DAMAI ITU, SAAT KITA BEDA NAMUN TETAP MEMILIH BERSAMA LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Kunjungan dan Dialog
Ke Sinode GKP Bandung dan JAKATARUB Bandung
Kamis, 28 November 2015 Tim Penulis: Inten Nurmalasari (PP. Al-Ihsan) Tera Ummuttaufiqoh (PP. Mahasiswa Universal) Andi Hidayat (PP. Al Falah Dago) Riki Abdul Fatah (PP. Al-Barokah) Rizki Fadlillah Ramadhan (PP. Ibadurrahman)
Editor: Sholehudin Abdul Aziz
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
1
Pengantar (Kepada mereka dikatakan) : “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (Al-Qur’an : Surah Yaasin, 58) Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Qur’an: Surah al-Anfal: 61).
Begitu mendengar kata “Indeks Kebebasan Beragama” ingatan kita pasti tertuju langsung ke Provinsi Jawa Barat yang memang dikenal sebagai wilayah dengan angka kekerasan dan konflik yang cukup tinggi. Laporan Wahid Institute menyebutkan bahwa sejak tahun 2008 hingga 2015, Jawa Barat selalu menjadi “Jawara” dalam hal intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pelanggaran yang terjadi meliputi penyegelan rumah ibadah kelompok minoritas seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Jamaat GKP (Gereja Kristen Pasundan), Jamaat Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), diskriminasi atas nama agama, penyebaran ujaran kebencian, penyesatan kelompok yang berbeda, dan lain sebagainya. Data ini dipertegas oleh laporan Sistem Nasional Pemantaun Kekerasan (SNPK) yang terkompilasi sejak Januari 2014 hingga April 2015 dimana telah terjadi 55 kali aksi pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Salah satunya yang terekspos ke publik adalah kasus penutupan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayaehkolot Kabupaten Bandung oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP). Mereka berdalih gereja GKP Dayehkolot menjadi sarang pemurtadan yang meresahkan warga sekitarnya. Mereka meminta Gereja ditutup dan melarang seluruh aktifitas ibadah yang ada di gereja. Kasus-kasus seperti ini ternyata marak terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat seperti di Cipatujah (Tasik), Cisewu (Garut), Ciketing (Bekasi), Cianjur, Cidaun dan Katapang (Bandung). Realitas maraknya aksi-aksi intoleransi seperti di atas sungguh berlawanan dengan kultur asli masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang dikenal toleran dan jauh dari unsur kekerasan. Realitas ini sungguh menodai harmoni kehidupan keberagaman. Filosofi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa Barat (Sunda) seperti “silih asah, silih asih dan silih asuh” seakan sirna tak berbekas. Filosofi itu mulai luntur ditandai
2
banyaknya kasus intoleransi disertai kekerasan dikalangan intra dan antar agama. Ternodai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang berhaluan radikal, intoleran dan pro kekerasan. Akhirnya, masyarakat Sunda seperti kehilangan jati dirinya atau tercerabut dari akar budayanya. Yang tampak kemudian adalah masyarakat Sunda tidak ramah lagi pada orang atau komunitas yang berbeda dengan mereka. Menguatnya radikalisme dan sikap intoleran di Jawa Barat tak bisa dilepaskan masih terbatasnya pemahaman umat Islam tentang Islam yang sesungguhnya, dimana mereka memahami Islam secara skriptualis alias berdasarkan teks-teks yang terkandung di dalamnya saja. Seringkali ditemukan ceramah dari ustadz dan khotib yang menganjurkan kebencian satu sama lain dan bahkan mengkafirkan kelompok dan agama lain. Meraka juga seringkali “men cap” kelompok/agama lain tidak masuk surga hanya berbekal 2 atau 3 ayat Al-Qur’an saja. Padahal urusan masuk surga atau kafir adalah urusan Allah. Pemahaman yang sedemikian ini sangat berpotensi melahirkan kekerasan dan anarkisme. Absennya
pemerintah
dalam
memberikan
kepastian
hukum
dalam
menyelesaikan masalah-masalah kekerasan atas agama juga menjadi faktor penyebab lainnya. Kehadiran regulasi pemerintah semisal SKB 2 Menteri (Mentri Agama dan Dalam Negeri) nomor 8 dan 9 Tahun 2006 perihal syarat pendirian rumah ibadah misalnya menjadi legitimasi beberapa kelompok intoleran untuk menutup fasilitas agama lain dengan dalih tiadanya surat IMB (Izin mendirikan bangunan). Bahkan, kalaupun sudah mendapatkan IMB tapi masih terus dipersoalkan dengan alasan tidak dikehendaki oleh masyarakat agama mayoritas.
