DAYA INFEKSI Plasmodium berghei STADIUM ERITROSITIK YANG DIIRRADIASI SINAR GAMMA Darlina dan Devita T. ABSTRACT THE VIRULENCE OF Plasmodium berghei ERYTHROCYTIC STAGE WHICH WAS ATTENUATED WITH GAMMA IRRADIATION. Plasmodium berghei and mice as the host the represents suitable model for malaria research. This research was conducted with aim to investigate the effect of gamma irradiation to the Plasmodium berghei virulence in erythrocytic stage, to obtain the malaria vaccine candidate. Irradiated P.berghei were inoculated into mice and prepatent period, parasitemia and mortality of the mice were observed. The results showed that 75 - 125 Gy of radiation could not decreased parasite virulence this was shown by the higher parsitemia until all mice werw died on day 16 – 22 post inoculated 1. The irradiation dose of 150, 175 Gy could decrease the infection. The longer prepatent periode, the reduced parasitemia, and low mortality were observed in both groups. Key words: Malaria, vaccine, P. Berghei, prepatent period, parasitemia, virulence ABSTRAK DAYA INFEKSI Plasmodium berghei STADIUM ERITROSITIK YANG DIIRADIASI SINAR GAMMA. Plasmodium berghei dan mencit sebagai inangnya merupakan model yang cocok untuk mempelajari malaria. Sebagai studi awal dalam pengembangan bahan dasar vaksin malaria dengan teknologi nuklir, dilakukan penelitian pengaruh iradiasi gamma terhadap daya infeksi Plasmodium berghei. Tujuan penelitian ini adalah mencari dosis yang optimal untuk melemahkan P.berghei stadium eritrositik sehingga daya infeksinya menurun dan dapat mengaktifkan respon imun mencit. Pengaruh dosis iradiasi terhadap daya infeksi parasit dievaluasi dari periode prepaten, persen parasitemia, dan mortalitas mencit Hasilnya menunjukan dosis iradiasi 75 - 125 Gy tidak mampu menurunkan daya infeksi Plasmodium berghei, hal ini ditunjukkan dari periode prepaten 4 hari, parasitemia terus meningkat hingga semua mencit mati pada hari ke 16 – 22 hari paska inokulasi 1. Dosis iradiasi 150 – 175 Gy dapat menurunkan daya infeksi parasit. Periode prepaten yang panjang, parasitemia yang rendah, angka mortalitas terjadi pada ke dua kelompok ini. Kata kunci: Malaria, vaksin, P.berghei, daya infeksi, parasitemia, periode prepaten
1
I.
PENDAHULUAN Plasmodium merupakan parasit penyebab malaria. Lebih dari 100 spesies Plasmodium
hidup sebagai parasit pada vertebrata terutama mammalia. Malaria merupakan salah satu penyakit pada manusia yang tersebar luas, telah dikenal sejak lama, dan banyak menimbulkan kesakitan/morbiditas dan kematian [1]. Upaya yang dilakukan untuk penanggulangan penyakit malaria antara lain dengan memutus rantai penularan, mengobati penderita sedini mungkin. Suatu masalah yang mempersulit penanggulangan penyakit malaria adalah berkembangnya resistensi plasmodium terhadap obat yang ada, dan nyamuk yang resisten terhadap insektisida. Salah satu alternatif untuk menjembatani masalah tersebut adalah tindakan pencegahan terhadap terjadinya infeksi malaria dengan vaksinasi [2] Upaya pengembangan vaksin masih terus dilakukan karena vaksin malaria yang secara efektif dapat melindungi tubuh terhadap infeksi dan komplikasi malaria saat ini masih belum ditemukan. Berbagai metode imunisasi sudah pernah dicoba pada beberapa hewan percobaan dengan tujuan untuk mendapatkan proteksi yang optimal terhadap infeksi malaria. Vaksin malaria yang sudah pernah diteliti adalah vaksin terhadap 3 stadium perkembangan