HAM DAN LAYANAN PUBLIK PERLAKUAN NEGARA DALAM PENYEDIAAN FASILITAS LAYANAN PUBLIK BAGI PENYANDANG CACAT FISIK (DIFABEL) SUATU STUDI DI TERMINAL PURABAYA, SIDOARJO Tedi Erviantono Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali
[email protected] Abstrak :
Paradigma affirmative state dalam konteks negara welfarian (kesejahteraan) yang berprinsip bahwa pelayanan publik merupakan hak dasar warga dan tanggungjawab negara untuk memenuhinya dalam konteks kesetaraan HAM, ternyata masih belum berjalan baik. Instrumen hukum penjamin hak penyandang cacat, seperti UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat atau UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, seolah hanya pemanis, tatkala negara ingin dipuji sebagai insitusi yang cukup demokratis. Pasal-pasal normatif yang memberikan jaminan pelayanan kepada para penyandang cacat, belum berdampak banyak pada penyedia layanan di tingkatan lokal. Kondisi ini tercermin dalam penelitian ketersediaan fasilitas layanan publik bagi penyandang cacat di Terminal Purabaya Bungurasih, dimana hasilnya pemerintah lokal (daerah) belum terlalu “mengakrabi” standar layanan-layanan yang seharusnya diberikan atau diporsikan bagi para warga penyandang cacat fisik. Kata Kunci : HAM, Layanan Publik, dan Penyandang Cacat 1. Latar Belakang Konsistensi penegakan HAM dalam koridor pelaksanaan demokrasi merupakan salah satu agenda mendesak yang harus diwujudkan oleh pihak negara (baca : pemerintah). Negara secara ideal seharusnya mampu menjaga inter-relasi harmoni dengan komponenkomponen masyarakat yang ada di dalamnya, terutama pada aras civil society. Salah satu bentuk inter-relasi yang diberikan oleh negara adalah pemberian pelayanan publik secara optimal kepada semua kalangan, tanpa ada satu pihak-pun yang terdiskriminasikan. Seperti prinsip-prinsip demokrasi yang sedang berjalan, dimana mengemukakan kesempatan dan peluang yang sama dan berkeadilan (equal) untuk semua pihak, HAM juga memberikan aksentuasi pada bentuk-bentuk partisipasi kewargaan yang tidak membeda-bedakan satu sama lain. Gelombang besar reformasi memang telah menyertakan perubahan-perubahan yang cukup fundamen bagi regulasi-regulasi di tingkat nasional maupun lokal. Regulasi-regulasi produk Orde Baru yang sebelumnya banyak dianggap tidak pro HAM dan meniadakan partisipasi civil society, harus ―ditundukkan‖ oleh arus reformasi regulasi yang membuka ruang-ruang perlindungan hukum bagi pelaksanaan HAM dan pemberdayaan civil society. Salah satu regulasi yang dihasilkan adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Konsepsi HAM pada UU ini dipandang sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dari konsepsi tersebut jelas bahwa komitmen yang hendak dipertegas dalam regulasi ini adalah kesetaraan hak antara sesama umat manusia dengan tuntutan perlakuan atas hak yang sama tanpa membeda-bedakan kekurangan fisik maupun mental.
2. a. b.
3.
