DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI SECARA EKLEKTIK PADA DESAIN MASA KINI berdasarkan perspektif historis dan semiotis
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
Dampak Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini Berdasarkan Perspektif Historis dan Semiotis
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn E-mail: arimbawa @yahoo.com Hak Cipta © 2010 Pada penulis Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara digital maupun mekanis, termasuk memfotocofy, merekam atau dengan system penyimpanan lainnnya, tanpa seizin tertulis dari penulis Desain cover & setiting : Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn 21 x 15 cm Penerbit : Udayana University Press Jimbaran Denpasar Bali Bekerja sama dengan: Intitut Seni Indonesia Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar
ISBN: 978-602-8566-65-0
DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………… i DAFTAR ISI…………………………………………... iii SAMBUTAN ................……………………………… v PENGANTAR PENULIS……………………………. viii BAB I PENDAHULUAN………………………………................... 1 BAB II EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI……………………………………….. 19 A. Pengertian Eklektik……………………………... 19 B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali 21 BAB III PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI…………………………………. 28 A. Sejarah Penerapan Produk Kriya…………….. 28 B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali…. 52 BAB IV PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA……………………………………………... 97 A. Pendekatan Historis…………………………….. 97 B. Pendekatan Semiotis…………………………… 100 C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya…. 115 1. Konsep Sekular……………………………….. 116 2. Konsep Spiritual Religius……………………... 119 D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehubungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu ……………... 122 BAB V DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI ……………………………… 128 A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Ele-men Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini……... 128 1. Kajian Historis…………………………………. 128
2. Kajian Semiotis………………………………... 148 B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini……..................... 157 1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk Kriya Masa Lalu…………………………. 159 2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain Masa Kini…………………………………. 161 DAFTAR BACAAN 168
BAB I
PENDAHULUAN
S
etelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950, perkembangan pariwisata di Bali kembali mengalami kebangkitan dan hingga sekarang menjadi pusat pengembangan industri pariwisata di kawasan tengah Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, pengaruh pariwisata sangat dirasakan oleh masyarakat di Bali. Di satu sisi banyak prestasi gemilang yang telah diraih dan secara tidak langsung dapat membawa kehidupan masyarakat di Bali menjadi lebih baik, namun di sisi lain pengaruh tersebut tidak dapat dielakkan lagi menimbulkan dampak negatif dan menjadi masalah terhadap kelestarian kebudayaan Bali. Nilai-nilai tradisional banyak menjadi tidak eksis dan bahkan menjadi rusak akibat perkembangan komersialisasi dan materialisme dalam hubungan antar manusia sebagai konsekuensi logis adanya aktivitas pariwisata. Hubungan sosial antar manusia yang pada mulanya didasari oleh nilai-nilai moral berubah menjadi hubungan yang didasari oleh nilai-nilai ekonomi dan kepentingan. Budaya kolektif berubah menjadi individual. Menurut Geriya (1993), bahwa dampak pariwisata khususnya dalam konteks sosial budaya ditandai dengan adanya beberapa indicator sebagai berikut.
1. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan terkonsentrasi di daerah wisata sebagai akibat dari adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah tersebut. 2. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat impersonal. 3. Meningkatnya mobilitas penduduk dalam bekerja. 4. Mundurnya aktivitas gotong royong. 5. Berkembangnya konflik antargenerasi, khususnya generasi tua dan generasi muda. 6. Terjadinya gejala social defiance yang meliputi kejahatan, narkotika, maupun penyakit kelamin. 7. Terjadi komersialisasi kebudayaan dan hasilnya. Mengenai indikator pada poin ketujuh merupakan salah satunya masalah terkait dengan eksistensi kehidupan kebudayaan tradisional Bali. Hasil kebudayaan unggul (height culture) hendaknya diposisikan sebagai basis kreativitas yang kaya inspirasi, kokoh identitas, kuat modal budaya yang mengkonstruksi, mengintegrasi dan menyeimbangkan, sehingga tidak tergerus oleh mekanisme komersialisasi dan komoditisasi. Antara kebudayaan tradisional Bali dan penciptaan desain produk masa kini agar terjaga pola hubungan sinergis, komplementer yang simetris dan saling meningkatkan. Hal tersebut menjadi penting, mengingat hasil kebudayaan unggul memiliki karakteristik sebagai ber-
ikut: (1) mengedepankan kualitas, sehingga diagungkan dan dimuliakan (adhiluhung); (2) menjadi sumber inspirasi atau spirit dan kreasi oleh mayoritas populasi dan perajin; (4) memiliki sifat khas, lentur dan adaptif dengan roh budaya; (5) mengandung sari-sari budaya dan peradaban, seperti etika, estetika, logika, solidaritas, spiritualitas dan aneka kearifan lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Mantra (1988) bahwa kebudayaan Bali dalam perkembangannya berfungsi secara “normatif” dan “operasional”. Berfungsi normatif, karena terkait dengan adat-agama Hindu di Bali, maka peranan kebudayaan Bali diharapkan mampu dan berpotensi memberikan pegangan dasar dan pola pengendalian, sehingga ketahanan dan kelestarian budaya dapat diwujudkan. Berfungsi operasional, karena kebudayaan Bali diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi peningkatan kualitas kepariwisataan di Bali. Upaya mewujudkan ketahanan dan kelestarian kekayaan budaya serta alam Bali, maka pada beberapa dasawarsa silam, pemerintah daerah Tingkat I Bali dalam melaksanakan pembangunan yang mencakup berbagai sektor dirumuskan peraturan-peraturan daerah yang diarahkan pada pembangunan dengan pola budaya Bali, berwawasan lingkungan dan dilandasi dengan konsep adati-Hinduisme, seperti: 1. Rwa Bhineda, yaitu dua hal yang berbeda terdapat di dunia ini. Bagi orang Bali perbedaan tersebut tidak harus dipertentangkan, melainkan
diharmoniskan (serasi, selaras dan seimbang). Konsep tersebut memberi kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan tidak luput dari belenggu dikotomi yang bersifat kodrati, seperti: baik atau buruk, siang atau malam, pria atau wanita, nyata atau tidak nyata (sekala atau niskala), dan sakral atau profan. Hal tersebut, sesuai dengan yang termaktub dalam Kitab Sarasamušcaya, seloka: 498, yaitu sebagai berikut: sukha vã yadi vã duhkham bhûtãnãm paryupasthitam, prãptavyamavašaih sarva parihãro na vidyate. Artinya: dua hal yang berbeda, seperti suka dan duka tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, merupakan kekuasaan Sang Hyang Widhi Waša atau Tuhan, sehingga segala makhluk tidak luput dari ikatan suka maupun duka (Kadjeng, 1993.) Sebagai manusia dengan berbagai keterbatasan, kebolehan dan kemampuan sebenarnya sangat sulit untuk menentukan batas absolut dua hal tersebut. Oleh sebab itu, maka dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan, dituntut bijak, menghidarkan tindakan yang arogan dan harus berdasarkan nalar atau wiweka, yaitu kemampuan untuk menimbang konsekuensi baik atau buruk yang akan berpengaruh pada manusia dan lingkungan.
2. Catur Purusha Artha, artinya empat tujuan hidup sebagai dasar kehidupan sosial, yaitu terdiri dari: dharma, artha, kãma dan moksa. Keempat bagian tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang utuh. Perkataan dharma, berasal dari bahasa Šanskerta, ‘dhir,’ yang berarti: menjunjung, memangku, mengatur, adil, rasa bersahabat, menuntun, memelihara dan melestarikan. Artha, artinya benda atau sarana yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kãma, berarti naluri, dorongan nafsu atau keinginan yang bersifat duniawi. Sedangkan perkataan Moksa, berasal dari Bahasa Šanskerta, ‘Muc’ yang berarti membebaskan atau melepaskan ikatan duniawi. Dari keempat tujuan hidup tersebut, moksa adalah merupakan tujuan hidup yang tertinggi, karena merupakan kebahagian sejati. Sedangkan dharma adalah tujuan terpenting, sebab dengan perbuatan yang dilandasi dengan dharma, maka tuntutan akan artha dan kãma dapat dikendalikan; moksartham jagadithya ca iti dharma, artinya tujuan dharma adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani yang selaras dan seimbang. Hal tersebut, sesuai dengan pen-
jelasan dalam Kitab Sarasamušcaya, seloka: 12, yaitu sebagai berikut: Kamãrthau lipsamnastu dharmmamevãditašsaret, nahi dharmmãdapetyãrthah kãmo vapi kadãcana. Artinya: jika menuntut artha dan kãma dalam hidup ini, hendaknya mengutamakan dharma, nantinya tak disangsikan lagi pasti akan diperoleh artha dan kãma. Tidak ada artinya, bila artha dan kãma tesebut diperoleh dengan perbutan yang menyimpang dari dharma (Kadjeng,1993.) Konsep tersebut merupakan panduan absolut bagi manusia untuk membina keseimbangan dan keselarasan antara alam sekala dan niskala. Dalam usaha memenuhi tuntutan artha dan kãma, hendaknya manusia mengendalikan diri dan lebih mengutamakan perbuatan dharma. Hal tersebut merupakan suatu penafsiran atau fatwa agar manusia senantiasa memelihara dan melestarikan alam semesta yang mencakup bhuana agung (makrokosmos) serta bhuana alit (mikrokosmos), untuk mencapai jagaddhita atau kebahagian dan kesejahteraan hidup. 3. Desa Kala Patra, adalah bagian dari Tri Pramana dalam lingkup perilaku manusia, merupakan tiga ukuran yang dapat dipakai seba-
gai pedoman untuk menilai kenyataan Rwa Bhineda. Desa dalam konteks perilaku manusia merupakan pedoman berdasarkan tempat atau lingkungan di mana perbuatan tersebut dilakukan. Kala merupakan pedoman berdasarkan waktu perbuatan atau aktivitas tersebut dilakukan. Sedangkan Patra merupakan pedoman berdasarkan “keadaan” atau peraturan tertulis yang berlaku. Konsep tersebut memberikan landasan ideal yang luwes atau fleksibel, khususnya dalam mengambil sikap, peraturan, keputusan atau kebijakan yang akan diberlakukan dalam masyarakat. Manusia hendaknya mampu menyesuaikan dengan waktu, tempat atau lingkungan dan keadaan atau peraturan yang telah berlaku, sehingga tercipta kesatuan pandang dan keadaan yang mengarah pada kedamaian, kenyamanan, kesejahteraan umat manusia dan kelestarian lingkungan. 4. Karma Phala, yaitu terdiri dari kata Karma yang artinya perbuatan dan Phala artinya buah atau hasil. Jadi Karma Phala mengandung arti: hasil dari perbuatan. Dua hal tersebut memiliki hubungan timbal balik dan marupakan “hukum” dan telah dipercayai umat Hindu di Bali, bahwa semua perbuatan manusia pasti akan memperoleh hasil yang setimpal (inter-
aksi yang seimbang); baik di dunia nyata (sekala) maupun di akhirat (nis-kala). Hukum Karma dikenal pula sebagai hukum alam atau kausalitas dan tak seorang pun luput dari hukum tersebut. Dalam Kitab Reg Veda VII. 25. 1, hukum tersebut dikenal dengan perkataan Rtã dan dijelaskan sebagai berikut: Tã vãm vivaya gopã Deva dikesu yajñiyã rtãvãnã yajase putadaksasã. Artinya: Kami memuja engkau yang menjaga alam semesta, Dewa yang tersuci penegak hukum keabadian yang memiliki kekuatan suci. Jadi, hukum Rtã selain sebagai hukum perbuatan serta hukum moral, juga sebagai hukum jagat raya. Hukum tersebut mengatur keterpaduan, keseimbangan dan menghindari kekacauan alam semesta. Konsep yang dilandasi Karma Phala, memberi pendirian terhadap hukum kausalitas yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini. Menanamkan kepercayaan bahwa, perbuatan baik selalu akan mendatangkan hasil yang baik, sebaliknya perbuatan buruk akan memperoleh hasil yang buruk. Jadi, konsep tersebut melandasi sikap antisipatif, pengendalian atau restraint dan pembinaan moral dalam segala perilaku manusia sehari-hari, baik antar sesama sebagai sum-
ber daya manusia, maupun dalam memperdayakan sumber daya alam. 5. Tri Hita Karana. Perkataan tersebut terdiri dari kata ‘Tri’ berarti tiga, ‘Hita’ berarti sejahtera, selamat atau kemakmuran dan ‘Karana’ berarti penyebab. Terdiri dari: Parhyangan, Palemahan dan Pawongan. Secara keseluruhan Tri Hita Karana mengandung pengertian: tiga penyebab terciptanya keselamatan, kesejahteraan atau kemakmuran. Esensi dari konsep tersebut merupakan sinergisme yang meliputi pembinaan hubungan yang harmonis, baik secara vertikal maupun horizontal, yaitu: (1) Pola hubungan manusia dengan Tuhan disebut Parhyangan, artinya manusia hendaknya selalu sujud kehadapan-Nya atas segala rahmat dan karunia-Nya, (2) Pola hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya disebut Palemahan, artinya manusia hendaknya selalu merawat dirinya sendiri dan menjaga, memelihara kelestarian alam disekitarnya. Membatasi eksplorasi dan ekploitasi alam, sehingga tercipta kehidupan yang sehimbang, selamat dan sejahtera. (3) Pola hubungan manusia dengan manusia disebut dengan Pawongan, artinya manusia dalam kehidupanya hendaknya selalu dapat menjalin rasa persahabatan
yang didasari dengan saling pengertian dan Tãt Twãm Ãsi. Secara harfiah terdiri dari kata: Tãt artinya “itu”, Twãm artinya “kamu” dan Ãsi artinya “adalah”. Jadi secara keseluruhan berarti “itu adalah kamu”. Pengertian “itu” termasuk “aku” dimaksudkan diri sendiri dan alam semesta beserta isinya. Jika menyakiti orang lain secara implisit berarti menyakiti diri sendiri. 6. Etos Kerja dan Jengah atau semangat kerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa perkataan etos yang terkait dengan kebudayaan berarti: sifat, nilai dan adat-istiadat yang khas serta memberi watak kepada kebudayaan suatu golongan sosial di masyarakat. Kalau ditambah dengan kerja, berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994) Demikian juga secara Sosiologi, berarti: (1) nilai-nilai dan ide-ide suatu kebudayaan; (2) karakter umum suatu pekerjaan (Soekanto, 1985) Sedangkan jengah dalam Bahasa Bali berarti: semangat juang. Dalam konteks seni Budaya Bali, terutama dalam menciptakan produk-produk seni bermutu tinggi, kata jengah berkonotasi sebagai
“semangat bersaing” atau competitive pride (Mantra, 1993) Dari pengertian etos kerja tersebut, maka sifat khas atau semangat kerja yang dimiliki masyarakat dalam lingkungan adat Bali, adalah semangat kerja yang dilandasi dengan gotong royong serta berbakti dengan cara yang tulus iklas atau ngayah kepada Tuhan berserta ciptaannya, yaitu dalam bentuk pengorbanan suci atau Yajña. Sedangkan dalam perkata jengah secara implisit tersirat sifat dinamis dan merupakan pangkal dari segala dinamika perubahan dalam kehidupan masyarakat di Bali. Konsep tersebut merupakan landasan dari kerja keras, dinamis dan kebersamaan dalam pembangunan disegala sektor. Tetapi kedua hal tersebut perlu diarahkan, diakomodasikan dan dikendalikan dengan konsep tersebut sebelumnya, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian serta dalam mengeksploitasi sumber daya alam akan dapat diharapkan terwujudnya kelestarian. 7. Estetika. Bagi orang Bali keindahan, baik keindahan alam maupun keindahan hasil olah cita, rasa dan karsa manusia yang muncul akibat perpaduan antara keserasian keselarasan dan keseimbangan dalam suatu pro-
duk seni atau desain adalah merupaka karunia Tuhan. Oleh sebab itu, seni dengan keindahan hendaknya dipersembahkan kembali kepada-Nya dalam produk seni ataui desain berbentuk simbol-simbol atau nyasa, sebagai rasa terimakasih. Dengan pandangan tersebut, maka dalam setiap kegiatan adat-agama Hindu di Bali, keindahan merupakan hal pokok yang harus diperhitungkan, karena bagi umat Hindu di Bali dipercayai bahwa dalam keindahan tersirat nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan kebenaran. Sehingga dengan melakukan persembahan keindahan berarti berbuat yajña. Pandangan tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Gie (1976) bahwa keindahan dalam arti luas mencakup pula ide kebaikan (mengacu pada pengertian bangsa Yunani kuno, seperti Plato menyebut ‘watak indah’ atau ‘hukum indah’ dalam konteks tersebut, maka pengertian indah akan menyiratkan nilai kejujuran dan kebaikan. Konsep tersebut juga merupakan pedoman bagi generasi penerus dalam menghayati menikmati, dan menghargai keindahan, baik terlihat di alam sebagai ciptaan-Nya yang agung, maupun pada produk seni atau produk kriya tradisional yang adiluhung, karena
di dalamnya tersirat nilai-nilai luhur. Mengajarkan manusia agar berbuat dengan mengarah pada keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dengan Tuhan, sesama mahkluk maupun dengan alam di sekelilingnya, sehingga tetap tercipta “keindahan”. 8. Taksu, merupakan personal asset atau inner power yaitu kekuatan dari dalam diri seseorang sebagai fitrah yang memberikan kecerdasan, keindahan dan mujizat. Dalam kaitannya dengan pelbagai aktivitas budaya Bali, taksu juga mempunyai arti sebagai kreativitas murni, genuine creativity, yang memberi kekuatan spiritual kepada seorang seniman untuk mengungkap dirinya menjadi “lebih besar” dari kehidupan sebelumnya (Mantra, 1993) Konsep tersebut menuntun kesadaran manusia untuk menumbuhkan rasa percaya diri, sebab setiap insan memiliki taksu sebagai anugrah Tuhan yang perlu dilatih dan dikembangkan, sehingga dapat tampil sebagai jati diri yang mandiri. Seorang seniman tari dapat dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Seorang perupa dikatakan produknya ber-taksu, apabila mampu merefleksikan inner power pada produk visualnya, sehingga berkesan “hidup”
dan sebagainya. Namun dalam mensosialisasikan kesadaran tersebut, perlu juga ditopang atau dikendalikan oleh konsep-konsep lainnya yang telah dipaparkan, sehingga tidak terjadi penampilan yang terlalu berlebihan, “over acting”, atau jangan sampai melewati batas norma-norma yang berlaku. Karena sikap tersebut, kadang dapat menjadi bumerang. Taksu yang dimiliki akan berubah menjadi “kelemahan”. Demikian juga pengembangan pariwisata di daerah Bali, secara yuridis berdasarkan Perda Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991 yang menetapkan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah berbasis budaya Bali, yaitu jenis kepariwisataan yang bertumpu pada kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu sebagai potensi daerah yang paling dominan. Dalam konsep tersebut secara implisit tersirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal balik atau symbiosis mutually beneficial relationship antara pariwisata dengan kebudayaan Bali. Konsep pariwisata budaya diharapkan dapat mengkonstruksikan interaksi yang sangat erat antara pariwisata dan kebudayaan masyarakat Bali serta dapat memberi peningkatan yang signifikan secara serasi, sela-
ras, dan seimbang. Diupaya agar meminimalkan timbulnya dampak negatif terhadap kelestarian seni budaya Bali. Walaupun sedemikian luhurnya maksud dan tujuan konsep yang melandasi strategi pembangunan di Bali. Namun pada kenyataannya tak jarang ditemukan juga “ketidaktaatan” dalam operasionalnya. Sebagai salah satu contoh yang dapat dijumpai dalam dasawarsa belakangan ini, seperti fenomena eklektik atau “pemilihan” bentuk-bentuk atau ragam hias tradisional Bali yang sebenarnya dirancang dengan bentuk, isi (content) atau bobot, narasi, dan nilai-nilai estetika yang khusus untuk diterapkan pada sarana pemujaan dan dianggap mengandung nilai simbolis dan sakral, namun kini banyak tampak diterapkan pada desain produkproduk profan atau tempat-tempat yang tidak sesuai. Misalnya, Karang Bhoma yang sebenarnya merupakan ragam hias pada bangunan-bangunan suci, sekarang banyak terlihat diterapkan sebagai elemen estetis pada hotel, perkantoran, rumah tinggal dan bahkan sebagai hiasan pada bagian tubuh dengan di-tatto. Kalau dikaji dari sudut kesejarahan dan semiotika, maka fenomena tersebut merupakan suatu pergeseran makna dan dapat berakibat terjadinya “desakralisasi”, pengkaburan makna dan berkonotasi negatif. Produk yang dibuat tersebut kadang-kadang menampakan “kejanggalan”, karena dalam pengerjaannya tidak mengacu pada referensi kesepakatan yang dibuat
oleh leluhurnya di masa lalu dan nilai-nilainya masih eksis pada masyarakat Hindu di Bali. Menyikapi kondisi tersebut dalam masyarakat Bali terjadi polarisasi pandangan, sementara ada yang berpendapat bahwa hal tersebut “sah-sah” saja tergantung pada proses pengerjaannya, di lain pihak ada yang memandang sebagai sesuatu yang baku dan tindakan tersebut sebagai sesuatu yang keliru. Namun jika ditinjau dari sudut visualnya sebenarnya implementasi tersebut tidak sesuai dan dapat berdampak buruk, baik terhadap produk yang dipilih dan demikian juga terhadap desain yang diberi elemen estetis produk kriya tradisional yang sarat makna religius. Dalam penerapan elemen estetis tradisional pada desain masa kini, mereka kadang-kadang tidak mempersoalkan masalah eksistensi makna dan nilainilai filosofi yang dikandungnya. Penerapannya sematamata berorientasi pada faktor estetis dan komersial. Jika ditinjau kembali dengan merujuk konsep estetika yang mendasari strategi pembangunan di daerah Bali. Jelas tidakan tersebut tidak relevan dan merupakan suatu sikap “ketidaktaatan. Mereka memilih dan menerapkannya pada produk atau tempat yang bersifat profan dengan tendensi lebih mengutamakan segi pemampilan “artistik” semata, tanpa peduli akan terjadi pelunturan nilai-nilai filosofi, terutama yang terkait dengan nilai-nilai simbolis religius yang dikandungnya. Produk yang tergolong high art sebagai hasil kebu-
dayaan tinggi atau high culture yang adiluhung, menjadi kehilangan ‘jiwa’ kesuciannya atau menjadi suatu produk yang lumrah. Sikap seperti tersebut tanpa disadari dapat mengancam spirit dan kelestarian budaya Bali yang dibanggakan dan dijadikan sebagai daya tarik utama dalam pengembangan kepariwisataan di Bali Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa “masyarakat Bali” dalam mengaplikasikan konsep-konsep adati Hinduisme yang kini dijadikan sebagai landasan strategi pembangunan di daerah Bali, khususnya dalam aktivitas penciptaan dan penggunaan elemen estetis produk kriya tradisional, secara umum dapat digambarkan dalam suatu sekematik hubungan hirarki atau taksonomi pandangan tentang dunia (weltanschaúung) manusia Bali seperti Gambar 1 berikut:
ASUMSI DASAR THEOLOGICAL CONCEPT
NISKALA
CATUR PURUSHA ARTHA KEINDAHAN ("RASA")
SKALA
EXTERNAL (SUB SISTEM) PENGARUH -PARIWISATA -MODERNISASI /TEKNOLOGI
TAKSU
JENGAH ETOS KERJA
TRI HITA KARANA DESA PATRA KALA
FORMITAS TOTAL KON
SIO NAL (HIDUP DI B U ER A MI) OP
KARMA PHALA RWA BHINEDA
ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYATRADISIONAL MASA LALU DI BALI
DESAIN MASA KINI BERSIFAT KOMERSIAL: - CITRA TRADISIONAL PENUNJANG KEPARIWISATAAN DI BALI
Gambar 1: Taksonomi Pandangan Dunia Manusia Bali
EKLEKTIK DAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI
A. Pengertian Eklektik
BAB P II
erkataan eklektik dalam bahasa Yunani disebut eklektikos, Perancis, eklegein berarti:1) memilih yang dipandang terbaik dari berbagai doktrin, metode, sistem, atau gaya. 2) mengkomposisikan beberapa elemen yang diambil dari berbagai sumber (Webster, 1983.) Dalam filosofi dan teologi, eklektik merupakan praktek memilih doktrin dari beberapa sistem yang berbeda tanpa memakai keseluruhan sistem yang lama untuk masing-masing doktrin. Berbeda dengan sinkretisme —merupakan suatu usaha untuk menyerasikan, perpaduan atau mengkombinasikan beberapa sistem— karena masih meninggalkan kontradiksi yang belum dihilangkan (Encyclopaedia Britannica ,1995). Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, diartikan bahwa eklektik sebagai usaha memilih atau menggunakan bermacam-macam susunan yang tidak terbatas pada satu sumber ide dan sebagainya, baik berupa orang, kepercayaan dan sebagainya (Hornby, 1989), dan dalam Moeliono, et al, (1994), perkataan eklektik mengandung pengertian; suatu usaha bersifat
memilih yang terbaik dari berbagai sumber tentang: orang, gaya atau metode. Dalam seni dan desain, istilah eklektik dikenal sebagai upaya untuk mencampur atau meramu beberapa gaya yang berasal dari berbagai sumber dalam satu produk. Jadi, sebenarnya eklektik tidak memiliki prinsip khusus dalam kreativitasnya, namun gaya eklektik merupakan olah image dari perpaduan berbagai gaya. Bahkan pada perkembangannya dalam seni dan desain, eklektik lebih merujuk pada perpaduan antara beberapa gaya yang saling bertolakbelakang. Misalnya, memadukan gaya modern dan tradisional. Meski terkesan tidak memiliki prinsip, namun bukan berarti eklektik tidak unik. Justru dengan perpaduan berbagai macam gaya akan melahirkan satu nuansa baru yang jelas berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya. Dari uraian tersebut, maka dapat dipahami, bahwa eklektik tidaklah selalu menghasilkan sesuatu yang bersifat “merusak” norma-norma masa lampau akan tetapi dapat juga berarti sebagai bentuk “penghargaan” atau produk “nostalgia”. Hal tersebut juga sesuai dengan konsep Charles Jencks yang menggunakan pengkodean ganda atau double coding dan eklektik digunakan untuk menerangkan hakekat produk post modernisme. Dalam hal tersebut ia mendefinisikan postmodern sebagai” kombinasi teknik-teknik modern dengan sesuatu yang lain, seperti elemen-elemen estetika tradisional) agar dapat berkomunikasi dengan publik dan
