Artikel Asli
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS PENDEKATAN SINDROM DAN JUMLAH SEL POLIMORFONUKLEAR (PMN) PADA INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS GENITAL WANITA DIBANDINGKAN DENGAN HASIL PEMERIKSAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Danang T Wahyudi, Erdina HD Pusponegoro, Syaiful F Daili Departemen IK. Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo – Jakarta.
ABSTRAK Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan infeksi menular seksual (IMS) tersering yang dilaporkan dan terbanyak mengenai wanita remaja dan dewasa muda, sekitar 70% infeksi klamidia tidak memberi gejala, sehingga pemeriksaan rutin pasien terinfeksi penting untuk mencegah perkembangan menjadi penyakit radang panggul, infertilitas, kehamilan ektopik, infeksi perinatal, dan bahkan kanker serviks. Salah satu cara dalam penatalaksanaan IMS ialah pendekatan sindrom, cara ini dikembangkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) dalam bentuk bagan alur atau algoritme untuk membantu petugas kesehatan dalam mendiagnosa CT secara cepat. Peningkatan jumlah leukosit PMN adalah salah satu tanda infeksi. Pada pewarnaan Gram dari duh tubuh endoserviks dengan endoservisitis klamidia didapatkan jumlah PMN > 30 /lapang pandang besar (LPB). Gejala klinis serta pemeriksaan PMN tersebut dapat dijadikan indikator visual untuk memprediksi adanya infeksi CT (diagnosis presumtif/tersangka/kerja), sehingga dapat segera ditatalaksana. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Menilai proporsi infeksi CT berdasarkan pemeriksaan PCR. 2. Menilai sensitivitas dan spesifisitas pendekatan sindrom dan jumlah PMN >30/LPB pada infeksi CT genital wanita dibandingkan dengan pemeriksaan PCR. Subyek penelitian adalah wanita pekerja seksual (WPS) yang direkam tentang karakteristik, gejala subyektif (keputihan dan perdarahan setelah koitus), dan gejala objektif (duh mukopurulen dan serviks mudah berdarah), serta pemeriksaan laboratorium berupa spesimen endoserviks untuk menghitung PMN Gram dan pemeriksaan Amplicor ® PCR. Hasil penelitian menunjukkan subyek penelitian (SP) terbanyak adalah kelompok usia 20-24 tahun, berpendidikan rendah, sebanyak 37 orang (67,27%). Sebagian besar SP belum menikah (63,64%). Rerata umur melakukan hubungan seks untuk pertama kali adalah 17,67 + 1,62 tahun. Rerata jumlah tamu keseluruhan dalam satu bulan terakhir sebanyak 31,11 + 21,36 orang. Hasil pemeriksaan PCR Amplicor®, menunjukkan 23 orang (41,8%) SP terinfeksi CT. Serviks yang mudah berdarah terdapat pada 13 orang dengan hasil PCR positif di antara 23 orang SP (sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5% dengan akurasi sebesar 60%). Duh tubuh mukopurulen didapatkan pada 18 orang dari 23 orang SP dengan hasil PCR positif (sensitivitas 78,3% dan spesifisitas 31,3% dengan akurasi sebesar 50%). Bila serviks mudah berdarah dan duh mukopurulen secara bersama dihubungkan dengan hasil pemeriksaan PCR diperoleh hasil sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5% dengan akurasi 60%, sehingga sebagai gabungan kedua manifestasi klinis tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis.
ABSTRACT Genital Chlamydia trachomatis (CT) infection is the most common sexually transmitted infection (STI) and mostly on teenager and young adult female. Around 70% chlamydial infection are unsymptomatic, therefore routine examination are important on infected patient to prevent it from developing into pelvic inflammatory disease, infertility, ectopic pregnancy, perinatal infection and also cervical cancer. Syndromic approach is one of STI assesment, this procedure develop by World Health Organization (WHO) in algorithmic form to help health worker diagnose CT rapidly. Increasing number of polymorphonuclear (PMN) leucocyt is one of infection signs. Gram staining result from endocervical discharge with chlamydial endocervicitis, total PMN are >30/wide visual area. This clinical symptoms and PMN leucocyt count (Gram staining) can be use as visual indicator to diagnose CT infection (presumtive/working diagnose), so that treatment can be given as early as possible. This research been done to compare sensitivity and spesificity of syndromic approach and Gram staining (PMN leucocyt >30/wide visual area) with PCR examination as cultur replacement. Research aim are: 1. To have proportion of CT infection from PCR examination. 2. To compare sensitivity and spesivicity of syndromic approach and PMN leucocyt >30/wide visual area with PCR examination.
