Dapatkah Surat Keputusan Bersama MA-KY tentang Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim diuji materiil ? Oleh :Abdul Fickar Hadjar Pengantar SKB Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial No.047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 adalah Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim yang hanya berlaku mengikat khusus bagi hakim-hakim disemua jenis peradilan dan disemua tingkatan, kecuali hakim Mahkamah Konstitusi. Persoalan muncul ketika 4 (empat) orang pengacara mantan hakim mengajukan permohonan uji materil (Judicial Review / JR) terhadap SKB aquo. Ketentuan atau Pasal yang menjadi objek JR adalah Pasal 8 butir 1, 2, 3 dan 4 serta Pasal 10 butir 1, 2, 3 dan 4 SKB KetuaMA-Ketua KY. Yang menjadi pertanyaan dalam persoalan ini adalah: - - Apakah pihak yang mengajukan JR mempunyai kualitas atau kedudukan hukum (Legal Standing) dalam pertanyan lain : siapa sebenarnya Stake holder / pihak terkait SKB ? 2 - - Apakah SKB termasuk peraturan perundang-undangan dalam tata urutan (hirarchi) perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ? 3 - - Apakah Mahkamah Agung berwenang melakukan JR terhadap SKB aquo ? 4. - Apakah ada pertentangan norma butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2. 10.3, 10.4 dalam SKB KMA-KKY tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan Pasal 32A ayat (4) UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas akan menentukan apakah JR yang diajukan oleh para pengacara mantan hakim itu diterima atau ditolak. Tentang Legal Standing Untuk menjawab apakah pemohon mempunyai legal standing atau tidak, maka harus dilihat siapa pihak yang mempunyai keterkaitan (stake holder) dengan SKB aquo. Melihat bentuk dan substansi SKB, maka dapat disimpulkan yang merupakan pihak terkait yang mempunyai hubungan hukum adalah: 1. Ketua Mahkamah Agung atau Institusi Mahkamah Agung; 2. Ketua Komisi Yudisial atau Institusi Komisi Yudisial;
3. Seluruh Hakim pada semua jenis peradilan (Peradilan Umum, Militer, Agama & Tata Usaha Negara serta Hakim-hakim peradilan Khusus yang berinduk pada empat jenis peradilan aquo), kecuali hakim Mahkamah Konstitusi. Bagaimana dengan masyarakat termasuk para pemohon dengan dasar ada kepentingan umum yang terlanggar (yang dalam permohonan disebutkan : mengganggu independensi kekuasaan kehakiman, karena atas dasar SKB KMA-KKY aquo KY sebagai pengawas Eksternal dapat memeriksa Hakim, memeriksa putusan dan mempersoalkan proses persidangan, dan ini sebuah intervensi ?). Bahasan atas kemungkinan masyarakat sebagai pencari keadilan sebagai stake holder dapat diangap mempunyai legal standing akan dibahas berikut ini. Secara normatif limitatif yang dapat menjadi pihak untuk melakukan JR, Pasal 31 A ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan: “Permohonan “hanya dapat” dilakukan oleh pihak yang menggagap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, yaitu: a. Perorangan WNI; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dgn perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU, atau c. Badan Hukum publik / privat. Pertanyaannya: apakah 4 (empat) orang sebagai pemohon tersebut memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan diatas? Sebagai WNI, para pemohon itu memenuhi kriteria, tetapi adakah hak-haknya terlanggar. Jika dilihat dari kalimat : “pihak yang menganggap haknya dirugikan”, maka kalimat ini bersifat aktif, artinya setiap orang yang mengaggap haknya dirugikan dapat mengajukan JR terhadap SKB KMA-KKY aquo. Membentuk anggapan boleh saja, namun ada hal-hal yang secara objektif harus dipertimbangkan yaitu apakah para pemohon termasuk stake holder dari SKB KMA-KKY aquo ? Berdasarkan uraian siapa yang dapat menjadi pihak terkait (stake holder) sebagaimana disebut diatas, maka PARA PEMOHON tidak termasuk yang mempunyai kualitas atau kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan JR atas SKB KMA-KKY aquo. Demikian juga jika pemohon mengatas namakan masyarakat yang berkepentingan / kepentingan umum (terganggunya independensi kekuasaan kehakiman), maka secara hukum PARA PEMOHON tidak mempunyai kualitas / kedudukan (legal standing) untuk mengajukan JR terhadap SKB KMA-KKY aquo, karena Para pemohon sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan 2 (dua) kasus yang diajukan sebagai bukti dalam JRnya yaitu 1) Kasus Antasari dan 2) Kasus Putusan Ontslag Van rechtvervolging hakim PN. Pinrang. Status Para Pemohon yang BEKAS HAKIM tidak bisa menjadi dasar diraihnya kedudukan hukum untuk mengajukan JR.