Kasus Kekerasan dan Akar Penyebab Konflik Kasus “Penutupan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot Kabupaten Bandung”1 sesungguhnya merupakan potret kelam pudarnya budaya toleransi ditelan derasnya pemahaman radikal yang berkembang pesat di wilayah Jawa Barat. Beruntung kami, 30 orang peserta dari 30 pesantren di Jawa Barat sebagai peserta kegiatan pelatihan “Peningkatan Pemahaman Perdamaian di Pesantren Berperspektif HAM dan Islam” yang diadakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC)
1
Alamat lengkapnya di Jl. Sukabirus No. 13, RT 07/13, Desa Citeureup, Kec. Dayeuhkolot, Kab.
Bandung
3
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) dengan dukungan Uni Eropa melakukan kunjungan lapangan (field trip) ke Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan JAKATARUB untuk berdialog langsung dengan saksi penting peristiwa tersebut yakni Pdt Obertina Modesta Johanis dan Juga kang Wawan Gunawan Ketua JAKATARUB, yang menerima kami dengan hangat di Kapel Rehual, Komplek Rumah Sakit Imanual Bandung. Berdasarkan penuturan Pdt Obertina, ihwal terjadinya upaya penutupan Gereja GKP Dayaeh Kolot ini tidak pernah disangka sebelumnya, tak ubahnya seperti kilatan petir di siang bolong. Gereja tersebut ternyata sudah berdiri puluhan tahun lalu tanpa ada sedikitpun masalah yang berarti. Semenjak tahun 1995 hingga 2005 tidak ada penolakan sedikitpun dari masyarakat di sekitar bahkan antara Gereja dan masyarakat di sekitarnya hidup rukun, damai dan harmonis. Hingga akhirnya moment memilukan itu datang. Kala itu, hari minggu, 21 Agustus 2005, Pendeta Jujun N.M (Pendeta GKP Dayeuhkolot) sedang memimpin jemaatnya beribadah, tiba-tiba datang 5 orang yang mengaku dari Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Gerakan Anti Pemurtadan (GAP). Melihat kedatangan mereka maka pendeta Jujun pun mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu gereja. Kemudian Pdt. Jujun N.M pun menanyakan maksud dan tujuan mereka. Mereka menjawab bahwa mereka datang untuk meminta GKP Dayaehkolot ditutup karena masyarakat mulai resah dengan kehadiran gereja dan banyak warga yang tidak setuju atas kehadiran gereja tersebut. Pdt Jujun N.M pun bertanya kembali, perihal masyarakat yang mana yang tidak setuju dan resah dengan kehadiran gereja ini? Mereka pun langsung menyerahkan berkas fotokopi berisi pernyataan tidak setuju atas keberadaan Gereja dengan disertai tandatangan warga masyarakat setempat. Ketika beliau sedang memeriksa berkas yang diserahkan, tiba-tiba datanglah kira-kira 20 orang sambil meneriakkan kalimah takbir memasuki gereja, perundingan pun beralih ke Aula gereja. Lalu salah seorang dari mereka bertanya kepada Pdt. Jujun N.M tentang surat izin pendirian gereja, beliau pun menjawab bahwa GKP Dayeuhkolot adalah pindahan dari asrama Yon 330 sebelum dialihkan ke Cicalengka. Pendeta Jujun pun memperlihatkan kepada mereka berkas-berkas upaya permohonan izin kepada masyarakat setempat sejak 1983. Namun Merasa tidak puas dengan bukti yang diberikan oleh pendeta, mereka menghiraukan penjelasan yang diberikan sambil
4
