Pengantar Diskusi Teologis, Selasa 6 Maret 2012
DARI GULUNGAN KITAB KECIL, DUA SAKSI ALLAH HINGGA SANGKAKALA YANG KETUJUH Teks Wahyu 10:1-11; 11:1-19 Teks ini merupakan kelanjutan penglihatan yang diterima oleh Yohanes. Ia menantinantikan apa yang terjadi tatkala sangkakala yang ketujuh ditiup, tetapi rupanya ada dua peristiwa yang mendahuluinya. Peristiwa yang mendahului ini pun mengandung makna dan pesan penting bagi Yohanes dan bagi para penerima kitab ini. Ringkasan Yohanes melihat seorang malaikat yang kuat dengan sebuah gulungan kitab yang kecil (berbeda dengan gulungan kitab di Wahyu 5:1). Ketika malaikat itu berseru, tujuh guruh memperdengarkan suaranya. Yohanes mau menuliskan apa yang telah didengarnya, tetapi tidak diizinkan. Malaikat berseru bahwa tidak akan ada penundaan lagi. Yohanes diperintahkan untuk mengambil gulungan kecil itu dan memakannya. Gulungan itu terasa manis di mulut, tetapi terasa pahit di perutnya. Lalu ia diperintahkan bernubuat. Kepada Yohanes diberikan sebatang buluh pengukur untuk mengukur bait Allah, tetapi bukan halaman luarnya, karena bagian itu diberikan kepada bangsa-bangsa, yang menginjak seluruh kota. Kuasa yang besar diberikan kepada dua orang saksi yang setia. Kedua orang saksi itu mati. Kebangkitan dan kenaikan ke sorga kedua orang saksi. Sebuah gempa bumi hebat menghancurkan sepersepuluh kota. Pemberitaan bahwa dua celaka telah lewat, dan celaka yang ketiga akan segera datang. Ketika sangkakala yang ketujuh ditiup, Yohanes sekali lagi diberi kesempatan untuk melihat sorga. Di sana ia menyaksikan 24 tua-tua menyembah Allah (bdk. Wahyu 4:4), dan tampak pula tabut perjanjian Allah. Tafsiran Singkat Pasal 10:1-11 Berbeda dengan “bintang” dalam pasal 9:1, malaikat ini tidaklah “jatuh” melainkan “turun”; ia diutus Allah untuk menyatakan kehendakNya. Gambaran mengenai awan, pelangi, matahari dan tiang api menguatkan hal itu. Malaikat itu menyerukan bahwa Penghakiman Terakhir tidak boleh ditunda lagi. Namun, sebuah suara dari sorga memutuskan yang sebaliknya, dan memerintahkan Yohanes agar mengambil gulungan kitab itu dan memakannya. Gagasan tentang seorang nabi yang memakan gulungan kitab diambil dari Yehezkiel 2:8-3:3. Nabi diperintahkan “memakan” gulungan kitab agar isinya benar-benar menjadi bagian dari dirinya sendiri. Yohanes menekankan bahwa gulungan kitab itu terbuka. Kitab ini tidaklah sama dengan gulungan kitab yang bermeterai tujuh; ia tidak mengandung rahasia. Gulungan kitab yang kedua ini adalah
1
firman Allah yang sudah diketahui, isinya adalah apa yang telah Allah firmankan bagi semua di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan di dalam kedatangan Kristus. Ide tentang nabi yang menelan sebuah gulungan kitab ini memiliki makna simbolik. Hal-hal yang kita makan dicerna dan menjadi bagian dari diri kita. Hal ini berarti Yohanes harus “membaca, menandakan, mempelajari, dan secara rohani mencernanya”. Gulungan kitab ini terasa manis di mulut, tetapi terasa pahit di perutnya. Firman Allah memberikan sukacita bagi yang menerimanya, tetapi sekaligus ia mengandung kritik dan penghakiman tentang hidup manusia, yang amat pahit. Baik Yehezkiel maupun Yohanes bersukacita karena mendapatkan hak istimewa dalam menerima firman Allah dan memberitakannya, tetapi mereka tidak mendapatkan sukacita dalam memberitakan penghakimannya. Sekalipun demikian, Yohanes tidak menerima firman Allah atas namanya sendiri. Ia menerima kitab Wahyu untuk Gereja, dan penglihatan yang berikut memperlihatkan bahwa Injil itu diberikan kepada seluruh Gereja, untuk diterima dan ditelan serta dikunyah, untuk diberitakan dan dihayati. Pasal 11:1-14 Pasal ini menceritakan tentang dua saksi Allah yang setia. Siapakah mereka? Identitasnya dapat ditemukan di ayat 4, “Mereka adalah kedua pohon zaitun dan kedua kaki dian yang berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”. Zakharia menyebutkan kedua pohon zaitun itu adalah Yosua dan Zerubabel, pemimpin rohani dan sekuler orangorang Yahudi yang pulang dari