minoritas yang terkait” (Jencks,1987). Perkembangan yang menampilkan multivariousness, kembalinya nilainilai tradisional dan juga reaksinya yang justru menekankan bentuk-bentuk baru yang radikal dan menentang seluruh ekspresi kesenian yang dianggap ideal dalam bingkai high art Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka dalam pembahasan selanjutnya mengenai masalah penerapan elemen produk kriya tradisional secara eklektik pada desain masa kini, akan dicoba mengkaji mengenai dampak “negatif” yang ditimbulkan akibat eklektisme yang kurang terkendali. Hal tersebut, mengingat unsur-unsur produk kriya masa lalu yang “dipilih” terkait dengan sarana penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu sesuai dengan adat di Bali dan nilainilainya masih diyakini oleh sebagian besar umat Hindu di Bali. B. Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Kata kriya atau kria berasal dari bahasa Sansekerta “kr” yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja dalam bahasa Jawa disebut pekaryaan yang berarti pekerjaan dan pengertian tersebut mengacu kepada hasil suatu pekerjaan yang disebut ‘karya’. Dalam Kamus Bahasa Kawi Indonesia dijelaskan, bahwa kriya berarti pekerjaan atau perbuatan (Wojowasito, 1977) dan menurut Moeliono, et al (1994) dijelaskan, bahwa per-
kataan kriya berarti pekerjaan tangan. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau objek yang bernilai seni dan miliki nilai estetis. Pengertian kriya sering diselaraskan pengertian handicrafts. Istilah tersebut dipergunakan untuk menyebut suatu cabang seni yang mengutamakan keterampilan yang luar biasa (virtousity) menggunakan tangan. Dalam Encyclopedia of World Art (1963) didefinisikan sebagai berikut: The word “handicrafts” refers to useful or decorative objects made by hand or with tool by workman who has direct control over the product during all stages of production. Pengerjaannya bisa saja menggunakan bantuan peralatan kerja, namun sepanjang proses pembuatannya si pembuat atau kriyawan sepenuhnya dapat menguasai seluruh tahap produksi, bahkan untuk tujuantujuan tertentu dapat diciptakan peralatan khusus. Pengertian kriya juga sering dipadankan dengan istilah craft yang mengandung pengertian suatu keahlian atau keterampilan yang menghasilkan benda. Menurut Soedarso (1988) kriya adalah cabang seni rupa yang mengutamakan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi, Sehingga kriya pada hakekatnya tertuju pada penekanan bobot kekriyaan yang memungkinkan melahirkan nilai seni terapan atau dalam bentuk ekspresi baru sesuai tuntutan budaya masa kini. Atas dasar hal tersebut, maka cakupan kriya memiliki fleksibilitas yang
tinggi, bisa memiliki ciri khas atau identitas, bisa berada pada domain seni murni atau seni pakai atau seni terapan atau desain. Jadi orientasi penciptaan produk mencerminkan kecenderungan-kecenderungan kepada salah satu dari kedua hal tersebut atau terkadang dapat merupakan perpaduan seni dan desain. Hal tersebut membawa cara penilaian atau assessment estetika produk kriya tergantung dari wawasan atau persepektif ilmu yang dipergunakan untuk mendekatinya. Berdasarkan beberapa definisi dan ulasan tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa pengertian kriya, handicrafts atau craft adalah: 1. Sesuatu yang dibuat dengan kecenderungan lebih banyak melibatkan kemampuan atau keahlian tangan kriyawan atau virtousity 2. Bersifat dekoratif atau secara visual dibuat sangat indah dan dalam perujudannya dapat berupa produk seni murni atau seni terapan atau desain yang memiliki fungsi guna atau utility. Sedangkan pada masyarakat umumnya kriya sering disebut sebagai “seni rakyat”. Hal tersebut ada benarnya, karena sumberdaya manusia pelaku kegiatan tersebut umumnya rakyat biasa dan disebut “seni tradisional” karena banyak menghidupkan atau konsisten berbasis pada estetika tradisional. Kriya juga disebut “industri rumah-tangga” atau home industry yang memproduksi barang dalam jumlah terbatas dengan
peralatan sederhana. Selain hal tersebut seni kriya juga sering didekatkan dengan istilah “kerajinan” atau segala sesuatu yang berkaitan dengan buatan tangan atau kegiatan yang berkaitan dengan barang yang dihasilkan melalui keterampilan tangan. Kerajinan yang dibuat biasanya terbuat dari berbagai bahan, sehingga sebutan jenis kerajinan dikaitkan dengan medium yang digunakan, seperti: kerajinan logam, kulit, batik dan sebagainya. Produk yang dihasilkan dapat berupa hiasan atau benda seni maupun barang pakai (Wikipedia, 2010). Menurut Moeliono dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) dijelaskan bahwa kerajinan adalah proses produksi melalui keterampilan tangan. Selain hal tersebut, juga berarti industri kecil small scale industry yang membuat barang-barang sederhana dan bisa menggunakan unsur seni. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara kriya dengan kerajinan memiliki kesamaan ditinjau dari proses pengerjaannya dan pencapaian hasil, yaitu samasama menggunakan keterampilan tangan dalam proses pengerjaannya dan benda yang dihasilkan dapat berupa produk seni atau produk pakai yang mengutamakan kegunaan atau utility. Namun antara seni kriya dan kerajinan secara prinsip terdapat perbedaan. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, didalamnya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skil yang tinggi craftmenship. Karya kriya me-
rupakan karya yang memiliki keunikan,karakteristik, di dalamnya terkandung muatan-muatan atau nilai estetik, komologis, simbolis, filosofis dan sekaligus fungsional. Seni kriya merupakan salah satu cabang seni rupa yang memiliki akar kuat, yakni nilai tradisi yang bermutu tinggi atau bernilai adhilung. Sebab pada masa lampau, para kriyawan menghasilkan karya seni dengan ketekunan dan konsep filosofi tinggi memberikan legitimasi pada produk seni kriya tempo dulu. Dalam Konsep tersebut termasuk pola pikir metafisis yang mengandung muatan nilai-nilai spiritual, religius, serta magis. Kesadaran kolektif terhadap lingkungan alam, solidaritas yang tinggi dan didukung oleh tatanan budaya tradisional yang ternyata telah menghasilkan seni kriya yang berkualitas dan mencerminkan jiwa zaman lampau. Seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan pada masa dari sebuah budaya berlangsung. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Kerajinan suatu hal yang rajin, kegiatan, kegetolan, barang yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan. Seni kerajinan adalah implementasi dari karya seni kriya yang telah diproduksi secara masal (mass product). Umumnya barang kerajinan banyak dikaitkan dengan unsur seni, yang kemudian disebut seni kerajinan
Dewasa ini penciptaan produk kriya di satu sisi mengarah pada estetika plural. Dalam kreativitas penciptaan karya kriya, terjadi gejala mempertontonkan identitas invidual, sebagai ekspresi pribadi yang berupaya untuk merangsang pemahaman masyarakat akan produk budaya yang berupa kriya seni. Selain hal tersebut juga terjadi reproduksi karya masa lalu yang diwarisinya dengan tujuan untuk menampilkan karya kriya etnis. Kecenderungan saat ini mengusung pemahaman bahwa media bukan persoalan yang signifikan namun idea menjadi panglima dalam menciptakan sebuah karya seni kriya. Idea yang kreatif inovatif dengan mengangkat isu-isu yang sedang berkembang membuat seni kriya mengikuti nazab seni yang sedang berkembang, seperti karya kriya kontemporer. Sebutan "kriya kontemporer" (yang merupakan padan kata dari contemporary craft) sendiri sebenarnya mengandung paradoks karena di satu sisi ia menempatkan dirinya pada suatu kategori "kriya" (craft) yang berseberangan atau setidaknya terpisah dari "seni" (art). Namun, di sisi lain, sebutan kontemporer seolah mengacu pada paradigma seni masa kini yang dilandasi pandangan postmodernisme, di mana pembedaan kategori dianggap tidak berlaku lagi. Perkembangan karya menampilkan multivariousness. Menurut Julian Stallabrass dalam "Contemporary Art" mengatakan bahwa sekarang ini bermacam-macam bentuk, teknik, dan subject-matter dalam seni rupa sudah benar-benar campuraduk. Sekarang jamannya permainan tanda-tanda budaya glo-
bal yang melingkupi budaya tradisi, budaya modern dan budaya masa kini. Produk seni kriya dapat mengambil posisi strategis di tengah mengeliatnya isu seni rupa kontemporer dan pasar seni rendah dengan kuantitas massal; produk kriya diciptakan mengarah pada “komersialisasi” produk dan dianggap sebagai barang komuditi yang memiliki milai ekonomis. Dalam kaitan tersebut, maka parameter pengukur nilai estetika produk kriya adalah uang. Estetika menjadi praktik normatif dalam menciptakan unique selling point. Bertolak dari uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan elemen estetis produk kriya tradisional Bali adalah mengenai unsur-unsur atau bagian-bagian yang mengandung nilai-nilai estetik, simbolik, filosofis, kosmologis, dan sakral, merupakan hasil pekerjaan tangan para kriyawan secara konvensional, bersifat tradisional, adiluhung dan terkait erat dengan kepercayaan umat Hindu di Bali. Untuk lebih jelasnya nilainilai yang dikandung dalam produk kriya dapat ditelusuri dari perkembangan penciptaan produk kriya. Seperti diuraikan pada BAB III berikut.
PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI PENCIPTAAN PRODUK KRIYA DI BALI A. Sejarah Penerapan Produk Kriya
P
emaparan produk kriya di Bali secara hitoris mengenai awal penciptaan dan penggunaan-nya dalam kehidupan masyarakat di Bali adalah merupakan hal yang sangat sulit diungkap secara tuntas. Penggunaan dan penciptaan produk kriya tradisional Bali dewasa ini adalah merupakan bagian dari mata-rantai sejarah perkembangan kebudayaan Bali sejak berabad-abad yang silam. Tingkat perkembangannya ditentukan oleh berbagai faktor, seperti tingkat peradaban, dinamika dan perubahan lingkungan budaya internal maupun eksternal.
BAB III
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelusuran perkembangan dan motivasi penciptaan produk kriya dalam masyarakat Hindu di Bali, tidaklah mungkin dapat dipaparkan secara kronologis, akurat dan tuntas, karena keterbatasan referensi dan data berupa artifak-artifak yang ada. Namun berdasarkan benda etnologi yang tersimpan di Museum Bali, Denpasar, Museum Gedung Arca, Bedulu, Gianyar dan didukung dengan beberapa buku yang terkait, maka secara sinkronis atau berdasarkan penggalan sejarah dapat ditelusuri sebagai berikut:
1. Zaman Pra-Hindu. Sebelum kedatangan gelombang migrasi bangsabangsa pendukung kebudayaan Neolitikum dan Perunggu dari dataran Asia Tenggara, Pulau Bali —seperti halnya beberapa pulau lain di Nusantara— dihuni oleh penduduk yang tergolong ras Negrito yang mengusung kebudayaan Paleolitikum (Koentjaraningrat, 1971). Pada saat tersebut, penduduk yang menghuni pulau Bali masih hidup dengan pola nomaden; mengembara, berpindah-pindah, sebagai pemburu dan peramu. Pola pikirnya masih terbatas pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup berupa makanan dan belajar secara alamiah dari gejala-gejala atau kejadian-kejadian alam yang pernah dialaminya. Seperti terjadinya kelahiran, kematian, petir, angin, hujan, tanah longsor, timbulnya api, kejadian gunung berapi, gangguan binatang buas, dan sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut, membuat mereka harus waspada dan seolah-olah selalu dibayangi oleh perasaan takut, memohon keselamatan dan memuja atau percaya dengan kekuatan alam. Dalam terminologi antropologi disebut dengan kepercayaa animisme dan dinamisme. Dalam melakukan aktivitas hidupnya didukung dengan peralatan kerja berupa produk kriya terbuat dari ranting kayu, tulang binatang, tanduk dan batu yang dikerjakan dengan cara sangat sederhana, sehingga hasil produk yang ditinggalkan tampak relatif masih kasar, seperti berupa kapak batu yang tergo-
long jenis kapak perimbas, kapak genggam dan sebagainya. Di antaranya berhasil ditemukan Bali oleh R.P. Soejono, seperti: di daerah Sembiran, Buleleng, di Gua Seloding, desa Pecatu, Badung ditemukan beberapa buah sudip dan tiga buah alat tusuk terbuat dengan tulang binatang atau tanduk rusa dan di daerah lainnya.
Gambar 2: Kapak perimbas dari batu peninggalan zaman Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)
Gambar 3 Kapak Gengngam dari Batu Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda
Gambar 4 Kapak dari Batu Bertangkai Peninggalan Zaman Neolithikum (Zaman Batu Muda)
Produk kriya berupa peralatan kerja yang ditinggalkan tersebut, tampak bersahaja, lebih mengutamakan kegunaan, belum tampak usaha untuk memperindah penampilan dan kenyamanan (ergonomis). Kemungkinan juga peralatan tersebut diambil langsung dari alam serta digunakan hanya sekali pakai, kemudian ditinggalkan ke tempat lain (Sutaba, 1980) Kemudian dengan kedatangan gelombang migrasi bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Neolitikum, —migrasi orang-orang Proto Melayu dan tergolong ras Mongoloid, diperkirakan berlangsung sekitar tahun 2500 SM— maka mulailah terjadi integrasi dengan kebudayaan dari luar (Suwondo, 1977-1978). Penduduk Bali secara berangsur-angsur meninggalkan pola hidup nomaden, mulai hidup bertempat tinggal di suatu daerah dengan batas-batas wilayah tertentu yang disebut pedukuhan, belajar bercocok tanam dan bermasyarakat. Dalam masyarakat yang terbentuk saat tersebut, muncul etiket saling menghargai antar sesama dan berkembang tradisi menghormati orang yang dituakan, seperti, tokoh-tokoh masyarakat atau orang yang dianggap memiliki kekuatan tertentu. Hal tersebut menjadi dasar berkembangnya kepercayaan syamanisme, yaitu suatu ajaran berdasarkan keyakinan, bahwa roh yang ada di sekeliling manusia dapat merasuk ke tubuh seseorang melalui suatu ritual tertentu (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994). Mereka percaya, bahwa roh
orang yang meninggal dapat berpengaruh terhadap kehidupan di dunia ini. Kepercayaan animisme dan dinamisne juga semakin tumbuh subur di masyarakat Mereka percaya dengan kekuatan-kekuatan metafisis yang dimiliki oleh suatu materi. Menganggap suatu benda memiliki kekuatan magis atau bertuah dan dapat menyelamatkan atau merusak kehidupannya. Atas dasar kepercayaan tersebut, maka berkembang gejala simbolisasi dan penghargaan atau pemujaan terhadap suatu benda, dalam terminologi antropologi, perilaku tersebut disebut fetisisme. Seperti menyembah batu, pohon dan di antara produk-produk kriya yang diciptakan juga dihargai dan dipuja sebagai benda bertuah atau sebagai simbol-simbol tertentu, seperti bekal kubur (funeral gifts). Produk kriya tersebut dibuat sebagai simbol penghormatan atas jasa orang yang meninggal. Pengaruh kebudayaan Neolitikum terutama tampak dalam penciptaan produk kriya berupa peralatan dari batu. Mereka mampu menciptakan produk-produk dari batu dengan disertai usaha-usaha untuk memperindah penampilan dan memikirkan segi kenyamanan dalam pemakaiannya, seperti kapak persegi, beliung, belincung, pahat pembelah batang kelapa dan sebagainya. Proses pengerjaannya dengan cara digosok menggunakan batu lain sampai halus (Sutaba, 1980). Beberapa peninggalan produk kriya yang mendapat pengaruh kebudayaan neolitikum berupa peralatan
terbuat dengan batu, seperti ditemukan di beberapa tempat di Bali. Misalnya di Palasari, Bantiran, Nusa Penida dan di daerah lain. Sekarang benda-ben-da itu, disimpan di Museum Bali, Denpasar dan Ge-dung Arca, Bedulu, Gianyar. Dalam perkembangan selanjutnya, diperkirakan sekitar tahun 600-300 SM, datang gelombang migrasi bangsa-bangsa pendukung kebudayaan Perunggu yang disebut juga migrasi orang-orang Deutro Melayu. Dengan kedatangannya, maka di Bali terjadi akulturasi antara kebudayaan batu dengan perunggu. Kebudayaan masyarakat di Bali semakin tumbuh dan berkembang. Demikian juga pengaruh-pengaruh dari luar terus berlangsung, seperti masuknya pengaruh kebudayaan Budha, Hindu, Cina, Mesir, dan sebagainya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut diterima dan diadaptasi, sehingga memperkaya kasanah kebudayaan Bali di masa lalu. Cara penciptaan produk kriya untuk penunjang aktivitas hidupnya mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena mereka mengenal bijih logam dan cara peleburannya, seperti: emas, perak, kuningan, tembaga, besi, dan sebagainya. Kemampuan tersebut terus ditingkatkan, sehingga mampu menghasilkan beberapa jenis produk dari perunggu yang cukup berkualitas. Dalam penciptaan produk-produk kriya tersebut, mereka tidak hanya mengutamakan kegunaan semata, tetapi keindahan penampilan produk juga mu-
lai diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat pada artifak yang sangat menakjubkan, yakni berupa sebuah nekara perunggu yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar
detail hiasan wajah manusia
1m hias an waj ah man usia
Gambar 5. Nekara Perunggu Ditemukan di Pejeng, Gianyar
Nekara tersebut berbentuk selinder atau dadang terbalik. Mempunyai ukuran luar biasa dengan tingggi 1,96 m dan bidang pukulnya bergaris tengah 1,60 m. Digunakan untuk genderang perang atau sarana upacara memohon turunnya hujan (Kartodirdjo, 1976). Pola hias yang diterapkan, di antaranya berupa hiasan yang
distilasi dari bentuk wajah manusia, binatang, bulu burung, pola tumpal yang tersusun bertolak belakang, empat pasang topeng dan lain sebagainya (Kempers, 1960). Penerapan ragam hias tersebut, selain bertujuan sebagai dekorasi, juga sebagai simbol yang mengandung makna terkait dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, seperti penerapan hiasan empat pasang topeng wajah manusia, merupakan personifikasi nenek moyangnya yang telah meninggal. Benda atau hiasan tersebut dipercayai memiliki kekuatan magis atau bertuah yang memberi perlindungan dan keselamatan kepada kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya (Soejono, 1975). Pada masa tersebut, pembuatan produk kriya selain menggunakan logam juga dengan bahan-bahan lain, seperti tanah liat yang dibakar atau tembikar, anyamanyaman bambu dan mengukir batu sebagai perkembangan kebudayaan Neolitikum. Salah satu contoh peninggalan berupa peti terbuat dengan batu (sarkofagus) digunakan untuk tempat mayat. Pada sarkofagus tersebut tampak ditatah langsung berupa hiasanhiasan dan simbol-simbol terkait dengan kepercayaan mereka. 3. Zaman Hindu (Pengaruh dari India dan Majapahit) Pengaruh kebudayaan Hindu yang masuk ke Pulau Bali, diduga berlangsung melalui dua “pengaruh”,
yaitu pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa langsung dari India, baik yang dibawa oleh orang-orang Drawida maupun Arya pada masa-masa Raja Maya Denawa berkuasa di Bali, sekitar abad 8 M (Djawatan Penerangan Propinsi Suda Ketjil, 1953) dan pengaruh kebudayaan Hindu yang berasal dari Pulau Jawa. Persebaran kebudayaan Hindu dari Pulau Jawa, diduga berlangsung sekitar abad 10 M, yaitu sejak terjadi hubungan antara masyarakat Bali dengan Kerajaan Medang Kemulan di Pulau Jawa. Hubungan tersebut terus berlangsung pada zaman Kerajaan Singosari dan puncaknya terjadi pada zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad 14 dan 15 M (Suwondo, 1977/1978). Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dari Majapahit ke Bali, diawali dengan ekspedisi di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada (Prabu Wisnuwardana) pada tahun 1343, yaitu saat Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Tri Bhuwana Tungga Dewi Djaya Wisnuwardana). Dalam ekspedisi tersebut terjadi perang melawan penduduk Bali asli dan berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Gajah Mada. Kekalahan tersebut mengakibatkan penduduk Bali asli, akhirnya terdesak ke daerah pedalaman, seperti di Desa Tenganan, Karangasem, Desa Trunyan, Songan, Kedisan, Kubu dan Sukawana, Bangli, Sembiran, Cempage, Pedawa, Sidetapa, Julah, dan di daerah lainnya di Buleleng (Covarrubias, 1972).
Penduduk di Pulau Bali saat tersebut jumlahnya relatif sedikit di bandingkan sekarang. Daerahnya dibatasi hutan belantara. Namun mereka telah memiliki sistem kemasyarakatan yang mapan dengan kebiasaan berbeda dengan penduduk Bali lainnya. Sebagai penganut sekte-sekta, seperti: Sambu, Brahma, Indra, Wisnu, Bayu, dan Kala (Soeka,1986). Percaya dengan alam nyata dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan alam atau dewa-dewa penguasa alam gaib, dan konsep utara-selatan (kaja-kelod atau dulu dan tebén) dengan berpedoman pada laut dan gunung (segaraukir), di mana gunung dianggap utara dan sebagai tempat yang bersih atau suci sedangkan laut adalah selatan sebagai tempat yang kotor atau tempat pembersihan. Gunung dianggap sebagai alam arwah dan sekaligus sebagai waduk alamiah yang mengairi dataran rendah di Pulau Bali sepanjang tahun. Mereka tidak mengenal sistem Kasta, bahasa yang digunakan umumnya menggunakan Bahasa Bali Kuno dan tidak mengenal tingkatan bahasa (bahasa halus-kasar) Masuknya kebudayaan Hindu ke Bali, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap konstelasi kehidupan masyarakat di Bali. Seluruh unsur kebudayaan tradisonal Bali dominan dijiwai oleh agama Hindu dan sebaliknya wujud kebudayaannya kembali diabdikan untuk keperluan agama. Sehingg terjalin hubungan yang saling berkait seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Unsur Kebudayaan Bali Dijiwai Agama Hindu Keterangan Lima unsur dominan dalam tata kehidupan tradional di Bali,
seperti: (1) Filsafat hidup atau pandangan hidup masyarakat. (2) Adat istiadat dan hukum adat. (3) Seni budaya, (4) Organisasi sosial tradisional, dan (5) Keseluruhannya dilandasi dengan ajaran Agama Hindu. Anak panah melengkung pada gambar tersebut menunjukkan hubungan antar unsur. Anak panah menuju kearah pusat lingkaran besar menunjukkan bahwa semua unsur bertumpu pada ajaran Agama Hindu. Anak panah munuju kearah keluar lingkaran besar, menunjukkan segala produk kebudayaan kembali diabdikan atau dipersembahkan untuk agama, seperti: berupa seni rupa, bangunan tradisional, tari, tata cara upacara di pura, dan sebagainya.
Tata cara bercocok tanam tradisonal dan sistem pengairan atau subak dikembangkan berdasarkan konsepsi Agama Hindu. Sistem tersebut diajarkan oleh Resi Markandeya berasal dari Jawa Timur. Sarana dan prasarana keagamaan mengalami perkembangan dan pembenahan sejak datangnya Empu Kuturan dan Dang Hyang Nirarta dari Jawa Timur. Empu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-11, yaitu pada zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan di Bali diperintah oleh Raja Marakata dan Anak Wungsung. Ia mengembangkan konsep Tri Murti untuk pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma ‘pencipta alam’ ke arah laut, Wisnu ‘pemelihara alam’ tengah dan Šiwa ‘pelebur alam’ ke arah gunung. Menyusun sistem organisasi kemasyarakatan berdasarkan ajaran Agama Hindu yang disebut Desa Pekraman atau Desa Adat. Mengajarkan tata cara pembuatan Kayangan atau Pura, seperti, Kayangan Tiga —terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Bale Agung— untuk melengkapi Desa Pekraman. Mengajarkan pembuatan Sadkahyangan Jagat, Kayangan Catur Lokapala, Kayangan Rwabhineda dan memperlebar Pura Besakih dan sebagainya (Purnata, 1977 /1978). Sedangkan Dang Hyang Nirarta atau Danghyang Dwijendra (juga terkenal dengan sebutan Peranda Sakti Wawu Rawuh) —seorang agamawan dan pujangga besar dari Jawa Timur— datang ke Bali ketika Keraja-
an Gelgel, Klungkung dipemerintah oleh Dalem Waturenggong (1460-1550). Kedatangannya sangat berpengaruh dalam pengembangan dan penyempurnaan ajaran Agama Hindu di Bali serta turut membawa Kerajaan Gelgel ke zaman keemasannya. Dia mengembangkan konsep Tri Purusa yang terdiri dari: Parama Šiwa (Swah Loka atau alam atas), Sada Šiwa (Bwah Loka atau alam Tengah) dan Šiwa (Bhur Loka atau alam bawah). Keberhasilannya adalah memperjelas “kekaburan” antara tempat pemujaan Tuhan dengan roh leluhur, yakni dengan membuat pelinggih berupa Padmasana, yaitu untuk pemujaan Tuhan, sedangkan Pura Dadia, Pedharmaan, Paibon untuk pemujaan roh leluhur (Wiana, 1945). Penciptaan produk-produk kriya pada zaman tersebut, mempunyai peranan yang sangat penting, seperti, berupa alat pertanian, menunjang keperluan sehari-hari, terutama untuk sarana pemujaan, seperti berupa wadah, simbol maupun sebagai hiasan. Salah satu contoh, dalam pembuatan Pelinggih Padmasana. Hiasan yang diterapkan berupa pepatran, seperti patra punggel, patra welanda, patra sari, mas-masan dan sebagainya serta kekarangan, seperti karang asti, karang goak, karang bentulu, dan sebagainya. Perwujudan dalam bentuk simbol, seperti Empas, Naga Basuki, Ananta Boga, Kalpa Warksa, Purnaghata, Kinara Kiniri, Achentya dan sebagainya yang terkait dengan konsepsi Tri Murti dan Tri Purusa.