plasmodium yaitu vaksin terhadap sporozoit, vaksin terhadap parasit stadium eritrositik bentuk asexual dan bentuk sexual. Vaksin malaria stadium eritrositik digunakan untuk menghambat perkembangan parasit di dalam eritrosit. Gejala klinis malaria yang muncul disebabkan oleh stadium eritrositik melalui produk-produknya yang bersifat antigenik maupun toksik. Vaksin malaria stadium eritrositik ditujukan untuk menghambat perkembangan parasit di dalam eritrosit serta mengurangi manifestasi klinis yang timbul. Vaksin tersebut umumnya hanya menyebabkan reduksi parsial parasitemia [3]. Pemanfaatan iradiasi gamma untuk menghasilkan suatu immunogen yang potensial sudah banyak diteliti. Pemberian immunogen yang telah diirradiasi oleh sinar gamma ternyata dapat menghasilkan antibodi yang dapat menahan serangan infeksi parasit. Yadev dkk dalam [4] telah membuktikan bahwa pemberian immunisasi lebih dari satu kali Plasmodium berghei yang telah diiradiasi sinar gamma menghasilkan mencit yang lebih bertahan hidup dan mempunyai kekebalan yang lebih besar terhadap penyakit malaria dibandingkan dengan satu kali imunisasi. 2
Plasmodium berghei adalah hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. Dasar biologi plasmodium yang menyerang rodensia sama dengan plasmodium yang menyerang manusia seperti siklus hidup maupun morfologinya, genetik dan pengaturan genomenya, fungsi dan struktur pada kandidat vaksin antigen target sama [5]. Sehingga penelitian berbagai aspek parasitologi, imunologi, dan pengembangan vaksin malaria banyak menggunakan parasit rodensia dan mencit sebagai hospesnya. Selain itu penelitian in vivo pada interaksi parasit dengan hospesnya dapat dilakukan pada parasit rodensia. Dengan model ini kemungkinan dapat dilakukan manipulasi pada hospes sehingga dapat dipelajari perubahan imunologis yang terjadi selama infeksi malaria. Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia atau rodensia adalah sama, yaitu mengalami stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia atau rodensia dan kembali ke nyamuk. Siklus ini terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk anopheles, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia atau rodensia yang terdiri dari fase eritrosit (erythrocytic schizogony) dan fase yang berlangsung di dalam parenkim sel hati (exo-erythrocytic schizogony). Proses patologi pada malaria adalah akibat siklus eritrosit. Beratnya penyakit malaria berhubungan dengan densitas parasit, serta berhubungan dengan kemampuan parasit bermutiplikasi dengan baik di dalam hati maupun di dalam eritrosit. Siklus eritrositik ini menimbulkan tanda dan gejala karakteristik dan terus tidak mereda sampai inang tersebut mati atau sering mengaktifkan respon imun yang mampu membunuh atau menekan pertumbuhan parasit. menginvasi eritrosit, bagaimana kecepatan dan derajat parasit bermultiplikasi dalam hubungan dengan berat penyakit [6]. Seperti yang telah disebutkan di atas, pemanfaatan radiasi gamma untuk menghasilkan bahan vaksin telah diteliti. Pemanfaatan radiasi untuk bahan vaksin karena radiasi dapat mematikan atau melemahkan sel sehingga menghasilkan mutan-mutan yang memiliki virulensi lemah (invirulensi). Pada penelitian ini dipelajari pengaruh dosis iradiasi gamma pada daya infeksi (virulensi) P. Berghei fase eritrositik pada mencit. Efek iradiasi yang diamati meliputi periode prepaten, angka parasitemia, dan angka mortalitas mencit.
3
II.