1
Subjects are female sex workers, with characteristic, subjective signs (genital discharge and postcoital bleeding) and objective symptoms (mucopurulent discharge and friability) being recorded, and also endocervical speciment for Gram staining and PCR Amplicor testing being taken to laboratory. Study results shows, subjects generally belong to 20-24 group of age and low education, with total 37 persons (67.27%). Most subjects are unmarried (63.64%). Mean age of first sexual intercourse are 17.67 1.62 years. Mean total guests in last one month are 31.1121.36 persons. Results of PCR Amplicor testing, shows 23 subjects (41.8%) are infected with CT. Friability are found in 13 subjects from 23 subjects with positive PCR result (56.5% sensitivity, 62.5% specivicity with 60% acuracy). Mucopurulent discharge are found in 18 out of 23 subjects with positive PCR result (78.3%sensitivity, 31.3% specivicity with 50.9% acuracy). This results shows that each symptom, individually, can not be use as diagnostic criteria. Result from combination of mucopurulent discharge and friability compared to PCR testing are 56.5% sensitivity and 62.5% specivicity with 60% acuracy, therefore as combination this clinical manifestation also can not be use as diagnostic criteria
PENDAHULUAN Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan infeksi menular seksual (IMS) tersering yang dilaporkan dan terbanyak mengenai wanita remaja dan dewasa muda, yaitu sekitar 10-40%.1 Berdasarkan hasil penelitian infeksi klamidia pada kelompok wanita pekerja seksual (WPS) pada tahun 1992, prevalensi infeksi CT di Jakarta sebesar 35,48% dan di Medan sebesar 45%.2 Penelitian tahun 2001 terhadap WPS jalanan yang dibina di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT sebesar 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®.3 Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya menunjukkan prevalensi infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1% berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) >30/lapang pandang besar (LPB) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram pada sediaan apus serviks.4 Umumnya infeksi oleh klamidia tidak memberi gejala, sehingga pemeriksaan rutin pasien terinfeksi penting untuk mencegah perkembangan menjadi penyakit radang panggul, infertilitas, kehamilan ektopik, infeksi perinatal, dan bahkan kanker serviks.1,5-7 Wanita dapat membawa kuman CT dalam waktu lama tanpa menunjukkan gejala pada traktus urogenitalisnya. Gejala pada wanita umumnya berupa servisitis, uretritis, bartolinitis, endometritis, salpingitis.1 Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi infeksi CT antara lain umur, riwayat perilaku seksual, dan hasil pemeriksaan klinis. 8 Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Atlanta, Amerika Serikat merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir, serta wanita hamil.9 Terdapat berbagai pemeriksaan penunjang sebagai konfirmasi diagnosis CT dengan kelebihan dan kekurangannya. Kultur jaringan sebagai baku emas memiliki spesifitas mencapai 100% dan sensitivitas 3088% bila dilakukan oleh tenaga ahli.1 Pemeriksaan bukan kultur, misalnya pemeriksaan direct fluorescence antibody, enzyme immuno assay (EIA)/ELISA), pemeriksaan dengan hibridisasi DNA, misalnya uji PACE 2 (Gen probe). Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan in vitro untuk mendeteksi amplifikasi DNA atau RNA CT, menggunakan spesimen yang diambil dari serviks, uretra, atau urin. 11 Pemeriksaan ini sangat sensitif karena mampu mendeteksi 1-10 badan elementer dan spesifisitasnya sebanding dengan kultur.10,12 Sensitivitas dan spesifisitas metode Amplicor® PCR berturut-turut sebesar 91,7% dan 99,7%,13 sehingga uji amplifikasi asam nukleat, khususnya Amplicor ® PCR, telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk menggantikan metode kultur sebagai baku emas uji diagnostik infeksi CT.14-16 Keterbatasan PCR dibandingkan dengan kultur adalah tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan resistensi antibiotik, serta tidak dapat diulang kembali. 