DAMPAK D K KEBIJA AKAN PE ENURUN NAN TING GKAT SU UKU BUN NGA DAN N PENING GKATAN N PENAW WARAN MINY YAK SAW WIT TERH HADAP PRODUK P KSI FATTY ACID A DI INDONE ESIA
KIK KI WIRA KURNIADI K I
DEPA ARTEMEN N EKONOM MI SUMBE ERDAYA DAN D LING GKUNGAN N FAK KULTAS EK KONOMI DAN MAN NAJEMEN N INSTITU UT PERTA ANIAN BOG GOR BOGO OR 2013 3
RINGKASAN KIKI WIRA KURNIADI. Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia (dibimbing oleh NOVINDRA). Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 41.49 juta jiwa, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia cukup besar yaitu 15.90 persen pada tahun 2010. Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia. Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi minyak sawit yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler effect) yang sangat signifikan. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan. Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 10 persen produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk oleokimia yaitu fatty acid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menganalisis dampak penurunan tingkat suku bunga dan kenaikan penawaran minyak sawit domestik terhadap produksi, penawaran, permintaan dan harga dari komoditas fatty acid serta harga dan permintaan dari komoditas minyak sawit domestik. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan dengan metode two-stage least squares (2-SLS). Hasil estimasi model yang diperoleh selanjutnya diuji dengan uji statistik-F, uji statistik-t, uji ekonometrika yaitu uji statistik DurbinWatson dan Durbin-h. Setelah model dinyatakan valid, selanjutnya dilakukan simulasi kebijakan dengan menggunakan software SAS 9.0 for Windows. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap produksi fatty acid domestik adalah perubahan harga riil minyak sawit domestik, perubahan tingkat suku bunga, dan teknologi. Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indonesia menyebabkan penurunan terhadap harga riil fatty acid
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2013
Kiki Wira Kurniadi H44080037
domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik, dan permintaan minyak sawit domestik. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan harga riil minyak sawit domestik, dan harga riil fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, dan penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indonesia dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan terhadap harga riil fatty acid domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik. Dalam rangka mendorong meningkatnya kapasitas produksi fatty acid domestik, pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan penurunan suku bunga bagi investor dan diiringi dengan kebijakan yang berusaha meningkatan penawaran minyak sawit domestik. Dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (seperti fatty acid) dalam meningkatkan devisa negara dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri ini.
Kata Kunci : Produksi fatty acid di Indonesia, minyak sawit, tingkat suku bunga.
DAMPAK KEBIJAKAN PENURUNAN TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENINGKATAN PENAWARAN MINYAK SAWIT TERHADAP PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA
KIKI WIRA KURNIADI H44080037
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
:
Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia
Nama
:
Kiki Wira Kurniadi
NIM
:
H44080037
Disetujui, Dosen Pembimbing
Novindra S.P.,M.Si NIP. 19811102 200701 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
karya
ilmiah
ini.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Ayahanda (Drs.Wirman), Ibunda (Rina Nelyati), Kakak, dan adik-adik saya (Hendra Wahyudi SH, Ilham Wiranata, Nabila Mutia Rahmi, Alyu Gani Rasyidi) serta keluarga besar saya yang telah memberikan dukungan moral dan materi kepada penulis.
2.
Novindra S.P., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktunya
unruk
memberikan
semangat,
perhatian,
bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3.
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA sebagai dosen penguji utama ujian akhir skripsi yang bersedia memberikan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan yang berguna.
4.
Hastuti S.P, MP, M.Si sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan yang membangun.
5.
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan perhatiannya selama penulis menjalani kuliah.
6.
Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB.
7.
Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Keuangan, Kementrian Perdagangan, Kementrian perdagangan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia atas kerjasamanya dalam penyediaan data yang dibutuhkan oleh penulis.
8.
Teman-teman sebimbingan Sari, Novrika, Sandra, Pebri, Ionk, Dian. Teman-teman ESL 45 dan teman se-kosan Wisma Riski atas kebersamaannya selama ini.
9.
Sahabat-sahabat saya, Dewi, Shinta, Stevi, Maulia Putri, Ayu Fitriana, Andini, Ratu Anna, Meitanisa, Sandra, Ai Surya Buana, Daus, Ruben, As ad, Awir, Esa Nugrahanto, Gogo, Mahmud dan lainnya yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan penelitian ini.
10.
Teman-teman SMA Negeri 1 Bukittinggi, Refly, Iren, Frida, Andina, Andrio dan lainnya atas kebersamaannya selama menjalani pendidikan di IPB.
11.
Semua pihak yang sealama ini telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
Bogor, April 2013
Kiki Wira Kurniadi H44080037
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Robbil’alamiin, penulis limpahkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menganalisis dampak penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi, penawaran, permintaan dan harga dari komoditas fatty acid serta harga dan permintaan dari komoditas minyak sawit domestik. Sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis berharap untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan topik ini dapat menyempurnakan kekurangan yang masih terdapat pada skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, akademisi, pemerintah maupun masyarakat luas.
Bogor, April 2013
Kiki Wira Kurniadi H44080037
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
1 1 5 9 9 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
11
I.
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
Kelapa Sawit ................................................................................ Kelapa Sawit di Indonesia ........................................................... Industri Pengolahan Kelapa Sawit ............................................... Industri Hilir Minyak Sawit ......................................................... Perkembangan Produksi dan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit ....................................... Penelitian Terdahulu .................................................................... Kebaruan Penelitian .....................................................................
11 12 13 16 17 21 23 27
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
29
3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Fatty Acid ................................ 3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Fatty Acid dan Permintaan Fatty Acid oleh Industri Sabun ................................. 3.3. Harga ............................................................................................ 3.4. Model Persamaan Simultan ......................................................... 3.5. Elastisitas ..................................................................................... 3.6. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
29 30 33 33 34 35
IV. METODE PENELITIAN .................................................................
39
4.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 4.3. Spesifikasi Model ......................................................................... 4.3.1. Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik ....................... 4.3.2. Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik .................... 4.3.3. Persamaan Harga Riil Fatty Acid Domestik ...................... 4.3.4. Persamaan Penawaran Fatty Acid Domestik ..................... 4.3.5. Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik ................ 4.3.6. Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik .............. 4.4. Pengujian Model .......................................................................... 4.4.1. Identifikasi Model ............................................................. 4.4.2. Metode Pendugaan Model ................................................. 4.4.3. Uji Statistik-F ....................................................................
39 39 39 40 41 42 42 43 43 44 44 46 46
4.4.4. Uji Statistik-t ..................................................................... 4.4.5. Uji Masalah Autocorrelation ............................................. 4.4.6. Validasi Model ................................................................. 4.5. Simulasi Historis .......................................................................... 4.6. Definisi Operasional .....................................................................
47 47 48 50 51
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA .........................................................
53
5.1. Hasil Estimasi Model ................................................................... 5.1.1. Produksi Fatty Acid Domestik ........................................... 5.1.2. Permintaan Fatty Acid Domestik ....................................... 5.1.3. Harga Riil Fatty Acid Domestik ........................................ 5.1.4. Penawaran Fatty Acid Domestik ....................................... 5.1.5. Harga Riil Minyak Sawit Domestik .................................. 5.1.6. Permintaan Minyak Sawit Domestik .................................
53 54 57 60 62 62 65
VI. EVALUASI PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENAWARAN MINYAK SAWIT DOMESTIK TERHADAP PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA ..................................
69
6.1. Hasil dan Pembahasan Simulasi Model ....................................... 6.1.1. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia ........................... 6.1.2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ............. 6.1.3. Penurunan Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ....................................................
69 69 71
VII. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 7.1. Simpulan ...................................................................................... 7.2. Saran .............................................................................................
77 77 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
79
LAMPIRAN ..............................................................................................
81
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
105
73
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman
Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Sektor Ekonomi ...........................................................................
1
Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2007-2011 (%) ......................................
2
Luas Area, Produksi dan Produktivitas Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2006-2010 ........................................................
3
Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah .............. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera ..... Produsen Oleokimia di Indonesia tahun 2004 ............................. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996 .. Perkembangan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Tahun 2003 – 2010 ..................................................................................
4 12 18 18 19
Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia Tahun 2003-2010 .....................................................................................
19
10. Perkembangan Produksi Fatty Acid di Indonesia ........................
20
11. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I ................
22
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Range Statistik Durbin Watson .................................................... Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik .......... Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik ....... Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Fatty Acid Domestik ........ Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik ... Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik .. Hasil Simulasi Historis terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun 2007 – 2010 ......................................................
48 55 57 60 63 65 69
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Pohon Industri Kelapa Sawit ....................................................
15
2.
Kerangka Pemikiran Operasional .............................................
37
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Time Series Model Produksi Fatty Acid di Indonesia .....
83
2. Nama Variabel Model Produksi Fatty Acid di Indonesia .........
85
3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ............................................................................................
86
4. Hasil Estimasi dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia .........
88
4.1. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik
88
4.2. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik ............................................................................
89
4.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Fatty Acid .............
90
4.4. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik ...........................................................................
91
4.5. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik ...........................................................................
92
5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ......................................................................
93
6. Hasil Validasi Model Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun 2007-2010 .................................................................................
95
7. Program Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Indonesia Sebesar 10 Persen) ...................................................
98
8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Indonesia Sebesar 10 Persen) ...................................................
100
9. Hasil Simulasi Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ..........
103
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di sektor pertanian. Tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39.33 juta jiwa pada tahun 2011. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Sektor Ekonomi No.
Sektor Ekonomi
1. 2. 3.
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Keuangan dan Persewaan Jasa-jasa Total
4. 5. 6. 7. 8. 9.
2006 40.14 0.92 11.89
Jumlah Tenaga Kerja (Juta Jiwa) 2007 2008 2009 41.21 41.33 41.61 0.99 1.07 1.16 12.37 12.55 12.84
2010 41.49 1.25 13.82
2011 39.33 1.46 14.54
0.23
0.17
0.20
0.22
0.23
0.24
4.70 19.22
5.25 20.55
5.44 21.22
5.49 21.95
5.59 22.49
6.34 23.40
5.66
5.96
6.18
6.12
5.62
5.08
1.35
1.40
1.46
1.49
1.74
2.63
11.36 95.46
12.02 99.93
13.10 102.55
14.00 104.88
15.96 108.19
16.64 109.66
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)
Pentingnya sektor pertanian dapat dilihat dari rata-rata kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia cukup besar yaitu 14.81 persen dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang merupakan penyumbang terbesar kedua dalam PDB Indonesia setelah industri pengolahan. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2007-2011 (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa Total
8. 9.
2007
2008
2009
2010
13.70 11.20 27.10 0.90 7.70 14.90 6.70
14.46 10.92 27.89 0.82 8.48 13.97 6.31
15.29 10.54 26.38 0.83 9.89 13.37 6.28
15.90 11.10 25.20 0.80 10.10 13.80 6.20
7.70 10.10 100.00
7.43 9.73 100.00
7.20 10.22 100.00
7.10 9.80 100.00
2011 14.70 11.80 24.20 0.70 10.80 13.70 6.50
RataRata 14.81 11.11 26.15 0.81 9.39 13.95 6.40
7.20 7.33 10.40 10.05 100.00 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)
Oleh karena itu, sektor pertanian bagi Indonesia memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian bermanfaat dalam proses pembangunan Indonesia
antara lain mencakup (1) penyediaan
kebutuhan pangan untuk penduduk yang semakin bertambah, (2) penyediaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan bagi penduduk, (3) penyediaan bahan mentah untuk agroindustri, (4) menghasilkan devisa untuk negara, dan (5) menciptakan kelestarian lingkungan hidup (Amang, 1999). Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia (Departemen Pertanian, 2012).
Meningkatnya permintaan minyak sawit oleh industri hilir minyak sawit di Indonesia mendorong produsen minyak sawit di Indonesia untuk meningkatkan areal perkebunan kelapa sawit dan produksi kelapa sawit. Setiap tahun luas area dan produksi minyak sawit di Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2006-2010 No. 1. 2.
Indikator Kelapa Sawit Luas Areal (Juta Ha) Produksi (Juta Ton)
2006 6.59 17.35
2007
2008
6.77 17.66
7.36 17.54
2009
2010
8.25 19.32
8.43 19.76
RataRata 7.48 18.33
Sumber: Departemen Pertanian 2010
Minyak Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu jenis minyak nabati selain minyak rape, minyak kedele, minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Dalam laporan Assosiasi Pemasaran Bersama Perkebunan (APBP) 1989 dalam Suharyono (1996) menyebutkan, bahwa di bandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit memiliki keunggulan, antara lain: 1. Biaya produksi relatif rendah sehingga harga jualnya mampu bersaing dengan jenis minyak nabati lain; 2. Suplainya stabil karena tidak banyak dipengaruhi oleh musim dan gangguan alam; 3. Substitusinya (interchangeability character) yang tinggi sehingga dapat mengganti penggunaan minyak nabati lainnya; 4. Dengan kemajuan teknologi, pemakaian minyak sawit semakin luas dan mudah mengatur mutu, aroma maupun rasanya agar sesuai kebutuhan. Pengolahan CPO menjadi produk hilir memberikan nilai tambah tinggi. Produk olahan CPO dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak goreng dan margarin. Produk non
pangan terutama oleokimia seperti ester, fatty acid (asam lemak), surfaktan, gliseril, fatty alcohol, senyawa amina dan turunan turunan lainnya. Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan “kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah”. Menurut data Kementerian Perindustrian, CPO bisa memberikan nilai tambah 180 persen jika diolah menjadi margarin, 300 persen untuk fatty acid, dan 400 persen untuk fatty alcohol, bahkan pengelolaan menjadi produk kosmetik mampu memberikan nilai tambah hingga 1,200 persen dari harga minyak sawit mentah. Data nilai tambah industri turunan minyak sawit mentah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah
Produk Minyak sawit mentah Minyak goreng RBD stearine Margarine/shortening Confectionaries Fatty acid Fatty alcohol Surfaktan Kosmetik Sumber : Kementerian Perindustrian 2011
Nilai Tambah (%) 0 60 90 180 200 300 400 800 1,200
Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat Indonesia tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi produksi minyak sawit yang tinggi sebaiknya
dimanfaatkan
untuk
pengembangan
industri
hilirnya,
karena
mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler
effect) yang sangat besar. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional kurang berkembang dan kurang mengalami kemajuan. Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 23 jenis produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk oleokimia yaitu fatty acid (Departemen Perindustrian, 2009). 1.2.
