DAMPAK DISFUNGSI KELUARGA TERHADAP MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL THE CURSE OF BEAUTY: METROLIFESTYLE SALES PROMOTION GIRL Resti Nurfaidah Balai Bahasa Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113
[email protected] Abstrak Konsep kecantikan terjadi bukan hanya dari aspek kultural. Kehadiran era industri yang menjamah dunia properti perempuan menjadi sarana cuci otak. Doktrin sadar diri pada kecantikan menjadikan perempuan terpasung dalam konsep kecantikan ala ideologi produk kosmetik. Tanpa disadari, lingkungan terdekat dapat ditengarai sebagai sarana pembentuk konsep kecantikan, atau sebaliknya, penghancur konsep kecantikan. Tokoh perempuan dalam novel The Curse of Beauty: Metrolifestyle Sales Promotion Girlkarya Indah Hanaco mengalami hal itu. Berlatarkan pada kondisi keluarga disfungsi serta serangkaian peristiwa pelecehan seksual dari pria-pria yang dicintainya, tokoh perempuan tersebut sampai pada puncak konflik dan memutuskan bahwa kecantikan yang diturunkan kepadanya sebagai sebuah kutukan. Dampak selanjutnya, ia menjalani cinta yang berisiko tinggi. Makalah ini akan memaparkan perubahan pandangan tokoh perubahan terhadap konsep kecantikan berdasarkan metodologi analisis deskriptif dengan pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills. Hipotesis yang diperoleh dari pengamatan tersebut adalah perubahan pandangan terjadi karena trauma atas peristiwa perceraian orangtua, kehilangan figur teladan, peristiwa pelecehan seksual berulang, serta menjalani percintaan risiko tinggi sebagai bentuk pelampiasan. Kata kunci: perempuan, peristiwa traumatis, pelecehanan seksual, konsep kecantikan
PENDAHULUAN Selama ini, konsep kecantikan dianggap sebagai produk kultural. Konsep tersebut wujudnya akan sangat beragam karena perbedaan latar kultur yang membentuknya. Solomon (Wahyuni, 2015, www.cnnindonesia.com, diunduh 18 Oktober 2016)mengatakan bahwa konsep kecantikan atau ketampanan merupakan hal yang sangat subjektif, selain faktor budaya, juga dipengaruhi oleh era, dan preferensi manusia sendiri. Wahyuni juga menyampaikan bahwa konsep kecantikan dapat melampaui aspek reproduksi, misalnya, ditentukan dengan kemampuan seseorang berpikir, berjalan, dan berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, Naomi Wolf lebih menekankan pada segmen era, yaitu ketika industri sudah merambah pada dunia perempuan, terutama pada properti kecantikan, perempuan dipaksa untuk menelan
doktrin atau ideologi yang diusung produsen sebuah produk kecantikan, di antaranya melalui tayangan iklan dan acara-acara peluncuran produk. Pada awalnya, sebuah produk iklan pelembut raga mengusung keabadian konsep kecantikan tradisional di Nusantara, yaitu konsep kulit kuning langsat. Namun, ketika budaya “being white” mengalami booming, produk tersebut lalu menghilangan doktrin tentang konsep kecantikan tersebut dan menggangtinya dengan doktrin baru bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang berkulit putih. Konsep rambut sehat dan ideal adalah rambut wanita dewasa yang berwarna hitam, lebat, dan lurus. Berkali-kali sebuah produk perawatan rambut mengusung konsep ikal atau keriting itu cantik tidak pernah bertahan lama, Namun, belakangan, menurut pendapat Karolus, (2016, dalam www.jurnalperempuan.org diunduh 18 Oktober 2016) konsep rambut yang ideal berubah menjadi berwarna hitam legam, lebat, dan bertekstur ikal. Selain konsep kecantikan berlatar kultural yang banyak dibahas dalam berbagai media, konsep kecantikan yang terdapat di dalam novel The Curse of Beauty: Metrolifestyle Sales Promotion Girl sedikit berbeda. Meskipun latar budaya tidak dapat dikesampingkan, yaitu latar budaya urban, tetapi latar lain tampak lebih mendominasi, yaitu ketidakharmonisasian atau disfungsi keluarga dan perlakuan sewenang-wenang