6 Pendekatan sindrom merupakan salah satu cara dalam penatalaksanaan IMS. Cara ini dimaksudkan untuk negara berkembang yang memiliki keterbatasan sarana laboratorium. Dalam mendiagnosis duh tubuh vagina, pendekatan sindrom hanya berdasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan inspekulo. Namun cara ini dapat mengakibatkan tidak terdeteksinya pasien yang asimtomatik atau bahkan pasien mendapatkan pengobatan yang berlebihan.17 Gejala klinis yang diperkirakan dapat memprediksi infeksi CT berupa sekret endoserviks mukopurulen/berwarna putih kekuningan, dan serviks yang mudah berdarah (rapuh). Sekret serviks mukopurulen, berwarna hijau atau kuning, dapat ditemukan pada infeksi klamidia maupun infeksi gonokok, serta sulit dibedakan antara kedua infeksi tersebut.18 Sesuai dengan penelitian terdahulu dan acuan
2
kepustakaan, hasil pemeriksaan sediaaan apus duh tubuh endoserviks dengan pewarnaan Gram pada wanita dengan endoservisitis didapatkan jumlah leukosit PMN lebih dari 30/LPB.19,20 Gejala klinis serta pemeriksaan PMN tersebut dapat dijadikan indikator visual untuk memprediksi infeksi CT, sehingga dapat segera ditangani.1,19,20 Makalah ini merupakan hasil penelitian di PSKW Mulya Jaya yang merupakan pusat rehabilitasi WPS berlokasi di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Peneliti membandingkan sensitivitas dan spesifisitas memakai cara pendekatan sindrom dan laboratorium sederhana (pewarnaan Gram) dengan pemeriksaan PCR sebagai pengganti kultur (baku emas), guna mendapatkan cara diagnosis infeksi CT yang mudah dan murah, karena ketersediaan alat penunjang infeksi CT yang masih jarang di Indonesia.
MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan uji diagnostik, menggunakan disain potong lintang dengan pemeriksaan PCR sebagai baku emas. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006 sampai terpenuhi jumlah sampel yang diinginkan. Subyek penelitian adalah WPS yang dibina di PSK Wanita Mulya Jaya Pasar Rebo, Jakarta Timur. Anamnesis, pemeriksaan venereologis dan pengambilan spesimen dilakukan di PSKW Mulya Jaya Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pemeriksaan Gram dilakukan di Laboratorium Divisi Infeksi Menular Seksual, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM, Jakarta, dan pemeriksaan PCR dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Wanita pekerja seksual yang melakukan kegiatan seksual dalam 1 bulan terakhir dan bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah mendapat penjelasan (informed consent) diikutsertakan sebagai subyek penelitian. Apabila sedang mengalami menstruasi dan sudah melakukan histerektomi total tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini sebanyak 55 orang dihitung berdasarkan formula statistik untuk uji diagnostik yang sesuai. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan laboratorium yang dicatat dalam status penelitian. Pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen endoserviks yang diambil dengan swab steril untuk pemeriksaan hitung PMN dengan pewarnaan Gram dan Amplicor® PCR. Subyek penelitian dengan infeksi CT yang terdeteksi secara PCR diobati dengan Azitromisin 1 g dosis tunggal. Data diolah dan disusun menggunakan perangkat SPSS versi 11.5. Pada variabel kuantitatif dilakukan penghitungan nilai rerata (mean) dan simpang baku, dilengkapi dengan interval kepercayaan 95%. Hubungan antara dua variabel kualitatif dinilai dengan uji Chi Square bila memenuhi syarat atau dengan uji mutlak Fisher. Hubungan antara hasil pemeriksaan indikator klinis dan PCR dinilai dengan uji Mac Nemar serta dilanjutkan dengan perhitungan nilai sensitifitas, nilai spesifisitas, nilai akurasi menggunakan JAVA stat contingency table. Batas kemaknaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5%.