Perumusan Masalah Penyerapan minyak kelapa sawit oleh industri hilirnya di Indonesia masih
rendah. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi industri hilir berbahan baku minyak sawit yang masih rendah. Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dalam Nuryanti (2008) menyatakan serapan minyak sawit oleh industri minyak goreng domestik merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1.9 juta ton per tahun dibandingkan ratarata produksi minyak sawit Indonesia selama 1984-2007 yaitu 6.2 juta ton. Begitu juga, industri hilir minyak sawit lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang sehingga belum banyak menyerap minyak sawit. Hal ini disebabkan masih rendahnya investasi pada sektor hilir karena kurangnya dukungan pemerintah. Pada tahun 2012, Indonesia tetap menjadi negara produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia dengan hasil sebanyak 28 juta metrik ton. Produksi palm oil Indonesia itu hampir 50 persen dari total produksi dunia tahun ini yang diprediksi sebanyak 54.527 juta MT (metrik ton). Setelah
Indonesia, terbesar kedua adalah Malaysia sejumlah 19.7 juta MT, disusul Thailand 1.7 juta MT dan Kolumbia serta Nigeria masing-masing 960 MT dan 850 MT 1 . Ekspor minyak sawit indonesia yang tinggi, merupakan hal yang harus dibatasi dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit. Padahal saat ini, negara-negara tujuan ekspor minyak sawit telah mengolah minyak sawit dalam berbagai bentuk produk turunan yang memiliki nilai tambah jauh melebihi nilai ekspor 2 . Berkaitan dengan nilai tambah, maka disusun naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010. Di dalam naskah tersebut dituliskan mengenai pengembangan produk (hilir dan sampingan) dan peningkatan nilai tambah. Pembentukkan klaster industri kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan, yang didukung dengan : (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping, serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui 1
http://www.investor.co.id/home/indonesia-masih-jadi-produsen-cpo-terbesar-dunia/56652. Indonesia Masih Jadi Produsen CPO Terbesar Dunia. Diakses tanggal 16 Maret 2013. 2 http://bp2t.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:mendesak-industrihilir-kelapa-sawit&catid=25:the-project. Mendesak, Industri Hilir Kelapa Sawit. Diakses tanggal 20 Juli 2012.
peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Industri oleokimia merupakan salah satu industri hilir minyak sawit. Industri ini termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry) yaitu industri yang mengolah bahan baku yang dapat diperbaharui (renewable), merupakan industri yang berbahan baku utama dari sumberdaya alam (resources – based industries) dan mempunyai peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat luas, seperti kosmetika, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya. Selain itu industri tersebut berperan pula dalam pemerataan dan pertumbuhan ekonomi serta pemberdayaan ekonomi rakyat (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007). Oleokimia merupakan bahan kimia yang berasal dari minyak/lemak alami, baik tumbuhan maupun hewani. Bidang keahlian teknologi oleokimia merupakan salah satu bidang keahlian yang mempunyai prospek yang baik dan penting dalam teknik kimia. Pada saat ini dan pada waktu yang akan datang, produk oleokimia diperkirakan akan semakin banyak berperan menggantikan produk-produk turunan minyak bumi (petrokimia) permintaan akan produk oleokimia semakin meningkat. Hal ini dapat dimaklumi karena produk oleokimia mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan produk petrokimia, seperti harga, sumber yang dapat diperbaharui dan produk yang ramah lingkungan (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007). Oleokimia dibagi menjadi dua, yaitu oleokimia dasar dan turunannya atau produk hilirnya. Oleokimia dasar terdiri atas fatty acid, fatty methylester, fatty alcohol, fatty amine, dan gliserol. Selanjutnya, produk-produk turunannya antara
lain adalah sabun batangan, detergen, shampo, pelembut, kosmetik, bahan tambahan untuk industri plastik, karet, dan pelumas. Umumnya fatty acid diolah lebih lanjut untuk berbagai tujuan. Sebagian besar fatty acid campuran diolah menjadi fatty alcohol, dan jenis lainnya diolah lebih lanjut sesuai dengan sifat fisiko kimianya, antara lain untuk industri makanan, kosmetik, dan sabun. Fatty acid juga banyak diperlukan dalam produksi plastik, karet, dan pelumas 3 . Kecendrungan masyarakat dalam memilih produk yang lebih ramah lingkungan berdampak pada peningkatan permintaan fatty acid yang merupakan barang subtitusi dari ethylene glycol (petrokimia) (Kementerian Perindustrian, 2009). Pada tahun 2000, total produksi oleokimia dasar Indonesia mencapai 349.882 ton, terdiri atas fatty acid 68.7 persen, fatty alcohol 19.6 persen, fatty methylester 1.1 persen, dan gliserol 10.6 persen (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007). Berdasarkan data produksi oleokimia di atas dapat dilihat bahwa fatty acid merupakan oleokimia dasar yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Terkait kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan industri hilir minyak sawit, kebijakan tingkat suku
bunga dan peningkatan
penawaran bahan baku (minyak sawit) dapat mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu fatty acid. Diduga penurunan tingkat suku bunga, akan meningkatkan keinginan investor dalam berinvestasi pada industri hilir kelapa sawit, khususnya industri fatty acid, sehingga produksi akan meningkat. Sebaliknya peningkatan tingkat suku bunga akan menurunkan investasi pada industri hilir minyak sawit yang juga menurunkan produksinya. Adapun 3
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr252035.pdf. Pembagian Oleokimia dan Manfaat Fatty acid. Diakses tanggal 20 Juli 2012.
peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) diduga dapat meningkatakan produksi dan dapat menurunkan harga fatty acid domestik. Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid? 2. Bagaimana dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi fatty acid di Indonesia? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan dalam penelitian yang terdapat pada perumusan
masalah, dirumuskan beberapa tujuan penelitian. Adapun tujuan dalam penelitian ini: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid; 2. Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi fatty acid di Indonesia. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
terkait. Hasil Penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi: 1. Penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah; 2. Pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam mengembangan produk turunan minyak sawit;
3. Akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan produk turunan minyak sawit; 4. Pemerintah, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukkan kebijakan terkait dengan industri produk turunan minyak sawit. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi bagi industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit, yaitu fatty acid (produk nonpangan). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data (time series) dari tahun 1990-2010. Fokus penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa fatty acid merupakan produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Pada penelitian ini tidak dibedakan bentuk, baik pada komoditas minyak sawit maupun produk turunan minyak sawit yaitu fatty acid. Kemudian dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi turunan minyak sawit hanya fokus pada kebijakan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa Negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al. 2002). Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi dibanding bagian lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada umur 30 bulan setelah tanam. Buah pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang rendah. Buah kelapa sawit normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir berisi sekitar 10-18 butir tergantung kepada kesempurnaan penyerbukan. Bulir-bulir ini menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Setiap TBS berisi sekitar 2000 buah sawit. TBS inilah yang dipanen dan diolah di Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) (Buana et al. 2007). Tanaman kelapa sawit terbagi atas tipe jenis berdasarkan karakter ketebalan cangkang buahnya yaitu dura (D), tenera, dan pisifera (P). Kelapa sawit
dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera yang memiliki ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera (hampir) tidak mempunyai inti dan cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga memiliki cangkang intermediate (0,5-4 mm) dan merupakan tipe umum yang digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan persentase inti/buah (berasosiasi dengan rendaman inti) (Buana et al. 2007). Karakteristik tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera Tipe Dura Tenera Pisifera
Cangkang (mm)
Mesokarp/buah (%) Inti/buah (%) 2-5 20-65 4-20 1-2.5 60-90 3-15 Tidak ada 92-97 3-8
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2007 dalam Lalang 2007
2.2.
Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5,123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576
ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al. 2002). Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka menciptakan kesempatan kerja,meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294,560 ha dengan produksi CPO sebesar 721,172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat (Fauzi et al. 2002). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO). 2.3.
Industri Pengolahan Kelapa Sawit Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai unit ekstraksi crude palm oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan
kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting di antaranya: 1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah. 2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll. Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya. Menurut SK Menteri Pertanian No 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al. 2007).
1
Gambar 1. Pohon Industri Kelapa Sawit (Pahan et al. 2005)
2.4.
Industri Hilir Minyak Sawit Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7 ton/ha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 ton/ha. Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al. 2007). CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan, 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya. Industri minyak goreng Indonesia dapat diperkokoh strukturnya dengan diversifikasi vertikal kearah pengembangan industri hilir. Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product. Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan, 2006). Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD Palm Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam
industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan, 2006). PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO menghasilkan RBD PKO (refined, bleached and deodorized palm kernel oil). Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn, dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa butter equivalent (Siahaan, 2006). 2.5.
Perkembangan Produksi dan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Produk hilir minyak sawit terbagi menjadi produk pangan 90 persen dan
produk non pangan sebesar 10 persen berupa produk sabun dan oleokimia. Penggunaan terbesar minyak sawit adalah untuk minyak goreng yaitu sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan margarin menjadi 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia, dan bentuk lainnya (Affudin, 2007). Industri oleokimia berkembang di beberapa daerah, yang umumnya di kota-kota besar yang lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Berikut ini adalah beberapa prusahaan sebagai produsen Oleokimia di Indonesia pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Produsen Oleokimia di Indonesia tahun 2004 No
Nama Perusahaan
Lokasi
1. PT. Sinar Oleochemical Int’l 2. PT. Prima Inti Perkasa
Medan
3. PT. Flora Sawita
Tanjung Morawa Batam Tangerang
Medan
4. PT. Batamas Megah 5. PT. Cisadane Raya Chemical 6. PT. Asianagro Agungjaya 7. PT. Sumi Asih 8. 9. 10. 11. 12.
PT. Sayap Mas Utama PT. Bukit Perak PT. Unilever Indonesia PT. Wings Surya PT. Musim Mas
Jakarta Utara Bekasi Bekasi Semarang Surabaya Surabaya Deli
Jenis Produk Fatty acid Glycerin Fatty alcohol Fatty acid Fatty acid Glycerin Fatty alcohol Fatty acid Fatty alcohol Glycerin Fatty acid
Kapasitas Produksi (Ton/Th) 120,000 12,250 30,000 8,000 47,000 5,400 90,000 182,000 20,000 5,500 14,800 100,000 3,500 4,000 1,440 8,950 3,000 90,000
Fatty acid Glycerin Glycerin Glycerin Glycerin Glycerin Fatty acid
Sumber : Kementerian Perindustrian 2005
Minyak sawit digunakan dalam berbagai industri pengolahan. Pangsa konsumsi minyak sawit Indonesia tahun 1991 – 1996 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996 Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Rata–Rata
Minyak Goreng 72.5 71.0 72.2 70.5 70.2 70.0 70.9
Pangsa Bentuk Konsumsi Margarin Sabun Oleokimia 4.3 3.5 4.0 3.8 3.6 3.5 3.8
6.5 5.4 5.8 5.3 5.0 4.7 5.4
Lainnya
16.0 13.7 15.5 16.5 16.6 16.6 15.8
0.7 6.4 2.5 3.9 4.6 5.2 4.1
Sumber : Saragih 1998 dalam Affudin 2007
Menurut data BPS (2012), permintaan fatty acid cenderung meningkat, dari tahun 2003 sebesar 170.58 ribu ton dan pada tahun 2010 meningkat sebesar 432.19 ribu ton, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2008. Perkembangan permintaan fatty acid domestik hingga tahun 2010 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perkembangan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Permintaan Fatty Acid (000 Ton) 170.58 176.81 241.10 236.14 209.31 152.89 229.02 432.19
Sumber : BPS diolah (2012)
Peningkatan permintaan fatty acid ini sejalan dengan peningkatan produksi dan harga produk yang berbahan baku fatty acid, seperti sabun batangan. Produksi sabun mandi batang di Indonesia sangat berkembang. Tabel 9. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia Tahun 2003 – 2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi Sabun Batang (000 Batang) 614.3 2469.9 3174.1 2756.9 2931.3 6148.4 4963.9 3779.4
Harga Sabun Batang (Rp/batang) 1281 1206 972 880 992 1055 1052 1039
Sumber : BPS diolah (2012)
Gaya hidup masyarakat yang berkembangan dari waktu ke waktu mendorong kebutuhan akan sabun mandi juga semakin meningkat, karena masyarakat saat ini sudah mulai peduli terhadap kebersihan. Selain itu dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan yang dipelopori oleh negara-negara maju, telah berkembang Green Consumerism yaitu kelompok masyarakat yang cendrung memilih produk-produk yang lebih ramah lingkungan. Seiring dengan hal itu, maka terjadi pergeseran antara lain pergeseran penggunaan produk surfaktan berbasis petrokimia kepada surfaktan berbasis
minyak sawit (widodo, 2005). Perkembangan produksi dan harga sabun batang di Indonesia tahun 2003-2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 perkembangan produksi sabun batang di Indonesia berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Produksi terbesar yang dapat dilihat pada Tabel 8 yaitu tahun 2008 sebesar 6148.4 buah. Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi batang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Peningkatan dalam produksi sabun akan mendorong peningkatan jumlah bahan baku yang digunakan, sehingga permintaan fatty acid yang merupakan bahan baku pada industri sabun akan meningkat. Keadaan ini mendorong peningkatan dalam produksi fatty acid domestik, berikut ini disajikan perkembangan produksi fatty acid domestik pada tabel 10. Tabel 10. 2003 – 2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Perkembangan Produksi Fatty acid di Indonesia Tahun Produksi Fatty Acid (000 Ton) 379.40 420.25 490.30 507.00 680.00 760.00 780.12 986.00
Harga (000 Rp/Ton) 58.16 40.76 38.78 39.20 47.57 49.11 43.74 42.04
Sumber : BPS diolah (2012)
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa produksi fatty acid domestik mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Keadaan ini akan terus berlanjut dengan syarat tersedianya pasokan bahan baku yang cukup bagi industri fatty acid yaitu minyak sawit. Selain itu perlu adanya peningkatan modal industri untuk menambah kapasitas produksi dengan cara inovasi teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Penambahan jumlah industri fatty acid juga akan mendorong peningkatan produksi fatty acid domestik.
2.6.
Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya
menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri fatty acid. Hal-hal yang menyangkut rencana kenaikan tarif ekspor akan selalu menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak–pihak yang terkait dalam agribisnis kelapa sawit Indonesia (petani, pedagang, dan eksportir, serta industri). Selain pajak ekspor, pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Domestic market obligation sesuai dengan UndangUndang No.18 tentang Perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran dalam negeri (Novindra, 2011). Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi. Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah produksi menurun (Sudirman, 2011). Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen. Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa
perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat dilihat pada Tabel 11. Tebel 11. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I. Tahun
Triwulan
Tingkat Suku Bunga Pertumbuhan Kredit (%) (%) 2006 I 16.34 3.55 II 16.23 -0.67 III 16.00 -1.42 IV 15.35 -4.06 2007 I 14.70 -4.23 II 14.08 -4.22 III 13.56 -3.69 IV 13.11 -3.32 2008 I 12.94 -1.30 II 12.95 0.08 III 13.50 4.25 IV 15.01 11.19 2009 I 15.10 0.60 II 14.67 -2.85 III 14.31 -2.45 IV 13.91 -2.80 2010 I 13.66 -1.80 694.69 -72.87 Total 16.16 -1.69 Rata-Rata Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI (diolah) dalam Sofia (2011)
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui: 1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; 2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi; 3. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan Negara penghasil CPO;
4. Fasilitas pengembangan biodiesel; 5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing. 2.7.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kelapa sawit sudah banyak dilakukan, baik mengenai
dampak kebijakan, industri hilir, ataupun industri hulunya. Novindra (2011), meneliti dengan judul dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016. Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous veriable, sehingga total variabel endogen dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan criteria order condition
disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan eksporminyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dnegan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Suharyono (1996), melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh
perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja, Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam runtun waktu (time series), periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares (LTSLS). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 1969-1993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi, dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Di sisi lain selama kurun waktu 1984-1993, volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80 persen per tahun. Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan untuk produk hasil pertanian, demikian juga untuk perkembangan permintaan, permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan. Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat subtitusi. Peubah trend (teknologi) ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE. Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap
perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional. 2.8.
