Dapatkah Sistem Matrilineal Bertahan Hidup di Kota Metropolitan? Amri Marzali (Universitas Indonesia) Abstract In this article, the author examines whether the matrilineal system is compatible with urban social environment. The case of Minangkabau migrant groups, particularly those from the village of Silungkang, West Sumatra, who now live in the metropolitan city of Jakarta, reveals the incompatability of the two. In Minagkabau region, the combination of the traditional matrilineal system and the residence pattern of duolocal are backed up by the wet rice economy and the communal landrights system. In the metropolitan city of Jakarta, these factors are absent. As a result, the matrilineal system does not work.
Pendahuluan Tulisan ini merupakan suatu upaya untuk membahas persoalan sosial masyarakat matrilineal Minangkabau yang hidup dan tinggal di daerah kota besar (metropolitan). Secara khusus, masalah yang diajukan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Kalau sistem matrilineal dipandang merupakan unsur pokok dalam budaya tradisional Orang Minangkabau di Sumatera Barat, yaitu unsur budaya yang berfungsi sebagai roda yang menggerakkan dan mengatur kehidupan sosial masyarakat tradisional Minangkabau di daerah asalnya, bagaimanakah gambaran sistem tersebut pada masyarakat Minangkabau yang berdiam di kota metropolitan seperti Jakarta? Sampai seberapa jauh roda matrilineal tersebut masih dapat bertahan hidup di Jakarta? Tulisan ini didasarkan atas hasil penelitian jangka panjang yang saya lakukan pada masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat nagari Silungkang yang tinggal di negeri asal Sumatera Barat, maupun yang ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
tinggal di rantau Jakarta. Penelitian pertama saya lakukan pada tahun 1972, ketika saya mempersiapkan skripsi Sarjana Satu Antropologi. Sejak itu saya tidak pernah putus mengamati masyarakat tersebut. Bahan pengamatan saya itu kemudian diperkaya oleh hasil bacaan terhadap rencana-skripsi dan skripsi mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang meneliti masyarakat Minangkabau di Jakarta. Penelitian terakhir untuk menghasilkan karangan ini saya lakukan di nagari Silungkang, Sumatera Barat, pada bulan Oktober 1997 dan November 1999, dan pada masyarakat perantau Silungkang di Jakarta sepanjang bulan Januari dan Februari 2000. Meskipun budaya dan masyarakat Minangkabau dalam aspek-aspek tertentu bisa dipandang sebagai satu hal yang homogen, namun dalam aspek-aspek yang lain tidak. Di Minangkabau, tiap-tiap masyarakat nagari— —sampai pada tingkat tertentu—adalah unik 1
dan dapat dipandang sebagai sebuah subkultur tersendiri. Karena itu, meskipun pembahasan dan kesimpulan tulisan ini meliputi seluruh masyarakat dan budaya Minangkabau, dalam hal contoh yang bersifat empirikal, referensi diberikan terhadap masyarakat Nagari Silungkang. Mereka merupakan salah satu masyarakat nagari Minangkabau yang terletak di Kotamadya Sawah Lunto (Marzali 1973; Marzali dan Siburian 1998).
Prinsip keturunan matrilineal Sistem matrilineal (menarik keturunan melalui garis perempuan), seperti yang dipraktekkan secara tradisional oleh Orang Minangkabau di Sumatera Barat, adalah satu di antara dua tipe sistem keturunan unilineal (menarik keturunan melalui satu garis tunggal). Tipe sistem unilineal lain adalah sistem patrilineal, seperti yang diamalkan Orang Batak. Sementara itu, Orang Jawa dan Orang Dayak menarik keturunan melalui dua garis, yaitu garis pria dan garis wanita. Tipe terakhir ini disebut sistem non-unilineal, atau sistem kognatik. Namun, perlu dicatat bahwa dalam pelaksanaannya, tipe non-unilineal Jawa berbeda dari tipe non-unilineal Dayak. Pada sistem keturunan unilineal, baik yang matrilineal maupun yang patrilineal, terdapat tiga prinsip yang bisa dikatakan secara teoritis berlaku universal (Schneider dan Gough 1974: 5). Prinsip-prinsip tersebut adalah: • wanita bertanggung jawab memelihara anak-anak; • pria dewasa punya wewenang terhadap wanita dan anak-anak; dan • perkawinan eksogami-kelompok merupakan satu ‘keperluan’. Sementara itu, ciri-ciri khas sistem matrilineal yang membedakan sistem ini dari sistem patrilineal, adalah sebagai berikut: • keturunan ditelusuri melalui garis 2
wanita; • anggota kelompok keturunan direkrut melalui garis wanita; dan • pewarisan harta dan suksesi politik disalurkan melalui garis wanita. Ciri-ciri sistem patrilineal adalah sebaliknya, semuanya berdasarkan garis lelaki.