Di bidang kesenian lainnya, juga mengalami perkembangan diwarnai dengan pengaruh kebudayaan Jawa dan sarat dengan misi pembinaan umat Hindu. Seperti seni tari, pertunjukan wayang, tari topeng, dan sebagainya. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Bebetin, nomor kropak M55 dijelaskan: ...pandê mas, besi, tembaga (kriyawan atau “tukang” emas, besi, tembaga), pamukul (juru tabuh), pagending (penyanyi), pabunjing (penari), pabangsi (juru rebab), partapukan (topeng), parbwayang (wayang)...turun di panglapuan di Singamandawa, di bulan besakha Cuklapancami, rge pasaran Wijayamanggala, tahun Šaka 818 (896 M). (dibuat oleh pegawai di Singamandawa pada bulan ke-10, tanggal 5 tahun Šaka 818) ( Simpen, 1974) Prasasti tersebut memberi petunjuk, bahwa kesenian termasuk produk-produk kriya pada zaman tersebut, juga dipakai sebagai media pendidikan atau komunikasi dalam masyarakat. Seperti dalam bentuk pagelaran topeng, wayang dan sebagainya. Pada zaman tersebut di Bali sudah berdiri kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan Bedahulu (1324-1343) dengan rajanya yang terkenal bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten, Kerajaan Samprangan (13511380) dengan rajanya Sri Kresna Kepakisan berasal dari Daha (Kediri), Jawa Timur, Kerajaan Gelgel (1380 -1460) dengan masa keemasan pada saat pemerintahan Raja Dalem Waturenggong sampai Kerajaan Klungkung, yaitu salah satu kerajaan di Bali yang pa-
ling terakhir dikuasai oleh Belanda dalam perang Puputan pada tanggal 28 April 1908 dipimpin oleh Dewa Agung Jambe. Dalam kaitan dengan sistem kerajaan, maka peranan penciptaan produk-produk kriya saat tersebut memiliki kecenderungan untuk melaksanakan tugas yang dilandasi dengan semangat kebanggaan dan dedikasi kepada raja dan keluarga raja. Jadi berorientasi pada puri atau istana centris. Oleh sebab itu, kegiatan penciptaan produk-produk kriya tampak lebih berkembang di sekitar pusat kerajaan dan di bawah patronage kerajaan (Joedawinata, 1990:4). Produk kriya yang diciptakan saat itu tampak lebih mengutamakan segi keindahan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para raja dan keluarganya yang bersifat hedonistik atau sebagai simbol status sosial. Sebagai contoh, produk kriya berupa keris atau atribut raja dibuat dengan sangat indah, bangunan istana raja, umumnya dibuat lebih megah dibandingkan dengan perumahan rakyat dan sebagainya. Sehingga melahirkan produk-produk yang unggul dan adhiluhung. 4. Zaman Kolonial Ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk menemukan sumber rempah-rempah di dunia timur. Pada tahun 1597 sempat mampir di Kerajaan Gelgel (Bali), saat diperintah oleh Raja Dalem Sagening. Kedatangannya disambut dengan tata
cara yang sangat hormat, karena kunjungannya tersebut dengan dalih ingin menawarkan ikatan persahabatan, yang nantinya akan ditingkatkan menjadi hubungan perdagangan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Be-landa dengan sebaik-baiknya untuk menulis mengenai Bali, terutama mengenai segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan Raja Dalem Sagening. Pada saat tersebut, Belanda juga melontarkan suatu julukan “Jonck Hollands”, artinya “Belanda Muda”, yang ditujukan untuk Pulau Bali. Bagi Belanda, dalam julukan itu sebenarnya teselip suatu ambisi atau impian untuk menjadikan Bali sebagai wilayah kekuasaannya. Impian tersebut akhirnya benar menjadi kenyataan, setelah Belanda mampu mengalahkan perlawanan para raja Bali dalam perang puputan (terakhir tahun 1908). Mulai saat itu pamor kekuasaan para raja semakin memudar di mata rakyat Bali, karena kekuasaan kerajaan “feodal” secara berangsur-angsur diganti dengan sistem pemerintahan kolonial “modern” menurut cara Belanda. Keadaan tersebut menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan masyarakat di Bali. Sistem pemerintahan tersebut, menyebabkan muncul kelompok-kelompok elite atau golongan atas baru dalam masyarakat dan memperkenalkan ide-ide baru, misalnya, dalam pendidikan, kesehatan, menanamkan pengertian tentang pentingnya hidup non-agraris dan sebagainya.
Di sisi lain, Belanda juga sangat tertarik dengan keindahan alam dan kehidupan kebudayaan masyarakat di Bali yang memiliki ciri tersendiri, seperti memiliki beraneka ragam jenis kesenian tradisional, upacara Agama Hindu sesuai dengan adat di Bali, terdapat pura hampir di seluruh pelosok Pulau Bali dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda berkeinginan untuk mengembangkan potensi tersebut untuk dijadikan objek wisata. Dalam menyusun strategi pengembangan ke arah tersebut, maka mereka selalu konsisten untuk menjaga kelestariannya dan berusaha untuk mengisolasi dari penetrasi pengaruh-pengaruh kebudayaan eksternal, karena dikawatirkan dapat “merusak”. Pemerintah Belanda menginginkan agar keindahan alam dan kebudayaan Bali menjadi objek wisata budaya, sebagai “museum hidup” dan menjadi tontonan semata. Pemasukan berupa devisa hanya diharapkan dari pemungutan pembayaran yang dikenakan pada para wisatawan yang berkunjung (Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Ketjil, 1953) Langkah-langkah lain yang dilakukan dalam upaya pelestarian itu, seperti mengembangkan sistem pendidikan kolonial yang disesuaikan dengan tata kehidupan adat-Agama Hindu di Bali. Misalnya, diupayakan dengan mengangkat tenaga pendidik lokal, seperti pelajaran menggambar diajarkan oleh “Guru Adat” (seniman tradisional). Sistem pendidikan itu dikenal dengan
sebutan Balisering, dikembangkan oleh H. te Flierhaar —seorang tokoh pendidik dari Negeri Belanda— pada tahun 1920, ketika menjadi guru HIS di Klungkung. (Putra, 1991/1992). Selain itu, di Singaraja pada tahun 1928, di bawah pimpinan Leifrinck dan Van der Tull, medirikan Gedong Kirtya yang digunakan sebagai perpustakaan untuk menyelamatkan lontar-lontar yang berisi sastra lama dan segala aspek tentang Bali. Kemudian di Denpasar pada tahun 1932, WF. Kroos mendirikan sebuah bangunan digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan masa lalu dan sekarang dijadikan Museum Bali. Sedangkan dalam usaha mempromosikan Bali sebagai daerah tujuan wisata, dilakukan dengan mendatangkan beberapa pakar dalam berbagai disiplin ilmu dari negeri Belanda untuk mempelajari, meneliti dan menulis berbagai aspek tentang Bali. Di antaranya H.N.Van der Tuuk, menulis tentang “Kawi-BalineeschNederlandsch Woordenboek” (1912), P. De Kat Angelino dengan tulisannya berjudul “De Leak op Bali” (1923), R. Goris menulis buku berjudul “Secten op Bali” (1933), V. E. Korn menulis buku berjudul “Het Adatrecht van Bali” (1932) dan yang lainnya. Kemudian tulisan-tulisan tersebut didistribusikan ke seluruh dunia. Walhasil, usaha tersebut cukup menggetarkan keinginan banyak orang termasuk para penulis dari barat lain-nya untuk melihat Bali secara langsung. Sekitar tahun 1920, kapal dagang Belanda K.P.M
(Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dialihfungsikan untuk mengangkut rombongan wisatawan Belanda pertama mengunjungi Bali. Sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan di Bali saat itu kurang memadai, sehingga banyak di antara mereka terpaksa tidur dalam kapalnya. Namun kebanyakan wisatawan dalam rombongan tersebut merasa puas setelah meninggalkan Pulau Bali. Melihat peluang tersebut, maka dalam pengembangan selanjutnya mulailah diadakan pembenahan sarana dan prasarana yang terkait, seperti membangun Hotel Bali di Denpasar, pesanggrahan di Kintamani dan di Pelaga, perbaikan sarana transportasi, dan sebagainya. Upaya pengembangan tersebut secara tidak langsung akhirnya berpengaruh pada kegiatankegiatan lain di Bali. Misalnya pada kegiatan penciptaan dan penggunaan produk kriya. Pada masa tersebut, para kriyawan dengan “serta merta” mulai aktif menciptakan produk-produk kriya untuk dijadikan mata dagangan berupa produk kriya lokal sebagai cenderamata. Penciptaan tersebut termotivasi oleh permintaan para wisatawan yang semakin meningkat, sehingga para kriyawan dan pengusaha produk-produk kriya di Bali mulai merasakan nilai ekonomis atau nilai tukar dari produk kriya yang diciptakan atau diusahakannya. Motivasi atau semangat penciptaan produk yang dulunya dilandasi dengan rasa pengabdian yang tulus kepada agama dan ke-
rajaan, namun pada saat tersebut mulai muncul gejala yang mengarah pada komersialsasi produk kriya. Dalam kreativitas penciptaan produk berciri khas Bali mulai terjadi gejala reproduksi atau tindakan eklektik terhadap unsur-unsur produk masa lalu yang diwarisinya, kemudian disuguhkan untuk para wisatawan. Pada masa selanjutnya, dengan meletusnya Perang Dunia ke-II, maka pengembangan pariwisata di Bali tidak dapat diteruskan lagi oleh pemerintah Belanda, karena harus menerima kekalahan dalam menghadapi semangat hegemonisme Jepang. (Mirsa, 1988). Dengan kekalahan Belanda, maka situasi dan kondisi masyarakat di Bali mengalami perubahan cukup drastis. Di bawah penguasaan Jepang yang berlangsung dalam waktu relatif singkat sehingga pengembangan sektor pariwisata kurang mendapat prioritas, karena saat tersebut, Jepang lebih terfokus pada ambisinya untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. 5. Zaman Kemerdekaan Sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini (lebih kurang seperempat abad silam). Dalam kurun waktu tersebut, pembangunan di daerah Bali yang dilaksanakan berdasarkan program Repelita dan dengan strategi pembangunan daerah seperti tampak pada Gambar 7, ternyata mengalami perkembangan cukup pesat. Walaupun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan kendala.
TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PEMERATAAN TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH BERORIENTASI PADA PERTUMBUHAN
A. Pelestarian nilainilai budaya, agama dan warisan spiritual dalam seluruh aspek kehidupan B. Pengembangan identitas Bali
1.2. Delapan Jalur Pemerataan 2.2. Pendekatan Regional
EKONOMI a. Pembangunan Sektor Pertanian b. Pembangunan Sektor Pariwisata c. Pembangunan Sektor Industri SOSIAL a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar b. Peningkatan dan Perluasan Sarana dan Prasarana Sosial c. Mendorong Partisipasi Aktif dari Masyarakat dalam Pembangunan TUJUAN INTI
ARAH IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN ALAT UKUR YANG MENGARAHKAN PADA KESERASIAN DAN KETERPADUAN Sumber: (Oka, 1991)
Gambar 7. Bagan Strategi Dasar Pembangunan Daerah Bali
Dari sekema tersebut dapat diketahui, bahwa tujuan pembangunan bidang ekonomi di Bali adalah berorientasi pada pertumbuhan sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil. Hasil pembangunan ketiga sektor tersebut, seperti pada Pelita I yang dimulai sejak tahun 1969 dengan menitikberatkan pada sektor pertanian, ternyata mendapat respons cukup besar dari masyarakat petani di Bali, karena kemantapannya yang kuat sebagai masyarakat pewaris budaya agraris. Sehingga hasilnya tampak jelas dari Pelita I sampai V mampu membawa masyarakat Bali ke tingkat swasembada pangan. Pembangunan sektor pariwisata di Bali, yang kembali dibangkitkan oleh pemerintah Indonesia sekitar tahun 1950, dengan tetap memakai potensi budaya sebagai daya tarik utama, ternyata memberi peningkatan perekonomian yang cukup signifikan bagi masyarakat di Bali. Sektor tersebut memberi oportunitas cukup besar untuk tumbuh suburnya berbagai bidang usaha, seperti semakin menjamurnya usaha di bidang perhotelan, transportasi atau biro perjalanan, toko kesenian, garmen, berbagai jenis industri kecil dan rumah tangga dan sebagainya. Demikian juga industri kecil dan rumah tangga yang bergerak dalam usaha penciptaan produk kriya, kini terus dibina dan dikembangkan. Pemerintah menjadikan sektor tersebut sebagai salah satu cabang industri alternatif yang strategis, prospektif dan sesuai
dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara, karena memiliki karakteristik antara lain, humanisasi proses kerja, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja (mass employee) berakumulasi modal kecil, dan sebagainya. Sehingga diharapkan dapat terjadi peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat di pedesaan serta dapat memperlambat laju urbanisasi. Dengan dukungan pemerintah dan perkembangan pariwisata di Bali yang cukup pesat, maka pada era kemerdekaan, usaha perluasan atau enlargement penciptaan produk-produk kriya, tampak semakin mantap dan dengan kecenderungan mengarah kepada hal yang bersifat “komersial”. Para kriyawan dan pengusaha produk-produk kriya masa kini merasa semakin bergairah dalam usaha tersebut, karena termotivasi oleh nilai ekonomi yang dapat dinikmati dari produk kriya yang diciptakannya. Kondisi tersebut semakin terpacu, karena pada dasawarsa belakangan ini pemerintah Indonesia semakin mengkonsetrasikan perhatiannya pada sektor tersebut, sehubungan dengan upaya untuk memperoleh sumber dana penunjang pembangunan nasional. Berbagai program telah diluncurkan terkait dengan hal tersebut, salah satunya seperti program OVOP (one village one product). Malah pada tahun 1990-an terbukti produk-produk kriya sempat dijadikan sebagai salah satu alternatif komoditi ekspor di luar minyak dan gas alam (LNG) Liquid Natural Gas. Kebijakan tersebut
ditempuh oleh pemerintah, mengingat ekspor andalan Indonesia berupa bahan-bahan mentah yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di luar negeri, mengalami penurunan dipasaran dunia dan diikuti oleh resesi dunia pada saat tersebut (Joedawinata, 1990) B. Peranan Produk Kriya dalam Kehidupan Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali 1. Pelaksanaan Ajaran Agama Hindu Sesuai dengan Adat di Bali Agama Hindu berasal dari lembah Sungai Sindhu di India. Di tempat tersebut, ajaran diterima dari Tuhan dalam bentuk wahyu suci oleh tujuh orang Maharsi, yaitu: Maharesi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Baradwaja, Wasista dan Kanwa. Ajaran tersebut dikumpulkan dan disusun kembali oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk kitab suci yang disebut Weda. Kemudian ajaran tersebut disebarkan keseluruh dunia melalui para pengikutnya, hingga sampai ke Indonesia. Di Indonesia, Agama Hindu sering diberi sebutan yang berbeda-beda sesuai dengan nama daerah di mana Agama Hindu tersebut tumbuh dan berkembang, seperti disebut Agama Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Kaharingan dan sebagainya. Terjadinya hal tersebut, salah satunya, karena dalam tata cara pengamalan ajarannya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi budaya masyarakat penganutnya atau disesuaikan dengan desa, kala dan patra, sehingga da-
lam perkembangannya di masing-masing daerah di Indonesia, tampak memiliki etos kebudayaan Hindu yang berbeda. Namun inti ajaran Agama Hindu yang dianutnya tetap satu bersumber pada ajaran Weda. Kondisi tersebut memang menungkinkan untuk terjadi, sebab ajaran Agama Hindu memberi tuntunan yang bersifat lentur. Misalnya bagi umat Hindu yang telah “ahli” dalam teori dan praktek ilmu ketuhanan (teologi), dibenarkan mengamalkannya dengan tanpa sarana upacara dan tidak memilih tempat serta arah tertentu, karena mereka telah menaruh upacara tersebut dalam batinnya (adyâtmika). Seperti bunga yang bersemayam dalam batin yang tak pernah layu (puspa tan alun), api yang tidak pernah padam (geni anglayang), suara sukma yang tidak pernah putus (swaraning genta pinara pitu), air amerta batin yang tidak pernah kering (Šiwambhâ-dhyatmika) dan dapat manunggal dengan Tuhan atau purusa katemunta mareka si tan katemu. Namun umat seperti tersebut populasinya sangat sedikit dapat dikatakan satu per mil atau sewu tinunggal. Berdasarkan hal tersebut, maka sarana dan prasarana yang bersifat lahiriah, seperti produk-produk kriya berupa simbol-simbol atau nyasa yang bersifat sakral, mutlak akan diperlukan dalam mengamalkan ajaran Agama Hindu di Bali (Sugriwa, tt). Hal tersebut juga sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Seperti yang
disebutkan pada Bhagawag Gîtã, sloka IX-26, yaitu sebagai berikut: Yat karosi yad ašnãsi yaj juhosi dadãsi yat, yat tapasyasi kaunteya tat Kurushva mandarpanam. Artinya: Apapun yang kau kerjakan, kau makan, kau persembahkan, kau dermakan dan disiplin diri apapun kau laksanakan asalkan menuju kebenaran, lakukanlah, Kuntipura, sebagai bhakti pada-Ku (Pendit, 1995). Acuan lainya sesuai dengan pendapat tersebut, juga dapat disimak dalam cara menghayati dan mengamalkan ajaran Weda yang dapat mengacu pada beberapa hal seperti: a. Sifat ajaran Weda. Pada garis besarnya dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Mantra, Isinya terdiri dari empat himpunan atau samhita (Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda), 2) Brahmana (Karma Kanda), dan 3) Upanisad (Jñána Kanda.) Bagian kedua dari penjabaran sifat ajaran Weda di atas, yaitu Brahmana (Karma Kanda) adalah merupakan ajaran yang berisi himpunan doa-doa dan tuntunan yang dipergunakan untuk keperluan upacara Yajña, ceritera-ceritera dan simbol yang dipergunakan untuk memantapkan rasa percaya kepada Tuhan. Jadi pada dasarnya ajaran tersebut “membenarkan” penggunaan sarana
yang bersifat lahiriah untuk membantu penghayatan kepada Tuhan. Seperti penggunaan produk kriya berupa simbol-simbol yang terkait dengan ajaran agama dan sebagainya. b. Catur Marga, yaitu empat cara atau jalan utama ditempuh untuk mencapai tujuan Moksaratha Jagathita, terdiri dari: 1) Bhakti Marga, 2) Karma Marga, 3) Jñána Marga dan 4) Raja Marga. Bhakti Marga, artinya cinta kasih. Ajaran ini merupakan salah satu alternatif dalam menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Hindu dengan menggunakan sarana pemujaan. Bhakti Marga merupakan ajaran yang langsung, alamiah, mudah diterima dan dilaksanakan oleh semua tingkatan. Seorang Bhakta —penganut Bhakti Marga — adalah orang yang penuh cinta kasih kepada Tuhan berserta ciptaannya. Cetusan rasa cinta kasih dan kerinduan kepada Tuhan dapat diwujudkan dalam bentuk pesembahan bhakti atau dalam produk kriya berupa simbol-simbol untuk melukiskan sifat maya Tuhan (mayasakti) (Cudamani, 1993). c. Kerangka Agama Hindu, yang terdiri dari: Tattwa (Filsafat Agama), Susila (Etika) dan Upacara (ritual). Dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu, menurut kerangka tersebut, juga membenarkan menggunakan sarana untuk pemujaan Tuhan
Ketiga acuan di atas memberi gambaran, bahwa ajaran Agama Hindu memberi suatu tuntunan yang bersifat luwes dalam usaha mendekatkan diri dengan Tuhan. Ketiga ajaran tersebut memberi tuntunan yang mengarah pada pengorbanan suci berupa tindakan atau kerja dan membenarkan menggunakan sarana dalam pemujaan Tuhan. Seperti menggunakan produk-produk kriya, bangunan suci, busana, sesajen, air, bunga, api dan sebagainya. Pengamalan ajaran agama Hindu tersebut, secara implisit memberi peluang munculnya keanekaragaman atau perbedaan penciptaan sarana pemujaan Tuhan di setiap daerah di Indonesia. Sarana tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan dan keyakinan masyarakat setempat serta menjadi aktivitas adat atau “hukum adat” yang diusung dari generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa sebagian dari kaidah-kaidah atau norma-norma yang ada dalam masyarakat yang berasal dari sumber hukum yang dianggap sakral (dalam Suasthawa, 1990). Umat Hindu di Bali, dalam mengamalkan ajaran Weda, masih dominan mengacu pada tiga ajaran tersebut di atas. Seperti dalam pengamalan tiga kerangka Agama Hindu, ternyata yang lebih dominan dilaksanakan adalah upacara atau ritual keagamaan yang disesuaikan dengan adat-istiadat umat Hindu di Bali, sehingga hampir setiap hari umat Hindu di Bali dijum-
pai melaksanakan upacara, baik di pura, rumah tinggal, sawah, jalan, maupun di tempat lain yang dianggap sakral. Dari upacara-upacara tersebut, hampir semuanya tampak menggunakan sarana upacara, baik berupa wadah atau tempat, simbol-simbol, maupun berupa hiasan dan dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat Hindu di Bali. Upacara yang dilaksanakan tersebut dipercayai merupakan suatu bentuk pengorbanan yang tulus dan suci atau Yajña. Dengan tujuan untuk melaksanakan tiga kewajiban atau utang yang disebut Tri Rna, yaitu utang kepada Tuhan, para resi atau guru dan leluhur. Tujuan tersebut dilaksanakan didasari dengan suatu keyakinan, bahwa kelahiran manusia selalu diselimuti oleh utang yang harus dibayar. Selain hal tersebut, pelaksanaan juga diyakini bertujuan untuk menyelaraskan hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam yang didasari konsep Tri Hita Karana. Dari sekian banyak upacara Yajña yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali, pada garis besarnya dapat dikelompokan menjadi lima, yang disebut Panca Yajña, terdiri dari: (1) Dewa Yajña, yaitu, persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa; (2) Resi Yajña, yaitu, persembahan atau penghormatan kepada para Resi atau guru; (3) Manusa Yajña, yaitu, upacara penyucian yang ditujukan mulai perkawinan hingga ajal tiba; (4) Pitra Yajña, yaitu persembahan kepada roh leluhur dan upacara kematian; (5)
Bhuta Yajña, yaitu upacara korban suci kepada Bhuta Kala. Upacara Panca Yajña dapat dipilah lagi memjadi beberapa jenis upacara, misalnya, upacara Dewa Yajña atau Dewapuja, dikenal beberapa jenis upacara, seperti: Odalan, Nuntun, Ngenteg linggih, Melasti, dan sebagainya. Semuanya menggunakan sarana yang khusus dan sangat beragam, seperti berwujud bebantenan atau sesajen, penganggé atau busana dewa dan melibatkan berbagai produk kriya, baik yang bersifat temporel maupun permanen. 2. Peranan Produk Kriya dalam Upacara Agama Hindu di Bali Secara umum produk kriya di Indonesia dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Produk kriya dalam konteks budaya; (2) Produk kriya dibuat dalam konteks agama atau kepercayaan; (3) Produk kriya dalam konteks kerajinan rakyat; Dan (4) Produk kriya yang dibuat oleh kriyawan dan para perancang masa kini (Buchori, 1990) Berdasarkan kategori tersebut dan mengingat peranan serta jenis produk-produk kriya yang digunakan untuk menunjang aktivitas hidup masyarakat di Bali sangat beraneka ragam, maka dalam konteks bahasan ini, produk-produk kriya yang dimaksudkan adalah produk yang tergolong kategori kedua, yaitu sebagai sarana upacara Agama Hindu sesuai dengan adat di
Bali. Terutama produk-produk kriya yang digunakan sebagai sarana upacara Odalan, bersifat “permanen”, mengandung makna atau nilai simbolis dan dianggap sakral oleh umat Hindu di Bali. a. Pengertian Odalan Sebelum lebih lanjut menguraikan tentang peranan produk kriya, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian Odalan. Odalan atau Dewapuja berasal dari kata Wedal, yang berarti kelahiran. Dalam hal tersebut bukan berarti Tuhan mengalami kelahiran, tetapi yang dimaksudkan adalah upacara peringatan hari mulai enteg linggih atau hari peringatan mulai “distanakannya” atau dilinggakan Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasi sebagai dewa pada suatu tempat suci atau pura. Perayaannya dilangsungkan setiap enem sasih atau enam bulan (menurut perhitungan kalender Bali; 1 sasih = 35 hari.) b. Peranan Produk Kriya dalam Melaksanakan Upacara Odalan Masuknya Agama Hindu ke Bali, ternyata memberi pengaruh dominan pada tatanan kehidupan dan sistem relegi masyarakat Bali. Sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu kepercayaan terhadap alam nyata dan tidak nyata, roh nenek moyang, kekuatan alam gaib serta memberi penghargaan atau ucapan terimakasih dalam bentuk persembahan kepada alam atas hasil atau
sumber pangan yang di berikannya. Kemudian keyakinan tersebut dimatangkan lagi semenjak Rsi Markandeya datang dari Jawa. Pola masyarakat agraris yang telah mengakar tersebut, dipadukan dengan konsep yang “bernafaskan” Agama Hindu dari Jawa, seperti dalam pelaksanaan sistem irigasi yang disebut subak. Konsep Agama Hindu dari Jawa yang bersifat menyempurnakan tersebut, juga terlihat pada sarana pemujaan kepada Tuhan dalam segala manifestasinya. Seperti berupa pelinggih, penggunaan arca, pertima atau pralingga dan sarana lainnya, yang merupakan bentuk “penyempurnaan” dari hasil kebudayaan megalitik di Bali. Pengaruh perpaduan Agama Hindu, juga memberi sepirit dan inspirasi untuk tumbuh suburnya beraneka ragam jenis kesenian tradisional berciri khas Bali. Menurut pandangan umat Hindu Bali, fungsi kesenian tradisional tersebut, pada garis besarnya dapat dikelompok menjadi tiga bagian, seperti: (1) Seni Suci atau Wali, jenis kesenian ini difungsikan sebagai bagian dari suatu rangkaian upacara yang sarat dengan makna religius dan dianggap sakral; (2) Seni Ritual atau Bebali yaitu, jenis kesenian sebagai pengiring atau “penghias” dan sekaligus terkait dengan rangkain upacara; (3) Seni “Sekular” atau Bali-balihan yaitu, jenis kesenian yang cenderung mengarah pada hiburan rakyat atau kesenangan (Pindha, 1973) Produk kriya, sebagai salah satu bagian dari kesenian tradisional Bali, ternyata dapat menduduki ke-
tiga fungsi tersebut. Khususnya produk kriya yang difungsikan sebagai sarana wali berbeda dengan yang lainnya, sebab dalam penciptaannya disertai dengan proses penyucian atau sakralisasi dengan melalui tahap-tahap upacara tertentu, seperti di antaranya dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut Tabel 1 Tahap Penyucian Produk Kriya No.
TAHAPAN
(1)
ARTINYA DAN KEGIATAN
(2)
(3) pemilihan bahan baku yang akan digunakan, dewasa ayu atau “hari baik” mulai mencari bahan dan disertai dengan persembahan sesajen kepada Tuhan untuk mohon kekutan agar produk kriya tersebut ber-taksu.