Kebaruan Penelitian Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan
penelitian Suharyono (1996), dan Novindra (2011). Penelitian Novindra (2011), yaitu dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Perbedaan penelitian Novindra (2011) dengan penelitian ini adalah pada tujuan dari penelitian ini. Penelitian Novindra (2011) memiliki tujuan untuk melihat dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia, sedangkan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit yaitu fatty acid di Indonesia dan melihat dampak kebijakan suku bunga serta perubahan faktor eksternal (peningkatan penawaran bahan baku) terhadap produksi produk turunan kelapa sawit. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharyono (1996) adalah pada perumusan model berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit. Perbedaannya dengan penelitian Suharyono (2008) adalah
pada model ekonometrika yang digunakan, pada penelitian Suharyono (2008), menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Square (LTSLS). Sedangkan penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Selain itu ruang lingkup dan komoditas yang diteliti dalam penelitian ini juga berbeda, pada penelitian Suharyono (1996), ikut melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap kelapa sawit dan produk turunannya, kemudian komoditas yang diteliti adalah minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun sedangkan pada penelitian ini lebih kepada industri hilir kelapa sawit yaitu fatty acid untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit tersebut. Dampak kebijakan yang dilihat adalah peningkatan suku bunga uang dan peningkatan penawaran bahan baku.
III. KERANGKA TEORI 3.1.
Fungsi Produksi dan Penawaran Fatty Acid Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam
transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y = f (x1, x2, x3, x4) ………..…….………………………………...…..(3.1) Keterangan: Y
= Output fatty acid (Kg)
x1
= Jumlah minyak sawit (Kg)
x2
= Jumlah modal (Unit)
x3
= Jam tenaga kerja (HOK)
x4
= Faktor produksi lainnya
Digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari fatty acid adalah: Y = f(H,M,U) ……………………………………..…………………..(3.2) Keterangan: Y
= Produksi fatty acid (Kg)
H
= Jumlah minyak sawit untuk produksi fatty acid (Kg)
M
= Jumlah modal untuk produksi fatty acid (Unit)
U
= Jam tenaga kerja untuk produksi fatty acid (HOK)
Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah
barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Dalam melengkapi analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, selanjutnya perlu juga diteliti peranan faktor-faktor lainnya dalam mempengaruhi jumlah barang yang ditawarkan. Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain (sebagai kompetisi atau komplementernya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam. 3.2.
Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Fatty Acid dan Permintaan Fatty Acid oleh Industri Sabun Sebagai bahan baku untuk industri fatty acid, permintaan terhadap minyak
sawit kasar dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal. Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut : Π = P.Y − Σ ri . Xi ………………………………………...…………...(3.3) dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh: δΠ / δXi = P . δY / δXi − ri = o .......……...…………………........…..(3.4) atau P.PMi = ri …………………………………………………………….…..(3.5) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal dari input i.
Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri fatty acid, permintaan terhadap minyak sawit kasar selain dipengaruhi oleh harga minyak sawit kasar, juga dipengaruhi oleh harga fatty acid, dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut : Dt = f (Pct, Pt, it, Dt-1) …………………………………………….....…(3.6) dimana Dt adalah permintaan minyak sawit kasar oleh industri fatty acid, Pct adalah harga minyak sawit kasar, Pt adalah harga fatty acid, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan minyak sawit kasar pada tahun sebelumnya. Sama halnya dengan minyak sawit yang merupakan bahan baku untuk industri fatty acid, fatty acid juga merupakan bahan baku untuk industri sabun. Sebagai bahan baku untuk industri sabun batangan, permintaan terhadap fatty acid dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal.
Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut : Π = P.Y − Σ ri . Xi ………………………………...……………..…….(3.7) dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh: δΠ / δXi = P . δY / δXi − ri = o .......……...……………………....…..(3.8) atau P.PMi = ri ……………………………………………………….………..(3.9) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal dari input i. Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Di samping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri sabun, permintaan terhadap fatty acid selain dipengaruhi oleh harga fatty acid, juga dipengaruhi oleh harga sabun, dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut : Dt = f (Pct, Pt, it, Dt-1) …………………………………...……………(3.10) dimana Dt adalah permintaan fatty acid oleh industri sabun, Pct adalah harga fatty acid, Pt adalah harga sabun, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan fatty acid pada tahun sebelumnya.
3.3.
Harga Harga merupakan sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk
memperoleh satu unit komoditas. Teori harga secara sederhana dikembangkan dalam konteks harga konstan (Lipsey et al. 1987). Menurut Nicholson (2002) harga barang yang diperdagangkan baik dipasar input maupun output ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran suatu barang dalam suatu pasar menentukan harga pasar (harga keseimbangan) untuk barang tersebut. Pada kondisi tersebut, kuantitas barang yang diminta oleh pembeli adalah sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual. Menurut Nicholson (2002), Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: 1) pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum, dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif. Penawaran mempengaruhi harga secara negatif dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun. Hal ini disebabkan kuantitas barang yang ditawarkan oleh produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau diinginkan oleh konsumen. 3.4.
Model Persamaan Simultan Menurut Gujarati (1978) sistem persamaan simultan dapat memberikan
gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam persamaan
satu dengan lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama lain. Persamaan simultan tidak hanya memiliki satu persamaan yang menghubungkan antara satu variabel endogen tunggal dengan sejumlah variabel eksogen non stokastik atau didistribusikan secara bebas dari unsur gangguan stokastik. Suatu ciri unik dari persamaan simultan adalah variabel endogen dari satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan (explanatory variable) dalam persamaan lain dari sistem. Bentuk umum dari persamaan simultan dapat dirumuskan sebagai berikut: Y1i = β10 + β12 Y2i + γ11 X1i + u1i ………………….......…..……..(3.11) Y2i = β20 + β21 Y1i + γ21 X1i + u2i …………………..….……..…..(3.12) Dimana Y1 dan Y2 merupakan variabel yang saling bergantung, atau bersifat endogen, dan Xt merupakan variabel yang bersifat eksogen, dimana u1 dan u2 adalah unsur gangguan stokastik, variabel Y1 dan Y2 kedua-duanya stokastik. Pemilihan model yang akan digunakan berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran fatty acid di Indonesia. 3.5.
Elastisitas Konsep elastisitas digunakan untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari
respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun rumus untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut: Elastisitas Jangka Pendek (ESR ) ESR =
Y X
X
X
Y
Y
* =b
…..…………….............……………………….. (3.13)
Elastisitas Jangka Panjang (ELR ) ELR =
ESR
…………………...........……………………...……….. (3.14)
Keterangan:
3.6.
b
= Parameter dugaan dari peubah eksogen
blag
= Parameter dugaan dari lag endogen
X
= Rata-rata explanatory variable
Y
= Rata-rata peubah endogen (mean predicted hasil validasi model)
Kerangka Pemikiran Operasional Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting
bagi perekonomian Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan dua minyak yaitu minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit. Indonesia merupakan pengekspor CPO terbesar di dunia, dan diprediksi permintaan CPO dunia akan terus meningkat. Indonesia harus terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit, agar dapat memenuhi permintaan dunia terhadap CPO. Salah satunya dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu saja menjadi ancaman yang berarti bagi Indonesia. Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengekspor bahan mentah dari kelapa sawit berupa CPO saja. Perlu adanya pengembangan industri hilir kelapa sawit, dimana seperti yang kita tahu produk turunan kelapa sawit seperti fatty acid memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dibanding dengan minyak mentah kelapa sawit. Bukan hanya itu, kebutuhan domestik terhadap produk turunan kelapa sawit seperti fatty acid semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan masyarakat terhadap produk-produk hasil industri hilir kelapa sawit yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan produk sejenis yang berasal dari industri petrokimia berbahan baku minyak mentah. Pengembangan industri hilir minyak sawit di Indonesia masih rendah, oleh karena itu industri hilir kelapa sawit perlu di dorong agar lebih maju dan berkembang. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri sawit memanfaatkan CPO sebagai bahan bakunya meliputi (Departemen Perindustrian, 2009): 1.
Penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya;
2.
Pertumbuhan subsektor ekonomi lainnya;
3.
Pengembangan wilayah industri;
4.
Proses alih teknologi;
5.
Perluasan lapangan kerja;
6.
Penghematan devisa;
7.
Penerimaan peningkatan pajak bagi pemerintah. Pengembangan produksi hilir dari minyak kelapa sawit juga dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan moneter berupa tingkat suku bunga juga memberikan dampak terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Hal ini terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa dengan penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi. Meningkatnya invetasi diharapkan dapat meningkatkan modal bagi perusahaan hilir minyak sawit sehingga dapat meningkatkan produksi. Selain itu peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) dalam industri hilir kelapa sawit juga dapat memberikan dampak terhadap produksi turunan minyak sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya ketersediaan bahan baku akan mendorong peningkatan produksi.
Permintaan CPO Dunia meningkat
Ekspor CPO Indonesia Tinggi
Produksi Minyak Sawit Harus Tinggi sehingga Mendorong Penambahan Areal Tanam Kelapa Sawit
Pengembangan Industri Hilir Rendah
Perlu Peningkatan Kapasitas Produksi Industri Hilir yang Memiliki Nilai Tambah yang Cukup Tinggi yaitu Fatty Acid
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Fatty Acid (Model Persamaan Simultan)
Menganalisi Dampak Perubahan Variabel Eksogen terhadap Variabel Endogen dengan Simulasi (Analisis Simulasi)
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2. Diagram Alur Pemikiran Operasional Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi produk turunana kelapa sawit. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Berdasarkan model yang dibuat dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa
sawit, untuk fatty acid. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, hasil analisis diharapkan dapat menjadi literatur untuk penelitian berikutnya. Secara garis besar, kerangka pemikiran operasional dapat ditunjukkan pada Gambar 2.
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam
bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 20 tahun, yaitu tahun 1990-2010. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah atau lembagalembaga terkait lainnya misalnya Kementerian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Badan
Pusat
Statistik Republik Indonesia (BPS-RI), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Perpustakan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet. 4.2.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan model penelitian,
yaitu
ekonometrika
untuk
menjawab
tujuan
model persamaan simultan. Model ekonometrika dalam
penelitian ini terdiri dari 6 persamaan simultan yang terdiri dari lima persaman struktural (produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, harga riil fatty acid domestik, harga riil minyak sawit domestik, dan permintaan minyak sawit domestik) dan satu persamaan identitas (penawaran fatty acid domestik). Masing-masing persamaan dalam model persamaan simultan diduga dengan metode 2SLS menggunakan software SAS 9.0 for Windows. 4.3.
Spesifikasi Model Guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi fatty acid,
serta mengevaluasi dampak kebijakan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran bahan baku terhadap produksi fatty acid di Indonesia digunakan salah satu model ekonometrika yaitu model persamaan simultan. Terdapat empat
tahapan dalam membangun model ekonometrika yaitu: (1) spesifikasi, (2) pendugaan, (3) evaluasi parameter estimasi, dan (4) evaluasi peramalan model (Koutsoyiannis, 1977). Spesifikasi model merupakan tahapan yang paling penting karena pada tahap ini model yang digunakan dalam penelitian atas dasar gambaran ekonomi, teknis, dan kelembagaan dari fenomena ekonomi yang dipelajari ke dalam hubungan matematik dan statistik. Tahapan spesfikasi model menurut Koutsoyiannis (1977), meliputi penentuan (1) variabel dependen dan variabel penjelas yang akan dimasukkan ke dalam model, (2) harapan teoritis apriori mengenai tanda dan besaran parameter dari setiap persamaan. Dasar apriori adalah pengetahuan mengenai teori, logika, dan fakta empiris yang ada dalam hubungan ekonomi antar variabel dependen dan penjelas (3) bentuk matematis dari model (linier atau non linier, jumlah persamaan). Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu fungsi produksi fatty acid domestik, fungsi permintaan dan penawaran fatty acid domestik, fungsi harga untuk minyak sawit, dan fatty acid domestik dan terakhir fungsi permintaan minyak sawit domestik. Adapun model yang dirumuskan terdiri dari lima persamaan struktural dan satu persamaan identitas. 4.3.1. Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik Produksi fatty acid domestik dipengaruhi oleh harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya, perubahan harga riil minyak sawit domestik, perubahan tingkat suku bunga uang, dan tren. Dengan demikian model persamaan struktural bagi produksi fatty acid domestik dapat dirumuskan sebagai:
PFACIDt = a0+ a1 LHFACIDt + a2 DHMSDRt + a3 DTBt + a4 T + U1 …………………………………………………...…….. (4.1) Diharapkan: a1, a4 > 0 ; a2, a3 <0 Keterangan: PFACIDt
= Produksi fatty acid domestik (000 ton)
LHFACIDt
= Lag harga riil fatty acid domestik (000 Rp/ton)
DHMSDRt
= Perubahan harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
DTBt
= Perubahan tingkat suku bunga uang (persen)
Tt
= Tren
U1
= Peubah pengganggu
4.3.2. Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik Permintaan fatty acid domestik dipengaruhi oleh harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya, perubahan jumlah penduduk Indonesia, harga riil sabun domestik, tren, dan permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya. Dengan demikian model persamaan struktural bagi permintaan fatty acid domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: DFACIDt = bo + b1 LHFACIDt + b2 DPIt
+
b3 HSBDR + b4 T + b5
DFACIDt-1 + U2 ………………......................................(4.2) Diharapkan: b2, b3, b4 > 0 ; b1 < 0 ; 0 < b5 < 1 Keterangan: DFACIDt
= Permintaan fatty acid domestik (000 ton)
LHFACIDt
= Lag harga riil fatty acid domestik (000 Rp/ton)
DPIt
= Perubahan jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)
HSBDR
= Harga riil sabun domestik (Rp/batang)
T
= Tren
DFACIDt-1
= Lag Permintaan fatty acid domestik (000 ton)
U2
= Peubah pengganggu
4.3.3.
Persamaan Harga Riil Fatty Acid Domestik Harga riil fatty acid domestik dipengaruhi oleh penawaran fatty acid
domestik tahun sebelumnya, permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya, dan harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya. Dengan demikian model persamaan struktural bagi harga riil fatty acid domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: HFACIDt = c0 + c1 LSFACIDt + c2 LDFACIDt + c3 HFACIDt-1 + U3 ………………………………………………….……….(4.3) Diharapkan: c1 < 0 ; c2 > 0 ; 0 < c3 < 1 Keterangan: HFACIDt
= Harga riil fatty acid domestik (000 Rp/ton)
LSFACIDt
= Lag penawaran fatty acid domestik (000 ton)
LDFACIDt
= Lag permintaan fatty acid domestik (000 ton)
HFACIDDt-1 = Lag harga riil fatty acid domestik (000 Rp/ton) U3
= Peubah pengganggu
4.3.4. Persamaan Penawaran Fatty Acid Domestik Persamaan penawaran fatty acid domestik dipengaruhi oleh produksi fatty acid domestik, impor fatty acid, ekspor fatty acid. Dengan demikian model persamaan identitas bagi penawaran fatty acid domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: SFACIDt
= PFACIDt + IMFACIDt – EXFACIDt ……...…….… (4.4)
Keterangan:
4.3.5.
