KASUS SUNNI-SYI’AH SAMPANG-MADURA
LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Oleh: M. Romdhoni (PP. Yatama Al-Fattah ) Mochammad Syaifullah (PP. Darut Tauhid) Ahmad Sodiq (PP. Annur ) Maimuna (PP. Mambaul Ihsan ) Ainun Nafisa (PP. Nurut Tafrihi )
Editor: Ubed Abdilah Syarif
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
A.
Prolog Sudah beberapa tahun ini kelompok minoritas Syi‟ah asal Sampang-Madura,
Jawa Timur terusir dari kampung halamannya dan tinggal sebagai pengungsi di rumah susun sewa (Rusunawa) Puspo Agro, Jemundo-Sidoarjo Jawa Timur. Hingga saat ini pula belum ada kejelasan sampai kapan mereka berstatus sebagai pengungsi ini, padahal mereka sangat berharap bisa kembali ke kampung halaman di Sampang untuk menjalani kehidupan normal kembali seperti sebelum terjadinya kerusuhan yang diakibatkan oleh sentimen agama ini. Kami awalnya hendak berkunjung langsung ke tempat pengungsian mereka di rumah susun Jemundo-Sidoarjo untuk bersilaturahmi dengan para pengungsi, sekaligus lebih mengenal dekat kondisi mereka. Namun, tampaknya tidak mudah untuk berkunjung ke sana, apalagi dalam jumlah peserta yang akan berkunjung cukup banyak. Proses perijinan dan pemberitahun telah kami ajukan ke Pemerintah Daerah Jawa Timur sekitar satu bulan sebelum hari yang direncanakan, Kamis, 7 Januari 2016 . Namun, surat balasan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemda Jawa Timur baru kami terima satu minggu sebelum kunjungan dilakukan. Pada prinsipnya, pihak Pemerintah Daerah tidak mengijinkan kunjungan kami ke pengungsian komunitas Syi‟ah di rumah susun Puspo Agro-Jemundo. Alasannya, kedatangan
kami
dalam
jumlah
orang
yang
cukup
banyak
dikhawatirkan
mengundang penafsiran lain yang bisa memicu fitnah atau tindakan yang tidak diinginkan baik oleh pengungsi maupun oleh masyarakat luar. Kehadiran kami bisa dianggap menimbulkan potensi kegaduhan dan atau dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin membuat kasus ini ramai kembali. Pemerintah masih menganggap masalah hubungan Sunni-Syi‟ah di Sampang ini adalah masalah yang sensitif. Pemerintah yang dalam hal ini terwakili oleh Pemerintah Daerah JawaTimur pada surat tersebut menyatakan agar isu relasi Sunni-Syi‟ah, khususnya pada kasus Sampang, disikapi secara hati-hati. Pemerintah juga merasa perlu tetap melakukan pengawasan terhadap para pengungsi itu dengan ketat. Pada poin terakhir dalam surat balasan tersebut, Pemerintah Daerah Jawa Timur khawatir jika muncul anggapan bahwa pemerintah dan elemen masyarakat tertentu lebih berpihak kepada para pengungsi. Padahal, tujuan kami seperti yang kami sampaikan kepada pemerintah, hanyalah untuk dialog, silaturrahim dan belajar tentang bagaimana menerima perbedaan, serta bagian dari cara kami belajar tentang membangun perdamaian dan Hak Asasi Manusia (HAM). B. Field Trip
Tidak dapat berkunjung ke tempat pengungsian dan berdialog langsung dengan para pengungsi tidak menyurutkan kami untuk mencari tahu tentang kondisi mereka hingga saat ini. Akhirnya kami memilih untuk berkunjung ke salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah melakukan pendampingan kepada
komunitas
Syi‟ah
Sampang.