dari lawan jenis yang mampu mengubah konsep kecantikan pada seorang perempuan. Perempuan tersebut merupakan tokoh dalam novel karya Hanaco, yaitu Leala atau Lea. Singkat cerita, Leala tidak pernah menduga jika selama ini sosok Mama dan Papa memendam bara di dalam pernikahan selama 25 tahun. Perselingkuhan berulang yang dilakukan oleh Papa menyebabkan dendam di dalam hati Mama. Mama membalaskan dendam dengan cara yang radikal, berselingkuh dengan anak muda dan mengubah total penampilan fisiknya. Leala tidak pernah menerima perceraian yang pada akhirnya harus ditempuh oleh kedua orang tuanya. Kekesalan semakin memuncak ketika dua kali ia memergoki sang Papa sedang memanjakan perempuan-perempuan muda yang sebaya dengannya. Leala sendiri berkali-kali mendaratkan cintanya pada lawan jenisnya. Namun, Leala tidak beruntung. Ia mendapatkan pelecehan seksual dari beberapa kekasihnya. Perceraian traumatis, kebencian terhadap perilaku ayahnya, pelecehan seksual dari lawan jenis dan dosennya, mengubah cara pandang Laela pada konsep kecantikan. Ia menyesali kecantikan yang dimilikinya dan digunakannya kelebihan tersebut untuk menjual diri pada beberapa lelaki pilihan. Setelah
beberapa peristiwa dramatis terjadi, Leala lalu bertemu Irvin. Irvin bukan pria lajang. Namun, cintanya pada Leala sama kadarnya dengan cintanya pada calon istri sesungguhnya. Irvin tidak mau melepaskan keduanya. Ia ingin memiliki kedua perempuan itu. Leala menyerah dan melabuhkan nasibnya sebagai istri simpanan Irvin. Kekecewaan berlebihan memuluskan jalan Leala sebagai seorang sales promotion girl (SPG), satu pekerjaan yang dulu ia benci. Kimi, sahabat Leala, lebih dulu menekuni pekerjaan tersebut. Leala mengetahui bahwa Kimi tidak hanya sukses memasarkan produk, tetapi memiliki kerja sampingan. Namun, Kimi tidak menjajakan tubuhnya kepada sembarang pria. Ia memilih seorang pelanggan tetap yang mampu memenuhi kebutuhannya, Martin. Leala pun melakoni hal yang sama. Ia menjadi SPG pilihan agen penyalur yang kerapkali mendapatkan kontrak eksklusif. Leala melabuhkan cintanya kepada Levi, seorang lelaki yang memiliki kelainan seksual. Bersama lelaki itu, ia menjalani kehidupan seksual yang liar hingga akhirnya menemui titik akhir dan memilih meninggalkan lelaki itu. Irvin menjadi penyelamat bagi Leala. Menjalani kehidupan sebagai seorang SPG merupakan hal yang tidak mudah. SPG melandaskan kontrol sosial terhadap perempuan yang bertugas untuk menjual produk. Wolf (2002:5) menyampaikan bahwa kontrol sosial tersebut merupakan mitos kecantikan.
Mitos kecantikan merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan standar kecantikan, terutama terkait ciri-ciri fisik. Mitos tersebut menjadikan perempuan terpenjara baik ketika ia masih menjalani masa tradisional untuk membentuk citra istri dan ibu ideal, maupun ketika mereka sudah menjalani kehidupan modern dan berada lebih lama di ranah publik. Mitos memenjarakan perempuan tersebut dari obsesi semu yang harus dilakoninya tetapi tidak dapat diwujudkan. SPG terkunci dalam kontrol sosial Mrs. Zoe, sang agen. Ia harus mengunci rapat kecantikan fisik yang kini dimilikinya jika ingin mendapatkan kontrakkontrak eksklusif berbagai peluncuran produk. Banyak jenis pekerjaan lain yang memenjarakan perempuan dalam mitos kecantikan yang merupakan supremasi budaya patriarkis terhadap perempuan. Adanya konsep “cantik” dan “tidak cantik” ditunjang dengan “godaan” dari iklan produk kecantikan mendorong perempuan pada kesadaran semu. Ia merasakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan belum memenuhi kriteria kecantikan yang didoktrinkan oleh ideologi sebuah produk dalam wujud tayangan iklan tersebut. Kemudian, ia akan menempuh berbagai cara untuk menjadi sosok perempuan yang ideal, terutama ketika berada di ranah publik.