SFACIDt
= Penawaran fatty acid domestik (000 ton)
IMFACIDt
= Impor fatty acid (000 ton)
EXFACIDt
= Ekspor fatty acid domestik (000 ton)
Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik Harga riil minyak sawit domestik dipengaruhi oleh penawaran minyak
sawit domestik tahun sebelumnya, permintaan minyak sawit domestik, harga riil minyak sawit dunia, dan harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya. Dengan demikian model persamaan struktural bagi harga riil minyak sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: HMSDt = do + d1 LSMSDt + d2 DMSDt + d3 HMSWRt + d4 HMSDRt-1 + U4 ………………………………………………...…….… (4.5) Diharapkan: d1 <0 ; d2, d3 > 0 ; 0 < d4 < 1 Keterangan:
4.3.6.
HMSDt
= Harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
LSMSD
= Lag penawaran minyak sawit domestik (000 ton)
DMSDt
= Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
HMSWRt
= Harga riil minyak sawit dunia (US $/ton)
HMSDRt-1
= Lag harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
U4
= Peubah pengganggu
Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik Permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi oleh harga riil minyak
sawit domestik tahun sebelumnya, harga riil fatty acid domestik, permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya. Dengan demikian model persamaan
struktural bagi permintaan minyak sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut: DMSDt = eo + e1 LHMSDRt + e2 HFACIDt + e3 DMSDt-1 + U5 ………………………………………………………….....(4.6) Diharapkan: e1 < 0 ; e2 > 0 ; 0 < e3 < 1 Keterangan:
4.4.
DMSDt
= Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
LHMSDRt
= Lag harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
HFACIDt
= Harga riil fatty acid domestik (000 Rp/ton)
DMSDt-1
= Lag permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
U5
= Peubah pengganggu
Pengujian Model Pengujian model dalam penelitian ini meliputi identifikasi model, validasi
model, uji statistik-F, uji statistik t, uji statistik durbin-h, validasi model, dan simulasi historis. Berikut adalah uraian lengkap mengenai prosedur analisis dalam penelitian ini. 4.4.1.
Identifikasi Model Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai
syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G-1) …………………………..………………….…………(4.7) Keterangan:
K
= Total
variabel
di
dalam
model,
yaitu
variabel
endogen
dan
predetermined variable (current exogenous variable, lagged exogenous variable, dan lagged endogenous variable). M
= Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model.
G
= Total persamaan di dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan model menunjukan kondisi sebagai berikut :
(K-M) ≥ (G-1)
= Persamaan dalam model tersebut dinyatakan teridentifikasi (identified).
(K-M) < (G-1)
= Persamaan dalam model tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (underidentified).
(K-M) > (G-1)
= Persamaan dalam model tersebut dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified).
(K-M) = (G-1)
= Persamaan dalam model tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat
(exactly identified).
Hasil Identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Suatu persamaan memenuhi order condition, tetapi mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Oleh karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal ini terdapat dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order
condition (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (Koutsoyiannis, 1977). Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 6 persamaan atau 6 variabel endogen (G), dan 14 predetermined variable terdiri dari 10 variabel eksogen dan 4 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 20 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. 4.4.2. Metode Pendugaan Model Berdasarkan hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat digunakan dengan 2SLS (Two-Stages Least Squares). Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. 4.4.3. Uji Statistik-F Uji statistik-F adalah persamaan yang digunakan untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman variabel endogennya dengan baik (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: H0
: β1 = β2...... = βi = 0
H1
: minimal ada satu βi ≠ 0
Keterangan: i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan Apabila nilai peluang (P-value) uji statistik-F < taraf α = 10 persen maka tolak H0. Tolak H0
berarti variabel penjelas secara bersama-sama mampu
menjelaskan keragaman variabel endogennya dengan baik. 4.4.4. Uji Statistik-t Uji statistik-t adalah uji statistik yang digunakan untuk mengatahui dan menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : Uji satu arah a) βi > 0;
b) βi < 0
Kriteria uji: Jika
H1: a) βi > 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0 H1: b) βi < 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0 H1: b) βi ≠ 0, bila p-value uji t < α/2 maka disimpulkan tolak H0
Pada penelitian ini menggunakan uji satu arah dan taraf α = 25 persen sehingga jika nilai peluang (p-value) uji statistik-t < taraf α = 25 persen maka tolak H0. Tolak H0 berarti suatu variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. 4.4.5. Uji Masalah Autocorrelation Autocorrelation adalah adanya korelasi/hubungan antara kesalahan (error term) pada tahun sekarang dengan kesalahan pada tahun sebelumnya. Guna
mengetahui ada atau tidaknya masalah autocorrelation pada setiap persamaan maka perlu dilakukan uji autocorrelation dengan menggunakan statistik DW (Durbin-Watson statistic). Tabel 12. Range Statistik Durbin Watson Nilai DW Hasil 4 – dl < DW < 4 Tolak H0, terjadi masalah autocorrelation negatif 4 – du < DW < 4 – dl masalah autocorrelation tidak dapat disimpulkan 2 < DW < 4 – du Terima H0, tidak terjadi masalah autocorrelation du < DW < 2 Terima H0, tidak terjadi masalah autocorrelation dl < DW < du masalah autocorrelation tidak dapat disimpulkan 0 < DW < dl Tolak H0, terjadi masalah autocorrelation positif Sumber: Pindyck dan Rubinfeld (1998)
Apabila model mengandung persamaan simultan dan variabel lag, maka untuk mengetahui apakah terdapat autocorrelation atau tidak dalam persamaan digunakan statistik dh (durbin-h statistic). Nilai Durbin-h diperoleh dari perhitungan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld, 1998): 1
...................................................................... (49)
dimana: d
= dw statistik,
n
= jumlah observasi, dan
var (β)= varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable. Jika ditetapkan taraf α = 0.05, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka disimpulkan persamaan tidak mengalami serial korelasi. Selanjutnya jika diketahui nilai hhitung < -1.96, maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui nilai hhitung > 1.96, maka terdapat autokorelasi positif (Pindyck dan Rubinfeld, 1998). 4.4.6. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu
dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Pada penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah : root Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U Theil) (Pindyck and Rubinfield, 1998). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
RMSPE =
∑
………….………………………..... (4.9)
∑
U Theil = ∑
……………………….……. (4.10) ∑
Keterangan: = nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi = nilai actual variabel observasi n = jumlah tahun observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U Theil bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai statistik U Theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naïf. Adapun untuk melihat keeratan pola antara data aktual dengan data prediksi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin
kecil nilai RMSPE dan U Theil dan makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik. 4.5.
Simulasi Historis Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), tujuan simulasi model pada
dasarnya adalah untuk (1) mengevaluasi kebijakan pada masa lampau dan (2) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi model diperlukan untuk mempelajari sejauh mana dampak dari perubahan variabel-variabel eksogen terhadap variabel-variabel endogen di dalam model. Simulasi historis dilakukan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengevaluasi dampak kebijakan Bank Indonesia (penurunan Suku Bunga Bank Indonesia/SBI) dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik. Skenario Kebijakan: 1.
Penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia domestik sebesar 20 persen
Dari sisi permodalan, dengan tingkat suku bunga pinjaman sekarang ini (16-17 persen per tahun) dirasa masih kurang kondusif untuk usaha perkebunan, termasuk kelapa sawit. Suku bunga yang ideal untuk usaha perkebunan adalah sekitar 12 persen per tahun. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari penurunan suku bunga BI terhadap industri hilir kelapa sawit domestik (Novindra, 2011). 2.
Peningkatan penawaran minyak sawit domesik sebesar 10 persen
Minyak sawit merupakan bahan baku dalam industri hilir kelapa sawit. Ketersediaan bahan baku sangat mempengaruhi dalam kegiatan produksi. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari peningkatan penawaran minyak sawit domestik terhadap industri kelapa sawit domestik.
3.
Penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia domestik sebesar 20 persen
disertai dengan peningkatan penawaran minyak sawit domesik sebesar 10 persen. Penurunan tingkat suku bunga di harapkan dapat meningkatkan investasi pada industri hilir kelapa sawit. Peningkatan investasi pada industri hilir kelapa sawit dapat meningkatkan kapasitas produksi yang harus disertai dengan ketersediaan bahan baku industri yang cukup. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari penurunan suku bunga BI disertai dengan peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) terhadap industri hilir kelapa sawit domestik. 4.6. Definisi Operasional 1.
Oleokimia adalah salah satu produk hilir minyak sawit.
2.
Fatty acid merupakan salah satu oleokimia dasar.
3.
Produksi fatty acid adalah jumlah produksi fatty acid yang dihasilkan oleh industri hilir kelapa sawit di Indonesia yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyakan dalam satuan 000 ton
4.
Harga riil fatty acid domestik adalah harga fatty acid yang sudah dideflasikan dengan indeks harga konsumen (2005=100), dinyatakan dalam satuan 000 Rp per ton.
5.
Harga riil sabun domestik adalah harga sabun batangan yang sudah dideflasikan dengan indeks harga konsumen (2005=100), dinyatakan dalam satuan Rp per batang.
6.
Permintaan fatty acid domestik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah permintaan fatty acid oleh industri produk hilir minyak sawit yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan 000 ton.
7.
Penawaran fatty acid adalah jumlah fatty acid yang ditawarkan untuk keperluan industri produk hilir minyak sawit di Indonesia yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan 000 ton
8.
Harga riil minyak sawit domestik adalah harga minyak sawit yang sudah dideflasikan dengan indeks harga konsumen (2005=100), dinyatakan dalam satuan 000 Rp per ton.
9.
Jumlah penduduk Indonesia adalah banyaknya populasi Indonesia yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan juta jiwa.
10. Permintaan minyak sawit domestik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah permintaan minyak sawit oleh industri produk turunan minyak sawit yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan 000 ton. 11. Harga riil minyak sawit dunia adalah harga minyak sawit dunia yang sudah dideflasikan dengan indeks harga konsumen (2005=100), dinyatakan dalam satuan 000 Rp per ton. 12. Total impor fatty acid adalah jumlah impor fatty acid yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan 000 ton. 13. Total ekspor fatty acid adalah jumlah ekspor fatty acid yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, dinyatakan dalam satuan 000 ton.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Hasil Estimasi Model Model ekonometrika produk turunan minyak sawit dalam penelitian ini
merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 6 model yang terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1990 sampai dengan 2010. Hasil estimasi model dalam penelitian ini ditunjukkan secara lengkap pada Lampiran 3 sampai Lampiran 7, dapat dijelaskan bahwa secara umum variable penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural mempunyai besaran dan tanda parameter estimasi yang sesuai dengan harapan dari sudut pandang teori ekonomi. Kriteria-kriteria statistika yang umum digunakan dalam mengevaluasi hasil estimasi model cukup menyakinkan. Nilai koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan struktural berkisar antara 0.33 sampai 0.93. Sebagian besar persamaan memilik nilai R2 di atas 0.5 dan hanya persamaan harga riil fatty acid domestik (HFACID) yang memiliki nilai R2 di bawah 0.4. Berdasarkan nilai R2 tersebut menunjukan bahwa secara umum variabel endogen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel eksogen dalam persamaan struktural. Berdasarkan P-value uji F yang berkisar antara <.0001 – 0.0891, yang berarti variabel penjelas dalam setiap persamaan struktural dapat menjelaskan dengan baik variabel endogennya pada taraf α = 0.10. Berdasarkan hasil uji durbin-w (dw) didapatkan nilai 0.57892 untuk persamaan produksi fatty acid domestik dan hasil uji statistik durbin-h (dh) didapatkan kisaran nilai -1.20184 – 1.41601. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa tiga persamaan tidak
memiliki masalah serial korelasi dan dua persamaan memiliki masalah serial korelasi yaitu persamaan produksi fatty acid domestik (PFACID) dan perminaan fatty acid domestik (DFACID). Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, maka hasil dalam estimasi model dalam penelitian ini cukup representatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi dan industri fatty acid di Indonesia. P-value uji t, digunakan untuk menguji masing-masing variabel penjelas dalam penelitian ini apakah berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hasil P-value uji t yang diperoleh menunjukan bahwa hanya 21.05 persen variable penjelas yang tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf α = 0.20. Adapun variabel penjelas yang berpengaruh nyata sebanyak 78.95 persen. 5.1.1. Produksi Fatty Acid Domestik Jika dilihat pada Tabel 13 variabel yang secara nyata mempengaruhi produksi fatty acid domestik pada taraf α = 0.05 adalah variabel tren. Perubahan harga riil minyak sawit domestik dan perubahan tingkat suku bunga juga berpengaruh nyata namun pada taraf α = 0.25. Variabel harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya tidak mempengaruhi produksi fatty acid domestik secara nyata meskipun pada taraf α = 0.25. Harga riil fatty acid tahun sebelumnya yang tidak berpengaruh nyata, mengindikasikan bahwa produsen fatty acid tidak mempertimbangkan harga riil fatty acid tahun sebelumnya dalam kegiatan produksi. Fatty acid merupakan produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah cukup tinggi dan
dijadikan bahan baku dalam industri produk konsumsi masyarakat pada umumnya seperti sabun batangan, detergen, shampo, pelembut, kosmetik, dan juga merupakan bahan tambahan untuk industri plastik, karet, dan pelumas. Tabel 13. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik Variabel Intercept
Parameter Estimasi -167.7260
Elastisitas SR
LR
Prob > |T| 0.0328
LHFACID
0.0269
0.0015
–
0.4942
DHMSDR
-0.0275
-0.0953
–
0.2167
DTB
-9.4233
-0.2257
T 45.1044 0.7015 R-squared 0.9251 Prob>|F| <.0001 Sumber : Data diolah (2012)
Variabel Label Intercept Harga Riil Fatty acid Domestik t-1
Perubahan Harga Rill Minyak Sawit Domestik – 0.2064 Perubahan Tingkat Suku Bunga <.0001 Tren Durbin-W stat 0.5789
Variabel perubahan harga riil minyak sawit domestik berpengaruh negatif terhadap produksi fatty acid domestik sebesar 0.0275. Artinya peningakatan perubahan harga riil minyak sawit domestik sebesar seribu rupiah per ton, maka produksi fatty acid akan berkurang sebesar 27.5 ton per tahun. Sebaliknya jika terjadi penurunan perubahan harga riil minyak sawit domestik sebesar seribu rupiah per ton, maka produksi fatty acid domestik akan meningkat sebesar 27.5 ton per tahun, ceteris paribus. Respon produksi fatty acid domestik terhadap perubahan harga riil minyak sawit domestik inelastis (0.0953). Hal ini berarti peningkatan perubahan harga riil minyak sawit domestik sebesar satu persen hanya akan menyebabkan penurunan produksi fatty acid domestik kurang dari satu persen yaitu 0.0953 persen. Rendahnya dampak yang diberikan oleh perubahan harga riil minyak sawit domestik mengindikasikan bahwa variabel harga riil minyak sawit domestik tidak menjadi acuan bagi industri fatty acid dalam kegiatan produksinya.