Keturunan dan kekerabatan Dalam uraian di atas telah beberapa kali disebutkan istilah ‘keturunan’. Dalam uraian selanjutnya, akan sering saya gunakan istilah ‘kekerabatan’. Bagi orang-orang di luar lingkungan antropologi, kedua istilah ini tidak penting perbedaannya. Dalam pembicaraan umum sehari-hari, istilah keturunan sering dikacaubalaukan dengan istilah kekerabatan. Schneider dan Gough (1974:2) membedakan pengertian ‘keturunan’ dari ‘kekerabatan’. Kekerabatan atau kinship , mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip kultural yang berlaku. Prinsip hubungan kekerabatan ini terutama digunakan untuk: • menarik garis pemisah antara kaumkerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); • menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; • mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan • menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama. Sementara itu, keturunan atau descent adalah garis hubungan darah antara seseorang dengan orang lain yang diakui masyarakat. Garis hubungan darah tersebut memungkinkan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
kita untuk mengetahui mana orang-orang yang seketurunan dengan kita, dan mana yang bukan. Prinsip garis keturunan terutama berfungsi dalam pembentukan kelompokkelompok sosial, khususnya dalam masyarakat unilineal tradisional. Satu kelompok sosial yang terbentuk atas dasar prinsip keturunan (descent group) adalah satu kelompok yang anggotanya merasa seketurunan atau sedarah. Garis keturunan itu ditarik dari seorang nenek moyang yang sudah meninggal. Garis keturunan, seperti garis kekerabatan, terutama ditentukan oleh prinsip kultural, bukan prinsip biologis. Pada Orang Minangkabau, orang-orang yang seketurunan atau sedarah, menyebut diri mereka ber-dansanak . Dansanak adalah kelompok orang-orang seketurunan. Pertalian darah ini ditarik melalui garis perempuan. Seseorang (ego) ber-dansanak dengan saudara-saudara satu ibu (mother’s children), dengan saudara-saudara ibu (mother’s brother and sister), dengan saudara-saudara nenek (mother’s mother’s brother and sister), dengan anak-anak saudara perempuan ibu (mother’s sister’s children), dan sejenisnya. Orangorang yang ber-dansanak ini membentuk kelompok-kelompok keturunan, yang dalam bahasa Inggris disebut descent group. Di Minangkabau, kelompok keturunan seperti ini beragam tingkatannya sesuai dengan jarak hubungan keturunan seseorang dengan yang lain. Kelompok keturunan yang paling besar adalah suku, di bawahnya adalah payuang, kemudian paruik , rumah gadang, dan seterusnya sampai ke kelompok terkecil yang disebut samande. Pada pihak lain, kerabat adalah para urang sumando dan sepupu yang terjalin melalui garis laki-laki. Di Minangkabau, seseorang (ego) adalah berkerabat dengan para suami dan isteri dari d a n s a n a k -nya. Mereka itu disebut golongan urang sumando. Termasuk pula ke ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
dalam golongan kerabat adalah anak-anak dari hasil perkawinan mereka, kerabatdansanak dari ayah dari ibu dan bapak (mother’s father’s sister dan father’s father’s sister). Status terakhir ini agak membingungkan bagi mereka yang kurang mengenal masyarakat matrilineal. Yang juga termasuk kerabat adalah dansanak dari bapak. Jadi, kaum kerabat lebih luas dan lebih beragam hubungan keturunannya.
Masalah matrilineal Telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip dalam sistem keturunan unilineal adalah harus dicarinya jodoh di luar kelompok keturunan. Prinsip ini bisa diperdebatkan, baik tentang asal mulanya, maupun kesahihan sifat universalnya. Namun, dalam tulisan ini, prinsip ini dianggap saja sebagai hal yang ‘benar’, karena kawin dengan anggota kelompok yang berarti kawin dengan dansanak , atau ‘saudara’, menjadi incest. Perkawinan incest pada Orang Minangkabau tidak seragam batasannya. Pada sebagian nagari, seseorang tidak boleh kawin dengan anggota satu suku. Pada nagari yang lain, orang boleh kawin dengan anggota satu suku, tapi tidak dengan anggota kelompok yang lebih kecil, yaitu payuang. Orang Nagari Silungkang menganut ketentuan yang kedua. Mereka boleh kawin dalam lingkungan suku, tapi tidak boleh dalam lingkungan payuang. Di Silungkang, kelompok payuang ini disebut dengan istilah kampuang. Jadi, pada Orang Silungkang, kampuang adalah kelompok perkawinan, atau marriage group. Prinsip eksogami mereka disebut dengan istilah ‘eksogami kampuang’. Prinsip kedua yang perlu ditinjau secara khusus pada sistem matrilineal adalah bahwa kewajiban, wewenang, dan kontrol atas wanita dan anak-anak dalam suatu kelompok keturunan berada di tangan lelaki dewasa dalam 3
kelompok tersebut. Ini berlaku dalam aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Untuk singkatnya, wewenang ini disebut dengan istilah ‘wewenang politikal-ekonomi’. Pada Orang Minangkabau, semua lelaki dewasa, khususnya yang telah berumahtangga, mempunyai wewenang politikal-ekonomi atas kaum wanita dan anak-anak dalam lingkungan kampuangnya. Mereka disebut dengan istilah mamak, atau niniak-mamak . Pihak yang dikuasai, yaitu wanita dan anak-anak, disebut dengan istilah kamanakan. Secara sosial, wewenang politikal-ekonomi ini diwakilkan oleh para ninik-mamak pada salah seorang yang tertua dan berwibawa di antara mereka. Pada tingkat suku, pemegang wewenang ini disebut penghulu suku. Pada tingkat kampuang disebut datuk kampuang. Pada tingkat kelompok keturunan yang lebih kecil, misalnya kelompok rumah gadang , pemegang wewenang ini disebut mamak. Para suami atau bapak tidak mempunyai wewenang kekuasaan atas isteri dan anak mereka. Mereka disebut sebagai kelompok urang sumando, yaitu orang yang kawin dengan anggota kelompok suku, payuang, paruik , atau rumah gadang tersebut. Wewenang mereka adalah atas kamanakannya sendiri yang ada di dalam kampuang mereka. Kedua prinsip di atas, yaitu eksogami kampuang dan wewenang politikal-ekonomi para lelaki dewasa, telah menimbulkan ketidakserasian dalam kehidupan sosial, yang secara nyata merupakan masyarakat matrilineal di mana pun di muka bumi ini, termasuk di Minangkabau. Seorang lelaki dewasa, di satu pihak harus kawin dengan wanita di luar kampuang-nya (eksogami k a m p u a n g ). Namun, di pihak lain, ia berkewajiban menjalankan wewenang politikal-ekonomi atas kamanakan yang berada di kampuangnya sendiri. 4