membawa pulang berkas yang telah diberikan oleh pendeta Jujun seraya mengancam agar gereja bisa segera ditutup. Setelah mendapat tekanan berkali-kali, Pdt. Jujun N.M kemudian menghubungi beberapa Majelis Jemaat dan Tokoh Jemaat yang dituakan. Saran dari para sesepuh gereja, meminta Pdt Jujun N.M untuk meminta bantuan polisi dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut. Akhirnya Pdt. Jujun N.M menghubungi Majelis Jemaat dan Tokoh Jemaat, Kanit Intel Polsek Dayeuhkolot, Polsek Dayeuhkolot, Kasat Intel Polres Bandung, Kasat Intel Polres Cimahi untuk langkah pengamanan, yang segera ditindaklanjuti oleh Polsek dengan menerjunkan sekitar 5 (lima) orang anggotanya. Tibalah saat perundingan, yang diadakan di ruangan Kanit Reskrim dengan dihadiri oleh 4 (empat) orang wakil AGAP dan BAP, 2 (dua) orang warga masyarakat (Bpk. Cecen selaku ketua RW dan Bpk. Kusnadi), 4 (empat) orang wakil GKP (Pdt. Jujun N.M, Bpk. Wattimena, Ibu Sutiah dan Bpk. Maladi).Tokoh masyarakat sekitarpun berdatangan atas permintaan kami, diawali oleh Bpk. Kusnadi yang berdialog dengan mereka dan menyatakan bahwa dia, atas nama warga masyarakat setempat yang beragama Islam tidak merasa terganggu dengan keberadaan GKP Dayeuhkolot. Mendengar penjelasan ini, orang-orang AGAB dan BAP ini kaget dan sama sekali tidak percaya. Meraka pun menanyakan KTP Bpk. Kusnadi untuk mengecek asal usulnya.
Bpk. Kusnadi awalnya menolak, tapi kemudian memperlihatkannya dan
ternyata memang benar bahwa Bpk Kusnadi adalah warga setempat. Warga masyarakat lainnya datang (Bpk Nardi, Bpk. Eman, Bpk. Yanto, Bpk. Perminanto) dan sempat berbicara juga dengan massa AGAP dan BAP. Para tokoh masyarakat ini menyatakan mereka tidak pernah ditanyakan oleh AGAP maupun BAP perihal apakah berkeberatan dengan keberadaan Gereja. Mereka juga tidak tahu menahu tentang pengumpulan tandatangan yang menurut AGAP dan BAP adalah kumpulan tandatangan masyarakat setempat. Mereka sebagai warga masyarakat setempat menyatakan tidak berkeberatan dengan keberadaan Gereja, bahkan antara Gereja dan masyarakat telah terjalin kerjasama yang baik, diantaranya pihak gereja selalu memberikan bantuan sosial ketika masyarakat Dayeuh kolot terkena musibah banjir.
5
Mendengar penjelasan warga di atas, salah seorang dari AGAP dan BAP berkata: “Tempat ini harus ditutup. Kami tidak bertanggungjawab kalau terjadi apaapa!”. Lagi-lagi AGAP dan BAP terus memaksa agar GKP Dayaehkolot harus tutup. Kali ini alasannya karena gereja tidak memiliki ijin. Mendengar pernyataan tersebut, Bpk. Muladi langsung menyanggahnya dan hendak menjelaskan proses perijinan Gereja, namun terhenti karena kedatangan perwakilan dari Forum Komunikasi Kristiani Indonesia – Jawa Barat (FKKI-JB) memasuki ruangan. Dialog pun terhenti karena massa AGAP dan BAP meminta agar rekan-rekannya memasuki ruangan. Akhirnya Kanit Reskrim berusaha mencari ruang lain yang lebih luas. Berkali-kali dialog terhenti cukup lama karena menunggu kehadiran Kapolsek dan Danramil. Dialog kemudian dilanjutkan antara 4 orang wakil GKP, 6 orang AGAP + BAP, dan 3 orang wakil masyarakat. Karena belum ada titik temu, setelah semua pihak mengungkapkan pendapatnya, maka Kapolsek, Wakapolsek dan Danramil meminta waktu untuk berunding tanpa kehadiran yang lain. Perundingan diteruskan dengan pernyataan bahwa Kapolsek dan Danramil perlu berkoordinasi dengan Camat, yang saat itu tidak hadir, sehingga musyawarah bisa dilaksanakan secara lengkap karena dihadiri semua unsur MUSPIKA. Oleh karena itu Kapolsek dan Danramil memutuskan untuk menunda dialog samapi hari Senin 22 Agustus 2005, Pk. 10.00 WIB di kantor kecamatan Dayeuhkolot. Pada awalnya AGAP dan BAP mendesak agar masalah penutupan Gereja diselesaikan saat itu juga. Namun setelah dijelaskan