Variabel perubahan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap produksi fatty acid domestik sebesar 9.4233. Artinya peningakatan perubahan tingkat suku bunga sebesar satu persen, maka produksi fatty acid akan berkurang sebesar 9,423.3 ton per tahun. Sebaliknya jika terjadi penurunan perubahan tingkat suku bunga sebesar satu persen, maka produksi fatty acid domestik akan meningkat sebesar 9,423.3 ton per tahun, ceteris paribus. Dari berpengaruhnya variabel tingkat suku bunga terhadap produksi fatty acid, dapat kita simpulkan bahwa tingkat suku bunga merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi fatty acid. Hal ini diperkuat dengan variabel tren teknologi yang mempengaruhi produksi fatty acid domestik secara nyata. Apabila tingkat suku bunga meningkat maka investasi pada industri fatty acid domestik akan menurun, begitu juga sebaliknya apabila tingkat suku bunga menurun maka investor akan meningkatkan investasi mereka pada industri fatty acid domestik. Meningkatnya investasi pada industri fatty acid domestik akan mendorong bertambahnya jumlah produsen fatty acid domestik dan meningkatnya inovasi teknologi yang digunakan, sehingga kapasitas produksi dari industri fatty acid domestik akan meningkat. Variabel tren teknologi berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi fatty acid domestik. Adapun arti dari pengaruh variabel tren teknologi adalah bahwa selama kurun waktu pengamatan, terjadi inovasi teknologi yang digunakan pada industri fatty acid domestik. Tingkat teknologi ini berpengaruh secara inelastis (0.7015) menunjukkan bahwa inovasi tersebut cukup berpengaruh terhadap produksi fatty acid dalam jangka pendek. Dari hasil estimasi diketahui bahwa tingkat teknologi pada industri fatty acid dapat mengurangi pengaruh dari harga riil fatty acid tahun sebelumnya pada kegiatan produksi fatty acid domestik,
namun belum mampu mengurangi pengaruh dampak perubahan harga minyak sawit domestik dalam kegiatan produksinya. 5.1.2. Permintaan Fatty Acid Domestik Hasil estimasi persamaan permintaan fatty acid domestik disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. Adapun secara ringkas terdapat pada Tabel 14 sebagai berikut: Tabel 14. Hasil Estimasi Permintaan Fatty Acid Domestik Variable Intercept LHFACID DPI
HSBDR
Parameter Elastisitas Estimasi SR LR -126.7210 -1.1584 -0.2184 -0.2682 38.2676
37.1174
0.0284
0.1614
T 12.0294 0.6198 LDFACID 0.1858 R-squared 0.9302 Prob>|F| <.0001
Prob Variable >|T| Label 0.0283 Intercept 0.0512 Harga Riil Fatty acid t-1 45.5850 0.0002 Perubahan Jumlah Penduduk Indonesia 0.1982 0.1833 Harga Riil Sabun Domestik 0.7612 0.0043 Tren 0.2658 DFACID t-1 Durbin-h stat tidak terdefinisi
Sumber : Data diolah (2012)
Permintaan fatty acid domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh harga fatty acid domestik tahun sebelumnya, perubahan jumlah penduduk Indonesia, harga riil sabun domestik, tren dan permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya. Jika dilihat pada Tabel 14 dapat diketahu bahwa variabel yang berpengaruh secara nyata pada taraf α = 0.05 terhadap permintaan fatty acid domestik adalah perubahan jumlah penduduk Indonesia dan tren. Harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya berpengaruh nyata pada taraf α = 0.1 dan harga riil sabun domestik juga berpengaruh nyata namun pada taraf α = 0.2. Variabel yang tidak berpengaruh nyata meski pada taraf α = 0.2 adalah permintaan fatty
acid domestik tahun sebelumnya. Hal ini berarti permintaan fatty acid domestik relatif cepat dalam merespon perubahan-perubahan ekonomi yang terjadi. Variabel harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya berpengaruh negatif sebesar 1.1584. Artinya peningkatan harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan penurunan permintaan fatty acid domestik sebesar 1,158.4 ton per tahun. Sebaliknya, penurunan harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 1,158.4 ton per tahun, cateris paribus. Respon permintaan fatty acid domestik terhadap harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya adalah inelastis baik untuk jangka pendek (0.2184) maupun jangka panjang (0.2682). Hal ini berarti kenaikan harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar satu persen hanya akan menyebabkan penurunan permintaan fatty acid domestik sebesar 0.2184 persen untuk jangka pendek dan 0.2682 persen untuk jangka panjang. Variabel perubahan jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif sebesar 38.2676. Artinya peningkatan perubahan jumlah penduduk Indonesia sebesar satu juta jiwa akan menyebabkan peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 38,267.6 ton per tahun. Sebaliknya, penurunan perubahan jumlah penduduk Indonesia sebesar satu juta jiwa akan menyebabkan penurunan permintaan fatty acid domestik sebesar 38,267.6 ton per tahun, cateris paribus. Respon permintaan fatty acid domestik terhadap perubahan jumlah penduduk Indonesia adalah elastis baik untuk jangka pendek (37.1173) maupun jangka panjang (45.5850). Hal ini berarti kenaikan perubahan jumlah penduduk Indonesia sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan permintaan fatty
acid domestik sebesar 37.1173 persen untuk jangka pendek dan 45.5850 persen untuk jangka panjang. Berpengaruhnya
variabel
perubahan
jumlah
penduduk
Indonesia
menunjukkan bahwa kebutuhan akan produk hilir minyak sawit (sabun batangan, detergen, shampo, pelembut, kosmetik, plastik, karet, dan pelumas) yang berbahan baku fatty acid semakin meningkat sejalan dengan peningkatan perubahan jumlah penduduk Indonesia. Meningkatnya konsumsi produk hilir minyak sawit yang disebutkan diatas menyebabkan peningkatan permintaan fatty acid domestik oleh industri-industri produk hilir minyak sawit tersebut. Hal ini diperkuat oleh harga rill sabun domestik yang mempengaruhi permintaan fatty acid domestik secara nyata. Variabel harga riil sabun domestik berpengaruh positif sebesar 0.0284. Artinya peningkatan harga riil sabun domestik sebesar satu rupiah per batang akan menyebabkan peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 28.4 ton per tahun. Sebaliknya, penurunan harga riil sabun domestik sebesar satu rupiah per batang akan menyebabkan penurunan permintaan fatty acid domestik sebesar 28.4 ton per tahun, cateris paribus. Respon permintaan fatty acid domestik Indonesia terhadap harga riil sabun domestik adalah inelastis baik untuk jangka pendek (0.1614) maupun jangka panjang (0.1982). Hal ini berarti kenaikan harga riil sabun domestik sebesar satu persen hanya akan menyebabkan peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 0.1614 persen untuk jangka pendek dan 0.1982 persen untuk jangka panjang. Variabel tren berpengaruh nyata secara positif terhadap permintaan fatty acid domestik. Adapun arti dari pengaruh tren konsumsi adalah bahwa selama kurun
waktu pengamatan, pola konsumsi masyarakat terhadap produk yang lebih ramah lingkungan yang berbahan baku fatty acid cendrung meningkat menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan fatty acid domestik. Tren konsumsi ini berpengaruh secara inelastis untuk jangka pendek (0.6198) maupun jangka panjang (0.7612). Hal ini disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk menggunakan produk yang ramah lingkungan yaitu produk yang berbahan baku fatty acid. 5.1.3. Harga Riil Fatty Acid Domestik Jika dilihat pada Tabel 15 variabel yang secara nyata mempengaruhi harga riil fatty acid domestik pada taraf α = 0.5 adalah harga riil fatty acid tahun sebelumnya. Penawaran dan permintaan fatty acid tahun sebelumnya juga berpengaruh nyata terhadap harga riil fatty acid domestik namun pada taraf nyata α = 0.10. Tabel 15. Hasil Estimasi Harga Riil Fatty Acid Domestik Variable Intercept LSFACID
Parameter Estimasi 30.7511 -1.0415
LDFACID
1.0348
Elastisitas LR
SR
-1.1687 1.1087
LHFACID 0.4181 R-squared 0.3267 Prob>|F| Sumber : Data Diolah (2012)
0.0891
Prob > |T| 0.0054 0.0601
Variable Label Intercept -2.0085 Penawaran Fatty acid Domestik t-1 1.9054 0.0604 Permintaan Fatty acid Domestik t-1 0.0293 HFACID t-1 Durbin-h stat -1.2018
Harga riil fatty acid domestik tahun sebelumnya berpengaruh nyata menunjukkan bahwa harga riil fatty acid domestik relatif lambat dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Variabel penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya berpengaruh negatif sebesar 1.0415 . Artinya adalah apabila terjadi kenaikan penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu ton, maka akan terjadi penurunan
harga riil fatty acid domestik sebesar 1,042 rupiah per ton. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu ton, maka akan terjadi peningkatan harga riil fatty acid domestik sebesar 1,042 rupiah per ton, cateris paribus. Respon harga fatty acid domestik terhadap penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya bersifat elastis untuk jangka pendek (1.1687) maupun untuk jangka panjang (2.0085). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar satu persen, akan terjadi penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 1.1687 persen untuk jangka pendek dan 2.0085 persen untuk jangka panjang. Penawaran fatty acid yang cenderung meningkat dari tahun ketahun sebagai akibat bertambahnya jumlah industri fatty acid dan peningkatan teknologi yang digunakan menyebabkan harga riil fatty acid domestik sangat dipengaruhi oleh penawaran fatty acid tahun sebelumnya, sehingga bersifat elastis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel permintaan fatty acid domestik tahun sabelumnya berpengaruh secara positif sebesar 1.0348. Adapun artinya adalah apabila terjadi peningkatan permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu ton, makan harga riil fatty acid domestik akan menigkat sebesar 1,035 rupiah per ton. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya sebesar seribu ton, maka akan terjadi penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 1,035 rupiah per ton, cateris paribus. Respon harga riil fatty acid domestik terhadap permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya bersifat elastis untuk jangka pendek (1.1087) maupun untuk jangka panjang (1.9054). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan permintaan fatty acid domestik tahun
sebelumnya sebesar satu persen, akan terjadi peningkatan harga riil fatty acid domestik sebesar 1.1087 persen untuk jangka pendek dan 1.9054 persen untuk jangka panjang. Hal ini menandakan permintaan fatty acid dari tahun ketahun cenderung naik dan menjadi acuan bagi produsen fatty acid dalam menetapkan harga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 5.1.4. Penawaran Fatty Acid Domestik Pada penelitian ini penawaran fatty acid domestik merupakan persamaan identitas dari produksi fatty acid ditambah impor fatty acid kemudian dikurangi dengan ekspor fatty acid. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan berikut. SFACIDt = PFACIDt + IMFACIDt – EXFACIDt 5.1.5. Harga Riil Minyak Sawit Domestik Jika dilihat pada Tabel 16 variabel yang secara nyata mempengaruhi harga riil minyak sawit domestik pada taraf α = 0.05 adalah semua variabel yaitu penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya, permintaan minyak sawit domestik, harga rill minyak sawit dunia, dan harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya. Harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya berpengaruh nyata menunjukkan bahwa harga riil minyak sawit domestik relatif lambat dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Variabel
penawaran
minyak
sawit
domestik
tahun
sebelumnya
berpengaruh negatif sebesar 0.4966. Adapun artinya adalah apabila terjadi kenaikan penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya sebesar seribu ton, maka akan terjadi penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 497 rupiah per ton. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan penawaran minyak sawit domestik
tahun sebelumnya sebesar seribu ton, maka akan terjadi peningkatan harga riil minyak sawit domestik sebesar 497 rupiah per ton, cateris paribus. Respon harga riil minyak sawit domestik terhadap pernawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya bersifat inelastis untuk jangka pendek (0.6839) dan elastis untuk jangka panjang (1.8467). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya sebesar satu persen, akan terjadi penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 0.6839 persen untuk jangka pendek dan 1.8467 persen untuk jangka panjang. Hal ini menandakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik tidak secara langsung dapat mempengaruhi harga riil minyak sawit domestik dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang peningkatan penawaran minyak sawit domestik dapat mempengaruhi harga riil minyak sawit domestik, sehingga bersifat elastis. Tabel 16. Hasil Estimasi Harga Riil Minyak Sawit Domestik Variable Intercept LSMSD
Parameter Estimasi -818.6590 -0.4966
SR
Elastisitas LR
-0.6839
DMSD
0.9248
1.2130
HMSWR
0.6520
0.1755
LHMSDR 0.6296 R-squared 0.5815 Sumber : Data diolah (2012)
Prob>|F|
0.0078
-1.8467
Prob >|T| 0.1883 0.0193
Variabel Label
Penawaran Minyak Sawit Domestik t-1 3.2753 0.0016 Permintaan Minyak Sawit Domestik 0.4738 0.0377 Harga Riil Minyak Sawit Dunia 0.0017 HMSDR t-1 Durbin-h stat 1.4160
Variabel permintaan minyak sawit domestik berpengaruh secara positif sebesar 0.9248. Adapun artinya adalah apabila terjadi peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar seribu ton, maka harga riil minyak sawit domestik akan menigkat sebesar 925 rupiah per ton. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar seribu ton, maka akan terjadi penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 925 rupiah per ton, cateris
paribus. Respon harga riil minyak sawit domestik terhadap permintaan minyak sawit domestik bersifat elastis untuk jangka pendek (1.2130) maupun untuk jangka panjang (3.2751). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar satu persen, akan terjadi peningkatan harga riil minyak sawit domestik sebesar 1.2130 persen untuk jangka pendek dan 3.2751 persen untuk jangka panjang. Semakin meningkatnya permintaan fatty acid oleh industri yang menggunakan fatty acid sebagai bahan baku, secara tidak langsung mempengaruhi permintaan minyak sawit yang merupakan bahan baku industri fatty acid, menyebabkan harga riil minyak sawit dipengaruhi oleh permintaan minyak sawit baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel harga riil minyak sawit dunia berpengaruh secara positif sebesar 0.6520. Adapun artinya adalah apabila terjadi peningkatan harga riil minyak sawit dunia sebesar satu US $ per ton, maka harga riil minyak sawit domestik akan menigkat sebesar 652 rupiah per ton. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan harga riil minyak sawit dunia sebesar satu US $ per ton, maka harga riil minyak sawit domestik akan mengalami penurunan sebesar 652 rupiah per ton, cateris paribus. Respon harga riil minyak sawit domestik terhadap harga riil minyak sawit dunia bersifat inelastis untuk jangka pendek (0.1755) maupun untuk jangka panjang (0.4738). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan harga riil minyak sawit dunia sebesar satu persen, akan terjadi peningkatan harga riil minyak sawit domestik sebesar 0.1755 persen untuk jangka pendek dan 0.4738 persen untuk jangka panjang. Hal ini menandakan bahwa harga riil minyak sawit domestik tidak dipengaruhi secara langsung oleh harga riil minyak sawit dunia disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
5.1.6. Permintaan Minyak Sawit Domestik Persamaan permintaan minyak sawit domestik dari model yang telah diduga diitentukan oleh harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya, harga riil fatty acid domestik, dan permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya. Dari hasil estimasi persamaan tersebut dapat dilihat bahwa semua tanda telah sesuai dengan hipotesis. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik Variabel Intercept
Parameter Estimasi 1379.9550
Elastisitas SR
Prob > |T| 0.0128
LR
Variabel Label Intercept
LHMSDR
-0.2234
-0.1314
-0.3321
0.0881
Harga Riil Minyak Sawit Domestik t-1
HFACID
10.2963
0.0995
0.2512
0.1210
Harga Riil Fatty acid
LDMSD
0.6042
<.0001
Permintaan Minyak Sawit t-1 -0.9432
R-squared 0.6637 Prob>|F| Sumber : Data diolah (2012)
0.0005
Durbin-h stat
Berdasarkan tabel 17 di atas, dapat diketahui semua variabel mempengaruhi permintaan minyak sawit domestik secara nyata pada taraf α = 0.15. Berpengaruhnya variabel permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya terhadap permintaan minyak sawit domestik dapat diartikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari permintaan minyak sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Variabel harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya berpengaruh negatif sebesar 0.2234. Artinya peningkatan harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 223.4 ton per tahun. Sebaliknya, penurunan harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit domestik
sebesar 223.4 ton per tahun, cateris paribus. Respon permintaan minyak sawit domestik terhadap harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya adalah inelastis untuk jangka pendek (0.1314) maupun jangka panjang (0.3321). Hal ini berarti kenaikan harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya sebesar satu persen hanya akan menyebabkan penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 0.1314 persen untuk jangka pendek dan 0.3321 persen untuk jangka panjang. Hal ini menandakan bahwa harga riil minyak sawit domestik tahun sebelumnya tidak berpengaruh besar dalam permintaan minyak sawit oleh industri hilir minyak sawit di Indonesia. Variabel harga riil fatty acid domestik berpengaruh positif sebesar 10.2963. Artinya peningkatan harga riil fatty acid domestik sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar 10,296.3 ton per tahun. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi dimana apabila harga fatty acid meningkat makan industri fatty acid akan menambah kapasitas produksinya yang sejalan dengan peningkatan permintaan minyak sawit sebagai bahan baku dalam industri tersebut. Sebaliknya, penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar seribu rupiah per ton akan menyebabkan penurunan kapasitas produksi fatty acid oleh industri fatty acid domestik, yang menyebabkan penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 10,296.3 ton per tahun, cateris paribus. Respon permintaan minyak sawit domestik terhadap harga riil fatty acid domestik bersifat inelastis untuk jangka pendek (0.0995) maupun untuk jangka panjang (0.2512). Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan harga riil fatty acid sebesar satu persen, akan terjadi peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar 0.0995 persen untuk jangka pendek dan 0.2512 persen untuk
jangka panjang. Hal ini menandakan bahwa harga riil fatty acid tidak mempengaruhi permintaan minyak sawit domestik secara signifikan karena industri fatty acid bukan salah satu industri hilir minyak sawit yang menggunakan minyak sawit dalam sekala besar.
