DAMPAK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI PROVINSI JAWA TIMUR
SANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Tata Kelola Pemerintahan Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Santi NIM : H151100241
ABSTRACT SANTI. Impact of Regional Governance to Investment Realization in East Java Province. Under the supervision of BAMBANG JUANDA and NUNUNG NURYARTONO. Regional governance is one of important supporting factors in stimulating investment realization in every region. The aims of the study are (1) to describe the perceptual difference among businessmakers in East Java based on regional governance survey held by KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) in 2007 and 2010, (2) to analyze the linkages between regional governance and investment realization in East Java, and also (3) to analyze the impact of regional governance to investment realization in East Java. Data used in this research consist of 2 period, 2005-2007 and 2008-2010, and 38 districts and municipals in East Java. Data are taken from Investment Coordinating Board, Central Bureau of Statistics Indonesia and Directorate General of Fiscal Balance (DJPK). Methods used are descriptive statistic ,using Pearson and Spearman correlation, and also static panel data regression. Perceptual difference on the latter survey, as the first result, found to be significantly better and even worse than the previous one for some major variables . Results also showed that there is a strong linkage between foreign direct investment, domestic private investment, public investment and regional governance. The elements of regional governance that affected domestic investment are percentages of businessmaker having business licence (Tanda Daftar Perusahaan) and also dummy of regional government program in promoting local potential product/commodity. The elements of regional governance that affected foreign direct investment are dummy of donation barrier to the regional government, dummy of the regent/municipal’s comprehension to the business matters and dummy of the quality of road infrastructure.
Keywords: regional governance, investment realization
RINGKASAN SANTI. Dampak Tata Kelola Pemerintahan Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan NUNUNG NURYARTONO. Salah satu unsur penting penunjang pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Investasi terutama investasi swasta dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sangat penting karena akan dapat menyerap tenaga kerja, mendorong spesialisasi dalam produksi, menstimulasi kemajuan teknologi dan yang terutama adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Walaupun selama ini kontribusi investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia relatif kecil, pertumbuhannya makin meningkat seiring waktu. Untuk dapat menarik sebanyak mungkin investor dalam menanamkan modalnya, Pemda perlu menciptakan iklim investasi yang baik. Faktor ekonomi seperti suku bunga, inflasi, sumber daya alam memang menjadi salah satu determinan utama bagi para investor, tetapi faktor non ekonomi yang walaupun fungsinya sebagai faktor pendukung, juga memegang peranan penting. Salah satu faktor non ekonomi ini adalah tata kelola pemerintahan daerah. Tata kelola pemerintahan daerah pada dasarnya merupakan cerminan kinerja Pemda itu sendiri. Kualitas tata kelola yang mendukung iklim investasi terlihat antara lain dari kualitas infrastruktur yang memadai, prosedur perizinan usaha yang mudah, pengembangan usaha kecil dan menengah, serta penghapusan biaya transaksi yang memberatkan. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sebagai lembaga peneliti independen berusaha memotret kualitas tata kelola pemerintahan daerah dan mengkuantifikasikannya menjadi sebuah angka indeks agregat melalui dua kali survei, di tahun 2007 dan 2010. Dari 2 kali perlaksanaan survei, posisi 10 besar indeks terbaik didominasi olah kabupaten/kota di Jawa Timur. Dari segi realisasi investasi, provinsi Jawa Timur menempati posisi ketiga realisasi investasi terbesar di Pulau Jawa, setelah Jawa Barat dan DKI Jakarta Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan perbedaan persepsi pelaku usaha di Jawa Timur sehubungan dengan tata kelola pemerintahan daerah menurut hasil survei KPPOD tahun 2007 dan 2010, (2) menganalisis hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan realisasi investasi PMA dan PMDN di Jawa Timur dan (3) menganalisis pengaruh tata kelola pemerintahan daerah dengan realisasi investasi PMA dan PMDN di Jawa Timur. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut adalah data survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) tahun 2007 dan 2010 yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Data berupa belanja modal diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, data pertumbuhan ekonomi diperoleh dari Badan Pusat Statistik, sedangkan data realisasi PMDN dan PMA diperoleh dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal . Metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif berupa analisis korelasi dan uji beda rata-rata, serta regresi data panel. Analisis korelasi digunakan untuk menganalisis hubungan variabel tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi sedangkan regresi data panel statis digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah, APBD serta IPM terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan Persepsi pelaku usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Jawa Timur periode 2005-2010 semakin membaik untuk tata kelola berupa waktu pengurusan status tanah, persepsi kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur,persentase perusahaan yang memiliki TDP, persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha, tingkat efisiensi pelayanan izin usaha, izin usaha yang kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, kepastian hukum dari kebijakan Pemda, tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS, promosi produk lokal kepada investor potensial, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM yang bermanfaat bagi dunia usaha, persepsi biaya transaksi tidak menghambat kinerja perusahaan, kualitas infrastruktur lampu jalan, persentase perusahaan yang menggunakan genset dan lama pemadaman listrik . Sementara itu persepsi pelaku usaha makin memburuk untuk kebijakan Pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi, IPPU yang tidak menghambat kinerja perusahaan, tingkat pembayaran donasi kepada Pemda dan persepsi bahwa kepala daerahnya bertindak tegas terhadap korupsi yang dilakukan jajarannya. Sementara itu variabel tata kelola pemerintahan daerah yang berkorelasi signifikan dengan PMDN maupun PMA dan sejalan dengan teori adalah persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli, tingkat hambatan izin usaha terhadap kinerja perusahaan, persepsi kebijakan non diskriminatif Pemda, tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha, tingkat hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha, tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan, kualitas infrastruktur jalan dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. Dalam menganalisis pengaruh tata kelola jika berinteraksi dengan variabel penentu investasi lainnya, diformulasikanlah 2 model, yaitu model PMA dan PMDN. Dari hasil regresi data panel , terlihat bahwa variabel tata kelola yang berpengaruh terhadap realisasi PMDN adalah persentase perusahaan yang memiliki TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan program pengembangan usaha swasta berupa promosi produk lokal terhadap investor potensial. Sementara itu variabel tata kelola yang berpengaruh positif terhadap realisasi PMA adalah kualitas infrastruktur jalan, tingkat hambatan donasi terhadap Pemda dan pemahaman kepala daerah tentang permasalahan dunia usaha. Salah satu hal yang melatarbelakangi perbedaan elemen tata kelola pemerintahan yang mempengaruhi masing-masing PMA dan PMDN adalah karakteristik PMA dan PMDN itu sendiri. Saran atau implikasi kebijakan yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah (1) Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, biaya transaksi yang semakin tinggi di Jawa Timur perlu diminimalisir. Walaupun persepsi pelaku usaha di Jawa Timur tidak menganggap biaya transaksi tersebut sebagai hal yang memberatkan, namun persepsi itu akan sampai pada suatu titik di mana mereka akan merasa biaya tersebut sangat menghambat kinerja perusahaan, (2) Sehubungan dengan tata kelola pemerintahan dari segi kapasitas
dan integritas bupati/walikota, penyelenggaraan Pilkada perlu ditinjau ulang. Hal ini dimaksudkan agar high cost of politics yang merupakan konsekuensi pemilukada tidak menyebabkan kepala daerah melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
DAMPAK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI PROVINSI JAWA TIMUR
SANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr
Judul Tesis
: Dampak Tata Kelola Pemerintahan Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur
Nama NRP
: :
Santi H151100241
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. Anggota
Prof.Dr. Ir. Bambang Juanda,M.S. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 17 September 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sangat baik, sehingga tesis dengan judul Dampak Tata Kelola Pemerintahan Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur ini dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Prof . Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta Tanti Novianti, S.P., M.Si. selaku perwakilan Program Studi atas saran dan masukan yang diberikan. 3. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Bidang Pengelolaan Beasiswa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi IPB serta kesediaannya untuk memberikan perpanjangan dua bulan masa studi. 4. Semua dosen yang telah mengajar penulis, rekan-rekan kuliah Reguler 4 (Luken, Airin, Dyah, Inda, Via, Agus , Aria) dan teman-teman Batch 3 kelas BPS yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Kak Diyaniati dan Mas Reggy yang telah membantu secara administratif proses belajar mengajar di Pasca Sarjana Program studi Ilmu Ekonomi. 5. Teman-teman diskusi, Elizabeth Karlinda, Bayu Tri Laksana, Sutarsono, Bapak Adhitya Wardhana, Ibu Andi Tombolotutu dan Meita Puspitasari atas pandangan dan pencerahannya. 6. Keluargaku, tertama suamiku, Julius, terima kasih atas doa, perhatian dan semangat yang kau berikan. Anakku Inez, mohon maaf ya Nak, kalau di rumah Mama lebih banyak berkutat di depan laptop daripada bermain bersamamu. Mama akan tebus itu. Untuk Papa, Mama (almh.) ,dan Inang di Medan terimakasih atas kasih sayang yang tak putus-putusnya. Adikku Rena, Raymond dan Nuel, terimakasih selalu buat doanya. Buat Suster Dede yang selama ini setia menjaga Inez, terimakasih banyak sudah mau menjadi perpanjangan tangan saya dalam rumah tangga. Hanya Tuhan yang dapat membalas budi baikmu.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Sekali lagi terima kasih.
Bogor, September 2012
Santi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 September 1980 dari Bapak Ferry Marisi Lumban Tobing,M. Eng. Dan Ibu Samoida Siringoringo (almh). Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Santa Agnes Padang kemudian melanjutkan ke SLTP Maria Padang pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1995. Setelah lulus dari SLTP Maria Padang, penulis melanjutkan ke SMU Don Bosco Padang. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) program Diploma III Perpajakan Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Setelah menamatkan pendidikan di STAN, penulis bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah , sebagai pelaksana. Setelah pengangkatan PNS, penulis melanjutkan pendidikan alih jenjang di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Swadaya jurusan Akuntansi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 2005. Pada tahun 2010 penulis diterima menjadi mahasiswa pasca sarjana program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar yang disponsori oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI........………………………………………………….................. DAFTAR TABEL …………………………………………………................. DAFTAR GAMBAR ......................... ……………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….............. I.
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
III.
xiii xvii xxiii xxvii
Latar Belakang…………………………………………………… Perumusan Masalah…………………………………………….... Tujuan Penelitian ………………………………………………… Manfaat Penelitian …………………………………….................. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian……………………..
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi.……………………………………. 2.2. Investasi ………………………………………………………… 2.3. Teori Investasi ……....…………………………………………… 2.4. Desentralisasi …………………………………………………. 2.5. Tata Kelola Pemerintahan Daerah ………………………….......... 2.6. Penelitian Empiris ....................................................................... 2.6.1.Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................. 2.6.2. Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Investasi…. 2.6.3. Keterkaitan PMA dengan PMDN ..................................... 2.6.4. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMDN………… 2.6.5. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMA………….... 2.6.6. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMDN............. 2.6.7. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMA................ 2.7. Kerangka Pemikiran………………………………………………. 2.8. Hipotesis …………………………………………………………. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data……………………………………………. 3.2. Definisi Operasional Variabel……………………………………..
1 5 9 9 10
11 13 14 17 20 27 27 28 29 30 31 31 31 31 34
35 35
xiii
3.3. Metode Analisis............................................................................
IV.
xiv
36
3.3.1. Analisis Desktiptif.................................................................. 3.3.1.1. Uji Beda Berpasangan…………………………….... 3.3.1.2 Analisis Korelasi……………………………………. 3.3.1.2.1 Uji Korelasi Pearson………………………. 3.3.1.2.2 Uji Korelasi Spearman…………………….
36 36 38 38 39
3.3.2 Analisis Regresi Data Panel Statis…………………………
40
3.3.2.1 Fixed Effects Model…………………………………. 3.3.2.2 Random Effects Model……………………………… 3.4. Model Determinan Investasi Swasta di Jawa Timur…………..
43 44 45
GAMBARAN UMUM.......................................................................... 4.1. Kondisi Geografis………………………………………………… 4.2. Kondisi Topografis dan Iklim…………………………………….. 4.2.1. Kondisi Topografis…………………………….................... 4.2.2. Iklim……………………………………………………... 4.3. Wilayah Administratif……………………………………………..
47 47 48 48 49 49
4.4. Kondisi Demografis………………………………………………. 4.4.1. Penduduk………………………………………………… 4.4.2. Angkatan Kerja………………………………………….. 4.5. Indeks Pembangunan Manusia......................................................... 4.6. Kondisi Perekonomian…………………………………………… 4.6.1. PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi………………………. 4.6.2. Inflasi………………………………………………………. 4.7. Investasi…………………………………………………………..
50 50 50 51 53 53 54 55
4.7.1. Penanaman Modal Asing…………………………………. 4.7.2 Penanaman Modal Dalam Negeri…………………………. 4.8. Tata Kelola Pemerintahan Daerah………………………………… 4.8.1. Gambaran Umum Survei TKED………………… 4.8.2. Instrumen Penelitian…………………………………… 4.8.3. Karakteristik Responden...................................................... 4.8.4. Akses Lahan.......................................................................... 4.8.5 Perizinan Usaha...................................................................... 4.8.6. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha.................................. 4.8.7. Program Pengembangan Usaha Swasta………………….... 4.8.8. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah............................... 4.8.9. Biaya Transaksi..................................................................... 4.8.10. Infrastruktur Daerah............................................................
56 59 60 61 61 63 66 67 70 70 72 73 74
4.8.11 Keamanan dan Penyelesaian Konflik...................................... 4.8.12 Kualitas Peraturan Daerah.......................................................
75 76
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010………………………………………………………………... 5.2. Hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dan realisasi PMDN dan PMA…………………………………………………………… 5.2.1.Hubungan antara Akses Lahan dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………………….. 5.2.2.Hubungan antara Izin Usaha dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………………… 5.2.3.Hubungan antara IPPU dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………………………... 5.2.4.Hubungan antara PPUS dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………………………… 5.2.5.Hubungan antara Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur…………………………………………………. 5.2.6.Hubungan antara Keamanan dan Penyelesaian Sengketa dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur……………………………………………………...... 5.2.7.Hubungan antara Biaya Transaksi dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur……………. 5.2.8.Hubungan antara Kebijakan Infrastruktur Daerah dan realisasi PMDN Kabupaten dan Kota di Jawa Timur…….. 5.2.9. Hubungan Sub_Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………………………………….. 5.3. Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Daerah terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur…………………………………. 5.3.1. Uji Asumsi Klasik…………………………………………. 5.3.1.1. Uji Normalitas……………………………………... 5.3.1.2. Uji Heteroskedastisitas…………………………….. 5.3.1.3. Uji Multikolinearitas………………………………. 5.3.1.4. Uji Autokorelasi…………………………………… 5.3.2. Uji Statistik………………………………………………... 5.3.2.1. Koefisien Determinasi (R2)………………………... 5.3.2.2. Uji Parameter Signifikansi Individu(Uji T)……….. 5.3.2.3 Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F)……….
79 79 88 88 91 97 110 112
118 130 132 136 139 139 139 140 140 140 140 140 141 141
xv
xvi
5.3.3. Hasil Estimasi Model……………………………………... 5.4.3. Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur………………... 5.4.3.1 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMDN di Provinsi Jawa Timur………………. 5.4.3.2 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMA di Provinsi Jawa Timur……… VI PENUTUP
142
6.1. Kesimpulan……………………………………………………….............
149
6.2. Saran…………………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….................. LAMPIRAN ..............................................................................................
151 153 157
144 144 147 149
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
Perkembangan PDB Indonesia menurut jenis penggunaan (atas dasar harga konstan) dan Distribusi Konsumsi dan Investasi (atas dasar PDB atas dasar harga berlaku) (dalam triliun Rp)…………………………………….
3
Ruang Lingkup Survei Tata kelola Ekonomi Daerah oleh KPPOD (2007 &
6
2010)……………......................................................................................... 3
Sepuluh Kabupaten/Kota Peringkat Teratas Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah 2007 dan 2010………………………………………………………
6
4
Perbandingan Realisasi Investasi Langsung Beberapa Provinsi di Pulau Jawa…………………………………………………………………….......
7
5
Indeks Komposit IPM dan Posisi Ranking Jawa Timur Secara Nasional….
52
6
PDRB Jawa Timur menurut lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan dan Distribusi PDRB 2010.........................
53
7
Tingkat inflasi beberapa kabupaten/kota Jawa Timur Tahun 2010..............
55
8
Realisasi Penanaman Modal Asing Per Sektor 2010-201 di Provinsi Jawa Timur……………………………………………………………………….
57
9
Persetujuan Proyek PMA di Jawa Timur menurut negara Asal Tahun 2010 (dalam US $) ………………….………………................................. Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Per Sektor 2010-2011 di Provinsi Jawa Timur…………………………………..................................
10
58 62
11
Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur………………………………………………
80
12
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Akses Lahan Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur…………………......
83
13
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Izin Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur…………………….
14
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Interaksi Pemda Dengan Pelaku Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur……………………………………………………………………….
xvii
82 83
Halaman 15
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur…………………………………………………………
84
16
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur………………………………………………………………………..
85
17
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur……………………………………………………………………..
86
18
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Biaya Transaksi Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur………...
87
19
Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Infrastruktur Daerah Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur…………...
88
20
Korelasi Pearson antara Ln PMDN dan Ln PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Kepengurusan Status Tanah di Provinsi Jawa Timur…….
89
21
Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan Lahan, Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda, Frekuensi Konflik dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha di Provinsi Jawa Timur……………………………………………….............................
89
22
Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA dengan Persentase Perusahaan yang Memiliki TDP, Rata-Rata waktu perolehan TDP dan Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan di Provinsi Jawa Timur...
92
23
Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan TDP, Persepsi Tingkat Biaya yang Memberatkan Usaha, Persepsi bahwa Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN, Efisien dan Bebas Pungli, Persepsi Tingkat Hambatan Usaha terhadap Usahanya di Provinsi Jawa Timur……………………………………………………...
93
24
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN (Q43R3) terhadap PMDN dan PMA serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya …………………………………………………………………………….
96
25
Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa
98
xviii
Timur…………………………………………………………………….. 26
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Meningkatkan Tingkat Kepastian Bagi Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya………………………………………………………………
101
27
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Pengeluaran bagi bisnis (Q53R1) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya ...
103
28
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Pemda Selalu Menindaklanjuti Langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya…………………………………………………..
105
29
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya………………………………………………………………..
106
30
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R5) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya…………………………………..............................................
108
31
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tingkat Kebijakan Pemda yang Mendorong Iklim Investasi (Q51) terhadap PMDN ,serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya…………………….
110
32
Korelasi Spearman antara dan PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta di Provinsi Jawa Timur…..
111
33
Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2007 serta PMDN 2008-2010 dengan Variabel Kapasitas Integritas Bupati/Walikota di Provinsi Jawa Timur………………………………………………………………………..
113
34
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Ketegasan Kepala Daerah akan Korupsi Birokratnya (Q61R3) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya………………………………………………………………..
114
35
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri (Q61R4) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang
116
xix
Dimilikinya……………………………………………………………….. 36
Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usaha di Provinsi Jawa Timur…….
118
37
Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Sengketa di Provinsi Jawa Timur………….
120
38
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Kriminalitas (Q84R1) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya …..........
121
39
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Menguntungkan Bagi Perusahaan (Q84R2) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya ………………………………...............
122
40
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya (Q84R3) terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya………………………..
124
41
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Demonstrasi Buruh (Q86R1) terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya…………………….
126
42
Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Polisi dalam Menangani Demonstrasi Buruh Meminimalkan Dampak Kerugian Waktu dan Biaya (Q86R2) terhadap PMA dan PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya………………………………................
128
43
Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Pembayaran Donasi terhadap Pemda di Provinsi Jawa Timur……..
130
44
Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2007 serta PMDN 2008-2010 dengan Variabel Biaya Transaksi di Provinsi Jawa Timur……………
130
45
Korelasi Pearson antara PMDN serta PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur, Pemakaian Genset, Lama Pemadaman Listrik di Provinsi Jawa Timur……………………………........................................
132
46
Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA 2005- 2010 dengan Variabel Kualitas Infrastruktur (Q78AR1-AR5), Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja Perusahaan (Q81) di Provinsi Jawa Timur……………….
134
47
Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan
137
xx
Sub-Sub
Indikator TKED dan Indeks TKED di Provinsi Jawa Timur…………….. 48
Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta (PMDN) di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Random Effects Model………….
142
49
Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta (PMA) di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Pooled Least Square……………
143
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Realisasi Investasi di Indonesia, 2000-2010………………………......
2
2
Fluktuasi Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur ……..................
8
3
Hubungan Investasi dan Tabungan Dengan Tingkat Bunga Menurut
15
Klasik ………………………………………………………………… 4
Mekanisme penyesuaian dari stok kapital yang diinginkan ke Investasi
16
……………………………………………………………… 5
Penggolongan Governance……………………………………………
21
6
Kerangka Pemikiran Penelitian ………………………………............
33
7
Peta wilayah Provinsi Jawa Timur........................................................
47
8
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur 2001-2010
54
9
Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2010 Menurut Skala Usaha
10
..............................
64
.............................................................
Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2010
64
Menurut Sektor Usaha…………………………………………. 11
Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2010 Menurut Posisi Dalam Perusahaan
12
65
…………….....................
Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2011
65
Menurut Tingkat Pendidikan …..……………………………… 13
Mekanisme Pelayanan Perizinan di KP2T …………………………...
70
14
Boxplot Variabel Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda terhadap
90
Realisasi PMDN dan PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur........ 15
Scatterplot Variabel Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan
92
terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur………………… 16
Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas Pungli terhadap
94
PMDN (2005-2010 di Provinsi Jawa Timur........................... 17
Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN terhadap
95
PMDN dan PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur …. 18
Boxplot Variabel Persepsi Tingkat Hambatan Izin Usaha Terhadap
97
xxiii
realisasi PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur ………………… 19
Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku
99
Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur... 20
Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Non Diskriminatif Pemda
,
99
terhadap PMDN (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur …………………. 21
Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat
100
Ketidakpastian Bagi Dunia Usaha , terhadap PMDN dan PMA 20052010 di Provinsi Jawa Timur ……………………………………… 22
Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat
102
Pengeluaran bagi Bisnis , terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ………………………………………………………………….. 23
Boxplot Variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti
104
Langkah-Langkah Pemecahan Masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur………… 24
Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha
106
Daerah (Q50R3), terhadap PMDN di Provinsi Jawa Timur………….. 25
Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha
107
Daerah, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur.. 26
Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi
109
, terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi
Jawa Timur ………………………………………………………….. 27
Boxplot Variabel Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan , terhadap
112
PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur…………………...................... 28
Boxplot Variabel Ketegasan Kepala Daerah Terhadap Korupsi
114
Birokratnya , terhdadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ………………………….............................................................. 29
Boxplot Variabel Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri
116
Sendiri, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur.. BoxplotK 30
Korelasi antara Variabel Hambatan Kapasitas dan Integritas Kepala
118
Daerah Terhadap Dunia Usaha, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur.............................................................................................. 31
xxiv
Scatterplot Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usaha,
119
terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur …………………. 32
Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Polisi
121
Selalu Bertindak Tepat Waktu dalam Menangani Kasus Kriminal yang Berhubungan dengan Kegiatan Usaha, terhadap
PMDN dan PMA
2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ……………………………………... 33
Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang
Diberikan
Polisi
Ketika
Menangani
Menguntungkan Bagi Perusahaan, terhadap
Kasus
122
Kriminal
PMDN 2005-2010 di
Provinsi Jawa Timur …………………………………………………. 34
Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang
Diberikan
Polisi
Ketika
Menangani
Kasus
124
Kriminal
Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur …………………………………... 35
Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Demonstrasi Buruh oleh Polisi:
126
Polisi Bertindak Tepat Waktu Menangani Demonstrasi Buruh, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ………………………………. 36
Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang
Diberikan
Polisi
Ketika
Menangani
Kasus
128
Kriminal
Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya Terhadap Usaha, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur. ……. 37
Boxplot Variabel Tingkat hambatan Keamanan dan Penyelesaian
130
Sengketa terhadap Kinerja Perusahahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ………………………………………………. 38
Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Biaya Transaksi Terhadap Kinerja
132
Perusahahaan, terhadap realisasi PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur…………………………………………………………………… 39
Scatterplot Variabel Lama Pemadaman Listrik, terhadap
LPMDN
133
2005-2010 di Provinsi Jawa Timur …………………………………... 40
Scatterplot Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur Air PDAM, terhadap
134
LPMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur ……………... 41
Boxplot Variabel Kualitas Infrastruktur Jalan terhadap PMDN 20052010 di Provinsi Jawa Timur……………………………………………...
xxv
135
42
Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja
136
Perusahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur …….. 43
Scatterplot Korelasi Pearson antara PMDN dengan Sub-Sub Indikator
138
TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur………….. 44
Scatterplot Korelasi Pearson antara PMA dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur.......……..
xxvi
139
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Daftar Istilah……………………………………………………………..
157
2.
Kabupaten/Kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun 2010……………………………………………………………………...
161
3
Jumlah Penduduk , Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk Tahun 2010…………………………………………………...
162
4
Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 2007 dan 2010 untuk Provinsi Jawa Timur………………………………………...
163
5
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Akses Lahan ………………………………………………………….
164
6
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Izin Usaha……………………………………………………………….
165
7
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha .................................................
166
8
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Program Pengembangan Usaha Swasta………………………………….
168
9
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota.................................................
170
10
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa......................................................
171
11
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Biaya Transaksi………………………………………………………….
172
12
Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Infrastruktur Daerah ……………………….…........................................
173
13
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Akses Lahan terhadap PMDN dan PMA………………………………………
174
14
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Izin Usaha terhadap PMDN dan PMA………………………………………………
175
15
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Interaksi
176
xxvii
Pemda dengan Pelaku Usaha terhadap PMDN dan PMA…………….... 16
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Program Pengembangan Usaha Swasta terhadap PMDN dan PMA……………..
178
17
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota terhadap PMDN dan PMA……………..
180
18
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Keamanan 181 dan penyelesaian Sengketa terhadap PMDN dan PMA…………………
19
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Biaya 182 Transaksi terhadap PMDN dan PMA…………………………………...
20
Hasil uji Korelasi Pearson variabel penyusun sub indikator Infrastruktur 183 Daerah terhadap PMDN dan PMA……………………………………..
21
Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator 184 Infrastruktur Daerah terhadap PMDN dan PMA………………………..
22
Hasil uji Korelasi Pearson variabel sub indikator TKED dan indeks agregat TKED terhadap PMDN dan PMA……………………………...
23
Realisasi PMA di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2005-2007 dan 2008-2010 (dalam juta rupiah)……………………………………..
187
24
Realisasi PMDN di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2005-2007 dan 2008-2010 (dalam juta rupiah)……………………………………...
188
25
Standardized Residuals Model PMDN………………………………….
190
26
Histogram Normality Test Model PMDN……………………………….
190
27
Korelasi Pearson antar Variabel Bebas Dalam Model PMDN…………. 191
28
Hasil Estimasi Model PMDN dengan Pooled Least Square…………….
191
29
Hasil Estimasi Model PMDN dengan Fixed Effects Model……………..
192
30
Pengujian Model PMDN dengan Chow Test……………………………. 193
31
Estimasi Model PMDN dengan Random Effects Model……………….
32
Pengujian Model PMDN dengan Hausman Test terpilih Model 195 Random Effects…………………………………………………………..
33
Standardized Residuals Model PMA……………………………………
xxviii
185
194
196
34
Histogram Normality Test Model PMA…………………………………
35
Korelasi Pearson antar Variabel Bebas Dalam Model PMA……………. 197
36
Hasil Estimasi Model PMA dengan Pooled Least Square………………
xxix
196
197
xxx
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pendapatan di negara-negara sedang berkembang, pada umumnya masih mengalami berbagai kendala. Masalah teknologi, tenaga ahli dan terlatih serta keterbatasan sumber dana atau modal menjadi kendala utama. Untuk masalah permodalan, salah satu solusinya adalah menggiatkan sektor investasi. Investasi
pada
hakekatnya
merupakan
langkah
awal
kegiatan
pembangunan ekonomi, karena adanya investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dinamika investasi akan mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga setiap negara berlomba untuk menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi (Dumairy , 1996). Sasaran yang dituju oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, bukan hanya penanaman modal dalam negeri tetapi juga penanaman modal asing.Dengan adanya investasi maka output yang dihasilkan suatu negara akan semakin meningkat. Peningkatan output akan meningkatkan pendapatan nasional sehingga kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan dapat tercapai. Jumlah nominal investasi setiap tahunnya sangat berfluktuasi (Gambar 1), dan berkontribusi pada gejolak Produk Domestik Regional Bruto yang besar (Blanchard, 2006).Investasi diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Dengan adanya investasi diharapkan output, baik barang dan jasa, akan bertambah dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi,yang tercermin dari kemampuannya untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai.
2
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari investasi
80,000,000.00 70,000,000.00 60,000,000.00 50,000,000.00 40,000,000.00
PMA
30,000,000.00
PMDN
20,000,000.00
TOTAL
10,000,000.00
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
0.00 2000
Realisasi Investasi (dalam jutaan Rp)
(Haryanto, 2005).
Tahun Sumber: BKPM, 2010
Gambar 1 Realisasi Investasi di Indonesia, 2000-2010 Sebagai negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya digerakkan oleh sektor investasi.Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000-2010 ternyata lebih didominasi dan didorong oleh konsumsi rumah tangga sebesar 60-70%, sementara pembentukan modal tetap hanya sebesar 20 - 30% (Tabel 1) . Walaupun demikian,fakta menunjukkan bahwa kontribusi investasi
dapat mengimbangi kontribusi konsumsi rumah
tangga seiring waktu, yaitu dari 20.9% di tahun 2001 menjadi 32,2% di tahun 2010. Dengan demikian, argumen bahwa perekonomian Indonesia lebih dominan ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga tidak sepenuhnya benar, karena kontribusi konsumsi terhadap PDB semakin menurun dari 70.6% di tahun 2002 menjadi 56,7% di tahun 2010. Kontribusi investasi yang masih relatif kecil dibandingkan konsumsi ini menunjukkan masih rendahnya daya saing iklim investasi Indonesia. Pendapatan per kapita masyarakat yang relatif rendah menyebabkan kemampuan menabung masyarakat rendah, sementara kebutuhan akan investasi relatif besar, sehingga
3
timbul saving-investment gap. Salah satu cara memperkecil gap ini adalah dengan peningkatan investasi.
Tabel 1 Perkembangan PDB Indonesia Menurut JenisPenggunaan (atas dasar harga konstan) dan Distribusi Konsumsi-Investasi (atas dasar PDB harga berlaku) (dalam triliun Rp) Tahun PDB Laju Konsumsi Distribusi Pembentukan Distribusi Rumah C Modal I Tangga Tetap [Y] [%] [C] [%] Bruto [I] [%] 2001 1,547.8 3.3 999.3 67.0 310.9 20.9 2002 1,705.6 3.7 1,137.8 70.6 325.3 20.2 2003 2,078.1 4.1 1,372.1 67.1 386.2 18.9 2004 2,323.4 5.1 1,532.9 67.4 492.8 21.7 2005 2,787.8 5.6 1,785.6 64.1 657.6 23.6 2006 3,367.0 5.5 2,092.7 62.7 805.5 24.1 2007 3,985.6 6.3 2,510.5 63.5 985.6 24.9 2008 4,839.7 6.1 3,000.0 60.9 1,370.6 27.7 2009 5,730.1 4.5 3,290.8 58.7 1,744.4 31.1 2010 6,394.1 6.1 3,642.0 56.7 2,065.2 32.2 Sumber: BPS, 2010
Multiplier effect yang ditimbulkan dari sektor investasi besar peranannya terhadap nilai tambah di sektor-sektor ekonomi lainnya.Pertambahan investasi sebesar Rp. 100 Trilyun, misalnya akan dapat meningkatkan perndapatan nasional sebesar lebih dari Rp. 100 Trilyun (Nugroho, 2008). Suatu negara yang relatif
maju dengan aktivitas perekonomian yang
tinggi, lebih digerakkan oleh kontribusi terbesar dari investasi swasta, dengan besaran/nilai absolut investasi pemerintah relatif tidak berarti. Sebaliknya, negara dengan aktivitas perekonomian yang rendah, besaran nilai investasi pemerintah relatif signifikan (Pambudhi, 2010). Indonesia dalam hal ini berada dalam transisi di mana investasi pemerintah yang besar berangsur-angsur beralih kepada peran swasta yang dominan dalam penanaman modal. Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan investasi swasta sebagai tambahan dana bagi pelaksanaan pembangunan. Sektor swasta sebagai unsur utama penggerak investasi perlu distimulasi. Hal ini dikarenakan investasi swasta akan mendorong penyerapan tenaga kerja, memberikan sumbangsih
4
kepada pemerintahan daerah melalui penerimaan pajak,mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi
serta penggalian sumber daya alam, mendukung industrialisasi dan
ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi daerah
serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Machmud,2002). Undang- Undang Penananaman Modal No. 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN (Penanaman modal Asing Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam rangka menggerakkan investasi swasta, sangatlah perlu diciptakan suatu iklim investasi yang baik.Iklim Investasi yang baik akan menyediakan kesempatan dan insentif terhadap para pelaku usaha dari perusahaan mikro sampai multinasional, untuk dapat berinvestasi secara produktif, menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan perusahaannya (World Development Report, 2005). Salah satu unsur yang penting penunjang iklim investasi daerah adalah kualitas tata kelola pemerintahan daerah.Tata kelola pemerintahan daerah, sebagai komplemen tata kelola pemerintahan pusat sangat besar peranannya.Infrastruktur yang baik, biaya transaksi yang rendah, tingkat keamanan dan interaksi/kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta merupakan faktor non ekonomi yang menjadi pertimbangan pelaku usaha dalam menanamkan modalnya di suatu daerah, disamping faktor-faktor ekonomi lainnya. Meningkatkan daya saing investasi daerah merupakan salah satu tujuan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan mulai tahun 2001 dengan dasar hukum Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah . Desentralisasi yang telah berlangsung 10 tahun ini memberikan beberapa tantangan untuk pemerintah daerah. Dengan diberikannya otoritas kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan terkait investasi seperti penyediaan infrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, penghapusan pungutan dan biaya yang memberatkan, diharapkan akan mendorong iklim investasi di suatu daerah yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan daerah.
5
Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah Daerah (Pemda) di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Pemda seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, salah satunya dengan berinteraksi secara intensif dengan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha, serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta.
1.2.Perumusan Masalah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ternyata masih banyak Pemda yang berorientasi pada kepentingan jangka pendek yaitu semata-mata pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini sangat membebani pelaku usaha yang akan berinvestasi, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).Hal ini menunjukkan bahwa Pemda belum menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Dalam melakukan perbaikan terhadap tata kelola pemerintahannya, suatu daerah sudah seharusnya berpijak pada prioritas pengembangan perekonomian daerahnya, yang tentunya disesuaikan dengan potensi ekonomi masing-masing daerah (Pambudhi,2010). Prioritas ini perlu ditetapkan , karena dana yang dimiliki pemerintah, baik DAU , DBH maupun DAK, dalam APBN sangat terbatas. Daerah yang prioritas pembangunan ekonominya berbeda memerlukan dukungan tata kelola ekonomi daerah yang berbeda dalam beberapa hal yang spesifik ,misalnya perda tata ruang dan insentif fiskal . Akan tetapi juga terdapat pendekatan yang sama untuk beberapa hal yang umum ,misalnya implementasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan lain-lain. Hal inilah yang mendorong Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) untuk melakukan survei yang isinya mengakomodir persepsi para
pelaku
usaha
terhadap
tata
kelola
ekonomi
daerah
(TKED)
kabupaten/kotanya.Survei ini dilakukan tahun 2007 dan 2010 (Tabel 2).Dengan dilakukannya survei ini, persepsi usaha di seluruh provinsi di Indonesia tentang
6
tata kelola ekonomi daerahnya telah tersedia, walaupun dengan kerangka waktu yang berbeda.Untuk DKI Jakarta tidak dilakukan survei, karena otonomi daerahnya berada di tingkat provinsi.
Tabel 2Ruang Lingkup Survei Tata kelola Ekonomi Daerah oleh KPPOD(2007 &2010) Aspek Survei KPPOD 2007 2010 Jumlah Responden (perusahaan) 12,187 12,391 Cakupan kabupaten/kota 243 245 Cakupan provinsi 15 19 Sumber: KPPOD, 2007,2010
Dari hasil survei TKED 2007 dan 2010, ternyata 10 besar Indeks tata kelola pemerintahan daerah tertinggi didominasi oleh provinsi Jawa Timur (Tabel 3).Hal ini menunjukkan kualitas tata kelola pemerintahan daerah secara umum di provinsi Jawa Timur adalah yang terbaik di Indonesia.