1.
nglakar
2.
makalin
membentuk secara global
3.
nepong
membuat detailnya
4.
ngasren
menghaluskan
5.
mulas
memberi warna
6.
ngias
memberi kontur dan hiasan tambahan
7.
melapas
upacara pembersihan, dengan membuatkan banten pemlapas
8.
ngulapin
memanggil atau memohon kekuatan agar merasuk pada produk tersebut yaitu dengan membuatkan banten pengulap
9.
ngurip
menghidupkan yaitu dilakukan dengan mempersembahkan banten pengurip
10.
ngeteg linggih
upacara menstanakan pada tempat suci
11.
nuedin
dengan jalan mempersembahkan sesajen pada tempat atau asal bahan yang digunakan
12.
ngerehang
untuk mengetahui apakah benda yang dibuat bertuah
(1)
(2)
(3)
13.
ngajar-ngajar
upacara membawa benda tersebut ke tempat suci lainnya, seperti Kahyangan Jagat, dengan tujuan “mendaftarkan”.
14.
ngodalin
upacara memperingati hari dilinggakan benda tersebut sebagai benda sakral
15.
mepajar
memfungsikan
Narasumber: Gelebet.
Dalam melaksanakan upacara Odalan biasanya memanfaatkan berbagai macam produk kriya dengan beraneka ragam bentuk dan fungsinya serta tergolong sebagai sarana wali, seperti berupa: 1. Benda pakai, antara lain: pedupaan, bokor atau tempat sesajen, dulang, sokasi atau bakul, saab atau tutup sesajen, kendi, sangku atau tempat air suci, canting alat untuk mengambil tirta air suci, peralatan yang digunakan oleh Pedanda atau pemimpin upacara, seperti pedipan, pasepan keduanya berfungsi sebagai tempat pedupaan, stana lingga tempat api, swamba atau tempat tirta, tripada sebagai “kaki” swamba, pewijan tempat beras suci, dan sebagainya . 2. Ragam hias pada sarana perlengkapan upacara, seperti: Lontek, kober, pengawin atau bandrangan, tedung atau payung, ider-ider, berupa relief pada pelinggih-pelinggih, candi, patung, dan sebagainya. 3. Selain hal tersebut, peranan produk kriya sekaligus juga berfungsi sebagai simbol yang mengandung
nilai-nilai atau makna terkait dengan kepercayaan umat Hindu di Bali. Beberapa contoh produk kriya jenis tersebut dapat disimak pada uraian berikut 3.1. Relief Acintya a) Karakteristik: 1) Bentuk: Umumnya dibuat dalam bentuk relief yang digubah dari bentuk mirip manusia dengan tanpa busana. Sikap berdiri (padaasana) dan kaki pada posisi bergerak. Pada tiaptiap persendian, kepala, telinga, dan pada kelamin berisi bajra. Bentuk Acintya seperti tampak pada Gambar 8
Gambar 8. Acintya
2) Material: Biasanya terbuat dengan batu alam (batu padas) atau emas. Namun sekarang ada juga menggunakan “beton cetak” (campuran semen pasir yang dicetak). 3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan (abu-abu, hitam atau kuning emas dan putih). b) Fungsi: Produk kriya tersebut umumnya digunakan sebagai hiasan bersifat permanen dan sekaligus sebagai simbol. Diterapkan pada bangunan suci atau pelinggih berupa Padmasana Seperti tampak pada Gambar 9
Kepala
badan
kaki Tampak Samping
Gambar 9. Pelinggih Padmasana
b) Makna, nilai-nilai simbolik dan religiusnya: Berdasarkan lontar Widi Tatwa atau filsafat tentang Tuhan; Acintya, artinya tak terpikirkan, merupakan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan. Dan dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan: Aprameya, bhatara Paramasiwa tan pangenpangen, ape hetu ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam... Artinya; Bhatara Parama-šiwa atau Tuhan sebenarnya bersifat tidak terbayangkan (Aprameya) dalam pikiran, karena keadaannya yang tidak habis-habisnya atau ananta, tak dapat dibatasi atau anirdesyam... Oleh sebab itu, maka untuk mempermudah penghayatan-Nya, para yogiswara atau orang suci yang mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhan membuat dalam bentuk simbol bersifat ikonografi dengan mengambil bentuk mirip manusia tanpa busana, anatomi tubuh dan jenis kelamin dibuat “tidak jelas” atau Ardhanareswari, melambangkan sifat yang bebas dari ikatan duniawi. Sikap kaki seperti berjalan atau bergerak, artinya kehidupan yang selalu bergerak dinamis dan berproses. Bersemedi dengan sikap pada asana atau berdiri, melambangkan sifat Tuhan yang maha pemurah dan memberikan anugrah kepada ciptaan-Nya di alam. Setiap persendian, kepala, telinga, ujung kaki, dan
pada tempat kelamin dihiasi dengan bajra, melambangkan energi Tuhan berupa sinar suci yang memancar ke segala arah dan memberi penerangan kepada seluruh ciptaan-Nya. 3.2. Aksara Suci Ongkara a) Karakteristik: 1) Bentuk: huruf atau aksara suci Ongkara sebagai simbol diwujudkan berdasarkan konsep kosmologi dan terdiri dari beberapa bagian seperti pada Gambar 10 berikut Keterangan: 1. Bayu atau angin, bintang (angin dapat menjadi bintang. 2. Teja atau api, matahari. 3. Apah atau air (air yang padat berputar terjadilah bulan). 4. Akasa atau langit, ether (memenuhi ruang yang ada). 5. Pertiwi, tanah, bumi (terjadinya pertama-tama berawal dari gelap). Angka telu atau angka tiga melambangkan tiga manifestasi Tuhan (Brahma, Wisnu dan Šiwa
Gambar 10. Aksara Suci Ongkara 2) Material: Pada umumnya dibuat dengan menggunakan batu alam atau dari logam, seperti: emas, perak, kuningan atau tembaga, kain kapan dan sebagainya.
3) Warna: sesuai dengan warna bahan yang digunakan, seperti: abu-abu warna batu padas atau hitam, kuning emas, putih perak atau kain kapan dan sebagainya. b) Fungsi: Dipergunakan sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa Tri Murti. Umumnya diterapkan pada bangunan Pelinggih Padmasana dalam bentuk relief, ulap-ulap (secarik kain kapan diberi gambar aksara suci ongkara dan diletakkan pada pertengahan kolong atau tadah alas bangunan tradisional, sebagai tanda bahwa bangunan tersebut telah diupacarai), dipakai untuk membuat sesikep atau gegemet atau jimat, pedagingan dan sebagainya. c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Aksara Bali dalam penerapannya dibedakan menjadi dua golongan (Kaler, tt), yaitu: (1) Aksara Wrešastra atau aksara yang “tampak” atau aksara yang umum atau aksara “biasa” digunakan dalam masyarakat Bali. Akasara tersebut boleh diajarkan kepada siapa saja dan biasa digunakan seperti untuk membuat pipil (nama orang dalam suatu organisasi atau seka Banjar, dadya Pura), dalam membuat surat bukti yang ditulis di atas daun lontar, pangéling-éling atau tanda untuk meng-
ingatkan sesuatu untuk menulis bahasa Bali, Kawi, Jawa Kuno dan sebagainya (2) Aksara Cwalalita; aksara yang “tidak tampak” terdiri dari dua buah aksara yaitu Ah ( ) dan Ang ( ) merupakan aksara yang didak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Huruf tersebut disebut juga dengan Aksara Modré, yaitu aksara suci atau aksara yang digunakan untuk menulis ilmu kedyatmikan, seperti: mantra, perlambang atau simbol terkait dengan keagamaan, berhubungan dengan dunia gaib, pengobatan dan sebagainya. Kedua aksara tersebut dilengkapi dengan pengangge sastra atau kelengkapan huruf yaitu berupa: Nada melambangkan angin, bayu atau bintang, windu melambangkan teja, api atau matahari. Ardha-candra berbentuk bulan sabit melambangkan apah, air atau bulan. Ketiga kelengkapan aksara tersebut menyimbolkan kekuatan tiga dewa, yaitu: Dewa Brahma (Ang ), Dewa Wisnu (Ung ) dan Dewa Ciwa (Mang). Ketiga aksara tersebut jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Dalam bahasa Bali diucapkan Ong. Aksara Ong atau Ongkara merupakan sumber semua aksara, sehingga disebut Wija-aksara atau Ekã-aksara, yaitu aksara yang maha suci lambang Ida Sang Hyang
Widi atau Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri-Murti. Demikian juga di India, aksara Ongkara sebagai simbol Tuhan telah digunakan sejak zaman Weda. Jadi dari penjelasan tersebut, maka dapat diketahui bahwa aksara Ongkara sebagai simbol yang mengandung makna religius terkait dengan ajaran ketuhanan, sehingga penggunaannya sangat terbatas dan tidak boleh secara sembarangan, harus mengikuti petunjuk para rohaniwan (Nala, 1991; Sudartha, 1991) 3.3. Badavañ Nala a) Karakteristiknya: 1) Bentuk: Penciptaan produk kriya tradisional berupa simbol tersebut dilandasi dengan konsep kosmologi, Hindu yaitu digubah dari bentuk kurakura dengan kepala berambut dan lidah mejulur keluar berbentuk api serta dililit naga, seperti tampak pada Gambar 11. 2) Material yang digunakan: Pada umumnya dibuat dengan menggunakan batu alam atau batu padas. 3) Warna: Sesuai dengan bahan yang digunakan yaitu berwarna abu-abu batu padas atau hitam.
Gambar 11. Badavañ Nala dan Anantabhoga b) Fungsi: Badavañ Nala digunakan sebagai simbol dan sekaligus sebagai hiasan pada bagian dasar atau “kaki” sebuah bangunan suci berupa pelinggih Padnasana Gambar 12.
Gambar 12. Bagian Dasar Atau “Kaki” Pelinggih Padmasana
c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Perkataan Badavañ Nala atau Baduvañ Nala terdiri dari kata Badavañ dan Nala. Badavañ adalah istilah yang digunakan untuk nama binatang kura-kura, empas atau penyu. Dalam bahasa Šanskerta disebut dengan kata kûrma. Dan da-lam kepercayaan Hindu sebagai simbol awatara Dewa Wisnu atau disebut Kûrmaratarâ. Se-dangkan Nãla atau Anala dalam bahasa Šan-skerta sebagai padanannya adalah ageni ber-arti api. Badavañ Nãla berasal dari urat kata Bada= tempat, Bang=merah dan Nãla=api. Keseluruhan dapat diartikan sebagai tempat atau sumber api yang merah membara. Dalam simbol tersebut dimaknai sebagai inti bumi atau magma sebagai sumber panas bumi yang terus menerus membara Jadi pada simbol tersebut tersirat ajaran suci tentang ciptaan Tuhan yang tiada tara dan maha agung berupa alam makrokosmos, terbentuk dengan unsur Panca Maha Bhuta. Sebagai tempat kehidupan dengan berbagai persediaan bahan makanan dan sebagainya, Oleh sebab itu, perlu dihormati, dan dilestarikan. Bagi umat Hindu. Perwujudan simbol atau nyasa tersebut bertujuan untuk memberi ajaran alam semesta dan membangkit kesadaran moral dalam segala aktivitas hidup untuk menjaga serta
sebagai ucapan terimakasih atau bakti dihadapan Tuhan atas ciptaannya. 3.4. Nãga a) Karakteristiknya: 1) Bentuk: Simbol nãga merupakan bentuk fantasi atau hasil imajinasi dari para kriyawan masa lalu yang digarap dengan didasari mitologi Hindu. Bentuk dan penerapan Nãga tersebut dibuat membelit Badavañ Nala, sehingga membentuk satu simbol dengan satu kesatuan makna tentang keagungan alam semesta. Bentuk Nãga tersebut seperti tampak pada Gambar 11, 12 dan 13 2) Material: dibuat dengan menggunakan batu alam atau batu bata. 3) Warna: Sesuai dengan warna bahan yang digunakan, seperti warna abu-abu batu padas atau warna hitam batu alam). b) Fungsinya: Kegunaan dan penempatan nãga di dalam pura sama dengan Badavañ Nala, yaitu dipakai sebagai simbol dan sekaligus sebagai ragam hias dan umumnya diterapkan pada dasar atau bagian “kaki” Pelinggih Padmasana berupa relief tinggi, digambar pada lontek atau umbul-umbul, dan di Pelinggih Saptapetala dalam bentuk patung nãga.
Gambar 13 Lontek Umbul-umbul Keterangan: Tangkainya terbuat dengan bambu, diameter pakalnya ±5 Cm, Panjang ± 8 m. Bentuk potongan kain semakin ke atas semakin kecil dan pada ujung bambu terlipat ke bawah serta di ujungnya diberi plat logam berbentuk seperti jantung .
a) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam kamus Bahasa Šansekerta kata nãga berarti
ular. Selain arti tersebut, nãga juga berarti gunung atau pohon (Pemda Tingkai I Bali, 1982/ 1983). Dan dalam Kamus Bahasa Kawi-Indonesia, kata nãga tersebut diartikan ular naga atau gajah. Dari pengertian tersebut, maka nãga dapat diartikan sebagai ular besar. Dalam mitologi Agama Hindu Bali,tentang bentuk simbolis nãga yang diterapkan pada masing-masing pelinggih atau peralatan upacara memiliki pengertian atau filosofi dan sebutan yang kontekstual, seperti, penerapan pada Padmasana didasari filosofi Tri Loka, yaitu, Bhur Loka (lapisan alam bawah), Bwah Loka (lapisan alam tengah) dan Swah Loka (lapisan alam atas). Sehingga dikenal tiga nãga, yaitu, Basukih, Anantabhoga dan Taksaka. Jika ketiga nãga tersebut dikaitkan dengan para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widi, Maka Basukih simbol dari Dewa Brahma (pencipta alam), Anantabhoga simbol dari Dewa Wisnu (pemelihara alam), dan Taksaka simbol dari Dewa Šiwa (Pelebur). Penerapan patung nãga pada Padmasana, sebenarnya hanya satu dan membelit Badavañ Nala, yang disebut Nãga Anantabhoga. Berasal dari urat kata “a”-“nanta” dan “bhoga” (a=tidak, nanta= habis dan bhoga=makanan). Secara keseluruhan berarti sumber bahan
makanan yang tidak habis-habisnya. Jadi peristiwa tersebut berlangsung pada lapisan alam tengah (Swah Loka) atau di permukaan bumi. Namun kenyataannya dalam membuat Pelinggih Padmasana sering diterapkan dua nãga (Basukih dan Anantabhoga) secara estetis hanya bertujuan untuk membuat komposisi yang simetris. Sedangkan nãga Taksaka, dalam perwujudannya diterapkan pada umbul-umbul (Narasumber: Gelebet) Penerapan patung Nãga Basukih pada pelinggih Sapta Patala, didasari oleh filosofi, bahwa alam dibagi menjadi tujuh lapisan alam atas yang disebut Sapta Loka (bhur loka, bhwah loka, swah loka, maha loka, jana loka, tapa loka, dan satya loka), dan tujuh lapisan alam bawah Sapta Patala yang terdiri dari tãla, sutãla, santãla, atãla, waitãla, nitãla dan patãla. Jadi penerapan nãga pada pelinggih tersebut sebagai simbol tujuh lapisan alam bawah. 3.5. Senjata Nawa Sanga a) Karakteristiknya: 1) Bentuk: Senjata Nawa Sanga merupakan sembilan sejata para dewa dengan bentuk berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut mencerminkan atau sebagai simbol karakter dan sifat kekuasaan dari masing-
masing dewa. Tata letak dari senjata-senjata tersebut dalam padma angelayang atau pangider-ider, seperti pada gambar 14, 15 2) Material: Simbol-simbol tersebut diwujudkan dengan menggunakan berbagai bahan, seperti dengan meggunakan kain kapan, batu padas, atau dengan menggunakan besi dan diwujudkan sebagai ujung-ujung tombak yang disebut bandrangan atau pengawin. 3) Warna: Warnanya produk kriya tersebut, menyesuai dengan bahan yang digunakan, seperti “hitam besi”, atau ada juga diwarnai dengan cat warna hitam dan putih perak. Dalam penerapan-penerapan tertentu ada juga yang diwarnai sesuai dengan tata warna Senjata dan Dewata Nawa Sanga, seperti pada Gambar 14 dan 15. b) Fungsinya: Produk Kriya tersebut digunakan sebagai simbol dan sekaligus hiasan yang diwujudkan dalam bentuk perlengkapan upacara, seperti berupa ujung-ujung tombak yang disebut dengan bandrangan atau pengawin
Wayabya (barat daya) Sangkara Angkus Limpa Wilis (Hijau) Pascima (barat) Mahadewa Nagapasa Ungsilan Ginjal Kuning
Niriti (barat daya) Rudra Moksala Usus Oranye (jingga)
Uttara (utara) Wisnu Cakra Ampru (empedu) Ireng (Hitam) Madya (tengah) Siwa Padma Tumpuking Hati) Amanca (Pancawarna) Daksima (selatan) Brahma Gadha Hati Bang (merah)
Ersanya (timur laut) Swayambhu Trisula Ineban Pelung (biru) Purwa (timur) Iswara Bajra Jantung Putih
Geniyan (tenggara) Mahesora Dupa Peparu (paruparu) Dadu (merah muda)
Gambar 14. Jenis dan Tata Letak Senjata Nawa Sanga
Gambar 15. Dewata Nawa sanga
c) Makna, Nilai-nilai Simbolik dan Religius: Dalam alam transendental, dipercayai oleh umat Hindu, bahwa Ida Sang Hyang Widi atau Tuhan Yang Maha Esa berwujud sebagai Paramašiwa, dengan keadaan-Nya: “tunggal”, kekal abadi, tidak berawal-berakhir, tanpa aktivitas, maha tahu dan sebagainya serta disebut Nirgunam Brahman (sunya). Namun dalam alam imanensi, Tuhan berwujud sebagai Sadašiwa dan dipercayai, bahwa Tuhan telah berkrida, telah dipengaruhi oleh sakti atau kekuatan untuk melakukan kehendak-Nya, sehingga memiliki sifat, fungsi dan aktivitas (Saguna Brahman), dengan bermacam-macam manifestasi-Nya dan dipersonifikasikan sebagai dewa-dewi. Selanjutnya Tuhan diwujudkan sebagai Šiwa atau Šiwatman atau Mayasarira Tattwa. Dalam hal tersebut, Tuhan memiliki delapan Ilmu pengetahuan untuk menyucikan Sang Hyang Atma yang ada dalam semua mahkluk dari dosa sesuai dengan amal baktinya (Wardana, 1994). Dalam alam imanensi umat Hindu di Bali, Tuhan diwujudkan sebagai Sada Šiwa, maka dikenal dewa-dewa yang termasuk kelompok Dewata Nawa Sanga, manifestasi Tuhan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur keharmonisan alam makrokosmos (Bhuana Agung) yang terletak di seluruh penjuru mata angin dan
mikrokosmos (Bhuana Alit) yang terletak pada organ-organ tubuh mahkluk hidup. Dan kesembilan dewa tersebut masing-masing memiliki senjata yang disebut dengan Senjata Nawa Sanga Seperti Pada Gambar 14, 15. Dalam Lontar Kekawin Bhomakawya atau Bhomantaka, bahwa Senjata Nawa Sanga tersebut adalah merupakan simbol-simbol atau nyasa dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki para dewa dalam menjalankan tugas-Nya. Simbol-simbol dalam mayasakti berbentuk senjata tersebut, diciptakan dengan didasari kosmologi khususnya tentang bumi. Masing-masing mengandung arti atau makna yang saling terkait satu dengan lainnya serta merupakan satu kesatuan yang utuh. Penjelasan lebih lengkap dapat disimak pada Tabel: 2 berikut Tabel 2 Makna Senjata Nawa Sanga No. (1) 1.
Nama Senjata (2) Cakra
2.
Trisula
Makna simbol (3) Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Dewa Wisnu untuk mengatur rotasi dan peredaran bumi. Dalam hal ini berfungsi sebagai kutub utara yang nantinya dihubungkan dengan Dewa Brahma di kutub selatan sehingga terbentuk sumbu rotasi bumi. merupakan simbol kekuasaan tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sambu, yaitu berfungsi menjalankan tugas sebagai pengatur kehidupan di bumi berdasarkan ketentuan Upeti, Setiti dan Pralina. Lahir, Hidup dan Mati.
(1) 3.
(2) Bajra
(3) Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatanTuhan dalam manifestasi Nya sebagai Dewa Iswara yang bertugas mengatur getaran alam (makrokomos dan mikrokosmos). 4. Dupa Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-nya sebagai Dewa Mahesora, dalam fungsinya sebagai pengatur panas alam (makrokomos dan mikrokosmos). 5. Gadha Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma, dalam fungsinya mengatur, mengendalikan dan menentukan danda atau hukum alam. (yang menyangkut Rwabhineda —siang, malam, baik, buruk dan sebagainya —). 6. Moksala Merupakan simbol kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Rudra, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur atau menentukan sifat dan karakter alam semesta bersama isinya. 7. Nagapasa Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Mahadewa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengikat atau pengatur kestabilan alam semesta bersama isinya. 8. Angkus Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Sangkara, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur kemakmuran dan kesejateraan alam semesta bersama isinya. 9. Padma Merupakan simbol kekuasaan atau kekuatan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Šiwa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengendali dan penentu dari tugas-tugas yang dijalankan oleh delapan dewa yang terletak di delapan penjuru arah mata angin. Simbol senjata-Nya digubah dari bentuk bunga teratai atau padma yang bermahkota delapan atau Asta Dala, sebagai kekuasaan atau kekuatan dari delapan dewa tersebut terpusat pada Dewa Šiwa. atau disebut dengan Padma Anglayang atau pangider-ider Narasumber: Ida Pedanda Budha, Griya Sukawati.
3.3. Bhoma a) Karakteristiknya: 1) Bentuk: Bhoma dibuat dalam bentuk relief tinggi yang digolongkan sebagai kekarangan, sehingga disebut dengan Karang Bhoma. Karang tersebut merupakan stilisasi dari bentuk kepala raksasa atau punggalan. Perwujudan bertuk tersebut didasari ceritera Bhomantaka. Ciri-crinya: mata besar dan mendelik, di kanan dan kiri dilengkapi dengan telapak tangan yang dikepak, dilatarbelakangi dengan patra wangga, kakul-kakulan serta patra punggel. Sebagai salah contoh seperti pada Gambar 16 berikut.
Gambar 16. Karang Bhoma
b) Fungsinya: Produk kriya tersebut umumnya digunakan sebagai simbol dan sekaligus ragam hias yang diterapkan di atas relung kori agung atau paduraksa, merupakan gerbang pertama dari sebuah pura atau sebuah pintu yang membatasi halaman kedua atau madia mandala (jaba tengah) dengan halaman pertama atau utama mandala (jeroan) seperti pada Gambar 17 berikut
Gambar 17. Kori Agung Atau Paduraksa Dengan Ragam Hias berupa Bhoma 2) Material: Umunya bahan yang digunakan untuk membuatnya, seperti batu alam, batu padas atau batu bata.
3) Warna: sesuai dengan bahan yang digunakan, seperti: “hitam batu alam”, “abu-abu batu padas” atau merah bata. c) Makna, nilai-nilai simbolik dan Religius: Bhoma berarti lukisan (ukiran) yang berbentuk muka raksasa atau kala (Bahasa Bali) yang ditempatkan di atas relung pintu gerbang utama pura atau paduraksa (Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978). Dalam A Šanskrit-English-Dictionary dijelaskan, bahwa perkataan Bhoma berasal dari Bahasa Šanskerta; Bhauma, artinya berhubungan dengan bumi, yang keluar dari bumi, tinggal di dalam bumi atau tanah (Monier, 1963). Sedangkan menurut Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, dijelaskan, bahwa Bhoma adalah raksasa putra bumi, mata melotot seram seperti kepala monster, mulut terbuka lebar, gigi dan taring mencuat keluar (Covarrubias, 1972) Di Bali, Bhoma digunakan sebagai simbol dari pepohonan dan disebut Banaspatiraja serta dianggap keramat. Pandangan tersebut diselaraskan dengan kepercayaan, bahwa Banaspatiraja adalah raja bhuta, kala, dengen, tonye atau mahkluk halus yang menempati pohon-pohon besar, seperti pohon randu, pole, kepuh dan sebagainya.
Menurut Mitologi Bhoma dalam kesusastraan Jawa kuno, seperti pada kekawin Bhomantaka; dinarasikan tentang kelahiran Sang Bhoma. Berawal dari perdebatan antara Dewa Brahma dengan Dewa Wisnu tentang kesaktian yang mereka miliki. Bersamaan dengan kejadian tersebut tiba-tiba muncul sebuah lingga kristal dari bumi dan menjulang ke angkasa. Milihat kejadian tersebut, mereka tercengang dan memutuskan untuk menemukan ujung dan pangkal dari lingga tersebut. Dewa Brahma menyuruh Dewa Wisnu untuk mencari pangkalnya dan Dewa Brahhma dengan kesaktiaannya berubah menjadi burung layang-layang hitam terbang meluncur ke atas mengejar ujung lingga, sedangkan Dewa Wisnu berubah wujud menjadi seekor babi jantan dan menggali tanah untuk menemukan pangkal lingga. Mamun usaha mereka sia-sia, karena pangkal lingga tersebut terus masuk ke dalam bumi dan ujungnya terus menjulang ke angkasa dengan batas yang tak terhingga. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dengan Dewi Wasundari (Dewi Pertiwi). Dalam pertemuan tersebut akhirnya terjalin hubungan yang dalam sehingga melahirkan seorang putra yang diberi Naraka atau Bhoma (Lontar Bhomantaka, Lampiran 5b, Keropak IV.b).