VI. EVALUASI PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENAWARAN MINYAK SAWIT DOMESTIK TERHADAP PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA 6.1.
Hasil dan Pembahasan Simulasi Model Evaluasi dilakukan dengan dua skenario simulasi historis pada tahun 2007
sampai dengan 2010. Tujuan dari skenario simulasi untuk mengetahui bagaimana dampak perubahan faktor eksternal berupa penurunan tingkat suku bunga BI sebesar 20 persen dan peningkatan penawaran bahan baku yaitu minyak sawit sebesar 10 persen terhadap perubahan produksi, permintaan, penawaran, dan harga fatty acid, serta harga dan permintaan minyak sawit. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 18. Tabel 18. No. 1.
Hasil Simulasi Historis terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun 2007-2010
Variabel Endogen Produksi Fatty Acid Domestik Permintaan Fatty Acid Domestik Harga Riil Minyak Sawit Domestik Harga Riil Fatty Acid Domestik Permintaan Minyak Sawit Domestik Penawaran Fatty Acid Domestik
2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Dasar 707.3
Perubahan Dari Setiap Skenario Simulasi (%) TB Turun SMSD TB Turun 20% dan 20% Naik 10% SMSD Naik 10% 4.40 0.38 4.78
213.5
10.16
1.59
11.76
2354.8
-10.01
-13.42
-23.43
117.4
-18.66
-1.62
-20.36
4166.5
-5.01
0.77
-4.24
166.9
18.63
1.62
20.25
Sumber : Data Diolah (2012)
6.1.1. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Tabel 18 menunjukkan bahwa penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) riil sebesar 20 persen memberikan peningkatan terhadap produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid sebesar 4.40 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya penurunan tingkat suka bunga maka dapat meningkatkan investasi pada industri fatty acid. Meningkatnya investasi pada
industri fatty acid dapat meningkatkan kapasitas produksi pada industri fatty acid dengan cara peningkatan teknologi yang digunakan dan penambahan jumlah industri fatty acid. Menurut Perloff (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi produksi adalah harga barang itu sendiri dan harga bahan baku yang dibutuhkan dalam industri. Apabila terjadi peningkatan harga riil fatty acid domestik dan penurunan harga riil minyak sawit domestik akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi fatty acid domestik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 18.66 persen dan penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 10.01 persen menyebabkan peningkatan produksi fatty acid domestik sebesar 4.40 persen. Penurunan harga riil fatty acid domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 namun produksi fatty acid domestik juga dipengaruhi beberapa variabel lain salah satunya yaitu tingkat teknologi berpengaruh secara nyata. Tingkat teknologi sangat berpengaruh terhadap kapasitas produksi pada industri fatty acid. Meningkatnya teknologi yang digunakan sejalan dengan meningkatnya investasi dalam industri fatty acid sebagai akibat dari penurunan tingkat suku bunga, sehingga dapat dikatakan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi. Penurunan harga riil fatty acid domestik secara teori akan berpengaruh juga terhadap penawaran dan permintaan fatty acid domestik (Perloff, 2008). Pada simulasi ini penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 18.66 persen berdampak pada peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 10.16 persen dan peningkatan penawaran fatty acid domestik sebesar 18.63 persen. Peningkatan penawaran fatty acid domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan
teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa penawaran fatty acid domestik mempengaruhi harga riil fatty acid domestik secara negatif namun dengan adanya penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi pada industri fatty acid yang dapat meningkatkan penggunaan teknologi dalam meningkatkan kapasitas produksi fatty acid sehingga penawaran fatty acid akan meningkat, hal ini mengindikasikan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi. Permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit domestik (Perloff, 2008). Pada simulasi ini penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 10.01 persen berdampak pada penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 5.01 persen. Penurunan permintaan minyak sawit domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa harga riil minyak sawit domestik mempengaruhi permintaan minyak sawit domestik secara negatif namun permintaan minyak sawit domestik juga dipengaruhi beberapa variabel lain salah satunya yaitu harga riil fatty acid domestik dan variabel lain diluar model yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan minyak sawit domestik, sehingga dapat dikatakan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi. 6.1.2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Berdasarkan tabel 18 dampak peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan penurunan harga minyak sawit itu sendiri yaitu sebesar 13.42 persen. Melimpahnya ketersediaan bahan baku dalam industri produk turunan minyak sawit tidak berpengaruh besar terhadap kapasitas
produksi fatty acid domestik, peningkatan produksi fatty acid domestik yaitu sebesar 0.38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan penawaran bahan baku dalam industri fatty acid domestik tidak akan ada artinya jika tidak diiringi dengan penambahan kapasitas produksi pada industri fatty acid. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa perubahan produksi fatty acid akan relatif kecil apabila dilakukan simulasi. Harga riil fatty acid domestik mengalami penurunan sebesar 1.62 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan produsen fatty acid mendapatkan bahan baku industri yaitu minyak sawit dengan harga yang lebih rendah, sehingga produsen fatty acid dapat menekan biaya produksi. Penurunan harga riil fatty acid domestik secara teori akan berpengaruh juga terhadap penawaran dan permintaan fatty acid (Perloff, 2008). Pada simulasi ini penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 1.62 persen berdampak pada peningkatan permintaan fatty acid sebesar 1.59 persen dan peningkatan penawaran fatty acid sebesar 1.62 persen. Peningkatan penawaran fatty acid ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa penawaran fatty acid domestik mempengaruhi harga riil fatty acid domestik secara negatif namun harga riil fatty acid domestik juga dipengaruhi beberapa variabel lain salah satunya yaitu permintaan fatty acid domestik yang berpengaruh secara elastis. Hasil simulasi menunjukkan bahwa permintaan fatty acid domestik mengalami peningkatan sebesar 1.59 persen sehingga dapat dikatakan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi.
Menurut Perloff (2008), salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga barang itu sendiri. Apabila terjadi penurunan harga riil minyak sawit domestik akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan minyak sawit domestik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 13.42 persen hanya menyebabkan peningkatan permintaan miyak sawit domestik sebesar 0.77 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit domestik akan relatif kecil apabila dilakukan simulasi. 6.1.3. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Tabel 18 menunjukkan bahwa penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) riil sebesar 20 persen dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen yang merupakan bahan baku dalam industri fatty acid memberikan peningkatan terhadap produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid sebesar 4.78 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya penurunan tingkat suka bunga maka dapat meningkatkan investasi pada industri fatty acid. Meningkatnya investasi pada industri fatty acid dapat meningkatkan kapasitas produksi pada industri fatty acid dengan cara peningkatan teknologi yang digunakan dan penambahan jumlah industri fatty acid serta didukung oleh ketersediaan bahan baku yaitu minyak sawit. Menurut Perloff (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi produksi adalah harga barang itu sendiri dan harga bahan baku yang dibutuhkan dalam industri. Apabila terjadi peningkatan harga riil fatty acid domestik dan penurunan harga riil minyak sawit domestik akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi fatty acid domestik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 20.36
persen dan penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 23.43 persen menyebabkan peningkatan produksi fatty acid domestik sebesar 4.78 persen. Penurunan harga riil fatty acid domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 namun produksi fatty acid domestik juga dipengaruhi beberapa variabel lain salah satunya yaitu tingkat teknologi berpengaruh secara nyata. Tingkat teknologi sangat berpengaruh terhadap kapasitas produksi pada industri fatty acid. Meningkatnya teknologi yang digunakan sejalan dengan meningkatnya investasi dalam industri fatty acid sebagai akibat dari penurunan tingkat suku bunga, sehingga dapat dikatakan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi. Penurunan harga riil fatty acid domestik secara teori akan berpengaruh juga terhadap penawaran dan permintaan fatty acid domestik (Perloff, 2008). Pada simulasi ini penurunan harga riil fatty acid domestik sebesar 20.36 persen berdampak pada peningkatan permintaan fatty acid domestik sebesar 11.76 persen dan peningkatan penawaran fatty acid domestik sebesar 20.25 persen. Peningkatan penawaran fatty acid domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa penawaran fatty acid domestik mempengaruhi harga riil fatty acid domestik secara negatif namun dengan adanya penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi pada industri fatty acid yang dapat meningkatkan penggunaan teknologi dalam meningkatkan kapasitas produksi fatty acid sehingga penawaran fatty acid akan meningkat, hal ini mengindikasikan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi.
Permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit domestik (Perloff, 2008). Pada simulasi ini penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 23.43 persen berdampak pada penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 4.24 persen. Penurunan permintaan minyak sawit domestik ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori ekonomi dan hasil estimasi pada Bab 5 yang menunjukkan bahwa harga riil minyak sawit domestik mempengaruhi permintaan minyak sawit domestik secara negatif namun permintaan minyak sawit domestik juga dipengaruhi beberapa variabel lain salah satunya yaitu harga riil fatty acid domestik dan variabel lain diluar model yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan minyak sawit domestik, sehingga dapat dikatakan hasil simulasi sesuai dengan hasil estimasi pada Bab 5 dan teori ekonomi.
VII. 7.1.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat dirumuskan beberapa simpulan
penelitian. Hal-hal yang menjadi simpulan penelitian adalah: 1.
Produksi fatty acid domestik dipengaruhi secara nyata oleh perubahan harga riil minyak sawit domestik, perubahan tingkat suku bunga, dan teknologi.
2.
Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indonesia menyebabkan penurunan terhadap harga riil fatty acid domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik;
3.
Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebsar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik, dan permintaan minyak sawit domestik. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan harga riil minyak sawit domestik, dan harga riil fatty acid domestik;
4.
Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen serta peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, dan penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indoonesia dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan terhadap harga riil fatty
acid domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik. 7.2.
Saran Berdasarkan hasil, pembahasan, dan simpulan yang telah dijelaskan, saran
yang dapat diajukan sebagai masukan dalam peningkatan dan pengembangan produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia adalah: 1.
Dalam rangka mendorong meningkatnya kapasitas produksi fatty acid domestik, pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan penurunan suku bunga bagi investor dan diiringi dengan kebijakan yang berusaha meningkatan penawaran minyak sawit domestik.
2.
Dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (seperti fatty acid) dalam meningkatkan devisa negara dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri ini.
