam siap potong yang dihasilkan oleh beberapa peternak mitra akan dikumpulkan oleh inti sehingga jumlahnya menjadi banyak. Ayam siap potong yang sudah dikumpulkan oleh inti kemuadian dibeli oleh pedagang besar. Dengan jumlah yang banyak maka proses pemotongan dapat dilakukan di RPA modern yang menggunakan conveyor system, dimana biaya pemotongan pada RPA modern ini lebih murah dibanding RPA tradisional. Pada RPA modern biaya yang dikenakan untuk pemotongan dan penanganan sebesar Rp900 hingga Rp 1 150 per ekor ayam hisup siap potong. Sedangkan biaya pemotongan dan penanganan pada RPA tradisional berkisar Rp1 000 hingga Rp1 500 per kg ayam hidup siap potong. Rata-rata biaya pemotongan per ton karkas dengan pada RPA modern sebesar Rp1 291 992.99 sedangkan biaya pemotongan per ton karkas dengan pada RPA tradisional sebesar 2 023 825.97. Biaya pemotongan dan penangan pada RPA milik perusahaan lebih murah dibanding pada RPA umum, yaitu sebesar Rp932 835.82 per ton karkas. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak Kebijakan Output Pemerintah Kebijakan yang efektif diperlukan untuk memproteksi dan mendukung perkembangan sistem agribisnis. Analisis PAM mengidentifikasi dampak kebijakan pemerintah melalui efek divergensi pada baris ketiga dari tabel. Adanya efek divergensi mengindikasikan adanya kebijakan yang mempengaruhi suatu komoditas terkait perbedaan harga privat dan sosial. Indikator dampak kebijakan yang diterapkan pada usahaternak ayam ras meliputi kebijakan output (Tabel 27), input (Tabel 28), dan input-output (Tabel 29). Tabel 27 Indikator dampak kebijakan output pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Peternak rakyat Indikator Perusahaan Mitra Mandiri Output Transfer (OT) 21 753 299 21 444 886 7 465 333 Nominal Protection Coef. Output (NPCO) 1.49 1.48 1.31 Dampak kebijakan output yang diterapkan pemerintah terhadap komoditas daging ayam ras dapat ditinjau dari nilai transfer output (OT) atau koefisien proteksi output nominal (NPCO). Transfer output yang bernilai positif bermakna bahwa
71 terdapat kebijakan dan kegagalan pasar yang menyebabkan harga output di tingkat peternak (harga privat) lebih tinggi dibandingkan harga sosial sehingga peternak memperoleh proteksi dari kebijakan yang diterapkan, demikian sebaliknya. Tabel 27 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output daging ayam ras merupakan kebijakan protektif yang akan memberikan insentif bagi produsen, hal ini terlihat dari transfer output yang bernilai positif serta NPCO > 1. Kebijakan protektif yang diberlakukan adalah hambatan impor daging ayam. Dengan adanya hambatan impor daging ayam maka harga aktual output lebih tinggi daripada harga sosialnya. Karena adanya tarif impor daging ayam maka nilai total output pada peternak mitra, mandiri, dan perusahaan lebih tinggi 49 persen, 48 persen, dan 31 persen dari seharusnya. NPCO perushaan lebih kecil dibandingkan dengan NPCO peternak mitra dan mandiri karena harga output daging ayam yang ditetapkan oleh perusahaan lebih rendah.
Dampak Kebijakan Input Pemerintah Dampak kebijakan input berdasarkan besarannya dapat dilihat dengan nilai transfer input dan transfer faktor sedangkan secara rasio dengan melihat nilai koefisien proteksi nominal input (NPCI). Apabila nilai transfer input atau transfer faktor bernilai positif maka terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga input lebih mahal dibandingkan harga sosialnya, begitu sebaliknya. Demikian halnya, nilai koefisien proteksi nominal input yang lebih dari satu menandakan peternak membayar harga input ditingkat aktual lebih mahal dari harga sosialnya, berlaku sebaliknya. Tabel 28 Indikator dampak kebijakan input pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Peternak rakyat Indikator Perusahaan Mitra Mandiri Input Transfer (IT) 5 405 949 6 784 785 3 206 261 Factor Transfer (FT) 9 965 995 10 533 597 1 859 229 Nominal Protection Coef. Input (NPCI) 1.29 1.34 1.37 Tabel 28 menunjukkan bahwa transfer input dan transfer faktor bernilai positif. Hal ini berarti bahwa peternak membayar dengan harga aktual yang lebih tinggi daripada harga sosial. Nilai NPCI yang didapat untuk ketiga jenis pengusahaan ayam ras pedaging juga positif. Hal ini menunjukkan tidak adanya proteksi terhadap input tradable. Input ayam ras pedaging dengan proporsi terhadap biaya total terbesar adalah pakan dan DOC. Praktek kartel oleh lima perusahaan industri hulu merupakan salah satu bentuk kegagalan pasar yang menyebabkan harga pasar menjadi lebih tinggi. Kebijakan pemerintah terkait interest rate juga menjadi contoh tidak adanya kebijakan proteksi input. Interest rate di Indonesia mencapai 14 persen sedangkan di negara ASEAN lainnya hanya 3 hingga 7 persen. Nilai transfer input, transfer faktor, dan NPCI pada pengusahaan oleh peternak rakyat lebih tinggi dibandingkan perusahaan. Hal ini disebabkan karena jumlah input yang digunakan oleh peternak rakyat lebih banyak dan harga input yang diterima peternak rakyat lebih mahal dibandingkan perusahaan. Murahnya harga input yang digunakan perusahaan dikarenakan input tersebut merupakan hasil