HASIL PENELITIAN Karakteristik sosiodemografik subyek penelitian (SP) pada penelitian ini terangkum di tabel 1. Didapatkan SP termuda berusia 18 tahun, sebanyak dua orang. Rerata usia SP 21,65 3,01 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah 20-24 tahun, yaitu sebanyak 39 orang (70,90%). Hasil penelitian terdahulu oleh Pandjaitan-Sirait pada tahun 2001 di tempat yang sama, kelompok usia terbanyak adalah 2545 tahun (43,3%).3 Usia 20-24 tahun ini sesuai dengan usia wanita yang dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan untuk infeksi CT oleh CDC. Pada penelitian ini sebagian besar SP berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 37 orang (67,27%). Di tempat yang sama pada tahun 2001, Pandjaitan-Sirait mendapatkan kelompok pendidikan menengah sedikit lebih banyak (48,9%) dibandingkan dengan pendidikan rendah (46,8%).3 Demikian pula penelitian oleh Nilasari (2002) juga mendapatkan SP terbanyak dengan kelompok pendidikan menengah (87.2%), 21 dan Nasution (2006) pun mendapatkan kelompok dengan pendidikan menengah merupakan kelompok terbanyak (62,3%).22 Hasil penelitian ini memperlihatkan tingkat pendidikan rendah lebih banyak
3
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, sesuai dengan makin mudanya rerata usia SP, dan hal tersebut kemungkinan berhubungan pula dengan makin tingginya tingkat kesulitan ekonomi. Sebagian besar SP belum menikah (63,64%). Hal tersebut sebenarnya kurang sesuai dengan rerata usia SP, tetapi bila melihat jumlah SP yang berusia 18-20 tahun cukup banyak, maka sewajarnya sebagian besar belum menikah. Sebagian besar SP (72,73%) menggunakan alat kontrasepsi pil. Hal tersebut dapat dimengerti sebab pil lebih mudah didapat dan cara pemakaiannya mudah tanpa melakukan tindakan invasif. Hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi pada WPS di 10 kota Indonesia (2005) mendapatkan cara kontrasepsi terbanyak yang digunakan berupa cara suntik (40%) dan yang paling jarang digunakan adalah kondom (1%).23 Pada penelitian ini SP pengguna kondom sebanyak 3,64%. Sedikitnya penggunaan kondom secara umum meningkatkan risiko tertular IMS khususnya infeksi CT. Kecilnya angka penggunaan kondom kemungkinan adalah akibat keengganan tamu menggunakan kondom namun WPS tidak mampu membujuk tamu karena khawatir kehilangan pelanggan. Tabel 1. Distribusi karakteristik sosiodemografik WPS di PSKW Mulya Jaya, Maret-Juni 2006 (n=55 orang) Karakteristik
n
%
Kelompok umur ≤ 19 tahun 20-24 tahun 25-45 tahun ≥ 45 tahun
9 39 7 0
16,36 70,90 12,72 0
Tingkat pendidikan Rendah Menengah
37 18
67,27 32,73
Status perkawinan Belum menikah Menikah Janda/cerai
35 5 15
63,64 9,09 27,27
Jenis alat kontrasepsi yang dipakai Tidak ada 2 3,64 Pil 40 72,73 Suntik 11 20,00 Kondom 2 3,64 AKDR 0 0 Susuk 0 0 n= jumlah; %= persen, AKDR: alat kontrasepsi dalam rahim, WPS = wanita pekerja seksual