DAFTAR PUSTAKA Affudin S. 2007. Analisis Determinan yang Mempengaruhi Produksi Industri Margarin Provinsi Sumatera Utara. Universitas Airlangga, Jakarta. Amang, B., dan M. H. Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional (Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi). Institut Pertanian Bogor Press, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1990-2010. Statistik Industri Besar dan Sedang. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ________________. 2003-2010. Statistik Harga Konsumen Beberapa Barang dan Jasa di Seluruh Ibukota Provinsi Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2012. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan dan Kontribusi Setiap Sektor terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia Tahun 2009-2011 (%), Jakarta. Buana, Lalang, Siahaan, Donald, Adiputra, Sunardi. 2007. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2010, Jakarta. ___________________________. 2012. Produksi CPO dan Inti Sawit Indonesia Tahun 2000-2010, Jakarta. Fauzi, Yan, Yustiana, Erna Widyastuti, Iman Satyawibawa, Rudi Hartono. 2002. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya, Depok. Gosta DR. 2011. Sektor Sawit Hilir akan Tumbuh Pesat. Jurnal Kelapa Sawit, 5(1): 71. Gujarati, D. 1998. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. PT Erlangga, Jakarta. Haryana A, Indarto J, Avianto N. 2010. Kebijakan dan Strategi Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta : Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS. Kementerian Perindustrian. 2009. ROADMAP Industri pengolahan CPO. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Jakarta. ______________________. 2011. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah, Jakarta. Kementerian Pertanian. 2010. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2006-2010, Jakarta.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. The Macmillan Press. Ltd, London. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2007. Prospek Pasar Fatty Alcohol Menjanjikan, Bogor. Lipsey, R. G., P. O. Steiner, and D. D. Purvis. 1987. Economics. Eight Edition. Harper & Row Publishers. Inc, New York. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Novindra. 2011. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nuryanti S. Nilai Strategi Industri Sawit. Jurnal Agro Ekonomi. 6 (4) : 378-392. Pahan, I dan E. Lukas . 2005. Perbaikan Iklim Usaha untuk Pengembangan Industri Minyak Sawit dan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, 24 November 2005: 126-132. Pekanbaru. Perloff, Jefrey M. 2008. Microeconomcs Theory and Application with Calculus. Pearson Education. Inc, Boston. Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecast Fourth Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Sofia AR. 2011. Pengaruh Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga Kredit SBI dan Suku Bunga Internasional Sibon terhadap Tingkat Suku Bunga Kredit Bank Umum di Indonesia. Skripsi. Fakultas Pendidikan Menejemen Bisnis. Universitas Indonesia, Jakarta. Sudirman W. 2011. Kebijakan Fiskal dan Moneter Teori dan Empirikal. Kencana Prenada Media group, Jakarta. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Minyak Sawit di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukirno S. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Widodo. 2005. Kebijakan Pengembangan Industri Oleokimia Berbasis Minyak Sawit di Indonesia. Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit pada Berbagai Industri, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Nama Variabel yang Digunakan dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia PFACID DFACID SFACID HMSDR SMSD TB T PI EXFACID HMSWR IMFACID HFACID HSBDR DMSD IHK LPFACID LDFACID LSFACID LHMSDR (000Rp/ton) LHFACID LTB LSMSD (000ton) LPI LDMSD DPFACID DTB DPI DHMSDR
= Produksi Fatty Acid Domestik (000 ton) = Permintaan Fatty Acid Domestik (000 ton) = Penawaran Fatty Acid Domestik (000 ton) = Harga Riil Minyak Sawit Domestik (000 Rp/ton) = Penawaran Minyak Sawit Domestik (000 ton) = Tingkat Suku Bunga Uang (%) = Tren = Jumlah Penduduk Indonesia (juta jiwa) = Ekspor Fatty Acid Domestik (000 ton) = Harga Riil Minyak Sawit Dunia (US$/ton) = Impor Fatty Acid Domestik (000 ton) = Harga Riil Fatty Acid (000 Rp/ton) = Harga Riil Sabun Domestik (Rp/batang) = Permintaan Minyak Sawit Domestik (000 ton) = Indeks Harga Konsumen = Produksi Fatty Acid Domestik Tahun Sebelumnya (000 ton) = Permintaan Fatty Acid Domestik Tahun Sebelumnya (000 ton) = Penawaran Fatty Acid Domestik Tahun Sebelumnya (000 ton) = Harga Riil Minyak Sawit Domestik Tahun Sebelumnya = Harga Riil Fatty Acid Tahun Sebelumnya (000 Rp/ton) = Tingkat Suku Bunga Uang Tahun Sebelumnya (%) = Penawaran Minyak Sawit Domestik Tahun Sebelumnya = Jumlah Penduduk Indonesia Tahun Sebelumnya (juta jiwa) = Permintaan Minyak Sawit Domestik Tahun Sebelumnya = Perubahan Produksi Fatty Acid Domestik (000 ton) = Perubahan Tingkat Suku Bunga Uang (%) = Perubahan Jumlah Penduduk Indonesia (juta jiwa) = Perubahan Harga Riil Minyak Sawit Domestik (000 Rp/ton)
Lampiran 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia data estimasi; set sasuser. pendugaan; /*create data*/ SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; /*membuat variabel lag*/ LPFACID = LAG (PFACID); LDFACID = LAG (DFACID); LHMSDR = LAG (HMSDR); LHFACID = LAG (HFACID); LTB = LAG(TB); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LPI = LAG(PI); LSFACID = LAG (SFACID); LDMSD = LAG (SMSD) ; LHSBDR = LAG (HSBDR); /*create data perubahan*/ DPFACID = PFACID-LPFACID; DDFACID = DFACID-LDFACID; DHMSDR = HMSDR-LHMSDR; DHFACID = HFACID-LHFACID; DTB = TB-LTB; DSMSD = SMSD-LSMSD; DGDPR = GDPR-LGDPR; DPI = PI-LPI; DSFACID = SFACID-LSFACID; DHSBDR = HSBDR-LHSBDR; /*create data pertumbuhan*/ TPFACID = (PFACID-LPFACID)/LPFACID; TDFACID = (DFACID-LDFACID)/LDFACID; THMSDR = (HMSDR-LHMSDR)/LHMSDR; THFACID = (HFACID-LHFACID)/LHFACID; /*mendeskripsikan variabel*/ label PFACID = 'produksi fatty acid domestik (000 ton)' DFACID = 'permintaan fatty acid domestik (000 ton)' SFACID = 'penawaran fatty acid domestik (000 ton)' HMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil (000 Rp/ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren' PI = 'jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' EXFACID = 'ekspor fatty acid domestik (000 ton)' HMSWR = 'harga minyak sawit dunia riil (US$/ton)' IMFACID = 'impor fatty acid domestik (000 ton)'
Lampiran 3. Lanjutan HFACID = 'harga fatty acid riil (000 Rp/ton)' HSBDR = 'harga riil sabun domestik' DMSD = 'permintaan minyak sawit domestik (000 ton)' IHK = 'indeks harga konsumen ' LPFACID = 'produksi fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LDFACID = 'permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LSFACID = 'penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LHFACID = 'harga fatty acid riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LTB = 'tingkat suku bunga uang tahun sebelumnya (%)' LSMSD = 'penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LPI = 'jumlah penduduk indonesia tahun sebelumnya (juta jiwa)' LDMSD = 'permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya' DPFACID = 'perubahan produksi fatty acid domestik (000 ton)' DTB = 'perubahan tingkat suku bunga uang (%)' DPI = 'perubahan jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' DHMSDR = 'perubahan harga riil minyak sawit domestik' PMSD = 'produksi minyak sawit domestik' EXMS = 'ekspor minyak sawit Indonesia' IMMS = 'impor minyak sawit Indonesia' ; PROC SYSLIN 2sls DATA=estimasi; endogenous PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID ; instruments Th T PI GDPR TB EXFACID IMFACID DMSD SMSD HMSWR IHK LPFACID LDFACID LHMSDR LHFACID LHSBDR; /*persamaan struktural*/ prod_FACID : model PFACID = LHFACID DHMSDR DTB T /DW; prmntaan_FACID : model DFACID = LHFACID /*RGDPR*/ DPI HSBDR T LDFACID/DW; hrga_MSDR : model HMSDR = LSMSD DMSD HMSWR LHMSDR/DW; hrga_FACID : model HFACID = LSFACID LDFACID /*DHMSDR*/ /*HMSWR*/ LHFACID /DW; prmntaan_MSD : model DMSD = LHMSDR LHFACID LDMSD/DW; /*persamaan identitas*/ identity SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; run;
Lampiran 4.
Hasil Estimasi dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia
Lampiran 4.1. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PROD_FAC Dependent Variable PFACID Label PRODUKSI FATTY ACID DOMESTIK
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 4 15 19
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 1403870 113690.7 1517561
Mean Square 350967.5 7579.379
87.05963 354.71000 24.54389
F Value 46.31
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.92508 0.90511
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LHFACID
1 1
-167.726 0.026895
84.42320 1.821087
-1.99 0.01
0.0655 0.9884
DHMSDR
1
-0.02750
0.034154
-0.81
0.4333
DTB
1
-9.42329
11.18615
-0.84
0.4128
T
1
45.10442
3.406094
13.24
<.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Intercept Harga Riil Fatty Acid t-1 Perubahan Harga Riil Minyak Sawit Domestik Perubahan Tingkat Suku Bunga Uang tren
0.57892 20 0.470705
Lampiran 4.2. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Fatty Acid
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PRMNTAAN Dependent Variable DFACID Label Permintaan Fatty Acid Domestik
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 5 14 19
Sum of Squares 198077.3 14858.63 212935.9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Mean Square 39615.46 1061.331
32.57807 131.40150 24.79277
F Value 37.33
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.93022 0.90530
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LHFACID
1 1
-126.721 -1.15841
60.96570 0.662529
-2.08 -1.75
0.0565 0.1023
DPI
1
38.26755
8.241262
4.64
0.0004
HSBDR
1
0.028398
0.030434
0.93
0.3666
T LDFACID
1 1
12.02942 0.185755
3.935273 0.289597
3.06 0.64
0.0085 0.5316
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Intercept Harga Riil Fatty Acid t-1 Perubahan Jumlah Penduduk Indonesia Harga Riil Sabun Domestik tren Permintaan Fatty Acid Domestik t-1
1.607442 20 0.175863
Lampiran 4.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Fatty Acid
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model HRGA_FAC Dependent Variable HFACID Label HARGA RIIL FATTY ACID
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 3 16 19
Sum of Squares 895.4975 1845.702 2741.199
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Mean Square 298.4992 115.3564
10.74041 40.58550 26.46366
F Value 2.59
R-Square Adj R-Sq
Pr > F 0.0891
0.32668 0.20043
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LSFACID
1 1
30.75112 -1.04151
10.66625 0.634415
2.88 -1.64
0.0108 0.1202
LDFACID
1
1.034791
0.631548
1.64
0.1208
LHFACID
1
0.418133
0.205275
2.04
0.0586
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Intercept Penawaran Fatty Acid Domestik t-1 Permintaan Fatty Acid Domestik t-1 Harga Fatty Acid Riil t-1
2.213131 20 -0.10807
Lampiran 4.4. Hasil Estimasi Persamaan Harga Rill Minyak Sawit Domestik
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model HRGA_MSD Dependent Variable HMSDR Label HARGA RIIL MINYAK SAWIT DOMESTIK
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 4 15 19
Sum of Squares 4758481 3425217 8183698
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Mean Square 1189620 228347.8
477.85752 2482.62835 19.24805
F Value 5.21
R-Square Adj R-Sq
Pr > F 0.0078
0.58146 0.46985
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LSMSD
1 1
-818.659 -0.49660
898.2168 0.219105
-0.91 -2.27
0.3765 0.0386
DMSD
1
0.924788
0.262892
3.52
0.0031
HMSWR
1
0.651996
0.341245
1.91
0.0754
LHMSDR
1
0.629645
0.181498
3.47
0.0034
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label Intercept Penawaran Minyak Sawit Domestik t-1 Permintaan Minyak Sawit Domestik Harga Riil Minyak Sawit Dunia Harga Riil Minyak Sawit Domestik t-1
1.630115 20 0.167431
Lampiran 4.5. Hasil Estimasi Domestik
Persamaan
Permintaan
Minyak
Sawit
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PRMNTAAN Dependent Vari DMSD Label PERMINTAAN MINYAK SAWIT DOMESTIK
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 3 16 19
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 6140764 3111787 9252551
Mean Square 2046921 194486.7
441.00645 3161.88500 13.94758
F Value 10.52
Pr > F 0.0005
R-Square Adj R-Sq
0.66368 0.60062
Parameter Estimates Parameter Standard DF Estimate Error
Variable
t Value
Pr > |t|
Intercept LHMSDR
1 1
1379.955 -0.22341
560.3073 0.157872
2.46 -1.42
0.0255 0.1762
LHFACID
1
10.29629
8.474868
1.21
0.2420
LDMSD
1
0.604157
0.115827
5.22
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Variable Label
Intercept Harga Riil Minyak Sawit Domestik t-1 Harga Riil Fatty Acid Riil t-1 Permintaan Minyak Sawit Domestik t-1
2.360822 20 -0.24004
Lampiran 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia data validasi; set sasuser. pendugaan; /*create data*/ SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; /*membuat variabel lag*/ LPFACID = LAG (PFACID); LDFACID = LAG (DFACID); LHMSDR = LAG (HMSDR); LHFACID = LAG (HFACID); LTB = LAG(TB); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LPI = LAG(PI); LSFACID = LAG (SFACID); LDMSD = LAG (SMSD) ; LHSBDR = LAG (HSBDR); /*create data perubahan*/ DPFACID = PFACID-LPFACID; DDFACID = DFACID-LDFACID; DHMSDR = HMSDR-LHMSDR; DHFACID = HFACID-LHFACID; DTB = TB-LTB; DSMSD = SMSD-LSMSD; DGDPR = GDPR-LGDPR; DPI = PI-LPI; DSFACID = SFACID-LSFACID; DHSBDR = HSBDR-LHSBDR; /*create data pertumbuhan*/ TPFACID = (PFACID-LPFACID)/LPFACID; TDFACID = (DFACID-LDFACID)/LDFACID; THMSDR = (HMSDR-LHMSDR)/LHMSDR; THFACID = (HFACID-LHFACID)/LHFACID; /*mendeskripsikan variabel*/ label PFACID = 'produksi fatty acid domestik (000 ton)' DFACID = 'permintaan fatty acid domestik (000 ton)' SFACID = 'penawaran fatty acid domestik (000 ton)' HMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil (000 Rp/ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren' PI = 'jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' EXFACID = 'ekspor fatty acid domestik (000 ton)' HMSWR = 'harga minyak sawit dunia riil (US$/ton)' IMFACID = 'impor fatty acid domestik (000 ton)' HFACID = 'harga fatty acid riil (000 Rp/ton)'
