FAKTOR PERTIMBANGAN DSN-MUI DALAM PROSES PENETAPAN FATWA PRODUK PERBANKAN SYARIAH INTERNASIONAL
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh:
DARTO_
_
NIM. 107046100379
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 September 2011
Darto
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮ ﺣﻤﻦ اﻟﺮ ﺣﯿﻢ Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun masih terdapat kekurangan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju kehidupan bahagia fiddun yaa wal aakhirat. Banyak kendala yang dihadapai penulis dalam penulisan skripsi ini, dan tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.
2.
Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak Mu’min Rauf, M.Ag, sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
3.
Bapak Prof. Dr.H. Hasanuddin. AF. MA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktu luang, motivasi serta pikiran untuk memberikan ilmu, dan
bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas kebaikan bapak. 4.
Bapak Drs. Noryamin Aini, M.A sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu luang untuk membimbing, mendidik, memberi ilmu serta saran dan kritik terhadap penulis, yang sangat berarti bagi penulis dan Pak Hendra Kholid yang telah memberikan ilmu dan membantu dalam pembuatan skripsi ini. Semoga Allah mebalas kebaikan bapak-bapak.
5.
Seluruh dosen serta segenap Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis, yang telah memberikan pemikirannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
6.
Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Bapak Kanny Hidaya Y, SE, MA sebagai
wakil sekretaris BPH/Deputy
Secretary-Executive Commite, dan Pak Supri sebagai
staf Dewan Syariah
Nasional serta seluruh jajaran staf lainya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 8.
Kedua orang tua saya, Bapak Mukmin (ALM), Ibu Emi (engkau adalah yang paling aku sayangi) serta kakak-kakak saya tercinta Samani, Thamrin, Yati, dan
mba-mba saya yang cantik mba Eno, mba Uul, serta Kang Udin yang telah memberikan motifasi dan dukungannya baik dalam bentuk materil dan immateril, 9.
Keponakan-keponakanku yang sangat lucu-lucu, cantik dan ganteng Nabila Nurul Izmi, M. Habibi Khairul Azzam, dan Syaiful Amri. Yang memberikan keceriaan tersendiri disaat kegalauan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Orang-orang terdekat Ella, Denok Agustina, Agung, Bambang, Umar KH Munaji, Abdul Basit (Maslani), Nurokhman, Ayip, Kholid, Barok, Mu Lutfi, Khaeron, Sarnadi, yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik dalam bentuk motivasi, saran dan kritik yang berarti bagi penulis. 11. Teman-teman KKN E-Babuy, momen saat kita KKN di Baduy, sebagai kenangan yang takkan terlupakan bagi penulis. Kalian adalah orang-orang hebat. 12. Teman-teman seperjungan di UIN khususnya anak-anak PS07 (Efull, Syafik, Fery, Gufron, Neily, Citra) Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua bantuan yang tak akan penulis lupakan, semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Jakarta, 11 September 2011
Penulis
DAFTAR SKEMA 1.
Skema 1 Produk Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah)
57
2.
Skema 2 Produk Deposito dan Reksadana – Mudharabah
60
3.
Skema 3 Produk Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah – Wadhiah
64
4.
Skema 4 Produk Car Financing – Al-Ijarah Thumma Al Bai (AITAB)
69
5.
Skema 5 Produk Personal Financing – Bai Al inah
73
6.
Skema 6 Produk Revolving Finance – Bai Bithaman Ajil (BBA)
78
7.
Skema 7 Produk Revolving Financing – Mudharabah
81
8.
Skema 8 Produk Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai
84
9.
Skema 9 Produk Export Credit Refinancing – Murabahah
88
10. Skema 10 Produk Pembiayaan Dengan Penjaminan-Semua Akad Pembiayaan Syariah
92
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR SKEMA DAFTAR ISI BAB I
BAB II
i ii iii iv v viii ix
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
6
D. Kerangka Pemikiran
7
E. Review Studi Terdahulu
10
F. Metode Penelitian
13
G. Metode Penulisan
15
H. Sistematika Penulisan
15
FATWA DAN PRODUK BANK SYARIAH A. Fatwa
18
1. Pengertian Fatwa
18
2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam
21
3. Metode Istinbath Dalam Berfatwa
26
B. Produk Bank Syariah
32
1. Pengertian Produk Bank Syariah
32
2. Proses Penerbitan Produk
38
3. Macam-macam Produk Bank Syariah
39
BAB III DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PENETAPAN FATWA PRODUK BANK SYARIAH A. Pengertian Dewan Syariah Nasional
43
B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional
44
C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional
45
D. Mekanisme Kerja Operasional Penetapan Fatwa DSN-MUI
48
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan DSN-MUI Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah B. Kendala Dewan Syariah Nasional Dalam Berfatwa
51 53
C. Produk Perbankan Syariah Internasional dan Pertimbangan Dalam Proses Penetapan Fatwa di Indonesia
BAB V
54
PENUTUP A. Kesimpulan
96
B. Saran
98
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
99 103
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia perbankan saat ini, kian semarak dengan hadirnya sistem perbankan yang berbasiskan syariah, dan dikenal dengan nama perbankan syariah. Perbankan syariah sendiri adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, serta kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.1 Aktivitas perbankan syariah di Indonesia sendiri di mulai sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan intitusi lain terutama Bank Indonesia, memberikan respon positif dan bersikap proaktif terhadap ekonomi Islam. Salah satu hasilnya antara lain ialah kelahiran Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sebagai bank pertama di Indonesia yang berlandaskan pada prinsip syariah dalam kegiatan transaksinya.2 Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang perbankan, undang-undang tersebut memberikan landasan 1
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. Kata pengantar. 2 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional. (Jakarta:Gaung Persada Pers, 2010 ), h. xiv
hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah 3. Undang-undang tersebut semakin mempertegas perbankan syariah sebagai lembaga keuangan, dan menjadikan perkembangan perbankan syariah kian menunjukkan eksistensinya. Karena semenjak undang-undang tersebut lahir, sistem perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), sehingga ruang gerak perbankan syariah semakin luas, yaitu seperti dalam bentuk bank umum syariah (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah (bank konvensional yang membuka cabang syariah), dan office channeling (gerai syariah di kantor bank konvensional).4 Pesatnya perkembangan perbankan syariah sendiri juga didukung dengan produk-produk perbankan syariah yang menawarkan kemaslahatan, karena tidak menggunakan sistem riba didalamnnya seperti yang dilakukan oleh perbankan konvensional. Pengakajian setiap produk yang terdapat pada pebankan syariah penting dilakukan, karena sebelum dipasarkan kemasyarakat produk-produk tersebut harus benar-benar murni sesuai syariat Islam yang sudah terbukti kebenaranya,
3
Adrian Sutedi. Perbankan Syariah; Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia 2009), h. v 4 Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. Kata pengantar.
disamping bersumber langsung dari Al-Qur’an juga ketetapan Nabi SAW, yang mencerminkan penerapan aturan, prinsip, dan perintah Allah dalam Alquran.5 Pada tahun 1999 MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN), lembaga ini beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat disamping itu lembaga ini pun bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya6. Produk dan jasa keuangan syariah yang ditawarkan bank syariah di Indonesia cukup bervariasi, namun hal tersebut perlu adanya inovasi maupun pengembangan produk-produk bank syariah, agar bank syariah lebih maju lagi. Sejalan dengan ini menurut M. Nur Rianto Al Arif dalam bukunya “Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah” menyebutkan bahwa strategi pengembangan produk perbankan merupakan usaha
meningkatkan
jumlah
nasabah
dengan
cara
mengembangkan
atau
memperkenalkan produk-produk baru perbankan.7 Namun produk bank syariah yang ada di Indonesia masih minim, hal ini diungkapkan oleh Direktur Direktorat Perbankan Syariah Mulya E. Siregar Bahwa sebanyak 46 produk bank syariah masih terganjal di Dewan Syariah Nasional, produk 5
Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud. Perbankan Syariah (Prinsip, praktik & prospek). (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 33 6 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional, h. xiv 7 M. Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: ALFABETA CV, 2010), h.79
tersebut belum mendapatkan fatwa halal untuk diperdagangkan di industri perbankan syariah.8
“Hal itu menghambat bank-bank syariah untuk memasarkan inovasi produk perbankan syariah kepada masyarakat masyarat,” papar Mulya E. Siregar di Gedung Bank Indonesia. Pihaknya, sudah mengajukan produk-produk tersebut sejak akhir 2009 ke DSN. Namun belum juga dibahas, ia menuturkan, DSN mempunyai wewenang untuk menetapkan fatwa, sehingga produk-produk yang akan dipasarkan di perbankan syariah harus mendapatkan fatwa. “Selama ini, perbankan syariah sulit tumbuh karena belum ada inovasi produk-produk baru,” timpalnya.9
Produk yang diajukan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui BI tersebut merupakan produk-produk perbankan syariah yang termasuk pada produk perbankan syariah international. Dimana produk-produk tersebut berasal dari negara-negara yang menerapkan bank syariah, seperti Malaysia, Yordania, Sudan, Pakistan dan lain sebagainya, untuk dikaji dan diterapkan di perbankan syariah Indonesia.
DSN-MUI selaku pihak yang mempunyai otoritas untuk menfatwakan produk bank syariah tentu saja mempunyai alasan tersendiri, kenapa produk-produk bank syariah belum difatwakan. latar belakang atau faktor apa yang menyebabkan produk 8
Herdaru Purnomo, BI: 46 Produk Bank Syariah Belum Dihalalkan DSN, artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2011 dari http://finance.detik.com/read/2010/12/03/140514/1508445/5/bi-46-produkbank-syariah-belum-dihalalkan-dsn 9 Dewan Syariah Nasional (DSN) membantah 54 produk perbankan syariah belum mendapatkan fatwa. Artikel diakses pada tanggal 25 Mei 2011 dari http://obrolanbisnis.com/dsn-bantak-54-produkperbankan-syariah-balum-dapat-fatwa/
bank syariah Internasional belum difatwakan oleh Dewan Syariah ini, akan penulis tuangkan dalam penelitian skripsi yang berjudul Faktor Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka penulis akan membatasi pembahasan hanya dalam ruang lingkup Faktor Pertimbangan DSNMUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International. Dari produk perbankan syariah internasional tersebut, hanya sepuluh produk dari Malaysia saja yang penulis angkat untuk dianalisis. Produk tersebut terdiri dari tiga produk penghimpunan dana dan tujuh produk penyaluran dana. Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis ingin mencermati persoalan-
persoalan diatas dengan merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah? 2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank Syariah? 3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Kodifikasi Produk Bank Syariah Internasional?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, maka skripsi ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah berikut ini: 1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah? 2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank Syariah? 3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah Internasional? Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Bagi penulis, memperoleh pengetahuan yang bersifat fakta yang terjadi dalam praktek proses pengambilan keputusan atau proses penetapan fatwa di DSNMUI yang ada saat ini, serta menambah pengetahuan dan motifasi penulis untuk terus mengembangkan pengetahuan tentang produk perbankan syariah.
2.
Bagi
akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
keilmuan
pengetahuan
dan
sebagai partisipasi
serta dukungan
dalam
pengembangan ekonomi syariah. 3.
Bagi DSN-MUI, dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi untuk mengembangkan ekonomi syariah yang lebih baik lagi.
4.
Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah khususnya fakultas syariah dan hukum konsentrasi muamalat, penelitian ini diharapkan sumber bacaan dan
kepustakaan fakultas syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
D. Kerangka Pemikiran Istilah “bank” berasal dari kata Italia banco yang berarti “kepingan papan tempat duduk”, sejenis “meja”. Kemudian penggunanya diperluas untuk menunjukkan “meja” tempat penukaran uang, yang digunakan oleh para pemberi pinjaman dan para pedagang valuta di Eropa, pada abad pertengahan itu memamerkan uang mereka, dari sinilah awal mula timbulnya perkataan bank.10 Sistem perbankan Islam berbeda dengan sistem perbankan konvensional, karena sistem keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan subsistem dari suatu sistem ekonomi yang cakupanya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan Islam tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut secara sungguhsungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.11 Setiap lembaga perbankan terutama perbankan syariah memiliki produk-produk untuk setiap transaksi, baik berupa produk pendanaan, penghimpunan maupun produk dalam bidang jasa. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk perbankan konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk penghimpunan, pembiayaan, maupun
10
Dr. Muhammad Muslehuddin,Ph.d. Sitem Perbankan Dalam Islam (jakarta: PT Asdi Mahasatya), h.1 11 Wirdyaningsih, SH., MH., et.al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media 2005), h.47
jasa pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut. Didalam perbankan konvensional mengenal adanya riba, sedangkan riba secara fiqh dikategorikan sebagai bunga dan bunga itu haram12. Dewan
Syariah
Nasional
(DSN)
adalah
merupakan
lembaga
yang
beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) serta ahli dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat disamping itu lembaga ini pun bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.13 Produk-probuk bank syariah diajukkan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui Bank Indonesia, Kemudian Bank Indonesia mengajukkan fatwa kepada Dewan Syariah Nasional, setelah produk tersebut diterima dan ditetapkan fatwa, maka produk tersebut siap untuk dipasarkan di perbankan syariah di Indonesia. Tapi jika belum mendapatkan fatwa dari DSN, maka produk tersebut tidak dapat dipasarkan di perbankan syariah Indonesia. Produk bank bisa saja mengadopsi dari beberapa negara yang telah menerapkan perbankan syariah. Namun produk yang diterapkan di suatu
12
Adiwarman A Karim. Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2007), h. 22 13 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional. (Jakarta:Gaung Persada Pers 2010), h. xiv
negara belum tentu bisa diterapkan pada negara lain. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, agar produk-p Penggalian Produk bank syariah tersebut tidak hanya sesuai syariah saja melainkan harus sesuai juga dengan kondisi pada suatu negara tersebut. Hal ini bertujuan agar produkproduk bank syariah bisa diterapkan dan tidak bertentangan dengan norma/aturan yang sudah ada sebelumnya. Secara sederhana, alur produk perbankan syariah untuk diterapkan di Indonesia, digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Lembaga Keuangan Syariah
Mengajukkan Produk
Produk Dipasarkan Produk Perbankan Syariah Internasional
Bank Indonesia
Mengajukkan Fatwa DSN-MUI
Pertimbangan & Penetapan fatwa
Proses
Penelitian
Penggalian
Pengkajian
E. Review Studi Terdahulu Berdasarkan telaah yang dilakukan, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan. sebagai bahan acuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun hasil kajian kepustakaan terdahulu, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan
yang akan memaparkan
penelitian yang sudah dilakukan, sehingga menjadi jelas bagaimana penelitian ini relevan dan penting untuk dilakukan, dan berikut pemaparanya: No
Aspek Perbandingan
Studi Terdahulu
1.
a.Nama/Judul/bentuk
Novita Ekayanti “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengembangan Produk ” Skripsi.
b. pendekatan teori
Pengembangan produk menurut george dalam judulnya adalah pengembangan sistematik sebuah produk untuk tidak terlambat oleh perusahaan citarasa konsumen, lewat pengembangan produk perusahaan mampu menawarkan produk
c. Fokus
Penelitian ini fokus membahas tentang peran dewan pengawas syariah dalam pengembangan produk.
d. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan jenis data kualitatif
e. Waktu/Tempat
Penelitian skripsi ini dilakukan pada tahun 2009 dengan studi kasus di bank DKI Syariah
2.
a.Nama/Judul/bentuk
Fitri Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank Syariah” Skripsi.
b. Pendekatan Teori
Pelaksanaan sistem ekonomi syariah di Indonesia memerlukan sosialisasi, dan
ulama memiliki peran
utama dalam sosialisasi tersebut, disamping kualitas keilmuan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat.
c. Fokus
Fokus membahas DPS dalam mementukan roduk baru bank syariah, juga jasa atau kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Permata syariah.
d. Metode Penelitian
Metode yang digunanakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
e. Tempat/tahun
Penelitian ini dilakukan di Bank Permata syariag cabang arteri pondok indah pada tahun 2006
3.
a.Nama/Judul/Bentuk Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Produk Perbankan Syariah” Jurnal ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia.
b.pendekatan Teori
Fatwa sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, erat sekali hubungannya
dengan persoalan-
persoalan kemasyarakatan. Oleh karena itu fatwa Dewan Syari’ah Nasioanl MUI pada dasarnya adalah hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungannya
c. Fokus
Jurnal ini fokus membahas mengenai pola ijtihad fatwa DSN-MUI tentang produk perbankan syraiah dan faktor yang melatarbelakangi penetapan fatwa DSNMUI tentang produk perbankan syariah
d. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan jenis data kualitatif.
e. Waktu/Tempat
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2007 dan di tempat Studi Ekonomi Islam FIAI UII dan Reseacher pada Pusat Studi Islam (PSI) UII Yogyakarta.