Simaklah dalam perjuangan seorang Krisdayanti yang rela menempuh berbagai tahapan operasi plastik, serangkaian suntikan botok, serta pemakaian implant pada tubuhnya. Ingatan kita juga tertuju pada kasus Melinda Dee yang mengubah penampilannya secara radikal demi memperoleh kedudukan dan kesenangan sesaat dengan risiko besar yang lalu dijalaninya ketika ia tersandung kasus kriminal. Banyak kasus-kasus perempuan yang menjadi korban mitos kecantikan lain yang cukup dramatis di seluruh dunia. Kultur patriarkis senantiasa menyorot perempuan melalui berbagai wujud. Penelitian terhadap mitos kecantikan, banyak dilakukan. Kebanyakan penelitian tersebut difokuskan pada korpus berupa mitos di balik tayangan iklan. Amin (2016: 10) dalam artikelnya yang berjudul Representasi Kecantikan Perempuan pada Iklan Dove Versi “Real Beauty Sketches” di Situs Youtube” menyampaikan bahwa perempuan yang ditampilkan di dalam iklan tersebut tampak kurang percaya diri dengan bentuk tubuh yang dimilikinya karena tidak sesuai dengan bentuk tubuh model yang dijadikan sebagai mitos kecantikan baku di kalangan masyarakat. Kemunculan Male Gaze dalam iklan tersebut semakin memojokkan kondisi batin perempuan itu. Iklan tersebut mendekonstruksi mitos kecantikan dengan menekankan secara halus bahwa perempuan yang dapat diterima di lingkungan sosial adalah perempuan yang memiliki kecantikan ideal laksana seorang model. Rakanita (2012: 84—92) dalam tesis berjudul “Representasi dan Identitas Perempuan dalam Iklan Produk Kosmetik Anti-Aging Merek L’Oreal dan Nivea” menyampaikan bahwa melalui iklan produk anti-aging, produsen merekonstruksi dan memberikan identitas kepada perempuan yang terdapat di dalam iklan tersebut, serta perempuan yang memakai produk yang ditawarkan. Melalui unsur iklan, produsen mengaplikasikan identitas pada seseorang sehingga perlu ditiru oleh perempuan lain yang menggunakan produk tersebut. Pemilihan bintang-bintang Hollywood ternama yang dipilih sebagai model tersebut menunjukkan bahwa janji produsen adalah menempatkan kecantikan para perempuan sejajar dengan para bintang dengan penggunaan produk itu. Perempuan pengguna produk diiming-imingi kemudahan posisi dalam lingkungan sosialnya, terutama dengan lawan jenisnya. Kehadiran iklan anti-aging tersebut tidak menghibur kaum perempuan dalam menghadapi penuaan, tetapi menebar kepanikan. Pada akhirnya, konsumerisme muncul karena perempuan terpaksa membeli produk tersebut bukan karena memerlukan melainkan
sekadar memenuhi hasrat. Pada akhirnya, iklan tersebut merupakan wujud dari kepentingan patriarkis yang menuntut perempuan untuk menjadi cantik dan menarik dalam memuaskan hasrat kaum laki-laki. Worotijan (2014: 9—10) dalam artikel berjudul “Konstruksi Kecantikan dalam Iklan Kosmetik Wardah” menyampaikan bahwa konstruksi mitos kecantikan perempuan dalam tayangan iklan tersebut menambah mitos kecantikan yang mengusung unsur religi dengan segala “bentuk keharusan” yang wajib dijalankan perempuan dalam budaya patriarkis. Namun, disamping hal itu, produk kosmetik tersebut tetap melanggengkan mitos kecantikan perempuan pada umumnya: cantik, langsing, dan berkulit putih. Ketiga penelitian tersebut menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills yang berbasis feminis. Berbeda dengan ketika penelitian tadi, makalah ini diarahkan pada perubahan mitos kecantikan yang terjadi karena pengalaman traumatis seorang perempuan bernama Leala dalam novel Curse of Beauty: Metrolifestyle Sales Promotion Girl karya Indah Hanaco.
KONSEP TEORITIS Pengamatan yang mendasari penulisan artikel ini adalah analisis wacana kritis Sara Mills yang menggabungkan antara analisis wacana kritis dan konsep feminisme.Sara Mills yang menggabungkan konsep feminisme dalam teks. Sara Mills memandang bahwa perempuan selalu didudukkan pada posisi yang salah dalam teks dan ia menyebutnya sebagai konsep feminist stylistic. Sara Mills (1995:13) mengatakan bahwa feminist stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik gender pada daftar elemen yang dianalisis, tetapi menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam analisis bahasa. Dengan demikian, bahasa dalam wacana atau sebuah teks bukan sekadar bahasa biasa, melainkan bahasa merupakan unsur utama yang harus diadakan dan dimunculkan. Melalui bahasa tersebut dapat ditelusuri bagaimana kedudukan perempuan di dalam teks, kondisi dan situasi yang mendukung kedudukan perempuan di dalam teks, serta reaksi lingkungan di sekitar terhadap sosok perempuan di dalam teks itu. Dalam menganalisis sebuah teks, Sara Mills (1995:62—156) membagi sistematika analisis ke dalam tiga level berikut, yaitu (1) analisis pada level kata/frasa berupa seksisme dalam bahasa
dan seksisme dan maknanya; (2) analisis pada level klausa/kalimat berupa penamaan, pelecehan pada wanita, belas kasihan/pengkerdilan, penghalusan/tabu; serta (3) analisis pada level wacana berupa karakter/peran, fragmentasi, fokalisasi, dan skemata. Sara Mills (1995:157) mengatakan bahwa stilistika feminis memudahkan peminat representasi hubungan gender. Stilistika feminis merupakan sarana bagi para ahli bahasa untuk dapat mengembangkan secara pribadi seperangkat alat yang dapat mengekspos kinerja gender pada tingkatan yang berbeda di dalam teks. Analisis feminis diperlukan untuk melihat kejelasan batas-batas sebuah teks karena di dalamnya terdapat penyusupan wacana dan ideologi. Sara Mills juga mengatakan bahwa di dalam teks perbedaan antara unsur tekstual dan extratextual tidak selalu ditemukan. Teks sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial budaya, ideologi, sejarah, kekuatan ekonomi, gender, rasisme, dan sebagainya. Bukan berarti penulis tidak memiliki kontrol terhadap hal-hal yang ditulisnya, tetapi is tunduk pada interpelasi dan interaksi dengan kekuatan-kekuatan diskursif tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sara Mills menerapkan tiga tahapan analisis berikut, yaitu analisis pada kata/frasa, analisis pada klausa/kalimat, dan analisis pada konteks. Analisis tersebut dibagi berdasarkan segmen hubungan antara Leala dan beberapa tokoh di dalam lingkungannya sendiri pada alur cerita, yaitu Laela pada diri sendiri, hubungan antara Leala dan Keenan, hubungan antara Leala dan Mama-Papa, hubungan antara Leala dan Kimi, hubungan antara Leala dan Levi, serta hubungan antara Leala dan Irvin.