Heinrich Zimmer dalam bukunya Myths and Symbols in Indian Art an Civilization dipaparkan tentang Bhoma sebagai akibat pemenggalan leher raksasa bernama Rau yang dilakukan oleh Dewa Wisnu, karena raksasa tersebut diketahui sedang minum tirta amertha. Namun pada saat dipenggal tirta tersebut belum sampai di tenggorokan, sehingga bagian kepalanya tetap hidup sedangkan bagian badannya langsung mati. Kepala raksasa tersebut akhirnya murka, merusak dan mengganggu aktivitas para dewa di kahyangan. Melihat kejadian tersebut, akhirnya Dewa Siwa menjadi sangat marah, sehingga muncul makhluk yang luar biasa sebagai Ghora Murti Siwa —wujud Tuhan yang dideskripsikan sebagai sesuatu yang sangat sangat dasyat dan, mengerikan— dari ajňa cakra-Nya atau kening. Akhirnya raksasa Rau dimakan oleh makhluk tersebut. Namun makhluk yang diciptakan tersebut memiliki sifat yang rakus dan memakan apa saja yang dijumpainya serta sangat tunduk dengan perintah Dewa Siwa. Akhirnya Dewa Siwa memerintahkan agar memakan tubuhnya sendiri. Perintah tersebut segera dilakukan. Dia mulai makan kaki, tangan, badan, sampai bagian dibawah leher dan hanya tersisa bagian leher serta kepala. Mahkluk tersebut kembali bertanya,
apa yang saya lakukan lagi ?. Karena kepatuhannya tersebut, Dewa Siwa memberi tugas untuk menjaga istana Siwa, menelan, menghancurkan dan menolak pikiran jahat yang akan merusak kesucian stana Dewa Siwa serta diberi nama Kirttimukha serta diletakan pada bendul pintu utama. Pada saat tersebut Dewa Siwa bersabda “ Barang siapa yang masuk ke dalam kuilku tanpa menyembahmu, mereka tidak akan memperoleh rahmatku” (Zimmer, 1945). 3.4. Garuda Wisnu a) Karakteristiknya 1) Material: Bahan baku yang digunakan untuk membuat produk itu adalah kayu, batu bata, batu padas, atau batu alam, dan sebagainya. 2) Bentuk: Pada umumnya bentuk Garuda Wisnu digubah dari bentuk fantasi yang menyerupai burung. Tubuh dan anggota badan menyerupai manusia, telapak kaki dibuat seperti cakar burung, bersayap, berparuh, mata melotot, gigi runcing, bertaring dan diberi busana serta mahkota. Dibagian belakang diberi ekor dan dipunggungnya dibuat patung Dewa Wisnu memegang Cakra, seperti pada Gambar 18 berikut
Gambar 18. Garuda Wisnu Tetapi yang digunakan untuk menghias pada sendi tugeh jarang dilengkapi dengan patung Dewa Wisnu, karena dari punggung patung garuda tersbut, langsung berdiri tugeh atau tiang penyangga menuju puncak langit-langit. b) Fungsinya: Produk kriya tersebut mempunyai fungsi religius dan estetis, digunakan sebagai simbol dan hiasan, biasanya diterapkan di belakang bangunan Pelinggih Padmasana, sendi tugeh (dasar tiang penyangga puncak langit-langit pada bangunan piasan), gedong bata dan seba-
gainya, salah satu contoh penerapannya, seperti pada Gambar 19. Berikut
Gambar 19. Relief Garuda Wisnu Diterapkan di Belakang Padmasana c) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Dalam bahasa Šanskerta perkataan “garuda” berasal dari akar kata “gri”, yang berarti “menelan” (penakluk para naga, memiliki kekuatan magis untuk menangkal bisa ular). Dalam perwujudannya sebagai simbol, sering ditunggangi oleh Dewa Wisnu. Garuda dipakai sebagai simbol matahari, naga sebagai simbol
air kosmis dan Wisnu berada pada kedua sisi antagonis tersebut. Adegan tersebut sangat populer dalam episode Ramayana, ceriteraceritera rakyat dan dalam bentuk visualnya dipakai sebagai sarana pemujaan oleh umat Hindu di India dan Bali (Zimmer, 1946). Di Nusantara, garuda juga digunakan sebagai simbol kebesaran atau penggambaran aspek keagungan Tuhan. Diperkirakan telah berlangsung sejak pertengahan abad X. Hal tersebut dapat diketahui dari tipografi peninggalan cap atau stempel bermotif Garudamukha yang pertama kali digunakan sebagai lencana kepala pemeritahan oleh Sri Maha Raja Blitung (808-910) yang berkuasa di Jawa Tengah. Penggunaannya semakin berkembang dan terus seperti digunakan oleh Raja Jayabaya, Raja Kertajaya (raja yang terhakhir memerintah dikerajaan Kediri), Prabu Aerlangga dengan peninggalannya yang paling terkenal berupa garuda yang ditunggangi Dewa Wisnu dan sebagainya (Titib, 1995) Setelah bangsa Indonesia bebas dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa lain, maka garuda kembali dijadikan sebagai lambang negara, yaitu Garuda Pancasila. Dalam perwujudannya kaki burung Garuda tersebut mencengkram pita yang berisi tulisan tentang ikrar
bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Lambang tersebut sebagai sumber yang kreatif mencerminkan kebebasan untuk menentukan nasib bangsa indonesia di antara bangsabangsa di dunia. Dalam Adiparwa —sebuah kesusastraan Jawa yang diperkirakan ditulis pada zaman pemerintahan Raja Darmawangsa Teguh sekitar tahun 918 Saka (918 Masehi), dalam bahasa Kawi— terdapat satu episode yang menceritakan keajiaban atau kebesaran Sang Garuda, seberikut: Aparan pwa ya makateja Ya? Garudo balawan tesam manuk mahacakti, anak Bhagawan Kacyapa ri Sang Winata ika. Nama tluya sutejasa. Kunang pada tejanya lawan teja nghulun. Makana ling Sang Hyang Agenbi ri sang watek dewata. Mari ta sira harohara, kapwa maso mangastuti Sang Garuda, ling nira: Twam rsi, twam mahabhagas, twam dewah, pathagecwara, twam prabhuprahus tapanah twam nastranam anuttamam Artinya; Apakah yang bersinar itu ? Garuda tiada lain seekor burung yang maha sakti, anak Bhagawan Kacyapa dengan Sang Winata. Sinanya sangat bagus, dan sinarnya sama dengan sinarku.
Demikianlah kata Sang Hyang Ageni kepada para dewa. Mereka tertegun dan berdiam, semua tampil ke depan dan memuji Sang Garuda serta mengatakan: Hyang Garuda, engkau resi, engkau pendeta besar, engkau dewa, engkau penguasa segala yang terbang melayang, engkau rajanya, sinarmu seperti sinar matahari (Widiatmaja, 1958). Dalam episode selanjutnya diceritakan usaha Garuda dalam mencari tirta amertha yang disimpan oleh para dewa di Gunung Somaka. Tirta tersebut natinya digunakan sebagai persyaratan untuk membebaskan ibunya (Sang Winata) dari perbudakan Sang Kadru. Dalam perjalanan mencari tirta amertha ia menemui banyak hambatan. Seperti para dewa yang membawa senjata menghadang dan menyrangnya. Namun dengan kesaktiannya tak satupun bulu Garuda tersebut dapat dirontokan oleh senjata para dewa. Akhirnya sang Garuda berhasil mengambil tirta amertha yang disimpan dalam goa dilereng gunung Somaka dan membawanya terbang ke angkasa. Di angkasa dengan serta merta dewa Wisnu mengampirinya dan menyuruh agar tirta tersebut dikembalikan. Namun sang Garuda menolaknya dan menyuruh agar para dewa
minta anugrahnya… Episude cerita tersebut diakhiri dengan menerima permintaan dewa Wisnu untuk menjadikannya sebagai kendaraanya dan tirta amerthan tersebut kembali dapat direbut oleh para dewa serta Sang Winata bebas dari perbudakan. Sedangkan di Bali, karya sastra tersebut banyak mengilhami para seniman atau para kriyawan masa lalu dalam berkaya. Mitologi tentang keagungan atau kesaktian tokoh Garuda dan Wisnu dijadikan sebagai landasan estetika dan penerapan Garuda Wisnu juga sebagai simbol kebesaran Tuhan, dianggap mengandung nilai-nilai simbolis religius serta disakralkan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Garuda Wisnu diterapkan pada bangunan-bangunan suci, seperti pada Pelinggih Padmasana. 3.5. Barong Ket dan Rangda a) Karakteristiknya: 1) Material: Bahan baku yang digunakan, seperti: kulit sapi yang telah disamak, praksok ( Bahasa Bali) atau sejenis serat daun pandan, kayu, kaca, pewarna (menggunakan pewarna tradisional, seperti: kincu, jelaga, serbuk tulang menjangan, atal ancur dan perada), kain dan sebagainya.
2) Bentuk: Barong yang digunakan di Bali bentuknya sangat beragam dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti: Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Asu, Barong Macan, Barong Blas-Blasan, Barong Brutuk dan sebagainya. Salah satu contoh berupa Barong Ket dan Rangda dapat dilihat pada Gambar 20 b) Warna: Topeng barong biasanya diwarnai dengan merah, bulunya diwarnai hitam atau dibiarkan putih (warna praksok). Hiasannya, seperti: badong, gelung kekendon, geruda mungkur, silat bahu, kembang sasak, angkeb pale dan sebagainya, dibuat dengan kulit dan diwarnai perada atau warna emas. Demikian juga hiasan Rangda, dibuat dan diwarnai dengan cara yang sama. Warna topeng Rangda umumnya putih.
Gambar 20. Barong Ket dan Rangda
c) Fungsinya: Barong dan Rangda adalah tergolong produk kriya bebali, karena selain mengandung nilai-nilai sakral (sebagai sarana upacara agama), juga mengandung nilai-nilai profan. Produk kriya tersebut diciptakan dan digunakan sebagai sarana pagelaran seni tari wali, yaitu tarian yang dipentaskan serangkaian dengan upacara Agama Hindu di Bali. Seperti, dalam melangsungkan upacara odalan di pura. Produk kriya tersebut juga digunakan sebagai pratima dan biasanya di simpan di Pura Dalem. d) Makna, nilai-nilai simbolik dan religius: Banyak pengertian mengenai kata barong, seperti dalam Bahasa Šanskerta, berasal dari kata Bhahrwang, artinya binatang beruang. Pengertian tersebut, sesuai dengan pendapat R. Goris, bahwa sinonimnya disitir dari Bahasa Belanda, yaitu dari kata beer. Sedangkan ditinjau dari cara memakai, maka perkataan barong diselaraskan dengan perkataan bareng (Bahasa Bali), artinya bersama —cara menarikan atau memainkan bersama-sama —(Proyek Sasana Budaya Bali, 1975/1976) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa perkataan barong berarti, tarian yang memakai kedok dan kelengkapannya sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh
dua orang, satu dibagian kepala dan satu di bagian ekor, dipertunjukkan dengan ceritera Calon Arang (Kridalaksana, 1994). Perkataan ”Ket“ tidaklah mengandung arti khusus, hanya disesuikan dengan suara yang ditimbulkan akibat entakan rahang bawah kedok barong, sewaktu dimainkan. Sedangkan Rangda atau Randa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkataan itu berarti perempuan yang kehilangan suami (cerai atau meninggal dunia) atau janda (Kridalaksana, 1994). Barong dan Rangda dalam episode Calonarang adalah dua tokoh yang melambangkan dua sifat atau karakter berbeda (Rwa Bhineda) atau antagonis, di mana Barong sebagai lambang kebenaran atau dharma. Masyarakat di Bali menyebutnya sebagai penganut ajaran beraliran “tengen atau kanan” (white magic), sebagai juru penyelamat, mengayomi dan dapat menyembuhkan penyakit. Sedangkan tokoh Rangda melambangkan sifat atau karakter yang mengarah pada hal-hal kurang baik atau adharma, merusak, mengganggu dan sebagai penganut ajaran “beraliran kiwa atau kiri” (black magic) (Covarrubias, 1972). Menurut mitologi, bahwa penciptaan Barong dan Rangda di Bali diilhami cerita yang terdapat dalam lontar Šiwa Tattwa. Secara singkat
diceritakan tentang kutukan Dewa Šiwa yang ditujukan kepada istrinya Dewi Uma agar berubah menjadi Dewi Durga —Seorang dewi atau perempuan yang berwajah angker dan menakutkan sebagai dewi penguasa kuburan yang bernama setra Gandamayu— karena ulahnya yang tidak wajar dilakukan ketika disuruh mencari susu atau empehan lembu, Dia berani menghianati, mengorbankan kesucian dan kesetiannya, melakukan perselingkuhan dengan pengembala lembu. Pada hal kejadian tersebut dibuat oleh Dewa Šiwa. Sebenarnya pengembala tersebut adalah siluman dari dewa. Masalah tersebut terungkap berkat kehebatan ilmu tenung yang dimiliki dewa Ganesh. Dalam kutukan tersebut Dewa Šiwa juga mengijinkan istrinya untuk berubah wujud kembali menjadi dewi Uma saat hari tilem sasih kesanga ( saat bulan mati di bulan sembilan). Ketika hari tersebut tiba, istrinya menghadap dalam wujud rangda dengan wajah menakutkan. Lalu untuk memberkati perubahan wujud istrinya menjadi dewi Uma, maka Dewa Šiwa berubah menjadi Bhuta Egeg (Lontar Šiwa Tattwa, namdala 53-56).
BAB IV
PENDEKATAN HISTORIS DAN SEMIOTIS TERHADAP PRODUK KRIYA
A. Pendekatan Historis
S
ejarah atau dalam bahasa Inggris disebut history dan berasal dari bahasa Yunani istoria (kata benda) berarti “ilmu”. Dalam penggunaannya oleh filusuf Yunani seperti istoria yang dipakai Aristoteles berarti suatu cara menelaah sesuatu secara sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah suatu susunan yang kronologis ataupun tidak. Pendekatan tersebut disebut natural history. Namun dalam perkembangan selanjutnya metode untuk menelaah sesuatu yang tidak kronologis digunakan istilah scientia. Sedangkan yang kronologi terutama menyangkut kehidupan manusia dipakai istilah istoria. Dalam definisi yang universal istilah history berarti masa lampau umat manusia. Namun masa lampau tersebut tidaklah dapat direkonstruksi kembali secara utuh, karena sejarah hanya berdasarkan rekaman dan berdasarkan simpulan mengenai lingkungannya (Gottschalk, 1969).
Pendekatan hitoris adalah suatu proses pengujian dan analisis secara kritis hasil rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses historiografi (penulisan sejarah); dilakukan seleksi, penyusunan, dan deskripsi. Dan cara tersebut berbeda dengan metode sejarah analitis, karena pada batas-batas tertentu metode sejarah analitis adalah ilmiah, yakni hasilnya dapat diverifikasi dan dapat titolak atau diterima. Sejarah merupakan suatu metode atau prosedur (procědě de connaissance), sehingga metode sejarah dapat diterapkan pada berbagai disiplin yang digunakan sebagai sarana untuk memastikan fakta (Gottschalk,1969). Cara penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok yaitu: 1) Pengumpulan data yang berasal dari jaman yang sedang dialami menjadi konsentrasi dan pengumpulan bahan-bahan: tercetak, tertulis dan lisan yang relevan. 2) Menyingkirkan bahan yang dianggap tidak otentik 3) Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan bahan yang otentik. 4) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi suatu penyajian atau deskripsi yang berarti.
Secara umum sumber data yang digunakan dalam penelitian sejarah dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) Peninggalan berupa material, seperti: candi, posil, monumen, senjata, perhiasan, bangunan, perabotan dan sebagainya. 2) Peninggalan tertulis: seperti: prasasti, relief, lontar, kitab, naskah kuno dan sebagainya. Penggunaan arsip dan dukumen harus dibedakan dengan studi dokumenter yang merupakan metote deskriptif. Studi dokumenter, cenderung menggunakan data yang belum terlalu lama, sehingga masih dapat dikelompokkan sebagai usaha mengungkap fakta masa sekarang. Sedangkan dari segi waktu, pendekatan historis menggunakan data yang relatif sudah lampau. 3) Peninggalan yang tidak tertulis atau budaya, seperti berupa ceritera rakyat, dogeng, adatistiadat, hukum, kepercayaan,dan sebagainya. Bentuk penelitian historis (Namawi,1990): 1) Penelitian atau studi komparatif hitoris, dilakukan dengan membandingkan gejala yang sejenis, baik berdasarkan perbedaan waktu terjadinya atau tempat terjadinya di dalam kurun waktu yang sama.
2) Penelitian legal atau yuridis. Bermaksud mengungkap kegiatan-kegiatan pemerintah suatu bangsa, kerajaan, lembaga dalam menetapkan kebijakan, sehingga berpengaruh bagi kehidupan pada masa terntentu dalam prospek sejarah. 3) Penelitian bibliografi atau kepustakaan, dilakukan untuk mengungkap berbagai teori pandangan hidup, pemikiran filsafat dan lain-lain yang dapat ditemui di dalam berbagai peninggalan tertulis terutama buku-buku yang dihasilkan pada zaman tertentu. 4) Penelitian kronologis atau secara diakronis penelitian ini bermaksud untuk mengungkap kejadian atau keadaan dan peristiwa menurut urutan waktunya dari masa yang paling tua dapat dicapai sampai masa-masa mendekati masa sekarang. B. Pendekatan Semiotis Pendekatan Semiotis diartikan sebagai prosedur yang digunakan untuk pemecahan masalah yang ditinjau dari perspektif ilmu tanda atau dikenal dengan “semiologi” atau “semiotika”. Dalam bidang seni, kriya dan desain pendekatan semiotis dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah estetika dan semantika produk kriya. Upaya pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan dengan membaca atau menginterpretasikan hubungan antar tanda dan makna pada produk kriya.
Indeks, simbol, tanda, ikon yang merupakan hal yang mendasar dalam semiotika, sebenarnya dalam desain bukan merupakan hal yang baru. Sebab menurut Tjahjono (1980) bahwa istilah desain (design) dalam penggunaannya sebagai kata kerja berasal dari kata latin-baru desingare yang berarti ‘menandai’ atau membatasi (penambahan suku kata ‘de’ di depan menunjukkan pemakaian secara intensif). Kata desingare sendiri mempengaruhi kata designer dari bahasa Perancis abad pertengahan (dalam pengertian merancang), berasal dari kata signum yang berari sebuah tanda khusus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) dijelaskan, bahwa pengertian semiotika adalah ilmu atau teori tentang lambang dan tanda. Di Amerika ilmu tersebut disebut dengan Semiotics, yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1838-1914), seorang filosuf dari Amerika. Dia menegaskan bahwa peranan tanda dalam kehidupan sangatlah besar, yaitu sebagai sarana berpikir dan berkomunikasi. Di Eropa ilmu tersebut disebut dengan Semiology, yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (18571913), seorang linguis dari Swiss. Namun kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, Semeion, dalam artian sign atau tanda. Merupakan cabang ilmu yang mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda, proses yang berlaku dalam penggunaan atau fungsi tanda, hubungan
dengan tanda lainnya, penerima dan pengiriman tanda, konvensi dan sebagainya (Zoest dalam Soekowati, 1993). Luxemburg menyatakan, bahwa semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tentang tanda dan lambang (sistem dan proses perlambangan) (Luxemburg dalam Hartoko, 1984). Kemudian Wiryaatmadja (1981) menyatakan, bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dalam maknanya yang luas di dalam masyarakat, baik bersifat literal maupun alegori (kias) atau figuratif, baik menggunakan bahasa verbal atau ujar maupun non-bahasa atau nirujar. Batasan tersebut sesuai dengan pendapat Rene Wellek dalam telaah linguistik, yang memasukan image (citra), metaphor (metafora), symbol dan myth ke dalam cakupan semiotika (dalam Santosa, 1990). Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa bidang kajian semiotika sangat luas. Ruang lingkup kajiannya tidak terbatas pada bidang bahasa saja, tetapi meliputi berbagai aspek kebudayaan, seperti gerak isyarat atau gesture, pakaian, dan berbagai produk lainnya (The American Heritage® Dictionary of the English Language, Third Edition, 1992 ). Semiotika mempelajari tentang tanda, cara berfungsi, hubungan antara tanda dengan tanda lainnya, termasuk pengiriman, dan penerimaan tanda dalam komunikasi tanda. Dalam pengkajian semiotika menggunakan beberapa pendekatan, seperti
1) Sintaksis semiotika, yaitu studi tentang tanda yang berpusat pada penggolongan, hubungan dengan tanda-tanda lain dan cara bekerja samanya dalam menjalankan fungsinya. 2) Semantik semiotika, apabila pengkajian menonjolkan hubungan tanda dengan acuannya dan interpretasi yang dihasilkannya. 3) Pragmatik semiotika, apabila mengutamakan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerima tanda. Bidang kajian semiotika seperti dipaparkan tersebut, secara garis besarnya mencakup komponen dasar, seperti tanda (sign), lambang (symbol) dan isyarat atau sandi. 1) Tanda (sign) merupakan komponen semiotika yang menandai suatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan objek kepada subyek. Dalam konteks tersebut, tanda selalu menunjuk pada sesuatu hal yang riil, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang lain, sehingga tanda memiliki arti yang statis, umum, lugas dan objektif. Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan objek atau sesuatu — apa yang dimaksud oleh tanda, diacu atau ditunjuknya, disebut designatum atau denotatum.
Dalam Bahasa Prancis digunakan kata référent, sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut “acuan”— disebut representamen. Representamen dapat terlaksana apabila ada bantuan sesuatu, misalnya, konvensi. “Sesuatu” yang diacu oleh tanda agar dapat berfungsi disebut dengan latar atau ground. Setelah tanda diasosiasikan dengan suatu acuan, maka dari tanda yang orisinil berkembang menjadi suatu “tanda yang baru” disebut interpretant. Interpretant merupakan suatu peristiwa psikologis dalam pikiran interpreter atau penterjemah. Jadi dalam suatu tanda selalu terdapat tiga unsur, yaitu denotatum, ground dan interpretant. (Sudjiman, 1992). Tanda mempunyai dua entitas yaitu: signifier atau wahana tanda dan signified atau wahana makna atau dapat diartikan sebagai penanda dan petanda serta keduanya tidak dapat dipisahkan. Keseluruhan dari proses terlaksananya representamen digambarkan oleh Peirce dalam diagram segitiga, seperti tampak pada Gambar 21 berikut:
Sumber: Eco 1979
Gambar 21: Proses Berlangsungnya Representamen Salah satu contoh: dua buah produk kriya berupa patung raksasa apitlawang (Bahasa Bali) yang diletakkan mengapit pintu gerbang utama pura atau paduraksa. Awalnya patung tersebut merupakan tanda untuk “benda biasa” atau sekadar hiasan semata, namun setelah mengacu pada latar (ground) yang terkait dengan pengamalan ajaran Agama Hindu di Bali, —dua buah patung raksasa tersebut mempunyai fungsi komunikasi tanda visual, yaitu untuk “menyadarkan” atau mengingatkan umat, sebelum memasuki pura atau tempat suci agar “membunuh” sifat-sifat “keraksasaan” (marah, dengki, loba, atau emosi diri yang tak terkendali lainnya)— maka patung tersebut akan menjadi tanda
baru yang memuat latar tersebut. Bagi umat yang memahami latar atau ground yang tersirat pada patung tersebut, maka pada dirinya akan muncul interpretasi yang menggugah kesadaran, bahwa memasuki pura hendaknya mengendalikan “emosi”, sehingga dapat mengikuti upacara dengan khidmat. Dalam kondisi tersebut, dapat dikatakan representemen dari patung tersebut dapat berlangsung dengan baik. Unsur penanda (dasar atau latar) atau ground dari tanda dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan sifatnya, yaitu: a) Qualisign adalah terbentuknya tanda berdasarkan sifat atau kualitas. b) Sinsign berasal dari singular sign adalah tanda terbentuk berdasarkan penampilannya yang nyata, semua pernyataan individual yang belum terkonvensikan dapat disebut sinsign. c) Legisign adalah tanda terbentuk atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, seperti, konvensi atau kode. Selain hal tersebut, tanda dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan sifat penghubung tanda dengan denotatum, yaitu:
a) Iconic adalah tanda terbentuk berdasarkan suatu kemiripan potensial yang dimilikinya dan tidak tergantung pada makna denotatum. Batasan tersebut mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan icon, karena semua yang ada di alam dapat diasosiasikan dengan yang lain. b) Indeks adalah tanda yang sangat tergantung pada denotatum dan memiliki hubungan bersebelahan atau kedekatan eksistensi. Contoh, ada asap sebagai pertanda ada api dan sebagainya. c) Symbol atau lambang adalah hubungan berdasarkan konvensi dari suatu kelompok komunitas manusia. Selanjutnya unsur interpretant atau petanda dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a) Rhême, apabila tanda tersebut dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari suatu kemungkinan denotatum. b) Dicisign, apabila bagi interpretant tanda itu, menawarkan hubungan yang benar ada di antara tanda denotatum. c) Argument atau interpretant dalam arti umum. Dalam hal tersebut tanda terkait dengan renungan kebenaran, membawa penjelasan mengenai daya atau kekuatan kebenaran pada sistem-sistem semiotika.
2) Lambang atau simbol . Manusia sering disebut sebagai “mahkluk simbolik”, karena hampir semua aktivitas dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti dalam berpikir, membaca, berkomunikasi, berperasaan, bersikap, bekerja dan sebagainya, dari dulu hingga sekarang tidak terlepas dari aktivitas simbolisasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa semua mahkluk ciptaan Tuhan dalam menghadapi realita kehidupan, umumnya dilandasi oleh dua sistem, yaitu sistem penerimaan dan pemberian. Namun manusia selain terlibat dua sistem tersebut, juga mempunyai kelebihan untuk menciptakan sistem komunikasi dengan matra baru yang menyesuaikan dengan lingkungan realitas, yaitu kemampuan untuk menciptakan “sistem simbolik”. Dan sekaligus dipakai untuk menandai salah satu perbedaan manusia dengan binatang Sehingga ia menyatakan: ”... instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum”. (Cassirer, 1944). Istilah simbol berasal dari perkataan Yunani, symballein (suatu bentuk kata kerja) yang berarti meletakan secara bersama atau menaksir bersama, sebagai kata benda, berarti perbandingan dengan sesuatu, maksudnya prihal yang
harus dikaji dengan kritis, karena merupakan analogi tanda untuk menghadirkan tanda yang lain. Lambang atau simbol adalah tanda yang mampu menuntun pemahaman si subjek kepada objek berhubungan dengan makna denotatum dan konotatum, berdasarkan konvensi atau kode yang berlaku umum dalam lingkungan budaya masyarakat tertentu. Dalam kaitan dengan simbol, Ogden dan Richards dalam Eco (1979) memberi dua istilah, yaitu reference (yang mengandung, isi atau konsep sebagai acuan) dan referent (yang mengandung persepsi, denotatum, “sesuatu” dan sebagainya, sebagai hasil interpretasi). Ketiga komponen tersebut digambarkan dalam diagram segitiga, seperti Gambar 22 berikut.