Apakah SKB KMA-KKY merupakan peraturan perundangan ?
a. b. c. d. e.
Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengatur hirarchi atau tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7, yaitu: Ayat (1) : UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945; Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah; Ayat 4: “Jenis peraturan perundangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Bagaimana dengan SKB KMA-KKY aquo ?
SKB KMA-KKY No.047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 adalah Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim dilahirkan berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan pasal 41 secara keseluruhan dapat disimpulkan untuk melakukan pengawasan internal oleh MA dan eksternal oleh KY dibuatlah Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim secara bersama. Yang harus diingat adalah dalam konteks Komisi Yudisial KE & PPH dibuat dan dibutuhkan dalam kerangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.
Berdasarkan kriteria ketentuan Pasal 7 ayat (1), maka SKB KMA-KKY aquo bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan objek JR di Mahkamah Agung, karena SKB tidak termasuk dalam bentuk-bentuk peraturan perundangan dibawah UU sebagaimana secara limitatif disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) aquo.
Namun, apakah SKB KMA-KKY aquo dapat memenuhi kriteria peraturan perundangan dibawah UU sebagaimana Pasal 7 ayat (4) yang didalilkan Para Pemohon? Kata kunci
ketentuan tersebut adalah “peraturan perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Jika melihat kalimat: sepanjang yang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, maka SKB KMA-KKY memenuhi kriteria ketentuan tersebut. Namun pertanyaannya adalah apakah SKB KMA-KKY merupakan peraturan perundangundangan ?
Dalam hukum administrasi negara dikenal jenis tindakan hukum bersegi satu yang menghasilkan keputusan-keputusan yang merupakan diskresi [3] yang bersifat: 1) Beshiking atau penetapan[4] dan 2) Regeling atau Keputusan yang bersifat Pengaturan.[5] Diskresi ini oleh doktrin atau pendapat beberapa sarjana Adminstrasi Negara diterjemahkan sebagai kebijakan Tata Usaha Negara (beleid) yang digantungkan pada tujuan tercapainya manfaat atau tujuan dikeluarkannya diskresi (doelmatigheids). Dalam konteks sebagai belied / kebijakan, maka peradilan tidak berwenang untuk menilai kebijakan dari Institusi kenegaraan. Dengan pengertian yang demikian maka SKB-KMA-KKY aquo dapat digolongkan sebagai Diskresi yang bersifat doelmatigheids atau kebijakan yang didasarkan pada tujuan kemanfaatan dikeluarkannya diskresi tersebut, apalagi SKB KMA-KKY tidak berlaku umum dan ditujukan sebagai instrument pengawasan yang ditujukan dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.
[3] Kewenangan memutus/menetapkan sepiihak oleh pejabat tata usaha negara tanpa meminta
pertimbangan dari pihak yang terkait dengan penetapan/keputusan yang dikeluarkan (freis ermerson); [4] Beshiking adalah keputusan penyelenggaraan/realisasi (materiele daad) yang dikeluarkan bersifat kongkrit, individal, kasual, final dan dan sekali selesai (einmalig), yang jika terjadi keberatan terhadap penerbitannya lapangan penyelesaiannya adalah permohonan pembatalan / tidak mempunyai kekuatan hukum yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara. [5] Regeling adalah keputusan yang bersifat pengaturan dan berlaku umum, impersonal dan berlaku terus menerus, yang jika terdapat keberatan terhadap keputusan tersebut lapangan penyelesaiannnya adalah pengajuan Judicial Review ke MK kalau bentuknya UU, dan ke MA jika peraturan perundanan di bawah UU.
Kesimpulannya SKB KMA-KKY bukan merupakan peraturan perundang-undangan dalam pengertian Regeling, tapi merupakan kebijakan Tata Usaha Negara yang tidak mengikat secara umum (publik), melainkan untuk mengatur kelompok profesi tertentu dalam hal ini profesi hakim.
Apakah MA berwenang melakukan uji materill terhadap SKB KMK-KKY
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 45 jo Pasal 20 ayat (2)b dan ayat (3) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 31 UU No. 5 tahun 2004 jo Pasal 31A UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Yang menjadi persoalan adalah apakah SKB KMA-KKY merupakan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi objek JR ?
Dari rangkaian pembahasan mengenai apakah SKB KMA-KKY merupakan peraturan perundang-undangan, mengenai kewenangan MA dapatlah dinyatakan: 1. MA tidak berwenang memeriksa dan memutus JR yang diajukan pemohon, karena SKB
- -
KMA-KKY bukanlah merupakan peraturan perundangan dibawah UU sebagaimana dimaksud dalam hirarki perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan; 2. -
MA tidak berwenang memeriksa dan memutus JR yang diajukan para pemohon, yang jikapun SKB KMA-KKY aquo merupakan peraturan perundang-undangan dibawah UU – quod non - , maka terjadi konplik kepentingan (conplict of interst) karena harus mengadili produknya sendiri, secara logis MA harus menolak permohonan para pemohon, dan hal itu yang menimbulkan konplik kepentingan dalam dirinya.