72 produksi perusahaan itu sendiri. Harga DOC yang digunakan oleh perusahaan sebesar Rp3 725.00 per ekor, sedangkan peternak mitra membeli DOC dengan harga Rp4 424.32, dan peternak mandiri membeli DOC seharga Rp4 177.16. harga DOC yang diterima peternak rakyat 20 persen lebih tinggi dibanding harga DOC yang digunakan perusahaan. Sedangkan untuk pakan, harga pakan yang digunakan oleh perusahaan sebesar Rp5 650 per kilogram, sedangkan peternak mitra membeli pakan dengan harga Rp6 454.67 per kilogram, dan peternak mandiri membeli pakan seharga Rp6 580.00. Harga pakan yang diterima peternak rakyat 14 - 16 persen lebih tinggi dibanding harga pakan yang digunakan perusahaan. Dampak Kebijakan Input-Output Pemerintah Dampak kebijakan input-output secara keseluruhan dapat diukur berdasarkan nilai transfer bersih (NT), koefisien proteksi efektif (EPC), koefisien keuntungan (PC) dan rasio subsidi produsen (SRP). Tabel 29 Indikator dampak kebijakan input-output pemerintah pada pengusahaan ayam ras pedaging Peternak rakyat Indikator Perusahaan Mitra Mandiri Net Transfer (NT) 6 381 356 4 126 504 2 399 843 Effective Protection Coefficient (EPC) 1.63 1.60 1.27 Profitability Coefficient (PC) -3.89 -1.59 1.39 Subsidy Ratio to Producer (SRP) 0.14 0.09 0.10 Nilai EPC>1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kebijakan input-output pemerintah bersifat protektif. Net transfer yang bernilai positif menandakan peternak mendapatkan surplus produsen. PC mengukur dampak dari seluruh transfer. Peternak rakyat memiliki PC dengan nilai negatif sedangkan perusahan bernilai positif. Hal ini berarti secara keseluruhan kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan insentif pada perusahaan namun tidak bagi peternakan rakyat. PC perusahaan sebesar 1.39 persen memiliki arti bahwa keuntungan privat yang diperoleh perusahaan 1.39 kali lebih besar dari yang seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan. Selisih antara manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan manfaat yang diterima oleh peternak rakyat berdasarkan nilai PC ini sangat tinggi. Hal ini berarti kebijakan input-output yang diterapkan pemerintah justru dinikmati oleh perusahaan. Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena kebijakan pemerintah. SRP pengusahaan oleh peternak rakyat bernilai 0.14 dan 0.09 sedangkan oleh perusahaan bernilai 0.10. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan biaya produksi peternak rakyat lebih rendah 14 persen dan 9 persen, sedangkan biaya produksi perusahaan lebih rendah 10 persen dari opportunity cost.
73 Skenario Dampak MEA terhadap Daya Saing Ayam Ras Pedaging Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap dampak Masyarakat Ekonomi ASEAN terhadap daya saing ayam ras pedaging di Indonesia dengan melakukan beberapa skenario perubahan kebijakan, antara lain: 1. Tarif impor daging ayam turun dari 5 persen ke 0 persen. 2. Interest rate turun dari 14% ke 5% (rata-rata interest rate negara ASEAN). 3. Biaya logistik turun 20 persen (estimasi penurunan biaya logistik dalam 10 tahun). Tabel 30 Indikator daya saing berdasarkan skenario terjadinya MEA Peternak Rakyat Perusahaan Skenario Mitra Mandiri PCR DRCR PCR DRCR PCR DRCR Kondisi normal 0.85 1.01 0.94 1.06 0.57 0.61 Tarif impor menjadi 0% 1.06 1.02 1.18 1.06 0.90 0.61 Interest rate menjadi 5% 0.80 0.88 0.88 0.99 0.51 0.54 Biaya logistik turun 20% 0.77 0.79 0.85 0.89 0.49 0.48 0.45 0.66 Kombinasi 0.89 0.74 1.02 0.85 Ketiga skenario yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan estimasi perubahan yang akan terjadi dengan diberlakukannya MEA. Berdasarkan data pada Tabel 30 diketahui bahwa dengan adanya penurunan tarif impor menyebabkan penurunan daya saing kompetitif daging ayam ras Indonesia. Sedangkan penurunan interest rate dan biaya logistik akan dapat meningkatkan daya saing. Perubahan terhadap ketiga variabel secara bersamaan akibat dari diberlakukannya MEA akan menyebabkan penurunan keunggulan kompetitif namun meningkatkan keunggulan komparatif. Dengan adanya perubahan variabel-variabel MEA tersebut, pengusahaan ayam ras pedaging oleh perusahaan tetap paling berdaya saing dibandingkan peternak mandiri maupun peternak mitra. 1. Tarif impor daging ayam turun 5 poin dari 5 persen ke 0 persen. Salah satu syarat tercapainya tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk menjadi pasar tunggal dan basis produksi ASEAN adalah harus bebasnya aliran barang. Aliran barang yang bebas dapat diciptakan apabila hambatan keluarmasuk antarnegara juga dihilangkan. Hambatan masuk dapat berupa hambatan tarif dan non-tarif. Saat ini kebijakan pemerintah melarang adanya impor daging ayam apabila produksi dalam negeri masih mampu mencukupi kebutuhan. Selain larangan impor, hambatan masuk lain yang diterapkan adalah kebijakan tarif impor. Tarif impor untuk daging ayam ras yang sekarang diberlakukan adalah 5 persen dari harga CIF. Saat MEA diberlakukan nanti, maka hambatan tarif ini harus dihilangkan. Sehingga dalam penelitian ini dibuat skenario perubahan tarif impor dari 5 persen ke 0 persen. Berdasarkan data pada Tabel 30 diketahui bahwa dengan adanya penurunan tarif impor menyebabkan penurunan daya saing kompetitif dan komparatif ayam ras Indonesia dibuktikan dengan nilai PCR dan DRCR nya yang semakin besar. Bahkan saat tarif impor diturunkan menjadi nol persen (dihapuskan), pengusahaan ayam ras pedaging oleh peternak rakyat juga