Tabel 3Sepuluh Kabupaten/Kota Peringkat Teratas di Indonesia berdasarkan Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah2007 dan 2010 No
2007
Nilai Kabupaten/kota Provinsi (poin) 1 Kota Blitar Jatim 76.0 2 Magetan Jatim 75.4 3 Kota Prabumulih Sumsel 74.7 4 Musi Banyuasin Sumsel 74.3 5 Jembrana Bali 73.7 6 Tuban Jatim 73.4 7 Lumajang Jatim 72.0 8 Madiun Jatim 72.0 9 Probolinggo Jatim 71.5 10 Gianyar Bali 71.3 Sumber: KPPOD, 2007,2010
2010 Kabupaten/kota Kota Blitar Lampung utara Kota Probolinggo Kota Batu Sorong Bangka Tengah Magetan Probolinggo Kota Solok Kota Padang Panjang
Provinsi Jatim Lampung Jatim Jatim Papua Babel Jatim Jatim Sumbar Sumbar
Nilai (Poin) 80.5 79.0 78.4 76.3 74.6 74.3 73.9 73.8 73.2 73.1
Provinsi Jawa Timur sebagai pusat perekonomian utama wilayah kawasan timur Indonesia memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi seperti investasi properti, pusat perbelanjaan dan hiburan,perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya. Hal-hal yang melatarbelakangi potensi Jawa Timur ini adalah : (1) merupakan pusat utama
7
wilayah kawasan timur Indonesia untuk processing industry dan perdagangan nasional, (2) posisi Jawa Timur relatif strategis. Upah buruhnya pun relatif lebih rendah daripada Bandung dan Tangerang, serta dukungan investasi lahan yang relatif masih murah (Wahyuni, 2007), (3) memiliki fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai, dan (4) pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2001 memberikan kesempatan pada pemerintah daerahnya untuk menentukan kebijakan dan menata diri dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan potensi yang besar dan kualitas tata kelola yang baik, ternyata jika dibandingkan dengan beberapa provinsi lainnya di Pulau Jawa, nilai realisasi investasi di Jawa Timur hanya menempati urutan nomor 3 setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat (Tabel 4).
Tabel 4 Perbandingan TotalRealisasi Investasi Langsung Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa 2000-2010 Tahun DKI
Banten
Realisasi Investasi (dalam jutaan Rp) Jabar Jateng DIY
Jatim
2000
2,878,961.08
1,445,019.66
6,698,804.55
2,277,433.24
115,863.09
7,728,148.90
2001
3,188,029.33
995,922.42
1,170,079.25
834,596.82
44,813.12
1,385,235.39
2002
2,672,257.48
895,007.75
9,057,820.98
778,817.88
65,298.76
240,023.35
2003
7,240,701.86
2,400,059.47
3,591,490.59
467,590.93
33,213.53
755,298.36
2004
5,096,504.98
1,169,479.52
4,006,264.09
214,593.11
15,508.50
614,996.30
2005
5,817,332.55
4,501,464.83
5,966,787.81
1,101,930.76
45,358.29
4,759,064.62
2006
4,560,098.07
4,323,380.17
6,937,344.03
391,244.24
68,800.34
885,970.23
2007
8,894,907.01
1,777,257.43
12,674,826.32
391,962.28
33,915.50
3,414,221.08
2008
11,755,489.32
2,466,865.11
6,841,594.20
1,451,833.85
16,644.21
3,235,630.93
2009
15,203,279.10
5,793,685.03
6,659,233.25
2,758,133.27
40,936.41
4,712,809.75
2010
68,891,203.32
5,867,960.88
15,816,767.05
910,860.28
59,498.26
8,101,749.33
136,198,764.08
31,636,102.27
79,421,012.12
11,578,996.65
539,850.01
35,833,148.24
TOTAL
Sumber: BKPM 2010, diolah.
Realisasi investasi di Jawa Timur dari tahun 2000-2010 sangat berfluktuasi (Gambar 2) baik dari sisi Foreign Direct Investment (FDI) atau Penanaman
Modal
Asing
dan
Penanaman
Modal
Dalam
Negeri
(PMDN).Kontribusi terbesar masih dipegang oleh Penanaman Modal Dalam Negeri.
8
9,000,000.00
Nilai Investasi (dalam jutaan Rp)
8,000,000.00 7,000,000.00 6,000,000.00 5,000,000.00
PMA
4,000,000.00
PMDN Total
3,000,000.00 2,000,000.00 1,000,000.00 0.00 20002001200220032004200520062007200820092010
Sumber: BKPM, 2010 (diolah)
Gambar 2Fluktuasi Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur Dengan berbagai potensi dan kualitas tata kelola Jawa Timur yang relatif baik menurut hasil survei KPPOD, penelitian ini berusaha mengkaji dampak tata kelola pemerintahan daerah terhadap realisasi investasinya.Provinsi Jawa Timur termasuk dalam sampling frame dari dua kali Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah yang telah diadakan , sehingga diharapkan perubahan persepsi pelaku usaha dapat diidentifikasi. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Mc Culloch dan Malesky (2010) mengkaji hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan indeks agregat dari sub indikator survei TKED KPPOD dengan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di Indonesia. Hasilnya ditemukan sangat sedikit sekali hubungan yang signifikan.Hubungan langsung (direct relationship) antara tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah lewat infrastruktur, perdagangan dan investasi (De, 2008). Oleh karena itu , penelitian ini berusaha mendisagregasi sub indikator survei TKED KPPOD , dan mengkorelasikannya dengan realisasi investasi di Jawa Timur. Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah dipaparkan, masalah penelitian yang dirumuskan danakan dijawab dalam penelitian ini antara lain:
9
1. Bagaimanakah perbedaan persepsi pelaku usaha di Jawa Timur sehubungan dengan tata kelola ekonomi daerahnya menurut hasil survei KPPOD di tahun 2007 dan 2010? 2. Bagaimanakah hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan realisasi investasi di Jawa Timur? 3. Bagaimanakah pengaruh tata kelola pemerintahan dengan realisasi investasi di Jawa Timur?
1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan perbedaan persepsi pelaku usaha di Jawa Timur sehubungan dengan tata kelola ekonomi daerahnya menurut hasil survei KPPOD di tahun 2007 dan 2010. 2. Menganalisis hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan realisasi investasi di Jawa Timur. 3. Menganalisis pengaruh tata kelola pemerintahan dengan realisasi investasi di Jawa Timur.
1.4.Manfaat Penelitian Hasil
penelitian ini diharapkan menjadi salah satu acuan dan bahan
pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan investasi bagi para investor baru sebelum berinvestasi di Jawa Timur.
Sementara itu, untuk pemerintah
daerah provinsi Jawa Timur, khususnya pemerintah Kabupaten/Kota, diharapkan hasil penelitian ini juga menjadi bahan evaluasi dan pemantauan kinerja pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan daya saing investasi daerah. Lebih jauh lagi, diharapkan penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk rekomendasi kebijakan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di masing-masing kabupaten/kota.
10
1.5.Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah meliputi dua hal.Pertama, memberikan gambaran persepsi pelaku usaha mengenai tata kelola pemerintahan daerah di provinsi Jawa Timur.Kedua, menganalisis hubungan dan pengaruh pengaruh tata kelola pemerintah daerah terhadap realisasi investasi di Jawa Timur. Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi swasta yang berupa investasi langsung (direct investment) baik berupa Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tata Kelola Ekonomi Daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terbatas hanya indikator hasil survei KPPOD yang meliputi sembilan unsur indikator utama yaitu akses lahan, infrastruktur daerah,perizinan usaha, kualitas peraturan daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi Pemda dengan pelaku usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), keamanan dan penyelesaian konflik. Cakupan analisis penelitian ini adalah sebanyak 38 kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur, periode 2005-2007 dan 2008-2010. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data hasil survei tata kelola pemerintahan daerah tahun 2007 dan 2010 dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), PDRB provinsi Jawa Timur , data investasi pemerintah dan data realisasi investasi baik PMA maupun PMDN provinsi Jawa Timur dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPM-D) provinsi Jawa Timur dan BPS Jawa Timur.
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Beberapa teori tentang pertumbuhan ekonomi diantaranya: 1. Teori Harrod-Domar Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasional untuk mengganti barang-barang modal yang rusak. Namun untuk menumbuhkan perekonomian, dibutukan investasi baru untuk menambah stok modal. Jadi setiap tambahan bersih terhadap stok modal (investasi baru) akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai rasio modal-output (COR). Beberapa asumsi yang mendasari teori ini adalah a. Perekonomian dalam keadaan full employment dan barang-barang modal dalam masyarakat digunakan secara penuh. b. Perekonomian hanya terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumah tangga dan perusahaan. c. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional. d. Marginal propensity to save (MPS) besarnya tetap, demikian pula rasio antara modal output (Capital Output Ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output (Incremental Capital Output Ratio = ICOR) Beberapa model atau persamaan yang dibangun dari teori Harrod-Domar ini antara lain: S= sY…………………………………………………………………..(2.1) I= ∆ K……………………………………………………………...…..(2.2) 𝐾 𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢
∆𝐾 ∆𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∆𝐾 = 𝑘. ∆𝑌 ……………………………….(2.3)
12
Karena tabungan total (S) harus sama dengan investasi (I), maka: S= I…………………………………………………………………….(2.4) S= sY ,k ∆Y = ∆K = I, atau s.Y=k ∆……….…………..……………. (2.5) ∆𝑌 𝑌
=
𝑠 𝑘
………………………………….…………………………….(2.6)
Persamaan (2.6) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output berhubungan secara positif dengan rasio tabungan. Sedangkan hubungan antara COR dengan pertumbuhan adalah negatif. Semakin besar COR maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan output. Kelemahan-kelemahan teori Harrod-Domar meliputi MPS dan ICOR yang pada kenyataannya tidak konstan, proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal tidak tetap, harga tidak akan konstan serta suku bunga pasti berubah. Kelemahankelemahan ini yang diakomodir dalam teori pertumbuhan Solow.
2. Teori Solow Salah satu teori yang menunjukan pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian serta pengaruhnya terhadap output barang dan jasa (PDRB) suatu wilayah secara keseluruhan adalah Teori Pertumbuhan Solow (Mankiw, 2003). Model Solow yang berasumsi bahwa fungsi produksi mempunyai skala hasil konstan, maka fungsi produksinya dapat dirumuskan sebagai berikut: Y =A Ka Lb………………………………………………………………(2.7) dimana: Y= output A= tingkat teknologi K= persediaan modal L= tenaga kerja a= pertambahan output akibat pertambahan satu unit modal b= pertambahan output akibat pertambahan satu unit tenaga kerja a+b =1 (asumsi constant return to scale) Persediaan modal dipengaruhi pula oleh investasi dan depresiasi.Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru yang dapat
13
menambah persediaan barang modal.Sedangkan depresiasi sebaliknya, mengacu pada penggunaan modal, yang menyebabkan persediaan modal berkurang. Perubahan persediaan modal= investasi-depresiasi ∆k = I – δk………………………………………………………….(2.8) Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional adalah dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : LPit
PDRBit PDRBi (t 1) PDRBi (t 1)
100%
……………......(2.9)
Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i
= sektor 1,2,…9
t
= tahun t
2.2. Investasi Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau pembentukan modal.Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan masa datang. Selain itu fluktuasi investasi berpengaruh besar pada proses bisnis. Poin yang menonjol adalah investasi dalam jangka panjang, menentukan jumlah stok modal dan berperan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Blanchard,2006). Sukirno (2000) mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang produksi dengan tujuan untuk mengganti dan menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan. Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian.
14
Ada 3 jenis investasi menurut Dornbusch and Fischer (1997), Mankiw (2003), Sukirno (2000) yaitu: (1) Investasi tetap bisnis (Business Fixed Investment) yaitu pengeluaran perusahaan untuk pembelian pabrik dan peralatan baru, (2) Investasi residensi (residential investment, yaitu pembelian perumahan baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, (3) Investasi dalam persediaan (inventory investment) yaitu bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi yang disimpan oleh perusahaan untuk kemudian dijual. Menurut Dornbusch and Fischer (1992) ada dua sudut pandang investasi yaitu: 1. Investasi dalam arti sempit yaitu penambahan persediaan fisik modal, atau disebut juga investasi riil, 2. Investasi dalam arti luas, yang mencakup investasi finansial dan sumber daya manusia. Dengan batasan bahwa investasi yang ditekankan dalam penelitian ini adalah persediaan atau stok modal fisik,maka dapat didefinisikan bahwa investasi adalah
suatu
pengeluaran
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan stok barang modal. Dengan berinvestasi, berarti perusahaan menunda atau mengurangi besarnya konsumsi untuk memperoleh rate of return yang tinggi di masa depan. Jadi besarnya investasi sangat bergantung pada ekspektasi keuntungan yang akan diperoleh di periode mendatang (Nicholson,1998). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi minat investor yaitu: (1) tingkat suku bunga, (2) ramalan tingkat pengembalian dan penawaran barang di masa mendatang, (3) permintaan akan modal (demand for capital) dan (4) kemajuan teknologi.
2.3.Teori Investasi Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa keinginan individu atau masyarakat untuk menabung adalah sama dengan keinginan perusahaan untuk melakukaninvestasi.Pandangan ini dapat dituliskan ulang sebagai persamaan: I=S…………………………………………………………….. (2.10)
15
Dalam teori investasi klasik diasumsikan bahwa: 1. Tabungan adalah fungsi dari tingkat bunga Dengan semakin tingginya tingkat bunga, semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya bahwa pada tingkat bunga yang lebih tinggi, masyarakat akan terdorong untuk mengurangi pengeluaran untuk konsumsi dengan maksud untuk menambah tabungan. 2. Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga Dengan semakin tingginya tingkat bunga, keinginan untuk melakukan investasi akan semakin rendah. Investasi akan dilakukan oleh investor apabila pendapatan dari investasi (return on investment) lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku atau tingkat riil sebab tingkat bunga merupakan biaya atau ongkos penggunaan dana(cost of capital). Teori klasik menjelaskan hubungan antara tabungan dan investasi dengan tingkat bunga dideskripsikan pada Gambar 3. Kurva tabungan (S) menunjukkan tingkat tabungan pada kesempatan kerja penuh (full employment) pada berbagai tingkat bunga, sedangkan keinginan perusahaan untuk berinvestasi ditunjukkan oleh kurva I0. Keseimbangan awal antara tabungan dan investasi terletak di titik E0, di mana keseimbangan tingkat bunga ada pada titik R0. Pada titik E0 ini jumlah seluruh tabungan yang akan dilakukan oleh rumah tangga sama dengan jumlah seluruh investasi yang akan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha. Tingkat Bunga S
Kelebihan tabungan R0 I0
R1 I1 I1=S1
I0=s0
Investasi dan Tabungan
Sumber: Sukirno (2000)
Gambar 3 Hubungan Investasi dan Tabungan Dengan Tingkat Bunga Menurut Klasik
16
Apabila tingkat investasi berubah dari I0 menjadi I1 maka pada tingkat bunga awal R0, ada S0 tabungan yang ditawarkan dalam pasar. Ketika investasi mengalami penurunan menjadi I1, kelebihan tabungan di S0 akan menurunkan tingkat bunga menjadi R1 sehingga terjadi keseimbangan baru di titik E1. Terjadi keseimbangan baru di titik E1 (I1=S1). Hal ini terjadi karena kelebihan tabungan (excess saving) akan mendorong para penabung untuk saling bersaing dalam meminjamkan dananya kepada pihak ketiga sehingga akan menekan tingkat bunga.Demikian terjadi sebaliknya apabila tingkat investasi meningkat. Dari teori investasi klasik ini dapat disimpulkan bahwa terdapat fleksibilitas tingkat bunga yang akan menjamin terwujudnya ekuilibrium yaitu keadaan tingkat bunga selalu sama dengan investasi (I=S). Dengan kata lain, tingkat bunga merupakan interaksi antara tabungan dan investasi. Suatu negara dengan tingkat tabungan yang tinggi akan mencapai kondisi ekonomi yang mantap per tenaga kerja (steady state output per worker) yang tinggi (Blanchard, 2006) Hubungan antara stok modal yang diinginkan dan investasi yang terealisasi dapat dijelaskan sebagai berikut.Kenaikan dalam permintaan modal akan menaikkan harga dari P0 ke P1 (Gambar 4) dan akan menaikkan kapital dari K0 ke K1. Kenaikan modal ini berhubungan erat dengan kenaikan investasi, sehingga investasi akan bergerak dari I0 ke I1. Akan tetapi kenaikan investasi ini tidak secara instan menutup celah antara stok kapital yang diinginkan dengan yang telah tersedia, karena adanya adjustment cost.
B
A
Pric P e of 0 Cap ital
P1
DD1 DD0 K0
Sumber: Dornbusch, 2008
K1 Stock of K
Gambar 4 Mekanisme penyesuaian dari stok kapital yang diinginkan ke Investasi
17
Ada beberapa hipotesis tentang kecepatan perusahaan menyesuaikan stok kapital seiring waktu.Salah satu hipotesisnya adalah flexible accelerator model. Model ini menyatakan, semakin kesenjangan antara stok modal aktual dengan yang diinginkan (K*),maka semakin besar tingkat investasi perusahaan. I= K0-K-1= λ (K* - K-1)………………………………………………..(2.11)
2.4. Desentralisasi Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan implementasi paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Tiebout hypothesisdiacu dalam Stiglitz (2000) berargumen bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan merumuskan sendiri kebijakan daerahnya, selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat, akan memicu kompetisi yang sehat antar Pemda untuk dapat menyediakan public goods yang memenuhi preferensi masyarakat. Dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut penciptaan investasi yang sehat, Pemda
iklim
dapat menawarkan opsi tarif pajak dan biaya
transaksi yang rendah. Diharapkan biaya yang rendah ini dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut. Antara Pemda satu dengan lainnya pun berlomba untuk menetapkan tarif pajak dan biaya transaksi seoptimal mungkin yang dapat menggiatkan dunia bisnis dan investasi daerahnya yang pada akhirnya diharapkan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi regionalnya. Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepala daerah otonom kepada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI dibagi atas daaerah-daerah provinsi,kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
18
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu (1) sebagai suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of income distribution dan kemandirian sistem manajemen di daerah dan (2) memperkuat perekonomian daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas. Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001 juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi bukanlah
berdiri
sendiri,
melainkan
merupakan
subsistem
dari
sistem
pemerintahan nasional. Ada 4 tipe dari desentralisasi menurut Rodindelli & Mellis (1986), Blair (1998): 1. Deconcentration Tahap dekonsentrasi merupakan peralihan desentralisasi, yaitu peubahan institusi dengan pemusatan dan penyebaran pegawai negeri sipil ke daerah-daerah. 2. Devolution Pada tahap ini tanggung jawab dan sumber daya ditransfer kepada daerah secara lebih luas untuk mengatur penggunaan sumber daya. 3. Delegation Daerah punya autonomous source of revenue, termasuk kewenangan untuk meminjam dari capital market serta transfer sumber daya. 4. Privatisation and partnerships Ada transfer tanggung jawab kepada perusahaan swasta dan civil society organizations untuk mobilitas capital dan inisiatif. Peran pemerintah pusat hanya melakukan ex-post control terhadap penggunaan sumber daya, dan tidak mencampuri urusan anggaran ataupun perencanaan. Adapun asas desentralisasi yang diterapkan di Indonesia ditunjang oleh dua asas lainnya yaitu dekonsentrasi dan perbantuan.Kebijakan nasional di seluruh wilayah NKRI adalah bersifat mengikat dan harus dipatuhi daerahdaerah.Ini berarti kebijakan pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat
19
dan Pemerintah Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional. Dasar hukum dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU no. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada intinya, UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untk mengambil keputusan mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah daerah, sedangkan UU No. 33 Tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan keuangan pusat dan daerah melalui bagi hasil (revenue sharing) baik dari pendapatan pajak maupun bukan pajak. Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan, yang dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000. Inti dari UU ini adalah mengakomodir kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah. Keleluasaan yang diberikan kepada daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut dapat memberikan pengaruh baik negatif maupun positif.Pengaruh positifnya tentu saja kontribusi PAD untuk menunjang pembangunan daerah semakin meningkat.Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan
dan
kemudahan
dalam
hal
perizinan
perlu
terus
dipertahankan.Perizinan penanaman modal seperti PMA yang tadinya harus dilakukan di pusat, kini dapat diselesaikan di daerah. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses perizinan dengan biaya murah sehingga menciptakan iklim investasi yang kondusif serta menarik untuk calon investor. Tetapi di sisi lain, peningkatan pajak dan retribusi akan menimbulkan high cost of economy
dan malah makin memperlemah investasi, jika tidak
memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Contohnya (1) pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten/kota, dan (2) munculnya peraturan-peraturan daerah (Perda) yang
20
tumpang
tindih,menyebabkan
pemungutan
pajak
ganda
dan
disinyalir
menghambat masuknya investasi swasta. Dampak positif dan negatif desentralisasi pun dikemukakan oleh Bahl (1998). Dampak positifnya antara lain (1) kesejahteraan akan lebih tinggi karena penyediaan jasa dan barang publik lebih memenuhi preferensi masyarakat, (2) pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa yang disediakan, (3) penduduk memiliki keinginan untuk membayar lebih tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai, dan (4) meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah lebih mengenal dan menggali objek pajaknya. Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi adalah (1) kontrol terhadap inflasi lebih sulit karena pengeluaran pemerintah daerah sulit dikendalikan, (2) usaha-usaha pengoptimalan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri, dan infrastruktur publik akan lebih sulit sehingga (3) ketimpangan daerah menjadi lebih tinggi.
2.5. Tata Kelola Pemerintahan Daerah Kata tata kelola berasal dari bahasa Inggris yaitu governance (Oxford English Dictionary, 1973), yang artinya adalah tindakan atau melaksanakan tata cara pengendalian.Lebih jauh lagi,government atau pemerintah sebagai pelaksana tata kelola identik dengan pengelola atau pengurus, dengan makna spesifik pengelola atau pengurus negara. Pemahaman sebagaimana disebutkan di atas kita jadikan sebagai awal untuk memahami good governance sebagai pijakan awal dari akuntabilitas kinerja pemerintah.Jadi good governance sebenarnya mempunyai makna sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik dan bukan kepemerintahan yang baik(Dwijowijoto, 2003).Governance yang dimaksudkan dalam penelitian ini lebih bersifat public governance daripada corporate governance (Gambar 5), dengan pendekatan secara khusus kepada tata kelola pemerintahan daerah.
21
Governance
Public Governance
Organisasi publik
Corporate Governance
Organisasi usaha
Non-forprofit governance
Organisasi nirlaba
Negara, nirlaba
Negara &masyarakat, laba
Masyarakat, nirlaba
Sumber: Dwijowijoto( 2003)
Gambar 5.Penggolongan Governance UNDP (1994) mensinonimkan good governance sebagai hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta dan masyarakat . Atas dasar ini, dirumuskan 9 karakteristik dasar good governance yaitu: participation,rule of law, transparency, responsiveness,consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability dan strategic vision. Akan tetapi, unsur-unsur tata kelola daerah yang baik menurut persepsi pelaku usaha dirumuskan secara berbeda oleh KPPOD. Pemilihan 9 unsur ini didasarkan pada elemen-elemen yang merefleksikan tata kelola ekonomi daerah, bukan merupakan faktor anugrah (endowment) , merupakan kewenangan dan kontrol kabupaten/kota, tetapi bukan indikator outcome/impact (KPPOD, 2010). Adapun ke-9 unsur ini adalah:
1. Akses lahan Akses lahan akan sangat mempengaruhi dunia usaha karena perusahaan tidak akan melakukan investasi baru bila tidak ada akses terhadap lahan. Kegiatan usaha yang sedang berlangsung pun juga akan terpengaruh bila tidak ada kepastian akan status lahan yang akan mereka gunakan (KPPOD,2011). Semakin baiknya akses terhadap lahan di suatu daerah akan mendorong investor untuk menanamkan modal di daerah tersebut.
22
Indikator Akses lahan
Variabel Penyusun a.Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah b.Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan c.Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda d.Frekuensi konflik e.Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha
2. Infrastruktur Penyediaan infrastruktur yang memadai berupa jalan kabupaten/kota, penyediaan listrik, lampu penerangan jalan, air bersih dan telekomunikasi merupakan prasyarat agar kegiatan usaha dapat berjalan secara efisien dan efektif (KPPOD,2011). Sebaliknya, kualitas pengelolaan infrastruktur yang buruk akan mengakibatkan biaya yang besar bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha. Kualitas infrastruktur yang baik menunjukkan semakin baiknya tata kelola pemerintahan di daerah tersebut (De,2008). Indikator Infrastruktur Daerah
Variabel Penyusun a.Kualitas infrastruktur (jalan,lampu jalan,air, listrik, telepon) b.Lama perbaikan infrastruktur (jalan,lampu jalan,air, listrik, telepon) c.Persentase pemakaian genset d.Lama pemadaman listrik e.Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan
3. Perizinan Usaha Prosedur perizinan usaha yang sederhana dan berbiaya murah dapat mendorong pelaku usaha baru untuk memasuki pasar. Sebaliknya prosedur pengurusan izin usaha yang sulit, lama dan berbiaya mahal akan menyebabkan keengganan pelaku usaha dan menghambat pertumbuhan kegiatan usaha baru.
23
Indikator Izin Usaha
Variabel Penyusun a.Persentase perusahaan yang memiliki TDP b.Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata+B9 waktu perolehan TDP c.Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha d.Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungli e.Persentase keberadaan mekanisme pengaduan f.Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya
4. Biaya Transaksi Biaya transaksi yang tinggi ( pajak daerah, retribusi dan biaya transaksi lainnya) baik legal maupun ilegal dapat menjadi penghambat bagi kegiatan usaha di daerah, jika hanya diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan dunia usaha (KPPOD, 2011). Akan tetapi jika pungutan diberlakukan dengan alasan yang jelas, serta digunakan sepenuhnya untuk memperbaiki pelayanan publik, pungutan tersebut boleh dipastikan tidak akan menghambat pelaku usaha dalam berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha. Indikator Biaya Transaksi
Variabel Penyusun a.Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan b.Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda c.Tingkat hambatan donasi terhadap Pemda d.Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi e.Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan
5. Kapasitas/integritas bupati/walikota Unsur ini sangat penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah berlangsung efektif. Kepala daerah yang jujur dan berkapasitas akan meningkatkan kepercayaan diri investor dan besar kemungkinan akan menjalankan kebijakan yang ramah terhadap investasi
24
Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota
Variabel Penyusun a.Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha b.Profesionalisme birokrat daerah c.Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri d.Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya e.Karakter kepemimpinan kepala daerah f.Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha.
6. Interaksi Pemda dengan pelaku usaha Adanya interaksi pemda dengan pelaku usaha sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan investasi publik yang dilakukan Pemda sejalan dengan kebutuhan pelaku usaha. Sebaliknya, interaksi yang tidak efektif antara Pemda dengan pelaku usaha dapat mengakibatkan penerapan kebijakan yang menghambat pertumbuhan kegiatan usaha. Indikator Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
Variabel Penyusun a.Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha b.Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda c.Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah d.Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendorong iklim investasi e.Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda f.Pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha g.Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha h.Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha
7. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) Program yang dilakukan Pemda dapat menjadi cara yang efektif dalam meningkatkan kemampuan manajemen dan keterampilan tenaga kerja, serta dapat menghubungkan pelaku usaha dengan pasar di luar daerah. Inisiatif Pemda dalam memfasilitasi pelaku usaha melalui program pengembangan usaha swasta akan mendorong peningkatan realisasi investasi di daerah tersebut.
25
Indikator Program Pengembangan Usaha Swasta
Variabel Penyusun a.Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS b.Tingkat partisipasi dalam PPUS c.Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha d. Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan
8. Keamanan dan penyelesaian konflik Akan sangat sulit bagi pelaku usaha untuk bertahan jika sering terjadi gangguan keamanan. Akan tetapi, bila pemerintah daerah dapat menciptakan mekanisme penyelesaian konflik atau perselisihan bisnis yang baik dengan meningkatkan koordinasi dengan polisi dan aparat lainnya, hal ini akan dapat meningkatkan kepercayaan para pelaku usaha dan menstimulasi realisasi investasi di daerah tersebut.
Indikator Keamanan Penyelesaian Sengketa
Variabel Penyusun a.Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha b.Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi c.Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi d.Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan
9. Kualitas Perda Peraturan daerah merupakan refleksi kerangka kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan perekonomian daerahnya. Peraturan yang rumit dan membingungkan dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha di daerah, karena dapat mengakibatkan ketidakpastian dan mempersempit perdagangan serta akses pasar (KPPOD,2011) . Penelitian Luebke (2009) menunjukkan pengaruh signifikan peran kepala daerah terhadap kualitas Perda dan tidak adanya pengaruh pelaku/asosiasi usaha terhadap kualitas perda.
26
Indikator Kualitas Perda
Variabel Penyusun Aspek yuridis
Sub Variabel
(bobot 15%) Aspek substansi (bobot 35%)
Aspek prinsip (bobot 50%)
(i) relevansi acuan yuridis (ii) penggunaan acuan yuridis yang terbaru (up-to date) (iii) kelengkapan yuridis (i) diskoneksi tujuan dan isi (ii) kejelasan obyek (iii) kejelasan subyek; (iv) kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut atau Pemda (v) kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif (vi) kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan (i) keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip perdagangan domestik yang bebas (free internal trade) (ii) persaingan sehat (iii) dampak ekonomi negatif (iv) akses masyarakat dan kepentingan umum.
Sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah ini memiliki
tiga
karakteristik. Yang pertama, merupakan indikator yang terkait dengan kebijakan daerah dan kelembagaan untuk implementasinya. Jadi faktor anugerah (endowment) tidak termasuk dalam kriteria ini. Karakteristik kedua, indikatorindikator
ini
merupakan
kewenangan
Pemda
kabupaten/kota.Sedangkan
karakteristik ketiga adalah indikator yang sifatnya operasional/praktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha. Tujuan survei Tata kelola Ekonomi Daerah ini adalah reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerah, dan menciptakan iklim investasi antar kabupaten/kota yang sehat.Manfaat yang dapat dipetik untuk Pemerintah Daerah adalah sebagai alat pemantauan kinerja kabupaten/kota, dan juga berguna dalam menentukan prioritas fasilitas dan dukungan bagi kabupaten/kota dalam memperbaiki kinerjanya.
27
2.6.Penelitian Empiris 2.6.1. Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi Relatif belum banyak studi yang mengkaji peranan tata kelola pemerintahan daerah terhadap kinerja investasi atau terhadap pembangunan ekonomi daerah (misalnya pertumbuhan ekonomi).Meskipun demikian, secara kualitatif banyak pihak setuju bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang baik akan berkontribusi positif terhadap aktivitas investasi secara tidak langsung mempengaruhi output daerah tersebut. Pertambahan output dalam jangka panjang inilah yang disebut pertumbuhan ekonomi. Istiandari (2009) mengkaji hubungan tata kelola ekonomi daerah, yang merupakan hasil survei KPPOD, terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selain tata kelola ekonomi daerah, indeks pembangunan manusia dan pendapatan asli daerah (PAD) sangat signifikan dalam mendorong laju PDRB. McCulloch dan Malesky (2010) melakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah (hasil survei KPPOD) ini dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasilnya cukup mengejutkan karena secara agregat ditemukan bukti yang relatif kecil mengenai hubungan kualitas tata kelola pemerintah daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain kinerja perekonomian tetap berjalan baik walaupun tata kelola pemerintahannya buruk atau sebaliknya. Tata kelola pemerintahan daerah bisa saja dapat meningkatkan investasi di daerah tersebut, namun untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, harus ditunjang oleh unsur PDRB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Satu hal lagi yang juga penting, sebaik apapun tata kelola ekonomi yang akan meningkatkan investasi swasta di daerah, bila tanpa dukungan adanya sumber daya ekonomi yang cukup, hanya akan berdampak kecil pada pertumbuhan ekonomi daerah.
28
2.6.2.Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Investasi Beberapa penelitian yang mengkaji keterkaitan tata kelola pemerintah pusat/daerah dengan investasi, diantaranya adalah: No 1.
2.
Nama Peneliti Aysan, Varoudakis (2007)
Judul Penelitian
How Do Political and Govenance Institutions Affects Private Investment Decisions? An Application To the Middle East and Northern Africa Alam et al. The Impact of Poor (2005) Governance To Foreign Direct Investment : The Bangladesh Experience
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Panel data dari 32 negara berkembang antara 1980-1990 menggunakan 3SLS (Three Stage Least Square)
Institusi pemerintah dan politik berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta.
Metode kualitatif, diawali dengan survei dan wawancara terhadap foreign investor, local business dan peneliti.
Bangladesh tidak terlalu berhasil menciptakan iklim investasi yang kondusif karena korupsi, unjuk rasa, birokrasi yang berbelit.
3.
MacKinnon, Phelps (2001)
Regional Governance Deskriptif kualitatif and Foreign Direct Investment: the Dynamics of Institutional Change in Wales and North East England
4.
Morissey, Udomkerdmo ngkol (2010)
Governance, Private Investment and Foreign Direct Investment in Developing Countries
Kapasitas pemerintah daerah untuk memfasilitasi penananaman modal terbatas karena tidak adanya peraturan atau kebijakan yang mengatur aliran FDI secara lokal maupun nasional
Panel data dinamis Aspek penting tata 46 negara tahun kelola untuk 1996-2009. (FD menumbuhkan FDI GMM) dan investasi swasta domestik adalah stabilitas politik, di mana kenaikan FDI punya efek yang paling besar dalam mengurangi investasi swasta domestik
29
dalam rezim politik yang stabil 5.
Januar (2009)
Keterkaitan antara Cross section Tahun Iklim Investasi 2007, metode OLS Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat
6.
Mukherjee et Governance and al. (2011). Foreign Direct Investment: Is There a Two Way Relationship?
Indeks tata kelola ekonomi daerah yang cukup kondusif (di atas 50) belum mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat
Eksploratif, model Investasi yang tinggi game theory dengan dalam tata kelola pendekatan pemerintahan akan international menarik masuknya oligopoly. Penanaman Modal Asing
2.6.3. Keterkaitan PMA dengan PMDN Keberadaan PMA di suatu negara dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap eksistensi PMDN. Menurut penelitian Misun dan Tomsik (2002) di Polandia, keberadaan PMA justru mengurangi porsi PMDN pada era 90-an. Di beberapa negara seperti Hongaria di era 90-an ( Misun dan Tomsik , 2002) dan Korea Selatan (Kim dan Seo, 2003) di tahun 1985-1999 justru ditemukan buktibukti bahwa PMA mampu mendorong dan menstimulasi berkembangnya PMDN. Akan tetapi ternyata penelitian Agosin dan Machado (2005) tidak menemukan efek yang signifikan dari PMA terhadap PMDN di Afrika, Asia dan Amerika Latin di tahun 1971-2000.Dari beberapa penelitian ini terlihat bahwa efek PMA terhadap PMDN sangat bervariasi di negara yang berbeda. Hubungan PMA dan PMDN sebenarnya bisa menjadi hubungan komplementer, saat investasi itu dilakukan pada sektor ekonomi yang belum berkembang, karena belum adanya faktor teknologi dari pasar luar negeri. Di lain pihak, PMA dapat mengurangi porsi PMDN ketika PMA itu masuk ke industri yang sudah dikuasai terlebih dahulu oleh PMDN (Agosin dan Machado, 2005). PMA yang sudah lebih maju dalam hal teknologi cenderung
menggantikan
30
PMDN, menyebabkan kebangkrutan PMDN dan menimbulkan keenggganan perusahaan domestik untuk berinvestasi.
2.6.4. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMDN Hubungan antara investasi pemerintah dan investasi swasta berupa PMDN pun berlaku seperti halnya hubungan PMA dengan PMDN.Keberadaan investasi pemerintah dapat menjadi komplementer saat investasi pemerintah sangat mendukung pengembangan investasi swasta (Atukeren, 2005). Sebagai contoh, berbagai proyek pemerintah berupa infrastruktur yang memang sunk costnya tinggi dan butuh waktu lama untuk menghasilkan profit,akan menjadi komplementer bagi investasi swasta. Infrastruktur yang berkualitas, dalam jangka pendek dan jangka panjang, akan meningkatkan produktivitas sektor swasta, karena akan mengurangi transaction cost menurut penelitian Aschauer (1989) diacudalam Monadjemi dan Huh (1998) . Begitu pula fasilitas pendidikan dan pendidikan yang baik, akan meningkatkan kualitas human capital.Dengan kata lain, investasi pemerintah berfungsi sebagai counter cyclicaleconomic policy yang diukur untuk memperlancar siklus bisnis dan merevitalisasi aktivitas sektor swasta, dalam jangka pendek. Namun jika investasi pemerintah itu berupa investasi dalam pangan dan kesehatan, akan dapat mensubstitusi investasi swasta. Sifat subsitusi(crowding out) pun berlaku dalam hubungan antara investasi pemerintah dengan investasi swasta.Penelitian Coutinho dan Gallo (1996) membuktikan bahwa jika investasi pemerintah menggunakan sumber daya yang terbatas dan langka, akan menyebabkan outputnya berkompetisi dengan barang privat,hal ini akan menurunkan investasi swasta. Penurunan investasi swasta seiring kenaikan investasi pemerintah pun dapat terjadi bila investasi pemerintah dibiayai dari pinjaman yang akan berdampak pada krisis hutang negara bila berlangsung terus menerus.Investasi pemerintah yang dibiayai dari pinjamanakan menaikkan interest rate dan akan menyebabkan crowding out sektor swasta dari pasar uang. Karras (1994) berusaha lebih jauh melihat efek dari investasi pemerintah terhadap investasi swasta, yang sebenarnya lebih tergantung pada seberapa besar
31
ukuran pemerintahnya.Semakin besar ukuran pemerintahnya, diduga hubungan investasi pemerintah dan investasi swasta lebih kearah substitutif daripada komplementer.