Dalam rentang waktu selama satu dasawarsa sejak masa pengabsahannya, implementasi dari Undang-Undang ini seharusnya sudah mampu menjamin kesetaraan hak bagi kalangan kekurangan fisik maupun mental. Kalangan yang seringkali disebut sebagai penyandang cacat ini secara ideal harus dinaungi oleh regulasi HAM, apalagi dalam amanat TAP MPR No. XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pada Bab VIII pasal 30 ditegaskan bahwa ―Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus di masa kanak- kanak, di hari tua, ...termasuk penyandang cacat‖. Secara normatif sebenarnya sudah cukup banyak regulasi maupun landasan konstitusi lainnya yang pro HAM dan civil society di era reformasi. Hanya saja yang menjadi permasalahan, implementasi dari takaran perlindungan kesetaraan HAM seperti yang diporsikan dalam regulasi tersebut seolah sulit diterjemahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Perangkat regulasi tentang HAM seolah baru ―berbunyi‖ atau dimaknakan apabila terdapat tuntutan- tuntutan secara hukum dan bukan sebuah usaha perlindungan HAM yang sifatnya pemberdayaan atau akomodasi penyediaan fasilitas-fasilitas layanan publik yang pro HAM. Untuk mengkaji permalasahan tersebut maka tulisan ini mengupas mengenai konsistensi perlakuan negara (baca : pemerintah) dalam penyediaan fasilitas publik bagi kalangan penyandang cacat atau disebut sebagai kalangan difable. Perlakuan negara ini merupakan salah satu tindakan pemerintah dalam menglementasikan perlindungan dan pengakuan kesetaraan HAM pada konteks penguatan civil society. Fasilitas layanan publik yang hendak dilihat pada tulisan ini adalah fasilitas bagi penyandang cacat (kaum difable) yang tersedia di terminal penumpang bus umum antar kota dan antar propinsi, khususnya di Terminal Bus Umum Antar Kota dan Propinsi, Purabaya, Sidoarjo, Jawa Timur. Penetapan terminal sebagai salah satu lokasi penelitian pendukung tulisan ini karena terminal merupakan salah satu area layanan publik vital yang terkait dengan penyediaan sarana transportasi publik sehingga keberadaan layanan ini sudah saatnya berorentasi pada prinsip-prinsip HAM, termasuk pengakomodasian kepentingan penumpang bagi kaum difable. Terminal Purabaya, Bungurasih Sidoarjo adalah terminal dengan tingkat konsentrasi penumpang yang terpadat sekaligus terbesar di Propinsi Jawa Timur. Berangkat dari kondisi inilah, maka diharapkan akan dapat dilihat bagaimanakah upaya negara (baca : pemerintah) dalam mengakomodasi perlindungan dan kesetaraan HAM pada kalangan penumpang penyandang cacat fisik (kaum difable) terutama dalam bentuk penyediaan fasilitas publik di terminal atau justru masih mengabaikannya. Perumusan Masalah Bagaimana perlakuan negara terhadap penyediaan fasilitas publik, khususnya bagi penyandang cacat fisik (kaum difabel) di Terminal Purabaya, Bungurasih? Fasilitas – fasilitas apa saja yang dibutuhkan penyandang cacat khususnya di Terminal Purabaya, Bungurasih? Dari perumusan masalah diatas diharapkan muncul benang merah berupa kesimpulan perlakuan negara dalam memberikan fasilitas publik kepada penyandang cacat fisik sebagai salah satu konsistensi perlindungan kesetaraan HAM dan civil society. Metode Penulisan Metode penulisan pada paparan ini disandarkan pada hasil penelitian yang sifatnya deskriptif kualitatif. Penulis terlebih dahulu melaksanakan penelitian dengan menyebarkan kuesioner kepada user (pengguna) layanan jasa terminal penumpang Purabaya termasuk beberapa diantaranya penyandang cacat fisik yang ditemui. Teknik pengambilan sample dilakukan secara random pada penumpang terminal Purabaya. Beberapa hasil kuesioner penelitian, beberapa diantaranya di cross check-an dan dikombinasikan dengan aparat pengelola terminal, dalam hal ini dinas perhubungan, serta paparan pengamatan lokasi secara langsung oleh peneliti. Hasil data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode
pendekatan analitis berpijak pada argumen utama yang hendak dibangun yaitu HAM beserta regulasi pendukungnya dan konsep dasar layanan publik. Adapun manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah memberikan rekomendasi bagi aparat negara (baca : pemerintah) pengelola terminal bus penumpang umum, dalam hal ini dinas perhubungan, agar mengakomodasikan pembangunan fasilitas – fasilitas khusus bagi para penyandang cacat sekaligus penguatan penyadaran bagi kalangan penyandang cacat bahwa sebagai salah satu komponen civil society mereka juga berhak mendapatkan layanan publik yang setara dan berkeadilan dengan kalangan masyarakat lainnya. 