oleh Kapolsek yang direspon mereka dengan berunding antara forum mereka sendiri, maka mereka memutuskan untuk menerima dengan catatan, “apabila Polsek dan Koramil tidak segera bertindak melakukan penutupan Gereja seperti yang mereka inginkan, maka mereka siap untuk melakukan tindakan apapun juga menurut cara mereka”. Setelah hari itu, gereja tidak bisa dimanfaatkan lagi. Semenjak hari itu pula, pihak gereja mendapat tekanan-tekanan yang sangat mempengaruhi jalannya kegiatan peribadatan seperti banyaknya tulisan-tulisan dibangunan gereja dengan kata-kata yang kurang sopan, adanya larangan jamaat gereja yang datang untuk masuk, bahkan mereka tanpa ijin masuk ke dalam gereja dan merusak fasilitas yang ada. Singkat cerita, setelah 2 tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 19 November 2007, pendeta yang baru, yaitu ibu Obertino Modesta Johanis memberanikan diri untuk
6
datang ke gereja. Tetapi setelah sampai di lokasi, pemandangan yang mengkhawatirkan terlihat. Gereja telah di rusak baik dalam maupun luar, tampak dalam pintu di congkel memakai kampak tanda salib di dinding dicopot serta bangku-bangku dikeluarkan dan ditumpuk di halaman gereja bukan hanya itu, organ tunggal, buku-buku nyanyian bertebaran di luar gereja. Tampak luar dinding dicoret-coret dengan vandalismenya yang tentunya tidak mengenakan di hati umat
Kristen khususnya jemaat GKP
Dayeuhkolot. Seharusnya mereka dapat beribadah di sana tetapi telah di rusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pemandangan tersebut sungguh membuat Pdt Obertina sedih dan miris, namun dengan kebesaran jiwa, ia tetap bersabar dan seraya bertekad dalam hati untuk terus berjuang mengembalikan eksistensi gereja. Tentunya dengan cara-cara yang penuh damai dan menghindari kekerasan. Akar permasalahan konflik atau penyerangan atas Gereja ini sebetulnya dipicu oleh ketidaksukaan salah satu kelompok Islam AGAB dan BAP terhadap keberadaan gereja Dayaehkolot dengan menggunakan isu pemurtadan agama. Mereka menganggap beberapa aktifitas gereja cenderung untuk mengajak umat Islam beralih keagamaan. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Kesaksian para tokoh warga sekitar gereja menjadi jawabannya. Ternyata mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan bahkan saling bekerjasama dalam berbagai hal untuk kemaslahatan warga masyarakat. Kasus penutupan GKP Dayeuhkolot ini melibatkan banyak aktor, diantaranya adalah aktor yang anti gereja seperti anggota AGAB dan BAP, dimana mereka sebagai pihak yang anti gereja dan berusaha dengan segala cara agar bisa menutup gereja tersebut. Mereka melakukan pemaksaan, intimidasi dan pengrusakan gereja. Sementara aktor yang pro gereja adalah para pendeta dan jemaah gereja yang terintimidasi dan terabaikan hak-haknya untuk menjalankan ibadah serta tokoh masyarakat setempat yang berkata benar dan jujur dalam memberikan kesaksian atas kiprah gereja. Aktor lainnya adalah pihak yang melakukan pembiaran dalam kasus ini seperti aparat pemerintahan Dayeuh Kolot dari RT, RW, Kepala Desa, hingga Camat dan aparat kepolisian dimana mereka seharusnya menjadi penengah yang bijak namun ternyata kurang berperan secara maksimal. Mereka seakan tak kuasa menahan desakan kelompok radikal dan cenderung mengalah sehingga kasus ini berlarut-larut
7
penyelesaiannya. Aparat pemerintah cenderung melakukan pembiaran atas aksi main hakim sendiri tanpa alasan yang jelas.
