Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
PERAN TRANSFORMATIF GURU DALAM REPRODUKSI PEMAHAMAN ISLAM DAMAI FATHOR RAHMAN JM SMP Al-Falah Silo Jember Email:
[email protected] ABSTRAK This work tries to explains contemporary phenomenon which opposes moderatism regime that is great capital in the building of Indonesia nation prosperity. That phenomenon is the glowing of strictness action which effort to abolish the other group which is difference among society community. The action is used by certain society groups. This writing shows the glowing phenomenon of fundamentalism-exclusivism specters that always ramble. The author sees significance of teacher‟s playing role to reproduce the peace religiousness comprehension (Islam) in one hand, and reduce furious religiousness comprehension (Islam) in other hand. The purpose of the effort is to expel the fundamentalism-exclusivism specters. Kata Kunci: Hantu, Guru Transformatif dan Islam Kaffah-Damai PENDAHULUAN Kejumudan pemahaman keislaman sebagian komunitas umat Islam ditunjukkan dengan semakin maraknya penyerangan terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan. Penyerangan tersebut sering didasarkan pada keyakinan untuk membela Tuhan, menegakkan kalimat-Nya, berjihad fi sabilillah, dan demi menyelamatkan pihak yang berbeda keyakinan agar tidak sesat dan menyesatkan. Inilah yang sering dikenal dengan sikap anarkisme fundamental. Di tengah-tengah gegap gempita semangat moderatisme Islam di Indonesia, yang marak muncul saat ini justru kasus-kasus yang menunjukkan sebaliknya. Ini merupakan ironi tersendiri di negara kesatuan yang plural dan menginginkan persatuan dari pluralitas setiap elemen bangsanya yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, agama, keyakinan, dan etnis. Peristiwa-peristiwa semacam itu merupakan hantu-hantu yang mulai menggurita di Indonesia. Moderatisme di Indonesia sebenarnya semakin menguat. Hal ini diakui oleh bangsa-bangsa yang masih merangkak menguatkan faham dan kelompok-kelompok moderat di negaranya. Menurut mantan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi, sekarang Indonesia di dalam pentas global dinilai telah berhasil membangun kerukunan antar dan intern umat beragama sehingga memunculkan keinginan negara-negara internasional untuk belajar pada Indonesia. Bahkan, negara-negara asing mau bekerjasama dengan Indonesia karena Indonesia merupakan negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia yang menganut haluan moderat. Tidak heran jika Menteri Agama RI Suryadarma Ali dalam banyak kesempatan ngotot menyatakan bahwa peristiwa penyerangan terhadap jamaah Syiah di Sampang adalah masalah keluarga, bukan masalah intoleransi atau disharmonisasi antaumat beragama atau berkeyakinan. Tentu saja pernyataan ini dapat kita lihat dalam konteks menyelamatkan reputasi moderatisme dan sikap toleransi masyarakat nusantara di pentas internasional, yang 125
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
selama ini dielu-elukan. Di samping itu, kerukunan antar dan intern umat beragama merupakan modal awal untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial bersama-sama. Isu kemiskinan, pengangguran, krisis ekonomi, dan peningkatan mutu pendidikan, merupakan isu bersama yang tidak hanya menjadi concern salah satu kelompok keyakinan, melainkan semua umat. HANTU-HANTU FUNDAMENTALISME-EKSKLUSIFISME Dalam kehidupan bernegara, toleransi, kerukunan beragama, berkeyakinan, dapat mereduksi hal-hal yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Hal ini menjadi cita-cita bersama. Artinya, perbedaan dan keberagaman dapat direduksi agar tidak menghambat lancarnya kerjasama dalam membangun bangsa. Kalau perlu, pluralitas harus dijadikan daya dukung dalam pembangunan bangsa. Kesadaran dan penghormatan akan perbedaan, toleransi, moderatisme, inklusifitas, dan lain sebagainya dalam mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mulai tertanam sejak lama. Abdurrahman Wahid dalam kesempatan Talkshow KickAndy menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah berbhinekatunggalika dan berpancasila ―tanpa nama‖ sejak tujuh abad silam. Hingga saat ini kelompok-kelompok moderat di Indonesia semakin lama semakin menunjukkan masifitasnya. Artinya, moderatisme sudah mulai membentuk sistem atau rezim baru, yakni rezim moderatisme. Hanya saja, kondisi yang menggembirakan ini dinodai oleh kejadian-kejadian yang yang lahir dari kejumudan berfikir serta sempitnya pemahaman kebersamaan dan keberagamaan. Hal ini sebenarnya sebuah ironi dan hantu di tengah-tengah semakin tumbuh suburnya pembaruan pemikiran keberagamaan di Indonesia. Dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International-nya, Jacques Derrida1 menjelaskan, "hantu" (specter) merupakan segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem, ideologi, atau rezim, terutama yang telah "mati" yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim (moderatisme) yang baru. "Hantu-hantu" itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai penggangu dan penghalang yang mengancam keberlanjutan sistem itu. Massifitas proses moderatisasi dalam kehidupan keberagamaan yang berlangsung di negeri ini acapkali dibayangi ―hantu-hantu‖ itu, yang menyebabkan sistem berjalan amat lamban, chaotic, dan terancam masa depannya. Yang pertama adalah ―hantu totalitarianism‖. Hantu ini berbentuk klaim kebenaran (trhutly claim) sepihak yang menyatakan hanya dirinya dan kelompoknyalah yang benar. Kelompok dan keyakinan lain salah. Karena itu perlu diluruskan agar tidak sesat dan menyesatkan. Dalam kehidupan beragama, totalitarianisme juga ditandai dengan arogansi dan pemaksaan penafsiran ajaran agama terhadap kelompok lain. Otoritas menafsirkan teks-teks kebergamaan yang seharusnya menjadi milik bersama justeru dimonopoli, sehingga menyebabkan tertutupnya akses kelompok beda keyakinan terhadap teksteks tersebut. 1Lihat Derrida, Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International-nya, (Yogyakarta: LKiS, 1994)
126
Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
Kedua, ―hantu fundamentalisme‖. Fundamentalisme dalam agama merupakan kejumudan dan eksklusifitas terhadap perbedaan kelompok lain. Anti terhadap kelompok lain. Tidak mau menerima apapun yang datangnya dari luar, kendatipun baik, masuk akal, dan mendatangkan maslahat. Yang menjadi fokusnya hanyalah keyakinannya sendiri. Bentuk-bentuk fundamentalisme ini sering menggunakan ruang publik sebagai medan pertempurannya untuk menolak kelompok lain. Kekuatan politik maupun pemerintahan bisa menjadi senjata efektif yang dapat memenangkan kelompok fundamental ini. Kekuasaan tidak jarang dijadikan kendaraan untuk menegakan keyakinannya secara eksklusif dan dipaksakan. Ketiga, ―hantu anarkisme‖, berupa spirit pembangkangan dan penyangkalan terhadap otoritas hukum yang telah disepakati bersama dalam musyawarah yang telah ditetapkan negara kesatuan. Anarkisme biasanya dilakukan dengan menyerang kelompok yang berbeda keyakinan dengan banyak alasan yang menyesatkan. Hukum tidak lagi diindahkan. Tujuan utamanya adalah mereka yang berbeda enyah dari wilayahnya. Pembangkangan seperti ini sering berlindung dibelakang otoritas pemahaman keagamaan yang tidak jarang sudah dipelintir. Jika kondisi Indonesia ini selalu terbayang-bayangi oleh hantu-hantu yang dapat mengerus moderatisasi ini, maka kebebasan, kerukunan, perdamaian, dan persatuan di Indonesia pada masa-masa yang akan datang akan menjadi hal langka yang hanya selalu diimpi-impikan tanpa menjadi kenyataan. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa hantu-hantu di atas hingga saat ini masih terus bergentanyangan, baik di dunia internasional maupun nasional. Simak misalnya kasus di Bosnia, umat Ortodoks, Katolik dan Islam saling membunuh. Di Sudan, umat Islam dan Nasrani saling angkat senjata. Demikian juga umat Hindu dan Islam bersitegang di Kashmir. Demikian juga di Indonesia, kerusuhan dan konflik kekerasan melibatkan antarumat beragama dan berkeyakinan.2 Misalnya, kerusuhan di Sitobondo pada 10 Oktober 1996, peristiwa Ambon pada tahun 1999 yang hingga kini masih merupakan isu yang sensitif, atau konflik di Poso, Sulawesi Tengah sejak 28 Mei 2000 yang bermula dari bentrok yang terjadi antar umat Islam dan Kristen.3 Lihat juga Sambas, isu dukun santet di Banyuwangi, dan masalah Ahmadiyah yang masih silang sekarut hingga saat ini. Selain itu, terdapat beberapa golongan dari umat Islam yang hingga saat ini masih sering menebar kebencian dan bahkan menyerang orang lain dengan mengatasnamakan agama. Indikasinya, maraknya terorisme, kasus-kasus bom bunuh diri, pengkafiran, dan penyerangan terhadap kelompok lain yang berbeda dan dianggap salah, dan lain sebagainya. Indikator bahwa hantu-hantu tersebut semakin hari semakin mengerikan adalah terjadinya peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Desa Nangkernang, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Sejumlah orang yang mengaku kelompok Islam mainstream setempat menyerang sekelompok orang yang jumlahnya lebih kecil yang identifikasikan sebagai jamaah Syiah yang secara serampangan beberapa kelompok menyebutnya sebagai aliran sesat dan menyesatkan. 2Alwi
Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), 40. AS, Manusia dan Dinamika Budaya; dari Kekerasan ke Baratayuda, (Yogyakarta: Bigraf,
3Sumijati
2001), 16-17.
127
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Meskipun Menteri Agama Republik Indonesia Suryadarma Ali selalu menyatakan bahwa akar masalahnya adalah persoalan pribadi, namun direktur CRCS UGM Yogyakarta Zainal Abidin Bagir membaca masalah tersebut secara secara lebih kompleks. Menurutnya, dalam kasus tersebut terdapat lapis-lapis peristiwa yang dapat diurai satu per satu, yang salah satunya mengindikasikan merebaknya fenomena paradigma eksklusifitas, intoleransi, dan disharmonisasi antarumat berkeyakinan dalam suatu agama mayoritas (Islam). Tesis ini tampak absah kalau melihat kenyataan bahwa massa menjadi sangat beringas ketika terprovokasi melalui isu yang menyentil aspek perbedaan keyakinan. Paradigma eksklusif dan intoleran yang kemudian juga disertai aksi kekerasan tidak hadir dari ruang hampa. Semua paradigma memiliki latar belakang yang unik yang kalau tidak mengambil posisi kontra, maka ia akan pro terhadap kondisi lingkungan sekitar. Pro atau kontra di sini sering ditentukan oleh relasi eksternal (individu atau kelompok) terhadap sumberdaya-sumberdaya baik secara simbolik maupun material, yang menunjukkan kecenderungan oportunistis manusia. Jika kondisi lingkungan tersebut membantu atau minimal tidak mengganggu akses individu atau kelompok terhadap sumberdaya-sumberdaya yang mereka butuhkan, maka mereka akan menempati posisi pro. Demikian juga sebaliknya. Jadi hal ini tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan pembagian sumberdaya-sumberdaya yang ada sebagai makna politik dalam arti luas. Tesis di atas menemukan pembuktian ketika rezim Orde Baru. Ketika kelompok islamisis politik ditekan dan dimarjinalkan oleh rekayasa kekuasaan, para aktivis Islamisis justru semakin getol mereproduksi dan mentransformasikan paradigma mereka terhadap para pelajar dan mahasiswa-mahasiswa, khususnya di kampus-kampus umum melalui halaqah-halaqah tidak formal di kampus, yang kemudian banyak menghasilkan para aktivis islamisis yang militan. Pada masa reformasi, para aktivis islamisis menemukan momentumnya untuk ―berdakwah‖ secara terbuka dan terang-terangan. Keran kebebasan dibuka selebarlebarnya. Mereka kemudian mengartikulasikan gagasan-gagasanya dalam ranah sosial dan politik sehingga melahirkan parpol-parpol baru yang berasaskan Islam. Di ranah sosial, sebagian mereka ada menjalakan gerakannya dengan disertai upaya-upaya kekerasan. Gerakan ini kemudian direspons dengan tentangan keras oleh kalangan intelektual muda yang menamakan diri mereka Jaringan Islam Liberal dan kelompok Islam Progresif yang memiliki paradigma toleran, inklusif, moderat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Sebuah paradigma sangat potensial mengalami pengembaraan dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti hantuhantu yang bergentayangan yang sewaktu-waktu bisa menyusup dalam sebuah wadag dan kemudian mengganggunya. Pengembaraan paradigm ini tentu saja mendapatkan energi dari proses produksi dan atau reproduksi paradigma tertentu melalui indoktrinasi atau transfer nilai-nilai. Pada tingkat-tingat tertentu, paradigma kemudian melahirkan habitus yang melingkupi ortodoksi dan ortopraksi. Pengajian dan pengajaran ditambah dengan laku tertentu akan melahirkan sebuah habitus. Pengajian cara shalat, misalnya, ditambah dengan praktik shalat itu sendiri, akan melahirkan habitus shalat, yang selain selalu diyakini juga terus menerus dilakoni. Sebenarnya habitus sebagai ide tentang prinsip yang melahirkan tindakan, yang selanjutnya dikupas oleh Bourdieu dengan menyatakan, struktur konstitutif tipe 128
Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
partikular, suatu lingkungan menghasilkan gaya laku, sistem disposisi yang bertahan lama, susunan struktur yang cenderung berfungsi menyusun struktur, yaitu sebagai prinsip generasi dan penyusunan praktik dan representasi yang secara objektif dapat diatur dan tanpa harus menjadi orang yang patuh pada peraturan, yang secara obyektif diadaptasikan dengan tujuannya tanpa prasyarat mengorentasikan kesadaran hingga akhir dan penguasaan dengan tepat operasi tersebut dibutuhkan agar mencapai struktur dan, untuk menjadi semuanya bahwa disusun secara kolektif tanpa harus menjadi produk dari tindakan yang mengatur seorang konduktor. Oleh karenanya, dalam Analisis Ideologi-nya, Jhon Thompson menyatakan bahwa habitus itu adalah sistem yang bertahan lama, disposisi yang mudah dipindahkan yang menjadi mediasi antara struktur dan praktik. Dengan demkian, habitus ini, masih menurut Thomson, terefleksikan dalam keseluruhan cara yang dibawa seseorang, cara seseorang berjalan, berbicara, bertindak dan seterusnya. Semua ini didominasi oleh kesadaran praktis atau alam bawah sadar.4 ORIENTASI KEKUASAAN POLITIK GURU Penciptaan habitus akan sangat efektif jika dilakukan dalam sebuah proses pendidikan. Sebab, pendidikan adalah suatu proses pewarisan nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Ini dilakukan dengan cara mentransmisikan pengetahuan, paradigma, dan ideologi untuk kepentingan konservasi nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, guru merupakan ujung tombak dalam proses transmisi nilai-nilai tersebut, sehingga guru dapat dikatakan aktor utama transformasi di tengah-tengah masyarakat. Melalui penghayatan dan perjuangannya dalam dunia pendidikan, guru memiliki peran strategis dalam mendesain generasi bangsa. Kalau kita mengartikan politik sebagai ―siapa mempengaruhi siapa dan untuk tujuan apa‖, maka politisi ulung sejati sebenarnya adalah guru. Profesinya sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya tidak dapat lepas dari geliat politik. Bahkan Donny Koesoema A menyatakan, pendidikan merupakan proses politik itu sendiri.5 Relasi guru, baik dalam lingkup mikro (di dalam kelas) maupun makro (di luar kelas), lanjut Doni, merupakan relasi kekuasaan. Di dalam kelas, guru berinteraksi dengan peserta didik. Posisi guru sangat istimewa dan strategis di situ. Sebagai pendidik, sangat memungkinkan baginya untuk mencetak anak didik sesuai dengan yang dia inginkan. Tentu saja, proses di dalam kelas ini, meskipun sering tidak disadari, amat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat kelak. Sebab, anak didik merupakan tunas-tunas bangsa yang akan menjadi pemimpin atau aktor yang akan menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat di hari esok. Untuk itu, guru memiliki tanggung jawab yang cukup besar mencetak generasigenerasi unggul yang dapat membawa bangsa pada kehidupan yang lebih baik. Karena itu, guru dituntut mampu menciptakan suasana yang kondusif, menyenangkan, demokratis, sekaligus dinamis di ruang kelas, sehingga guru tidak boleh tidak kreatif, bertanggungjawab, berani mengambil kebijakan yang independen, serta melakukan inprovisasi-inprovisasi tanpa tekanan dari pihak mana pun. Sebab, gurulah pihak yang paling tahu suasana belajar mengajar di dalam kelas. 4Lihat
Thompson, Analisis Ideologi, (Yogyakarta: IRcisod, 2004) Koesoema, ―Politik Guru‖, dalam Kompas, 5 Mei 2006.
5Donny
129
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Di luar kelas, guru berhubungan dengan banyak pihak; dengan kepala sekolah, dewan guru, komite sekolah, wali murid, karyawan, pihak yayasan, birokrasi, politisi, serta masyarakat kebanyakan. Hubungan tersebut tidak dapat dilepaskan dari sebuah bangunan sistem yang terstruktur dari mekanisme kekuasaan dan lobi-lobi politik yang lingkupnya cukup luas. Dalam kerangka itu, betapa kinerja guru merupakan sebuah pergumulan politik yang cukup nyata. Guru perlu dan harus menyadari hal itu. Sebagai politisi dalam konteks ini, guru memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mentransmisikan suatu nilai, termasuk nilai Islam kaffah yang berwawasan damai. Dalam konteks Indonesia, paradigma Islam kaffah yang berwawasan damai sangat relevan untuk selalu diangkat ke permukaan dan diarusutamakan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat dua alasan penting dalam hal ini. Pertama, Islam adalah agama mayoritas warga negara Indonesia, bahkan terbesar di dunia. Menurut survei direktorat Jenderal Bimas Islam Kementrian Agama RI tahun 2007, jumlah pemeluk agama Islam 88,58 %, Kristen 5,79 %, Katolik 3,07 %, Hindu 1,73 %, Budha 0,61 %, dan Kong Hu Chu 0,10 %. Sedangkan penganut agama atau kepercayaan lain 0,11 % (Depag RI, 2007). Jika umat Islam di Indonesia tidak berparadigma damai, maka ancaman disharmonisasi di negeri ini akan terjadi secara massal, karena umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, di Indonesia terdapat pelbagai macam pluralitas, baik dari segi agama, keyakinan, etnis, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Pluralitas dalam aspek agama dan keyakinan jika tidak diikuti dengan paradigma inklusif, toleran, pluralis, dan pemahaman bahwa agama (Islam) adalah pembawa kedamaian dan sebagai rahmat bagi sekalian alam, tidak jarang dijadikan sarang hantu-hantu fundamentalismeeksklusifisme.6 Jika pengembaraan pemahaman keberagamaan (Islam) yang garang dibiarkan, maka terdapat dua kemungkinan yang menggelisahkan. Pertama, akan muncul anggapan awam bahwa pemahaman itu benar. Bahkan agen-agennya juga akan merekrut banyak pengikut untuk masuk dalam barisan perjuangan mereka. Salah satu sasaran empuk untuk dijadikan pengikut adalah para pelajar, sebagaimana yang telah dilakukan kelompok pengusung Negara Islam Indonesia (NII). Di sini peran guru diperlukan secara mutlak. Kedua, akan ada anggapan bahwa Islam adalah agama teroris, agama bengis, disebarkan dengan dengan pedang dan bom, serta penebar kebencian. Anggapan seperti ini sering diungkapkan oleh orang-orang Barat fundamentalis, sehingga menimbulkan islamfobia di tengah-tengah masyarakat, khususnya di dunia Barat. Untuk itu, sangat penting kita mengarusutamakan ajaran Islam yang berwawasan damai dan rahmatan lil alamin, khususnya di Indonesia. Dengan mengarusutamakan Islam yang berparadigma damai di Indonesia, diharapkan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim dapat memosisikan diri sebagai masyarakat yang selalu memberi manfaat, kasih sayang, dan kedamaian di lingkungannya. Bukan menjadi ancaman bagi masyarakat atau orang lain (the others) yang berbeda dengannya. MENEMUKAN ISLAM OTENTIK YANG CINTA DAMAI Kita akrab dengan istilah Islam rahmatan lil alamin yang penuh dengan pesan 6Lihat dalam Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), 40.
130
Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
damai. Sebagaimana kita sering menyimak ayat Al-Qur‘an: Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.7 Namun ketika mau merumuskannya untuk dijadikan bahan ajar yang term-termnya operasional sebagai kepentingan pendidikan terhadap anak didik, kita baru sadar bahwa konsep Islam cinta damai dan sebagai rahmat itu sangat umum, luas, bahkan abstrak. Hal ini membuat para pendidik kebingungan ketika hendak menyampaikan substansi Islam yang cinta damai kepada anak didiknya. Padahal ini sangat penting, mengingat realitas Islam sering dijadikan tunggangan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu untuk menebar kebencian dan melakukan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Untuk dapat memahami dan merumuskan konsep Islam dengan benar, kita dituntut mempelajari dan mengkaji Islam secara menyeluruh, sehingga kita menemukan ajaran Islam yang paling otentik dan substansial. Untuk itu, terdapat tiga matra ajaran Islam yang dapat kita jadikan entry point, yaitu iman, islam, dan ihsan. Iman berkenaan dengan konsep Tuhan dan kualitas-kualitas-Nya. Islam terkait dengan syariah (hukum agama) untuk menegakkan tatanan hidup yang berkeadilan dan kemaslahatan di muka bumi. Sedangkan ihsan berkaitan dengan akhlak, yang terkait dengan etika kita pada diri kita sendiri (menata hati dan diri), pada Tuhan, orang lain, dan pada alam. Dalam matra ajaran Islam yang pertama, Tuhan dikenal oleh manusia melalui sifat-sifat-Nya yang dapat diketahui melaui nama-nama-Nya (Asmaul Husna) dalam Al-Qur‘an. Nama-nama itu menujukkan Kualitas Tuhan yang selaras dan seimbang; yakni terdapat sifat maskulinitas (seperti Maha Adil, Maha Perkasa, dan lain-lain) dan femininitas (misalnya, Maha Pengasih, Penyayang, Maha Indah, dan lain sebagainya). Menariknya, sebagaimana sering diungkapkan oleh orang-orang sufi, penciptaan alam ini merupakan akibat dari sifat femininitas Tuhan, yakni Rahmat dan Kasih Sayang Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan dalah Penyebab Pertama dari segala eksistensi kosmos ini. Namun penyebab kedua adalah Rahmat Tuhan. Dimensi realitas hakiki tidak dapat dipisahkan dari Rahmat dan Kasih Sayang Tuhan, yang kalau bukan karena sifat ini, tidak akan terjadi penciptaan.8 Dalam perspektif Islam, yang sering diklaim oleh para mistikus Islam, bahwa substansi dasar dari eksistensi kosmis dalah ―Nafas dari Yang Pengasih‖. Tuhan meniupkan nafas-Nya terhadap arketip (bentuk dasar) realitas alam ini. Konsekuensi dari hal ini adalah eksistensi yang terpisahkan yang kita sebut ―dunia‖. Jadi, alam ini adalah pancaran dari Kasih Sayang dan Kemurahan Tuhan. Sehingga disebutkan dalam Al-Qur‘an bahwa Rahman dan Rahim Tuhan meliputi segala sesuatu, dan dunia tidak akan ada tanpa Rahmat Tuhan.9 Makna dari uraian ini adalah bahwa siapa pun yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka dia sebenarnya bertindak konfrontatif terhadap Sifat Rahman Rahim Tuhan yang menjadi reason d‟Etre adanya alam ini. Matra kedua adalah islam atau aturan-aturan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ajaran Islam. Dalam hal ini, Tuhan menurunkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia yang kita kenal sebagai syariah. Dalam syariah ini manusia diatur bagaimana berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan alam 7Qs.
Al-Anbiya‘: 107. Hossein Nasr, The Heart of Islam; Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), 244. 9Ibid. 8Sayyed
131
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan lingkungannya juga. Dalam konteks ini, para ahli ushul fikih menyatakan bahwa maksud diturunkannya syariah adalah untuk menjaga lima kepentingan dasar manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan kehormatan manusia (al-mashlahah/kulliyat al-khamsah). Katiga, dengan konsep ihsan seorang muslim dapat menyempurnakan keberagamaannya dengan cara menata akhlaknya yang mulia, melatih jiwanya agar bersih dari segala sifat-sifat tercela, seperti sombong, iri, dengki, pongah, hasut, tidak sabar, dan lain sebagainya. Dengan matra ini, seorang muslim diharapkan mampu membersihkan hatinya dan kemudian untuk dihiasi dengan sifat-sifat yang mulia dan suci, sehingga dengan sifat itu manusia dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan, Realitas Hakiki, yang merupakan asal dan tempat kembali bagi manusia dan alam. Dalam suatu ayat Al-Qur‘an, Allah menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Nya.10 Sedangkan dalam ayat yang lain Allah juga menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi.11 Sehingga, profil manusia yang sesuai dengan skenario Tuhan adalah mereka yang bertakwa. Yakni, mereka yang menjaga kesimbangan tujuan manusia diciptakan oleh Allah, yaitu sebagai „abid (hamba) dan khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Sebagai hamba, Tuhan membimbing manusia melalui syariah-Nya agar dapat kembali lagi menyatu dengan-Nya. Sedangkan sebagai wakil Tuhan, manusia dituntut untuk mampu mengadopsi kualitas-kualitas Tuhan secara seimbang antara yang feminin (seperti Maha Indah, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang) dan maskulin (seperti Maha Adil, Maha Perkasa, Maha Pemaksa, dan lain sebagainya)12 dalam menyelenggarakan pembangunan di muka bumi untuk menciptakan kehidupan di muka bumi yang harmonis, damai, dan berkeadilan, sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi, manusia dituntut berupaya untuk mewujudkan orientasi-orientasi atau target Tuhan di muka bumi yang tercermin dalam nilai-nilai universal ketuhanan dan kenabian. Seperti, keadilan (dengan mem-breakdown nama Tuhan, Al-‟Adl dan lain-lain), kemaslahatan (Al-Jamal dan seterusnya), pembebasan (Al-Jabbar dan lainnya), persaudaraan (Al-Muhaimin), perdamaian (Al-Rahim), dan kasih sayang (Al-Rahman dan sebagainya). Mereka yang mengingkari atau mengabaikan nilai-nilai inilah, baik sebagian maupun keseluruhan, yang kemudian dapat disebut sebagai kafir. Kalau kita memahami Islam hanya sebatas dari aspek historis, maka akan banyak hal yang kita temukan yang menunjukkan seolah-olah Islam adalah agama sadis, disebarkan dengan pedang dan diperkenalkan dengan bom. Demikian juga kalau kita hanya memahami Islam dari sisi nomatifnya yang parsial saja, maka kita berisiko masuk dalam blunder konsep normativitas dangkal yang sering melangit, kaku, dan tak kenal kompromi dengan kenyataan. Namun demikian, untuk memahami Islam secara utuh, kita memang harus memulainya dengan mengkaji normativitas Islam yang paling otentik dan substil sebagaimana yang penulis uraikan di atas. 10Q.S.
Al-Dzariyât: 56. Al-Baqarah: 30. 12Lihat Qs. Al-Hasyr: 23. 11Qs.
132
Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
Muslim ideal adalah mereka yang mengupayakan nilai-nilai universal Ilahi dan nubuwah di atas secara gradual dan terintegral. Merekalah muslim kaffah yang sesungguhnya.13 Konsep islam kaffah selama ini sering disalahartikan oleh orangorang yang memahami Islam secara parsial, sehingga kaffah sering diartikan semata menjalankan aspek hukum Islam (lebih sempit lagi, yaitu fikih Islam) secara total dan apa adanya. Pemahaman kaffah yang semacam ini sering membuat beberapa orang Islam buta mata dan hatinya dalam melaksanakan fikih Islam, sehingga Islam seakanakan agama yang mengerikan karena yang paling nampak ke permukaan hanyalah hukum pancung, qisas, potong tangan, menghapus kemaksiatan dengan kekerasan dan pengrusakan-pengrusakan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, makna kaffah akan memberikan implikasi yang menyejukkan kalau dipahami sebagai berislam dengan merangkul keseluruhan matra ajaran Islam yang terdiri dari tauhid (iman), hukum (fikih) (Islam), dan akhlak (ihsan) sebagaimana disebutkan di atas. Ketika kita sangat fanatik terhadap pelaksanaan hukum fikih semata namun iman dan akhlak kita tidak terasah dan tidak sesuai dengan semangat Islam yang damai dan penuh kasih sayang, maka hukum fikih yang kita kuasai hanya akan dijadikan alat untuk menghakimi dan menvonis orang lain yang berbeda dengan kita dengan penuh kebencian. Kita kemudian seolah menjadi mufti yang selalu merasa dekat dengan Allah, namun sebenarnya dilaknat oleh Allah karena kita cenderung mengabaikan nilai-nilai yang dikehendaki Allah.14 Dengan demikian, tidakan-tindakan kekerasan yang dilakukan kelompokkelompok tertentu dengan mengatasnamakan Islam sebenarnya lebih disebabkan oleh parsialitas pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang universal dan otentik. Sempitnya wawasan mereka telah membuat mereka gagal memahami Islam secara sempurna. Anehnya, mereka selalu merasa bahwa pemahaman Islam merekalah yang paling benar. Kondisi seperti ini biasanya sering membuat diri mereka pongah dan merasa benar sendiri, sehingga mata hati mereka dibutakan oleh Tuhan. PENUTUP: REFLEKSI PERAN TRANSFORMATIF GURU Dalam konteks pendidikan di Indonesia, guru memiliki posisi strategis untuk menanamkan nilai-nilai universal Islam yang berwawasan damai di atas. Setiap ilmu yang ditransfer kepada anak didiknya tidak boleh netral dari nilai-nilai ketuhanan dan kenabian sebagaimana di atas. Ilmu apa pun yang diberikan guru harus diorientasikan untuk bisa meningkatkan keimanan, kesadaran akan hukum demi kemaslahatan bersama, dan akhlak sebagai upaya perbaikan moralitas peserta didik. Di sinilah guru memiliki posisi sebagai subyek transformasi ajaran Islam kaffah yang seimbang, adil, dan cinta damai, terhadap peserta didiknya, sehingga dapat menghasilkan pribadi anak didik muslim yang pluralis, humanis, dialogis dan toleran, serta mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa cinta kasih. Pluralis dalam arti memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis bermakna menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai manusia. Dialogis dalam artian semua persolan yang muncul sebagai akibat interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam pemikiran. Dan toleran yang ditunjukkan dengan memberi kesempatan kepada yang lain untuk 13Qs.
Al-Baqarah: 208. juga Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid I, (Beirut Libanon: Darul Ma‘rifah, tt), 31.
14Lihat
133
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
melakukan apa saja sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa hormat dan damai.15 Sebagai subyek transformasi, guru harus terlebih dahulu menginternisasi paradigma dan mental Islam kaffah yang berwawasan damai dalam dirinya sendiri. Sebab, istilah transformasi berasal dari kata ―trans‖ yang berarti suatu perpindahan atau gerakan yang melampaui yang sudah ada, dan ―formasi‖ memiliki dua makna mendasar. Yaitu, pertama, perpindahan atau penyaluran format atau sistem yang ada ke luar. Dua, gerakan ―pelampauan‖ dari sitem yang ada menuju terciptanya sistem baru. Kedua makna tersebut menegaskan bahwa transformasi merupakan isyarat bagi perubahan atau perpindahan satu format gagasan menuju format lainnya.16 Misalnya, transformasi terhadap pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam yang pada mulanya bersifat parsial ke dalam bentuk lain yang lebih bersifat holistik, univerasal, integral, dan proporsional. Untuk itu, paradigma dan mental Islam kaffah di atas semestinya tidak hanya berpengaruh positif terhadap isi materi pengajaran guru, melainkan juga terhadap metode mengajar, relasi guru-murid-lingkungan sekolah, relasi guru-Tuhan, gurumasyarakat, dan seterusnya. Tanpa begitu, maka guru akan gagal memtransformasi nilai-nilai universal Islam itu. Sebab, nilai-nilai akan sangat sulit ditransformasikan tanpa model pendidikan penyaksian langsung (musyahadah) dan tauladan yang baik (uswah hasanah) dari guru terhadap anak didik. Dengan upaya-upaya seperti ini, diharapkan paradigma Islam yang kaffah dan cinta damai tetap terjaga, dan peserta didik sebagai generasi muda Islam tidak terjebak pada pemahaman Islam yang parsial dan mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan, baik aktual maupun simbolik, kepada orang lain yang memilik titik perbedaan dengan mereka. Semoga. Wallahu a‟lam.
Nur Syam, ―Merumuskan Islam Rahmatan Lil Alamin‖, dalam www.sunan-ampel.ac.cc. Diakses 20 September 2011. 16 Fahd Pahdepie, ―Melacak Kesalehan Transformatif dalam Ikhtiar Transfigurasi Ahmad Wahib‖, dalam Saidiman Ahmad, Dkk [Eds.], Pembaharuan tanpa Apologia? (Esei-Esei tentang Ahmad Wahib), Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadinah, 2010, 53-74. 15
134
Fathor Rahman JM: Peran Transformatif Guru
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Saidiman Dkk [Eds.]. 2010. Pembaharuan tanpa Apologia? (Esei-Esei tentang Ahmad Wahib), Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadinah Al-Ghazali. tth. Ihya‟ Ulumuddin, Jilid I, Beirut Libanon: Darul Ma‘rifah, tt. Derrida, Jacques. 1994. Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International-nya, Yogyakarta: LKiS. Koesoema, Donny. ―Politik Guru‖, dalam Kompas, 5 Mei 2006. Nasr, Sayyed Hossein. 2003. The Heart of Islam; Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan. Nur Syam, ―Merumuskan Islam Rahmatan Lil Alamin‖, dalam www.sunanampel.ac.cc. Diakses 20 September 2011. Shihab, Alwi. 2001. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan. Sumijati AS. 2001. Manusia dan Dinamika Budaya; dari Kekerasan ke Baratayuda, Yogyakarta: Bigraf. Thompson, Jhon. 2004. Analisis Ideologi, Yogyakarta: IRcisod.
135
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
136
Shoni Rahmatullah Amrozi: ESQ Model dalam Bingkai Pembaharuan
ESQ MODEL DALAM BINGKAI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SHONI RAHMATULLAH AMROZI STAIN JEMBER Jl. Jumat 94 Mangli Jember
ABSTRAK Komponen penting dari pendidikan Islam adalah sistem dan kurikulum, maka pertama kali yang akan menjadi pembahasan dalam rangka mewujudkan pembaharuan pendidikan islam adalah masalah konseptual. Sehingga tidak akan cukup hanya dengan wacana saja tetapi butuh konstruksi dan formulasi yang jelas untuk melihat kaitan-kaitan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Bila dilacak dari sisi metodologis, ternyata ESQ Model merupakan konsep yang tepat dalam pembaharuan pendidikan Islam, karena dari persepektif yang di tawarkannya berupa anjuran dan rujukan, untuk membuka jalan baru terhadap kerangka pendidikan Islam, sehingga dari beberapa rujukan tersebut akan mampu menerka belenggu yang selama ini menjadi penghambat dalam dunia pendidikan islam khususnya pada persoalan-persoalan tawuran dan beberapa kenakalan yang lainnya. Kata Kunci: ESQ, Pembaharuan, Pendidikan Islam, Indonesia PENDAHULUAN Manusia sangat membutuhkan pendidikan dan pengajaran dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar, agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) meyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. ESQ berperan krusial pada lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis Islam, oleh sebab itu lembaga pendidikan haruslah bersifat fungsional, sebab lembaga pendidikan sebagai salah satu wadah dalam masyarakat biasa dipakai sebagai pintu gerbang dalam menghadapi tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang terus mengalami perubahan. Untuk itu lembaga pendidikan perlu mengadakan perubahan seiring dengan berkembangnya tuntutan dalam masyarakat yang dilayaninya. Namun kelembagaan yang akan menjadi basis sentral penanaman SDM setidakanya sudah dapat mengakomodir harapan masyarakat luas. Pada lembaga pendidikan, perubahan seperti yang dimaksud, diadakan dalam bentuk pembaharuan 137
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
pendidikan, yang di orientasikan pada pembentukan mutu yang siap pakai. Pembaharuan pendidikan itu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga mampu menjawab tuntutan perkembangan zaman.1 Alam berfikir Postmodernisme mengajarkan untuk meninjau ulang konsepkonsep pendidikan yang selama ini di anggap baku. Salah satunya adalah apakah cukup manusia hanya ditekankan untuk memiliki kecerdasan intelektual semata? Dari hasil kajian ini, banyak ditemukan ragam kecerdasan yang justru lebih dianggap penting bagi kehidupan. Dan manusia bisa dianggap lebih kursial jika memiliki beberapa macam kecerdasan, yang diantaranya terdiri IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emosional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) dan kecerdasan yang lainnya.2 Pendidikan Islam bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada peserta didik akan dirinya sebagai seorang hamba (khalifah) yang mengerti akan kelebihan yang diberikan kepadanya; dengan demikian diharapakan setelah memperoleh pendidikan peserta didik sampai pada tujuan akhir dari seluruh aktifitas umat manusia yaitu takwa. Hal ini pula yang seharusnya memberi kesadaran penuh kepada peserta didik untuk mengerti apa saja yang memberinya jalan terang. Seiring berubahnya zaman pemikiran dan orientasi manusia pun ikut berubah. 3 Dibarengi dengan tujuan-tujuan singkat keduniawian yang menganggap pendidikan sebagai sebuah investasi masa depan untuk meraih kehidupan dunia yang lebih baik, kemudian mengedepankan hasil dari pada proses panjang yang seharusnya dilalui.4 Dengan demikian tujuan yang dicapai bukan buah instant yang hanya mampu bertahan sesaat tetapi pandangan dasar yang terbersit dalam angan manusia itu kemudian akan menggerakkan seluruh manifestasi serta gerak langkahnya. Pandangan tersebut tidak luput mempengaruhi pendidikan Islam, sehingga terjadi kekeliruan yang akhirnya menyebabkan seorang hamba lupa tujuan akhiratnya. Disini letak pentingnya sebuah proses dan sebuah proses itu harus dimulai dengan niat. Allah berfirman di dalam Al- Qur‘an Surat Al-A‘raf ayat 172 sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Ada dua hal yang penulis tekankan berkenaan ayat ini adalah pertama bahwa manusia tidak lahir “bim salabim” namun ada sebuah proses yang dilaluinya, kedua ayat ini juga memberikan peringatan kepada setiap jiwa manusia untuk meluruskan niat 1M. Sulton, Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global, (Yogyakarta: Laks Bang PRESSindo, 2006), 162. 2Abd Halim Soebahar, Matrik Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 71 3Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam terj. Salman Harun, (Bandung: Al Maarif, 1993), 17. selanjutnya disebut ―Sistem‖ 4Dr. Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan; (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), 34-35.
138
Shoni Rahmatullah Amrozi: ESQ Model dalam Bingkai Pembaharuan
mengingat perjanjian yang telah di sepakati. Persoalan proses dengan niat ini sangat penting karena menentukan arah pencitraan diri seseorang dalam proses pendidikan, dari persoalan pemahaman yang berbeda tentang hakikat pendidikan Islam. Islam sangat menginginkan arus hubungan antara tujuan akhir setiap individu yang menghambakan diri kepada-Nya dengan tujuan sementara berupa penghidupan yang layak dan duniawi terpelihara sehingga memberikan petunjuk dalam perjalanan (pekerjaan duniawi), kesadaran hakekat kehidupan memberikan perasaan lapang dan tidak mudah dihinggapi penat dan stress, dengan kesadaran itu pula akhirnya mengembalikan segala sesuatunya keharibaan Allah SWT. Ilmuan Islam sejati selalu mengedepankan tanggung jawab dirinya sebagai seorang hamba seperti keluarga dan lingkungannya, rasionalisasi antara teori keilmuan yang dipelajarinya dengan realitas masyarakat harus seiring sejalan pada yang benar. Hal ini bertujuan untuk mencapai hakekat pendidikan Islam, karena gelar keduniawian yang kita sandang hari ini belum tentu mengantarkan kita ke dalam sorga bahkan diceritakan di dalam buku sholeh chambali mengenai hal tersebut: ―Dan meriwayatkan oleh setengah ulama bahwa sesungguhnya orang yang lari dari pada ahlinya itu seperti menempati hamba yang lari dari tuannya yaitu tiada diterima baginya sembahyangnya dan tiada diterima pula puasanya hingga kembali kepada ahlinya (dan) diriwayatkan oleh setengah ulama banwa sesungguhnya pertama-tama yang bergantung dengan seorang laki-laki pada hari kiamat itu yaitu ahlinya dan anaknya maka memperbantahkan mereka itu akan dia antara hadapan Allah ta‘ala maka berkata oleh segala ahlinya: hai tuhanku ambil olehmu dengan hak kami dari pada laki-laki ini bahwa sungguhnya orang ini tiada mengajarkan akan kami akan satu hukum yang kami jahil akan dia‖. 5 Penyatuan dua unsur dasar manusia baik jasmani maupun rohani ke dalam sebuah kaidah pemikiran pendidikan Islam yang komprehensip selalu di dasarkan pada tauhid kepada Allah. Untuk melihat lebih jauh hakikat pendidikan Islam tercermin dalam perumpamaan pendidikan yang diberikan Luqman kepada anakanaknya di dalam surat al Luqman 15-17:6
5 Soleh Chambali, Intan Berlian Laki Perempuan, (Surabaya: Penerbit Salim Nabhan dan Ahmad, 1951), 15. 6Al Qur‘an merupakan kerangka dasar pemikiran Islam, mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya proses pendidikan dilaksanakan yakni ketika Luqman mengajarkan pengetahuan putranya ketika pertama kali menyampaikan prinsip tauhid dan larangan syirik, karena syirik merupakan kejahatan terbesar. Kemudian ia mengajarkan ilmu pengetahuan Islami (hikmah), dan memberikan bagas-batas potensi manusia untuk mengetahui, mengajarkan shalat menumbuhkan amal shaleh, mendidik akhlaqul karimah, baik yang berkaitan dengan Allah Swt, diri sendiri dan sesama manusia terutama orang tua yang dituakan- maupun dengan segenap isi alam dan akhirnya mendidik putranya agar terus menerus melakukan amar makruf nahi mungkar. Jelasnya lihat. A.Syafi‘I Ma‘arif, dkk., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 56-57. Selanjutnya disebut ―Cita dan Fakta‖
139
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” “(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Kisah Luqman di atas menjelaskan beberapa rumusan penting dan dominan untuk mencapai hakekat pendidikan Islam antara lain: 1. Luqman menyampaikan prinsip tauhid dan larangan syirik kepada putra– putrinya. 2. Luqman mengajarkan ilmu pengetahuan (hikmah) dan batasan potensi manusia untuk mengetahui sesuatu. 3. Luqman mengajarkan sholat untuk menumbuhkan amal shaleh. 4. Luqman mendidik putra-putrinya akhlaqul karimah, baik pada diri sendiri, sesama manusia, alam terutama kepada Allah SWT. 5. Luqman mendidik putra-putrinya untuk melakukan amar ma‘ruf nahi mungkar7 ESQ MODEL DALAM BINGKAI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM 1. Kebebasan Hati ….. “……. Sungguh, Allah tidak akan mengubah (nasib) satu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan-Nya sendiri...” (QS Ar Ra‟d :11) Sebagai manusia kita harus mampu menjelaskan bahwa kita sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi atas diri kita. Kitalah penanggung jawab utama atas sikap yang kita ambil, bukan lingkungan kita. Diri kita sendiri sesungguhnya penentu pilihan tersebut. Manusia sebagai makhluk berpendidikan yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat kebaikan, maka kita harus menghindari dari ―belenggu- belenggu ―
7
140
Moch Eksan, Kiai Kelana Biografi Kiai Muchith Muzadi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), 30.
Shoni Rahmatullah Amrozi: ESQ Model dalam Bingkai Pembaharuan
yang membuat manusia menjadi buta yaitu :8 1. Berprasangka negatif9 2. Prinsip hidup yang salah. Pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran. Kepentingan yang sangat subjektif. Dan Pembanding10 3. Sudut pandang yang tidak bijaksana 4. Fanatisme yang berlebihan 2. Enam rukun Iman sebagai Prinsip Membangun Kecerdasan Emosi11. 1. Iman kepada Allah atau Star Principle (Membangun Prinsip Bintang) Diperlukan sebuah kesungguhan untuk memahami suara hati, atau nilainilai dasar spiritual. Perlu disadari bahwa (99 Asmaul Husna) suara hati adalah satu kesatuan yang tidak berdiri secara terpisah-pisah. Maka pelajarilah sifatsifat Allah secara menyeluruh, agar kita mampu membangun kecerdasan emosi dan spiritual yang terintegrasi.. Pemahaman dan pemaknaan suara hati sebaiknya tidak dengan mengambil sepotong atau sebagaian sesuai selera pribadi saja, tidak pula dengan mengabaikan sifat-sifat yang lain. Pemahaman sifat-sifat Allah mesti diawali dengan proses penjernihan hati menuju keadaan yang suci dan bersih. Segala keputusan yang akan kita ambil, jika dilandasi niat karena Allah, maka di dalamnya anda akan temukan kebijaksanaan mulia, rasa aman, kepercayaan diri, integritas, kebijaksanaan, motivasi. Proses pengambilan keputusan ini adalah proses dimana anda dihadapkan pada beragam dorongan suatu hati. Seperti dorongan ingin berkuasa tidak akan mampu berdiri sendiri, tetapi harus juga suci, bersikap rahman dan rahim, adil dan bijaksana. 99 sifatsifat allah merupakan sumber suara hati.12 8Ary
Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual‟ ESQ, Emotional, Spiritual Quottient. The ESQ Way 165, 165, 1 Ihsan 6Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, ( Jakarta: ARGA Publishing, 2007), 48. 9Jadi banyaknya prasangka negatif dalam dunia pendidikan Islam akan memunculkan problematika yang berkepanjangan dan tidak pernah menemukan titik ketuntasan. Sehingga persoalan pendidikan diranah operasional tidak mampu berkembang secara objektif. seluruh bentuk atau modelmodel prasangka harus di leyapkan dalam pendidikan sebab jika pendidikan di tarik pada persolanpersolan prasangka yang tidak mengenakkan,akan muncul di kemudian hari rasa curiga mencurigai dari masing-masing individu dalam pendidikan, curiga mencurigai dapat membentuk pendidikan Islam kontra produktif. 10 Persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan yang sering di kenal selalu intelektualistik sehingga hal demikian yang membuat peserta didik tidak mampu mengenal prinsip hidupnya, dan yang sangat mengherankan lagi tidak adanya pembanding yang dimunculkan seperti contoh pendidikan Islam tidak pernah membandingkan kecerdasan emosional dan spiritualnya yang semestinya kecerdasan itu lebih dominan dalam membentuk pola pikir dan moral peserta didik. Jadi dengan adanya prinsip hidup, pembanding, pengalaman kepentingan, mampu menciptakan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan fisikal secara holistic dalam konteks pembelajaran yang mampu termodifikasi dengan baik. Ketangguhan hidup dan konsistensi yang tinggi dapat mengantarkan peserta didik pada realitas yang sesungguhnya. Peserta didik akan senantiasa hidup tabah dan kuat karena memiliki prinsip hidup yang telah kuat. Serta mampu mengembangkan kordinasi, integritas, singkronisasi terhadap pola pikir yang objektif dan empirik. 11 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual‟ ESQ, Emotional, Spiritual Quottient. The ESQ Way 165, 165, 1 Ihsan 6Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, ( Jakarta: ARGA Publishing, 2007), 106. 12 yaitu dengan menggunakan 99 Thinking Hat (Topi berfikir 99 sisi) atau berfikir melingkar. Berfikir melingkar merupakan hantaran sederhana untuk menciptakan iklim sikap bijaksana,
141
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
2. Iman kepada Malaikat atau Angel Principle (Prinsip Malaikat) Malaikat adalah makhluk mulia, dan mereka sangat dipercaya oleh Tuhan untuk menjalankan segala perintah-Nya. Semua pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya, apa pun pekerjaan yang diberikan kepada mereka. Prinsipnya tunggal hanya mengabdi kepada Allah SWT. Malaikat memiliki kesetiaan tiada tara, bekerja tanpa kenal lelah, tak memiliki kepentingan lain selain menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Allah hingga tuntas. Mereka sangat disiplin dalam menjalankan tugas dengan hasil sangat memuaskan. Semua system yang berada dibawah tanggungjawabnya berjalan dengan sangat sempurna. Kepercayaan itu diberikan langsung oleh Tuhan, dan malaikat secara sungguh-sungguh mampu menjaganya. Keteladanan malaikat adalah contoh bagi manusia tentang integritas sesungguhnya adalah integritas total yang menghasilkan suatu kepercayaan tingkat tinggi. Keteladanan yang bisa diperoleh dari sifat malaikat secara umum adalah menjaga teguh kepercayaan, memiliki loyalitas, dan komitmen, kebiasaan memberi dan mengawali, kebiasaan menolong. Sikap sepeti ini yang harus ada dalam dunia pendidikan, sebagai bentuk pembaharuan pendidikan Islam. 3. Percaya Kepada Nabi Allah atau Leadeship Principle (Prinsip Kepemimpinan) Selama ini, terjadi kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpin. Banyak orang mengartikannya sebagai kedudukan atau posisi yang tinggi saja. Sehingga, posisi pemimpin diincar demi mendapatkan kedudukan tinggi dalam sebuah kelompok. Dengan paradigma itu, sebagian orang akan menghalalkan segala cara untuk menjadikan pemimpin. Mulai dengan membeli, menjilat atasan, menyikut lawan, dan cara lainnya. Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memperhatikan kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandasan suara hati yang fitrah. 4. Iman Kepada Kitab Allah atau Learning Principle (Prinsip Pembelajaran) Al Quran adalah pembimbing menuju kebahagiaan. Memberikan prinsip dasar yang dapat dijadikan pegangan untuk mencapai keberhasilan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Juga memberikan peneguhan agar manusia memiliki kepercayaan diri yang sejati dan mampu memberikan motivasi yang kuat dan prinsip yang teguh. Semua dijelaskan secara terperinci dan lengkap. Al Quran mengintegritaskan kita terhadap memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan cermat. Selalu berpikir kritis dan mendalam. Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali. Bersikap terbuka untuk diantaranya: (a). Dorongan ingin berkuasa, tidak bisa berdiri sendiri. Harus juga suci, bersikap rahman, rahim serta adil. (b). Dorongan ingin sejahtera, tidak bisa berdiri sendiri Harus suci, pemurah, terpercaya dan terhormat. (c). Dorongan ingin bersikap mengasihi, tidak berdiri sendiri. Harus tegas dan menjunjung tinggi kebenaran. (d). Dorongan ingin mandiri, juga tidak berdiri sendiri. Harus terpercaya, kokoh dan harus berani memulai sebuah langkah. Hal ini yang bisa membangkitkan karakter generasi bangsa menjadi lebih baik dan bijaksana. Dengan demikian, maka kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan pernah terjadi.