Jika setelah kawin, lelaki tersebut pindah berdiam di tempat kediaman (kampuang) isterinya, maka masalah yang muncul ialah bagaimana dia menjalankan wewenang politikal-ekonomi atas kamanakan yang berada di kampuangnya sendiri? Dia harus pulang balik setiap hari dari kampuang isteri ke kampuang-nya. Sebaliknya, kalau dia tinggal di kampuangnya sendiri, dan isteri serta anakanaknya dibawa ke kampuangnya, bagaimana datuk kampuang isterinya menjalankan wewenang politikal-ekonomi atas isteri dan anak-anak tersebut? Bukankah isteri dan anakanak itu merupakan kamanakan dari datuk kampuang tersebut? Singkatnya, prinsip perkawinan ‘eksogami kelompok’ tidak serasi dengan prinsip ‘wewenang politikal-ekonomi’ lelaki atas wanita dan anak-anak. Padahal, kedua prinsip itu adalah universal dan harus dijalankan oleh setiap masyarakat matrilineal. Inilah satu masalah pelik yang disebut sebagai matrilineal puzzle oleh antropolog Inggris A.I. Richards (1970). Bagaimana cara masyarakat matrilineal itu menyelesaikan masalah ini? Orang Minangkabau umumnya telah menyelesaikan persoalan ini dengan cara menciptakan satu prinsip kultural baru yang disebut duolocal. Mengikuti prinsip ini, pada siang hari para niniak mamak menjalankan wewenang politikal-ekonominya atas kamanakan mereka di kampuang sendiri. Pada malam hari, mereka pergi dan menginap di rumah (kampuang) isteri mereka masingmasing. Dengan demikian, secara tradisional, kalau mau mencari seseorang lelaki di Minangkabau pada siang hari, jangan pergi ke rumah isterinya. Tetapi, pergilah ke rumah gadang ibunya, ke lepau, atau ke sawah. Pada malam hari, pergilah ke rumah gadang isterinya. Namun, penyelesaian persoalan seperti ini tentu mempunyai syarat bahwa rumah gadang ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
(kampuang) isteri harus terletak tidak terlalu jauh dari rumah gadang (kampuang) lelaki tersebut. Kalau tidak, bagaimana lelaki itu bisa berulang-alik dengan cepat dan mudah dari kampuang sendiri ke kampuang isteri? Sebagai konsekuensi dari kepatuhan untuk menjalankan prinsip-prinsip ini, orang cenderung untuk kawin dengan tetangga yang berdekatan, yaitu dengan anggota satu komunitas. Di Minangkabau, komunitas ini adalah nagari. Dengan kata lain, perkawinan eksogami kampuang pada masyarakat matrilineal mengakibatkan munculnya kecenderungan endogami nagari. Kalau ada seorang laki-laki yang kawin dengan perempuan dari nagari yang lain, sehingga sulit bagi dia untuk pulang-balik dari kampuang isteri ke kampuang sendiri, maka lelaki tersebut dapat dianggap sebagai orang yang menghindar dari tanggung jawab politikalekonominya sebagai niniak mamak atas kelompok kampuang-nya. Dia bisa dipencilkan dari kelompok kampuangnya, dan hak politikalekonominya atas perempuan dan anak-anak dalam kampuang sendiri dapat dicabut. Hal inilah yang selama berabad-abad dipraktekkan oleh Orang Minangkabau umumnya, dan Orang Silungkang khususnya di ranah asal mereka di Sumatera Barat. Masalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah: apakah praktek sosial seperti di atas masih dapat diteruskan oleh orang lakilaki Minangkabau di Jakarta? Hidup di Jakarta tidaklah sama seperti hidup di komunitas nagari yang tinggal berdekatan satu sama lain. Di Jakarta, para perantau Minangkabau hidup berpencar dalam jarak yang berjauhan, dan memangku berbagai jenis pekerjaan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Masyarakat Minangkabau tradisional Kasus masyarakat Nagari Silungkang Untuk menggambarkan bekerjanya sistem di atas, tulisan ini akan mengacu pada masyarakat Silungkang di Nagari Silungkang, Kotamadya Sawah Lunto sebagai kajian kasus. Masyarakat Silungkang adalah sebuah masyarakat genealogis dan teritorial. Nagari Silungkang, sesuai dengan PERDA Sumbar No. 13 Tahun 1983, merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Sumatera Barat. Nagari adalah satu komunitas yang mempunyai wilayah sendiri, dengan sejumlah kekayaan tertentu. Masyarakatnya terbagi ke dalam beberapa suku. Seluruh anggota masyarakat nagari Silungkang merasakan dirinya mempunyai kaitan ‘keturunan’ dan ‘kekerabatan’ satu dengan yang lain. Ini merupakan satu konsekuensi dari pelaksanaan prinsip eksogami-kampuang dan endogami-nagari. Mereka menggunakan istilah kare-kare untuk menggambarkan saling keterkaitan di antara mereka. Kare-kare adalah sejenis penganan berbentuk khas, yaitu seperti benang kusut yang saling berkaitan. Pada masa kini, Nagari Silungkang yang terletak sekitar 90 km di arah timur Kota Padang, secara administratif telah berubah menjadi sebuah kecamatan yang terbagi ke dalam lima (5) desa. Meskipun demikian, nagari ini tetap merupakan sebuah komunitas tradisional yang berada di bawah sebuah Lembaga Kerapatan Adat (LKA), yaitu LKA Silungkang. Jumlah penduduk terakhir dapat dilihat pada tabel 1.
5
Tabel 1. Penduduk Kecamatan (Nagari) Silungkang. Sumber: Marzali dan Siburian 1998. Tahun
Jumlah
Pertumbuhan
1990 1991 1992 1993 1994 1995
9.628 9.540 9.534 9.517 9.516 9.529
* - 0,91 - 0,06 - 0,18 - 0,01 + 0,14
Pada tahun 1968, penduduk Silungkang berjumlah 9.166 orang, dan pada tahun 1971 berjumlah sekitar 9.500 orang (Marzali 1973). Ini berarti bahwa jumlah penduduk nagari (Kecamatan) Silungkang relatif tidak berubah sejak tahun 1968 sampai 1995. Apakah di daerah ini tidak ada pertumbuhan penduduk secara alami? Jawaban atas pertanyaan di atas terletak pada fenomena migrasi ke luar, khususnya ke Jakarta. Orang Silungkang sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1905. Pada tahun 1970, terdapat sejumlah 351 keluarga dengan 2.317 jiwa perantau Silungkang di Jakarta (Marzali 1973). Pada tahun 1997 yang lalu, menurut Pengurus Persatuan Keluarga Silungkang di Jakarta, perantau Silungkang diperkirakan sudah berjumlah sekitar 7.000 orang. Pada mulanya, para perantau Silungkang ini bekerja sebagai pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang. Karena itu, mereka cenderung tinggal di daerah sekitar Pasar tersebut. Pada masa kini, perantau Silungkang ini sudah memasuki berbagai jenis pekerjaan, meskipun mayoritas masih sebagai pedagang. Pada umumnya mereka tinggal di daerah sekitar Kebayoran Lama-Cileduk.