Data karakteristik perilaku seksual dan keluhan genital yang didapatkan dari anamnesis disajikan pada tabel 2. Usia termuda berhubungan seks untuk pertama kali pada yaitu 15 tahun didapati pada delapan orang (14,54%), dan usia tertua berhubungan seks pertama kali yaitu pada usia 22 tahun terdapat pada satu orang (1,82%). Rerata umur melakukan hubungan seks untuk pertama kali pada usia 17,67 + 1,62 tahun. Hal ini sesuai dengan salah satu faktor risiko kemungkinan terkena infeksi CT, yaitu aktif secara seksual di usia <20 tahun. Terdapat 4 orang (7,27%) SP yang baru bekerja sebagai WPS selama satu bulan. Sedangkan satu orang memiliki waktu kerja sebagai WPS terlama yaitu 84 bulan (1,82%). Rerata lama bekerja sebagai WPS adalah selama 15,75 + 16,40 bulan. Dalam satu bulan terakhir, didapatkan seorang SP yang menerima satu orang tamu dan satu orang lainnya yang menerima tamu sebanyak 92 orang. Rerata jumlah tamu keseluruhan dalam satu bulan terakhir sebanyak 31,11 + 21,36 orang. Rerata jumlah tamu satu bulan terakhir tersebut mendukung salah satu faktor risiko terjadinya infeksi CT yaitu memiliki >1 pasangan seksual dalam 3 bulan terakhir. Pandjaitan-Sirait mendapatkan rerata jumlah tamu per minggu 1-5 orang, yaitu sebesar 87,8%3 sedangkan Jacoeb pada tahun 1995, pada lokasi yang sama, mendapatkan persentase terbesar pada kelompok yang menerima 6-10 orang perminggu (46%).24 Keputihan dikeluhkan oleh 44 orang (80,00%) SP, sedangkan dengan keluhan disuria sebanyak 4 orang (7,27%), perdarahan setelah koitus 1 orang (1,82%), nyeri pada saat berhubungan seksual, dan nyeri
4
panggul, masing-masing berjumlah 9 orang (16,36%). Keluhan keputihan tersebut bisa disebabkan oleh infeksi IMS maupun bukan IMS karena gejala infeksi genitalia wanita yang tersering adalah keputihan. Tabel 2. Distribusi karakteristik perilaku seksual dan keluhan genital WPS di PSKW Mulya Jaya, Maret-Juni 2006 (n=55 orang)
Karakteristik
n
%
8 42 5
14,54 76,36 9,09
35 20
63,64 36,36
4 31 14 6
7,27 56,36 25,45 10,90
11 44
20,00 80,00
Tidak ada
51
92,73
Ada
4
7,27
Tidak ada
54
98,18
Ada
1
1,82
Tidak ada
46
83,64
Ada
9
16,36
Tidak ada
46
83,64
Ada
9
16,36
Usia pertama kali melakukan hubungan seksual < 15 tahun 16-19 tahun > 19 tahun Lama kerja sebagai WPS < 12 bulan > 12 bulan Jumlah tamu dalam 1 bulan terakhir < 10 orang 11-30 orang 31-50 orang > 50 orang Keluhan keputihan Tidak ada Ada Keluhan disuria
Keluhan perdarahan setelah koitus
Keluhan nyeri pada saat hubungan seksual
Keluhan nyeri panggul
n= jumlah; %= persen WPS= wanita pekerja seksual
Hasil pemeriksaan PCR Amplicor®, menunjukkan 23 orang (41,8%) SP terinfeksi Chlamydia trachomatis. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi WPS di 10 kota Indonesia pada tahun 2005, yang juga menggunakan pemeriksaan PCR Amplicor®, dengan klamidiosis di Jakarta Barat sebesar 40%.23 Sedangkan deteksi asam nukleat dengan teknik hibridisasi probe DNA (PACE 2®) yang dilakukan oleh Pandjaitan-Sirait di tahun 2001 pada tempat yang sama dengan penelitian ini mendapatkan 31,1% WPS positif terinfeksi CT.3 Perbedaan hasil tersebut terjadi karena perbedaan sensitivitas, pemeriksaan PCR Amplicor® memberi hasil lebih tinggi dibandingkan deteksi asam nukleat dengan teknik hibridisasi probe DNA (PACE 2®) . Hubungan manifestasi klinis yang didapatkan dari pemeriksaan venereologis dibandingkan dengan kepositivan PCR disajikan di tabel 3.