142
Shoni Rahmatullah Amrozi: ESQ Model dalam Bingkai Pembaharuan
mengadakan penyempurnaan. Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar. 5. Iman Kepada Hari Kemudian atau Vision Principle (prinsip Masa Depan) Di dalam prinsip ini, langkah pembangunan visi dimulai. Setiap tahapan pembangunan sangat bergantung pada kualitas kecerdasan hati seseorang, yang sejatinya telah dipersiapkan di pembangunan prinsip-prinsip sebelumnya. Di dalam sebuah visi atau tujuan awal disitu akan menuju titik tujuan akhir yang harus dicapai. Oleh karenanya, setiap menugaskan suatu pekerjaan, sentuhlah sang hati terlebih dulu, bukan pikiran dalam kepalanya. Berikan pemaknaan pada hatinya dengan menjelaskan tujuan akhir apa yang sesungguhnya harus dicapai. Yakinlah akan adanya masa depan, sehingga memiliki kendali diri dan sosial, memiliki kepastian akan masa depan, dan ketenangan batiniah yang tinggi. 6. Iman Kepada Ketentuan Allah atau Well Organized Principle (Prinsip Keteraturan) Hari akhir (kiamat) adalah takdir Allah. Tetapi, selama ini, sebagian orang memahami takdir secara sepotong-sepotong, tanpa melihat proses keseluruhannya. Mereka beranggapan, keberhasilan atau kegagalan seseorang semata-mata karena takdir Tuhan. Pada setiap proses yang akan dan telah kita lalui, terdapat takdir atau hukum ketetapan tuhan, yang bersifat pasti. Namun kita berhak untuk memilih setiap langkah yang akan menentukan takdir kita. 3. Lima Rukun Islam sebagai Dimensi Fisik Manusia Pelaksanaan pada dimensi fisik seseorang harus memiliki lima pedoman berdasarkan rukun Islam. Pertama, ia memiliki mission statement yang jelas yaitu ―dua kalimat syahadat‖ sebagai tujuan hidup dan komitmen kepada Tuhan. Syahadat akan membangun sebuah keyakinan dalam berusaha. Syahadat akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai tujuan. Syahadat akan membangkitkan keberanian serta optimisme, sekaligus menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi hidup. Kedua, memiliki sebuah metode pembangunan karakter (Character Building) melalui ―shalat lima waktu‖. Shalat adalah metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir yang jernih. Sholat adalah suatu langkah untuk membangun kekuatan afirmasi. Shalat adalah sebuah metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara terus-menerus. Shalat adalah teknik pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigm positif (new paradigm shift). Dan sholat adalah suatu cara untuk terus mengasah dan memertajam ESQ yang diperoleh dari Rukun Iman. Ketiga, memiliki kemampuan pengendalian diri (Self Control) yang dilatih dan disimbolkan dengan ―puasa‖. Puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri. Puasa bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati, dan pembebasan diri belenggu yang tak terkendali. Puasa yang baik akan memelihara asset kita yang paling berharga, yaitu suara hati illahiah, dan tujuan hidup sesungguhnya. Ketiga nilai tersebut akan menghasilkan ketangguhan pribadi dalam diri peserta didik, dua nilai selanjutnya dikeluarkan melalui zakat dan Haji. Kedua nilai inilah yang nantinya akan menghasilkan ketangguhan social.
143
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
4. Tauhid Total Ketika seseorang telah mengganti prinsip hidupnya dari materialism menuju tauhid total maka akan terlihat keadaan batinnya. Emosi yang muncul adalah ketenangan atau dalam keadaan stabil. Hal ini terjadi karena prinsip dan pusat orbit yang diambil ― berpegang kepada Sang Maha Esa‖ Selanjutnya suara hati yang muncul adalah sabar, konsisten, amanah dan ikhlas.13 Dalam dunia pendidikan islam, standar idealnya di ukur dengan konsep melangit, jelas secara tidak langsung di paksakan untuk di cangkokkan dalam pendidikan Islam, padahal dari sisi kesejarahan dan kultur yang di bangun sangat jauh berbeda dengan realitas yang ada. Setidaknya walau hal itu sudah menjadi keniscayaan, minimal ada standar atau filter yang mampu untuk menjinakkan hal tersebut, semisal pertama kali, melalui proses pengislaman, sehingga besar kemungkinan umat Islam sebagai konsumennya tidak tersentak melihat fenomena yang beda akibat sebuah persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, ESQ Model walau dalam dataran fakta, ia mengungkap secara umum tentang pendidikan, namun ia mampu memberikan kontribusi riil dalam mewujudkan pembaharuan pendidikan Islam, sehingga terdapat ciri khas yang mampu mewujudkan pendidikan Islam di Indonesia menjadi sebuah model yang bisa dijadikan rujukan untuk menciptakan pendidikan berkarakter dan berbudi luhur yang tinggi sesuai dengan tuntunan agama Islam. PENUTUP Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah untuk beribadah kepada-Nya. Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah. Pengaktualan potensi diri manusia tersebut dapat diarahkan melalui konsep pembinaan ―kecerdasan emosional dan spiritual‖. Peradaban masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Adanya perkembangan yang semakin pesat di dalam masyarakat disadari maupun tidak telah mengakibatkan pergeseranpergeseran terutama mengenai masalah-masalah pendidikan yaitu masalah yang acap kali diperbincangkan oleh masyarakat. Terjadinya problematika tersebut sangat pesat terutama yang telah terjadi didalam pendidikan islam disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang hanya ditekankan untuk memiliki satu kecerdasan dan tidak mampu menerapkan kecerdasan-kecerdasan yang lainnya. Harapan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam sangat besar, mengingat kedepan persaingan sangat ketat. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain sebagai modus untuk menjawab tantangan kebutuhan sekaligus persaingan yang 13 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ POWER Sebuah Inner Journy Melalui Al-Ihsan, ( Jakarta: ARGA, 2006), 209
144
Shoni Rahmatullah Amrozi: ESQ Model dalam Bingkai Pembaharuan
hinggap pada masyarakat dengan jalan menyeimbangkan beberapa faktor yang selama ini sudah mulai di tinggalkan dalam pendidikan islam, seperti menuhankan intelektualitas semata tanpa mempertimbangkan kecerdasan yang lain. Sebagai supra Pendidikan Islam yang tidak lepas dari sistem, dan perangkat lunak lainnya. Oleh karenanya perangkat lunak yang akan menjadi proyek dalam rangka pembaharuan pendidikan islam harus di formulasikan dengan jelas, tentunya hal tersebut sesuai dengan konsep ESQ Model. Komponen penting dari pendidikan Islam adalah sistem dan kurikulum, maka pertama kali yang akan menjadi pembahasan dalam rangka mewujudkan pembaharuan pendidikan islam adalah masalah konseptual. Sehingga tidak akan cukup hanya dengan wacana saja tetapi butuh konstruksi dan formulasi yang jelas untuk melihat kaitan-kaitan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Bila dilacak dari sisi metodologis, ternyata ESQ Model merupakan konsep yang tepat dalam pembaharuan pendidikan Islam, karena dari persepektif yang di tawarkannya berupa anjuran dan rujukan, untuk membuka jalan baru terhadap kerangka pendidikan Islam, sehingga dari beberapa rujukan tersebut akan mampu menerka belenggu yang selama ini menjadi penghambat dalam dunia pendidikan islam khususnya pada persoalan-persoalan tawuran dan beberapa kenakalan yang lainnya.
145
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar, 2007, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual‟ ESQ, Emotional, Spiritual Quottient. The ESQ Way 165, 1 Ihsan 6Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: ARGA Publishing. Agustian, Ary Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ POWER Sebuah Inner Journy Melalui Al-Ihsan, Jakarta: ARGA. Chambali, Soleh. 1951, Intan Berlian Laki Perempuan, Surabaya: Penerbit Salim Nabhan dan Ahmad. Eksan, Moch. 2000, Kiai Kelana Biografi Kiai Muchith Muzadi, Yogyakarta: LKiS. M. Sulton & Moh. Khusnuridlo, 2006, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global, Yogyakarta: Laks Bang PRESSindo. Ma‘arif, A.Syafi‘I, dkk., 1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana. Quthb Muhammad, 1993, Sistem Pendidikan Islam terj. Salman Harun, Bandung: Al Maarif. Soebahar, Abd Halim, 2003, Matrik Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Zamroni, 2001, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
146
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif
PENERAPAN STRATEGI BELAJAR AKTIF (ACTIVE LEARNING STRATEGY) DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TITIN NURHIDAYATI STAIFAS Kencong Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan yang dihadapi oleh pendidik (guru agama) adalah bagaimana dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, karena banyak peserta didik yang masih kurang dalam memahami ajaran agama Islam. Apakah hal ini disebabkan siswa yang masih kurang aktif dalam mengikuti proses belajar mengajar atau cara guru dalam mengajar yang monoton dan membosankan. Agar proses pembelajaran bisa berjalan dengan baik, maka pendidik sebagai penggerak belajar peserta didik dituntut untuk menggunakan dan menguasai berbagai jenis strategi atau metode pembelajaran aktif. Strategi/metode pembelajaran aktif sangat diperlukan karena peserta didik mempunyai cara belajar yang berbeda-beda. Ada yang senang dengan membaca, berdiskusi dan ada juga yang senang dengan cara langsung praktek. Kata Kunci : Strategi Belajar Aktif, Pembelajaran dan Pendidikan Agama Islam PENDAHULUAN Permasalahan pendidikan yang masih dianggap penting untuk dipecahkan oleh bangsa Indonesia, khususnya umat Islam adalah mengenai rendahnya mutu pendidikan, baik pendidikan sekolahan maupun luar sekolahan. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pembelajaran, perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan mutu manajemen sekolah/madrasah, berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidik, termasuk dalam hal ini adalah peningkatan kemampuan pendidik (guru) dalam proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai model dan strategi atau metode pembelajaran, sehingga memungkinkan peserta didik untuk selalu aktif dalam hal belajar. Pendidikan pada hakikatnya adalah ―usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik selalu aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara‖. Unsur manusia yang paling menentukan berhasilnya pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan, yaitu guru. Gurulah ujung tombak pendidikan sebab guru secara langsung berupaya mempengaruhi, membimbing, membina, dan mengembangkan kemampuan siswa agar menjadi manusia yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi. Guru sebagai seorang pendidik dalam proses belajar mengajar menempati posisi strategis dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa. Seorang 147
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, selalu dituntut untuk memikirkan tentang bagaimana cara merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan belajar mengajar yang berdampak pada penanaman pengetahuan, pembentukan sikap, perilaku dan keterampilan siswa. Proses belajar mengajar terjadi manakala ada interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Interaksi tersebut memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif. Dalam hal ini guru memerankan fungsi sebagai pengajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar, sedangkan siswa berperan sebagai pelajar atau individu yang belajar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmadi bahwa ―dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, administrator dan lain-lain‖. Belajar-mengajar sebagai suatu proses memerlukan perencanaan yang seksama dan sistematis agar dapat dilaksanakan secara realistis. Perencanaan tersebut dibuat oleh guru sebelum melaksanakan proses belajar mengajar yang disebut dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan silabus. Demikianlah, dalam melaksanakan proses belajar mengajar diperlukan adanya langkah-langkah yang sistematis sehingga mencapai hasil belajar siswa yang optimal. Langkah yang sistematis dalam proses belajar mengajar merupakan bagian penting dari strategi mengajar, yakni usaha guru dalam mengatur dan menggunakan variabelvariabel pengajaran agar mempengaruhi siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Upaya pengembangan strategi mengajar bertolak dari pengertian mengajar yang diungkapkan oleh Nasution bahwa ―mengajar adalah aktivitas guru dalam mengorganisasikan lingkungan dan mendekatkannya kepada anak didik sehingga terjadi proses belajar”. Sedangkan Tyson dan Carrol berpendapat bahwa ―mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan‖. Cara memberdayakan peserta didik tidak hanya menggunakan strategi atau metode ceramah saja, sebagaimana yang selama ini digunakan oleh para pendidik (guru) dalam proses pembelajaran. Mendidik dengan ceramah berarti memberikan suatu informasi melalui pendengaran, yang hanya bisa dicerna otak siswa 20%. Padahal informasi yang dipelajari siswa bisa saja dari membaca (10%), melihat (30%), melihat dan mendengar (50%), mengatakan (70%), mengatakan dan melakukan (90%). Dalam hal ini sesuai dengan pendapat seorang filosof dari Cina Konfusius bahwa “ Apa yang saya dengar, saya lupa” “Apa yang saya lihat, saya ingat” “Apa yang saya lakukan, saya paham”. Oleh sebab itu, betapapun menariknya materi disampaikan denga ceramah, otak tidak akan lama menyimpan informasi yang diberikan, karena tidak terjadi proses penyimpanan denga baik. Atas dasar pemikiran tersebut maka tidak ada pilihan lain, upaya pengembangan strategi mengajar harus diarahkan kepada keaktifan optimal belajar siswa. Dalam istilah lain, harus mengembangkan strategi pembelajaran aktif yang sekarang terkenal dengan istilah strategi belajar aktif (active learning strategy). Penggunaan strategi belajar aktif (active learning strategy) bagi pendidik adalah sangat membantu atau memudahkan dalam mengajar. Bagi pendidik yang memiliki banyak jam mengajar, dan apabila dalam mengajar hanya berorientasi pada ceramah saja, maka jelas pendidik tersebut akan kehabisan energi karena mengekspose suara lisan melalui ceramah secara terus menerus. 148
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif
KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP ACTIVE LEARNING STRATEGY Strategi belajar aktif (active learning strategy) adalah suatu istilah dalam dunia pendidikan yakni sebagai strategi belajar mengajar yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan untuk mencapaiketerlibatan siswa secara efektif dan efisien dalam belajar. Sebagaimanayang diungkapkan oleh Zaini bahwa ―strategibelajar aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswauntuk belajar secara aktif‖. Adapun menurut Budimansyah yang dimaksud dengan strategi belajar aktif adalah ―bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif mengajukan pertanyaan, mengemukakan gagasan dan mencari data dan informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah‖. Sedangkan Ibrahim mengemukakan bahwa pengertian strategi belajar aktif adalah ―suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memberdayakan peserta didik agar belajar dengan menggunakan berbagai cara/strategi secara aktif‖. Dalam hal ini, proses aktivitas pembelajaran didominasi oleh peserta didik dengan menggunakan otak untuk menemukan konsep dan memecahkan masalah yang sedang dipelajari, disamping itu juga untuk menyiapkan mental dan melatih keterampilan fisiknya. Pembelajaran aktif (activelearning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Memang strategi belajar aktif (active learning strategy) merupakan konsep yang sukar didefinisikan secara tegas, sebab semua cara belajar itu mengandung unsur keaktifan dari peserta didik, meskipun kadar keaktifannya itu berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi belajar aktif (active learning strategy) adalah suatu cara atau strategi belajar mengajar yang menuntut keaktifan dan partisipasi peserta didik seoptimal mungkin sehingga peserta didik mampu mengubah tingkah lakunya secara efektif dan efisien dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip strategi belajar aktif (active learning strategy) adalah tingkah laku yang mendasar bagi siswa yang selalu nampak dan menggambarkan keterlibatannya dalam proses belajar mengajar baik keterlibatan mental, intelektual maupun emosional yang dalam banyak hal dapat diisyaratkan sebagai keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik. Sedangkan dalam penerapan strategi belajar aktif, seorang guru harus mampu membuat pelajaran yang diajarkan itu menantang dan merangsang daya cipta siswa untuk menemukan serta mengesankan bagi siswa. Untuk itu seorang guru harus memperhatikan beberapa prinsip dalam menerapkan strategi belajar aktif (active learning strategy), sebagaimana yang diungkapkan oleh Marsell dan Mandigers sebagaimana dikutip oleh Ahmadi bahwa prinsip-prinsip penerapan strategi belajar aktif (active learning strategy) sebagai berikut: 1. Prinsip Konteks Mengajar dengan memperhatikan prinsip ini, guru dalam penyajian pelajaran hendaknya dapat menciptakan bermacam-macam hubungan dalam kaitan bahan pelajaran. Menghubungkan bahan pelajaran dapat menggunakan bermacammacam sumber, misalnya surat kabar, majalah, buku perpustakaan atau lingkungan 149
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
sekitar. 2. Prinsip Fokus Mengajar dengan memperhatikan prinsip fokus, yaitu guru dalam membahas pokok bahasan tertentu perlu menentukan pokok persoalan yang menjadi pusat pembahasan agar pembelajaran berlangsung secara efektif. 3. Prinsip Urutan Mengajar dengan melaksanakan prinsip urutan adalah materi pengajaran hendaknya disusun secara logis dan sistematis, sehingga mudah dipelajari oleh peserta didik. 4. Prinsip Evaluasi Evaluasi merupakan kegiatan integral dalam mengajar. Kegiatan evaluasi berfungsi mempertinggi efektifitas belajar, menimbulkan dorongan siswa untuk lebih meningkatkan belajarnya dan memungkinkanguru untuk memperbaiki metode mengajarnya. 5. Prinsip Individualisasi Dalam mengajar hendaknya memperhatikan perbedaan antar individu siswa. Siswa sebagai makhluk individu berbeda-beda, baik dari segi mental, misalnya perbedaan intelegensi, bakat, minat dan sebagainya maupun berbeda dalam kecenderungan dalam mata pelajaran tertentu. 6. Prinsip Sosialisasi Dalam mengajar hendaknya guru dapat menciptakan suasana belajar yang menimbulkan sikap saling kerja sama antara siswa dalam mengatasi masalah. Latihan bekerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian siswa/anak. 7. Prinsip Motivasi Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Motivasi memegang peranan penting dalam belajar. Makin kuat motivasi seseorang dalam belajar, maka makin optimal dalam melakukan aktivitas belajar. KOMPONEN-KOMPONEN STRATEGI BELAJAR AKTIF Salah satu karakteristik dari pembelajaran yang menggunakan strategi belajar aktif (active learning strategy) adalah adanya keaktifan siswa dan guru, sehingga terciptanya suasana belajar aktif. Untuk menciptakan suasana belajar aktif tidak lepas dari beberapa komponen yang mendukungnya. Sukandi menyebutkan bahwa komponen-komponen strategi belajar aktif (active learning strategy) dalam proses belajar-mengajar adalah terdiri dari 4 komponen, yaitu: 1. Pengalaman Sukandi mengungkapkan bahwa ―Pengalaman langsung mengaktifkan lebih banyak indra dari pada hanya melalui mendengarkan‖. Sedangkan Zuhairini menyebutkan bahwa ―cara mendapatkan suatu pengalaman adalah dengan mempelajari, mengalami dan melakukan sendiri‖. Melalui membaca, siswa lebih menguasai materi pelajaran yang mereka pelajari dari pada hanya mendengarkan penjelasan dari guru. 2. Interaksi Belajar akan terjadi dan meningkat kualitasnya bila berlangsung dalam suasana diskusi dengan orang lain, berdiskusi, saling bertanya dan mempertanyakan, dan atau saling menjelaskan. Pada saat orang lain mempertanyakan pendapat kita atau 150
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif
apa yang kita kerjakan, maka kita terpacu untuk berpikir menguraikan lebih jelas lagi sehingga kualitas pendapat itu menjadi lebih baik. Diskusi, dialog dan tukar gagasan akan membantu anak mengenal hubunganhubungan baru tentang sesuatu dan membantu memiliki pemahaman yang lebih baik. Anak perlu berbicara secara bebas dan tidak terbayang-bayangi dengan rasa takut sekalipun dengan pernyataan yang menuntut (alasan/argumen). Argumen dapat membantu mengoreksi pendapat asalkan didasarkan pada bukti. 3. Komunikasi Pengungkapan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, merupakan kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Pengungkapan pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri maupun menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. 4. Refleksi Bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan, maka orang itu akan merenungkan kembali (merefleksi) gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Refleksi dapat terjadi akibat adanya interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain terhadap hasil kerja seorang siswa yang berupa pernyataan yang menantang (membuat siswa berpikir) dapat merupakan pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. Agar suasana belajar aktif dapat tercipta secara maksimal, maka diantara beberapa komponen diatas terdapat pendukungnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sukandi antara lain: a. Sikap dan prilaku guru Sesuai dengan pengertian mengajar yaitu menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa, maka sikap dan prilaku guru hendaknya: 1. Terbuka, mau mendengarkan pendapat siswa. 2. Membiasakan siswa untuk mendengarkan bila guru atau siswa lain berbicara. 3. Menghargai perbedaan pendapat. 4. Mentolelir kesalahan siswa dan mendorong untuk memperbaikinya. 5. Memberi umpan balik terhadap hasil kerja siswa. 6. Tidak terlalu cepat untuk membantu siswa. 7. Tidak kikir untuk memuji dan menghargai. 8. Tidak menertawakan pendapat atau hasil karya siswa sekalipun kurang berkualitas, dan yang lebih penting. 9. Mendorong siswa untuk tidak takut salah dan berani menanggung resiko. b. Ruang kelas yang menunjang belajar aktif, yaitu diantaranya: 1. Berisikan banyak sumber belajar, seperti buku dan benda nyata. 2. Berisi banyak alat bantu belajar, seperti media atau alat peraga. 3. Berisi banyak hasil kerja siswa, seperti lukisan laporan percobaan, dan alat hasil percobaan. 4. Letak bangku dan meja diatur sedemikian rupa sehingga siswa leluasa untuk bergerak. Sehingga tidaklah benar adanya pendapat yang menganggap bahwa dalam kegiatan belajar mengajar yang bernuansa belajar aktif hanya siswalah yang aktif, sedangkan gurunya tidak. Keduanya harus aktif tetapi dalam peran masing-masing, 151
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
dimana siswa aktif dalam belajar dan guru aktif dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Bagi guru yang aktif, biasanya sebelum mengajar terlebih dahulu mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang matang dan mediamedia apa saja yang dibutuhkan sehingga pada waktu kegiatan proses belajar mengajar berlangsung guru sudah bisa menerapkannya dengan penuh keyakinan dan siswa juga senang dan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan kegiatankegiatan dalam belajar aktif dapat dijelaskan sebagaimana tabel berikut:
No 1
Tabel: 1 Kegiatan Belajar Mengajar dengan Menggunakan Strategi Belajar Aktif (Active Learning strategy) Komponen KegiatanSiswa Kegiatan Guru 2 3 4
1
Pengalaman
-
2
Interaksi
- Berdiskusi - Mengajukan pertanyaan - Meminta pendapat orang lain - Memberikomentar - Bekerja dalam kelompok
152
Melakukan pengamatan Melakukan percobaan Membaca Melakukan wawancara Membuat sesuatu
- Menciptakan kegiatan yang beragam - Mengamati siswa bekerja dan sesekali mengajukan pertanyaan yang menantang - Mendengarkan dan sesekali mengajukan pertanyaan yang menantang - Mendengarkan dan tidak menertawakan serta memberi kesempatan terlebih dahulu kepada siswa lain untuk menjawabnya - Mendengarkan - Meminta pendapat siswa lainnya - Mendengarkan, sesekali mengajukan pertanyaan yang menantang, memberi kesempatan kepada siswa lain untuk memberi pendapat tentang komerntar tersebut - Berkeliling ke kelompok sesekali duduk bersama kelompok, mendengarkan perbincangan kelompok, dan sesekali memberi komentar atau pertanyaan yang menantang
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif 3
Komunikasi
- Mendemonstrasikan/ mempertunjukkan/ menjelaskan - Berbicara/bercerita/ menceritakan - Melaporkan - Mengemukakan - pendapat/pikiran (lisan/ tulisan) - Memajang hasil karya
- Memperhatikan / memberikomentar/ mempertanyakan - Tidak menertawakan - Membantu agar letak pajangan dalam jangkauan baca siswa
4
Refleksi
- Memikirkan kembali hasil kerja / pikiran sendiri
- Mempertanyakan - Meminta siswa lain untuk memberikan komentar
Kegiatan belajar mengajar di atas menunjukkan adanya feed back (timbal balik) antara guru dengan siswa. BEBERAPA MODEL DAN PROSEDUR PENERAPAN STRATEGI BELAJAR AKTIF DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Berikut ini adalah beberapa metode / strategi pembelajaran aktif yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar (khususnya mata pelajaran pendidikan agama Islam), di antara metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: Pemecahan Masalah (Problem Solving) Strategi pemecahan masalah adalah satu strategi yang mendorong siswa mengawasi langkah-langkah yang mereka gunakan dalam memecahkan satu masalah. Mereka akan ‗menunjukkan dan menjelaskan‘ bagaimana mereka menyelesaikan masalah itu. Dengan menganalisis langkah-langkah yang rinci, guru dapat memperoleh informasi yang berharga tentang kecakapan pemecahan masalah yang dimiliki oleh siswa-siswa. Untuk menjadi pemecah masalah, siswa perlu belajar berbuat dari pada hanya mengoreksi jawaban-jawaban masalah yang ada dalam buku teks. Prosedur Pemecahan masalah (Problem Solving) : a. Pilihlah satu, dua atau tiga masalah di antara masalah-masalah yang telah dipelajari oleh siswa. b. Pecahkan sendiri (guru) masalah-masalah itu dan tulis semua langkah-langkah atau prosedur yang dilalui untuk memecahkan masalah itu. (Catat berapa lama anda menyelesaikan masalah itu). c. Kalau anda mendapatkan masalah memerlukan waktu yang banyak atau terlalu sulit, ganti dengan yang lain. d. Sewaktu anda mendapatkan satu masalah yang bagus yang dapat anda pecahkan dan dokumentasikan kurang dari tigapuluh menit, berikan mereka kepada siswa. (Asumsikan bahwa siswa akan menyelesaikan sekitar satu jam). e. Buatlah perintah atau petunjuk kerja dengan sangat jelas. f. Berikan dan jelaskan evaluasi masalah-masalah kepada siswa. g. Jelaskan kepada mereka bahwa ini bukan tes atau ulangan atau quiz. h. Berikan waktu yang layak kepada siswa untuk mengerjakan tugas ini, i. Setelah siswa mengerjakan tugas, anda mengumpulkannya dan siap untuk 1.
153
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
j.
melakukan koreksi atau evaluasinya dengan criteria yang sudah dibuat. Setelah dikoreksi, anda mengembalikannya kepada siswa.
2.
Belajar Model Jigsaw (Jigsaw Learning) Strategi ini merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebiha strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar sekaligus mengajarkan kepada orang lain. Prosedur Belajar Model Jigsaw (Jigsaw Learning) : a. Pilihlah materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen (bagian). b. Bagi peserta didik menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen yang ada. Jika peserta didik adalah 50, sementara jumlah segmen adalah 5, maka masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang. Jika jumlah ini dianggap terlalu besar, bagi lagi menjadi dua, sehingga setiap kelompok terdiri dari 5 orang, kemudian setelah proses selesai gabungkan kedua kelompok pecahan tersebut. c. Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi pelajaran yang berbeda-beda. d. Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok. e. Kembalikan suasana kelas seperti srmula kemudian tanyakan sekiranya ada persoalan-persoalan yang tidak dipecahkan dalam kelompok. f. Beri peserta didik beberapa pertanyaan untuk mengecek pemahaman mereka terhadap materi. 3.
Resum Kelompok (Group Resume) Biasanya sebuah resume menggambarkan hasil yang telah dicapai oleh individu. Resume ini akan menjadi menarik untuk dilakukan dalam group dengan tujuan membantu peserta didik menjadi lebih akrab atau melakukan team building (kerjasama kelompok) yang anggotanya sudah saling mengenal sebelumnya. Kegiatan ini akan lebih efektif jika resume itu berkaitan dengan materi yang sedang anda ajarkan. Prosedur Resum Kelompok (Group Resume) : a. Bagi peserta didik menjadi beberapa kelompok kecil terdiri dari 3-6 anggota. b. Terangkan kepada peserta didik bahwa kelasmereka itu dipenuhhi oleh individu-individu yang penuh bakat dan pengalaman. c. Sarankan bahwa salah satu cara untuk dapat mengidentifikasi dan menunjukkan kelebihan yang dimiliki kelas adalah dengan membuat resume kelompok. d. Bagikan kepada setiap kelompok kertas plano (kertas buram ukuran Koran) dan spidol untuk menuliskan resume mereka. Resume harus dapat mencakup informasi yang dapat menjual ―kelompok‖ secara keseluruhan. e. Minta masing-masing kelompok untuk mem-presentasikan resume mereka dan catat keseluruhan potensi yang dimiliki oleh keseluruhan kelompok. Untuk memperlancar proses pembelajaran, bagikan garis-garis besar yang dapat diisi oleh masing-masing kelompok. Dari pada masing-masing anggota menuliskan resume sendiri-sendiri, dapat juga salah seorang melakukan interview kepada teman154
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif
teman satu kelompok. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) Dalam pembelajaran terdapat tiga komponen utama yang saling berpengaruh dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kondisi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kondisi pembelajaran pendidikan agama Islam adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran pendidikan agama Islam. Faktor kondisi ini berinteraksi dengan pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam. Kondisi pembelajaran pendidikan agama Islam adalah semua faktor yang mempengaruhi penggunaan metode pengajaran pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, perhatian kita adalah berusaha mengidentifikasi dan mendiskripsikan faktor-faktor yang termasuk kondisi pembelajaran, di antaranya adalah: a. Tujuan dan karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam. b. Kendala dan karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam. c. Karakteristik peserta didik. Tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam adalah pernyataan tentang hasil pembelajaran pendidikan agama Islam atas apa yang diharapkan. Tujuan pembelajaran ini bersifat umum, bisa dalam kontinum umum-khusus dan bisa bersifat khusus. Adapun yang dimaksud dengan kendala adalah keterbatasan sumber-sumber, seperti waktu, media,personalia dan uang. Sedangkan karakteristik bidang studi pendidikan agama Islam adalah aspek-aspek suatu bidang studi yang dapat memberikan landasan pendidikan agama Islam yang berguna sekali dalam mempreskripsikan strategi pembelajaran. Kemudian yang dimaksud dengan karakteristik peserta didik adalah aspekaspek atau kualitas perseorangan peserta didik, seperti bakat, motivasi dan belajar yang dimilikinya. 2. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Metode pembelajaran pendidikan agama Islam adalah segala usaha yang sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam, dengan melalui berbagai aktifitas, baik di dalam maupun di luar kelas dalam lingkungan sekolah. Karena itu, metode pembelajaran pendidikan agama Islam dapat berbedabeda menyesuaikan dengan hasil pembelajaran dan kondisi pembelajaran yang berbeda-beda pula. Metode pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: a. Strategi pengorganisasian, adalah suatu metode untuk mengorganisasi isi bidang studi pendidikan agama Islam yang dipilih untuk pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format dan lainnya yang setingkat dengan itu. b. Strategi penyampaian, adalah metode-metode penyampaian pembelajaran pendidikan agama Islam kepada peserta didik dan/atau untuk menerima serta merespons masukan yang berasal dari peserta didik. Media pembelajaran merupakan bidang kajian utama dari strategi ini. c. Strategi pengelolaan pembelajaran, adalah metode untuk menata interaksi 155
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
antara peserta didik dan variabel metode pembelajaran lainnya, seperti pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran. 3. Hasil Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Hasil pembelajaran pendidikan agama Islam adalah mencakup semua akibat yang dapat dijadikan indicator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajara npendidikan agama Islam dibawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Hasil pembelajaran menurut Uno dapat di klasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu: keefektifan (effectiveness), efisiensi (efficiency), daya tarik (appeal). Keefektifan pembelajaran dapat diukur dengan 4 (empat) aspek sebagai berikut: a. Kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari atau sering disebut dengan ―tingkat kesalahan‖, b. Kecepatan unjuk kerja, c. Tingkat alih belajar, d. Tingkat retensi dari apa yang dipelajari. Efisiensi pembelajaran dapat diukur dengan rasio antara keefektifan dan jumlah waktu yang dipakai peserta didik dan/atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Sedangkan daya tarik pembelajaran dapat diukur dengan mengamati kecenderungan peserta didik untuk tetap belajar. 4. Faktor-Faktor Pendukung Strategi Belajar Aktif PAI Faktor-faktor pendukung penerapan strategi belajar aktif (active learning strategy) dalam pembelajaran pendidikan agama Islam dapat dilihat dari segi guru, sumber/sarana/ fasilitas, dan siswa. Faktor-faktor pendukung pelaksanaan strategi belajar aktif adalah sebagai berikut : Sikap mental guru Para guru hendaknya menyadari tentang perlunya pembaharuan strategi belajar mengajar. Untuk itu para konsertatif diharapkan mengikuti tentang pembaharuan tersebut. Sehingga mempunyai kesiapan mental untuk melaksanakan pendekatan belajar aktif (active learning strategy)sebagai hasil dari adanya pembaharuan pendidikan. Kemampuan guru Para guru hendaknya mempunyai beberapa kemampuan yang dapat menunjang keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Seorang guru dituntut untuk mampu menguasai isi pokok pelajaran pendidikan agama Islam yang akan disampaikan dalam mengajar. Guru harus mampu mengatur siswa dengan baik, mengembangkan metode mengajar yang diterapkan, mengadakan evaluasi dan membimbing siswanya dengan baik. Penyediaan alat peraga / media Dalam kegiatan belajar mengajar maka alat atau media sangat diperlukan agar dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Alat atau media ini harus diupayakan selengkap mungkin agar segala aktivitas mengajar dapat dibantu dengan media tersebut. Sehingga guru tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam penyampaian materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan. Kelengkapan kepustakaan Kepustakaan sebagai kelengkapan dalam menunjang keberhasilan pengajaran, hendaknya diisi dengan berbagai buku yang relevan sebagai upaya untuk pengayaan terhadap pengetahuan dan pengalaman siswa. Semakin siswa banyak 156
Titin Nurhidayati: Penerapan Strategi Belajar Aktif
membaca buku akan semakin pula banyak pengetahuan yang dimiliki sehingga wawasan siswa terhadap materi pelajaran akan semakin bertambah, dan pada akhirnya tujuan pengajaran akan mudah tercapai secara efektif dan efisien. Menyediakan koran di sekolah Agar siswa kaya akan informasi yang menarik, hendaknya sekolah menyediakan koran yang dapat dinikmati atau dibaca siswa dalam menangkap informasiinformasi baru yang sedang berkembang di masyarakat. Sehingga tugas-tugas guru yang diberikan kepada siswa yang menyangkut beberapa problem sekarang akan mudah dipahami dan diselesaikan oleh siswa.
5. Faktor-faktor Penghambat Strategi Belajar Aktif (Active Learning Strategy). Sedangkan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pendekatan belajar aktif (active learning strategy) dalam pembelajaran pendidikan agama Islam dapat disebutkan sebagaimana berikut: Kesulitan dalam menghadapi perbedaan individu peserta didik. Perbedaan individu murid meliputi: intelegensi, watak, dan latar belakang kehidupannya. Dalam satu kelas, terdapat anak yang pandai, sedang, dan anak yang bodoh. Ada pula anak yang nakal, pendiam, pemarah, dan lain sebagainya. Dalam mengatasi hal ini guru sebaiknya tidak terlalu terikat kepada perbedaan individu peserta didik, tetapi guru harus melihat peserta didik dalam kesamaannya secara klasikal, walaupun kedua individu anak pun harus mendapat perhatian. Kesulitan dalam menentukan materi yang cocok dengan peserta didik. Materi yang diberikan kepada peserta didik haruslah disesuaikan dengan kondisi kejiwaan dan jenjang pendidikan mereka, misalkan untuk materi pendidikan agama Islam yang diberikan pada peserta didik di SD janganlah terlalu tinggi, tetapi cukup dengan yang praktis, sehingga mereka dapat langsung menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesulitan dalam memilih metode yang sesuai dengan materi pelajaran. Metode mengajar haruslah disesuaikan dengan materi pelajaran dan juga dengan tingkat kejiwaan peserta didik, sehingga dalam proses belajar mengajar hendaknya digunakan berbagai macam metode agar murid tidak cepat bosan dalam belajar. Kesulitan dalam memperoleh sumber dan alat-alat pembelajaran. Alat-alat dan sumber yang digunakan dalam pembelajaran haruslah disesuaikan dengan materi pelajaran, dan seorang guru haruslah pintar-pintar memilih alat-alat dan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Kesulitan dalam mengadakan evaluasi dan pengaturan waktu. Kadang-kadang kelebihan waktu atau kekurangan waktu dapat menyebabkan kegagalan dalam melaksanakan rencana-rencana yangtelah ditentukan sebelumnya. Hal ini dapat teratasi apabila seorang guru telah berpengalaman dalam mengajar. PENUTUP Dengan mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendekatan belajar aktif (active learning strategy) dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, maka akan sangat membantu atau memudahkan dalam mengajar. Bagi pendidik yang memiliki banyak jam mengajar, dan apabila dalam mengajar hanya berorientasi pada ceramah saja, maka jelas pendidik tersebut akan kehabisan energi karena mengekspose suara lisan melalui ceramah secara terus menerus. 157
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu, dan Prasetyo, Tri Joko. 2005. SBM (Strategi Belajar Mengajar). Bandung: CV Pustaka Setia. Ardiansyah, Asrori. 2005. Komponen Strategi Belajar Aktif. Diambil pada tanggal 20 Maret 2011, dari http://kabar-pendidikan.blogspot.com. Budimansyah, Dasim, et al. 2010. PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan menyenangkan). Bandung: PT Genesindo. Daradjat, Zakiyah. 2004. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. ------------------------------. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemah. Surabaya: Duta Ilmu. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. --------------. 2003. Kurikulum 2004 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian (Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam). Jawa Timur. Fathurrohman, Pupuh, dan Sutikno, Sobry. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Revika Aditama. Ibrahim, Maulana Malik. 2009. Pedoman dan Materi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Malang: UIN. Muzakiyah, Lailatul. 2005. Belajar Aktif. Diambil pada tanggal 20 Maret 2011, dari http://www.scribd.com. Nata, Abuddin. 2004. Metodolagi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sabri, Ahmad. 2005. Strategi Balajar Mengajar dan Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching. Sekretariat Negara RI. 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Setyawan. 2009. Penerapan Active Learning dalam Pembelajaran Akidah di Pondok Pesantren Islam Darusy Syahadah Simo Boyolali Tahun pelajaran 2008/2009. Diambil pada tanggal 15 Maret 2011, dari http://files.eprints.ums.ac.id. Sukandi, Ujang. 2003. Belajar Aktif dan Terpadu: Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Surabaya: Duta Graha Pustaka. Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Uhbiyah, Nur, dan Ahmadi, Abu. 1988. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: CV pustaka Setia. Uno, Hamzah B. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Zaini, Hisyam, dkk,. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Zuhairini, dkk,. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Malang: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.
158
Sarwan: Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
MADRASAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI SARWAN STAIN JEMBER Jl. Jumat 94 Mangli Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Sebagaimana lazim dipahami, pewarisan tradisi intelektual di dalam Islam melalui proses pendidikan madrasah. Namun, setelah priode klasik, baik Timur maupun Barat, cenderung mengabaikan prestasi mereka. Para ilmuan Barat mereguk keuntungan filsafat yang disediakan para ilmuwan Islam. Masyarakat Islam melanjutkan kegiatan masa-masa awal (bangsa Yunani), sehingga kita mengenal kemajuan peradaban itu. Sementara beberapa sejarahwan menyebutkan madrasah dan masjid-masjid yang besar abad ke-11 dan ke-12 sebagai universitas. Kata Kunci: Madrasah, Pendidikan Dan Lembaga Pendidikan Tinggi PENDAHULUAN Pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pendidikan yang berkembang bersamaan dengan proses islamisasi kebudayaan yang terjadi di Nusantara. Ahli sejarah berbeda pendapat di dalam merumuskan kapan masuknya Islam ke Nusantara. Karena pada saat itu jugalah, pendidikan Islam menyertai islamisasi budaya yang ada di nusantara.1 Namun, terlepas dari perdebatan itu, penulis ingin merumuskan tentang madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena pendidikan Islam/madrasah, secara mendasar sangat dibutuhkan kehadirannya oleh umat manusia, khususnya oleh masyarakat Indonesia. Karena pendidikan merupakan penuntun pada orientasi kehidupan yang lebih bermakna. Namun demikian, pendidikan Islam tidak hadir dalam ruang dan situasi kosong, apalagi secara serta merta hadir di hadapan masyarakat dengan bentuk, format dan model yang ada sebagaimana sekarang. Dalam arti yang lain, kehadirannya, melalui pergulatan dan dinamika yang sangat panjang. Tentunya, mulai dari Islam berkembang di Timur Tengah pada abad pertengahan. Yang jelas, utuk melacak lahir atau geneologi dan perkembangan pendidikan Islam, dalam konteks ini madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi, tentu tidak dapat dilepaskan dalam konteks sejarah penyebaran dan perkembangan agama Islam di seluruh pelosok jagat raya. Karena aktualisasi pendidikan Islam secara bersamaan include dengan nilai-nilai syari‘ah, ahlak dan ibadah yang dikembangkan agama Islam.2 1Sebagaian ahli berpendapat, ada yang menyampaikan masuk pada abad 7 Hijriah dan ada pula yang menyampaikan pada abad 14 M. Lihat sebagai bahan acuan Mustafa dan Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), dan Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) Dan lihat dalam Azzumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1998). 2Mencermati madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari penyebaran ajaran tariqoh yang dibawa masuk ke Nusantara oleh para ulama abad
159
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Pendidikan Islam, dari sisi lembaga, kurikulum dan modelnya, di setiap waktu mengalami perkembangan dan perubahan yang selalu dinamis dengan tuntutan zamannya. Kenyataan ini, dapat dibuktikan dengan survivenya lembaga pendidikan Islam yang berbentuk madrasah dan pesantren, dalam konteks hari ini Indonesia. Dalam peta pemikiran filsafat ilmu, abad pertengahan, merupakan abad kegelapan bagi dunia Eropa, namun abad tersebut sebagai abad cerah bagi dunia Islam. Berbagai aktifitas ilmiah berjalan cukup dinamis, mulai dari penerjemahan, diskusi, khalaqah dan lain sebagaianya.3 Satu hal yang perlu dicatat, lahir, tumbuh dan berkembangnya madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa tokoh Islam Nasional, di antaranya KH. M. Hasyim Asy‘ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. A. Wahid Hasyim. Namun sejarah mencatat, KH. A. Wahid Hasyim-lah yang merumuskan madrasah sebagai sebuah institusi formal pendidikan tinggi. Tidak hanya sampai di situ, namun eksistensinya juga diakui oleh Negara. Karena, waktu itu, KH. A. Wahid Hasyim, tercatat sebagai menteri agama RI pertama kali setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Pada masanya pula, pendidikan agama, diwajibkan masuk menjadi mata pelajaran resmi dalam sebuah lembaga pendidikan formal. Kenyataan itu, tercatat sehingga detik ini, yaitu adanya komposisi pelajaran PAI di sekolah-sekolah umum.4
pertengahan. Sebab dari lembaga-lembaga kecil itulah kelahiran madrasah dan perguruan tinggi dapat kita lihat dalam konteks historis ini. Terutama setelah tahun 1912 dan 1926. Karena pada tahun itu lahir sebuah organisasi Islam di Indonesia, yang akan menyuarakan lahirnya perguruan tinggi dari madrasah. Yaitu lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Penting saya ungkapkan dua ormas ini, karena dalam dinamika selanjutnya, dua organisasi social keagamaan terasebut, cukup memberikan warna dalam dinamika social pendidikan tinggi di Indonesia. Lihat Mohamad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. (Yogyakarta: Garasi, 2009). 3Rizal Muntasyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 55-97. Dan lihat sebagai tambahan informasi Stanton, Charles Michael, Haiger Learning in Islam, The Classical Period, A.D., 700-1.300, (Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 1990). ―Gambaran tentang karakteristik pendidikan tinggi Islam ini dimulainya dengan menggambarkan proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak masa Nabi hingga masa kejayaan pendidikan Islam. Bangsa Arab, menurut Stanton, adalah bangsa yang sebagian besar berasal dari bangsa Nomad, terutma sebelum Islam. Mereka mengnggap gurun pasir sebagai tempat untuk pendidikan anak-anak mereka. Kehidupan pengembaraan yang keras mereka lukiskan dengan puisi (sya'ir) yang memberikan kesadaan pada anak-anak merka akan kerasnya perjuangan. Melalui sya'ir inilah nilai-nilai pendidikan mereka transformasikan kepada anak-anak mereka. Ketika Islam mereka terima, maka peran sya'ir digantikan oleh al-Qur'an untuk menentukan panduan dan arah pendidikan bagi anak-anak mereka. Peran alQuran menjadi dasar dan pegangan bagi segalanya, termasuk dalam melakukan dan menentukan sistem pendidikan bagi masayarakat Arab. Merlalui peran al-Qur'an ini pada masa awal para anak-anak dituntut untuk mampu membacanya dan memahami isinya, sehingga pelajaran membaca dan pemahaman mulai diajarkan kepada anakanak mereka. Karena begitu besarnya arti penguasaan al-Qur'an, maka kegiatan pengajarannya memnjadi menyeluruh dan sangat sentral, sehingga tumbuhlah pusat-pusat pengajaran al-Qur'an di mana-mana, utamanya di masjid-masjid. Keberadaan pusat pengajian al-Qur'an di masjid-masijd selanjutnya meluas dan berkembang, baik dari segi materi kajian maupun bentuk atau sistem pembelajarannya. Perluasan dan perkembangan materi kajian meluas pada masalah hadis Rasulullah, fiqh, aqidah, akhlak, dan sebagainya yang menjadi kandungan al-Qur-an dan hadis. Perluasan dan perkembangan sistem pembelajaran itu berkembang dalam bentuk halaqah (kelompokkelompok kajian berdasarkan bidang kajian) dan dalam bentuk kuttab (semacam lembaga pendidikan semi formal dengan sistem tingkat berdasarkan tingkatan kitab yang dipelajari). Di samping itu, karena banyaknya para penuntut ilmu dari berbagai luar daerah, maka masjid menyediakan asrama tempat menginap, sehinga muncullah istilah masjid Khan yang sekaligus dijadikan pula sebagai tempat belajar. Dari masjid khan inilah, selanjutnya tumbuh menjadi madrasah (lembaga pendidikan Islam yang berada di luar masjid/ berdiri sendiri)”. 4Lihat Mohamad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. (Yogyakarta: Garasi, 2009). Lihat Abu Bakar, sejarah hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar. Panitia buku peringatan alh.
