BAB 2 KERANGKA/DASAR PEMIKIRAN
2.1. Film Film pertama kali lahir di pertengahan abad 19, di buat dengan bahan dasar siloid yang sangat mudah terbakar bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sejalan dengan waktu, para ahli berlomba-lomba menyempurnakan lfilm agar lebih aman, lebih mudah di produksi dan enak di tonton. Di dalam UU Nomor 8 Tahun 1992, pasal 1 ayat(1) tentang perfilman di mana di sebutkan bahwa yang di maksud dengan film adalah karya cpta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa yang di buat berdasarkan asas sinemafotografi dengan di rekam pita suloid, pita video, piringan video. Sedangkan film maksudnya adalah film yang secara keseluruhan di produksi oleh lembaga pemerintah atau swasta atau pengusaha film di Indonesia, atau hasil kerjasama dengan perusahaan asing. Pengertian di atas jelas mengungkapkan bahwa film adalah sebuah proses sejarah atau suatu budaya proses masyarakat yang di sajikan dalam satu gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film. Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan sebagainya. Film ini juga identic sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan sejumlah orang, modal, dan manajemen. Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya film merupakan komiditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Di nilai dari sudut manapun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal, termasuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.
2.2. Cinéma Vérité Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité Hal ini memang menjadi sudut pandang dasar pembuatan film dokumenter diseluruh dunia, seberapa nyata kejadian, waktu dan karakter tanpa dipengaruhi unsur-unsur manipulatif seperti peng-adeganan dalam film itu sendiri. pengadeganan masih diperlukan dalam pembuatan film dokumenter tanpa menghilangkan unsur cinema verita dalam bentuk subjektivitas.
2. 3. Five C’s of Cinematography Dalam jobdesk Director of Photography istilah paling terkenal dalam konsep pengambilan gambar untuk membentuk makna yang tepat sebelum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dilakukan secara teknis pengambilan gambar terkenal dengan istilah The Five C‟s of Cinematography dalam buku karya Joseph V. Mascelli yaitu: 1) Camera Angles 2) Continuity 3) Cutting 4) Close Ups 5) Composition. Dimana dalam setiap unsur tersebut memiliki penjelasan yang tentunya sangat kompleks. Camera angle
merupakan konsep pengambilan gambar beradasarkan
sudut pandang dari kamera kepada objek dan subjek tertentu, seorang dokumentaris yang berjobdesk DOP harus banyak membaca, banyak mengamati lingkungan, banyak berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat, dan banyak berdiskusi dengan lingkungan sosial dan budaya setempat, Sehingga camera angles sangat penting dan mempengaruhi cerita. - Close Up (CU) adalah secara umum tipe shot ini pengambilannya ada pada area wajah hingga bahu , namun banyak istilah dari ide Close Up itu sendiri seperti head and shoulder close up, head close up includes, dan a choker close up namun semua itu tergantung dari ide kameramen dan sutradara masing-masing dalam pembuatan film Kemudian yang kedua bagian dari Five c’s Cinematography ialah “continuity a professional sound motion picture should present a continuous , smooth, logocal flow of visual images, supplemented by sound , depicting the
http://digilib.mercubuana.ac.id/
filmes event in coherent manner.” Yang dapat diartikan secara umum ialah dalam pengambilan teknik atau konsep cinematography setiap adegan harus memiliki kesinambungan gambar dari scene satu ke scene yang lain sehingga memiliki keselarasan dan bisa diterima logika seperti waktu, tempat, lighting , pemain , sudut kamera dan lain-lain. Selanjutnya
adalah
Cutting
merupakan
bagian
dari
analisis
cinematography juga karena peran DOP juga sebagai penyunting gambar pada tahap produksi karena menurut buku The Five C’s of Cinematography adalah “ film editing may be compared with cutting, polishing and mounting diamond. This chapter is not intended for films editors, it is aimed at the non theathrical cameraman filming, the film editors strives to impart visual variety to the pictur by skillful shot selection, arrangement, and timming .He recreates, rather than reproduces.” Diartikan bahwa unsur pemotongan tidak hanya dibagian paska produksi tapi juga dalam produksi seorang kameramen harus bisa menseleksi gambar sehingga untuk editor nanti pada tahap pra produksi mengetahui keselarasan unsur sinematography antar shot satu dan yang lain sehingga mendapat timing yang pas. Bagian berikutnya adalah Close-Ups mengapa closeup menjadi bagian penting bahkan besar dalam ilmu cinemtography menurut Josseph dalam bukunya “ The close up is a device unique to motion pictures. Only motion pictures allow large scale portrayal of a portion of the action. Close ups should be considered from both visual and editorial standpoints.” Karena close up bagian unik yang dijelaskan menurut josseph karena di pengambilan gambar akan berpengaruh pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perasaan orang yang menonton film itu dan untuk mempertegas kejadian atau ekspressi pemain secara lebih detail include close up akan berdampak pada rasa sebuah film melalui ekspresi entah itu horror ,lucu, tegang, sadis, atau, marah dari gambar Close Up itu muncul untuk meyakinkan penonton. Composition