Berdasarkan review studi terdahulu di atas, Novita Ekayanti “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengembangan Produk ” dalam Skripsinya membahas mengenai Dewan Pengawas Syariah dalam Pengembangan Produk, Fitri Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank Syariah” dalam skripsinya membahas bagaimana mekanisme dari Dewan Pengawas Syariah dalam menentukan produk baru yang akan diterapakan pada bank syariah, dan Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Produk Perbankan Syariah” dalam jurnalnya membahas tentang pola ijtihad dalam berfatwa dan latarbelakang penetapan fatwa. Yang menjadi pembeda dari skripsi ini adalah penulis mengangkat faktor pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah Internasional. Judul tersebut layak diangkat sebagai skripsi karena menganalisis produk-produk baru yang diperoleh dari negara lain seperti Malaysia, Yordania, Pakistan, UEA. Untuk diterapkan di perbankan syariah Indonesia.
F. METODE PENELITIAN 1. Metode Pengumpulan Data a. Penelitian Kepustakaan (library Research) Tehnik pengumpulan data dimana peneliti melakukan kunjungan langsung ke beberapa perpustakaan untuk mendapatkan beberapa sumber tertulis, baik dari buku-buku, media massa maupun media elektronik dan sumber tertulis lainya yang ada hubunganya dengan masalah yang sedang dibahas.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) 1. Interview: agar mendapatkan hasil yang valid, maka penulis melakukan suatu metode penelitian berupa wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian. 2. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mendapatkan dan mengumpulkan data berdasarkan laporan yang didapat dari lembaga yang diteliti dan laporan lainya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2.
Metode Penyajian Data dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan cara dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang didukung dari data-data kepustakaan yang berkaitan dengan analisis faktor-faktor Keputusan DSN-MUI dalam menfatwakan produk bank syariah, karya ilmiah, majalah, artikel atau data-data tertulis lainya. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu dengan pola pikir dedukatif yang menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat umum berkaitan dengan tema yang diangkat. Menurut whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat.14 Adapun sumber data yang diperoleh oleh peneliti dalam skripsi ini, melalui:
14
Moh, Nazir, Ph.D, Metode Penelitian: Jakarta: Ghalia Indonesia
a. Data primer Untuk mendapatkan data dan hasil yang valid, maka dalam penulisan skripsi ini, penulis terjun kelapangan dan melakukan wawancara langsung dengan narasumber.
b. Data sekunder Adapun data yang digunakan diperoleh dari program studi muamalat mengenai tema-tema skripsi, serta literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku dan sumber lainya yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.
G. Metode Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan, penulis merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta, yang telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007.
H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan hasil penulisan yang terstruktur dan sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, maka sistematika tulisan ini disusun sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangkan pemikiran, revieuw studi terdahulu, metode penelitian,
metode
penulisan dan sistematika penulisan. BAB II
: TINJAUAN TEORITIS Pada bab ini merupakan tinjauan teoritis yang menjadi dasar pemikiran penelitian ini. Secara rinci bab ini menjelaskan tentang fatwa dan produk bak syariah, fatwa (pengertian fatwa, kedudukan fatwa dalam hukum Islam, dan metode istinbath dalam berfatwa), produk bank syariah (pengertian produk bank syariah, proses penerbitan produk dan macam-macam produk bank syariah).
BAB III
: GAMBARAN UMUM MENGENAI OBJEK PENELITIAN Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang gambaran umum Dewan Syariah Nasional yaitu pengertian Dewan Syariah Nasional, sejarah pembetukan Dewan Syariah Nasional, tugas dan wewenang Dewan Syariah Nasional serta mekanisme kerja operasioanl penetapan fatwa DSN-MUI.
BAB IV
: ANALISA DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis membahas mengenai dasar pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah, kendala DSN-MUI dalam berfatwa, produk perbankan syariah internasional dan pertimbangan fatwa di Indonesia.
BAB V
: PENUTUP Pada bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan memberikan saransaran
yang
kiranya
bermanfaat
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan dan terkait dalam dengan permasalahan yang penulis angkat.
BAB II Fatwa dan Produk Bank Syariah A. Fatwa 1.
Pengertian Fatwa Secara pengertian kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa. Dalam
bahasa Indonesia fatwa dimaknai sebagai petuah, nasihat atau jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan fatwa dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bersifat pribadi, kelompok atau masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau mufti tersebut tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh dan ushul fiqh disebut mufti sedangkan pihak yang menerima fatwa disebut mustafti.15 Sedangkan
secara
terminologis,
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Zamakhsyari: (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas
15
Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.41
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau kolektif.16 Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Amir Syarifudin memberikan hakikat dan ciri-ciri tertentu dari berfatwa, yaitu: 1. Berfatwa adalah usaha memberikan jawaban. 2. Jawaban yang diberikan adalah tentang hukum syara melalui proses ijtiihad. 3. Yang menjawab adalah yang ahli dalam bidang yang dijawab. 4. Jawaban diberikan pada yang belum tahu jawabanya.17 Dan dari
beberapa pendapat mengenai fatwa, Ma’ruf Amin juga
menyimpulkan dalam bukunya “Fatwa dalam Hukum Islam” bahwa, fatwa memiliki dua sifat utama. Pertama, fatwa bersifat responsif. Fatwa merupakan penjelasan tentang hukum syara yang diperoleh melalui hasil ijtihad yang dilakukan setelah muncul suatu pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Kedua, fatwa bersifat opsional ‘ikhtiariyah’ (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedangkan bagi selain mustafti bersifat ‘i’lamiyah’ atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai suatu masalah yang sama maka umat boleh memilih mana yang lebih 16
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20 Amir Syarifudin, ushul fiqh (jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) Jil.2 h. 429 Dalam Tesis Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyya,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h.41 17
memberikan qana’ah (penerima/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha).18 Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan permasalahan atau kasus yang telah terjadi. Dalam kaitan ini, seorang mufti boleh menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum terjadi. Namun demikian seorang mufti
tetap disunnahkan untuk
menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.19 Penjelasan tentang pengertian fatwa tersebut, sekaligus menjelaskan rukun dari fatwa, yaitu: pertama, usaha memberikan penjelasan yang disebut ifta. Kedua, orang yang menyampaikan jawaban hukum kepada yang telah mufti; ketiga, orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahuinya disebabkan oleh ketidaktahuanya tentang hukum suatu kejadian (kasus) yang telah terjadi, orang disini disebut mustafti; keempat, materi jawaban hukum syara yang disampaikan oleh mufti yang disebut fatwa.20
18
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20 Ibid., h.20 20 Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Murabahah; Suatu Analisis Metode Hukum dan Pelaksanaanya di BII Syariah,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.21. 19
2.
Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena ia
merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul dikalangan masyarakat. Ketika muncul masalah, suatu masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah tersebut. Mengingat betapa penting keberadaan fatwa bagi orang awam dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk mengeluarkan fatwa tidak boleh menolak bila dimintai fatwa. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitanya dengan hukum berfatwa:21 Pertama, berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana jika ada seseorang atau pihak yang menanyakan hukum suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk menjawabnya. Jika ada orang lain yang juga mempunyai kemampuan berfatwa, maka menjawab hukum suatu masalah yang dipertanyakan hukumnya fardhu kifayah.
21
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 31
Kedua, jika suatu fatwa telah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa (mufti) harus memberitahukan orang yang meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa yang dileluarkan terdahulu tidak sesuai. Ketiga, haram hukumnya bagi seorang mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti untuk meminta fatwa kepadanya. Kedudukan fatwa bagi peminta fatwa adalah merupakan penuntun dalam menjalankan amal ibadahnya. Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralanya dalam menetapkan hukum suatu masalah. Kelima,
seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber
penghasilan untuk kepentingan dirinya. Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk pendapat ulama mazhab tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang diakui. Ketujuh, jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum suatu maslalah kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka dalam hal ini apabila mufti mengingat keputusan fatwa beserta dalil-
dalil dan argumentasinya, maka boleh baginya mengeluarkan fatwa seperti fatwa yang pertama. Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa (mustafti), karena hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh mustafti dengan meminta fatwa. Dan Ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah: (1) Bligh, Berakal dan Merdeka; (2) Adil dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini, seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi nufti asal memenuhi persyaratan diatas. Adapun yang dimaksudkan dengan adil menurut Imam al-Ghazali ahli ushul dari kalangan ulama Syafi’i adalah seseorang yang istiqamah dalam agamanya yang memelihara kehormatan pribadiinya. Syarat ini sangat diperlukan karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat, bak dari segi fatwa yang dikeluarkanya maupun dari segi kepribadianya. Terkait dengan sarat adil bagi mufti, ulama uhul fiqh juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Menurut mereka, ada tiga hal yang harus diperhatikan para mufti dalam kaitanya dengan syarat adil ini:
Pertama, Setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi dalil. Apabila fatwanya itu diambil dari pendapat para mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan lebih pada berorientasi pada kemaslahatan. Kedua, apabila mufti tersebut memiliki apasitas ilmiah untuk mengistibath hukum maka ia harus menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada. Ketiga,
fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-
Mustafti tetapi memprtimbangkan umat manusia.22 a. Fatwa Sahabat Sahabat adalah orang yang selalu berada dalam majelis Rasulullah SAW dan selalu mengikutinya juga meriwayatkan hadis dari beliau. Yang termasuk golongan ini seperti al-Khulafa al-Rasyidun, Abdullah ibn Mas’ud Anas ibn Malik, zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah. Setelah Nabi SAW wafat, banyak timbul peristiwa baru dan kejadian yang memerlukan adanya petunjuk atau fatwa syara’ dari para sahabat yang mengetahui sumber-sumber hukum Islam. Fatwa-fatwa yang mereka berikan itu, oleh sebagian ulama dijadikan hujjah dan sebagai sumber hukum karena fatwa-fatwa mereka tidak keluar dari sunnah Nabi. Para sahabat sebagai pengganti rasulullah SAW dalam menangani dan menyelesaikan seluruh problematika umat Islam, memberi fatwa tentang suatu yang belum ada ketetapan hukumnya karena keistimewaan dan kredibilitas 22
Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyya,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif hidayatullah Jakarta), h.41
pribadi yang dimilikinya. Mereka telah lama bergaul dengan Nabi Muhammad SAW, menghafal al-Qur’an dan sunnah dari beliau, mereka turut menyaksikan kejadian-kejadian yang melatarbelakangi turun ayat-ayat al-Qur’an dan mengetahui sebab-sebab proses lahirnya sunnah. Untuk itu fatwa sahabat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam, yaitu: pertama, sahabat melakukan penelaahan terhadap al-Qur’an dan sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus, apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam melakukan penyelesaian kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath (metode penelitian) dalam menyelasaikan kasus yang dihadapi.23 b. Fatwa Para Imam Mujtahid Dalam penetapan hukum para imam mujtahid memiliki pendapat yang berbeda-beda hingga akhirnya mereka mempunyai mazhab-mazhab fiqh tertentu. Perbedaan pengetahuan tentang sumber hukum khususnya sunnah sangat berpengaruh terhadap hasil ijtihad (fatwa) seorang mujtahid. Pada masa ini, ijtihad banyak digunakan dalam mengistinbath hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya.
23
Jaih Mubarok, sejarah dan Perkembangan Hukum Isalm, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h.40, dalam Tesis Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah (Suatu Analisa Metode Istinbath Hukum dan Pelaksanaanya di BII syariah)”, (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.26
Fatwa para imam mujtahid berpengaruh dalam penetapan hukum Islam karena membantu umat Islam dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya, sunnah atau hadits dan fiqh sebab mereka mengambil dan menerima pelajaran dari para tabi’in, tabi’u al tabi’in dan sahabat. Selain itu, para imam mujtahid menggunakan metode istinath yang dapat diakui dan diteruskan oleh generasi selanjutnya dalam mengistinbath hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya. Di samping juga fatwa para imam mujtahid dapat dijadikan sebagai pedoman dalam beribadah dan beramal khususnya bagi mereka yang tidak mampu berijtihad.24 3.
Metode Istinbath Dalam Berfatwa Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga
dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkanya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan. Metode/kaidah istinbath yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa adalah sebagai berikut:
24
Tesis Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah (Suatu Analisa Metode Istinbath Hukum dan Pelaksanaanya di BII syariah)”, (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 27
1.
