DARI REDAKSI Teknologi Pengolahan Sampah Sampah adalah masalah yang dihadapi sehari-hari oleh penduduk, terutama di kota-kota besar, di Indonesia, yang berasal dari rumah tangga, perkantoran, rumah sakit, sekolah, industri, dan tempat lainnya. Jika tidak dikelola dengan baik, sampah akan menimbukan berbagai masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan. Untuk itu lah diperlukan berbagai cara, rekayasa dan teknologi untuk menghilangkan, menggunakan kembali (reuse), atau mengubah bentuknya menjadi bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Teknologi yang banyak digunakan di beberapa kawasan saat ini adalah alat pembakar sampah yang disebut insinerator. Biasanya untuk mengoperasikannya, insinerator ini membutuhkan bahan bakar minyak (BBM), seperti minyak tanah dan solar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan jenis pengolahan sampah termal yang melibatkan pembakaran bahan organik ini yang mengubah sampah menjadi abu, gas sisa pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke lingkungan dan panas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai energi.
insinerator berkapasitas 800 ton dapat menghasilkan energi listrik berdaya 20 megawatt. Selain dibakar, sampah dapat diolah dengan berbagai metoda seperti biodigester, piroliser,komposter dan gasifier. Namun begitu pengolahan sampah harus memerhatikan bahan yang diolah. Pengolahan sampah organik tentu berbeda dengan anorganik. Pengolahan limbah rumah sakit tentu juga berbeda dengan limbah atau sampah rumah tangga. Untuk sampah „umum‟ pun perlu dilakukan pemisahan, karena biasanya alat pengolah sampah, seperti insinerator, tidak dirancang untuk „melahap‟ semua jenis sampah. Artinya harus ada upaya mengedukasi warga agar melakukan pemilahan sampah yang dihasilkan. Dalam edisi kali ini, Engineer Weekly menayangkan beberapa artikel tentang masalah sampah dan teknologi pengolahannya yang ditulis oleh para insinyur yang menggeluti masalah lingkungan dan teknologi pengolahan sampah yang diharapkan dapat memacu para insinyur di Indonesia untuk melakukan berbagai penelitian dan inovasi teknologi untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia.*** Aries R. Prima Pemimpin Redaksi
Contoh lain adalah alat pengolahan yang disebut pembakar sampah hemat energi (PSHE) yang dikembangkan oleh PT Fin Tetra di Bandung. Berbeda dengan sebagian besar insinerator yang ada, PSHE menggunakan gas sebagai pembakar awal selama 15 menit. Setelah itu sampah akan terus terbakar. PSHE yang diproduksi oleh perusahaan yang didirikan oleh beberapa mantan karyawan dari PT Dirgantara Indonesia ini telah digunakan oleh banyak kalangan di beberapa wilayah di Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, dengan produksi sampah sekitar 8.000 ton per hari, memerlukan pengolahan dan manajemen sampah yang baik. Insinerator atau pembakar sampah dengan kemampuan mengubah panas menjadi energi listrik bisa diterapkan. Menurut perhitungan seorang peneliti di LIPI, satu
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
2
PENGELOLAAN SAMPAH
Tidak Hanya Pendekatan Teknologi atau Ilmu Rekayasa Ir. Sri Bebassari, M.Si. Ketua Indonesia Solid Waste Assosciation (InSWA) Permasalahan sampah di negeri ini seolah tidak pernah ada habisnya, meskipun sampai saat ini Kemenpupera terus membangun TPA dengan standar sanitary landfill untuk diserahkan ke kota dan kabupaten. Tetapi hampir semua TPA tersebut tidak ada yang dioperasikan secara sanitary landfill. Pendekatan dari aspek teknologi yang terus dijalankan bertahun-tahun itu tidak saja gagal dalam menyelesaikan masalah persampahan secara tuntas, bahkan ada beberapa tragedi kemanusiaan yang diakibatkan pengelolaan setengah hati ini. Salah satu yang paling fatal adalah longsornya TPA Leuwigajah Cimahi pada tanggal 21 Februari 2005 yang menewaskan 154 korban jiwa. Lantas apakah pengelolaan sampah akan terus dibiarkan demikian? Agar pengelolaan sampah dapat tuntas dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pendekatan multidimensi yang memperhatikan lima aspek, yaitu : • Aspek Peraturan Aspek ini adalah aspek yang memberi kekuatan hukum untuk pelaksanaan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Pengaturan seperti pemungutan retribusi, pengaturan hak dan kewajiban stakeholder, pemberian sanksi, pembagian kewenangan, dan sebagainya diatur dalam aspek ini. Indonesia telah memiliki peraturan yang mengatur pengelolaan sampah yaitu Undang Undang No. 18 tahun 2008 beserta peraturan turunannya. • Aspek Kelembagaan Aspek kelembagaan pada dasarnya adalah pengaturan pembagian tugas dan wewenang semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sampah, sehingga pengelolaan sampah dapat tuntas sesuai dengan tujuan yang diharapkannya. • Aspek Pendanaan Pengelolaan sampah yang bertanggung jawab membutuhkan pendanaan yang memadai dan biasanya jumlahnya akan lebih besar dibandingkan pengelolaan sampah yang umum dilakukan saat ini. Paradigma dari pendaanaan pengelolaan sampah adalah investasi sosial yang manfaat terbesarnya akan dirasakan dalam jangka panjang
dan cakupan yang lebih luas untuk seluruh anggota masyarakat. • Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya adalah bagaimana merekayasa pola pikir dan pola perilaku yang perlu dilakukan untuk mendukung berubahnya pemahaman tentang pengelolaan sampah. Beberapa budaya yang menghambat pengelolaan sampah secara bertanggung jawab seperti budaya “ruang tamu” yang mewah, sedangkan untuk WC alakadarnya atau malah di “kebun tetangga”, budaya buang sampah “not in my backyard” yang tidak sesuai dengan filosofi “polluters pay principle” , sehingga perlu dilakukan “socioengineering” agar perlahan hilang dan menjadikan kebersihan sebagai sebuah kebutuhan. • Aspek Teknis Operasional Aspek teknis operasional adalah aspek yang secara fisik dapat dilihat dan digunakan untuk mengelola sampah yang meliputi segala yang terkait dengan kegiatan pemilahan dan pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Jika salah satu dari lima aspek pengelolaan sampah tersebut tidak diperhatikan, maka hampir dipastikan pengelolaan sampah akan jalan di tempat seperti kondisi saat ini.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
3
Teknologi Hydrothermal Untuk Pengolahan Sampah Samsuhadi Samoen Pertumbuhan jumlah penduduk dunia di beberapa tahun belakangan sudah sedemikian cepat, sehingga kini diperkirakan sudah mencapai sekitar 7 milyar jiwa, dan diprediksikan pada tahun 2030 penduduk dunia mencapai 8,5 milyar jiwa (PBB, 2015). Sebagian besar penduduk ini bermukim di kota besar. Saat ini, 54 persen dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, proporsi yang diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 66 persen pada tahun 2050. Kehidupan masyarakat modern memproduksi sampah lebih banyak daripada masyarakat tradisional. Kenyataan ini bisa disaksikan di kotakota besar. Contohnya, produksi sampah di wilayah Jabodetabek, jika diambil angka rata-rata produksi sampah per orang sekitar 500–1.500 gram per hari, Jakarta saja bisa menghasilkan sampah sekitar 6.500 ton per hari. Sampah ini umumnya dikirim ke tempat pemrosesan akhir (TPA). Di TPA, sampah yang tertumpuk, sedapat mungkin diproses dengan cara reduce, reuse dan recycle (Undang-undang no. 18 tahun 2008).
Tumpukan sampah itu (terutama sampah organik) dapat memproduksi gas pembakar, yakni gas metana. Setelah melalui sistem pengumpulan (pemanenan gas), gas metana ini dapat digunakan sebagai bahan bakar dan membangkitkan listrik. Prosesnya mudah, gas metana dibakar kemudian dikonversi menjadi pembangkit listrik, dimana hal ini sudah dilakukan pada beberapa TPA, antara lain di TPA Suwung, Bali dan TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Proses ini sudah menghasilkan listrik beberapa megawatt, yang dapat dipakai untuk keperluan TPA dalam pemrosesan sampah. Sisanya juga telah manfaatkan untuk menerangi rumah2 disekitar TPA.