3. - - MA tidak berwenang memeriksa dan memutus JR yang diajukan para pemohon, karena SKB KMA-KKY bukan merupakan peraturan perundangan dalam pengertian
regeling
melainkan
merupakan
kebijakan
(beleid)
yang
digantungkan
pada
kemanfaatannya. Demikian juga SKB aquo tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu (personal) dalam hal ini profesi hakim.
Apakah ada pertentangan Norma SKB KMA-KY dengan UU Hak Uji Materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertetu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu [6]. Jadi hak uji materiil berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Dalam konteks ini yang menjadi objek permohonan Para Pemohon JR adalah bahwa SKB KMA-KKY butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, 10.4 bertentangan dengan: Pasal 40 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009, yang berbunyi: Dalam melakukan pengawasan sebagaimana sebagaimana diamksud ayat (1) Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim berdasarkan kode etik dan Prilaku Hakim; Pasal 41 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang berbunyi: Pelaksanan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 32A ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009, yang berbunyi: Benarkah demikian ? Bahwa tidak ada pertentangan antara norma-norma dalam SKB KMA-KKY tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim dengan UU Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (2) UU
[6] Ph. Kleintjes, Staatinstellingen Van Nederlandsch Indie, Amsterdaam JH, 1917, halaman 326-327
dikutip dari Prof. Dr.HR Si Soematri M, SH, Hak Uji Materiil Di Indonesia halaman 11.
No. 48 tahun 2009 jo Pasal 32A ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009, berdasarkan argumenargumen sebagai berikut: 1. Bahwa pembentukan Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim sebagaimana dibuat dalam SKB KMA-KKY merupakan amanat undang-undang dalam hal ini Pasal 32A jo Pasal 81B UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, yang dimaksudkan sebagai instrumen untuk melakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Dan pengawasan ekternal itu oleh undang-undang diletakkan dalam kerangka “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim”, artinya tanpa adanya KE&PPH sangat sulit mengukur kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Karenanya dari perspektif tujuan dan manfaatnya
SKB KMA-KKY tentang
KE&PPH tidaklah dimaksudkan untuk mengintervensi atau mengurangi kebebasan hakim, tetapi justru untuk menjaga dan menegakkan kehormatan Hakim;
2. - Hakim adalah profesi seseorang ketika melaksanakan pekerjaannya memeriksa dan memutus perkara di lingkungan peradilan, artinya seseorang utamanya dapat disebut sebagai hakim ketika menjalankan pekerjaannya meskipun ketika sedang tidak menjalankan pekerjaannya sebutan itu tetap melekat. Dalam konteks ini adalah wajar dan sudah seharusnya bila ketentuan dalam KE&PPH memberikan akses bagi Komisi Yudisial
untuk
melakukan
pengawasan
terhadap
hakim
ketika
melaksanakan
pekerjaannya yang tercermin dari hasil pekerjaannya yaitu keputusan-keputusan yang dihasilkannya, karena itu “putusan Hakim” tidak hanya menjadi ranah pelaksanaan kebebasannya, tetapi juga menjadi ranah tanggung jawabnya. Itulah sebabnya dalam kebebasannya Hakim juga dituntut untuk tidak keluar dari koridor-koridor kebebasan yang tercermin baik dalam aturan-aturan etika (seperti : berprilaku adil, jujur, arif & bijaksana, mandiri, berintegritas, bertanggung jawab, menjunjung harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan bersikap profesional) maupun aturan hukum (seperti hukum acara, hukum pembuktian dll);
3. Tidak ada larangan atau tidak ada prinsip-prinsip hukum yang terlanggar ketika norma hukum diturunkan juga dalam peraturan etika. Teori tentang hirarki perundangundangan mengatur : tidak boleh bertentangan antara aturan yang lebih rendah dengan aturan yang lebih tinggi, aturan yang khusus mengalahkan aturan umum dalam keberlakuannya, dan aturan yang baru mengalahkan aturan yang lebih lama. Dalam konteks itu KE&PPH khususnya Butir 8 dan butir 10 yang merupakan turunan dari UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung justru menjadi sejalan dan bahkan memperkuat keberlakuannya dalam kerangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim;
Uraian-uraian diatas dimaksudkan untuk menegaskan sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan bahwa tidak cukup alasan SKB Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial No.047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim menjadi objek Uji materiil. Apalagi diajukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kualitas dan kedudukan hukum. Mudah-mudahan bermanfaat.