LAELA PADA DIRI SENDIRI Novel ini ditulis dengan konsep aku sebagai penutur. Jalan cerita yang maju-mundur seolah menjadi sebuah memoar tokoh aku. Kutipan-kutipan berikut merupakan reaksi aku terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.Leala lahir di tengah keluarga berada dengan orangtua yang super sibuk. Ia tinggal bersama Mama dan Papa. Mama merupakan seorang banker yang sedang berada di puncak karirnya. Demikian pula dengan Papa yang memiliki karir cemerlang, tetapi tidak pernah disebutkan jenis pekerjaannya. Semula, Leala merasa bahwa kedua
orangtuanya merupakan suri teladan baginya karena perkawinan mereka yang tampak harmonis. Terlebih setelah ia mampu menarik perhatian salah seorang kakak angkatannya, Keenan, yang menjadi idola di kalangan mahasiswi baru seangkatannya. Kimi, sahabatnya, semakin melengkapi kehidupan Leala, seperti dalam kutipan berikut. Hidupku adalah contoh hidup yang indah. Aku punya cinta di mana-mana. Keluarga. Keenan. Kimi. Tidak bisa kubayangkan apa lagi yang belum menggenapi bahagiaku. (Hanaco, 2012: 12) Pada kutipan tadi, terdapat frasa hidup yang indah, cinta di mana-mana, dan bahagiaku. Leala tidak pernah mengenal kata susah. Semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Oleh karena itu, kelak ia selalu menolak ajakan Kimi untuk bekerja dengan alasan ia ingin menikmati masa kuliah. Ia tidak ingin bekerja karena kehidupan dan kebutuhannya sudah terpenuhi. Sekilas, Leala merupakan perempuan yang teguh pendirian, yang diakui gadis itu sebagai buah pendidikan kedua orangtuanya berikut. Aku terdidik dalam keluarga yang mengedepankan akal sehat dan mempertimbangkan segala dampak dari tiap perbuatan yang kita ambil. (Hanaco, 2012:30) Leala tumbuh di tengah keluarga yang menjunjung tinggi aspek akademis. Hal itu tampak jelas dalam cerita. Baik melalui tuturan tokoh aku, maupun dialog antara tokoh Mama dan aku. Tawaran Mama kepada tokoh aku untuk melanjutkan S2 ke Australia, atau ancaman sekolah ke luar negeri, menunjukkan gambaran sadar akademis pada kedua orangtua Leala. Latar keutamaan logika dalam cara berpikir, menunjukkan bahwa keluarga Leala termasuk keluarga sekuler. Kesadaran untuk menjalankan ibadah tidak pernah tergambarkan dalam cerita, terkecuali hanya dengan “menyebut nama Tuhan” (hlm. 173) ketika ia terselamatkan dari penyimpangan seksual bersama Levi. Keluarga abangan menjadi latar dalam cerita, ketika urusan religi terabaikan kepentingan duniawi. Tidak menutup kemungkinan ada pilar-pilar pertahanan dalam diri Leala yagn terabaikan. Leala tidak pernah terdidik dengan hal-hal yang berbau negatif. Leala tidak pernah akrab dengan hidup susah dan mengatasi kesulitan. Ketika ia dihantam dengan sikap Keenan yang mencintainya hanya karena hitungan kepentingan berbau syahwat dan materi semata, dilanjutkan dengan puncak perseteruan antara kedua orangtuanya yang berakhir dengan
perceraian, pergaulan bebas yang diakrabi oleh kedua orangtuanya pascaperceraian, percobaan perkosaan oleh Ruben, kehidupan seks liar bersama Levi, serta peristiwa penculikan yang dilakukan oleh Keenan mampu menghancurkan pendirian dan pandangan Laela terhadap aspek religi, kesetiaan, seksualitas, konsep perkawinan ideal, pekerjaan sambilan, pandangan temanteman laki-laki di kampus, dan cinta itu sendiri. Laela yang tidak pernah terdidik dengan kesulitan, lalu mengalami kesulitan dan kehancuran secara drastis. Ia tidak dapat mengatasi persoalan batin dengan kekuatan diri. Laela hancur secara keseluruhan. Jatidiri sebagai gadis yang kokoh pendiriannya hilang. Laela yang berkali-kali menyebut dirinya sebagai makhluk yang rapuh menemui celah pengaruh buruk dari lingkungan di sekitarnya. Papa sebagai kepala keluarga tidak dapat menjadi panutan karena hanya menghabiskan waktunya bersama perempuan-perempuan muda. Mama tidak