BAHAN DAN TATA KERJA
Parasit Plasmodium berghei strain ANKA diperoleh dari Departemen Kesehatan Jakarta. Pengembang biakan parasit dilakukan dengan cara menginfeksikannya ke dalam tubuh mencit strain Swiss di laboratorium Biomedika PTKMR. Hewan coba Mencit (Swiss Webster) jantan yang berumur sekitar 2 bulan dengan berat 30 hingga 35 gram diperoleh dari Lembaga Gizi. Mencit dipelihara dalam sangkar plastik dengan tutup kawat. Mencit diberi makan pelet dan minum secara ad libitum. Iradiasi P. berghei Setiap hari dilakukan pemeriksaan jumlah parasit dengan membuat apusan darah tipis. Bila jumlah P. Berghei sudah cukup banyak, dilakukan penentuan densitas parasit dengan menghitung jumlah parasit per ml darah merah. Jumlah sel darah merah dihitung menggunakan hemositometer. Setelah itu mencit segera dianastesi dengan eter dan darahnya diambil langsung dari jantung menggunakan alat suntik 1 cc yang berisi anti koagulan (citrat phospat dextrose/CPD). Darah ditampung dalam beberapa tabung eppendorf sesuai dengan jumlah dosis yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan rradiasi menggunakan ”Irradiator Gamma Cell 220”, di PATIR-BATAN. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa variasi dosis, 0, 75, 100, 125, 150, 175 Gy . Inokulasi P. berghei Inokulum merupakan P.berghei yang telah dilemahkan dengan sinar gamma, dengan dosis bervariasi. Inokulasi dilakukan dengan menyuntikan 0,2 ml inokulum yang mengandung P. Berghei ± 1 x 106 parasit stadium eritrositik ke dalam rongga peritoneum. Dua minggu setelah inokulasi pertama dilakukan inokulasi kedua (booster) Pengamatan Pengamatan dilakukan pada hari ke-1 hingga 29 meliputi angka parasitemia dan kematian (mortalitas) mencit. Parasitemia pada mencit diamati setiap 2 hari dengan mengambil darah perifer dari ujung ekor. Darah yang diperoleh dibuat sediaan apus darah tipis pada kaca preparat. Apusan dibiarkan mengering kemudian difiksasi dengan metanol selama 4
30 detik. Apusan diwarnai dengan 10 % larutan Giemsa dan dibiarkan mengering [7]. Preparat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x. Parasitemia dihitung dengan memilih bagian-bagian yang tiap lapangan pandang mengandung sel dengan susunan tidak saling menumpuk. Dihitung jumlah eritrosit yang terinfeksi sekitar 1000 sel eritrosit dan 200 sel leukosit yang terhitung III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan variasi dosis, 75 hingga 175 Gy dengan interval dosis 25 Gy, untuk mengetahui efek dosis terhadap virulensi parasit. Pada masing-masing dosis tampaknya ada periode prepaten dan densitas parasit yang berbeda serta puncak persen parasitemia yang muncul pada hari yang berbeda-beda (lihat Gambar 1). Pada kelompok mencit yang diinfeksi dengan parasit yang tidak diiradiasi (kontrol), parasitemia mulai terdeteksi pada hari ke-2 atau periode prepaten pada kelompok ini adalah dua hari, diikuti dengan peningkatan parasitemia yang cepat dan mencapai puncaknya pada hari ke lima. Dua hari setelah periode prepaten, mencit kontrol mulai menunjukkan gejala klinis yang semakin hari semakin berat dan menyebabkan kematian pada hari ke-9. Menurut Yoelii dkk dalam [8] pada infeksi transmisi periode inkubasi atau paten parasitemia muncul 4 hingga 7 hari paska infeksi. Periode prepaten yang pendek serta meningkatnya densitas parasit dalam darah menunjukkan pertumbuhan parasit yang tidak terhambat pada kelompok mencit ini. Periode prepaten adalah waktu minimum mulai dari infeksi oleh nyamuk sampai dengan pertama terlihatnya merozoit di dalam eritrosit. Umumnya dua hari setelah periode prepaten adalah masa dimulai infeksi sampai tampak gejala-gejala atau tanda-tanda infeksi yaitu parasitemia mencapai kepadatan tertentu untuk dapat menimbulkan gejala klinis (periode inkubasi), seperti terlihat pada mencit kontrol. Densitas pertumbuhan parasit di dalam darah dinyatakan dengan persen parasitemia. Persen parasitemia menunjukan eritrosit yang terinfeksi parasit akibat aktifitas pertumbuhan parasit. Pada kelompok mencit yang diinfeksi dengan parasit yang diiradiasi dengan dosis 75 Gy, parasitemia mulai terdeteksi pada hari ke empat atau periode prepaten 4 hari, daya infeksi yang ditunjukkan oleh densitas parasit dalam eritrosit yang semakin meningkat seiring dengan 5
waktu pengamatan dan mencapai puncaknya pada hari 15 parasitemia hingga mencapai 20%.
Densitas P.berghei (%)
Dosis ini diduga merupakan stimulan untuk pertumbuhan P.berghei.