160
Sarwan: Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
MADRASAH DAN PERGURUAN TINGGI Kajian kependidikan Islam yang dilakukan oleh Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah dan Sekolah bersifat historis.5 Steenbrink dalam kajiannya mengungkap perkembangan historis lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, yang kemudian diikuti dengan munculnya madrasah dan sekolah, serta dampak kehadiran madrasah dan sekolah terhadap pesantren.6 Jadi, madrasah sebagai cikal bakal berdirinya lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, dimulai pada masa pemerintahan orde lama. Dari pemerintahan yang merdeka itulah lahir pendidikan tinggi Islam, yang dipelopori oleh KH. A. Wahid Hasyim, sebagai menteri agama Republik Indonesia.7 Perkembangan madrasah, berdampak pada kemunculan kelompok fungsional baru dalam lapisan masyarakat Muslim, seperti guru agama modern yang memainkan fungsi-fungsi yang relatif berbeda dengan kelompok fungsional yang dilahirkan lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren. Madrasah adalah hasil perkembangan modern dari pendidikan pesantren yang secara historis, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, lembaga pendidikan Islam berupa perantren telah ada, dan memusatkan kegiatannya untuk mendidik para santri mendalami ilmu agama.8 Ketika pemerintah Belanda memerlukan tenaga terampil untuk membantu administrasi pemerintah jajahan di Indonesia, maka diperkenalkanlah jenis pendidikan yang berorientasi pekerjaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, kebutuhan akan tenaga terdidik dan terampil untuk menangani administrasi pemerintahan sangat mendesak. Untuk itu pemerintah memperluas pndidikan model Barat, yang dikenal dengan sekolah umum, sedangkan umat Islam santri berkeinginan untuk memformat lembaga pendidikan mereka dengan mendirikan madrasah. Perbedaan utama madrasah dengan pesantren menurut Furchan terletak pada sistem pendidikannya.9 Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah KH. A. Wahid Hasyim, Jakarta. Lihat Zamakhsyari Dhofier, KH. A Wahid Hasyim rantai penghubung peradaban pesantren dengan peradaban Indonesia modern. Dalam Prisma, no. 8, 77-81, 1984. 5Karel Steenbriknk, Pesantren, Madrasah dan Sekolah. (LP3ES, Jakarta, 1986). 6Ibid. 7Lihat Zamakhsyari Dhofier, KH. A Wahid Hasyim rantai penghubung peradaban pesantren dengan peradaban Indonesia modern. Dalam Prisma, no. 8, 77-81, 1984, dan Mohamad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. (Yogyakarta: Garasi, 2009). Coba lihat ungkapan KH. A. Wahid Hasyim, dalam pidatonya pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta tahun 1951 yang berjudul ―Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri‖. Dalam pidatonya tersebut, Wahid Hasyim menjelaskan, bahwa pengetahuan tersebut harus bebas dari batasan atau kungkungan keagamaan yang sempit, apalagi kungkungan politik. Lihat Abu Bakar, sejarah hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar. Panitia buku peringatan alh. KH. A. Wahid Hasyim, Jakarta. 8Karel Steenbriknk, Pesantren, Madrasah dan Sekolah. (LP3ES, Jakarta, 1986). 9Arif Furqan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI. (Yogyakarta: Penerbir Gema Media, 2004), 36.
161
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
dalam bentuk pesantren.10 Dengan karaktemya yang khas religius oriented, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama dan ilmu sekuler. Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut, telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren.11 Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Mamba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905, dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909.12 Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink, meliputi tiga hal, yaitu: pertama, usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren. Kedua, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan ketiga, upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat. Para kalangan akademisi Islam, telah melupakan rangsangan yang diberikan Islam dalam mempelajari ilmu pengetahuan khususnya sains. Islam juga gagal menarik kembali warisan kreatif miliknya secara berkelanjutan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Penelitian dalam kedua bidang itu merosot dan hampir pudar, karena pendidikan hampir sepenuhnya terserap oleh isu-isu agama dan hukum. 10Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1982). Dan lihat Sarijo, M. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. (Jakarta: Dharma Bakti, 1980). 11Chabib Thoha, dan A. Muth'i,. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang, 1998). Lihat dan bandingkan Stanton, Charles Michael, Haiger Learning in Islam, The Classical Period, A.D., 700-1.300, Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 1990. Ia menyamakan madrasah sebagai pendidikan Tinggi Islam, walaupun hal ini menjadi polimik di antara berbegai sejarahwan, baik Islam maupun Barat. Menurut Stanton ada beberapa ciri yang memberikan bukti bahwa madrasah adalah sebagai pendidikan tinggi Islam. Pertama, madrasah adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya (halakah dan masjid khan), Kedua, pendidikan di madrasah diajar oleh syeikh (profesor); Ketiga, setelah madrasah tidak ada lagi pendidikan lanjutannya. Madrasah menurut Stanton adalah lembaga pendidikan Islam yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu yang terspesialisasi, utamanya ilmu-ilmu keagamaan. Munculnya madrasah ini diawali oleh gagasan Nizhamul Muluk, seorang penguasa pada masa kekhalifahan Abbasyiyah (masa jaya Islam). Madrasah ini berusaha mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya fikih yang berorientasi pada mazhab Syafi'ie. Setelah munculnya madrasah pertama ini, maka selanjutnya bermunculanlah madrasah-madrasah berikutnya dengan berbagai corak (disiplin kajian, termasuk madrasah kedokteran). Selain madrasah, lembaga pendidikan Islam yang dapat digolongkan sebagai akademik berlangsung juga di berbagai tempat khusus, seperti di perpustakaan, di rumah sakit, di observatorium, dan sebagainya, yang umumnya secara khusus mengkaji bidang-bidang tertentu, sesuai dengan karakteristik kelembagaannya. Dari lembaga-lembaga inilah tradisi akdemik berkembang dengan pesat dan menakjubkan, yang melahirkan ilmuan besar seperti Ibn Sina (Avesena), Ibn Rusyd (Averos), dsb yang kelak tradisi dan ilmu pengetahuannya sangat berpengaruh bagi tumbuhnya tradisi akademik di Erpa dan Barat. 12Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas. (Bandung: Mizan, 1998).
162
Sarwan: Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dalam aneka ragam bentuknya, muncul tidak untuk menyediakan kelanjutan bagi bidang-bidang studi tingkat permulaan, melainkan hanya untuk memenuhi dua kebutuhan penting dalam masyarakat, yaitu menjelaskan al-Qur-an dan untuk menysuaikan prinsip-prinsipnya bagi lingkugan yang berubah. Perguruan tinggi Islam, telah kehilangan misi akademisnya untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan. Lembaga pendidikan juga kehilangan kreativitas intelektual mereka. Pelarangan ilmu-ilmu asing dan penempatan studi humanistik ke dalalm studi keagamaan dan hokum, memiliki dampak yang negatif bagi kelangsungan studi dan kehidupan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam. Keadaan demikian, di samping khususnya berlangsung sejak kemunduran Islam abad ke-13 hingga abad ke-18, juga masih berlangsung pada berbagai pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam hingga saat ini. Lemaga-lembaga pendidikan tinggi Islam tidak berkembang menjadi universitas atau bahkan akademi lanjutan. Hampir seluruhnya tumbuh dan kemudian hilang dalam waktu yang relatif singka. Al-Azhar di Kairo, merupakan satu pengecualian yang menarik, paling tidak dari sisi kontinuitas dalam perjalanan sejarah. Stanton menganggap, bahwa yang disebutnya dengan pendidikan tinggi Islam ialah madrasah. Sebanrnya penyamaan status madrasah ini sebagai pendidikan tinggi patut untuk didiskusikan lebih jauh. Jika penyebutan ini disamakan dengan dengan universitas, sebagai lembaga pendidikan tinggi, yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar, maka pandangan itu agaknya keliru. Lebih jauh lagi, dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih diekenal dengan nama alJami'ah, yang tentunya secara hiastoris dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jami (masjid besar) tempat berkumpul jama'ah, untuk menunaikan shalat Jum'at. AlJami'ah yang muncul paling awal dengan potensi sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis dan Qarawiyyin di Fez.13 Dengan demikian, jika stanton ingin melihat tradisi pendidikan tinggi sebagai universitas pada institusi madrasah, maka wajar jika ia tidak menemukan tradisi pendidikan tinggi, sebagaimana konsep universitas di Barat, sebab madrasah memang bukanlah pendidikan tinggi. Atau apapun statusnya tidak akan mungkin untuk dipersamakan dengan universitas. Sepanjang sejarah Islam, madrasah memang diabdikan terutama untuk mentranmisikan ilmu-ilmu keagamaan, dengan penekanan khusus pada fikih, tafsir dan hadis. Dengan demikian, ilmu-ilmu non-keagamaan, khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal perkembangan madrasah sudah berada dalam posisi marjinal.14 Meskipun juga terdapat madrasah di bidang kedokteran, tetapi hal itu hanya sekedar penamaan saja. Kemajuan sains lebih merupakan hasil dari individu-individu ilmuan Muslim yang didorong semangat scientific inquiry guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran alQur‘an, terutama yang bersifat kauniyah.15 13Azyumardi
Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), (Jakarta, Logos,
1994). 14Ibid. 15Ismai'il
324-325
R. Al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986),.
163
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Jika keberadaan dan fungsi madrasah seperti itu adanya, maka wajar jika Stanton tidak melihat adanya keterkaitan antara madrasah, yang dianggapnya sebagai pendidikan tinggi Islam, dengan perkembangan pendidikan tinggi di Barat. Dan benar bahwa pengaruh tradisi akademik lebih dimotivasi oleh para ilmuan secara perorangan. Sebagaimana dikatakan oleh Stanton, bahwa Islam (Negara Islam) telah gagal meneruskan warisan intelektual pendahulunya. Kegagalan itu utamanya setelah terjadi penghancuran brutal dari Holago Khan, terhadap khazanah pengetahuan Islam di Abad 13-14 M., di samping besarnya pengaruh tradisi pendidikan madrasah yang memarjinalkan ilmu-ilmu non keagamaan, serta perkembangan tarikat-tarikat di dunia Islam.16 Tibanya abad kebangkitan Islam yang dimulai di akhir abad ke-18 ternyata tidak serta merta dapat merubah tradisi intelektual dan pendidikan dunia Islam. Implikasi supremasi ilmu agama menimbulkan dampak yang amat substansial bukan hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga peradaban Islam secara keseluruhan. Secara keilmuan perkembangan semaam ini menciptakan dikotomi dan antagonisasi berbagai cabang ilmu.17 Fazlur Rahman menyatakan berdasarkan penelitian terhadap pendidikan di negara Islam dan negera yang mayoritas Islam, termasuk Indonesia, pendidikan Islam masih gagal dalam membentuk intelektualisme Islam dan terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan.18 Pembaharuan terhadap tradisi intelektualisme dan pendidikan Islam bukannya tidak pernah dilakukan, bahkan sejak awal abad ke 19 berbagai negara Islam telah melakukan pembaharuan pendidikannya. Sebagai contoh di Mesir terdapat tokoh semcam Rifa'ah al-Tahtawi, Muhammad Abduh dalam posisi sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar pernah menggagas pembaharuan Al-Azhar dengan memasukkan mata kuliah matematika, aljabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dalam kurikulum, namun kemudian dibatalkan oleh Salim al-Basyari, Rektor ke-25 al-Azhar,19 Di negara lain, juga dilakukan, seperti Sultan Mahmud II di Turki, di Indonesia bahkan dipelopori oleh banyak tokoh seperti KH. A. Wahid Hasyim. Akan tetapi, semua itu sebagaimana dinyatakan oleh Rahman masih belum mampu menciptakan intelektualisme Islam yang diharapkan. Tampaknya pengaruh dikotomi dan gagalnya penarikan kembali warisan Islam yang telah diwarisi Barat itu berlanjut hingga sekarang, paling tidak hasil pembaharuan yang dilakukan oleh negara-negara Islam masih belum mendatangkan hasil yang memuaskan. PROBLEM MADRASAH Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in,20 antara lain: 16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta, Bulan Bintang, 1985). Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), Jakarta, Logos,
17Azyumardi
1994.
Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: University Chicago, 1982). 19Bayard Dodge, Al- Azhar: A Millenium of Muslim Learning, Washington, D.C., 1961 20Darmuin, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Muth'i. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar
164
18Fazlur
Sarwan: Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. 2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah, karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah. Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan Nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum, berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: 1. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. 2. Tamatan madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Diakui, bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya, tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya. Dualisme pendidikan Islam, juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan pengurus yayasan membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas, sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut, sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum dengan madrasah. MADRASAH ERA MODERN Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern, belakangan semakin Pendidikan Agama Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang, 1998).
165
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan,21 dan disaat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai sapi perah. Madrasah yang memiliki karakteristik khas, tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern, untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi, yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren, sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok pesantren modern Nurul Jadid Paiton Probolinggo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Pondok pesantren Al Hikam I Malang, dan pondok pesantren Al Hikam II, di Jakarta. Telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi. Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini, dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam.22 H. Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, 1970. Dan lihat Jalaluddin dan Said, U, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. (Jakarta: Grafindo Persada, 1996). 21 22
166
Sarwan: Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi
Stanton menjelaskan, bahwa sumbangan yang luar biasa, baik berupa lembaga maupun tokoh, bagi warisan intelektual dalam peradaban dunia telah diberikan oleh Islam. Namun, setelah priode klasik, baik Timur maupun Barat, cenderung mengabaikan prestasi mereka. Para ilmuan Kristen mereguk keuntungan filsat yang disediakan para ilmuwan Islam. Masyarakat Islam melanjutkan kegiatan masa-masa awal (bangsa Yunanai), sehingga kita mengenal kemajuan peradaban itu. Islam mewujudkan dirinya sendiri dalam sebuah buku tradisi untuk membimbing perilaku manusia melalaui prinsip-prinsip keadilan hokum, yang melindungi hak-hak pribadi dan masyarakat. Sementara beberapa sejarahwan menyebutkan madrasah dan masjid-masjid yang besar abad ke-11 dan ke-12 sebagai universitas, lembaga-lembaga itu sebetulnya tidak sebanding dengan universitas abad pertengahan. Pada intinya, masyarakat Islam tidak pernah mengembangkan lembaga universitas yang didasarkan pada masyarakat ilmuwan yang bergabung bersama dalam bentuk formal, yang didekasikan khusus untuk pengajaran dan dunia keilmuan. Meski Barat tidak dapat melihat dengan jelas, bahwa bentuk dan struktur akademik dan universitas di Barat berasal dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam. Tetapi, warisan yang diterima dari Islam jauh lebih penting dari sekedar gudang pengetahuan dan sebuah jembatan yang menghubungkan pendidikan masa kuno dan modern. PENUTUP Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, nyata sekali tidak dapat dipisahkan dari proses Islamisasi kebudayaan atau Islamisasi masayarakat yang dilakukan oleh para ulama dari Timur Tengah. Islam yang dibawa, baik melalui jalur pendidikan, perdagangan, pernikahan dan ajaran tariqoh, ternyata dalam kenyataannya melahirkan system pendidikan Islam bernama madrasah, sebagai lembaga pendidikan yang berbeda dengan pendidikan bentukan penjajah Belanda. Tentunya, lembaga pendidikan pesantrenlah, yang merupakan lembaga pendidikan Islam Indonesia yang melahirkan Madrasah. Dan madrasah merupakan cikal bakal berdirinya perguruan tinggi agama Islam di Indonesia. Sebagaimana dipelopori oleh KH. A. Wahid Hasyim sebagai menteri agama pertama kali di Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, madrasah mengalami pasang surut, namun demikian, madrasah telah melahirkan pusat peradaban pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat membantu umat Islam dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan.
167
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS. Abdullah dan Mustofa. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung. George Makdisi. tth. The Rise of Colleges: Institutions of Learning In Islam and The West, dikaji secara mendalam oleh Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES. ____________________. 1984. KH. A Wahid Hasyim rantai penghubung peradaban pesantren dengan peradaban Indonesia modern. Dalam Prisma, no. 8, 77-81. Jalaluddin dan Said, U. 1996. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan, Jakarta: Grafindo Persada. Nashir, H. 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarijo, M. 1980. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bakti. Sternbrink. K.A. 1986. Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Jakarta: LP3ES. Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. 1998. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang. Muntasyir, Rizal & Munir, Misnal. 2007. Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Al-Faruqi, Ismai'il R. & Lois Lamya al-Faruqi. 1986. The Cultural Atlas of Islam, New York. Azra, Azyumardi. 1995. Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), Jakarta, Logos. ______________. 1998. Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Dodge, Bayard. 1961. Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, Washington, D.C.. Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta, Bulan Bintang. Rahman, Fazlur, 1982. Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago, University Chicago. Stanton, Charles Michael. 1990. Haiger Learning in Islam, The Classical Period, A.D., 7001.300, Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Mustafa dan Abdullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia. Soebahar, Abdul Halim. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. Rifai, Mohamad. 2009. Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Yogyakarta: Garasi. Bakar, Abu. tth. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar. Panitia buku peringatan KH. A. Wahid Hasyim, Jakarta. Furhan, Arief. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI. 2004, Yogyakarta: Penerbir Gema Media.
168
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
KRITIK NALAR ISLAM ARAB (TELAAH NALAR KRITIS EPISTEMOLOGI MOH ABID AlJABIRI) TAUHEDI AS’AD FIP IKIP PGRI Jember Email: tauhidi_az‟
[email protected] ABSTRAK Abid al-Jabiri sebagai pemikir utama dalam mengkaji perkembangan pemikiran Islam Arab yang berkembang di era kontemporer. Abid al-Jabiri dengan mengikuti langkah modernitas yang di bangun untuk mencoba memperkenalkan bangunan nalar epistemologinya pada dunia Barat, ia merupakan tokoh yang banyak mencatat pemikiran wacana lama dengan paradigma gaya baru sehingga orisinalitasnya bisa berdampak seperti yang ia bangun sampai sekarang masih menggema sebagai sebuah wacana pengetahuan. Paradigma tersebut menjadi pilihan yang tidak terelakkan, karena mampu mencakup segala yang berhubungan dengan sumber pengetahuan. Abid al-Jabiri mencoba mendasari keilmuan dengan tiga epistemologi, epistemologi nalar bayani, epistemologi nalar burhani dan epistemologi nalar irfani, yang menjadi nalar epistemologi Islam. Namun di sisi lain, pemikirannya banyak mendapatkan kritikan tajam, karena ada unsur subjektifitas yang ia lakukan, jika ada tokoh yang mendukungnya dari pemikirannya, maka ia catat dan mengalahkan pemikir atau pendapat yang lain. Namun setidaknya Abid al-Jabiri mampu membangun wacana nalar epistemologi dengan trilogi pemikirannya, maka wajar karena bagaimanapun juga al-Jabiri adalah manusia biasa yang mencoba membangun modernitas di dunia Islam tanpa kehilangan ruh Islamnya. Kata kunci: Epistemologi, Nalar Islam Arab, Posisi al-Jabiri PENDAHULUAN Al-Jabiri adalah pemikir Islam kontemporer yang mampu memberikan nuansa nalar kritis terhadap perkembangan tradisi dan modernitas. Persoalan tradisi dan modenitas keduanya saling mempertahankan identitasnya bahkan ideologinya, sehinga perkembangan dunia Islam Arab mengalami ambiguitas. Di dunia Islam sebenarnya kaya tradisi sebagaimana masyarakat Barat dengan kaya modernitas. Sedangkan tradisi adalah sesuatu yang lahir dari masa lalu, baik masa lalu kita atau masa lalu orang lain, masa lalu itu, bisa jauh atau dekat dan ada dalam ruang dan waktu. Tradisi adalah produk sejarah tertentu yang barasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.1 Produk itu, lahir dari peradaban masa lalu yang dominan, sehingga ia menjadi masalah yang diwarisi, sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan.2 Sementara modernitas adalah setiap sesuatu yang hadir dalam kekinian tradisi Barat dan hadir
1Muhammad
Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta:LkiS, 2000), 16. Hanafi, Turats dan Tajdid: Sikap Kita terhadap Turas Klasik, (Yogyakarta: Titipan Ilahi Press, dan Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001), 9. 2Hasan
169
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
menyertai kekinian kita.3 Tradisi dalam pengertiannya yang kontemporer, tidak di kenal oleh masyarakat Arab masa lampau. Kata tradisi di ambil dari bahasa Arab ―turath‖, tetapi dalam alQuran tidak mengenal arti turath dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti warisan harta peninggalan orang sudah meninggal.4 Kata turath dimaknai tradisi muncul belakangan setelah dunia Arab berhadapan secara problematis dengan modernitas. Mereka mulai memikirkan alternatif jawabannya ketika apa yang dipegangi selama ini ternyata tidak mampu menjawab tantangan modernitas. Apakah keduanya, tradisi dan modernitas merupakan pilihan atau bukan, apakah harus melepaskan tradisi pemikiran itu dan mengambil mentah-mentah modernitas, atau justru kembali kepada warisan masa lalu mereka dan meninggalkan modernitas dengan segala perangkatnya. Pembahasan mengenai epistemologi nalar kritis al-Jabiri ini, merupakan terma yang menarik untuk dibahas, karena epistemologi merupakan basis utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Metode, sistem dan model pemahaman yang digunakan sangat menentukan produk dari sebuah pengetahuan. Karena itu, problem rusaknya pemikiran, kerancuan dan keraguan dalam memahami pengetahuan yang dialami oleh manusia umumnya, akibat dari kekeliruan epistemologi. Dalam pemikiran kontemporer sebagian cendekiawan menganggap serius untuk mengkaji epistemologi terhadap khazanah keilmuan Islam. Dengan mengkaji epistemologi maka akan ditemukan akar dan bangunan pemikiran yang dimilikinya. Salah satu tokoh yang serius dalam bidang ini adalah al-Jabiri. seorang pemikir Maroko yang telah menggunakan metode epistemologi sebagai pisau analisisnya dalam mengkaji nalar Arab-Islam. Keseriusannya terlihat dari upaya pembongkarannya terhadap tradisi Arab-Islam. Hasil dari analisis-kritisnya terhadap epistemologi al-Jabiri dengan nalar bayani, burhani dan irfani secara rinci di tuangkan kedalam sebagian besar karyanya Naqd al-„Aql al-„Arabi. BANGUNAN KONSEP NALAR EPISTEMOLOGI ABID AL-JABIRI Konsep tentang nalar bisa dilihat dari istilah dari terjemahan kata Aql. Pengertian sederhana dari nalar (al-Aql) adalah suatu kumpulan aturan-aturan dan hukum berpikir yang diberikan oleh suatu kultur tertentu bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.5 Menurut al-Jabiri, nalar (al-Aql) terbagi dua: pertama, nalar pembentuk (al-Aql al-Mukawwin). Yang pertama ini disebut nalar (al-Aql) murni, suatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut. Kedua, nalar terbentuk (al-Aql al-Mukawwan). Yang kedua ini disebut nalar (al-Aql) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu dimana orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang al- Jabiri di maksud sebagai Nalar Arab. Setelah itu, al-Jabiri memadukan tradisi dan modernitas terhadap sikap yang berbeda.6 3Turas atau tradisi adalah sesuatu peninggalan masa lalu peradaban dominan kita yang sampai pada kita, sedang tajdid atau modernitas adalah masa kekinian peradaban orang lain yang hadir pada kita, baik itu dalam bentuk material maupun mental. Hasan Hanafi, Turath wa al-Tajdid: Maufiquna min al-Turath al-Qadim, (Kairo: Maktabah al-Anjlu al-Mishriah, 1987), 11 4Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam., 3. 5Muhammad Abid al-Jabiri,Takwin Aql al-Arabi, (Beirut: Markazu al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm. 15. 6Muhammad Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 32.
170
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
Menurut definisi yang kedua, pola dan pola laku masyarakat secara individual dibentuk oleh kultur budaya mereka sendiri baik secara sadar mapun tidak sadar. Konsekuensinya, masyarakat secara individual tidak mempunyai kebebasan. Mereka terikat dengan perbuatannya sendiri, karena pada hakikatnya kultur yang ada didalamnya bukanlah hasil kreasi kesadaran mereka melainkan hasil interaksi ketidaksadaran mereka yang kemudian menjadi semacam aturan-aturan dan hukumhukum baku. Manusia secara individual tidak bakal mampu melepaskan diri dari aturan dan hukum tersebut, bahkan kemungkinan besar aturan dan hukum tersebut justru menjadi acuan utama dalam memandang dan memperoduksi ilmu pengetahuan.7 Lalu apa yang dimaksud dengan ―Kritik Nalar Arab‖ al-Jabiri dalam hal ini adalah kritik terhadap pemikiran Arab dalam bentuk kedua. Al-Jabiri membagi kritik nalar menjadi dua bagian: pertama, kritik nalar Arab dalam rangka menjelaskan Formasi Nalar Arab (takwin al-Aqli al-Arabi). Kedua, kritik nalar Arab dalam rangka menjelaskan struktur nalar Arab (Bun-yah al-Aqli al-Arabi).8 Kritik Formasi Nalar Arab diarahkan pada tiga epistemologi: yaitu Nalar Bayani, Nalar Burhani dan Nalar Irfani, sedang kritik struktur Nalar Arab diarahkan pada tiga unsur: Kritik Nalar Epistemologi, Kritik Nalar Politik, dan Kritik Nalar Akhlaq. Yang dimaksud dengan sistem epistemologi adalah sistem epistemologi yang mirip dengan konsep epistemenya Foucalt, dan bukan hanya sekedar aturan prosedural atau protokoler penelitian.9 Menurut Ali Harb, ―Kritik Nalar Arab‖ (Naql al-Aql al-Arabi) al-Jabiri sebagaimana yang tertuang dalam trilogi karyanya yang terkenal, ada lima bagian: pertama dari sisi bahasa kajian dan penulisan: sebagaimana sudah maklum, al-Jabiri mengkaji dan menulis dalam bahasa Arab karena ia seorang guru besar di sebuah universitas Ribat Maroko. Kedua, dari sisi wilayah kecenderungan: al-Jabiri cenderung pada wacana Arab karena memang ia adalah seorang berkebangsaan Arab, dan problem pertama yang dihadapinya adalah bersifat Nasionalisme. Karena itu, gagasannya disebut dengan ―Kritik Nalar Arab‖. Ketiga, dari sisi wilayah kajian: alJabiri menekankan kajiannya pada kebudayaan akademis, yang mencakup berbagai disiplin pemikiran ilmiah. Keempat, dari strategi pengkritikan: al-Jabiri menjauhi wacana tentang wahyu dan kenabian sebagai obyek kritikannya, karena ia berpendapat bahwa kritik ketuhanan (teologi) tidak mendapatkan tempat gaungnya dalam dunia Arab. Kelima, masalah metodologi, al-Jabiri lebih cenderung menggunakan epistemologi dalam melakukan penganalisisan dan kritik.10 Dengan demikian, al-Jabiri membangun dan mengalisis struktur Nalar Arab (bunya al-aql al-Arabi), ia mengembalikan struktur tersebut pada tiga komposisi pembangunan. Pertama, komposisi Arab murni (Mukawwan Arabi Sharf) yang ia sebut dengan rasionalitas agama (al-Ma‟qul al-Din) atau nalar explication/retoris (al-Aql alBayani), yang tergambarkan dalam ilmu-ilmu bahasa dan keagamaan, yang meliputi 7Aksin
Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan., hlm. 71-72. Abid al-Jabiri, takwin al-Aql al-Arabi, Naqdu al-aqli al-Arabi: I, Beirut: dar alThali‘ah, 1984. Lihat juga, Bunya al-Aqli al-Arabi: Dirasah Tahliliyyah Li-Nadzmi al-Ma‟rifah fil al-Tsaqafah al-Arabiyyah, Naqdu al-Aqli al-Arabi: II, Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah. 1986. 9Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. xix. 10Ali Harb, Kritik Nalar al-Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 172-173. 8Muhammad
171
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
ilmu Nahwu, Balagha, Fiqh, dan ilmu Kalam. Kedua, komposisi Yunani-Aristotelian (Mukawwan Yunani Aristoteli) yang ia sebut dengan rasionalitas yang rasional (al-Ma‟qul al-Aql) atau nalar demonstratif-kosmologis (al-Aql al-Burhani al-Kauni) yang terlihat dalam filsafat dan ilmu-ilmunya. Ketiga, komposisi lama (Mukawwan al-Qadim) yang ia sebut dengan irrasionalitas yang rasional (al-La Ma‟qul al-Aql) atau nalar masa depan (al-Aql al-Mustaqbal), ini secara khusus terdapat pengertian dalam pengetahuan Irfani (Gnostik), dan membentuk tradisi lama yang telah diwarisi oleh orang Arab dari berbagai agama dan filsafat kuno, seperti Gnotisisme Yunani (al-Ghunush al-Yunani), Ilmunisasi Persia, atau Tasawuf Hindia.11 1. Nalar Bayani Nalar bayani ini, bisa disebut nalar yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal dan rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam tinjauan keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek esoterik (syariah).12 Paradigma tekstualis atau menurut al-Jabiri disebut dengan paradigma bayani, merupakan suatu cara berpikir dengan berpijak pada nash (teks), baik secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung artinya melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dengan kata lain, paradigma ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah nash (teks). Akal tidak akan dapat memberikan pengetahuan, kecuali akal itu disandarkan pada nash (teks).13 Karena menjadikan nash (teks) sebagai sumber pengetahuan sentral, maka tradisi memahami dan memperjelas maksud teks menjadi sangat menonjol dalam paradigma ini. Tradisi ini biasa disebut dengan tradisi al-Fiqh.14 Mencari pengetahuan dengan cara berpikir spekulatif liberal tidak dikenal dalam epistemologi ini. Perkembangan nalar bayani bisa di lihat dari kata-kata bahasa Arab, bayani artinya penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab yaitu suatu kamus karya Ibnu Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercampuri pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti sebagai memisahkan dan terpisah (al-Fashl wa Infishal) dan jelas dan penjelasan (al-Dhuhur wa al-Idhar). Makna al-Fashl wa Idhar dalam kaitannya dengan metodologi, sedang Infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ra‟yu) dari metode bayani.15 Sementara secara termenologi, bayani mempunyai dua arti, (1) aturan-aturan 11Ali Harb, Kiritk Nalar al-Quran, hlm. 176. Lihat juga al-Jabiri menunjukkan kerangka umum dari berbagai epistemologi dalam pemikiran Arab Islam. Ada tiga kerangka umum yang dikemukakannya, yaitu Deskriptif (Bayani), Demonstratif (Burhan), dan Gnostik (Irfani). Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), hlm. xiv. 12A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177. 13Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi., hlm. 20. 14Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 166. 15Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al Arabi., hlm. 38.
172
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
penafsiran wacana, (2) syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna termenologi ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi.16 Pengertian tentang bayani tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada didalamnya. Pada masa asy-Syafi‘ie (767-820) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan pokok dan yang berkembang hingga ke cabang. Sedang dari segi metodologi, menurut al-Jabiri, asy-Syafi‘ie membagi bayani kedalam lima bagian dan tingkatan. Pertama, perintah yang di jelaskan oleh Allah untuk makhluknya secara tekstual yang tidak membutuhkan ta‘wil atau penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua, perintah yang dijelaskan oleh Allah kepada mahkluknya secara tekstual namun membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan, dan fungsi ini dipenuhi oleh Nabi. Ketiga, perintah yang ditetapkan Allah dengan kitabnya dan perintah ini dijelaskan oleh Nabinya. Keempat, sesuatu yang tidak sebutkan al-Quran, namun dijelaskan oleh Nabi hingga memiliki kekuatan sebagaimana perintah sebelumnya sebab dalam kitabnya Allah memerintahkan agar mentaati Rasulnya. Kelima, Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.17 Paradigma bayani yang cenderung berpegang pada teks zahir berakar pada tradisi sebelum Ibnu Rusyd (Andalusia), dan memuncak pada diri Ibnu Hazm azhZhahiri. Kecenderungan bayani inilah yang dirumuskan oleh Imam Syafi‘ie sebagai pendiri ilmu Ushul Fiqh. Bahkan Asy-Syafi‘ilah sesungguhnya peletak dasar paradigma bayani. Oleh karena itu, sebenarnya kedudukan asy-Syafi‘i pemikiran Arab sama dengan kedudukan Descartes dalam pemikiran Eropa. Sarana yang dipakai dalam paradigma ini adalah kaidah bahasa Arab. Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah teks al-Quran, Haidist, Qiyas dan Ijma. Senada apa yang diyatakan oleh Imam Syafi‘i bahwa yang pokok (ushul) ada tiga, yakni al-Quran, Sunnah, dan Qiyas, kemudian ditambah Ijma.18 Menurut al-Jahizh (w. 868 M) yang datang berikutnya juga mengkritik konsep bayani Imam Syafi‘ie diatas, menurutnya apa yang dilakukan oleh Imam Syafi‘ie baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal menurutnya, inilah yang penting dari proses bayani. Al-Jahish menetapkan syarat bagi bayani. (1). Syarat kefasihan ucapan. (2). Seleksi huruf dan lafadz sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna. (3). Adanya keterbukaan makna, yakni bahwa makna harus diungkap dengan salah satu dari bentuk penjelas, yakni lafadz, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah. (4). Adanya kesesuaian antara kata dan makna, (5). Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengikuti kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.19 Pada perkembangannya, paradigma bayani, menjadi lima bagian. Pertama bahwa secara historis, bayani berkembang dari bawah, sekedar upaya memisahkan kata-kata al-Quran dari pengaruh kata-kata asing dan menjelaskan kata-katanya yang sulit sampai menjadi metode berpikir yang sistematis untuk menggali pengetahuan dan 16A.
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 178 Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2003), hlm. 169. 18Muhammad Abid al-Jabiri, bunya al-Aql al-Arabi., hlm. 23. 19Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Arabi., hlm. 25-30 17Muhammad
173
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
menyampaikan kepada pendengar. Kedua, bahwa sumber pengetahuan bayani, alQuran dan Sunnah tidak senantiasa bersifat pasti tetapi kadang juga samar, bahkan sunnah bersifat pasti dan samar dari segi materi maupun transmisi teksnya. Ketiga, pengetahuan bayani diperoleh lewat dua cara atau tahapan, yang (1), berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji lewat analisa linguistik, (2), berdasarkan metode qiyas atau analogi yang dilihat dari salah satu dari tiga aspek, yaitu hubungan antara ashl, dan far, illat yang ada pada ashl dan far, dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far. Keempat, analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali dari teks melainkan juga dipakai untuk memahami realitas-realitas fisik. Kelima, berdasarkan pada teks, pemikiran bayani menjadi terbatas dan terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah sosial masyarakat yang begitu cepat.20 2. Nalar Burhani Berbeda dengan epistemologi nalar bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman, melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.21 Epistemologi burhani. Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis. Istilah burhani mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, yang digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma‟rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh gaya logika aristoteles. Menurut al-Jabiri logika Aristoteles belum hadir secara utuh dalam kebudayaan Arab Islam kecuali pada 4 abad H. Atau kurang dari 2 abad H, setelah proses penterjemahan dan kodifikasi berlangsung.22 Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula.23 Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‗disadur‘ dari filsafat Aristoteles. Al-Kindi 20A.
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 190-191. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm. 219. 22 Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab., hlm. 367. 23Ibid., hlm. 392. 21A.
174
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
menghadiahkan tulisan ini kepada Khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam alfalsafah al-ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat. Al-Jabiri sebagai tonggak sejarah yang mempertemukan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.24 Maraknya dominasi nalar bayani di dunia Islam Arab, ditambah dengan minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab, metode analitika atau burhani yang diperkenalkan oleh al-Kindi tidak begitu tergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam yaitu kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang, antara lain pertama, penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, kedua, keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, ketiga, pengetahuan Tuhan yang partikular, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.25 Metode burhani ini semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Islam Arab adalah setelah masa al-Razi (865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut alRazi semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia.26 Akallah yang menjadi hakikat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang baik dan buruk, setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan. metode burhani apada akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi (870-950 M). Filosuf paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama, karena pengaruhnya besar dalam peletakan dasar-dasar filsafat Islam setelah Aristoteles, tidak hanya mempergunakan epistemologi burhani dalam filsafatnya, bahkan menempatkannya sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu-ilmu agama, ilmu kalam dan fiqh, yang tidak mempergunakan metode burhani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ketika secara jelas menyatakan bahwa metode burhani untuk kalangan elite terpelajar, metode dialektika untuk kalangan menengah dan metode retorik untuk kalangan awam.27 Model epistemologi burhani yang dimaksudkan al-Jabiri adalah seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd yang secara khusus- menggunakan logika murni Aristoteles yang mengandalkan teori sebab-akibat (causality). Bahkan, Ibnu Rusyd memberikan komentar secara luas dalam memahami karya Aristoteles. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd menurutnya telah menciptakan gelombang pemikiran transformatif dalam menggerakkan roda kemajuan dengan memberikan peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuanantara akal dan wahyu. Memperkuat 24Muhammad
Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi., hlm. 195. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm. 221. 26Ibid, hlm. 221-222. 27Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syariat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 16. 25A.
175
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
argumentasinya, al-Jabiri mengemukakan logika Abu Bakar al-Razi yang dikutipnya melalui buku “al-Tibb al-Ruhani” bahwa Al-Razi memulainya dengan pujian terhadap akal. Al-Razi mengatakan,28 Akal adalah nikmat Allah yang paling besar, paling bermanfaat dan paling baik. Maka jangan sampai kita menurunkan derajat dan martabatnya. Jangan kita menjadikannya sebagai seuatu yang diarahkan padahal ia yang mengarahkan, jangan jadikan ia yang dikendalikan sebab ia yang mengendalikan, jangan jadikan ia yang mengikuti karena ia yang diikuiti. Kita harus mengembalikan persolan-persoalan kita kepadanya, mempertimbangkan dengan mendasarkan kepadanya, bersikukuh, melaksanakan dan melakukan penolakan dengan berdasar arahannya. 3. Nalar Irfani Epistemologi Irfani, pengetahuan ini tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui 6 tahapan. Pertama, fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Kenyataan ini menurut Thabathabi, karena para tokoh sufisme yang dikenal sebagai orang-orang yang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka, meski mengakui bahwa mereka dididik dalam spritualisme oleh rasul atau para sahabat.29 Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-Quran dan Sunnah yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri di neraka. (2). Bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motivasi zuhudnya adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.30 Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali Ri‟ayat Huquq Allah karya hasan Hanafi (642-728 M), yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan, kemudian diikuti Misbah al-Syariah karya Fudla Ibnu Iyadl (w. 803 M). Laku askestis juga berubah, jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Rabiah al-Adawiyah (w. 801 M), zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model perilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.31 Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi pada abad 3-4 hijrah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan. Pembahasan masalah ini, lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intuitif berikut sarana metodenya, tentang Dzat Tuhan dan hubungannya dengan Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al Aql al-Arabi., hlm. 223. Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Arabi., hlm. 435. 30 Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syariat, hlm. 56. 31 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Arabi., hlm. 385. 28 29
176
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
manusia atau hubungan manusia dengannya, yang kemudian disusul perbincangan tentang fana‘, khususnya oleh Yasid al-Bustami (w. 877 M), dan hulul (imanensi Tuhan dalam manusia) oleh al-Hallaj (858-913 M). Dari perbincangan sperti ini kemudian tumbuh pengetahuan irfan, seperti al-Lum‟ah fi al-Tashwuf yang ditulis Abu Nashr Sarraj al-Thusi (w. 988 M) dan Quthb al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki (w. 996 M).32 Keempat fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada periode irfan mengalami puncak dan masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan antara lain, Said Abu Khair (w.1077 M) menulis Ruba‟iyat, Ibnu Ustman al-Hujwiri (w. 1077 M) menulis Kasyf al-Mahjub, dan Abdullah al-Anshari (w. 1088 M) menulis Ihya Ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayan).33 Menurut Nicholson dan TJ de Boer di tangan al-Ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.34 Kelima, fase spekalusi, terjadi pada abad ke-6-7 H. Berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam. Ini memberi peluang bagi tokoh sufis untuk mengembangkan tarikat-tarikat dalam rangka mendidik murid mereka, seperti yang dilakukan A. Rifa‘i (w. 1174 M), abdul al-Qadir al-Jailani (w. 1253 M), Abu al-Syadili (w. 1258 M), Abu Abbas al-Mursi (w. 1287 M), dan Ibnu Atha‘illah al-Iskandari (w. 1309 M), namun bersamaan dengan itu, disisi lain, muncul pula tokoh-tokoh yang berusaha memadukan irfan dengan filsafat, khususnya Neo-Platonisme, seperti yang dilakukan Suhrawardi (w. 1191 M), lewat karyanya yang terkenal, hikmah al-Isyraq, Ibnu Arabi (w. 1240 M), Umar Ibnu Farid (w. 1234 M), dan Ibnu Sab‘in al-Mursi (w. 1270 M). Mereka banyak memiliki teori mendalam tentang jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan lainnya yang sangat bernilai bagi kajian irfan dan filsafat.35 Keenam, fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfani tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Para tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lebih menekankan bentuk ritus danformalisme, yang terkadang mendorong mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri. Para pengikut memang semakin bertambah, tetapi disana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai kedudukan ruhaniyah cukup terhormat seperti pada pendahulunya.36 POSISI DAN TIPOLOGI NALAR KRITIS PEMIKIRAN ABID AL-JABIRI Masalah hubungan tradisi dengan modernitas dipandang sebagai problem di dunia Arab kontemporer, karena di satu sisi mentalitas masyarakat Arab mengacu kepada tradisi masa lalunya, disisi lain, arus modernitas tidak bisa di bendung lagi bahkan justru menjadi kebutuhan sehari-hari bagi kehidupan masyarakat Arab. Karena kuatnya pengaruh tradisi, modernitas yang sebenarnya tidak bisa ditolak
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Arabi., hlm. 433-436. Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syariat, hlm. 56-67. 34 Osman Baker, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 108. 35A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm. 201-202. 36A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm. 203. 32 33
177
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
kehadirannya, maka dipersoalkan oleh sebagian kalangan.37 Upaya memperbaiki merosotnya masyarakat Islam Arab yang bersentuhan dengan tradisi dan modernitas, yang dalam hal ini didominasi oleh orang Islam. Sedang masyarakat yang pernah meraih kejayaan pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya, sehingga melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi. Setidaknya terdapat tiga kelompok yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas.38 Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada alQuran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb. Pola pemikiran reformatif dimotori oleh Rifa‘at Tahtawi dan al-Tunisi serta memuncak pada muhammad Abduh, tetapi murid-muridnya Muhammad Abduh pecah menjadi dua kelompok, kanan dan kiri. Sedangkan kelompok kanan diwakili oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Hasan al-Banna hingga Sayyid Quthb, sementara kelompok kiri diwakili oleh Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali AbdurRaziq, Muhammad Imamarah (di era awal) dan Hasan Hanafi. Dari kelompok kiri pun masih terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok rekonstruktif yang diwakili Hasan Hanafi, dan kelompok dekonstruktif yang diwakali Muhammad Arkoun, dan Muhammad Abid al-Jabiri, yang secara akademis datang dari daerah Maghribi.39 Dengan tipologi pemikiran diatas, al-Jabiri dimasukkan kedalam pemikir Muslim kontemporer yang beraliran reformatif-dekonstruktif, bagaimana corak tipologi pemikiran al-Jabiri?. Al-Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah selatannya Maroko, pada tanggal 27 Desember 1935. Dia menempuh pendidikan filsafat di Universitas Damaskus, Siria selama setahun pada tahun 1958. Kemudian melanjutkan Pendidikan Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat pada tahun 1967, dan meraih Gelar Master dengan tesis tentang ―Filsafat sejarah Ibnu Khaldun‖, Filsafatut Tarikh inda Ibnu Khaldun. Sedang Doktor di bidang Filsafatnya diperoleh di fakultas Sastra Universitas Muhammad V pada tahun 1970, dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibnu Khaldun, terutama pembahasan yang sangat terkenal, takni fanatisme Arab, al-Ashabiyyah wad Dawlah: Ma‟alim Nadzariyyah Khalduniyyah fit-Tarikhil Islami. Al-Jabiri mengusai tiga bahasa 37Issa
hlm. 4.
J. Boullota, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2002),
Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 114-115 39Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam: Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: alGhazali, Ibnu Rusyd, Thaha Husein, Muhammad Abid al-Jabiri, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), hlm. 183.
178
38Aksin
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
yaitu Arab (bahasa ibu), perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca).40 Al-Jabiri dalam catatan sejarahnya termasuk seorang aktivis politik ber-ideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP) yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota Biro Politik USFP. Selain pernah aktif di dunia politik, al-Jabiri juga sebagai Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra Muhammad V, di Rabat sejak tahun 1967. Pemikir Arab kontemporer asal Maroko yang memperoyeksikan pemikiran Arab ini atau yang dikenal dengan Kritik Nalar Arab dapat dikatakan sebagai pemikir yang merancang gagasannya secara sistematis, mulai dari: Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al-Arabi),41 dan (Bun-yah alAql al-Arabi),42 Kritik Nalar Politik Arab (al-Aql al-Siyasi al-Arabi),43 Kedua karya al-Jabiri Takwin al-Aql Arabi dan Bun-yah al-Aql Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Li Nudzumi al-Ma‟rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah, menurut Amin Abdullah sangat representatif untuk melihat struktur fundamental kefilsafatan ilmu kajian-kajian keislaman dalam dataran humanities, sedangkan ketiganya, al-Aql al-Siyasi al-Arabi, merupakan pengejewantahan dari konsep-konsep dan paradigma humanities dalam pemikiran keislaman dalam wilayah kehidupan sosial-politik yang konkrit dalam masyarakat Muslim. Dengan begitu ketiga karya al-Jabiri tersebut lebih terkait dengan operasionalisasi atau social aplication dari konsep-konsep humanities dalam pemikiran keislaman.44 KESIMPULAN Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Jabiri menghendaki pengkajian keilmuan Arab-Islam yaitu semata bersandar pada supremasi rasio dan empiris. Model seperti yang ditawarkan al-Jabiri tersebut mengandung masalah mendasar. Pertama, superioritas al-Jabiri terhadap epistemologi burhani dengan membuang sistem epistemologi yang lainnya yaitu bayani dan irfani sebenarnya dapat merusak bangunan pemikiran Islam. Karena pada prinsipnya, sistem epistemologi Islam tidaklah terpisah. Ketiganya saling integral, berkaitan satu sama lain. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar ulama muslim, misalnya Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina yang memadukan ketiga epsitemologi tersebut (bayani, irfani dan burhani) dalam mengembangkan keilmuan. Kedua, jika berpijak hanya pada burhani, maka epistemologi Islam tidak bedanya dengan model Barat yang mendewakan akal, dan wahyu diposisikan sebagai objek mainan akal yang bebas di ekspresikan sebagaimana yang telah disebutkan bahwa meskipun al-Jabiri menawarkan epistemologi burhani model Ibnu Rusyd. Akal di satu sisi memang menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran. Namun disisi lain, jika ia tidak diimbangi dengan dimensi 40Aksin
Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam., hlm. 183. Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, cet, ke-4, (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi alArabi Li al-Thaba‘ah wa al- Nasr wa al-Tawzi, 1991). 42Muhammad Abid al-Jabiri, Bun-yah al-Aql al-Arabi, Dirasat Tahliliyah Naqdiyah Li Nazmi alMa‟rifah Fi al-Thaqafah al-Arabiyah, Cet, ke-3, (Libanon Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990). 43Muhammad Abid al-Jabiri, al-Aql Siyasi al-Arabi: Muhaddadatuhu wa Tajliyatuhu, cet, ke-2, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). 44M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 201-202. 41Muhammad
179
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
spiritual dan mengacu pada teks sebagai rujukan asal, maka keobjektifan sebuah pemikiran akan pincang. Karena keilmuan Islam bersifat Tauhidi, maka sistem apapun yang dibangun dalam keilmuan harus juga mencirikan kesatuan. Sesungguhnya disini letak perbedaan mendasar worldview Islam yang tauhidi dengan worldview barat yang dikotomis. Maka jika kita menganalisa Al-Jabiri dalam mengadopsi metodologi Barat jelas terlihat, sebagaimana metodologi-metodologi yang digunakannya banyak meminjam dari metode mazhab-mazhab filsafat Perancis, dalam usahanya mendekonstruski epistemologi Arab Islam.