5
Tabel 3. Hubungan manifestasi klinis dengan kepositivan Chlamydia trachomatis secara PCR pada WPS (n=55) di PSKW Mulya Jaya, Maret-Juni 2006 Chlamydia (Amplicor®)
Nilai p
Sensitivitas (IK 95%)
Spesifisitas (IK 95%)
Akurasi (IK 95%)
Positif
Negatif
13 10
12 20
0,162
56,5% (41,1%-70,6%)
62,5% (51,4%-72,6%)
60,0% (47,1%-71,8%)
18 5
22 10
0,545
78,3% (64,4%-89,4%)
31,3% (21,3%-39,2%)
50,9% (39,3%-60,2%)
13 10
12 20
0,162
56,5% (41,1%-70,6%)
62,5% (51,4%-72,6%)
60,0% (47,1%-71,8%)
Serviks mudah berdarah (Fr) Ada Tidak ada Duh serviks mukopurulen (Mp) Ada Tidak ada Mp dan Fr Ada Tidak ada
IK= interval kepercayaan; nilai p= nilai prediktif
Serviks yang mudah berdarah terdapat pada 13 orang dengan hasil PCR positif di antara 23 orang SP, dengan sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5%, akurasi sebesar 60%. Diallo (1998) mendapatkan hasil 45% di antara 239 orang SP mengalami serviks mudah berdarah sebagai salah satu gejala infeksi CT pada serviks.25 Hasil ini menunjukkan bahwa gejala serviks mudah berdarah tidak dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Duh tubuh mukopurulen didapatkan pada 18 orang dari 23 orang SP dengan hasil PCR positif (sensitivitas 78,3%) dan 10 orang SP tanpa duh tubuh mukopurulen di antara 32 orang dengan hasil PCR negative (spesifisitas 31,3%). Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Diallo (1998) yang mendapatkan 37% mengalami duh tubuh mukopurulen.25 Alary (1998) juga mendapatkan 14,3% SP memberi gejala duh tubuh mukopurulen diantara 192 orang SP. 26 Pada penelitian ini walaupun angka sensitivitas terlihat agak tinggi, tetapi akurasi yang didapat hanya sebesar 50,9% sehingga tetap dianggap rendah. Hasil ini menunjukkan gejala duh tubuh mukopurulen tidak dapat digunakan sebagai criteria diagnosis. Bila serviks mudah berdarah dan duh mukopurulen secara bersama dihubungkan dengan hasil pemeriksaan PCR diperoleh hasil sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5% dengan akurasi 60%, sehingga sebagai gabungan kedua manifestasi klinis tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Bila ditinjau hubungan antara manifestasi klinis dengan hasil pemeriksaan PCR, perolehan sensitivitas terbesar terlihat pada duh tubuh mukopurulen (78,3%), dan spesifitas terbesar bila didapatkan serviks yang mudah berdarah (62,5%). Terlihat bahwa duh tubuh mukopurulen memiliki sensitivitas yang tampak tinggi, walaupun harus diingat bahwa infeksi N. gonorrhoeae juga dapat memperlihatkan duh tubuh mukopurulen, dan sering terjadi infeksi silang antara keduanya. Sedangkan serviks mudah berdarah dapat digunakan untuk membedakan individu sehat dengan yang sakit, atau bila tidak ditemukan kerapuhan serviks, maka kemungkinan bukan infeksi CT. Tabel 4. Hubungan temuan pemeriksaan sediaan apus serviks dengan pewarnaan Gram dan kepositivan CT secara PCR pada WPS (N=55) di PSKW Mulya Jaya Maret – Juni 2006 Chlamydia Nilai Sensitifitas Spesitifisitas Akurasi p (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) (Amplicor®) Positif Negatif Jumlah PMN > 30 / LPB 0,020 52,2% 78,1% 67,3% Ya 12 7 (37,3%-64,6%) (67,4%-87,1%) (54,8%-77,7%) Tidak 11 25 PMN= polimononuklear; LPB= Lapang pandang besar; IK= interval kepercayaan; nilai p= nilai prediktif CT= Chlamydia trachomatis, PCR= polymerase chain reaction, WPS= wanita pekera seksual, PSKW= panti sosial karya wanita