Sumber: Eco 1979 Gambar 22 Berlangsungnya Referent
Jadi simbol merupakan tanda yang mengandung pengertian sertaan dan antara simbol dengan yang disimbolkan atau referent yang dihasilkan sama sekali tidak terdapat pertalian makna alamiah, sehingga lambang atau simbol bermakna dinamis, khusus, subyektif, kias, dan majas. Perwujudannya sangat tergantung pada permasalahan yang bersifat kultural, situasional dan kondisional. Lambang atau simbol merupakan pedoman untuk memudahkan pengenalan atau penghayatan sesuatu di tengah-tengah kesemerautan perbuatan manusia dan keragaman kejadian alam. Karena di dalamnya terkandung kaidah yang bertalian dengan akal budi dalam seluruh paradigma tentang kehidupan sadar dan di bawah sadar. Mitos, khayalan, impian dan bentuk-bentuk abstrak lainnya dapat direalisasikan dalam wujud simbol. 3) Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam keadaan tersebut, si subjek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek yang memberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi isyarat selalu bersifat temporal (kewaktuan), apabila ditangguhkan pemakaiannya, isyarat akan berubah menjadi tanda atau perlambang (Santosa,1990). Sebenarnya penerapan ketiga komponen semiotika, seperti tanda, simbol dan isyarat, sering
menemui kesulitan, terutama dalam menentukan garis demarkasinya secara tepat. Hal tersebut disebabkan, karena ketiganya saling terkait. Namun berdasarkan uraian tersebut, secara garis besarnya dapat dilihat ciri masing-masing komponen tersebut, seperti Tabel 2 berikut: Tabel 2 Tiga Komponen Semiotika No. (1) 1.
2.
TANDA (2) subjek diberitahu oleh objek (subjek pasif) hanya memuat dua arti
3.
subjek dibeitahu oleh objek terus menerus (berlaku konstan)
4.
berbentuk konkret dan / atau abstrak. diketahui oleh manusia, dan dapat juga oleh binatang setelah diajarkan secara berulangulang yang dipakai untuk tanda selalu mempunyai hubungan khusus dengan yang ditandai (kontekstual).
5.
6.
SIMBOL (3) subjek dituntun memahami objek (subjek aktif) memuat banyak arti atau sedikit-dikitnya dua arti. subjek dituntun memahami objek secara terus menerus (berlaku secara konstan), karena terkonvensi berbentuk konkret dan atau abstrak. hanya dapat dipahami oleh manusia.
yang dipakai untuk lambang atau simbol tidak mempunyai hubungan khusus dengan yang dilambangkan atau disimbolkan.
ISYARAT/SANDI (4) diberitahukan oleh subjek kepada objek (subjek aktif) hanya memuat satu arti diberitahukan oleh subjek kepada objek secara langsung (berlaku satu kali)
berbentuk abstrak dapat dikenal oleh binatang dan manusia
yang dipakai sebagai dasar isyarat tidak ada hubungan khusus dengan yang diisyaratkan.
(1) 7.
(2) diciptakan oleh manusia, alam dan juga binatang untuk manusia dan/atau binatang. (Herusatoto, 1983)
(3) diciptakan oleh manusia untuk manusia.
(4) diciptakan oleh manusia untuk manusia dan “mahkluk lain”
Penjelasan semiotika tersebut, terutama terkait dengan model semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure maupun Ogden dan Richards —dimana antara tanda (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified) meunjukkan hubungan yang “statis”— merupakan semiotika dengan model berpikir struktur, sinkronik dan konvensional —Apapun bentuk pertukaran tanda, harus mengikuti model struktur kaitan antara penanda dengan petanda yang berlangsung stabil atau mapan— serta sebagai konsep dari paham strukturalis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka model semiotika tersebut akan dipakai untuk menjelaskan atau memaparkan tinjauan mengenai penggunaan tanda atau simbol dalam masyarakat Hindu di Bali pada zaman Hindu dan pewaris tradisi tersebut. Terutama penggunaan tanda atau simbol dalam konteks pelaksanaan ajaran agama Hindu sesuai adat di Bali. Hal tersebut dilakukan mengingat dalam mengamalkan ajarannya, hampir semua diwujudkan dalam bentuk simbol atau lambang dengan konvensi yang telah mapan dan stabil yang mengacu pada mitologi atau filosofi agama Hindu dan didasari keyakinan. Simbol-simbol tersebut diupayakan dengan harapan agar dapat “mempermudah”
penghayatan kepada sifat-sifat maya Tuhan. Misalnya, diwujudkan dalam produk-produk kriya seperti: patung, relief, senjata dan sebagainya. Sedangkan kajian semiotika terkait dengan fenomena eklektik pada desain produk masa kini di Bali diuraikan berdasarkan model semiotika ‘intertekstualitas’ (intertextuality) yang diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis dari Perancis. Model semiotika tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari paham ‘dialogisme’ (dialogism) yang diperkenalkan oleh Mikhail Bakthin, seorang pemikir Rusia. Menurut pendapat Mikhail Bakthin, bahwa “dialogisme” sebagai relasi-relasi yang harus ada di antara ungkapan-ungkapan dalam discourse, karena tidak ada ungkapan yang tidak terkait dengan ungkapan lain. Pemikiran tersebut menjadi salah satu konsep dalam paham post-strukturalisme. Dalam buku Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979), Kristeva menerangkan bahwa pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks atau produk desain atau seni. Sebuah teks atau produk desain atau seni selalu dibuat dalam ruang dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, maka antara satu teks atau produk dengan teks atau produk yang lain dalam ruang dan antara satu teks atau produk dengan teks atau produk sebelumnya yang saling silang me-
nyilang satu dengan yang lainnya dalam rentang waktu tertentu mesti ada relasi-relasi ( Kristeva, 1979). Istilah intertekstualitas merupakan proses perlintasan atau diistilahkan dengan ‘transposisi’ (transposition) dari satu sistem tanda (sign system) ke sistem tanda yang lain. Pemakaian petanda sebelumnya yang telah mapan untuk petanda baru yang kurang jelas maksudnya akan menunjukkan terjadinya suatu perlintasan sistem tanda, sehingga sepanjang perlintasan tersebut, suatu sistem tanda kadang-kadang dapat berdampak negatif atau ‘merusak’ sistem tanda sebelumnya. Misalnya dapat menimbulkan terjadi ‘penghapusan’ atau ‘pengkaburan’, ‘pelesetan’ bagian tanda dari sistem tanda yang menjadi referensinya. Konsep intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva tersebut dapat digambarkan dalam suatu sekematik seperti Gambar 23 berikut
Gambar 23 Transposisi Sistem Tanda Berdasarkan Model Semiotika Intertekstualitas (Intertextuality) Dalam penggunaan tanda atau simbol dengan petanda atau maknanya di masyarakat, sering dijumpai
terjadi fenomena “permainan penanda”, misalnya dalam pengadaan komoditi mata dagangan. Pada mata dagangan tersebut terjadi ekspansi secara total serta perkembangbiakan konvensi tanda yang tak terbatas untuk mencapai kesenangan, prestise, image, nostagia, janji dan sebagainya. Konsumen sering disuguhi permanen tanda-tanda atau simbol-simbol yang dikondisikan oleh pihak produsen dengan tujuan untuk memperoleh benefit atau untuk memenangkan kompetisi dagang. C. Semiotika dalam Rancangan Produk Kriya Berdasarkan uraian tersebut dan dikaitkan dengan penciptaan serta penggunaan produk kriya dalam kehidupan masyarakat di Bali, seperti telah dipaparkan tersebut, maka permasalahan rancangan produk-produk kriya juga dapat dianalisis berdasarkan pendekatan semiotika. Hal tersebut, mengingat produk-produk kriya masa lalu juga merupakan salah satu artefak kebudayaan, di dalam tersirat nilai-nilai atau norma-norma budaya yang melibatkan beberapa komponen semiotika. Untuk lebih jelasnya mengenai permasalahan semiotika dalam produk-produk kriya, akan dilakukan tinjauan berdasarkan konsep yang melatarbelakangi penciptaannya, seperti konsep “sekular” dan konsep spiritual religius serta dikaitkan dengan nilai fungsi guna dan estetis yang dikandungnya.
1. Konsep Sekular Berbagai aktivitas kehidupan masyarakat di Bali, sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan akan produk kriya, baik berupa produk fungsional sebagai alat bantu, maupun sebagai produk yang berfungsi estetis sebagai benda hiasan yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat sekular. Konsep desain produk kriya untuk benda fungsional, jika ditinjau dari sudut semiotika, maka tampak tanda-tanda yang diterapkan lebih mengutamakan makna denotasi dan mengarah pada kategori pragmatis semiotika, karena bangun tanda yang diwujudkan lebih lugas, objektif dan mengutamakan segi utilitas karena semata-mata untuk dipakai. Dengan konsep penerapan tanda tersebut, maka para pemakai (user) akan secara gamblang dapat menafsirkan tanda-tanda yang bekerja pada wujud visualnya. Sistem tanda tersebut dapat sebagai penuntun dalam penggunaan produk tersebut. Misalnya, produk kriya berfungsi sebagai wadah, alat untuk mengambil, memotong, menusuk dan sebagainya. Wujud produk kriya fungsional yang diperuntukan sebagai peralatan kerja (working tool) dalam perencanaannya terkait dengan tuntutan kebutuhan suatu profesi, seperti kebutuhan produk kriya berupa peralatan kerja untuk profesi sebagai petani, pedagang, tukang, dan sebagainya. Sehingga ditinjau dari historis dan semiotis produk yang digunakan oleh seseorang dengan mata pencaharian tertentu juga dapat dipakai sebagai
indeks mengenai profesi seseorang. Misalnya, alat bajak yang ditarik oleh sapi dengan fungsi untuk membajak tanah pertanian, maka alat tersebut jelas digunakan oleh profesi seseorang sebagai petani tradisional. Produk kriya seperti tersebut, dalam konteks semiotika akan bertindak sebagai dicisign, karena interpretasi menawarkan hubungan yang benar ada di antara tanda dan denotasinya. Kemudian dengan semakin majunya tingkat peradaban masyarakat, maka tuntutan kebutuhan hidupnya juga semakin kompleks dan bervariasi. Pemenuhan kebutuhan akan produk kriya tidak hanya terbatas pada fungsi guna semata, melainkan mulai mengarah pada pemenuhan kebutuhan bersifat “sekular” atau hedonistik. Produk kriya yang diciptakan disertai dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan menyangkut hal-hal bersifat psikis, sehingga secara subjektif dapat menyentuh sukma dan dirasakan sebagai penghargaan bagi para pemakai. Seperti mempertimbangkan segi estetis yang menyangkut keseimbangan, kesatuan, keselarasan, makna dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka berbagai upaya dilakukan oleh para kriyawan untuk menghasilkan produk kriya yang unik, indah dan dengan berbagai karakteristiknya. Menawarkan berbagai alternatif produk dengan menanamkan tanda atau simbol dengan makna konotatif. Dengan upaya tersebut dapat melahirkan suatu image atau citra rasa tertentu dalam masyarakat.
Misalnya, produk kriya berupa mahkota yang dibuat dengan berbagai hiasan dan tanda atau simbol yang terkonvensi dalam suatu masyarakat. Pada zaman kerajaan, produk tersebut dengan faham fitisime dapat berfungsi untuk pembeda status sosial di dalam masyarakat, sebagai simbol kebesaran, keagungan atau kekuasaan seorang individu ciptaan Tuhan yang memiliki status sebagai raja. Produk kriya berupa cincin, selain digunakan untuk perhiasan, juga disepakati sebagai tanda atau simbol ikatan perkawinan. Produk-produk kriya tradisonal yang memiliki ciri khas daerah tertentu dan sebagainya, dikonsumsi dan dipakai tanda kenangan atau sebagai simbol harga diri seseorang atau prestise. Misalnya dalam fenomena kecenderungan membeli produk kriya tradisonal Bali. Di antara para wisatawan yang berkunjung ke Bali tampak banyak yang menbeli produk-produk kriya tradisonal Bali disertai dengan harapan untuk memperoleh kenangan-kenangan tentang hasil kebudayaan tradisional Bali atau dipakai sebagai tanda kebanggaan, bahwa mereka pernah berkunjung ke objek wisata di Bali dan sebagainya. Dalam perkembangan produk kriya sebagai mata dagangan, juga tampak fenomena memakai kekuatan nilai tukar yang kecenderungannya lebih menyandarkan pada makna konotasi. Pada fenomena tersebut tanpa disadari terjadi permainan tanda dengan konvensi yang terkondisikan dan dengan matra yang tak terbatas. Produk-produk kriya diangkat statusnya dan digunakan se-
bagai simbol-simbol tertentu yang menghasilkan berbagai interpretasi pada masyarakat konsumen, kadang-kadang tindakan tersebut sampai melupakan nilai utilitas dan religius pada produk tersebut. Dalam hal tersebut akhirnya produk kriya menjadi Rhême, karena diinterpretasikan sebagai representasi dari suatu kemungkinan denotasinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa dalam kondisi seperti tersebut justru nilai guna sering kali tak lebih dari semacam jaminan praktis (alibi) (Baudrillard, 1981). Konsumer terkadang bukan lagi mencari konteks makna, sehingga terjadi ketidakstabilan penanda dan petanda. 2. Konsep Spiritual Religius Manusia Bali setelah melalui tingkatan hidup estetis dan etis, biasanya melanjutkan tingkatan hidupnya ke arah mencari nilai religius. Pada tingkatan ini, manusia menginginkan adanya jalinan hubungan dengan Tuhan atau keinginannya untuk menerima ikatan-Nya, sehingga berkembang sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan penafsiran terhadap sifat-sifat Tuhan serta wujud dari alam gaib yang transendental, misalnya menyangkut tentang hakikat hidup, maut, bayangan wujud dewa-dewa dan mahkluk halus lainnya yang mendiami alam tidak nyata. Keyakinan itu bersumber dari: ajaran agama berupa wahyu suci yang terhimpun dalam kitab-kitab suci, mitologi
dan ceritera-ceritera rakyat berupa dongeng yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat tertentu. Sehubungan dengan tujuan manusia tersebut, maka muncul sistem upacara religius yang merupakan visualisasi kelakuan atau behavioral manifestation. Perilaku tersebut diwujudkan dalam berbagai macam ungkapan seperti, berdoa, bersujud, bersemedi, bertapa, berpuasa, bersaji, beryajña, berkurban, menari, menyanyi, berprosesi, dan sebagainya. Selain hal tersebut, juga muncul penghargaan pada suatu benda untuk digunakan sebagai sarana pendukung kepercayaannya, misalnya, berupa bangunan suci, berbagai peralatan upacara termasuk melibatkan produk-produk kriya yang disakralkan. Produk-produk kriya yang dipakai dalam upacara agama, pada umumnya mencakup beberapa fungsi, seperti berfungsi sebagai simbol, sarana komunikasi, peralatan upacara dan fungsi estetis dalam wujud benda hiasan. Produk-produk kriya yang difungsikan sebagai simbol, dalam perwujudannya dilandasi dengan suatu konvensi yang acuannya merujuk pada ajaran agama atau kepercayaan dari suatu komunitas manusia yang sepaham, sehingga dalam produk tersebut terpatri suatu “ideologi” tertentu yang nilai-nilainya diyakini dan dijadikan sebagai tradisi. Salah satu contoh dapat dilihat dalam tata cara penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu di Bali. Produk kriya tersebut digunakan sebagai “alat”
upacara, simbol-simbol diwujudkan berdasarkan konvensi yang mengacu atau dilatari kosmologi Hinduistis di Bali, sebagai media komunikasi yang dilandasi konsep Tri Hita Karana dan difungsikan sebagai hiasan. Produk kriya yang digunakan untuk simbol tersebut, merupakan tanda bersifat argument, karena interpretasinya terkait dengan renungan tentang kebenaran keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan maha segalagalanya (seperti telah disinggung di depan). Dengan penggunaan simbol-simbol tersebut, diharapkan dapat mempermudah penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu serta untuk mempermudah membayangkan sifat abstrak-Nya tersebut. Perwujudan produk kriya sebagai tanda atau simbol, kadang dapat dalam bentuk icon, seperti stilasi bentuk manusia, binatang, benda alam dan sebaginya. Misalnya diwujudkan dalam berbagai produk kriya, seperti berbentuk relief, patung atau pratima dan sebagainya atau dibuat berdasarkan kualitas material yang digunakan atau qualisign, misalnya, warna (darah binatang, warna bunga, kapur, arang dan lainnya), karakter bahan (suatu jenis kayu, batu, kulit, logam dan sebagainya). Namun tidak dipungkiri, bahwa dalam menginterpretasikan simbol-simbol tersebut, sering terjadi perbedaan pandangan, sehingga melahirkan interpretasi bersifat mendua antara masyarakat yang berada dalam konvensi dengan di luarnya. Salah satu contoh produk
kriya berupa umbul-umbul bergambar naga taksaka yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara Agama Hindu di Bali. Bagi umat Hindu menganggap benda tersebut sebagai tanda diadakan upacara agama dan sekaligus penerapan gambar naga taksaka disepakati sebagai simbol lapisan alam atas (Swah Loka). Sebagai dasar acuannya adalah kosmologi Hinduistis dengan interpretasi yang bersifat konotatif dan dianggap sakral. Sedangkan bagi umat atau orang yang tidak paham atau berada di luar konvensi tersebut, melihat umbulumbul tersebut hanya sekedar hiasan belaka. Fenomena seperti itu, belakangan ini memang cukup banyak terjadi di daerah Bali. Produk-produk kriya seperti itu, kadang hanya dilihat dari fungsi estetisnya saja. D. Beberapa Fenomena yang Muncul Sehubungan dengan Tindakan Eklektik pada Unsur Produk Kriya Masa Lalu Eklektik adalah suatu usaha yang bersifat memilih unsur-unsur yang baik atau menggunakan bermacammacam susunan yang tidak terbatas pada satu sumber ide dan sebagainya, baik berupa orang, gaya, metode, kepercayaan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam buku ini yang dimaksudkan adalah eklektisme terhadap elemen estetis masa lalu yang diterapkan pada desain produk masa kini. Tindakan “memilih” unsur-unsur tersebut secara tidak langsung jelas akan menimbulkan beberapa permasalahan, baik pada vitalitas idiom masa lalu itu sendiri maupun kesatu-
an substansi pada desain produk masa kini. Fenomena tersebut dapat dipahami dari beberapa istilah seperti berikut: 1) Pastiche Istilah pastiche berarti menyusun elemenelemen yang dipinjam dari pelbagai pengarang atau seniman masa lalu. Oleh sebab itu, istilah ini bisa mengandung pengertian dengan konotasi negatif dan dianggap miskin orisinallitas (Baldick dalam Yasraf 1994). Linda Hutcheon dalam bukunya yang berjudul: A Theory of Parody, dijelaskan bahwa: Pastiche, in this sense, is a pure imitation without any pretension. A pastiche text imitate other past text, in order to emulate or to appreciate them. Pastiche has been called by one critic as “form rendering” to describe its superficiality, that is, its lack to thoroughness. (Hutcheon, 1985). Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah suatu bentuk imitasi murni, tanpa disertai dengan pretensi tertentu. Gaya atau teks yang dipakai meniru dari teks masa lalu, disebut sebagai kritikan “gubahan bentuk” yang menunjukan suatu kedangkalan sebagai kekurangan yang utama. Selain hal tersebut, Fredric Jameson secara metaforis menyebut istilah tersebut sebagai “penggunaan topeng sejarah, pengungkap-
an dalam bahasa yang telah mati” (Jameson dalam Yasraf, 1991). 2) Parody Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), dijelaskan bahwa, parody (parodi), artinya produk sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya atau kata penulis atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan. Dalam peniruannya dapat bersifat ironis dan kritis, bahkan bermuatan politis dan ideologis. Parodi merupakan suatu bentuk “dialogisme tekstual”, yaitu dua teks atau lebih dipertemukan dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk dialog: debat, kritik, dan humor. Dengan demikian, parodi selalu mengambil keuntungan dari bentuk, gaya atau produk yang menjadi sasarannya (kelemahan, kekurangan, keseriusan, atau kemasyuran) (Yasraf, 1994). Jadi dari uraian tersebut, pada dasarnya parodi adalah merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam produk sastra, seni, atau arsitektur dengan tendensi bersifat memilih dan didistorsi, kemudian diimitasi dalam suatu produk dengan tujuan mengarah pada humoristik dan kadang kala bersifat “pelesetan”.
3) Kitsch Istilah Kitsch berasal dari bahasa Jerman, verkitshen berarti “membuat murahan”. Dan kistchen, secara harfiah berarti “memungut sampah dari jalan”. Dalam bidang seni, istilah ini sering diselaraskan artinya sebagai “sampah artistik” atau sering diberi pengertian sebagai “selera rendahan” atau segala produk seni palsu (pseudo art) yang murahan dan tanpa selera. Predikat kitsch sebagai selera rendahan dimanifestasikan oleh lemahnya ukuran dan kriteria estetis yang dipakai. Selain hal tersebut, kitsch bertujuan mensimulasi atau mengkopi elemen-elemen gaya “seni tinggi” atau objek sehari-hari untuk kepentingan sendiri dan menjadikan sebagai mass product. Mengimitasi suatu bentuk gaya atau objek untuk tujuan yang palsu. Menurut Clement Greenberg, pada awalnya keberadaan kitsch didorong oleh semangat mereproduksi, yang diakibatkan oleh berkembangnya produksi, konsumsi dan komunikasi massa; merupakan suatu upaya untuk menghasilkan efek-efek reproduksi dalam sistem kebudayaan massa atau membangun aura seni dari reproduksi itu sendiri. (Greenberg dalam Yasraf, 1995).
4) Camp Pada fenomena estetika pengertian camp sering dikelirukan dengan istilah kitsch yang mengarah pada pengertian “selera rendahan” atau merupakan “sampah estetik”. Sebenarnya camp merupakan salah satu cara untuk melihat dunia sebagai suatu gejala estetik dalam derajat kecerdasan, kesemuan dan stylization atau penggayaan. Dalam suatu bentuk produk seni, camp lebih menititik beratkan pada dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan style dengan distorsi yang berlebihan dan meremehkan isi serta netral. Merupakan kemenangan gaya atas isi, estetik atas moral dan ironi atas tragedi. Hubungannya dengan masa lalu bersifat “mendaurulang” dan sentimentil. Dalam upaya mewujudkan produk, berusaha menampilkan sesuatu yang special, berlebihan dan glamor (Sontag, 1992). Dengan memahami beberapa istilah di atas, ternyata dalam usaha perluasan desain masa kini yang berciri khas Bali, dengan mengusung eklektisme elemen estetis produk kriya tradisional dan dieksploitasi pada desain masa kini, kadang-kadang juga dapat menimbulkan dampak tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari tindakan eklektis terhadap produk kriya masa lalu dapat dipahami
pada uraian berikut, yaitu dengan menganalisa beberapa contoh kasus penerapan elemen estetis produk kriya secara eklektik pada desain masa kini di Bali seperti diuraikan pada Bab V.