Penyediaan barang publik yang lebih banyak , di luar
infrastruktur sebagai unsur utama, menunjukkan perekonomian yang maju dan dewasa, sehingga investasi pemerintah cenderung mensubstitusi investasi swasta. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pun pada dasarnya dapat berupa
causal
relationship.
Penelitian
Coutinho
dan
Gallo
(1996)
mengkategorikan Indonesia di tahun 1970-1988 sebagai negara yang investasi swastanya berpengaruh pada investasi pemerintah, dan berlangsung satu arah.
2.6.5. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMA Belanja modal di bidang infrastruktur
berpengaruh positif terhadap
penanaman modal asing di Pakistan (Rehman et al, 2011) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan pendekatan kointegrasi ARDL (Auto Regression Distributed Lag).Begitu pula yang terjadi di India, berdasarkan penelitian Pradhan et al (1990) investasi pemerintah bersifat sebagai komplemen terhadap investasi swasta PMA.
2.6.6. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMDN Easterly dan Levine (2001) berargumen bahwa hubungan positif antara investasi dan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dari hubungan timbal balik yang terbalik.
Hasil
penelitian
tersebut
membuktikan
bahwa
kecenderungan
pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan akumulasi kapital.
2.6.7. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMA Penelitian Moudatsou &Kyrkilis (2008) yang dilakukan di Negara-negara Eropa dan ASEAN menunjukkan causal relationship antara pertumbuhan ekonomi dan PMA terutama di Indonesia dan Thailand.Kajian lebih dalam di Pakistan dilakukan oleh Ghazali (2010), dimana terdapat korelasi positif yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan PMA. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan memstimulasi PMA, dan sebaliknya.
32
2.7. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak tata kelola pemerintahan daerah terhadap realisasi investasi di provinsi Jawa Timur, yang pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur.Deskripsi kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6. Investasi pada dasarnya merupakan unsur atau kunci utama pertumbuhan ekonomi suatu negara pada umumnya dan daerah pada khususnya.Untuk menstimulasi investasi di daerah diperlukan suatu iklim investasi yang kondusif bagi para pelaku usaha dan penanam modal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi investasi swasta di suatu daerah, yaitu tata kelola pemerintahan daerah dan faktor-faktor lainnya seperti investasi pemerintah, penanaman modal asing dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor lainnya yang juga memegang peranan penting adalah tata kelola pemerintah pusat, yang dalam kajian ini tidak diteliti. Keterkaitan antara semua faktor tata kelola ekonomi daerah terhadap realisasi investasi PMDN merupakan fokus kajian ini. Namun untuk
dapat
mengetahui keterkaitan antara realisasi investasi dan faktor-faktor penentu investasi lainnya selain tata kelola, dilakukan pula analisis dalam sebuah model determinan investasi swasta di Jawa Timur. Dari hasil analisis yang akan dilakukan, akan dapat teridentifikasi unsurunsur tata kelola ekonomi daerah mana saja yang berpengaruh positif dan negatif terhadap investasi baik PMA maupun PMDN. Secara umum, dapat ditarik kesimpulan mengenai apakah tata kelola pemerintah daerah sudah mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi di Jawa Timur atau belum.Dengan demikian dapat dirumuskan rekomendasi implikasi kebijakan untuk meningkatkan atau mengatasi masalah keterkaitan tata kelola pemerintahan daerah dengan investasi.
33
Investasi : kunci utama pertumbuhan ekonomi negara/daerah
Stimulasi investasi : iklim investasi
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Investasi swasta di suatu daerah
Tata kelola Pemerintah Daerah Sub Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah oleh KPPOD 1. Akses lahan 2. Infrastruktur 3. Perizinan Usaha 4. Kualitas Peraturan di daerah 5. Biaya Transaksi 6. Kapasitas dan integritas bupati/walikota 7. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 8. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) 9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Faktor lainnya: -investasi pemerintah - Realisasi PMA / PMDN -pertumbuhan ekonomi
Tata Kelola Pemerintahan Pusat
INVESTASI PMDN /PMA 10.
Tata kelola pemerintah daerah sudah mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi?
Belum
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian
: variabel yang diteliti :variabel yang tidak diteliti
Sudah
Implikasi kebijakan pemerintah daerah
34
2.8.Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terdapat perbedaan yang nyata antara sub indikator dan variabel penyusun sub indeks antara hasil survei TKED 2007 dan 2010. 2. Variabel-variabel penyusun sub indikator TKED berhubungan positif terhadap realisasi investasi baik PMA maupun PMDN. 3.
Untuk model PMDN, diduga: a.
Realisasi PMA
berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN
di
provinsi Jawa Timur. b. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap terhadap realisasi PMDN di provinsi Jawa Timur. c. Investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap realisasiPMDN di provinsi Jawa Timur. d. Variabel-variabel penyusun sub indikator tata kelola pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN di provinsi Jawa Timur. Adapun variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh terhadap PMDN dan PMA berbeda, karena perbedaan karakteristik PMA dan PMDN itu sendiri. Untuk Model PMA, diduga: a. Realisasi PMDN berpengaruh positif terhadap realisasi PMA
di
provinsi Jawa Timur. b. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. c. Investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. d. Variabel-variabel penyusun sub indikator tata kelola pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. Adapun variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh terhadap PMA dan PMDN berbeda, karena perbedaan karakteristik PMA dan PMDN itu sendiri.
35
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
hasil survei tata kelola ekonomi daerah dari KPPOD, terutama provinsi Jawa Timur yang diadakan tahun 2007 dan 2010. Data yang digunakan antara lain variabel-variabel penyusun sub indikator akses akses lahan,
infrastruktur,
perizinan usaha, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi Pemda dengan pelaku usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta, dan keamanan dan penyelesaian konflik. Sedangkan data realisasi investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data investasi tahun 2005-2010 dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Pusat dan Badan Penanaman Modal Jawa Timur.Selain itu juga digunakan data PDRB riil Kabupaten/Kota di Jawa Timur, investasi pemerintah (belanja modal) per kabupaten/Kota dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan,Kementerian Keuangan. Data sekunder lain yang dijadikan acuan dalam penelitian ini antara lain artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga lainnya.
3.2.
Definisi Operasional Variabel Merujuk pada latar belakang, permasalahan, tujuan serta hipotesis yang
ada, serta didukung oleh tinjauan pustaka dari berbagai sumber,maka ada beberapa variabel yang relevan digunakan dalam penelitian. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 2. Penanaman Modal Asing (PMA) adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
36
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 3. Investasi pemerintah adalah pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk melakukan investasi, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama dengan pihak swasta. Pengeluaran rutin tidak termasuk dalam perhitungan ini. 4. Pertumbuhan Ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang
atau proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pertumbuhan Ekonomi dihitung dengan mengkalkulasiselisih pendapatan domestik regional bruto (PDRB) tahun ini dengan tahun lalu, dibagi dengan PDRB tahun lalu. 5. Tata kelola pemerintahan daerah adalah indikator kinerja Pemda tingkat kabupaten/kota yang dikuantifikasikan oleh KPPOD dalam survei tata kelola ekonomi daerah di tahun 2007 dan 2010. Dari ke-9 sub indikator, variabel kualitas perda merupakan satu-satunya variabel yang dianalisis langsung ke Peraturan Daerah terkait, sedangkan 8 sub indikator sisanya yaitu akses lahan, izin usaha, interaksi Pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas/integritas bupati/walikota, keamanan/penyelesaian sengketa, biaya transaksi dan infrastruktur daerah, langsung ditanyakan persepsinya kepada pelaku usaha melalui kuesioner.
3.3.
Metode Analisis
3.3.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mempermudah mendeskripsikan suatu fenomena sehingga dapat diperoleh gambaran yang eksplanatif dari sejumlah data kuantitatif. Analisis ini disajikan dalam bentuk boxplot dan scatterplot.
3.3.1.1 Uji Beda Berpasangan (paired samples t-test) Tujuan penelitian yang pertama adalah melihat fluktuasi investasi dan mengidentifikasi perbedaan persepsi pelaku usaha di Jawa Timur per periode 2007 dan 2010. Untuk dapat mengidentifikasi perbedaan ini, digunakan analisis
37
deskriptif berupa analisis uji beda berpasangan (paired samples t-test).Adapun hipotesis dalam uji beda berpasangan/ uji beda rata-rata ini adalah: H0: d = 0 (2- 1 = 0) H1: d≠ 0 Uji beda rata-rata ini digunakan untuk membandingkan mean (rata-rata) dari suatu sampel yang berpasangan, yaitu sebuah kelompok sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda. Dalam penelitian ini, kelompok sampel adalah responden survei di kabupaten/kota di Jawa Timur yang berjumlah 1927 responden.Dengan demikian diharapkan perbedaan persepsi para responden pelaku usaha dapat teridentifikasi. Adapun cara mengestimasi nilai t-hitung adalah sebagai berikut:
𝑡=
𝐷 𝑆𝐷
…..………………………..(3.1)
√𝑁
t = nilai t hitung D = rata-rata selisih sampel berpasangan SD = standar deviasi selisih sampel berpasangan N= jumlah sampel
Setelah didapat nilai t hitung, maka t-hitung ini dibandingkan dengan t tabel.Bila t-hitung ≥ t-tabel, berarti terdapat rata-rata perbedaan yang signifikan antara persepsi pelaku usaha mengenai suatu variabel tata kelola pemerintahan.
3.3.1.2. Analisis Korelasi Uji korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional (bukan hubungan sebab akibat). Uji korelasi tidak membedakan apakah variabel dependen itu termasuk dependen atau independen. Selain itu uji korelasi juga tidak memperhitungkan hubungan sebab akibat. Korelasi
yang dinyatakan dalam persentase keeratan hubungan antar
38
variabel ini dinamakan koefisien korelasi. Koefisien korelasi ini menunjukkan derajat keeratan hubungan antara dua variabel dan arah hubungannya (+ atau -). Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1
sampai +1, yang kriteria
pemanfaatannya dijelaskan sebagai berikut:
Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear positif, yaitu makin besar nilai variabel X makin besar pula nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X makin kecil pula nilai variabel Y.
Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear negatif, yaitu makin besar nilai variabel X makin kecil nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X maka makin besar pula nilai variabel Y .
Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel Y.
Jika, nilai r =1 atau r = -1, maka dapat dikatakan telah terjadi hubungan linear sempurna, berupa garis lurus, sedangkan untuk r yang makin mengarah ke angka 0 (nol) maka garis makin tidak lurus.
3.3.1.2.1. Uji Korelasi Pearson Korelasi Pearson digunakan untuk data dalam jumlah besar dan sebaran normal. Dalam penelitian ini, uji korelasi ini dilakukan untuk mengetahui korelasi data kuantitatif dari masing-masing pertanyaan berskala interval/rasio dengan realisasi investasi. Hipotesis korelasi Pearson adalah sebagai berikut: H0 : ρ1= 0 H1 : ρ1≠ 0 Koefisien korelasi diformulasikan sebagai berikut:
rxy=
𝑛
xy − (n
x 2
y
x −( y)2
r
: Koefisien korelasi yang dicari
xy
: Jumlah perkalian variabel x dan y
…….…….………..(3.2)
39
x
: Jumlah nilai variabel x
y
: Jumlah nilai variabel y
x2
: Jumlah pangkat dua nilai variabel x
y2
: Jumlah pangkat dua nilai variabel y
N
: Banyaknya sampel Jika rhitung≥ rtabel, maka kesimpulannya H0 ditolak.Dengan demikian
terdapat korelasi antara variabel x (tata kelola pemerintahan) dan variabel y (realisasi PMA/PMDN).
3.3.1.3.2. Uji Korelasi Spearman Korelasi Spearman dan Kendall digunakan untuk data dalam jumlah sedikit dan sebarannya tidak normal. Dalam penelitian ini, uji korelasi Spearman dilakukan untuk melihat korelasi statistik non parametrik, yaitu korelasi pertanyaan survei yang jawabannya berskala ordinal dengan realisasi investasi. Hipotesis korelasi Spearman adalah : H0 : ρ1 = 0 H1 : ρ1 ≠ 0 Korelasi rank Spearman dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: rs = 1 –
dimana
6 𝑑𝑖² 𝑛(𝑛 2 −1)
………………………..(3.3)
di2 = [(R(Xi) – R(Y))]2 = Jumlah kuadrat selisih variabel X dan Y Jika rs≥ rtabel, maka maka kesimpulannya H0 ditolak.Dengan demikian
terdapat korelasi antara variabel x (tata kelola pemerintahan) dan variabel y (realisasi PMA/PMDN).
40
3.3.2.Analisis Regresi Data Panel Statis Regresi data panel statis digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola pemerintahan daerah terhadap realisasi investasi PMA dan PMDN. Data runtut waktu yang digunakan meliputi 2 periode yaitu 2005-2007 dan 2008-2010, sedangkan individunya meliputi 38 kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. Seperti yang telah kita ketahui bersama, pendekatan cross section yang memiliki kelemahan telah memotivasi penggunaan model time series. Akan tetapi pendekatan time series ternyata juga memiliki kelemahan sehingga muncul perhatian akan penggunaan data panel yaitu menggunakan informasi gabungan kedua pendekatan tersebut yaitu cross section dan time series. Menurut Baltagi (2006),penggunaan data panel akan memberikan banyak keuntungan yaitu: 1. Kombinasi data cross section dan time series dalam data panel akan membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. 2. Dapat menunjukkan adanya individual heterogeneity. 3. Dapat memberikan data yang lebih informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 4. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Berkaitan dengan observasi cross section yang berulang maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 5. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dengan data cross section ataupun time series saja. Selain manfaat tersebut di atas, data panel juga memiliki keterbatasan yaitu (Baltagi, 2006): 1. Masalah desain dan pengumpulan data Dalam mendesain dan mengumpulkan data panel, seringkali peneliti mengalami masalah dengan ruang lingkup populasi, ketiadaan respon, responden yang tidak mampu mengingat secara tepat, frekuensi wawancara, jeda wawancara, periode referensi, penggunaan bounding dan time in sample bias.
41
2. Distorsi dari kesalahan pengukuran Kesalahan pengukuran dapat timbul karena respon yang disebabkan pertanyaan yang kurang jelas, kesalahan mengingat, respon gangguan yang tidak disengaja, informan yang tidak sesuai, ketidaktepatan pencatatan respondan efek pewawancara.Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir berbeda-beda, tergantung jenis variabelnya. 3. Masalah selektivitas a. Selektivitas individu Orang biasanya memilih untuk tidak bekerja karena upah yang didapat saat tidak bekerja (misalnya tunjangan pengangguran) lebih besar daripada gaji pekerjaan yang ditawarkan.Dalam kasus ini, kita mengamati karakteristik individunya, dan bukan gajinya. Karena gajinya tidak diamati,sampel ini menjadi tidak sah. Tetapi, jika kita tidak mengamati seluruh data dari orang-orang ini, sampelnya akan menjadi sampel terputus. b. Ketiadaan respon Survei yang menyangkut panel data sering menghadapi masalah ketiadaan respon, baik karena menolak untuk menolak untuk ikut serta dalam survei, tidak ada orang di rumah, sampel unit yang tidak dapat dilacak. Ketiadaan respon yang bersifat parsial terjadi ketika ada satu atau beberapa pertanyaan dalam survei tidak terjawab.Sedangkan ketiadaan respon yang bersifat menyeluruh terjadi ketika tidak ada informasi yang tersedia dari rumah tangga yang dijadikan sampel. Di samping kehilangan efisiensi karena ada data yang tidak lengkap, ketiadaan respon ini akan dapat memacu masalah identifikasi yang serius dalam parameter populasi. Makin besar tingkat ketiadaan respon, makin seriuslah masalah identifikasi parameternya. c. Attrition Ketiadaan respon yang muncul di cross section data,juga menjadi masalah yang serius di panel data karena beberapa kelompok individu masih tetap tidak ada responnya. Para responden yang diharapkan
42
mungkin meninggal, pindah domisili atau menganggap biayanya sangat tinggi untuk merespon survei tersebut. 4. Dimensi time series yang pendek Biasanya data panel mikro mencakup data yang rentangnya pendek untuk setiap individu. 5. Ketergantungan data cross section Data panel makro untuk negara atau daerah dengan time series yang panjang yang tidak memperhatikan ketergantungan antar daerah akan menjadi referensi penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Oleh karena itu, memperhitungkan ketergantungan data cross section ini harus dipertimbangkan dengan mencari test akar unit alternatif. Secara umum dengan menggunakan data panel akan menghasilkan intersep dan slope koefisien yang berbeda pada setiap observasi dan pada setiap periode
waktu,
sehingga
dalam
mengestimasi
akan
muncul
beberapa
kemungkinan tentang asumsi intersep dan slope koefisien yaitu: 1. Diasumsikan intersep dan slope adalah tetap sepanjang waktu dan individu. Perbedaan intersep dijelaskan oleh variabel gangguan. 2. Diasumsikan slope adalah tetap tetapi intersep berbeda antar individu. 3. Diasumsikan slope tetap tapi intersep berbeda baik antar waktu maupun antar individu. 4. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu. 5. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar
waktu dan antar
individu.
Secara umum terdapat dua pendekatan dalam metode data panel yaitu Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Perbedaan keduanya adalah berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antar komponen error dengan peubah bebas. Misalkan persamaan regresi data panel sebagai berikut ………………..(3.4) dimana y it : nilai dependent variable untuk setiap unit individu i pada periode t αi : unobserved heterogeneity
43
Xit
: nilai
variabel bebas yang terdiri dari k variabel.
Struktur data panel adalah sebagai berikut : x111 x211 .. xK 11 Periode 1 x112 x212 .. xK 12 Periode 2 .. .. .. .. Periode T x11T x21T .. xK 1T x121 x221 .. xK 21 Xit= x122 x222 .. xK 22 .. .. .. .. x12T x22T .. xK 2T x x2 N 1 .. xKN1 1N 1 x1N 2 x2 N 2 .. xKN 2 .. .. .. .. x 1NT x2 NT .. xKNT
Individu ke-1
Individu ke-2
Individu ke-N
Pada one way error component, nilai error hanya berasal dari efek individu atau efek waktu saja. εit = λi + u it…………………………………………………….……(3.5) dimana λi = efek individu (time invariant) uit = disturbance yang bersifat acak ( uit ~ N(0, ζu2) Sedangkan pada two way error component , nilai error berasal dari efek waktu dan efek individu , yang dispesifikasikan sebagai berikut: εit = λi +μt +u it………….…………………………………………...(3.6) dimana μt = efek waktu (individual invariant).
3.3.2.1. Fixed Effect Model FEM muncul jika efek individu dan atau efek waktu mempunyai korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak.Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan atau waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Persamaan FEM untuk one way error component: yit = αi +λi +X it β + uit………………………..………...…….……..(3.7)
44
Sedangkan untuk two way error component: yit = αi +λi +μt + X it β + uit………….……………………………….(3.8) Penduga FEM dapat diestimasi dengan beberapa pendekatan, yaitu Pooled Least Square, Within Group dan Least Square Dummy Variable.
3.3.2.2.Random Effects Model (REM) REM muncul jika efek individu dan atau efek waktu tidak mempunyai korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Persamaan REM untuk one way error component: yit = αi +X it β + uit+λi……..………………………………………....(3.9) Sedangkan untuk two way error component: yit = αi + X it β + uit+λi +μt……………………………..……...……..(3.10) Adapun asumsi yang digunakan dalam REM adalah:
………………….....(3.11) Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E ( ηi│xit ) =0, yaitu tidak adanya korelasi antara variabel bebas dengan sisaan (galat). Pengujian asumsi ini menggunakan Hausman test. Uji hipotesis yang digunakan adalah H0
: E ( ηi│xit ) =0 → Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah
bebas ( REM adalah model yang tepat) H1
: E ( ηi│xit ) ≠ 0 → Ada korelasi antara komponen error dengan peubah
bebas (FEM adalah model yang tepat)
45
H= ( βREM – β FEM) ( M FEM- M REM) -1 (βREM- βFEM) ~ χ2 (k)……..(3.12) Dimana M = matriks kovarians untuk parameter β k= derajat bebas Sebagai dasar penolakan Ho, digunakan statistik Hausman dibandingkan dengan chi square.Jika H > χ2
tabel
maka komponen error mempunyai korelasi
dengan peubah bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah FEM. Sedangkan jika H < χ2
tabelmaka
error tidak berkorelasi dengan peubah bebas
sehingga model yang valid digunakan adalah REM.Penduga REM dapat diestimasi dengan Between Estimator atau Generalized Least Square (GLS).
Model Determinan Investasi Swasta di Jawa Timur
3.4.
Dalam menganalisis hubungan antar variabel determinan investasi swasta di Jawa Timur digunakan model umum: PMDN = f (GROWTH, PUB,PMA, TKED) PMA = f (GROWTH, PUB,PMDN, TKED) Salah satu alternatif modelnya adalah modifikasi
model Agosin dan
Machado (2005) diacu dalam Morissey dan Udomkerdmongkol (2010). Adapun variabel-variabel dalam model ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural untuk mempermudah dalam melihat perubahan relatif (elastisitas) antara variabel dependen dan independen serta untuk memperkecil standar deviasi antar variabel. Model yang dimaksud adalah sebagai berikut: LPMDN it= ( β0 + αi + μt ) + β1LPUB it + β2LPMAit + β3 GROWTHit + ∑ λj DTKBit+ εit LPMA it = (γ0 + αi + μt ) + γ1LPUB it + γ2LPMDNit + γ3 GROWTHit + ∑ ρj DTKBit+ εit ket: PMDNit
=Penanaman Modal Dalam Negeri pada kabupaten/kota ke- i tahun ke- t (Rupiah)
PUBit
=Belanja modal pada kabupaten/kota ke- i tahun ke-t (Rupiah)
PMAit
=Penanaman Modal Asing pada kabupaten/kota ke- i tahun ke-
46
t(Rupiah) DTKBit
= Variabel
dummy tata kelola ekonomi daerah kabupaten/kota ke-i
(1= baik, 0=buruk) GROWTHit
=Pertumbuhan output riil pada kabupaten/kota ke- i tahun ke t (%)
β0 + αi + μt
= intersep
β1, β1……, λj
=parameter yang diestimasi
i
= 38 kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur
t
= 2 periode (2005-2007 dan 2008- 2010)
εit
=error term
47
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur adalah sebuah provinsi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa yang beribukota Surabaya. Dengan luas wilayah 47,963 km2 atau 2.51% dari keseluruhan luas Indonesia, Jawa Timur merupakan provinsi dengan urutan ke-12 terluas di Indonesia. Sedangkan untuk wilayah pulau Jawa, Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa.
Gambar 7 Peta wilayah Provinsi Jawa Timur Sumber: http://www.beacukai.blogdetik.com
Wilayah Provinsi Jawa Timur terletak pada posisi geografis 111o0’ hingga 114o4’ Bujur Timur dan 7o12’ hingga 8o48’ Lintang Selatan.
Jawa Timur
berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusa Barung). Secara umum, wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan, hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah kepulauan yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur.
48
4.2. Kondisi Topografis dan Iklim 4.2.1. Kondisi Topografis Secara topografi, wilayah Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan (plato), zona tengah (gunung berapi), dan zona utara (lipatan). Dataran rendah dan dataran tinggi pada bagian tengah (dari Ngawi, Blitar, Malang, hingga Bondowoso) memiliki tanah yang cukup subur. Pada bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif tandus. Rangkaian gunung berapi menandai relief wilayah tengah provinsi Jawa Timur. Di perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Gunung Lawu (3,265 meter). Di sebelah Tenggara Madiun tedapat Gunung Wilis (2,169 meter) dan Gunung Liman (2,563 meter). Pada koridor tengah terdapat kelompok Anjasmoro dengan puncak-puncaknya Gunung Arjuno (3,239 meter), Gunung Welirang (3,156 meter), Gunung Anjasmoro (2,277 meter), Gunung Wayang (2,198 meter), Gunung Kawi (2,681 meter), dan Gunung Kelud (1,731 meter). Adapun pegunungan-pegunungan tersebut terletak di sebagian Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten
Malang, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten
Mojokerto, dan Kabupaten Jombang. Kelompok pegununganTengger memiliki puncak Gunung Bromo (2.192 meter) dan Gunung Semeru (3.676 meter). Semeru, dengan puncaknya yang disebut Mahameru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Di daerah Tapal Kuda terdapat dua kelompok pegunungan yaitu pegunungan Iyang dengan puncaknya Gunung Argopuro (3.088 meter) dan Pegunungan Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.332 meter).Di bagian selatan Jawa Timur terdapat rangkaian perbukitan, yakni dari pesisir pantai selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, hingga Malang. Pegunungan Kapur Selatan merupakan kelanjutan dari rangkaian Pegunungan Sewu di Yogyakarta. Dua sungai terpenting di Jawa Timur adalah Sungai Brantas (290 km) dan Bengawan Solo. Sungai Brantas memiiki mata air di daerah Malang. Sesampai di Mojokerto, Sungai Brantas pecah menjadi dua yaitu Kali Mas dan Kali Porong yang keduanya bermuara di Selat Madura. Aliran Bengawan Solo berasal dari Jawa Tengah, dan bermuara di Gresik. Di lereng Gunung Lawu di dekat
49
perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Telaga Sarangan, sebuah danau alami. Bendungan utama di Jawa Timur antara lain Bendungan Sutami dan Bendungan Selorejo, yang digunakan untuk irigasi, pemeliharaan ikan, dan pariwisata. 4.2.2. Iklim Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Dibandingkan dengan wilayah Pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan yang lebih sedikit. Curah hujan rata-rata 1.900 mm per tahun, dengan musim hujan selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar antara 21-34 °C. Suhu di daerah pegunungan lebih rendah, dan bahkan di daerah Ranu Pani (lereng Gunung Semeru), suhu bisa mencapai minus 4 °C,yang menyebabkan turunnya salju. 4.3. Wilayah Administratif Sampai dengan tahun 2000 Propinsi Jawa Timur secara administratif terbagi dalam 37 Kabupaten/Kota, yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 8 Kota. Namun pada tanggal 21 Juni 2001, seiring desentralisasi fiskal yang dicanangkan pemerintah pusat, wilayah Jawa Timur mengalami pemekaran. Kota Batu yang mulanya adalah kota administratif, menjadi wilayah kotamadya. Dengan demikian jumlah kabupaten tetap 29 kabupaten, dan jumlah kota menjadi 9. Dengan total 38 kabupaten/kota, propinsi Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Ke-38 kabupaten/kota di Jawa Timur pun terbagi lagi menjadi 662 kecamatan dengan 8,506 desa/kelurahan (2,400 kelurahan dan 6,106 desa). Apabila diamati dari komposisi jumlah kecamatan dan desa, maka diketahui bahwa Kabupaten Malang memiliki jumlah kecamatan terbanyak, yaitu 33 kecamatan. Banyaknya jumlah kecamatan yang dimiliki tidak menjadikan kabupaten ini menjadi kabupaten dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak pula. Kabupaten yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah di Kabupaten Lamongan, yaitu sebesar 474 desa/kelurahan. Sementara itu, Kabupaten Banyuwangi adalah daerah dengan luas wilayah paling besar yaitu
sebesar
3,599km2 dan Kota Mojokerto adalah daerah dengan luas wilayah paling kecil sebesar 16 km2 ( Lampiran 2 ).
50
4.4. Kondisi Demografis 4.4.1 Penduduk Peran penting penduduk dalam pembangunan ekonomi adalah sebagai subjek maupun objek pembangunan. Sebagai subjek, penduduk turut serta sebagai motor penggerak pembangunan karena fungsinya sebagai penghasil sumber daya manusia yang produktif sehingga mampu memberikan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Namun penduduk dapat pula menjadi penghambat manakala jumlah penduduk yang besar tidak diikuti dengan pengingkatan kualitas sumber daya manusianya. Sebagai objek pembangunan, penduduk merupakan sasaran utama pembangunan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi sudah seharusnya diikuti dengan pemerataan pendapatan dan penurunan kemiskinan serta pengangguran. Penduduk Jawa Timur
terbanyak mendiami kota Surabaya dengan
kepadatan penduduk yang tinggi yaitu sebanyak 8,474 orang/km2 (Lampiran 3). Kepadatan penduduk rata-rata di Jawa Timur adalah 834 jiwa per 1 km 2. Dari Lampiran 3 ini pun dapat kita lihat bahwa penduduk Jawa Timur terkonsentrasi di kota daripada kabupaten. Hal ini patut
dimaklumi karena ketersediaan
lapangan pekerjaan, fasilitas umum, infrastruktur dan sarana hiburan yang lebih banyak tersedia di kota daripada di kabupaten. Sementara itu pertumbuhan penduduk 2010 tertinggi dicapai oleh kabupaten Sidoarjo (1.96%) dan pertumbuhan penduduk negatif
justru terjadi di Kabupaten Lamongan yaitu
sebesar -0.08%. Secara agregat, laju pertumbuhan penduduk Jawa Timur tahun 2010 adalah sebesar 0.65% (Lampiran 3).
4.4.2 Angkatan kerja Jumlah pencari kerja pada tahun 2010 sebesar 489,530 orang. Jumlah ini turun 8.82% dibanding tahun 2009. Yang sudah ditempatkan sebanyak 114,863 orang. Pemegang izin bekerja bagi WNA pada tahun 2010 sebanyak 1,508 orang, naik 3.01% dibandingkan tahun 2009 (BPS, 2010).
51
4.5.Indeks Pembangunan Manusia Salah satu alat ukur yang dianggap dapat merefleksikan status pembangunan manusia adalah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Unsur-unsur pembentuk IPM
menurut United Nationals Development
Programme (UNDP) antara lain: 1.
Usia Hidup Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat mencapai usia harapan hidup yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur usia hidup tetapi dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara global, UNDP memilih indikator angka harapan hidup waktu lahir (life expectacy at birth) yang biasa dinotasikan dengan EO. Seperti halnya Infant Mortality Rate (IMR), EO sebenarnya merefleksikan keseluruhan tingkat pembangunan dan bukan hanya bidang kesehatan. Di Indonesia EO dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu ratarata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup.
2. Pengetahuan Selain usia hidup, pengetahun juga diakui secara luas sebagai unsur mendasar dari pembangunan manusia. Dengan pertimbangan ketersediaan data, pengetahuan diukur dengan dua indikator yaitu angka melek huruf (Literacy Rate) dan rata-rata lama sekolah (Mean Years School). 3. Standar Hidup Layak Selain usia hidup dan pengetahuan. unsur dasar pembangunan manusia yang diakui secara luas adalah standar hidup layak. Banyak indikator alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur unsur ini. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional UNDP, memilih GDP per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai indikator hidup layak. Berbeda dengan indikator untuk kedua unsur IPM lainnya, indikator standar hidup layak diakui sebagai
52
indikator input, bukan indikator dampak, sehingga sebenarnya kurang sesuai
sebagai
unsur
IPM.
Walaupun
demikian
UNDP
tetap
mempertahankannya karena indikator lain yang sesuai tidak tersedia secara global. Selain itu, dipertahankannya indikator input juga merupakan argumen, bahwa selain usia hidup dan pengetahuan masih banyak variabel input yang pantas diperhitungkan dalam perhitungan IPM. Akan tetapi, memasukkan banyak variabel atau indikator akan menyebabkan indikator komposit menjadi tidak sederhana. Dengan alasan itulah maka GDP riil perkapita yang telah disesuaikan dianggap mewakili indikator input IPM lainnya. Sementara itu IPM menurut versi Badan Pusat Statistik sedikit berbeda dengan versi UNDP. Untuk kedua indikator pertama ,yaitu usia hidup dan pendidikan,hampir sama dengan versi UNDP, BPS melakukan pendekatan dari dimensi Angka Harapan Hidup, Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf.
Sedangkan untuk indikator ketiga yaitu Standar Hidup Layak, BPS
melakukan pendekatan dari dimensi rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan. Indeks akhir IPM dihitung dari rata-rata sederhana dari tiga indikator seperti yang dijelaskan di atas. IPM Jawa Timur mengalami peningkatan 7 poin dari tahun 2002 ke 2010 dan peringkatnya cenderung stabil dibandingkan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia (Tabel 7). Hal ini menunjukkan baik angka harapan hidup, angka melek huruf dan standar hidup layak di provinsi Jawa Timur dalam indeks komposit 71,62 berada dalam standar Menengah Atas, menurut hasil Susenas BPS. Tabel 5 Indeks Komposit IPM dan Posisi Ranking Jawa Timur Secara Nasional Tahun 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS, 2011
Jawa Timur IPM 64.1 66.8 68.42 69.18 69.78 70.38 71.06 71.62
Ranking 25 23 22 20 19 18 18 18
53
4.6. Kondisi Perekonomian 4.6.1. PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yangdiperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat daripertumbuhan angka Produk Domestik Bruto (PDRB), baik atas harga berlakumaupun berdasarkan atas harga konstan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa PDRB Jawa Timur di tahun 2010 didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 29.47 % dan diikuti oleh industri pengolahan yaitu sebesar 27.49 %. Di sisi lain, sektor pertanian yang pada dasarnya merupakan basis utama, hanya menyumbang share PDRB sebesar 15.75%. Sementara itu kontribusi terendah PDRB Jawa Timur disumbangkan oleh sektor Listrik, Gas dan Air, Pertambangan dan Konstruksi. Sektor Listrik Gas dan Air, walaupun menempati kontribusi terkecil merupakan bidang usaha yang paling diminati oleh PMA di Jawa Timur (Tabel 8).
Tabel 6PDRB Jawa Timur menurut lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan dan Distribusi PDRB 2010 No Lapangan usaha 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik,Gas dan Air Bersih 5 Konstruksi 6 Perdagangan, hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 9 Jasa-jasa PDRB
Sumber: BPS (2011)
Atas dasar Atas dasar harga harga berlaku konstan (Juta Distribusi (Juta Rp) Rp.) PDRB 2010 2010 (persen) 122,623.97 51,279.55 15.75 17,030.74 214,024.73 11,768.64 34,933.98
7,757.32 86,923.89 4,642.08 10,992.60
2.19 27.49 1.51 4.5
229,404.87
106,229.11
29.47
42,947.76
25,076.43
5.52
38,055.17 67,605.91 778,455.77
18,659.49 30,693.41 342,253.88
4.89 8.68 100
54
Data laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2010 yang diperoleh dari BPS Propinsi Jawa Timur dapat dilihat padaGambar 8. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sejak periode 2001 sampai 2010 cenderung mengalami kenaikan, namun pada saat terjadi krisis global di tahun 2008-2009, ternyata pertumbuhan ekonomi turut terkena imbasnya, sehingga turun menjadi 4.95% di tahun 2009. Namun di Tahun 2010 provinsi Jawa Timur bangkit sehingga pertumbuhan ekonominya mencapai 6.60%. 7.00 6.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
6.01
5.84
6.60
5.90 6.05
5.84
4.95
4.78 3.83 3.88
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS (2011), diolah
Gambar 8 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur 2001-2010
4.6.2 Inflasi Tingkat inflasi di Jawa Timur relatif stabil yaitu berkisar antara 6.547.33% (Tabel 9 ). Jika dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional tahun 2010 yang mencapai6.96% , tingkat inflasi di Jawa Timur relatif moderat. Tingkat inflasi tahun 2010 tertinggi sebesar 7.33% di kota Surabaya.
55
Tabel 7 Tingkat inflasi beberapa kabupaten/kota Jawa Timur Tahun 2010 Kabupaten/Kota Surabaya Malang Kediri Jember Kab. Probolinggo Kab. Madiun Kab. Sumenep Sumber: Jawa Timur dalam Angka, 2011
Tingkat Inflasi (%) 7.33 6.70 6.80 7.09 6.68 6.54 6.75
4.7. Investasi Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai lumbung pangan nasional, dengan produk pertanian, perkebunan dan perternakan menyumbang sekitar 47 % stok pangan nasional. Namun pembangunan ekonomi Jawa Timur yang berbasis pertanian juga harus dikembangkan sehingga tidak hanya on farm tetapi jugaoff farm, melalui pengembangan modal, penerapan teknologi dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusianya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang cukup pesat tidak terlepas dari keberhasilan meningkatnya realisasi investasi, baik realisasi PMA maupun PMDN. Hal ini terlihat dari terbitnya Surat Izin Prinsip Investasi dan realisasi dilapangan.Realisasi izin prinsip investasi ini merupakan indikasi besarnya minat berinvestasi di Jawa Timur, terutama minat investasi asing. Nilai Realisasi Izin prinsip PMA telah mencapai Rp 34.74 trilyun, meningkat 173% dari
periode yang sama di tahun 2010. Sedangkan total nilai realisasi
investasinya mencapai Rp 83.83 trilyun, meningkat 39 persen dari tahun 2010 pada periode yang sama. Realisasi investasi tersebutterdiri dari realisasi PMA dan PMDN sebesar Rp 29.87 trilyun dan realisasi PMDN non fasilitas Rp 53.96 trilyun. Luar biasanya, realisasi PMDN non fasilitas sebesar 64 persen dari total realisasi investasi tersebut, merupakan realisasi kegiatan investasi kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi yang lebih dominan dibandingkan investasi PMA dan PMDN (BPM Jatim, 2011). Derasnya investasi yang masuk ke Jawa Timur seharusnya juga dapat mengurangi
disparitas
antar
kabupaten/kota
di
Jawa
Timur,
dengan
memprioritaskan proyek pembangunan infrastruktur yang memadai untuk
56
menjamin kelancaran dan konektivitas antar wilayah. Sebagai contoh keberadaan Jembatan Suramadu harus dimanfaatkan mendorong agar investasi menyebar ke wilayah Madura. Demikian juga keberadaan jalan tol Trans Jawa dan Jalan Lintas Selatan (JLS), diharapkan dapat menarik investasi masuk dan menyebar ke wilayah tengah, barat, dan selatan Jawa Timur. Dengan kata lain, investasi yang ditanamkan para pelaku usaha hendaknya pro growth,
pro job,
dan pro
enviroment.