berbeda. Penderitaan atas perilaku suaminya, lalu diatasi dengan pembalasan dendam. Ia mengubah penampilannya secara habis-habisan, demi menyeimbangkan diri dengan laki-laki muda kekasihnya. Kimi selaku sahabat dekatnya juga memperparah kondisi Laela. Ambisi Kimi untuk sama-sama bekerja sebagai SPG bersama Laela akhirnya terwujud, pasca terjadinya metamorfosis pemikiran sahabatnya itu. Namun, tradisi gelap dalam kehidupan SPG lalu ditularkan Kimi kepada Laela, hingga akhirnya Laela melepas semua pendiriannya dulu. Laela terjerat ke dalam kehidupan gelap. Kehidupan cintanya ternoda oleh Levi hingga akhirnya gadis itu tersadar dan memutuskan untuk menjalani kehidupan seks komersial. Sikap Keenan yang brutal dan selalu berusaha untuk merebut kembali Laela, menambah berat beban gadis itu. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut. Aku sedang dalam kondisi rapuh. Nyaris tidak punya pegangan yang bisa menenangkan. Kepahitan dan patah hati melihat kenyataan terlalu kuat merasuk ke darahku. Papa dan Mama adalah dua pukulan telak yang membuatku terjengkang dan tidak pernah bisa berdiri lagi. Entah kenapa, pikiranku mendadak berkabut dan menyetujui ajakan Keenan untuk mengantarku pulang. Aku bahkan bersedia meminum air mineral yang tersedia di mobilnya karena sangat kehausan. Pandanganku mulai berkunang-kunang dalam waktu beberapa menit. Dan aku segera menyadari kalau Keenan tidak sedang menuju rumahku! (Hanaco, 2012: 96)
Stigma negatif pascaperistiwa percobaan perkosaan terhadap Leala, mengundang dampakk yang cukup panjang. Stigma negatif tentang Leala sebagai gadis korban percobaan perkosaan, dan kelak sebagai mantan SPG merangkap penjaja cinta datang tidak hanya dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Satu lagi langkah besar yang kuambil adalah menghentikan semua kencan yang masih kujalani. Kimi tidak bicara apa-apa, namun aku sangat tahu dia memberikan dukungan terbesarnya. Tentu saja semuanya tidak mudah. Aku mendengar tudingan kalau aku “sok alim”, “munafik”, dan sejenisnya. Tidak sedikit pula yang terang-terangan masih berusaha menggodaku. Aku tahu, jalanku tidak akan mudah. Meski tampil dengan pakaian tertutup pun, masih terlalu banyak mata yang “menelanjangiku” dengan tatapan mereka. (Hanaco, 2012: 267) Sindiran pedas dari para laki-laki dan mungkin lingkungan sekitarnya, memerlukan ketahanan diri yang cukup tinggi. Stigma tersebut mungkin akan melekat pada diri Leala seumur hidupnya, meskipun ia telah mengalami perubahan sekali pun. Sosok Irvinlah yang akhirnya menjadi penyelamat bagi Laela. Kehidupan seks liar Laela mereda dan berhenti. Segmen keakuan Laela yang paling drastis, terdapat pada tabel 1 nomor kutipan berikut. Aku merasa membutuhkan perubahan drastis dalam hidupku. Pertama aku memilih untuk keluar dari rumah. Aku lebih memilih kos. Kali ini aku tidak bisa menampik keinginan Kimi untuk menemaniku. Dia ikut kos bersama diriku! (Hanaco, 2012:98) Dari luar aku adalah anak penurut. Namun, di setiap pembuluh nadiku, aku adalah anak pembangkang. Hanya saja selama ini sisi buruk itu tidak terlalu tampak. Aku hanya mengeluarkan di saat-saat tertentu, terutama ketika keinginanku akan sesuatu sangat besar. Di luar itu, aku berubah menjadi “macan tidur”. Namun aku sangat yakin, saat itu sudah tidak ada lagi yang bisa meninabobokkan sisi hitam itu. Aku sudah berubah. (Hanaco, 2012: 101) Kata-kata yang bergaris miring, merupakan kunci yang dapat membuka akses metamorfosis yang dialami oleh Leala. Macan tidur merupakan simbol perlawanan Leala sebagai perempuan yang biasa terkurung di dalam norma-norma domestik dan sosial. Frasa sisi hitam merupakan simbol gelapnya masa lalu Leala yang ingin disingkirkan sejauh-jauhnya. Ujung dari perubahan total itu adalah sebuah pengakuan pada akhir kutipan, yaitu Aku sudah berubah.