Salah
satu
LSM
yang
melakukan
pendampingan adalah CIMARS (Center for Marginalized Communities Studies) yang berkedudukan di Surabaya. CIMARS telah melakukan pendampingan kepada para pengungsi Syi‟ah Sampang sejak awal kasus ini bergulir baik pendampingan hukum, sosial, pendidikan dan hak-hak ekonomi. Sejak awal kasus kekerasan yang melibatkan kelompok agama ini (SunniSyi‟ah), telah banyak organisasi masyarakat Sipil yang memberikan perhatian terhadap nasib kelompok Syi‟ah. Menurut direktur CIMARS, Dr. Zainul Hamdi yang kerap dipanggil pak Inoeng ini, tidak mudah juga untuk sekedar memberikan bantuan dan dukungan kepada komunitas Syi‟ah Sampang, apalagi ketika skala konflik dan kekerasan melebar dan menjadi isu nasional. Hambatan dan tantangan yang kerap diterima oleh pendamping dari LSM antara lain berupa kekerasan, ancaman, dan intimidasi. Dia menegaskan, kita boleh tidak setuju pada satu atau aliran apapun, kelompok agama dan kepercayaan apapun, namun kita tidak boleh mengusik hak-hak mereka sebagai manusia dan warga Negara. Mendukung atau memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang dianggap sebagai aliran atau kelompok menyimpang dari arus utama ummat bukan berarti setuju atau pengikut aliran tersebut. “Kita boleh tidak setuju terhadap suatu aliran agama/kepercayaan apapun tapi kita tidak boleh mengusik hak-hak mereka sebagai manusia dan warga Negara.” (Dr. Zainul Hamdi, Direktur CIMARS). Pihak CIMARS juga memfasilitasi kami untuk bertemu dan berdiaog langsung dengan menghadirkan salah seorang wakil pengungsi komunitas Syi‟ah dari pengungsian, Mukhlisin. Dia seorang pemuda Syi‟ah asal kampung BlukuranSampang yang saat ini tengah menempuh studi di salah satu Universitas Negeri di Jawa Timur. Dari Mukhlisin, kami bisa mendapatkan cerita banyak tentang kondisi keluarga dan kerabatnya yang kini mengungsi di rumah susun sewa JemundoSidoarjo. Mukhlisin mengaku masih trauma dengan konflik yang berujung kekerasan yang dialami oleh dirinya, kerabat dan warga Syi‟ah-Sampang. Dia yang kala itu masih berusia belasan tahun tidak terlalu mengerti kenapa mereka menjadi sasaran
kekerasan karena banyak juga diantara pelaku kekerasan adalah orang yang dia kenal dan bahkan diantaranya ada yang masih terkait kekerabatan. Saat puncak kekerasan terjadi ia melihat rumah keluarga dan komunitas Syi‟ah dibakar, ada yang menjadi korban dan akhirnya mereka dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Sempat ditampung di Gedung Olah Raga di kabupaten Sampang sampai akhirnya pemerintah merelokasi ke tempat pengungsian sekarang. Mukhlisin bercerita, sebetulnya kondisi para pengungsi Syi‟ah di rumah susun saat ini relatif lebih aman, dalam arti tidak terlalu banyak lagi mengalami tekanan, intimidasi atau ancaman kekerasan dari kelompok di luar. Namun demikian, pengawasan yang cukup ketat dari pihak pemerintah daerah dengan memproteksi aktivitas dan kunjungan ke luar pengungsian tetap dirasa menjadi beban. “Yang jelas, aktivitas kami terbatas, tak ada aktivitas ekonomi yang bisa dilakukan. Bahkan, pendidikan bagi anak-anak kecil di pengungsian juga kurang mendapatkan akses. Padahal mereka kebanyakan sudah memasuki usia sekolah dasar.” (Mukhlisin) Mukhlisin menambahkan, para pengungsi memang mendapat jatah bantuan hidup selama di pengungsian. Namun, harapan terbesar adalah tetap bisa kembali ke kampung asal di Sampang-Madura. Saat ini, sebagian warga pengungsian sudah bisa bersosialisasi dengan warga sekitar rumah susun jemundo, meski terbatas. Ada beberapa warga pengungsian yang juga bisa membantu aktivitas ekonomi warga sekitar rumah susun untuk mendapat upah dan tambahan biaya hidup. Pendidikan anak-anak di pengungsian terabaikan, tidak ada fasilitas sekolah dan guru sehingga anak-anak yang harusnya belajar di sekolah tak bisa mendapatkan haknya. Mukhlisin bersyukur dan berterima kasih kepada beberapa LSM termasuk CIMARS yang membantu dengan mendatangkan relawan guru untuk memberikan pelajaran. Meskipun kesempatan belajar sangat terbatas, karena tidak tersedia fasilitas yang memadai dan relawan guru yang jumlahnya sedikit. Pembelajaran sekolah dasar juga terpaksa disatukan mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Kondisi ini jelas tidak ideal dan hasil pendidikan anak-anak tidak maksimal. Mukhlisin sendiri mengaku bisa keluar pengungsian untuk melanjutkan studi hingga ke perguruan tinggi setelah melalui proses yang cukup panjang. Ia terpaksa keluar dari sebuah sekolah menengah kejuruan di Sampang kemudian berpindah ke sekolah menengah umum yang lain hingga ia dapat menyelesaikannya dan melanjutkan ke perguruan tinggi sekarang.