30 25 20 15 10 5 0 0
3
5
7
9
13
18
21
26
Waktu Pengamatan (Hari) 0
75
100
125
150
175
Gambar 1. Parasitemia mencit Swiss yang diimunisasi dengan P.berghei yang dilemahkan dengan beberapa dosis iradiasi P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 100 dan 125 Gy, periode prepaten muncul pada hari ke empat, densitas parasit semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke-18 atau 4 hari setelah paska inokulasi kedua, kemudian menurun dan mencit mati pada hari ke 21. Penurunan densitas pada kedua dosis ini tidak menunjukkan daya infeksi dan beratnya penyakit semakin berkurang, hal ini mungkin disebabkan parasit stadium eritrositik berkembang menjadi merozoit baru atau gametosit dan parasit masuk (sekuestrasi) ke jaringan dalam sehingga dapat menyebabkan taksiran densitas parasit pada darah perifer rendah. Iradiasi dengan dosis 75, 100, dan 125 Gy belum cukup untuk melemahkan parasit dan menurunkan virulensinya. Penundaan prepaten mungkin disebabkan setelah diiradiasi parasit membutuhkan waktu untuk tumbuh setelah itu kecepatan pertumbuhan dan kemampuan bermultiplikasinya kembali normal yang dibuktikan dengan semakin meningkatnya densitas parasit dalam eritrosit selama pengamatan. Pada P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 150 Gy dan 175 Gy menunjukkan perpanjangan periode prepaten yaitu enam hari. Parasitemia sedikit meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke sembilan dengan persentase parasitemia 9,4 % untuk dosis 150 Gy 6
dan 5,4 % pada dosis 175 Gy kemudian menurun hingga 0%. Bahkan pada dosis 175 Gy densitas parasit tidak terlihat lagi dalam sediaan apusan tipis pada hari ke-14. Hal ini menunjukkan iradiasi dengan dosis 150 Gy dan 175 Gy mampu melemahkan parasit hal ini dibuktikan dengan perpanjangan periode prepaten dan densitas parasit yang rendah. Inokulasi kedua dilakukan pada hari ke 14 atau 2 minggu setelah inokulasi pertama. Inokulasi kedua menggunakan parasit yang telah diiradiasi dengan dosis yang sama dengan inokulasi pertama. Inokulasi kedua bertindak sebagai booster untuk memacu respon imun mencit sehingga dapat menurunkan virulensi dan menekan pertumbuhan parasit. Pengaruh inokulasi kedua terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei dapat dilihat pada tabel 1. Pada kelompok mencit kontrol tidak dilakukan booster karena sampai hari ke-14 semua mencit mati. Inokulasi ulang (booster) pada kelompok mencit dengan dosis iradiasi 75, 100, 125 Gy, tidak memacu respon imun mencit atau tidak dapat menurunkan daya infeksi parasit, hal ini terlihat dari kecepatan pertumbuhan parasit yang tidak menurun dilihat dari parasitemia yang semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke 14, setelah itu semua mencit mati pada dosis 75 Gy. Pada kelompok mencit dengan dosis iradiasi 100 Gy dan 125 Gy densitas parasit menurun setelah hari ke 18, tetapi 4-5 hari kemudian semua mencit mati. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan booster menyebabkan daya infeksi parasit semakin tinggi karena akumulasi jumlah parasit yang aktif dalam darah. Tabel 1. Pengaruh Imunisasi terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei stadium eritrositik DOSIS (Gy) 0 75 100 125 150 175
H3 P + + -
D % 11,7 < -
P + + + + + +
IMUNISASI 1 H5 H7 D P D % % + 13,7 16,6 10,8 9,5 + 11,4 2,8 + 1,7 + 8,1 + 2,4 + -
H9 P
D % 13 16 14 11,4 9 5,4
+ + + + + +
H14 P D % + + + + +
Keterangan : P = Parasit D = Densitas parasit dalam eritrosit (persen parasitemia) + = ada pertumbuhan - = tidak tumbuh