HUBUNGAN ANTARA LAELA DAN KEENAN Leala bertemu Keenan pada acara pengenalan kampus. Keenan merupakan kakak angkatan yang paling dikagumi oleh mahasiswi di kampus. Leala merasa tersanjung ketika disadarinya Keenan tertarik kepadanya. Ia merasa berada di atas angin karena sudah mengalahkan teman-teman seangkatannya untuk mendapatkan Keenan. Namun, Keenan bukanlah kekasih sejati. Bibit-bibit pelecehan seksual kerapkali dilancarkannya. Leala selalu berusaha untuk menangkis. Pada puncaknya, Keenan mengajak Leala untuk menyewa sebuah villa di kawasan Puncak dan bermalam di sana. Leala dengan terang-terangan menolak keinginan Keenan. Ia dengan tegas memutuskan hubungannya dengan pemuda itu. Leala mudah jatuh cinta. Ia akan terkagum-kagum pada laki-laki yang mampu memberikan perhatian lebih kepadanya. Keenan merupakan laki-laki pertama yang dicintai Leala. Kedudukan Keenan sebagai kakak angkatan paling populer di kampus menjadikan Leala merasa menang dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya. Bahkan, Leala merasa menjadi seorang Cinderella yang dipertemukan dengan seorang pangeran yang tulus mencintainya. Aku mendadak merasa berubah jadi Cinderella dalam semalam tatkala cowok itu menunjukkan perhatiannya yang terang-terangan. Jika perhatian memang bisa melumpuhkan, niscaya aku sudah lumpuh berkali-kali. Bagiku, Keenan lebih menyerupai ilusi yang menjelma nyata. Aku takut suatu saat nanti akan terbangun dan menyadari ini semua hanya mimpi. Sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Keenan tidak boleh hanya menjadi bagian dari mimpi semata. Keenan adalah cowok terbaik yang mungkin bisa kutemukan. Cowok itu jangkung, dengan tubuh yang atletis, postur yang ada dalam mimpi para gadis. Berkulit kuning langsat, Keenan mempunyai sepasang lesung pipit yang menawan. Rambutnya berwarna kecoklatan, tebal, dan sehat. Warna bola matanya sama seperti rambutnya. Hidungnya serasi dengan wajahnya. Intinya, keenan itu memiliki kombinasi fisik yang aduhai. Aku merasa menjadi orang yang beruntung dengan berkah meruah tatkala dia memilihku untuk menitipkan hatinya. Bayangkan! Keenan punya kesempatan untuk mencari kandidat yang lebih baik. Tapi apa yang dilakukannya? Dia malah memutuskan akulah yang pantas mendapat kehormatan luar biasa itu. Aku tidak malu untuk mengakui kalau aku nyaris tidak bisa tidur selama tiga hari usai pernyataan cintanya. (hlm.3) Klausa tatkala dia memilihku untuk menitipkan hatinyamerupakan bukti otentik bagi Leala bahwa Keenan sungguh-sungguh mencintainya. Leala buta hingga melupakan Keenan adalah laki-laki
oportunistis yang hanya memburu syahwat pada pasangannya. Ia menganggap bahwa dirinya dan Keenan dapat menjadi kloning keharmonisan kedua orangtuanya. Dia alpa untuk melihat Keenan sebagai sosok yang lain. Kejahatan Keenan bukan dalam peristiwa rencana penyewaan villa saja, melainkan pada fase lain ketika Leala sudah bersama dengan Levi maupun Irvin. Keenan tidak ubahnya sebagai psikopat yang selalu mengintai setiap langkah Leala. Ia selalu mendapatkan situasi dan kondisi yang tepat untuk melumpuhkan gadis pujaannya itu. Leala ditempatkan Keenan sebagai mangsa untuk perburuan hawa nafsunya. Terakhir, ia mengatakan Leala sebagai pelacur.
HUBUNGAN ANTARA LAELA DAN MAMA-PAPA Mama dan Papa menjadi gambaran pilar keluarga yang disharmonis. Kedisharmonisan tersebut memunculkan disfungsi keluarga (Hawari dalam Yusuf, 2001:43). Masalah yang berlarut-larut antara suami-istri lalu berkembang menjadi konflik berkepanjangan hingga berujung pada putusan cerai. Kepandaian Mama-Papa untuk memendam masalah sangat hebat sehingga Leala yang tidak tinggal dengan mereka lalu. Setyawati (2016, dalam www.keluarga.com diunduh 21 Oktober 2016)mengatakan bahwa ayah merupakan model pertama bagi seorang anak perempuan seperti Leala untuk mengenal dunia laki-laki. Jika sosok ayah sejak kecil sudah menghilang, anak perempuan tersebut akan mencari-cari model yang harus ia anut. Jika tidak ditemukan, tidak menutup kemungkinan, ia akan terjerumus pada kehidupan seks bebas atau bahkan prostitusi. Papa sudah sejak lama menghilang dari kehidupan Laela. Selama belum terkuak keburukannya, sosok Papa masih menempati tokoh teladan bagi Leala sebagai pahlawan keluarga, meskipun sang Mama juga bertindak sebagai pencari uang. Namun, Leala terpaksa menghancurkan sosok Papa tersebut ketika dilihatnya sang Papa kerapkali berpetualang bersama perempuan-perempuan muda. satu kehidupan yang kelak justru dijalaninya sendiri. Kehancuran sosok-sosok teladan tersebut juga diperparah dengan dampak traumatis perceraian yang sulit dipulihkan. Kelemahan sosok ayah dalam kehidupan Leala menyebabkan Leala mudah terjatuh dalam pelukan laki-laki. Ia tidak dapat mendeteksi sisi buruk dari kekasih yang ia cintai. Leala sulit melepaskan diri dari jeratan kaum laki-laki yang kebanyakan hanya menginginkan tubuhnya.