Penjelasan Mukhlisin dan pendamping dari CIMARS menggugah respon dari kami peserta kunjungan. Pada sesi dialog dan tanya jawab, peserta antusias mengajukan berbagai hal; berupa pertanyaan dan pernyataan. Pertanyaan seputar asal-usul konflik, kronologi kekerasan, bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi yang terjadi, aktor-aktor konflik hingga upaya-upaya rekonsiliasi yang telah dilakukan. Di antara kami ada beberapa santri peserta pelatihan yang berasal dari pesantren di Madura. Salah satunya adalah Syaifullah yang berasal dari Sampang dan kebetulan tempat tinggalnya hanya berjarak sekitar lima kilometer saja dari desa Nangkernang dan Bluk Uran yang merupakan tempat komunitas Syi‟ah. Dalam kesempatan dialog tersebut, Syaifullah sempat mengungkapkan kesaksian terkait konflik dan kekerasan antara Sunni-Syi‟ah di daerahnya itu. Dia mengatakan jika tidak merasa malu dengan hadirin yang ada, dia bersimpati dan merasa ingin menangis mendengar penderitaan yang dialami oleh komunitas Syi‟ah Sampang seperti yang dituturkan oleh Mukhlisin. Dia membenarkan bahwa sejatinya diantara pihak-pihak yang berkonflik di daerahnya tersebut diantaranya masih memiliki hubungan kerabat. Bahkan, aktor utama dari konflik tersebut yakni kyai Tajul Muluk dan kyai Rais Hukama adalah kakak beradik. Namun, ketika skala konflik meluas, jemaah kedua kyai tersebut ikut memperbesar suasana konflik. Syaifullah juga mengakui bahwa pada saat situasi mulai memanas dengan banyak digelarnya dakwah, ajakan serta demonstrasi yang memojokkan Syi‟ah Sampang, dirinya pun beberapa kali mengikuti aksi unjuk rasa. Ia hanya tahu ajakan unjuk rasa berasal dari kyai tempat dia belajar serta diajak temantemannya. Ia belum mengerti banyak waktu itu substansi apa yang disuarakan dalam demo-demo tersebut. Ia menyesalkan peristiwa kekerasan tersebut akhirnya memakan korban jiwa dan korban luka, rumah-rumah dan asset milik komunitas Syi‟ah dibakar serta akhirnya warga Syiah di daerah tersebut diusir dari kampung halamannya hingga saat ini. Syaifullah juga menceritakan kembali kesaksian dari beberapa orang dari sekitar lokasi kejadian. Mereka masih ingat jelas peristiwa kekerasan yang terjadi beberapa tahun lalu itu, seperti diungkapkan oleh salah satu warga Blukuran: “Kasus yang di alami oleh kaum Syiah adalah pertengkeran yang sangat heboh , sampai ada yang meninggal antara lain Pak Hamamah. Dia adalah seorang penganut aliran syiah yang selalu melindungi kiyai Tajul Muluk yang mau di bunuh oleh amuk masa dari aliran Islam sunni. Selain itu ada yang terluka parah yaitu Pak Toher yang juga berusaha melindungi kiyai Tajul Muluk dan saudara – saudaranya ( kiyai Sipul dan kiyai Iklil ). Rumah mereka di bakar semua sampai sapi milik mereka ada yang ikut terbakar juga. Dengan hanya tersisa pakaian yang
dikenakan, mereka dievakuasi ke Gedung Olah Raga Sampang, rumah mereka sekarang hanya tersisa
berupa reruntuhan tembok dan dipenuhi dedaunan dan
ditumbuhi semak serta rumput ilalang. Begitu juga dengan lahan sawah yang mereka miliki, sebagian ada yang dikelola oleh penduduk Karang Gayam dan Bluk Uran
yang masih ada sanak familinya, namun banyak juga yang ditelantarkan
begitu saja. Saat mereka melakukan ritual ala syiah, mereka diungsikan ke GOR di Sampang yang terletak di pinggir Stadion .Tidak lama kemudian, kiyai-kiyai Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumennep) mengadakan unjuk rasa besar – besaran guna mengusir penduduk syiah dari GOR Sampang. Aparat kemanan dari Brimob, TNI, dan satuan polisi Pamong Praja (Pol PP) kewalahan untuk menangani aksi unjuk rasa. Karena kondisi memburuk, akhirnya pengungsi Syi‟ah diungsikan ke rusunawa Jemundo Puspoagro Sidoarjo hingga saat ini. Mereka diagkut dengan menggunakan delapan bus, lima mobil bus mini dan satu ambulan, karna pada saat itu ada yang sakit, jumlah mereka kurang lebih dua ratus lima belas terdiri dari kakek, nenek, bapak, ibu dan anak – anak”.