74 menjadi tidak berdaya saing di harga privat. Dihapuskannya tarif impor akan menyebabkan harga daging ayam impor menjadi lebih rendah. Menurut Khoirunnisa (2008), elastisitas silang daging ayam lokal dengan ayam impor adalah 0.12. Hal ini berarti apabila daging ayam impor turun 1 persen maka permintaan terhadap daging lokal akan turun sebesar 0.12 persen. Sedangkan elastisitas permintaan daging ayam lokal sebesar -2.335. Dengan begitu untuk satu persen penurunan harga daging impor akan menyebabkan harga daging lokal turun 5.14 persen. Apabila skenario yang dibangun adalah menggunakan penurunan tarif lima persen maka akan menurunkan daging lokal sebesar 25.07 persen. Penurunan harga jual daging lokal sebesar 25.07 persen akan meyebabkan keuntungan privat pengusahaan daging ayam yang dilakukan peternak menjadi negatif atau tidak layak diusahakan. Namun bagi perusahaan, penurunan harga output hingga 25.07 persen masih dapat ditolerir karena masih memberikan keuntungan positif. 2. Interest rate turun 7 poin dari 14 persen ke 5 persen. Arus investasi dan modal yang lebih bebas juga menjadi pilar untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Interest rate Indonesia yang tinggi (14 persen) menyebabkan biaya modal menjadi tinggi sehingga investor asing kurang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya integerasi antarnegara-negara ASEAN, maka suku bunga Indonesia perlu diturunkan. Skenario perubahan interest rate yang dilakukan dalam penelitian ini adalah apabila tingkat suku bunga diturunkan menjadi 5 persen seperti rata-rata tingkat suku bunga di negara-negara anggota ASEAN lainnya. Perubahan interest rate akan mempengaruhi biaya modal. Proporsi penggunaan biaya modal terhadap total biaya mencapai lebih dari sepuluh persen pada masing-masing jenis pengusahaan ayam ras pedaging. Dengan berkurangnya tingkat suku bunga maka biaya modal dan biaya total yang dikeluarkan turut berkurang. Hal ini menyebabkan keuntungan yang diterima menjadi meningkat. Penurunan biaya modal ini bahkan menyebabkan pengusahaan ayam ras pedaging yang dilakukan oleh peternak rakyat menjadi memiliki keunggulan komparatif (DRCR menjadi lebih kecil dari 1). 3. Biaya logistik turun 20 persen. Biaya logistik Indonesia adalah yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN lainnya. biaya logistik Indonesia sebesar US$ 13.5/km sedangkan ratarata biaya logistik Thailand dan Malaysia hanya US$8/km. Biaya logistik adalah salah satu hal yang perlu diturunkan dalam menghadapi MEA, walaupun penurunan biaya logistik ini hanya dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan cara perbaikan infrastruktur. World Bank (2015) menyebutkan bahwa penurunan biaya logistik Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 1,87 persen. Berdasarkan data tersebut, diasumsikan bahwa dalam rangka menghadapi MEA pemerintah melakukan perbaikan infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik sebesar 20 persen dalam 10 tahun. Penurunan biaya logistik akan secara langsung menurunkan biaya transportasi dari kandang ke RPA dan ke pasar, serta secara tidak langsung menyebabkan penurunan harga input. Hal tersebut akan mengurangi biaya total
75 yang dikeluarkan untuk memproduksi dan memasarkan daging ayam setiap tonnya. Sama halnya dengan penurunan interest rate, penurunan biaya logistik menyebabkan keuntungan yang diterima menjadi meningkat. Penurunan biaya logistik ini juga menyebabkan pengusahaan ayam ras pedaging yang dilakukan oleh peternak rakyat menjadi memiliki keunggulan komparatif (DRCR menjadi lebih kecil dari 1) dan pengusahaan oleh perusahaan semakin berdaya saing (PCR dan DRCR kurang dari 0.5) Daya Saing Mutu Ayam Ras Pedaging Indonesia Globalisasi menyebabkan industri pangan berkembang cepat dengan segala sistem dan pendukungnya selama dua dekade terakhir, hal ini disebabkan oleh semakin mudahnya mendapatkan bahan baku dari negara lain, kemajuan teknologi pengolahan makanan, dan semakin bervariasinya selera dan kebutuhan konsumen. Dengan semakin bervariasinya produk pangan dan semakin mudahnya perdagangan antarnegara, konsumen menjadi lebih menuntut mutu atau keamanan dari pangan yang dikonsumsinya (food safety). Industri pangan khususnya produk pertanian dikenal dengan rantai suplai yang panjang sehingga memberikan peluang cukup besar untuk menghilangkan atau menurunkan mutu makanan. Tuntutan pasar internasional yang menghendaki keamanan dan keramahan bahan pangan ini menjadi hal yang sangat penting dalam upaya peningkatan daya saing, mengingat dua unsur daya terpenting daya saing adalah harga dan mutu. Sebagai contoh, Australia telah mendeklarasikan “Biosecurity Act” yang mensyaratkan ecolabeling, kandungan bahan kimia dan bahan tambahan yang rendah. Amerika Serikat telah pula mendeklarasikan “Bioterrorism Act” yang mensyaratkan tentang public health security & Bioterorrism preparedness and response Act. Negara-negara Uni-Eropa telah mendeklarasikan syarat keamanan pangan dalam “White paper on Food Safety” yang meliputi persyaratan animal welfare, traceability, food safety legislation, rapid alert system dan precautionary principle. Dalam era globalisasi saat ini kesejahteraan hewan menjadi salah satu isu global disamping isu keamanan pangan dan kelestarian lingkungan, karena memiliki potensi sebagai hambatan dalam perdagangan bebas. Kesejahteraan hewan (animal welfare) merupakan suatu tindakan kesadaran terhadap perasaan hewan dan bagaimana memperlakukannya tanpa perlu menyakiti dan membuatnya menderita. Ukuran kesejahteraan dapat dan harus diterapkan dalam sepanjang sistem produksi. Ukuran-ukuran yang dapat digunakan antara lain bagaimana status fisiologi, kerusakan fisiologi, respon fisiologi dan tingkah laku serta stress pada ternak selama ternak dipelihara dan juga pada saat penanganan akan dipotong. Di dalam industri ayam ras pedaging di Indonesia, prinsip kesejahteraan hewan belum menjadi prioritas, terutama oleh peternak rakyat. Contoh yang paling sering terlihat adalah saat pengangkutan ayam menuju rumah potong. Ayam dimasukkan dalam kotak dengan kepadatan tinggi dan dibawa dengan mobil bak terbuka. Hal ini jelas menyalahi prinsip kesejahteraan hewan, dimana efeknya adalah ayam menjadi stres dan saat dipotong darah ayam menjadi tidak mengalir sempurna. ‘ Traceability biasa diterjemahkan dengan ketertelusuran. Sejumlah definisi telah dikenal, namun yang terkait dengan pangan, setidaknya ada dua yang relevan, yaitu dari Codex Alimentarius, dan dari Uni Eropa. Definisi oleh Codex