Metode Bayani (Analisa Kebahasaan) Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan as-
sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan
analisis
kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidahkaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri. Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup: a. Analisa berdasarkan segi makna lafaz (bi i’tibar al-lafdz lil-ma’na). b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna (bi i’tibar isti’mal al-lafdz lil-ma’na). c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna (bi i’tibar dalalah al-lafz ala al-ma’na bi hasab zuhur al-ma’n wal khafaih). d. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash (bi i’tibar kaifiyah dalalah al-lafz ala alma’na).25 Dari segi makna lafaz, ada suatu lafaz yang ditempatkan untuk menunjukkan suatu makna tertentu (khas) dan umum (‘am), ada lafaz yang mengacu pada satu makna
(muradif), dan ada pula lafaz jama’ yang
mecakup satuan-satuan yang banyak akan tetapi tidak mencakup seluruh satuan yang dimasukkan kedalamnya (jama’ munakkar). 25
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 44
Dari segi pemakaian arti, ada lafaz yang menunjuk kepada pengertian asli (al-baqiqah) dan ada pula yang menunjuk pengertian lain yang bukan makna asli, karena ada satu indikasi yang mengendaki demikian (majaz), selain itu pula ada lafadz
yang mengaku pada pengertiian yang jelas
karena pengertian tersebut lazim dipakai (sharih), dan ada pula lafadz yang samar maksudnya karena baru diketahui ketika ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya (kinayah). Dari segi terang dan samarnya makan, ada lafadz yang petunjuk maknanya jelas tanpa memerlukan lafadz lain untuk menjelaskanya (wadhih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas petunjuk maknanya kecuali ada lafadz lain yang membantu untuk menjelaskanya (khafi addalalah). Dari segi penunjukkan lafadz pada makana menurut maksud pencipta nash, ada lafadz yang petunjuk teksnya mengacu pada makna implisit (al-mafhum). Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian dalil-dalil yang secara lahiriah terlihat bertentangan (ta’arud al adillah), yang mencakup: kompromi antara nash-nash yang berlawanan (al-jamu’u wa al-Taufiq), mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang lebih lemah (tarjih), mengahapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dulu (naskh-mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan berpaling kepada dalil lain (tawaqquf).
2.
Metode Ta’lili Metode ini digunakan
untuk menggali dan menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga dengan ijma’ yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti ini ditujukkan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kejadian yang telah ada nashnya, intinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan. Penalaran yang dipakai berusaha malihat apa yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum dalam al-qur’an dan al-hadis. Dengan kata lain apa yang menjadi illat dari suatu peraturan. Menurut ulama semua ketentuan hukum mengandung illat, karena tidak mungkin Tuhan memberikan peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik. Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat tasyri’i, illat qiyasi dan illat istihasni. Illat tasyri’i ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti apa adanya, atau boleh diubah kepada yang lainya. Dengan kata lain, berhubung diketahui illat penafsiran peraturan tersebut maka para ulama berani mentakwilkan makna sesuai illat yang dipahami tadi, sehingga hukum yang muncul menjadi bergeser
dari pemahaman sebelumnya atau berbeda dengan arti harfiyahnya. Dalam illat tasyri’i ini tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak, karena penekanan kajianya adalah pada masalah itu sendiri. Kalau illat tersebut ingin diberlakukan pada masalah lain, maka fungsinya berubah menjadi illat qiyasi. Illat qiyasi ialah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya. Dengan kata lain, illat ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah x juga berlaku unuk masalah y (yang secara harfiyah tidak dicakupnya, namun diantara kedua masalah tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat. Illat istihsani yaitu illat pengecualian maksudnya mungkin saja ada pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang menyebabkan dikecualikan. Dengan demikian illat
kategori ini mungkin ditemukan
sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana mungkin juga pengecualian dari kategori kedua. yang membedakan ketiga pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaanya dan intensitas persyaratanya.
3.
Metode Istishlahi Metode ini digunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan
hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qathi’ maupun zhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitanya dengan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’, dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan. Jadi dasar pegangan ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik dalam bentuk mendatangkan manfaat (jalb al-manfa’at) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta. Lebih jauh para ulama telah membuat tiga kategori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyat, hajiyat, tahsiniyat. Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandaranya. Misalnya ayatayat yang menyuruh berlaku adil, tidak boleh mencelakakan diri sendiri maupun orang lain dsb. Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah yang akan diidentifikasi tersebut tidak dapat dikembalikan kepada sesuatu ayat atau hadis tertentu secara khusus. Dengan kata lain tidak ada bandingan yang tepat dari zaman nabi yang bisa digunakan. Misalnya
aturan untuk membuat SIM (surat ijin mengemudi) tidak ada bandinganya dengan sunnah nabi. Tetapi mengatur masalah baru tersebut, baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut diganbungkan satu sama lain, sehingga kesimpulanya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip umum ini didedukasikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan tadi. B. Produk Bank Syariah Kegiatan usaha Perbankan Syariah lalu diterjemahkan menjadi Produk Perbankan Syariah. berkaitan dengan hal diatas, maka bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,26 yang mengatur proses kelahiran produk Perbankan Syariah. 1.
Pengertian Produk Bank Syariah Mulyadi dan Jonny Setyawan menyatakan bahwa istilah “produk” sering
sekali diidentikan dengan sebuah produk yang sifatnya nyata, tetapi pada sesungguhnya jasa dan ide juga termasuk bagian dari produk itu sendiri. Dipandang dari sudut customer, produk yang dihasilkan oleh produsen tidak lebih dari sekedar alat berwujud untuk mendapatkan jasa yang dapat
26
HM. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h.104 dalam Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah- Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Rajawali Pers 2009), h.88
menghasilkan value
bagi customer setelah melalui use proses (yang secara
keseluruhan melalui tahap-tahap lengkap: fire, acquire, transport, store, use, dispose of, stop). Dengan demikian, dipandang dari sudut customer. Suatu produk merupakan “a bundle of service” yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan dan harapan customer.27 Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah (Baraba, 2000). Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut:28 a. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank; b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana/shahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana; c. Sebagai penyedia jasa lau lintas pembayaran dan jasa-jasa lainya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan d. Sebagai pengelola fungsi sosial. Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi produk-produk bank syariah, yang secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam produk pendanaan, produk pembiayaan, produk jasa perbankan, dan 27
Mulyadi & Jonny Setiyawan, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h.272 28 Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 112
produk kegiatan sosial dan produk-produk perbankan syariah terkodifikasi menjadi dua yaitu kodifikasi produk bank syariah domestik dan kodifikasi produk perbankan syariah internasional, dan produk domestik adalah produkproduk perbankan syariah yang selama ini digunakan, seperti digambarkan pada gambar berikut:29 Akad dan Produk Bank Syariah Pendanaan Pola titipan
Pembiayaan
Jasa Perbankan
Sosial
Pola Bagi Hasil
Pola Lainya
Pola Pinjaman
Wadiah yad
Mudharabah
Wakala, Kafala,
Qardhul Hasan
dhamanah
Musyarakah
Hawalah, Rahn, Ujr,
(Pijaman
(Giro, Tabungan)
(Invesment Financing)
Shar f(jasa Keuangan)
Kebajikan)
Pola Pinjaman
Pola Jual beli
Pola Titipan
Qardh
Murabahah
Wadhi’ah yad Amanah
(Giro, Tabungan)
Salam
(Jasa Nonkeuangan)
-
Istishna (Trade Financing) Pola Bagi Hasil
Pola sewa
Pola Bagi hasil
-Mudharabah
Ijarah
Mudharabah
Mutlaqah
Ijarah wa Iqtina
Muqayyadah
Mudharabah
(Trade Financing)
(channeling)
Muqayadah
(Jasa Keuangan)
(executing) (Tabungan, Deposito. Investasi, Obligasi) Pola sewa
Pola Pinjaman
Ijarah
Qardh
(Obligasi)
(talangan)
Tabel 1. Akad dan Produk Bank Syariah 29
Ibid, Ascarya, h. 39
Dan sedangkan produk internasional adalah produk-produk perbankan syariah yang diambil dari berbagai negara yang menerapkan perbankan syariah/Islam dalam sistem perbankan di negaranya, seperti Malaysia, Yordania, Sudan, Bahrain, Pakistan dan lain sebagainya. Produk perbankan syariah internasional ini terdiri dari produk penghimpunan dana, produk penyaluan dana dan produk jasa, dan berikut produk-produknya: A. Produk Penghimpunan dana terdiri dari 8 (delapan) produk: 1. Deposito - mudharabah muqayyadah – murabahah dari Malaysia; 2. Deposito - mudharabah muqayyadah - komoditi murabahah dari Malaysia; 3. Deposito dan reksadana - mudharabah, Deposito – musyarakah dari Malaysia; 4. Deposito Unrestricted Recurring Investment – mudharabah Uni Emirat Arab (UEA); 5. Deposito – Wakalah bil Ujrah dari Uni Emirat Arab (UEA); 6. Giro – Wadhiah dan Qard dari Uni Emirat Arab, Pakistan, Inggris, dan Bahrain; 7. Tabungan dan Giro Automatic Transfer – Mudharabah dan wadhiah} dari Malaysia. B. Produk Penyaluran Dana terdiri dari 30 (tiga puluh) produk: 1. Car Financing – Al-Ijarah thumma Al-Ba’i (AITAB) dari Malaysia;
2. Home Financing – BBA (Ba’i Bithaman Ajil) dari Malaysia; 3. Home Financing – Musyarakah Mutanaqishah dan Ijara dari UEA, Inggris, dan Pakistan; 4. Islamic Card – Bai Al Inah dari Malaysia; 5. Islamic Card – Tawaruq dari Saudi Arabia; 6. Personal Financing – Ba’i Al Inah dari Malaysia; 7. Personal Financing – Murabahah dari Bahrain. Inggris, UEA, Saudi Arabia; 8. Personal Financing – Tawaruq dari UEA, Saudi Arabia; 9. Agriculture Implements Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i) dari Bangladesh; 10. Micro Industries Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i); 11. Islamic Overdraft (Cash Line facility) – BBA dan Ba’i Al Inah; 12. Cash Line Facility – Ba’i Bithaman Ajil dari Bahrain; 13. Revolviing Financing – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dai Malaysia; 14. Revolving Financing – Mudharabah dari Malaysia; 15. Term Financing Fixed and Variable Rate – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dari Malaysia; 16. Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ dari Malaysia; 17. Hire Purchase – Shirkatul Melk dari Bangladesh; 18. Unsecured Business Financing – Tawaruq dari Inggris dan UEA;
19. Working Capital and erm Financing – Tawaruq dari Inggris, Bahrain, dan saudi Arabia; 20. Export Credit Refinancing – Bai’ Dayn dari Malaysia; 21. Export Credit Refinancing – Murabahah dari Malaysia; 22. Export Credit Refinancing – Murabahah dan Bai’ Dayn dari Malaysia; 23. Export Refinancing – Musyarakah dari Uni Emirat Arab; 24. Forward Rate Agreement – Murabahah dari Malaysia; 25. Islamic Profit Rate Swap – Murabahah dari Malaysia; 26. Islamic Treasurry Instrument – Salam Pararel dari Saudi Arabia; 27. Sukuk Investment – Wakalah Bil Ujrah dari Arab Saudi; 28. Pembiayaan dengan penjaminan – semua akad pembiayaan syariah dari Malaysia; 29. Share Financing – Murabahah (Trading) dari Malaysia dan UEA; 30. Share Financing – Murabahah (Investment) dari UEA. C. Produk Jasa terdiri dari 8 (delapan) produk: 1. Escrow Account – Wakalah Bil Ujrah dari UEA; 2. Shipping Guarantee – Kafalah dari Malaysia; 3. Documentary Credit – wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 4. Bill Collection Outward – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 5. Bill Collection Inward – Wakalah Bil Ujrrah dari Malaysia; 6. Islamic Will (surat wasiat) – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 7. Administrasi Asset – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;
8. Islamic Trust – Wakalah Bil Ujrah dari malaysia. 2.
Proses Penerbitan Produk30 Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran produk baru kepada Bank
Indonesia (Pasal 2 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Laporan rencana pengeluaran produk baru harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 3 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan itu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap (pasal 3 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank dilarang mengeluarkan produk baru dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari itu, apabila belum memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank Indonesia (pasal 3 ayat 3 PBI No. 10/17/PBI/2008). Apabila dalam jangka waktu 15 (lia belas) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. Bank Indonesia tidak memberikan penegasan, maka bank dapat mengeluarkan produk baru dimaksud (pasal 3 ayat 4 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan rencana pengeluaran produk baru paling lamabat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap (pasal 4 PBI No. 10/17/PBI/2008). 30
Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah- Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Rajawali Pers 2009), h.89
Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk baru paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 5 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia atas produk baru yang wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia (pasal 6 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia dapat meminta kepada bank untuk memberikan penjelasan atas: a. Produk baru wajib dilaporkan kepada bank Indonesia; b. Produk yang telah dikeluarkan; c. Produk non bank yang dipasarkan oleh bank pasal 6 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008.
3.
Macam-macam Produk Bank Syariah Tidak dipungkiri lagi, bahwa produk perbankan syariah berperan dalam
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Karena produk perbankan syariah ini menjadi pembeda antara bank syariah dengan bank konvensiaonal, karena produk bank syariah menawarkan kemaslahatan bagi setiap orang, karena tidak tidak ada unsur gharar, maysir dan riba. Contohnya bunga yang diterapkan oleh bank konvensional.
Sejalan dengan itu, seperti Peraturan Bank Indonesia tentang produk bank syariah adalah bahwasanya
transaksi dalam bank syariah tidak boleh
mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan maksiat. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dijelaskan sebagai berikut;31
1.
Gharar adalah transaksi dengan objek yang tidak jelas, mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak lain dirugikan.
2.
Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untunguntungan, atau spekulatif yang tinggi.
3.
Riba adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun simpan pinjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam.
4.
Zalim adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain.
5.
Risywah adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau betuk lainya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam bertransaksi.
6.
Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, prinsip-prinsip dalam dunia bank syariah ruang lingkup usaha perbankan syariah yaitu:
31
Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam (panorama prinsip syariah dalam hukum Islam. (Jakarta: prenada media group) ,h. 125
1. Prinsip bagi hasil
Secara umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaiutu:
a. Al-Musyarakah (partnership, project fianancing participation) b. Al-Mudharabah (trust financing, trust investment) c. Al-Muzara’ah (harvest-yield profit sharing) d. Al-Musaqah (plantation management fee based on certain portion of yield)
Tetapi prinsip yang paling sering dipakai adalah musyarakah dan mudharabah
2. Prinsip jual beli
Ada tiga jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan dalam perbankan syariah dari sekian banyak jenis jual beli, yaitu:
a. Al-muarabah (deffered payment sale) b. As-salam (in-front payment sale) c. Al-istishna (purchase by order of manufacture) 3. Prinsip sewa
Terbagi dalam dua jenis:
a. Al-ijarah (operational lease) seperti halnya bank menyewakan traktordan alat produk lainya kepada nasabah b. Al-ijarah muntahia bit-tamlik (financial lease with purchase option) 4. Prinsip jasa (fee based services)
Al Qard (soft and benevolent loan)
BAB III Dewan Syariah Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah A. Pengertian Dewan Syariah Nasional Berdasarkan surat keputusan dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI No: Kep-98/MUI/III/2001, maka pengertian, kedudukan, tugas dan wewenang DSN-MUI sudah tercantum dan diatur didalamnya. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas mengembangakan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana. DSN merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.32 Sedangkan Kedudukan Dewan Syariah Nasional adalah otoritas syariah tertinggi, yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah Syariah agama Islam, baik masalah ibadah maupun 32
Firdauz NH DR. Muhammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq Mukhtar, Sistem & Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 21
muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.33. Statusnya membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain dalam menyususn peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. dan anggota DSN terdiri dari para Ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah, serta anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti pengurus MUI pusat yakni lima tahun.34 Visi Dewan Syariah Nasional adalah “memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariatkan ekonomi masyarakat” sedangkan misi Dewan Syariah Nasional adalah “menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan atau bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa”. B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan lembaga Dewan syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penangananya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada dilembaga keuangan syariah.
33
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 206 Firdauz NH Dr. Muhammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq Mukhtar, Sistem & Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 22 34
Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. DSN-MUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 dan dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754/MUI/II/1999. Dewan ini bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa dan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah dengan prinsip syariah.35 Adapun latar belakang pembentukan DSN antara lain: 1. Untuk mewujudkan aspirasi umat Islam dalam mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian keuangan; 2. Terciptanya koordinasi dan langkah yang efisien para ulama dalam mengahdapi isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi/keuangan; 3. Menanggapi munculnnya kasus-kasus di bank syariah sehingga diperoleh dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing bank syariah.
C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional Dewan syariah, mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan ekistensi atau menjamian ke-Islaman keuangan syariah diseluruh dunia. Di Indonesia, tugas ini dijalankan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). 35
Dr. Firdauz NH Muhamammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq Mukhtar. Sistem & Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 20
Dalam pedoman dasar DSN-MUI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk memenuhi masalah-masalah yang berhubungan denagn aktifitas lembaga keuangan syariah. menurut MUI (SK MUI No, Kep.754/II/1999) dewan ini bertugas sebagai berikut: pertama Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya, kedua mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan, ketiga mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah, keempat mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.36 Selain itu DSN-MUI mempunyai tugas untuk mempublikasikan penerapan ekonomi Islam kepada masyarakat melalui fatwa-fatwanya sebagai pedoman pelaksanaan bagi para pelaku ekonomi Islam serta mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan Syariah yang bersumber dari hukum-hukum Islam yang menjadi dasar dalam pengawasan dan pengembangan produk-produk yang akan dikeluarkan oleh lembaga keuangan syariah.37 Selain itu Dewan Syariah Nasional berwenang: pertama, mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan 36
Adrian Sutedi, S.H., M.H. Perbankan Syariah-Tinjauan dan Beberapapa Segi Hukum, (Ghalia Indonesia, 2009), h.147. 37 Dr. Muhamammad Firdauz NH, Sofiniyah Ghufron, Muhammad Aziz Hakim, Mukhtar Alshodiq. Sistem & Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 5
syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait, kedua, mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, ketiga, memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah, keempat, mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri, kelima, memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, keenam, mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. Disamping itu, Dewan Stariah Nasional juga mempunyai kewenangan untuk: 1. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada satu lembaga keuangan syariah; 2. Mengekuarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait;38 3. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM;
38
Adrian Sutedi, S.H., M.H. Perbankan Syariah (Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum),(Ghalia Indonesia, 2009), h.148
4. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpanan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional; 5. Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
D. Mekanisme Kerja Operasional Penetapan Fatwa DSN-MUI Sejak dibentuk, DSN telah bekerja keras dan berusaha secara optimal untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Agar lebih efektif, pelaksanaan tugas ini dibantu dan ditangani secara langsung oleh Badan Pelaksana Harian DSN (BPH-DSN). BPH melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian. Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil pengkajian tersebut dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. rancangan ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno Pengurus DSN untuk dibahas (nama-nama pengurus DSN-MUI terlampir). Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. finalisasi fatwa ini, terutama dari aspek redaksional, ditangani lagi oleh tim peyusun dari BPH-DSN.39 Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN, dan berikut adalah mekanisme kerja Penetapan Fatwa DSNMUI:
39
Dewan Syariah Nasional MUI, himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta: DSN-MUI dan BI, 2010), h. Xiv.
Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan. Setiap tahunya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual reprt) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan teah/tidak memenuhi
segenap
ketentuan
syariah
sesuai
dengan
fatwa
yang
dikeluarkanoleh Dewan Syariah Nasional.
Badan Pelaksana Harian
a.
Badan pelaksana harian menerima usulan atau pernyataan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah, usulan atau pernyataan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian.
b.
Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian.
c.
Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah menerima usulan /pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada Ketua.
d.
Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambatlambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
e.
Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
f.
Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional.40
40
DSN-MUI, artikel tentang Dewan Syariah Nasional Diakses pada tanggal 20 mei dari http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:tentang-dewan-syariahnasional&catid=39:dewan-syariah-nasional&Itemid=58
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan DSN-MUI Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah Ekonomi merupakan salah satu bidang yang sangat dibutuhkan dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kehidupan masyarkat. Seiring perkembangan zaman, ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam atau syariah, memberikan solusi bagi masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Pada awalnya perekonomian syariah hanya terbatas pada bidang perbankan, kegiatan ini terus berkembang semakin meluas kebidang asuransi, pasar modal dan pembiayaan. Sehingga tersebut perlu adanya aturan yang dapat mengatur perekonomian syariah, dan salah satunya adalah dengan adanya DSN-MUI yang mengkaji dan menetapkan fatwa. Memberikan fatwa (al-ifta) bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan fatwa adalah menjelaskan hukum agama kepada masyarakat yang kemudian menjadikanya pedoman dalam mengamalkan agama. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam masalah fatwa, para ulama menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik),
persyaratan sangat ketat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang atau lembaga yang akan memberikan fatwa.41 Selain itu, penetapan fatwa harus didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat. Tidak dibenarkan penetapan fatwa hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat. Tegasnya, setiap menyatakan hukum suatu masalah haruslah didasarkan atas dalil, baik dari al-Quran maupun hadits Nabi.42 Dalam menetapkan fatwa, pertimbangan yang mendasar bagi Dewan Syariah Nasional sebelum dilaksanakanya penetapan fatwa adalah dengan melihat mafsadat (keburukan) dan maslahat (kebaikan) bagi masyarakat dari diajukan
setiap produk yang
oleh lembaga keuangan syariah. Sehingga dengan hal tersebut dapat
dipastikan apakah produk dapat di tetapkan fatwa dan atau tidak. Jika dalam setiap produk banyak mengandung mafsadat (keburukan) maka Dewan Syariah Nasional tidak dapat menetapkan fatwa pada produk tersebut. Dan begitu juga sebaliknya, jika dalam produk tersebut maslahat maka Dewan Syariah Nasional dapat menetapkan fatwa dan juga dapat diterapkan di perbankan syariah di Indonesia. Sehingga diharapkan dari setiap pengkajian produk perbankan syariah internasional dapat memberikan maslahat bagi masyarakat banyak.
41
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 53 Ibid., h. 53
42
B. Kendala Dewan Syariah Nasional Dalam Berfatwa Dewan Syariah Nasional adalah merupakan lembaga fatwa atas produk-produk yang diajukkan oleh lembaga keuangan syariah seperti perbankan, asuransi maupun pasar modal untuk diminta fatwa. Sebelum produk diluncurkan atau dipasarkan kepada masyarakat, lembaga keuangan syariah ini harus meminta fatwa kepada DSN terlebih dahulu, sehingga DSN akan merealisasikan dengan ditetapkanya fatwa atas produk yang telah diajukkan Fatwa sifatnya tidak melekat, artinya fatwa itu merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, sehingga dalam fatwa itu ada dua hal yang penting, yang pertama ada yang bertanya yang disebut dengan mustafti, dan yang kedua adalah yang membuat fatwa dinamakan mufti. Dalam hal ini kedudukan Mustafti adalah lembaga keuangan, sedangkan Mufti adalah Dewan Syariah Nasional. DSN melihat produk yang ditawarkan oleh LKS tersebut hanya dari aspek syariah saja. Dan dari hal tersebut
juga dapat dilihat dari mafsadat dan maslahat dari
produk yang
ditawarkan, selain itu juga produk bank diatur dalam Peraturan bank Indonesia (PBI). Jadi jelas bahwa dalam memasarkan sebuah produk di Indonesia bukanlah hal yang mudah, perlu ada aturan dan mekanisme yang harus terpenuhi. Hal ini di lakukan agar produk bank syariah benar-benar sesuai syariah yang memberikan maslahat bagi masyarakat yang menggunakan.43 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dewan Syariah Nasional. Bahwa dalam setiap penetapan fatwa tidaklah mudah, karena banyak aturan dan kode etik 43
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 14 Agustus 2011.
yang harus dilewati. Namun begitu, dengan sumber-sumber hukum yang terpercaya seperti Al-Quran, Hadits yang banyak mengatur dan membahas mengenai muamalat. Sehingga dalam penetapan hukum atau berfatwa pada setiap produk InsyaAllah dengan sumber yang terpercaya dapat direalisasikan. Kendala lain seperti pada suatu kejadian dimana
belum terjadi dan belum
terdapat hukum pada masa lampau (masa Nabi) sedangkan pada masa sekarang ini terjadi. Seperti produk L/C, letter Of Credit. Dimana produk L/C ini belum terdapat pada masa lampau, dan terjadi dalam masa sekarang. Sehingga para ulama-ulama harus menggali hukum baru pada produk tersebut dan harus dengan prinsip kehatihatian, karena sebuah hukum harus dipertanggungjawabkan, baik didunia dan juga di akhirat kelak dengan Allah SWT. Karena sebuah hukum merupakan pedoman bagi orang-orang dalam hidupnya.
C. Produk Perbankan Syariah Internasional dan Pertimbangan Dalam Proses Penetapan Fatwa di Indonesia Bank syariah dari suatu negara ke negara lain, selain memiliki persamaan prinsip secara umum, juga memiliki perbedaan-perbedaan karena lingkunganya juga berbeda. Perbedaan ini juga dapat tercermin pada variasi penggunaan akad yang
berbeda dalam produk dan jasa yang ditawarkan bank syariah. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut bermacam-macam, antara lain:44 a. Sistem yang dianut oleh suatu negara; b. Aliran pemikiran atau mazhab yang dianut oleh negara atau mayoritas penduduk Muslimnya; c. Kedudukan bank syariah dalam undang-undang; dan d. Pendekatan pengembangan produk yang dipilih. Produk perbankan internasional yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebanyak 46 produk yang dikumpulkan dari luar negeri seperti dari Malaysia, Yordania, Bahrain, Pakistan, Sudan dan negara lain yang menerapkan syariah dalam sistem perbankanya, perlu adanya pengkajian yang mendalam dalam setiap produk yang diajukan tersebut. Maka dari itu Dibentuklah Team Working Group untuk merealisasikan produk tersebut apakah dapat diterapkan di Indonesia atau tidak. Dimana didalam Team tersebut terdiri dari tiga pihak, yang pertama pihak Bank Indonesia, bank Indonesia mengumpulkan , memilih produk dari berbagai negara berdasarkan kebutuhan dunia perbankan syariah di Indonesia yang sifatnya mendesak.45 Kedua, adalah pihak Dewan Syariah Nasional, pihak DSN melihat produk yang ditawarkan dari keseuaian
44
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 131 Herdaru Purnomo, BI: 46 Produk Bank Syariah Belum Dihalalkan DSN, artikel ini diakses pada tanggal 24 Juli 2011 di http://finance.detik.com/read/2010/12/03/140514/1508445/5/bi-46-produkbank-syariah-belum-dihalalkan-dsn 45
syariahnya. Dan yang ketiga, DSAS-IAI (Dewan Standar Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia) yang melihat dari sisi akuntasi dari setiap produk. Namun karena keterbatasan penulis, penulis membatasinya hanya menganalisis faktor pertimbangan DSN dalam proses penetepan produk perbankan syariah tersebut, dari 46 produk hanya 10 produk internasional yang diterapkan di Negara Malaysia yang dipilih untuk dianalaisis.