sekurang-kurangnya empat suku. Kelompok suku kemudian terbagi lagi ke dalam beberapa sub-suku, yang seterusnya terbagi lagi ke dalam sub-sub-suku, dan demikian seterusnya. Nagari dan suku adalah istilah dan tingkatan yang berlaku umum untuk seluruh Minangkabau. Nagari selalu terdiri atas beberapa kelompok suku. Variasi antarnagari muncul untuk menyebut kelompok keturunan di bawah suku, atau yang secara teknis disebut sub-suku. Sebagian nagari menyebut kelompok subsuku ini dengan istilah payuang, sebagian lain paruik , dan ada pula yang menyebut dengan istilah kampuang. Begitu pula halnya dengan istilah untuk menyebut kelompok sub-subsuku. Terjadi ketidak-konsistenan sebutan antarnagari. Hal ini pernah diungkapkan oleh Zaldi Burliya (dikutip dalam Saptomo 1995). Variasi istilah yang digunakan oleh beberapa nagari di Minangkabau untuk menyebut kelompok keturunan dalam nagari tersebut dapat disimak pada skema 1.
Kelompok keturunan Masyarakat nagari di Minangkabau, menurut garis keturunan darah, terbagi ke dalam 6
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Skema 1: Susunan Kelompok Keturunan dalam Nagari di Minangkabau No.
Desa/Nagari
Susunan kelompok keturunan
1.
Balai Panjang, Kabupaten 50 Kota
1. Suku 2. Kampuang 3. Payuang (Kaum) Rumah
4. Jurai 5. Samande
2.
Tanjung Gadang, Kabupaten 50 Kota
1. Suku 4. Kaum (Paruik ketek) 2. Kampuang (Paruik gadang) 5. Rumah 3. Payuang
3.
Koto Kaciak Kabupaten Agam
1. Suku 2. Kampuang 3. Payung
4. Kaum 5. Paruik
4.
Bayur Kabupaten Agam
1. Suku 2. Payuang (Kaum)
3. Paruik (Induak)
5.
Tanjung Barulak
1. Suku 2. Payuang 3. Kaum
4. Paruik 5. Jurai
6.
Sumpur Kabupaten Tanah Datar
1. Suku 2. Payuang (Kaum)
3. Paruik
7.
Pariangan Kabupaten Tanah Datar
1. Suku 2. Payuang 3. Rumah 4. Kaum
5. Paruik 6. Jurai 7. Samande
8.
Siguntur Kabupaten Pesisir Selatan
1. Suku 2. Paruik/Kaum 3. Jurai
4. Kampuang 5. Rumah
9.
Barung-Barung Belantai Kabupaten Pesisir Selatan
1. Suku 2. Paruik/Kaum
3. Kampuang 4. Rumah
10.
5 Koto Air Pampan Kabupaten Padang-Pariaman
1. Suku 2. Payuang/Kaum
3. Paruik 4. Rumah
11.
Sikapak Kabupaten Padang-Pariaman
1. Suku 2. Payuang 3. Paruik
4. Kampuang 5. Rumah
12.
Lubuk Kilangan Kotamadya Padang
1. Suku 2. Payung (Kaum) 3. Paruik
4. Rumah 5. Samande
13.
Batu Banyak Kabupaten Solok
1. Suku 2. Payung (Kaum)
3. Paruik 4. Rumah (Samande)
14.
Limau Linggo Kabupaten Solok
1. Suku 2. Payuang
3. Paruik (Kaum) 4. Rumah (Samande)
1. Suku 2. Payuang (Kaum)
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
7
1. Suku 2. Paruik
3. Kaum 4. Samande
Sumber: Saptomo 1995. Dari 16 nagari yang disurvai di atas, 10 nagari menyebut kelompok keturunan di bawah suku dengan istilah payuang, 6 dengan istilah kampung, dan 3 dengan paruik . Jadi, istilah payuang merupakan istilah yang paling banyak digunakan untuk menyebut kelompok sub-suku. Di samping itu, ada juga beberapa nagari yang menggunakan dua istilah untuk menyebut kelompok sub-suku tersebut. Di samping istilah di atas, ada 8 nagari yang juga menggunakan istilah kaum. Pada kelompok sub-sub suku, istilah yang paling banyak digunakan adalah paruik. Untuk kelompok di bawahnya lagi, paling banyak digunakan istilah rumah, yakni rumah gadang. Samande adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk kelompok keturunan terakhir di bawah rumah gadang. Demikianlah hierarki kelompok keturunan di dalam nagari dengan susunan hierarki sebagai berikut: • Suku • Payuang • Paruik • Rumah • Samande Di Silungkang, terdapat variasi dari apa yang berlaku umum tersebut. Pada tingkat pertama, secara tradisional masyarakat Silungkang tidak terbagi ke dalam suku, tetapi ke dalam dua belah atau moiety. Belah yang satu disebut Orang Tigo Niniek, sedangkan belah yang lain adalah Orang Sapuluah Niniek . Pada masa sekarang, kelompok keturunan ini tidak mempunyai fungsi yang berarti lagi dalam kehidupan sosial mereka. Bahkan, sebagian penduduk sudah lupa akan adanya kelompok belah ini. Selanjutnya, belah yang pertama, yaitu Orang Tigo Niniek, pecah ke dalam dua suku. Belah yang kedua, yaitu Orang Sapuluah 8