4. Uraian Konsep a. Negara dan Landasan Konstitusi HAM Penyandang Cacat Negara merupakan bentuk pengorganisasian yang didalamnya terdapat komponen rakyat yang mendiami suatu wilayah. Sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini mengakui kedaulatan negara sekaligus sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka. Dalam bentuk modern, konsistensi negara senantiasa dikaitkan dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pada ranah layanan publik, yakni pelayanan yang diberikan atau disediakan negara kepada rakyatnya. Negara dalam salah satu fungsinya adalah menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung bagi masyarakatnya, termasuk layanan publik yang bisa diakses semua pihak tanpa adanya diskriminasi. Hal ini mendasarkan diri pada sekuensi pelaksanaan HAM yang dilegitimasi oleh pemerintah berupa regulasi atau produk hukum berupa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ada beberapa macam Hak Asasi Manusia, antara lain : hak asasi pribadi (personal rights), hak asasi politik (political rights), hak asasi hukum (legal equity rights), hak asasi ekonomi (property rights), hak asasi peradilan (procedural rights),serta hak asasi sosial budaya (social culture rights). Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas selayaknya orang biasa. Kalangan ini terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. Definisi di atas sejalan dengan konsepsi HAM tentang penyandang cacat yang tertuang pada Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) yang menegaskan bahwa penyandang cacat (disabled persons) means any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities. Ditegaskan pula pada undang-undang No. 4 tahun 1997 bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Penyandang cacat sebenarnya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6, misalnya, dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Penyandang cacat pada pemaknaannya kini lebih disebut sebagai kaum difabel. Istilah difabel adalah terjemahan dari kata Bahasa Inggris yaitu diffable yang berasal dari istilah people with different abilities. Istilah difabel ini sebagai penghalus dari kata kata cacat yang terkesan terlalu memarginalkan dari kalangan manusia normal biasa.
b. Aksesbilitas Penyandang Cacat pada Sarana Layanan Publik Makna ―aksesibilitas‖ yang tercantum pada pasal 1 ayat 4 UU No. 4 tahun 1997 merujuk pada kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Hal ini diperjelas pula pada pasal 10 ayat 2 yang menyatakan bahwa penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Aksesibilitas seringkali dilekatkan dengan lingkungan fisikal dimana pemaknaannya mencakup akses kaum difabel terhadap berbagai bangunan arsitektural, alat transportasi, rekreasi, dan komunikasi serta berbagai fasilitas di luar ruangan lainnya (Adinda, 2010 : 78). Secara lebih lanjut, pada Declaration on the Rights of Disabled Persons ditegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka menjadi mandiri atau tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka. Selanjutnya, pada pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 dijelaskan bahwa negara harus mengakui dan menjamin aksesbilitas para penyandang cacat melalui penetapan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat; serta upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi bagi para penyandang cacat. Guna mewujudkan hal tersebut, negara semestinya harus melaksanakan tindakantindakan yang meminimalisir hambatan hambatan fisik pada penyandang cacat, termasuk penetapan kebijakan yang pro atau berpihak pada penyandang cacat, seperti akses jalur transportasi, perumahan, serta aneka fasilitas publik lainnya. Fasilitas publik pada kondisi ini merujuk pada pengertian sarana-sarana umum yang dapat diakses masyarakat secara bebas dalam rangka pemenuhan kebutuhan diantara mereka. Sesuai pandangan affirmative state dalam kontks negara kesejahteraan (welfare state), pelayanan publik adalah hak dasar warga negara dan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Pelayanan publik menurut Sinambela (2005:5) adalah setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan yang menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Sedangkan Agung Kurniawan (2005: 6) menjabarkan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dalam aturan formal, melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Nomor 25 Tahun 2004, layanan publik didefinisikan sebagai kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Sesuai Kepmen PAN Nomor 58 Tahun 2002 terdapat tiga pengelompokkan jenis pelayanan berdasarkan ciri dan sifat kegiatan serta produk layanan yang dihasilkan, yaitu pelayanan administratif, pelayanan barang dan pelayanan jasa. Terkait dengan penelitian ini, jenis pelayanan yang dikaji masuk dalam kategori pelayanan jasa dimana didefinisikan sebagai jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu, yang mana menurut Pasolong (2010:129) salah satunya adalah pelayanan angkutan darat.