pembuangan (Zak. 4:11). Namun yang penting adalah kedua saksi itu setia dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka. Masa 42 bulan adalah sama dengan 1260 hari, kedua saksi tersebut terus menyampaikan berita selama kondisi dunia ini berlangsung. Mengenai kedua kaki dian, kita melihat bahwa kaki dian dalam Wahyu 1 adalah ketujuh jemaat dan pasal 2 & 3 memperlihatkan bahwa dua dari Jemaat-jemaat itu setia dan tanpa cacat. Mereka inilah kedua saksi yang setia itu. Oleh karena ketujuh Jemaat itu mewakili seluruh Gereja, maka rasanya masuk akal jika kita menganggap kedua kaki dian itu, kedua saksi yang setia, sebagai lambang bagi semua orang Kristen yang bersaksi dengan setia bagi Injil. Dengan demikian, kata “bait” Allah bukan berarti sebuah bangunan, melainkan umat Allah itu sendiri. Pengukuran dilakukan untuk membangun dan memperbaiki. Kepada Yohanes diberikan tongkat pengukur, sehingga ia dan rekan-rekan pemberitanya dapat memperbaiki, artinya, terus menerus memperbarui dan menghidupkan kembali Gereja untuk setia pada panggilan Injil Kristus. Kedua saksi itu melaksanakan tugasnya di kota, artinya Gereja bekerja di dalam dunia. Gambaran yang hidup mengenai kuasa-kuasa dari kesaksian ini adalah cara Yohanes mengatakan bahwa tidak ada kuasa di bumi yang dapat secara efektif menghancurkan kemampuan Gereja untuk bersaksi bagi Tuhannya. Berabad-abad sejak kitab Wahyu ini ditulis, adegan ini telah berulang kali terjadi, dengan musuh-musuh Gereja yang bersukacita karena kekalahan Gereja, tetapi Gereja dapat bangkit lagi. Inilah tugas Gereja untuk bersaksi di tengah dunia yang bermusuhan, yang tetap merupakan dunia milik Allah, dan karena itu tetap menjadi sasaran kasihNya dan harus diberi 2
kesempatan untuk bertobat. Hal ini juga merupakan janji bahwa Gereja, meskipun seringkali tampaknya telah hancur, akan tetap hidup. Pasal 11:15-19 Sangkakala yang ketujuh menandakan berakhirnya rangkaian penglihatan yang kedua dan memberi Yohanes penglihatan sekali lagi tentang Kesudahan; seluruh ciptaan Allah akhirnya menuju ke sana. Allah, melalui Kristus, telah mengambil alih pemerintahan langsung atas duniaNya. Di ayat 18, Yohanes menuliskan tentang amarah Allah, tetapi tentu ia tidak bermaksud mengatakan bahwa Allah bereaksi dengan cara yang sama seperti manusia, melainkan menggmbarkan cara-cara praktis tentang bagaimana Allah memperlihatkan rasa tidak senangNya. Namun demikian, cara utama Allah memperlihatkan ketidaksukaanNya adalah melalui pemberitaan hamba-hambaNya, para nabi. Maksud amarahNya bukanlah untuk menghancurkan manusia melainkan menebusnya. Penglihatan ini berakhir dengan Yohanes melihat tabut perjanjian Allah. Tabut perjanjian itu pernah ditempatkan di Bait Allah di Yerusalem, sebagai lambang kesetiaan Allah dan kehadiranNya di antara umatNya. Tabut itu telah lenyap berabadabad sebelum Yohanes menulisnya, mungkin karena dicuri atau dihancurkan pada salah satu kesempatan ketika Yerusalem dikepung dan dijarah. Tetapi Yohanes menyaksikan tandingannya di sorga, yang menunjukkan bahwa kesetiaan Allah itu kekal. Pertanyaan untuk Diskusi 1. Kita tentu masih ingat pada kasus yang menimpa Nazaruddin. Dalam salah satu sidangnya, dihadirkan seorang saksi yaitu Angie, mantan koleganya di sebuah partai. Namun, apa yang terjadi. Pihak Nazaruddin dan para kuasa hukumnya mencerca Angie habis-habisan karena mereka menganggap Angie telah memberi kesaksian palsu alias berbohong di hadapan sidang pengadilan. Di dalam hukum Perjanjian Lama, minimal harus ada dua orang saksi untuk menentukan keabsahan suatu kesaksian dalam perkara hukum tertentu. Sedangkan, para pengikut Mormon pun mengharuskan minimal ada dua orang ketika mereka hendak melakukan “penginjilan” door to door. Sebagai orang Kristen yang bersaksi tentang kasih Allah di tengah-tengah dunia ini, apa yang seharusnya kita jadikan sebagai kesaksian? Lalu bagaimana dengan cara kita bersaksi, dengan cara diam-diam, terang-terangan atau dengan menggabungkan keduanya? Adakah yang menjamin keberhasilan kesaksian kita? 2. Kitab Wahyu berbicara banyak tentang bencana alam dan peristiwa-peristiwa celaka lainnya. Apakah Anda berpendapat bahwa Allah benar-benar menyebabkan gempa bumi, bencana alam, kecelakaan, tragedi dan kejadiankejadian pahit lainnya untuk membuat orang-orang bertobat dan memuliakan Dia? Silakan berikan alasan untuk jawaban Anda. AHK – 02.03.2012. 3