7
18,3 17 14,8 6 0
IMUNISASI 2 H18 H21 P D P D % % MATI MATI + 26 + 21 + 15 + 10 + 5 + 0 + 0 + 0
H26 P D %
MATI MATI + 0 + 0
Pada kelompok mencit dengan dosis iradiasi 150 dan 175 Gy, setelah dilakukan booster menunjukkan terjadinya penurunan densitas parasit. Pada dosis 150 Gy dalam sediaan apusan tipis parasit tidak terdeteksi setelah hari ke 21. Tidak terdeteksinya parasit dalam sediaan apusan tipis belum dapat membuktikan parasit sudah hilang dalam darah namun perlu dilakukan pengecekan pada sediaan apusan darah tebal (lihat Tabel 2) Tabel 2. Densitas P.berghei pada sediaan apusan darah tebal dan tipis pada hari ke-18 hingga hari ke-26 H-18 H-21 H-26 Dosis Tebal Tipis Tebal Tipis Tebal Tipis 150 Gy > 5% 1% 0 8,8% 0 175 Gy 1,3% 0 0,1% 0 13,2% 0 Keterangan ; H = hari Pada kelompok mencit dengan dosis 150 Gy, pada hari ke 21 atau seminggu setelah booster terjadi penurunan densitas parasit dalam sediaan apusan tipis maupun apusan tebal, tetapi pada hari ke 26 terjadi peningkatan. Hal ini menunjukan booster mampu meningkatkan respon imun mencit dilihat dari terjadinya penurunan densitas parasit dalam darah tetapi parasit masih tetap ada walaupun jumlahnya kecil. Parasit yang masih ada memerlukan waktu untuk tumbuh kembali, sehingga 12 hari setelah inokulasi kedua terjadi peningkatan densitas parasit di apusan darah tebal. Tidak terlihatnya parasit pada sediaan apusan tipis disebabkan karena konsentrasi parasit dalam darah rendah sehingga tidak terdeteksi. Siklus eritrositik dimulai dengan keluarnya merozoit dari skizon matang di hati masuk ke dalam sirkulasi darah kemudian menyerang eritrosit. Setelah masuk ke dalam eritrosit, merozoit membesar menjadi sel tunggal yang disebut tropozoit, yang mengisi 2/3 bagian sel dan mempunyai kecenderungan menginfeksi eritrosit muda (retikulosit). Tropozoit muda bentuk cincin, tropozoit tua dan skizon muda sitoplasmanya padat, skizon masak mengandung 6 – 10 merozoit [7]. Pertumbuhan parasit membutuhkan makanan yang diambil dari sitoplasma eritrosit, parasit akan memakan haemoglobin (Hb) yang kemudian mengalami degradasi menjadi pigmen hemozoin. Perkembangan parasit dalam eritrosit menyebabkan perubahan-perubahan pada eritrosit yang meliputi 3 hal utama yaitu; pembesaran, perubahan warna menjadi lebih pucat dan timbul bintik bintik pada pewarnaan tertentu. Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit akan pecah dan melepaskan merozoit ke dalam plasma dan 8
selanjutnya akan menyerang eritrosit lain dan memulai proses baru. Siklus eritrositik ini menimbulkan tanda dan gejala karakteristik dan tidak akan mereda sampai inang tersebut mati atau sering mengaktifkan respon imun yang mampu membunuh atau menekan pertumbuhan parasit. Infeksi P. Berghei pada mencit Swiss merupakan infeksi yang akut dan fatal. Beratnya infeksi malaria berhubungan dengan densitas parasit, yang pada gilirannya berhubungan dengan kemampuan parasit bermutiplikasi dengan baik di dalam hati maupun di dalam eritrosit [5]. Radiasi dapat menimbulkan efek mematikan atau melemahkan parasit sehingga menghasillkan parasit yang memiliki virulensi rendah atau invirulensi. Parasit yang memiliki virulensi rendah atau invirulensi diharapkan dapat memberikan efek imunisasi pada mencit yaitu dapat menstimulasi aktivitas imunologik mencit sehingga dapat menekan pertumbuhan parasit. Dosis iradiasi 150 Gy dan 175 Gy mampu melemahkan P.berghei sehingga