Pada perspektif berbeda, Robert Endy Jaweng (dalam Kompas, 2009) menengarai bahwa melalui layanan publik—salah satunya melalui instrumen regulasi—termasuk UU maupun Kepmen PAN ini, telah menyiratkan makna bahwa negara sebenarnya secara ideal mengupayakan kesejahteraan rakyat dan akses keadilan atas sumber daya sosial, ekonomi, dan politik. Paham ini seringkali disejajarkan sebagai perspekstif layanan publik berbasis hak (HAM). Sarana layanan publik yang dituju pada penelitian dalam tulisan ini adalah terminal. Menurut R.W. Faulks, terminal merupakan tempat dimana penumpang dapat mencapai alat angkutan umum yang diinginkan atau tempat untuk berganti kendaraan. Sedangkan menurut Suwardjoko Warpani mendefinisikan terminal sebagai tempat kendaraan umum untuk berhenti, menurunkan atau menaikkan penumpang dan tempat bagi penumpang untuk menunggu pemberangkatan ke tempat tujuan. Secara umum dapat dikatakan terminal merupakan salah satu infrastruktur angkutan jalan raya berupa tempat yang mengatur sirkulasi kedatangan, keberangkatan dan berpangkalnya kendaraan bermotor umum, serta memuat dan menurunkan orang atau barang. Pada penelitian ini yang dimaksud terminal lebih merujuk pada terminal bus penumpang umum. 5. Terminal Purabaya : Cermin Layanan Publik Belum Ramah HAM Terminal Purabaya merupakan terminal bus yang memiliki jangkauan layanan penumpang tersibuk di Indonesia. Hal ini didasarkan pada volume jumlah penumpang yang mencapai angka 120.000 penumpang per hari, hingga dari data ini dapat dikatakan bahwa terminal bus Purabaya ini merupakan terminal bus terbesar di Asia Tenggara. Dari jenis klasifikasi terminal, Terminal Purabaya merupakan terminal dengan tipe A yang berskala nasional. Terminal tipe A memiliki beberapa ciri, antara lain : - Berdasarkan Tingkat Pelayanan : 50 – 100 kendaraan/jam - Berdasarkan Luas Terminal : 3 – 5 Ha - Berdasarkan Akses : 50 – 100 m Hingga kurun waktu tahun 2008-2009, terminal Purabaya memiliki beberapa fasilitas bagi kenyamanan pelayanan penumpang, antara lain fasilitas parkir (untuk jenis kendaraan taksi, sepeda motor, serta mobil pribadi), lokasi kedatangan dan keberangkatan yang terpisah, loket peron, kantor pengelola terminal, pos Kesehatan yang dikoordinasikan dengan pihak Palang Merah Indonesia (PMI), pos informasi dan pengumuman, toilet pria dan wanita, ruang tunggu penumpang, resto makanan dan lain-lain. Hanya saja fasilitas-fasilitas tersebut disediakan hanya bagi penumpang umum, bukan kategori cacat fisik. Mengenai fasilitas bagi penyandang cacat, peran negara (dalam hal ini bisa terepresentasi melalui peran dinas perhubungan, dinas sosial, dll) masih belum optimal. Masih belum terlihat adanya perlakuan khusus kepada penumpang penyandang cacat di terminal ini. Jika ada penumpang penyandang cacat fisik atau keluargnya yang membutuhkan bantuan, maka pihak terminal ―hanya sekedar‖ berkoordinasi dengan PMI yang mempunyai tandu dorong, namun tandu tersebut sebenarnya bukan disediakan secara khusus untuk penumpang cacat