Niniek , pecah ke dalam tiga suku. Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu suku. Pada masa sekarang, kelompok suku ini pun tidak mempunyai fungsi yang berarti, kecuali dalam upacara seremonial. Selanjutnya, setiap suku pecah lagi ke dalam beberapa kampuang yang dipimpin oleh seorang datuk kampuang, atau pangulu andiko. Kelompok kampuang ini sampai sekarang masih berfungsi sebagai kelompok keturunan dan kelompok perkawinan. Anggota sebuah kampuang berdansanak satu sama lain. Karena itu, mereka tidak boleh saling kawin. Saling kawin di antara mereka di anggap incest. Orang harus kawin ke luar kampuang (eksogami kampuang). Dalam banyak peristiwa politik-ekonomi-sosial, solidaritas kampuang sebagai sebuah kelompok keturunan masih terlihat, karena orang se-kampuang adalah berdansanak . Kelompok kampuang pecah lagi ke dalam beberapa kelompok sub-kampuang. Orang Silungkang tidak mempunyai istilah khusus untuk menyebut kelompok ini. Padahal, dalam kenyataan, kelompok ini ada. Dalam pembicaraan sehari-hari mereka juga menyebut kelompok ini dengan istilah kampuang. Karena itu, agar dapat dibedakan dari kampuang yang sesungguhnya, saya menyebutnya dengan istilah sub-kampuang. Ini merupakan istilah teknis antropologi, bukan istilah lokal. Dalam kelompok ini, rasa solidaritas lebih besar dan frekuensi hubungan sosial juga lebih tinggi. Pada tingkat terakhir, kelompok subkampuang ini pecah lagi ke dalam beberapa samande, atau kadang-kadang juga disebut saparinduaan. Kelompok terakhir ini terdiri dari seorang ibu dan anak-anaknya, atau, beberapa perempuan bersaudara beserta anak-anak mereka. Untuk sederhananya, pola pengelompokan masyarakat berdasarkan garis keturunan seperti diuraikan di atas dapat dilihat dalam ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
skema 2. Skema 2. Kelompok Keturunan di Nagari Silungkang MOIETY
SUKU
KAMPUANG
SUB-KAMPUANG
Tigo Niniek
Dalimo
Dalimo Kosiek
Dalimo Kosiek Dalimo Singkek Guguak Ciporan
Dalimo Godang
Dalimo Godang
Dalimo Cocah
Dalimo Cocah Dalimo Tapanggang
Tanah Sirah
Tanah Sirah Piliang Baruah
Paya Badar
Supanjang
Sapuluah Niniek
Malayu
Melawas Hilir
Melawas Hilir
Melawas Mudiak
Melawas Mudiak
Dalimo Jao Diateh
Dalimo Jao Diateh
Dalimo Jao Dibaruah
Dalimo Jao Dibaruah
Malayu
Malayu
Panai Koto Baru
Panai Koto Baru Rumah Tabuah
Panai Tigo Tingkah
Panai Tigo Tingkah
PanaiOmpekRumah
Panai Ompek Rumah Guguak Binok
Sungkiang
Sungkiang Batu Bagantuang
Patopang
Guguak
Guguak Koto Marapak
Piliang
Piliang Batu Mananggau
Kuti Anyir
Kuti Anyir
Talak Buai
Talak Buai Pala Koto
Sawah Juai
Sawah Juai Patopang Hilir
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
9
Kelompok kerjasama Kelompok kerjasama atau corporate group adalah kelompok yang bersatu dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengambilan keputusan penting dari hari ke hari. Keputusan ini khususnya menyangkut bidang sosial, politik dan ekonomi. Dalam masyarakat Minangkabau tradisional yang penduduknya hidup dari kegiatan pertanian, fungsi kelompok kerjasama terutama terlihat dalam bidang pertanian. Dalam kelompok ini, semua lelaki mempunyai wewenang dan kewajiban secara bertingkat-tingkat. Makin tua dan makin mampu seorang lelaki, makin besar wewenangnya. Kelompok ini juga sering disebut dengan istilah lain, yaitu corporate descent group atau decision-making group. Dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, kelompok ini harus mempunyai kekuasaan dalam mendayagunakan sumber daya modal dan tenaga. Secara tradisional, kedua sumberdaya ini terwujud dalam bentuk tanah pertanian beserta alat-alat produksi lain. Dalam usaha untuk mendayagunakan sumber produksi ini, kelompok mempunyai satu struktur kekuasaan. Struktur kekuasaan ini menelurkan dan menjalankan keputusan penting serta menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran. Syarat minimal bagi sebuah struktur seperti ini adalah bahwa wewenang dan kekuasaan harus didistribusi-kan di kalangan anggota kelompok menurut tingkatannya. Kelompok kerjasama ini juga memiliki secara bersama sejumlah harta produktif dan non-produktif dalam bentuk tanah, sawah, ladang, rumah, perlengkapan produksi, perlengkapan dapur, perlengkapan keamanan, dan sebagainya. Terakhir, secara hukum, kelompok kerjasama ini dapat bertindak sebagai sebuah badan hukum yang wajib membayar denda bila salah seorang anggotanya berbuat pelanggaran terhadap kelompok lain; atau 10
sebaliknya, menerima denda. Mereka juga wajib membela dan melindungi anggota kelompok dari ancaman pihak lain. Singkatnya, sebuah kelompok kerjasama, corporate descent group, atau decision making group mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: • anggotanya merasa seketurunan (berdansanak ); • ada kerjasama dan tolong menolong dalam banyak hal kehidupan; • mengambil keputusan secara bersama; • memiliki bersama sumberdaya modal dan sumber tenaga; • bertindak bersama sebagai sebuah badan hukum; • mempunyai struktur organisasi yang bertingkat; dan • mempunyai cara distribusi wewenang yang bertingkat (Keesing 1975). Dalam kenyataan kehidupan tradisional di Silungkang, apa yang disebut dengan kelompok kerjasama ini dapat ditemui pada kelompok sub-kampuang (paruik ). Para anggotanya secara bersama memiliki tanah pusaka dan hidup dalam satu atau dua rumah gadang. Kampuang, apalagi suku, jauh dari ciri-ciri seperti tersebut di atas. Keduanya terlalu besar untuk menjadi sebuah kelompok kerjasama. Kelompok domestik Kelompok domestik, atau rumah tangga, adalah bagian dari kelompok kerjasama yang memikul tugas operasional. Tugas-tugas kelompok kerjasama didistribusikan di kalangan kelompok domestik, terutama tugas-tugas yang berhubungan dengan konsumsi, pendidikan anak-anak, pencurahan kasih sayang, dan penjagaan keamanan kelompok. Di Silungkang khususnya dan di Minangkabau umumnya, kelompok domestik ini paralel dengan kelompok rumah gadang. Kelompok inilah yang akan menjadi sorotan utama pembicaraan kita. ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Untuk memudahkan pembicaraan, kita asumsikan bahwa secara ideal anggota kelompok domestik ini terdiri atas tiga generasi. Generasi pertama terdiri dari ninik-ninik (grandmothers) dan datuk-datuk (grandfathers) yang bersaudara. Generasi kedua terdiri dari anak lelaki dan anak perempuan (children) dari para ninik. Pada generasi ketiga terdapat anak-anak dari anak-anak perempuan ninik (daughters’ children). Kelompok ini mendiami sebuah rumah gadang dengan sebuah dapur, dan makan dari sumber sawah, ladang, ternak milik bersama. Pada siang hari anggota kelompok ini utuh, sedangkan pada malam hari kelompok ini kehilangan anggota lelaki yang sudah kawin, karena mereka harus pergi ke rumah isteri mereka masing-masing. Sebaliknya, pada malam hari, kelompok ini mendapat tambahan anggota baru, yaitu para suami dari anggota perempuan (urang sumando). Dahulu, para urang sumando ini tidak perlu menanggung biaya ekonomi isteri dan anakanaknya, karena kehidupan ekonomi mereka ditanggung oleh kelompok domestik. Mereka hanyalah ‘tamu’ di malam hari yang berfungsi sebagai alat produksi penerus keturunan demi kelangsungan kelompok tersebut. Tanpa urang sumando, kelompok rumah gadang bisa punah. Karena itu, urang sumando adalah vital bagi kelangsungan kelompok. Kelompok domestik yang sekaligus merupakan kelompok keturunan ini tidak bisa memproduksi diri sendiri (inbreeding). Orang tidak boleh kawin dengan saudara sendiri (incest taboo). Di dalam kelompok domestik ini para ninik mamak (mother’s brothers atau mother’s mother’s brothers) dipandang sebagai ‘manager-manager’ dari kelompok, sedangkan ‘direktur’ utamanya adalah datuk (mother’s mother’s brother) yang tertua. Bapak tidak perlu mendidik anak-anaknya. Tugas ini dipikul oleh para mamak. Keamanan kelompok juga berada ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
di tangan para mamak, kecuali di malam hari saat tugas ini diserahkan kepada urang sumando. Di sinilah berlaku pepatah ‘urang sumando menjadi ganti ninik mamak’. Suami tidak sempat menjalin hubungan kejiwaan yang mendalam dengan anak isterinya. Bahkan, dalam kasus seorang lelaki yang beristeri lebih dari satu, terjadi kemungkinan bahwa dia kurang mengenal anaknya yang sudah besar. Secara teoritis suami mudah menceraikan dan diceraikan isterinya. Apabila bercerai, anak-anak secara sosial cenderung melihat bapaknya sebagai ‘bekas suami ibunya’. Secara bergurau, tetapi memiliki dasar kultural, seorang bapak adalah urang sumando yang terdekat dari anakanaknya . Bapak adalah ‘ayah biologis’ dari anakanaknya, sedangkan ‘ayah sosial’ dari anakanak tersebut adalah mamak-nya. Di bidang ekonomi, pendidikan, pewarisan kedudukan politik, keamanan, dan lain-lain, tanggung jawab dan wewenang berada di tangan mamak. Apabila anggota kelompok domestik, atau kelompok rumah gadang menderita kurang makan dan pakaian, mamak merekalah yang disalahkan. Apabila seorang anak terlihat nakal atau melanggar norma masyarakat, mamaknyalah yang dianggap kurang pandai mendidik kamanakan. Apabila seorang anak berada dalam bahaya, maka mamak pulalah yang bersabung nyawa. Kedudukan datuk sebagai ‘direktur utama’ kelompok domestik diturunkan kepada kamanakan . Kedudukan mamak sebagai ‘manager’ kelompok diturunkan kepada kamanakan, dan demikianlah seterusnya. Setelah masuknya pengaruh agama Islam serta pengaruh ekonomi uang yang dibawa Belanda dan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus menerus, maka perubahan tidak dapat dielakkan. Meskipun perubahan telah banyak terjadi, tanggung jawab sosial dan moral mamak terhadap anggota kelompok domestik 11
dan samande tetap merupakan bagian dari prinsip kultural masyarakat Minangkabau. Ini adalah konsekuensi dari prinsip duolocal yang masih tetap dipegang. Paralel dengan itu, tetap pula dipegang teguh prinsip endogami nagari.