4.7.1. Penanaman Modal Asing (PMA) Konsentrasi penanaman modal di propinsi Jawa Timur mulai bergeser, dari
yang sebelumnya yang berada di wilayah Surabaya dan sekitarnya ke
sejumlah daerah lainseperti Jombang dan Lamongan. Selain itu, adanya desentralisasi fiskal telah memacu kompetisi yang sehat antar kabupaten/kota dalam menarik investasi masuk dengan cara menciptakan iklim investasi yang kondusif lewat Peraturan daerah yang dirumuskan. Kompetensi pemerintah daerah juga ditunjukkan dengan mulai seringnya kabupaten/kota mengundang BPM Jawa Timur melakukan presentasi promosi dan pengalaman di bidang investasi. Sektor yang diminati para penanam modal asing di Jawa Timur diantaranya adalah Listrik, Gas dan Air pada posisi pertama, industri makanan dan industri kimia dasar pada tahun 2010 dan 2011 (Tabel 8). Sektor usaha listrik air dan gas yang lebih diminati para penanam modal asing ini dilatarbelakangi oleh potensi panas bumi dan air tanah bebas sebesar 15,377 juta m3/tahun serta air tanah tertekan sebesar 985 juta m3/tahun di kabupaten/kota di Jawa Timur (www.jatimprov.co.id). Sedangkan bidang usaha yang kurang diminati para penanam modal diantaranya sektor primer seperti perikanan, kehutanan, pertambangan, peternakan baik di tahun 2010 maupun 2011. Kabupaten/kota yang menjadi tujuan utama investasi PMA di Jawa Timur, terlihat dari realisasi PMAnya, antara lain kabupaten Gresik, kabupaten Sidoarjo , kota Surabaya (SUGRESID) dan kabupaten Pasuruan (Tabel 9). Jika dianalisis lebih lanjut, terlihat bahwa kabupaten/kota di daerah pantai utara Jawa (pantura) lah yang lebih banyak menerima realisasi investasi dibandingkan pantai selatan.
57
Hal ini patut dimaklumi mengingat fasilitas infrastruktur dan jalur perdagangan yang lebih pesat pembangunannya di daerah pantura. Kabupaten/kota di Jawa Timur bagian Pantura merupakan akses utama perdagangan ke kawasan Timur Indonesia (KTI). Tabel 8 Realisasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Per Sektor Tahun 2010-2011 SEKTOR P Listrik, Gas dan Air Industri Makanan Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi Hotel dan Restoran Industri Kertas, Barang dari kertas dan Percetakan Industri Kayu Perdagangan dan Reparasi Industri Karet, Barang dari karet dan Plastik Tanaman Pangan dan Perkebunan Industri Kulit, Barang dari kulit dan Sepatu Industri Tekstil Jasa Lainnya Industri Lainnya Industri Instrumen Kedokteran, Presisi, Optik dan Jam Perikanan Pertambangan Kehutanan Industri Mineral Non Logam Konstruksi Industri Alat Angkutan dan Transportasi Lainnya Peternakan Jumlah Sumber: BKPM, 2011 (diolah)
2010 2011 I (Juta Rp) P I (Juta Rp) 5 9,602,336.00 9 6,657,416.00 23 3,939,932.00 36 1,419,924.00 19 2,946,390.00 23 799,601.00 14
605,409.00
27
687,765.00
1
255,319.00
2
293,076.00
3 1 2
152,444.00 44,500.00 34,693.00
5 3
329,500.00 735,921.00 0.00
3 20 2
32,633.00 26,879.00 16,316.00
4 26 16
54,445.00 140,817.00 174,926.00
2 1 2 2 5
13,350.00 10,000.00 5,536.00 5,000.00 1,600.00 0.00
6 7 5 7 10
242,015.00 569,551.00 73,564.00 151,631.00 169,333.00 0.00
1 2 1
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
3 10 4 5
0.00 76,059.00 0.00 476,147.00 0.00 68,705.00
1 0.00 0.00 110 17,692,337.00 208 13,120,396.00
Sementara itu kota Batu dan kota Blitar menempati posisi terbawah selama periode 2005-2010 (Lampiran 23). Kota Batu yang dulunya merupakan kota administratif di bawah Kabupaten Malang sebelum era desentralisasi fiskal di tahun 2001 merupakan kota tempat peristirahatan dengan potensi daerah yang
58
sangat mengedepankan kearifan lokal seperti kerajinan gerabah, batu onyx, gamelan, gong dan batik. Hampir senada dengan kota Batu, kota Blitar merupakan salah satu kota wisata utama di Jawa Timur. Dengan kualitas infrastruktur yang baik menurut hasil survei KPPOD, potensi pariwisata di daerah ini sangat berkembang. Peninggalan sejarah seperti makam Bung Karno, Istana Gebang, serta objek wisata kampung wisata Tanggung, kebun binatang mini, water park dan alun-alun menjadi potensi utama penerimaan daerah dari sektor pariwisata. Diduga belum terdapat investor asing yang tertarik menanamkan modal di kota Batu dan Blitar karena luas wilayahnya yang kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit serta potensi daerah yang masih mengedepankan kearifan lokal dan lebih dominan di sektor pariwisata. Hal ini jelas menjadi suatu kondisi yang kurang kondusif terutama bagi investor asing yang memiliki motif market seeking dan resource seeking. Sementara itu bila dilihat dari negara asal PMA, terbilang cukup banyak negara yang berinvestasi di Jawa Timur.
Singapura adalah negara penanam
modal terbanyak di tahun 2010, diikuti oleh RRC dan Yordania dengan masingmasing jumlah proyek 16,12, dan 1 proyek (Tabel 9). Tabel 9 Persetujuan Proyek PMA di Jawa Timur menurut negara AsalTahun 2010 (dalam US $) Jumlah Rata-rata investasi per Negara Asal Proyek Investasi Proyek Singapura 16 519,074 173,025 RRC 12 349,040 116,347 Yordania 1 201,863 67,288 Malaysia 10 195,231 65,077 Belanda 4 84,771 28,257 Jepang 14 84,570 28,190 Selandia Baru 3 41,175 13,725 Korea Selatan 10 30,506 10,169 Inggris 3 14,861 4,954 Taiwan 5 14,850 4,950 Thailand 2 11,617 3,872 Bulgaria 2 3,610 1,203 Jerman 2 3,300 1,100 Australia 2 3,120 1,040 Turki 1 2,000 667 Switzerland 1 739 246 Kanada 1 700 233 Sumber: Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur,2010
59
4.7.2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Sektor yang diminati para investor domestik diantaranya adalah industri makanan, industri mineral non logam, peternakan dan transportasi, baik di tahun 2010 dan 2011 (Tabel 10). Sedangkan bidang usaha yang kurang diminati para penanam modal diantaranya sektor primer seperti perikanan, kehutanan, konstruksi, dan industri kayu baik di tahun 2010 maupun 2011. Tabel 10 Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Per Sektor 2010-2011 SEKTOR P Industri Makanan Industri Mineral Non Logam Peternakan Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi Industri Karet, Barang dari karet dan Plastik Industri Kertas, Barang dari kertas dan Percetakan Industri Tekstil Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik Listrik, Gas dan Air Industri Lainnya Tanaman Pangan dan Perkebunan Jasa Lainnya Perikanan Pertambangan Perdagangan dan Reparasi Industri Kayu Hotel dan Restoran Industri Alat Angkutan dan Transportasi Lainnya Industri Kulit, Barang dari kulit dan Sepatu Konstruksi Jumlah Sumber: BKPM, 2011 (diolah)
24 3 7 11
2010 2011 I (Juta Rp. ) P I (Juta Rp) 3,498,179.80 46 2,059,943.60 1,387,249.80 14 3,805,280.60 1,053,127.40 1 29,239.50 1,001,662.00 19 735,653.40
3
542,160.90
6
1,162,559.60
12
237,415.50
17
268,318.10
7
190,916.20
11
833,408.90
2 5
72,981.20 61,555.20
3 10
67,731.10 243,203.40
4 1 1 4
4 3 2 9
2
32,059.10 3,702.80 2,968.00 80.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 1 1 4
88,109.70 4,027.40 0.00 0.00 0.00 0.00 235,507.00 0.00 33,408.40 120,882.60
1
0.00
1
264.80
1 89
0.00 8,084,058.00
1 157
0.00 9,687,538.10
1 1
Tak ubahnya seperti PMA, kabupaten/kota yang masih menjadi primadona penanaman modal dalam negeri adalah kabupaten/kota yang berlokasi di Jawa Timur bagian tengah yaitu Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
60
Sidoarjo, Kabupaten Tuban,dan Kota Surabaya. Terlihat dalam tabel 12, ke-5 kabupaten/kota ini masih menempati posisi 5 tertinggi dalam realisasi PMDN di Jawa Timur (Lampiran 24). Sementara itu dari sejak tahun 2005-2010 dilihat dari realisasi PMDNnya, Kota Probolinggo merupakan kabupaten yang belum menjadi pilihan para investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya. Penghambat masuknya PMDN ke kabupaten ini adalah bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Padahal potensi investasi Probolinggo besar sekali, terutama di pelabuhan dan agribisnis. Potensi sumber daya alam di kota ini melimpah terutama perikanan dan perkebunan mangga dan anggur. Namun investor yang mau masuk itu masih berpikir, sampai kapan ada kepastian pemerintah untuk membangun infrastruktur ke wilayah timur, karena selama ini pembangunan ke wilayah timur masih sebatas wacana. Hal yang serupa dialami juga oleh beberapa kabupaten/kota yang menempati posisi terbawah dalam realisasi PMDN. Beberapa kabupaten/kota di Pulau Madura seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep belum menjadi tujuan utama
investor.
Pembangunan
jembatan
Suramadu
yang
langsung
menghubungkan kota Surabaya dengan Kamal (Bangkalan) ternyata belum mempercepat pembangunan dan memperlancar arus investasi ke kabupaten/kota lainnya di Madura selain Bangkalan.
4.8. TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH 4.8.1. Gambaran Umum Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang telah dilakukan KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Survei yang mulanya bertajuk Pemeringkatan Daya Tarik Investasi yang sudah dilaksanakan tujuh kalinya sejak tahun 2001 ini, mendapat dukungan dari The Asia Foundation. Adapun ruang lingkup wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90
61
kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, kemudian di 243 kabupaten dan kota 2007 dan yang terakhir tahun 2010 di 245 kabupaten dan kota di Indonesia. Survei ini merupakan survei terbesar untuk survei sejenis di Indonesia, dan merupakan salah satu dari survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi.Hasil survei ini
diharapkan
dapat
menjadi
basis
bagi
pemerintahdaerah
(Pemda)
kabupaten/kota untuk memprioritaskan reformasi atau perbaikankinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. serta dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat. Fokus survei TKED ini adalah pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya (indikator yang bukan merupakan faktor endowment). Hal inilah yang membedakan dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah (endowment) dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspekaspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Ada sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah. 4.8.2. Instrumen Penelitian Persepsi pelaku usaha yang dikompilasi dalam survei TKED ini menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisis desktiptif kualitatif terhadap peraturan daerah. Peraturan daerah yang dianalisis meliputi seluruh jenis peraturan yang terkait dengan dunia usaha yang dikeluarkan
62
pemerintahan daerah, mulai dari peraturan daerah (perda),peraturan, surat keputusan, dan surat edaran dari kepala daerah. Pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha non-primer, yaitu jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Ketiga bidang ini merupakan sektor utama yang banyak bersinggungan dengan pemerintah. Pelaku usaha primer yang bergerak di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan tidak dijadikan responden dalam survei ini dengan pertimbangan bahwa intervensi pemerintah yang dibutuhkan sektor tersebut agak berbeda dengan ketiga sektor yang dipilih. Acuan indeks TKED adalah kabupaten/kota yangterbaik dan terburuk di wilayah survei. Sumberdata utama TKED adalah survei perusahaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah kenyataan atau merupakan praktik yang dihadapi oleh pelaku usaha, bukanpandangan para ahli maupun peraturan yang berlaku. Sedangkan sebagai acuan kinerja TKED suatu daerah, digunakan kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei untuk setiap variabel. Dengan demikian, kinerja TKED suatu daerah dibandingkan dengan daerah acuanyang dapatdicapai oleh daerah di provinsi lainnya yang disurvei. Penghitungan indeks dilakukan untuk menilai dan membandingkan keadaan tata kelola ekonomi daerah di kabupaten/ kota yang disurvei. Adapun terdapat beberapa langkah untuk menghitung indeks akhir, yaitu: (1) Penentuan variabel-variabel yang digunakan untuk membentuk subindeks. Variabel-variabel dalam suatu sub indikator dipilih karena diyakini merupakan unsur pembentuk dari sub-indeks tersebut. Sebagai contoh: SubIndeks Akses Lahan dan Kepastian Hukum dibentuk dari variabel waktu yang diperlukan untuk mengurus sertifikat tanah; kemudahan atau kesulitan mendapatkan lahan untuk berusaha; tingkat penggusuran; dan masalah terkait dengan penyediaan lahan dan kepastian hukum yang dinilai menjadi hambatan bagi usaha mereka.
(2) Normalisasi variabel dengan menghitung nilait. Dalam kuesioner, setiap indikator terdiriatas beberapa pertanyaan yang berupa variabel kuantitatif (variabel kontinyu) dan kualitatif (variabel diskrit).
63
Kedua jenis variabel ini tidak dapat diagregasikan secara langsung, karena memiliki satuan pengukuran yang berbeda, misalnya: antara angka (dalam hari,minggu maupun rupiah) dan persepsi (1 =sangat buruk, 2 = buruk, 3 = baik dan sampai dengan 4 = sangat baik). Karena itu, perlu dilakukan normalisasi terlebih dahulu untuk menghilangkan satuan dari masing-masing variabel dengan rumus sebagai berikut: 𝑋−𝑋𝑚𝑖𝑛
𝑡 = 100 × 𝑋𝑚𝑎𝑥 −𝑋𝑚𝑖𝑛 ……………………………………………(4.1) Selain itu, beberapa variabel nilainya perlu dibalik untuk memastikan bahwa nilai yang lebih tinggi menunjukkan kinerja yang lebih baik. Misalnya,waktu yang lebih lama untuk mengurus sertifikat tanah, bukan menunjukkan persepsi yang semakin baik, justru menunjukkan kinerja yang lebih buruk.Nilai-t untuk variabel-variabel seperti ini perlu dibalik dengan menghitung trev = 100 - t. (3) Penghitungan sub-indeks. Berbagai variabel komposit dalam setiap indikator TKED dirata-ratakan untuk memperoleh sub-indeks. Pada tahap ini setiap variabel mempunyai bobot yang sama. (4) Penghitungan indeks. Tahap selanjutnya adalah penghitungan indeks akhir yang merupakan agregasi dari sembilan sub-indeks yang digunakan. Pada tahap ini digunakan bobot berdasarkan penilaian pelaku usaha atas sub indikator mana yang menjadi hambatan utama dalam berusaha. Semakin besar tingkat hambatan suatu sub indikator menurut persepsi pelaku usaha,semakin besar bobotnya.
4.8.3. Karakteristik Responden Jawa Timur Dilihat dari ukuran perusahaan,respondensurvei TKED 2007 di Jawa Timur terdiri dari 49% perusahaankecil, 21% perusahaan menengah (sedang) dan11% merupakan perusahaan besar (Gambar 9). Namun di tahun 2010,
64
komposisi ini bergeser menjadi 8% perusahaan kecil, 48% perusahaan menengah dan 10% perusahaan besar, dan sisanya 27% adalah usaha mikro.
50 40 30 20 10 0
Mikro Kecil Menengah Besar 2007
2010
Sumber: KPPOD (2007 dan 2010), diolah
Gambar 9 Komposisi Responden Jawa Timurdalam Survei TKED 2007 dan 2010Menurut Skala Usaha
Sementara itu, dilihat dari sektor usaha (Gambar 10) responden survei terdiri dari 44% sektor industri, 21% perdagangan dan sisanya 36% sektor jasa. Di tahun 2011, distribusi responden survei tidak mengalami perubahan yang berarti (Gambar 10).
Sumber: KPPOD, 2010
Gambar 10 Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2010 Menurut Sektor Usaha Responden yang disurvei
dalam survei TKED ini adalah pengambil
keputusan penting dalam perusahaan. Di tahun 2007, dari 1,927 perusahaan yang disurvei di jawa Timur 62.3% posisi responden yang diwawancarai adalah pemilik usaha, disusul manajer (16.9%). Sedangkan di tahun 2011, pemilik usaha menempati posisi 68%, diikuti dengan 7.6 % manajer dan 4.1% direktur.Data ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam survei ini merupakan cerminan pendapat pelaku usaha, karena dari 1,927 perusahaan yangdisurvei,
65
posisi respondennya adalah mereka yangpaham betul mengenai seluk beluk perusahaan, di mana mereka adalah pemilik (owners) dan manajer.
100% 80% 60%
Direktur
40%
Manajer Pemilik
20%
Lainnya
0% 2007 2010
Sumber: KPPOD (2007 dan 2010), diolah Gambar 11 Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan
2010Menurut Posisi Dalam Perusahaan
Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan responden di Jawa Timur (Gambar 11), 71-75% responden berpendidikan SMA ke bawah. Sementara itu20% berpendidikan S1 ke atas dan sisanya 3-4% berpendidikan akademi dan setara akademi.
2010 SLTA ke bawah Akademi S1 ke atas
2007
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sumber: KPPOD (diolah)
Gambar 12 Komposisi Responden Jawa Timur dalam Survei TKED 2007 dan 2011 Menurut Tingkat Pendidikan
66
4.8.4. Akses Lahan Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan oleh hampir setiap jenis kegiatan usaha dan merupakan aspek penting untuk menciptakan iklim investasi yang baik bagi pelaku usaha. Kebijakan yang berpihak kepada kemudahan lahan akan mendukung terciptanya investasi baru. Masalah utama yang dihadapi adalah permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas. Di samping itu, masalah administrasi pertanahan pun sering muncul, seperti sengketa lahan karena adanya
kepemilikan
sertifikat
ganda
ataupun
perubahan
tanah
ulayat.
Kewenangan atas administrasi tanah ini dikelola oleh Badan Pertananahan Nasional dan belum didesentralisasikan kepada Pemda. Secara umum, hak atas tanah dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu hak legal formal, hak atas tanah adat dan hak untuk menggarap. Pasal 2 ayat (2)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan mengenai hak legal formal atas tanah. Negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah: 1. Hak milik (HM) adalah satu-satunya hak yang tidak memiliki batas waktu dan merupakan hak yang paling kuat yang dapat dimiliki seseorang atau badan hukum, serta dapat diwariskan secara turun temurun. 2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 3. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik. Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai akses lahan diatur dalam Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah
67
penjabaran detil mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertanahan untuk setiap kabupaten dan kota: 1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota Hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah pada dasarnya meliputi dua hal, yaitupendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Dalam kenyataannya di lapangan, biaya pengurusan tanah dapat memberatkan dunia usaha, sehingga banyak tanah yang tidak terdaftar. Walaupun PP No. 46/2002 telah mengatur tentang biaya pendaftaran tanah, dalam pelaksanaannya di lapangan biayanya menjadi sangat mahal dan bervariasi antar daerah. Prosedur yang tidak jelas pun menjadikan standar waktu penyelesaian sertifikat tanah menjadi tidak baku.
4.8.5. Perizinan Usaha Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang/badan usaha ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan
bentuk
pendaftaran
perusahaan
kepada
pemerintah
untuk
mendapatkan formalitas status usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal
68
dengan lebih mudah. Menurut laporan Doing Business 2011 dalam World Bank (2010), untuk memulai sebuah usaha baru di Jakarta seorang pengusaha harus melewati sembilan prosedur, memerlukan 47 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 22 % pendapatan per kapita. Masalah-masalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi kegiatan usahanya. Terdapat lima jenis indikator yang dijadikan dasar pengumpulan informasi seputar izin usaha seperti kemudahan pengurusan izin, biaya total pengurusan, dan waktu pengurusan. Berikut ini akan dijabarkan berbagai peraturan pusat yang mengatur secara detil kualitas pelayanan publik beberapa aturan izin yang menjadi kewenangan daerah yaitu: 1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pelaku usaha yang akan membangun maupun melakukan renovasi atas gedung perlu memperoleh IMB. Dasar hukumnya adalah UU Bangunan yang mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktivitas pembangunan (konstruksi) dengan berbagai fungsinya.
2. Izin Gangguan (UUG/HO) Setiap kegiatan usaha yang memiliki eksternalitas dan berpotensi menimbulkan gangguan lingkungan bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan (HO). Untuk perusahaan yang wajib memiliki AMDAL atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB. Jika tidak memiliki eksternalitas, perlu memperoleh Surat Izin Tempat Usaha (SITU). 3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Pelaku usaha yang memperdagangkan produknya wajib memiliki SIUP. Yang dimaksud dengan perusahaan perdagangan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan
69
dan
atau
laba
(Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor:
36/M-
Dag/Per/9/2007). 4. Tanda Daftar Industri (TDI) Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya antara Rp 5.000.000,00-Rp. 200.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja. 5. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Setelah mendapatkan SIUP atau TDI, dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan wajib segera mendaftarkan perusahannya untuk memperoleh TDP. Hal ini dilakukan agar Pemerintah Daerah mempunyai informasi mengenai seluruh pelaku usaha di daerahnya. Dalam rangka melayani para pelaku usaha yang ingin mendaftarkan usahanya atau memperoleh izin sehubungan dengan penyelenggaraan kegiatan usahanya, kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur pada umumnya sudah menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang diselenggarakan oleh Kantor Perizinan Pelayanan Terpadu (P2T). Adapun mekanisme pelayanan perizinan di KP2T dapat dideskripsikan pada Gambar 13.
70
Sumber: Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur, 2011
Gambar 13 Mekanisme Pelayanan Perizinan di KP2T 4.8.6. Interaksi Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pelaku Usaha Interaksi Pemda dengan pelaku usaha merupakan hal yangyang penting , dimana forum komunikasi merupakan media interaksi dan komunikasi yang banyak diperkenalkan di daerah. Namun dalam kenyataannya, terdapat beberapa masalah interaksi Pemda dengan pelaku usaha. Beberapa masalah dalam IPPU ini adalah pengusaha merasa mereka tidak dilibatkan dalam merumuskan suatu kebijakan sehingga suatu kebijakan bersifat distortif dan memberatkan dunia usaha. Pemda juga seringkali kurang optimal dalam penyediaan pelayanan publik, berorientasi hanya pada peningkatan PAD melalui pajak dan retribusi daerah serta seringkali bersikap diskriminatif pada kelompok dunia usaha tertentu.
4.12. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) Program
pengembangan
usaha
swasta
merupakan
pelayanan
pengembangan bisnis yang dilakukan oleh Pemda, yang terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Masalah utama yang dihadapi
71
kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Namun demikian bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia. Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana APBD. Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta. Sampai saat ini telah dirumuskan beberapa kebijakan pemerintah Daerah dan pemerintah Pusat yang mendorong percepatan tercitanya ruang usaha yang berpihak kepada kelompok usaha kecil diantaranya adalah UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, UU No. 20/2008 tentang Usaha Kecil, UU No, 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Inpres no. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 02/2008 tentang Pemberdayaan Business Development Service Provider untuk Pengembangan Koperasi dan UMKM. Ada lima kegiatan pengembangan bisnis yang diperlukan untuk pelaku usaha kecil dan menengah , yang diharapkan dilakukan olah masing- masing Pemda kabupaten/kota yaitu: 1) Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2) Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3) Promosi produk lokal kepada investor (melalui exhibition, trade fair) promosi perdagangan/investasi/potensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri.
72
4) Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5) Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM untuk mengatasi salah satu hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur).
4.8.8. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja suatu pemerintahan, selain dipengaruhi oleh institusi, juga sangat dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Sistem yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, para pejabat yang melaksanakannya bisa sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dalam tata kelola pemerintahan. KPPOD (2005), menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Pemilihan
Kepala
Daerah
langsung
(Pilkada)
dengan
disertai
keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing masing. Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk menciptakan iklim yang kondusif kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah. Demikian juga persyaratan usia Kepala Daerah yang minimal 30 tahun memberikan estimasi tingkat kemampuan menangani urusan pemerintahan.
73
Pemerintah menunjukkan political will yang tegas melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi serta UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bukti keseriusan pemerintah. Kebijakan tersebut juga dilengkapi dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4.8.9. Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dicatat dalam laporan keuangan sebagai beban biaya dalam menjalankan operasi perusahaannya. Biaya transaksi ini meliputi biaya resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Sedangkan biaya tidak resmi atau biaya illegal meliputi biaya yang dibayarkan kepada oknum polisi, tentara, organisasi kemasyaratakan dan preman. Beberapa jenis pungutan resmi daerah diantaranya:
1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dan
pembangunan daerah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001). Contoh pajak daerah yaitu: pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak kendaraan bermotor. 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (dalam hal
74
ini perusahaan) (Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001). Contoh retribusi daerah, yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan dipasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya. 3. Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu: sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri (seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar) dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa.
Keberatan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi
daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya pajak dan
retribusi inipun bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan. 4.8.10. Infrastruktur Daerah Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Ketersediaan infrastruktur jalan, misalnya, akan memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain. Apabila tidak ada akses transportasi yang baik tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Karena itu, ketersediaan infrastruktur terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur Beberapa
studi
sangat
menentukan
menunjukkan
bahwa
tingkat
pertumbuhan
ketersediaan
infrastruktur
ekonomi. dengan
75
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, perubahan persentase pertumbuhan PDB per kapita sebagai akibat dari naiknya satu persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai Negara bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,44 (World Bank, 1994). Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air PDAM, kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling mempengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya seperti lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu pula tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan akan padamnya aliran listrik dimana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan infrastruktur listrik yang tidak baik.
4.8.11. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha seringkali rela membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei TKED melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi pegawai/buruh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Kinerja aparat keamanan yang dikaji dalam survei ini adalah kinerja kepolisian di tingkat kabupaten/kota. Adapun struktur lembaga kepolisian Indonesia telah dipisahkan dari tentara nasional (TNI) sejak tahun 1999. Hal ini berkaitan
dengan
sejumlah
tuntutan
pelayanan
dari
masyarakat
keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri.
akan
76
Pemda tidak secara langsung memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti mengkotak-kotakkan kewenangan. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan.
4.8.12. Kualitas Peraturan Daerah Perda merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, Melalui Perda, dapat diindikasikan adanya insentif maupun disinsentif sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Penilaian kualitas Perda dilakukan melalui desk analysis dengan menggunakan 14 (empat belas) kriteria. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran mengenai kualitas Perda di daerah yang dikelompokan dalam tiga kategori potensi permasalahan, yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Dalam kategori acuan yuridis terdiri dari tiga kriteria yaitu relevansi acuan yuridis, up to date acuan yuridis, dan kelengkapan yuridis formal. Kategori substansi terdiri enam kriteria, yaitu diskoneksi tujuan dan isi serta konsistensi pasal, kejelasan obyek, kejelasan subyek, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut dan Pemda, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standard tarif, kesesuaian antara filosofi dan pungutan. Kategori prinsip terdiri dari lima kriteria, yaitu keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses masyarakat dan kepentingan umum, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan. Jumlah peraturan daerah yang dianalisis sebanyak 932 Perda pada survei TKED 2007 dan 1.480 perda pada survei TKED 2011. Perda yang dianalisis dibatasi dengan wilayah pengaturannya, yaitu terkait dengan perekonomian. Perda yang dianalisis tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah isu, yaitu Perda terkait dengan perizinan, Perda terkait dengan lalu lintas barang dan jasa,
77
serta Perda terkait dengan ketenagakerjaan. Dari total 932 peraturan daerah, kebermasalahan pada kategori yuridis didominasi oleh banyaknya Perda yang tidak mengatur secara lengkap ketentuan-ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejumlah ketentuan yang tertuang dalam ketiga produk hukum seperti tersebut di atas sifatnya wajib, sehingga setiap pengaturan yang tidak merujuk pada ketentuannya dikategorikan Perda bermasalah.
78
Halaman ini sengaja dikosongkan
79
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010 Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Dalam mengelola pemerintahan daerahnya, masingmasing kabupaten/kota di Jawa Timur berpegang teguh pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025. Salah satu misi dalam RPJPD ini adalah mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sedangkan arah dan tujuan yang ditetapkan dalam mewujudkan misi ini adalah pembangunan hukum, penyelenggara pemerintahan, pembangunan politik, pembangunan komunikasi dan informasi, pembangunan keamanan dan ketertiban, serta pembangunan keuangan daerah (RPJPD, 2005) Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, perlu adanya pengukuran atau survei persepsi para pelaku usaha di daerah tersebut.
Hal
inilah
yang
coba
diakomodir
oleh
KPPOD
dengan
menyelenggarakan Survei TKED di tahun 2007 dan 2010. Provinsi yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini mendapat kesempatan dua kali menjadi responden Survei TKED baik di tahun di tahun 2007 maupun di tahun 2010. Salah satu dasar pertimbangan Jawa Timur kembali diikutkan dalam sampling frame Survei TKED 2010 adalah karena di tahun 2007 beberapa kabupaten/kota meraih posisi 10 besar dalam peringkat indeks TKED. Dengan diikutsertakannya lagi Jawa Timur di tahun 2010, diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur pasca dilakukannya survei serupa di tahun 2007. Perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur dianalisis dengan uji beda berpasangan (paired samples T-test). Uji ini dimaksudkan untuk melihat rata-rata perbedaan persepsi yang nyata dari pelaku usaha di Jawa Timur, dengan hasil pada Tabel 11.
80
Tabel 11 Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 2007 dan 2010di Provinsi Jawa Timur Mean SUB INDIKATOR AKSES LAHAN (AL) IZIN USAHA (IU) INTERAKSI PEMDA & PELAKU USAHA (IPPU) PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SWASTA (PPUS) KAPASITAS & INTEGRITAS BUPATI/ WALIKOTA (KIBW) KEAMANAN & PENYELESAIAN SENGKETA (KPS) BIAYA TRANSAKSI (BT) INFRASTRUKTUR (INF) KUALITAS PERDA (PERDA) ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
-0.8842 4.1394* -1.5789 -1.1868 -5.5552* 1.0421 5.8973** 5.7947** -3.1789
Sig (2 tailed) 0.572 0.003 0.335 0.634 0.010 0.577 0.001 0.000 0.387
Secara umum kita dapat melihat bahwa dari Sembilan sub indikator TKED, lima diantaranya yaitu AL,IPPU,PPUS,KIBW, dan PERDA mengalami penurunan indeks persepsi, tetapi hanya KIBW yang signifikan penurunan indeksnya. Sementara itu , tiga sub indikator lainnya, IU, KPS BT dan INF mengalami kenaikan indeks persepsi , tetapi hanya IU, BT dan INF kenaikannya signifikan. Dari hasil uji beda berpasangan di atas (Tabel 11) dapat kita lihat bahwa, beberapa indikator yaitu Izin Usaha (IU), Kapasitas Integritas Bupati dan Walikota (KIBW), Biaya Transaksi(BT) dan Infrastruktur
(INF) mengalami
perubahan angka indeks yang signifikan (p value< taraf nyata 5%) namun dalam arah yang berbeda-beda. Untuk sub indikator IU, BT dan INF rata-rata perbedaan indeksnya adalah positif, artinya secara agregat pelaku usaha meyakini bahwa tata kelola izin usaha, biaya transaksi dan infrastrukturnya lebih baik dalam taraf kepercayaan 95%. Sementara itu sub indikator KPS rata-rata perbedaan indeksnya adalah negatif, yang artinya secara agregat pelaku usaha di Jawa Timur meyakini bahwa tata kelola kapasitas dan integritas bupati/walikotanya makin memburuk dalam taraf kepercayaan 95%. Jika diuraikan lebih lanjut, para pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur berpersepsi bahwa tata kelola izin usaha di tahun 2010 lebih baik dari tahun 2007 sebesar rata-rata 4 poin. Sementara itu, persepsi untuk tata kelola
81
biaya transaksi dan kualitas infrastruktur daerah lebih baik sebesar-rata-rata 5.8 dan 5.7 poin. Akan tetapi ternyata para pelaku usaha juga berpersepsi bahwa tata kelola kualitas dan integritas bupati/walikota lebih buruk sebesar rata-rata 5.55 poin. Analisis uji beda rata-rata berdasarkan indeks agregat KPPOD di atas tidak boleh langsung kita jadikan tolok ukur bahwa memang suatu sub indeks persepsinya membaik atau memburuk. Elaborasi lebih lanjut sangat diperlukan terutama untuk benar-benar melihat variabel manakah dari suatu sub indikator yang mengalami perbedaan signifikan ke arah yang lebih baik atau bahkan lebih buruk. Untuk itu, uji beda rata-rata juga dilakukan terhadap seluruh variabel penyusun sub indikator tata kelola. Tabel 12 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Akses Lahan Survei TKED 2007 dan 2010di Provinsi Jawa Timur Rata-rata
Variabel Durasi pengurusan status tanah (Q30) Kemudahan perolehan lahan (Q32) Kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33) Frekuensi terjadinya penggusuran lahan : jarang (Q34) Frekuensi terjadinya konflik : jarang (Q35) Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)
Sig (2 tailed) -3.38158** 0.004 5.963355 0.138 3.24297**
0.003
-0.19257 0.51736
0.667 0.427
1.07512
0.232
ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Untuk sub indikator akses lahan (Tabel 12), ternyata hanya ada 2 variabel yang berbeda nyata yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah (Q30) dan persepsi kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33). Secara rata-rata pelaku usaha di Jawa Timur berpersepsi bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat tanah di tahun 2010 berkurang sebesar ratarata 3 minggu dari tahun 2007. Hal ini semakin menunjukkan semakin sigapnya aparat pemerintah di bagian pertanahan seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional) serta perangkat desa seperti lurah dan camat yang sangat akomodatif dalam pengurusan status tanah sehingga pelaku usaha tidak perlu menunggu terlalu lama akibat ketidaksigapan aparat pengurusan administrasi status tanah. Kabupaten
82
dengan median durasi pengurusan status tanah tercepat adalah Kabupaten Gresik, yaitu dari 23 minggu menjadi 6 minggu di tahun 2010. Penggusuran yang biasanya dialami para pelaku usaha kecil dan menengah juga tidaklah mejadi hambatan utama,terbukti dari kenaikan rata-rata persepsi pelaku usaha yang berkeyakinan bahwa kecil kemungkinan lokasi usaha mereka akan digusur, sebesar 3.2 poin dari tahun 2007. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas tata kelola pemerintahan daerah dalam sub indikator akses lahan.
Tabel 13 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Izin Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Persentase Perusahaan Yang Memiliki TDP (Q38aR1) Kemudahan perolehan TDP (Q40cR1) Rata-rata waktu perolehan TDP (Q40dR1) Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) Pelayanan izin usaha efisien (Q43R1) Pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2) Pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3) Persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) Izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q46)
Sig (2 tailed)
39.714**
0.000
0.905
0.731
-1.684
0.29
3.550*
0.051
5.148**
0.043
4.834
0.27
6.269
0.152
3.167
0.52
2.560
0.094
ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Pada sub indikator izin usaha (Tabel 13), ternyata hanya ada 4 variabel yang berbeda nyata. Variabel pertama adalah persentase perusahaan yang memiliki TDP. Persentase perusahaan yang memiliki TDP naik sebesar rata-rata 39,714 % dari tahun 2007 dengan kabupaten Blitar sebagai kabupaten yang tertinggi kenaikan persentasenya. Sementara itu pelaku usaha juga berpersepsi bahwa biaya yang dikeluarkan pada saat mengurus izin usaha tidak memberatkan dunia usaha, terbukti dengan naiknya rata-rata indeks sebesar 3.55 poin dari tahun 2007. Pelaku usaha juga berpersepsi bahwa pelayanan izin usaha selama ini sudah cukup efisien, dilihat dari kenaikan rata-rata sebesar 5.1 poin. Secara umum pun para pelaku usaha di Jawa Timur beranggapan bahwa izin usaha makin kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.5 poin.
83
Tabel 14 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Interaksi Pemda Dengan Pelaku Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48) Kepala Daerah memberikan pemecahan masalah yang nyata pada pelaku usaha (Q49R1) Pemecahan masalah oleh Pemda sesuai harapan pelaku usaha (Q49R2) Instansi Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah oleh Kepala Daerah (Q49R3) Pemda memiliki pengertian akan kebutuhan dunia usaha (Q50R1) Pemda melakukan konsultasi publik (Q50R2) Pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dlm membahas permasalahan dunia usaha (Q50R3) Pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang merugikan kegiatan usaha (Q50R4) Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha (Q50R5)
Kebijakan pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi (Q51) Kebijakan Pemda bersifat non-diskriminatif (Q52) Pengaruh kebijakan pemda tidak meningkatkan pengeluaran dunia usaha (Q53R1) Kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha (Q54) Interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q55)
Sig (2 tailed)
5.180
.100
2.805
.509
1.327
.743
-0.620
.891
-1.350 2.534 4.318
.709 .564 .256
-1.234
.678
1.186
.779
-10.03**
.033
0.556
.907
5.195
.146
6.258*
.097
-11.82**
.000
ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Jawa Timur ternyata belum sepeuhnya dirasakan oleh para pelaku usaha. Terbukti dari nilai variabel persepsi bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi turun rata-rata sebesar 10.03 poin dari tahun 2007 (Tabel 14). Demikian pula, persepsi bahwa interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan , turun sebesar rata-rata 11.8 poin dari tahun 2007. Namun persepsi bahwa kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha naik sebesar 6.258 poin. Hal ini mengindikasikan, para pelaku usaha masih merasa kebijakan Pemda belum mendorong peningkatan iklim investasi namun di satu sisi kebijakan Pemda telah menjamin kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya.