Pelanggaran HAM Yang Terjadi Ketika umat Kristiani di GKP Dayeuhkolot tidak bisa lagi melaksanakan ibadah karena dilarang dan diintimidasi oleh AGAP dan BAP (yang kini bermetamorfosis menjadi GARIS Gerakan Reformis Islam) maka jelas hal ini merupakan pelanggaran HAM atas kebebasan beragama. Tidak ada satu orangpun atau lembaga manapun yang bisa melarang atau bahkan menghentikan kegiatan ibadah seseorang (dengan agama dan keyakinan apapun) karena persoalan keyakinan itu merupakan hak azazi yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Apalagi mereka juga melakukan intimidasi melalui beragam cara seperti
menggebrak meja, membentak dan menantang dengan
mengatakan: “Ibu mau perang atau mau damai”, dan melarang jemaat untuk datang dan masuk ke Gereja dan juga melakukan perusakan beberapa fasilitas Gereja seperti tempat duduk, organ dan peralatan lainnya yang dikeluarkan secara paksa tanpa izin padahal posisi pintu terkunci rapat (di dobrak). Pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM secara gamblang menjelaskan bahwa “Hak Kebebasan Beragama adalah kemerdekaan untuk memeluk agama yang didasarkan pada kehendak bebas manusia, sesuai dengan keinginan hati nuraninya. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa yang ia tidak ingin menyembahnya.” Apalagi keyakinan akan kebenaran itu juga sudah dirumuskan dalam konstitusi Republik Indonesia, sebelum deklarasi universal HAM itu ditetapkan, artinya, tindakan pembatasan ibadah dan perusakan tempat ibadah di Indonesia adalah pelanggaran hukum, dan harus menerima sanksi hukum. Masih menurut deklarasi universal HAM, secara lebih luas lagi, kebebasan beragama juga berarti kemerdekaan berkumpul untuk melaksanakan aktivitas agama yang bersifat komunal, dengan pendirian tempat-tempat ibadah. Maka dari itu, kita tidak boleh menjadi hakim atas pilihan agama seseorang. Jika sang pencipta yang berkuasa atas alam semesta ini membiarkan pada ciptaannya untuk memilih siapa yang ingin disembahnya, siapakah kita yang berani menghalangi kebebasan orang lain untuk beribadah?
8
Akibat dari penyerangan tersebut, para jemaatpun harus mengungsi ke Kapel di Rumah Sakit Immanuel yang letaknya sangat jauh dari rumah mereka. Mereka harus mengeluarkan banyak biaya untuk sekedar beribadah. Akibat lainnya adalah hadirnya rasa takut dikala akan berangkat untuk beribadah karena bisa saja kelompok-kelompok garis keras tersebut mengintimidasi mereka kembali. Selain tu, anak-anak umat kristiani ini pun tidak lagi mengetahui Gereja mereka yang sebenarnya. Perlu diketahui bahwa dalam tradisi umat kristiani untuk melaksanakan peribadahan haruslah di tempat dimana ia terdaftar. (Seseorang yang tinggal di Suka Endah misalnya, maka ia harus beribadah di Gerejar Suka Endah. Tidak bisa beribadah di tempat lain. Karena apabila orang tersebut ingin pindah tempat ibadahnya, maka harus ada surat pindah dari gereja sebelumnya). Pelanggaran lainnya yang nyata-nyata terlihat adalah hilangnya hak untuk mendapat perlindungan. Setiap individu ataupun kelompok memiliki hak dilindungi oleh hukum atau aparat pemerintah setempat sehingga setiap individu atau kelompok tersebut memiliki rasa aman dalam menjalankan keyakinan agamanya. Pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak merasa terlindungi oleh hukum dan aparat pemerintahan. Pdt Obertina menilai, aparat pemerintah juga pantas dianggap sebagai pelanggar HAM. Karena selama kasus ini terjadi pemerintah melalui aparatnya melakukan pembiaran dan sama sekali tidak melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kepala Desa dan RT misalnya, yang merupakan bagian dari aparat pemerintahan hanya berani membela tapi tidak bertindak. Masyarakatpun demikian, mereka seolah tidak berdaya berhadapan dengan kelompok berhaluan radikal ini. Akibatnya, umat kristen merasa tersisihkan dalam