Masyarakat Minangkabau di Jakarta Jakarta adalah sebuah kota metropolitan dengan luas sekitar 650 km persegi. Di kota ini, migran Minangkabau terikat pada berbagai bidang pekerjaan, mencapai berbagai tingkat pendidikan, dan berdiam di berbagai pelosok yang berpencaran. Keadaan ini membuat migran Minangkabau—yang mulanya berasal dari komunitas-komunitas nagari yang kecil dengan masyarakat yang relatif homogen— menjadi satu masyarakat yang kompleks, terpecah ke dalam berbagai subkultur, dan hidup berpencaran. Persamaan di antara mereka hanyalah bahwa mereka berasal dari Minangkabau, bercakap dalam bahasa Minangkabau, dan mendidik anak mereka di rumah menurut kultur Minangkabau yang dibawa dari nagari masing-masing. Di Jakarta, tidak ada organisasi kelompok keturunan dan kelompok domestik yang berfungsi secara efektif seperti di nagari asal. Yang ada ialah semacam organisasi modern seperti Persatuan Keluarga Silungkang, Sulit Air Sepakat, dan sebagainya. Organisasi seperti ini berfungsi mengurus kesejahteraan para perantau, dan sumbangan mereka untuk kampung halaman. Ikatan kelompok sa-kampuang, rumah gadang, dan samande tetap diakui, namun organisasi yang berfungsi efektif dalam membina ikatan tersebut tidak ada lagi. Hampir semua fungsi—yang di nagari asal dipegang oleh kelompok keturunan dan kelompok domestik—diambil alih oleh kelompok rumah tangga keluarga batih. Keluarga batih ini terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak 12
mereka yang berdiam dalam sebuah rumah tersendiri. Pembinaan fungsi organisasi yang agak berlanjut cuma pada level kelompok samande. Ini pun hanya pada fungsi sosial yang sangat tipis, seperti saling mengunjungi atau tolong menolong dalam kesulitan. Pada level rumah gadang, fungsi organisasi masih tersisa dalam bentuk arisan bulanan. Di luar arisan, sukar bagi mereka untuk saling berjumpa, apalagi melaksanakan hubungan sosial menurut norma kelompok. Di Jakarta, tidak ada rumah gadang sebagai tempat tinggal kelompok samande, tempat ninik mamak menjalankan kewajiban, wewenang dan kontrol pada siang hari. Orang Minangkabau di Jakarta pada umumnya hidup dalam keluarga inti sepanjang siang dan malam hari. Di rumah itu sang ayah, yang di ranah asal berkedudukan sebagai urang sumando, kini memegang wewenang, kewajiban, dan kontrol terhadap anak dan isterinya. Mamak boleh datang ke rumah itu, siang atau malam hari, namun tidak perlu lagi dalam kedudukan sebagai ‘direktur utama’ atau ‘manager’ kelompok. Ia cukup datang sebagai ‘tamu’. Di sini terlihat satu keadaan yang terbalik. Di Nagari asal, sang ayah menjadi tamu di rumah isterinya, dan sang mamak adalah tuan rumah. Kini di rantau, sang ayah yang menjadi tuan rumah di rumahnya, dan sang mamak menjadi tamu. Sebagian mamak yang bertanggung jawab, masih melaksanakan tugas mengunjungi kamanakan-nya secara rutin, meskipun fungsinya hanya sekedar ‘menjenguk’ saja. Namun, keinginan ini sering terhambat oleh jauhnya jarak yang harus ditempuh dari rumah sang mamak ke rumah sang kamanakan. Belum lagi, lamanya waktu dan biaya yang dihabiskan untuk setiap kunjungan. Di Jakarta, migran Minangkabau tidak mempunyai harta produksi milik bersama seperti ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sawah dan ladang milik kelompok samande atau rumah gadang. Ekonomi rumah tangga ditopang oleh pekerjaan suami. Karena itu, penghasilan juga dikonsumsi oleh anggota kelompok rumah tangga itu saja. Di Jakarta, tidak ada status politik dalam kelompok keturunan, tidak ada ‘direktur utama’ dan ‘manager’ kelompok samande. Karena itu, keperluan untuk pewarisan posisi seperti ini dari mamak ke kamanakan juga tidak perlu.
Pembahasan Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagian besar prinsip kultural matrilineal sudah tidak dijalankan lagi dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau di Jakarta. Prinsip kultural pertama yang mengatakan bahwa ‘wanita bertanggung jawab memelihara anakanak’ memang masih terlihat. Namun, prinsip ini tidak khas milik sistem matrilineal saja. Ia juga dipraktekkan oleh masyarakat dengan sistem kekerabatan yang lain seperti patrilineal dan kognatik. Prinsip dan praktek ini mungkin bukan hanya bersifat universal dalam kehidupan manusia, tetapi mungkin juga berlaku bagi seluruh makhluk primata. Karena itu tidak perlu dipermasalahkan (Fox 1976:31). Pada masyarakat Minangkabau tradisional, prinsip kedua, ‘pria dewasa mempunyai wewenang terhadap wanita dan anak-anak’, dilaksanakan oleh para mamak (mother’s brothers). Di Jakarta, wewenang ini dilaksanakan oleh bapak atau urang sumando . Hal ini merupakan satu perubahan sosial. Kalau perubahan dalam pola perilaku ini memasuki bidang prinsip, menjadi bagian dari norma dan nilai budaya, maka terjadi perubahan kebudayaan. Di ranah Minang, bapak hanyalah ‘ayah biologis’. ‘Ayah sosial’ adalah mamak. Di Jakarta, bapak adalah ‘ayah biologis’ sekaligus ‘ayah sosial’. Ketiga, perkawinan eksogami kampuang ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
(payuang) tetap dipelihara, baik secara prinsip maupun secara sosial. Namun, prinsip dan praktek ini tidak diikuti dengan praktek endogami nagari sebagaimana yang dilaksanakan di ranah asal. Sejak tahun 1970an, Orang Silungkang di Jakarta sudah bisa menerima jodoh asal dari luar nagari sendiri, apakah urang sumando itu Orang Minangkabau, Jawa, Sunda, atau yang lain. Akibatnya wewenang, kontrol, dan kewajiban mamak terhadap wanita dan anak-anak dalam satu kelompok keturunan semakin lemah. Keempat, garis keturunan masih ditelusuri melalui garis wanita pada perkawinan endogami nagari. Anak-anak hasil perkawinan endogami nagari ini otomatis menjadi anggota kampuang ibunya. Pada perkawinan dengan orang luar nagari , garis keturunan tidak banyak dipermasalahkan. Tidak ada ketentuan yang ketat. Mereka bisa saja dianggap sebagai keturunan dari ibunya atau dari bapaknya. Masalah