adalah
bagian
terakhir
dari
rangkaian
penting
sinematography menurut Jossep V. Mascelli karena melalui komposisi gambar jadi memiliki nilai fotografis dan enak untuk dipandang atau lebih memiliki seni seperti berikut “good composition is arrangement of pictorial elements to form a unified, harmonious whole. A cameramen composes whenever he positions a player, a piece of furniture, or a prop, place and movement of players within the setting should the planned to produce favorable audiences reactions. •
Konsep Cinematografi •
Faktor Estetika
Banyak faktor estetika yang harus dipertimbangkan dalam memilih angle kamera yang tepat. Semua elemen komposisi: pemain (narasumber), properti, tempat, peralatan, dan sebagainya, harus mempelajari kemana pergerakan subjek atau narasumber dan gambaran umum dalam adegan dipikiran seorang sinematografer. Objek harus diatur untuk memfasilitasi tempat yang cocok dan memiliki unsur fotografis. Untuk mendapatkan estetika dan efek yang diinginkan. Beberapa benda yang tidak dingginkan dalam estetika bisa disingkirkan atau bahkan jika perlu benda untuk memperkuat informasi bisa ditambahkan. Dalam film fiksi justru
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menampilkan beberapa masalah estetika., karena untuk dibuat dan didesain untuk keperluan persyaratan dalam suatu adegan. Tetapi berbeda jika itu estetika dokumenter, “Documentary films, shot on actual locations, often require much improvising to stage the action, particularly in interiors of real structure. Compromises in choosing camera angles may have to be made.” Pemahaman estetika di film dokumenter tentu berbeda yaitu kebutuhan untuk analisis estetika dilakukan sesuai dengan informasi yang diinginkan baik setting lokasi, atau barang tertentu ada di lokasi yang sebenarnya, dan juga merupakan barang fakta dari lokasi pengambilan gambar cenderung fakta dan nyata tidak dibuat-buat, sehingga sering membutuhkan banyak improvisasi untuk tahap pengadeganan, tetapi estetika ini sangatlah penting demi penjelasan informasi, khususnya untuk estetika dengan struktur yang nyata tidak dibuat seperti fiksi tapi dibuktikan dan dijelaskan karena fakta dan aktual. Oleh karena itu penentuan estetika agar sesuai dengan sutradara harus adanya kompromi dalam memilih sudut pandang kamera yang harus dibuat. Some documentary films require compromise mising camera angles because of uncontrollable factors. Dapat diartikan bahwa dalam beberapa film dokumenter memerlukan kompromis yang memang harus dipahami dalam gagalnya pengambilan angle kamera yang tidak tepat atau komposisi yang kurang baik karena adanya faktor tak terkendali dari situasi yang ada dilokasi. Tahap produksi merupakan tahap paling penting dalam penerapan treatment dokumenter, treatment ini dipakai untuk pegangan pengambilan gambar dan mempersiapkan semua pekerjaan camera
http://digilib.mercubuana.ac.id/
person pengambilan gambar (shooting) dengan berpegang pada treatment. Produksi gambar mulai dapat dibuat. •
Komposisi Cinematografi Film Dokumenter
Bagian dalam pembuatan dalam sebuah film baik fiksi ataupun non fiksi selalu ada komposisi dalam merekam sebuah adegan atau kejadian, dalam hal ini komposisi merupakan komponen penting dalam terbentuknya sebuah estetika. Meskipun pengertian estetika dalam film fiksi berbeda dengan dokumenter begitu pula perbedaan pemahaman komposisi antara fiksi dan non fiksi. Hal ini bisa dijelaskan secara sederhana, dalam dunia sinematografi, komposisi penting karena menentukan peletakan objek dalam bingkai gambar yang dibuat agar tampak berestetika (indah) atau dalam dokumenter aktual atau nyata, supaya menarik perhatian yang melihatnya. Karena yang dibuat videografi faktor gerak sangat penting. Ketika dalam adegan dokumenter yang terus merekam agar mendapat kejadian yang diinginkan sesuai treatment supaya mendapat sisi realitas dan dokumentasi yang menarik. Maka komposisi di tayangan dokumenter harus fokus pada sebuah kejadian tidak sepenuhnya bergantung pada indahya komposisi tetapi bagaimana menterjemahkan sebuah peristiwa menjadi komposisi kamera. Aturan pengambilan gambar dokumenter yang sering dipakai adalah:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Rule of third Aturan komposisi yang dilihat berdasarkan garis kamera, gaya tata letak komposisi yang digunakan oleh hampir semua pembuat film di dunia. Teori estetika seperti ini berasal dari yunani dengan kuil Parthenon yang terkenal, dan sering disebut rule of third atau pembagian tiga bidang komposisi antara subjek dan objek.