Produk-produk yang diambil untuk
dianalisis adalah produk penghimpunan dana dan penyaluran dana saja, hal ini karena produk jasa yang diterapkan di Malaysia adalah menggunakan akad-akad yang sudah terdapat fatwa di Indonesia, dan produknya adalah sebagai berikut: A. Penghimpunan Dana 1. Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah)46 Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah) adalah solusi investasi jangka pendek dan jangka menengah untuk memperoleh hasil investasi dari kegiatan penyaluran dana yang menggunakan akad Murabahah. Produk ini diterapkan di negara Malaysia yaitu pada bank Al Rajhi Bank. Dan produk ini menggunakan akad Mudharabah Muqayyadah yaitu penanaman dana dari investor (Shahibul Maal-nasabah) kepada pengelola dana (Mudharib – Bank Syariah) untuk kegiatan usaha tertentu sesuai dengan yang dipersyaratkan investor (dalam produk ini, pengelola dana berdasarkan akad Murabahah saja), dengan nisbah yang telah diepakati sebelumnya. 46
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.1
Fitur Produk ini adalah, pertama, jangka waktu investasi bervariasi 1, 3, 6, atau 12 bulan. Kedua, investasi dapat dalam valuta asing lain. Ketiga, bagi hasil yang kompetitif karena berdasarkan profit dari kontrak murabahah. Keempat, tranparansi dalam penyaluran dana investasi (logam, atau lainya). Mekanisme produk ini adalah investor mewakilkan kepada bank untuk membeli komoditi yang diinginkan dari pihak ketiga dan kemudian menjual kembali komoditi tersebut pada harga yang lebih tinggi dengan pembayaran secara tangguh. Skema Produk
Skema 1. Produk Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah) Ket: 1. Nasabah menanamkan dana kepada Bank Syariah untuk membeli komoditas; 2. Penandatangan akad Mudharabah;
3. Bank menyerahlan uang untuk beli komoditas dengan akad Murabahah; 4. Penyerahan komoditas; 5. Bank menjual komoditas; 6. Pembayrana secara tangguh; 7. Penyerahan hasil investasi, sesuai nisbah yang telah disepakati. Tujuan / manfaat produk adalah bagi Bank sebagai sumber pendanaan bagi Bank dengan jangka waktu tertentu, dan tingkat hasil investasi yang tetap pada periode tertentu, sedangkan bagi nasabah adalah konsumen akan memperolehhasil investasi yang tetap dari keuntungan penjualan komoditas, selama periode tertentu dan jangka waktu yang lebih fleksible. Analisis dan Identifikasi Risiko adalah risiko pasar (market risk) berupa risiko nilai tukar (bila investasi dalam bentuk valuta asing), risiko reputasi apabila investasi kepada nasabah tidak berbeda dengan produk lain, dan risiko pembiayaan (credit risk) terjadi bila debitur wan pertasi atau default. Produk Deposito dengan menggunakan akad Mudharabah Muqayyadah (Murabahah) adalah dengan berbentuk komoditas. Dewan Syariah Nasional belum menetapkan fatwa terhadap produk tersebut
untuk diterapkan di Perbankan
Syariah di Indonesia. Karena pertimbangan Dewan Syaraiah nasional terhadap produk ini adalah bahwasanya di Indonesia dibenarkan produk deposito menggunakan akad mudharabah, karena konsep mudharabah adalah kerjasama
antara pemilik modal (shahibul maal) dengan pihak yang mempunyai keahlian (mudharib), dan keuntungan ditentukan di awal akad dengan hasil yang tidak tetap, sesuai kondisi keuntungan yang diperoleh oleh mudharib. Sedangkan deposito yang menggunakan akad Murabahah. Maka hal ini akan memberikan hasil pembagian keuntungan antara nasabah dengan bank akan fix (tetap), karena sifatnya jual beli bukan dari hasil usaha.47 Walaupun didalamnya menggunakan akad yang dibolehkan dalam syariah, namun di Indonesia hal ini dikhawatirkan akan timbul pandangan bahwasanya bank syariah dengan bank konvensional tidak jauh berbeda, karena sifat dari keuntungan yang diperoleh itu fix (tetap). Dan hal ini akan mengurangi nilai syariah itu sendiri. Sedangkan dalam Syariah marjin keuntungan bersifat fluktuatif, karena sesuai keadaan dari pihak ketiga yang mengelola dana. 2. Deposito dan Reksadana – Mudharabah48 Deposito dan Reksadana – Mudharabah adalah merupakan produk kombinasi antara keuntungan dari produk Deposito dan Reksadana. Produk ini berasal dari Malaysia yang diterapkan pada AmIslamic bank. Dan akad yang digunakan oleh produk ini adalah Mudharabah, dimana penanaman dana dari investor (shahibul maal-nasabah) kepada pengelola dana (mudharib-Bank Syariah) untuk kegiatan
47
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 14 Agustus 2011. Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.7 48
usaha apa saja yang sesuai dengan syariah, dengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Produk ini memiliki fitur diantaranya adalah, kombinasi deposito dengan reksadana, dimana sebagaian dana diinvestasikan pada reksadana, potensi hasil investasi yang lebih tinggi, profesional fund management, dan bagi hasil dikreditkan ke tabungan atau giro nasabah. Mekanisme produk ini adalah nasabah menginvestasikan dananya pada bank, dimana sebgaian dana dialokasikanpada deposito dan sebagian lagi pada reksadana. Keuntungan yang diperoleh dari deposito dan reksadana, akan didistribusikan untuk bank dengan nasabah berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Skema produk:
Skema 2. Produk Deposito dan Reksadana – Mudharabah
Ket: 1. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 2. Penandatangan akad Mudharabah; 3. Penyetoran dana; 4. Penyaluran dana keusaha dan kereksadana; 5. Total hasil usaha/keuntungan; 6. a/b- Distribusi hasil usaha berdasarkan nisbah; 7. pencairan depositi. Adapun tujuan dari produk ini bagi Bank adalah sebagai sumber pendanaan dengan jangka waktu tertentu, dan tingkat hasil investasi yang lebih menarik. Sedangkan bagi nasabah adalah jangka waktu yang bervariasi yaitu 1, 3, 6, atau 12 bulan, memberikan hasil investasi yang menarik, manajemen risiko yang lebih baik. Analisis dan identifikasi risiko dari produk ini adalah risiko reputasi apabila hasil investasi kepada nasabah tidak berbeda dengan produk lain, risiko pasar (market risk) apabila turuna nilai investasi (reksadana), risiko likuiditas apabila manajerinvestasi tidak dapat dengan segera melusasi transaksi penjualan kembali unit penyertaan reksadana. Faktor pertimbangan Dewan Syariah terhadap produk kombinasi antara Deposito dengan Reksadana yang menggunakan akad Mudharabah ini adalah
karena di Indonesia perbankan Islam merupakan perbankan yang sifatnya komersil. Dimana bank diartikan menurut Peraturan Bank Indonesia No 21 tahun 2008 bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk kredit lainya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.49 Dari pengertian tersebut berarti bank di Indonesia memposisikan sebagai bank yang (mencari keuntungan). Dan bukan sebagai bank Investasi. Karena dengan sifat seperti itulah produk kombinasi Deposito dengan Reksadana belum dapat ditetapkan fatwa dan tidak dapat diterapkan di Indonesia. Karena dari masingmasing produk tersebut mempunyai wilayahnya masing-masing, dimana Deposito merupakan wilayah bank, sedangkan Reksadana adalah wilayahnya Pasar Modal.50 Namun Perbankan di Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwasanya modal atau dana dari pihak ketiga diproduksikan bank melalui pasar modal. Tetapi tidak secara spesifik untuk bank investasi. Berbeda dengan asal produk ini yaitu di Malaysia, di Malaysia Perbankan sifatnya Investasi, sehingga menjalankan kombinasi antara produk perbankan dengan produk pasar modal seperti Deposito dengan Reksadana bukanlah masalah.
49
Peraturan Bank Indonesia tahun 2008 Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 14 Agustus 2011.
50
3. Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah - Wadhiah51 Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah – Wadhiah adalah merupakan kombinasi antara tabungan dan giro (dua rekening dalam satu produk), dimana setiap rekening dapat pindah secara otomatis apabila rekening yang lain membutuhkan dana yang lebih. Produk ini diterapkan di Malaysia pada Standard Chartered Bank Malaysia. Dan akad yang digunakan dalam produk ini adalah dengan akad wadhiah dan mudharabah, untuk akad wadhiah dimana penitipan dana dari pemilik dana (nasabah) pada penyimpan dana (Bank) dengan kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana titipan sewaktu-waktu. Dan sedangakan dengan akad mudharabah adalah penitipan dana sepenuhnya (100%) dari pemilik dana atau modal kepada pengelola (mudharib) untuk disalurkan kepada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Adapun kerugian ditanggung oleh masing-masing pihak sesuai besarnya modal. Fitur dan mekanisme produk ini adalah nasabah mempunyai dua buah rekening yaitu rekening tabungan dan rekening giro, dimana antara kedua rekening tersebut dapat dilakukan itransfer balance secara otomatis apabila terjadi kekurangan saldo di salah satu rekening. Nasabah akan memperoleh bagi hasil
51
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.23
dari rekening tabungan yang menggunakan akad mudharabah , namun tidak memperolah bagi hasil dari rekening giro yang menggunkan akad wadhiah. Tujuan dan manfaat dari produk ini bagi bank adalah sebagai sumber pendanaan, keuuntungan atas pengelolaan giro sepenuhnya menjadi milik bank, sedangkan keuntungan atas pengelolaan dana tabungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Dan sedangkan bagi nasabah adalah memberikan kenyamanan, keamanan, dan fleksibilitas pad akedua rekening nasabah, sehingga tidak terjadi kekurangan uang, dan nasabah dapat menggunakan melakukan pemindahan dana dari satu rekening ke rekeniing yang lain jika terjadi penarikan yang lebih besar dari saldo pada rekaning tersebut. Skema produk:
Skema 3. Produk Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah – Wadhiah
Ket: 1. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 2. Penandatanganan akad; 3. a- mutasi rekening b- otomatis transfer jika rekening kurang saldo; 4. Bank menyalurkan dana pada kegiatan produktif; 5. a/b- Distribusi hasil usaha berdasarkan nisbah (untuk rek. tabungan). Analisis dan identifikasi risiko dari produk ini adalah yang pertama, risiko likuiditas, risiko ini terjadi karena tingginya aktivitas pada rekening giro dan tabungan. Kedua, risiko operasional, risiko ini terjadi karena kegagalan bank dalam memilih kegiatan yang produktif, sehingga bank harus menanggung kerugian tersebut. Dan yang ketiga adalah risiko pasar, risiko ini terjadi apabila rekening dalam valuta asing. Produk Tabungan dan Automatic Transfer dengan menggunakan akad Mudharabah dan Wadhiah ini merupakan produk yang dapat diterapkan atau dijalankan di Perbankan Syariah di Indonesia. Karena Dewan Syariah Melihat produk ini sebenarnya menggunakan akad yang sudah ada dan sudah diterapkan di Indonesia sebelumnya. Hanya saja ditambahkan kombinasi-kombinasi antara produk yang satu dengan yang lainya. Dalam hal ini Dewan syariah Nasional
membolehkan, karena sifatnya sebagai fitur dari produk itu sendiri.52 Kaidah Fiqh:
اَﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻰ اﻟْﻤُﻌَﺎﻣَﻼَتِ اْﻹِﺑَﺎﺣَﺔُ إِﻻﱠ أَنْ ﯾَﺪُلﱠ دَ ﻟِﯿْﻞ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﯾْﻤِﮭَﺎ “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkanya.” Sehingga dalam pemberian fatwa dalam produk ini tidak ditetapkan karena memang akad yang dugunakan sudah ditetapkan di Indonesia seperti fatwa DSN tentang Giro No.1/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN tentang tabungan No.2/DSN-MUI/IV/2000.
B. Penyaluran Dana 1. Car Financing – Al-Ijarah Thumma Al Bai (AITAB)53 Car Financing – Al Ijarah Thumma Al-Bai’ (AITAB) adalah merupakan fasilitas pembiayaan kendaraan dengan menggunakan konsep sewa beli sesuai Syariah (Islamic hire purchase financing). Daeler menjual kendaraan kepada bank. Bank menyewakan kepada nasabah penyewa berdasarkan perjanjian AITAB. Setelah penyelesaian sewa, realisasi dari perjanjian pembelian akan
52
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 14 Agustus 2011. Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.27 53
dilakukan secara otomatis, sehingga kepemilikan kendaraan berpindah daari bank kepada peyewa. Produk Car Financing – Al Ijarah Thumma Al-Bai’ (AITAB) ini berasal dari Malaysia yang diterapkan di Maybank Islamic dan AmIslamic Bank. Dan akad yang diguanakan dalam produk Car Financing ini adalah Al Ijarah Thumma lbai’yaitu kombinasi dua akad antara akad Ijarah (sewa) dan akad Al ai’ (beli) yang dalam pelaksanaanya dilakukan secara bertahap, dimana akad Al Bai’ direalisasikan setelah periode sewa berakhir. Fitur dalam produk ini adalah bahwasanya secra esensi, fitur Car Financing – Al Ijara Thumma Al – Bai’ (AITAB) memiliki persamaan dengan Conventional Hire Purchase Loan. Adapun perbedaanya adalah:
Car Financing – Al Ijara Thumma Al – Bai’ (AITAB) berdasarkan prinsip syariah yang menjiwai hukum sewa beli (hire – Purchasing Act), sednagkan sewa beli konvensional hanya berdasarkan hukum sewa beli.
Sumber dana AITAB hanya berdasarkan dari halal Funds.
Perbedaan istilah/term: Konvensional
:
AITAB
Loan
:
Financing
Interest rat
:
Profit rate
Hiring Charges
:
Mark – Up
Late Payment Interest
:
Late Payment Charges
Terdapat dua perjanjian dalam AITAB yaitu Al Ijarah Contract dan Al Bai’ Contract. Sedangkan konlvensional hanya menggunakan satu perjanjian.
Dalam AITAB, customer harus menandatangani Aqad Letter (Acceptance Letter) sebagai pernyataan penawaran dan pengakuan transaksi, sedangkan kovensional tidak. Beberapa fitur AITAB antara lain:
Late Payment Charges lebih rendah dibandingkan dengan konvensional.
Fitur dan benefit AITAB sama baik dengan konvensional.
Customer akan mendapatkan rebate (ibra’) dalam hal terjadi early settelment. Rebate tidak diberikan dalam bentuk kas tetapi akan menguranginoutstanding balance. Mekanisme produk:
1. Dealer menjual kendaraan kepada bank, bank menjadi pemilik barang tersebut. 2. Bank kemudian menyewakanya kepada nasabah penyewa dengan perjanjian AITAB. 3. Setelah selesai masa sewa, realisasi perjanjian pembeliian akan dilaksanakan secara otomatis, kepemilikan kendaraan berpindah dari bank kepada nasabah penyewa.
4. Ketika konsumen gagal memenuhi kewajiban sewa sesuai dengan term dan kondisi yang tertulis dalam perjanjian, perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk meringankan kerugianya. Skema produk:
Skema 4. Car Financing – Al-Ijarah Thumma Al Bai Ket: 1. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 2. Jual kendaraan; 3. Sewakan kendaraan berdasarkan perjanjian AITAB; 4. Bayar sewa; 5. Jual kendaraan setelah selesai sewa. Tujuan atau manfaat produk AITAB ini bagi bank adalah bank mendapatkan pendapatan sewa, bank mendapatkan keuntungan dari transaksi jual beli setelah
selesai masa sewa. Dan sedangkan bagi nasabah adalah membantu nasabah mendapatkan kendaraan yang dibutuhkan sesuai prinsip syariah. Analisis dan identifikasi dari produk AITAB yaitu risiko kredit dimana bila nasabah tidak mampu membayar angsuran, risiko fluktuasi harga pada saat dilakukan penjualan kepada nasabah sehingga nasabah gagal beli, dan risiko jika nasabah batal membeli kendaraan. Fatwa dan opini syariah adalah yang petama, Al Ijarah Thumma Bai’ (AITAB) secara prinsip memiliki kesamaan dengan konsep Al – Ijarah AlMuntahiyah Bi Al-Tamlik (fatwa DSN, No. 27/DSN-MUI/III/2002). Dan pebedaanya adalah pada AITAB kedudukan sewa/hire dan beli/purchasing keduaduanya merupakan suatu kontrak/akad dalam suatu perjanjian AITAB dengan realisasi masing-masing kontrak secara bertahap. Sedangkan pada IMBT sewa adalah suatu kontrak/akad, sedangkan pemindahan kepemilikan merupakan suatu janji/wa’d. Seperti yang sudah dijelaskan bahwasanya produk AITAB produk sewa secara otomatis setelah akad sewa berakhir, barang yang disewakan akan menjadi kepemilikian si penyewa. Sedangkan dalam IMBT barang yang disewakan akan menjadi kepemilikan sipenyewa apabila ada wa’ad pada awal perjanjian yang dikeluarkan sipenyewa. Menurut Dewan Syariah nasional produk ini tidak dapat difatwakan dan diterapkan di Indonesia, karena secara hukum fikih di Indonesia
produk AITAB ini merupakan produk multi akad, dalam bahasa Indonesia multi berarti banyak, lebih dari satu; lebih dari dua; berlipat ganda.54 Multi akad berarti menggunakan lebih dari satu akad dalam bertransaksi. Dalam hadits, Nabi secara jelas menjelaskan bahwa multi akad dengan jual beli dan pinjaman adalah dilarang. Dalam hadits disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.55 Berbeda halnya dengan produk IMBT yang di terapkan di Indonesia, karena sudah jelas disebutkan diawal akad ini terdapat
janji dari sipenyewa untuk
menjualnya ke sipenyewa, menurut DSN ini dibolehkan seperti fatwa mengenai IMBT No.27/DSN-MUI/III/2002.