ALLAH YANG MAHAKEJAM ? Menarik sekali mengikuti apa yang diungkapkan Hesa dalam bahan pengantar PAnya. Tampak sekali bahwa Hesa membaca Wahyu 10:1-11:19 dengan sikap yang sangat positif. Hesa, misalnya, memahami gulungan kitab yang dilihat Yohanes dalam penglihatannya sebagai Injil yang diberikan kepada gereja di sepanjang jaman untuk dihayati dan diberitakan; kedua kaki dian sebagai orang-orang Kristen yang dengan setia bersaksi bagi Injil, dan bait Allah sebagai umat Allah sendiri; pengukuran bait Allah sebagai upaya Yohanes dan para pemberita Injil lainnya untuk terus menerus memperbarui dan menghidupkan gereja agar setia pada panggilan Injil Kristus; kuasa-kuasa yang menghancurkan sebagai musuh-musuh gereja, dan kekalahan kuasa-kuasa ini sebagai fakta yang menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kuasa di bumi yang bisa menghancurkan kemampuan gereja untuk bersaksi bagi Tuhan – gereja akan tetap hidup; bahkan amarah Allah pun ditafsirkan sebagai kemarahan yang bertujuan untuk menebus, bukan menghancurkan. Yang jelas, di mata Hesa perikop ini sangat positif. Saya tidak ingin membuat Hesa patah hati. Apa yang telah dilakukan Hesa patut dihargai. Tetapi saya ingin mengajukan satu persoalan yang agaknya terlewatkan oleh Hesa karena pandangannya menjadi bias oleh positive thinking-nya. Menurut saya perikop ini tidaklah sepositif sebagaimana digambarkan Hesa. Paling tidak, nuansa kekerasan yang sangat kental dalam perikop ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Kedua saksi, misalnya, disebut akan mengeluarkan “api dari mulut mereka [untuk] menghanguskan semua musuh mereka. Dan jikalau ada orang yang hendak menyakiti mereka, maka orang itu harus mati secara itu” (11:5). Mereka juga punya kuasa “untuk memukul bumi dengan segala jenis malapetaka, setiap kali mereka menghendakinya” (11:6). Kalau Hesa mengatakan bahwa kedua saksi dalam perikop ini pada hakikatnya merujuk pada orang-orang Kristen di sepanjang abad yang setia memberitakan Injil Kristus, maka bagaimana kita harus memahami kekekajaman aksi kedua saksi ini jika dikaitkan dengan para pemberita Injil? Demikian pula dalam perikop ini dikisahkan bahwa setelah semua ontran-ontran berlalu maka, “kedua puluh empat tua-tua, yang duduk di hadapan Allah di atas takhta mereka, tersungkur dan menyembah Allah, sambil berkata: "Kami mengucap syukur kepadaMu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa, yang ada dan yang sudah ada, karena Engkau telah memangku kuasa-Mu yang besar dan telah mulai memerintah sebagai raja … amarah-Mu telah datang … untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi” (11:16-18). Jika amarah Tuhan di sini dipahami oleh Hesa sebagai amarah yang menebus, maka pertanyaannya, mengapa penebusan itu harus dilakukan oleh Tuhan dengan cara membinasakan pihak-pihak yang dianggap sebagai “musuh”? Tidak adakah cara penebusan yang lebih beradab? Bahkan sekalipun gambaran semacam ini dianggap semata-mata sebagai fantasy atau wishful thinking dari jemaat penerima kitab Wahyu yang tertindas (sebagaimana diusulkan oleh pak Robert untuk mengeliminir kritik sdr. Risang atas wishful thinking yang imperialis), tetap saja gambaran kebrutalan ini mengusik hati nurani setiap orang yang cinta damai dan tidak menyukai kekerasan (seperti saya, misalnya – wishful thinking). Sekalipun benar bahwa wishful thinking tidak selalu berubah menjadi tindakan, tapi paling tidak ia telah menjadi potensi bagi sebuah tindakan, dan itupun sudah berbahaya karena selalu ada hubungan timbal-balik antara being dan doing. Tindakan kita, termasuk wishful thinking kita, sedikit atau banyak senantiasa merupakan pewujudan dari karakter 4
