25
dapat menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing diperlukan adanya pendidikan agama. Dasar pendidikan merupakan masalah yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan. Sebab, dari dasar pendidikan itu akan menentukan corak misi pendidikan, dan dari tujuan pendidikan akan menentukan ke arah mana peserta didik akan diarahkan atau dibawa. Pendidikan adalah masalah yang sangat penting dalam kehidupan, karena pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bernegara sehingga pendidikan dijadikan suatu ukuran maju mundurnya suatu bangsa. Pada umumnya, tiap-tiap bangsa dan negara sependapat tentang pokok-pokok tujuan pendidikan yaitu mengusahakan supaya tiap-tiap orang sempurna pertumbuhan tubuhnya, sehat otaknya, baik budi pekerti dan sebagainya. Sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan dan bahagia hidupnya lahir dan batin. Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah suatu landasan yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan pendidikan.
Pada
umumnya
yang
menjadi
landasan
dalam
penyelenggaraan pendidikan suatu bangsa dan negara adalah pandangan hidup dan falsafah hidupnya. Dalam catatan sejarah pendidikan agama Islam di sekolah mempunyai sejarah perkembangan yang cukup panjang. Pada masa pra kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah yang
26
pertama kali di Ambon pada tahun 1607, dari masa inilah dikenal istilah dan pendidikan sekolah di Indonesia hingga saat ini. Secara historis, awal pendidikan sekolah penekanan mata pelajaran hanya kepada pelajaran umum, sedangkan posisi dan perkembangan agama dalam tradisi sekolah baru pada awal abad ke-20 M. Karena memang basis pendidikan di Indonesia ketika itu adalah pesantren, yang hampir dapat dipastikan mata pelajaran di sana adalah agama. Setelah era kemerdekaan, pendidikan agama di sekolah mulai mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang sangat positif terhadap pelajara agama. Kebijakan itu dilandasi oleh dua hal. Pertama adalah landasan filosofi pancasila dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut setiap warga untuk beragama, tentu beragama yang baik adalah diawali dengan pendalaman materi pengetahuan agama. Yang kedua landasan konstitusional yaitu UUD 45 dimana pada pasal 29 ditegaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap rakyat Indonesia diberi kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang di anutnya. Melalui mata pelajaran agama, perilaku peserta didik diharapkan sesuai dengan substansi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa yakni di samping memahami ajaran agama juga untuk mampu mengamalkannya. Untuk itu, pemerintah melalui sejumlah regulasi atau perundangan mangatur penyelenggaraan mata pelajaran agama menjadi salah satu
27
bidang studi yang wajib di ajarkan pada seluruh jenis, jalur dan jenjag pedidikan, tanpa kecuali termasuk sekolah umum. Berkenaan dengan itu, maka pendidikan agama Islam disekolah umum dapat dibagi kedalam dua fase, yaitu fase sebelum kemerdekaan, yakni era pejajahan Belanda dan Jepang, kemudian fase sesudah kemerdekaan. 2. Landasan Ideal Dasar ideal yaitu dasar dari falsafah negara Pancasila, utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya harus beragama. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk merealisasi hal tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama, akan sulit untuk mewujudkan sila pertama dari Pancasila tersebut. Dasar pendidikan agama di Indonesia erat kaitannya dengan dasar pendidikan Nasional yang menjadi landasan terlaksananya pendidikan bagi bangsa Indonesia. Karena pendidikan agama islam merupakan bagian yang ikut berperan dalam tercapainya tujuan pendidikan Nasional. Dasar ideal pendidikan Islam sudah jelas dan tegas yaitu firman Allah dan sunnah Rasulullah Saw. Kalau pendidikan di ibaratkan
28
bangunan maka isi Al-Quran dan Haditslah yang menjadi fundamennya. Al-Quran adalah sumber kebenaran dalam Islam, kebenaran yang sudah tidak dapat di ragukan lagi. Sedangkan sunnah Rasulullah Saw. yang dijadikan landasan pendidikan agama Islam adalah berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Rasullullah Saw dalam bentuk isyarat. Bentuk isyarat ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat atau orang lain dan Rasullullah membiarkan saja dan terus berlangsung. 3. Landasan Operasional Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini sarat akan nuansa nilai-nilai agama. Dalam kaitannya dengan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, Bab V Pasal 12 Ayat 2 menegaskan bahwa “Setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yag dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama”. Kemudian pada Pasal yang lain, yaitu pada Pasal 37 Ayat 1dan 2, mempertegas secara eksplisit posisi mata pelajaran agama dimana dinyatakan bahwa kurikulum satuan pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi wajib memuat pendidikan agama. Substansi bab ini menekankan arti pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik yang sesuai dengan agama yang dianutnya, karena bertujuan untuk melindungi akidah agama dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendidikan agama ini memiliki transmisi spiritual yang lebih nyata dalam proses pembelajaran.