54
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), edisi kedua hal, 671 55 Hasanudin, Multi Akad, diakses pada tanggal 24 Agustus 2011 dari www.ekonomisyariah.org/.../Makalah%20IAEI_Multi_Akad_Hasanudin.pdf
2. Personal Fianncing – Bai’ Al Inah56 Personal Financing – Bai’ Al Inah adalah merupakan pembiayaan untuk personal yang memberikan kebebasan keuangan (diberikan dalam bentuk kas) untuk memenuhi kebutuhan nasabah, seperti membeli keperluan pribadi atau rumah tangga, biaya pernikahan, ataupun membuka usaha. Produk Personal Fianncing – Bai’ Al Inah ini merupakan produk yang diterapkan di negara Malaysia, yaitu pada Bank CIMB malaysia. Produk ini menggunakan akad Bai’ Al Inah yaitu kombinasi dua akad, AlBay’ al Mutlak (jual tunai) dan Bay Bai Bitahaman Ajil (jual kredit), dimana kontrak yang satu bekerja setelah kontrak yang lain. Kontrak yang pertama terjadi ketika bank menjual suatu barang kepada customer, pada harga yang disepakati. Pada kontrak kedua, bank membeli barang tersebut dari customer dengan harga yang lebih rendah. Bank mendapatkan keuntungan dari adanya perbedaan kedua harga tersebut yang ditentukan diawal. Nasabah menerima dana tersebut secara tunai. Fitur dan mekanisme produk personal financing ini adalah yang pertama, diberikan kepada nasabah dalam bentuk tunai/kas. Kedua, bisa digunakan untuk keperluan pribadi ataupun bisnis. Ketiga, flexible financing dari RM 3000 sampai
56
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.47
dengan RM 5000, dengan ketentuan 5 kali gaji/bulan. Dan yang keempat, jangka waktu pembiayaan dari 6 sampai 60 bulan. Skema produk:
Skema 5. Produk Personal Fianncing – Bai’ Al Inah Ket: 1. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 2. Identifikasi asset; 3. Jual asset dengan angsuran; 4. Jual asset dengan tunai; 5. Bayar tunai; 6. Bayar angsur; Tujuan/manfaat produk ini personal financing ini bagi bank adalah bank mendapatkan keuntungan dari transaksi jual asset dengan customer. Sedangkan
tujuan/manfaat produk financing personal bagi nasabah adalah nasabah mendapatkan bantuan dana tunia untuk memenuhi keperluanya. Analisis dan identifikasi risiko dari produk financing personal ini adalah risiko kredit, dimana terjadi apabila nasabah tidak mampu membayar angsuran, kemudian risiko fluktuatif harga karena adanya perbedaan waktu antara transaksi penjualan asset dari bank kepada customer kepada pihak ketiga, sehingga dapat terjadi gagal jual/beli. Fatwa/opini syariah dari produk financing personal ini adalah di Malaysia, setiap transaksi yang dilandasi oleh asset, dihalalkan oleh Dewan Ulama. Transaksi Bai’ Al Inah tidak tergolong riba, karena harga markup berlandaskan perdagangan barang da jasa, bukan pinjaman. Ada berbagai pendapat tentang Bai Al-Inah ini, mayoritas ulama menyatakan bai Al-Inah dilarang sebab mengandung suatu cara untuk meligitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa Bai Al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal Bai AlInah maka jawabnya, sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_Nya). Bai Al-Inah termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.57
57
2011
Fajarnindyo, ekonomi syariah- Bai Al-Inah Artikel ini diakses pada tanggal 10 september dari website http://www.mail-archive.com/ekonomi-
[email protected]/msg00988.html
Maliki dan Hambali secara tegas menolak Bai Al-Inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba. Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan alBaihaqi dari Abu ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah ra. Bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga 800 dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga 600 dirham kontan.
Aisyah berkata,
Sungguh tidak bagus cara engkau
berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah kecuali jika ia bertaubat ! . Wanita itu berkata,
Bagaimana kalau yang kuambil hanya
modalku saja ? . Aisyah menjawab, Allah berfirman : Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-Nya lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) (QS.Al-Baqarah 275). Sedangkan ulama yang membolehkan bai
al-inah diantaranya adalah
Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi i menurut satu riwayat membolehkan bai alinah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa id dan Abu Hurairah,Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus. Pertimbangan DSN-MUI belum menetapkan fatwa terhadap produkk personal financing dengan akad Bai Al-Inah ini. Karena DSN melihat bahwasanya
mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum dari Bai Al-Inah tidak dibolehkan. Sehingga dengan pertimbangan tersebut maka produk ini belum difatwakan dan tidak dapat diterapkan di Indonesia.58 Hal ini menunjukkan bahwa kalangan otoritas pemberi fatwa di Negara ini masih berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian dalam rangka mendekatkan diri pada konsep Islam yang sesungguhnya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih percaya bahwa, perbankan syariah adalah merupakan solusi dan bukan lagi sekedar pilihan bagi masyarakat muslim dinegeri ini. 3. Revolving Finance - Bai Bithaman Ajil (BBA)59 Revolving Finance - Bai Bithaman Ajil (BBA) adalah merupakan pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja dan investasi dengan menggunakan konsep Bai’ Bithaman Ajil (BBA). Produk ini ditrapkan di Malaysia pada AmIslamic Bank dan CIMB Islamic Bank. Dan produk Revolving Finance ini mengguakan akad Bai Bithaman Ajil (BBA) dimana, penjualan dengan sistem cicilan, dengan suatu harga dimana didalamnya termasuk margin keuntungan yang disepakati kedua belah pihak. Bank membeli suatu asset yang dibutuhkan customer dan menjualnya kepada customer, pada harga yang disepakati. Pembayaran dilakukan secara tangguh selama jangka waktu yang disepakati pula.
58
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 14 Agustus 2011. Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.70 59
Fitur produk Revolving Finance adalahsebagai berikut:
Nasabah adalah badan usaha.
Tujuan BBA dapat digunakan untuk pembelian modal kerja dan investasi.
Limit berdasarkan kebutuahan nasabah dan subject to credit evolution.
Profit Rate dihitung bardasarkan COF + Spread % pa atau BFR + Spread % pa.
Dapat direvolving atau untuk suatu periode tertentu, berdasarkan revieuw secara periodik.
Periode pencairan pembiayaan setiap 1, 3, 6 atau 9 bulan berdasarkan pilihan nasabah.
Tidak dikenakan komitmen Fee atau fasilitas pembiayaan yang tidak digunakan. Mekanisme produk Revolving Finance:
1. Barang yang digunakan wajib ada sebagai salah satu syarat dalam pembiayaan BBA. 2. Nasabah membutuhkan asset untuk keperluan usahanya. 3. Bank akan membeli asset kepada pemasok. 4. Bank kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang disepakati bersama. 5. Pembayaran dilakukan nasabah dengan cara tangguh selama periode tertentu.
Skema produk:
Skema 6. Produk Revolving Finance - Bai Bithaman Ajil (BBA) Ket: 1. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 2. Membeli asset; 3. Menjual asset kepada nasabah; 4. Bayar kepada bank secara tangguh (differed payment). Tujuan/manfaat produk Revolving Finance ini bagi bank adalah bank akan mendapatkan marjin keuntungan dari harga beli dan harga jual kepada nasabah. Sedangkan bagi nasabah adalah nasabah dapat memperoleh asset yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya sesuai prinsip syariah. Analisis dan identifikasi risiko dari prosuk Revolving Finance ini adalah risiko kredit dimana nasabah tidak mamp membayar angsuran dan risiko pricing
perubahan fluktuasi perubahan BFR (Base Fianncing rate) pada konsep Fixed rate term Financing. Produk Revolving Financing dengan menggunakan akad Bai’ Bithaman Ajil (BBA) adalah merupkan produk yang boleh diterapkan di Indonesia menurut dewan Syariah Nasional. Dalam hal ini melihat mekanisme produk tersebut yang menggunakan akad Bai’ Bithaman Ajil. dari
secara pengertian maupun
mekanismenya adalah sama dengan akad Murabahah. Yaitu produk jual beli yang dapat dilakukan pembayaranya secara tunai maupun tanggunh. Sehingga penetapan fatwa pada produk ini tidak diperlukan karena mengikuti fatwa pada akad
Murabahah yang sudah ditetapkan dalam Fatwa Dewan Syariah
No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. dan Bai Bithaman Ajil merupakan penamaan yang biasa digunakan di Malaysia sedangkan di Indonesia menggunakan produk murabahah. 4. Revolving Financing – Mudharabah60 Revolving Financing – Mudharabah adalah merupakan pembiayaan korporasi dengan akad mudharabah, dimana konsumen atau nasabah sepakat untuk mengembalikan modal, tanpa dikurangi dengan kerugian apapun di akhir periode perjanjian mudharabah. Keuntungan dibagi bersama antara nasabah dan bank sedangkan apabila terdapat kerugian, semuanya ditanggung oleh bank. Produk 60
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.73
revolving financing – mudharabah ini terapkan di negara Malaysia pada bank AmsIslamic Bank. Dan seperti yang sudah dijelaskan bahwasanya produk ini menggunakan akad mudharabah, dimana perjanjian antara dua pihak, satu pihak mentediakan
modal,
yang
lain
menyumbangkan
kemampuanya
utnuk
menjalankan operasi perusahaan. Rasio keuntungan ditentukan di awall perjanjian. Keuntungan dibagi bersama sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh penyedia modal. Fitur produk ini adalah yang pertama, Revolving Financing dilaksanakan dengan akad mudharabah. Kedua dana dapat ditarik bebrapa kali sesuai kebituhan dan dapat diperpanjang. Ketiga, fasilitas revolving financing biasa digunakan dalam contact financing (pembiayaan berdasarkan suatu kontrak kerja yang diterima nasabah). Karena risiko yang tinggi dalam transaksi ini hanya diperuntukkan bagi konsumenyang terpercaya, dengan tiingkat kegagalan yang benar-benar rendah. Dan yang keempat, fasilitas ini diperuntukkan bagi nasabah perusahaan, baik publik maupun swasta. Mekanisme produk atau keterangan: a. Nasabah mempunyai kontrak kerja dengan pemilik proyek. b. Nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank. c. Bank membiayai dengan akad mudhrabah, bank membiayai semua kebutuhan proyek. d. Nasabah memberikan kontribusi sebagai kontraktor (pegelola proyek).
e. Pengembalian modal dan distribusi keuntungan dapat dilakukan secara angsuran atau tempo. f. Distribusi tingkat keuntungan untuk bank dan nasabah sebesar nisbah yang telah ditentukan pada akad. g. Penembalian modal bank pada saat jatuh tempo pembiayaan. Skema produk:
Skema 7. Produk Revolving Financing – Mudharabah Ket: 1. Kontrak kerja; 2. Pengajuan dan pemenuhan persyaratan; 3. Akad Mudharabah; 4. Menyerahkan modal; 5. Mengelola; 6. Pengembalian modal dan distribusi keuntungan;
7. Bagi hasil sesuai dengan nisbah bank; 8. Bagi hasil sesuai dengan nisbah Bank. Tujuan atau manfaat produk ini bagi bank adalah bank akan mendapatkan pendapatan bagi hasil dari usaha yang dikembangkan nasabah. Dan bagi nasabah adalah membantu nasabah mendapatkan dana utnuk pengembangan usahanya. Utnuk analisis dan identifikasi risikonya adalah risiko kredit yaitu risiko adanya fluktuasi penurunan pendapatan usaha, dan risiko adanya ketidakakuratan informasi yang diberikan nasabah. Revolving Financing ini adalah produk pembiayaan bank syariah dengan menggunakan akad Mudharabah. Pertimbangan DSN-MUI belum menetapkan produk ini karena, pada dasarnya setiap produk yang menggunakan akad yang sudah terdapat fatwa seperti akad Mudharabah ini adalah boleh. Sehingga untuk menetapkan produk ini tidaklah diperlukan fatwa baru, karena mengikuti fatwa pada akad yang digunakan sebelumnya, seperti Mudharabah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2000. Sehingga produk Revolving Financing ini dapat diterapkan di Indonesia.61
61
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 26 Agustus 2011.
5. Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’62 Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ adalah merupakan pembelian dengan sewa beli berdasarkan konsep untuk mesin dan peralatan industri berdasarkan konsep atau akad Al Ijarah Thumma Al Bai’dimana kombinasi dua akad Ijarah (sewa) dan akad Al Bai’(beli) yang dalam pelaksanaanya dilakukan secara bertahap, dimana akad Al Bai’ direalisasikan setelah periode sewa berakhir. Berdasarkan kontrak pertama, penyewa menyewa barang dari pemilik barang dengan harga sewa yang disepakati untuk suatu jangka waktu tertentu. Setelah masa sewa berakhir, kontrak kedua direalisasikan dimana penyewa membeli barang dari pemilik pada harga yang telah disepakati. Produk ini diterapkan di Malaysia pada Bank AmsIslamic Bank. Fitur dalam produk ini adalah yang pertama, nasabah adalah badan usaha dan badan hukum. kedua, maksimal pembiayaan 100 %. Ketiga, periode pembiayaan ditetapkan case by case basis. Dan yang Keempat, disesuaikan denggan kebutuhan pembiayaan nasabah.
62
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.79
Skema produk:
Skema 8. Produk Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ Mekanisme produk atau keterangan: 1. Pengajuan dan pemenuhan peryaratan, dimana Bank membeli mesin atau peralatan pemasok. Dengan demikian bank menjadi pemilik barang tersebut. 2. Pemasok Jual mesin dan peralatan industri ke bank. 3. Bank menyewakan mesin/peralatan industri kepada nasabah penyewa dan, 4. Nasabah membayar biaya sewa yang disepakati selama jangka waktu sewa. 5. Setelah selesai masa sewa, realisasi pembelian akan dilaksanakan secara otomatis. Nasabah membeli barang kepada bankk dengan harga yang telah disepakati, dengan demikian kepemilikan barang telah berpindah dari bank ke nasabah.