Hingga pada suatu hari, Leala terpaksa melepaskan kehormatannya kepada Levi, laki-laki yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada perempuan itu, termasuk untuk menjalankan aktivitasnya sebagai SPG yang kerapkali dipandang dengan stigma buruk di kalangan masyarakat, terutama kaum laki-laki. Namun, kebebasan yang diberikan Levi bukanlah kebebasan yang tulus, melainkan harus dibayar dengan petualangan seks liar. Levi memandang Leala sebagai murid dari silabus petualangan seks liarnya. Leala selalu gagal dalam mencari kebahagiaan bersama kekasihnya. Kelak meskipun ia dapat bersanding dengan Irvin, ia harus menempuh risiko yang cukup tinggi.
HUBUNGAN ANTARA LAELA DAN KIMI Leala dan Kimi bersahabat sejak lama. Persahabatan yang bertaut sampai akhir hayat. Banyaknya kesepahaman di antara keduanya merupakan simbiosis mutualisma. Saling membutuhkan satu sama lain. Leala yang cenderung lemah mampu mendapatkan suntikan kekuatan dari Kimi. Termasuk pada ajakan untuk bekerja sebagai seorang SPG. Profesi yang dulu ia tolak—bahkan cenderung dihinakan—dengan keras, lalu dilakoninya sebagai sarana untuk membangun eksistensi perempuan mandiri. Kimi pula yang menjerumuskan Leala pada sisi gelap profesi SPG hingga akhirnya terlibat dalam prostitusi eksklusif.
HUBUNGAN ANTARA LAELA DAN LEVI Levi merupakan guru seks pertama bagi Leala. Namun, Leala masih dibekali dengan hati nurani. Ketika Levi diketahui memiliki penyakit seks menyimpang dan memerintahkannya untuk berganti pasangan sementara laki-laki itu ingin menontonnya, perempuan itu tersadar dari mimpi panjang pengalaman seks liarnya. Ia meninggalkan Levi dengan tegas. Sedikit sisi religious dalam dirinya pun terkuak. Ia sadar bahwa Levi dengan sekadar kebaikannya lalu mengubahnya menjadi boneka seks.
HUBUNGAN ANTARA LAELA DAN IRVIN Inilah laki-laki terakhir dalam petualangan cinta Leala. Irvin yang dipandangnya sebagai sosok pengganti Papa yang mampu memberikannya kelembutan dan kenyamanan lahir dan
batinnya. Leala yang merasa bahwa tubuhnya sudah ternoda parah tersebut kini sedikit demi sedikit mulai membangun kepercayaan diri. Namun, ia harus menerima bahwa Irvin harus menunaikan janjinya pada perempuan yang lebih dulu diikatnya dalam pertunangan. Cinta pada perempuan pertama tersebut merupakan cinta suci, bukan karena keterpaksaan. Cinta kepada Leala merupakan cinta di atas segalanya, bahkan melampaui cinta suci. “Kamu baru saja naik ke level tertinggi dalam hidupku. Super special.” Dan aku percaya itu. Masa depan tidak akan pernah pasti. Namun, aku memutuskan untuk menjalaninya dengan hati bahagia. risiko apapun yang kelak harus kutaklukan, tak lagi membuat gentar. Aku sudah melampaui banyak derita dan kepahitan. Terlalu aneh kalau aku menyerah sekarang. (Hanaco, 2012:302) Tidak mungkin Irvin membatalkan pertunangan tersebut. Ia memutuskan untuk menjalani cinta bersama keduanya. Tanpa terikat resmi, cinta Irvin untuk Leala tidak akan luntur. Dan Leala sangat mempercayai itu. Eksistensi Leala sebagai perempuan mandiri lalu menghilang seiring keputusannya untuk menjadi perempuan kedua dalam kehidupan Irvin. Ketergantungan Leala pada Irvin merupakan bukti hausnya perempuan tersebut pada laki-laki. Leala kehilangan sosok ayah dan Irvin mampu menggantikannya.