76 Alimentarius dibuat cukup sederhana, yaitu kemampuan untuk mengikuti perjalanan pangan, di setiap tahapan produksi, proses dan distribusi. Sedangkan Uni Eropa mendefinisikannya secara lebih komprehensif dan mencakup semua produk atau bahan yang terkait dengan pangan, yaitu: kemampuan untuk mencari dan mengikuti jejak/riwayat pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan, atau substansi yang akan atau mungkin dicampurkan ke dalam pangan dan pakan di setiap tahapan produksi, pengolahan dan distribusi. Ketertelusuran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu ketertelusuran internal dan ketertelusuran eksternal. Secara internal, hal ini mencakup ketertelusuran bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit pengolahan, dan hanya melibatkan satu pihak. Sedangkan secara eksternal, ketertelusuran mencakup perpindahan produk sepanjang rantai nilai (misalnya dari farm ke konsumen), dan dapat melibatkan lebih dari satu pihak. Produk daging ayam ras Indonesia, khususnya yang diproduksi oleh peternak rakyat memiliki tingkat keterlusuran yang masih rendah. Hal ini dikarenakan tidak adanya kontrak tetap antarpelaku usaha di sepanjang rantai nilai sehingga susuan pelaku usaha berubah-ubah dengan intensitas yang tinggi. Misalnya, ayam siap potong yang diproduksi oleh peternak mandiri dapat dijual ke berbagai pedagang yang terus berganti setiap periodenya tanpa menyertakan dokumen apapun. Hal ini membuat susunan dalam rantai nilai menjadi kacau dan sulit ditelusuri kembali. Akan tetapi pengusahaan ayam ras pedaging oleh perusahaan yang terintegrasi dan pengusahaan oleh kemitraan cenderung memiliki traceability yang lebih baik.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengusahaan ayam ras pedaging Indonesia yang dilakukan oleh peternak rakyat maupun perusahaan memiliki daya saing, baik kompetitif maupun komparatif. Sedangkan keunggulan komparatif hanya dimiliki oleh pengusahaan ayam ras pedaging oleh perusahaan. Hal ini berarti bahwa tanpa adanya kebijakan atau proteksi dari pemerintah, maka pengusahaan ayam ras pedaging oleh peternak rakyat tidak berdaya saing. Daya saing perusahaan yang lebih tinggi dibandingkan peternak rakyat disebabkan oleh faktor skala usaha dan technological superiority. Kebijakan pemerintah yang telah diterapkan saat ini relatif mampu melindungi usaha ayam ras pedaging Indonesia. Namun kebijakan proteksi yang dilakukan saat ini terpaksa harus dikurangi dengan diberlakukannya liberalisasi perdagangan. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan, dalam hal ini Masyarakat Ekonomi ASEAN, akan menyebabkan perubahan pada tarif impor, interest rate, dan biaya logistik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan terhadap komponen-komponen yang merupakan dampak dari diberlakukannya MEA akan menurunkan keunggulan kompetitif namun meningkatkan keunggulan komparatif.
77 Saran Berdasarkan penelitiaan yang telah dilakukan maka dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut: 1. Dengan diberlakukannya liberalisasi perdagangan, maka kebijakan proteksi pemerintah menjadi lebih terbatas. Namun pemerintah masih tetap dapat melindungi pelaku agribisnis daging ayam ras, khususnya peternak rakyat, dengan cara menggiatkan kemitraan. 2. Pemerintah juga dapat mendorong pelaku usaha untuk menggunakan kandang closed house untuk meningkatkan efisiensi. Namun dorongan ini perlu didukung dengan fasilitas-fasilitas yang memberikan kemudahan untuk investasi closed house, mengingat biaya investasinya yang mahal. 3. Selain itu kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah penurunan interest rate dan perbaikan infrastruktur. Masih belum baiknya infrastruktur di Indonesia tercermin dari biaya logistik yang tinggi dibandingkan negara-negara lain. Penurunan interest rate dan biaya logistik akan dapat meningkatkan daya saing.
DAFTAR PUSTAKA Abdullateef U, Ijaiya AT. 2010. Agricultural trade liberalization and food security in Nigeria. Journal of Economics and International Finance 2(12): 299–307. Akhtar W, Sharif M, Shah H. 2009. Competitiveness of Paskitani fruits in the world market. The Lahore Journal of Economics 14(2) : 125-133. Bank Indonesia. 2015. Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) berdasarkan Perhitungan Inflasi Tahunan. Tersedia pada http://www.bi.go.id/id/moneter/ inflasi/data/Default.aspx [Di akses 24 Juni 2015] Banse M , Munch W, and Tangermann S. 2009. Eastern Enlargement of the European Union: A General and Partial Equilibrium Analysis. In: International Conference of Agricultural Economists (IAAE). Bellak CJ. & Weis A. 1993. A note on the Austrian “diamond”’, Management International Review, 33(2): 109. Blair D, Giesecke C, and Sherman S. 2001. A dietary, social and economic evaluation of the Philadelphia Urban Gardening Project. Journal of Nutrition Education. 23(2):161–167. Boossabong P, Taylor MF. 2009. Impact of trade liberalization on the agricultural sector and adjustment policy: the case of shallot plantations in northeastern Thailand. Kasetsart J. (Soc. Sci) 30 : 323 – 337. Broadway M. 2009. Growing Urban Agriculture in North American Cities: The Example of Milwaukee. Focus on Geography. 52(3): 23–30. Brown K, Bailkey M., Meares-Cohen A, Nasr J, Smit J, and Buchanan T. 2002. Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center To the Urban Fringe. Mann, Ed. 22(2): 1–30. Bezlepkina IV, AO Lansink, and AJ Oskam. 2005. Effects of subsidies in Russian dairy farming. Agricultural Economics 33(3):277-288.