Kejelasannya
terletak
pada
keinginan
untuk
29
mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi dan keilmiahan, kultural serta kepribadian. Hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama, perlu disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuannya. Karena itu, dalam mengimplementasikan pasal tersebut perlu ditekankan kepada penciptaan atmosfir dan proses pembelajarannya, sehingga peserta didik benar-benar memahami, menghayati, dan mengamalkan dari setiap apa yang diajarkan.
B. Peran Pendidikan Agama Islam untuk Membentuk Akhlak Peserta Didik 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Pengertian pendidikan itu bermacam-macam, hal ini disebabkan karena perbedaan falsafah hidup yang dianut dan sudut pandang yang memberikan rumusan tentang pendidikan itu. Menurut Sahertian mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Ihsan mengatakan bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan
30
norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya. Sedangkan pendidikan agama Islam berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu siswa didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Syariat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan nabi sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan dari satu segi, kita lihat bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatn baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan Islam tidak bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal dan juga karena ajaran Islam berisi tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangn dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula yang bertugas mendidik adalah para Nabi dan Rasul selanjutnya para ulama, dan cerdik pandailah sebagai penerus tugas, dan kewajiban mereka. Pendidikan agama dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengaktualkan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia, upaya tersebut dilaksanakan siswa tanpa pamrih apapun kecuali untuk semata-mata beribadah kepada Allah Swt.
31
Ahli lain juga menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah sebagai proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertakwa agar manusia menyadari kedudukannya, tugas sdan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara hubungannya dengan Allah Swt. dirinya sendiri, masyarakat dan alam selitarnya serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya). Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: a. Al-Syaibany mengemukakan pendidikan agama Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. b. Muhammad Fadhil Al-Jamaly mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya oengembangn, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensial akal, perasaan maupun perbuatannya. c. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadara oleh pendidik terhadap
32
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). d. Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dari batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yamg memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat Islam selama hidup di dunia, atau bisa dikatakan bahwa pendidikan agam Islam adalah usaha sadar atau kegiatan yang disengaja dilakukan untuk membimbing sekaligus mengarahkan siswa didik menuju terbentuknya pribadi yang utama (insan kamil) berdasarkan nilai-nilai etika Islam denga tetap memelihara hubungan baik terhadap Allah Swt. (HablumminAllah) sesama manusia (Hablumminannas), dirinya sendiri dan alam sekitarnya. 2. Tujuan Pendidikan Agama Islam Secara etimologi, tujuan adalah “arah, maksud atau haluan” dalam bahasa Arab “tujuan” diistilahkan ghayât, Ahdâf, atau Maqâshid. Sementara dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “goal, purpose objectives” tercapai setelah usaha atau kegiatan selesai. Secara
umum,
pendidikan
agama
Islam
bertujuan
untuk
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman, peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang
33
beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 122:
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Qs. At-Taubah: 122). Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmaninya, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah Swt. Ini mengandung arti bahwa pendidikan agama Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam hubungannya dengan Allah Swt. dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
34
Tujuan utama dari pendidikan agama Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih , kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dan baik, memiloih suatu fadhilah karena cintra pada keutramaan, menghindari suatu perbuatan yang tercela, mengingat Allah Swt. dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Pendidikan agama Islam menghendaki dari setiap guru, supaya dalam mengikhtiarkan cara-cara yang berpendapat untuk membentuk adat istiadat yang baik, pendidikan akhlak, meningkatkan kemajuan kerja, mendidik panca indranya, dan membiasakan berbuat amal baik dan menghindari setiap kejahatan. Jadi, pendidikan merupakan suatu usaha dan kegiatan berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan maka tujuannya bertahap dan bertingkat.
C. Peraturan-peraturan
Pemerintah
tentang
Kebijakan
Pelakasanaan
Pendidikan Agama 1. Penyelenggaraan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah. Kegiatan
ekstrakurikuler
PAI
adalah
upaya
pemantapan,
pengayaan, dan perbaikan nilai-nilai, norma serta pengembangan bakat, minat, dan kepribadian peserta didik dalam aspek pengamalan dan
35
penguasaan kitab suci, keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, ibadah, sejarah, seni dan kebudayaan, dilakukan di luaqr jam intrakurikuler, melalui bimbingan guru PAI, guru mata pelajaran lain, tenaga kependidikan dan tenaga lainnya yang berkompeten, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah. Adapun jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah antara lain: a. Pesantren Kilat (SANLAT) b. Pembiasaan Akhlak Mulia (SALAM) c. Tuntas Baca Tulis Al-Quran (TBTQ) d. Ibadah Ramadhan (IRAMA) e. Wisata Rohani (WISROH) f. Kegiatan Rohani Islam (ROHIS) g. Pekan Keterampilan dan Seni (PENTAS) PAI h. Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) Tujuan penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah adalah membantu mewujudkan kompetensi siswa pada sekolah di bidang pemahaman, sikap dan pengamalan pendidikan agama Islam sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Fungsi kegiatan ekstrakurikuler PAI adalah memantapkan dan memperkaya
pelaksanaan
intrakurikuler PAI di sekolah.