1
Dialog kami dengan aktivis CIMARS dan perwakilan pengungsi SyiahSampang memberikan kami pemahaman yang lebih konprehensif tentang sebuah konflik, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, dan upaya-upaya rekonsiliasi damai langsung dari para pelakunya. Hasil kunjungan dan dialog ini menjadi bahan berharga untuk melengkapi pemahaman tentang Perdamaian dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah kami dapatkan dalam pelatihan. C.
Akar Konflik, Aktor dan Upaya Rekonsiliasi Damai Telah banyak laporan, kajian bahkan penelitian akademis terkait kasus
kerusuhan dan konflik Sunni-Syi‟ah di Sampang-Madura. Kasus ini menjadi topik yang relevan untuk dilihat kembali dan direfleksikan bersama. Apalagi saat ini tengah marak kembali suara-suara yang mengkampanyekan anti syi‟ah yang dikhawatirkan akan memicu ulang konflik atau memunculkan konflik baru di tempat yang berbeda. Setidaknya, kita bisa melihat secara lebih konprehensif guna mengambil langkah bijak dari pelajaran kasus konflik yang telah terjadi di Sampang ini. Konflik
di
masyarakat
khususnya
di
Indonesia
sendiri
merupakan
permasalahan klasik yang sering terjadi dan berulang. Konflik yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama dan Ras) merupakan salah satu konflik yang terpopuler dan sering terjadi pada Indonesia.
1
Wawancara Abdul Bahri desa Bluk uran Sampang
Mengingat ketika setiap individu yang tergabung dalam masyarakat sudah mengikrarkan satu Indonesia, maka implikasinya adalah para individu tersebut sudah tidak lagi terikat pada ikatan primordial yang berbasiskan suku, agama, ras dan antar golongan, akan tetapi sudah terikat pada semangat kebangsaan. Jika manusia atau para individu tersebut sudah mengetahui tentang identitasnya sebagai “Orang Indonesia”, pasti mereka tidak akan pandang bulu, baik mereka berbeda suku, agama, ras, golongan ataupun berbeda pendapat, maka konflik pun akan berkurang karena mereka saling menghormati, menghargai dan saling toleransi antar sesama orang Indonesia.2 Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari yang namanya konflik. Karena sifat alamiah manusia yang selalu berkonflik dengan sesamanya. Konflik yang terjadi pada manusia itu memang termasuk Sunnah Alloh (Hukum Alam). Karena manusia telah diberi Allah sebuah akal yang digunakan untuk berfikir, maka kemampuan untuk berfikir inilah yang membuat manusia patut diberi kewajiban untuk melaksanakan berbagai ibadah dan memikul tanggung jawab pemilihan dan kehendak. 3 Oleh karena itu, manusia akan berfikir ketika terdapat problem atau masalah (konflik) untuk menyelesaikannya. Sunni-Syiah adalah dua aliran besar dalam Islam. Kedua aliran ini sering kali terdengar tidak akur. Menurut A. Hasjmy (2003), Syiah dan Ahlussunnah saling rebut pengaruh dan kekuasaan sejak awal sejarah Islam di kepulauan Nusantara. Pertentangan yang terjadi antara Sunni dan Syiah pada mulanya berlatar belakang politik. Tetapi lambat laun menjadi pertentangan yang berlatar belakang aqidah, thariqat, filsafat dan tasawuf, sekalipun sekali-kali wajah politiknya menampakkan diri.4 Munculnya kelompok Syiah yang sampai sekarang menjadi salah satu sekte dalam
Islam
pada
awalnya
bermula
dari
perbedaan
kepentingan
politik.