78 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Hasil Sensus pertanian. 2013. Jakarta (ID). Cafiero C. 2003. Agricultural Policies in Developing Countries [materi pelatihan]. [Di unduh 4 Juni 2015] Tersedia pada http://www.fao.org/world/syria/gcpita/ training/material/En/TM_Ag_Pol_Dev-Cafiero_1-53.pdf Cartwright WR. 1993. Multiple linked diamonds and the international competitiveness of export-dependent industries: the New Zealand experience. Management International Review, Special Issue, 33(2): 55–70. Chen NJ and A. Scott. 2009. The Dynamics of Trade and Competition. Journal of International Economics 77(1): 50-62. Cho DS, Moon HC. 2000. From Adam Smith to Michael Porter : Evolution of Competitiveness Theory. Volume ke-2. Brislin R, Kelley L, editor. Singapura (SG) : World Scientific. Chikangaidze SJ. 2011. An analysis of the regional competitiveness of Zimbabwe’s broiler enterprises. Zimbabwe (ZW) : UZ Publishers. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor (ID): IPB Press. Daryanto A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia Dan Upaya Peningkatannya. Di dalam Seminar Nasional Petani di Bogor, 14 Oktober 2009: Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deblitz C, Charry AA, dan Parton KA. 2005. Beef farming systems across the world: an expert assessment from an international cooperative research project (IFCN). Ext Farming Syst Journal. 12(1):1-14. Dewanata OP. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2014. Populasi Ternak Ayam di Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. Bandung (ID). Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2014. Produksi Daging Ayam Ras Kbupaten Bogor. Bogor (ID). [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Konsumsi Daging Segar Indonesia. Jakarta (ID). Dunning JH. 1993. Internationalizing Porter’s Diamond. Management International Review. Special Issue 33(2): 7. Ellis F. 2005. Small farm, livelihood diversification, and rural-urban transitions: Strategic issues in Sub-Saharan Africa. Research Workshop Proceedings, 135–149, Wye, U.K., June 26–29, 2005. Fadillah A. 2011. Analisis Daya saing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap Kabupaten Sukabumi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Feryanto. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gardner B. 2000. Economic growth and low-income agriculture. American Journal of Agricultural Economics 82 (5): 1059–1074
79 Gupta, S.D. 2009. Comparative Advantage and Competitive Advantage: An Economics Perspective and a Synthesis. Canada (CA): Fredericton, N.B. St. Thomas University.. Hill CWL, Chow-How W, Udayasankar K. 2014. Bisnis Internasional: Perspektif Asia. Buku 1. Sugiarto C, Saraswati R, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: International Business: An Asian Perpective. Kannapiran CA, Fleming EM. 1999. Competitiveness and comparative advantage of tree crop smallholdings in Papua New Guinea. Working Paper Series in Agricultural and Resource Economics, No 99-10. University of New England. Kasimin S. 2013. Daya Saing Agribisnis Kentang di Aceh Pendekatan Policy Analisys Matriks (PAM). Jurnal Manajemen & Agribisnis 10(2): 117-127 Karim IE and Ismail IS. 2007. Potential for agricultural trade in COMESA region: a comparative study of Sudan, Egypt and Kenya. African Journal of Agricultural Research. 2(10): 481-487. Kementerian Perdagangan. 2010. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional. Jakarta (ID). Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 20012013. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (ID). Krugman PR. and M Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy, Sixth Edition. New York(US): Addison Wesley. Langley SA, Somwaru, and M. A. Normile. 2006. Trade Liberalization in International Dairy Markets: Estimated Impacts. Electronic report, Economic Research Service. Department of Agriculture (US). Latruffe L. 2010. Competitiveness, Productivity and Efficiency in the Agricultural and Agri-Food Sectors. OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 30, OECD Publishing. Lestari M. 2009. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kepuasan Peternak Plasma Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Ayam ras pedaging Studi Kasus Kemitraan PT X di Yogyakarta. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Monke AE, Pearson SR. 1989. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. New York (US) : Cornell University Press. Najarzadeh R, Rezag M, Saghaian, Reed, Aghaie. 2011. The impact of Trade Liberalization on Persian Rug : A Policy Analysis Matrix Spproach. Journal of Food Distribution Research Kenya. 21(1):4-7. Oguntade, A. 2011. Assessment of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria. Journal Departement of Agricultural and Extension, Federal University of Technology. 15(1):12-13. Pakarti S. 2000. Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Tingkat Pendapatan Peternak Ayam ras pedaging (Studi Kasus Pada Kelompok Peternak Plasma Poultry Shop Jaya Ayam ras pedaging di Kabupaten Kuningan. Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pearson S, Carl G, and Sjaiful B. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York (US): The Free Press. Pusat Data dan Informasi Pertanian [Pusdatin]a. 2014. Buletin Konsumsi Pangan Vol 5 No.1 Tahun 2014. Kementerian Pertanian (ID).