kita. Dengan demikian karakter mempengaruhi tindakan (di sinilah catatan sdr. Risang menjadi penting, karena teks-teks kekerasan dalam kitab Wahyu pada hakikatnya mencerminkan pula karakter si penulis, bahkan sekalipun teks-teks tersebut hanya menjadi wishful thinking saja). Sebaliknya tindakan kita, sekali lagi termasuk wishful thinking kita, juga akan senantiasa membentuk dan mempengaruhi karakter kita. Artinya, tindakan dan karakter saling membentuk dan saling mempengaruhi secara mutualistis dan timbal-balik.1 Jadi persoalannya bukanlah apakah teks-teks kekerasan dalam kitab Wahyu ini sekedar merupakan wishful thinking saja atau sudah menjadi tindakan konkrit, tapi bahwa teks-teks ini dalam ranah apapun juga merupakan sesuatu yang problematik. Persoalan tersebut bisa kita lihat dengan jelas dalam sejarah gereja sendiri. Gambaran-gambaran tentang para saksi Allah yang mempunyai kuasa untuk mendatangkan maut dan tentang Allah yang telah berhasil merebut bumi kembali serta memulai masa pemerintahan-Nya di bumi, termasuk di dalamnya pembalasan terhadap orang-orang yang telah memusuhi umat Allah, dalam kenyataannya telah berulang-kali mengilhami kelompokkelompok tertentu dalam gereja untuk menggunakan kekerasan atas nama Allah. Artinya, gambaran-gambaran ini tidak sekedar menjadi wishful thinking, tapi dalam kenyataannya telah benar-benar diamini secara hurufiah dan diwujudkan, tidak terkecuali oleh kelompokkelompok Kristen yang lahir sebagai gereja cinta damai seperti kelompok Anabaptis di kota Münster. Pada tanggal 9 Februari 1534, kelompok Anabaptis radikal di kota Münster menduduki gedung balai kota.2 Kelompok yang sebenarnya lahir dari gerakan Anabaptis yang cinta damai dan pantang kekerasan ini segera berubah menjadi kelompok radikal yang menggunakan kekerasan, karena mereka memahami bahwa masa pemerintahan Allah di bumi telah datang dan merekalah orang-orang terpilih yang akan memerintah bersama dengan Allah. Dengan pemahaman semacam itu, maka merekapun merasa mempunyai otoritas untuk ikut serta dalam upaya pembalasan terhadap para musuh Allah. Hal tersebut mereka lakukan mulai dengan mengusir siapapun juga di kota Münster yang menolak dibaptis (ulang), sampai pada penyerangan bersenjata sebagai “anak-anak Yakub” yang membantu Allah untuk menghukum dan membinasakan “anak-anak Esau” dalam masa pewujudan kerajaan Allah di bumi, bahkan juga suicide killer. Satu hal lagi. Gambaran-gambaran kekerasan semacam itu, yang sebenarnya membentang di sepanjang kitab Wahyu, menimbulkan pertanyaan juga mengapa gambaran tentang akhir dunia bisa begitu bertolak-belakang dibandingkan gambaran tentang penciptaan dunia? Jika dalam Kejadian 1 Allah digambarkan sebagai Tuhan yang sanggup menciptakan dunia semata-mata dengan firman-Nya, tanpa kekerasan sebagaimana gambaran dalam kisah-kisah penciptaan Babilonia kuno, mengapa Ia tidak digambarkan juga sebagai Tuhan yang sanggup mengakhiri dunia ini dengan firman-Nya, tanpa kekerasan? Apakah ini mencerminkan kemunduran (setback) gereja dalam refleksi teologisnya? Masalah ini bahkan bisa menjadi masalah theodicy yang serius. Kalau Allah sebenarnya sanggup mengakhiri dunia ini dengan firman-Nya, sebagaimana Ia menciptakan dunia ini, tapi ternyata Ia tidak bersedia melakukannya, maka Ia bukanlah Allah yang Mahabaik, tapi Allah yang Mahakejam. Sebaliknya jika Ia sebenarnya ingin mengakhiri dunia ini dengan 1
Joseph J. Kotva, Jr., The Christian Case for Virtue Ethics (Washington D.C: Georgetown University Press, 1996), 30. 2 Krahn, Cornelius, Nanne van der Zijpp and James M. Stayer. (1987). Münster Anabaptists. Global Anabaptist Mennonite Encyclopedia Online.Retrieved 04 March 2012, from http://www.gameo.org/encyclopedia/contents/M850.html.
5
firman-Nya, tapi ternyata Ia tidak sanggup melakukannya, maka Ia bukanlah Allah yang Mahakuasa. Dan jika Allah memang merupakan Allah semacam itu, maka lebih baik saya menjadi seorang atheis saja.
Ruang Harun, 5 Maret 2012 PSW
6