daya infeksinya menurun, dosis ini dapat mengaktifkan antibodi mencit untuk menekan pertumbuhan parasit. Pada mencit yang mengalami pemulihan banyak ditemukan parasit bentuk degeneratif yaitu mulai mengecilnya sitoplasma dengan inti yang terpulas lebih gelap atau gambaran inti yang piknotik. Adanya gambaran parasit bentuk degeneratif pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi menunjukkan respon imunitas seluler hospes teraktifkan. Makrofag sebagai sel efektor dalam keadaan teraktivasi akan mensekresi berbagai mediator toksik diantaranya reactiveoxygen invermediates dan TNF yang dapat menyebabkan kematian parasit intraeritrositik [8]. Pada kelompok mencit yang diimunisasi dengan parasit diiradiasi dengan dosis 175 Gy hampir semuanya tidak menampakan gejala klinis akibat infeksi. Hal ini mungkin pada dosis 175 Gy jumlah parasit yang tumbuh sedikit sehingga daya infeksinya belum cukup untuk menimbulkan gejala klinis. Pada kelompok mencit dengan dosis 150 Gy mulai menunjukkan gejala klinis pada hari ke 8 – 10 hari pasca infeksi dan mengalami pemulihan seiring dengan waktu pengamatan. Hal ini membuktikan semakin besar dosis iradiasi yang diberikan semakin melemahkan parasit yang akhirnya akan menurunkan daya infeksinya. Menurut Wellde dkk di
9
dalam [9] tingkat resistensi yang didapatkan inang (host) sebanding dengan besar dosis iradiasi yang diterima parasit dan dosis parasit yang disuntikkan. IV.
KESIMPULAN Iradiasi gamma dapat melemahkan Plasmodium berghei dan menurunkan daya
infeksinya terhadap mencit Swiss. Turunnya daya infeksi P.berghei ditandai dengan pemanjangan periode prepaten, turunnya parasitemia dan penurunan angka mortalitas dari mencit. Dosis Iradiasi 150 Gy dan 175 Gy merupakan dosis yang mampu melemahkan P.berghei sehingga daya infeksinya menurun. Hal ini ditandai dengan pemanjangan periode prepaten, parasitemia yang rendah, gejala klinis yang ringan, umur mencit yang panjang. Inokulasi ulang (booster) P.berghei yang diiradiasi dengan kedua dosis ini dapat memacu respon imun mencit. DAFTAR PUSTAKA 1. WARDIARTO, Parasitologi Biologi Parasit Hewan, Jogyakarta, Gajah Mada University Press, 1989, 243 hal. 2. GUNAWAN S., Epidemiologi malaria , Penerbit buku kedokteran EGC, 2000 3. WIJAYANTI, M.A., N. SOERIPTO, SUPARGIYONO, dan L.E. FITRI, Pengaruh Imunisasi Mencit dengan Parasit Stadium Eritrositik Terhadap Infeksi Plasmodium berghei, Berkala Ilmu Kedoktera,. 1997, Vol 2, 53-59 4. HOFFMAN, S.L., GOH, M.L., LUKE, T.C., Protection of Humans against Malaria by Immunization with Radiation-attenuated Plasmodium falciparum Sporozoites. The Journal of Infectious Diseases, 2002 , 185: 1155-64. 5. TAMBAYONG E.H., Patobiologi Malaria dalam Harijanto P.N., (Ed) Malaria: Epiemiologi, Patogenesis, Manifestasi klinis dan Penanganannya, Penerbit buku kedokteran EGC, 2000 6. LJUNGSTROM, I, H, PERLAMAN, M. SCHILCHTHERLE, A. SCHERF & M. WAHLGREEN.. Methods In Malaria Research, MR4/ATCC, Manassas Virginia, 2004. 7. MELANKON-KAPLAN J., and WEIDANZ W.P., Role of cell mediated immunity in resistance to Malaria, In; Stevenson M.M. (Ed), Malaria: Host Responses to Infection, Boca Raton; CRC Press Inc., 1989 8. MELANKON-KAPLAN J, and WEIDANZ WP., Role of cell-mediated immunity in resoistance to Malaria, in Stevenson, MM. (editor), Malaria Host Responses to Infection, Boca Raton: C.R.C. Press Inc., 1984 9. NUSSENZWEIG, R.S., A.H. COCHRANE, LUSTIG H.J, Immunological responses, In; Killick-Kendrick.1978. 10