Metode pemanenan gas metana ini, sekarang sudah dikembangkan di berbagai TPA lainnya di Indonesia. Keuntungan yang didapat dari pemanfaatan gas metana ini dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, karena gas metana ini merupakan penyebab efek rumah kaca yang sangat tinggi. Akan tetapi karena potensi bahayanya ini, kabarnya di Eropa pada tahun 2008 yang lalu mendapat tentangan dari masyarakat dan akhirnya dilarang untuk dipertahankan.
Beberapa tahun belakangan ini, di Tokyo Institute of Technology, memperkenalkan teknologi Hydrothermal yang diberi nama RRS (Resource Recycling System). RSS memanfaatkan tekanan dan uap suhu tinggi yang lebih ramah lingkungan, relatif murah, dan lebih sederhana teknologinya. Teknologi ini sesuai dengan kebutuhan pengolahan sampah di Indonesia yang umumnya terdiri dari 80% bahan organik dan plastik. Proses awal pada RSS adalah sampah dihancurkan, dikeringkan, dan dihilangkan baunya dengan menggunakan gas bertekanan dengan suhu tinggi. Kemudian dihasilkan produk menyerupai bubuk batu bara melalui pemisahan uap air. Sampah campuran ini dapat menghasilkan bahan bakar padat yang dapat dicampur dengan batu bara sebagai bahan bakar PLTU dan lain lain. Diharapkan RSS dapat menjadi solusi permasalahan sampah di Indonesia dan upaya mendorong pengembangan teknologi, industri dan penelitian di bidang persampahan di Indonesia. Sudah saatnya kita mengupayakan ‘waste to energy’***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
4
Sekilas Tentang Teknologi Pengolahan Sampah Enri Damanhuri Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB
Sasaran utama teknologi pengolahan sampah adalah agar massa sampah berkurang. Salah satu pilihan menarik adalah konversinya menjadi energi, dikenal sebagai waste-to-energy (WtE). Secara prinsip, dijadikan energi atau tidak, sampah harus tetap dikelola. Energi yang dihasilkan adalah merupakan bonus. Pengalaman dari negara yang telah menerapkan teknologi ini, income dari penjualan energi belum dapat menutup biaya investasi, operasi dan pemeliharaan. Teknologi WtE dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu konversi bio-kimia dan konversi termo-kimia. Konversi bio-kimia merupakan dekomposisi sampah (dengan bantuan mikroorganisme) menghasilkan gasbio (gas metana dan CO2). Konversi termo-kimia merupakan dekomposisi sampah (dengan bantuan panas), menghasilkan produk samping dalam bentuk panas, syngas atau arang, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk memproduksi listrik. Konversi bio-kimia dapat berlangsung dalam kondisi aerob (tersedia oksigen) maupun dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen). Proses aerob menghasilkan kompos sehingga teknologinya dikenal sebagai pengomposan (composting), sementara proses anaerob akan menghasilkan gasbio. Timbunan sampah di TPA juga berpotensi menghasilkan gasbio karena penimbunan yang berlapis-lapis, sehingga kondisinya menjadi anaerob. Gas metana yang dihasilkan dapat dimanfaatkan. Dari sudut rekayasa, untuk memanfaatkan gasbio secara optimal, fasilitas penangkap gasbio tersebut harus disiapkan dari awal. Recovery gasbio dari TPA yang saat ini sudah dimanfaatkan di Indonesia sebetulnya terjadi karena „kebaikan‟ alam, sebab fasilitas tersebut baru dipasang sistem perpipaan setelah timbunan mencapai ketinggian puluhan meter.