penting tentang garis keturunan ini adalah sebagai berikut: apakah anak-anak dari seorang perempuan yang kawin dengan orang luar dapat dianggap sebagai anggota kampuang ibunya oleh anggota-anggota yang lain? Nampaknya hal itu belum bisa terlaksana, meskipun secara seremonial ada pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mengangkat anak-anak tersebut ke dalam kelompok. Dengan adanya penolakan terhadap anak-anak itu, maka eksistensi kelompok menjadi terancam. Tidak ada regenerasi, tidak ada rekrut baru anggota kelompok. Terakhir adalah soal pewarisan harta dan suksesi politis. Di nagari asal, harta pusaka, khususnya dalam bentuk tanah dan rumah, masih tetap diwariskan sepanjang garis wanita. Namun, harta ‘dapatan’ di rantau digariskan menurut hukum faraidh yang bilateral. Pola seperti ini sudah lama berlaku. Bahkan, pada masa kini, sudah nampak gejala yang makin menyimpang. Dalam beberapa kasus ditemukan 13
bahwa pihak laki-laki juga menuntut bagian warisan dari harta pusaka di ranah asal. Suksesi politik masih diturunkan menurut garis perempuan, yaitu dari mamak kepada kamanakan laki-laki (dari mother’s brother kepada sister’s son). Namun, yang menjadi masalah adalah substansi politik yang diwariskan itu. Secara tradisional, pewarisan terjadi pada kedudukan politik dalam organisasi keturunan, seperti jabatan penghulu suku, datuk kampuang, dan seterusnya. Sekarang, di rantau, organisasi itu sudah tidak berfungsi. Jika demikian, kedudukan politis apakah yang mau diwariskan? Kalau pun terjadi pewarisan jabatan politik, maka yang terjadi adalah pewarisan pada aspek seremonial saja, yaitu pewarisan gelar. Ketika seorang kamanakan lelaki akan kawin, seorang mamak akan menurunkan gelar-nya kepada kamanakan tersebut, seperti gelar Sutan Mangkuto, Khatib Bandaharo, dan sebagainya. Sebagian perubahan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Jakarta dapat dipandang sebagai perubahan sosial, yaitu perubahan dalam pola kelakuan dan organisasi sosial. Sebagian lain dapat dipandang sebagai perubahan kultural, yaitu perubahan dalam nilai, norma, dan prinsip hidup. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada lingkungan sosial dan lingkungan alam, khususnya dengan konsekuensi dari fenomena merantau ke kota besar. Perubahan dimulai pada level sosial, yaitu strategi adaptasi yang dilakukan individuindividu tertentu untuk mencapai survival dalam kehidupan di kota besar. Perilaku sebagian individu telah menyimpang dari prinsip kultural yang telah digariskan dari nagari asal. Namun, secara sosial hal itu dapat ditoleransi mengingat tekanan yang dipaksakan oleh lingkungan. Dalam proses waktu, penyimpangan demi penyimpangan terhadap norma tradisional diikuti pula oleh 14
individu-individu yang lain, sehingga perilaku tertentu telah terbentuk menjadi satu pola yang mapan. Demikianlah, kita melihat perubahan dalam pola-pola perilaku kaum lelaki dalam rangka menjalankan kewajiban, wewenang, dan kontrol terhadap wanita dan anak-anak. Pada mulanya kewajiban ini dilaksanakan oleh mamak terhadap dansanak dan kamanakan, sekarang dilaksanakan oleh bapak terhadap anak dan isteri. Apakah perubahan dalam pola perilaku ini telah membawa akibat terhadap prinsip kultural: bahwa tanggung jawab, wewenang, dan kontrol itu secara normatif memang dipandang sudah dilepaskan oleh ninik mamak kepada urang sumando (bapak)? Nampaknya hal itu belum sepenuhnya terjadi. Dalam aspek-aspek tertentu, khususnya aspek perilaku yang seremonial dalam perkawinan dan kematian, tanggung jawab, wewenang dan kontrol masih berada di tangan mamak dan dijalankan oleh mamak. Efek yang nampak langsung dari perubahan pada level perilaku terdapat pada organisasi sosial. Dengan terjadinya penyimpangan pada perilaku, maka yang tertinggal dalam organisasi sosial hanyalah ‘status’, sedangkan ‘role ’ sudah berjalan sendiri menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dalam satu kelompok rumah gadang, status mamak tertua (datuk ) masih ada. Namun, peranannya sebagai ‘direktur utama’ rumah gadang sudah tidak dijalankan lagi sepenuhnya, kecuali dalam perilaku seremonial. Begitu pula halnya dengan status dan peranan mamak sebagai ‘manager’ kelompok. Dengan kata lain, kelompok rumah gadang dan samande tidak berfungsi lagi sebagai sebuah ‘corporate group’ dan ‘domestic group’. Saya yakin, jika kecepatan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Jakarta tetap seperti sekarang, maka dalam waktu tidak lama lagi, keseluruhan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
prinsip kultural matrilineal—yang menjadi tradisi masyarakat Minangkabau—sudah ditinggalkan anggotanya. Jika hal ini terjadi, apakah eksistensi Orang Minangkabau sebagai satu unit kultural yang terdiri dari subkultur nagari-nagari masih dapat bertahan di Jakarta? Tentu saja tidak. Mereka akan lebur bersama
masyarakat tradisional lain menjadi masyarakat Indonesia baru. Sebuah masyarakat dengan prinsip-prinsip sosial baru. Namun, apakah jawaban ini akan mengejawantah atau tidak, tergantung kepada beberapa faktor lain, misalnya komunikasi migran dengan nagari asal.
Kepustakaan Fox, R. 1976
Kinship and Marriage:An Anthropological Perspective. Penguin Books.
Marzali, A. 1973 Orang Silungkang di Jakarta. Skripsi Sarjana Antropologi, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Marzali, A dan R. Siburian 1998 Pengembangan Industri Tenun Silungkang. Jakarta: LIPI. Richards, A.I. 1970 ‘Some Types of Family Structure among the Central Bantu’, dalam A.R. Radcliffe-Brown dan D. Forde (peny.) African Systems of Kinship and Marriage . London: Oxford University Press. Saptomo, A. 1995 Berjenjang Naik Bertangga Turun. Tesis S2 tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia. Schneider, D.M. dan K. Gough (peny.) 1974 Matrilineal Kinship . Berkeley: University of California Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
15