84
Tabel 15 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A) Tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B) PPUS -pelatihan manajemen bisnis bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R1) PPUS -pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R2) PPUS -promosi produk lokal kepada investor bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R3) PPUS -menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang-besar bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R4) PPUS -pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R5) PPUS -business matchmaking program bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R6) PPUS –lainnya bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R7) PPUS berdampak besar terhadap kinerja perusahaan (Q59)
Sig(2 tailed)
19.022** 2.959
0.003 0.56
5.316
0.274
3.784 0.400 13.832**
0.001
2.989
0.632
12.363**
0.034
3.798
0.649
-7.894* 1.153
0.083 0.59
ket: **Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta diselenggarakan pemda untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaku usaha khususnya usaha kecil menengah (UKM), yang jumlahnya paling dominan dalam perekonomian Indonesia. Adapun dari hasil uji beda berpasangan ini (Tabel 15), terlihat bahwa persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan PPUS meningkat rata-rata 19.1 % dari tahun 2007. Kabupaten yang tergolong paling menyadari keberadaan PPUS adalah kabupaten Blitar, dengan persentase responden yang menyadari keberadaan PPUS naik dari 33% menjadi 100% di tahun 2010. Sementara itu pelaku usaha juga berpendapat bahwa PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial bermanfaat bagi pengembangan usaha mereka, terlihat dari kenaikan rata-rata sebesar 13.8 poin di tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting, naik
85
sebesar rata-rata 12.3%. Namun beberapa pelaku usaha juga menganggap bahwa PPUS selain 6 jenis PPUS yang telah dicanangkan sebelumnya, justru tidak terlalu bermanfaat bagi pelaku usaha, terlihat dari penurunan persepsi sebesar rata-rata 7.8 poin di tahun 2010. Tabel 16 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah dunia usaha (Q61R1) Penempatan birokrat sesuai pengalaman kerja dan profesional (Q61R2) Kepala daerah bertindak tegas terhadap korupsi birokratnya (Q61R3) Pelaku usaha tidak setuju bahwa tindakan kepala daerah menguntungkan diri sendiri (Q61R4) Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat (Q61R5) Kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63)
Sig (2- tailed)
-1.52
0.707
-6.01
0.105
5.68 -30.61** -5.79 -0.96
0.211 0.00 0.11 0.148
ket: **Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Kualitas dan Integritas Kepala Daerah yaitu bupati/walikota sebagai tokoh sentral dan figur pemimpin dideskripsikan pada Tabel 16. Secara keseluruhan, persepsi pelaku usaha terhadap kualitas dan integritas kepala daerahnya mengalami penurunan, namun hanya ada satu variabel yang berbeda nyata yaitu pelaku usaha yang tidak setuju bahwa tindakan kepala daerahnya menguntungkan diri sendiri, yang turun sebesar rata-rata 30.61 poin dari tahun 2007.
86
Tabel 17 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83B) Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani kasus kriminal (Q84R1) Solusi yang diberikan polisi menangani kriminalitas menguntungkan perusahaan (Q84R2) Solusi yang diberikan polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya(Q84R3) Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani demonstrasi buruh (Q86R1) Solusi yang diberikan polisi dalam demo buruh hanya menyebabkan dampak kehilangan kecil pada waktu dan biaya (Q86R2) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88)
Mean
(2 tailed)
0.63
0.433
-2.74
0.361
-3.01
0.392
-0.19
0.96
-5.01
0.105
-0.84
0.834
-0.02
0.973
ket: **Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Uji beda berpasangan pun dilakukan pada variabel-variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa. Secara umum persepsi para pelaku usaha akan keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten/kotanya memburuk, namun tidak ada yang berbeda nyata (Tabel 17). Sementara itu variabel-variabel penyusun sub indikator biaya transaksi juga diuji apakah berbeda nyata antara persepsi di tahun 2007 dan 2010. Unsur biaya transaksi berupa pajak daerah, retribusi daerah dan biaya lainnya merupakan salah satu pertimbangan utama investor dalam berinvestasi di suatu daerah. Untuk kasus Jawa Timur, rata-rata tingkat pembayaran donasi baik pajak, retribusi maupun biaya lainnya kepada Pemda dalam kurun waktu satu tahun meningkat dari tahun 2007 ke 2010 sebesar rata-rata Rp. 821.277.000,00 per pelaku usaha per tahun (Tabel 18) dengan kabupaten Trenggalek sebagai kabupaten dengan kenaikan biaya transaksi tertinggi sebesar Rp. 14.999.328.000,00 per pelaku usaha per tahun.
Kenaikan biaya transaksi rata-rata ini mengindikasikan semakin
mahalnya biaya transaksi rata-rata yang harus dipikul pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur.
87
Tabel 18 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Transaksi Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR2) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda (Q67a) Pajak dan retribusi daerah tidak memberatkan/menghambat kegiatan usaha (Q67cR1) Pembayaran biaya tambahan untuk polisi untuk keamananan tidak memberatkan pelaku usaha (Q70bR1) Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Biaya
Sig(2 tailed)
1.542
0.435
0.721
0.736
821277.3**
0.048
-8.614
0.316
10.354
0.179
2.904**
0.034
ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Walaupun demikian biaya transaksi yang besar ini justru bukanlah menjadi suatu hambatan bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari persepsi pelaku usaha bahwa biaya-biaya transaksi ini kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan yang naik sebesar rata-rata 2.9 poin dibandingkan di tahun 2007. Salah satu yang melatarbelakangi fenomena ini adalah makin tingginya kepatuhan para pelaku usaha dalam membayar pajak dan retribusi daerah kepada Pemda, yang pada akhirnya akan digunakan untuk membangun kabupaten/kotanya masing-masing. Beranjak ke sub indikator berikutnya, kualitas infrastruktur sangat erat hubungannya dengan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Dari hasil Survei KPPOD di tahun 2007 dan 2010, terlihat bahwa infrastruktur merupakan kendala utama bagi pelaku usaha dalam menanamkan modalnya. Bobot hambatan infrastruktur ini adalah 38% (KPPOD, 2010).
88
Tabel 19 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Infrastruktur Daerah Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Mean Variabel
Sig (2 tailed)
Kualitas infrastruktur jalan (Q78aR1) Kualitas infrastruktur lampu jalan (Q78aR2)
4.20
0.136
5.05**
0.028
Kualitas infrastruktur air PDAM (Q78aR3) Kualitas infrastruktur listrik (Q78aR4) Kualitas infrastruktur telepon (Q78aR5) Lama perbaikan jalan (Q78cR1) Lama perbaikan lampu jalan (Q78cR2) Lama perbaikan air PDAM (Q78cR3) Lama perbaikan listrik (Q78cR4) Lama perbaikan telepon (Q78cR5) Persentase pelaku usaha yang menggunakan genset(Q79) Lama pemadaman listrik (Q80) Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
1.95
0.563
2.37
0.12
-0.83
0.541
19.13
0.236
0.59
0.644
-2.15
0.103
-0.02
0.324
0.52
0.55
-13.9**
0.000
-1.13**
0.00
2.11
0.407
ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Dari hasil uji beda berpasangan pada Tabel 19 dapat dideskripsikan bahwa kualitas infrastruktur berupa lampu jalan mengalami kenaikan sebesar rata-rata 5.05 poin di tahun 2010, dengan kenaikan indeks tertinggi diraih oleh kabupaten Jember. Sementara itu persentase pelaku usaha yang menggunakan genset pun menurun sebesar rata-rata 13.9% dibandingkan tahun 2007. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas pelayanan PLN di Jawa Timur, sehingga para pelaku usaha tidak terlalu menggantungkan pasokan listriknya pada genset. Berbanding lurus dengan penurunan pelaku usaha yang memakai genset, lama pemadaman listrik pun berkurang sebesar rata-rata 1 kali dalam seminggu dibandingkan tahun 2007.
5.2. Hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN 5.2.1. Hubungan antara Akses Lahan dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan memiliki skala yang berbeda-beda yaitu skala ordinal dan skala interval. Ada enam variabel pembentuk sub indikator akses lahan ini. Khusus untuk variabel waktu yang
89
diperlukan untukkepengurusan status tanah (Q30) memiliki skala interval dengan satuan lama waktu kepengurusan tanah dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 20 Korelasi Pearson antara Ln PMDN dan Ln PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Kepengurusan Status Tanahdi Provinsi Jawa Timur Q30 LPMDN LPMA
Pearson Correlation
0.107362
Sig. (2-tailed)
0.355944 -0.0724
Pearson Correlation
0.534252
Sig. (2-tailed) Sumber: data olahan
Dari hasil uji korelasi Pearson, ternyata lama kepengurusan status tanah tidak memiliki hubungan yang signifikan baik dengan dengan realisasi PMDN maupun PMA (Tabel 20). Hal ini berarti bahwa para pelaku usaha di kabupaten kota di Jawa Timur secara umum tidak menganggap variabel akses lahan sebagai suatu hambatan dalam melakukan kegiatan usahanya. Lima variabel akses lahan lainnya yakni persepsi kemudahan perolehan lahan (Q32),Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda ( Q33 , Q34), Frekuensi Konflik
(Q35)dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha(Q36)
memiliki skala ordinal, sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman yang dilengkapi dengan boxplot. Tabel 21 Korelasi Spearman antaraPMDN dan PMA 2005-2010 dengan Persepsi Kemudahan Perolehan Lahan,Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda, Frekuensi Konflik dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha di Provinsi Jawa Timur Q32
Q33
0.1298
0.1049
-0.2686**
0.0959
0.2637
0.3668
0.0189
0.4095
0.0853
-0.0761
0.4634 ket.**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
0.5135
Spearman's rho
PMDN
PMA
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q34
-0.3068** 0.0070
Q35
-0.0965 0.4067
Berdasarkan uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan pada level 10% adalah persepsi penggusuran lahan oleh Pemda (Q34) yaitu seberapa sering terjadi penggusuran di daerah tersebut, namun hubungan keduanya adalah negatif dan tidak sejalan dengan teori (Tabel
90
21). Deskripsi lebih jelasnya dapat diamati dalam boxplot (Gambar 14). Kabupaten/kota yang frekuensi penggusurannya jarang
memiliki median
realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 1,370 Trilyun dibandingkan kabupaten/kota yang tidak pernah terjadi penggusuran dengan median realisasi investasi PMDN sebesar 0. Semakin tidak pernah terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin rendah dan sebaliknya semakin sering terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin tinggi.
Boxplot of PMDN VS Q34
Boxplot of PMA vs Q34
4.0000E+12
1.4000E+13 1.2000E+13
Rs=- 0.268 P value=0. 018
R s = - 0.306 P value = 0.007
1.0000E+13 8.0000E+12
2.0000E+12
PMA
PMDN
3.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12
1.0000E+12
2.0000E+12 0
0 3 Seringkah terjadi penggusuran di Q34 wilayah ini? 3=Jarang, 4= Tidak pernah
4
3
4 Q34
Sumber: Data Olahan
Gambar 14 Boxplot Variabel Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda terhadap Realisasi PMDN dan PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur Salah satu hal yang melatarbelakangi kondisi makin seringnya terjadi penggusuran maka semakin tinggi realisasi investasi adalah komposisi perusahaan dengan skala kecil dan menengah yang menempati lebih dari 50% responden dalam sampling frame survei ini. Dalam kenyataannya usaha mikro, kecil dan menengahlah yang biasanya menjadi sasaran penggusuran, baik karena tidak adanya izin usaha, berebut tempat dengan pelaku usaha lain, atau lahan yang mereka pakai ternyata akan dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah. Ketika persepsi
para pelaku usaha yang sering mengalami penggusuran ini
dikorelasikan dengan realisasi PMDN, ternyata berkorelasi negatif.
Adapun
penggusuran lahan usaha pihak UKM ini adalah sebagai substitusi realisasi
91
investasi yang baru, baik berupa PMDN, PMA, maupun investasi pemerintah yang bekerjasama dengan PMA maupun PMDN. Dengan demikian, semakin sering terjadi penggusuran terhadap lahan usaha kecil dan menengah, realisasi investasi PMDN akhirnya makin tinggi. Untuk kasus PMA, yang biasanya adalah perusahaan dengan skala besar, ternyata juga terjadi fenomena seiring pelaku usaha berpendapat bahwa penggusuran sering terjadi, realisasi PMA makin besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang terjadi juga pada PMDN yaitu, lahan usaha milik usaha kecil maupun menengah yang sering digusur, pada akhirnya akan digunakan untuk investasi baru seperti proyek pemerintah dengan PMA maupun PMA murni.
5.2.2. Hubungan antara Izin Usaha dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Sama halnya dengan variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan, variabel-variabel penyusun sub indikator Izin Usaha pun memiliki skala yang berbeda-beda. Variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) berskala nominal, demikian pula variabel persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45). Sementara itu variabel Q40DR1 mengenai lama hari kerja perusahaan memperoleh TDP berskala interval. Oleh karena itu ketiga variabel ini dianalisis dengan korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan, hanya variabel Persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) lah yang berhubungan secara signifikan tetapi hubungannya negatif (Tabel 22). Implikasinya adalah seiring semakin besarnya persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan mekanisme pengaduan, realisasi PMDN justru semakin rendah.
92
Tabel 22 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA dengan Persentase Perusahaan yang Memiliki TDP, Rata-Rata waktu perolehan TDP dan Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduandi Provinsi Jawa Timur Q38AR1 LPMDN
Pearson Correlation
LPMA
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
Q40DR1
0.165812 0.15229
Sig. (2-tailed)
Q45
0.146889 0.20544
-0.23759** 0.040116
0.049738
0.029428
-0.14606
0.669613
0.800769
0.211149
ket **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
Keberadaan mekanisme pengaduan justru diikuti dengan semakin menurunnya realisasi investasi PMDN (Gambar 15). Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pengaduan ini menyebabkan para petugas perizinan usaha sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu izin terkait dunia usaha, seperti tanda daftar perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDP) , Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Gangguan (HO) dan IMB, sehingga realisasi PMDN semakin menurun. Scatterplot of LPMDN vs Q45 30 25
LPMDN
20
Rp= -0.237 P value= 0.040
15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Q45
Sumber: Data Olahan
Gambar 15 Scatterplot Variabel Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Empat variabel lain menyangkut izin usaha yaitupersepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan
93
bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) berskala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman (Tabel 23). Tabel 23 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan TDP, Persepsi Tingkat Biaya yang Memberatkan Usaha,Persepsi bahwa Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN, Efisien dan Bebas Pungli, Persepsi Tingkat Hambatan Usaha terhadap Usahanya di Provinsi Jawa Timur Q40 CR1
Q43R1
Q43R2
Q43R3
Correlation 0.095 -0.120 -0.175 Coefficient Sig. (20.409 0.298 0.129 tailed) PM Correlation 0.115 0.012 -0.138 A Coefficient Sig. (20.318 0.911 0.231 tailed) ket.** Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
0.208*
-0.215*
0.098
0.070
0.062
0.395
0.113
-0.218*
0.254**
0.326
0.058
0.026
Spear man's rho
PM DN
Q41 DR1
Q46
Dari hasil uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan positif secara signifikan terhadap realisasi PMDN adalah variabel persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2). Lebih jauh lagi dalam boxplot (Gambar 16) terlihat bahwa untuk kabupaten/kota yang setuju bahwa pelayanan perizinan usahanya bebas pungli memiliki median realisasi investasi sebesar Rp. 80.100.000,00 lebih tinggi dari nilai tengah kabupaten/kota yang menyatakan tidak setuju yaitu sebesar Rp. 0. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin perizinan usaha menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau pungutan liar, diharapkan semakin banyak pelaku usaha yang tertarik untuk berinvestasi, dan akan berdampak pada realisasi PMDN yang makin besar.
94
Boxplot of PMDN VS Q43R2 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
Rs=0.208 P value= 0.070
2.0000E+12
1.0000E+12
0
Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli 2: Tidak setuju , 3= setuju
2
3 Q43R2
Sumber: Data Olahan
Gambar 16 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas Pungli terhadap PMDN (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur
Hubungan yang negatif secara signifikan juga dapat kita lihat dari hasil uji korelasi Spearman untuk variabel persepsi bahwa perizinan usaha bebas KKN (Q43R3)
terhadap
realisasi PMDN di Tabel
25. Peningkatan pelayanan
perizinan usaha yang bebas pungli ternyata belum diikuti oleh kualitas pelayanan perizinan usaha yang bebas KKN. Para pelaku usaha yang menjawab tidak setuju bahwa pelayanan perizinan bebas KKN, ternyata memiliki kisaran realisasi investasi sebesar Rp. 1,3 Trilyun lebih besar dari para pelaku usaha yang menjawab setuju yaitu sebesar Rp. 12 Milyar saja (Gambar 17). Salah satu hal yang melatarbelakangi fenomena ini adalah proses perizinan usaha yang masih sangat berbelit, sementara itu perizinan yang harus diurus untuk melakukan kegiatan usaha juga sangat banyak, sehingga pelaku usaha lebih senang melalui jalan belakang, baik lewat kenalan, saudara atau calo yang berurusan dengan petugas perizinan. Semakin banyak perusahaan yang melalui jalur tidak resmi ini, pada akhirnya menyebabkan realisasi investasi PMDN semakin meningkat. Hal ini adalah merupakan indikasi awal, karena realisasi investasi tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi pelaku usaha tentang tata kelola pemerintahan daerah dalam hal perizinan, namun juga oleh faktor lainnya.
95
Boxplot of PMA vs Q43R3
Boxplot of PMDN VS Q43R3 1.4000E+13
4.0000E+12
1.0000E+13
Rs=-0. 218 P value= 0.058
8.0000E+12 2.0000E+12
PMA
PMDN
1.2000E+13
Rs=-0. 215 P value= 0.062
3.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12
1.0000E+12
2.0000E+12 0
0 2
3 Q43R3
2
3 Q43R3
Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN : 2: Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 17 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN terhadap PMDN dan PMA (2005-2010)di Provinsi Jawa Timur
Adapun kabupaten yang merupakan pencilan dalam boxplot PMDN vsQ43R3 dan PMA vs Q43R3 adalah Kabupaten Pasuruan dan Gresik. Di kedua kabupaten ini walaupun pelaku usaha tidak setuju bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN, realisasi PMA maupun PMDNnya tetap tinggi.Namun jika kita telusuri lebih lanjut ternyata ada beberapa variabel tatakelola yang sangat baik kualitasnya di kedua kabupaten ini, antara lain konflik atas tanah jarang terjadi, retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan dan infrastruktur sangat kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Tabel 24). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi
suatu kabupaten kota
memiliki
hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya.
96
Tabel 24 Kabupaten Pencilan pada Korelasi Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN (Q43R3) terhadap PMDN dan PMA serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya di Provinsi Jawa Timur Pencilan (anomali) Kab. Gresik Kab. Pasuruan
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) d.Persepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63) e.Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
h. Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: data olahan
Namun pelaku usaha yang berpersepsi bahwa izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMAnya justru lebih rendah daripada yang setuju (Gambar 18). Kabupaten/kota yang menganggap izin usaha besar hambatannya terhadap kinerja perusahaan adalah kabupaten Gresik. Walaupun demikian, di Kabupaten ini sangat kecil kemungkinan usahanya akan, digusur (Q33) , program PPUS berupa proses memepertemukan mitra bisnis (business matchmaking program) sangat dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha (Q58R6) dan biaya transaksi berupa pajak daerah tidak memberatkan para pelaku usaha (Q65CR2).
97
Boxplot of PMA VS Q46 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12
Rs=0. 254 P value= 0.026
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0
Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap kinerja perusahaan 2: Besar , 3= Kecil
2
3 Q46
Sumber: data olahan
Gambar 18 Boxplot Variabel Persepsi Tingkat Hambatan Izin Usaha Terhadap realisasi PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur
5.2.3 Hubungan antara Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (IPPU) dan Realisasi PMDN dan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur Dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya, Pemda sebagai stakeholder perlu mengembangkan komunikasi yang baik dengan para pelaku usaha sebagai shareholder. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha agar dapat diketahui apa saja permasalahan dunia usaha yang sedang terjadi belakangan in. Selain itu tujuan dibentuknya IPPU adalah agar dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa sajakah yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha dan memberikan dukungan serta solusi permasalahan para pelaku usaha. Variabel-variabel penyusun sub indikator IPPU ini terdiri dari variabel berskala nominal yaitu persentase keberadaan forum komunikasi Pemda dengan pelaku usaha(Q48). Sementara itu variabel lainnya pembentuk sub indikator IPPU berskala ordinal seperti tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q50R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha (Q53R2) dan tingkat
98
hambatan interaksi Pemda dengan pelaku usaha (Q55), sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman (Tabel 25). Tabel 25 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA2005-2010 dengan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Provinsi Jawa Timur PMDN Spear man's rho
Q48
Q49 R1
Q49 R2
Q49 R3
Q50 R1
Q50 R2
Q50 R3
Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed)
PMA
.134
.014
.247
.900
-.128
.001
.267
.986
-.161
.078
.163
.500
-.307**
-.091
.006
.430
-.054
-.019
.642
.864
-.006
.159
.958
.169
-.216**
.060
.060
.603
PMDN Q50 R4
Q50 R5
Q51
Q52
Q53 R1
Q53 R2
Q55
Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed)
PMA
-.100
-.050
.385
.663
-.371** .001 -.278** .014 .355** .001 -.180 .118 -.231**
-.202* .080 -.160 .165 .174 .131 -.333** .003 .283**
.044
.013
.202*
.318**
.079
.005
ket. **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Korelasi yang positif secara signifikan hanya didapati pada variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (Q55) dan tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda (Q52) . Hal ini menunjukkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan perizinan usaha tidak menghambat kinerja perusahaan bahkan bergerak seiring kenaikan realisasi PMDN dan PMA di kabupaten/kota Jawa Timur (Gambar 19).
99
Boxplot of PMDN vs Q55
Boxplot of PMA VS Q55
4.0000E+12
1.4000E+13 1.2000E+13
3.0000E+12
2.0000E+12
Rs= 0.318 P value: 0.005
8.0000E+12 PMA
PMDN
1.0000E+13
Rs= 0.202 P value: 0.079
1.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12
0 3
0
4
Q55 Seberapa besar hal yang berkaitan dengan
3
4 Q55
IPPU menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar 3= Kecil
Sumber: Data Olahan
Gambar 19 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Semakin Pemda bersikap tidak diskriminatif akan berdampak positif terhadap realisasi PMDN
di kabupaten/kota tersebut
(Gambar 20). Dengan
Pemda yang bersifat tidak berpihak kepada golongan pengusaha tertentu saja, akan berkorelasi positif terhadap realisasi PMDN. Boxplot of PMDN VS Q52 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
2.0000E+12
Rs= 0.355 P value: 0.079
1.0000E+12
0
Tindakan Pemda terhadap sektor swasta: 2:=Non Diskriminatif 3= Diskriminatif
2
3 Q52
Sumber: Data Olahan
Gambar 20 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Non Diskriminatif Pemda , terhadap PMDN (2005-2010)di Provinsi Jawa Timur Korelasi yang negatif secara signifikandapat ditemui pada korelasi variabel Tingkat Kepastian Hukum Pemda Terkait Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA. Dari boxplot Gambar 19 dapat kita lihat bersama bahwa semakin banyak pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan Pemda
100
tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha maka semakin besar realisasi PMDN maupun PMA di daerah tersebut.
Boxplot of PMDN vs Q53R2
Boxplot of PMA vs Q53R2
4.0000E+12
1.4000E+13
Rs = - 0.231 P value: 0.044
3.0000E+12
Rs= - 0.283 P value:0.013
1.2000E+13
8.0000E+12
2.0000E+12
PMA
PMDN
1.0000E+13
1.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12
0 2
Kebijakan Pemda tidak meningkatkanQ53R2 tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha 2= Tidak Setuju 3= Setuju
3
0 2
3 Q53R2
Sumber: Data Olahan
Gambar 21 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Ketidakpastian Bagi Dunia Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan untuk korelasi persepsi Q53R2 terhadap PMDN
dan PMA
adalah kabupaten Gresik, Kediri Pasuruan, Nganjuk, Tuban dan kota Pasuruan (Tabel 26). Di kabupaten/kota pencilan ini ternyata sangat jarang terjadi konflik atas tanah (Q35), biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q41dR1), serta biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan (Q65CR1). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya.
101
Tabel 26 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Meningkatkan Tingkat Kepastian Bagi Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Gresik
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)
kab. Pasuruan
b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1)
kab. Nganjuk
d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)
kab. Kediri
kab. Tuban kota Pasuruan
e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: Data Olahan
Korelasi negatif berikutnya dapat kita temui pada korelasi antara Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis (Q53R1) dengan realisasi PMA(Gambar 22). Deskripsi boxplotini pada dasarnya hanyalah deteksi fenomena awal, yang memang menunjukkan fenomena yang tidak sejalan teori. Selanjutnya perlu kita telusuri kabupaten/kota yang mengalami hubungan anomali ini, agar dapat mengidentifikasi variabel tata kelola lainnya yang berkualitas baik yang dimiliki kabupaten/kota tersebut.
102
Boxplot of PMA VS Q53R1 1.4000E+13 1.2000E+13
Rs= - 0.333 P value: 0.003
1.0000E+13
PMA
8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0
Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat peningkatan pengeluaran bisnis 2= Tidak Setuju 3= Setuju
2
3 Q53R1
Sumber: data olahan
Gambar 22 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada gambar 22 ditempati oleh kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Tuban, kota Pasuruan dan kota Surabaya (Tabel 27). Modus persepsi yang berlaku pada kabupaten/kota pencilan ini adalah pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan pengeluaran bagi bisnis, namun kenyataannya realisasi PMDNnya tinggi. Namun pada kabupaten pencilan ini, beberapa aspek tata kelola lainnya justru sangat baik seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35). Demikian pula untuk biaya perizinan, para pelaku usaha di kabupaten-kabupaten pencilan menganggap biaya tersebut sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Dengan kata lain, terbukti bahwa biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola maupun faktor ekonomi yang sangat menanamkan modalnya.
mempengaruhi keputusan investor dalam
103
Tabel 27 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Pengeluaran bagi bisnis (Q53R1) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya. Korelasi Q53R1 vs PMDN
Pencilan (anomali)
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)
kab. Pasuruan kab. Probolinggo kab. Tuban Kota Pasuruan Kota Surabaya
b.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) c. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Sumber: data olahan
Adapun salah satu
alasan yang melatarbelakangi fenomena mengapa
kebijakan pemerintah daerah tidak berkorelasi positif dengan realisasi PMA maupun PMDN adalah kualitas kebijakan itu sendiri. Hasil penelitian Azis dan Wihardja (2010) menyatakan bahwa ada 3 tipe kebijakan yang dirumuskan oleh Pemda. Pertama adalah tipe kebijakan yang mengabaikan fakta bahwa kualitas institusi pemerintah masih rendah. Akibatnya kebijakan tersebuthanya bekerja berdasarkan asumsi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Yang kedua adalah tipe kebijakan
yang secara tegas mempertimbangkan fakta bahwa kualitas
institusi masih rendah. Kebijakan ini dibuat dengan asumsi bahwa institusi tidaklah sempurna. Yang ketiga adalah tipe kebijakan yang mengendogenouskan institusi dengan cara menginternalisasikan kompleksitas institusi tetapi juga melakukan perubahan pada institusi dengan memberikan insentif kepada masyarakat untk bertindak yang baik. Sayangnya sampai saat ini aturan dan kebijakan Pemda masih menempati tipe yang pertama, sehingga pada saat diaplikasikan, masih akan terdapat penyimpangan-penyimpangan karena kualitas institusinya masih rendah. Korelasi yang negatif namun signifikan juga ditemukan pada korelasi variabel-variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-
104
Langkah Pemecahan masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3 dan Q50R5),Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi (Q51), terhadap PMDN dan juga PMA. Deskripsi lebih detail dapat dilihat pada boxplot Gambar 23 sampai 25.
Boxplot of PMDN vs Q49R3 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
Rs=- 0.307 P value: 0.006
2.0000E+12
1.0000E+12
0 2
Pemda selalu menindaklanjuti langkahlangkah Kepala Daerah: 2= Tidak Setuju 3= Setuju
3 Q49R3
Sumber: Data Olahan
Gambar 23 Boxplot Variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-Langkah Pemecahan Masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Pada Gambar 23 di atas terlihat bahwa semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Hal ini merupakan fenomena yang tidak sejalan teori, namun kembali ditegaskan bahwa korelasi ini adalah hanya deteksi awal hubungan linear sederhana antara PMDN dengan Q49R3.
105
Tabel 28 Kabupaten Pencilandi Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Pemda Selalu Menindaklanjuti Langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Q49R3 VS PMDN
Pencilan (anomali)
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)
kab. Pasuruan kab. Malang kab. Gresik kab. Sidoarjo
b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c.Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) f. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Sumber: Data Olahan
Adapun kabupaten yang menjadi pencilan pada korelasi Q49R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, dan Sidoarjo (Tabel 28). Di Kabupaten/kota pencilan ini, kualitas tata kelola yang baik adalah konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1). Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya Hubungan atau korelasi negatif dalam sub indikator IPPU ini juga ditunjukkan pada Gambar 24. Semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha (Q50R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut.
usaha,
106
Boxplot of PMDN vs Q50R3 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
Rs=- 0.216 P value: 0.060
2.0000E+12
1.0000E+12
0
Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju
2
3 Q50R3
Sumber: Data Olahan
Gambar 24 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3), terhadap PMDN . Pencilan pada korelasi Q50R3 terhadap PMDN ini kembali ditempati Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Tuban.(Tabel 29). Untuk kabupaten-kabupaten pencilan ini konflik atas lahan sangat jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1).
Tabel 29 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Q50R3 vs PMDN
Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) kab. Pasuruan b. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha kab. Malang (Q41dR1) c.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan kab. Gresik (Q88) d. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja kab. Sidoarjo perusahaan (Q65cR1)
kab Tuban Sumber: Data Olahan
e. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Variabel yang sama, terbukti memiliki korelasi yang relatif sama dengan realisasi PMA maupun PMDN. Variabel yang dimaksud adalah persepsi bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha
107
(Q50R5). Semakin pelaku usaha menjawab setuju akan persepsi ini, semakin rendah realisasi PMA maupun PMDN di kabupaten/kota tersebut (Gambar 25).
Boxplot of PMA VS Q50R5
Boxplot of PMDN vs Q50R5 1.4000E+13
4.0000E+12
1.2000E+13
2.0000E+12
1.0000E+12
Rs=- 0.202 P value: 0.080
1.0000E+13
Rs=- 0.371 P value: 0.001
8.0000E+12 PMA
PMDN
3.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12
0 2
3 Q50R5
Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju
0 2
3 Q50R5
Sumber: Data Olahan
Gambar 25 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q50R5 terhadap PMDN dan PMA ini adalah kabupaten Pasuruan dan Gresik (Tabel 30). Terbukti dengan modus persepsi pelaku usaha yang tidak setuju bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha, ternyata di beberapa aspek tata kelola kabupaten ini masih memiliki keunggulan. Beberapa diantaranya adalah seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1), retribusi bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1) serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q81).
108
Tabel 30 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R5) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Pasuruan kab. Gresik
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Kapasitas dan Integritas kepala Daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q63) f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Sumber: Data Olahan
Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Sementara itu, variabel kebijakan Pemda terhadap sektor swasta (Q51) juga berkorelasi negatif dengan realisasi PMDN.
Semakin pelaku usaha
berpersepsi bahwa kebijakan Pemda terhadap sektor swasta bersifat mendorong iklim investasi, realisasi investasinya makin rendah (Gambar 26).
109
Boxplot of PMDN vs Q51 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
2.0000E+12
Rs=- 0.278 P value: 0.014
1.0000E+12
0 2
Kebijakan Pemda terhadap Sektor Swasta 2= Tidak mendorong iklim investasi 3= mendorong iklim investasi
3 Q51
Sumber: Data Olahan
Gambar 26 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi , terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan untuk korelasi ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik,dan Sidoarjo (Tabel 31). Pada keempat kabupaten ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baikterlihat dari konflik atas lahan sangat jarang terjadi (Q35 dan secara keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36). Di samping itu biaya perizinan, retribusi biaya transaksi lain tidak memberatkan usaha serta kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q41DR1 ,Q65CR1 dan Q71), serta keamanan kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q88). Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan,analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana karena faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
110
Tabel 31 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Kebijakan Pemda yang Mendorong Iklim Investasi (Q51) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Q51 vs PMDN
Pencilan (anomali) Kab. Pasuruan Kab. Malang Kab. Gresik Kab. Sidoarjo
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Sumber: Data Olahan
5.2.4 Hubungan antara Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Terdapat empat variabel yang dianalisis pada sub indikator ini, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A), tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B), tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha (Q58 R1-7) dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q49). Keempat indikator tersebut dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman (Tabel 32), tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan realisasi PMDN. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada atau tiadanya PPUS tersebut tidak berhubungan baik positif ataupun negatif terhadap realisasi investasi di kabupaten/kota tersebut.
111
Tabel 32 Korelasi Spearman antara dan PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta di Provinsi Jawa Timur Q 5 7 A Spea r man' s rho
PM DN
PM A
Correlatio n Coefficient Sig. (2tailed) Correlatio n Coefficient Sig. (2tailed)
Q 5 7 B
.
.
.
.
.
.
.
.
Q58 AR1
Q58 AR2
Q58 AR3
Q58 AR4
Q58 AR5
Q58 AR6
Q58 AR7
.100
.050
.002
.086
.014
-.071
.029
.139
.666
.983
.457
.899
.539
.800
.231
.021
-.038
-.096
.008
-.007
-.022
-.129
.280* *
.855
.742
.407
.943
.951
.843
.263
.014
.387
Q59
ket. **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed) Sumber: data olahan
PPUS di Jawa Timur diselenggarakan dalam berbagai jenis kegiatan. Di kabupaten Malang misalnya, Pemda bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dari berbagai universitas seperti Universitas Merdeka, Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah, dan Unisma untuk mengembangkan klinik UKM (KUKM). Tak hanya empat LPPM, Dinas juga menggandeng perusahaan profesional yaitu CV ASI Mas Malang. Para pelaku usaha di kota Surabaya pun banyak terbantu dengan adanya Surabaya Business Incubator Center, kerjasama antara Institut Teknologi Surabaya, Pemda Tingkat I Jawa Timur, dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Tingkat I Jawa Timur. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pembinaan, pelatihan dan konsultasi kepada para pelaku usaha. Selain itu, untuk mendukung pemasaran hasil-hasil industri kecil menengah, Pemda Jatim di tahun 2010 bekerja sama dengan pemerintah daerah Osaka, jepang telah membangun sebuah pusat pameran produk UKM bernama Core Higashi. Diharapkan Pemda Jatim dan Osaka bisa saling bertukar informasi dan produk UKM agar di kedua Provinsi tersebut Usaha Kecil dan Menengah bisa berkembang pesat.
112
Namun
sayangnya
seiring
makin
bervariasinya
PPUS
yang
diselenggarakan Pemda belum mampu mendorong meningkatnya realisasi investasi PMDN. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan akan PPUS yang masih sangat terbatas di kalangan tertentu saja, dan sosialisasi PPUS yang masih sangat terbatas hanya di kota besar saja. Walaupun manfaat PPUS tidak terlalu dirasakan oleh investor PMDN, ternyata PPUS masih berdampak positif terhadap PMA. Hal ini terlihat dari terdapatnya satu variabel yang berkorelasi positif dengan realisasi PMDN yaitu dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q59). Semakin responden menjawab dampak PPUS besar terhadap PMA, semakin besar realisasi investasi PMA di kabupaten/kota tersebut (Gambar 27).
Boxplot of PMA VS Q59 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12
Rs= 0.280 P value: 0.014
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0
Secara umum, dampak dari PPUS Pemda terhadap kinerja perusahaan: 2= Kecil , 3 = besar
2
3 Q59
Sumber: Data Olahan
Gambar 27 Boxplot Variabel Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan , terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
5.2.5 Hubungan antara Kapasitas dan Integritas
Bupati /Walikota dan
Realisasi PMDNdan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur Sub indikator Kapasitas dan integritas Bupati/ Walikota terdiri dari enam variabel, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (Q61R1),
113
profesionalisme birokrat daerah (Q61R2), ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya (Q61R3), tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4), karakter kepemimpinan kepala daerah (Q61R5), hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha (Q63). Semua variabel tersebut berskala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 33 Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2010 dengan Variabel Kapasitas Integritas Bupati/Walikotadi Provinsi Jawa Timur Spear man's rho
PM DN
PMA
Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed)
Q61R 1
Q61R 2
.091
.032
.430
.777
.214
-.055
.062
.635
Q61R3
Q61R4
Q61R5
Q63
-.251**
.230**
-.052
.188
.028
.045
.652
.102
-.380**
.384**
.177
.274**
.001
.001
.124
.016
Ket. **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Dari kesemua variabel penyusun sub indikator ini, variabel yang berhubungan negatifsecara signifikan dilihat dari Tabel 33 adalah ketegasan kepala daerah akan korupsi birokratnya (Q61 R3) dan tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4).Deskripsi lebih lanjutnya dapat dilihat pada gambar 28 dan 29.