6
Bila dari hasil laboratorium apusan serviks dengan pewarnaan Gram ditemukan jumlah PMN > 30/LPB, didapatkan sensitivitas sebesar 52,2%. Dengan demikian variabel ini tidak dapat digunakan untuk melihat kepositivan infeksi CT. Walaupun spesifisitas tampak tinggi, yaitu 78,1%, tetap belum memenuhi ketentuan untuk digunakan sebagai tolok ukur apalagi angka akurasi hanya sebesar 67,3%, sedangkan angka yang dianggap bermakna harus > 80%. Tabel 5. Hubungan temuan klinis dan laboratorium sederhana dengan kepositivan CT secara PCR pada WPS (n=55) di PSKW Mulya Jaya, Maret-Juni 2006 Chlamydia Nilai p Sensitivitas Spesifisitas Akurasi (Amplicor®) (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) Positif Negatif Mp & PMN>30/LPB Ada Tidak ada Fr & PMN>30/LPB
10 13
5 27
0,032
Ada Tidak ada Mp & Fr & PMN>30/LPB
13 10
12 20
0,162
43,6% (29,5% - 54,4%)
56,5% (41,1% -70,6%)
84,4% (74,3% - 92,2%)
67,3% (55,6% -76,4%)
62,5% (51,4% -72,6%)
60,0% (47,1% - 71,8%)
Ada 13 11 0,102 56,5% 65,6% 61,8% Tidak ada 10 21 (41,1% -70,4%) (54,5% - 75,6%) (48,9% - 73,4%) Mp= mukopurulen (duh serviks); Fr= friabilitas; PMN= polimorfonuklear; LPB= Lapang pandang besar; IK= interval kepercayaan CT= Chlamydia trachomatis, PCR= polymerase chain reaction, WPS= wanita pekera seksual, PSKW= panti sosial karya wanita
Data hasil pemeriksaan gejala klinis dan laboratorium sederhana pada tabel 4 memperlihatkan hubungan antara duh tubuh mukopurulen dan jumlah PMN >30 / LPB pada pewarnaan Gram dengan kepositivan secara PCR didapatkan sensitivitas sebesar 43,6% dan spesifisitas sebesar 84,4%, dengan nilai p 0,032, tetapi akurasi yang didapatkan hanya sebesar 67,3%, sehingga tetap tidak dapat digunakan sebagai sebuah indikator infeksi CT. Demikian pula dari hubungan antara gejala serviks yang mudah berdarah dan jumlah PMN >30/LPB diperoleh sensitivitas sebesar 56,5% dengan spesifisitas sebesar 62,5% dan nilai akurasi 60%. Hubungan antara duh tubuh mukopurulen, serviks yang mudah berdarah dan jumlah PMN >30/LPB dengan kepositivan PCR, diperoleh sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 65,6%, dengan nilai akurasi 61,8%. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa gejala klinis ditemukannya duh tubuh mukopurulen, serviks mudah berdarah dan jumlah PMN >30 / LPB tidak dapat digunakan sebagai indikator infeksi CT.
KESIMPULAN Proporsi infeksi CT berdasarkan pemeriksaan Amplicor® PCR dari apusan endoserviks WPS di PSKW Mulya Jaya Jakarta sebesar 41,8%. Tidak ditemukan nilai sensitivitas yang cukup tinggi dengan cara pendekatan sindrom dan jumlah PMN >30/LPB dari sediaan apus duh tubuh serviks dengan pewarnaan Gram baik secara tunggal maupun gabungan. Disimpulkan bahwa pemeriksaan ini tidak dapat digunakan sebagai cara mendiagnosis infeksi CT genital wanita pada fasilitas kesehatan dengan sarana laboratorium sederhana.
7
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12.
13.
14. 15. 16. 17.
18. 19. 20. 21.
22.
23.
24.
25. 26.