Pembenaran doktrinal baru muncul belakangan ketika para pengikut Imam Ali merasa perlu mendapatkan legitimasi keagamaan.5 Pertentangan ideologi antara Sunni dan Syiah yang digambarkan dalam nuansa politik telah menyebabkan terjadinya beberapa konflik kekerasan. Karena memang dalam sejarahnya pertentangan yang terjadi antara Sunni dan Syiah adalah perebutan kekuasaan (faktor politik). Relasi antara sejarah dan kondisi 2
Chaider S. Bamualim, Refleksi Umum “Menjadikan Indonesia Negara Yang Damai dan Toleran”, Training & Field Trip di Hotel Novotel Surabaya Jawa Timur, 08-01-2016, diakses pada 09 Januari 2016 pukul 14:28. 3 Moch. Ishom Achmadi, Ya Ayyatuha An Nafsu Al Muthmainnah “Pengantar Psikologi Umum Berdasarkan Pendekatan Religi” (Yogyakarta: SJ Press, Cet. II, 2012), hlm. 83. 4 A. Hasjmy, Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 52. 5 Musahadi HAM dkk, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, Dari Konflik Agama Hingga Mediasi Peradilan (Semarang: Walisongo Mediation Center, 2007), hlm. 62.
adanya dua aliran besar tersebut tetap menjadi pemicu konflik sampai saat ini. Adanya kelompok Syiah di Indonesia hingga saat ini belum bisa diterima oleh kelompok Sunni, sehingga sering terjadi konflik. Bahkan tidak hanya konflik tentang ideologi yang terjadi di Indonesia, tapi sudah beranjak kepada konflik yang bernuansa kekerasan fisik.6 Madura sebagai sebuah pulau yang sebagian besar dihuni oleh suku Madura, merupakan suku yang memiliki fanatisme kuat terhadap agama. Pemuka agama, dalam hal ini kyiai dan pemimpin pesantren memiliki peran yang sentral dalam struktur
masyarakat
Madura.
Kyai
dianggap
memiliki
otoritas
kuat
dalam
keseharian masyarakat Madura. Ketaatan terhadap kyai bisa melebihi ketaatan terhadap pemimpin administratif atau birokrasi pemerintahan.
Kyai sebagai
pemegang otoritas keagamaan sekaligus kultural sangat dihormati dan menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. Di beberapa daerah kabupaten di pulau Madura, pemimpin atau kepala daerah dijabat oleh orang-orang yang memiliki akar dan kedekatan terhadap kyai atau pemimpin pondok-pesantren. Konflik Sunny-Syi‟ah Sampang Madura merupakan sebuah cerminan bahwa sifat alamiah dalam berkonflik yang dimiliki manusia. Konflik ini pecah pada akhir Agustus 2012 yang menyebabkan suasana mencekamnya wilayah Madura. Konflik ini dipandang sebagai kegagalan birokrasi di Madura sendiri, dimana pemerintah daerah dianggap gagal dalam meredam konflik ini sehingga menimbulkan korban jiwa. Konflik ini dipicu oleh perseteruan antara penganut aliran dalam Islam yaitu Syi‟ah
dan
Sunni.
Penyerangan
itu
dilakukan
sekelompok
orang
terhadap
sekelompok Syi‟ah di Dusun Nang Kernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura. 7 Konflik tersebut sempat menggetarkan Indonesia, khususnya Madura dan para pejabat pemerintah lokal hingga ke presiden yang kala itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai sumber dan kesaksian warga Sampang menyebutkan bahwa akar konflik Sunni-Syi‟ah di Sampang berawal dari perselisihan keluarga, dua kakak beradik yakni Kyai Tajul (kakak) dan Kyai Rais Hukama. Pada awalnya keduanya sama-sama menjalankan faham Syi‟ah setelah mereka menempuh pendidikan di sebuah pesantren yang beraliran Syi‟ah di Bangil. Sampai suatu ketika mereka berselisih karena Kiyai Tajul Muluk dianggap menghalangi niat Kyai Rais untuk memperistri salah seorang santriwatinya. Kyai Rais yang kecewa terhadap 6
Mohammad Baharun (ed.), Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (Jakarta: Al-qalam. 2013), hlm. 62. 7 Maulina Ulva, “Membaca Konflik Sampang Dalam Perspektif Teori Konflik”, écriture, diakses dari maulinaulva.blogspot.com/2013/05/membaca-konflik-sampang-dalam.html, pada 09 Januari 2016 pukul 15:57.