konteks seperti ini. Menurut Pdt Obertina, selama pemerintah dan aparatnya tidak memiliki ketegasan dan keberanian dalam menegakkan hukum bagi siapapun yang menyebarkan kebencian, melakukan tindakan main hakim sendiri dan merampas hak berkeyakinan orang lain maka selama itu pula kasus-kasus intoleransi dan kekerasan akan terjadi dan terulang kembali. Ketidaktegasan pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus ini terlihat jelas ketika Pdt Obertina mengajukan permohonan untuk menggunakan dan mengaktifkan kembali Gereja tetapi aparat pemerintahan malah meminta balik kepada umat kristiani khususnya Pendeta Obertina untuk mengalah dalam masalah ini. Lantas
9
apa yang terjadi? Sangat wajar bila umat kristiani merasa diperlakukan tidak adil karena mereka tidak membuat kerusuhan bahkan kekerasan malah merekalah yang menjadi korban kekerasan dan penyerangan. Padahal jelas-jelas dinyatakan bahwa sesungguhnya persoalan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan mutlak tanggungjawab Negara. Menurut A. Victor Conde dalam A Handbook of Internasional Human Right Terminology, menyebutkan bahwa pelanggaran HAM adalah kegagalan negara atau suatu kelompok yang secara hukum berkewajiban untuk memenuhi norma-norma HAM internasional. Definisi ini mengacu pada negara sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan atau yang dapat “dituduh” melanggar HAM. setiap individu tidak memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi HAM individu lainnya karena itu sudah diserahkan kepada negara. Sementara kewajiban individu hanya satu, yaitu menghormati hak asasi individu lainnya. Pernyataan tersebut dapat diamati dalam Pasal 1 ayat (6) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa :“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak
disengaja
atau
kelalaian
yang
secara
hukum
mengurangi,
menghalangi,membatasi dana tau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Mengacu pada definisi pelanggaran HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tersebut tidak hanya negara yang bisa dituduh atau dianggap melakukan pelanggaran, tetapi juga masyarakat, baik secara perorangan/individu ataupun kelompok. Artinya, pelanggar HAM bukan hanya negara, tetapi aktor non negara (non pemerintah) bisa dianggap melanggar HAM bila melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi individu lainnya.
Inisiatif Perdamaian Dan Resolusi Konflik Secara Damai Kasus Penutupan gereja Dayeuhkolot memang menyisakan kepedihan di hati umat Kristiani namun ternyata upaya untuk mencapai sebuah perdamaian tidak pernah berhenti dilakukan. GKP Dayeuhkolot beserta jemaahnya yang dipimpin oleh Pdt
10
Obertina senantiasa tidak kenal lelah dan putus asa untuk membangun relasi damai dengan seluruh warga, aparat pemerintahan dan tokoh masyarakat. Relasi dengan masyarakat setempat (RT) misalnya diwujudkan melalui serangkaian kerjasama dalam berbagai bidang seperti pembuatan basecamp posko banjir, pemeriksaan kesehatan gratis, kelompok belajar dan perpustakaan, program berbagi kasih “makan sahur”, memberi sumbangan kepada Panti Asuhan Muslim, dan terakhir mengadakan bakti sosial. Pendeta Obertina memberikan testimony bahwa ia sering berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan aparat pemerintahan seperti ketua RT. Sehingga gereja yang tadi mendapat penyerangan dijadikan tempat penampungan atau basecamp saat daerah Dayeuhkolot dilanda banjir. Gereja pun sering mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga sekitar terutama tetangga-tetangga terdekat. Terkadang gereja juga digunakan untuk kelompok belajar bahkan dijadikan perpustakaan atau kumpulan buku-buku yang digunakan untuk belajar. Inisiatif ini tidak berhenti disini saja, diadakan pula program berbagi kasih dimana umat kristiani membagikan makanan untuk sahur pada saat umat Islam