BAB V
DAMPAK PENERAPAN ELEMEN ESTETIS PRODUK KRIYA TRADISIONAL BALI
A. Faktor-Faktor Pendorong Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Bali Secara Eklektik Pada Desain Masa Kini 1. Kajian Historis Transformasi atau pergeseran merupakan suatu fenomena yang universal dan selalu mewarnai lintas sejarah perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, maka suatu masyarakat dengan kebudayaannya secara mutlak tidak mungkin dapat hidup statis, stagnan dan terisolir. Setiap kebudayaan akan mengalami perubahan atau pergeseran dalam fungsi waktu dengan laju yang bervariasi. Kegiatan penciptaan dan penggunaan produk kriya di Bali sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala dan terus mengalami perkembangan dan perubahan yang didorong oleh berbagai faktor, baik faktor internal yang disebabkan oleh penggunaan dan penghargaan
produk kriya dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Bali, maupun faktor eksternal berupa pengaruh-pengaruh kebudayaan dari luar melalui proses akulturasi yang berlangsung dari zaman ke zaman dalam kapasitas yang berbeda-beda. Faktor pendorong tersebut seperti (1) karena adanya tuntutan kebutuhan produk kriya fungsional yang mengandung nilai utilitas, berupa peralatan kerja untuk penunjang berbagai aktivitas hidup sehari-hari, (2) sarana penunjang keagamaan atau kepercayaan dan untuk dipersembahkan kepada raja dan keluarganya (3) kebutuhan produk kriya untuk menunjang kebutuhan lain yang mengarah pada penciptaan produk kriya untuk memenuhi kebutuhan bersifat sekular, hedonistik dengan mengutamakan fungsi estetis dan efek finansial yang ditimbulkannya. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan produk kriya penunjang kepariwisataan dan sebagai komoditi ekspor. Bersamaan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut sering dijumpai kasus fenomena penerapan elemen estetis produk kriya tradisional secara eklektik. Faktor pendorong tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 24. Ditinjau dari sudut historis mengenai perkembangan dan perubahan penciptaan serta penggunaan produk kriya di Bali, secara diakoronis dapat disimak, bahwa sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan neolitikum dan perunggu, saat penduduk Bali masih hidup nomaden, umumnya memiliki pola pikir terbatas
pada usaha pemenuhan kebutuhan berupa makanan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam melakukan usaha tersebut, mereka menggunakan peralatan berupa produk kriya terbuat dengan batu, tulang binatang, ranting kayu dan sebagainya, dengan proses pengerjaan masih sangat sederhana. PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KEGIATAN EKSPOR PRODUK KERAJINAN DI BALI
SARANA PENUNJANG
Produk-produk kriya berupa: Souvenir menciptakan citra atau suasana MUATAN LOKAL/ ETOS KEBUDAYAAN UNSUR-UNSUR EKLEKTIK PADA KARYA MASA LALU
(latar belakang sejarah)
Gambar 24 Faktor Pendorong Munculnya Tindakan Eklektik Terhadap Elemen Estetis Tradisioanal Bali Di masa-masa selanjutnya, setelah masuknya pengaruh kebudayaan neolitikum dan perunggu di Bali, maka dalam sistem peralatan dan perlengkapan hidup mengalami perubahan. Penduduk di Bali telah mampu
menciptakan produk-produk kriya berupa peralatan terbuat dengan logam, batu, gerabah (tanah liat yang dibakar) dan sebagainya yang dikerjakan dengan teknik lebih sempurna. Dalam proses penciptaan produkproduk kriya, pertimbangan mengenai keindahan, kenyamanan dan simbolisasi sudah menggejala dan menjadi bagian yang esensial. Pada zaman tersebut, masyarakat sudah mampu menghasilkan produk-produk kriya yang bermutu, misalnya peralatan berupa kapak batu yang dibentuk dan digosok sampai halus, nekara perunggu diberi hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai simbol-simbol terkait dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, sarkofagus untuk tempat mayat dan sebagai tanda penghormatan atau simbol kendaraan arwah, cincin untuk bekal kubur dan sebagainya. Munculnya gejala tersebut, disebabkan semakin meningkatnya kesadaran, hasrat, nafsu atau emosi dalam diri individu untuk menghargai suatu materi yang distimuli oleh alam atau lingkungan masyarakat yang terbentuk, sistem relegi yang berkembang dan semakin menggejalanya pengaruh integrasi kebudayaan dari luar serta didukung dengan banyak waktu luang yang dimilikinya sebagai masyarakat agraris, misalnya dikerjakan sambil menunggu datangnya musim panen. Pada zaman Hindu, di Bali terjadi suatu “intervensi kebudayaan” yang bersifat menyempurnakan kebudayaan tradisi masa lalu dengan berorientasi pada
penyebaran, pembinaan dan peletakan dasar-dasar ajaran Agama Hindu. Semua kegiatan ekonomi, sosial kemasyarakatan dan kebudayaan Bali dirumuskan dengan “bahasa” agama Hindu. Terjadi suatu sinkretisasi atau proses penyerasian dua aliran (agama) dan akulturasi yang harmonis antara unsur-unsur kebudayaan India, Hindu dari Jawa Timur bergabung dengan kultur agraris dan pemujaan roh leluhur yang telah tumbuh di masyarakat Bali. Unsur India dominan pada taraf filsafat dan mitologi, sedangkan unsur kebudayaan Jawa umumnya tampak pada taraf ritual yang bersumber pada kitab suci Weda. Perpaduan tersebut melahirkan suatu kebudayaan yang bercorak khas Bali. Penciptaan produk-produk kriya dominan dikembangkan untuk keperluan Agama Hindu dan kerajaan. Perwujudannya berupa hiasan, simbol dan benda pakai, seperti ditujukan untuk menunjang kebutuhan sarana upacara ritual, pembinaan umat dan dipersembahkan kepada raja. Motivasi penciptaan dilandasi dengan konsep dharma, karma phala yang diwujudkan dalam sikap kebersamaan (kolektif), religius, dan loyalitas dengan kecenderungan dedikasi, ketekunan serta keiklasan yang sangat tinggi. Dengan sikap tersebut, maka para kriyawan saat itu mampu menghasilkan produk-produk puncak dengan kualitas yang sangat tinggi, meliputi sistem peralatan dan perlengkapan hidup, seperti berupa hiasan pada pura, wayang, berbagai bentuk topeng, patung, senjata, barang gerabah,
busana hasil tenunan tradisional (berupa kain songket, sabuk dan sejenisnya). Bahan yang digunakan, seperti logam, tanah liat, kulit binatang, kayu dan sebagainya. Beberapa jenis kegiatan penciptaan produk kriya itu diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya dan sampai sekarang masih ditekuni oleh masyarakat kriyawan di beberapa daerah di Bali. Produk-produk kriya yang difungsikan sebagai simbol atau tanda terkait dengan kepercayaan umat Hindu di Bali, khususnya yang digunakan dalam melaksanakan upacara ritual, ternyata di dalamnya sarat mengandung makna atau nilai-nilai kesucian yang adiluhung. Produk-produk tersebut diciptakan dengan dilandasi kosmologi Hinduistis dan adat di Bali, yang terkait dengan kepercayaan tentang keagungan dan kekuasaan Tuhan serta ajaran suci tentang ciptaanNya, misalnya berupa simbol-simbol alam makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit). Produk-produk kriya tersebut termasuk katergori produk kriya dibuat dalam konteks agama atau kepercayaan. Tergolong jenis kesenian Wali yang dianggap sebagai benda sakral karena, dalam pembuatannya mutlak disertai dengan proses penyucian atau melalui beberapa tahap penyucian (lihat Tabel 1, halaman: 61). Ditinjau dari sudut keyakinan umat Hindu di Bali terhadap nilai kesakralan yang dikandungnya, ternyata sampai sekarang masih digunakan dan diyakini oleh umat Hindu di Bali. Hal tersebut mengingat heterogen-
nya tingkat kemampuan umat dalam mengamalkan ajaran agama Hindu atau dalam hasrat menghubungkan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu produk-produk kriya berupa simbol-simbol untuk sarana pengamalan ajaran Agama Hindu di Bali, sampai sekarang dan bahkan untuk seterusnya tetap hadir dan diperlukan. Dari sudut pandang ajaran agama Hindu, ternyata “cara” tersebut memang diperbolehkan, seperti disebutkan dalam ajaran Catur Marga. Demikian juga dalam sifat Weda dan filsafat Wedanta, maupun sesuai kerangka agama Hindu. Jadi, dari uraian tersebut, jelaslah produk kriya yang digunakan sebagai sarana pengamalan ajaran agama Hindu di Bali, dari zaman Hindu sampai sekarang nilai-nilai kesakralannya tetap diyakini oleh sebagian besar umat Hindu di Bali. Di sisi lain, dalam konteks pengembangan pariwisata, budaya tersebut juga dipakai sebagai daya tarik utama. Oleh sebab itu, maka di masa-masa mendatang eksistensinya perlu dijaga dari penetrasi pengaruh-pengaruh luar yang dapat mengancam kelestariannya. Pada zaman kolonial, Bali dan kebudayaannya diperkenalkan sebagai daerah tujuan wisata, maka pengaruh-pengaruh Belanda dan kebudayaan masyarakat dari luar lainnya semakin merebak masuk ke Bali. Sehingga dalam tata kehidupan masyarakat di Bali tampak mengalami banyak perubahan, seperti semakin berkembangnya corak masyarakat yang meng-
arah pada usaha-usaha non-agraris. Masyarakat Bali semakin dimantapkan dan didorong untuk bergerak dalam bidang ekonomi, misalnya: membuat koperasi, mengaktifkan kembali kegiatan ekspor-impor barang yang sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, menjual hasil pertanian dan sebagainya. Dalam usaha menunjang pengembangan pariwisata, mulai berkembang usaha yang bergerak dalam bidang perhotelan, restoran, biro perjalanan, toko kerajinan, kesenian tradisional yang telah tumbuh dan berarkar di masyarakat Bali, kembali aktif, termasuk penciptaan “produk-produk kriya komersial”. Khusus mengenai masalah penciptaan produkproduk kriya yang bermuatan lokal dengan tendensi komersial. Gejalanya muncul secara “spontan” dari masyarakat kriyawan Bali saat itu. Para kriyawan menciptakan produk kriya tersebut, semata-mata didorong oleh permintaan para wisatawan yang semakin meningkat dan bukan atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda. Keadaan tersebut, dapat ditelusuri dari tujuan Belanda untuk menguasai Pulau Bali, selain untuk menguras hasil pertanian, peternakan dan lain-lainnya, Selain hal tersebut pemerintah Belanda juga berkeinginan untuk mempertahankan keaslian kebudayaan Bali dengan menerapkan politik isolasi atau mengasingkannya dari pengaruh-pengaruh luar dan semata-mata ingin dijadikan sebagai “museum hidup”. Upaya tersebut diawali dengan usaha untuk mendatangkan para
pakar yang terkait dari negerinya, untuk mempelajari berbagai aspek tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan tradisonal. Kemudian membangun Gedong Kertiya di Singaraja untuk menyimpan dan menyelamatkan kesusastraan Bali yang ditulis pada lontar, membangun museum di Denpasar untuk melindungi dan menyelamatkan artifak etnografi Bali. Mengembangkan sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan kebudayaan terkait dengan tata kehidupan adat-Agama Hindu, misalnya dengan mengangkat tenaga pendidik lokal yang berkompeten dalam bidang kebudayaan Bali. Motivasi perluasan usaha penciptaan produk kriya di Bali saat tersebut, mengalami perkembangan baru dibandingkan sebelumnya, di mana pada masa berkembangnya pengaruh Hindu dan zaman kerajaan, penciptaan produk kriya dilandasi dengan rasa pengabdian yang tulus kepada agama dan kerajaan. Namun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, faktor pendorong atau motivasi penciptaan produk kriya dengan serta merta mulai mengarah pada hal-hal bersifat komersial. Para kriyawan kebanyakan mulai memandang hasil produksinya sebagai mata dagangan yang bernilai ekonomis. Mereka cenderung menciptakan produk kriya dalam bentuk cenderamata untuk dijual kepada para wisatawan atau diekspor ke luar pulau Bali. Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk menunjang pengembangan pariwisata pada saat terse-
but, di satu sisi tampak para kriyawan berusaha mengembangkan produk-produk kriya masa lalu yang diwarisinya. Seperti: berupa patung, topeng, fanil, relief dan gambar atau lukisan dengan menggunakan berbagai bahan, misalnya: kayu, (berkembang di daerah Gianyar dan Badung), batu padas (berkembang di Gianyar), logam (berkembang di Klungkung, Gianyar, Bangli dan di Buleleng), tempurung kelapa, tulang, tanduk (berkembang di Gianyar), tanah liat atau keramik (di Tabanan) dan lain sebagainya. Dalam upayanya tersebut, kadang juga muncul tindakan eklektisme elemen estetis produk kriya tradisional, tanpa kecuali produk yang digunakan untuk sarana pengamalan dan penghayatan ajaran agama Hindu Bali. Di sisi lain, mereka juga mulai memadukan pengaruh dari luar, sehingga menghasilkan produk dengan berbagai penggayaan atau style. Seperti pengaruh seni rupa modern yang dibawa oleh para seniman Barat, seperti: Rudolf Bonnet, Walter Spies dan seniman lainnya. Perpaduan pengaruh tersebut, melahirkan produk-produk dengan style Batuan, Ubud, pengosekan dan sebagainya. Dalam masa pendudukan Jepang yang berlangsung relatif lebih singkat dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Usaha pengembangan pariwisata kurang mendapat perhatian, karena pada waktu tersebut, Jepang lebih mementingkan usaha penanaman semangat militer dan arti penting perang Asia Timur Raya untuk meraih kemenangan. Oleh sebab itu, usaha
penciptaan “produk kriya komersial” semakin surut dan penggunaannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Otoritas masyarakat pada saat tersebut sangat terbatas, sehingga keadaan kebudayaan Bali nyaris terisolir dari pengaruh luar, kecuali pengaruh pemerintahan Jepang sendiri. Ulasan dari sudut historis tersebut memberi deskripsi bahwa pada saat mulai masuknya pengaruh Barat (Belanda) dan dijadikannya Bali sebagai daerah tujuan wisata, maka usaha penciptaan produk-produk kriya di Bali dengan serta merta mulai mengarah pada tujuan komersial dan disertai dengan muncul gejala penerapan elemen estetis produk tradisional secara eklektik pada desain yang kemudian diterapkan pada produk-produk kriya yang dibuat saat tersebut. Didorong pula oleh semakin meningkatnya permintaan para wisatawan akan produk-produk kriya yang bermuatan lokal berupa barang cenderamata. Pada zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1950, sektor pariwisata di Bali kembali dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia dengan tetap berbasis pada kekuatan budaya Bali sebagai daya tarik utama. Usaha pengembangan tersebut, ternyata merupakan salah satu pemicu arus penetrasi budaya modern dan global, sekaligus memberi dampak pada tata kehidupan masyarakat di Bali. Dikaitkan dengan pembangunan sektor perekonomian, ternyata upaya tersebut memberi pengaruh yang signifikan. Lapangan pekerjaan atau bidang usaha
industri kecil memiliki peluang atau opportunity untuk tumbuh dan berkembang, seperti dalam kegiatan penciptaan produk-produk kriya yang mengarah komersial. Pada dasawarsa belakangan, sebelum terjadi tragedi bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 di Kecamatan Kuta dan bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005. usaha tersebut sempat mengalami perkembangan yang cukup pesat, selain didorong oleh perkembangan sektor pariwisata, juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan industri kecil dan mendijadikan produk kriya lokal sebagai salah satu alternatif komoditi ekspor non-migas. Kondisi tersebut, cukup mendorong para kriyawan dan pengusaha di Bali masa kini untuk semakin aktif menekuni sektor tersebut. Banyak di antara masyarakat di Bali menjadikan sebagai mata pencaharian tetap. Mereka termotivasi oleh aspek ekonomis yang dihasilkan dari produk kriya yang diciptakannya. Berbeda dengan dulu, terutama di zaman prakolonial, di mana kegiatan menciptakan produk kriya hanya merupakan pekerjaan sambilan di waktu senggang seusai di sawah atau kesibukan lain. Dan hasil produknya jarang diperjual belikan sebagai mata dagangan. Dalam pengadaan produk-produk kriya untuk dikonsumsi para wisatawan masa kini, para kriyawan berupaya untuk menyuguhkan produk yang dapat memberi kenangan tersendiri, misalnya berwujud cenderamata yang menyiratkan keindahan alam atau ke-
budayaan Bali. Demikian juga dalam penataan lingkungan, berkeinginan menampilkan suasana yang berbeda dengan daerah lain, salah satunya dengan menerapkan elemen estetis produk kriya masa lalu. Dalam hubungan dengan kreativitas penciptaan produk kriya, di satu sisi tampak usaha inovatif yang mengarah pada produk individual, misalnya dengan mengeksploitasi alam fauna dan flora sebagai sumber inspirasinya, seperti tampak pada Gambar 25 dan 26.
Gambar 25 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Fauna
Gambar 26 Beberapa Hasil Kreasi Produk Kriya Dengan Mengeksploitasi Alam Flora Di sisi lain, tindakan-tindakan eklektik terhadap elemen estetis produk kriya masa lalu yang diterapkan pada desain produk kriya masa kini, tampak semakin menggejala di kalangan masyarakat kriyawan. Mereka melakukan tindakan tersebut didorong oleh harapan atau keinginan untuk menciptakan produk-produk kriya etnik yang bermuatan lokal atau tercerap suasana atau citra rasa tradisional yang berciri khas budaya Bali seperti tampak pada Gambar 27- 32
Gambar 27 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.
Gambar 28 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Barang Komoditi.
Gambar 29 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Panil untuk Barang Komoditi.
Gambar 30 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Untuk Barang Komoditi.
Gambar 31 Penerapan Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Pada Façade Bangunan.
Gambar 32 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional Yang Sakral Diterapkan Dalam Bentuk Tatto. Dalam pemilihan unsur-unsur terbaik produk masa lalu, sering muncul sikap “ketidaktaatan” yang dilakukan oleh para kriyawan di Bali. Banyak di antara mereka kadang-kadang melupakan konteks nilai yang terkandung pada produk kriya masa lalu dengan masa-
lah kepercayaan umat Hindu di Bali. Produk-produk kriya wali yang digunakan dalam upacara agama dan dianggap sakral, “dipilih”, kemudian diterapkan begitu saja pada benda-benda yang bersifat profan dengan lebih mengutamakan segi artistik dan semata-mata menyandar pada efek finansialnya. Sebagai contoh, Bhoma diterapkan dengan ditatto pada bokong atau Ongkara ditatto pada lengan. (lihat Gambar: 31). Hal tersebut, jelas merupakan penyimpangan dan sama sekali tidak ada hubungan permaknaan. Pada hal kedua elemen tersebut mengandung nilai religius dan konvensinya masih eksis di masyarakat Hindu di Bali. Penerapan tersebut memiliki tujuan yang tidak jelas, semata-mata untuk sensasi. Tindakan tersebut jelas berdampak negatif, merusak atau mengganggu kesepakatan yang telah mapan. Relief Acintya, sebenarnya merupakan produk kriya yang mengandung nilai simbolis pada bangunan suci, seperti pada pelinggih padmasana, tetapi sekarang banyak digunakan untuk hiasan benda pakai yang bersifat profan, misalnya diterapkan sebagai hiasan dinding rumah tinggal, relief pada tebing dekat kuburan, divisualisasikan dalam bentuk patung untuk menghias persimpangan jalan. Diterapkan pada tebing kuburan. Ditiru atau direproduksi dengan kemampuan tangannya, kemudian dijual sebagai barang cenderamata dan sebagainya. Bhoma, Garuda Wisnu dan Nãga, diterapkan sebagai hiasan pada façade sebuah kantor bank
atau bangunan lain, Bedawang Nala dipakai hiasan tapal batas kota, lonték dan tedung Agung, sebenarnya sebagai “busana pura” yang dikenakan sewaktu melangsungkan upacara agama tertentu, seperti pada upacara Odalan, namun sekarang digunakan untuk menghias halaman supermarket, artshop, hotel, restoran dan sebagainya. Sehingga timbul kerancuan dan menimbulkan kebingungan bagi generasi penerus tradisi tersebut.
Gambar 33 Elemen Estetis Produk Kriya Tradisional berupa Relief yang Sakral Diterapkan Di Perepatan Jalan dan Sebagai Hiasan Tebing Kuburan Selain hal tersebut, banyak para kriyawan di Bali dalam kegiatan penciptaan produk kriya masa kini, cenderung tergantung pada permintaan pasar. Idealisasi, inovasi dengan ide baru dan kreativitas mereka sering terhambat karena takut tidak laku di pasaran. Sehingga
dengan kondisi tersebut “jalan pintas” sering dilakukannya, misalnya dengan jalan “mengkopi” atau “membajak” produk-produk yang sedang laku dipasaran atau dengan tetap bertahan pada produk tradisional. Sekalipun ada kriyawan yang berusaha mencipta “produk kriya baru”, itu pun hanya dilakukan oleh beberapa orang kriyawan, seperti: Ide Bagus Nyana, I Nyoman Togog dan yang lainnya. Dan banyak produk ciptaannya setelah dilemparkan di pasaran atau dipamerkan, juga tidak luput dari konsekuensi tersebut. Dalam proses penciptaan produk-produk kriya dengan unsur eklektik yang ditujukan untuk para wisatawan masa kini, terjadi “desakralisasi”. Maksudnya, dalam proses penciptaan produk-produk tersebut yang seharusnya disertai dengan upacara penyucian, tetapi pada kenyataannya bagian tersebut sering ditinggalkan, “dipaksakan” dan “diberanikan” demi untuk memenuhi tujuan lain dengan alasan faktor ekomoni. Kejadian tersebut, juga didorong oleh pihak pengusaha produk-produk kriya di Bali. Seperti dalam pemberian pesanan kepada para kriyawan, sikap mereka cenderung menyandar pada kesiapan, kemampuan atau keterampilan yang dimiliki para kriyawan untuk mengerjakannya, sehingga pesanan tersebut sesuai dengan keinginan konsumennya dan transaksi dapat berjalan tepat pada waktunya. Dan permasalahan sudah dianggap selesai sampai di sana, karena mereka merasa mampu memberi pelayanan yang memuaskan wisata-
wan. Namun sikap tersebut, kalau dikaitkan dengan konsep Catur Purus Artha yang dipakai landasan pembangunan di Bali, jelas kurang relevan, karena dapat menimbulkan arti hidup dan kehidupan yang tidak stabil. Mereka tampak lebih mengutamakan Artha dan Kama sebagai tujuan hidup, sehingga kesadaran untuk lebih selektif terhadap makna atau nilai yang dikandungnya terasa masih kurang. 2. Kajian Semiotis Dari pembahasan pada Bab III dapat difahami, bahwa produk-produk kriya yang diciptakan oleh para kriyawan Bali di masa lalu, baik yang diciptakan pada zaman pra-Hindu, maupun setelah mendapat pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa Timur, ternyata eksistensinya dapat menembus beberapa zaman dalam rentang waktu sangat lama. Banyak di antaranya produk-produk kriya tersebut merupakan karya puncak, sehingga sulit dikembangkan lebih lanjut. Para pewarisnya dewasa ini hanya mampu menduplikasikan dan menggunakannya. Salah satu faktor yang menyebabkan produk-produk tersebut dapat bertahan, karena dalam proses penciptaannya dilandasi dengan konsep-konsep perancangan sangat mantap, komprehensif, kompleks, mengacu pada norma-norma ajaran agama Hindu atau sistem kepercayaan umat Hindu di Bali dan dikerjakan dengan total serta penuh pengabdian yang tulus.
Dalam usaha perluasan gagasan desain produk kriya masa kini, tampak produk-produk tersebut kembali ditampilkan “secara eklektik” dengan menitikberatkan pada nilai estetis dan diklaim sebagai identitas etnik Bali atau local genuine, dengan di sana-sini diadakan penambahan atau pengurangan yang diistilahkan sebagai ‘pengembangan’ dan tak jarang dibarengi dengan tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai dengan esensi konsep penciptaan di masa lalu. Jika ditinjau kembali berdasarkan kajian semiotika, dengan memandang peristiwa penciptaan dan penggunaan produk atau produk kriya di setiap zaman sebagai fenomena bahasa, maka secara diakronis hasil peninggalan tersebut, dapat dipakai sebagai tanda (sign) zaman yang merepresentasikan sejarah perkembangan aktivitas penciptaan dan penggunaan produk atau produk kriya dalam masyarakat Bali dari zaman ke zaman, sedangkan secara sinkronis, hasil tersebut dapat dipakai tanda (sign) yang merepresentasikan aktivitas penciptaan dan penggunaan produk atau produk kriya, pada masing-masing penggalan zaman atau kurun waktu tertentu. Pembahasan lebih rinci mengenai kajian semiotis, adalah sebagai berikut: Sebelum penduduk Bali mendapat pengaruh kebudayaan neolitikum dan perunggu, memberi tanda dalam bentuk indeks, bahwa masyarakat di Bali saat itu, dalam aktivitas penciptaan dan penggunaan produk kriya tampak masih sangat sederhana, lebih ke arah
makna denotasi, karena mereka bertumpu pada nilai guna atau utilitas dan pragmatis, seperti batu dengan karakternya yang keras diperlakukan untuk “menghacurkan” benda yang lebih lunak. Belum ada tanda-tanda yang mengarah pada makna konotasi. Misalnya masalah kenyamanan, keindahan produk maupun simbolisasi. Hubungan struktur tanda tersebut menurut Semiotika Saussure dapat digambarkan seperti Gambar 34 berikut
Gambar 34 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Sebelum Mendapat Pengaruh Kebudayaan Neolitikum dan Perunggu) Pada zaman selanjutnya, arah penciptaan dan penggunaan produk-produk kriya tidak lagi terpaku pada pertimbangan yang bersifat denotatif, melainkan sudah memperhatikan hal-hal yang bersifat konotatif. Produkproduk yang diciptakan, selain memiliki berfungsi sebagai alat, juga sudah memperhatikan nilai estetis dan simbolis dengan latar atau konvensi yang dilandasi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti kepercayaan alam gaib, roh atau kekuatan-kekuatan lain
yang dimiliki oleh suatu benda yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan mereka atau fetishism. Simbol-simbol tersebut diterapkan atau diwujudkan dalam berbagai bentuk produk kriya, seperti berupa sebuah nekara yang dibuat dengan perunggu. Pada produk kriya tersebut diterapkan relief berupa topeng yang distilasi dari bentuk wajah manusia, dipakai sebagai simbol roh nenek moyang mereka dan dianggap bertuah atau mengandung nilai magis. Selain hal tersebut, juga dipakai sebagai tanda atau simbol status sosial, misalnya pada penguburan mayat seorang tokoh masyarakat dengan menggunakan sarkofagus. Penguburan dengan cara tersebut, dilakukan sebagai simbol penghormatan kepada tokoh yang meninggal. Hubungan produk-produk kriya sebagai tanda atau simbol dengan pengguna tanda atau penanda (masyarakat Bali zaman Pra-Hindu) dapat digambarkan seperti Gambar 35 berikut
Gambar 35 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Setelah Mendapat Pengaruh Kebudayaan Neolitikum dan Perunggu
Pada Zaman Hindu menunjukan, bahwa dalam aktivitas penciptaan dan penggunaan produk-produk kriya dilandasi dengan konsep yang mengarah pada makna konotasi atau asosiatif dengan latar atau ground digali dari mitologi, ceritera-ceritera rakyat, filosofi, kosmologi dan sebagainya yang bersumber pada ajaran Agama Hindu. Diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol sehingga produk-produk kriya tersebut tergolong karya spiritual religius dan dianggap sakral yang digunakan sebagai media untuk mempermudah membayangkan sifat abstrak yang dimiliki Tuhan. Seperti produk-produk kriya yang digunakan dalam upacara Odalan. Secara semiotika relasi tanda dengan pengguna tanda pada zaman tersebut, dapat digambarkan seperti Gambar 36 berikut,
Gambar 36 Relasi Tanda, Penanda dan Petanda Pada Produk Kriya Bali Mendapat Pengaruh Kebudayaan Hindu-Jawa Timur
Pada zaman Kolonial dan Kemerdekaan, kondisi penciptaan dan penggunaan produk kriya di Bali memiliki kemiripan langgam atau tipe, baik tujuan, maupun arah pengembangan yang dilakukan oleh para kriyawan di Bali. Pada saat tersebut, penciptaan dan pengunaan produk kriya pengalami perkembangan baru. Produkproduk tersebut mulai dijadikan sebagai penunjang kepariwisataan di Bali berupa cenderamata, elemen estetis untuk menciptakan suasana tradisional Bali atau sebagai digunakan komoditi ekspor. Produk-produk kriya —terutama yang terkait pengamalan ajaran Agama Hindu di Bali— yang diciptakan sebagai tanda dalam bentuk simbol-simbol dengan konvensi budaya yang dilandasi nilai-nilai atau norma-norma Agama Hindu yang telah mapan dalam masyarakat masa lalu. Namun dewasa ini, kadang kembali “dipilih” dan ditata atau dipadukan dengan tanda lain. Jika kondisi tersebut dikaji berdasarkan semiotika model “intertekstualitas” seperti yang dikembangkan oleh Kristeva, maka dalam fenometa tersebut tampak terjadi “permainan petanda” yang menghasilkan petanda baru dengan konvensi atau makna yang tidak jelas arahnya, subyektif, pretensius, relatif dan bersifat temporal. Seperti tujuan para kriyawan untuk menciptakan produk bermuatan lokal atau dorongan para wisatawan untuk membeli suatu produk (emotional product motives), seperti kebanggaan (pride) memperoleh produk kriya lokal yang berciri khas Bali dan dipakai sebagai tanda kenangan, bahwa mere-
ka pernah mengunjungi pulau Bali, dianggap sebagai suatu kepuasan atau prestise dan sebagainya. Selain motivasi tersebut juga didorong keinginan untuk menciptakan lingkungan atau tata bangunan dengan nuansa tradisional. Petanda baru yang muncul tersebut hanya bersifat subjektif yang “dihubung-hubungkan” atau hanya merupakan suatu pretensi yang sama sekali tidak ada pertalian petanda dengan ground simbol yang diterapkan pada produk tersebut di masa lalu. Bahkan tindakan tersebut dapat “merusak” atau memutuskan pertautan petanda dengan penanda atau narasi yang sebenarnya. Sebagai contoh, produk kriya berupa relief Garuda Wisnu yang lazimnya diterapkan dibelakang Padmasan, namun sekarang tampak diterapkan sebagai hiasan façade. Pada façade tersebut tampak logo Bank BPD diletakkan di atas dari simbol Garuda Wisnu. Dari kedua tanda tersebut sama sekali tidak terjalin suatu kesatuan makna. Masing-masing tanda atau simbol tersebut menyiratkan makna tersendiri. Pada contoh tersebut, tampak simbol Garuda Wisnu menjadi kehilangan makna, janggal dan berkonotasi negatif karena terjadi diskrepansi antara tanda dengan petanda yang sebenarnya, kalau dilihat dari tata letak kedua tanda tersebut, di mana simbol Garuda Wisnu adalah terkait dengan ajaran Agama Hindu, dianggap sebagai lambang kebesaran Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu, na-
mun pada façade itu diletakkan di bawah logo yang cenderung berkonotasi tentang uang yang bersifat sekular. Penempatan tersebut “asal pasang” dan hanya didorong oleh suatu preferensi “pajang seni” semata, tanpa memikirkan lebih jauh tentang pertalian petanda yang terbentuk akibat penempatan simbol dan logo tersebut. Tanpa disadari penempatan tersebut membawa makna konotasi yang mengarah pada interprestasi negatif. Meletakkan penghargaan terhadap nilai-nilai keduniawian (uang dan investasi), kesenangan dan kenikmatan (hedonisme) lebih tinggi dari nilai yang berhubungan dengan ajaran ketuhanan. Berdasarkan kajian dari sudut model semiotika “intertekstualitas”, maka secara umum penciptaan produk kriya dengan unsur eklektik dewasa ini di Bali dapat digambarkan pada Gambar 37
Gambar 37 Perbandingan Relasi Tanda, Penanda dan Petanda (“Intertekstualitas”) Kaitannya Dengan Fenomena Eklektik Unsur Produk Kriya Masa Lalu
B. Dampak yang Ditimbulkan Baik pada Produk Masa Lalu yang Dipilih maupun pada Produk Kriya yang Dibuat Masa Kini
Konsep pengembangan pariwisata di Bali berbasis budaya Bali. Sebenarnya di dalamnya secara implisit tersirat suatu harapan agar terjadi relasi timbal balik atau symbiosis mutually beneficial relationship antara pariwisata dengan kebudayaan Bali. Konsep tersebut diharapkan dapat mengkonstruksikan interaksi yang sangat erat antara pariwisata dan budaya Bali serta dapat memberi peningkatan yang signifikan secara serasi, selaras, dan seimbang. Di satu sisi menurut hasil penelitian Kean (1973) maupun Geriya dan Erawan (1993) membuktikan bahwa interaksi antara pariwisata dan kebudayaan Bali, ternyata mendatangkan banyak kemanfaatan atau beneficial bagi pengembangan kebudayaan Bali sekaligus pengembangan sektor ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain banyak muncul kekawatiran tentang nasib masa depan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali. Sejak 60 tahun yang silam di kalangan para pengamat: budayawan, sosiolog, antropolog dan seniman sudah memprediksi, bahwa masyarakat Bali bersama kebudayaannya di masamasa mendatang akan mengalami perubahan besar sebagai dampak maraknya perkembangan pariwisata. Mereka mendeskripsikan, bahwa pariwisatalah yang akan menjadi salah satu katalisator atau sebagai pemicu terjadinya perubahan sosial-budaya masyarakat di
Bali. Seperti, sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Miguel Covarrubias dalam bukunya berjudul Island of Bali —“Isn’t Bali Spoiled ?”— sebagai kalimat pembukaan dalam pembicaraan Modern Bali and The Future. Pertanyaan tersebut diungkap sehubungan dengan kekawatiranya akan kerusakan yang akan terjadi pada seni budaya Bali sebagai akibat diperkenalkannya menjadi daerah tujuan wisata oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat tersebut (Covarrubias, 1937). Demikian juga kekawatiran tersebut dimuat dalam buku dengan judul: Republik Indonesia (Kepulauan Sunda Kecil), pada paparan keadaan masyarakat dan kebudayaan Bali yang diterbitkan pada tahun 1953. Prediksi atau asumsi tersebut, ternyata dalam beberapa dekade belakangan ini menjadi suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri lagi. Suatu dinamika baru dan perubahan-perubahan struktural telah terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali. Hal tersebut juga terjadi dalam perluasan penciptaan produk-produk kriya dan desain lainnya yang dilakukan oleh para kriyawan atau desainer di Bali. Salah satunya diakibatkan oleh eklektisme elemen estetis tradisonal yang tak terkendali dalam penerapannya pada desain produk masa kini. Berikut akan diuraikan mengenai dampak yang ditimbulkan, baik pada produk masa lalu maupun pada desain produk masa kini.