114
Boxplot of PMDN VS Q61R3
Boxplot of PMA VS Q61R3
4.0000E+12
1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
Rs=- 0.251 P value: 0.028
2.0000E+12
Rs= -0.380 P value: 0.001
8.0000E+12 PMA
PMDN
3.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12
1.0000E+12
2.0000E+12
0
0
2
3 Q61R3
2
3 Q61R3
Bupati/walikota bertindak tegas kepadatindakan korupsi jajarannya: 2= Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan Gambar 28 Boxplot Variabel Ketegasan Kepala Daerah Terhadap Korupsi Birokratnya , terhdadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Pada kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur, ternyata semakin pelaku usaha tidak setuju
bahwa bupati/walikota bertindak tegas terhadap tindakan
korupsi jajarannya(Q61R3), realisasi investasibaik PMA maupun PMDN makin besar (Gambar 26). Pencilan untuk korelasi Q61R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Tuban, Probolinggo, Gresik, Pasuruan, Sidoarjo dan kota Surabaya (Tabel 34). Di lima kabupaten/kota ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baik karena konflik atas tanah jarang terjadi (Q35) dan keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36). Selain itu biaya perizinan serta retribusi juga tidak menghambat kinerja perusahaan, serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan.
115
Tabel 34 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada KorelasiKetegasan Kepala Daerah akan Korupsi Birokratnya (Q61R3) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Tuban kab. Probolinggo kab. Gresik kab. Pasuruan kota Surabaya kab. Sidoarjo
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) f. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Sumber: data olahan
Korelasi negatif juga ditemui pada Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri (Q61R4) terhadap realisasi PMDN dan PMA. Semakin pelaku usaha setuju bahwa bupati/walikotanya melakukan perbuatan yang meguntungkan dirinya sendiri, realisasi PMA maupun PMDNnya makin tinggi (Gambar 29).
116
Boxplot of PMDN VS Q61R4
Boxplot of PMA VS Q61R4
4.0000E+12
1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
Rs= 0.230 P value: 0.045
Rs= 0.384 P value: 0.001
8.0000E+12
2.0000E+12
PMA
PMDN
3.0000E+12
6.0000E+12 4.0000E+12
1.0000E+12
2.0000E+12
0
0
2
3 Q61R4
2
3 Q61R4
Bupati/walikota melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya (korupsi) 2= Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 29 Boxplot Variabel Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q61R4 dengan PMDN dan PMA adalah kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo,Tuban, Bojonegoro dan Kota Surabaya (Tabel 35). Pada enam kabupaten ini, pelaku usahanya berpendapat kepala daerahnya melakukan tindakan korupsi, namun ternyata realisasi investasi PMDN dan PMAnya masih tinggi. Namun ternyata ada beberapa variabel tata kelola lainnya yang baik antara lain konflik atas tanah jarang terjadi (Q35) dan biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
117
Tabel 35 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri (Q61R4) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Pasuruan kab. Malang kab. Gresik kab. Sidoarjo kab. Tuban kota Surabaya kab. Bojonegoro
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Sumber: Data Olahan
Hubungan antara dua variabel (Q61R3 dan Q61R4) ini terhadap realisasi PMA maupun PMDN sangatlah berkebalikan namun saling mendukung. Responden di kabupaten/kota yang tidak setuju bahwa kepala daerahnya telah bertindak tegas terhadap korupsi ternyata memiliki nilai realisasi investasi yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang menjawab setuju (Gambar 28). Sedangkan sejalan dengan gambar 28, Gambar 29 menunjukkan bahwa para pelaku usaha yang setuju bahwa bupati/walikotanya melakukan tindakan korupsi justru realisasi PMDN maupun PMAnya makin rendah. Hal ini menandakan bahwa sosok bupati/walikota di suatu kabupaten/kota belum menjadi sosok panutan dan sosok figur pemimpin yang kuat. Kenyataannya bupati/walikota yang korup justru membuat para investor yang memiliki kepentingan dalam beberapa proyek pengadaan gencar melakukan negosiasi dan pendekatan tertentu dengan harapan proyek tersebut mendapat persetujuan, dan pada akhirnya meningkatkan realisasi PMDN maupun PMA di kabupaten/kota tersebut. Namun di balik korelasi yang negatif tersebut, terdapat satu variabel yang berkorelasi positif, yaitu tingkat hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah (Q63). Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah memiliki hambatan yang kecil terhadap dunia usaha, semakin tinggi realisasi PMA di daerah tersebut (Gambar 30).
118
Boxplot of PMA VS Q63 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
Rs= 0.274 P value: 0.016
PMA
8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0
Seberapa besar kinerja perusahaan terhambat oleh hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pimpinan daerah? 2= Besar, 3= kecil
2
3 Q63
Sumber: Data Olahan
Gambar 30 Boxplot Variabel Hambatan Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Terhadap Dunia Usaha, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
5.2.6. Hubungan antara Keamanan dan Penyelesaian Sengketa dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Sub indikator keamanan dan penyelesaian konflik disusun atas empat variabel, yaitu tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83BR1), kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi (Q84R1-R3), kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi (Q86R1-R2), tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88). Variabel yang berskala interval adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha sehingga dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Variabel-variabel lainnya berskala ordinal sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 36 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usahadi Provinsi Jawa Timur Q83R1 LPMDN LPMA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Ket. **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
0.020927 0.857597 0.230795** 0.044872
119
Dari hasil uji korelasi Pearson ternyata tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83R1) tidak berhubungan secara signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupaten/kota di Jawa Timur, namun justru berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA. (Tabel 36). Hal ini mengindikasikan semakin tinggi realisasi investasi PMA di tempat usaha, diikuti oleh semakin tingginya tingkat kejadian pencurian di tempat usaha(Gambar 31). PMA biasanya didukung oleh permodalan
besar dan asset yang kuat, sehingga besar kemungkinan terjadi
tindakan pencurian/kriminalitas dalam perusahaan tersebut.
Scatterplot of LPMA vs Q83R1 40
LPMA
30
20
R p= 0.230 P value= 0.044
10
0 0
5
10
15 Q83R1
20
25
30
Sumber: Data Olahan
Gambar 31 Scatterplot Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usaha, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Variabel-variabel yang berhubungan signifikan namun negatif terhadap PMDN berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 36 adalah variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, yaitu polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1) dan solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan (Q84R2) serta pada praktiknya solusi yang diberikan polisi dalam menangahi kasus demonstrasi buruh janya menyebabkan dampak kehilangan kecil terhadap waktu produktif dan biaya operasional usaha (Q86 R2). Sedangkan untuk PMA, semua variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa berkorelasi baik positif maupun negatif dengan realisasi PMA (Tabel 37).
120
Tabel 37 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA2005-2010 dengan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Sengketadi Provinsi Jawa Timur Spear man's rho
PM DN
PMA
Correlation Coefficient Sig. (2tailed) Correlation Coefficient Sig. (2tailed)
Q84R1
Q84R2
Q84R3
Q86R1
Q86R2
-.249**
-.308**
-.160
-.070
-.258**
.151
.029
.006
.165
.545
.024
.190
-.306**
-.416**
-.328**
-.192*
-.393**
.260**
.007
.001
.003
.001
.023
.095
Q88
ket: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan
Dari boxplot yang ditunjukkan dalam Gambar 32 sampai Gambar 36 terlihat jelas bahwa pelaku usaha di kabupaten/kota yang tidak setuju bahwa polisinya bertindak tepat waktu, memberikan solusi yang menguntungkan dunia usaha justru memiliki nilai realisasi PMDN maupun PMAyang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang tidak setuju. Korelasi-korelasi negatif yang terdapat pada sub indikator ini tidak dapat langsung dijadikan justifikasi, melainkan hanyalah deskripsi awal fenomena saja. Pada dasarnya penurunan/peningkatan realisasi investasi PMDN maupun PMA tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tata kelola berupa keamanan saja tetapi juga oleh variabel tata kelola lainnya seperti akses lahan, perizinan dan infrastruktur.
121
Boxplot of PMDN VS Q84R1
Boxplot of PMA Q84R1 1.4000E+13
4.0000E+12
1.2000E+13 1.0000E+13
Rs=- 0.249 P value: 0.029
2.0000E+12
8.0000E+12 PMA
PMDN
3.0000E+12
1.0000E+12
Rs=- 0.306 P value: 0.007
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12
0
0 2
3 Q84R1
2
3 Q84R1
Polisi selalu tepat waktu menangani kriminalitas sehubungan dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 32 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Polisi Selalu Bertindak Tepat Waktu dalam Menangani Kasus Kriminal yang Berhubungan dengan Kegiatan Usaha, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 Sementara itu korelasi negatif juga ditemui pada korelasi antara variabel polisi tepat waktu dalam menangani kriminalitas (Q84R1) terhadap realisasi PMDN maupun PMA (Gambar 32). Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa polisi bertindak tepat waktu dalam menangani kriminalitas, semakin tinggi realisasi PMA maupun PMDN. Pencilan pada korelasi Q84R1 dengan PMDN dan PMA adalah kabupaten Malang, Probolinggo, Sidoarjo dan Kota Surabaya (Tabel 38).
Walaupun
demikian ,pada empat kabupaten ada beberapa variabel tata kelola lainnya yang baik antara lain penggusuran dan konflik atas tanah jarang terjadi (Q34,Q35) ,biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Di balik posisi empat kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masingmasing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
122
Tabel 38 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Kriminalitas (Q84R1) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Malang kab. Probolinggo
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Penggusuran jarang terjadi (Q34) b. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) c. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) d. Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) e. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) f. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
kab. Sidoarjo kota Surabaya
Sumber: data olahan
Korelasi negatif juga ditemui pada korelasi antara variabel solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi perusahaan(Q84R2) terhadap realisasi PMDN maupun PMA (Gambar 33). Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa
solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi
perusahaan, semakin tinggi realisasi PMA maupun PMDN.
Boxplot of PMDN VS Q84R2
Boxplot of PMA VS Q84R2
4.0000E+12
1.4000E+13 1.2000E+13
3.0000E+12
Rs=- 0.308 P value: 0.067
2.0000E+12
Rs=- 0.416 P value: 0.001
8.0000E+12 PMA
PMDN
1.0000E+13
6.0000E+12
1.0000E+12
4.0000E+12 2.0000E+12
0 2
3 Q84R2
Solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi perusahaan 2= Tidak setuju , 3= setuju
0 2
3 Q84R2
Sumber: Data Olahan
Gambar 33 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Menguntungkan Bagi Perusahaan, terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
123
Pencilan pada korelasi Q84R2 terhadap PMDN dan PMA adalah kabupaten Gresik, Jember, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Tuban, Batu, kota Pasuruan dan Surabaya. Di Kabupaten/kotapencilan ini akses lahan sangat baik (Q35-Q36), baik biaya perizinan,retribusi, IPPU maupun biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Tabel 39). Di balik posisi kabupaten-kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masingmasing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
Tabel 39 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Menguntungkan Bagi Perusahaan (Q84R2) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Gresik kab .Jember kab. Malang kab. Pasuruan kab. Probolinggo kab. Sidoarjo kab. Tuban
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) b.Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
kod. Batu kota Pasuruan Kota Surabaya Sumber: data olahan
Korelasi negatif berikutnya kita temui pada korelasi antara variabel solusi polisi dalam menangani dampak kriminalitas meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya (Q84R3) terhadap realisasi PMA (Gambar 34).Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya, semakin tinggi realisasi PMA.
124
Boxplot of PMA VS Q84R3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12
Rs=- 0.328 P value: 0.003
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0
Solusi polisi dalam menangani kriminalitas meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya 2= Tidak setuju , 3= setuju
2
3 Q84R3
Sumber: Data Olahan
Gambar 34 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi ini adalah kabupaten Gresik dan kabupaten Pasuruan.
(Tabel 40). Responden di kabupaten Gresik dan Pasuruan justru
meyakini bahwa kualitas tata kelola di sub indikator lainnya sangat baik, antara lain bahwa konflik atas tanah jarang terjadi (Q35),biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan perusahaan (Q41DR1) dan sangat kecil tingkat hambatan kapasitas infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q88). Demikian pula retribusi tidak menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1). Ternyata, di balik posisi empat kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
125
Tabel 40 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya (Q84R3) terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Q84R3 vs PMA
Pencilan (anomali)
Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)
kab. Gresik kab. Pasuruan
b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) f. kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q63) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Sumber: data olahan
Hubungan negatif antara tata kelola dengan PMA terlihat pada korelasi antara variabel polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani demonstrasi buruh (Q86R1) terhadap PMA (Gambar 35). Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa polisi selalu bertindak tepat waktu dalam memangani kasus demonstrasi buruh, realisasi PMA justru makin tinggi.
126
Boxplot of PMA VS Q86R1 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
Rs=- 0.192 P value: 0.095
PMA
8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 2
Polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani demonstrasi buruh 2= Tidak setuju , 3= setuju
3 Q86R1
Sumber: Data Olahan
Gambar 35 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Demonstrasi Buruh oleh Polisi: Polisi Bertindak Tepat Waktu Menangani Demonstrasi Buruh, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Pencilan pada korelasi ini adalah kabupaten Probolinggo dan Sidoarjo (Tabel 41). Untuk kedua kabupaten ini sendiri, kualitas tata kelola akses lahannya sangat baik, terlihat dari kemungkinan lokasi usaha digusur sangat kecil, penggusuran dan konflik tanah jarang (Q33-Q36)., biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q41dR1), serta biaya transaksi berupa pajak, retribusi dan donasi kepada Pemda tidak menghambat kinerja perusahaan (Q65CR1,Q65CR2, Q67CR1), serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q88). Ternyata, di balik posisi dua kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
127
Tabel 41 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Demonstrasi Buruh (Q86R1) terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Q86R1 vs PMA
Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik a. Kemungkinan lokasi usaha akan digusur sangat kab. Probolinggo kecil (Q33) kab. Sidoarjo b. Penggusuran jarang terjadi (Q34) c. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) d. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) e.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) f. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) g. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) h. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) i. Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR2) k. Donasi kepada Pemda tidak menghambat kinerja perusahaan (Q67Cr1) l. Pembayaran biaya informal pada polisi tidak menghambat kinerja perusahaan (Q70BR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Sumber: Data Olahan
Untuk variabel kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi berupa solusi polisi menangani demonstrasi buruh meminimalisir dampak kerugian usaha (Q86R2), juga berkorelasi negatif baik dengan PMDN maupun PMA (Gambar 36). Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa solusi polisi dalam memangani kasus demonstrasi buruh meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya, realisasi PMA dan PMDN justru makin tinggi.
128
Boxplot of PMDN VS Q86R2
Boxplot of PMA VS Q86R2
4.0000E+12
1.4000E+13
Rs= -0.258 P value: 0.024 3.0000E+12
1.0000E+13 8.0000E+12
2.0000E+12
PMA
PMDN
Rs= -0.393 P value: 0.001
1.2000E+13
6.0000E+12 4.0000E+12
1.0000E+12
2.0000E+12 0
0 2
3 Q86R2
2
3 Q86R2
Solusi polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 36 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Demonstrasi Buruh Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya Terhadap Usaha, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Pencilan pada korelasi Q86R2 dengan PMDN dan PMA adalah Kabupaten Gresik, Pasuruan, Probolinggo. Sidoarjo, Tuban dan kota Pasuruan (Tabel 44). Pada kabupaten-kabupaten ini, akses akan lahan dan ketersediaan lahan sangat baik, terlihat dari kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur, dan konflik atas tanah yang jarang (Q33 & Q35). Sementara itu, biaya perizinan tidaklah menjadi hambatan bagi pelaku bisnis (Q41DR1), biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan (Q65CR1, Q71) dan hambatan infrastruktur kecil terhadap kinerja perusahaan (Q81). Ternyata, di balik posisi kabupatenkabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.
129
Tabel 42 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Polisi dalam Menangani Demonstrasi Buruh Meminimalkan Dampak Kerugian Waktu dan Biaya (Q86R2) terhadap PMA dan PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali)
Kualitas Tata Kelola yang baik
kab. Gresik kab. Pasuruan
a. Kemungkinan lokasi usaha akan digusur sangat kecil (Q33) b. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) c. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) d. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) e. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)
kab. Probolinggo kab. Sidoarjo kab. Tuban kota Pasuruan
g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: Data Olahan
Salah satu latar belakang mengapa daerah yang aman justru realisasi investasinya rendah adalah sebagai berikut. Pada kenyataannya di lapangan, penyediaan barang publik berupa keamanan yang seharusnya dapat dinikmati seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali dan tanpa imbalan biaya apapun, ternyata seringkali disalahgunakan oleh pihak kepolisian dan juga pihak pengguna (user) dalam hal ini para pelaku usaha.
Barang publik berupa keamanan
seringkali diakuisisi oleh pihak swasta menjadi barang privat dengan imbalan tertentu. Di banyak kasus keamanan, polisi justru secara terang-terangan meminta fee tambahan atas setiap solusi permasalahan dunia usaha yang dipecahkan. Biaya keamanan informal inilah yang nantinya menjadi komponen biaya produksi, yang bila jumlahnya semakin besar seiring waktu, akan menyebabkan kemampuan pelaku usaha untuk berinvestsai semakin berkurang karena biaya produksi semakin tinggi Hal inilah yang menyebabkan biaya yang dikeluarkan perusahaan akan semakin bertambah . Dengan demikian sangat logis apabila semakin responden setuju bahwa polisi memberikan solusi terbaik dalam setiap permasalahan keamanan yang mereka hadapi, semakin rendah realisasi investasi di kabupaten/kota tersebut.
130
Dari sekian banyaknya variabel yang berkorelasi negatif, ternyata secara umum masalah keamanan dan penyelesaian sengketa ini kecil hambatannya terhadap realisasi PMA. Oleh karena itu, para pelaku usaha yang berpersepsi bahwa masalah keamanan ini kecil hambatannya, memiliki realisasi PMA yang lebih tinggi (Gambar 37). Boxplot of PMA VS Q88 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12
Rs= 0.260 P value: 0.023
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 3
4 Q88
Solusi polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 37 Boxplot Variabel Tingkat hambatan Keamanan dan Penyelesaian Sengketa terhadap Kinerja Perusahahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
5.2.7 Hubungan antara Biaya Transaksi dan Realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Variabel-variabel sebagai pembentuk indikator ini adalah tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1-R2), tingkat hambatan donasi terhadap pemda (Q67CR1), tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi (Q70BR1), tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (Q71) memiliki skala ordinal. Sementara variabel tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda (Q67A) memiliki skala interval.Dari hasil uji korelasi Pearson ternyata tingkat pembayaran donasi kepada Pemda
tidak
berhubungan secara signifikan terhadap realisasi investasi baik PMA maupun PMDN di kabupaten/kota di Jawa Timur. (Tabel 43).
131
Tabel 43 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Pembayaran Donasi terhadap Pemda di Provinsi Jawa Timur LPMDN
Q67A 0.183942
Pearson Correlation
LPMA
Sig. (2-tailed)
0.111701
Pearson Correlation
0.165604
Sig. (2-tailed)
0.152812
Sumber: data olahan
Variabel-variabel berskala ordinal yang dianalisis dengan uji korelasi Spearmanpun tidak ada yang berhubungan secara signifikan terhadap realisasi PMDN (Tabel 44). Dengan kata lain sub indikator biaya transaksi bukanlah menjadi hambatan utama bagi investor domestikuntuk menanamkan modalnya di kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dalam hasil survei , dimana lebih dari 90% pelaku usaha berpersepsi bahwa secara umum biaya transaksi sangat kecil pengaruhnya dalam menghambat kinerja perusahaan. Kondisi ini menunjukkan kesadaran para pelaku usaha yang tinggi dalam membayar pajak baik pajak pusat maupun daerah dan kesadaran yang tinggi pula dalam mematuhi berbagai peraturan terkait retribusi daerah.
Tabel 44 Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2007 serta PMDN 2008-2010 dengan Variabel -variabel Biaya Transaksi di Provinsi Jawa Timur Q65 CR1 Spear man's rho
PMDN
Correlation Coefficient
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
Q65 CR2
Q67CR1
Q70BR1 Q71
.
-0.1217
-0.0551
0.0435
0.1434
.
0.2949
0.6358
0.7088
0.2163
.
-0.0563
-0.0866
-0.0462
0.2655**
. 0.6290 Sig. (2-tailed) ket:**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
0.4564
0.6916
0.0204
Namun demikian ternyata ada satu variabel yang berkorelasi positif dengan PMA yaitu tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (Q71). Para pelaku usaha yang berpersepsi bahwa biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, memiliki realisasi PMA yang lebih tinggi (Gambar 38).
132
Boxplot of PMA VS Q71 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12
Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan 2= Besar, 3= kecil
0 3
4 Q71
Sumber: Data Olahan
Gambar 38 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Biaya Transaksi Terhadap Kinerja Perusahahaan, terhadap realisasi PMA 2005-2010.
5.2.8 Hubungan antara kebijakan Infrastruktur Daerah dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Indikator kebijakan infastruktur daerah terdiri atas lima variabel yaitu kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telepon (Q78A R1-R5), lama perbaikan lima jenis infrastruktur tersebut (Q78C R1-R5), pemakaian genset (Q79), lama pemadaman listrik (Q80) dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81). Variabel lama perbaikan infrastruktur (Q78CR1-5), persentase pemakaian genset (Q79) dan lama pemadaman listrik (Q80) memiliki skala interval dan dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 45 Korelasi Pearson antara PMDN serta PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur, Pemakaian Genset, Lama Pemadaman Listrik di Provinsi Jawa Timur Q78 CR1
Q78 CR2
Q78 CR3
Pearson -0.088 -0.015 -0.184 Correlation Sig. (20.449 0.895 0.110 tailed) Pearson -0.184 -0.072 -0.196* LPMA Correlation Sig. (20.111 0.533 0.088 tailed) ket:**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan LPMDN
Q78 CR4
Q78 CR5
Q79
Q80
-0.100
0.139
-0.124
-0.225**
0.389
0.229
0.283
0.049
0.089
0.054
0.101
0.441
0.642
0.382
-0.036 0.753
133
Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa variabel lama pemadaman listrik (Q80) berhubungan negatif secara signifikan dengan realisasi investasi PMDN. (Tabel 45). Ketersediaan infrastruktur listrik merupakan hal yang sangat vital dalam melangsungkan kegiatan perusahaan. Tanpa listrik bisa dikatakan kegiatan operasional perusahaan akan lumpuh karena hampir semua peralatan yang digunakan dalam operasi perusahaan menggunakan tenaga listrik. Oleh karena itu padamnya listrik walau hanya satu jam saja pasti akan menurunkan output perusahaan. Suatu daerah yang sering terjadi pemadaman listrik, apalagi dengan durasi yang cukup lama, akan menyebabkan penanam modal kurang tertarik untuk berinvestasi atau melakukan kegiatan usaha di daerah tersebut. Deskripsi lebih detail dapat kita lihat pada scatterplot (Gambar 39).
Scatterplot of LPMDN vs Q80 30 25
Rp= -0.255 P value: 0.049
LPMDN
20 15 10 5 0 0.0
0.5
1.0
1.5 Q80
2.0
2.5
3.0
Sumber: Data Olahan
Gambar 39 Scatterplot Variabel Lama Pemadaman Listrik, terhadap LPMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Hubungan yang negatif dan signifikan juga ditemui pada korelasi antara lama perbaikan infrastruktur air PDAM (Q78cR3) dengan realisasi PMA (Gambar 40). Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur air bersih dari PDAM, semakin rendah realisasi PMA di kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini sangat logis, mengingat PMA di Jawa Timur sebagian besar bergerak di industri makanan dan minuman yang sangat membutuhkan pasokan air bersih sebagai bahan penunjang proses produksinya.
134
Scatterplot of LPMA vs Q78CR3 30 25
LPMA
20
Rp= -0.196 P value: 0.088
15 10 5 0 0
10
20 Q78CR3
30
40
Sumber: Data Olahan
Gambar 40 Scatterplot Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur Air PDAM, terhadap LPMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel ordinal lainnya penyusun indikator ini dianalisis dengan uji korelasi Spearman (Tabel 46). Satu-satunya variabel yang berhubungan positif secara signifikan dengan realisasi PMDN adalah variabel kualitas infrastruktur jalan (Q78AR1). Makin baik kualitas infrastruktur jalan di kabupaten/kota tertentu, semakin menarik minat investor untuk menanamkan modal dan berdampak pada realisasi PMDN yang semakin tinggi (Gambar 41). Hal ini sejalan dengan teori, dimana infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya-biaya perusahaan seperti biaya transportasi, biaya pemeliharaan kendaraan operasional dan biaya operasional perusahaan lainnya.
Tabel 46 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA 2005- 2010 dengan Variabel Kualitas Infrastruktur (Q78AR1-AR5), Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja Perusahaan (Q81) di Provinsi Jawa Timur Q78 AR1 Spear man's rho
PMDN
Correlation Coefficient
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
Q78 AR2
Q78 AR3
Q78 AR4
Q78 AR5
Q81
0.249**
0.168
0.088
.
.
0.166
0.029
0.145
0.447
.
.
0.1718
0.203
0.060
.
.
0.078
0.602
.
.
0.150 0.216* * 0.060
Sig. (2-tailed) 0.137 ket: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
135
Untuk kasus Jawa Timur dengan diperbaikinya kualitas infrastruktur jalan, antara lain dengan dibangunnya Tol Surabaya- Gempol dan jembatan Suramadu yang diresmikan tahun 2009 dimaksudkan untuk dapat mendukung seluruh aktivitas dalam perekonomian. Dibangunnya infrastruktur penting ini ternyata berdampak positif terhadap mobilitas barang dan jasa serta mengurangi transportasi biaya tinggi yang menjadi hambatan pelaku usaha untuk berinvestasi.
Boxplot of PMDN vs Q78AR1 4.0000E+12
PMDN
3.0000E+12
2.0000E+12
Rs= 0.249 P value: 0.029
1.0000E+12
0 2
3 Q78A R1
Bagaimana kondisi infrastruktur jalan? 2= Buruk , 3= baik
Sumber: data olahan
Gambar 41 Boxplot Variabel Kualitas Infrastruktur Jalan terhadap PMDN 20052010di Provinsi Jawa Timur Sementara itu untuk PMA, semakin banyak pelaku usaha yang berpersepsi bahwa hal-hal yang berkaitan dengan infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMA semakin tinggi (Gambar 42). Dengan kata lain, secara umum makin baik kualitas infrastruktur di suatu daerah, makin tidak menjadi hambatan bagi perusahaan sehingga makin tinggi realisasi PMA di daerah tersebut.
136
Boxplot of PMA VS Q81 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13
PMA
8.0000E+12
Rs= 0.216 P value: 0.060
6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 2
Seberapa besar hal-hal yang berkaitan dengan infrastruktur menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar, 3= kecil
3 Q81
Sumber: data olahan
Gambar 42 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja Perusahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
5.2.9. Hubungan Sub_Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Tata Kelola Ekonomi Daerah baik untuk kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Timur telah disusun indeksnya dalam survei KPPOD pada tahun 2007 dan 2010. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah (TKED). Perumusan indeks ini dilakukan melalui beberapa tahap, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat subindeks, yaitu indikator akses lahan (AL), izin usaha (IU), interaksi pemda dengan pelaku usaha (IPPU), program pengembangan usaha swasta (PPUS), kapasitas dan integritas pemimpin daerah (KIP), Biaya Transaksi (BT), infrastruktur daerah (INF), keamanan dan penyelesaian konflik (KPK) dan peraturan daeah (PERDA). Untuk mengetahui hubungan subindeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pendapatan per kapita di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur dilakukan uji korelasi Pearson.
137
Tabel 47 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010dengan Indikator TKED dan Indeks TKED di Provinsi Jawa Timur LPMD N AL
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
IU
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
IPPU
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PPUS
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
KIB W
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
LPMA
-0.074
-0.022
0.521
0.846
76
76
-0.077
-0.248**
0.506
0.030
76
76
-0.127
-0.226**
0.271
0.048
76
76
-0.057
-0.150
0.622
0.193
76
76
-0.157
-0.127
0.173
0.271
76 76 N ket: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan
Sub-Sub
LPMD N KPS
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
BT
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
INF
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PERD A
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
TKED
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
LPMA
-0.033
-0.177
0.775
0.124
76
76
-0.007
-0.220**
0.950
0.055
76
76
-0.066
0.085
0.566
0.464
76
76
-0.020
0.142
0.858
0.220
76
76
-0.000
0.048
0.996
0.678
76
76
Hasil uji korelasi pada Tabel 47 menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan realisasi PMDN di kota dan kabupaten Propinsi Jawa Timur. Lebih jauh lagi, dari sembilan indikator, ternyata tidak ada satupun indikator yang berhubungan secara signifikan. Scatterplot pada Gambar 43 pun menunjukkan garis regresi indeks TKED dan sembilan indikator terhadap realisasi investasi PMDN tersebut memiliki slope yang cenderung landai dan kemiringan yang negatif. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berjumlah lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Padahal pertanyaan yang menjadi variabel penyusun sub indikator memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing variabel. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap realisasi PMDN sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat.
138
Scatterplot of LPMDN vs SUB INDEKS DAN INDEKS TKED AL
30
IU
IP P U
PPUS
15
0 50
75
100 50
65
80
40
KP S
60
80
20
BT
45
70
IN F
30
LPMDN
KIBW
15
0 30
60
90
50
P E RD A
30
75
100 60
75
90
60
75
90
TKE D
15
0 0
50
100
60
70
80
Sumber: data olahan
Gambar 43 Scatterplot Korelasi Pearson antara PMDN dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur
Pengujian dengan korelasi Pearson untuk hubungan antara indeks TKED dan realisasi PMA menunjukkan bahwa hanya ada beberapa indeks TKED yang memiliki hubungan yang signifikan dengan realisasi PMA di kota dan kabupaten Propinsi Jawa Timur yaitu Izin Usaha, IPPU dan Biaya Transaksi (Tabel 47). Lebih jauh lagi, ternyata hubungan/korelasinya bersifat negatif dimana sub indeks yang telah dinormalisasi seharusnya berhubungan positif dengan realisasi investasi PMA. Deskripsi korelasi yang negatif secara signifikan ini dapat dilihat pada Gambar 44. Slope garis regresi untuk sub indikator seperti izin Usaha (IU), IPPU maupun BT cenderung negatif sehingga tidak sejalan dengan hipotesis yaitu tata kelola yang baik menstimulasi realisasi investasi PMA yang tinggi di kabupaten/kota di Jawa Timur. Sedangkan untuk yang garis regresinya positif seperti pada sub indeks infrastruktur (INF) dan kualitas Perda (PERDA), korelasinya tidak signifikan.
139
Scatterplot of LPMA vs AL, IU, IPPU, PPUS, KIBW, BT, INF, PERDA, TKED AL
IU
IP P U
30
15
0 50
75
100
50
PPUS
65
80
40
KIBW
60
80
BT
LPMA
30
15
0 20
45
70
30
IN F
60
90
60
P ERDA
75
90
TKED
30
15
0 60
75
90
0
50
100
60
70
80
Sumber: data olahan
Gambar 44 Scatterplot Korelasi Pearson antara PMA dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur 5.3. Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Investasi di Provinsi Jawa Timur
Daerah terhadap Realisasi
Analisis pengaruh variabel tata kelola pemerintahan daerah, realisasi PMA, realisasi belanja modal ,pertumbuhan ekonomiterhadap realisasi PMDN serta pengaruh variabel tata kelola pemerintahan daerah, realisasi PMDN, realisasi belanja modal, pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi PMA di Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Timur dilakukan dengan regresi data panel. Sebelum analisis lebih lanjut perlu dilakukan uji statistik dan uji asumsi klasik agar model terpilih memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). 5.3.1. Uji Asumsi Klasik 5.3.1.1. Uji Normalitas Kedua model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari sebaran standardized residual yang berada pada kisaran 2 sampai -2 (Lampiran 25 dan 33).
140
5.3.1.2. Uji Heteroskedastisitas Hipotesis nol yang diuji dalam uji heteroskedastisitas ini adalah tidak terdapat masalah heteroskedastisitas di dalam kedua model. Sedangkan hipotesis satunya adalah model mengandung masalah heteroskedastisitas. dilakukan pengujian, ternyata
Setelah
kedua model ini pun terbebas dari masalah
heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji histogram normality (Lampiran 26 dan 34) memiliki nilai p-value lebih besar dari taraf nyata 10 persen, yang berarti belum cukup bukti untuk menolak hipotesis nol. 5.3.1.3. Uji Multikolinearitas Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan melihat korelasi antar variabel bebas di dalam model. Dari hasil uji korelasi Pearson (Lampiran 27 dan 35) ternyata tidak ada satupun variabel bebas yang berkorelasi secara kuat (lebih dari 70%). Dengan demikian dapat dipastikan variabel bebas yang satu dengan yang lainnya tidak berhubungan linear. 5.3.1.4. Uji Autokorelasi Adanya korelasi antar sisaan dapat terdeteksi dari nilai Durbin Watson (DW) Statisticnya. Model PMDN (Lampiran 31) terbebas dari masalah autokorelasi, karena nilai DWnya terletak antara du sampai dengan 4-du. Untuk model kedua (model PMDN), nilai DW statisticnya terletak pada daerah tanpa keputusan, namun setelah dilakukan run test, ternyata terbebas dari masalah autokorelasi.
5.3.2. Uji Statistik 5.3.2.1. Koefisien Determinasi(R2) Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness of fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Dari hasil estimasi Eviews, nilai R Square hasil regresi data panel PMDN adalah 0,33 (Tabel 48). Hal ini berarti 33 persen keragaman realisasi PMDN kabupaten/kota diProvinsi Jawa Timur dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan
141
sisanya yaitu 67 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain di luar model. Sementara itu dari hasil estimasi Eviews, nilai R Square hasil regresi data panel PMA adalah 0,37 (Tabel 49). Hal ini berarti 37 persen keragaman realisasi PMA kabupaten/kota diProvinsi Jawa Timur dapat dijelaskan oleh ketujuh variabel independen di atas, sedangkan sisanya sebesar 63% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.
5.3.2.2. Uji Parameter Signifikansi Individu (Uji T) Hasil uji t menunjukkan bahwa semua variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN (Tabel 48). Tingkat signifikansi variabel bebas diperoleh baik dengan membandingkan t-statistic masing-masing variabelnya dengan t-tabel maupun dengan melihat p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 persen. Artinya, variabel bebas secara individual dan signifikan mempengaruhi PMDN . Sementara itu hasil uji t pada model PMA menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA (Tabel 49), kecuali variabel pertumbuhan ekonomi (GROWTH) dan variabel dummy kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi (DQ86R2).
5.3.2.3 Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F) Uji pengaruh simultan digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebas. Nilai p-value uji F pada model PMDN dan model PMA berada di bawah 10 persen. Ini berarti bahwa semua variabel bebas, baik di dalam model PMA dan PMDN secara bersamasama signifikan dalam menjelaskan realisasi PMDN di Provinsi Jawa Timur.
kabupaten/kota di
142
5.3.3. Hasil Estimasi Model Setelah melakukan berbagai macam eksplorasi, diperoleh hasil estimasi regresi data panel terbaik dengan mentransformasi semua variabel ke dalam bentuk logaritma natural sebagai berikut. LPMDN = 0.289785 LPMA + 9.280199 LPUB + 0.225173 GROWTHT + 0.073570 Q38AR1 + 6.207752DQ58R3 - 256.5877 + ε it
Tabel 48 Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta (PMDN) di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Random Effects Model Variable LPMA LPUB GROWTH DPROMO (DQ58R3) PTDP (Q38AR1) C
Coefficient 0.289785** 9.280199** 0.225173** 6.207752** 0.073570* -256.5877**
t-Statistic 2.772777 2.835644 2.409394 2.100933 1.884040 -2.912160
Prob. 0.0071 0.0060 0.0186 0.0392 0.0637 0.0048
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic)
0.338878 0.291656 0.000018
Sum squared resid
5141.073
ket: **, * berturut-turut menunjukkan variabel signifikan pada tingkat 5% dan 10%
Sumber: data olahan Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel dalam model PMDN tersebut (Tabel 48) menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase kepemilikan TDP (PTDP) dan
variabel dummy program pengembangan usaha swasta berupa
promosi produk lokal kepada investor potensial (DPROMO). Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, ternyata variabel PMA, belanja modal pemerintah (PUB) dan pertumbuhan ekonomi (GROWTH) berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujianpengujian terutama pengujian asumsi klasik.