kakaknya itu kemudian beralih haluan dengan menyatakan keluar dari Syi‟ah dan mengikuti aliran Sunni. Sejak itu, Kyai Rais menyebarkan sentiment anti Syi‟ah dan memberitakan kepada masyarakat tentang penyimpangan ajaran Syi‟ah yang dipraktekkan oleh Kyai Tajul Muluk. Berita yang beredar di masyarakat kemudian berkembang merembet ke halhal lain diantaranya perihal kebiasaan praktek perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Ritual maulid nabi merupakan momen yang istimewa bagi masyarakat Madura. Setiap rumah akan berusaha untuk menggelar perayaan maulid dengan mengundang masyarakat dan Kyai. Kyai Tajul Muluk beranggapan bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh setiap rumah atau kepala keluarga secara terpisahpisah cenderung memboroskan ekonomi warga. Untuk itu, ia menggelar maulidan bersama jemaahnya secara sentral di masjid dengan biaya ditanggung secara bersama oleh warga. Isu yang beredar lainnya adalah banyak ritual yang dilakukan oleh aliran Syi‟ah pimpinan Kyai Tajul yang selain dianggap menyimpang juga menistakan ajaran Sunni dan Islam secara umum. Hal inilah yang kemudian dengan cepat menyebar dan menyulut keresahan. Kyai Tajul yang pada awalnya mengikuti dan mempraktekkan ajaran Syiah, secara diam-diam kepada para pengikutnya. Namun lama kelamaan dia dan pengikutnya mempraktekkan ajarannya secara terang-terangan. Hal ini semakin menyulut ketidaksenangan dari mayoritas Sunni yang ada di Madura, seperti pada sebuah perayaan Asysyura, mereka mempraktekkanya dengan cara berkeliling menggunakan mobil pick up, juga berjalan kaki. Mereka memukul-mukul dada dengan keras, ada yang menangis histeris sebagai ungkapan kesedihan atas kisah cucu
Nabi
Muhammad
SAW.
Sayyidina
Husain.
Perayaan
ini
menimbulkan
kemarahan warga pihak Sunny sehingga kemudian menambah ketegangan. Keresahan yang kian menyebar itu kemudian meyulut kebencian sehingga mulai muncul ungkapan kebencian, penyebaran fitnah, ancaman kekerasan kepada kelompok Syi‟ah kyai Tajul selama beberapa tahun. Puncaknya adalah kekerasan fisik dan pengusiran terhadap kelompok
Syiah Kyiai Tajul dari kampung
halamannya. Semua rumah kaum syiah yang meliputi dua desa yaitu desa Karang Gayam dan desa Bluk Uran di bakar habis. “Pasca kekerasan berupa pembakaran rumah warga Syi’ah itu, dampak kepada kedua belah pihak banyak sekali misalnya; memutuskan tali silaturahmi dan persaudaraan . Seperti Pak Muhammad Nur Asmawi beliau yang merupakan mantan pengikut kiyai Tajul Muluk selama dua tahun . Dia sudah memutuskan tali
persaudaraannya dengan adik – adik beliau ,yang bernama Buk Raima dan Pak Bunidin karena perbedaan keyakinan ini”. (Syamsul Aimamah-Karanggayam Sampang) Sebetulnya, saat skala konflik sudah mulai meluas dan melebar, telah terjadi upaya-upaya damai guna meredam suasana kearah supaya tidak terjadi tindakan anarkhis
yang
difasilitasi
oleh
pihak
aparat
pemerintah
dan
tokoh-tokoh
masyarakat dan agama. Para ulama, kiyai dan pemimpin pesantren di Madura, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan aparat keamanan berupaya agar kedua pihak berdamai. Namun, beberapa pihak justru malah menjadi aktor yang mendorong konflik semakin memanas.