Singapura. Sekitar 7.000 ton/hari sampahnya diolah dalam 5 unit insinerator, menghasilkan panas untuk menggerakkan turbin listrik. Setiap 1.000 ton sampahnya menghasilkan sekitar 20 MW listrik. Bandingkan dengan batu bara pada PLTU, yang mampu menghasilkan listrik sampai 85 MW. Sampah Indonesia mempunyai nilai kalor lebih rendah, dan kadar air yang tinggi. Perkiraan energi listrik yang mampu dihasilkan hanya sekitar 10 MW per 1.000 ton. Sampai saat ini Indonesia belum mampu membuat teknologi tersebut karena memang belum ada kesempatan untuk merealisirnya. Yang telah mampu dibuat di Indonesia adalah insinerator skala modular (skala kecil) dengan kapasitas hanya sekitar 10 ton perhari. Persoalan yang timbul dari teknologi ini adalah dampak negatif akibat pencemaran udara, seperti uap asam, logam berat, NOx, SOx dan yang paling dikhawatirkan adalah dioxin. Fasilitas pengendali pencemaran udara inilah yang membuat biaya pengoperasian insinerator menjadi sangat tinggi. Teknologi termal lain yang banyak disebut, walaupun implementasi secara komersial untuk sampah kota baru pada tahap awal, adalah proses gasifikasi. Teknologi ini terbukti berhasil baik untuk limbah padat yang homogen seperti limbah pertanian. Teknologi ini menghasilkan syngas (H2, CO, CH4) sebagai bahan bakar, bekerja pada temperatur 220oC - 400oC. Teknologi yang lebih canggih anatara lain adalah gasifikasi-plasma yang bekerja pada temparatur 4.000oC. Co-insinerasi dan co-processing pada industri semen yang bekerja pada temperatur ≥ 1200oC juga banyak dijumpai untuk pengolahan sampah, bilamana sumber sampah berdekatan dengan industri ini.***
Teknologi WtE yang paling umum digunakan di dunia untuk mengolah sampah adalah insinerasi, bekerja pada temperatur di atas 850oC, contohnya
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
5
PEMANFAATAN LIMBAH Gasifikasi Untuk Bahan Bakar Jet Habibie Razak Energy Practitioner and Oil & Gas Project Manager Limbah padat perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) yang dihasilkan dari peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi menjadi masalah pelik bagi setiap kota berkembang. Di Indonesia, masalah ini sudah menjadi prioritas nasional seiring dengan pertumbuhan populasi yang tinggi. Indonesia memiliki penduduk sekitar 257 juta jiwa pada tahun 2015, dengan lebih dari separuhnya (53%) tinggal di daerah perkotaan. Menurut Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar Kusayyeng, di Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan, volume sampah mencapai 1.000 ton per hari pada bulan April 2015 dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Sebagai perbandingan, 1.000 ton sampah setara dengan berat kurang lebih 500 mobil. Data United States Environmental Protection Agency pada tahun 2012 menunjukkan bahwa berat rata-rata kendaraan adalah 3.977 pounds atau 2 ton. Sekali Dayung, Dua Pulau Terlampaui Sebagai tambahan dari berbagai tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah limbah ini, proses gasifikasi memberikan kesempatan untuk mengonversi sampah perkotaaan menjadi gas sintetis (syngas) dan memprosesnya menjadi produk downstream yang memiliki nilai tambah. Proses gasifikasi adalah konversi bahan organik padat, seperti MSW dan biomassa menjadi syngas melalui pemanasan. Proses gasifikasi biomassa, seperti batang jagung, sekam, dan bonggol jagung, serta produk-produk limbah pertanian lainnya dapat menghasilkan berbagai bahan baku bahan bakar sintetis. Setelah proses gasifikasi biomassa untuk menghasilkan syngas dilakukan, biomassa tersebut diubah melalui proses katalisasi menjadi produk downstream yang memiliki nilai tambah sehingga dihasilkan bahan bakar transportasi seperti etanol, diesel dan bahan bakar pesawat.