180
Tauhedi As‘ad: Kritik Nalar Arab
DAFTAR PUSTAKA Ali Harb, Kritik Nalar al-Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2003). A.
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004). ____________, Nalar Kritis Epistemologi Islam: Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Thaha Husein, Muhammad Abid al-Jabiri, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012). Hasan Hanafi, Turath wa al-Tajdid: Maufiquna min al-Turath al-Qadim, (Kairo: Maktabah al-Anjlu al-Mishriah, 1987). ____________, Turats dan Tajdid: Sikap Kita terhadap Turas Klasik, (Yogyakarta: Titipan Ilahi Press, dan Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001). Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syariat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Issa J. Boullota, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2002). M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Muhammad Abid al-Jabiri, Bun-yah al-Aql al-Arabi, Dirasat Tahliliyah Naqdiyah Li Nazmi al-Ma‟rifah Fi al-Thaqafah al-Arabiyah, Cet, ke-3, (Libanon Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990). ______________________, al-Aql Siyasi al-Arabi: Muhaddadatuhu wa Tajliyatuhu, cet, ke-2, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). ______________________, Takwin al-Aql al-Arabi, cet, ke-4, (Beirut: al-Markaz alThaqafi al-Arabi Li al-Thaba‘ah wa al- Nasr wa al-Tawzi, 1991). Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001). ____________________, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2003). ____________________, Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003). _____________________, Tragedi Intelektual perselingkuhan politik dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003). ___________________, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2000). Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Osman Baker, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997).
181
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
182
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
MENGUAK PEMIKIRAN JASSER AUDA TENTANG FILSAFAT HUKUM ISLAM NUR SOLIKIN STAIN JEMBER Jl. Jumat 94 Mangli Jember Email :
[email protected] ABSTRAK Pemikiran Jasser Auda berupaya untuk mendekati hukum Islam dalam berbagai dimensi, yang kemudian disebut dengan pendekatan multi disiplin. Pendekatan multi disiplin itu meliputi aspek metododologi yang telah mapan dirumuskan oleh ulama masa lalu, seperti ushul fiqh, ilmu tafsir, dll. Selain itu pendekatan lapangan filsafat dan teori sistem menjadi pendekatan yang paling signifikan dalam menetapkan dinamik hukum Islam. Pendekatan multidisiplin inilah yang kemudian dikenal dengan pendekatan maqashid yang dirumuskan Jasser Auda yaitu suatu pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik (kulliyun) dan tidak membatasi pada teks ataupun hukum parsialnya saja. Namun lebih mengacu pada prinsipprinsip tujuan universal. Pendekatan dengan menggu-nakan pemahaman maqashid bernilai tinggi dan dapat mengatasi berbagai perbedaan, seperti gap antara Sunni dan Shi‟ah, ataupun gap politik umat Islam. Maqashid merupakan sebuah budaya yang sangat diperlukan untuk konsiliasi umat, sehingga mampu hidup berdampingan secara damai.Maqashid hendaknya dijadikan sebagai tujuan pokok dari semua dasar metodologi linguistik dan rasional dalam ijtihad, terlepas dari berbagai varian metode dan pendekatannya. Karena, merealisasikan maqashid yang dijadikan sebagai sistem, pendekatannya akan dapat menggapai keterbukaan, pembaharuan, realistis, dan fleksibel dalam sistem hukum Islam. Dengan demikian proses ijtihad akan menjadi efektif dan realistis sesuai dengan maqashid Shari‟ah, yang intinya meraih kemaslahatan (jalnul masalih). Kata Kunci: Jasser Auda, Filsafat Hukum Islam Dan Maqasid Syari‘ah PENDAHULUAN Shari‘ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Shari‘ah merupakan keseluruhan dari keadilan, kedamaian, kebijakan, dan kebaikan. Jadi setiap aturan yang mengatasnamakan keadilan dengan ketidakadilan, kedamaian dengan pertengkaran, kebaikan dengan keburukan, kebijakan dengan kebohongan, adalah aturan yang tidak mengikuti shari‘ah, meskipun hal itu diklaim sebagai sebuah interpretasi yang benar. Perlu diketahui bahwa umat Islam jumlahnya hampir seperempat penduduk dunia, yang terbentang mulai dari Afika Utara sampai Asia Timur. Demikian juga banyak muslim minoritas yang tersebar di wilayah Eropa dan Amerika. Akan tetapi jika dilihat dari ukuran tingkat kemajuan (Human Development Indek, HDI) umat Islam tergolong rendah. Apalagi faktor-faktor HDI yang menjadi ukuran adalah tingkat melek huruf, pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, keberdayaan perempuan, yang menunjukkan masih di bawah standar minimal. Jaseed Auda percaya bahwa Hukum Islam dapat membawa peningkatan produktifitas, perilaku humanis, spiritualitas, kebersihan, persatuan, persaudaraan, dan demokrasi masyarakat yang tinggi. Akan tetapi, dalam perjalanannya ke berbagai negara timbul pertanyaan besar, 183
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
―Dimana hukum Islam?, Bagaimana hukum Islam dapat berperan dalam kondisi yang krisis ini? Dimanakah letak kesalahan dengan hukum Islam? Jaseed Auda berusaha melalui risetnya untuk menunjukkan bahwa hukum Islam mampu memberikan jawaban atas krisis tersebut dengan pendekatan multi disiplin yang terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang relevan dari berbagai bidang, yaitu disiplin umum tentang hukum Islam, filsafat, dan teori sistem. Disiplin Hukum Islam dimaksud termasuk Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Hadis, dan Ilmu Tafsir. Sedangkan disiplin filsafat termasuk lapangan logika, filsafat hukum, dan teori pos-modern. Adapun disiplin teori sistem merupakan disiplin baru yang independen yang mencakup sejumlah sub-disiplin, antara teori sistem dan analisis sistemik. Sistem teori merupakan filsafat lain yang anti-modernisme dan mengkritik teori modernisme. Termasuk teori sistem di dalamnya adalah konsep tentang kesatuan (wholeness), multidimensional, terbuka, dan mengarah pada tujuan tertentu (purposefulness). Jasser Auda mempersembahkan penelitian multi disiplin yang bertujuan untuk mengembangkan teori dasar hukum Islam melalui pendekatan sistem. Terapan sekarang yang tidak tepat dari hukum Islam adalah reduksi terhadap universalitas, satu dimensi dari multidimensi, dua nilai dari banyak nilai, dekonstruksi terhadap rekontruksi, dan kausalitas daripada teleologi. Terdapat kehilangan pertimbangan dan fungsi hukum Islam dari tujuan dan prinsip-prinsipnya sebagai sebuah universalitas. Dan hilangnya nilai spiritualitas, tidak adanya toleransi, ideologi kekerasan, pemberangusan kebebasan, dan regim yang otoriter. Teori yang dihasilkan dari riset ini adalah validasi beberapa metodologi ijtihad yang selama ini telah disepakati sebagai realisasi dari maqasid al-shari‟ah. Secara praktis akan menghasilkan aturan-aturan Islam yang kondusif terhadap nilai-nilai keadilan, perilaku moral, keluhuran budi (magnanimity), kehidupan bersama, dan berkembangnya humanitas, yang merupakan makna dari maqasid al-shari‟ah. Jasser Auda diharapkan mampu mengikuti jejak al-Shatibi, meskipun ia juga mengkritiknya. Al-Shatibi sebagai ‗ulama klasik, tetapi memiliki pandangan yang modern memiliki kelebihan dibanding dengan ulama-ulama lain. Ibn Ashur berpendapat bahwa konsep-konsep tentang masalah ibadahnya al-Shatibi lebih sempurna dibanding dengan ‗ulama-‗ulama lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan efektifitas fatwa-fatwa as-Shatibi ketika dia hidup di zaman perubahan di wilayah Granada, wilayah yang terdiri dari komunitas yang beragam. Bahkan fatwa-fatwanya telah memberikan dampak perubahan sosial, dari 40 kasus, 34 diantaranya telah efektif berimplikasi pada perubahan sosial. Diantara jumlah kasus yang berimplikasi pada perubahan sosial adalah problem teologi 2, keluarga 3, perpajakan 3, ibadah 11, harta kekayaan 4, kontrak dan perdagangan 11. Hanya ada dua kasus yaitu masalah penafsiran dan prosedur peradilan yang tidak memiliki dampak perubahan sosial.1 KECENDERUNGAN TERAKHIR HUKUM ISLAM Terdapat dua dimensi antara klasifikasi yang menggambarkan kecenderungan sumber hukum Islam dengan kecenderungan tingkatan otoritas hujjiyyah. Dengan kata lain ayat-ayat al-Qur‘an, sunnah, fatwa para fuqaha, tujuan tertinggi (maqasid/maslahah) rasionalitas, dan nilai-nilai modern, memberikan otoritas yang dibawa dari level hujjah sampai kritik radikal (butlan), termasuk berbagai tingkatan 1Muhammad Khalid Masud, Shatibi‟s Philosophy of Islamic Law, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000), 101.
184
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
penafsiran dan kritik. Dalam dua ruang dimensi tersebut, Jasser Auda mengkategorikan pada tiga ragam kecenderungan teori hukum Islam kontemporer, yaitu Tradisionalisme, Modernisme, dan Post-modernisme. 1) Tradisionalis Jasser Auda membagi kelompok Tradisionalis ke dalam beberapa kategori, yaitu Skolastik Tradisonalis, skolastik neo-tradisionalis, Neo-literalis, dan orientasi teori idiologis. a) Skolastik Tradisonalis Kelompok yang dikategorikan ini adalah ulama-ulama yang mengikuti pandangan ‗ulama‘ klasik, termasuk Shafi‘i, Maliki, Hanafi, Hanbali, Shiah, atau Ibadiyah sebagai pemegang otoritas pemakna teks al-Qur‘an maupun hadits. Seluruh penyelesaian problem selalu dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad mazhab ini. Kelompok ini melakukan ijtihad, jika problem yang terjadi tidak ditemukan dalam pandangan para imam mazhab ini. Dalam hal ini, Ijtihad dilakukan melalui metode qiyas yang dirujukkan kepada hasil-hasil ijtihad sebelumnya. 2 Salah satu contoh adalah tentang proses penetapan hukum tentang kepemimpinan Perempuan dalam Hukum Islam yang disampaikan oleh Imam Universitas Islam Saud di Riyad. Proses keputusan hukum dimulai dari penafsiran Mazhab Hanbali, khususnya pendapat Ibn Taymiyah, tentang hadits Bukhary yang menyatakan; ―tidak akan bahagia suatu kaum jika dipimpin seorang perempuan‖. Proses penetapan dilakukan tanpa banyak memberikan penjelasan tentang penafsiran Mazhab Hanbali, karena apa yang disampaikan lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik. Sehingga penetapan lebih diarahkan pada wilayah yang diperbolehkan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, yaitu wilayah-wilayah pendidikan tertentu dan kesehatan perempuan, atau perempuan menjadi imam shalat bagi sesama jenis. Sedangkan pada wilayah sosial yang lain, seperti hukum, politik, peradilan, media, ekonomi, militer, dan pendidikan pada umumnya, perempuan tidak diperkenankan untuk memimpin.3 b) Skolastik neo-tradisionalis Menurut Jasser Auda kelompok Neo-Tradisonalis lebih terbuka dibanding dengan kelompok Tradisionalis, hanya saja masih terpaku pada mazhab yang dianutnya. Mereka menerima berbagai mazhab, khususnya mazhab empat (Maliki, Shafi‘i, Hanafi, dan Hanbali). Akan tetapi pada pilihan pendapat mereka lebih memilih pada pendapat yang mayoritas (jumhur) disepakati oleh para Imam mazhab.4 c) Neo-Literalis Neo-literalis merupakan sebagian aliran dari kelompok tradisionlis yang disebut dengan aliran Zahiriyah. Meskipun demikian fenomena ini tidak saja terjadi pada kelompok Sunni, pada kelompok Shiah juga demikian. Neo literalis kontemporer lebih menggantungkan pada koleksi-koleksi hadits dari satu ulama, seperti versi Wahabi dari ulama Hanbali, atau pada Shiah, hadits-hadits koleksi shiah. Ulama‘ulama literalis lama mendukung metode istishab sebagai kaidah usul yang menjadi komponen dasar maqasid. Akan tetapi, Neo-letralis menolak maqasid sebagai ligitasi hukum. Realitas sekarang menunjukkan bahwa neo-literalis radikal mengkritik teori 2Ibid.,
162 163. 4Ibid., 164. 3Ibid.,
185
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
maqasid yang dianggap sebagai ide sekuler yang menyamar.5 Blocking the means (sadd al-Dhara‟i) pada tema yang sering diulang-ulang pada pendekatan neo-literalis sekarang ini adalah kepentingan otoritas penguasa, khususnya yang terkait pada hukum tentang perempuan. Seperti perempuan dilarang mengemudikan mobil, bepergian sendiri, bekerja pada stasion radio dan televisi, menjadi wakil rakyat, bahkan berjalan di perjalanan. 6 d) Orientasi Teori Ideologis Sebuah aliran tradisionalis yang overlap dengan posmodernis dalam mengkritisi rasionalitas modern dan nilai-nilai bias Eropa sentris yang kontradiktif. Fazlur Rahman mengkategorikan aliran ini sebagai ‗Fundamentalis Postmodern‘. Mereka memiliki proyek perlawanan kepada Barat dan khususnya demokrasi dan sistemnya. Argumen utama aliran ini adalah bahwa pemerintah, perundang-undangan, dan kekuasaan pemerintah adalah hak Tuhan secara mutlak, dan tidak diberikan kepada manusia sebagai kontrak atau hak. 2) Islam Modernis Istilah Aliran Islam Modern atau Islam Modernitas, akhir-akhir ini telah digunakan oleh beberapa sarja. Charles Kurzman menggunakannya untuk mengidentifikasi gerakan yang mencari rekonsiliasi antara kepercayaan Islam dengan nilai-nilai kemoderenan. Seperti kelompok kebangkitan kembali budaya, nasionalisme, penafsiran kebebasan beragama, pengkajian sains, pola pendidikan modern, hak-hak kaum perempuan, dan seberkas teman-tema lain. Ibrahim Moosa menggunakan terma ini untuk memberi identitas bagi sekelompok sarjana muslim yang sangat dikesankan oleh idealitas dan realitas modern. Demikian pula sangat percaya bahwa pemikiran muslim, sebagaimana hal itu diimpikan sebagai ingkarnasi abad pertengahan, cukup fleksibel mampu membantu perkembangan inovasi dan adaptasi untuk meningkatkan taraf umat Islam sesuai dengan waktu dan keadaan. Ziauddin Sardar menggunakan term ini untuk mengkategorikan kelompok reformasi di abad 21 yang melakukan ijtihad secara serius untuk memoderenkan Islam dalam termonologi model pemikiran barat dan organisasi sosialnya, khususnya untuk kepentingan maslahat. 7 Dua kunci utama kontributor Aliran Islam modern adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal. Dua sarjana ini dari dua wilayah geografi dua Islam yang diintegrasikan oleh keislaman dan pendidikan barat mereka yang memberikan inspirasi bagi proposalnya pemikirannya pada reformasi Islam. Jasser Auda mengaktegorikan aliran modernis pada terma teori, tidak pada para ulama‘nya. Ia lebih fokus pada diskusi tentang pendekatan Islam modernis dari sejumlah aliran yaitu reformasi penafsiran baru (reformamist re-interpretation), Penafsiran apologetik (apologetic re-interpretation), orientasi teori pada maslahah (maslahah-oriented theories), dan perubahan usul fiqh (usul revisionism) a) Reformamist Re-Interpretation Jasser Auda memberikan julukan bagi sebuah pendekatan tafsir yang populer disebut dengan madrasah al-tafsir al-mawdu‟i (sekolah tafsir tematik), madrasah al-tafsi ralmihwari (sekolah tafsir kontekstual) yang ekspresikan oleh Fazlur Rahman secara 5Ibid.,
166. 167. 7Ibid., 168-169 6Ibid.,
186
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
sistematik. Kontributor awal adalah Abduh, Al-Tabtabai, Ibn Ashur, dan al-Sadr. Metode ini melalui pembacaan al-Qur‘an secara menyeluruh untuk mencari tema-tema umum pada keseluruhan, bagian-bagian, dan kelompok-kelompok ayat. Penafsiran model tradisional mengambil seluruh perhatian mereka pada penjelasan dari satu kata atau satu ayat, tetapi jarang mereka perhatian pada sekelompok ayat dan konteks tertentu. Abduh dan Ibn Ashur menekankan pada penafsiran tema-tema penting untuk mengintrodusir tafsir pada beberapa ayat, untuk dihubungkan antara ceritacerita al-Qura‘an dengan dan bagian-bagian yang terkait. Di sisi yang lain kemudian Ayatollah al-Sadr memberikan sebuah seri kuliah di Najjaf Iraq, dengan sebuah metodologi penafsiran tematik dan penerapannya tentang bagaimana al-Qur‘an mempresentasikan sebuah sejarah dan masyarakat ideal. Kemudian Muhammad al-Ghazali, Hasan al-Turabi, Fazlur Raham, Abdullah Draz, Sayyit Qutb, Fathi Osman, dan al-Tijani Hamed mendukung penafsiran baru berdasarkan atas metodologi baru. 8 b) Apologetic Re-interpretation Perbedaan antara reformamist re-interpretation dengan apologetic re-interpretation adalah bahwa reformamist re-interpretation menyuguhkan tafsir untuk menciptakan perubahan praktek realitas kehidupan melalui hukum Islam, sedangkan apologetic re-interpretation memberikan justifikasi pada kepastian status quo tentang Islam atau non Islam. Sebagai contoh tema tentang Islam dan politik setelah Ali Abdel Razeq, yang oleh Jasser Auda diklasifikasikan sebagai apologetic adalah Mahmoud Muhamed Taha yang mendukung ide ‗sosialisme Islam‘, melalui tafsir tentang peran Muhammad yang tidak memiliki kekuasaan (QS, 88:22), selanjutnya ia menafsirkan konsep shura dan zakah, sebagai langkah awal menuju ‗masyarakat sosialis‘. Sadek Sulaiman menyimpulkan dari ayat shura ini, bahwa shura dan demokrasi adalah sinonim, memiliki makna yang sama dalam konsep maupun prinsip. Muhammad Khalaf-Allah menafsirkan ayat shura ini bahwa implementasi propetik adalah sebuah otoritas dari konsep ‗mayoritas masyarakat‘. Abdulaziz Sachedina menjelaskan bahwa konsep masyarakat Islam, pluralisme dan demokrasi dalam al-Qur‘an dan masyarakat sipil di Madinah pada masa awal Islam merupakan tatanan yang meligitimasikan konsep ―masyarakat sekuler modern yang ideal‖ dalam kultur politik muslim. 9 Meskipun penafsiran di atas menggunakan kebahasaan semata dan memberikan kelenturan secara alami bagi bahasa Arab, akan tetapi penafsiran tersebut tidak memberikan penjelasan secara khusus bahwa al-Qur‘an mendukung sistem politik tertentu. Rachid Ghannouchi lebih berhati-hati dibanding dengan modernis yang lain ketika ia mendukung konsep demokrasi, bahwa prinsip-prinsip demokrasi tidak dilandaskan pada penafsiran ayat, tetapi lebih pada ―hakekat hukum Tuhan bisa diterapkan pada tatanan yang mapan‖. Senada dengan Rachid Ghannuchi, Muhammad Khatami presiden kelima Iran, berargumentasi bahwa demokrasi merupakan pilihan yang lebih baik daripada konsep diktator atau monarkhi, karena memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan Islam.10 Jasser Auda mengkritik bahwa para apologetic modernis ini hanya lebih mementingkan makna-makna harfiyah yang terkait dengan term demokrasi dan prinsip-prinsipnya, tidak pernah menyentuh hakekat demokrasi yang lebih spesifik, 8Ibid.,
172. 174. 10Ibid., 175. 9Ibid.,
187
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
seperti realitas demokrasi yang menjujung tinggi ―transparansi, toleransi, volunterisme, tim kerja, pertukaran hak, saling bersikap hormat‖. Padahal inilah yang harus dikaji sebagai sebuah tujuan shari‘at (maqasid al-shari‟ah). c) Maslahah-Oriented Theories Pendekatan maslahah sebagai salah satu model pendekatan yang dilakukan kaum modernis, merupakan usaha untuk menghindari pola apologetik yang dilakukan untuk menafsirkan ayat dengan tema maslahah, daripada menyusun kebijakan khusus. Mohammad Abduh dan al-Tahir Ibn Ashur secara khusus menaruh perhatian terkait konsep maslahah dan maqasid pada hukum Islam dan mempertimbangkannya untuk mereformasi konsep usul fiqh. Proposal Ibn Ashur yang diajukan untuk merefilatisasi hukum Islam berlandaskan pada perhatian yang lebih besar pada disiplin usul fiqh dan lebih terfokus pada metodologi baru untuk kajian tentang al-maqasid. Dia mengkritik keras kepada ulama‘ tradisional yang menghilangkan unsur maqasid dari konsep hukum Islam. 11 Kontribusi al-Sadr pada tingkat metodologi telah melegi-timasikan konsep induksi sebagai sebuah dasar pemapanan untuk sains dan teologi. Dia mempelajari pemikiran induktif secara luas dalam karyanya al-usus al-mantiqiyyah li al-istiqra‟ (logika berbaisis induksi). Al-Sadr menjelaskan bahwa induksi merupakan alat utama cara berfikir bahwa al-Qur‘an telah membuktikan eksistensi Tuhan. Kemudian, dengan sebuah analisis matematika yang menarik, al-Sadr membuktikan ketidakpastian konsep induksi, tetapi ia mengemukakan bahwa kekurangan ketidakpastian ini merupakan dalil empiris yang ditemukan pada teori kemungkinan (probabilitas). Meskipun demikian menurut Jasser Auda, bahwa kontribusi Ibn Ashur dan al-Sadr pada konsep al-maqasid, yang menjadi proyek reformasi hukum Islam, merupakan sebuah proyek yang masih belum lengkap.12 d) Usul Revisionism Aliran lain dari Islam modernis mencoba untuk memperbaiki usul fiqh, meskipun kelompok neo-tardisionalis keberatan untuk mengubah usul fiqh ini dan secara keras mengatakan dirinya paling Islam. Walaupun demikian, aliran usul revisionism (perbaikan usul fiqh) mengekpresikan pada fakta tersebut bahwa menurutnya tidak akan ada perkembangan yang signifikan dalam hukum Islam yang dapat dilakukan jika tidak mengembangkan metodologi usul fiqh-nya. 13 Semisal Mohammad Abduh, ketika ditanya tentang ijma‟ diantara dua model: ijma‟ atas fatwa dan ijma‟ atas teks hadits. Dia mengatakan bahwa untuk sebuah ‗kajian rasional‘ bahwa ijma‘ dalam fatwa atau teks hadits tergantung pada warisan literatur hukum. Rasionalitas Abduh memudahkannya untuk mempertanyakan secara serius tentang validitas hadits ahad. Abduh mengembalikan pada ayat al-Qur‘an untuk mengkontrol teks hadis dan pemahaman praktik fatwa hukum. Dia menyarankan agar para sarjana fokus pada pesan-pesan al-Qur‘an tentang moral, pendidikan, spiritualitas, pengetahuan, dan petunjuk-petunjuk tetang kehidupan sosial yang baik. Dia mengatakan bahwa hukum Islam, menurut usul fiqh, adalah realitas hukum. Ayatullah al-Sadr juga mengintrodusir beberapa modifikasi untuk konsep dasar usul fiqh, sebagaimana ijma‟ dan ketetapan kontradiktif (hall al-ta‟arud). Al-sadr lagilagi menggunakan teori probabilitas, untuk membuktikan bahwa perkembangan 11Ibid., 12Ibid., 13Ibid.
188
176. 177.
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
dalam sejumlah fuqaha artinya perubahan dari kemungkinan menjadi kepastian. Meperhatikan ‗ketetapan yang kontradiktif‘ antara dua dalil, al-Sadr mengusulkan sebuah metode yang menciptakan keseimbangan antara akibat langsung dari satu dalil dengan tujuan penetapan hukum (maqasid al-shari‟) dari dalil kedua. 14 Beberapa kelompok modernis kontemporer mengikuti ide-ide Abduh dan alSadr dalam konsep revisi ijma‘ dan konsp usul fiqh yang lain, seperti konsep naskh ayat-ayat al-Qur‘an dan keotentikan teks hadits yang berlandaskan pada seberapa banyak memiliki kesamaan prinsip dengan al-Qur‘an. Mereka juga mengusulkan perluasan dan penafsiran kembali atas bangunan kunci usul fiqh yang dapat digunakan secara fleksibel sesusai dengan waktu dan keadaan, atau tatanan aturan yang sesuai dengan waktu dan tempat dalam ijtihad modern. Seperti interpretasi baru tentang maslahah yang didesakkan untuk memperluas konsep maslahah yang semula tujuan maslahah bersifat individual menjadi maslahah untuk tujuan sosial. Kebaikan bukan hanya untuk kepentingan individu masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat. Modernis juga memiliki berbagai pendapat tentang implikasi dari maslahah yang terkait dengan perkembangan keadaan sekarang. 15 Sejumlah kelompok usul revisionists menyarankan agar qiyas, sebagai salah satu sumber yang lain hukum Islam, juga perlu diinterpretasikan dari model tradisional yang deduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas satu kasus yang terdapat dalam ayat al-Qur‘an) kepada model yang abduktif (pertimbangan hukum didasarkan atas luasnya kemungkinan sejumlah kasus yang terkait dengan topik dan deduksi umum). Usul revisonists menyebutnya dengan metode qiyas baru atau analogi yang luas (al-qiyas al-wasi‟).16 e) „Science Oriented Re-Interpretation Aliran lain dari kelompok Islam modern mengambil pendekatan untuk penafsirkan kembali (re-interpretation), yaitu kelompok yang berorientasi pada sains sebagai basis penafsiran al-Qur‘an dan Sunnah. Dalam pendekatan ini, penetapan didasarkan atas rasionalitas sains dan ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadits ditafsirkan sesuai dengan temuan-temuan sains terbaru. Dalam pandangan Jasser Auda pendekatan ini mirip dengan apologetic gaya reformis. Pemikiran reformis menunjukkan bahwa keterbukaan ayat al-Qur‘an untuk ditafsirkan dengan model baru memberikan pengetahuan tentang model kemanusiaan sekarang ini. Cara pemaknaan, juga mirip dengan yang dilakukan kelompok apologetik ketika membuat ayat-ayat al-Qur‘an memiliki makna yang pasti dengan teori-teori sains, mengingat sains sendiri adalah sebuah proses evolusi. Secara umum pendekatan modernis untuk hukum Islam memiliki sejumlah kelemahan dari pendekatan kelompok klasik dan tradisionalis, serta menyuguhkan sesuatu yang lebih realistis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sehari-hari. Namun demikian kelompok modernis juga memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan pengembangan hukum Islam masa kontemporer ini. 3) Islam Post-Modernis Paham postmodern merupakan paham yang didukung oleh intelektual14Ibid.,
178. 178-179. 16Ibid., 179. 15Ibid.,
189
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
intelektual andal kontemporer, secara proses politik dan kultur bertujuan untuk memecah dan membangun kembali kesenian, kebudayaan, dan tradisi intelektual yang bertumpuk-tumpuk. Terma ini memiliki banyak definisi yang kontradiktif, berkisar dari paham perpaduan (eclecticisms) dan sampai neo-skeptisisme dan anti-rasionalisme. Meskipun demikian hal itu adalah sama dengan apa yang disetujui oleh seluruh kelompok postmodernism yang menggunakan cara beragam pada kesalahan modernitas, khususnya pada paroh pertama abad 20 yang terkait pada hak untuk memiliki secara deterministik dan nilai-nilai universal. Sejumlah sarjana di lapangan studi Islam memasukkan berbagai pendekatan postmodernisme dan menerapkannya pada kajian hukum Islam.17 Metode utama seluruh pendekatan postmodernisme adalah dekontruksi. Dekonstruksi adalah sebuah ide, proses dan proyek yang diajukan oleh Jacques Derrida pada tahun 1960 an sebagai pengembangan dari dekonstruksinya Heidegger yang dielaborasi dari tradisi metafisika barat. Dekonstruksi merupakan sebuah taktik decentering, yaitu menolak penindas dan kesewenang-wenangan penguasa. Derreda bertujuan membongkar logosentris yang merupakan pengkombinasian term yang dibawa dari logos (wahyu Tuhan) dan sentris (menjadi pusat). Dari bahasa perancis de dan construire (kata bendanya decontruction) yang mencita-citakan untuk membongkar bangunan yang sudah mapan, mepreteli sebuah konstruksi. 18 Derrida percaya bahwa dua term logosentris (seperti baik, laki-laki, putih, atau Eropa) tidak diharuskan menjadi pusat otoritarian dan penindasan, jika term lain (seperti syetan, perempuan, hitam, atau Afrika) ditetapkan secara marginal (dipinggirkan). Dia juga mengatakan bahwa ‗logika lain‘, melalui dekonstruksi dari term logosentris dicapai oleh perubahan term peminggiran sehingga menjadi memungkinkan sebagai term logosentris yang menempati pada pusat (center). 19 Derrida menolak mendefinisikan dekonstruksi, sebab definisi adalah pembatasan, sementara dekonstruksi adalah menerobos batas. Dekonstruksi merupakan dekonstruksi atas teks dan pembacaan atas teks. Dekonstruksi selalu menggunakan pembacaan dengan double reading, yaitu sebuah pembacaan yang berkelindan paling tidak dalam dua motif atau dua lapisan. Satu sisi pembacaan bermaksud menampilkan kembali apa yang disebut dengan ―tafsiran dominan‖ sebuah teks. Sisi lain pembacaan ini meninggalkan tatanan ‗komentar‘ memperlihatkan titik lemah dan konstradiksi dalam tafsiran dominan tersebut, kemudian menyajikan pembacaan yang lain. 20 Teori atau proyek Derrida mencegah banyak pembicara atau penulis dari menjadikan ayat atau teks sebagai penyebab dalam kemangkiran dari pusat atau keaslian, sesuatu bisa menjadi wacana. Teori ini memiliki suatu dampak pada implikasi makna, sebab sebuah makna dari makna (pada perasaan umum dari makna dan tidak perasaan tertentu yang sudah memiliki tanda) adalah memiliki ilmplikasi yang tidak terbatas. Sebuah keterbatasan menyerah pada satu tanda dari penandaan. Dengan pembagian ini, bahwa keterbatasan pada penyerahan satu makna tertentu yang terbatas, maka penafsiran yang demikian ini perlu didekonstruksi. Dengan demikian 17Ibid.,
180. Sumarwan, ―Membongkar yangLama Menenun yang baru‖ dalam Basis, No. 11-12 tahun ke-54 (Jogjakarta: Yayasan BP Basisi, Desember 2005), 16. 19Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy......, 181. 20A. Sumarwan, ―Membongkar yangLama......., 18. 18A.
190
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
terdapat kultur baru yang tidak dibuat dan terjadi dengan sendirinya atas dasar gambaran Hasan, sebagai penghancuran (decreation), pemecahan (disintegration), pembongkaran (deconstruction), peminggiran (de-centrement), pengalihan (displacement), pembedaan (diffenrence), ketidakberlangsungan (discontinuity), ketidakbertemuan (disjunctioni), kehilangan (disappearancei), pembusukan (decompotition), tidak ada pengertian (dedefinition), tidak ada mistis (demystification), tidak ada totalitas (de-totalisation), dan tidak ada legitimasi (delegitimation). 21 a) Post-Structuralism Post-Strukturalisme merupakan sebuah alat analisis dari postmodernisme, melalui analisis teks, yang bersumber dari pembicara dan pengetahuan seluruh manusia dipertimbangkan sebagai tekstual. Bebearpa sarja studi Islam mengambil pendekatan dekonstruksi post-strukturalis atau decentering untuk analisis teks al-Qur‘an. Mereka memandang sebagai penempatan pada pusat kultur Islam. Konsep wahyu sebagai sebuah tulisan ditafsirkan kembali atau diubah dari posisi tradisional kepada penafsiran bahwa sebagai sebuah pesan Tuhan yang berarti Nabi menerima al-Qur‘an sebagai sebuah penjelas pesan dan dibawanya untuk manusia sesuai dengan bahasa dan konteks kebudayaan mereka. Tujuan dari proyek dekonstruksi ini adalah memberikan kebebasan manusia untuk memiliki kedaulatan memahami teks wahyu, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Arkoun, NasrAbu Zaid, Hasan hanafi, altahir al-Haddad, dan Ebarhim Moosa. 22 Lebih dari itu teori semiotik memerlukan bahwa bahasa tidak dapat secara langsung mengarah kepada realitas, dan konsep metafisika yang dipertimbangkan orang, menurut postmodernis dari Nietzsche sampai Derrida, adalah semacam proyeksi pribadi. Dalam buku Turath wa al-Tajdid, Hasan hanafi mengikuti jejak garis pemikiran ini, sampai ia menyimpulkan bahwa ketika seorang ulama‘ fundamentalis membicarakan tentang Tuhan, tentang keberadaan-Nya, sifat-Nya, dan perbuatanNya, sebenarnya mereka membicarakan tentang kesempurnaan manusia yang menafsirkan tentang kemungkinan eksistensi yang sempurna. Dia menyebutkan untuk menempatkan kembali kebenaran dan hakekat term tentang ‗Tuhan, surga, neraka dan akhirat dengan konsep yang tidak ambigu atas konsep demokrasi, alam dan pemikiran.23 Jasser Auda menyebutkan bahwa Dekosntruksi, dalam sebuah rasa semiotik, mungkin sebuah ide yang baik atau proses akhir penolakan terhadap struktur sosial yang menindas dan hukum yang diskrimitaif. Bagimanapun, mengambil sebuah teori untuk melakukan proses tajdid atas hukum Islam, sebagaimana kelompok poststrukturalis lakukan, merupakan satu kebutuhan untuk membangun kepercayaan dasar muslim yang mapan. Sebaliknya, teori ini merupakan teori yang tidak Islami dan kemungkinan secara materi tidak pernah dapat diaplikasikan. Setiap muslim menghormati perbedaan, kepercayaan kepada Tuhan, Nabi Muhammad, dan pesan Tuhan dalam al-Qur‘an. Agama Islam sepenuhnya dibangun dari tiga pondasi ini, karena itu, pendekatan post-strukturalis yang menggunakan dekonstruksi adalah sangat konseptual tentang Tuhan dan wahyu Tuhan. Teori ini tidak kredibel untuk pengajuan masalah hukum dan penciptaan. Jasser Auda 21Jasser
Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy....., 181. 182. 23Ibid., 183. 22Ibid.,
191
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
menyebutnya dengan kevakuman epistemologi.24 b) Historicity of Means and/or Ends Pendekatan historis postmodern mengusulkan bahwa ide kita tentang teks, kultur dan kejadian-kejadian adalah ditentukan oleh posisi dan fungsi manusia dalam keaslian konteks sejarah, sebagaimana juga berkembangnya sejarah kemudian. Beberapa penganut paham dekonstruksi menerapkannya pada konsep sejarah alQur‘an, hanya untuk menyimpulkan bahwa tulisan al-Qur‘an adalah sebuah produksi budaya dari budaya-budaya yang diproduksi oleh sejarah. Oleh karena itu, mereka mengklaim bahwa al-Qur‘an merupakan dokumen sejarah. Untuk mema-haminya hanya dapat dilakukan melalui belajar sejarah tentang komunitas khusus yang ada pada masa kenabian. Moghissi menganggap bahwa shari‘ah tidak cocok dengan prinsip-prinsip kesamaan manusia. Ibn Warraq menganggap bahwa skema HAM Islam tidak cukup mendukung terhadap prinsip-prinsip kebebasan. Akhirnya, menurut Moosa, peradilan Islam tidak dapat dijadikan dalil untuk visi etis pada pemikiran kontemporer. Pengalaman yang sama, dalam beberapa kasus, juga terjadi pada sejarah Barat yang terkait dengan peradilan Barat. 25 Postmodernis juga mengkritik beberapa pemikir modernis untuk memperkuat teks dasar melalui penafsiran ulang atas ayat-ayat yang mendukung terhadap normanorma etika, meskipun ayat-ayat itu sendiri, menurut kepercayaan sejarah, penuh dengan konflik atas norma tersebut. Contoh mudah yang dapat dikemukakan disini adalah kritik penafsiran kembali atas kesamaan hak (egalitarianisme) dalam model politk Islam dan status perempuan dalam hukum Islam. Bagi Moghissi, tidak banyak gulungan dan lipatan yang dapat merekonsiliasi perintah dan larangan tentang hakhak wanita dan kewajiban ide kesamaan gender. Arkoun menyebutnya gerakan penafsiran menyeluruh sebuah gerakan sekuler disamarkan oleh wacana keagamaan. Jasser Auda mengatakan bahwa pensejarahan dari ayat-ayat al-Qur‘an dengan membuat skema HAM dan nilai adalah tidak bermoral. Selanjutnya konsep ini berlawanan dengan kepercayaan pada sumber ketuhanan yaitu al-Qur‘an dan sistem nilai yang luhur yang telah diaplikasikan oleh Nabi Muhammad. Jasser Auda juga percaya bahwa kejadian sejarah dan aturan hukum secara khusus yang diteail dalam al-Qur‘an harus dipahami melalui budaya mereka, keadaan geografi, dan kontek sejarah dari pesan-pesan Islam. Berdasarkan atas pemahaman al-Qur‘an yang khusus, dapat diterapkan dengan baik secara universal pada setiap ruang dan waktu. Tujuan moral dalam beragam cerita al-Qur‘an dan tujuan aturan serta nilai-nilai yang menjadi arahan ijtihad kita untuk membuat proyek khusus ini pada perubahan konteks dalam dimensi ruang dan waktu, atau keadaan geografis dan sejarah. Hukum yang demikian ini merupakan hasil dari ijtihad yang tidak pernah bertentangan dengan prinsip nilaimoral dan maqasid dalam Islam.26 Ayatollah Shamsuddin merekomendasikan bagi pada ahli hukum sekarang untuk mengambil pendekatan dinamis untuk nusus, dan tidak melihat pada seytiap ayat sebagai perundang-undangan yang absolut dan universal. Membuka pikiran mereka untuk kemungkinan perundang-undangan yang bersifat relatif bagi kondisi yang khusus, dan tidak mengadili hadits dengan konteks yang terputus sebagai kebenaran dimensi waktu, ruang, situasi, dan masyarakat. Dia lebih lanjut mengklarifikasi bahwa 24Ibid., 25Ibid., 26Ibid.,
192
184. 185
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
dia lebih condong pada`pemahaman ini, tetapi tidak ingin mendasarkan pada waktu, meskipun demikian dia menekankan kebutuhan untuk pendekatan ini untuk mengatur hubungan wanita, materi keuangan, dan jihad.27 Contoh lain, Fathi Osman mempertimbangkan tentang pertimbangan praktis yang diberikan pada kesaksian perempuan mengurangi hak laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 2: 282. Dengan demikian, Osman menafsirkan kembali ayat ini agar berfungsi untuk pertimbangan praktis. Abdul Karim Soroush menyarankan bahwa ayat seharusnya dibagi pada dua bagian: esensial (essencial) dan asidental (accidental). Ayat yang asidental ditujukan untuk berfungsi pada kultur sosial dan lingkungan sejarah dari yang mengirim pesan utama wahyu. Pandangan lain yang menjelaskan tentang tardisi Nabi (sunnah) adalah Muhammad shahrur. Ia berpendapat bahwa sebagian sunnah tidak menjadi pertimbanagn hukum Islam, sebab praktek pengorganisasian komunitas oleh Nabi pada area yang mengizinkan untuk membangun Negara Arab dan masyarakat Arab pada abad ke 7, jadi tidak pernah akan menjadi abadi, bahkan jika hal itu benar seratus persen dan seratus persen otentik. Ekspresi yang sama disampaikan oleh Muhammad al-Ghazali yang membedakan antara makna dan akhir (means and ends). Dia memperkenankan masa habisnya (intiha) bentuk aturan dan tidak untuk kemudian. Dia menyebutkan bahwa sebuah sistem yang rusak karena perang, sebagai contoh dari makna yang berubah. Akhir-akhir ini Yusuf al-Qardawi dan Faisal Mawlawi, mengelaborasi pentingnya pembedaan antara makna dan akhir. Selama mereka menjadi dewan pertimbangan oragniasi Eropa yang berkaitan dengan fatwa dan riset, mereka mengaplikasikan tentang konsep kutipan visual tentang awal ramadhan (hilal) yang menjadi awal dimulainya bulan daripada sebuah akhir bulan. Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa kalkulasi yang murni dapat dimaknai untuk memulai bulan. Yusuf al-Qardawi juga menerakan pada konsep pakaian muslimah (jilbab) yang dia memandang sebagai makna belaka untuk mencapai tujuan kesopanan.Menurut pandangan Jasser Auda bahwa perbedaan antara makna dan akhir terbuka untuk kemungkinan menyeluruh bagi ijtihad baru yang radikal dan hukum Islam.28 c) Neo-Rationalism Neo-Rasionalis mengambil pendekatan sejarah untuk hukum Islam dan merujuk pada ulama‘ konvensional Mu‘tazilah untuk rujukan tradisional pada pandanganpandangan mereka. Ulama‘ Mu‘tazilah memberikan otoritas akal (‗aql) sebagai sumber yang independen dan sebagai dasar utama untuk pengambilan dalil hukum. Bagaimanapun perbedaan antara neo-rasionalis dengan rasionalis lama Mu‘tazilah, secara luas telah diterapkan dalam cara pengambilan dalil al-Qur‘an, Hadits, dan sumber kedua yang lain, adalah sama dengan ulama‘-ulama‘ Mu‘tazilah klasik. Mu‘tazilah mengakui bahwa al-Qur‘an sebagai sumber utama hukum berdasarkan atas akal, sebab menurut akal, baik dan buruk dibedakan atas otoritas al-Qur‘an yang dapat dibuktikan sebagaimana otoritas sunnah dan ijma‟. Neo-Rasionalis bagaimanapun juga telah memberikan pengaruh pada kemampuan akal untuk mencabut ayat (mansuh). Walaupun demikian, menurut Derrida dan Moosa, akal adalah salah satu konsep modernitas yang mengambil posisi pusat (dominan), yang 27Ibid., 28Ibid.,
186. 187.
193
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
bisa didekonstruksi.29 d) Critical Legal Studies Studi Kritis atas Hukum (CLS) adalah sebuah gerakan yang berasal dari Amerika Serikat. Mereka bertujuan untuk mendekonstruksi diterimanya doktrin hukum untuk mendukung reformasi kebijakan secara pragmatis. Dekonstruksi ini diarahkan untuk membangun ‗kekuatan‘ (power) yang terstruktur dalam hukum. Para filosof dan aktivis politik dari latar belakang yang beragam bergabung dengan gerakan ini. Seperti kelompok yang berpegang pada teori feminis dan anti-rasisme. Sejumlah sarjana studi Islam menggunakan metode CLS untuk menganilis dan mendekonstruksi seluruh ‗kekuatan‘ (power) yang mempengaruhi sistem hukum Islam, berkisar pada kekuatan laki-laki yang ada di suku Arab.30 Seperti kelompok feminisme Islam, tertantang oleh akibat elit laki-laki tradisional yang menentukan pembentukan sistem peradilan Islam klasik dan pengumpulan hadits-hadits yang diarahkan untuk membahas hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, hal ini perlu dicatat bahwa feminis post-modern Islam mengambil sebuah pendekatan yang berbeda daripada feminis post-modern yang lain. Sementara feminis post-modern mendekonstruksi sistem ganda gender, sebuah gagasan kuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan Feminisme Islam lebih fokus pada sejarah ‗daya perjuangan‘ antara Muslim laki-laki dan perempuan.31 Kedua kelompok modernis dan post-modernis feminisme Islam mengkritik akibat dari ‗daya juang‖ otoritas hukum tradisional ini, sebagaimana para Imam, Shakh, dan Ayatollah. Meskipun demikian, berbeda dengan feminis post-modernis, post-modern feminisme muslim mengkritisi otoritas al-Qur‘an dan Nabinya sendiri. Mernisi, misalnya, menantang setiap aturan dalam sumber-sumber Islam yang membatasi perempuan dalam menentukan nasibnya sendiri, dari institusi perkawinan, anak-anak yang diturunkan secara patriaki, cadar, aturan tentang masa iddah, dan bahkan larangan prostitusi. Sama halnya, secara radikal penafsiran kembali yang berbeda pada nash tentang perbedaan jenis kelamin pada ayat dan hadits yang menyebutkan perbedaan manusia dalam warna kulit adalah hasil karya Tuhan.32 Beberapa sarjana lain yang mengambil pendekatan CLS ini mempertanyakan tentang motivasi politik atas Suku Arab yang memiliki kekuasaan penuh, seperti suku Quraysh dan bani Ummayyah dalam hubungannya dengan masalah peradilan dan aturan dasar. Misalnya Nasr Abu Zaid, terkait dengan potongan sejarah tentang usul fiqh yang membahas Suku Qurays berkeinginan untuk merubah tradisi dan budaya dalam sebuah wahyu. Patricia Crone juga mempertanyakan tentang otoritas Khalifah Ummayyah yang membentuk hukum. Wael Hallaj secara tegas menolak dan Abdul Majeed al-Shagheer menulis dengan analisis panjang lebar untuk membuktikan pandangan Crone yang dianggap keliru. Al-Shagheer, menjelaskan bahwa Imam alShafi‘i dan ulama‘ lain menyusun usul fiqh untuk melindungi hukum Islam itu dari keinginan orang-orang yang memiliki kekuasaan, khususnya Ummayyah.33 e) Post-Colonialism 29Ibid. 30Ibid.,
188. 189.
31Ibid. 32Ibid.
33Ibid.,
194
190.