•
Perspektif Keindahan dalam sinematografi juga dipengaruhi oleh faktor lain sehingga estetika bisa lebih hidup dalam perekaman peristiwa tayangan dokumenter. Perspektif berkaitan dengan camera set up dan camera angle. Pemahaman perspektif akan menghasilkan gambar lebih dinamis, berdimensi, dan memiliki kedalaman ruang (depth). Karena jika tak memperhitungkan perspektif dalam sudurt pengambilan gambar, maka gambar akan terasa datar dan hanya terlihat sisi panjang dan lebarnya frame.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Mengatur Gerak/Blocking Gerak dalam film sering juga disebut dengan istilah blocking. Hal inilah yang menentukan kontinuitas gambar dengan mengetahui kemana arah subjek yang bergerak khususnya pada pengambilan gambar pada sebuah peristiwa di film didokumenter. Tata gerak (blocking) juga sangat memengaruhi videografi. Selain pemain, gerak juga bisa dilakukan oleh kamera (camera movement), atau perpaduan antara gerak pemain dan gerak kamera. Sebagai catatan, semua gerak kamera harus memiliki alasan yang kuat. Waktu dan arah kamera harus ditentukan, dan hal yang terpenting gambar yang di ambil menggambarkan peristiwa secara realistic.
•
Mengomposisi garis Pengambilan gambar dan angle, seorang videografer sebaiknya memperhitungkan komposisi elemen garis, karena garis akan menunjukkan dinamika komposisi gambar. Garis tidak hanya lurus tetapi juga melingkar. Dalam proses shooting atau produksi film dokumenter pertama kali yang perlu dipahami adalah memahami bagaimana story telling yang akan dibuat sehingga memahami keinginan sutradara selain itu kita bisa menerka kapasitas kemampuan pengambilan gambar berdasarkan jumlah kru yang ada. Shooting dengan cerita yang sudah ditanam didalam pikiran maka sudah dipersiapkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bagaimana mengambil semua visual yag dibutuhkan untuk menceritakan kisah sesuai dengan yang kamu pikir akan ceritakan, dan menjadi kejutan bagi mereka yang suka membuat sebuah film dokumenter yang baik bahkan lebih baik. “Who shoots, how, and with what, depends on a host of variables.” Bahwa dalam pengambilan gambar tayangan dokumenter harus memulai dari siapa yang akan di shoot, bagaimana melakukannya, dan dengan apa sehingga kita bisa mendapatkan sebuah gambar karena tergantung pada beberapa variabel bisa ingkungan sekitar dan lainlain. Variabelnya terdiri dari : •
Crew Size “The actual configuration of a documentary crew can vary widely. at the other end of spectrum are two and even one person crews. In general, working alone is not ideal, although there may be situations in which a project or scenes of a project can benefit.” Jadi dalam proses aktualisasi sebuah film dokumenter konfigurasi subjek bisa sangat bervariasi. Dalam bentuk yang lain ada dua bahkan satu orang kru dalam mengerjakan sebuah film dokumenter. Tetapi pada umumnya bekerja sendiri tidak ideal meskipun mungkin dalam situasi tertentu dapat memberi keuntungan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi saat proses shooting dokumenter, dilihat dari treatment proses produksi seorang dokumentaris lebih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengarah pada aktualisasi dibanding komposisi. Maka jumlah kru dokumenter lebih sedikit karena harus banyak mengambil gambar yang tak diduga sebelumnya. •
Shooting dengan cerita yang ada di pikiran (shooting with the story in mind) Jika ingin pergi ke lapangan untuk melakukan proses produksi dengan analisa pikiran yang jelas dalam cerita film, mendapatkan kualitas yang maksimal, dampak dari apa yang didapat, kamu akan lebih baik jika mengenali dan mengambil keuntungan dari momen-momen itu yang mungkin tidak dapat diantisipasi sebelumnya
•
Berpikir secara visual (thinking visually) Apa yang gambar shoot dan bagaimana proses mengambilnya membutuhkan lebih dari sekedar mendokumentasikan sebuah kegiatan, tetapi lebih kepada memberikan kontribusi cerita tertentu. Steve Ascher dalam Bernard berkata, “think about what the scene is supposed to say, as much as you can, both before it during it” Berpikirlah tentang bagaimana sebuah adegan itu seharusnya berkata, sebanyak yang bisa direkam sebelum dan selama adegan film itu berlangsung.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Interviews (wawancara) Sebelum shooting, melihat film yang mengandung wawancara dan memutuskan apa yang dipilih atau tidak dalam proses pendekatan narasumber dan apa yang akan dilakukan dalam film itu sendiri. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan mempengaruhi bagaimana melakukan wawancara dan shoot interview. “Go into interview knowing the handful of specific story points the interview needs to cover, and then include other material that would to be nice to have or questions that are essentially fishing you’re not sure what you’re going to get, but the answer could be interesting.” Lakukan interview dengan mengetahui secara penuh dan spesifik mengenai poin-pin cerita yang ingin diketahui lewat wawancara, tambahkan beberapa materi untuk ditanya kepada narasumber untuk menjadi kaitan ke cerita berikutnya, pastikan telah memilih narasumber yang tepat secara matang-matang, dan akan mengetahui penempatan terbaik pada setiap karakter. Karena tidak mungkin bertanya kepada setiap orang dengan banyak pertanyaan yang sama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Time Lapse Dalam beberapa tahun belakangan ini timelapse banyak tehniktehnik pembuatan video yang mulai dipakai para sineas dan para pekerja kreatif di dunia digital baik film, televisi dan web series. TimeLapse sendiri berasal dari kata time yang berarti waktu, dan lapse yang berarti jarak. Tujuan dari timelapse pada awalnya adalah untuk kebutuhan penelitian, dimana gerakan yang sangat lambat direkam dan ditampilkan dalam laju yang dipercepat untuk diamati gerakannya (hal yang berkebalikan dengan slow motion video). Untuk gerakan yang amat sangat lambat, timelapse bisa dibuat periodik dalam hitungan menit (bukan detik), misal untuk mempelajari pertumbuhan tanaman / bunga, peneliti memotret setiap 30 menit selama berhari-hari. Di dunia foto dan videografi, timelapse merupakan pengembangan
dari
bidang
fotografi
yang
menjadikan
sekumpulan foto yang diambil dalam periode tertentu menjadi sebuah klip video pendek. Lama pemotretan umumnya berdurasi lama, bisa hingga berjam-jam, sedangkan interval pengambilan foto bisa dibuat berkala setiap beberapa detik hingga menit, tergantung kebutuhan. Kemudian semua foto yang didapat digabungkan hingga menjadi sebuah video. Timelapse perlu juga mengenal patokan frame rate video yang digunakan. Format video yang kami gunakan untuk film
http://digilib.mercubuana.ac.id/
The Saviors yaitu 1920x1080 dengan frame rate 30 Frame Per Second (FPS). Dengan frame rate 30 fps, kita membutuhkan 30 foto untuk memperoleh 1 detik video. Disini editor memilih Frame rate paling tinggi (30 fps) di spesifikasi kamera yg dipakai shooting video karena dianggap punya gerakan yang mulus dan tidak terkesan patah-patah jika dibandingkan 24 fps. Obyek yang kita ambil adalah obyek yang punya gerakan sangat lambat, seperti gerakan awan, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Meski begitu timelapse boleh juga dipakai untuk merekam gerakan yang lebih cepat seperti manusia yang berjalan, meski nanti hasilnya gerakan manusia itu akan tampak sangat cepat. Di dalam film dokumenter The Saviors ini, sunset jadi salah satu pilihan tepat untuk mengambil timelapse karena lokasi yang berada di pantai menghadap ke barat. Sepuluh detik timelapse dirasa cukup untuk sebuah transisi adegan, jadi kita butuh 300 karena frame rate yang digunakan 30fps. Periode pengambilan gambar untuk mengambil sunset dimulai pukul 17.00 – 18.30 atau selama 90 menit atau 5400 detik. Jadi, interval yang digunakan untuk setiap pengambilan gambar adalah 5400 / 300 adalah 18 detik. Teknik timelapse bisa dilakukan dengan 2 cara, pertama dengan merekam video sepanjang yang dibutuhkan lalu laju video dipercepat saat editing. Kedua dengan menggunakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Shutter release timer remote control untuk mengambil foto di setiap waktu interval yang ditentukan lalu foto digabungkan saat editing hingga menjadi sebuah gambar bergerak. Tapi disini kami menggunakan Shutter release untuk menghemat baterai dan penyimpanan data. Untuk teknis dan prosedur pemotretan timelapse „‟Mugo‟‟ sebenarnya cukup standar seperti memakai mode manual (termasuk manual ISO dan WB), memakai tripod dan karena kamera akan terus hidup selama periode pemotretan, pastikan baterai mampu bertahan (bisa dengan battery grip) dan memakai slider manual. Kini timelapse menjadi lebih mudah karena sudah didukung oleh peralatan fotografi modern dan banyak contoh yang menginspirasi para sineas untuk membuat konsep serupa. Tentu saja tantangan yang lebih sulit adalah menemukan ide apa yang mau difoto, berapa lama durasinya dan barulah memikirkan teknis fotografinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/