6. Ketika konsumen gagal memenuhi kewajiban sewa sesuai dengan term dan kondisi yang tertulis dalam perjanjian, bank memiliki hak untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk meringankan kerugian. Tujuan atau manfaat produk ini bagi bank adalah bank mendapatkan sewa, dan bank akan mendapatkan keuntungan dari transaksi jual beli dengan nasabah. Sedangkan bagi nasabah adalah membantu nasabah mendapatkan mesin atau peralatan industri yang diperlukanya sesuai prinsip syariah. adapun analisis risoko pada produk ini adalah risiko kredit dimana risiko ini terjadi apabila nasabah tidak mampu membayar angsuran, risiko fluktuasi harga pada saat dilakukan penjualan kepada nasabah sehingga dapat terjadi gagal beli, risiko jika nasabah batal membeli peralatan/mesin industri. Fatwa dan opini syariah adalah yang petama, Al Ijarah Thumma Bai’ (AITAB) secara prinsip memiliki kesamaan dengan konsep Al – Ijarah AlMuntahiyah Bi Al-Tamlik (fatwa Dewan Syariah Nasional No. 27/DSNMUI/III/2002). Dan pebedaanya adalah pada kedudukan sewa/hire dan beli/purchasing kedua-duanya merupakan suatu kontrak/akad dalam suatu perjanjian AITAB dengan realisasi masing-masing kontrak secara bertahap. Sedangkan pada IMBT sewa adalah suatu kontrak/akad, sedangkan pemindahan kepemilikan merupakan suatu janji/wa’d.
Produk ini sama halnya dengan produk AITAB yang sudah dijelaskan sebelumnya, dimana produk ini diterapkan di Malaysia, barang yang disewakan secara otomatis menjadi kepemilikan si penyewa setelah akad sewa sudah berakhir. Namun perbedaanya pada prosuk ini khusus (spesifikasi) dalam bidang peralatan industri. Menurut Dewan Syariah Nasional produk Industrial Hire Purchase dengan akad Al Ijarah Thumma Al Bai’ ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena mekanisme yang digunakan, dimana menggabungkan kedua akad sekaligus dalam satu akad yang pada akad pertama belum berakhir namun akad yang kedua sudah direalisasikan. Didalam fikih di Indonesia hal tersebut dilarang. Dalam hadits, Nabi secara jelas menjelaskan bahwa multi akad dengan jual beli dan pinjaman adalah dilarang. Dalam hadits disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.63 Sehingga produk ini belum mendapatkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional dan tentu saja tidak dapat diterapkan di Indonesia.
63
Hasanudin, Multi Akad, diakses pada tanggal 24 Agustus 2011 dari website www.ekonomisyariah.org/.../Makalah%20IAEI_Multi_Akad_Hasanudin.pdf
6. Export Kredit Refinancing – Murabahah64 Export Kredit Refinancing – Murabahah
adalah merupakan fasilitas
pembiayaan berdasarkan akad murabahah yang diberikan kepada eksportir untuk meyiapkan barang sebelum pengapalan. Fasilitas ini merupakan usaha untuk meningkatkan ekspor prroduk hasil pertanian dan hasil produksi perusahaan (pabrikan) Malaysia. Produk ini menggunakan akad murabaha yaitu membeli secara tunia, kemudian menjual kembali sebesar harga pokok plus keuntungan dengan pembayran secara mencicil atau tangguh. Produk eksport credit refinancing ini diterapkan oleh bank di Malaysia yaitu bank Islam. Fitur dan mekanisme dari produk eksport credit refinancing ini adalah pertama, fasilitas ini dibiayai oleh Eksport Import Bank of Malaysia berhad (EXIM Bank).. kedua. Digunakan hanya untuk membiayai produk halal dan produk yang tidak tercantum dalam Negative List Guideline. Ketiga, tingkat marjin pembiyaan ditetapkan oleh EXIM Bank dari waktu-kewaktu. Keempat, bank Islam dapat menambah marjin sampai dengan 1% untuk ECR Financing kepada nasabah. Skema produk:
64
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.98
Skema 9. Produk Export Kredit Refinancing – Murabahah Ket: 1.
Nasabah eksportir mempunyai kontrak penjualan barang dengan importir;
2.
Karena nasabah eksportir tidak cukup dana untuk produksi barang ekspor, maka nasabah eksportir tersebut mengajukan pembiayaan dengan akad murabahah, karena itu bank mewakilkan kepada nasabah eksportir utnuk membeli barang ke supllier;
3.
Nasabah mewakili bank untuk beli barang ke supplier;
4.
Penandatanganan akad murabahah sekaligus bank mentransfer dana untuk pembayaran barang yang dibeli;
5.
Importir mengajukan permohonan pembuakaan L/C;
6.
Issuing bank menerbitkan L/C yang ditujukkan kepada bank syariah sebagai Advising Bank dari nasabah eksportir;
7.
Bank syariah mengadvice L/c kepada nasabah eksportir;
8.
Nasabah eksportir mengirimkan barang kepada importir;
9.
Nasabah eksportir menyerahkan berkas dokumen pengiriman barang kepada bank syariah;
10. Bank syariah mengirimkan dokumen dan penagihan pembayaran kepada issuing bank; 11. Issuing bank melakukan pemeriksaan dokumen yang diterima dari bank syariah untuk diperiksa kesesuainya, dengan persyaratan dalam L/C; 12. Importir melakukan pembayaran ke Issuing Bank; 13. Iisuing bank membayarkan tagihan pembayaran ke Bank syariah sebagai pelunasan atas tagihan kepada nasabah eksportir; Tujuan/manfaat produk ini bagi bank adalahbank memperoelh fee based Income dari aktifitas trade service, dan penyaluran kegiatan usaha nasabah terutama aktifitas ekspor dilaksanakan melaui bank. Sedangkan tujuan/manfaat produk ini bagi nasabah adalah biaya lebih rendah, karena pembiayaan ini dibiayai oleh EXIM Bank. Analisis da identifikasi risiko pada produk ini adalah pertama, risiko operasi yaitu bila supplier dan atau manufacturer tidak dapat memproduksi barang yang akan diekspor, dan bila buyer diluar negeri menolak barang yang diekspor atau menolak pembayaran harga barang yang diekspor (unpaid). Dan kedua, adalah
risiko kredit apabila nasabah tidak mau atau tidak mampu megembalikan pembiayaan yang telah diterima. Export Credit Refinancing ini menggunakan akad Mudharabah, dan Mudharabah di Indonesia dibolehkan dan sudah mendapatkan fatwa. Sehingga produk ini tidak perlu fatwa baru, karena mengikuti akad yang dipakainya. Dan sesungguhnya Dewan Syariah Nasional melihat pada setiap produk yang akan ditetapkan fatwa, dengan melihat kesesuianan produk syariah di Indonesia dan mekanismenya jelas tidak ada unsur-unsur yang dilarang, maka produk itu dapat diterapkan dan dijalankan. Dan DSN melihat produk ini sebenarnya sama halnya dengan produk L/C (Letter Of Credit) yang sudah terdapat fatwa yang membolahkan menggunakan produk ini sepeti dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.35/DSN-MUI/IX/2002 tentang fatwa L/C Ekspor. Dan produk ini tidak perlu fatwa baru dan dapat diterapkan di Indoneisa dengan pertimbangan tersebut, dan disamping itu juga terdapat akad wakalah dan wakalah dalam L/C ini juga telah diterapkan fatwa Dewan Syariah No.10/DSN-MUI/IV/2000.65
65
Wawancara Pribadi dengan Kanni Hidaya Y. Depok, 26 Agustus 2011.
7. Pembiayaan Dengan Penjaminan – Semua Akad Pembiayaan Syariah66 Produk ini adalah produk pembiayaan untuk usaha kecil menengah, dimana nasabah bisa mendapatkan pembiayaan dan guarantee (garansi) sekaligus. Produk ini diterapkan oleh negara Malaysia pada Bank AmIslamic Bank dan Bank Muamalat Malaysia. Dan akad yang digunakan adalah akad Kafala yang berarti jaminan. Hal ini merujuk pada garansi/jaminan yang diberikan oleh satu pihak yang setuju untuk menyelesaikan / melunasi hutang kepada pihak ketiga, apabila pihak ketiga gagal untuk melunasinya. Kafala dibedahkan menjadi dua yaitu: a. Guarantee in regard to goods: Merujuk pada garansi yang diberikanseseorang kepada pemilik barang yang menempatkan atau menyimpankan barangnya kepada pihak ketiga, dimana setiap klaim pemilik barang harus bisa dipenuhi oleh penggaransi (guarantor) dan pihak ketiga. b. Guarantee on a person Merujuk pada garansi yang diberikan oleh seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua, dimana pihak pertama melakukan joint-respon-sibility dengan pihak ketiga.
66
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008), h.124
Fitur dan mekanisme produk ini adalah yang pertama, kriteria nasabah yang mengajukan fasilitas ini (adalah pengusaha kecil dan menengah). Kedua, nasabah mengajukan kepada perusahaan penjamin untuk menjamin pembiayaan yang akan diajukanaya di bank. Ketiga, perusahaan penjamin akan mengeluarkan Letter Of Understanding
(guarantee)
kepada
bank.
Keempat,
nasabah
menerima
pembiayaan dari bank. Dan yang kelima, dalam hal terjadi gagal bayar, bank akan melakukan kalin, kepada perusahaan penjamin. Skema produk:
Skema 10. Produk Pembiayaan Dengan Penjaminan Ket: 1. Nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank; 2. Nasabah mengajukan penjaminankepada perusahaan penjamian; 3. Perusahaan penjamin akan terbitkan Letter Of Understanding (guarantee) kepada bank;
4. Bank memberikan pembiayaan kepada nasabah; 5. Nasbaah gagal bayar; 6. Bank ajuak klaim kepada perusahaan penjamin. Tujuan dan manfaat produk ini bagi bank adalah bank mendapatkan pendapatan dari pembiayaan kepada nasabah. Sedangkan tujuan dan manfaat produk ini bagi nasabah adalah membantu nasabah dalam menjalankan transaksi bisnisnya untuk memperoleh pembiayaan dari bank. Analisis dan identifikasi risiko pada produk ini adalah risiko kredit dimana terjadi ketika pengajuan klaim tidak diterima oleh perusahaan penjamin. Produk dalam pembiayaan ini juga merupakan salah satu roduk yang dapat diterapkan di perbankan syariah di Indonesia. Karena Dewan Syariah Nasional menimbang bahwa masyarakat memerlukan penjaminan dalam berbagai macam transaksi, seperti yang telah tertuliis di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan. Sehingga produk pembiayaan yang ketujuh ini tidak pperlu fatwa. Karena semua aturan mengikuti fatwa tersebut.67 Bank
syariah
didirikan
dengan
tujuan
untuk
mepromosikan
dan
mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya kedalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait, prinsip utama yang diikuti oleh Bank Islami itu adalah:
67
Wawancara pribadi dengan Kanni Hidayah Y. Depok, 26 Agustus 2011.
a. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi; b. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah; c. Memberikan zakat. Dengan prinsip-prinsip syariah, maka bank-bank Islam merencanakan dan menerapkan prosedur mereka sendiri guna menyesuaikan aktivitas perbankan mereka dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu Dewan Syariah berfungsi memberikan advis kepada perbankan Islam/Syariah guna memastikan bahwa bank Islam/Syariah tidak terlibat dalam unsur-unsur yang tidak disetujui oleh Islam.68 Transaksi keuangan dan perbankan, lazimnya masuk dalam kategori ajaran muamalah. Seperti dimensi ajaran Islam lainya, ajaran muamalah ini memiliki cakupan yang sangat luas. Berbeda denga aspek yang murni ibadah, dimensi muamalat bersifat sangat variatif, berkembang dan berjalan dengan sangat dinamis. Maka inovasi, kreatif dan temuan baru untuk mempermudah manusia dalam bermuamalah tentu saja tidak dapat dihindarkan, akan sesalu ada untuk menunjang pencarian solusi dan kemudahan.69 Pada hakikatnya fungsi utama suatu bank adalah untuk menyimpan kekayaan, menyalurkan (pembiayaan atau pinjaman) dan mentransfernya. Bank Islam adalah
68
Zainul Arifin. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),
cet.4 h. 2 69
A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah Di Indonesia (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), h. 61
lembaga bisnis yang tidak lepas dari sifatnya yang kompetitif. Praktek, layanan, dan jasa perbankan syariah haruslah dapat menjangkau dan membuka pangsa pasar seluas mungkin. Sebagai sistem baru yang beroperasi di tengah mengguritanya sistem perbankan konvensional, Bank Islam/Syariah haruslah meyakinkan penggunanya akan kehandalan dan kemudahan produknya sehingga betul-betul berdimensi ukhrawi dan duniawi.70
70
A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah Di Indonesia (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), h. 71
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis yang sudah disampaikan, maka penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Dalam aspek penetapan fatwa, seperti penetapan fatwa pada produk perbankan syariah. Dewan Syariah Nasional tidak serta merta menetapkan fatwa terhadap produk yang diajukkan, karena perlu adanya pertimbangan dalam proses penetapan fatwa yaitu berupa pengkajian yang mendalam terhadap setiap produk. Dasar pertimbangan dari Dewan Syariah Nasional sebelum menetapkan produk bank syariah ini adalah dengan melihat maslahat (keuntungan/manfaat) dan mafsadat (keburukan) dari setiap produk. Sehingga produk tersebut terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat. karena pada hakikatnya syariah itu diterapkan untuk kemaslahatan ummat.
2.
Dalam berfatwa, sebenarnya tidak menemukan kendala-kendala yang begitu serius. Karena disamping didalam lembaga Dewan Syariah Nasional ini adalah orang-orang pilihan yang mengerti akan hukum syariat Islam, juga sumbersumber hukum yang terpercaya seperti Al-Quran, Hadits yang banyak mengatur dan membahas mengenai muamalat. Sehingga dalam penetapan sebuah fatwa insyaAllah dapat terealisasikan. Tetapi hal itu juga tidak menutup kemungkinan
bahwa pasti ada saja kendala yang dihadapi dalam berfatwa. Seperti dalam menetapkan sebuah produk baru yang belum terjadi pada masa lampu dan belum mendapatkan sebuah hukumnya. Maka hal tersebut perlu adanya pengkajian yang sangat hati-hati dalam menentukan sebuah hukum produk baru tersebut, karena sifatnya membuat hukum baru, yang akan dijalankan oleh masyarakat dan dipertanggunjawabkan kelak dihadapan Allah SWT. Sehingga harus betul-betul sesuai syariat Islam. Contohnya seperti produk L/C.
3.