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
Kajian post-kolonial telah dibangun untuk mendukung suara yang terpingirkan oleh penjajahan barat, dan menolak anggapan barat tentang budaya dan ras yang lebih baik. Edward Said, mengikuti pendapat Foulcault pada hubungan antara ‗bentuk pengetahuan dan kekuasaan‘, yang menjadi kunci kontribusi utama pada bidang ini. 34 Beberapa sarjana membutuhkan pendekatan post-modern untuk kajian Islam dalam pemikiran post-kolonial. Pendekatan mereka bertujuan untuk mendekonstrtuksi globalisasi dan homoginisasi kekuatan barat. Proyek mereka yang salah ini disebar ke seluruh manusia, dengan anggapan bahwa barat akan menjadi pusat peradaban dunia. Hal ini merupakan kelanjutan westernisasi dengan kontemporerisasi. Realitas politik Muslim dan kehidupan masyarakat didefinisikan sebagai agama yang tidak rasional, dan akhir-akhir ini, promosi yang dilakukan untuk mengangap Islam sebagai ancaman peradaban Barat. 35 Post-modernisme mengatakan bahwa untuk merayakan perbedaan budaya yang lain. Post-kolonialisme juga membuktikan adanya beberapa sarjana yang mengkritisi Islam melalui pendekatan orientalis barat tradisional untuk menunjukkan kesalahan kebudayaan Islam, dan menganggap bahwa ajaran Islam lebih baik dijadikan sebagai peradilan tradisional, bahkan lebih buruk merupakan tiruan dari tradisi ini. Contoh klasik pendekatan orientalis tradisional seperti yang direpresentasikan oleh karyakarya Goldziher, Schacht, dan Gibb. 36 Pendekatan post-modern untuk hukum Islam menghadapi dua pendekatan tardisionalis dan modernis melalui pertanyaan konsep kekuatan (power) dan otoritas ulama‘, imam, dan pemimpin politik yang diasumsikan. Bagaimanapun, kelompok post-modern mengakui sedang menghadapi perang dengan dua posisi (tradisional dan modernis), melalui pendekatan post-modern menghadirkan dua cara, reduksionis dan uni-dimensional. Jasser Auda akan mengajukan pola baru yang lebih radikal yaitu kritik sistem melalui pendekatan multi-dimensional dan holistik. Berikut gambar di bawah menjelaskan bagaimana ilustrasi posisi kelompok post-modernisme yang terkait dengan sumber hukum Islam dan level otoritas. 37 MENUJU KE ARAH KETERBUKAAN DAN PEMBAHARUAN Suatu sistem harus terbuka dan dapat menerima pembaharuan, supaya bisa tetap ―hidup‖. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk merombak pendekatan sistem hukum Islam. Pertama, merubah ‗pola pandang‘ atau ‗tradisi pemikiran‘ ulama‘ fiqh. Yang dimaksud dengan tradisi pemikiran adalah kerangka mental ulama fiqh dan kesediaan mereka berinteraksi dengan dunia luar. Kedua, membuka diri pada filsafat yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran pembaharuan sistem hukum Islam.38 a. Perubahan keputusan dengan tradisi pemikiran Selama ini, dalam pandangan Jasser Auda, ulama fiqh masing sering berfikir secara ―eksklusif‖. Sebagai contoh: pernyataan sebagian ulama‘ Ahl al-Sunnah yang meyakini bangsa Arab sebagai lebih tinggi derajatnya dibanding dengan bangsa non 34Ibid. 35Ibid. 36Ibid.,
191.
37Ibid. 38Ibid.
195
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Arab. Pernyataan ini jelas merupakan diskriminassi etnis yang seharusnya tidak terjadi. Oleh karena itu, untuk mengembangkan maqashid pada era sekarang ini, logika berfikir seperti itu tidak boleh digunakan lagi.39 b. Pembaharuan dengan Keterbukaan Filsafat Disisi lain, terjadi penolakan para ulama‘ terhadap filsafat Yunani dan metode berfikir lain. Sebab kesemuanya dinilai ‗tidak bersumber dari Islam‘. Sebagai contoh, alGhazali mengkritik keras Filsafat Yunani dan orang-orang Islam yang mengikutinya. Namun pada kesempatan lain al-Ghazali menerima logika Aristoteles. Dalam pada itu, al-Ghazali menggunakan akar bahasa Arab yangh secara langsung diperoleh dari al-Qur‘an dan istilah hukum yang sudah dikenal, sebagai ganti dari Istilah Filsafat Barat. Misalnya, al-Mahmul (sifat predikat), menjadi al-hukm (aturan), al-hadd al-awsat (istilah menengah) menjadi al-„illah (sebab), al-muqaddimah (dasar pemikiran) menjadi al-asl (aturan dasar), al-natijah ( kesimpulan) menjadi al-far‟ (aturan rinci), dan almumkin (kemungkinan) menjadi al-mubah (diperbolehkan). 40 Meskipun al-Ghazali populer sebagai penyebab mandegnya perkembangan teori dan pemikiran metdologi hukum Islam dari luar. Usul fiqh tetap meneruskan arah kebahasaan yang bermuara pada penurunan logika. Pemikiran sistem fiqh melanjutkan pada sistem proposisi yang berhubungan dengan ‗perintah dan larangan‘. Analogi terdekat untuk menjelaskan sistem pemikiran fiqh tradisonal dalam waktu modern adalah menggunakan logika deontic. Walaupun logika deontic adalah sebuah term yang diciptakan oleh von Wright pada pertengahan abad keduapuluh, satu pemberitahuan bahwa standar sistem von Wright terkait dengan logika modal dan aksioma utama, sesungguhnya lebih sama dengan pemikiran tardisional fiqh. Seperti logika: ―jika pekerjaan yang kita lakukan mengharuskan dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus juga dikerjakan.‖ (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib).41 Itu sekedar gambaran bahwa para ulama fiqh masih belum mampu mengembangkan keterbukaan dalam berfilsafat, dan menganggap bahwa sesuatu yang datangnya bukan dari Islam adalah sebagai sesuatu yang salah dan harus dihindari. Logika berfikir yang demikian dalam konteks pengembangan maqhasid saat ini sangat sulit bisa diterima. c. Menuju ke Arah Multidimensi Hal yang sangat penting untuk dipahami adalah bagaimana mendudukkan Nass. Dalam pengetahuan ulama‘ tradisional, sesuai dengan pemahaman yang terdapat pada kitab klasik, konsep dalil Nass dibagi menjadi dua: Qat‟i (sudah pasti) dan zanni (belum pasti). Kemudian Nass Qat‟i ini, oleh ulama‘ tradisional dibagi menjadi tiga, sebagaimana pengamatan Jasser Auda, yaitu Qat‟iyyat al-Dilalah (penunjukan pasti), Qat‟iyyat al-Thubut (keotentikannya pasti), dan al-Qat‟i al-mantiqi (logikanya pasti).42 Sebenarnya konsep Qat‟i ini yang merumuskan adalah ulama‘ tradisional berdasarkan dugaan mereka, yang kemudian dinyatakan sebagai ‖kebenaran pasti‖. Menurut Jasser Auda, saat ini, untuk mengukur suatu ―kebenaran‖ hendaknya diukur 39Ibid., 40Ibid., 41Ibid.
42Ibid.,
196
210. 209. 214.
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
dengan; apakah ditemukan bukti pendukung atau tidak?. Semakin banyak bukti pendukung, maka semakin kuat tingkat ―kebenaran pastinya‖. Selain itu juga terdapat permasalahan dalam istilah ta‟arud al-adilah (kontradiksi antara teks). Sebab, sebenarnya yang konstradiksi adalah dari sisi bahasa saja, bukan pada sisi logika yang selalu dikaitkan dengan waktu saat teks dirumuskan. Jika sisi logika ini dipakai, yang menjadi acuan adalah: apakah ‗seara substansi‖ terdapat pertentangan atau tidak atas teks-teks tesebut. Karena itu, hendaknya aspek historis sosiologis berperan dan dilibatkan di dalam menyikapi permasalahan ta‟arud al-adillah (Kontradiksi antara teks). Untuk mengatasi problematika ini, maka para ulama‘ fiqh seharusnya menggunakan kerangka maqashid, yakni mengambil skala prioritas pada teks dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang ada dan tidak meng-anggap satu teks bertentangan satu sama lain. Sebab, bagaimana mungkin firman-firman Allah yang diturunkan oleh Allah sendiri saling bertentangan (kontradiksi)? Membenarkan permasalahan ta‟arud ini, justru akan merendahkan Allah dan menuduh bahwa firman Allah tidak sempurna. 43 Pendekatan multi-dimensional dikombinasikan dengan pendekatan maqasid, maka akan dapat memberikan solusi bagi pertentangan dua dalil yang dilematis. Contoh yang dapat dipertimbangkan adalah seperti satu atribut yang mengandung dimensi negatif dan positif. Dua dalil mungkin dalam satu pendapat dalam term satu atribut, seperti dalam masalah perang dan damai, keteraturan dan kekacauan, berdiri dan duduk, laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Jika kita hanya tertuju pada satu dimensi, maka kita tidak akan menemukan jalan untuk penyelesaiannya. Bagaimanapun, jika kita memperluas dari satu ruang dimensi kepada dua dimensi, yang kedua adalah maqasid, yangmemberikan kontribusi dalil, maka kemudian kita akan dapat menyelesaikan pertentangan tersebut dan memahami atau menafsirkan dalil dalam kontek yang utuh. 44 berikut ilustrasi tentang dua atribut yang bisa menjelaskan dimensi negatif dan positif. d. Menuju ke Arah pengambilan Maqashid Subsistem dalil kebahasaan dalam usul fiqh dapat mencapai tingkat maqasid melalui usulan sebagai berikut: a) Bahwa implikasi dari maqasid (dilalah al-maqasid) harus ditambahkan ke dalam implikasi kebahasaan dari nass. Meskipun demikian, secara relatif bisa diarahkan kepada implikasi yang lain. Tetapi bergantung pada situasi dan kepentingan maqasid itu sendiri. b) Kemungkinan dari kekhusunan (takhsis), ta‟wil, dan naskh yang memiliki tiga tipe kriteria yang berbeda, yaitu kejelasan nass, nama, muhkam, nass, zahir, dan mufassar. Maqasid harus dibangun dari spesifikasi dan penafsiran. Oleh karena itu konsep naskh harus diterapkan secara betahap untuk dipahami dalam rangka mencapai maqasid sebagai kemurahan hati dari hukum Islam. c) Maqasid merupakan ekspresi yang juga diputuskan pada validitas implikasi yang berlawanan. Hal ini diputuskan melalui perdebatan yang logis. Jika ada pertentangan dalil, maka tujuan tertinggi maqasid yang menjadi pertimbangan utama. 43Ibid., 44Ibid.
216 223.
197
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
d) Nass yang menjadi landasan hukum maqasid tertinggi selalu diekspresikan oleh nass yang umum dan lengkap, sebagai ketentuan umum, bukan didasarkan atas nass khusus atau tidak sempurna dari ayat yang bersifat individual. Oleh karena itu, ayat yang bersifat individual tidak dapat mengapus atau menjadi pertimbangan untuk kerangka kerja umum dari maqasid ini. e) Hubungan antara term berkualitas dan tidak berkualitas yang menangani kasus berbeda, yang terdapat pada sebuah materi pandangan yang berbeda, harus didefinisikan pada capaian maqasid yang tertinggi, daripada sekedar mempertimbangkan aspek kebahasaan dan aturan logika.45 Contoh pengambilan maqashid dalam metode hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Istihsan berdasarkan maqashid Selama ini, Istihsan dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas. Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‗illat (sebab), tetapi pada maqasid-nya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqashid-nya secara langsung. Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum) perampok, setelah ia terbukti berubah dan bertobat berdasarkan Istihsan, meskipun ‗illat untuk menghu-kumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah seseorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum? Contoh ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan memahami ―maqashid‖ dalam penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau menggunakan Istihsan, dapat mewujudkan maqashid melalui metode lain yang menjadi pilihannya.46 2. Fath Dharai‟ untuk mencapai Tujuan yang Baik Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath Dharai‟ di samping Sadd Dharai‟. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang dilarang harus diblokir (sadd Dharai‟) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke tujuan yang baik harus dibuka (Fath Dharai‟). Untuk menentukan peringkat prioritas harus didasarkan pada maqashid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak membatasi diri pada sisi konsekwensi berfikir negatif saja, tetapi memperluas ke sisi pemikiran positif. 47 3. ‘Urf (tradisi/adat) berdasarkan Maqashid Ibn Ashur menulis maqashid Shari‟ah dalam pembahasan ‗urf, yang ia sebut sebagai ―universalitas hukum Islam‖. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan ‗urf pada sisi riwayat, melainkan lebih pada maqashid-nya. Ringkasan argumen Ibn Ashur adalah hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan, hukum Islam dapat diterapkan kepada semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur‘an dan hadis. Memang Nabi berasal dari bangsa Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi, maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal tidak dibawa ke kancah tradisi internassional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak dapat digapai dan sesuai dengan maqashid Shari‟ah. Oleh sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‗urf tidak boleh 45Ibid.,
231-232. 239. 47Ibid., 241. 46Ibid.,
198
Nur Solikin: Menguak Pemikiran Jasser Auda Tentang Filsafat Hukum Islam
dianggap sebagai peraturan universal. Ibn ‗Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsrkan teks melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn ‗Ashur membaca riwayat dari sisi tujuan moral yang lebih tinggi, daripada membacanya sebagai norma yang mutlak.48 4. Istishab berdasarkan maqashid Prinsip Istishab adalah bukti logis (dalilun ‗aqliyyun). Tetapi, penerapan prinsip ini harus sesuai denagn maqashid-nya. Misalnya, penerapan ―praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah‖ (al-aslu Bara‟at al-Dhimmah), maqashid-nya adalah untuk mempertahankan tujuan keadilan. Penerapan ―praduga kebolehan sesuatu sampai terbukti ada dilarang (al-aslu fi al-ashya‟i al-Ibahah hatta yadullu al-dalil „ala al-tahrim) maqashid-nya untuk mempertahankan tujuan kemurahan hati dan kebebasan memilih.49 PENUTUP Mempertimbangkan maqashid menjadi sutau sistem hukum merupakan keharusan di zaman kontemporer ini. Sebab tantangan hukum Islam bukan saja terkait dengan internal umat Islam sendiri, tetapi juga sejauhmana ajaran Islam mampu memberikan kontribusi pada peradaban modern. Dengan pendektan sistem ini akan mampu memberikan solusi bagi problematika hukum Islam yang berlawanan dengan peradaban modern selama ini. Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, memvalidkan semua pengetahuan, kedua, meng-gunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat‟i dan ta‟arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima, mengambil maqashid sebagai penetapan hukum Islam. Pendekatan maqashid adalah pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik (kulliyun) dan tidak membatasi pada teks ataupun hukum parsialnya saja. Namun lebih mengacu pada prinsip-prinsip tujuan universal. Pendekatan dengan menggunakan pemahaman maqashid bernilai tinggi dan dapat mengatasi berbagai perbedaan, seperti gap antara Sunni dan Shi‘ah, ataupun gap politik umat Islam. Maqashid merupakan sebuah budaya yang sangat diperlukan untuk konsiliasi umat, sehingga mampu hidup berdampingan secara damai. Maqashid hendaknya dijadikan sebagai tujuan pokok dari semua dasar metodologi linguistik dan rasional dalam ijtihad, terlepas dari berbagai varian metode dan pendekatannya. Karena, merealisasikan maqashid yang dijadikan sebagai sistem, pendekatannya akan dapat menggapai keterbukaan, pembaharuan, realistis, dan fleksibel dalam sistem hukum Islam. Dengan demikian proses ijtihad akan menjadi efektif dan realistis sesuai dengan maqashid Shari‟ah, yang intinya meraih kemaslahatan (jalnul masalih).
48Ibid., 49Ibid.,
242. 243.
199
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA
Auda, Jasser. 2007. Maqasid al-shariah as philosophy of islamic law: a systems approach, london: the international institut of islamic thougth. http://gasserauda.net/modules.php?name=biography diunduh 29 november 2011. Masud, Muhammad khalid. 2000. Shatibi‟s philosophy of islamic law, kuala lumpur: islamic book trust. Sumarwan, a. 2005. ―membongkar yang lama menenun yang baru‖ dalam basis, no. 11-12 tahun ke 54. Jogjakarta: yayasan bp basisi, desember.
200
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
PASANG SURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA: PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH MUHAMMAD FAISOL STAIN Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Eksistensi Pengadilan Agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Setelah diberlakukannya UU. No. 3 tahun 2006 dan UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama membawa perubahan besar penambahan wewenang dalam bidang ekonomi syariah. Hakim Pengadilan Agama, di satu sisi dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Di sisi lain, hakim pengadilan agama selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari‟ah. Disitulah kemudian muncul problem-problem yang mengitari keompetensi baru peradilan agama. Problemproblem itu menyangkut tumpang tindihnya undang-undang, faktor kepercayaan dan pendapat publik, dan faktor keberadaan Badan Arbitrase. Kata Kunci: Pasang Surut, Undang-undang, Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah PENDAHULUAN Sebagai salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, Peradilan Agama telah melewati sejarah panjang untuk sampai pada eksistensi, status, dan kedudukannya yang cukup kuat sebagaimana kita saksikan saat ini. Sebagaimana kita maklumi, secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat susunan lembaga peradilan masih diatur di dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 1942 Tentang Susunan Peradilan Sipil Dan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1947 Tentang Susunan Dan Kekuasaan Mahkamah Agung Dan Kejaksaan Agung. Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19 Tahun 1948 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan untuk merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal 6 UU No 19 tahun 1948 dinyatakan adanya 3 (tiga) lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan Ketentaraan. Dan dalam pasal 10 ayat (2) UU tersebut juga diakui keberadaan Hakim perdamian desa sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa.1 Dalam UU tersebut Peradilan Agama tidak disebutkan, hal ini menunjukkan 1Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2008), 174.
201
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
adanya sikap diskriminatif terhadap umat Islam. Sebab Peradilan Agama adalah peradilan tertua yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka dengan bentuknya yang berbeda-beda. Meskipun dalam pasal 5 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 menegaskan bahwa perkara perdata antara orang Islam diperiksa dan diputus menurut agamanya oleh Pengadilan Negeri. Pada tahun 1964 melalui UU No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokokpokok kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 19 Tahun 1964 ini kemudian diubah dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1970. Paparan di atas menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru kekuasaan kehakiman mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebab dalam UU No. 14 tahun 1970 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman itu dijalankan oleh Mahkamah Agung2 dan empat lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum3, Peradilan Agama4, Peradilan Tata Usaha Negara5, dan Peradilan Militer6. Akan tetapi kekuasaan kehakiman yang merdeka di atas masih belum bisa dilaksanakan secara sempurna. Hal ini dikarenakan adanya dualisme sistem dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dimana dalam hal teknis yustisial empat lingkungan peradilan itu berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan dalam hal non yustisial seperti administrasi, organisasi dan keuangan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara di bawah Departemen Kehakiman, Peradilan Agama di bawah Departemen Agama dan Peradilan Militer di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Sehingga bisa dipahami jika pada saat itu masih kental intervensi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang yang berkuasa. Era reformasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru menjadi tonggak awal 2Undang-undang yang mengatur Mahkamah Agung adalah UU No. 14 Tahun 1958 tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 2004 tetang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1958, dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1958. 3Undang-undang yang mengatur Peradilan Umum adalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986, dan UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986. 4Undang-undang yang mengatur Peradilan Agama adalah UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989, dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. 5Undang-undang yang mengatur Peradilan TUN adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU No. 9 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986, dan UU No. 51 tentang perubahan kedua atas UU No. 5 Tahun 1986. 6Undang-undang yang mengatur Peradilan Militer adalah UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Sampai sekarang UU tersebut belum dirubah sebagaimana peradilan yang lain karena pembahasan RUU Peradilan Militer di DPR masih deadlock sebab antara Pemerintah dengan DPR masih belum ada titik temu khususnya terakait masalah kewenangan mengadili militer yang melakukan pidana umum apakah diadili di Peradilan Umum atau di Peradilan Militer.
202
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, termasuk di dalamnya Peradilan Agama. Hal ini ditandai dengan diamandemennya UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah ―Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan‖. Dalam rangka mewujudkan prinsip kemandirian dan kemerdekaan tersebut maka lahirlah UU No. 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu hal penting dalam UU tersebut adalah kebijakan penyatuatapan lembaga peradilan atau yang lebih populer dengan istilah kebijakan satu atap (one roof system) dimana segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yustisial maupun non yustisial (organisasi, administrasi dan finansial) berada satu atap di bawah Mahkamah Agung. Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi UU tersebut kemudian dirubah menjadi UU No. 4 Tahun 2004 dan perubahan terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tetang kekuasaan kehakiman. Hampir bersamaan dengan UU No. 48 Tahun 2009 juga ada beberapa UU yang berkaitan dengan dunia peradilan yang disahkan pada tahun 2009 yaitu UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PASANG SURUT UUPA: UU NO. 7 TAHUN 1989, UU NO. 3 TAHUN 2006, UU NO. 50 TAHUN 2009 Tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Agama di Indonesia. Sebab pada tanggal itulah, disahkan dan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam lembaran negara RI 1989 No. 49. Undang-undang ini merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 ini berangkai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Salah satu tujuan pokok UU No. 7 tahun 1989 di atas adalah mempertegas kedudukan dan kekuasaan lingkungan peradilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam Negara Republik Indonesia. Penegasan tujuan ini dapat disimak dalam rumusan konsideran huruf c dan e. Dalam huruf c dirumuskan: ―bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok-pokok kekuasaan kehakiman‖. Sedangkan dalam huruf e ditegaskan: ―….dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan
203
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
dalam lingkungan Peradilan Agama‖.7 Pada tahun 2006, UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah disahkan oleh DPR RI. Dan pada tahun 2009 terjadi perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 dengan disahkannya UU No. 50 Tahun 2009. Proses perubahan berjalan lancar tanpa kontroversi. Tanpa ada perdebatan alot baik ditingkatan politisi, akademisi maupun masyarakat umum. Seolah semua mengamini dan meneguhkan akan pentingnya revisi UU tersebut bagi Pengadilan Agama (PA) pasca satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). Dengan disahkannya UU nomor 3 tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, maka secara yuridis formal kelembagaan Peradilan Agama semakin kokoh dan mempuyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan tiga lingkungan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Jika selama ini pengadilan agama hanya memiliki kompetensi untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum dalam bidang hukum keluarga, seperti pemutusan perkawinan, sengketa waris/wasiat, wakaf, dan lain-lain, maka setelah UndangUndang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 diamandemen, kompetensi pengadilan agama menjadi lebih luas. Cakupan kewenangannya meliputi pula penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Dengan diamandemennya UU No. 7 Tahun 1989 tersebut menandai lahirnya paradigma baru peradilan agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: ―Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini‖. Kata ―perkara tertentu‖ merupakan perubahan terhadap kata ―perkara perdata tertentu‖ sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Penghapusan kata ini dharapkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kewenangan pengadilan agama.8 Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006 ini, landasan hukum positif penerapan hukum Islam menjadi lebih kokoh. Hal ini mengingat, ada beberapa perubahan fundamental yang dilakukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU No. 7 tahun 1989, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Ada beberapa titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan. Pertama, menyangkut hak opsi. Dalam UUPA yang lalu antara lain dinyatakan dalam penjelasan umum bahwa: ―para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian kewarisan‖9. Sedangkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 penjelasan tersebut dihapus. Syarat untuk dapat diterapkannya hak opsi dalam sengketa kewarisan adalah sebagai berikut: (1) perkara yang dipersengketakan belum diajukan ke pengadilan; (2) adanya kesepakatan kedua belah pihak berperkara. Dengan demikian pada dasarnya terkait dengan penyelesaian perkara perdata dasar pijakannya adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana tertuang dalam pasal 1338 KUH Perdata yang intinya menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya. 7Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 8-9. 8Jaenal Aripin, Peradilan Agama, 343. 9Lihat penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 angka 2.
204
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
Kedua, sengketa kepemilikan. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam mengenai objek sengketa, maka menurut UU No. 3 Tahun 2006 dapat langsung diputus oleh Pengadilan Agama.10 Ada banyak pasal krusial yang direvisi dalam UU No 3 tahun 2006. Salah satunya adalah tentang kewenangan Pengadilan Agama. Dalam pasal 49, ada sembilan kewenangan Pengadilan Agama dari yang sebelumnya cuma tujuh. Kesembilan kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk menangani persoalan hukum umat Islam di bidang (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari‘ah. Jadi ada tambahan 2 kewenangan PA, yaitu zakat dan ekonomi syari‘ah. Bila ada persoalan hukum atau sengketa tentang zakat dan ekonomi syari‘ah maka tempat penyelesaiannya adalah di Pengadilan Agama. Secara lengkap pasal 49 tersebut berbunyi: ―Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah‖. Kewenangan Pengadilan Agama yang pertama adalah dibidang perkawinan. Yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah antara lain: 1. izin beristeri lebih dari seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orangtua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh PPN; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. Pengadilan Agama dapat menetapkan bahwa seorang ibu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya; 13. Pengadilan Agama dapat menetapkan penentuan kewajiban biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan kewajiban bagi bekas isteri; 14. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang sah tidaknya anak; 15. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang pencabutan kekuasaan wali; 17. Pengadilan Agama dapat menetakan penunjukan orang lain sebagai wali oleh 10Lihat
Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006.
205
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. Pengadilan Agama dapat menetapka tentang penunjukan wali dalam hal seorang anak belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta anak yang berada dibawah kekuasaannya; 20. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. Pengadilan Agama dapat memberi putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22. Pengadilan Agama dapat menyatakan tentang sahnya perkawinan. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah dalam perkara warisan yang meliputi: (a) penentuan siapa yang menjadi ahli waris; (b) penentuan mengenai harta peninggalan; (c) penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris; (d) pelaksanaan pembagian harta peninggalan; dan (e) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian masing-masing ahli waris. Kewenangan Pengadilan Agama selanjutnya adalah dalam perkara wasiat dan hibah. Wasiat, sesuai penjelasan pasal 49 huruf (c) adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Sedangkan hibah (penjelasan pasal 49 huruf [d]) adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah wakaf, zakat dan infaq. Adapaun hukum materiil Pengadilan Agama adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI yang didalamnya ada 3 bab yaitu perkawinan, kewarisan dan wakaf. Sedangkan hukum materiil wakaf disamping KHI (buku 3), juga UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf yang didalamnya telah mengatur tentang wakaf uang atau wakaf tunai, dan hukum materiil zakat adalah UU No. 38 Tahun 1999 tentang zakat yang didalamnya terdapat materi baru berupa zakat profesi. Selain itu, Pengadilan Agama juga memiliki kewenangan baru yaitu di bidang ekonomi syariah. Uraian tentang ekonomi syarai‘ah bila mengacu pada penjelasan terhadap pasal 49 huruf (i) UU No 3 tahun 2006 adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syari‘ah, antara lain meliputi: bank syari‘ah; keuangan mikro syari‘ah; asuransi syari‘ah; reasuransi syari‘ah; reksadana syari‘ah; obligasi syari‘ah dan surat berharga berjangka menengah syari‘ah; sekuritas syari‘ah; pembiayaan syari‘ah; pegadaian syari‘ah; dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan bisnis syari‘ah. Akan tetapi, jika ekonomi syari‘ah diletakkan dalam bingkai hukum Islam maka penjelasannya tidak sesederhana penjelasan atas pasal 49 di atas. Penjelasaannya akan menjadi lebih kompleks dan luas. Cakupan kajian ekonomi syari‘ah dalam bingkai fikih mu‟amalat menjadi lebih luas dari sekedar penjelasan yang ada atas pasal 49 huruf (i) diatas. Artinya, ekonomi syari‘ah tidak hanya mencakup bank syari‘ah, asuransi syari‘ah, reasuransi syari‘ah, reksadana syariah, pegadaian syari‘ah, pembiayaan syari‘ah dan lain sebagainya, tapi juga mencakup semua bentuk persoalan hak, benda dan kepemilikan serta perikatan atau akad yang yang berhubungan dengan keduanya
206
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip fikih mu‟amalat.11 Kewenangan Pengadilan Agama yang ada pada pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 adalah kompetensi absolut dari Pengadilan Agama. Ini berarti lingkungan peradilan lain tidak berhak untuk mengadili sengketa-sengketa sebagaimana yang tertuang dalam pasal tersebut. Adapun perubahan-perubahan penting yang terdapat dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut: 1. Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh MA maupun eksternal oleh KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; 2. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pengadilan tingkat pertama maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan oleh MA dan KY secara transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus lulus pendidikan khusus hakim; 3. Pengaturan mengenai pembentukan pengadilan khusus, dan pengaturan mengenai syarat, tatacara pengangkatan dan pemberhentian, serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam UU. Jadi di PA ada kemungkinan jika dibutuhkan bisa membentuk hakim ad hoc; 4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pemberhentian hakim; 5. Jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan remunerasi hakim. Disini ditegaskan bahwa setiap Hakim di samping mendapatkan gaji pokok dan tunjangan jabatan, juga harus mendapatkan hak berupa rumah jabatan milik negara, jaminan kesehatan dan sarana transportasi (roda empat) milik negara; 6. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan maksimal 14 hari dari pembacaan putusan, jika tidak dilaksanakan maka ketua pengadilan akan dikenai sanksi admnistratif; 7. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara; 8. Bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum; 9. Majelis kehormatan hakim dan kewajiban hakim untuk mentaati Kode Etik dan Perilaku Hakim; dan 10. Usia pensiun hakim tingkat pertama menjadi 65 tahun dan usia hakim tinggi menjadi 67 tahun serta pensiun Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti tingkat pertama menjadi 60 tahun dan untuk tingkat banding menjadi 62 tahun. PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH Sebagaimana kita ketahui, bahwa berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 kewenangan absolut Pengadilan Agama bertambah, salah satunya dalam perkara penetapan anak angkat atau adposi dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Pasal itu pula yang menjadi landasan utama Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan memutus jenis-jenis perkara di atas. Akan tetapi, dari sejak 11Ahmad Zaenal Fanani, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan Peradilan Agama, Makalah Tidak diterbitkan.
207
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
diundangkannya hingga sekarang kurang lebih sudah tiga tahun, perkara ekonomi syariah yang masuk ke Pengadilan Agama masih sangat minim, pertahun hanya 5 sampai dengan 12 perkara se-Indonesia. Sebut saja misalnya bahwa pada tahun 2007 perkara ekonomi syariah yang diterima di seluruh Pengadilan Agama se Indonesia hanya 12 perkara, pada tahun 2008 hanya 8 perkara dan pada tahun 2009 hanya 5 perkara. Angka ini menurun dan ini sangat kontradiktif dengan pertumbuhan kegiatan ekonomi berdasarkan syariah yang semakin berkembang pesat, yang sudah pasti banyak pula celah sengketa disana. Hal ini menandakan bahwa pelaksanaan perluasan kompetensi Pengadilan Agama terutama di bidang ekonomi syariah masih memiliki banyak kendala.12 Diantara sekian banyak kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Agama, ada tiga hal pokok yang menjadi kendala besar.13 Pertama, adalah faktor tumpang tindihnya undang-undang. Meskipun dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi absolute Pengadilan Agama, akan tetapi undang-undang ini terbentur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam UU 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase disebutkan bahwa dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan secara sukarela putusan Badan Arbitrase maka pengadilan yang berwenang untuk melakukan eksekusi adalah Pengadilan Negeri. Hal ini menjadi kerancuan, sebab ketika sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tentu saja seharusnya Pengadilan Agama pula yang memiliki hak eksekutorial atas putusan Basyarnas. Pada saat diundangkan UU No. 3 Tahun 2006 hal ini sempat menjadi polemik di kalangan para praktisi ekonomi syariah. Oleh karena itu pada tahun 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam SEMA tersebut tertulis ―Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Akan tetapi telah disayangkan oleh banyak pihak bahwa pada bulan Mei 2010 MARI mengeluarkan kebijakan yang baru melalui SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur eksekusi putusan badan arbitrase syariah nasional (Basyarnas). Dalam SEMA tertanggal 20 Mei 2010 itu, MA membatalkan SEMA No. 8 Tahun 2008 yang menyatakan eksekusi putusan Basyarnas adalah kewenangan Pengadilan Agama. MA mendasarkan pada Pasal 59 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan para pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang 12
http://www.pa-kalianda.go.id/gallery/artikel
13http://www.pa-kalianda.go.id.
208
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
bersengketa. ―Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diberitahukan kepada saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, SEMA No.8 Tahun 2008 dinyatakan tidak berlaku,‖ demikian bunyi SEMA No. 8 Tahun 2010 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Tumpang tindih undang-undang lainnya dapat dilihat dalam Pasal 52 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang menyebutkan : 1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad. 3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan adanya Pasal diatas, maka para pihak yang bersengketa dapat menempuh dua jalur. Pertama jalur non litigasi, yaitu tidak melalui pengadilan melainkan melalui badan arbitrase, kedua jalur litigasi melalui Pengadilan. Hal ini tentu saja menjadi kontra produktif, sebab dengan adanya hak opsi itu akan memandulkan peran Peradilan Agama yang oleh UU No. 3 Tahun 2006 telah diamanatkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Bank Indonesia yang mengharuskan adanya pencatuman dalam akad perbankan syariah dengan klausul ―Apabila terjadi sengketa maka akan ditempuh melalui jalur arbitrase melalui basyarnas‖. Hal ini tentu saja akan menjadi penghambat pelaksanaan perluasan kompetensi Pengadilan Agama. Dengan adanyanya klausul ini, UU No. 3 Tahun 2006 di buat mati kutu dan tumpul. Sebab, setiap ada sengketa sudah harus diajukan ke Basyarnas. Pengadilan Agama hanya mendapat perkara, manakala tidak tercapai kesepakatan dalam basyarnas14. Kedua, adalah Faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik. Masih banyak kalangan yang meragukan kemampuan Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah. Mereka beranggapan hakim agama tidak memahami hukum ekonomi konvensional dan perbankan. Sehingga bila menangani perkara ekonomi syariah dikhawatirkan putusannya tidak berkualitas. Anggapan ini di dasarkan bahwa ekonomi syariah merupakan bagian dari ilmu ekonomi dan perbankan konvensional, dimana meskipun prinsipnya berdasarkan syariah, akan tetapi dalam teknis dan operasional tetap mengacu pada perbankan konvensional. Selain faktor keraguan kompetensi hakim PA, masyarakat juga masih banyak yang beranggapan bahwa UU No. 3 Tahun 2006 hanya diperuntukan bagi umat Islam, sedangkan praktik perbankan syariah tidak hanya dilakukan oleh Muslim, tetapi juga banyak dilakukan oleh non muslim. Salah satu yang beranggapan demikian 14Oleh karena itu banyak hakim peradilan agama yang mengibaratkan Pengadilan Agama sebagai seorang petani diberi cangkul, tapi tidak di beri sawah. Oleh karena itu wajar, bila sampai saat ini perkara ekonomi syariah yang diajukan ke Pengadilan Agama masih bisa dihitung jari, ini bukan berarti jarang terjadi sengketa ekonomi syariah, akan tetapi aksesnya ke Pengadilan Agama sendiri sudah ditutup dengan adanya klausul di awal akad. Lihat, http://www.pa-kalianda.go.id.
209
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
adalah adalah Hanawijaya (mantan Direktur Bank Syariah Mandiri/Praktisi ekonomi syariah). Hanawijaya menyoalkan hal tersebut, sehingga lebih cenderung menggunakan basyarnas dan peradilan umum. Ketiga, Faktor Keberadaan Badan Arbitrase. Badan arbitrase yang menangani sengketa ekonomi syariah adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (BAMUI). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Tujuan didirikannya Badan Arbitrase Syari‘ah Nasional adalah untuk menyelesaikan perselisihan/sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian/islah. Keberadaan Basyarnas ini dilindungi oleh Undang-undang, salah satunya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Lahirnya Badan Arbitrase Syari‘ah Nasional pada saat sebelum ada UU No. 3 Tahun 2006. Adanya Badan Arbitrase Syari‘ah sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan Syariat Islam sebagai dasarnya pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Selain itu keberadaan Basyarnas berfungsi memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa muamalah/ perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa dan lain-lain. Melihat tujuan, fungsi dan kewenangannya, sebelum adanya UU No. 3 Tahun 2006, tentu saja keberadaan basyarnas dapat memberi peran yang bermanfaat bagi tumbuh-kembangnya perbankan syariah, karena memang pada saat itu belum ada peradilan yang ideal yang menggunakan hukum Islam guna menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dengan adanya Basyarnas sengketa ekonomi syariah akan diselesaikan menurut hukum Islam, dan untuk membendung supaya perkara ini tidak masuk ke lingkup peradilan umum, maka disusunlah klausul pada setiap akad perbankan syariah bahwa jika terjadi perselisihan akan di bawa ke jalur non litigasi atau ke Basyarnas, meskipun hak eksekutorial tetap berada di peradilan umum. Keberadaan ini berbeda setelah adanya UU No. 3 Tahun 2006. Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tersebut sebenarnya telah ada lembaga peradilan yang ideal, lembaga yang sejatinya memiliki kewenangan atas hal itu, yaitu peradilan agama yang menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum Islam yang memiliki kewenangan secara yudikatif yang memiliki kewenangan memaksa dan memiliki hak eksekutorial. Sehingga, seharusnya setiap ada sengketa ekonomi syariah di selesaikan di pengadilan agama. Akan tetapi pada kenyataannya Basyarnas tetap ada dan klausul untuk ke jalur litigasi pun masih tetap dilaksanakan. Hal ini tentu saja menjadi penghambat bagi pelaksanaan kewenangan Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah. Pengadilan Agama hari ini hanya mendapat jatah ―sisa‖ dari perkara limpahan Basyarnas yang tidak dapat diselesaikan olehnya. PENUTUP Pasang surut perkembangan Peradilan Agama di Indonesia sebagai mana tercermin dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang mengatur tentang hal itu dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada dinamika dan konfigurasi politik 210
Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama
hukum bangsa. Namun demikian, Peradilan Agama di Indonesia dalam perkembangan terakhirnya telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem peradilan di Indonesia, terlepas dari problemproblem yang mengitarinya.
211
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA Aripin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kecana. Fanani, Ahmad Zaenal. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan Peradilan Agama, Makalah Tidak diterbitkan. Harahap, Yahya. 2007. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika. UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU No. 5 Tahun 2004 tetang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1958 tentang Mahkamah Agung. UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1958. tentang Mahkamah Agung.
212
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
AL-QUR’AN DAN HADITS: DIALEKTIKA SAINS-TEKNOLOGI DAN ILMU AGAMA NURUL ANAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-QODIRI JEMBER E-mail:
[email protected] ABSTRAK Sampai saat ini, keadaan sains-teknologi di Barat mempunyai banyak pengaruh negatif terhadap kehidupan dan lingkungan di belahan dunia lainnnya. Perilaku kekerasan, pergaulan bebas, hedonis dan perbuatan amoral lainnya merupakan bentuk nyata dari ”manipulasi” konstruksi teori dan aplikasi sains-teknologi yang bebas nilai. Untuk mengatasi situasi tersebut, salah satu yang harus dilakukan yaitu membuka dan memahami kembali teks al-Qur‟an dan Hadis, Dialektika sains-teknologi dan ilmu agama, serta reformulasi tujuan, materi dan desain proses pendidikan Islam, agar upaya untuk menciptakan manusia ulul albab termanifestasikan dalam out put pendidikan. Kata Kunci; Al-Quran-Hadits Dan Dialektika Sains-Teknologi dan Agama PENDAHULUAN Sampai detik ini, perkembangan sains-teknologi1 melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Di satu sisi ia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain ia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan isi semesta alam ini terutana yang ada di bumi. Perkembangan sains-teknologi yang bercorak sekuler dan dibangun dari filsafat materialistisme dan eksistensialisme melahirkan sains-teknologi yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral dan etika. Dampak negatif dari kecenderungan mengabaikan nilai-nilai tersebut bisa kita lihat secara empirik pada perilaku korup dan destruktif yang dilakukan manusia di muka bumi ini dengan menggunakan kekuatan sains dan teknologi, seperti di antaranya kekejaman Negara Isra‘il yang selalu mengancam kehidupan Negara Palestina, penjajahan yang berbentuk westernisasi seperti semakin banyaknya akses seks bebas, penghinaan terhadap Nabi Muhammad, Al-Qur‘an dan Islam melalui media cetak maupun elektronik. Dari perkembangan sains-teknologi yang bebas nilai itu, ternyata berbagai aspek kehidupan manusia terutama aspek pendidikan Islam belum mampu menimalisirnya, apalagi mengatasinya. Pendidikan Islam higga saat ini masih dianggap 1Perkembangan teknologi memang tidak bisa dipisahkan dengan sains, karena perkembangan teknologi bersumber dari kemajuan sains, sehingga istilah ‖sains-teknologi‖ dapat dipahami bahwa penciptaan dan pengembangan teknologi tidak bisa dilepaskan dari adanya sains yang mempengaruhinya. Wuryadi berpendapat bahwa ilmu dan teknologi mula-mula dikenal sebagai bagian dari hubungan antara ilmu dan terapannya, namun berkembang menjadi hubungan dalam makna yang lebih luas (STSE atau STML). Dengan kata lain, ilmu juga dipengaruhi pula oleh teknologi. Wuryadi. 2009. Filsafat Ilmu Untuk Program Studi Pendidikan Sains dan Teknologi Pendidikan. Materi Kuliah Perdana Filsafat Ilmu di Program Pascasarjana Magister Teknologi Pendidikan UNY 2009, 27.
213
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
belum mampu menghadapi perkembangan tersebut. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan model pendidikan Islam bersifat statis dan tertinggal: 1) subject matter pendidikan Islam masih berorientasi pada masa lalu dan bersifat normatif serta terkstual; 2) masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu; dan 3) masih ada pandangan dikotomis ilmu secara substansial (sains dan ilmu agama).2 Dalam sejarah pendidikan Islam, sains-teknologi memang selalu dimarjinalkan ketika Islam sudah masuk pada masa keruntuhan sekitar abad ke 13 M. Di lembagalembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi hanya mempelajari Fiqih, Tafsir, Hadits dan sejenisnya. Dalam mendalami ilmu, kaum muslim lebih mengutamakan kesalehan. Ilmu hanya diabdikan untuk menyembah Allah dan beribadah, dari pada untuk kemajuan kemanusiaan. Sebagai contoh, orang Islam mempelajari kompas untuk menentukan waktu puasa, dan seterusnya. Hal ini, berbeda dengan orang Barat yang mempelajari ilmu-ilmu tersebut untuk tujuan rasional dan praktis sehingga melahirkan industri pesawat terbang, kapal laut dan sebagainya yang berguna bagi kemanusiaan.3 Keadaan ini memang bertolak belakang ketika sebelum abad ke 13 tersebut. Pada masa ini, dunia Islam telah memainkan peranan penting baik di bidang sainsteknologi. Harun Nasution4 menyatakan bahwa cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya mempelajari sains-teknologi dan filsafat dari buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan sains-teknologi dan hasil pemikiran mereka dalam ilmu Filsafat. Dengan demikian, lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filosof-filosof Islam, seperti, AlFarazi (abad VIII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astrolabe (alat yang digunakan untuk mengukur tinggi bintang dsb.) dll. Sedangkan dalam ilmu agama, terdapat para ulama yang mengembangkan ilmu Hadits (Bukhari Muslim abad IX); ilmu Hukum Islam (Imam Malik, Al-Syafi‘i, Abu Hanifah dan Ibn Hanbal abad VII, IX), dll.5 Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat desekuaristik, yaitu ilmu pengetahuan umum yang mereka kembangkan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai Islam. Ibnu Sina misalnya, di samping hafal Al Qur‘an dia dikenal ahli di bidang kedokteran. Dan karena kepandainnya dalam bidang kedokteran, dia dijuluki dengan doctor of doctors. Al Biruni, seorang ahli filsafat, astronomi, geografi, matematika, juga sejarah. Ibnu Rusd, yang oleh dunia barat dikenal dengan Averous, dia bukan hanya terkenal dalam bidang filsafat, akan tetapi juga dalam bidang Fiqh. Bahkan kitab fiqih karangannya, yakni Bidayatul Mujtahid dipakai sebagai rujukan umat Islam di berbagai negara. Dari diskripsi di atas, desekularisasi6 sains-teknologi dan ilmu agama di lembaga 2M.
Zainuddin, UIN: Menuju Integrasi Ilmu dan Agama, dalam M. Zainuddin (Ed.), Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004), 3. 3Tim Redaksi, Universitas Islam Negeri dan Misi Pengembangan Sains, Jurnal Perta, Vol.V/No.01/2002, 16. 4Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1979), 71. 5Harun Nasution, Islam Ditinjau dari..., 73. 6Penulis sengaja menggunakan kata desekularisasi di dalam tulisan ini. Pada substansinya istilah desekularisasi memiliki makna yang sama dengan integrasi, dedualisme, dediferensiasi dan semua kata yang memiliki arti penyatuan atau rujuk kembali. Kalau dikaitkan dengan problema keilmuan, maka desekularisasi keilmuan berarti penyatuan kembali agama dengan ilmu pengetahuan (sains). Istilah desekularisasi berasal dari kata sekularisasi. Istilah Sekularisasi berakar dari kata Sekuler yang berasal
214
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
pendidikan Islam merupakan sesuatu yang harus dipriotaskan untuk menciptakan manusia yang tidak tidak hanya menjadi yang saintis, tapi juga sebagai sosok yang agamawan. Amin Abullah7 menyatakan bahwa perbedaan keduanya semakin hari semakin jauh ibarat deret ukur terbalik dan membawa akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Ini tidak dapat dipungkiri terjadi karena dualisme keilmuan masih mendasari pada pola ajaran sekularisasi 8 yang materialistikrasionalistik. Dengan demikian, kajian tentang ‖Al-Qur‘an dan Hadis: Dialektika Sains-Teknologi dan Ilmu Agama sebagai Upaya untuk Menciptakan Manusia Ulul Albab‖, sangat menarik untuk dibahas. Selama ini, kajian tentang desekularisasi ilmu lebih banyak menawarkan konsep filosofis-doktriner dan mengabaikan tawaran konsep implementatif, sehingga yang terjadi adalah misi mulia yang mengawang-awang.9 Al-Qur’an dan Hadis: Signifikansi Desekularisasi Sains-Teknologi dan Ilmu Agama Semua agama termasuk Islam memandang positif suatu ilmu/sains10, karena suatu pengetahuan memiliki peran yang sangat fundamental sekali bagi eksistensi manusia di muka bumi ini. A. Munjin Nasih11 berpendapat bahwa sebenarnya dari bahasa latin Seaculum artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), 188. Lihat pula Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran (Cet. V; Bandung: Mizan, 1998), 188. 7Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 94. 8Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir atau sebagai acuan dalam melindungi pemahaman suatu tema yang di-statemenkan. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu: a) Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata; b) Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat validitas; c) Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka; d) Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama; e) Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan. Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern (Makassar: Berkah Utami, 1999), 136. 9Nurul Anam, Desekularistik-Implementatif sebagai Paradigma Baru Masa Depan Pendidikan UIN, Panduan Katalog dalam Acara 9th ACIS DIKTIS Kemenag RI yang Bekerjasama dengan STAIN Surakarta, 2-5 Nopember 2009, 66. 10Pada dasarnya ilmu pengetahuan (sains) sudah ada sejak manusia (Adam) diciptakan, bahkan ilmu pengetahuan sudah melekat dalam diri manusia, hal ini disyaratkan oleh al-Qur‘an dimana Allah SWT. yang langsung mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang sudah diciptakan sebelumnya. Dan nama benda tersebut mengandung arti sebagai unsur-unsur pengertian, baik yang ada di dunia maupun di akhirat. Kemudian pengetahuan itu pula yang memberikan Adam tempat yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada, termasuk malaikat yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam. Rasa hormat yang diberikan kepada Adam itu merupakan simbol pengakuan manusia atas keunggulannya. Keunggulan itu disebabkan oleh pengetahuan atas nama-nama benda yang diajarkan oleh Allah SWT kepadanya dan bukan karena keshalehannya, karena sudah pasti dalam keshalehan, para malaikat lebih unggul dari Adam. Selain pengetahuan sebagai alasan bentuk perhormatan kepada Adam, proses penciptaannya pun merupakan sebaik-baiknya, yang membuat kemuliaan tersendiri manusia. Uraian lengkap lihat QS. Al-Baqarah (2 : 34). Khairul Anam HS, Problema Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi, dalam http://anampunyablog.blogspot.com/2009/01/. 11A. Munjin Nasih, Ilmu Umum Dan Agama Adakah Dikotomi, Artikel 2008, 1-2.