80 Pusat Data dan Informasi Pertanian [Pusdatin]b. 2014. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Peternakan: Daging Ayam. Kementerian Pertanian (ID). Puspitasari, Eka. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Belimbing Dewa di Kota Depok [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purba HJ, Hutabarat, Budiman, Saktyanu KD, Wahida and Sri Nuryanti. 2007. Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan Kerjasama AFTA serta Dampaknya Terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Purmiyanti S. 2002. Analisis Produksi dan Daya Saing Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rose R and Gleeson T. 2000. Competitiveness of the Australian beef industry. In: Globalisation, production siting, and competitiveness of livestock prodction. ABARE Conference Paper. Braunschweig, 25-26 September 2000. 1-20. Rugman AM & Verbeke A. 1993. The double diamond model of international competitiveness: the Canadian experience Management International Review, Special Issue, 33: 17–39. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan oleh Romi BH dan Yanuar HP. Jakarta (ID): Salemba Empat. Saptana dan Rusastra IW. 2003. Dampak Krisis Moneter Dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Daya Saing Agribisnis Ayam Ras Pedaging Di Jawa Barat. Soca (Socio-Economic Of Agriculturre And Agribusiness). 1(1):13-27. Saragih B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor (ID): Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Sarwanto C. 2014. Kemitraan, Produksi dan Pendapatan Peternak Rakyat Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sembiring RW. 2009. Alternative model for extracting multidimensional data based-on comparative dimension reduction, 2nd International Conference on Software Engineering and Computer Systems, ICSECS 2011, 27 – 29 June, Kuantan-Malaysia. 28-42. Serra V, Woodford K, Martin S. 2005. Sources of competitive advantage in the Uruguayan and New Zealand beef industries. In: Dev Entrep Abil Feed World Sustain Way. 15th Int Farm Manag Assoc Congr. Campinas, 14-19 Agustus 2005. Cambridge (UK): International Farm Management Association.136144. Siggel E. 2007. International competitiveness and comparative advantage: a survey and a proposal for measurement. In: CESifo Venice Summer Inst 2007. Venice, 16-21 July 2007. Venice (IT): CESifo.1–33. Simanjuntak SB. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Simatupang P, Hadi PU. 2004. Daya saing usaha peternakan menuju 2020. Wartazoa. 14:45-57. Situmorang GF. 2013. Analisis Usaha Peternakan Broiler Pola Kemitraan Dan Peternak Mandiri (Studi Kasus pada PT Sur). Medan (ID) : Universitas Sumatra Utara.
81 Suh JK, Chung C, and Lee JW. 2013. Korea's Trade Liberalization and Consumer Welfare . World Economy 3(46): 12-14. Suryana A. 2004. Arah, Strategi, dan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, 4 Agustus 2004. Susila WR. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi [Disertasi]. Bogor (ID): Instritut Pertanian Bogor. [USDA] United State Department of Agriculture. 2014. Global Agricultural Information Network: Thailand Poultry and Products Annual. USDA Foreign Agricultural Services (US). Ugochukwu AI, Ezedinma CI. 2011. Intensification of Rice Production Systems In South Eastern Nigeria : A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal of Agricultural Management & Development 1(2): 89-100. Warr PG. 1994. Comparative and Competitive Advantage. Asian Pacific Economic Literature. 8(2): 3-14. Yunus R. 2009. Analisis Efisiensi Produksi Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Yusdja Y, R. Sayuti, M. Iqbal, dan Tambunan. 1999. Perumusan Kebijaksanaan dan Model Restrukturisasi Industri Ternak Unggas Nasional. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
82
LAMPIRAN Lampiran 1 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan Uraian I
II
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran 3 Insentif Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total Biaya Keuntungan Pedagang A Penerimaan 1 Karkas 2 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus Total Penerimaan B Biaya 1 Ayam hidup 2 Trasnpor k RPA 3 Pemotongan 4 Traspor ke pasar Total Biaya C Keuntungan
Penerimaan Total Biaya Total Keuntungan Total
Asing
Privat Domestik
Total
28 889 866 105 485 761 837 29 757 189 1 522 521 0 10 251 123 302 681 52 357.22 26 809 42 474 66 879 160 009 24 203 5 835 10 700 9 754 0 0 0 0 0 0 89 548 39 567 0 0 12 604 460
4 500 109 0 4 795 293 165 575 28 641 14 665 23 234 36 584 87 529 13 239 3 192 8 883 8 097 200 228 296 315 78 274 2 515 0 475 367 65 165 28 793 127 793 3 298 954 14 258 449
6 022 631 0 15 046 415 468 256 80 998 41 475 65 708 103 464 247 538 37 443 9 027 19 583 17 851 200 228 296 315 78 274 2 515 0 475 367 154 713 68 359 127 792 3 298 954 26 862 909 2 894 279
31 880 000 374 346 1 884 222 1 424 997 1 059 674 36 623 240 10 841 789 215 599 116 279 443 242 11 616 910
18 048 077 2 179 945 1 175 714 275 257 21 678 993
24 221 370
35 937 442
28 889 866 2 395 544 1 291 993 718 500 33 295 903 3 327 338
66 380 429 60 158 812 6 221 617