Dengan ukuran pengilangan gasifikasi biomassa yang lebih kecil dibandingkan pengilangan gasifikasi batubara atau petroleum coke (produk turunan padat yang mengandung karbon tinggi) yang digunakan pada industri listrik, kimia, pupuk dan penyulingan pada umumnya, maka pembangunannya pun lebih murah serta membutuhkan lahan yang lebih kecil. Pabrik gasifikasi biomassa skala kecil dapat memproses 25-200 ton bahan baku per hari, atau seperlima dari volume sampah yang dihasilkan di Kota Makassar, dan hanya memakan tempat kurang dari 10 acres (4.05 hektar). Realisasi Di Amerika Serikat, kemajuan dalam pengembangan biofuel pesawat yang membantu industri penerbangan untuk mengurangi emisi karbon tengah mencapai momentumnya. Terbukti pada tahap percobaan yang didukung lembaga pemerintah A.S., Fulcrum Bioenergy sudah membangun pabrik gasifikasi pertamanya di Nevada yang akan menjadi pabrik gasifikasi skala komersial pertama di dunia. Para pelaku industri utama seperti American Airlines, United Airlines, dan Cathay Pacific telah melakukan investasi ekuitas yang signifikan dalam biofuel pesawat dan secara aktif terlibat dalam pengembangan teknologi ini. Ambisi untuk menerapkan teknologi ini tidak hanya terbatas di wilayah Amerika Serikat, di Indonesia dan berbagai wilayah sudah terdapat kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan pengembangan teknologi ini. Pabrik gasifikasi di Nevada didesain berdasarkan teknologi yang telah dipatenkan dari tiga perusahaan utama: Vecoplan, ThermoChem Recovery International, Inc (TRI) dan Emerging Fuel Technology (EFT). Bersamasama, teknologi pengolahan ini mampu memilah sampah menjadi pelet organik yang seragam, menggasifikasi material yang ada dan kemudian mengubah limbah menjadi cairan sintetis yang bernilai tambah.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
6
Black & Veatch telah merancang dan membangun pembangkit listrik, pengolahan gas dan fasilitas infrastruktur lainnya di Indonesia selama lebih dari empat puluh tahun. Berdasarkan perjanjian kerjasama yang komprehensif dengan EFT, Black & Veatch dapat menduplikasi proyek Nevada di Indonesia, dengan menggunakan tim lokal yang mumpuni dalam melakukan rekayasa, pengadaan dan konstruksi fasilitas tersebut, serta menggunakan lisensi teknologi dari Vecoplan, TRI dan EFT. Sistem reaktor/katalis dari Advanced Fixed Bed (AFB) Fischer-Tropsch EXT yang dipatenkan EFT dapat diterapkan dalam pembuatan gas sintesis yang hampir semua bahan bakunya berbasis karbon. Teknologi pemberi nilai tambah ini dapat menghasilkan produk yang sangat beragam mulai dari minyak mentah sintetis yang dapat dipompa hingga minyak dasar kualitas tinggi Grup III +, serta berbagai bahan bakar transportasi. Black & Veatch juga telah mengidentifikasi penghematan biaya dan efisiensi dengan menggabungkan pengolahan gas yang sudah dipatenkan (PRICOC2®, PRICO-NGL® , dan LPG-PLUS ™) dan LNG PRICO® berbasis teknologi dengan platform EFT. Salah satu pabrik percontohan saat ini tengah mengkonversi MSW menjadi bahan bakar pesawat. Pabrik percontohan TRI telah beroperasi lebih dari 1.200 jam dengan per harinya mampu menggasifikasi 4 ton MSW tersortir dan berukuran seragam untuk mengasilkan cairan FT yang cocok
untuk meningkatkan bahan bakar pesawat terbarukan. Perusahaan yang potensial untuk memanfaatkan bahan bakar pesawat ini di Indonesia mencakup PT Angkasa Pura, yang merupakan perusahaan milik negara dalam mengkoordinasikan semua urusan logisitik maskapai penerbangan di seluruh negeri. Meskipun proses gasifikasi ini mampu mengkonversi lebih dari 200 ton sampah/hari untuk menghasilkan 700 barel bahan bakar pesawat per harinya, studi ekonomi secara mendalam perlu dilakukan untuk memahami bagaimana investasi permodalan sebaiknya dilakukan, biaya operasi, serta keuntungan investasinya. Kedepannya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian, Energi dan Sumber Daya Mineral dan departemen terkait lainnya dapat mempertimbangkan untuk bermitra dengan investor dan pemegang lisensi teknologi untuk memfasilitasi diskusi dengan para walikota. Simposium atau seminar terkait teknologi biomassa/gasifikasi MSW dapat diselenggarakan secara rutin untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan bagi pebisnis, industri dan pemerintah baik dari aspek teknis maupun aspek keekonomian dari investasi.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
7
Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail:
[email protected] Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.