215
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
pengetahuan atau dalam bahasa Arab disebut ―ilmun‖ tidak bisa dipungkiri merupakan suatu faktor penentu kemajuan suatu bangsa dan masyarakat. Bangsa yang maju biasanya ditandai dengan tingkat pengetahuan yang baik dalam segala aspek kehidupan. Begitu tingginya nilai ilmu dalam peradaban manusia, Allah menegaskan dalam Al-Qur‘an bahwa Dia akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu dan beriman sebagaimana dalam QS. Al-Mujadilah, 58 : 11, Allah Berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”12 Karena itu, dalam konteks ini tidaklah berlebihan jika Rasulullah menegaskan dalam salah satu hadisnya, Rasalullah bersabda:
“Carilah ilmu sampai ke Negeri China, sebab mencari ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim”. (HR. Ibnu Abdul Barri). 13 Hadis di atas menjelaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam. Ditambahkan oleh Rasulullah, seandainya suatu ilmu harus dicari sampai ke negeri China sekalipun, maka hal itu harus dilakukan. Selain itu, penjelasan di atas menunjukkan kepada kita betapa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu. Apapun bentuk ilmu itu, selama bisa memberikan kemanfaatan, maka ilmu tersebut harus dicari. Allah dan Rasul-Nya tidak menyebut suatu disiplin ilmu tertentu yang menjadi penyebab seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT, demikian juga tidak menyebut dengan menunjuk ilmu-ilmu tertentu untuk dipelajari. Namun, sampai saat ini, mayoritas hampir masyarakat muslim masih melakukan kategorisasi ilmu yang dikotomi menjadi dua ilmu, yakni ilmu dunia (sains) dan ilmu akhirat (agama). Pembagian ini secara tidak langsung menjadikan banyak umat Islam beranggapan bahwa mempelajari ilmu-ilmu sains, seperti kedokteran, biologi, ekonomi, matematika atau yang lain dikategori sebagai fardhu kifayah. Akibat dari sikap ini, tidak diwajibakan semua umat Islam mempelajari ilmuilmu tersebut. Sebaliknya, mempelajari ilmu-ilmu agama, seperti tasawuf, fiqih, aqidah, tajwid, bahasa Arab atau yang lain bisa termasuk kategori fardhu ‟ain. Dengan kata lain, semua umat Islam wajib mempelajarinya. Jika tidak mempelajari, dia termasuk hamba yang melanggar perintah Allah.14 UII Press, Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya, Penerjemah: Zaini Dahlan (Yogyakarta: UII Press, 2006), 987. 13 Fachruddin dan Irfan Fachruddin, Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis Pilihan) (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 67. 14 Syamsul Ma‘arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 13. 12
216
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
Apabila Pandangan ini dikorelasikan dengan firman Allah dan hadis Rasul di atas, tidak hanya salah, akan tetapi pandangan ini bisa merusak bangunan aqidah. Umat Islam seharusnya meyakini bahwa semua ilmu datangnya dari Allah, baik ilmu umum atau agama dan tidak perlu dimunculkan dikotomi antara keduanya. Sependapat dengan penjelasan di atas, Murtadha Mutahhari15 mengungkapkan tentang iman dan sains. Keduanya merupakan karakteristik khas insani. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud-wujud suci, dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan menuju sesuatu. Ini adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Di pihak lain, manusia juga memiliki kecenderungan untuk selalu ingin memahami alam semesta dan kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang dan masa mendatang, yang semuanya merupakan ciri khas sains. Karena iman dan ilmu merupakan karakteristik insani, maka pemisahan antara keduanya justru akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu mengakibatan fanatisme dan kemunduran, tahayyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan digunakan untuk mengumbar hawa nafsu, kerakusan, ekspansionisme, ambisi, kesombongan, kecurangan dll. Amin Abdullah16 menambahkan bahwa akibat dari pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitasmoralitas, terasing dari dirinya senidiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya sekitarnya. Intinya, terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan. Dalam kasus pendidikan Islam di Indonesia, pola dualisme-dikotomis ilmu telah memunculkan beberapa problem tersendiri. Di antaranya: pertama, ambivalensi oirientasi pendidikan Islam; kedua, kesenjangan antara pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalensi mencerminkan pandangan dualisme yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan dengan konsep Islam sendiri. Sebab Islam memiliki ajaran integralistik. Islam tidak mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan urusan akhirat; ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam hingga saat ini boleh dikatakan kurang terjadi perpaduan (usaha integrasi). Tidak adanya hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum; dan keempat, inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam sebagaimana pendidikan Barat sebagai tolak ukur kemajuan. Pendidikan Islam selalu dipandang sebagai sosok terbelakang, konsekuensinya, perubahan-perubahan yang dilakukan, karena pola tersebut seperti yang diterapkan pada umumnya dalam pendidikan Islam atau madrasah telah menghasilkan bentuk-bentuk yang tidak fungsional.17 Dengan kata lain, dualisme-dikotomis itu pada praktiknya lebih banyak memberi dampak negatif dari pada positif. Secara pribadi, hal ini cenderung mengarah pada terbentuknya kepribadian terbelah (split personality) dan secara 15
Murtadha Muttahari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1984),
16
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi..., 94. Syamsul Ma‘arif, Revitalisasi Pendidikan Islam...., 16.
30. 17
217
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
komunal mengarah pada terciptanya disintegrasi kebudayaan dan peradaban. Oleh karena itu, desekularisasi sains sains-teknologi) dan ilmu agama harus selalu diupayakan, karena sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama yang mendesekularisasi-kan keduanya.18 Dalam Al-Qur‘an, ada tiga hal yang menjadi objek kajian ilmu, dan ketiganya merupakan kesatuan perwujudan dari tanda-tanda (ayatayat) Tuhan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: 1. Ayat-ayat Tuhan yang terdapat dalam alam semesta, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah, 2: 164, Allah Berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tandatanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”19 2. Ayat-ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah, sebagaimana Allah Berfirman dalam QS. Fushshilat, 41: 53:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”20 3. Ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci, antara lain Al-Qur‘an itu sendiri, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Nisa‘, 4: 82, di bawah ini:
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
Murtadha Muttahari, Perspektif al-Qur‟an..., 30. UII Press, Qur‟an Karim…, 43. Dalam ranah teknologi, salah satu jenis hewan yang menjadi inspirasi dan pengetahuan manusia membuat kapal terbang yaitu burung terbang dengan kedua sayapnya. 20 Ibid., 25. 18 19
218
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
dalamnya.” 21 Tidak jauh beda dengan pendapat di atas, A. Munjin Nasih22 menjelaskan juga tentang klasifikasi ayat-ayat Tuhan. Dia membagi ayat-ayat Allah menjadi dua, yakni ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyyah. Ayat-ayat kauniyah adalah ayat-ayat Allah yang berupa alam semesta, sementara ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam kitab-kitab suci-Nya. Dari dua ayat ini, lahirlah berbagai ilmu yang dipelajari oleh manusia. Ilmu kedokteran, astronomi, kimia, teknik, tasawuf, fiqih, ushul fiqih, nahwu semuanya terlahir dari dua ayat Allah tersebut. Dengan demikian, merujuk kepada sumber ilmu tersebut, maka tidak pada tempatnya jika ada orang meyakini bahwa mempelajari ilmu kedokteran atau ekonomi, misalnya tidak terkategori sebagai ibadah dan sebaliknya mempelajari fiqih, hadits dikategorikan sebagai ibadah. Suatu aktifitas ilmu akan diakui sebagai amalan ibadah manakala dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah dan bukan yang lain. Dengan kata lain, orang yang mempelajari Al-Qur‘an atau Hadist sekalipun, kalau tidak diniatkan kepada mencari ridha Allah, maka dipastikan yang bersangkutan tidak mendapatkan pahala dari Allah. Sebaliknya mereka yang mempelajari ekonomi, misalnya, demi menciptakan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencari ridha Allah, pasti yang bersangkutan akan mendapat pahala dari-Nya. Dialektika Islamisasi Sains-Teknologi sebagai Solusi Baru Epistemologi Keilmuan di Lembaga Pendidikan Islam Jujun S. Suriasumantri menyatakan, setiap jenis pengetahuan23 mampunyai ciriciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini sangat berkaitan; ontologi ilmu berhubungan dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi dan seterusnya.24 Epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistemik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan metafisika sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, Hardono Hadi berpendapat, apabila kita berani memasuki permasalahan epistemologi, akan tampak betapa pentingnya upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertanggungjawaban Ilahiah yang bersumber dari Al-Qur‘an dan Hadis. Hal ini penting, untuk membedakan manakah hal yang perlu dipercaya, dipegang, 21 Ibid., 160. Musa Asy‘arie, Epistemologi dalam Persepektif Pemikiran Islam, dalam buku, ―Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum‖, Ed. Jarot Wahyudi, dkk. (Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003), 35&44. 22 A. Munjin Nasih, Ilmu Umum..., 2-3. 23 Menurut Mudjia Rahardjo sebagaimana lazimnya bahwa pengetahuan merupakan istilah umum (general term) yang mencakup segenap bentuk pengetahuan, maka secara garis besar pengetahuan dapa tdigolongkan menjadi tiga kategori utama yaitu, 1) pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk (ethics), 2) pengetahuan tentang apa yang indah dan apa yang jelek (esthetics), dan 3) pengetahuan tentang apa yang benar dan apa yang salah (logics). Lihat Mudjia Rahardjo, Konsep dan Paradigma Keilmua Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dalam Mudjia Rahardjo, Qou Vadis Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 207. 24 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Remaja Karya, 1990), 105.
219
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
dipertahankan dan yang cukup ditanggapi dengan sikap biasa.25 Dari perkembangan sains-teknologi yang sangat pesat dalam periode klasik peradaban Islam, ini membuktikan bahwa epistemologi sudah banyak berkembang pada saat itu. Meskipun para sarjana muslim pada saat itu, banyak mengadopsi peradaban Islam, namun dengan aplikasi epistemologi yang mereka kuasai mampu mengembangkan yang terbaik di bidang sains-teknologi dan dipersembahkan kepada masyarakat dunia. Pada masa itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Taufik26, berbagai cabang sain-teknologi lahir. Sains-teknologi yang telah diletakkan dasardasarnya oleh peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dikembangkan, dan dijabarkan, secara sederhana oleh kaum Muslim. Sains-teknologi tersebut kemudian diwariskan kepada generasi dan peradaban modern serta turut memberikan andil yang amat besar bagi proses kebangkitan kembali (renaissance) bangsa-bangsa Eropa. Tokoh-tokoh peletak dasar sain-teknologi pada waktu itu, di antaranya Al-Khawarizmi (pembuat peta bumi dan peta langit [peta bintang] dan ahli matematika /algoritma; al-Farabi (ahli astronomi), al-Kindi atau di Barat dikenal dengan Alhazen (ahli ilmu fisika) dan Ali at-Tabari (Ahli bidang kedokteran). Untuk mencapai kembali kejayaan itu yang bersumber dari Al-Qur‘an dan Hadis, pendidikan Islam harus melakukan proyek besar yakni desekularisasi ulang epistemologi keilmuan. Salah satu bentuk desekularisasi ulang epistemologi keilmuan di sini adalah meninjau kembali konsep Islamisasi sains-teknologi. Di dalam tulisan ini, hanya ada dua tokoh pelopor Islamisasi sains-teknologi yang akan dijadikan rujukan yaitu Ismail Raji al-Faruqi dan Ziauddin Sardar, karena kedua tokoh tersebut bisa mewakili berbagai perspektif tentang Islamisasi sains-teknologi.27 Konsep Islamisasi al-Faruqi pada dasarnya adalah konsep rekonstruksi paradigma keilmuan dan sistem pendidikan Islam.28 Ide ini tidak sejalan dengan pemikiran Fazlur Rahaman –pemikir Islam asal Pakistan-. Fazlur Rahman menyatakan bahwa umat Islam tidak perlu melakukan Islamisasi sains-teknologi29, yang perlu kita lakukan 25P.
Hardono Hadi, Epistimologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 6-7. Taufik N.T. 2010. ―Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam‖. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2012 dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/10/09/kemajuan-sains-dan-teknologi-pada-masa-kekhifahanislam/ 27Dari pemikiran kedua tokoh tersebut, istilah yang sering digunakan adalah istilah ―Islamisasi ilmu‖. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah ―Islamisasi sains-teknologi‖, karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ketika membahas tentang ilmu/sains, maka termasuk juga di dalamnya membahas teknologi. 28Sirozi, Prawacana: Islamization of Knowledge; Memahami Konsep Pemikiran al-Faruqi, dalam buku Abdurrahmansyah, ―Sintesis Kreatif: Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Isma‘il Raji‘ AlFaruqi‖ (Jogjakarta: Global Pustaka Utama, 2002), xxiii. 29Islamisasi, ditinjau dari katanya berasal dari akar kata Islam. Secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan patuh. Sedang terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada Tuhan yang dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur‘an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi sendiri bermakna pengislaman. Uraian lebih lengkap lihat Norcholis Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998), 47. Secara definitif Islamisasi sains-teknologi dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan dan teknologi, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur‘an dan al-Sunnah. 26M.
220
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif dan positif.30 Namun, gagasan al-Faruqi mendapat dukungan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurut al-Attas, sudah waktunya umat Islam mengahasilkan suatu sistem ilmu pengetahuan yang berbasis Islam menuju gerakan desekularisasi sains-teknologi. Al-Faruqi telah mencoba menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi sains-teknologi dengan beberapa tahapan sistematis pencapaiannya.31 Kelima sasaran tersebut meliputi: 1) menguasai disiplin-disiplin modern; 2) menguasai khazanah Islam; 3) menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern; mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern; 4) mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern; dan 5) megarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah. Al-Faruqi menambahkan bahwa sasaran di atas bisa dicapai melaui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi sains-teknologi,32 antara lain : 1) penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern; 2) survei disipliner, agar sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern; 3) penguasaan tehadap khazanah Islam; 4) analisa terhadap khazanah Islam dari perspektif masalah-masalah masa kini; 5) penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu; 6) penilaian kritis terhadap disiplin modern (dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam); 7) penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan; 8) survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam, meliputi masalah politik, sosial ekonomi, intelektual, kultural, moral, dan spiritual kaum muslim; 9) survei mengenai problem-problem umat manusia; 10) analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin modern; 11) merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka (frame work) Islam. Tahap ini dilakukan setelah keseimbangan antara khazanah Islam dengan modern telah dicapai, maka buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam; dan 12) penyebaran ilmu pengetahuan untuk mensosialisasikan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Pada intinya, langkah Islamisasi sains-teknologi seperti itu adalah berupaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kerangka Islam. Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditolak keras oleh Ziauddin Sardar. Menurut Sardar, solusi agar keluar dari dualisme kelilmuan yaitu dengan cara meletakkan epistimologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Dari segi epistimologi, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan Muhaimin, Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-Model Pengembangannya, dalam Mudjia Rahardjo, Qou Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 229. Bagi Muhaimin definisi ini bisa menjembatani terjadinya pro-kontra tentang adanya isu Islamisasi ilmu. 30 Mengenal pemikiran Rahman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan selengkapnya, baca Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 113-117. 31Isma‘il Raji Al-Faruqi, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, AE Priyono (ed) (Surabaya: Risalah Gusti, 1998) h. 47. 32Isma‘il Raji Al-Faruqi, Jihad Intelektual..., h. 48-50.
221
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Perlu ada kerangka teoritis ilmu yang mengembangkan gaya-gaya dan metode-metode aktifitas ilmiah yang sesuai dengan tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma budaya muslim. Perlu diciptakan teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan modern.33 Dengan demikian, Sardar menegaskan bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Justru sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, maksudnya ilmu pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam, karena secara apriori Islam yang bersumber dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa. Menurut Sardar, corak berfikir seperti itu (mode of thought an inquiry) hanya sebatas mengeksploitasi ilmu pengetahuan Islami namun tetap menggunakan corak berfikir Barat.34 Berangkat dari pemikiran di atas, Sardar mengusulkan agar yang pertama kali dibangun adalah pandangan dunia Islam (Islamic world view) atau bagaimana membangun epistemologi Islam yang berdasarkan pada al-Qur‘an dan Hadis ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemporer. Menurut Sardar, pembangunan epistemologi Islam tidak mungkin dengan menyandarkan pada disiplin-disiplin ilmu yang ada, namun perlu mengembankan paradigma-paradigma baru di mana ekspresi-ekspresi eksternal peradaban Islam yang meliputi sains, teknologi, politik hubungan antar bangsa, struktur sosial, ekonomi, pembangunan masyarakat desa dan kota dan sebagainya dapat dipelajari dan dikembangkan dalam hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer.35 Karena itu, percuma saja kita melakukan Islamisasi sains-teknologi kalau akhirnya dikembalikan standarnya pada sains-teknologi Barat. Sardar menilai bahwa langkah-langkah Islamisasi sains-teknologi al-Faruqi mengandung cacat fundamental, karena mementingkan adanya relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin sains-teknologi modern sehingga membuat kita terjebak ke dalam ‖westernisasi Islam‖. Langkah ini menjustifikasi kepada pembenaran ilmu Barat sebagai standar dan mendominasi perkembangan ilmu pengetahuan secara makro. Karenanya, Sardar mengajak bahwa Islamisasi sainsteknologi bagaimanapun harus bertitik tolak dari membangun epsitemologi Islam, sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar Islam. Dari kedua pemikiran tokoh Islamisasi sains-teknologi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kedua pemikiran tokoh tersebut berseberangan dalam memahami Islamisasi sains-teknologi. Corak berfikir al-Faruqi nampaknya lebih bersifat praktisaplikatif (tesis) dari pada paradigma Sardar yang lebih bercorak idealis (anti tesis). Kelemahan pemikiran Sardar itu menimbulkan image seakan-akan telah terjadi stagnasi, karena harus membangun peradaban manusia dari nol dan ada kesan bahwa pemikiran sardar telah menafikan karya-karya para ahli yang sudah menjadi rujukannya. Untuk menghadapi dua perbedaan di atas, maka harus ada upaya dialektika Islamisasi sains-teknologi secara komplementatif yaitu saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-masing dari pemikiran dua tokoh tersebut dalam suatu kesatuan epistemologi keilmuan yang Syamsul Ma‘arif, Revitalisasi Pendidikan Islam..., 16. Ibid., 50-51. 35 Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Integrasi Psikologi..., 116. 33 34
222
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
utuh untuk diaplikasikan di lembaga pendidikan Islam dengan berdasarkan pada AlQur‘an dan Hadis. Untuk keperluan jangka panjang, lembaga pendidikan Islam bisa mengikuti corak berfikir Sardar, sehingga dapat menghasilkan kontribusi pemikiran keilmuan yang berparadigma Islami. Sebaliknya untuk jangka pendek dan menengah, perlu mengikuti pemikiran al-Faruqi. Di sini dimaksudkan agar umat Islam tidak terlalu ketinggalan dari Barat. Dengan mensinergikan kekuatan pengetahuan Barat dengan ajaran Islam, nantinya diharapkan bisa menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan dalam bingkai ajaran Islam guna memenuhi kebutuhan mendesak umat Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menghilangkan kesan dikotomi antara sains-teknologi dan ilmu agama yang selama ini telah mengkristal di kalangan akademisi terutama di lembaga pendidikan Islam. PENUTUP Pada hakikatnya, Al-Qur‘an dan Hadis tidak pernah membedakan-bedakan posisi sains-teknologi dan ilmu agama, bahkan keduanya memberikan perhatian yang besar terhadap sains-teknologi dan ilmu agama. Apapun bentuk sains-teknologi dan ilmu agama, selama bisa memberikan kemanfaatan, maka sains-teknologi dan ilmu agama tersebut harus dicari, sehingga Allah dan Rasul-Nya tidak menyebut suatu disiplin ilmu tertentu yang menjadi penyebab seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT, demikian juga tidak menyebut dengan menunjuk ilmu-ilmu tertentu untuk dipelajari. Dengan demikian, gerakan desekularisasi sains-teknologi dan ilmu agama harus selalu diupayakan, karena sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama yang mendesekularisasi-kan keduanya. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini, umat Islam masih belum mampu melakukan desekularisai secara aplikatif, karena kajian tentang desekularisasi sains-teknologi dan ilmu agama lebih banyak menawarkan konsep filosofis-doktriner dan mengabaikan tawaran konsep implementatif, sehingga yang terjadi adalah misi mulia yang mengawang-awang. Oleh sebab itu, pendidikan Islam harus melakukan proyek besar yakni desekularisasi ulang epistemologi keilmuan. Salah satu bentuk desekularisasi ulang epistemologi keilmuan di sini adalah meninjau kembali konsep Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama. Di dalam tulisan ini, hanya ada dua tokoh pelopor Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama yang akan dijadikan rujukan yaitu Ismail Raji al-Faruqi dan Ziauddin Sardar, karena kedua tokoh tersebut bisa mewakili berbagai perspektif tentang Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama. Kedua pemikiran tokoh Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama tersebut berseberangan dalam memahami Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama. Corak berfikir al-Faruqi nampaknya lebih bersifat praktis-aplikatif (tesis) dari pada paradigma Sardar yang lebih bercorak idealis (anti tesis). Kelemahan pemikiran Sardar itu menimbulkan image seakan-akan telah terjadi stagnasi, karena harus membangun peradaban manusia dari nol dan ada kesan bahwa pemikiran sardar telah menafikan karya-karya para ahli yang sudah menjadi rujukannya. Untuk menghadapi dua perbedaan di atas, maka harus ada upaya dialektika Islamisasi sains-teknologi dan ilmu agama secara komplementatif yaitu saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masingmasing dari pemikiran dua tokoh tersebut dalam suatu kesatuan epistemologi keilmuan yang utuh untuk diaplikasikan di lembaga pendidikan Islam dengan berdasarkan pada Al-Qur‘an dan Hadis. Untuk keperluan jangka panjang, lembaga 223
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
pendidikan Islam bisa mengikuti corak berfikir Sardar, sehingga dapat menghasilkan kontribusi pemikiran keilmuan yang berparadigma Islami. Sebaliknya untuk jangka pendek dan menengah, perlu mengikuti pemikiran al-Faruqi. Di sini dimaksudkan agar umat Islam tidak terlalu ketinggalan dari Barat. Dengan mensinergikan kekuatan pengetahuan Barat dengan ajaran Islam, nantinya diharapkan bisa menghasilkan sebuah sains-teknologi dalam bingkai ajaran Islam guna memenuhi kebutuhan mendesak umat Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menghilangkan kesan dikotomi antara sains-teknologi dan ilmu agama yang selama ini telah mengkristal di kalangan akademisi terutama di lembaga pendidikan Islam.
224
Nurul Anam: Al-Qur‘an dan Hadits Dialektika Sains Teknologi dan Ilmu Agama
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Al-Faruqi, Isma‘il Raji, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, AE Priyono (ed) (Surabaya: Risalah Gusti, 1998. Nurul Anam, Desekularistik-Implementatif sebagai Paradigma Baru Masa Depan Pendidikan UIN, Panduan Katalog dalam Acara 9th ACIS DIKTIS Kemenag RI yang Bekerjasama dengan STAIN Surakarta, 2-5 Nopember 2009. Anam, Khairul HS, Problema Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi, dalm http://anampunyablog.blogspot.com/2009/01. Ancok, Djamaluddin dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. Asy‘arie, Musa, Epistemologi dalam Persepektif Pemikiran Islam, dalam buku, ―Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum‖, Ed. Jarot Wahyudi, dkk., Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003. Fachruddin dan Irfan Fachruddin, Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis Pilihan), Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Hadi, P. Hardon, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet. XI; Bandung : Mizan 1998. Ma‘arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Muhaimin, Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-Model Pengembangannya, dalam Mudjia Rahardjo, Qou Vadis Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2006. Muttahari, Murtadha, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan, 1984. Nasih, A. Munjin, Ilmu Umum Dan Agama Adakah Dikotomi, Artikel 2008. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979. --------------------, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet V; Bandung : Mizan, 1998. Nihaya, Filafat Umum: Dari Yunani Kuno Sampai Modern, Makassar: Berkah Utami, 1999. Rahardjo, Mudjia, Konsep dan Paradigma Keilmua Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dalam Mudjia Rahardjo, Qou Vadis Pendidikan Islam, Malang: UINMalang Press, 2006. Sirozi, Prawacana: Islamization of Knowledge; Memahami Konsep Pemikiran al-Faruqi, dalam buku Abdurrahmansyah, ―Sintesis Kreatif: Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Isma‘il Raji‘ Al-Faruqi‖, Jogjakarta: Global Pustaka Utama, 225
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
2002. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Remaja Karya, 1990. Taufik, M. N.T. 2010. ―Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam‖. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2012 dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/10/09/kemajuan-sains-dan-teknologipada-masa-kekhifahan-islam/ Tim Redaksi, Universitas Islam Negeri dan Misi Pengembangan Sains, Jurnal Perta: Vol.V/No.01/2002. UII Press, Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya, Penerjemah: Zaini Dahlan, Yogyakarta: UII Press, 2006. Zainuddin, M., UIN: Menuju Integrasi Ilmu dan Agama, dalam M. Zainuddin (Ed.), Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan, Malang: Bayumedia, 2004.
226
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
ISLAM KANAN VERSUS ISLAM KIRI DI INDONESIA MUHAMMAD MUSLIM Kemenag Kabupaten Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Realitas kelompok umat Islam di Indonesia secara sederhana dapat dikelompokan menjadi dua golongan, yaitu: pertama, golongan kanan, yang dikenal kemudian dengan sebutan Islam kanan atau dengan istilah Funadamentalisme. Islam kanan lebih menekankan pada pemahaman teks secara normative, ingin mengembalikan kejayaan Islam pada masa Rasul dipraktekan dalam kontreks kekinian. Mereka selalu menggunakan issue-issue politik, seperti khilafah, anti barat, dan bahkan bisa bertindak anarkhis atas dalil agama, termasuk juga gerakan terorisme. Islam kanan juga terkesan sangat eksklusif, intoleran terhadap kelompok lain yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Secara historis Islam Kanan memiliki akar dengan kelompok DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo yang menentang perjanjian Renvile pada masa awal Indonesia dan berakhir dengan pemberontakan terhadap NKRI pada tahun 60-an. Kedua, golongan kiri, adalah kelompok yang lebih terbuka, inklusif, toleran terhadap nilai-nilai local maupun nilai-nilai Barat. Islam kiri bisa juga direpresentasikan oleh kelompok Islam tradisional yang bersifat moderat. Islam kiri juga bisa dikembangkan oleh gerakan Islam liberal saat ini. Kata Kunci: Islam Kanan, Islam Kiri dan Sejarah Islam Indonesia PENDAHULUAN Wacana Islam kanan dan Islam kiri sebenarnya sudah berkembang sejak lama. Meski demikian penyebutan Islam kiri dan Islam kanan ini cendrung terlihat provokatif dan menimbulkan kesan pertentangan yang sangat luar biasa. Penyebuatan kiri dan kanan ini, dalam beberapa tulisan para pemerhati Islam sering juga disebut sebagai kelompok moderatisme vs fundamentalisme. Kelompok moderat ini, cenderung berkarakter inklusif, toleran, santun dan memperjuangkan keadilan dalam kesejaran antar pemeluk agama. Sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan penganut agama-agama selain Islam. Di sisi yang lain, ada kelompok Islam kanan atau yang biasa juga disebut kelompok fundamentalis. Mereka selalu bergerak secara separatis, sewenang-wenang, dan agresif, serta mudah marah. Mereka sangat intoleran dan eksklusif dan menunjukkan wajah antagonis dengan kelompok Islam kiri atau moderatisme. Bahkan mereka cenderung mengkafirkan kelompok lain yang tidak sefaham dengan mereka.1 Pembahasan ini menjadi menarik karena masing-masing sama-sama mengklaim sebagai perwajahan Islam yang paling benar. Dalam konteks ke Indonesiaan, dua wajah ini sering bersinggungan dan tidak jarang saling ―serang‖ baik dalam konteks wacana maupun gerakan ke-Islaman yang ada di lapangan. 1Stephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces Of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, terjemah, (Jakarta: Penerbit Blantika, 2007), xvi
227
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Bahkan, dalam beberapa kasus, dua karakteristik wajah Islam ini telah berada dalam titik yang sangat menghawatirkan. Perang urat saraf antar kedua kelompok ini, juga sering menimbulkan konflik dan bahkan berbuah teror. Seperti yang menimpa ketua Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdallah beberapa waktu yang lalu. Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas tentang wacana Islam Kiri dan Kanan sebagai sebuah upaya mencari korelasi dan perbedaan yang mendasar. Meski hal itu sangat sulit, tapi penulis yakin bahwa keduanya pasti memiliki titik temu dalam beberapa hal yang tidak semuanya mungkin dapat disatukan. Sebab penulis berpandangan bahwa Islam semuanya bersumber pada landasan yang sama yakni AlQur‘an dan Hadith. MENGENAL KARAKTER ISLAM KIRI DAN KANAN Penyebutan istilah Islam kiri dan dan kanan sebenarnya sudah berekembang jauh sebelum masa reformasi di Indonesia. Meski demikian, lebelisasai Islam Kiri dan Kanan ini, merebak begitu luas setelah runtuhnya rezim orde baru dan lahirnya orde reformasi dengan segala sistem kepemerintahan dan sosio kultur yang baru di Indonesia. Dengan demikian istilah kiri dan kanan merupakan terma baru untuk memotret gejala yang sebenarnya telah lama hadir dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakan muslim Indonesia. Dalam beberapa negara terma ini disederhanakan dengan penyebutan pada kelompok liberal dan konservatif. Kelompok Islam Liberal diistilahkan dengan Kiri Islam sementera kelompok Konservatif diistilahkan dengan Kanan Islam. Kalau dilihat dari istilah atau penyebutan terhadap kedua kelompok ini, tentu akan tergambarkan pemikiran adanya dua sisi yang sangat berlawanan dan sulit untuk dipertemukan. Meski demikian, keambiguan ini sebenarnya bisa dicairkan manakala kita tidak menariknya pada ranah politik sebagaimana asal kiri-kanan berasal namun lebih pada domain pemahaman keagamaan yang perwujudannya bisa dalam segi apapun termasuk politik. Untuk mengambarkan fenomena kontemprer ini, antara kelompok Kiri dan Kanan atau kelompok fundamentlisme dan Liberalisme ini memang ditemukan istilah yang beragam. Belum lagi, geakan Islam Konservatif yang radikal di Indonesia ini memiliki banyak bentuk dan wajah. Mereka lahir dengan berbagai gaya dan kelompok tersendiri, untuk mengekspresikan gerakan mereka yang selalu diklaim sebagai gerakan kembali ke Islam, atau kembali ke Al-Qur‘an dan Hadith. Pada sisi yang lain, dengan munculnya berbagai perdebatan tentang modernisme Islam juga bermunculan kelompok yang ingin meletakkan Islam dalam konteks ke Indonesiaan. Gejala-gejala ini muncul dengan sangat kuat dan melakuan propaganda yang sangat luar biasa, dengan issu Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Untuk mempermudah mengenal ciri-ciri dan karakter kedua gerakan Islam ini, dapat diurai sebagai berikut2: NO 1
KARAKTER KIRI Pemahaman yang kontekstual bahkan
KARAKTER KANAN Pemahaman yang sangat literal
2http://fuadmunajat.blogspot.com/2009/02/islam-indonesia-sinergi-kiri-dan-kanan
228
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
2
3 4 5
tidak jarang menggunakan pendekatan hermeunetika yang selama ini berkembang untuk tafsir bibel Islam merupakan konstruksi historis bahkan dalam pandangan ekstrim mereka al-Quran adalah produk budaya Negara boleh berbentuk apa saja yang penting nilai Islam dapat ditegakkan Bersikap pluralis bahkan dalam pemahaman keagamaan menganut wihdatul adyan Menolak Barat dengan konsep oksidentalismenya (sebenarnya tidak menolak)
terhadap ajaran Islam Keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satusatunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini Perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam Resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan, Penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat
Pemetaan karakter di atas bukan berarti karakter mutlak bagi masing-masing kelompok. Untuk itu, dalam buku Illusi Negara Islam (ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia), memberikan definisi pandangan yang sedikit berbeda dengan klasifikasi karakter di atas. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian tersebut dijalaskan bahwa, ciri-ciri Islam konservatif yang cenderung beraliran keras adalah, secara individu orangnya menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama. Cenderung bersikap tidak toleran terhadap pandangan yang berbeda, cenderung mendorong dan memaksa orang lain untuk melaksanakan pemahamannya, membenarkan kekerasan, menolak Pancasila sebagai dasar negara dan menginginkan Islam untuk menjadi dasar negara, atau mengiinginkan Negara Islam dan Khilafah Islamiyah. Sedangkan organisasi dari kelompok keras atau konservatif ini, memiliki visi dan misi yang sangat tidak toleran kepada perbedaan, dan sikap tersebut ditunjukkan secara prontal dan tersembunyi.3 Sementara untuk kelompok kiri Islam, terlihat lebih moderat dan dinamis. Misalnya, menerima perbedaan, dan menerima Dasar Negera Pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia. Mereka juga memandang bahwa Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.4 Hal senada juga digambarkan oleh Jamhari Jajang Jahroni dalam bukunya Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan bahwa setikdanya ada lima landasan idiologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan radikalisme di Indonesia. Antara lain, mereka berpandangan bahwa Islam adalah pandangan hidup yang komperihensif dan bersifat total, menganggap idelogi barat sekuler dan materialis dan harus ditolak, mengajak kembali ke Al-Qur‘an dan Sunnah, tegakkan 3Wahid, Abdurrahman, dkk., Ilusi Negara Islam (ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia), (Jakarta: PT. Desantara Utama Media, 2009), 45-46. 4Ibid. Ilusi Negara Islam, 46-47
229
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
syari‘aat Islam, suka mengangung agunkan kejayaan Islam masa lalu, memiliki kelompok yang militan dan kuat.5 AKAR HISTORIS ISLAM KANAN DAN KIRI 1. Sejarah Perkembangan Islam Kanan Munculnya gerakan Islam Kanan, atau Fundamentalisme Islam di Indonesia sebenarnya jauh melebihi gerakan reformasi yang menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Meski demikian, gerakan tersebut muncul ke permukaan secara dramatis bersamaan dengan tumbangnya Soeharto di tahun 1998. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai organisasi yang mengatas namakan agama Islam dan berjuang untuk menegakkan syari‘at. Kalau dilihat dari kacamata sejarah, sebenarnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia sudah muncul sejak jaman penjajahan belanda. Salah satu gerakan Islam garis keras yang muncul saat itu adalah gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini sangat berkembang pesat di beberapa wilayah, diantaranya adalah wilayah Jawa Barat, Aceh dan Makasar. Pada awalnya gerakan DI ini hanya di Jawa Barat, tapi setelah itu gerilyawan Aceh dan Makasar ikut bergabung. Gerakan tersebut disatukan dengan keinginan yang sama yakni menjadikan syari‘ah sebagai dasar Negara Indonesia.6 Gerakan DI/TII ini muncul pada saat grilyawan di bawah pimpinan Kartosuwiryo menolak perjanjian renville dengan pemerintahan Belanda. Kelompok ini, menjadikan syari‘ah sebagai dasar hukum bagi kelompoknya dan menamakan dirinya sebaga Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini berhenti ketika semua pimpinan mereka tertangkap atau terbunuh pada awal 1960-an. Gerakan serupa kembali muncul pada awal tahun 1970-an dan 1980-an. Issuissu yang diangkat pada masa itu adalah gerakan melawan komunisme di Indonesia. Sehigga kuat dugaan gerakan Islam pada saat itu sengaja dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menghabisi komunis di Indonesia. Setelah itu, gerakan fundamentaslisme Islam atau Islam Kanan ini kembali merebak pada orde reformasi. Selain sebagai wujud respons psikologis terhadap tekanan orde baru pada era sebelumnya, gerakan ini juga muncul sebaga uforia atas kebebasan yang mereka terima. Issu-issu yang diangkat selain ingin menegakkan syari‘ah juga mengusung issu-issu solidaritas terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain. Kelompok ini terinspirasi juga oleh gerakan revolusi di Iran. Sehingga akhirnya muncul gerakan radikalisme di Indonesia. Terlepas dari issu-issu yang mereka angkat, secara pandangan teologis, mereka mereka juga diinspirasi oleh pemahaman agama yang teksualis seperti yang tertuang dalam teks-teks suci. Kelompok ini cenderung mengabaikan faktor kontes sosial di masyarakat, sejarah dan politik. Dari beberapa pandangan di atas dapat ditarik sebuah garis merah bahwa yang termasuk dalam golongan gerakan Islam Kanan antara lain; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), dan Hizbuttahrir Indonesia (HTI). Kelompok-kelompok Islam ini, memiliki rekam jejak yang sama atau setidaknya persis dengan ciri-ciri Islam kanan yang telah digambarkan di atas. 5Jamhari Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 3-6 6Ibid, 17.
230
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dideklarasikan di Yogyakarta pada bulan Agustus Tahun 2000. Saat itu, puluhan ribu umat Islam datang dari berbagai wilayah bahkan juga dihadiri oleh perwakilan dari luar negeri. Saat itu yang terpilih untuk menjadi Amir MMI adalah Abu Bakar Ba‘asyir yanga juga pendiri Pondok-Pesantren Ngruki. Agenda utama dari MMI adalah penegakan syariat Islam di Indonesia. Mereka mendabakan Daulah Islamiyah. Tidak heran kalau dalam beberapa kesempatan mereka mengklaim sebagai gerakan penerus DI/TII yag sempat pupus di tahun 1960-an. Gerakan yang dipilih oleh MMI adalah gerakan politik dan akademis. Selain mencoba mendekati para politisi Islam, mereka menulis di berbagai media untuk memperjuangkan missinya dan kembali memperjuankan pelaksanaan Piagam Jakarta melalui sidang-sidang di parlemen.7 Front Pembela Islam (FPI), kelompok ini merupakan salah satu kelompok Islam yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan amar ma‘ruf nahi mungkar. Kegiatan utama dari FPI adalah melakuan razia tempat-tempat maksiat, dan melakukan kampanye anti barat. FPI lahir di tahun 17 Agustus 1998.bersamaan dengan pertemuan para tokoh agama Islam di Pondok Pesantren al-Umm Ciputat, Tagerang. Awalnya pertemuan tersebut merupakan pertemuan tasyakuran hari kemerdekaan dan diskusi tentang persoalan umat. Tapi akhirnya para tokoh yang hadir, seperti KH. Cecep Bustomi, Habib Muhammad Rizieq Syihab, KH. Misbahul Anam, KH. Daman Huri dan Habib Idrus Jamaludin. Pertemuan itu kemudia menghasilkan kesepakatan untuk mebuat sebuah wadah yang akan digunakan untuk menampung masalah ummat, dan terbentuklah FPI. Pada awal pendiriannya, Habib Rieziq sebagai ketua menegaskan bahwa lembaga FPI didirikan sebagai wadah yang akan melaksanakan gerakan amar ma‘ruf nahi mungkar. Dalam AD/ART FPI disebutkan bahwa latar belakang berdirinya FPI antara lain disebabkan oleh banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa sehingga umat Islam mengalami banyak penderitaan, kedua adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan maratabat Islam serta umat Islam.8 Bagi FPI menegakkan syari‘at Islam bukan suatau pemaksaan melaikan kewajiban. Sebagai bukti keseriusan dari FPI untuk menegakkan syari‘at Islam di Indonesia, maka pada tanggal 21 September 2000 para tokoh FPI berkumpul di Pondok Pesantren Banyu Anyar di Pamekasan Madura, untuk merumuskan perangkan perundang-undangan Islam. FPI juga membentuk Komite Penegakan Syari‘at Islam di berbagai daerah. Tugas dari Komite tesebut antara lain, pertama, memperjelas visi dan misi penegakan syaria‘at Islam di Indonesia, kedua, mensosialisasikan syari‘at Islam secara merata dan menyeluruh kepada masyarakat, ketiga, merumuskan perundang-udangan Islam secara sistematis, keempat, melakukan pemetaan wilayah dari segi kesiapan pelaksanaan syari‘at Islam dan kelima, melakukan upaya konstitusional untuk penegakan syari‘at Islam.9 Laskar Jihad, adalah salah satu organisasi Islam yang berhaluan gerakan garis keras yang lahir atas keprihatinan atas konflik agam yang ada di Ambon, pada 7Ibid,
22. lengkap bisa dilihat AD/ART FPI 9Ibid, 145. 8Lebih
231
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
peristiwa Hari Raya Idul Fitri tahun 1999 yang memakan korban dari pemeluk agama Islam di Ambon dan Maluku. Lakar Jihad ini, sebenarnya adalah bagian dari organiasi Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ) yang memang lahir untuk melakukan advokasi terharap warga muslim di Ambon. FKWJ ini lahir pada tanggal 14 Pebruari 1999, bersamaan dengan tabligh akbar di Stadion Manahan Solo. Sementara, FPI lahir dan dideklarasikan pada pada tanggal 30 Januari 2000 bersamaan dengan tabligh akbar FKWJ di Stadion Kridpspmp Yogyakarta. Sebagai deklarator, Jakfar Umat Tholib langsung melakukan berbagai gerakan untuk menyiapkan pasukan yang akan dikirim ke Ambon, untuk melindungi umat Islam yang ada di sana. Secara keseluruhan dalam pandangannya tentang negara, FKWJ ini ada perbedaan dari FPI dan gerakan lainnya. Karena FKWJ dalam dalam beberapa statemennya menyatakan bahwa ISalam adalah Rahmat bagi seluruh alam. Meski demikian, FKWJ tetap tidak mau mengikuti pemilu, karena dianggap sebagai perbuatan yang syirik. Sebab dalam pemilu menuhankan suara terbanyak, padahal Allahlah satu-satunya yang berhak mengatur alam ini.10 Hizbuttahrir Indonesia (HTI), adalah salah satu organisasi Islam yang memiliki cita-cita ingin mengupayakan dunia Islam ini berapa dalam satu kekuasaan politik yang disebut khilafah. Karena keginainannya itu, maka HIT ini biasa juga diagambarkan sebagai gerakan transnasional. Hal tersebut sangat wajar karena HTI itu merupakan penjilmaan dari Hizbuttarir (HT), yang didirikan oleh Taqiyuddin AlNabhani (1909-1977),yang didirikan pada awal tahun 1952 di al-Quds. Hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti, kapan HT ini masuk ke Indonesia. Menurut sejumlah keterangan, masuknya HT ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1980-an. Gerakan Islam pada era 1980-an memang mengalami fenomena yang sangat luar biasa. Pada saat itu umat Islam mengalami deprivasi dan disorientasi sebagai akibat dari ketidak siapannya menghadapi kemajuan zaman, sehingga banyak diantara umat Islam yang mencari indentitas lewat penafsiran agama untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam. Untuk mewujudkan kekhilafahan di dunia, Hizbut Tahrir menanamkan ideologynya kepada para kadernya melalui kegiatan organisasi, yaitu : 1. Syaksiah Islamiah (kepribadian Islam). 2. At-ta‟fa‟ul ma‟al ummah (interaksi dengan masyarakat secara menyaluruh). 3. Harkatut tatsqif (gerakan intelektual/pengkaderan untuk membangun ideologi). 4. At-taqwin daulah Islamiyah (Negara Islam). 5. Istilamul hukmi, (merebut kekuasaan)11. Penerapan ini menjadikan HTI sebagai partai politik yang tidak ikut pemilu tetapi kuat dalm kaderisasi dan ideologynya serta termasuk organisasi radikal yang berlandaskan faham fundamentalis. Sistem pemerintahan Islam yang digagas HTI adalah negara Khilafah, yaitu sebuah negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan mempunyai misi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia. HTI berpandangan bahwa sistem pemerintahan Islam inilah yang secara genuine (asli) lahir dari rahim ideologi Islam. Sementara, sistem republik atau monarki tidak berasal dari ideologi 10Ibid,
85-127.
11http://www.mail-archive.com/
[email protected]./msg
232
01748.html
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
Islam, melainkan berasal dari ideologi Barat. Dengan Khilafah, diharapkan dapat muncul beberapa keunggulan, yaitu adanya kemandirian serta partisipasi rakyat yang tinggi. Kemandirian akan terwujud karena Khilafah memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi negara-negara imperialis-kolonialis. Mereka juga berkeyakinan bahwa pada saat Indonesia merdeka, sebenarnya ideologi yang diterapkan adalah ideologi kaum penjajah, yaitu sekularisme. Untuk itu, idiologi tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya mayoritas beragama Islam. Dalam pandangan HTI, konsep negara-bangsa (nation-state) yang berkembang pada abad ke-20 tidak sesuai denan cita-cita Islam. Islam tidak mengakui sikap primordial berdasarkan darah dan tempat kelahiran, karena hal tersebut dianggap sebagai kebiasaan orang jahiliyah.12 Juru bicara HTI, Ismail Yusanto dengan tengas mengatakan bahwa nasionalisme merupakan sikap yang ahistoris. Menurutnya, nasionalisme merupakan konsep yang menyalahi kodrat kehidupan. Sehingga ia yakin bahwa cepat atau lambat sikap nasionalisme akan hancur dan gulung tikar. Ismail Yusanto juga menegaskan bahwa pada dasarnya tidak perlu KTP dan Paspor, karena itu hanyalah sikap seremonial dan artifisial. Sebagai alternatifnya, maka HTI menawarkan ide Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah. DAulah Islamiyah adalah bentuk pemerintahan tertinggi yang mengatur kehidupan kaum muslimin. Keuasaan tertingginya dipegang langsung oleh kholifah yang menjadi wakil Allah yang berada di bumi. Kholifah dipilih melalui mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh Majelis Syuro (dewan musyawarah). Majelis ini harus terdirid ari orang-orang yang memiliki integritas moral yang tinggi, dan ilmu yang tinggi pula. Kholifah juga harus bisa melindungi segenap warga negaranya dari musuh, meskipun mereka berasal dari agama yang berbeda.13 2.
Sejarah Perkembangan Islam Kiri Di Indonesia Membincang masalah gerakan Islam kiri atau kiri Islam di Indonesia, sama halnya dengan membicarakan masalah gerakan modernisme Islam di Indonesia itu sendiri. Mengapa demikian, sebab gerakan modernisme inilah yang kemudian memunculkan berbagai akar pemikiran yang liberal dan menganggap Islam sebagai agama yang dinamis dan plural. Saat lebih jauh membahas masalah gerakan modernisme Islam di Indonesia, yang paling menonjol dalam karakter seperti yang sudah dibahas di atas, maka yang sangat dekat dengan gerakan tersebut adalah gerakan Islam Liberal yang ada di Indonesia. Gerakan Islam Liberal inilah yang selalu berhadap-hadapan dengan gerakan-gerakan salafi radikal yang ingin menerapkan syariat Islam di Indonesia. Untuk itu, maka penulis akan membahasnya dalam beberapa tahapan gerakan Islam Kiri sebagai berikut. a. Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru) Dari masa ke masa, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia terus 12 13
Ibid, 185 Ibid, 187
233
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
mengalami perkembangan yang signifikan. pada awal tahun 1970-an, saat Orde Baru mulai menampakkan tarinya, ternyata memiliki dampak tersendiri bagi umat Islam. Pada saat itu, sejumlah cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang ―Pembaharuan Pemikiran Islam‖. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam Liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam. Sedikitnya terdapat empat versi Islam liberal yang muncul saat itu, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. kelompok modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain, Ahmad Syafii Ma`arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Selain para pemikir tersebut, ada juga para pemikir yang masuk dalam gerakan universalisme Islam. Gerakan ini, sebenarnya, merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Mereka berpandangan bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Kelompok ini berpadangan bahwa keduanya bisa saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau me-lokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, dimotori oleh pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.14 Ada lagi satu kelompok yanag memiliki pola pemikiran Islam sosialis– demokratis, yang berpandangan bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sejumlah pemikir yang masuk dalam katagoriini, antara lain, Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo.15 Hal yang tidak kalah pentingnya adalah gerakan Neo Modernisme di Indonesia. Mereka memiliki asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaranajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhafazhat „ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama‘ah versi Indonesia, yang dipupuk di kalangan NU. Karena itu, ide-ide keIslamannya tampak jauh lebih 14http://budiatturats.wordpress.com/2010/03/19/gerakan-islam-liberal-di-indonesia 15Musyrifah
312-313
234
Sunanto. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, tth),
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. 16 b. Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi) Orde Reformasi tidak hanya melahirkan kelompok-kelompok Islam Radikal, tapi pada saat yang sama juga telah melahirkan kelompok Islam Liberal. Kedunya memiliki sudut pandang yang berlawanan, dalam menafsirkan agama. Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah ―jaringan‖ kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya utamnya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam ini antara lain,membuat milis
[email protected] dan juga menyebarkan gagasn-gagasannya melalui website www.islamlib.com. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya. 17 Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Asysyaukani. Walupun disadari tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL. Pada awal kehadirannya, issu-issu ke-Islaman yang diangkat adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal tentang, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Sejumlah karya yang menjadi representasi pemikiran liberal Islam antara lain, Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil AbsharAbdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. 18 Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: 1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). 16Ibid.
http://budiatturats.wordpress.com/2010/03/19/gerakan-islam-liberal-di-indonesia Husaini, Nuim Hidayat. Islam Liberal, sejarah, konsepsi, penyimpangan dan Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani, 2007), 4 18Tentang pemikiran Islam Liberal itu sendiri dapat dilihat lebih jelas dalam situs Islam Liberal : http://islamlib.com. Selan itu juga dapat dilihat dalam beberapa karya Ulil Abshar Abdallah yang sudah tersebar di berbagai media dan buku. 17Adian
235
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur‘an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam sematamata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal. 3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah. 4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi. 5. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. 6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.19 Pemikiran JIL ini, akhirnya mendapat respons yang sangat luar biasa dari masyarakat, baik dari kalangan NU,maupun organisasi lainnya. Bahkan pemikiran yang dinilai terlalu berani tersebut akhirnya berbuah, fatwa MUI. Pada tahun 2005 Fatwa MUI menegaskan tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme. Meski MUI telah mengeluarkan fatwa haram terhadap JIL, tapi menurut pandangan Kamaruzaman Bustamam-Ahmad, sebenarnya pemikiran JIL, tidak ada yang baru. Menurutnya, yang membuat kaget bagi sejumlah kalangan adalah, lompatan pemikiran Ulil yang tidak lain adalah generasi muda NU. Loncatan pemikiran Ulil dan teman-temannya menimbulkan keresahan di berbagai kalangan. Kamaruzaman memberikan catatan soal JIL bahwa kelompok ini lahir karena sosio politik di era reformasi, kedua, konsepnya bukan konsep baru, dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia, ketiga, sikap liberal JIL lebih memaksimalkan peran
19
236
http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil
Muhammad Muslim: Islam Kanan Vs Islam Kiri di Indonesia
akal dalam menafsirkan teks (al-Qur‘an dan al-Sunnah).20 PENUTUP Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut; 1. Antara Islam Kanan dan Islam Kiri memiliki perbedana yang sangat fundamental, pemahaman Islam kiri dalam memahami ajaran agama dan memahami al-Qur‘an dengan cara yang kontekstual bahkan tidak jarang menggunakan pendekatan hermeunetika yang selama ini berkembang untuk tafsir bibel. Dalam hal bernegara, kelompok Islam Kiri memandang bahwa Indonesia sudah negara yang final dengan berlandaskan UUD 1945 dan berdasarkan Pancasila. Sementara, kelompok Islam Kanan memiliki pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, dan bekeinginan untuk mendirikan negara Islam atau setidaknya akan memberlakukan Syari‘at Islam. 2. Munculnya gerakan Islam Kanan, atau Fundamentalisme Islam di Indonesia sebenarnya jauh melebihi gerakan reformasi yang menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Meski demikian, gerakan tersebut muncul ke permukaan secara dramatis bersamaan dengan tumbangnya Soeharto di tahun 1998. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai organisasi yang mengatas namakan agama Islam dan berjuang untuk menegakkan syari‘at. Sementara, gerakan Islam Kiri juga tidak jauh berbeda. Meski saat orde baru gerakan ini sudah muncul kepermukaan, tapi secara frontal, gerakan ini lahir pasca reformasi, sebagai jawaban atas munculnya islam fundamentalis.
20Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Cet. Pertama, 88-99.
237
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. 2004. Wajah Baru Islam di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, Cet. Pertama, Juni. http://budiatturats.wordpress.com/2010/03/19/gerakan-islam-liberal-di-indonesia http://fuadmunajat.blogspot.com/2009/02/islam-indonesia-sinergi-kiri-dan-kanan http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil http://www.mail-archive.com/
[email protected]./msg 01748.html Husaini, Adian. 2007. Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Gema Insani, Jakarta. Jahroni, Jamhari Jajang. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Schwartz, Stephen Sulaiman. 2007. The Two Faces Of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, terjemah, Jakarta, Penerbit Blantika. Sunanto, Musyrifah. tth. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam (ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia), PT. Desantara Utama Media, Jakarta,.
238
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
DISKURSUS SEMIOTIKA: SUATU PENDEKATAN DALAM INTERPRETASI TEKS HAFIDZ HASYIM STAIN Jember Jl. Jumat 94 Mangli Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Kecenderungan untuk menggunakan semiotika sebagai metode baru dalam menafsirkan teks al-Qur‟an, karena didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu pertama, bahwa perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dibangun atas peradaban teks. Proses membangun peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan didasari atas dialektika antara subjek manusia dengan realitas atau konteks sosial, dan dalam peradaban Islam ada dialektika antara manusia dengan teks al-Qur‟an sebagai wahyu. Kedua, karena peradaban Islam terpusat pada teks, maka melakukan penafsiran akan teks menjadi keharusan esensial yang selalu hadir dalam setiap peradaban Islam, dan menjadi warisan intelektual Islam. Ketiga, tuntutan untuk melakukan interpretasi akan teks selalu memunculkan gagasan-gagasan dan metode baru yang perlu dirumuskan, ketika metode interpretasi sebagai produk masa lalu sudah tidak lagi memadai untuk menafsirkan al-Qur‟an, sehingga alQur‟an nampak sebagai sebuah teks yang tidak lagi perkasa menjawab tantangan masa depan, tetapi akan menjadi ditinggalkan oleh manusia karena tidak lagi menarik untuk diperbincangkan. Salah satu metode baru yang dianggap menarik dalam menafsirkan alQur‟an adalah semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda yang digunakan oleh ilmuan Barat dalam memahami teks-teks. Semiotika mendapat apresiasi serius di dunia Barat, ketika persoalan bangunan epistemologi Barat yang dibangun dewasa ini ternyata mendapatkan banyak kritikan, sebagai akibat ketidak-berhasilannya membangun dan mengusung kebahagiaan universal bagi kemanusiaan. Kritik itu dilakukan oleh kalangan ilmuan yang mengusung bahasa sebagai titik tolak pemikirannya. Kata Kunci: Semiotika, Interpretasi dan teks al-Qur‘an PENDAHULUAN Hampir semua intelektual muslim mensepakati bahwa al-Qur‘an hadir di muka bumi bukan dari ruang kosong yang terlepas dari konteks. Al-Qur‘an hadir untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat Arab, tentu saja dengan suatu harapan-cita-cita ideal untuk menciptakan tatanan social yang rahmat lil alamin. Hanya saja yang menjadi persoalan besar adalah alQur‘an dihadirkan dalam bentuk bahasa. Sebagai bahasa tentu saja berhubungan dengan makna. Bahasa akan menjadi tidak ada apa-apa, hanya suara dan tulisan kosong, tidak bisa dimengerti jika tidak memiliki makna. Sedangkan makna hanya bisa diperoleh jika ada sesuatu yang dimaknai atau menunjuk pada sesuatu benda atau realitas. Tidak salah jika kemudian perkembangan ilmu pengetahuan Islam bergulat pada pemahaman akan teks. Ilmu pengetahuan Islam seperti, Tafsir-Ilmu Tafsir, alQur‘an-Ilmu al-Quran, Hadith-ilmu Hadith, Fiqh-ilmu Fiqh dan lain-lain berupaya 239
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
pada usaha interpretasi akan teks. Ilmu pengetahuan dengan metode model ini banyak dibangun oleh intelektual periode awal (ulama klasik). Ilmu Pengetahuan yang disajikan pada masa ini akan menggambarkan realitas sosial Islam awal (masa Nabi) dengan merujuk pada apa yang diungkapkan teks. Oleh sebab itu, banyak sejarawan yang berceritera tentang realitas masyarakat muslim dengan model pendekatan ahli Hadith. Mereka selalu menyibukkan dengan cara menyeleksi apakah Nabi pernah mengucapkan atau tidak. Kritik mendasar atas kelemahan metode ini adalah ketidak-sanggupan untuk menjawab atau menjelaskan realitas sebenarnya. Amin Abdullah1 melihat kekeliruan besar jika menyamakan teks dengan konteks. Artinya metode teks tidak lagi memadai untuk melakukan penelitian terhadap fenomena sosial. Kritik terhadap kelemahan metode teks, tidak hanya dilakukan oleh kalangan intelektual kontemporer, Ibnu Khaldun2 misalnya, seorang intelektual abad tengah, pendiri sosiolog modern Islam, telah memberikan kritik terhadap kelemahan metode ini, terutama kritik terhadap para sejarawan3 dan sosiolog Islam4 dalam memahami masyarakat Islam. Mereka dalam memahami fenomena masyarakat seperti metode ilmu Hadith, atau menilai masyarakat terjebak pada idealitas atau cita-cita masyarakat Islam Ideal. Ketika metode teks ini tidak lagi memadai, maka mulai muncul pergeseran paradigma; dari paradigma interpretasi teks ke paradigma ilmu pengetahuan ilmiah. Di kalangan Intelektual Islam, Ibnu Khaldunlah yang meletakkan dasar metode baru ini sebelum positivisme August Comte berkembang di Barat. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara Ibnu Khaldun dan Augus Comte. Kalau Comte begitu sangat kaku melihat masyarakat, cenderung menyeragamkan masyarakat berada dalam suatu sistem atau fungsi sosial, dan melupakan hal-hal unik, yang bersifat spesifik dari masyarakat. Menurut Ali Abdul Wahid Wafi5 antara Khaldun dan Comte ada kesamaan di sisi kajian dan tujuan studinya, tetapi terdapat perbedaan prinsip dari sisi hasil yang ingin dicapai. Khaldun tidak pernah berusaha untuk menarik suatu kesimpulan hukum universal seperti Comte6. Ibnu Khaldun hanya mempelajari setiap bagian dari gejala sosial dengan netral objektif, kemudian menarik teori dari 1Lihat Muhammad Amin Abdullah, Muhammad Arkoun; Perintis Penerapan Ilmu-ilmu Sosial Post Positivisme dalam Studi Pemikiran Keislaman (Suatu Pengantar) Dalam Muhammad Arkoun Membongkar Wacana Hegemonik, (Surabaya: Al-Fikr, 199), VIII-IX. 2Ibnu Khaldun menjelaskan banyak factor yang mempengaruhi atau mengakibatkan kesalahan pada sosiolog atau sejarawan dalam melihat fenomena masyarakat, yaitu; semangat terlibat pada madzhab-golongan, terlalu percaya pada sumber berita, ketidaksanggupan memahami maksud dari observasinya, ketidaktahuan tentang kondisi sesuai dengan realitas disebabkan kondisi diracuni oleh ambisi-ambisi artificial, kecenderungan terlibat politik dan ketidak tahuan tentang hukum-hukum atau watak-watak peradaban. Lihat Ibnu Khaldun, Muqoddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 28-29. 3Beberapa sejarawan yang nuansa metode seperti metode ilmu Hadith, yaitu Ibnu Ishaq, alWaqidi, al-M as‘udi dan lain-lain. 4Beberapa fisuf sosial yang nampak menjelaskan masyarakat dengan semangat Idealitas, bukan menyampaikan masyarakat apa adanya, tetapi menyampaikan masyarakat dengan cita-cita ideal yang ingin dicapai, seperti al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadhilah, al-Mawardi dalam ahkam al-Shulthoniyah dan al-Ghazali dalam Ihya‟ al-ulum al-Din. 5Lihat Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun; Riwayat dan Karyanya (terj. Ahmadie Thoha), (Jakarta: Grafiti Press, 1985), 126. 6Comte cukup dikenal dengan suatu teori universal dari perkembangan masyarakat, yaitu tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu; tahap teologi, tahap metafisika dan tahap positifis.
240
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
observasinya. Namun, Pada perkembangannya, metode7 kedua ini juga tidak lepas dari berbagai kritik. Kelemahan prinsipil dari metode ini terletak pada upaya penyeragaman sistem sosial seperti ―mesin‖ yang bisa direkayasa dan mengesampingkan sisi keunikan seperti ekspresi kultural dari masing-masing masyarakat. Menyikapi kelemahan kedua metode, yaitu; teks dan ilmiah (yang pernah jaya pada masanya), maka beberapa ilmuan kontemporer mengusung metode baru yang jauh lebih luas, kompleks dan lengkap. Setidaknya Amin Abdulllah8 menyebut babak baru ini dengan post positivisme. Babak baru ini berupaya menggabungkan berbagai metode yang berkembang. Untuk memahami sebuah teks al-Qur‘an misalnya, tidak cukuip hanya berdasar pada teks semata, tetapi harus melihat realitas social yang mengiringi kemunculan teks (Tidak melihat secara positifis). Post positivis (neo Khaldunian-red) dalam memahami teks, lebih menggunakan pendekatan makna yang berkaitan dengan sistem bahasa, yang dipengaruhi dan dikonstruksi dari sisi keunikan dan keragaman makna teks dan analisa social, maka pendekatan yang lebih tepat dan lengkap perlu juga ditambah dengan kajian sejarah, antropologi, sosiologi, heurmentika dan semiotika. Masing-masing pendekatan ini kelihatannya telah mendapatkan tempat dalam sebagian intelektual Islam kontemporer. Dalam kesempatan kepentingan tulisan ini, penulis sedikit ingin mengurai, mendeskripsikan salah satu pendekatan dalam upaya memahami makna dari teks alQur‘an, yaitu semiotika (ilmu tentang tanda), sebab teks al-Qur‘an sebagai bahasa tentu saja merupakan tempat kompleksitas tanda. SEKILAS METODE SEMIOTIKA Penggalian teks-teks sebagai tanda berkaitan dalam metodologi modern-Barat dikenal dengan semiotika. Semiotika diambil dari kata Yunani ―semion‖ yang berarti tanda. Maka semiotika adalah ilmu tentang tanda. Aaart Van Zoest9 memahami bahwa semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika memang berkaitan dengan bahasa sama halnya dengan heurmeneutik, namun semiotika dan heurmeneutik berbeda penggunaaannya.10 7Hanya
saja pendekatan Comte memiliki tempat yang cukup signifikan sejalan dengan realitas kemajuan Barat dan ketertinggalan Islam sebagai akibat dan tidak cukup responsive terhadap metodeepistemologi Intelektual akhir abad tengah, seperti Ibnu Khaldun karena situasi dan kondisi kekuasaan politik Islam yang semakin merosot. 8Lihat Muhammad Amin Abdullah, 1999, Op. cit, XII. 9Aart van Zoest, , Semiotika, (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993), 1-3. 10Agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman perlu dijelaskan istilah heurmentika. Hermeneutika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ―hermeneuein‖ yang berarti menafsirkan. Hermeneutika biasanya dikaitkan dengan mitologi Yunani tentang tokoh ―hermes‖ yang tugasnya membawa pesan Yupiter kepada manusia. Artinya pesan Yupiter harus bisa dipahami oleh manusia, maka hermes melakukan interpretasi pesan Yupiter. Dengan demikian, Heurmentika menurut
241
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
Pendekatan hermeneutika memperhatikan tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih berhubungan dengan tanda. Jika hermeneutika memberikan fokus yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempertajam wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya. Tokoh utama semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang filsuf yang memiliki latar belakang linguistik dari Swiss. Saussure memperkenalkan ilmu tentang tanda yang dikenal dengan semiologi sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya. Saussure membedakan ilmu tanda dalam dua hal; petanda (signified) dan penanda (signifier). Petanda adalah konsep dan penanda adalah kata atau pola suara. Dalam hal ini, Saussure menganggap bahwa bahasa hanya berhubungan dengan benda dan nama. Tokoh selain Saussure adalah Charles Shander Peirce, seorang filsuf dari Amerika memberikan makna tentang tanda secara lebih luas. Bagi Peirce tanda tidak hanya berhubungan dengan nama-nama (kata-kata), tetapi menyangkut semua hal yang dipikirkan sebagai tanda.11 Kedua tokoh ini yang banyak mengupas tentang tanda, bahkan istilah semiotika digunakan oleh Peirce, sedangkan Saussure menggunakan kata semiologi. Pada perkembangan selanjutnya, semiologi model Saussure melahirkan lingkaran intelektual (madzhab) yang disebut strukturalisme. Secara umum strukturalisme berpendirian bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang teratur, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Saussure mengatakan bahwa bahasa selalu tertata dengan cara tertentu, bahasa adalah suatu sistem, dimana setiap individu tidak akan bermakna bila dilepaskan dari struktur.12 Dengan demikian, bahasa muncul sebagai sebuah totalitas atau jika tidak, bahasa tidak akan ada sama sekali. Dalam konteks ini, Saussure memberikan ilustrasi tentang permainan catur, bahwa permainan catur sudah tertata rapi pada masing-masing buah catur, dan buah catur bisa diganti apa saja sesuai dengan kehendak pemain. Dari ilustrasi ini, yang terpenting adalah kedudukan masing-masing buah catur. Berbeda dengan Saussure, Peirce melihat persoalan tanda tidak hanya berhubungan dengan persoalan kata dan konsep. Tetapi menyangkut semua hal yang dipikirkan sebagai tanda. Roland Barthes, seorang filsuf dari Perancis juga menyangkal teori Saussure, karena bagi Barthers petanda selalu mempunyai banyak arti. Tak ada hubungan intern antara petanda (konsep) dengan penanda (nama, bunyi), sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda Sumaryono mengutip pendapat Palmer dapat dipahami sebagai proses mengubah sesuatu dari atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dengan demikian, heurmenetika merupakan ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial. Lihat Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka filsafat, 1999), 24. 11Lihat Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2001), 226-232 12Lihat Lechte, John, 2001, Op. Cit, 234.
242
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
dapat bergeser terus menerus dari penandanya. Pikiran Barthers13 seperti ini diilhami oleh pemikiaran sastra yang bernuansa imajinasi. Dalam karyanya Mythologies diungkapkan bahwa mitos adalah pesan bukan konsep, gagasan. Dalam mitos yang terpenting adalah cara diungkapkan dengan sebuah ilsutrasi tentang orang Negro yang hidup di negeri Perancis memberi hormat pada bendera Perancis. Dilihat dari aspek tanda, orang Negro adalah penanda dan imprealisme Perancis adalah petanda. Bagi Barthers, mitos ini tidak perlu ditafsirkan dengan model bahwa ada hubungan antara Negro dan Imprealisme Perancis. Perbincangan bahasa sebagai tanda yang dikemukakan Saussure, Pierce, Barthers dan filsuf lainnya semakin memperlus kajian semiotika berikutnya. Poststrukturalis datang dengan konsep yang menentang gagasan strukturalisme. Poststrukturalisme menganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Jacques Derrida14, seorang filsuf Perancis, aliran post-strukturalis, berpendirian bahwa tulisan mendahului lisan atau ucapan. Pada prinsipnya bahwa setiap bahasa, baik lisan maupun tulisan menurut kodratnya adalah tulisan. Tulisan semacam barang asing yang masuk pada sistem bahasa. Derrida berkeyakinan bahwa meskipun katakata belum diucapkan, namun tulisan sudah siap untuk diurai. Pemikiran Derrida tentang bahasa diuraikan dalam pembagiannya tentang tanda dan penulisannya. Tanda menggantikan benda yang ada, tanda menyatakan kehadiran sesuatu yang belum hadir. Jika yang tampak itu tidak menyatakan dirinya, maka yang menyatakan dirinya adalah sesuatu yang lain, yaitu tanda itu sendiri. Jadi menurut Derrida dalam Kaelan15 tanda menunjukkan kehadiran yang tertunda. Dalam pengertian ini Derrida ingin membuat kritik, bahwa setiap kata mempunyai makna, namun tandanya berbeda-beda. Dengan demikian. Derrida ingin menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur/teks yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Derrida tetap berpendirian bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks bisa menimbulkan keragaman pemahaman pada saat yang sama. Keinginan Derrida seperti fenomenologi Husserl adalah membebaskan teks. Biarkan teks bicara sendiri, dan teks harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep ―dekonstruksi‖ yang memiliki tugas membebaskan teks, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Namun, Derrida menolak bahwa dalam memaknai teks terlepas dari Teks sendiri. Biarkan teks berbicara sendiri sesuai dengan kondisi teks, dalam teks tidak ada lagi makna transenden yang keluar dari teks.
13Lihat
Barthers, Roland, Mythologies (terj. Annete Lavers), (Strategi Alban Herts Paladin, 1973),
129. 14Lihat M. S., Kaelan, Filsafat Bahasa; Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 228. 15Lihat M. S., Kaelan, 2002, Ibid.
243
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
TEKS AL-QUR’AN SEBAGAI TANDA Tidak mudah, memasukkan semiotika sebagai metode interpretasi terhadap teks al-Qur‘an. Sebagian Intelektual Muslim cenderung mengalami syndrome phobia (curiga) terhadap segala hal yang berbau Barat, termasuk gagasan bangunan epistemologinya. Mereka terlalu dihantui oleh sejarah orientalis, yang endingnya suatu keyakinan bahwa Barat hanya sekedar ingin merusak citra Islam. Kelompok ini berteori bahwa tradisi epistemologi Barat berbeda dengan tradisi Islam, sehingga tidak cocok jika diterapkan dalam memahami teks al-Qur‘an. Kekhawatiran yang paling dahsyat adalah akan muncul upaya interpretasi al-Qur‘an yang bebas, liberal, sehingga nilai-nilai sakral yang dikandung dalam al-Qur‘an akan berubah dan bertentangan dengan interpretasi intelektual Islam pada masa lalu (ulama‘ klasik – yang telah mapan-kokoh). Artinya kelompok ini menolak upaya interpretasi baru terhadap teks al-Qur‘an, karena pemahaman akan al-Qur‘an sudah selesai dirumuskan oleh ulama‘ masa lalu. Sedangkan sebagian intelektual Islam lainnya melihat bahwa selama berabadabad model interpretasi, yang dikenal dengan ―tafsir klasik konvensional‖ seringkali dinilai terlalu menghegemoni, mendominasi, lepas dari konteks, cenderung statusquo, mengkungkung kebebasan, diskriminasi, dan bahkan menindas. Model tafsir seperti ini dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi tidak sosial, tidak humanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid16 penafsiran seperti ini sah-sah saja dilakukan dan merupakan warisan tradisi intelektual Islam, karena terkait dengan situasi zamannya. Tentu saja model penafsiran ala Jalaluddin As-syuyuti (w. 910 H) atau AzZarkasyi (w.794 H) terkait dengan tantangan kultural dan sosiologi untuk mempertahankan memori kultural bangsa, peradaban dan pemikiran pada saat itu dalam menghadapi serbuan perang salib. Kondisi sosial-kultur masyarakat pada saat itu akibat terjadi perang salib mengalami ketidakstabilan politik dan budaya, maka yang muncul adalah ketidak percayaan dan tindakan frustasi. Situasi seperti ini mengharuskan ada kesamaan kultural dan intelektual untuk merespon dan menghadapi kemungkinan perpecahan politik dan disintegrasi. Sehingga nampak pola-pola dalam melakukan penafsiran terjadi secara seragam dan hegemonik menjadi kebutuhan untuk mempertahankan dan menyelamatkan tradisi, kebudayaan Islam dari kemungkinan kehancuran dan kemusnahan. Hanya saja proses dan semangat suci seperti ini menjadi kehilangan makna dan momentum, ketika trend-trend pemikiran nampak konservatif mewarnai dalam proses peradaban Arab-Islam selanjutnya. Konsepsi trend konservatif bergerak dengan menjauhkan teks dari konteks. Konsepsi inilah yang menjadikan teks keluar dari aslinya sebagai teks bahasa dan mengubahnya menjadi sesuatu yang sakral. Inilah yang dalam pandangan Abu Zaid17 bahwa al-Qur‘an diubah menjadi mushaf, 16Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran; Kritik terhadap Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 1-5. 17Proses penafsiran teks yang dibangun dengan model tafsir klasik konservatif berlangsung cukup lama dalam khazanah intelektual Islam, sehingga mengakibatkan kemandekan total intelektual untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Akibatnya umat Islam mengalami ketertinggalan jauh dengan peradaban Barat dan ketergantungan yang cukup besar, karena lemahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan sains. Merespon situasi kultural umat Islam yang semakin terbelakang menuntut sebagian intelektual Islam melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks, karena metodologi tafsir
244
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
semacam menjadi perhiasan dan penuh nilai magis. Al-Qur‘an sebagai teks suci diturunkan berbahasa Arab. Sebagai suatu bahasa al-Qur‘an terdiri dari urutan huruf-huruf, tersusun dalam rangkaian kata-kata dan kalimat. Nasr Hamid Abu Zaid18 dalam pendahuluan bukunya “Mafhum an-Nash Dirasat Fil-Ulumil-Qur‟an” mengatakan bahwa teks bahasa dalam al-Qur‘an merupakan teks sentral dalam peradaban Arab. Artinya, bahwa dasar-dasar peradaban Arab dibangun atas tek-teks. Maka interpretasi adalah salah satu mekanisme kebudayaan dan peradaban terpenting dalam memproduksi pengetahuan. Tuntutan untuk menggunakan metode dan pendekatan baru dalam menafsirkan teks-teks al-Qur‘an dengan alasan tidak lagi relevan metode penafsiran klasik. Di samping itu, tuntutan tersebut sangat banyak dipengaruhi oleh metodologi ilmiah yang dibangun oleh pemikiran Barat.19 Berbagai metodologi yang dibangun filsafat Barat memberikan warna baru dalam pemikiran intelektual muslim Kontemporer. Ambillah contoh kalangan intelektual Islam yang cukup berpengaruh dalam dunia intelektual Islam kontemporer, seperti Mohammad Arkoen, Hassan Hanafi, Al-Jabiri, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid. Tokoh-tokoh intelektual islam ini memiliki tradisi dan akar intelektual dari filsafat Barat. Sehingga mereka dalam memahami teks-teks al-Qur‘an dan al-Hadith menggunakan metodologi barat sebagai pisau analisanya, terutama berkaitan dengan postmodernisme, yang mengusung filsafat analitik sebagai dasar analisanya. Kecenderungan ini disebabkan oleh suatu pertimbangan bahwa al-Quran adalah sebuah teks bahasa. Teks bahasa merupakan media tempat kompleksitas tanda-tanda. Sebagai suatu tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir bagi kalangan ilmuan-ilmuan Islam (ulama‘) kontemporer adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran. Semiotika (Ilmu Tanda) atau tanda (sign) menjadi begitu penting dalam mememahami agama yang memiliki teks bahasa sebagai pegangan, karena dalam Islam misalnya, tanda lebih dikenal dengan istilah ―ayat‖. Ayat sendiri tidak hanya berhubungan dengan ayat-ayat qauliyah (teks), tetapi juga menyangkut ayat-ayat kauniyah (konteks-realitas alam). Dalam tradisi Islam anjuran untuk memahami kedua ayat-ayat ini sudah lama muncul seiring dengan kemunculan ayat-ayat qauliyah. Oleh sebab itu, memahami teks dan konteks, atau memahami teks berhubungan dengan konteks adalah metode klasik Islam yang lahir sebelum semiotika ini yang digunakan sebelumnya tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan kekinian. Dewasa ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir baru yang keluar dari model tafsir klasik. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu (hegemonik), tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok lain yang selama ini terabaikan. Hal ini bisa dilihat dari semakin maraknya model tafsir-tafsir baru yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan tujuan untuk menandingi kemapanan tafsir klasik konvensional; seperti hermeneutika, pendekatan kontekstual, dan semiotika (ilmu tentang tanda). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, 2003, Ibid. 18Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, 2003, Op. Cit, 2. 19Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa Barat dengan tradisi filsafatnya telah banyak merumuskan metodologi untuk menggali kebenaran dan ilmu Pengetahuan. Mulai dari idealisme Descartes; corgito, yang ada distangsi antara subjek-objek, empirisme David Hume, kategori Kant; nomenan-fenomenan, Posistivisme August Comte, fenomenologi Husserl, hingga filsafat bahasa sebagai embrio Postmodernisme dengan metode semiotika F. desaussure dan C. S. Pierce, heurmeneutika Dithley, Paul Ricouer serta metode deconstruksi Derrida.
245
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
dirumuskan di Barat. Hanya saja ada kerumitan prinsipil, ketika menerapkan metode semiotika dalam mehami teks al-Qur‘an sebagai wahyu, karena menyangkut persoalan makna terakhir dari pengujar yang transenden (Allah). Dalam tradisi semiotika Barat, tidak berkepentingan dengan pengujar transenden, tetapi dengan melihat teks sebagai tanda dan tentu saja ada yang ditandai. Oleh sebab itu, intelektual Islam seperti Arkoun20 juga menggunakan semiotika, tetapi juga dibantu oleh pendekatan lain, seperti kajian antropologi dan sejarah dalam memahami makna teks. SEMIOTIKA; SEBUAH PENDEKATAN TAFSIR BARU Pola pendekatan strukturalisme Saussure bila dikaitkan dengan pola menafsirkan al-Qur‘an akan melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem atau struktur yang teratur dan mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks dengan maknanya tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda (kata) telah dikaitkan dengan petanda (konsep) telah terjadi secara sistematis dan terstruktur. Permasalahannya adalah siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan konsep tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?. Dan tentu saja bagi Saussure hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (sembarangan) dan berubah. Dalam konteks menafsirkan al-Qu‘an bahwa untuk mengungkapkan makna di balik teks-teks al-Quran, tidak cukup hanya melihat teks, tetapi sosial-kultur, psikologi menjadi sebuah tanda untuk diinterpretasi. Dari sisi ini, Pemahaman selain Saussure, nampak kemungkinan-kemungkinan untuk memahami teks-teks al-Quran lebih luas. Pandangan Peirce dan lainnya jauh akan lebih memberikan makna yang lebih luas dan beragam. Pada dasarnya, yang perlu berlaku dalam tafsir adalah kemungkinan terjadi keberagaman pemahaman. Berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco dalam John Lechte21 menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka. Tidak seperti kamus yang mirip dengan model definisi, terstruktur, sistimatis, spesies, dan pembeda. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani. Fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu teks selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Berkaitan dengan tafsir, pemaknaan teks-teks al-Qur‘an yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quo. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung. Salah seorang intelektal Islam yang telah memasukkan semiotika dalam memahami teks al-Qur‘an, yaitu Muhammed Arkoun22. Arkoun dalam analisa 20Lihat
Johan Maulemen, Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama, Studi kasus tentang Pemikiran Muhammed Arkoen, (Yogyakarta; LKiS, 1999), 45-50. 21Lihat Lechte, John, 2001, Op. Cit, 199-202. 22Lihat St. Sunardi, Membaca Qur‟an Bersama Mohammed Arkoun, dalam Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme Memperbincangkan Moehammed Arkoen, (Yogyakarta, LKiS, 1999), 59.
246
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
semiotiknya mengatakan bahwa teks yang ada pada kita adalah hasil suatu tindakan pengujaran (enonciation). Artinya teks itu berasal dari bahasa lisan yang ditranskripsikan ke dalam bahasa tulisan berupa sebuah teks. Dalam catatan sejarah bahwa al-Qur‘an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-bertahap kurang lebih memakan waktu dua puluh tahun. Nabi menyampaikan wahyu ini melalui lisan Nabi yang diterima kemudian oleh para sahabat. Sebagian sahabat Nabi menyalinnya dalam tulisan terbatas, namun mayoritas dari mereka menggunakan kekuatan hafalan. Baru setelah beberapa tahun pasca kematian Nabi, al-Qur‘an dibukukan menjadi satu mushaf pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Berdasar pada realitas sejarah teks al-Qur‘an di atas, maka tidak salah jika kemudian Arkoun23 membedakan tiga tingkatan wahyu, pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tidak terbatas, tidak diketahui oleh manusia. Kedua, Wahyu yang menampakan diri dalam sejarah, yaitu proses turunnya wahyu yang melintasi waktu selama dua puluh tahun, memakan tempat di Arab (mekkahmadinah) dan menggunakan bahasa ras manusia, yaitu berbahasa Arab. Dan ketiga, wahyu yang sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dengan berbagai macam tandanya. Pembagian model Arkoun ini cukup signifikan dalam memahami al-Qur‘an sebagai tanda, yang bisa didekati melalui semiotika dengan harapan untuk menggali keragaman makna, pengembangan khazanah intelektual Islam dan semangat Qur‘ani. Arkoun bermaksud menggugah kesadaran nalar intelektual islam selama ini yang mamahami wahyu sebatas pada yang dibakukan dalam mushaf. Arkoun memandang bahwa telah terjadi kemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala aspeknya. Firman kenabian dimiskinkan menjadi firman yang hanya berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitungkan yang awal mula dituju oleh firman itu. Meminjam bahasa Aart Van Zoest24 bahwa teks Al-qur`an sebagai parole (bahasa individu, dialeg, unik) didesak oleh teks sebagai langue (bahas umum). Oleh sebab itu untuk memahami teks Qur`an perlu memahami komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks dengan cara mengoptimalisasikan kemungkinan terjadinya produksi makna dengan melihat berbagai macam tanda dan simbol yang ada dalam teks; tanda bisa berupa kata, struktur kalimat, dan tanda-tanda bahasa lainnya. Dengan demikian, untuk bisa memproduksi berbagai macam makna dari sebuah teks, menurut St. Sunardi25 ada beberapa langkah yang bisa dilakukan: Pertama, harus mengetahui arti dari teks yang dibaca karena arti selalu muncul dalam setiap kalimat. Kedua, harus memperhatikan acuan (referensi) karena acuan merupakan klaim kebenaran dari suatu kalimat. Makna akan terbentuk lewat hubungan dialektis antara arti dan referensi, karena makna merupakan suatu peristiwa. Jadi, tujuan utama membaca bukan semata-mata mengerti arti teks, tetapi untuk mendapatkan semaksimal mungkin makna teks. (dalam hal ini, makna surat al-Fatihah akan diperoleh oleh seluruh masyarakat muslim dalam sholat tanpa harus mengetahui arti tekstuilnya). Oleh sebab itu, dalam mencari makna, tidak cukup hanya sebatas 23Mohammed Arkoen, Explorations and Responses: New Perspective for a Jewish-Christian-Muslim Dialogue, (Jouyrnal of Ecumenical Studie, 1989, 526, atau Moehammed Arkoen, 1993, Gagasan tentang Wahyu: Dari ahl-al-Kitab sampai Masyarakat Kitab, dalam Nico J.G. Kapten dan Henri Chambert-Louir, Studi Islam di Perancis, Jakarta: INIS, 1993). 24 Lihat Aart van Zoest, , Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia, 1992), 57 25 Lihat St. Sunardi, 1999, Op. Cit, . 67-69.
247
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 2, Nopember 2012
memahami arti dari teks, tetapi perlu mengungkap sesuatu dibalik teks, yaitu berhadapan dengan suatu diskursus ‖wacana‖. Dalam konteks ini, Arkoen26 memberikan contoh dalam menafsirkan surat alFatihah, Bagi Arkoen ada tiga kemungkinan dalam memahami al-fatihah, pertama, alfatihah bisa dipahami secara ritual, atau liturgis. Pembacaan secara liturgis dilakukan pada saat shalat dan aktifitas rutual lain. Cara ini adalah proses komunikasi ruhani dan pembatinan kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegetis, pembacaan pada mushaf. Arkoen menyebut pembacaan ini telah dilakukan oleh Fakhr al-din al-Razi (w. 606/ 1209). Ketiga, pembacaan dengan cara memanfaatkan langkah-langkah dan metode-metode yang telah dirumuskan dalam metode ilmu humaniora dan ilmu bahasa. PENUTUP Untuk mengakhiri tulisan ini ini, setidaknya ada bebera hal penting yang perlu disimpulkan: 1. al-Qur‘an hadir sebagai teks bahasa, yang berhubungan langsung dengan persoalan interpretasi (penafsiran) akan teks. Oleh sebab itu, tidak salah jika bangunan ilmu pengetahuan Islam diproduk atas dasar interpretasi. Nampak misalnya ilmu pengetahuan Islam; ilmu tafsir, ilmu hadith, ilmu Qur‘an, ilmu fiqh adalah produk dari interpretasi. 2. Karena akar tradisi ilmu pengetahuan Islam berkutat pada teks, maka upaya untuk terus memperbaharui metode penafsiran terasa mutlak diperlukan, maka tidak salah jika kemudian sebagaian intelektual Islam kontemporer mencoba memasukkan semiotika sebagai salah satu metode dalam menafsirkan teks al-Qur‘an. 3. Semiotika sebagai metode baru terasa perlu dikembangkan, karena beberapa metode sebelumnya yang dibangun oleh intelektual Islam; seperti pendekatan teks (tafsir) dan pendekatan ilmiah (posistifis) tidak lagi memadai untuk mengungkap makna teks yang sebenarnya. 4. Metode penafsiran masa lalu yang hanya berkutat pada teks yang bersifat filologi, tidak lagi memadai untuk memperoduksi ilmu pengetahuan di tengah perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berkembang pesat seperti saat ini. Disamping itu, metode teks tersbut tidak mampu menjelaskan dan menggamparkan realitas masyarakat yang sebanarnya, termasuk produk pemikiran dan kebudayaan yang diproduksinya.
26
248
Lihat Mohammed Arkoen, L‟Islam, Religion et Societi, (Paris: Cerf, 1982), 49.
Hafidz Hasyim: Diskursus Semiotika
Daftar Pustaka Aart van Zoest, 1993, Semiotika, Jakarta: Yayasan Sumber Agung. ------------------, 1992, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia. Abdullah, Amin, 1999, Muhammed Arkoen; Perintis Penerapan Ilmu-Ilmu Sosial Era Post Positifisme dalam Studi Pemikiran Keislaman (Suatu Pengantar) dalam Muhammad Arkoen, Membongkar Wacana Hegemonik, Surabaya: al-Fikr. Abu Zaid, Nasr Hamid, 2003, Tekstualitas al-Quran; Kritik terhadap Ulumul Qur‟an, Yogyakarta : LkiS. ----------------------------, 2003, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: LkiS. Arkoun, Mohammed, 1989, Explorations and Responses: New Perspective for a JewishChristian-Muslim Dialogue, Journal of Ecumenical Studie, 26. ---------------------------, 1993, Gagasan tentang Wahyu: Dari ahl-al-Kitab sampai Masyarakat Kitab, dalam Nico J.G. Kapten dan Henri Chambert-Louir, Studi Islam di Perancis, Jakarta: INIS). ---------------------------, 1982, L‟Islam, Religion et Societi, Paris: Cerf. Barthers, Roland, 1973, Mythologies (terj. Annete Lavers), Strategi Alban Herts Paladin. Eco, Umberto, 1984, Semiotics and The Philosophy of Language, London: Macmillan. Khaldun, Ibnu, 2005, Muqoddimah, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 28-29. Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Filsafat. Maulemen, Johan, 1999, Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama, Studi kasus tentang Pemikiran Muhammed Arkoen, Yogyakarta; LKiS. M. S., Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa; Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma. Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka filsafat. St. Sunardi, 1999, Membaca Qur‟an Bersama Mohammed Arkoun, dalam Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme Memperbincangkan Moehammed Arkoen, Yogyakarta, LkiS. Wafi, Ali Abd. Wahid, 1985, Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya (terj. Ahmadie Thoha), Jakarta: Grafiti Press.
249
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
250
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
PSIKOLOGI MORAL AL-MUHASIBI (Studi atas Kitab al-Ri’ayah li Huquq Allah) Khoirul Faizin STAIN Jember Jl. Jumat No. 94 Mangli Jember email:
[email protected] Abstrak Melalui karyanya, al-Ri‟ayah li Huquq Allah, al-Muhasibi menganalisis secara utuh mengenai berbagai bentuk egoisme manusia, metode pelatihannya, dan cara mewaspadainya. Bentuk egoisme utama yang dibahasnya adalah; riya‟ (narsisisme); kibr (megalomania); „ujub, dan ghirrah. Menyangkut pembahasan tentang khatarat, ia mengajukan tiga sumber penyebabnya, yakni hawa nafsu, setan atau iblis, dan Tuhan—melalui wahyu Ilahi dan nalar manusia. Analisis al-Muhasibi mengenai khatarat hawa nafsu dan setan merupakan analisis yang paling terkenal di kalangan kaum sufi. Namun, adalah penting untuk mengingat bahwasanya dia juga meyakini Allah sebagai sumber khatarat. Kata kunci: Iman, hati, Ikhlas, riya‘ dan khatarat PENDAHULUAN Abu ‗Abdullah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi (al-Muhasibi ) dilahirkan di Basrah dan menghabiskan sebagian hidupnya di Baghdad (w.243H/857M). Ia mengembangkan psikologi moral yang paling ketat dan berpengaruh dalam tradisi tasawuf. Karyanya, al-Ri‟ayah li Huquq Allah berisi analisis yang dikembangkan secara utuh mengenai berbagai bentuk egoisme manusia, metode pelatihannya, dan cara mewaspadainya agar manusia tidak terjatuh ke dalamnya. Psikologi moral AlMuhasibi berpengaruh besar terhadap tasawuf periode berikutnya dan pemikiran Islam secara luas.1 Kontribusi utama al-Muhasibi ditemukan dalam karyanya, yakni kitab al-Ri‟ayah li Huquq Allah.2 Buku ini disusun dalam bentuk dialog antara dia dan muridnya. Sang murid mengajukan berbagai pertanyaan pendek dan sang guru memberikan jawaban yang panjang dan detail. Prosa al-Muhasibi tergolong berat dan tidak puitis. Seolaholah sang penulis telah memutuskan bahwa tema utamanya—hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya—merupakan topik yang tidak menyenangkan 1Pengaruh al-Muhasibi disebarkan secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruhnya secara langsung disebarkan melalui pengikutnya, al-Sari al-Saqathi (paman al-Junaid). Secara tidak langsung, psikologi al-Muhasibidapat ditemukan dalam bentuk yang sangat kuat dalam karya-karya Abu Thalib al-Makki, yang melandaskan pandangan sinoptiknya sendiri tentang tasawuf dalam ekspos yang gigih dari al-Muhasibiatas kehalusan egoisme manusia. Al-Makki pada gilirannya nanti berpengaruh kuat dan sangat menentukan pada karya ensiklopedik Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), sufi yang karyanya sangat popular di dunia Islam saat ini. 2Karya sekunder mengenai al-Muhasibi antara lain adalah Margareth Smith, al-Muhasibi (781857) An Early Mystic of Baghdad (Amsterdam: Philo Press 1974); Louis Massignon, Essai sur les Origins du Lexique Technique de la Mystique Musulmane (Paris: Librairie Orientaliste Paul Geuthner, 1954); dan Josef van Ess, Die Gedankenwelt des Harits al-Muhasibi (Bonn: Selstverlag des Orientalischen Seminars der Universtat Bonn, 1961).
251
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
sehingga perlu kecerdikan yang memungkinkan pembaca terbebas dari kesimpulan yang suram. Nama panggilan al-Muhasibi berasal dari konsep muhasib, yang berarti menghitung atau memeriksa hati nurani secara terus-menerus, yang diyakini oleh alMuhasibi seharusnya mengikat setiap manusia. Sementara al-Qusyairi menelaah maqam dan waqt (auqat) pada setiap pengalaman mistik dan lintasan hati yang terjadi di dalamnya, al-Muhasibi menelaah atau mempertanggungjawabkan—dengan presisi dan ketelitian yang sama—maqamat dan auqat pada egoisme dan berbagai bentuknya. Gaya tutur al-Muhasibi sering menunjukkan perubahan yang tiba-tiba pada persona gramatikal (dari orang pertama dan kedua hingga orang ketiga yang lebih abstrak), melingkar, dan pembalikan yang berulang ke tema-tema pokok. Pada setiap pengulangan, al-Muhasibi menambahkan sesuatu yang baru—biasanya berupa dalil al-Qur‘an dan sunnah, atau contoh kasar kehidupan sehari-hari. Seolah-olah sang penulis hendak mencoba menahan pembaca di dalamnya dan menghalangi ego alami serta tabiatnya yang telah mendarah daging untuk mengelak dari kerumitan pembahasan. Bentuk egoisme utama yang dibahas oleh al-Muhasibi adalah (1) riya‟ (narsisisme); (2) kibr (tindakan hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan sang tuan atau Tuhan. Dalam istilah kontemporer, hal ini dinamakan sebagai dorongan ke arah megalomania dimana seseorang melihat dirinya sebagai pusat realitas); (3) „ujub (dengannya seseorang memperdaya dirinya sendiri dengan melebihlebihkan penilaiannya atas segala tindakannya serta melupakan kesalahankesalahannya); dan ghirrah (dengannya seseorang berhayal bahwa penolakannya untuk mengubah perangai buruknya dibenarkan oleh harapannya akan sifat rahman Allah).3 Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu dengan lainnya dan masingmasing melahirkan bentuk egoisme baru, seperti persaingan, permusuhan, ketamakan, dan juga membanggakan diri sendiri. Masing-masing bentuk dan subbentuk egoisme memiliki penawar dalam kehidupan berhamba. Misalnya, ikhlas adalah penawar bagi riyā‘. Pada akhirnya, setiap penawar bersumber pada renungan tentang keesaan Tuhan, al-Qur‘ān, h{adīth, dan akal budi manusia selama ia tetap berpijak kepada wahyu Ilahi. al-Muhasibi memberikan definisi singkat untuk berbagai bentuk egoisme, sebagaimana terungkap dalam tanya jawab berikut: Aku berkata, ―Tolong jelaskan tentang ‗ujub—apa ‗ujub itu, dimana ia berada, dan bagaimana agar ia bisa dicegah dan dilawan?‖ Dia berkata, ―Engkau telah bertanya tentang cela sangat besar yang, pada kebanyakan hamba Allah, telah membutakan mereka akan dosa-dosanya yang disulamkan di atas cela mereka dan menggagalkannya. ‗Ujub membutakan hati hingga si sombong memandang dirinya sedang melakukan perbuatan baik ketika dia sedang melakukan kesalahan, yang memandangnya sebagai keberhasilan ketika ia binasa, dan menyangka dirinya mencapai sasaran ketika sebenarnya ia tersesat. Orang yang terjerembab ke dalam „ujub pasti akan menjadi ghirrah. Dia meremehkan dosa-dosanya yang diketahui dan diingatnya sambil melupakan banyak dosa lainnya juga. Dia menjadi buta akan kebanyakan dosanya sehingga ia memandang terlalu tinggi tindakan-tindakannya, berangan-angan tentang kebaikan dirinya, kehilangan rasa 3Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, al-Ri‟āyah li Huqûq Allāh (ed.) Abd al-Qadir Ahmad ‗Atha‘ (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, cet, ketiga, 1970).
252
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
takut ketika berbuat salah, dan memperbesar ghirrahnya kepada Allah SWT. Orang sombong bahkan berbuat lebih jauh dengan membuat kebohongan tentang Allah SWT sambil berpikir bahwa ia telah dituntun. Dengan „ujub, orang binasa dalam kesalahan dengan memperbesar sifat mementingkan diri sendiri, menjadi sombong, dan malah berbalik bermegah-megahan. Dalam „ujub, terdapat bentuk-bentuk kerusakan moral lainnya bagi masyarakat luas‖.4 Dalam karya lainnya, al-Washayah, al-Muhasibi menawarkan serangkaian definisi singkat untuk setiap pembahasan egoisme dan masing-masing metode penanggulangannya. Definisinya mengenai ‗ujub (narsisistik) melengkapi definisi dalam kitab al-Riayah dengan tambahan perspektif: Aku berkata, ―Apakah yang dimaksudkan dengan ‗ujub („ijab) yang engkau khawatirkan dalam hisabku?‖ Dia berkata, ―Perhatian pada dirimu sendiri dalam tindakan apapun dan melebih-lebihkan peranmu dalam melakukannya—melupakan bahwasanya Allah yang menganugerahimu dan memberimu taufik. ―Ujub adalah memuji diri sendiri untuk setiap perbuatan baik. Melebih-lebihkan peran manusia dalam sebuah perbuatan adalah ‗ujub. Allah berfirman, ―Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepadamu sedikitpun… (QS. At-Taubah [9]: 25). Aku berkata, ―Bagaimana cara mencegah dan menghilangkan ‗ujub dari dalam hati?‖ Dia berkata, ―Ketika engkau menyadari bahwasanya Allah yang telah mengaturmu melakukan perbuatan dan mengizinkan engkau melakukannya atau menjadikannya sebagai pengabulan-Nya bagimu. Dia telah memilihmu untuk melakukannya tanpa engkau melakukan apapun sehingga engkau tidak layak untuk menerimanya. Ketika engkau menyadari bahwa semua itu berasal dari Allah, engkau akan memperlihatkan rasa syukur atas rahmat-Nya yang telah menganugerahimu‖. Aku berkata, ―Apa hasil dari semua itu?‖ Dia berkata, ―Kemampuan untuk berbuat dan meningkatkan kemampuan untuk berbuat‖. Ketika Rabi‘ah al-Adawiyah secara terang-terangan mencela sikap takut akan siksa Allah dan hasrat akan pahala Allah sebagai motivasi-motivasi, al-Muhasibi malah menggunakannya. Dia menjadikannya sandi untuk membedakan mereka yang kesadarannya mengakar di dunia dan mereka yang kesadarannya mengakar di akhirat atau, malahan sebagai tujuan final, karena yang ditekankan al-Muhasibi adalah hari akhir yang seluruh kehidupan dan perbuatan manusia akan diputuskan sebagai layak mendapatkan pahala atau layak mendapatkan kutukan. Tentu saja, isu tentang apakah motivasi murni akan menjauhkan perhatiannya dari pahala atau siksa Allah, merupakan suatu isu perennial dalam tasawuf. Tidak ada kontradiksi yang penting antara al-Muhasibi dan Rabi‘ah dalam permasalahan ini. Mereka terfokus pada tingkat perkembangan yang berbeda. al-Muhasibi memandang pahala dan siksa Allah sebagai motif untuk menyucikan seluruh tindakan manusia dari segala bentuk perhatian egoistik lainnya. al-Muhasibi adalah seorang ahli psikologi manusia biasa, sedangkan Rabi‘ah berpijak pada gagasan mengenai amal murni—demi cinta Sang Kekasih saja—mengesampingkan seluruh pahala dan azab, 4Ibid.,
398.