143
Analisis pengaruh variabel Tata Kelola Pemerintahan Daerah, realisasi PMDN, realisasi belanja Modal dan pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi PMA Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Timur dilakukan dengan regresi data panel. Setelah melakukan berbagai macam eksplorasi, diperoleh hasil estimasi regresi data panel terbaik dengan mentransformasi semua variabel ke dalam bentuk logaritma natural sebagai berikut LPMA = 7.414464 LPUB + 0.344604 LPMDN - 0.041005 GROWTHT + 7.324712 DQ78AR1 + 7.508335 DQ67CR1 + 5.795913 DQ61R1 + 4.548432 DQ86R2 - 209.000246973 + ε it Tabel 49 Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta (PMA) di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Pooled Least Square Variable LPUB LPMDN GROWTH DJALAN (DQ78AR1) DDONASI (DQ67CR1) DKEPDA(DQ61R1) DDEMO (DQ86R2) C R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) ket:
Coefficient 7.414464** 0.344604** -0.041005 7.324712* 7.508335** 5.795913** 4.548432 -209.0002**
t-Statistic 2.273753 3.020164 -0.374222 1.784018 2.354137 2.001244 0.951188 -2.368681
0.370037 0.305188 Sum squared resid 0.000033
Prob. 0.0261 0.0036 0.7094 0.0789 0.0215 0.0494 0.3449 0.0207 8054.284
**, * berturut-turut menunjukkan variabel signifikan pada tingkat 5% dan 10%
Sumber: data olahan
Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel dalam model PMA tersebut (Tabel 49)menunjukkan bahwa ada tiga variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu dummy kualitas infrastruktur jalan (DJALAN), dummy tingkat hambatan donasi terhadap Pemda (DDONASI), dan dummy pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (DKEPDA). Ketiganya memiliki p-value di bawah 10 persen. Sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, ternyata variabel PMDN, belanja modal pemerintah (PUB) berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA.
144
5.4.3. Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur. 5.4.3.1 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMDN di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil estimasi model, terlihat bahwa semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel bebas itu adalah PMA, belanja modal, pertumbuhan ekonomi, persentase perusahaan yang memiliki TDP, dan dummy program pengembangan usaha swasta (PPUS) berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Hal ini dapat kita lihat dari p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 %. Variabel PMA berpengaruh positif terhadap PMDN dengan nilai koefisien 0.289785. Hal ini berarti bahwa peningkatan realisasi PMA sebesar 1% akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.289785%, cateris paribus. Dengan kata lain, keberadaan PMA di kabupaten/kota di Jawa Timur justru bukan menjadi substitusi PMDN melainkan saling melengkapi (bersifat komplementer) dengan PMA. Aliran PMA ini secara relatif masih banyak manfaatnya dalam bentuk penciptaan kesempatan kerja,penyerapan teknologi,manajemen, pengetahuan dan pengalaman asalkan tidak terlalu banyak campur tangan asing dalam pengelolaan problem domestik dari kabupaten/kota tempat modal itu ditanamkan (Damanhuri, 2010). Keberadaan PMA yang justru menstimulasi realisasi PMDN ini sejalan dengan penelitian di Korea Selatan oleh Kim dan Seo (2003), bahwa PMA mampu menstimulasi dan mendorong
berkembangnya PMDN. Ini terbukti
dengan munculnya Korea Selatan menjadi salah satu raksasa baru Asia dalam hal pertumbuhan ekonomi akibat banyaknya PMA yang berinvestasi di era 90-an. PMA dan PMDN di dalamnya tidak saling mensubstitusi karena PMA yang masuk tidak bersifat resource seeking yang akan menyebabkan perebutan sumber daya, tapi sudah bersifat market seeking, sehingga tujuan utamanya hanyalah memperluas marketnya saja dengan lebih mendekatkan diri kepada pangsa pasarnya.
145
Variabel berikutnya yaitu belanja modal ternyata berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN dengan nilai koefisien 9.280199. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 9.280199%, cateris paribus. Seperti halnya pengaruh PMA terhadap PMDN, belanja modal pemerintahpun bersifat komplementer terhadap realisasi PMDN. Sejalan dengan penelitian Atukeren (2005), keberadaan investasi pemerintah dapat menjadi komplementer saat investasi pemerintah sangat mendukung pengembangan investasi swasta. Contoh nyatanya adalah investasi pemerintah dalam bidang infrastruktur, sangat mendorong produktivitas sektor swasta karena mengurangi biaya tambahan akibat transportasi yang buruk. Sedangkan investasi dalam pendidikan dan kesehatan, akan meningkatkan kualitas human capital dari para pelaku usaha, sehingga realisasi investasi swasta dalam jangka panjang akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap investasi dalam bentuk causal relationship. Investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomipun mempengaruhi realisasi investasi. Dalam model PMDN ini, pertumbuhan ekonomilah yang mempengaruhi realisasi investasi secara signifikan positif. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1%, akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 0.022%, cateris paribus. Easterly dan Levine (2001)
juga berargumen bahwa hubungan positif antara investasi dan
pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dari hubungan timbal balik yaitu kecenderungan pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan akumulasi kapital. Beranjak lebih jauh ke dalam variabel tata kelola pemerintahan, variabel persentase kepemilikan TDP
secara signifikan berpengaruh positif terhadap
realisasi PMDN dengan nilai koefisien 0.073570. Nilai ini dapat diinterpretasikan setiap kenaikan 1% dalam persentase pelaku usaha yang memiliki TDP akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.073570%, cateris paribus. Dalam berinvestasi baik yang modalnya berasal dari dalam negeri atapun asing, kepemilikan TDP merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa adanya izin ini, seluruh kegiatan usaha tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian secara linear dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin meningkatnya persentase
146
perusahaan yang memiliki TDP, semakin tinggi realisasi investasi di kabupaten/kota tersebut. Variabel tata kelola pemerintahan yang juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi PMDN adalah dummy PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Dummy yang digunakan adalah persepsi bahwa pemerintah mengadakan PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Koefisien variabel dummy ini adalah sebesar 6.207752, yang berarti rata-rata perbedaan realisasi PMDN antara kabupaten/kota dimana Pemdanya melaksanakan PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial dan yang tidak melaksanakan PPUS ini adalah sebesar 6.207752%, cateris paribus. Promosi produk lokal ini adalah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terutama investor potensial akan keberadaan produk lokal yang menjadi unggulan. Dengan dipromosikannya produk lokal unggulan diharapkan akan menimbulkan ketertarikan investor baru untuk berinvestasi di daerah tersebut, tentunya dengan didukung oleh tata kelola pemerintah daerah yang juga berkualitas baik. Untuk realisasi PMDN, hal yang mendasari mengapa hanya variabel tata kelola berupa persentase perusahaan yang memiliki TDP dan dummy PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensiallah yang berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN adalah karakteristik PMDNnya sendiri. PMDN di Jawa Timur dominan bergerak dalam sektor industri makanan serta industri mineral non logam. Industri makanan yang sangat tidak terbatas dalam bentuk dan kreativitasnya contohnya, sangat membutuhkan promosi yang ditujukan investor potensial. Industri makanan yang besar juga sangat membutuhkan TDP agar dalam proses pengurusan izin untuk dapat pendapatkan fasilitas PMDN tidak melewati kendala. Demikian pula industri mineral, sangatlah perlu dipromosikan kepada para investor potensial supaya mereka menyadari potensi sumber daya alam berupa mineral yang belum sempat tereksplorasi karena kekurangan permodalan.
147
5.4.3.2 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMA di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil estimasi model, terlihat bahwa hanya ada 5 variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel bebas itu adalah PMDN, belanja modal,dummy kualitas infrastruktur jalan (DQ78AR1), dummy tingkat hambatan donasi terhadap Pemda (DQ67CR1), dan dummy pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (DQ61R1. Hal ini dapat kita lihat dari p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 %. Variabel PMDN berpengaruh positif terhadap PMA dengan nilai koefisien 0,344604. Hal ini berarti bahwa peningkatan realisasi PMDN sebesar 1% akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.344604 %, cateris paribus. Dengan kata lain, keberadaan PMDN di kabupaten/kota di Jawa Timur justru bukan menjadi substitusi PMA melainkan saling melengkapi (bersifat komplementer) dengan PMDN. Variabel berikutnya yaitu belanja modal ternyata berpengaruh positif terhadap realisasi PMA dengan nilai koefisien 7.414464. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 7.414464 %, cateris paribus. Seperti halnya pengaruh PMDN terhadap PMA, belanja modal pemerintahpun bersifat komplementer terhadap realisasi PMA. Investasi yang dilakukan pemerintah banyak yang bekerjasama dengan investor asing, sehingga keberadaannya saling melengkapi dan bukannya saling mensubstitusi. Dummy tata kelola yang berpengaruh positif terhadap realisasi investasi adalah dummy kualitas infrastruktur jalan (DQ78AR1). Infrastruktur sebagai penopang utama kegiatan produksi dan distribusi merupakan hal yang sangat vital dan sangat mempengaruhi keputusan investor pada saat ingin menanamkan modalnya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik di Jawa Timur antara lain jalan tol Surabaya-Gempol dan jembatan Suramadu, sangat menarik bagi aliran modal untuk masuk ke wilayah ini. Rata-rata perbedaan realisasi PMA antara kabupaten/kota yang memiliki infrastruktur jalan yang baik dengan yang tidak adalah sekitar 7.32%, cateris paribus.
148
Selain infrastruktur jalan, investor PMA juga sangat menaruh perhatian pada unsur biaya transaksi (DQ67CR1). Semakin biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, semakin tinggi realisasi PMA di kabupaten/kota tersebut. Rata-rata perbedaan realisasi PMA antara kabupaten/kota yang hambatan biaya transaksinya kecil dan besar terhadap kinerja perusahaan adalah sekitar 7.50%, cateris paribus. Variabel tata kelola yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (DQ61R1). Semakin kepala daerah memiliki pemahaman yang baik tentang dunia bisnis, semakin tinggi realisasi PMA di kabupaten/kota tersebut. Rata-rata perbedaaan realisasi PMA antara kabupaten/kota yang kepala daerahnya paham akan permasalahan dunia usaha dengan yang tidak adalah sekitar 5.79%, cateris paribus. Untuk realisasi PMA, hal yang mendasari mengapa hanya variabel tata kelola berupa kualitas infrastruktur jalan, pemahaman kepala daerah terhadap permasalahan dunia usaha, dan tingkat hambatan donasi Pemda yang berpengaruh positif terhadap realisasi PMA adalah karakteristik PMAnya sendiri. PMA di Jawa Timur banyak bergerak di sektor Listrik, Gas dan Air serta industri kimia dasar dan terpusat di Jawa Timur bagian tengah yang dikenal dengan nama SUGRESID (Surabaya, Gresik, Sidoarjo). Sektor Listrik Gas dan Air
serta
industri kimia dasar dan barang farmasi sangat tergantung pada kualitas infrastruktur jalan untuk dapat mendukung distribusi produknya. Daerah SUGRESID dapat mengakomodir kebutuhan ini, karena infrastruktur jalannya relatif baik. Demikian pula industri kimia dasar dengan modal awal yang tinggi akan dapat berkembang pesat jika tingkat hambatan donasi kepada Pemda kecil dan kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap permasalahan di dunia usaha.
149
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan keterkaitan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan realisasi investasi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Jawa Timur periode 2005-2010 semakin membaik untuk tata kelola berupa durasi pengurusan status tanah, kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur,persentase perusahaan yang memiliki TDP, biaya perizinan tidak memberatkan usaha, tingkat efisiensi
pelayanan izin usaha, izin usaha yang kecil hambatannya
terhadap kinerja perusahaan, kepastian hukun dari kebijakan Pemda, tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS, promosi produk lokal kepada investor potensial, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM yang bermanfaat bagi dunia usaha, persepsi biaya transaksi tidak menghambat kinerja perusahaan, kualitas infrastruktur lampu jalan, persentase perusahaan yang menggunakan genset dan lama pemadaman listrik . Sementara itu persepsi pelaku usaha makin memburuk untuk kebijakan Pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi, IPPU yang tidak menghambat kinerja perusahaan, tingkat pembayaran donasi kepada Pemda dan persepsi bahwa kepala daerahnya bertindak tegas terhadap korupsi yang dilakukan jajarannya. 2. Analisis tentang hubungan tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN dapat dijabarkan sebagai berikut:
Variabel-variabel yang berhubungan positif terhadap PMDN maupun PMA antara lain tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda, interaksi Pemda yang kecil hambatannya terhadap pelaku usaha, pelayanan izin usaha yang bebas pungli,Izin usaha yang kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan, kapasitas integritas bupati/walikota yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, biaya transaksi yang kecil
hambatannya terhadap dunia usaha, kualitas
150
infrastruktur jalan dan
infrastruktur yang kecil hambatannya
terhadap dunia usaha.
Variabel tata kelola yang berhubungan negatif terhadap PMA maupun PMDN antara lain: penggusuran lahan oleh Pemda, tingkat pemecahan masalah oleh Pemda, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha, tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha, tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah, tingkat kebijakan Pemda yang mendorong iklim investasi,pelayanan izin usaha belum bebas KKN, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, tindakan kepala daerah yang menguntungkan dirinya sendiri, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi,kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi.Dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten bisa saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor.
Tidak ada satupun sub indeks dan indeks TKED berhubungan signifikan dengan realisasi PMDN, dan ada beberapa sub indeks yang berhubungan signifikan negative dengan PMA. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berjumlah lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks, sehingga tidak terdeteksi dengan jelas variabelvariabel penyusun manakah dari sub indeks tersebut yang secara signifikan berhubungan dengan realisasi PMDN.
151
3. Untuk menganalisis pengaruh tata kelola terhadap PMDN, dibentuk suatu model yang menggambarkan keterkaitan PMA, PMDN, belanja modal, pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pemerintahan. Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase kepemilikan TDP dan program pengembangan usaha swasta berupa promosi produk lokal kepada investor potensial . Sementara itu PMA, belanja modal pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN. Sedangkan untuk menganalisis pengaruh tata kelola terhadap PMA, dibentuk pula suatu model yang identik dengan model PMDN, yang menggambarkan keterkaitan PMA, PMDN, belanja modal, pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pemerintahan. Hasil estimasi dengan regresi data panel menunjukkan variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh positif signifikan terhadap realisasi PMA adalah kualitas infrastruktur jalan,tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan, dan tingkat pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha. Sementara itu PMDN dan belanja modal berpengaruh positif signifikan pula terhadap realisasi PMA.
6.2. Saran 1. Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, biaya transaksi yang semakin tinggi di Jawa Timur perlu diminimalisir.
Walaupun
persepsi pelaku usaha di Jawa Timur tidak menganggap biaya transaksi tersebut sebagai hal yang memberatkan, namun persepsi itu akan sampai pada suatu titik jenuh di mana mereka akan merasa biaya tersebut sangat menghambat kinerja perusahaan. 2. Sehubungan dengan tata kelola pemerintahan dari segi kapasitas dan integritas bupati/walikota, penyelenggaraan Pilkada perlu ditinjau ulang. Hal ini dimaksudkan agar high cost of politics yang merupakan konsekuensi pemilukada tidak menyebabkan kepala daerah melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri.
152
Halaman ini sengaja dikosongkan
153
DAFTAR PUSTAKA
Abdini C , Adyawarman. 2010. Analisis kebijakan Ketahanan Ekonomi Indonesia http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id= 5840&Itemid=29 [7 Maret 2012] Agosin R, Machado R. 2005. Foreign Investment in Developing Countries: Does it Crowd in Domestic Investment? Oxford Development Studies, 33(2): 149-162. Alam Q, Mian. 2005. The Impact of Poor Governance To Foreign Direct Investment : The Bangladesh Experience. Working Paper. China National School of Administration. Aschauer DA. 1989. Does Public Capital Crowd Out Private Capital? Journal of Monetary Economics: 171-188 Atukeren E. 2005. Interactions Between Public and Private investment: Evidence From Developing Countries. Kyklos ,58(3):307-330. Aysan A, Varoudakis M. 2007. How Do Political and Governance Institutions Affect Private Investment Decisions? An Application to the Middle East and North Africa. Working Paper. Turkey. Bahl RW. 1998. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Relations in Transition Economics: Towards A Systematic Framework of Analysis. The World Bank. Washington D.C. Baltagi B.2005.Econometric Analysis of Panel Data: third Edition. John Wiley and Sons.Ltd. England. Blair H. 1998. Spreading Power to the Periphery: An Assessment of Democratic Loval Governance. USAID Program and Operations Assessment Report No.21: Washington D.C. Blanchard O. 2006. Singapore.
Macroeconomics. Pearson Education
International.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Timur Dalam Angka 2009. Surabaya: BPS. Coutinho R, Gallo G. 1996. Do Public and Private Investment Stand In Each Other’s Way? Journal of Economic Literature: 1-34. Damanhuri DS. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
154
De P. 2010. Governance, Institutions and Regional Infrastructure in Asia. ADBI Working Paper Series no. 183. Dornbusch R, Fischer S. 1984. Macroeconomics,3rd Edition. Toronto: Mc GrawHill Inc. Duncan A. 1999. An Introduction of Panel Data Analysis. School of Economics Dwijowijoto RN. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Elex Media Komputindo. Jakarta. Easterly W, Levine R. 2001. It’s not factor accumulation: Stylized Facts and Growth Models. World Bank Economic Review,15(2): 177-219. Firdaus M. 2010. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Gani A. 2007. Governance and Foreign Direct Investment Links: Evidence From Panel Data Estimations. Applied Economic Letters 14:753-756 Ghazali A. 2010. Analyzing the Relationship Between Foreign Direct Investment, Domestic Investment and Economic Growth. International Research Journal of Finance and Economics 47: 123-131. Haryanto J. 2005. Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi pemerintah di Kabupaten Musi Banyuasin.Kajian Ekonomi,4 (1):46-80 Januar A. 2009. Keterkaitan antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Juanda B. 2007.Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan.Bogor: IPB Press. Juanda B. 2007.Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis.Bogor: IPB Press. Karras G. 1994. Government Spending dan Private Consumption: Some International Evidence. Journal of Money,Credit and Banking.9-22 Kim D , Seo J. 2003. Does FDI inflow crowd out domestic investment in Korea? Journal of Economic Studies. 30(6). 605-622. [KPPOD] Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2007. Tata Kelola Ekonomi Derah 2007. Jakarta: KPPOD. [KPPOD] Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2011. Tata Kelola Ekonomi Derah 2011. Jakarta: KPPOD. Luebke C.2009. The Political Economy of Local Governance: Findings from Indonesian Field Study. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 45 (2): 201-230.
155
Machmud S. 2002. Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Kajian Ekonomi, 1(1) : 40-57 Mac Kinnon D , Phelps NA. 2001. Regional Governance and Foreign Direct Investment: the Dynamics of Institutional Change in Wales and north East England. Geoforum 32: 255-269. McCulloch N, Malesky E. 2010.Apakah Tata Kelola pemerintahan Daerah yang Lebih Baik Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia? Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah: 1-81. Misun J , Tomsik V. 2002. Does foreign direct investment crowd in or crowd out domestic investment? Eastern European Economics, 40 (2). 38-56. Monadjemi M, Huh H. 1998. Private and Government Investment: A Study of Three OECD Countries. International Economic Journal, 12 (3) : 93-105. Morissey O, Udomkerdmongkol M. 2010. Governance, Private Investment and Foreign Direct Investment in Developing Countries.World Development, 40 (3) :437-445. Moudatsou A, Kyrkilis D. 2009. FDI and Economic Growth: Granger Causality Tests in Panel Data Model-Comparative results in the case of European Union countries EU (European Union countries) and ASEAN Association of South East Asian Nations. EEFS2008-Conference: 1-16. Mukherjee A, Wang L, Tsai,Y. 2012. Governance and Foreign Direct Investment: Is There A Two-Way Relationship?Trade and Development Review 5(1): 37-51. Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory, Basic Principles and Extensions 5th Edition. Orlando-Florida: The Dryden Press Harcourt Brace College Publisher. Nugroho SBM. 2008. Evaluasi Terhadap Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Investasi di Indonesia dan Implikasi Kebijakannya. Riptek, 2(1):18-21. Pambudhi PA. 2010. Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah. Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi : 13-25. Pradhan BK, Ratha DK, Sarma A. 1998. Complementarity Between Public and Private Investment in India. Journal of Development Economies 33: 101116. Osmani SR. 2001. Participatory Governance and Poverty Reduction. Choices For The Poor: Lessons from national Poverty Strategies. United Nations Development Programme. [RPJPD]. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005.Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Daerah
2005-2025.
156
Rehman CA, Ilyas M, Alam HM, Akram M. 2011. The Impact of Infrastructure on Foreign Direct Investment: The Case of Pakistan. International Journal of Business and Management, 6(5): 268-276. Rondinelli DA, Nellis JR. 1986. Asessing Decentralization Policies in Developing Countries: The Case for Cautious Optimism. Development Policy Review, 4(1): 3-23. Sukirno S. 2000. Makro Ekonomi Modern.Edisi ke-1.Jakarta:Raja Grafindo. Suneki S. 2006. Determinan Perilaku Investasi Swasta di Provinsi Jawa Tengah.[tesis] Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Stiglitz J. 2000. Economics of Public Sector 3rd edition. New York:W.W. Norton & Company. [UNDP] United Nations Development Programme. 1994. Good Governance And Sustainable Human Development. UNDP: New York. Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics, Third Edition. John Wiley & Sons. Wati HK. 2008. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian : Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur. [tesis] Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wahyuni D. 2007. Investasi di Jawa Timur “Berenang” dalam Lumpur. http://www.bisnis.co.id [23 Februari 2012] [WB] World Bank. 2004. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2011. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2012. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2003. Improving The Business Environment in East Java : Views From The Private Sector. World Bank: Washington D.C. World Development Report.2005. A Better Investment Climate For Everyone. World Bank: New York.
157
Lampiran 1 Daftar Istilah PMDN: Penanaman Modal DalamNegeri PMA
: Penanaman Modal Asing
TKED : Tata KelolaEkonomi Daerah IPPU : InteraksiPemdaDenganPelaku Usaha PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta TDP: Tanda Daftar Perusahaan Q30
: waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu)
Q32
: persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan
Q33
: persepsi kemungkinan lokasi usaha akan digusur
Q34
: persepsi frekuensi penggusuran lahan
Q35
: persepsi frekuensi konflik kepemilikan lahan
Q36
: persepsi hambatan ketersediaan lahan dan kepastian hukum terhadap kineja perusahaan
Q38AR1 : perusahaan yang memiliki TDP Q40CR1 : persepsi kesulitan mengurus TDP Q40DR1 : waktu mengurus TDP (hari kerja) Q41DR1 : persepsi hambatan biaya kepengurusan TDP Q43R1 : persepsi proses perizinan usaha dijalankan dengan sistem kerja yang efisien Q43R2 : persepsi proses perizinan usaha bebas pungutan liar Q43R3 : persepsi proses perizinan usaha bebas KKN Q48
: keberadaan forum komunikasi
Q49R1 : persepsi kepala daerah selalu memberikan pemecahan masalah yang nyata terhadap permasalahan pelaku usaha Q49R2 : persepsi pemecahan masalah yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan harapan kebanyakan perusahaan
158
Q49R3 : persepsi instansi pemda terkait selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang telah ditentukan oleh kepala daerah Q50R1 : persepsi pemda memiliki pengertian akan kebutuhan usaha Q50R2 : persepsi pemda melakukan konsultasi publik dengan pelaku usaha apabila akan membuat kebijakan publik yang menyangkut kepentingan usaha Q50R3 : persepsi pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha di daerahnya untuk membicarakan masalah pelaku usaha Q50R4 : persepsi pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang dapat merugikan kegiatan usaha swasta Q50R5 : persepsi pemda memberikan fasilitas yang dapat mendukung perkembangan dunia usaha Q51
: persepsi kebijakan pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi melalui promosi investasi
Q52
: persepsi kebijakan non-diskriminatif pemda
Q53R1 : persepsi kebijakan pemda terkait dunia usaha tidak meningkatkan pengeluaran bisnis Q53R2 : Persepsi kebijakan pemda terkait dunia usaha tidak meningkatkan ketidakpastian berusaha Q55
: persepsi hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha terhadap kinerja perusahaan
Q57A
: tingkat pengetahuan keberadaan PPUS
Q57B
: tingkat partisipasi dalam PPUS
Q58R1 : persepsi tingkat manfaat pelatihan manajemen bisnis Q58R2 : persepsi tingkat manfaat pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja Q58R3 : persepsi tingkat manfaat promosi produk lokal kepada investorpotensial Q58R4 : persepsi tingkat manfaat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedangbesar Q58R5 : persepsi tingkat manfaat pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM Q58R6 : persepsi tingkat manfaat program proses mempertemukan mitra bisnis Q58R7 : persepsi tingkat manfaat program pengembangan swasta lainnya
159
Q61R1 : persepsi kepala daerah memiliki pemahaman yang baik mengenai persoalan yang dihadapi pelaku usaha Q61R2 : persepsi pejabat di lingkunga birokrasi pemda terkait dunia usaha bisnis berdasarkan pengalaman kerja sesuai bidangnya Q61R3 : persepsi kepala daerah melakukan tindakan tegas terhadap setiap tindakan korupsi Q61R4 : persepsi kepala daerah melakukan korupsi Q61R5 : persepsi kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat Q63
: persepsi hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap kinerja perusahaan
Q65CR1: persepsi hambatan retribusi daerah terhadap aktifitas bisnis Q65CR2: perespsi hambatan pajak resmi daerah terhadap aktivitas bisnis Q67AR1: total biaya pungutan dan retribusi yang harus dibayarkan oleh perusahaan untuk pendistribusian barang antarwilayah Q67CR1: persepsi hambatan biaya pungutan dan retribusi yang harus dibayarkan oleh perusahaan untuk pendistribusian barang antarwilayah Q70BR1: persepsi hambatan biaya tambahan untuk keamanan kepada polisi terhadap aktifitas bisnis Q71
: persepsi hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan
Q78AR1: persepsi kualitas infrastruktur jalan Q78AR2: persepsi kualitas infrastruktur lampu penerangan jalan Q78AR3: persepsi kualitas infrastruktur air PDAM Q78AR4: persepsi kualitas infrastruktur listrik Q78AR5: persepsi kualitas infrastruktur telepon Q78CR1: lama perbaikan infrastruktur jalan Q78CR2: lama perbaikan infrastruktur lampu penerangan jalan Q78CR3: lama perbaikan infrastruktur air PDAM Q78CR4: lama perbaikan infrastruktur listrik Q78CR5: lama perbaikan infrastruktur telepon
160
Q79
: persentase perusahaan yang tidak memakai genset
Q80
: frekuensi pemadaman listrik (kali dalam seminggu)
Q81
: persepsi hambatan infastruktur terhadap kinerja perusahaan
Q83BR1: frekuensi pencurian pada tahun 2007 Q84R1 : persepsi polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan dunia usaha Q84R2 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal menguntungkan perusahaan Q84R3 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal meminimalisir kerugian dan biaya usaha Q86R1 : persepsi polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus demonstrasi buruh yang berhubungan dengan dunia usaha Q86R2 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus demostrasi buruh hanya menyebabkan dampak kehilangan yang kecil terhadap waktu produktif dan biaya operasional usaha Q88
: persepsi hambatan keamanan dan penyelesaian konflik terhadap kinerja perusahaan
161
Lampiran 2 Kabupaten/Kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun 2010 Kabupaten/Kota
Luas Area 2
(km )
Kabupaten : 1 Pacitan 2 Ponorogo 3 Trenggalek
Jumlah
Kelurahan/Desa
Kecamatan
Perkotaan
Perdesaan
Jumlah
1418 1487 1245
12 21 14
19 66 28
152 239 129
171 305 157
91
180
271
4
Tulungagung
1151
19
5
Blitar
1753
22
53
195
248
6
Kediri
1522
26
105
239
344
7
Malang
3457
33
117
273
390
8
Lumajang
1806
21
27
178
205
9
Jember
3349
31
63
185
248
10
Banyuwangi
3599
24
62
155
217
11
Bondowoso
1572
23
33
186
219
12
Situbondo
1654
17
33
103
136
13
Probolinggo
1659
24
75
255
330
14
Pasuruan
1487
24
106
259
365
15
Sidoarjo
719
18
268
85
353
16
Mojokerto
974
18
102
202
304
17
Jombang
1114
21
144
162
306
18
Nganjuk
1284
20
86
198
284
19
Madiun
1011
15
39
167
206
20
Magetan
705
18
71
164
235
21
Ngawi
1392
19
15
202
217
22
Bojonegoro
2314
27
58
372
430
23
Tuban
1977
20
45
283
328
24
Lamongan
1759
27
51
423
474
25
Gresik
1238
18
139
217
356
26
Bangkalan
1303
18
38
243
281
27
Sampang
1230
14
12
174
186
28 29 Kota 71 72 73
Pamekasan Sumenep
797 2092
13 27
25 35
164 297
189 332
63 33 110
3 3 5
46 21 54
0 0 3
46 21 57
74
Probolinggo
57
5
21
8
29
75
Pasuruan
35
3
32
2
34
76
Mojokerto
16
2
18
0
18
77 78 79
Madiun Surabaya Batu
33 326 93
3 31 3
27 163 12
0 0 12
27 163 24
47835
662
2,400
6,106
8,506
Kediri Blitar Malang
Jumlah
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
162
Lampiran 3 Jumlah Penduduk , Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk Tahun 2010 Kabupaten /Kota
Pertumbuhan Penduduk 2010(%)
kepadatan Penduduk 2010/km2
2009
2010
Kabupaten PACITAN PONOROGO TRENGGALEK TULUNGAGUNG BLITAR KEDIRI MALANG LUMAJANG JEMBER BANYUWANGI BONDOWOSO SITUBONDO PROBOLINGGO PASURUAN SIDOARJO MOJOKERTO JOMBANG NGANJUK MADIUN MAGETAN NGAWI BOJONEGORO TUBAN LAMONGAN GRESIK BANGKALAN SAMPANG PAMEKASAN SUMENEP
539,789 854,505 672,509 985,012 1,112,395 1,491,969 2,428,283 1,003,172 2,320,314 1,550,663 732,626 643,815 1,088,122 1,499,255 1,904,110 1,014,587 1,195,940 1,013,531 660,566 620,333 817,835 1,206,506 1,112,815 1,180,007 1,160,718 897,381 865,624 785,870 1,037,595
540,881 855,281 674,411 990,158 1,116,639 1,499,768 2,446,218 1,006,458 2,332,726 1,556,078 736,772 647,619 1,096,244 1,512,468 1,941,497 1,025,443 1,202,407 1,017,030 662,278 620,442 817,765 1,209,973 1,118,464 1,179,059 1,177,042 906,761 877,772 795,918 1,042,312
0.20 0.09 0.28 0.52 0.38 0.52 0.74 0.33 0.53 0.35 0.57 0.59 0.75 0.88 1.96 1.07 0.54 0.35 0.26 0.02 -0.01 0.29 0.51 -0.08 1.41 1.05 1.40 1.28 0.45
381 575 542 860 637 985 708 557 697 432 469 392 661 1,017 2,700 1,053 1,079 792 655 880 587 523 566 670 951 696 714 999 498
Kota KEDIRI BLITAR MALANG PROBOLINGGO PASURUAN MOJOKERTO MADIUN SURABAYA BATU
266,354 130,828 814,669 214,694 184,637 119,180 170,406 2,751,389 188,145
268,507 131,968 820,243 217,062 186,262 120,196 170,964 2,765,487 190,184
0.81 0.87 0.68 1.10 0.88 0.85 0.33 0.51 1.08
4,235 4,052 7,453 3,831 5,278 7,302 5,145 8,474 2,050
JAWA TIMUR 37,236,149 Sumber: BPS, 2011 (diolah)
37,476,757
0.65
834
165
Lampiran 4 Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 2007 dan 2010 untuk provinsi Jawa Timur Sig (2 tailed)
paired differences SUB INDIKATOR
Mean
Std. Deviation
Std Error
t
Mean AKSES LAHAN (AL) IZIN USAHA (IU) INTERAKSI PEMDA & PELAKU USAHA (IPPU) PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SWASTA (PPUS) KAPASITAS & INTEGRITAS BUPATI/ WALIKOTA (KIBW) KEAMANAN & PENYELESAIAN SENGKETA (KPS)
-0.8842
9.5517
1.5494
-0.5706
4.1394
8.0415
1.3045
3.1732
-1.5789
9.9634
1.6162
-0.9768
0.335
-1.1868
15.2376
2.4718
-0.4801
0.634
-5.5552
12.6781
2.0566
-2.7011
0.010*
1.0421
11.4018
1.8496
0.5634
BIAYA TRANSAKSI (BT)
5.8973
10.1757
1.6507
INFRASTRUKTUR (INF)
3.5726
5.7947
6.8279
1.1076
5.2316
-3.1789 KUALITAS PERDA (PERDA) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
22.4087
3.6351
-0.8744
0.572 0.003*
0.577 0.001** 0.000** 0.387
163
166 164
Lampiran 5 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Akses Lahan paired differences 95% confidence interval Std Error of the difference Lower Upper Mean
Std. Deviation
Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah (Q30)
-3.38158
6.797689
1.102731
-5.61592
-1.14723
-3.06655
37
0.004**
Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan (Q32)
5.963355
24.25645
3.934915
-2.00954
13.93625
1.515498
37
0.138
Persepsi kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33)
3.242974
6.39148
1.036835
1.142147
5.343801
3.127763
37
0.003**
Persepsi jarang terjadinya penggusuran lahan (Q34)
-0.19257
2.740726
0.444604
-1.09342
0.708286
-0.43312
37
0.667
0.517363
3.972721
0.64446
-0.78844
1.823164
0.802785
37
0.427
1.075124
5.449366
0.884004
-0.71604
2.866286
1.216198
37
0.232
Variabel
Persepsi jarang terjadinya konflik (Q35) Persepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)
Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
t
df
Sig (2 tailed)
Mean
167
Lampiran 6 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Izin Usaha Sig
paired differences Mean Std. Deviation
Std Error
95% confidence interval of the difference Lower Upper
t
df
(2 tailed)
Persentase Perusahaan Yang Memiliki TDP (Q38aR1)
39.71401
28.62052
Mean 4.642862
30.30668
49.12134
8.553778
37
0.000**
Persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40cR1) Rata-rata waktu perolehan TDP (Q40dR1) Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha efisien (Q43R1) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3) Persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) Persepsi bahwa izin usaha, kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q46)
0.905308
15.06853
2.444439
-4.0476
5.858211
0.370354
37
0.731
-1.68421
9.678215
1.570014
-4.86536
1.49694
-1.07274
37
0.29
3.550186
10.85299
1.760588
-0.0171
7.117476
2.016477
37
0.051**
5.148126
15.17009
2.460914
0.161841
10.13441
2.091957
37
0.043**
4.83449
26.61046
4.316787
-3.91215
13.58113
1.119928
37
0.27
6.269464
26.43
4.287513
-2.41786
14.95679
1.462261
37
0.152
3.167671
30.07109
4.878175
-6.71645
13.05179
0.649356
37
0.52
2.560526
9.175512
1.488465
-0.45539
5.576442
1.720247
37
0.094*
Ket: **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
165
166
168
Lampiran 7 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
Mean
Persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48)
Std. Deviation
paired differences 95% confidence interval Std Error of the difference Lower Upper Mean
t
df
Sig (2 tailed)
5.180628
18.9329
3.071322
-1.04246
11.40372
1.686775
37
0.100
2.805655
25.90596
4.202502
-5.70942
11.32073
0.667615
37
0.509
1.327767
24.76021
4.016636
-6.81071
9.466244
0.330567
37
0.743
Persepsi bahwa Instansi Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah oleh Kepala Daerah (Q49R3)
-0.62576
28.01082
4.543955
-9.83269
8.581167
-0.13771
37
0.891
Persepsi bahwa Pemda memiliki pengertian akan kebutuhan dunia usaha (Q50R1)
-1.3545
22.23717
3.607346
-8.66368
5.954672
-0.37549
37
0.709
2.534276
26.85152
4.355892
-6.2916
11.36015
0.581804
37
0.564
4.318654
23.0765
3.743503
-3.2664
11.90371
1.15364
37
0.256
-1.23494
18.21795
2.955342
-7.22303
4.753148
-0.41787
37
0.678
Persepsi bahwaKepala Daerah memberikan pemecahan masalah yang nyata pada pelaku usaha (Q49R1) Persepsi bahwa Pemecahan masalah oleh Pemda sesuai harapan pelaku usaha (Q49R2)
Persepsi bahwa Pemda melakukan konsultasi publik (Q50R2) Persepsi bahwa Pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dlm membahas permasalahan dunia usaha (Q50R3) Persepsi bahwa Pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang merugikan kegiatan usaha (Q50R4)
169
Persepsi bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha (Q50R5) Persepsi bahwa kebijakan pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi (Q51) Persepsi bahwa kebijakan Pemda bersifat non-diskriminatif (Q52) Persepsi bahwa pengaruh kebijakan pemda tidak meningkatkan pengeluaran dunia usaha (Q53R1) Persepsi bahwa kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha (Q54) Persepsi interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q55)
1.186201
25.87422
4.197352
-7.31844
9.690845
0.282607
37
0.779
-10.0313
27.85481
4.518647
-19.187
-0.87569
-2.21999
37
0.033**
0.556661
29.081
4.71756
-9.00202
10.11535
0.117998
37
0.907
5.19566
21.59364
3.502952
-1.90199
12.29331
1.483224
37
0.146
6.258937
22.68083
3.679317
-1.19607
13.71394
1.701114
37
0.097*
-11.82
13.02743
2.113327
-16.102
-7.53803
-5.59309
37
0.000**
Ket **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
167
168
170
Lampiran 8 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Program Pengembangan Usaha Swasta
Mean Variabel
Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A)
Std. Deviation
paired differences 95% confidence interval of Std Error the difference Lower Upper Mean
t
df
Sig (2 tailed)
19.02272562
37.55852
6.092796
6.677548
31.3679
3.122167
37
0.003**
2.959691672
31.02814
5.03343
-7.23901
13.15839
0.588007
37
0.56
5.316232321
29.53068
4.790509
-4.39026
15.02273
1.109743
37
0.274
Persepsi bahwa PPUS -pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R2)
3.784054443
27.42077
4.448236
-5.22893
12.79704
0.850686
37
Persepsi bahwa PPUS -promosi produk lokal kepada investor bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R3)
13.83221154
24.49056
3.972894
5.782364
21.88206
3.481646
37
0.001**
Persepsi bahwa PPUS menghubungkan pelaku usaha kecilsedang-besar bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R4)
2.989422858
38.11364
6.182848
-9.53822
15.51706
0.483503
37
0.632
12.36398391
34.5954
5.612115
0.992759
23.73521
2.203088
37
0.034**
Tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B) Persepsi bahwa PPUS -pelatihan manajemen bisnis bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R1)
Persepsi bahwa PPUS -pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R5)
0.400
171
Persepsi bahwa PPUS -business matchmaking program bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R6) Persepsi bahwa PPUS –lainnya bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R7) Persepsi bahwa PPUS berdampak besar terhadap kinerja perusahaan (Q59)
3.798036758
50.95813
8.266501
-12.9515
20.54756
0.459449
37
0.649
-7.894736842
27.32763
4.433127
-16.8771
1.087632
-1.78085
37
0.083*
1.153325507
13.09613
2.124473
-3.15127
5.457917
0.542876
37
0.59
Ket: **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
169
170
172
Lampiran 9 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Sig
paired differences Mean Std. Deviation
Std Error Mean
Persepsi bahwa kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah dunia usaha (Q61R1) Persepsi bahwa penempatan birokrat sesuai pengalaman kerja dan professional (Q61R2) Persepsi bahwa kepala daerah bertindak tegas terhadap korupsi birokratnya (Q61R3) Persepsi pelaku usaha yang tidak setuju bahwa tindakan kepala daerah menguntungkan diri sendiri (Q61R4) Persepsi bahwa kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat (Q61R5) Persepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63)
95% confidence interval of the difference Lower Upper
t
df
(2 tailed)
-1.52048
24.73182
4.012031
-9.64962
6.608669
-0.37898
37
0.707
-6.01382
22.33847
3.623778
-13.3563
1.32865
-1.65954
37
0.105
5.681754
27.51715
4.463871
-3.36291
14.72642
1.272831
37
0.211
-30.6102
33.11924
5.372649
-41.4962
-19.7242
-5.69741
37
0.000**
-5.79926
21.81055
3.538139
-12.9682
1.369694
-1.63907
37
0.11
-0.96188
4.008609
0.650282
-2.27947
0.355722
-1.47917
37
0.148
Ket: **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
173
Lampiran 10 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa
Mean Variabel
paired differences Std. Deviatio n Std Error Mean
Sig 95% confidence interval of the difference Lower Upper
t
df
(2 tailed)
Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83BR1) Persepsi bahwa polisi selalu bertindak tepat waktu menangani kasus kriminal (Q84R1)
0.635135135
4.87717
0.801802
-0.99099
2.261265
0.792135
37
0.433
-2.743923229
18.28453
2.966143
-8.7539
3.266053
-0.92508
37
0.361
Persepsi bahwa Solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan (Q84R2)
-3.019445453
21.49509
3.486963
-10.0847
4.045813
-0.86592
37
0.392
-0.194750557
23.74693
3.85226
-8.00017
7.61067
-0.05055
37
0.96
-5.011931433
18.58447
3.014799
-11.1205
1.096632
-1.66244
37
0.105
-0.840701703
24.6261
3.994881
-8.9351
7.253697
-0.21044
37
0.834
-0.021
3.742
0.607011
-1.25053
1.209311
-0.03395
37
0.973
Persepsi bahwa solusi yang diberikan polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya(Q84R3) Persepsi bahwa Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani demonstrasi buruh (Q86R1) Persepsi bahwa Solusi yang diberikan polisi hanya menyebabkan dampak kehilangan kecil pada waktu dan biaya (Q86R2) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88)
Ket: **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
171
172
174
Lampiran 11 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Biaya Transaksi
Mean
Persepsi bahwa retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) Persepsi bahwa pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR2) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda (Q67a) Persepsi bahwa pajak dan retribusi daerah tidak memberatkan/menghambat kegiatan usaha (Q67cR1) Persepsi bahwa pembayaran biaya tambahan untuk polisi untuk keamananan tidak memberatkan pelaku usaha (Q70bR1) Persepsi bahwa biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)
Std. Deviation
paired differences 95% confidence interval of Std Error the difference Lower Upper Mean
t
df
Sig (2 tailed)
1.542133
12.03379
1.952139
-2.41328
5.497542
0.789971
37
0.435
0.721942
13.12065
2.128451
-3.59071
5.034594
0.339186
37
0.736
821277.3
2473597
401270.4
8226.247
1634328
2.046693
37
0.048**
-8.61428
52.29059
8.482653
-25.8018
8.573203
-1.01552
37
0.316
10.35416
46.55148
7.551647
-4.94693
25.65525
1.371113
37
0.179
2.904812
8.141929
1.320795
0.228626
5.580997
2.19929
37
0.034**
Ket:**. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
175
Lampiran 12 Hasil uji paired samples t-test untuk variabel penyusun sub indikator Infrastruktur Daerah
Mean
Persepsi kualitas infrastruktur jalan (Q78aR1) Persepsi kualitas infrastruktur lampu jalan (Q78aR2) Persepsi kualitas infrastruktur air PDAM (Q78aR3) Persepsi kualitas infrastruktur listrik (Q78aR4) Persepsi kualitas infrastruktur telepon (Q78aR5) Lama perbaikan jalan (Q78cR1) Lama perbaikan lampu jalan (Q78cR2) Lama perbaikan air PDAM (Q78cR3) Lama perbaikan listrik (Q78cR4) Lama perbaikan telepon (Q78cR5) Persentase pelaku usaha yang menggunakan genset(Q79) Lama pemadaman listrik (Q80) Persepsi bahwa infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)
Std. Deviation
paired differences 95% confidence interval of Std Error the difference Lower Upper Mean
t
df
Sig (2 tailed)
4.20843
17.03417
2.763308
-1.39056
9.807424
1.522968
37
0.136
5.050919
13.57229
2.201716
0.589819
9.512018
2.294083
37
0.028**
1.95015
20.62354
3.345579
-4.82864
8.728938
0.582904
37
0.563
2.374017
9.207394
1.493637
-0.65238
5.400412
1.589421
37
0.12
-0.83681
8.368079
1.357482
-3.58733
1.913712
-0.61644
37
0.541
19.13158 0.592105 -2.15789 -0.02632 0.526316
98.00336 7.823091 7.96284 0.162221 5.371279
15.89824 1.269073 1.291743 0.026316 0.871337
-13.0813 -1.97928 -4.77522 -0.07964 -1.23918
51.34448 3.163491 0.459426 0.027005 2.291811
1.203377 0.466565 -1.67053 -1 0.604033
37 37 37 37 37
0.236 0.644 0.103 0.324 0.55
-13.9138
8.546275
1.386389
-16.7229
-11.1047
-10.036
37
0.000**
-1.13107
0.589462
0.095623
-1.32482
-0.93732
-11.8284
37
0.00**
2.117124
15.54748
2.522134
-2.99321
7.227452
0.839418
37
0.407
Ket: **. Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
173
176 174
Lampiran 13 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Akses Lahan terhadap PMDN dan PMA PMDN
PMA
Q32
Q33
Q34
Q35
1 PMDN Correlation Coefficient . Sig. (2-tailed) 76 N 0.426076 1 PMA Correlation Coefficient 0.000124 . Sig. (2-tailed) 76 76 N 0.129808 0.085372 1 Q32 Correlation Coefficient 0.263728 0.463401 . Sig. (2-tailed) 76 76 76 N 0.10497 -0.0761 0.190316 1 Q33 Correlation Coefficient 0.366825 0.513523 0.099614 . Sig. (2-tailed) 76 76 76 76 N -0.26868 -0.30682 0.172273 0.018316 1 Q34 Correlation Coefficient 0.018934** 0.007021 0.136725 0.87521 . Sig. (2-tailed) 76 76 76 76 76 N 0.095971 -0.09654 0.172734 0.101156 -0.03064 1 Q35 Correlation Coefficient 0.409544 0.406745 0.135661 0.384587 0.792728 . Sig. (2-tailed) 76 76 76 76 76 76 N 0.151643 0.260421 -0.00828 0.099367 -0.16003 -0.11406 Q36 Correlation Coefficient 0.190987 0.023085 0.943388 0.393095 0.167297 0.326567 Sig. (2-tailed) 76 76 76 76 76 76 N Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Spearman's rho
177
Lampiran 14 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Izin Usaha terhadap PMDN dan PMA PMDN
PMA
Q40CR1
Q41DR1
Q43R1
Q43R2
Q43R3
Q46
PMDN
Correlation Coefficient
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.000124
Q40CR1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.095971
0.115852
0.409544
0.318961
Q41DR1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.12084
0.012914
-0.02341
0.298445
0.91184
0.840923
Q43R1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.1753
-0.13882
-0.02341
-0.0411
0.129868
0.231708
0.840923
0.724481
Q43R2
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.208932
0.113964
-0.06667
0.195069
0.195069
0.070096*
0.326962
0.567192
0.091287
0.091287
Q43R3
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.21513
-0.2181
-0.08085
0.001892
0.289544
0.371888
0.062**
0.058404
0.487526
0.987055
0.011182
0.00094
Q46
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.098804
0.254051
0.104469
0.120525
0.055896
0.153169
0.187497
0.395795 Sig. (2-tailed) **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
0.026792
0.369129
0.299696
0.631522
0.18651
0.104826
Spearman's rho
1 . 0.426076
1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 .