83 Lampiran 2 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan dengan kemitraan di Kecamatan Pamijahan Uraian I
II
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran 3 Insentif Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total Biaya Keuntungan
Asing
Sosial Domestik
18 548 393 105 485 761 837 19 415 716 1 248 467 0 7 662 714 210 053 43 420 0 0 0 115 038 13 493 5 595 10 700 9 754 0 0 0 0 0 0 89 548 39 567 0 0
3 690 090 0 3 584 481 114 905 23 752 0 0 0 62 929 7 381 3 061 8 883 8 097 200 228 296 315 78 274 2 515 0 475 367 65 165 28 793 127 793 3 008 073 9 448 349
Pedagang A Penerimaan 1 Karkas 2 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus
B
C
Total Penerimaan Biaya 1 Ayam hidup 2 Trasnpor k RPA 3 Pemotongan 4 Traspor ke pasar Total Biaya Keuntungan
Penerimaan Total Biaya Total Keuntungan Total
Total
4 938 557 0 11 247 195 324 958 67 171 0 0 0 177 967 20 874 8 655 19 583 17 852 200 228 296 315 78 274 2 515 0 475 367 154 713 68 360 127 793 3 008 073 11 786 103
20 468 173 374 347 1 884 222 1 424 998 1 059 674 25 211 414
6 960 841 1 761 594 116 279 528 358 9 367 072
11 587 552 1 093 964 1 175 714 328 115 14 185 345
18 815 421
25 971 448
18 548 393 2 855 558 1 291 993 856 473 23 552 417 1 658 997
44 627 130 44 786 868 -159 738
84 Lampiran 3 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan Uraian I
II
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total Biaya Keuntungan Pedagang A Penerimaan 1 Karkas 2 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus Total Penerimaan B Biaya 1 Ayam hidup 2 Trasnpor k RPA 3 Pemotongan 4 Traspor ke pasar Total Biaya C Keuntungan
Penerimaan Total Biaya Total Keuntungan Total
Asing
Privat Domestik
Total
29 174 977 116 914 29 291 891 1 501 263 0 10 976 250 313 446 51 609 34 421 30 471 64 685 167 079 44 212 6 894 9 848 6 428 0 0 0 0 0 0 82 702 40 187 0 0 13 329 494
4 437 277 0 5 134 494 171 464 28 232 18 829 16 668 35 385 91 397 24 185 3 771 8 175 5 336 180 531 362 515 65 373 1 793 514 352 403 466 60 183 29 244 114 289 3 505 104 15 212 065
5 938 540 0 16 110 744 484 910 79 841 53 250 47 139 100 070 258 476 68 398 10 666 18 023 11 763 180 531 362 515 65 373 1 793 514 352 403 466 142 885 69 431 114 289 3 505 104 28 541 559 750 332
31 622 222 380 053 1 911 943 1 506 552 1 056 759 36 477 529 10 948 785 1 728 303 182 144 426 689 13 285 922
18 226 191 1 073 290 1 841 682 264 978 21 406 141
26 615 416
36 618 206
29 174 977 2 801 593 2 023 826 691 667 34 692 063 1 785 467
65 769 420 63 233 622 2 535 798
85 Lampiran 4 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada pengusahaan mandiri di Kecamatan Pamijahan Uraian I
II
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan Bunga Modal Total Biaya Keuntungan
Asing
Sosial Domestik
18 884 140 116 914 19 001 054 1 231 036 0 8 204 747 220 216 45 520 0 0 0 118 223 26 406 7 522 9 848 6 428 0 0 0 0 0 0 82 702 40 187 0 0 9 992 834
3 638 567 0 3 838 034 120 465 24 901 0 0 0 64 672 14 445 4 115 8 175 5 336 180 531 362 515 65 373 1 793 514 352 403 466 60 183 29 244 114 289 1 399 917 10 850 373
Pedagang A Penerimaan 1 Karkas 2 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus
B
C
Total Penerimaan Biaya 1 Ayam hidup 2 Trasnpor k RPA 3 Pemotongan 4 Traspor ke pasar Total Biaya Keuntungan
Penerimaan Total Biaya Total Keuntungan Total
Total
4 869 603 0 12 042 781 340 680 70 421 0 0 0 182 895 40 851 11 637 18 023 11 763 180 531 362 515 65 373 1 793 514 352 403 466 142 885 69 431 114 289 1 399 917 20 843 207 -1 842 153
20 468 173 380 053 1 911 943 1 506 552 1 056 759 25 211 414
7 086 840 2 060 187 182 144 508 626 9 837 797
11 797 300 1 279 393 1 841 682 315 861 15 234 236
19 830 631
26 084 609
18 884 140 3 339 580 2 023 826 824 487 25 072 033 251 447
44 324 534 45 915 240 -1 590 706
86 Lampiran 5 Biaya dan penerimaan privat sistem komoditi ayam ras pedaging pada perusahaan terintegerasi Uraian I
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran 3 Karkas 4 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan 9 Beban Mnjmn : TK tetap Lainnya 10 Transpor k RPA 11 Pemotongan 12 Transpor ke pasar 13 Bunga modal Total Biaya C Keuntungan
Asing
Privat Domestik
Total
0 49 191 27 950 000 243 582 1 078 729 1 276 119 1 026 866 31 624 487 879 100 2 981 663 4 612 181 190 085 31 379 0 0 0 0 49 359 8 996 14 538 7 769 0 0 0 0 0 0 134 357 63 911 0 0 361 761 153 660 83 955 262 183 1 965 968 11 800 865
2 598 353 1 394 769 2 157 496 103 982 17 165 0 0 0 0 27 001 4 921 12 068 6 450 169 050 318 363 307 939 5 812 374 854 0 97 773 46 509 164 175 1 022 590 483 475 95 424 848 881 162 818 869 699 11 289 566
3 477 453 4 376 432 6 769 678 294 066 48 544 0 0 0 0 76 359 13 917 26 606 14 219 169 050 318 363 307 939 5 812 374 854 0 232 130 110 421 164 175 1 022 590 845 237 249 084 932 836 425 000 2 835 667 23 090 431 8 534 056
87 Lampiran 6 Biaya dan penerimaan sosial sistem komoditi ayam ras pedaging pada perusahaan terintegerasi Uraian I