253
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
bahkan oleh Sang Kekasih. Atau dalam kalimat lain dapat dikatakan, bahwa Rabi‘ah adalah seorang ahli psikologi manusia yang luar biasa, yang hanya dapat dicapai melalui fana‟, yakni ketika nafs lebur. Dari seluruh pembahasan Al-Muhāsibī mengenai egoisme, tidak ada yang seluas atau serumit pembahasannya mengenai riya‟ dan tidak ada yang sangat teologis daripada definisinya mengenai ikhlas, sebagai penawar riya‟. Ikhlas dalam al-Qur‘ān berarti hanya menyembah kepada Allah dan menolak sekutu (syirik) dari ilah-ilah lainnya. Dengan mengajukan suatu pemahaman etis tentang ikhlas, Al-Muhāsibī menambahkan etika tasawuf dalam prinsip monoteistik sentral dari al-Qur‘ān dan, sebaliknya, mengekspos implikasi etis atas penegasan ketauhidan. Dalam kitab ini, ia mendefinisikan ikhlas sebagai kemurnian niat, yakni kemurnian perbuatan apapun dari seluruh perhatian lainnya selain kehendak Allah. Perbuatan ikhlas muncul dari suatu kesadaran yang secara total berakar kepada keesaan Allah, tanpa dicampuri oleh kesadaran apapun atas pemujaan terhadap manusia lainnya atau menyalahkan manusia lainnya. Aku berkata, ―Tuhan menganugerahimu kasih sayang, lalu apakah karakteristik ikhlas?‖ Dia berkata, ―Pelepasan diri dari mua‟malah dengan Tuhan, dan ibadah untuk pahala Allah, tanpa keinginan apapun untuk dipuji atau enggan untuk disalahkan‖. Aku berkata, ―Mengapa ikhlas disebut ikhlas?‖ Dia berkata, ―Karena ia mengenyahkan seluruh kerusakan akibat perbuatan itu‖. Aku berkata, ―Jelaskan lebih jauh!‖ Dia berkata, ―Ikhlas mengenyahkan kerusakan dari seluruh cela, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang Arab, ―Si Fulan cinta mati pada si Fulanah,‖ maksudnya tidak ada yang tercampur dalam cintanya. Sama saja, dengan ikhlas, tidak ada riya‟ yang tercampur dalam perbuatannya, tidak pula tercampur di dalamnya kepentingan akan reputasi, ‗ujub, gila hormat, atau benci untuk dicela. Ikhlas telah memurnikan semuanya dari segala polusi itu‖.5 Aku berkata, ―Apa akar dari riya‘?‖ Dia berkata, ―Cinta dunia‖. Aku berkata, ―Mengapa demikian? Tolong jelaskan lebih terperinci untukku apa yang engkau maksud?‖ Dia berkata, ―Ketika seseorang mencintai dunia, berhasrat kekal di dalamnya, berhasrat memiliki riwayat terhormat di dalamnya, berhasrat menyebarkan ketenarannya, berhasrat selalu dikenang dan dipuji-puji, dan berhasrat agar anak cucunya mengikuti jejaknya sehingga semua hasratnya dapat tercapai melalui mereka‖. Aku berkata, ―Apa makna riya?‖ Dia berkata, ―Mencintai pujian manusia untuk semua perbuatan baiknya‖. Aku berkata, ―Apa tanda-tanda orang riya?‖ Dia berkata, ―Tiga tanda, yaitu: ia sedemikian rajin di hadapan orang lain, tetapi ia bermalas-malasan ketika tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ia mengharapkan pujian dalam seluruh perbuatannya‖.
5Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Al-Washāya (ed.) Abd al-Qadir Ahmad ‗Atha‘ (Beirut: Dar al-Kutub al-Amaliyyah, 1986), 259.
254
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
PEMBAHASAN TENTANG KEPEDULIAN ATAS HAK-HAK ALLAH SELAMA BERBAGAI KHATARAT BERPENGARUH PADA KEIMANAN HATI Dalam karyanya ini, al-Muhasibi menampilkan fondasi psikologi moralnya. Konsep kunci yang ditampilkan olehnya adalah khathir—pemikiran, gagasan, atau lintasan hati yang ―mendorong‖ atau ‖terbersit‖ pada diri seseorang. Pada bagian terpilih dari karya al-Qusyairi mengenai ―khawatir‖ (lihat Bab IV buku ini), konsep yang kompleks mengenai khatarat terintegrasi dalam ekspresi puitis dan psikologis pengalaman yang luar biasa. al-Muhasibi lebih memperhatikan khatarat dari pengalaman sehari-hari. Bagaimana kita bisa mengetahui sumbernya? Mana yang harus kita ikuti? al-Muhasibi mengajukan tiga sumber khatarat : hawa nafsu, setan atau iblis, dan Tuhan—melalui wahyu Ilahi dan nalar manusia. Analisis al-Muhasibi mengenai khatarat hawa nafsu dan setan merupakan analisis yang paling terkenal di kalangan kaum sufi. Namun, adalah penting untuk mengingat bahwasanya dia juga meyakini Allah sebagai sumber khatarat. Bagi al-Muhasibi, seorang hamba yang berpijak pada sunnah, benar-benar dapat mendengar suara Tuhan dalam hatinya. Manusia semacam ini dapat mencapai tatsabbut ketika dia memeriksa khatarat -nya dan menegaskannya bahwa hal tersebut berpijak pada al-Qur‘an dan Sunnah, menolak segala bentuk perbuatan yang terburu-buru yang bisa jadi didorong oleh egoisme dan setan. Inti pembahasannya mengenai khatarat yang muncul dari bisikan setan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surah terakhir (QS. Al-Nas [114]: 1-6): ―Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai manusia, raja manusia, sembahan manusia dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”. Kebanyakan tulisan al-Muhasibi adalah sebuah telaah psikologis mengenai jalan bagaimana dapat ―berlindung‖ dari khatarat setan yang biasa bersembunyi dan khatarat hawa nafsu. Aku berkata, ―Bagaimana seseorang peduli pada hak-hak Allah ketika khatarat terjadi? Apa indikasi kepedulian tersebut? Dan apakah sebenarnya khatarat ? Dia berkata, ―Seseorang peduli mengenainya dengan tatsabbut. Caranya dengan mengetahui motivasi khatarat—apakah ia memotivasi hati untuk kebaikan atau kejahatan?‖ Aku berkata, ―Darimana datangnya khatarat dan apa saja jenisnya?‖ Dia berkata, ―Ia bisa berasal dari hawa nafsu, dari nalar—setelah pencerahannya oleh Allah, atau dari setan‖. Mengenai pencerahan dari Allah—terdapat banyak hadithmenyangkut hal ini, antara lain diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, ―Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia menyusun hikmah ke dalam hati orang tersebut‖. Atau diriwayatkan oleh Al-Nawas ibn Sam‘a
255
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
malaikat-Nya untuk memunculkannya pada pikiran sang hamba serta memperingatkan dan menyadarkannya. Bentuk kedua khatarat adalah bujukan, sesuatu yang datangnya dari dalam diri. Dalam hal ini, Allah menampilkan kata-kata dari Nabi Ya‘qub as, ―Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaran-Ku).6 Allah juga berfirman dalam kisah tentang dua anak Adam as, ―Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah‖.7 Dan juga Allah berfirman, ―Nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan‖.8 Jenis ketiga khatarat adalah sebuah tipu daya, hasutan, dan bisikan serta godaan setan. Dalam hal ini, Allah memerintahkan para nabi-Nya untuk berlindung kepada-Nya dari godaan setan. Allah berfirman, ―Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-A‘raf [7]: 200.9 Allah juga berfirman, ―Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia (QS. Al-Nas [114]: 5). Dalam menggambarkan Adam dan Hawa, Allah juga berfirman, ―Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya (QS. Al-A‘raf [7]: 20). Dalam surat yang lain, Allah juga berfirman, ―Dan setanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan (QS. Al-An‘am [6]: 43). Hal ini diwajibkan atas hamba Allah untuk menemukan tatsabbut dalam pengetahuan yang akan menunjukkan sumber khatarat. Apabila dia tidak membenarkan dengan nalarnya dan menjadikan pengetahuannya sebagai pemandunya, dia tidak akan sanggup membedakan antara perkara yang merugikannya dan perkara yang menguntungkannya. Seorang ulama berkata, ―Jika kamu berharap bahwa nalarmu menang atas hawa nafsu, janganlah terburu-buru melakukan tindakan yang menyenangkanmu tanpa mempertimbangkan akibatnya‖. Aku berkata, ―Apakah tatsabbut itu?‖ Dia berkata, ―Selalu menahan hawa nafsu dalam melakukan perbuatan apa pun dan menolak untuk terburu-buru dalam suatu perbuatan. Ia selalu bersabar sebelum bertindak‖.10 Aku berkata, ―Jika hawa nafsu mendorong ke arah perbuatan yang tergesagesa, apa yang dapat menahan hawa nafsu?‖ Dia berkata, ―Seseorang seharusnya mengingat tentang wara‟ Allah atas dirinya dan takut akan adzab-Nya. Jika hawa nafsu menolak untuk menahan diri sendiri, hendaklah menegur hawa nafsu dengan kata-kata, Allah swt melihatmu. Berhentilah, karena suatu hari nanti engkau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu. 6Rujukan
pertama dalam QS Yusuf (12) adalah kisah Ishaq (Isra‘il) dan putra-putranya, pemberkahan Yusuf as dengan berkah tafsir mimpi, hakikat (lihat Bab 1 buku ini) dan plot perlawanan Yusuf terhadap kakak-kakaknya yang cemburu. Untuk rujukan lainnya kepada taswil (bujukan), lihat QS. Yusuf [12]: 18; QS. Taha [20]: 96; dan QS. Al-Fath{ [48]: 25. 7Akan sangat menggoda untuk menerjemahkannya secara tidak harfiah, ―Dia memberikan dirinya untuk …‖ Akan tetapi, terjemahan semacam itu, meskipun lebih idiomatik, kehilangan gagasan krusial bahwa itu adalah (hawa) nafsu yang dalam ungkapan al-Qur‘an dan psikologi sufi berikutnya menjadi agen bujukan, bukan penerima pasif dari itu. 8al-Nafs al-amarah bi al-su‟: jiwa yang didominasi dengan kesalahan. Frase ini menjadi salah satu fondasi al-Qur‘an untuk pembagian sufi atas nafs ke dalam tiga fase: fase al-nafs al-amarah (egodominasi), fase al-nafs al-lawwamah (menyalahkan diri), dan fase al-nafs al-muthma‟innah (ketenangan dan keamanan). 9Untuk rujukan Al-Qur‘an lainnya tentang nazgh (insinuasi) setan, lihat QS. Yusuf [12]: 100; al-Isra [17]: 53; dan Fushshilat [41]: 36. 10Hafs al-nafs: menahan dorongan hawa nafsu.
256
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
Seseorang tidak boleh berhenti meminta pertolongan Allah. Dia (Allah) mungkin akan menguatkan kelemahannya dan menaklukkan baginya hawa nafsunya. Barang siapa selalu kukuh kesadarannya akan janji Allah yang meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak, akan lebih mudah baginya untuk menetapkan pendirian dan tatsabbut terlebih dahulu sebelum kemudian melakukan suatu perbuatan. Merasa takut dan malu terhadap kemungkinan Allah akan meminta pertanggungjawabannya di akhirat nanti‖. Dengan nalar, pengetahuan, dan tatsabbut tersebut, seseorang dapat memahami kemudlaratan dan kesalahan dalam khatarat yang memotivasi hatinya. Di lain pihak, seseorang tidak akan pernah aman dari kemunculan khatarat —dari bisikan setan dan bujukan hawa nafsunya—berpikir bahwa hal itu berasal dari Allah. Atau bisa saja seseorang menolak khatarat tanbih untuk kemaslahatan, menyangka bahwa hal itu merupakan bujukan hawa nafsu atau tipu daya setan. Tidak seorangpun yang dapat membedakan hal-hal tersebut kecuali melalui pengetahuan dan pembenaran nalar. Hal ini tidak ubahnya seperti seseorang yang berada dalam gelap gulita di jalan yang berbahaya, dipenuhi dengan belukar dan lubang ketika sedang hujan lebat. Penglihatannya tidak berguna tanpa adanya lampu dan lampu juga tidak berguna apabila tidak memiliki penglihatan. Lampu dan penglihatan juga tidak akan berguna apabila ia tidak mengarahkan pandangannya ke arah jalan untuk membernarkan langkah-langkahnya. Apabila dia melihat ke langit atau menolehkan pandangannya ke arah lain, sekalipun lampu itu menyala, ia seperti orang yang tidak memiliki pandangan atau lampu. Apabila ia melihat ke arah dia berjalan, tetapi tidak memiliki lampu, ia masih sama saja seperti orang yang tidak memiliki penglihatan. Penglihatan yang sehat laksana nalar, sedangkan lampu bagaikan pengetahuan. Dan, menatap ke arah jalan adalah seperti tatsabbut—melalui nalar—mencari pencerahan dalam pengetahuan dan menyingkapkan khatarat apapun yang dialaminya pada al-Qur‘an dan sunnah. Merenungkan sejenak sebelum berbuat, selama seseorang memehami seberapa hati-hatinya keinginan dirinya tersebut. Dan, apabila khatarat menawarkan sesuatu yang bertentangan, ia mengenalinya dalam sekejap mata karena pengetahuan telah berakar dalam hatinya, melemahkan ketika ia mulai berhati-hati. Maka, ketika ia berhadapan sejenak hingga ia mengetahuinya. Apabila dia tidak memiliki pengetahuan, ia diperintahkan untuk menunggu selama mungkin hingga ia tahu apakah Allah akan meridalinya. Ia tidak terburu berbuat ceroboh tanpa sebuah pengetahuan. PEMBICARAAN TENTANG MEMPERSIAPKAN KEMATIAN DAN MENGEKANG ANGAN-ANGAN Renungan al-Muhasibi tentang egoisme tak mengenal lelah. Ia sering dijadikan sebagai penawar yang paling utama bagi segala bentuk egoisme. Renungannya secara fundamental mengingatkan kelalaian akan kefanaan makhluk. Kemudian, al-Muhasibi menggunakan ―persiapan‖ untuk kematian sebagai pedang yang dapat memotong ikatan egoisme. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa tulisan al-Muhasibi menggabungkan psikologi yang canggih dalam perspektif penghambaan yang naif.11
11Periksa Louis Massignon, Essai sur les Origines du Lexique Technique de la Mystique Musulmane (Paris: Librairie Orinetaliste Paul Geuthner, 1954), sebagaimana yang dikutip oleh Michale A. Sells (Eds.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur‟an, Mi‟raj, Poetic and Theological Writings (Paulist Press, 1996), 237.
257
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
Ketika al-Muhasibi siap memeriksa setiap aspek dorongan egoistik, dia mengurangi aspek eskatalogi untuk mengskematiskan bentuk azab dan pahala. Kematian menjadi ditakuti bukan karena hisabnya semata, melainkan karena ―penghisaban‖ yang menyertainya, sebuah penghakiman hari akhir yang mutlak apakah seseorang menerima kasih saying-Nya yang tidak terbatas atau kutukan yang tidak kepalang tanggung. Dengan kata lain, al-Muhasibi menggunakan konsep eskatologi secara khusus untuk memadatkan fokus perhatiannya yang setiap lintasan pikiran dan perbuatan seseorang akan diperiksa secara total. Lalu, ia menarik pembaca ke dalam perasaan haibah dan teror yang akan dialaminya pada saat pemeriksaan. Untuk menarik pembaca dan pencari ke dalam perasaan itu, al-Muhasibi menyempurnakannya dengan menggali konsep ―angan-angan yang dipendekkan‖. Manusia cenderung ke arah angan-angan yang panjang, ke arah anggapan bahwa kematian dan saat penghisabannya akan ditangguhkan atau ditunda untuk waktu yang tidak terbatas. Pengingkaran implisit akan kefanaan makhluk ini menggiring manusia ke dalam egoisme. Bersiap-siap mati adalah upaya memotong angan-angan tersebut. al-Muhasibi selalu menegaskan bahwa manusia hidup di tepi kefanaan makhluk dan penghisaban akhir yang mengikutinya.12 Aku berkata, ―Jelaskan kepadaku apa sebenarnya isti‟dad (persiapan) itu?‖ Dia berkata, ―Isti‟dad itu ada dua jenis. Jenis pertama, adalah kewajiban. Mereka yang bersedih pada saat kematiannya akan menyesali fakta bahwa mereka telah membiarkannya berlalu begitu saja. Isti‟dad ini adalah keikhlasan tobat sang hamba atas dosa dan kesalahannya. Apabila dikatakan kepadanya, ‗Kamu akan mati saat ini juga,‘ ia tidak akan mendapati dosa apapun yang perlu ditobati dan karenanya ia tidak akan dihisab. Apabila dia mendapati masih ada dosa yang belum ditobati, ia akan siap bertemu dengan Rabb-nya.‖ Tidak seorangpun yang dikabari tentang pencabutan ruh dari tubuhnya. Kematian datang dengan tiba-tiba. Apabila kematian datang kepada seseorang sementara dosa masih bersemanyam dalam dirinya, ia tidak akan selamat dari kutukan Allah. Bagaimana mungkin seseorang yang masih berkutat dalam kemungkaran beristi‟dad untuk menenmui-Nya? Ia tidak akan merasa aman dari kematian yang menyergapnya pada saat ia tidak siap, sementara datangnya kematian adalah pasti. Mengenai jenis isti‟dad kedua adalah dengan mencurahkan segenap jiwa raga melampaui apa yang diwajibkan. Ini adalah tentang bagaimana seseorang yang menyerahkan apa yang dimilikinya di dunia, kecuali apa-apa yang telah diamanatkan kepadanya. Jika dikatakan, ―Engkau akan mati besuk,‖ ia tidak akan meningkatkan aktivitasnya. Allah swt menilai makhluknya akan bentuk isti‟dad ini lebih daripada (yang pertama) karena validitasnya tidak dapat dirusak, karunia-Nya tidak dapat dibalas, dan keagungann-Nya tidak ada bandingnya. Aku berkata, ―Bagaimana pemendekan angan-angan itu?‖ Dia berkata, ―Dengan takut terhadap takdir akan terjadinya kematian dalam keadaan sia-sia. Karena ruh sang hamba adalah sesuatu yang dipinjam dan ia tidak akan tahu kapan sang Pemilik akan mengambilnya kembali. Ketika seseorang takut akan takdir yang telah ditentukan, dengan memotong angan-angan di dunia, dia menanti datangnya kematian.‖ 12Periksa
258
al-Muhasibi, al-Ri‟ayah, 154-159.
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
Aku berkata, ―Bagaimana ia mencapai rasa takut akan takdir yang telah ditentukan?‖ Dia berkata, ―Dengan ma‘rifat akan ketidakpastian dari waktu yang telah ditetapkan dan datangnya kematian—dan pengetahuan bahwa Sang Penentu waktu sejalan dengannya, menasehatinya, atau memberitahunya kapan ia akan mengambil ruhnya, menghisabnya sebagai suatu pelajaran bagi mereka yang mati sebelum ia.‖ Aku berkata, ―Apakah ketidakpastian akan waktu yang telah ditentukan ini seperti sesuatu yang harus aku tafakuri untuk memperoleh ma‘rifat?‖ Dia berkata, ―Engkau hanya perlu tahu bahwa kematian adalah rahasia yang diketahui oleh sang hamba sehingga ia bisa takut akan waktu khusus itu dan merasa aman pada waktu yang lain. Kematian tidak datang kepada manusia pada musim dingin yang berlawanan dengan musim panas, atau mengambil milik manusia pada musim panas yang berlawanan dengan musim dingin, atau pada bulan khusus di tahun itu sehingga orang bisa aman di seluruh bulan lainnya, atau pada malam hari; membiarkan seseorang aman pada siang hari, atau pada siang hari; membiarkan seseorang aman pada malam hari, atau pagi hari; membiarkan seseorang aman pada sore hari, atau pada waktu-waktu khusus pada hari itu yang berlawanan dengan waktu-waktu lainnya. Tidak pula kematian datang pada tahapan tertentu dari kehidupan, menghampiri orang yang berusia dua puluh tahun dan membiarkan mereka yang berusia lebih muda, atau mendatangi orang yang berusia tiga puluh tahun dan membiarkan mereka yang berusia dua puluh tahun. Tidak pula kematian itu memiliki sebab-sebab khusus; seperti demam, bathn, atau ketuaan, atau tenggelam, atau sebabsebab kecelakaan lainnya.13 Maka, menjadi jelaslah bagi mereka yang arif dan berpengatahuan dalam perintah Allah, bahwa karena kematian tidak memiliki waktu yang diketahui, orang tidak akan pernah aman darinya kapanpun.‖ Sang hamba mengingat kematian dengan mengosongkan hatinya dari segala sesuatu kecuali kesadarannya akan kematian yang tidak memiliki waktu khusus yang diketahui atau sebab atau tahapan kehidupan dan keinsafannya akan apa yang terjadi dalam kematian pada manusia—tentang siksaan dan kasih sayang Allah. Keinsafan ini berlanjut ketika ia menghisab mereka yang berlalu sebelum ia (mereka yang berada di atasnya atau di bawahnya atau sepadan dengannya dalam maqam). Ketika semua ini terjadi, pengetahuannya tentang kematian dan tentang kemendadakan kematian menjadi mantap. Keinsafannya yang kuat bahwa ia akan mendatangi kematian sebagaimana mereka yang menapaki jalan itu sebelum ia mendatanginya, itu pasti. Ketika pengetahuannya akan kondisi ini bertambah dalam, angan-angan diperpendek. Ketika angan-angannya telah musnah, ia menjaga hatinya dalam keadaan waspada akan kematian. Ketika hatinya waspada, ia berada dalam pengawasan kematian. Ketika ia berada dalam pengawasan kematian, ia segera beristi‟dad kepadanya dan berpacu menyempurnakan amal salehnya sebelum malaikat maut menjemput ruhnya. Dalam hal ini, diriwayatkan tentang Ali bin Abi Thalib r.a., bahwasanya beliau berkata, ―Barang siapa berada dalam pengawasan kematian, segeralah beramal saleh.‖ Diriwayatkan juga bahwasanya Ali r.a., berkata, ―Dua hal yang akan membawa 13
Bathn: penyakit batin.
259
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
kehancuran: hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu menghalangi dari alHaqq, sementara panjang angan-angan membawa pada kelalaian akan akhirat.‖14 Hal ini tidak ubahnya seperti dua orang yang engkau kenal pergi untuk beberapa waktu. Engkau tahu bahwa salah satu dari mereka telah kembali dengan cepat—hari itu juga, atau malam hari, atau keesokan harinya. Engkau tahu bahwa yang lainnya tidak akan datang selama sebulan atau setahun. Engkau akan mempersiapkan dirimu untuk satu-satunya orang tiba lebih dulu. Jika dia telah memintamu untuk melakukan sesuatu, engkau akan bergegas memastikan bahwa hal itu sudah dikerjakan sehingga engkau tidak akan terkejut sebelum engkau bisa mengamalkannya, kemudian mendapatkan ketidaksukaan dan hukumannya. Engkau akan menyiapkan baginya suatu sambutan yang sopan dan penuh hormat. Jika terdapat salah atau cacat pada dirimu yang tidak mengenakkannya, engkau akan segera berpikir dan merencanakan meminta maaf kepadanya untuk meredakan segala perasaan tidak enak atau penumpahan kesalahan yang mungkin ia tudingkan kepadamu, dan memastikan martabatmu tidak dienyahkan dari penilaiannya. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Ka‘b ibn Malik r.a. ketika dia tetap berada di Madinah selama Perang Tabuk. Ketika dilaporkan bahwa Rasulullah Saw sedang dalam perjalanan kembali dari perang, Ka‘b mulai berpikir dan bertanya kepada setiap orang di sukunya yang mungkin memberinya nasehat—bagaimana dia bisa minta maaf dan terbebas dari kebencian rasulullah kepadanya. Hal seperti itu adalah sebuah kasus ketika hati seseorang disergap oleh kesadaran bahwa kematian datang kepadanya dengan cepat. Ia mengetahui bahwasanya pada kematiannya ia akan mendengar maklumat akan keterpurukan atau pengorbanannya. Dia bertindak dengan tergesa-gesa hingga Allah menyayangi atau menyalahkannya atas upaya pemurnian hati dan jasadnya dari kemungkaran. Semua ini dilakukannya sehingga ia bisa berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan suci.15 Mengenai perkara yang akan mendorong sang hamba untuk mengingat datangnya kematian yang sangat cepat ini tidak dapat tidak selain berlalunya waktu yang tidak dapat lagi menjadi sumber rasa aman. Dalam hal ini, diriwayatkan bahwa Luqman r.a. berkata kepada anaknya, ―Anakku, ada beberapa hal yang tidak engkau tahu ketika ia datang kepadamu. Bersiaplah menyambutnya atau ia akan mendatangimu pada saat engkau tidak siap.‖ Luqman r.a. juga berkata kepada anaknya, ―Anakku, jangan berhenti bertobat. Datangnya malaikat maut sungguh tidak terduga.‖16 PEMBAHASAN TENTANG ILMU KEKUATAN IKHLAS Dalam pokok bahasan ini, al-Muhasibi membagi manusia menurut tingkatannya dalam ikhlas. Dari mereka yang takdir memperkenankan mereka untuk menolak begitu saja lintasan hawa nafsu, hingga kasus yang lebih kompleks tentang mereka yang memperdaya dirinya sendiri dengan berpikir bahwa dengan menunda dan berjihad melawan lintasan hawa nafsu, entah bagaimana mereka akan memperoleh pahala atas jihad mereka. 14Walaupun
istilah al-akhirat biasa diterjemahkan sebagai kehidupan berikutnya, al-Muhasibidi sini menggunakannya dengan suatu cara yang menunjukkan konotasi etimologis dari finalitas, akhir seluruh aktivitas, justifikasi, dan daya tarik. 15Periksa lebih lanjut Al-Muhasibi, al-Ri‟ayah, 158. 16 Luqman: Nabi Arab kuno yang diasosiasikan dengan pokok kebijakan yang terkenal.
260
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
Pembahasan itu ditampilkan untuk mengikuti syariat dan menolak dorongan untuk mengabaikannya. Ketajaman psikologis dari analisis al-Muhasibi dapat diterapkan pada situasi apapun. Hal terpenting adalah pembedahannya tentang watak dasar waham (self-deluding) akan penundaan dan analisisnya mengenai jalan bagaimana hawa nafsu dapat mempengaruhi niat dari sebuah perbuatan dan menggagalkan perbuatan tersebut.17 Aku berkata, ―Ketika aku telah mencela dan menolak peluang mengikuti hawa nafsu, lalu apa indikasinya bahwa keikhlasan telah menjadi dominan dalam hatiku?‖ Dia berkata, ―Tahukah engkau bahwasanya pencarian akan Allah dan pencarian akan makhluk adalah motivasi yang sama dalam hati? Namun, apabila seseorang mencela (akan segala sesuatu yang lain) bersatu menjadi dua motif, sementara jihad akan hawa nafsu hanyalah satu. Maka dua motif itu akan menang atas satu motif.‖ Aku berkata, ―Apakah mereka yang menolak riya‟ berada dalam ma
lanjut lihat al-Muhasibi, al-Ri‟ayah, 223-224. antara maqam yang kedua dan ketiga menjadi tampak bahwa perilaku dalam ma
261
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
perolehan rahmat-Nya menjadikannya sebagai suatu pelajaran dalam berdzikir kepada Rabb-nya. PENJELASAN TENTANG HADHAR DARI IBLIS Barangkali tidaklah mengherankan jika al-Muhasibi akan memandang hadhar sebagai aspek krusial dalam upaya mencapai keikhlasan dan menghindari riya‟. Seseorang harus waspada terus-menerus melawan khatarat yang sangat halus dan tiada henti menyeru kepada satu bentuk hawa nafsu atau yang lain. Bahkan dalam penjelasan berikut, al-Muhasibi membuat pembedaan krusial antara hadhar, di satu sisi, dan ―harapan‖ serta ―kesibukan‖ di sisi lainnya. Mengharapkan khatarat hawa nafsu, berarti disibukkan dengan egoismenya sendiri, malah semakin terjatuh sehingga menjadi mangsa hawa nafsunya sendiri. Bagi al-Muhasibi , perhatian seseorang harus tetap pada satu-satunya sumber keikhlasan: Tuhan. Melalui keinsyafan dan kesadaran yang konstan akan Tuhan, orang akan mampu seketika itu juga terjaga, seperti halnya seseorang yang tidur dalam keadaan waspada dapat membangunkan dirinya sendiri pada saat-saat yang tidak biasa. Jika seseorang menghabiskan waktunya dengan memikirkan hawa nafsu dan setan—dua sumber egoisme, dia akan kehilangan hubungan yang krusial dengan Tuhan sebagai sumber keikhlasan.19 Aku berkata, ―Apakah hadhar itu?‖ Apakah ia merupakan angan-angan atau persiapan akan datangnya angan-angan? Atau mungkin kita hadhar atas perkara yang tidak diharapkan?‖ Dia berkata, ―Seorang mukmin yang berada dalam hadhar atas perintah Tuhan terbagi ke dalam tiga golongan, dan hanya satu golongan yang benar.‖ Golongan pertama bersikukuh bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk berjihad melawan sesuatu yang tidak kita lihat. Tuhan menanamkan rasa takut kepada-Nya dalam hati kita dan mengajari kita bahwa kemenangannya atas diri kita berarti kehancuran kita. Tidak ada yang lebih memiliki kekuatan atas hati kita dan kepada-Nya kita berpegang teguh lebih kuat lagi daripada hadhar (gangguan) dan angan-angan akan saat yang tepat dari godaannya. Gangguan atas dirinya membawa kepada kelalaian, dan kelalaian membawa pada penerimanaan akan khatarat tanpa disertai ma‘rifat—dan hal itu akan membawa pada kehancuran. Golongan ini percaya bahwa kita harus selalu menjaga hati dalam keadaan siaga untuk mengantisipasi godaan setan, berjaga akan setiap khatarat yang datang darinya. Antisipasi ini dilakukan karena khatarat sering datang ketika melalaikannya dan akhirnya terjatuh ke dalam kehancuran tanpa disadarinya. Golongan kedua bersikukuh bahwa posisi golongan pertama adalah salah disebabkan oleh kesibukannya mengantisipasi setan. Mereka mengatakan bahwa bukanlah kewajiban kita mempercayai hal itu. Setan menginginkan agar kita mengenyahkan dzikir akan Allah dan hari akhir. Selain itu, setanpun menginginkan agar perhatian dan ingatan kita hanya tertuju kepadanya (setan) dengan mengamati secara total akan khatarat -nya. Tentu saja, kita harus menjaga hati agar senantiasa ingat akan akhirat. Mengingatkan akan godaan apa saja yang mungkin terjadi sehingga lalai untuk ingat akan akhirat. Pada saat yang sama, kita tidak boleh melupakan sebuah urusan yang kepadanya kita telah diperintahkan untuk waspada, atau 19Lebih
262
jauh periksa al-Muhasibi, al-Ri‟ayah, 233-236.
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
sebaliknya dia akan datang kepada kita dalam keadaan lalai dan menghancurkan dzikir kita. Akibatnya, untuk golongan ini, dzikir akan Allah dan ingatan akan bisikan ke dalam dada dari setan menjadi dua hal yang saling bertentangan dalam hati. Setiap kali mereka ingat akan akhirat, ia akan ingat akan setan—disebabkan perhatiannya akan godaan setan itu sehingga hati mereka terpalingkan dari dzikir akan Allah dan menetapkan dirinya sendiri pada perkara yang mungkin menghancurkan amalnya ketika mereka diperlihatkan ke hadapan Allah. Golongan ketiga merupakan representasi dari ahli ma‘rifat. Mereka adalah golongan yang paling aman dalam kebenaran. Mereka menyatakan bahwa kedua golongan sebelumnya adalah salah. Golongan pertama membuat hati dipalingkan dari ingatan akan akhirat. Ibadah dari golongan pertama adalah meneguhkan hati pada ingatan akan setan. Golongan ini salah karena membiarkan hati mereka terusmenerus mengingat setan melebihi ingatan mereka akan Allah. Hatinya diperintahkan untuk waspada dari melalaikan ingatan akan Allah dan amal ibadah. Apabila hati berhenti berdzikir, setan akan mencapai apa yang diinginkannya. Apabila khatarat muncul di hati yang kosong dari dzikir, hati itu berada pada titik yang ia telah menerimanya karena ia tidak memiliki cahaya akhirat dan kekuatan untuk sibuk dengan Allah. Maka, engkau itu lebih lemah dalam menolak khatarat dan hatimu menjadi lebih kosong dari mengingat akhirat dibanding dengan yang lain. Engkau tidak diperintahkan untuk mengantisipasinya atau terus-menerus mengingatnya. PEMBAHASAN TENTANG PERKARA YANG DIBAWA OLEH RIYA’ DARI AKHLAK TERCELA SERTA PENJELASANNYA Bagi al-Muhasibi, tiada ada akhir bagi tipu daya dan bisikan riya‟. Riya‟ dapat merasuk sebagai khatarat ketika seseorang tengah mempertimbangkan sebuah amal, atau tepat sebelum beramal, atau bahkan selama beramal. Riya‘ dapat terlihat tanpa kesadaran penyesalan akan kurangnya keikhlasan. Ia dapat juga terjadi dengan suatu penyesalan akan kurangnya keikhlasan, tapi tanpa dorongan untuk berubah—suatu penyesalan yang hanya merupakan penyesalan akan amal yang tidak disempurnakan, bukan karena ketakutan yang sebenarnya akan kurangnya keikhlasan.20 Riya‘ dapat masuk sebagai khatarat setelah berbuat, hawa nafsu, yang ia tahu mengenai kebijaksanaannya. Di samping bermacam cara bagaimana riya‟ dapat menghancurkan sebuah amal yang bercampur dengan niat amal tersebut, riya‟ juga dapat menumbuhkan sejumlah kesalahan hawa nafsu. Sebagian dari kesalahan ini dapat ditimbulkan oleh bentuk egoisme utama lainnya, seperti takabur, tetapi dalam pasase yang ditampilkan berikut ini, al-Muhasibi menelaahnya hanya sejauh mereka secara langsung dilandaskan pada riya‟.21 Aku berkata, ―Jelaskan kepadaku akhlak tercela apa saja di hadapan Allah yang dibawa oleh riya‟?‖
20Ibid.,
241-247, dalam bab yang berjudul: ―Tentang Manazil Riya‟ dan Auqatnya‖.. mendetail lagi periksa Ibid., 258-264.
21Lebih
263
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
Dia berkata, ―Akhlak-akhlak yang dibawa oleh riya‟ saja—bukan oleh yang lainnya—mencakup berbagai kerusakan, seperti takabur akan amal dan pengetahuan dan ‗ujub dalam pengetahuan dan dunia‖. Kini, arogansi pun dapat muncul dari kibr (bangga diri). Arogansi yang terhubung dengan riya‟ merupakan kecemasan khusus yang dimiliki oleh seseorang bahwa ia tidak dibuat seolah-olah terkemuka, bersamaan dengan mencintai perasaan lebih dari yang lain. Hal ini juga mencakup ketamakan (taka
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
Demikian halnya dengan perkara tafakhur duniawi yang sejalan dengan persaingan. ―Engkau hanyalah orang miskin, tidak memiliki apa-apa, berapa banyak yang bisa kau peroleh?‖ ―Berapa banyak harta yang engkau miliki?‖ ―Kapan kamu mendapatkan hartamu?‖ ―Aku memiliki harta yang lebih banyak daripadamu.‖ ―Guruku lebih kaya daripada kamu.‖ Hal senada juga terjadi dalam amal, ―Engkau bukanlah pahlawan dalam peperangan.‖ ―Engkau tidak pergi berperang.‖ ―Engkau adalah seorang pengecut dan pecundang di medan perang.‖ Ketamakan (takatsur) termasuk ke dalam tafakhur dan bahkan melampauinya dalam beberapa aspek. Maka ia berkata, “Aku mendengar hadithitu.‖ ―Aku ikut bertempur dalam perang itu.‖ ―Aku melakukan ziarah ke tempat itu.‖ ―Aku belajar dari guru itu.‖ ―Aku belum makan untuk kesekian lama.‖ ―Siapakah aku ini jika tidur ketika subuh.‖22 Aku berkata, ‖Apakah dengki itu?‖ Dia berkata, ―Hal itu disebabkan oleh riya‟ dan hal-hal yang serupa. Perkara dari riya‟ membentuk dengki dan persaingan. Ia muncul karena cemas kalau orang lain mendapatkan kedudukan lebih tinggi dan penghargaan lebih banyak. Ia senang mengenyahkan kebahagiaan orang lain. Ia selalu ingin dipandang superior dibandingkan teman-temannya. Diriwayatkan ‗Umar r.a. bahwa dia berkata kepada Abu Umayyah, ―Semoga Allah dan tidak menempatkanku—atau engkau—dekatdekat hingga tiba saatnya orang saling mendengki satu sama lain karena pengetahuan sebagaimana halnya mereka mendengki satu sama lain karena perempuan!‖ Aku berkata, ―Bagaimana bisa seseorang menolak kebenaran, sementara ia mengetahui bahwa itu adalah kebenaran?‖ Dia berkata, ―Karena tidak menyukai bahwa siapa pun yang mendekat kepadanya lebih benar daripada dirinya atau mengalahkannya. Ahli kitab telah terpecah belah karena ketamakan dan dengki.‖ Aku berkata, ―Apakah persaingan (h{ubb al-ghalabah) itu?‖ Dia berkata, ―Persaingan muncul dari riya‟ dan sebab lainnya. Perkara yang disebabkan oleh riya‟ adalah ketidaksukaan seseorang karena dikalahkan dalam persaingan dalam mencapai kejayaan. Ia menyukai kemenangan, dimuliakan, dipuji, dihormati, dan digandrungi.‖ Berapa banyak hamba yang telah bertempur dan bersaing dengan seseorang dalam masalah pengetahuan hingga ia menang? Orang yang kalah dahulunya pernah dihormati dan disanjung, tetapi sekalinya ia dikalahkan, mereka yang biasanya menghormatinya, meremehkannya dan mengalihkan penghormatan dan penghargaannya kepada orang yang menang. Dengan demikian, ia berharap orang lain melakukan kesalahan dan hanya dirinyalah yang benar. Apabila orang lain benar, ia merasa tersakiti. Hal seperti itu merupakan bisikan setan di tengah manusia; bahwa mereka keliru dalam keimanannya kepada Allah. Jika mereka benar, ia merasa sakit. Orang seperti itu tidak berusaha untuk mengerti apa yang dikatakan lawan bicaranya, perhatiannya hanyalah sangkalan dan perselisihan.
22Sebuah pertanyaan retoris yang bermakna: Aku bukanlah jenis orang yang tidur pada waktu subuh, melainkan aku bangun (melakukan salat, atau melakukan I‘tikaf, dan seterusnya).
265
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
PEMBAHASAN TENTANG KEYAKINAN DAN KETIDAKYAKINAN KEIKHLASAN AMAL SESEORANG HAMBA Dalam pasase terkahir ini, sekali lagi al-Muhasibi memperlihatkan kedalaman dan kecermatan mengenai riya‟. Seseorang memang perlu selalu waspada, tetapi h{adhar itu sebaiknya harus menggiringnya kepada perasaan tak berdaya dari kesadaran dirinya. Adalah benar bahwa orang tidak akan pernah merasa yakin bahwa riya‟ tidak bercampur dalam amalnya. Akan tetapi, jika seseorang memulai sebuah amal dengan niat baik, kemudian bertatsabbut, maka keseimbangan antara hadhar dan kepercayaan dapat diraih. Berikut ini al-Muhasibi menekankan bagaimana intensitas hadhar masih diperkenankan untuk hidupnya sebuah harapan.23 Aku berkata, ―Apakah mungkin seseorang merasa yakin bahwa dirinya telah melakukan sebuah amal yang diperintahkan dengan ikhlas untuk Allah semata, sementara ia tidak yakin jika riya‟ mungkin telah tercampur di dalamnya, atau ia takut dan ragu mengendalikannya?‖ Dia berkata, ―Sebelum ia memulai sebuah amal, ia tidak boleh melakukan amal itu sehingga ia mengetahui bahwa Allah menghendakinya dan tidak ada yang lain yang menghendakinya. Ia tidak boleh mulai melakukan suatu amal sementara dia sendiri tidak merasa yakin subyek apa sesungguhnya yang menghendaki amal itu. Adalah menjadi tanggungjawabnya untuk memastikan bahwa Allah menghendakinya, dan jika tidak, ia tidak boleh melakukannya.‖ Ketika ia tahu bahwa ia ikhlas dan bahwa hanya Allah yang menghendakinya, barulah ia melakukannya. Dan, setelah beberapa saat—bisa jadi lebih daripada sekejap mata—yang cukup bagi makhluk untuk terperangkap menjadi mangsa kelalaian dan ketidakbersamaan, maka ketakutan mulai menguasainya. Barangkali ia tidak mengetahui sebuah khatarat, riya‟, „ujub, kibr, dan yang serupa telah terjadi di hatinya. Ia mungkin menyetujui khatarat dan kemudian melupakan bahwa hal itu datang dari riya‟. Oleh akrena itu, ia tetap berada dalam keadaan cemas dan takut. Aku berkata, ―Apabila dia berada dalam keadaan meragu seperti itu, bagaimana bisa ia meraih harapan atas keraguan? Bagaimana bisa dia mengharap kasih saying dari Allah? Dia berkata, ―Keraguan tidak akan pernah memastikan apakah amalnya ikhlas atau tidak. Oleh karena itu, tidak boleh ada keraguan semacam itu sebab ia mengetahui bahwa ia melakukan amal tersebut atas kehendak Allah semata.‖ Akan tetapi, keraguan dan ketakutan bahwa Allah mungkin telah memperhitungkannya sebagai kemungkaran karena ia mengikuti sebuah khatarat yang melalaikan memang diperlukan. Keraguan ini hadir dari ketakutan, ketegangan, dan kecemasan akan amal amalnya. KESIMPULAN Dalam kitab al-Ri‟ayah li Huquq Allah, psikologi moral al-Muhasibi ditampilkan dalam dimensi psikologi yang nyaris murni. Eskatologi, akhirat, pahala dan azab, hampir secara khusus disajikan sebagai aspek dari usaha-usaha untuk terbebas dari perangkap egoisme yang sangat halus. Dalam tulisan-tulisannya hamper tidak ditemukan perdebatan khusus terminologi sufi. al-Muhasibi mengambil psikologi moral sebagai suatu aspek universal dari kecenderungan manusia dengan menggunakan kerangka umum al-Qur‘an dan hadith Rasulullah. 23
266
Periksa al-Muhasibi, al-Ri‟ayah, 278-279.
Khoirul Faizin: Psikologi Moral al-Muhasibi
Selama dua abad, berlatih keras yang dicontohkan dalam psikologi al-Muhasibi menjadi suatu aspek sentral dunia sufi yang khusus. Dunia sufi mencakup juga penjelasan mengenai pencapaian maqam, keadaan-keadaan kesadaran, kosakata teknis, dan secara bertahap mengembangkan institusi yang dibangun di seputar kehidupan kaum sufi yang ingin mengerjakan bentuk sunnah dengan acuan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA al-Muhasibi, Abu Abdullah al-Harits ibn Asad, al-Ri‟āyah li Huqûq Allāh (ed.) Abd alQadir Ahmad ‗Atha‘, Cet. Ketiga (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1970). _________, Al-Washāya (ed.) Abd al-Qadir Ahmad ‗Atha‘ (Beirut: Dar al-Kutub alAmaliyyah, 1986). Smith, Margareth, al-Muhasibi (781-857) An Early Mystic of Baghdad (Amsterdam: Philo Press, 1974). Sells, Michale A. (Eds.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur‟an, Mi‟raj, Poetic and Theological Writings (Ttp: Paulist Press, 1996).
267
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
268
Pedoman Penulisan
PEDOMAN PENULISAN
al-‗Adâlah menerima tulisan dalam bentuk artikel dan book review, baik berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tulisan belum pernah diterbitkan/dipublikasikan dalam suatu penerbitan berkala atau buku. Topik tulisan sesuai dengan topik kajian jurnal, yakni keislaman dan kemasyarakatan. 2. Jumlah halaman antara 15-20 untuk artikel dan 5-7 untuk book review, ukuran kwarto spasi ganda. 3. Kecuali book review, semua tulisan harus menyertakan abstrak (100-150 kata) dan kata kunci (5-10 kata). 4. Kata Arab yang belum baku harus ditulis mengikuti pedoman transliterasi. Cara penulisannya dicetak miring (italic), kecuali nama orang, tempat, institusi, dan sejenisnya. Hal serupa juga berlaku bagi penulisan kata-kata asing lainnya, termasuk bahasa daerah. 5. Harus menyertakan riwayat hidup singkat sebagai acuan redaksi menulis ―tentang penulis‖. 6. Semua tulisan menggunakan referensi dengan model footnote. Berikut aturan tulisnya: a. Buku: Richard Bulliet, Islam: The View of the Edge (New York: Columbia University Press, 1996), 69 b. Buku Terjemahan: A.W. Person, Menejemen Riset Antardisiplin, terj. Tjun Suryaman (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 15. c. Artikel dalam Buku atau Ensiklopedi: 1. Clifford Geertz, ―Religion as a Cultural System‖ dalam Michael Burton, Anthropological Approach to the Study of Religion (London: Tavistok, 1996), 135. 2. D.S. Adam, ―Theology‖, Encyclopedia of Religion and Ethics, vol.12, ed. James Hastings, et.al (New York: Charles Scribner‘s Sons, t.t), 297. a. Artikel dalam Jurnal: Karl Wolfgang Deutsch, ―Social Mobilization and Political Development‖, American Political Science Review, vol. 55, no. 3 (September, 1961), 583. b. Artikel dalam Media Massa: Shahrizal Putra, ―Menelanjangi RUU Pornoaksi dan Pornografi‖, Kompas, 17 Maret 2006, 6. c. Skripsi, Tesis, dan Disertasi: Mastuhu, ―Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren‖, Disertasi (Bogor: IPB, 1989), 79. d. Kitab Suci: - QS., 2: 99. - Perjanjian Baru, Yoh. (20): 31. e. Internet Nurcholish Madjid, ―History of Sufism in Indonesia‖ dalam http://www.geocities.com. 269
al-‗Adâlah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012
f. Apabila mengutip ulang referensi yang sama secara berurut, maka cukup ditulis: Ibid. Jika berbeda halamannya, cukup tambahkan nomor halamannya: Ibid., 17. g. Apabila referensi terkutip ulang berselang oleh satu atau lebih referensi berbeda, maka cukup ditulis last name pengarang berikut satu kata awal judul dari referensi dimaksud. Misalnya, Bulliet, Islam, 232.
270