berpuasa, begitupun saat berbuka. Adapula program yang dilaksanakan 2 tahun terakhir yaitu membagikan harta benda kepada Panti Asuhan yang berbasis Islam, karena jika ke sesama umat kristiani lagi sudah cukup banyak. Sehingga memiliki inisiatif untuk berbagi walaupun berbeda agama, itupun apabila panti asuhan menerima dengan baik. Cara menyelesaikan konflik ini salah satunya adalah dengan cara menumbuhkan sikap toleransi antar agama, saling memahami, saling menghormati dan saling menghargai. Itulah cara-cara inisiatif dari jemaat GKP agar dapat hidup damai dan tentram dengan warga sekitarnya. Inisiatif-inisitaif damai dari pihak internal GKP Dayeuhkolot seperti di atas sungguh luar biasa dan patut di apresiasi. Namun hal itu, tidaklah cukup untuk menyebarkan perdamaian di seantero Jawa Barat. Butuh kekuatan pendorong lain yang bisa terus menyuarakan secara lantang pesan-pesan damai dan penguatan nilai-nilai toleransi di mayarakat. Maka dari itu, kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pro perdamaian dan toleransi sangat dibutuhkan, Salah satu LSM penting dan memiliki peran signifikan dalam mempromosikan nilai-nilai damai dan toleransi adalah Lembaga
11
Swadaya Masyarakat (LSM) JAKATARUB2. Sebuah jaringan yang beranggotakan dari berbagai macam latar belakang agama dan pemahanaman. Di JAKATARUB inilah nilai-nilai toleransi ditanamkan dan sangat dijunjung tinggi. JAKATARUB sendiri hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai barometer hak dan kedudukan setiap manusia itu sama. LSM ini bertujuan untuk mendorong terwujudnya kerukunan dan toleransi antar umat beragama dengan pengenalan yang mendalam satu dengan yang lainnya. Jaringan ini lebih menekankan pergerakannya pada gerakan budaya dan penguatan civil society. JAKATARUB ini, merupakan lembaga yang aktif melakukan pendampingan atas kasus penutupan gereja Dayeuhkolot. (Kebetulan Pdt Obertina juga aktif di LSM ini sehingga komunikasi dan jalinan kerjasamanya sangat erat sekali). Menurut kang Wawan Gunawan, selaku aktifis senior di JAKATARUB, kasus penutupan gereja Dayaehkolot merupakan kasus intoleransi yang sangat serius. Kasus ini menunjukkan bahwa beberapa kelompok dalam Islam (yang diwakili oleh AGAP dan BAP) tidak mampu memahami dan menghargai agama lain (Kristen) sehingga muncul kecurigaan yang berlebihan. Padahal GKP Dayehkolot sudah bertahun tahun berdiri dan tidak melakukan upaya pemurtadan seperti yang dituduhkan oleh AGAP dan BAP. Selain itu, kasus ini juga menjadi penanda munculnya “dehumanisasi” (hilangnya nilai-nilai kemanusiaan) masyarakat. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijadikan acuan dalam setiap tindakan, sehingga terkadang tidak segan untuk merusak tempat ibadah agama lain dan bahkan menutupnya. Menurut wawan, seharusnya masing-masing penganut agama senantiasa berusaha dan berlomba-lomba menjadi orang-orang yang sholeh sehingga bisa menyebarkan kebaikan dan perdamaian untuk seluruh umat manusia. “Umat Islam harus menjadi Islam yang sholeh, begitu juga umat Kristen juga harus menjadi Kristen yang sholeh, sehingga kita semua menjadi orang-orang sholeh semuanya”. 2
JAKATARUB secara resmi dibentuk dan disusun kepengurusannya sejak 30 Juni 2001. Namun cikal bakal pendirian JAKATARUB telah dimulai sejak workshop kerukunan umat beragama yang diselenggarakan oleh MADIA dan INCres pada tahun 2000 dan 2001. Workshop itu sendiri muncul dari niatan para tokoh agama serta budayawan nasional dan Jawa Barat yang disokong oleh alm. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Workshop ini diadakan demi mendorong kerukunan agama dalam konteks pengenalan yang mendalam sekaligus kerja sama yang strategis. Tokoh agama dan kaum muda yang menjadi peserta workshop inilah yang kemudian sepakat membentuk jaringan kerja yang sekarang dikenal dengan nama JAKATARUB.