PETERNAKAN A Penerimaan 1 Ayam Hidup 2 Kotoran 3 Karkas 4 Sampingan : kepala ati ampela ceker usus Total Penerimaan B Biaya 1 DOC 2 Pakan: -starter -finisher 3 Vaksin ND Vaksin IBD Obat Cocci Obat CRD Obat Coryza Obat Coli Vitamin Skim 4 Detergen Formalin 5 Sekam 6 Bahan Bakar 7 Listrik 8 PBB Tenaga Kerja : LK DK Penyusutan : kandang peralatan Sewa lahan 9 Beban Mnjmn : TK tetap Lainnya 10 Transpor ke RPA 11 Pemotongan 12 Transpor ke pasar 13 Bunga modal Total Biaya C Keuntungan
Asing
Sosial Domestik
Total
0 49 191 20 484 667 243 582 1 078 729 1 276 119 1 026 866 24 159 154 720 862 2 228 793 3 447 606 144 734 30 020 0 0 0 0 14 990 5 377 14 538 7 769 0 0 0 0 0 0 134 357 63 911 0 0 361 761 183 501 83 955 313 099 839 330 8 594 604
2 130 649 1 042 590 1 612 728 79 174 16 422 0 0 0 0 8 200 2 942 12 068 6 450 169 050 318 363 307 939 5 812 374 854 0 97 773 46 509 164 175 1 022 590 483 475 113 956 848 881 194 437 371 300 9 430 337
2 851 511 3 271 383 5 060 334 223 908 46 442 0 0 0 0 23 190 8 319 26 606 14 219 169 050 318 363 307 939 5 812 374 854 0 232 130 110 421 164 175 1 022 590 845 237 297 457 932 836 507 536 1 210 630 18 024 941 6 134 213
88 Lampiran 7 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan tarif impor menjadi nol persen Biaya Keterangan Mitra Harga privat Harga sosial Efek divergensi Mandiri Harga privat Harga sosial Efek divergensi Perusahaan Harga privat Harga sosial Efek divergensi
Lampiran
Penerimaan
Input Tradable
Input Nontradable
Keuntungan
58 187 270 51 042 927 7 144 343
24 221 370 21 223 141 2 998 229
35 937 442 30 441 462 5 495 981
-1 971 543 -621 676 -1 349 867
57 642 509 50 856 464 6 786 045
26 615 416 22 281 934 4 333 482
36 618 206 30 165 236 6 452 970
-5 591 113 -1 590 706 -4 000 407
24 413 387 24 159 154 254 233
11 800 865 8 594 604 3 206 261
11 289 566 9 430 337 1 859 230
1 322 956 6 134 213 -4 811 257
8 Policy Analysis Matriks untuk skenario perubahan interest rate menjadi 5 persen Biaya
Keterangan Mitra Harga privat Harga sosial Efek divergensi Mandiri Harga privat Harga sosial Efek divergensi Perusahaan Harga privat Harga sosial Efek divergensi
Penerimaan
Input Tradable
Input Nontradable
Keuntungan
66 380 430 44 627 130 21 753 300
24 221 370 18 815 421 5 405 949
33 816 686 22 635 300 11 181 387
8 342 373 3 176 410 5 165 964
65 769 420 44 324 534 21 444 886
26 615 416 19 830 631 6 784 785
34 364 925 24 334 713 10 030 212
4 789 079 159 190 4 629 889
31 624 487 24 159 154 7 465 333
10 537 028 7 545 442 2 991 587
10 730 474 8 966 211 1 764 263
10 356 985 7 647 501 2 709 484
89 Lampiran 9 Policy Analysis Matriks untuk skenario penurunan biaya logistik 20 persen Biaya Keterangan Mitra Harga privat Harga sosial Efek divergensi Mandiri Harga privat Harga sosial Efek divergensi Perusahaan Harga privat Harga sosial Efek divergensi
Penerimaan
Input Tradable
Input Nontradable
Keuntungan
66 380 430 44 627 130 21 753 300
22 641 505 16 521 755 6 119 749
33 791 790 22 094 478 11 697 312
9 947 135 6 010 896 3 936 239
65 769 420 44 324 534 21 444 886
24 696 825 17 376 972 7 319 853
34 791 644 23 894 596 10 897 048
6 280 951 3 052 966 3 227 984
31 624 487 24 159 154 7 465 333
10 545 798 6 981 875 3 563 924
10 389 718 8 225 401 2 164 317
10 688 971 8 951 878 1 737 092
Lampiran 10 Policy Analysis Matriks untuk skenario kombinasi Biaya Keterangan Mitra Harga privat Harga sosial Efek divergensi Mandiri Harga privat Harga sosial Efek divergensi Perusahaan Harga privat Harga sosial Efek divergensi
Penerimaan
Input Tradable
Input Nontradable
Keuntungan
50 666 367 44 530 923 6 135 444
19 855 165 16 521 755 3 333 409
27 277 629 20 767 463 6 510 166
3 533 573 7 241 704 -3 708 131
50 144 540 44 324 534 5 820 006
21 882 988 17 376 972 4 506 016
28 094 745 22 464 641 5 630 104
166 808 4 482 921 -4 316 113
24 441 337 24 159 154 282 183
9 399 910 6 096 718 3 303 192
9 882 803 7 833 828 2 048 975
5 158 625 10 228 609 -5 069 984
90
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 27 Juli 1993. Penulis adalah putri pertama pasangan Ahmad Firdausi dan Tentrem Setyaningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Sabilillah Malang pada tahun 2005, Pendidikan menengah pertama di SMP Islam Sabilillah Malang pada tahun 2008, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Malang pada tahun 2010 dengan program akselerasi. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Talenta Masuk IPB (UTMI) dan diterima di Depertemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga mengikuti kegiatan dalam kepanitiaan maupun organisasi. Kepanitiaan yang pernah diikuti diantaranya yaitu sebagai ketua divisi acara Agribisnis Goes to Bandung (Fieldtrip Agribisnis 47), staf humas Agrination HIPMA IPB tahun 2011, humas The 2nd Extravaganza BEM FEM IPB tahun 2012, dan staf divisi acara The 3rd Extravaganza BEM FEM IPB tahun 2013. Prestasi yang pernah diperoleh penulis selama masa perkuliahan antara lain: Lolos didanai PKM bidang Kewirausahaan tahun 2011, Juara 3 Lomba Bisnis Plan tingkat Nasional di Universitas Brawijaya tahun 2012, dan 10 besar Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah EXIST FAIR Universitas Jambi tahun 2013. Mendukung studi S2 yang dijalankan, penulis juga tercatat sebagai penerima beasiswa unggulan dari Kementerian Negara Pendidikan dan Budaya melalui Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BU- BPKLN).