LAELA SEBAGAI PEREMPUAN Berdasarkan data yang ditemukan, Leala merupakan sosok perempuan yang ambigu. Pada satu sisi, ia menunjukkan kemandiriannya, terutama ketika ia harus memutuskan langkah untuk membangun jatidirinya pascaperceraian kedua orangtuanya. Namun, keinginannya untuk mandiri selalu terbentur dengan tingkat ketergantungannya yang tinggi pada orang-orang di sekitarnya, yaitu orangtua, Kimi, dan sederet laki-laki yang memberikan perhatian kepadanya. Leala mudah dipengaruhi sehingga ia cenderung mudah terjerumus. Terlebih pada jeratan lakilaki yang selalu dianggapnya sebagai replika sosok ayah yang selalu menghilang dari kehidupannya. Irvin mampu memulihkan jatidirinya, tetapi tidak sebagai perempuan mandiri karena ia mendudukkan Leala pada status yang cukup riskan. Meskipun komitmen yang dianutnya cukup kuat, Irvin tetap menjadi penentu keputusan bahwa Leala harus berada di dalam genggamannya sebagai perempuan simpanan (dalam cerita tidak pernah tercetus wacana
menuju pernikahan). Leala merupakan perempuan ambigu yang pada akhirnya memilih subordinasi dari pasangannya dan orang-orang di sekitarnya. Dampak paling parah adalah ketika Lela memandang kecantikan sebagai sebuah kutukan. Ia melihat cerminan dari orang-orang di sekitarnya yang memperlakukan diri dan kecantikannya dengan semena-mena untuk menjerat orang lain, baik bagi laki-laki yang lajang maupun yang sudah bersuami. Aku mulai berpikir bahwa kecantikan tidak melulu membawa kebaikan. Kecantikan bagi seorang perempuan menjadi mirip sebuah kutukan yang mengerikan. Setidaknya itu yang kualami. Berapa banyak orang yang berpendapat bahwa perempuan cantik itu berotak kosong? Sangat banyak, kalau tidak mau dibilang mayoritas. Itu baru pelecehan terhadap kecerdasan. Banyak yang setuju kalau perempuan cantik identik dengan otak yang kosong melompong. Ungkapan seperti “Cantik sih, tapi …” akrab sekali di telinga. Atau, “Udah cantik, pintar lagi …” Seakan kecerdasan seorang perempuan hanyalah bonus. Sorotan utama tetap pada tampilan fisik yang menawan. Bukankah ini tidak adil? (Hanaco, 2012:107) Keyakinan tersebut menjadi dasar bagi Leala untuk bertransformasi dan melakoni dunia yang selama ini dianggapnya tabu dan asing.
SIMPULAN Novel The Curse of Beauty: Metrolifestyle Sales Promotion Girlmerupakan memoar sisi gelap kehidupan ujung tombak sebuah penjualan produk, SPG. Berlatarkan pada serangkaian peristiwa traumatis, baik yang melibatkan orangtuanya maupun serangkaian laki-laki yang pernah dekat kepadanya, Leala menunjukkan sebuah pengakuan bahwa ia merupakan makhluk yang lemah dan senantiasa merindukan peranan lawan jenisnya. Dampak terparah adalah “pencucian otak” Leala terhadap konsep kecantikan. Kecantikan perempuan tidak dianggapnya sebagai sebuah anugerah, tetapi kutukan. Ia lalu memperlakukan kecantikannya dengan semenamena hingga akhirnya terhenti pada pertemuannya dengan Irvin, seorang laki-laki yang berpandangan tradisional dalam menjaga hubungan dengan lawan jenisnya. Padangan tradisional tersebut pada akhirnya menjadi penjara bagi perempuan seperti Leala yang menyerah pada perjalanan cinta berisiko tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Amin, Octa Lydia Ghaisani. 2016. “Representasi Kecantikan Perempuan pada Iklan Dove Versi “Real Beauty Sketches” di Situs Youtube” dalam www.journal.unair.ac.id_Commonline Departemen Komunikasi| Vol. 4/ No. 1 diunduh 19 Oktober 2016, pukul 12:18 WIB. Hanaco, Indah. 2012. The Curse of Beauty: Metrolifestyle Sales Promotion Girl. Malang: Rumah Kreasi. Karolus, Meikye Lusye. 2016. “Mitos dan Komersialisasi Kecantikan: Kajian Pemikiran Naomi Wolf” dalam http://www.jurnalperempuan.org/blog-feminis-muda/mitos-dankomersialisasi-kecantikan-kajian-pemikiran-naomi-wolf diunduh 18 Oktober 2016, pukul 12:02 WIB. Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London: Routledge. Rakanita, Deoresti Jodistia. 2012. “Representasi dan Identitas Perempuan dalam Iklan Produk Kosmetik Anti-Aging Merek L’Oreal dan Nivea”. Tesis. Depok: FIB UI. Setyawati, Irni Fatma. 2016. “Begini Sosok Ayah di Mata Anak Perempuannya” dalam www.keluarga.com diunduh 21 Oktober 2016, pukul 18:30 WIB. Wahyuni, Tri. 2015. “Definisi Cantik dan Tampan Menurut Ilmuwan” dalam http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150406095823-277-44398/definisicantik-dan-tampan-menurut-ilmuwan/ diunduh 18 Oktober 2016, pukul 11:20 WIB. Wolf, Naomi. 2002. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: Harper Collins. Worotijan, Hulda Grace. 2014. “Konstruksi Kecantikan dalam Iklan Kosmetik Wardah” dalam Jurnal E- Komunikasi, Vol 2. No.2 Tahun 2014, halaman 1—10,diunduh 19 Oktober 2016, pukul 12:50 WIB. Yusuf, Syamsu. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.