1. Dampak Eklektisme Terhadap Produk Kriya Masa Lalu Dampak eklektisme terhadap produk kriya masa lalu sebagai objek pilihan, secara tidak langsung akan terganggunya konvensi yang mendasari objek yang dipilih dan kemungkinan akan terjadi suatu pelunturan nilai, “desakralisasi”, “deteriorasi”, “generalisasi”, kesimpangsiuran atau pengkaburan makna, terutama bagi generasi pewaris kesepakatan tersebut. Secara visual mereka akan semakin sulit untuk membedakan antara produk kriya yang digunakan untuk sarana upacara ritual di tempat suci dengan produk kriya yang dipakai di tempat yang bersifat profan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jean Couteau, bahwa dampak dari peran khas pariwisata Bali membawa pengaruh dan perubahan yang tak terbatas. Keadaan tersebut tanpa disadari dengan perlahan-lahan dapat mengikis alam pikiran spiritual umat Hindu di Bali dan dapat terjebak dalam kecenderungan efek komersial dari produk tersebut. Akibat dari tindakan tersebut, tanpa disadari dapat mengurangi rasa penghargaan atau pemahaman spiritual terhadap makna atau nilai yang ditanamkan pada produk kriya yang dianggap sakral tersebut, karena telah “diduplikasi” untuk dijadikan barang tontonan biasa atau barang komoditi untuk pemenuhan kebutuhan sekuler semata. Seperti: relief tinggi berupa Bhoma, Garuda Wisnu dan sebagainya, sekarang ba-
nyak ditiru dan diterapkan sebagai hiasan toko, kantor, rumah tinggal dan bangunan umum lainnya. Rangda dan Barong ket, banyak ditiru dengan tidak disertai dengan “sakralisasi” dan dipakai pertunjukan khusus untuk konsumsi para wisatawan, bahkan sengaja dipentaskan di hotel-hotel untuk menghibur para wisatawan. Topeng Barong Ket juga dipakai sebagai penghias ruangan boutique yang dipajang berdampingan dengan busana yang dijual, seperti pada Gambar 38 berikut
Gambar 38 Topeng Barong Ket Diterapakan Sebagai Hiasan Boutique Ditinjau dari sudut semiotika, penerapan elemen estetis tradisional secara eklektis tersebut dapat berdampak terganggunya kestabilan antara tanda dengan
petanda, karena terjadi suatu “mutilasi” struktur simbol atau lambang dengan konvensi adat yang telah mapan dalam kalangan umat Hindu di Bali. Terbentuk kepingan-kepingan dan perpaduan tanda dengan petanda yang tidak jelas atau “mati”. interpretasi makna menjadi simpangsiur dan terkecoh karena secara visual semakin sulit untuk membedakan antara produk kriya sakral dengan profan. Seperti senjata nawa sanga, produk kriya tersebut biasanya digunakan sebagai hiasan di pura berupa bandrangan dan sekaligus sebagai simbol kekuatan para Dewa, namun kini sematamata diciptakan sebagai barang cenderamata untuk konsumsi para wisatawan (lihat Gambar 29). Makna konotasinya mengalami perubahan dan mengarah pada nilai komersial. 2. Dampak Eklektisme Terhadap Desain Masa Kini Penerapan elemen estetis secara eklektik pada desain masa kini yang dilakukan oleh para kriyawan atau desainer di Bali masa kini, dalam upaya untuk menciptakan karya yang bermuatan lokal atau didorong oleh harapan agar dapat menciptakan suasana tradisional Bali. Ternyata usaha tersebut tanpa disadari dapat menimbulkan permasalahan yang mendasar. Pada desain atau produk kriya yang diciptakan dengan menerapkan elemen estetis tradisonal kadangkadang tampak “janggal”, “tertekan”, “terpaksa”, berlebihan, mubasir dan dari perpaduan tersebut tidak terjalin pertalian makna di antara tanda-tanda atau
simbol-simbol yang diterapkannya. Dikaitkan dengan konsep estitika yang melandasi strategi pembangunan di daerah Bali, seperti telah dipaparkan pada bab pendahuluan, kondisi tersebut jelas kurang relevan, sebab pada produk-produk yang diciptakan sering terlihat kurang selaras, kurang harmonis dan tidak seimbang. Bahkan tak jarang melahirkan karya yang termasuk: pastiche, parody, kitsch, atau camp. Sebagai contoh dapat diamati pada penerapan elemen estetis produk kriya tradisional, berupa relief garuda pada sebuah façade toko sepatu bata seperti Gambar 38 berikut,
Gambar 38 Penerapan Relief Garuda Pada Façade Toko Sepatu Bata
Pada hiasan tersebut tampak elemen estetis berbentuk garuda yang meniru dari bentuk Garuda Wisnu dan penyuguhannya tidak dilengkapi dengan simbol Dewa Wisnu. “Tangan” garuda dibuat menunjuk logo sepatu bata dan posisi penempatan kedua elemen tersebut sejajar secara horisontal. Pada penampilan tanda tersebut tampak suatu fragmen yang terbentuk dari hasil perpaduan dua, yaitu antara simbol dengan logo. Disimak dari permaknaan, maka keduanya sama sekali tidak terdapat pertautan makna. Konsep penciptaan hanya didasari oleh suatu pretensi menciptakan nuansa bagunan tradisional Bali. Bentuk garuda tersebut sebenarnya merupakan produk kriya masa lalu yang khusus diterapkan pada bangunan suci dan mengandung nilai filosofi yang tinggi dan sebagai simbol kekuatan Tuhan. Namun kini dipilih dan diterapkan begitu saja tanpa memikirkan dampak negatif terhadap makna yang dikandungnya. Mereka meminjam makna simbol garuda yang telah mapan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali, hanya sekadar untuk menunjukan logo sepatu bata atau bertujuan untuk membangun imitasi image atau citra rasa palsu (kitsch) dalam usaha membangun keyakinan masyarakat konsumen, bahwa produk sepatu merek bata sudah terpercaya, kuat dan sebagainya, sampai-sampai simbol garuda yang masih diyakini oleh umat Hindu “digambarkan” memberi petunjuk tentang keunggulannya.
Peniruan dan perpaduan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu produk kriya parodi, sebab pemilihan dan penerapannya merupakan suatu “pelesetan” dari makna garuda yang sebenarnya. Narasinya bersifat ironis dan kritis dalam artian mengecilkan makna adiluhung yang terkandung dalam simbol garuda tersebut. Selain hal tersebut, juga termasuk produk pastiche dan camp. Pastiche, karena merupakan hasil penyusunan elemen-elemen masa lalu yang melahirkan bangun tanda palsu yang berkonotasi negatif. Simbol yang bersifat sakral dan terkait dengan ajaran ketuhanan, kini “dipermainkan”, —dikombinasikan dengan tanda atau simbol atau logo lain— dan dimanfaatkan hanya untuk menunjukan merek sepatu. Sedangkan terkait dengan fenomena camp, karena dalam penampilannya bersifat mendaurulang bentuk garuda yang merupakan hasil produk kriya masa lalu dan diterapkan begitu saja, sehingga terkesan sentimentil terhadap simbol yang masih diyakini oleh umat Hindu di Bali. Contoh kasus sejenis lainnya, juga dapat diamati pada penerapan elemen estetis produk kriya tradisional berupa dua patung naga yang mengapit pintu gerbang utama di lantai I di bawah selasar kantor sebuah bank di Denpasar, seperti tampak pada Gambar 39. Bentuk hiasan tersebut merupakan penggayaan dari bentuk naga hasil produk kriya masa lalu. Naga tersebut sebenarnya merupakan hiasan sekaligus se-
bagai simbol yang diterapkan pada bangunan suci atau pelinggih di pura, seperti pada bangunan suci berupa padmasana (lihat pada Gambar 12)
Gambar 39 Penerapan Patung Naga Pada Gerbang Utama Pada Lantai I Di Bawah Selasar Kantor Sebuah Bank di Denpasar Penerapan tersebut, termotivasi oleh keinginan yang lebih mengutamakan segi artistik dibandingkan substansi atau bobot dari elemen estetis produk kriya masa lalu yang dipilihnya, sehingga berkesan berlebihan, absurd, glamor, dan tidak terbentuk pertalian makna dengan tempat yang diberi hiasan tersebut. Nilai simbolis terkait dengan ajaran kosmologi Hinduistis di Bali dan dianggap sebagai benda sakral, namun pada penerapan tersebut berubah menjadi produk biasa, makna atau nilai yang dikandungnya diimitasi dan dibuat-buat atau sama sekali tanpa makna serta menengelamkan
objek yang dijadikan sasaran eklektis. Secara semiotik kondisi tersebut tidak mencerminkan hubungan antara penanda dengan petanda dan dengan narasi yang tidak jelas. Bangun tanda baru yang dianggap sah dengan petanda yang tidak jelas. Usaha tersebut tanpa disadari membawa dampak terjadinya pergeseran dan pelunturan nilai yang dikandungnya serta bersifat ironis kalau ditinjau dari peletakan naga tersebut. Penerapan produk tersebut dapat dimasukan sebagai fenomena-fenomena, seperti: pastiche, kitsch maupun camp. Digolongkan sebagai fenomena pastiche, karena produk tersebut merupakan penyusunan elemenelemen yang dipinjam dari unsur produk kriya masa lalu dan dalam penerapannya menimbulkan konotasi negatif, seperti merendahkan penghargaan nilai simbolis yang dikandung pada patung naga tersebut, disebabkan penenpatannya tidak sesuai dengan ketentuanketentuan yang telah terkonvensi. Sebagai fenomena kitsch, karena bentuk tersebut merupakan peniruan dari elemen “seni tinggi” atau high art yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dengan dibarengi tujuan palsu, misalnya untuk kemegahan, kebesaran, menciptakan suasana tradisional dan sebagainya. Karya tersebut juga dapat digolongkan sebagai camp, karena dalam penerapan tersebut hanya menitikberatkan pada penggayaan, dekorasi atau segi artistik semata. Usaha penciptaan penerapan naga tersebut juga disertai dalih untuk menciptakan
suasana tradisional Bali, sebenarnya kurang relevan kalau dikaitkan dengan makna yang dikandungnya, karena tanpa disadari dapat membawa dampak negatif —nilai simbolis yang dikandungnya menjadi sepele dan bahkan tanpa makna— terhadap konvensi yang diyakini oleh umat Hindu di Bali. Usaha-usaha seperti tersebut secara tidak langsung juga dapat berdampak menghambat kreativitas para kriyawan untuk berkreasi dan berinovasi, sebab dalam proses penciptaannya hanya bersifat “mendaurulang”, “menduplikasi” atau meniru, meramu dan berorientasi pada elemen-elemen yang sudah ada. Mereka dalam proses pengerjaannya hanya mengandalkan keahlian tangan atau virtuosity semata untuk menjadikan “mass product” dan didorong oleh keinginan pemenuhan kebutuhan para pengembang untuk menciptakan suasana dengan citra tradisional Bali. Selama ini tindakan-tindakan tersebut dianggap sebagai sikap atau model pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali yang berkesinambungan. Entahlah ?. Untuk contoh kasus yang sejenis masih banyak terjadi di masyarakat. Untuk itu, bagi para pembaca yang tertarik silakan diabadikan lalu kita bahas dari berbagai perspektif ilmu di lain kesempatan. Terimakasih
DAFTAR BACAAN Ardana, I B. 1994. Data Bali Membangun. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali. Ariawati, S. N. M, 1992. Upakara Upacara, Denpasar: Upada Sastra. Bagus, IGN, 1995. Budaya Bali Dalam Pertemuan dengan Budaya Dunia. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Denpasar: Nusa Data IndoBudaya. Baudrillard, J. 1981. For Critique of The Political of Economy of The Sign, USA: Telos Press. Bija, I M. 1991. Aji Maya Sandi, Singaraja: Percetakan Guna Agung. Buchori, I, Z. 1990. Aspek Desain dalam Produk Kriya. (makalah seminar). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta. Cassirer, E. 1944. An Essay On Man, Yale University Press. Couteau, J. 1995. Transformasi Struktural Masyarakat Bali Dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya. Covarrubias, M. 1972. Island of Bali. Oxford University Press / PT. Indra, Kuala Lumpur-SingapuraDjakarta Cudamani, 1990. Apakah Upacara Baten Masih Perlu?. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi. ____,1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti
Dinas Pengajaran Propinsi Bali, 1978. Kamus BaliIndonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali. Djawatan Penerangan Propinsi Sunda Kecil, 1953. Republik Indonesia (Sunda Ketjil). Singaraja: Kementerian Penerangan. Eco, U. 1979. A Theory Of Semiotika. Indiana University Press, Blomington. Encyclopaedia Britannica, 1995. CD-ROM 2.0Freed dan Eiseman, Margaret, 1988. Woodcarving of Bali. Berkeley - Singapore: Periplus Editions. Encyclopedia of World Art,1963. New York, Toronto, Lodon: McGraw-Hill, Book Company, Inc. Frutiger, A.1989. Signs and Symbols (Their Design and Meaning). West Germany: Weiss Verlag Gmbh, Studio Edition. Gambar, I M, tt. Buku Paider-ideran dengan Gambar Dewata Nawa Sanga dan Jimat-Jimatnya. Gelebet, N. 1981/1982. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah. Geriya, W. 1993. “Pariwisata dan Segi Sosial Budaya Masyarakat Bali” dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa (Tjok Sudharta, dkk. Ed.). Denpasar: Upada Sastra. Gie, T.L. 1976. Garis-Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya Yogyakarta.
Ginarsa, K. 1997. Gambar Lambang. Denpasar: CV. Kayumas. Goris, R. 1951. Atlas Kebudayaan Bali. Jakarta: Pemeritah Republik Indonesia. Gottschalk, L.1969. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah (terjemahan). Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia 1975. Hartoko, D. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. Hornby. AS. 1989. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, fourth edition. Oxford: University Press. Hutcheon, L. 1985. A Theory of Parody. London: Methuen. Jencks, C. 1987. The New Classicism in Art and Architecture. London. Jessup, H I.1990. Court Art of Indonesia. New York: The Asia Society Galleries. Joedawinata, A. 1990. Sejarah dan Pendidikan Kriya di Indonesia.(Makalah Seminar Kriya). Yogyakarta: ISI. Yogyakarta. Kadjeng, I. N, dkk, 1993. Sarasamušcaya. Jakarta: Hanuman Sakti. Kaler, I, N, tt. Krakah Modré Aji Griguh, Denpasar: Kartodirdjo, S. Dkk, 1976. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Grafitas. Kean, MC. Frick. P. 1973. Cultural Involution: Tourist Balinese and the Processs of Modernization in
Antropological Perspective (Disertation Ph.D.) USA: Anthropology. Brown University Kempers, A.J. Bernet. 1960: Bali Purbakala (disalin oleh: R. Soekmono). Jakarta:PT. Penerbitan dan Balai Buku “Ichtiar” Kerepun, I MK, 1995. Bali dan Ekspor Hasil Kerajinan. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai). Jilid: 2. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya. Koentjaraningrat, 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: (red) Jambatan. ____, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Angkasa Baru Kridalaksana, H. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka Kristeva, J.1979. Desire in Laguage: A Semiotic Approarch to Literature and Art. Oxford: Basil Blackawell Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Singaraja: Koleksi Gedong Kertya. Mantra, I B. 1976. Darsana Bali. Denpasar: Universal Press. ____,1988. Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Daerah Bali dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas. Denpasar: (makalah pada Simlok Penelitian Menyongsong Tinggal landas, 1-2 Nopember 1988. ____, 1993. Bali: Masalah Sosial Baudaya dan Modernisasi. Denpasar: PT. Mahabhakti Offset.
Mirsa, R, 1988. Peristiwa Sejarah dan Peristiwa Nostalgia. (dalam Puspanjali, sebuah Bunga Rampai). Denpasar: CV. Kayumas. Moeliono, et al, 1994. Kamus Bahasa Besar Indonesia. Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka Monier, S M. William, 1963. A Šanskrit English Dictionary. Oxford : The Clarendom Press. Museum Negeri Propensi Bali, 1993/1994. Pameran Topeng Tradisional Bali & Jawa Barat (Katalog Pameran). Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Propinsi bali. Nala, IGN. 1991. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra. Namawi, H. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogyakarta: Gajah Mada University Press. Ngurah, I G M. 1995, Doa Sehari-Hari Menurut Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. Nyoka, 1990. Sejarah Bali, Denpasar: Toko Buku Ria. Oka, I. B. 1991. Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (laporan Seminar. Bandung, 8 Pebruari 1991) Bandung: Panitia Seminar. Parisada Hindu Dharma. 1982/1983. Himpunan Keputusan (SeminarKesatuan Tafsir Terhadap Aspekaspek Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma. Pemda. Tk. I Bali. 1982/1983. Kamus Kecil Sansekerta-Indonesia, Denpasar: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan.
Pendit, 1988. Bhagavad-Gîtã. Jakarta: Hanuman Sakti. ____,1993. Aspek-aspek Agama Hindu, Seputar Weda dan Kebijakan: Jakarta : Manikgeni. Pindha, I G. N. 1973. Pola dasar Kebijaksanaan Pembinaan Kebudayaan Daerah Bali. Denpasar: Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Wisma “Praja Mukti” Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Putra, A.A.A. G, 1991/1992. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Diretorat Jenderal Kebudayaan, Derektorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Bagian Inventarisasi dan Pembinaan Nilainilai Budaya. Raka, I B. 1977/1978. Jajahitan Bali serta Fungsinya Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Santog, S. 1992. Notes on “Camp”. (Againts Interpretation). New York: Anchor Books. Santosa, P. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Penerbit Angkasa. Sara, S. G, 1994. Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra. Simpen, W. 1975. Sejarah Wayang Parwa, Serba Neka Wayang Kulit. Denpasar: Listibya Daerah Bali.
Singging, W. I N. 1993. Ngodalin pada Sanggah Pemrajan. (Upacara-upakara, Hakekat dan Makna serta Arti Simbol-simbol) Soedarso, Sp, 1990/1991. Seni Rupa Indonesia Dalam Masa Prasejarah. Bandung: Panitia Pameran KIAS 1990/1991, Committee of Festival of Indonesia. ____, 1988, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Suku Dayar San, Yogyakarta Soejono, R.P, 1975. Jaman Prasejarah Indonesia. (Sejarah Nasional Indonesia I). Jakarta: Balai Pustaka. Soeka, G, 1986.Trimurti Tattwa. Denpasar: CV. Kayumas. Soekanto, S, 1985. Kamus sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali. Soeroso, M.P, 1988. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Bali Kuna. Jakarta: PT. Gita Karya. Suasthawa, D. I. M. 1990. Hubungan Adat Dengan Agama dan Kebudayaan. Denpasar: CV. Kayumas. Sudartha, T. R. at al, 1991. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Sudjiman, P.1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia. Sugriwa, I G B, tt. Seni Budaya Hindu-Bali, dimuat dalam Majalah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbitan Kebudayaan.
Sura, I G. 1991. Agama Hindu (Sebuah Pengantar). Denpasar: CV. Kayumas. Surayin, I A P, 1991. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra Surpha, I W, 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Sutaba, I M. 1980. Prasejarah Bali. Denpasar: B.U. Yayasan Purbakala Bali. Suwondo, B.1977/1978. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi Bali, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Titib, I M. 1995. Garuda, Burung Merah Putih (dimuat dalam surat kabar Nusa Tenggara, Kamis, 31 Agustus 1995) ____,1989. Pengertian Pura dan Bangunan Suci di Bali. Denpasar: Yayasan Panti Asuhan Hindu “Dharma Jati” Tjahjono, G. 1980. Desain dan Merancang: Penjelajahan Suatu Gagasan, Architrave Tonjaya, I N. G. B. K. 1987. Kanda Pat Dewa, Denpasar:Toko Buku Ria. ____,1982. Lintas Asta Kosali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku Ria. Transkrip Lontar Šiwa Tattwa, Singaraja: Koleksi Gedong Kertya. Transkrips Lontar Bhomantaka, No. Kropak IV.b. Koleksi Gedong Kertya, Singaraja.
Van Zoest, A, 1993. Semiotika. (Tentang Tanda, Cara Kerja dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya), (terjemahan). Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Wardana, IB. R, 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. Webster, M. 1983. Webster,s Collegiate Dictionary, USA Wiana, I K, 1995. Penataan dan Perlembagaan Agama Hindu di Bali. dalam Bali Dipersimpangan Jalan (Sebuah Bungan Rampai) Jilid: 1. Denpasar: Nusa Data IndoBudaya. Widyatmanta, S. 1958. Adiparwa. Yogyakarta: Penerbit dan Toko Buku “Spring”. Wikipedia ,2010 Kamus Bahasa Indonesia online [cited 2010 Maret 18] Available at: URL: http: //id.wikipedia.org/wiki/Kerajinan Wiryatmadja, S, 1981. Memahami Cerita Rekaan Secara Semiotika. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Wojowasito, S. 1977. Kamus Bahasa Kawi-Indonesia. Jakarta: CV. Pengarang. Yasraf, A, P. 1994, Decoding Postmodern Style (Submitted for a Mater Degree in Industrial Design) London: The London Institute Central Sain Martns College of Art and Design ____, 1994. Tamasya di Antara Keping- keping Masa Lalu, (dimuat dalam Jurnal Kebudayaan Kalam edisi: 2-1994). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Yudha Triguna, IB, 1994. Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama Menuju Tattwa. Dalam “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Sebuah Ontologi). Denpasar: Penerbit-BP. Denpasar. Yudoseputro, W, 1983: Seni Kerajinan Indonesia. Jakarta: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Derektorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zimmer, H, 1946. Myth and Symbols in Indian Art and Civilization. New York: Haeper Torchbooks The Bolingen Library.