175
178 176
Lampiran 15 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha terhadap PMDN dan PMA PMDN Spear man's rho
PMA
Q48
Q49R1
Q49R2
Q49R3
PM DN
Correlation Coefficient
PM A
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.000
Q48
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.134
0.014
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.247
0.900
.
Q49 R1
-0.128
0.001
-0.147
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.267
0.986
0.203
Q49 R2
-0.161
0.078
-0.203
0.688
0.163
0.500
0.077
6.15E12
Q49 R3
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.307
-0.091
-0.122
0.639
0.592
0.006* *
0.430
0.293
4.99E10
1.75E08
Q50 R1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.054
-0.019
-0.064
0.714
0.531
0.544
4.26E13
7.59E07
3.75E07
Q50 R2
Q50 R3
Q50 R4
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
Q50R 1
Q50R 2
Q50R 3
Q50R 4
1 . 0.426
1 . 1
1 . 1 . 1 . 1
0.642
0.864
0.581
.
-0.006
0.159
-0.192
0.599
0.699
0.508
0.488
1.06E08
2.16E12
2.71E06
7.58E -06
1
0.958
0.169
0.094
-0.216
0.060
-0.347
0.511
0.6743
0.533
0.445
0.647
2.42E11
7.17E07
5.45E -05
2.51E -10
0.069
0.235
-0.027
0.075
0.060*
0.603
0.002
2.35E06
-0.100
-0.050
0.095
0.037
. 1 . 0.081
1
Q50R 5
Q51
Q52
Q53R 1
Q53R 2
Q55
179
Q50 R5
Q51
Q52
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q53 R1
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q53 R2
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q55
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
0.385
0.663
0.409
0.746
0.549
0.040
0.816
0.515
0.483
.
-0.371
-0.202
-0.178
0.564
0.468
0.610
0.490
0.429
0.558
0.078
0.000* *
0.080 *
0.122
1.08E07
1.94E05
4.87E09
6.72E -06
0.000
1.56E -07
0.500
1 .
-0.278
-0.160
-0.382
0.253
0.379
0.270
0.376
0.237
0.390
0.144
0.394
0.014* *
0.165
0.000
0.026
0.000
0.018
0.000
0.038
0.000
0.213
0.000
1 .
0.355
0.174
0.086
-0.092
-0.027
-0.112
0.006
-0.036
-0.086
-0.082
-0.220
-0.077
0.001* *
0.131
0.456
0.426
0.812
0.332
0.956
0.753
0.460
0.480
0.055
0.506
-0.180
-0.333
-0.097
0.096
0.214
0.159
0.056
0.112
0.118
0.175
0.256
0.308
0.118
0.003 **
0.403
0.408
0.063
0.169
0.629
0.334
0.306
0.130
0.025
0.006
-0.231
-0.283
-0.107
-0.052
0.036
0.195
0.019
-0.154
0.052
-0.069
0.200
0.177
0.044* *
0.013 **
0.356
0.655
0.752
0.091
0.866
0.183
0.655
0.553
0.082
0.124
0.202
0.318
-0.148
0.078
0.045
-0.013
-0.140
0.196
0.099
-0.132
-0.088
-0.270
0.079*
0.005 **
0.200
0.500
0.698
0.907
0.225
0.089
0.390
0.254
0.445
0.018
1 . 0.07 5 0.51 8 0.18 4 0.10 9 0.05 7 0.62 1
1 . 0.512
1
2.18E -06
.
-0.074
-0.118
0.525
0.307
1 .
Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
177
180 178
Lampiran 16 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Program Pengembangan Usaha Swasta terhadap PMDN dan PMA PMDN Spear man's rho
PMDN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
PMA
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q58AR1
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q58AR2
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q58AR3
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q58AR4
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q58AR5
N Correlation Coefficient
PMA
Q58AR1
Q58AR2
Q58AR3
Q58AR4
Q58AR5
1 . 76 0.4260 0.0001
1 .
76
76
0.1005
0.0212
0.3875
0.8559
76
76
76
0.0502
-0.0383
0.6433
0.6664
0.7428
3.67E-10
76
76
76
76
0.0023
-0.0963
0.3582
0.4544
0.9835
0.4077
0.0014
3.73E-05
76
76
76
76
76
0.0865
0.0083
0.5346
0.4241
0.3800
0.4573
0.9432
6.52E-07
0.0001
0.0007
76
76
76
76
76
76
0.0147
-0.0071
0.4556
0.2829
0.5111
0.6057
1 .
1 .
1 .
1 .
1
Q58AR6
Q58AR7
Q59
181
Sig. (2-tailed)
0.8990
0.9515
3.54E-05
0.0132
2.37E-06
6.75E-09
N Correlation Coefficient
76 0.0714 0.5395
76
76
76
76
76
76
-0.023
0.4697
0.4553
0.3695
0.5199
0.5071
0.8439
1.86E-05
3.57E-05
0.0010
1.48E-06
2.94E-06
76
76
76
76
76
76
76
76
76
0.0294
-0.1298
0.01932
0.1177
0.0009
0.0303
0.0014
-0.07414
1
0.8009
0.2636
0.868434
0.3111
0.9935
0.7944
0.9898
0.5244
76
76
76
76
76
76
76
76
76
0.1390
0.2803
0.068766
-0.0332
0.2267
0.1870
0.1461
0.1643
-0.2217
0.2310
0.0142**
0.555021
0.7756
0.0488
0.1057
0.2078
0.1560
0.0541
76 76 N Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
76
76
76
76
76
76
76
Q58AR6
Sig. (2-tailed)
Q58AR7
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Q59
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.
1 .
.
1 . 76
179
180
182
Lampiran 17 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota terhadap PMDN dan PMA PMDN Spearman's rho
PMA
Q61R1
Q61R2
Q61R3
Q61R4
Q61R5
PMDN
Correlation Coefficient
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.000124
Q61R1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.091682
0.214895
0.430884
0.062293
Q61R2
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.032909
-0.05517
0.19346
0.77778
0.635978
0.094041
.
Q61R3
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.25134
-0.38034
0.120578
0.063626
0.028515**
0.000701**
0.299483
0.585041
.
Q61R4
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.230346
0.384303
0.15763
0.263286
-0.31272
0.045303**
0.000609**
0.173853
0.021565
0.005953
.
Q61R5
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.05256
0.177686
0.310059
0.339807
0.034757
0.240977
0.65202
0.124635
0.006415
0.002672
0.765647
0.035995
.
Q63
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.188595
0.274443
-0.14708
0.033998
-0.37344
0.463415
-0.11142
0.102772 Sig. (2-tailed) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
0.016433**
0.20485
0.770624
0.000892
2.49E-05
0.337934
Q63
1 . 0.426076
1 . 1 . 1
1
1
1
1 .
183
Lampiran 18 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Keamanan dan penyelesaian Sengketa terhadap PMDN dan PMA PMDN Spearman's rho
PMA
Q84R1
Q84R2
Q84R3
Q86R1
Q86R2
PMDN
Correlation Coefficient
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.000124
Q84R1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.24933
-0.30686
0.029857**
0.007013**
Q84R2
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.308
-0.41631
0.57296
0.006795**
0.000184**
6.35E-08
.
Q84R3
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.16078
-0.32824
0.256892
0.724944
0.165304
0.003795**
0.025081
1.32E-13
.
Q86R1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.07039
-0.19243
0.697486
0.399631
0.179178
0.545699
0.095835*
2.55E-12
0.000348
0.121451
Q86R2
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
-0.25808
-0.39398
0.368035
0.711684
0.60779
0.561529
0.024394
0.000429**
0.001072
5.75E-13
5.8E-09
1.31E-07
.
Q88
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.151643
0.260421
-0.11947
-0.19053
-0.08499
-0.00427
-0.10147
0.190987 Sig. (2-tailed) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
0.023085**
0.303968
0.09922
0.465401
0.970775
0.383109
Q88
1 . 0.426076
1 . 1 . 1
1
1 . 1
1 .
181
182
184
Lampiran 19 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Biaya Transaksi terhadap PMDN dan PMA PMDN Spearman's rho
PMDN
Correlation Coefficient
0.426076
Sig. (2-tailed)
0.000124
Q65CR2
.
Sig. (2-tailed)
.
.
.
N Q67CR1
76 -0.05631
.
76
0.294993
0.629021
.
76
76
1 . 76
76
-0.05519
-0.08669
.
0.192806
Sig. (2-tailed)
0.635833
0.456486
.
0.09518
76
76
Correlation Coefficient
0.043528
-0.04624
.
Sig. (2-tailed)
0.708884
0.691605
.
76
76
Correlation Coefficient
0.143449
0.265599
Sig. (2-tailed)
0.216369
0.020401**
76
76
N Q71
76 -0.1217
Correlation Coefficient N
Q70BR1
76 .
Sig. (2-tailed)
N
Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
Q71
.
76 .
Correlation Coefficient
Q70BR1
1
Correlation Coefficient N
Q67CR1
76
N Q65CR1
Q65CR2
.
N PMA
Q65CR1
1
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
PMA
76
1 .
76
76
0.282326
0.252531
0.013475
0.027748
76
76
76
.
-0.23421
-0.2259
-0.22691
.
0.041716
0.049744
0.048707
76
76
76
76
76
1 . 1 . 76
185
Lampiran 20 Hasil uji Korelasi Pearson variabel penyusun sub indikator Infrastruktur Daerah terhadap PMDN dan PMA LPMDN LPMDN
Pearson Correlation
LPMA
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
Q78CR1
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
LPMA
Q78CR1
Q78CR2
Q78CR3
Q78CR4
Q78CR5
Q79
Q80
1
0.40273
1
0.00031 -0.08801
-0.18402
1
0.449643
0.111555
Q78CR2
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
-0.01526
-0.07246
0.420189
0.895898
0.533907
0.000158
Q78CR3
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
-0.1845
-0.1966
0.310052
0.546367
0.110593
0.08873*
0.006417
3.3E-07
Q78CR4
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
-0.10014
0.089597
-0.02791
0.131938
0.078
0.389407
0.441484
0.810842
0.255906
0.503023
Q78CR5
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
0.139346
0.054165
0.569676
0.514337
0.132656
0.011458
0.229936
0.642136
7.84E-08
2.01E-06
0.253304
0.921745
Q79
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
-0.12473
0.101699
-0.00885
-0.07015
0.116676
-0.0339
0.045751
0.283027
0.382029
0.93951
0.547047
0.315509
0.771259
0.694732
Q80
Sig. (2-tailed) Pearson Correlation
-0.22567
-0.03664
-0.12187
-0.02372
0.165032
0.218565
-0.05573
0.48783
0.049982** 0.753324 Sig. (2-tailed) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed)
0.294295
0.838811
0.154256
0.057851
0.632548
7.83E-06
1
1
1
1
1
1
183
186 184
Lampiran 21 Hasil uji Korelasi Spearman variabel penyusun sub indikator Infrastruktur Daerah terhadap PMDN dan PMA PMDN Spearman's rho
PMA
Q78AR1
Q78AR2
Q78AR3
Q78AR4
Q78AR5
Q81
0.426076
0.249672
0.168488
0.088484
.
.
0.166672
0.000124
0.029623
0.145689
0.447199
.
.
0.150145
1
0.171812
0.203391
0.060613
.
.
0.216192
0.137794
0.078034
0.602973
.
.
0.060692
1
0.499863
0.175007
.
.
0.358457
4.28E-06
0.130513
.
.
0.001475
1
-0.05935
.
.
0.3419
0.610555
.
.
0.002504
1
.
.
-0.13511
PMDN
Correlation Coefficient .
PMA
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.000124
.
Q78AR1
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.249672
0.171812
0.029623
0.137794
.
Q78AR2
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.168488
0.203391
0.499863
0.145689
0.078034
4.28E-06
.
Q78AR3
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.088484
0.060613
0.175007
-0.05935
0.447199
0.602973
0.130513
0.610555
.
.
.
0.244546
Q78AR4
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Q78AR5
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Q81
Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient
0.166672
0.216192
0.358457
0.3419
-0.13511
.
.
0.150145 Sig. (2-tailed) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).
0.060692
0.001475
0.002504
0.244546
.
.
1
0.426076
1 .
187
Lampiran 22 Hasil uji Korelasi Pearson variabel sub indikator TKED dan indeks agregat TKED terhadap PMDN dan PMA LPMDN LPMDN
LPMA
AL
IU
IPPU
PPUS
KIBW
KPS
AL
IU
IPPU
PPUS
KIBW
KPS
BT
INF
PERDA
TKED
1
0.4027
1
0.0003 -0.0746
-0.0225
1
0.5213
0.8468
-0.0773
-0.2485
0.2922
0.5067
0.0303**
0.0104
-0.1278
-0.2267
0.1908
0.5178
0.2710
0.0488**
0.0987
1.66E-06
-0.0574
-0.1508
-0.2540
0.2231
0.3196
0.6223
0.1935
0.0267
0.0526
0.0048
-0.1578
-0.1277
0.2077
0.2748
0.6879
0.0980
0.1731
0.2715
0.0716
0.0162
6.61E-12
0.3993
-0.0333
-0.1779
0.3783
0.5101
0.4129
-0.2139
0.2659
0.7750
0.1240
0.0007
2.51E-06
0.0002
0.0634
0.0202
1
1
1
1
1
185
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed)
LPMA
188 186
Pearson -0.0071 -0.2206 0.2737 Correlation Sig. (20.9509 0.0554* 0.0167 tailed) Pearson -0.0668 0.0850 0.1916 INF Correlation Sig. (20.56617 0.4649 0.0972 tailed) Pearson -0.0208 0.1422 0.3241 PERDA Correlation Sig. (20.85842 0.2201 0.0042 tailed) Pearson -0.0004 0.0483 0.3174 TKED Correlation Sig. (20.9967 0.6784 0.0052 tailed) Ket: **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). BT
0.3933
0.1929
-0.0841
0.0708
0.4730
1
0.0004
0.0948
0.4697
0.5430
1.6E-05
0.3100
0.1760
0.0097
0.2598
0.0807
0.363895
0.0064
0.1281
0.9336
0.0233
0.4880
0.0012
0.0305
-0.1269
-0.2475
0.0404
0.0262
-0.04365
0.1587
0.79302
0.2743
0.0310
0.7287
0.8220
0.7081
0.1708
0.3504
0.4226
0.0688
0.3524
0.2691
0.3194
0.4651
0.0787
0.0019
0.0001
0.5542
0.0017
0.0187
0.0049
2.3E-05
0.4990
1
1
1
187
Lampiran 23 Realisasi PMA di Kabupaten/Kota di Jawa Timur pada tahun 20052007 dan 2008-2010 (dalam juta rupiah)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten/Kota Kab. TUBAN Kab. PASURUAN Kab. GRESIK Kota SURABAYA Kab. SIDOARJO Kab. JOMBANG Kota PASURUAN Kab. MOJOKERTO Kab. PROBOLINGGO Kab. MALANG
2005-2007 13,089,872.00 4,499,832.00 2,635,734.00 2,537,325.00 1,996,563.00 1,233,923.00 711,987.00 545,487.00 330,230.00 78,984.00
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten/Kota Kab. PROBOLINGGO Kab. GRESIK Kab. PASURUAN Kab. SIDOARJO Kota SURABAYA Kab. MOJOKERTO Kab. TUBAN Kota PROBOLINGGO Kab. JOMBANG Kab. LAMONGAN
2008-2010 9,026,634.00 5,599,794.00 5,445,911.00 1,846,836.00 1,620,312.00 965,573.00 554,989.00 376,770.00 254,592.00 244,801.00
11 12
Kab. SITUBONDO Kab. LAMONGAN
24,828.00 17,800.00
11 12
Kota MALANG Kab. MALANG
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kota PROBOLINGGO Kab. LUMAJANG Kab. JEMBER Kota KEDIRI Kota MOJOKERTO Kab. KEDIRI Kota MALANG Kota MADIUN Kab. BOJONEGORO Kab. BANGKALAN Kab. BANYUWANGI Kab. BONDOWOSO Kab. BLITAR Kab. MADIUN Kab. MAGETAN Kab. NGANJUK Kab. NGAWI
17,150.00 13,705.00 8,253.00 5,428.00 3,500.00 3,155.00 2,750.00 2,500.00 101.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kota MADIUN Kab. BANYUWANGI Kab. PAMEKASAN Kab. KEDIRI Kota KEDIRI Kab. BONDOWOSO Kab. BOJONEGORO Kota PASURUAN Kab. LUMAJANG Kab. BANGKALAN Kab. JEMBER Kab. BLITAR Kab. MADIUN Kab. MAGETAN Kab. NGANJUK Kab. NGAWI Kab. PACITAN
30
Kab. PACITAN
0.00
30
Kab. PONOROGO
0.00
31
Kab. PAMEKASAN
0.00
31
Kab. SAMPANG
0.00
32
Kab. PONOROGO
0.00
32
Kab. SITUBONDO
0.00
33
Kab. SAMPANG
0.00
33
Kab. SUMENEP
0.00
34
Kab. SUMENEP
0.00
34
Kab. TRENGGALEK
0.00
35
Kab. TRENGGALEK
0.00
35
Kab. TULUNGAGUNG
0.00
36
Kab. TULUNGAGUNG
0.00
36
Kota BATU
0.00
37
Kota BATU
0.00
37
Kota BLITAR
0.00
38
Kota BLITAR
0.00
38
Kota MOJOKERTO
0.00
Sumber: BKPM (2011), diolah.
164,418.00 130,057.00 99,535.00 47,500.00 44,000.00 27,982.00 12,370.00 10,990.00 7,000.00 4,100.00 2,500.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
188
Lampiran 24 Realisasi PMDN di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 20052007 dan 2008-2010 (dalam juta rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kabupaten/Kota Kab. GRESIK Kota SURABAYA Kab. SIDOARJO Kab. PASURUAN Kab. TUBAN Kab. MALANG Kab. NGANJUK Kab. MOJOKERTO Kab. BANYUWANGI Kab. KEDIRI Kota MADIUN Kab. BONDOWOSO Kota BATU Kota KEDIRI Kab. BANGKALAN Kab. BOJONEGORO Kab. JEMBER Kab. JOMBANG Kab. BLITAR Kab. MADIUN Kab. PROBOLINGGO
2005-2007 3,040,353.50 1,373,520.30 612,580.50 585,185.20 199,030.00 162,380.40 141,332.80 107,085.40 43,202.70 18,682.00 7,600.30 4,556.30 4,545.00 1,331.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kabupaten/Kota Kab. PASURUAN Kab. MALANG Kab. GRESIK Kab. SIDOARJO Kab. TUBAN Kota SURABAYA Kab. BOJONEGORO Kab. MOJOKERTO Kota PASURUAN Kota KEDIRI Kota MALANG Kab. SUMENEP Kab. JOMBANG Kab. JEMBER Kab. BANGKALAN Kab. BANYUWANGI Kab. PROBOLINGGO Kab. NGANJUK Kota MOJOKERTO Kab. BONDOWOSO Kab. BLITAR
2008-2010 3,764,055.10 3,431,632.80 2,125,757.30 1,877,580.10 1,387,249.80 1,328,873.60 466,668.40 423,554.80 173,107.70 88,448.50 24,420.50 16,938.00 15,697.90 12,793.70 10,000.00 7,000.00 2,968.00 1,503.20 80.10 0.00 0.00
22
Kab. LAMONGAN
0.00
22
Kab. KEDIRI
0.00
23
Kab. LUMAJANG
0.00
23
Kab. MADIUN
0.00
24
Kab. MAGETAN
0.00
24
Kab. LAMONGAN
0.00
25
Kab. NGAWI
0.00
25
Kab. LUMAJANG
0.00
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kab. PACITAN Kab. PAMEKASAN Kab. PONOROGO Kab. SAMPANG Kab. SITUBONDO Kab. SUMENEP Kab. TRENGGALEK Kab. TULUNGAGUNG Kota BLITAR Kota MALANG Kota MOJOKERTO
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kab. MAGETAN Kab. NGAWI Kab. PACITAN Kab. PAMEKASAN Kab. PONOROGO Kab. SAMPANG Kab. SITUBONDO Kab. TRENGGALEK Kab. TULUNGAGUNG Kota BATU Kota BLITAR
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
37
Kota PASURUAN
0.00
37
Kota MADIUN
0.00
38
Kota PROBOLINGGO
0.00
38
Kota PROBOLINGGO
0.00
Sumber: BKPM (2011) , diolah
189
Lampiran 25. Standardized Residuals Model PMDN 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 10
20
30
40
50
60
70
Standardized Residuals
Lampiran 26. Histogram Normality Test Model PMDN
10
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2008 Observations 76
8
6
4
2
0 -20
-10
0
10
20
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
8.95e-14 -1.619721 18.66416 -19.38649 10.08295 0.108677 1.894252
Jarque-Bera Probability
4.021417 0.133894
190
Lampiran 27. Korelasi Pearson antar Variabel Bebas Dalam Model PMDN
LPMA LPUB GROWTHT Q38AR1 DQ58R3
LPMA
LPUB
GROWTHT
Q38AR1
DQ58R3
1.000000 0.328979 0.067086 0.030550 0.058221
0.328979 1.000000 -0.176268 0.015732 -0.110692
0.067086 -0.176268 1.000000 -0.180349 0.131742
0.030550 0.015732 -0.180349 1.000000 0.236191
0.058221 -0.110692 0.131742 0.236191 1.000000
Lampiran 28. Hasil Estimasi Model PMDN dengan Pooled Least Square Dependent Variable: LPMDN Method: Panel Least Squares Date: 07/18/12 Time: 16:58 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1 C
0.351672 8.325742 0.176361 5.363588 0.065192 -229.5641
0.098595 2.958032 0.102340 3.154898 0.046350 79.69458
3.566838 2.814622 1.723292 1.700083 1.406538 -2.880549
0.0007 0.0063 0.0893 0.0936 0.1640 0.0053
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.367686 0.322521 10.38787 7553.550 -282.6028 8.140912 0.000004
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.87272 12.62056 7.594811 7.778817 7.668349 1.438918
191
Lampiran 29. Hasil Estimasi Model PMDN dengan Fixed Effects Model Dependent Variable: LPMDN Method: Panel Least Squares Date: 07/18/12 Time: 17:00 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1 C
-0.107737 13.80360 0.279706 8.830379 0.087674 -376.7287
0.219314 17.46157 0.117346 3.733236 0.047875 470.8831
-0.491244 0.790513 2.383602 2.365342 1.831327 -0.800047
0.6265 0.4349 0.0231 0.0240 0.0761 0.4294
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.806181 0.559503 8.376256 2315.335 -237.6692 3.268152 0.000346
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.87272 12.62056 7.386032 8.704737 7.913050 3.897436
192
Lampiran 30. Pengujian Model PMDN dengan Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F Cross-section Chi-square
d.f.
Prob.
2.017817 89.867205
(37,33) 37
0.0218 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LPMDN Method: Panel Least Squares Date: 07/18/12 Time: 17:01 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1 C
0.351672 8.325742 0.176361 5.363588 0.065192 -229.5641
0.098595 2.958032 0.102340 3.154898 0.046350 79.69458
3.566838 2.814622 1.723292 1.700083 1.406538 -2.880549
0.0007 0.0063 0.0893 0.0936 0.1640 0.0053
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.367686 0.322521 10.38787 7553.550 -282.6028 8.140912 0.000004
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.87272 12.62056 7.594811 7.778817 7.668349 1.438918
193
Lampiran 31Estimasi Model PMDN dengan Random Effects Model Dependent Variable: LPMDN Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/18/12 Time: 17:01 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1 C
0.289785 9.280199 0.225173 6.207752 0.073570 -256.5877
0.104511 3.272696 0.093456 2.954759 0.039049 88.10908
2.772777 2.835644 2.409394 2.100933 1.884040 -2.912160
0.0071 0.0060 0.0186 0.0392 0.0637 0.0048
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
5.874629 8.376256
Rho 0.3297 0.6703
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.338878 0.291656 8.569942 7.176137 0.000018
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
7.719574 10.18253 5141.073 1.983347
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.361711 7624.937
Mean dependent var Durbin-Watson stat
10.87272 1.337261
194
Lampiran 32. Pengujian Model PMDN dengan Hausman Test terpilih Model Random Effects Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
8.274671
5
0.1417
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.289785 9.280199 0.225173 6.207752 0.073570
0.037176 294.195840 0.005036 5.206453 0.000767
0.0392 0.7920 0.4422 0.2504 0.6106
Cross-section random effects test comparisons: Variable LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1
Fixed -0.107737 13.803604 0.279706 8.830379 0.087674
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LPMDN Method: Panel Least Squares Date: 07/18/12 Time: 17:02 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LPMA LPUB GROWTHT DQ58R3 Q38AR1
-376.7287 -0.107737 13.80360 0.279706 8.830379 0.087674
470.8831 0.219314 17.46157 0.117346 3.733236 0.047875
-0.800047 -0.491244 0.790513 2.383602 2.365342 1.831327
0.4294 0.6265 0.4349 0.0231 0.0240 0.0761
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.806181 0.559503 8.376256 2315.335 -237.6692 3.268152 0.000346
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.87272 12.62056 7.386032 8.704737 7.913050 3.897436
195
Lampiran 33. Standardized Residuals Model PMA 2
1
0
-1
-2
-3 10
20
30
40
50
60
70
Standardized Residuals
Lampiran 34. Histogram Normality Test Model PMA 12
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2008 Observations 76
10
8
6
4
2
0 -20
-10
0
10
20
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.29e-15 1.665151 20.93807 -24.56803 10.36294 -0.245158 2.384096
Jarque-Bera Probability
1.962535 0.374836
196
Lampiran 35. Korelasi Pearson antar Variabel Bebas Dalam Model PMA
LPUB LPMDN GROWTHT DQ78AR1 DQ67CR1 DQ61R1 DQ86R2
LPUB
LPMDN
GROWTHT
1.000000 0.364254 -0.176268 -0.071428 -0.153383 -0.073083 0.143282
0.364254 1.000000 0.142934 0.224093 0.012779 0.075577 0.080287
-0.176268 0.142934 1.000000 0.115690 0.152442 0.173591 0.114503
DQ78AR1 DQ67CR1 -0.071428 0.224093 0.115690 1.000000 -0.089375 0.137800 -0.107303
DQ61R1
-0.153383 -0.073083 0.012779 0.075577 0.152442 0.173591 -0.089375 0.137800 1.000000 -0.102565 -0.102565 1.000000 -0.031497 -0.071788
Lampiran 36. Hasil Estimasi Model PMA dengan Pooled Least Square Dependent Variable: LPMA Method: Panel Least Squares Date: 07/30/12 Time: 21:05 Sample: 2007 2008 Periods included: 2 Cross-sections included: 38 Total panel (balanced) observations: 76 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPUB LPMDN GROWTHT DQ78AR1 DQ67CR1 DQ61R1 DQ86R2 C
7.414464 0.344604 -0.041005 7.324712 7.508335 5.795913 4.548432 -209.0002
3.260892 0.114101 0.109574 4.105739 3.189421 2.896155 4.781843 88.23488
2.273753 3.020164 -0.374222 1.784018 2.354137 2.001244 0.951188 -2.368681
0.0261 0.0036 0.7094 0.0789 0.0215 0.0494 0.3449 0.0207
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.370037 0.305188 10.88326 8054.284 -285.0419 5.706115 0.000033
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.53630 13.05645 7.711630 7.956970 7.809679 1.046652
DQ86R2 0.143282 0.080287 0.114503 -0.107303 -0.031497 -0.071788 1.000000