Black CM. Current methods of laboratory diagnosis of Chlamydia trachomatis Infections. Clin Microbiol Rev 1997; 10: 160-84. Hakim L. Epidemiologi penyakit menular seksual. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J, penyunting. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1997: 1-14 Pandjaitan-Sirait, SMHA. Perbandingan Hasil Deteksi Chlamydia trachomatis cara Probe DNA dan ELISA Chlamydiazyme pada endoserviks pekerja seks komersial wanita di Panti Sosial Karya Wanita di Jakarta. Tesis, 2001. Rekapitulasi penyakit yang diderita siswa Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya, Pasar Rebo, Jakarta Timur tahun 2004-2005. Staf Pengajar FKUI. Mikrobiologi Kedokteran – Buku Ajar. Binarupa Aksara, 1993 Laporan morbiditas pengunjung poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual FKUI/RSCM 2006. Hammerschlag MR. New diagnostic methods for Chlamydia Infection in Women. Medscape General Medicine 1(3), 1999. Disitasi dari www.medscape.com Chlamydial Screening Among Sexually Active Young Female Enrollees of Health Plans – United States, 19992001.MMWR 53(42):983-5, 2004. Disitasi dari . www.medscape.com Tapsall J. Antimicrobial resistence in Neisseria gonorrhoeae. World Health Organization, 2001: 1-13 Cook RL, Hutchison SL, Ostergaard L, Braithwaite S, Ness RB. Systematic review non invasive testing for Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae. Ann Intern Med 2005; 142: 914-25 Martin DH, Nsuami M, Schachter J, Hook III EW, Ferrero D, Quinn TC, dkk. Use of multiple nucleic acid amplification tests to define the infected-patient “gold standard” in clinical trials of new diagnostic tests for Chlamydia trachomatis infections. J Clin Microbiol 2004; 42: 4749-58. Burstein GR, Zenilman JM, Gaydos CA, Diener-West M, Howell MR, Brathwaite W dkk. Predictors of repeat Chlamydia trachomatis infections diagnosed by DNA amplification testing among inner city females. Sex Transm Inf 2001; 77: 26-32. Stamm WE. Chlamydia trachomatis infections in the adult. Dalam: Holmes KK, Mardh PA. Sparling PF, Lemon SM, Stamm WE, Piot P, dkk., penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill Co, 1999; 407-22. Chlamydia trachomatis infection in the Adult. Dalam: Adimora AA, Hamilton H, Holmes KK, Sparling PF. penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill.Inc, 1994: h. 41-55. Sellors J, Howard M, Pickard L Dan Jang, Mahony J, Chernesky M. Chlamydial cervicitis: testing guidelines for presumptive diagnosis. Can Med Assoc J 1998; 158(1): 41-6. Myziuk L, Romanowski B, Brown M. Endocervical Gram stain smears and their usefulness in the diagnosis of Chlamydia trachomatis. Sex Transm Inf 2001; 77:103-6. Jespersen DJ, Flatten KS, Jones MF, Smith TF. Prospective comparison of cell cultures and nucleic acid amplification tests for laboratory diagnosis of Chlamydia trachomatis infections. J Clin Microbiol 2005; 43: 53246. Toye B, Peeling RW, Jessamine P, Claman P, Gemmil I. Diagnosis of Chlamydia trachomatis infections in asymptomatic men and women by PCR Assay. J Clin Microbiol 1996; 34: 1396-400. Houry DE. Chlamydia. Dalam: Lavely R, Talavera F, Handler JA Halamka J, Plantz SH, penyunting. Medicine.eMedicine.com, Inc. 2005. Fadiman KH, Goldman SM. American college of preventive medicine practice policy statement: screening for Chlamydia trachomatis. Am J Prev Med 2003; 24: 287-92. Pusponegoro HD, Wila Wirya IGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SZ. Uji diagnostik. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung seto, 2002. h. 16685. Nilasari H. Perbandingan proporsi kepositivan cara pemeriksaan sediaan basah dan cara pewarnaan Giemsa untuk deteksi trikomonas vaginalis pada pekerja seks komersial wanita di panti rehabilitasi (Panti Sosial Mulya Jaya) Pasar Rebo, Jakarta Timur Jakarta. Tesis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI, 2002. Whittington WLH, Kent C, Kissinger P, Oh MK, Fortenberry JDF, Hills SE, dkk. Determinants of persistent and recurrent Chlamydia trachomatis infection in young women: Results of a multicentre cohort study. Sex Transm Dis 2001; 28: 117-23. Program Aksi Stop AIDS (ASA)-Family Health International (FHI), DitJen Pengendalian Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (P2M&PL), Departemen Kesehatan Indonesia. Laporan hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi pada wanita penjaja seks di 10 kota di Indonesia, 2005. Jacoeb TNA. Perubahan kadar IgG antiklamidia serum setelah pemberian doksisiklin oral pada wanita risiko tinggi. Tesis Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: FKUI, 1995. Diallo MO, Ghys PD, Vuylsteke B, Ettiegne-Traore V, Gnaore E, Soroh D. Evaluation of simple diagnostic algorithms for Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatis cervical infections in female sex workers in Abidjan, Cote d’Ivoire. Sex Transm Inf 1998; 74(1): S106-S11.
8
Alamat Penulis: Departemen IK. Kulit dan Kelamin FKUI/RSUP Dr. CIpto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp/Fax. 021 – 31935383 Email:
[email protected]
9