12
Untuk bisa mewujudkan itu semua, maka JAKATARUB hadir sebagai perekat antar umat beragama (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghuchu dan penganut aliran kepercayaan lainnya). JAKATARUB senantiasa berusaha membuka ruang-ruang bersama antar umat beragama, terutama melibatkan generasi muda yang notabene sebagai ujung tombak pembangunan bangsa melalui serangkaian kegiatan yang kreatif dan memiliki seni yang cukup tinggi. Sejak tahun 2012 JAKATARUB misalnya, bersama para mitranya telah menjadikan momen Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16 November setiap tahun sebagai satu rangkaian kampanye holistik tentang toleransi dan kerukunan umat beragama. Rangkaian kegiatan ini disebut Bandung Lautan Damai (DAMAI), biasanya dimulai sejak September hingga akhir tahun. Dalam momen ini, diselenggarakan berbagai kegiatan yang melibatkan mitra jaringan serta masyarakat luas. Selain itu, JAKATARUB juga aktif mempromosikan pesan damai melalui serangkaian kegiatan seminar dan dialog, penerbitan buku, komik dan fim pendek. Ditahun 2015, JAKATARUB memiliki 110 kegiatan dan dapat menerbitkan 6 buku. Selain itu mereka juga aktif di Twitter, Youtube, Facebook dan media online lainnya untuk mengkampanyekan pesan damai dan toleransi. Kita semua berharap, kasus penutupan gereja Dayeuhkolot ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk senantiasa menghargai setiap perbedaan yang ada, menghindari aksi main hakim sendiri dan menjauhkan diri dari aksi-aksi kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan demi sebuah perdamaian. Alangkah indahnya damai itu, disaat kita berbeda namun tetap memilih bersama.
Rekomendasi Dalam kasus penutupan gereja Dayeuhkolot ini, terpapar jelas betapa kehadiran kelompok-kelompok intoleran yang anti keragaman dan toleransi benar-benar menjadi potret kelam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat. Kasus ini jelas menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang tidak boleh terjadi lagi. Perbedaan inilah yang harus di hadapi secara bijak dan kekeluargaan. Karena perbedaan diantara sesama umat manusia adalah sunnatullah yang tidak mungkin dihilangkan, maka adalah penting bagi anak-cucu Adam itu saling menghormati dan bersikap toleran demi terciptanya kehidupan yang damai dimuka bumi. Perbedaan ini menguji keimanan kita,
13
kuat tidaknya iman kita dengan cara bergaul untuk memahami agama lain. Perbedaan yang mengemukan hendaknya bisa diselesaikan dengan duduk bersama untuk memahami satu keyakinan dengan keyakinan yang lain tanpa kekerasan. Masyarakat yang paham dengan agama Islam tentu akan mencerminkan budi yang baik sebagaimana diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW dalam menyelesaikan permasalahan umat. Rasulullah SAW tidak pernah menyelesaikan problem umat dengan amarah dan emosi. Islam adalah agama yang sangat damai, maka tidak seharusnya kita sebagai umat Muslim melakukan tindakan-tindakan kekerasan, karena segala bentuk kekerasan sebagaimana yang akhir-akhir ini banyak terjadi telah mengubah citra Islam yang damai dan sejuk menjadi Islam yang penuh kekerasan. Dan bagi pemerintah, terdapat kewajiban untuk melindungi hak asasi warga negara tanpa kecuali. Konstitusi atau undang-undang dasar kita dengan jelas memberi jaminan bagi kebebasan beragama, karena itu setiap warga seyogyanya memperoleh perlindungan negara untuk memiliki keyakinan dan beribadah sesuai dengan hati nuraninya. Diharapkan pemerintah dapat berada di garda terdepan setiap penyelesaian konflik dan kekerasan berdasarkan hukum yang berlaku dengan bersikap tegas terhadap siapaun pelaku pelanggaran HAM. Kita semua berharap dapat menjadi duta-duta perdamaian di bumi pertiwi ini. Amiin.
14