Lampiran 5. Lanjutan HSBDR = 'harga riil sabun domestik' DMSD = 'permintaan minyak sawit domestik (000 ton)' IHK = 'indeks harga konsumen ' LPFACID = 'produksi fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LDFACID = 'permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LSFACID = 'penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LHFACID = 'harga fatty acid riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LTB = 'tingkat suku bunga uang tahun sebelumnya (%)' LSMSD = 'penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LPI = 'jumlah penduduk indonesia tahun sebelumnya (juta jiwa)' LDMSD = 'permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya' DPFACID = 'perubahan produksi fatty acid domestik (000 ton)' DTB = 'perubahan tingkat suku bunga uang (%)' DPI = 'perubahan jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' DHMSDR = 'perubahan harga riil minyak sawit domestik' EXMS = 'ekspor minyak sawit Indonesia' IMMS = 'impor minyak sawit Indonesia' ; proc simnlin data=validasi SIMULATE STAT outpredict THEIL; endogenous PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID ; exogenous Th T PI GDPR TB EXFACID IMFACID HMSWR; LHFACID = LAG (HFACID); LPFACID = LAG (PFACID); LDFACID = LAG (DFACID); LSMSD = LAG(SMSD); LHMSDR = LAG (HMSDR); LSFACID=LAG (SFACID); LDFACID=LAG (DFACID); LTB = LAG(TB); LDMSD = LAG (DMSD); LHSBDR = LAG (HSBDR); parm a0 -167.726 a1 0.026895 a2 -0.0275 a3 -9.42329 a4 45.10442 b0 -126.721 b1 -1.15841 b2 38.26755 b3 0.028398 b4 12.02942 b5 0.185755 c0 -818.659 c1 -0.4966 c2 0.924788 c3 0.651996 c4 0.629645 d0 30.75112 d1 -1.04151 d2 1.034791 d3 0.418133 e0 1379.955 e1 -0.22341 e2 10.29629 e3 0.604157; PFACID = a0 + a1*LHFACID + a2*(HMSDR-LHMSDR) + a3*(TB-LTB) + a4*T; DFACID = b0 + b1*LHFACID + b2*(PI-LPI)+ b3*HSBDR + b4*T + b5*LDFACID; HMSDR = c0 + c1*LSMSD + c2*DMSD + c3*HMSWR + c4*LHMSDR; HFACID = d0 + d1*LSFACID + d2*LDFACID + d3*LHFACID; DMSD = e0 + e1*LHMSDR + e2*LHFACID + e3*LDMSD; SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; RANGE Th = 2007 to 2010; run;
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun 2007-2010
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
15 6 9 24 Th 6 16 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
VALIDASI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
6 1 Th 2007 2010 NEWTON 1E-8 6.28E-16 1 4 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
5 1 4 18 21
PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID
Lampiran 6. Lanjutan
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Th = 2006 To 2010 Descriptive Statistics
Variable
N Obs
N
Mean
Actual Std Dev
Predicted Mean Std Dev
PFACID
4
4
801.5
130.4
707.3
45.5399
DFACID
4
4
255.9
121.9
213.5
20.5590
HMSDR
4
4
2174.3
44.8321
2354.8
837.0
HFACID
4
4 45.6150
3.2830
117.4
74.1111
DMSD
4
4
4082.8
90.7466
4166.5
996.4
SFACID
4
4
261.1
122.3
166.9
51.5908
Label Produksi Fatty Acid Domestik Permintaan Fatty Acid Domestik Harga Riil Minyak Sawit Domestik Harga Riil Fatty Acid Domestik Permintaan Minyak Sawit Domestik Penawaran Fatty Acid Domestik
Statistics of fit
Variable PFACID
N 4
Mean Error -94.1946
Mean % Error -10.6956
Mean Abs Mean Abs Error % Error 94.1946 10.6956
RMS RMS % Error Error R-Square 125.5 13.2426 -.2352
DFACID
4
-42.3985
-2.1243
91.6080
32.8815
123.5
38.8883
-.3683
HMSDR
4
180.4
8.4412
539.7
24.9677
755.1
35.0147
-377.2
HFACID
4
71.8309
163.5
74.5463
169.3
97.4679
223.1
-1174
DMSD
4
83.6818
1.7692
630.0
15.2835
806.9
19.4239
-104.4
SFACID
4
-94.1946
-32.2739
94.1946
32.2739
125.5
36.2659
-.4036
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Th = 2006 To 2010 Theil Forecast Error Statistics
Corr (R) 0.83
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.56 0.19 0.25 0.34 0.09
Inequality U1 0.1550
Coef U 0.0827
0.38
0.4462
0.2515
0.83
0.12
0.3472
0.1628
0.00
0.40
0.06
2.1326
0.5429
0.99
0.00
0.94
0.04
0.1976
0.0968
0.04
0.39
0.24
0.20
0.4453
0.2760
Variable PFACID
N 4
MSE 15743.3
DFACID
4
15250.1 -0.53
0.12
0.36
0.53
0.51
HMSDR
4
570132
-0.19
0.06
0.94
0.00
HFACID
4
9500.0
-0.58
0.54
0.46
DMSD
4
651011
0.79
0.01
SFACID
4 15743.3
0.67
0.56
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable PFACID
Relative Change Corr N MSE (R) 4 0.0270 0.68
MSE Bias (UM) 0.62
Decomposition Proportions Reg Dist Var Covar (UR) (UD) (US) (UC) 0.08 0.30 0.00 0.38
Inequality Coef U1 U 0.7339 0.4476
DFACID
4
0.3060
-0.23
0.13
0.20
0.67
0.35
0.52
1.0452
0.8154
HMSDR
4
0.1215
0.42
0.06
0.94
0.00
0.87
0.07
15.2858
0.9257
HFACID
4 4.1072
-0.92
0.56
0.44
0.00
0.31
0.14
16.5327
0.9669
DMSD
4
0.0402
0.10
0.01
0.93
0.06
0.55
0.44
3.3998
0.7605
SFACID
4
0.2968
0.67
0.62
0.00
0.38
0.09
0.29
1.0618
0.6397
Lampiran 7. Program Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Indonesia Sebesar 10 Persen) data validasi; set sasuser. pendugaan; /*create data*/ SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; /*membuat variabel lag*/ LPFACID = LAG (PFACID); LDFACID = LAG (DFACID); LHMSDR = LAG (HMSDR); LHFACID = LAG (HFACID); LTB = LAG(TB); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LPI = LAG(PI); LSFACID = LAG (SFACID); LDMSD = LAG (SMSD) ; LHSBDR = LAG (HSBDR); /*create data perubahan*/ DPFACID = PFACID-LPFACID; DDFACID = DFACID-LDFACID; DHMSDR = HMSDR-LHMSDR; DHFACID = HFACID-LHFACID; DTB = TB-LTB; DSMSD = SMSD-LSMSD; DGDPR = GDPR-LGDPR; DPI = PI-LPI; DSFACID = SFACID-LSFACID; DHSBDR = HSBDR-LHSBDR; /*create data pertumbuhan*/ TPFACID = (PFACID-LPFACID)/LPFACID; TDFACID = (DFACID-LDFACID)/LDFACID; THMSDR = (HMSDR-LHMSDR)/LHMSDR; THFACID = (HFACID-LHFACID)/LHFACID;
/*mendeskripsikan variabel*/ label PFACID = 'produksi fatty acid domestik (000 ton)' DFACID = 'permintaan fatty acid domestik (000 ton)' SFACID = 'penawaran fatty acid domestik (000 ton)' HMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil (000 Rp/ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren' PI = 'jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' EXFACID = 'ekspor fatty acid domestik (000 ton)' HMSWR = 'harga minyak sawit dunia riil (US$/ton)' IMFACID = 'impor fatty acid domestik (000 ton)' HFACID = 'harga fatty acid riil (000 Rp/ton)' HSBDR = 'harga riil sabun domestik' DMSD = 'permintaan minyak sawit domestik (000 ton)' IHK = 'indeks harga konsumen '
Lampiran 7. Lanjutan LPFACID = 'produksi fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LDFACID = 'permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LSFACID = 'penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LHFACID = 'harga fatty acid riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)' LTB = 'tingkat suku bunga uang tahun sebelumnya (%)' LSMSD = 'penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LPI = 'jumlah penduduk indonesia tahun sebelumnya (juta jiwa)' LDMSD = 'permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya' DPFACID = 'perubahan produksi fatty acid domestik (000 ton)' DTB = 'perubahan tingkat suku bunga uang (%)' DPI = 'perubahan jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)' DHMSDR = 'perubahan harga riil minyak sawit domestik' PMSD = 'produksi minyak sawit domestik' EXMS = 'ekspor minyak sawit Indonesia' IMMS = 'impor minyak sawit Indonesia' ; proc simnlin data=validasi SIMULATE STAT outpredict THEIL; endogenous PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID ; exogenous Th T PI GDPR TB EXFACID IMFACID HMSWR; LHFACID = LAG (HFACID); LPFACID = LAG (PFACID); LDFACID = LAG (DFACID); LSMSD = LAG(SMSD); LHMSDR = LAG (HMSDR); LSFACID=LAG (SFACID); LDFACID=LAG (DFACID); LTB = LAG(TB); LDMSD = LAG (DMSD); LHSBDR = LAG (HSBDR); parm a0 -167.726 a1 0.026895 a2 -0.0275 a3 -9.42329 a4 45.10442 b0 -126.721 b1 -1.15841 b2 38.26755 b3 0.028398 b4 12.02942 b5 0.185755 c0 -818.659 c1 -0.4966 c2 0.924788 c3 0.651996 c4 0.629645 d0 30.75112 d1 -1.04151 d2 1.034791 d3 0.418133 e0 1379.955 e1 -0.22341 e2 10.29629 e3 0.604157; PFACID = a0 + a1*LHFACID + a2*(HMSDR-LHMSDR) + a3*0.8*(TB-LTB) + a4*T; DFACID = b0 + b1*LHFACID + b2*(PI-LPI)+ b3*HSBDR + b4*T + b5*LDFACID; HMSDR = c0 + c1*1.1*LSMSD + c2*DMSD + c3*HMSWR + c4*LHMSDR; HFACID = d0 + d1*LSFACID + d2*LDFACID + d3*LHFACID; DMSD = e0 + e1*LHMSDR + e2*LHFACID + e3*LDMSD; SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID; RANGE Th = 2007 to 2010; run;
Lampiran 8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Indonesia Sebesar 10 Persen)
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
14 6 8 24 Th 6 18 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
VALIDASI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
6 1 Th 2007 2010 NEWTON 1E-8 2.34E-16 1 4 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Variables Solved For
5 1 4 18 21
PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID
Lampiran 8. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Th = 2007 To 2010 Descriptive Statistics Actual Mean Std Dev
Predicted Mean Std Dev
Variable
N Obs
N
PFACID
4
4
801.5
130.4
741.1
47.3430
DFACID
4
4
255.9
121.9
238.6
17.5020
HMSDR
4
4
2174.3
44.8321
1803.1
511.2
4
45.6150
3.2830
93.5030
58.1285
4
4082.8
HFACID
4
DMSD
4
SFACID
4
4
261.1
90.7466 122.3
3989.7 200.7
763.1 53.7736
Label Produksi Fatty Acid Domestik Permintaan Fatty Acid Domestik Harga Riil Minyak Sawit Domestik Harga Riil Fatty Acid Permintaan Minyak Sawit Domestik Penawaran Fatty Acid Domestik
Statistics of fit
Variable PFACID
Mean N Error 4 -60.4314
Mean % Error -6.4279
Mean Abs Mean Abs Error % Error 61.7311 6.6191
RMS Error 101.7
RMS % Error 10.4283
R-Square 0.1892
DFACID
4 -17.2268
5.7330
66.7624
25.1665
93.8590
33.3983
0.2096
HMSDR
4
-371.2
-17.0688
553.1
25.5063
577.1
26.6770
-219.9
HFACID
4
47.8880
110.6
50.6034
116.3
70.9758
163.4
-622.2
DMSD
4 -93.0810
-2.4815
560.8
13.6570
609.6
14.7580
-59.18
SFACID
4 -60.4314
-17.7344
61.7311
18.3460
101.7
25.6489
0.0787
Lampiran 8. Lanjutan
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Th = 2007 To 2010 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) PFACID 4 0.0172 0.69 0.36 0.17 0.46 0.02 0.62
Inequality Coef U1 U 0.5849 0.3272
DFACID
4
0.1742
0.47
0.03
0.00
0.97
0.41
0.56
0.7887
0.5218
HMSDR
4
0.0695
0.31
0.41
0.59
0.01
0.51
0.08
11.5590
0.8860
HFACID
4
2.1892
-0.86
0.46
0.53
0.00
0.34
0.20
12.0701
0.9577
DMSD
4
0.0235
0.14
0.03
0.87
0.10
0.43
0.54
2.5974
0.7337
SFACID
4
0.1866
0.65
0.37
0.00
0.62
0.10
0.53
0.8420
0.5220
Theil Forecast Error Statistics
Variable N PFACID 4
MSE 10333.9
Corr (R) 0.84
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 0.35 0.28 0.37 0.50 0.15 0.1256
Coef U 0.0655
DFACID
4
8809.5
0.89
0.03
0.71
0.25
0.93
0.04
0.3391
0.1819
HMSDR
4
333048
0.06
0.41
0.58
0.00
0.49
0.10
0.2654
0.1432
HFACID
4
5037.6
-0.71
0.46
0.54
0.00
0.45
0.10
1.5530
0.4673
DMSD
4
371671
0.77
0.02
0.97
0.01
0.91
0.06
0.1493
0.0750
SFACID
4
10333.9
0.68
0.35
0.06
0.58
0.34
0.31
0.3608
0.2084
Lampiran 9. Hasil Simulasi Model 1. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Sebesar 20 Persen No. 1
Variabel PFACID
Nilai Dasar 707.3
Nilai Akhir 738.4
Perubahan (%) 4.40
Label Produksi Fatty Acid Domestik
2
DFACID
213.5
235.2
10.16
Permintaan Fatty Acid Domestik
3
HFACID
117.4
95.4924
-18.66
Harga Riil Fatty Acid Domestik
4
SFACID
166.9
198
18.63
Penawaran Fatty Acid Domestik
5
HMSDR
2354.8
2119
-10.01
6
DMSD
4166.5
3957.6
-5.01
Harga Riil Minyak Sawit Domestik Permintaan Minyak Sawit Domestik
2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 10 Persen No.
Variable
Nilai
Nilai
Dasar
Akhir
Perubahan (%)
Label
1
PFACID
707.3
710
0.38
Produksi Fatty Acid Domestik
2
DFACID
213.5
216.9
1.59
Permintaan Fatty Acid Domestik
3
HFACID
117.4
115.5
-1.62
Harga Riil Fatty Acid Domestik
4
SFACID
166.9
169.6
1.62
Penawaran Fatty Acid Domestik
5
HMSDR
2354.8
2038.9
-13.42
Harga Riil Minyak Sawit Domestik
6
DMSD
4166.5
4198.5
0.77
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3.
Penurunan TB Sebesar 20% dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 10%
No.
Variable
Nilai
Nilai
Dasar
Akhir
Perubahan (%)
Label
1
PFACID
707.3
741.1
4.78
Produksi Fatty Acid Domestik
2
DFACID
213.5
238.6
11.76
Permintaan Fatty Acid Domestik
3
HFACID
117.4
93.503
-20.36
Harga Riil Fatty Acid Domestik
4
SFACID
166.9
200.7
20.25
Penawaran Fatty Acid Domestik
5
HMSDR
2354.8
1803.1
-23.43
Harga Riil Minyak Sawit Domestik
6
DMSD
4166.5
3989.7
-4.24
Permintaan Minyak Sawit Domestik
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Kiki Wira Kurniadi, lahir pada tanggal 22 Juli 1990 di Dabo Singkep, Kepulauan Riau. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Drs. Wirman dan Ibu Rina Nelyati. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 03 Pakan Kurai, Bukittinggi pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 6 Bukittinggi, lulus pada tahun 2005. Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 1 Bukittinggi, dan lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di perguruan tinggi tersebut melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan agar penulis memperoleh ilmu serta pola pikir yang baik sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan daerah asal yaitu Bukittinggi. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kepanitiaan seperti greenation, Economic Contest, ESL-day, Pemuda Pancasila dan aktif dalam organisasi kemahasiswaan REESA.