Beberapa kali Kyai Tajul diundang untuk
dimintai klarifikasi seputar ajaran dan dakwah Syi‟ahnya, sementara di pihak lain ada
aktor-aktor
yang
menyebarkan
anti
Syi‟ah
dan
anti
Kyai
Tajul
dan
kelompoknya. Pada prosesnya, Kyai Tajul kemudian diajukan ke muka pengadilan atas dakwaan penistaan terhadap ajaran suatu agama. Di muka pengadilan, Kyai Tajul dipersalahkan dan dijatuhi hukuman penjara kurungan selama empat tahun oleh Pengadilan Negeri Sampang. Perseteruan antar kelompok Sunni dan Syiah dapat dianalisis terjadi karena dua hal: pertama merupakan rembesan dari konflik yang terjadi di daerah Timur Tengah yang kemudian ditularkan oleh agen-agen lokal yang gerakan keislamannya terkoneksi dengan gerakan keislaman di daerah Timur Tengah. Kedua, Sunni-Syiah telah membentuk komunitas keagamaan yang memiliki batasan yang tegas sehingga tidak adanya wilayah abu-abu yang menyamarkan dan mengaburkan.8 Konflik keagamaan, sebagaimana kekerasan agama, bisa juga berkombinasi dengan faktor-faktor non-agama. Ketika ia muncul, ia bisa berkombinasi dengan berbagai faktor lain sesuai dengan konteks sosio-budaya-politik yang ada. Dengan kata lain, klaim kebenaran absolut oleh suatu kelompok keagamaan membutuhkan konteks sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi konflik terbuka. Ketika konflik itu sudah dibungkus dengan ideom-ideom agama, maka dia memiliki daya dorong yang sangat dahsyat Apa yang bisa dilihat dalam konflik Sunni-Syi„ah di Sampang adalah fungsi agama sebagai faktor integratif dalam masyarakat. Akan tetapi, karena faktor integratif yang dihasilkan dari nilai-nilai agama ini membentuk solidaritas internal yang chauvinistik dengan klaim kebenaran absolut dengan melihat kelompok lain sebagai salah/sesat absolut, maka agama juga menjadi 8
Maulina Ulva, “Membaca Konflik Sampang Dalam Perspektif Teori Konflik”, écriture, diakses dari maulinaulva.blogspot.com/2013/05/membaca-konflik-sampang-dalam.html, pada 11 Januari 2016 pukul 01:13.
sumber konflik terhadap kelompok lain. Dalam situasi seperti ini, maka sangat sulit untuk memberi ruang bagi perbedaan pendapat, apalagi tumbuhnya kelompok lain yang tidak mengakui nilai-nilai keagamaan yang menjadi pengikat kehidupan bersama. Hanya ada dua pilihan yang tersedia bagi kelompok yang berbeda: Kembali mengakui nilai-nilai bersama dan terintegrasi ke dalam kehidupan bersama sebagai semula atau hilang. Munculnya komunitas Syi„ah di Desa Karang Gayam dianggap sebagai pengingkaran terhadap kehidupan bersama masyarakat Sampang yang diikat oleh nilai-nilai ke-NU-an sebagai common values-nya. Sejak awal, berbagai upaya dilakukan untuk menarik kembali ustadz Tajul Muluk dan jama‟ah Syi„ahnya untuk meninggalkan akidahnya dan kembali menjadi Sunni/NU. Ketika komunitas baru ini tetap tidak mau, maka “dihilangkan” adalah satu-satu pilihan yang tersedia. Hilang di sini bisa mati atau pergi. Untuk melegitimasi hukuman sosial atas kelompok berbeda ini, maka dikembangkan instrumen pengabsah, yaitu melabeli Syi„ah sebagai kesesatan, sedang Sunni/NU adalah kebenaran. 9
D. Rekomendasi Kasus ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara damai melalui caracara normatif sesuai hukum agama dan hukum nasional. Hukuman yang tegas layaknya diberikan kepada pihak yang bersalah dan harus dihormati. Perlu ada inisiatif dan langkah lain di luar hukum normatif untuk menyelesaikan kasus ini misalkan dengan cara kebudayaan dan kearifan tradisional. Beberapa langkah berikut bisa diupayakan untuk menyelesaikan kasus yang berlarut ini: 1.
Inisiatif perdamaian dan Pendampingan tentang HAM Kedua belah pihak (kaum sunni dan kaum syiah) dipertemukan dan diberi masukan dengan dialog tentang Hak Asasi Manusia HAM agar lebih mencintai perdamaian dan menghubungkan perjalinan silaturahmi yang putus dengan landasan ajaran Rosulullah dan undang – undang dasar negara republik Indonesia.
9
https://azizahfebrinia93.wordpress.com/2013/05/06/sekilas-tentang-konflik-syiahsunni-di-sampang-madura/
2.
Musyawarah-Mufakat para Tokoh Islah dan upaya rekonsiliasi harus melibatkan semua tokoh-tokoh lokal Madura dan nasional. Beberapa hasil kajian upaya rekonsiliasi harus diimplementasikan dengan penuh keikhlasan dan semangat keindonesiaan.