Produk Perbankan Syariah inetrnasional terdapat 46 produk dari berbagai negara yang menerapkan bank yang berbasiskan syariah di negaranya, seperti Malaysia, Sudan, Pakistan, Uni Emirat Arab dan lain sebagainya. Penulis membatasinya hanya sepuluh produk yang dianalisis, tiga dari produk peghimpuunan dana (funding) dan tujuh produk pembiayaan (lending). Dimana Dewan Syariah Nasional membutuhkan proses sebelum menetapkan fatwa sebuah produk proses tersebut berupa menerapkan kode etik dan aturan yang ketat serta pengkajian yang mendalam pada setiap produk. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan otoritas pemberi fatwa di Negara ini masih berpegang teguh pada prinsip kehatihatian dalam rangka mendekatkan diri pada konsep Islam yang sesungguhnya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih percaya bahwa, perbankan syariah adalah merupakan solusi dan bukan lagi sekedar pilihan bagi masyarakat muslim di negeri ini.
B. Saran Lembaga Dewan Syariah Nasional merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dalam menetapkan sebuah fatwa, seperti penetapan fatwa produk bank syariah. Dan kedudukan fatwa sangatlah penting, dimana sebuah produk tidak dapat difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, maka produk tersebut tidak dapat diterapkan. Saran penulis dalam hal ini adalah agar pihak-pihak yang terkait baik pihak Bank Indonesia, Lembaga Kuangan Syariah (perbankan, asuransi, pasar modal), dan Dewan Syariah Nasional lebih. Untuk lebih banyak lagi menggali produk perbankan syariah. supaya perbankan syariah di Indonesia memiliki produk yang beragam, sehingga dapat bersaing dan berkembang dari bank-bank konvensional. dan juga perlu adanya kominkasi yang lebih lagi dari masing-masing pihak agar informasi yang didapat lebih lengkap, transparan. Sehingga menghasilkan yang terbaik bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi. Perbankan Syariah; Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia 2009. ____________. Amin, Ma’ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Elsas, 2008. Arif, M. Nur Rianto Al. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: CV ALFABETA, 2010. Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006. cet.4 Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009. Cet. 1 _____. Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Barlinti, Yeni Salma, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia. Jakarta; Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional. Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010. Dewan Syariah Nasional (DSN) membantah 54 produk perbankan syariah belum mendapatkan fatwa. Artikel ini diakses pada tanggal 25 Mei 2011 di
http://obrolanbisnis.com/dsn-bantak-54-produk-perbankan-syariah-balumdapat-fatwa/ Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasiional. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008) DSN-MUI, artikel tentang Dewan Syariah Nasional Diakses pada tanggal 20 mei dari website http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:te ntang-dewan-syariah-nasional&catid=39:dewan-syariah-nasional&Itemid=58 Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah; Suatu Analisa Metode Istinbath Hukum dan Pelaksanaanya di BII syariah”. Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Fajarnindyo. “Ekonomi Syariah- Bai Al-Inah” Artikel diakses pada 10 september 2011
dari
http://www.mail-archive.com/ekonomi-
[email protected]/msg00988.html Hasan, Zubairi, Undang-Undang Perbankan Syariah; Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Pers 2009. Hasanudin. “Multi Akad” Artikel diakses pada
24 Agustus 2011 dari
www.ekonomisyariah.org/.../Makalah%20IAEI_Multi_Akad_Hasanudin.pdf Hendra, Ica Purba Nur, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim AlJauziyyah”.Tesis S2 Sekolah Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuang). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2007. Kanni Hidaya Y, Wakil Sekretaris Dewan Syariah Nasional, Wawancara Pribadi, Depok, 14 Agustus 2011. Kanni Hidaya Y, Wakil Sekretaris Dewan Syariah Nasional, Wawancara Pribadi, Depok, 26 Agustus 2011. Lewis, Mervyn K & Algaoud, Latifa M. Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik & Prospek. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007. _____. Moh, Nazir, Ph.D, Metode Penelitian: Jakarta: Ghalia Indonesia Mulyadi & Setiyawan, Jonny. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba Empat, 2001. Muslehuddin, Muhammad.
Sitem Perbankan Dalam Islam. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya. _____. NH , Firdauz. Sistem & Mekanisme Pengawasan Syariah. Jakarta: Renaisan, 2005. Purnomo, Herdaru. “BI: 46 Produk Bank Syariah Belum Dihalalkan DSN”. Artikel diakses
pada
24
Juli
2011
dari
http://finance.detik.com/read/2010/12/03/140514/1508445/5/bi-46-produkbank-syariah-belum-dihalalkan-dsn Shomad, Abd.. Hukum Islam; Panorama Prinsip Syariah dalam Hukum Islam. Jakarta: prenada media group.
______. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. ______. Wirdyaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media 2005.
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA DENGAN PIHAK DEWAN SYARIAH NASIONAL
Nama
: Kanny Hidaya Y, SE, MA
Jabatan
: Wakil Sekretaris BPH/Deputy Secretary-Executive Commite
Hari, Tanggal
: 14 Agustus 2011 dan 26 Agustus 2011
Waktu
: 20.00 WIB
Tempat
: Di Kediaman Pak Kanni Hidayah Y, SE, MA
1.
Apakah Bank Indonesia mengusulkan produk baru bank syariah untuk diminta fatwa kepada DSN? Jawab : Sebenarnya, yang mengajukkan produk baru untuk ditetapkan fatwa adalah Lembaga Keuangan Syariah, seperti Bank, Asuransi dan Pasar Modal. Bank Indonesia sebagai pusat dari Bank, sehingga bank dalam mengusulkan sebuah produk harus melalui Bank Indonesia terlebih dahulu, kemudian Bank Indonesia mengusulkan fatwa ke DSN. Bank Indonesia bisa juga meminta fatwa ke Dewan Syariah Nasional, namun dalam hal yang berkaitan dengan seputar produk Bank Indonesia.
2.
Berapa jumlah produk baru yang diusulkan dari Bank Indonesia ke DSN untuk dimintai fatwa? Jawab : Seperti dalam buku yang diterbitkan Bank Indonesia “Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasional” terdapat sebanyak 46 produk yang diusulkan untuk diminta fatwa.
3.
Dari mana sajakah produk bank syariah itu berasal? Sebutkan bersama produknya? Jawab : terdapat 46 produk perbankan syariah internasional, diantaranya adalah: D. Produk Penghimpunan dana terdiri dari 8 (delapan) produk: 8. Deposito - mudharabah muqayyadah – murabahah dari Malaysia; 9. Deposito - mudharabah muqayyadah - komoditi murabahah dari Malaysia; 10. Deposito dan reksadana - mudharabah, Deposito – musyarakah dari Malaysia; 11. Deposito Unrestricted Recurring Investment – mudharabah Uni Emirat Arab (UEA); 12. Deposito – Wakalah bil Ujrah dari Uni Emirat Arab (UEA); 13. Giro – Wadhiah dan Qard dari Uni Emirat Arab, Pakistan, Inggris, dan Bahrain; 14. Tabungan dan Giro Automatic Transfer – Mudharabah dan wadhiah} dari Malaysia.
E. Produk Penyaluran Dana terdiri dari 30 (tiga puluh) produk: 31. Car Financing – Al-Ijarah thumma Al-Ba’i (AITAB) dari Malaysia; 32. Home Financing – BBA (Ba’i Bithaman Ajil) dari Malaysia; 33. Home Financing – Musyarakah Mutanaqishah dan Ijara dari UEA, Inggris, dan Pakistan; 34. Islamic Card – Bai Al Inah dari Malaysia; 35. Islamic Card – Tawaruq dari Saudi Arabia; 36. Personal Financing – Ba’i Al Inah dari Malaysia; 37. Personal Financing – Murabahah dari Bahrain. Inggris, UEA, Saudi Arabia; 38. Personal Financing – Tawaruq dari UEA, Saudi Arabia; 39. Agriculture Implements Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i) dari Bangladesh; 40. Micro Industries Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i); 41. Islamic Overdraft (Cash Line facility) – BBA dan Ba’i Al Inah; 42. Cash Line Facility – Ba’i Bithaman Ajil dari Bahrain; 43. Revolviing Financing – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dai Malaysia; 44. Revolving Financing – Mudharabah dari Malaysia; 45. Term Financing Fixed and Variable Rate – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dari Malaysia; 46. Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ dari Malaysia; 47. Hire Purchase – Shirkatul Melk dari Bangladesh;
48. Unsecured Business Financing – Tawaruq dari Inggris dan UEA; 49. Working Capital and erm Financing – Tawaruq dari Inggris, Bahrain, dan saudi Arabia; 50. Export Credit Refinancing – Bai’ Dayn dari Malaysia; 51. Export Credit Refinancing – Murabahah dari Malaysia; 52. Export Credit Refinancing – Murabahah dan Bai’ Dayn dari Malaysia; 53. Export Refinancing – Musyarakah dari Uni Emirat Arab; 54. Forward Rate Agreement – Murabahah dari Malaysia; 55. Islamic Profit Rate Swap – Murabahah dari Malaysia; 56. Islamic Treasurry Instrument – Salam Pararel dari Saudi Arabia; 57. Sukuk Investment – Wakalah Bil Ujrah dari Arab Saudi; 58. Pembiayaan dengan penjaminan – semua akad pembiayaan syariah dari Malaysia; 59. Share Financing – Murabahah (Trading) dari Malaysia dan UEA; 60. Share Financing – Murabahah (Investment) dari UEA. F. Produk Jasa terdiri dari 8 (delapan) produk: 9. Escrow Account – Wakalah Bil Ujrah dari UEA; 10. Shipping Guarantee – Kafalah dari Malaysia; 11. Documentary Credit – wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 12. Bill Collection Outward – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 13. Bill Collection Inward – Wakalah Bil Ujrrah dari Malaysia; 14. Islamic Will (surat wasiat) – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;
15. Administrasi Asset – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 16. Islamic Trust – Wakalah Bil Ujrah dari malaysia. 4.
Apakah semua produk tersebut sudah mendapatkan fatwa? Jawab : Semua produk yang diusulkan tersebut semuanya belum ditetapkan fatwa baru oleh DSN. pertimbangan DSN belum menetapkan semua produk tersebut adalah karena terdapat produk yang bisa diterapkan di Indonesia dan tidak diterapkan di Indonesia. Untuk yang dapat diterapkan di Indonesia belum difatwakan karena semua produk tersebut menggunakan akad yang sudah ada dan sudah terdapat fatwa sebelumnya di Indonesia, sehingga tidak perlu memerlukan fatwa produk lagi. Dan bagi produk yang tidak bisa diterapkan di Indonesia memang karena bertentangan dengan aturan syariatsyariat atau birokrasi di negara Indonesia ini.
5.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan DSN dalam penetapan fatwa terhadap produk bank syariah? Jawab : Sebenarnya dalam menetapkan sebuah produk perbakan syariah adalah dengan melihat dari produk tersebut apakah terdapat maslahat dan mafsadatnya. Jika lebih banyak mafsadat (keburukan) dari maslahatnya (kebaikan) maka tentu saja produk tersebut tidak dapat ditetapkan fatwa dan diterapkan di Indoneisa.
6.
Bagaimana
realisasi
terhadap
kodifikasi
produk
perbankan
syariah
internasional ini? Jawab : untuk merealisasikan kodifikasi produk perbankan syariah internasional ini ada beberapa pihak yang ikut andil didalamnya yaitu pertama Bank Indonesia yang menerima dan mengumpulkan produk bank syariah dari bank-bank
syariah untuk dilihat secara peraturan bank Indonesia, kedua
DSN-MUI selaku pihak yang melihat dari sisi syariatnya dan yang menetapkan fatwa dari produk tersebut dan yang ketiga DSAS-IAI (Dewan Standar Akutansi syariah-Ikatan Akuntan Indonesia) yang melihat dari sisi akuntasi dari setiap produk. 7.
Apakah dalam setiap pemberian fatwa produk bank syariah Internasional terdapat kendala atau hambatan? Jawab : Kendala dalam penetapan fatwa produk kodifikasi perbankan syariah internasional ini sebenarnya tidaklah menemui kendala yang berarti. sumbersumber hukum yang terpercaya seperti Al-Quran, Hadits yang banyak mengatur dan membahas mengenai muamalat. Sehingga dalam penetapan hukum cukup mudah untuk mencarinya. Namun begitu kendala juga ada dalam penetapan sebuah fatwa, dimana bisa dicontohkan pada suatu kejadian yang memang belum terjadi dimasa lampau, dan belum ada hukumnya seperti yang sekarang terjadi ialah L/C, letter Of Credit. Dimana L/C ini belum ada pada masa lampu, sehingga para ulama-ulama menggali lebih dalam lagi untuk mencari sebuah hukum ini dengan beristinbath.
8.
Apakah dari sekian produk bank syariah Internnasional yang diusulkan oleh Bank Indonesia terdapat produk Syariah yang tidak bisa diberi fatwa oleh DSN? kenapa? Jawab : seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwasanya roduk yang tidak memperoleh fatwa dan tidak dapat diterapkan di Indonesia karena memang produk tersebut bertentangan dengan syariat-syariat, aturan maupun birokrasi yang ada di Indonesia.
9.
Apakah dari sekian produk bank syariah yang ditetapkan fatwa Internasional tersebut terdapat kemiripan dari produk syariah nasional atau domestik? Jawab: ada produk yang diajukan mirip dengan produk yang sudah ada di Indonesia seperti produk Revolving Financing dari Malaysia yang memnag dari segi akad dan mekanismenya sama dengan akad atau produk Murabahah yaitu Jula beli yang pembayranaya dapat dilakaukan secara tunai maupuan kredit dengan modal dan keuntungan diketahui anata penjual dan pembeli.
10.
Apakah di Indonesia sudah terdapat Bank yang menerapkan produk Internasioanal tersebut? Sebutkan! Jawab : kedudukan DSN-MUI bisa dikatakan sangat tinggi, dimana produk tersebut belum mendapatkan fatwa dari DSN-MUI maka produk tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia, walaupun bersifat mendesak bagi Bank-bank syariah di Indonesia, saat ini produk bank internasional tersebut belum ada yang di terapkan di bank-bank syariah di Indonesia.
11.
Seperti apakah mekanisme penetapan fatwa DSN terhadap produk bank syariah? Jawab : dalam menetapkan sebuah fatwa terhadap produk yang akan diberi fatwa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan melihat apakah produk tersebut sesuai syariat atau tidak. Selaku Dewan yang mempunyai kewenangan dalam memberikan fatwa harus melakukan proses atau prosedur dalam menetapkan sebuah hukum begitu juga dalam menetapkan produk bank syariah. Dalam proses tersebut seperti penggalian, pengkajian, dan perumusan dari masing-masing produk, sehingga diharapkan produk-produk bank syariah dapat terfilter dengan baik.
Jakarta, 10 September 2011