program
dan
kegiatan
pembelajaran
36
Tugas dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler PAI pada sekolah adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler PAI pada tingkat satuan pendidikan menjadi tugas dan tanggung jawab kepala sekolah, pengawas dan guru PAI. b. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler PAI pada tingkat kecamatan menjadi tugas dan tanggung jawab Kelompok Kerja Pengawas (POKJAWAS) PAI, Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI bekerjasama dengan pemerintah daerah dan unit kerja yang menangani pendidikan di kecamatan yang bersangkutan. c. Pelaksanaan
kegiatan
ekstrakurikuler
PAI
pada
tingkat
Kabupaten/Kota menjadi tugas dan tanggung jawab Kandepag Kabupaten/Kota Cq. Seksi Mapenda/Kependa Islam bekerjasama dengan POKJAWAS PAI, KKG/MGMP PAI, Pemda dan unit kerja yang menangani pendidikan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. d. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler PAI pada tingkat Propinsi menjadi tugas dan tsnggung jawab Kanwil Departemen Agama Cq. Bidang Mapenda/Kependa Islam bejeejasama dengan POKJAWAS PAI, KKG/MGMP PAI, Pemda dan unit kerja yang menangani pendidikan di Propinsi yang bersangkutan. e. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler PAI pada tingkat Nasional menjadi tugas dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Pendidikan
37
Islam Departemen Agama bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendididkan Nasional, dan unit kerja lain yang peduli terhadap pendidikan agama Islam. Pendanaan
penyelengaraan kegiatan ekstrakurikuler PAI di
sekolah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) yang dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang tidak mengikat. 2. Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pendidikan
agama
adalah
pendidikan
yang
memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. a.Tujuan dan Ruang Lingkup 1). Tujuan pengelolaan pendidikan agama adalah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan agama yang bermutu di sekolah. 2). Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan
Agama
Katolik,
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan
Agama
Kristen,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu.
38
3). Pengelolaan pendidikan agama meliputi standar isi, kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan,
penyelenggaraan,
sarana
dan
prasarana,
pembiayaan, penilaian, dan evaluasi. b. Kewajiban-kewajiban Pasal 3 1). Setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. 2). Setiap peserta didik pada sekolah berhak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal 4 1). Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas paling sedikit 15 (lima belas) orang wajib diberikan pendidikan agama kepada peserta didik di kelas. 2). Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas kurang
dari
15
(lima
belas)
orang,
tetapi
dengan
cara
penggabungan beberapa kelas paralel mencapai paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama pada sekolah dilaksanakan dengan mengatur jadwal tersendiri yang tidak merugikan siswa untuk mengikuti mata pelajaran lain. 3). Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada sekolah paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama wajib dilaksanakan di sekolah tersebut.
39
4). Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada satu sekolah kurang dari 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerjasama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya. Guru
Pendidikan
Agama
minimal
memiliki
kualifikasi
akademik Strata 1/Diploma IV, dari program studi pendidikan agama dan/atau program studi agama dari Perguruan Tinggi yang terakreditasi dan memiliki sertifikat profesi guru pendidikan agama. Pasal 14, dijelaskan: a. Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri. b. Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dilakukan oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah. c. Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh sekolah atau penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. d. Dalam hal sekolah atau penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat menyediakan guru pendidikan agama, Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib menyediakan guru sesuai dengan kebutuhan.
40
e. Penyediaan guru oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah melalui proses verifikasi kelayakan untuk mendapat bantuan guru. f. Kebutuhan jumlah guru pendidikan agama ditetapkan oleh Menteri. 3. Fasilitas Ibadah di Sekolah a. Tempat beribadah berfungsi sebagai tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah. b. Banyak tempat beribadah sesuai dengan kebutuhan tiap SD/MI, dengan luas minimum adalah 12 m2. c. Tempat beribadah dilengkapi sarana prasarana. Dalam BAB VII tentang Sarana dan Prasarana dijelaskan pada Pasal 24, bahwa: (1) Setiap sekolah wajib dilengkapi dengan sarana dan prasarana sesuai stándar nasional pendidikan untuk
penyelenggaraan
pendidikan
agama yang meliputi, antara lain, sumber belajar, tempat ibadah, media pembelajaran, perpustakaan, dan laboratorium pendidikan agama. (2). Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, antara lain, kitab suci, buku teks dan buku penunjang, buku referensi agama,bahan bacaan, media cetak dan media elektronik untuk memperluas wawasan pendidikan agama.
41
(3) Buku teks sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan berdasarkan pertimbangan Menteri dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
D. Implementasi Kebijakan Agama di Sekolah Hingga kini masih ada sekolah berbasis agama menolak untuk memnuhi hak peserta didik mendapatkan pelajran agama yang dianutnya karena masih kuatnya ekslusivisme kelompok beragama. Kenyataan ini menunjukkan implementasi kebijakan pendidikan agama sesuai peraturan yang berlaku belum bisa berjalan maksimal. Pada Januari 2013 lembaga pendidikan Katolik di Blitar, lembaga pendidikan tersebut menolak memberi pelajaran agama non-Katolik kepada siswa agama lain. data dari Dinas Pendidikan setempat jumlah siswa Katolik tidak dominan karena dari total 3.168 murid di enam sekolah hanya 22,5 persen atau 713 murid beragama Katolik. Selebihnya Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Pihak lembaga bersikeras tidak memberikan pelayanan pendidikan agama atau menyediakan guru agama non-Katolik. Padahal, menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama, dijelaskan bahwa apabila terdapat sedikitnya 15 persen peserta didik yang seagama dalam satu kelas maka sekolah wajib memberikan pendidikan agama kepada mereka di kelas. Dalam laporan tahunan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di tegaskan, meski sekolah berciri agama, sekolah Katolik itu bersifat terbuka,
42
dan karenanya juga bisa menerima peserta didik beragama lain. karena itu sangat tidak adil, jika sekolah menolak menyediakan guru atau menolak menerima guru agama yang disediakan Kemendikbud atau Dinas Pendidikan setempat untuk memberi pelajaran agama sesuai agama murid.
E. Implikasi UU Sisdiknas terhadap Pendidikan Agama Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan diberlakukan pada tanggal 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal dan akomodatif dalam mengatur sistem pendidikan di Indonesia, termasuk sistem pendidikan Islam. Dijelaskan dalam Bab IV, pasal 5 : “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Konsep ini lebih menekankan pada pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada indikasi bahwa permasalahan menonjol yang dihadapi pendidikan nasional, yaitu : (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan. Implikasi terhadap pendidikan Islam, adalah menuntut agar pendidikan Islam ke depan dapat meningkatkan pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan,
serta
manajemen
pendidikan
bagi warga negara dalam
43
memperoleh pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi semua pihak itu tentu pula ditindaklanjuti dengan menghilangkan diskriminasi dari Pemerintah, baik antara sekolah swasta dengan negeri maupun Islam dengan umum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, ditegaskan perlu adanya kerja sama yang lebih erat, kokoh, teratur dan merata antara Pemerintah, masyarakat dan sekolah (negeri/swasta) dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di dunia pendidikan termasuk dunia pendidikan Islam, terutama terkait dengan masalah pemerataan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan, serta manajemen pendidikan. Ditetapkan dalam Bab V, pasal 12 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : “mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”, dan “mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya”. Substansi Bab ini menekankan arti pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik yang sesuai dengan agama yang dianutnya, karena bertujuan untuk melindungi akidah agama dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal ini sebagai realisasi dari Pancasila, terutama sila pertama : “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 3 : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
44
kehidupan bangsa …”, serta untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Dalam pasal 40 ayat 2 inilah inti dalam Bab XI. Dalam pasal dan ayat tersebut dijelaskan : “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Konsep yang ideal ini jika dapat diaplikasikan dalam setiap penyelenggaraan satuan pendidikan Islam, maka akan terwujud akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, dan pada gilirannya akan mewujudkan kemajuan suatu bangsa dan negara. Sebagaimana ditetapkan dalam Bab XII pasal 45 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”. Pasal ini menekankan pentingnya sarana dan prasarana dalam satuan pendidikan, sebab tanpa didukung adanya sarana dan prasarana yang relevan, maka pendidikan tidak akan berjalan secara efektif. Pendayagunaan sarana dan prasarana (hardware) tidak hanya secara fungsional membuat lembaga pendidikan Islam bersifat efektif, efisien, melainkan lebih dari itu akan memunculkan citra di mata publik sebagai
45
lembaga yang bergengsi. Namun di sini yang lebih ditekankan adalah sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan semua potensi peserta didik, dan disesuaikan dengan kondisi daerah di mana satuan pendidikan
itu
menggunakannya.
diselenggarakan,
serta
kemampuan
pengelola
dalam