fisik, melainkan hanya bagi penumpang umum yang sakit, pingsan, mengalami kecelakaan dan lain-lain. Sedikit perhatian memang ada, khususnya bagi penumpang penyandang cacat fisik kaki atau kelumpuhan yang menggunakan kursi roda. Hal tersebut misalnya difasilitasi pihak terminal dengan membuat jalur khusus. Jalur khusus ini dalam bentuk penyediaan tangga dengan jalan datar yang sedikit landai dan bukan berupa undak-undak yang justru menyulitkan penumpang berkursi roda. Perlakuan bagi penyandang cacat justru lebih ditanggapi oleh penyedia angkutan umum. Jasa layanan armada taksi, misalnya, apabila penumpang biasa atau normal hanya bisa berhenti di depan teras terminal dan taksi tidak boleh menurunkan penumpang di dekat jalur atau tempat pemberangkatan bus, namun dengan ijin di pos layanan terminal, pihak
taksi diperbolehkan mengantarkan atau menurunkan penumpang penyandang cacat hingga di dekat jalut pemberangkatan bus. Sampai saat ini, memang masih belum ada data pasti, berapa jumlah penyandang cacat yang menggunakan jasa transportasi di Terminal Purabaya, karena masih belum adanya perhatian khusus dari pihak terminal, termasuk standar-standar ketentuan yang diberlakukan untuk melayani para penumpang penyandang cacat. Sehingga dengan kondisi ini, belum bisa dipastikan juga jumlah prosentase yang memanfaatkan jasa layanan publik ini. Tidak terdapat perbedaan tarif antara penumpang penyandang cacat dengan penumpang umum lainnya yang sehat jasmani. Beberapa pihak awak bus umum dalam wawancara dengan penulis mengakui selalu membantu penumpang penyandang cacat dan tidak terlalu kaku untuk menangani mereka. Bantuan bagi kalangan penyandang cacat senantiasa mereka layani sebab bagi mereka, penumpang penyandang cacat juga dianggap sebagai lahan rejeki yang nantinya membayar jasa mereka. Pihak terminal Purabaya sendiri merasa belum puas terhadap bentuk pelayanan yang diberikan bagi penyandang cacat, karena mereka selama ini menganggap penumpang penyandang cacat enggan menggunakan angkutan umum dan lebih memilih bepergian dengan kendaraan pribadi. Dengan demikian, mereka belum terlampau memikirkan atau memprioritaskan pembangunan fasilitas layanan publik khususnya bagi penumpang penyandang cacat. Sejak tahun 2000, pihak penyedia layanan terminal Purabaya pernah mengusulkan pembangunan dan penyediaan fasilitas layanan bagi penyandang cacat kepada pihak dinas perhubungan pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dinas perhubungan pemerintah Kota Surabaya, maupun dinas perhubungan Propinsi Jatim, namun hingga kini belum ada realisasi. Akibatnya, apabila ada penumpang penyandang cacat, pihak terminal masih tetap mengandalkan pihak PMI di terminal Purabaya yang menyediakan fasilitas tandu dorong atau bantuan lainnya yang sifatnya tentatif dan seadanya, yaitu mengantarkan penumpang penyandang cacat di bus yang mereka tuju. Standar fasilitas layanan publik lainnya di dalam terminal seperti toilet bagi penumpang penyandang cacat, loket peron dan ruang tunggu yang nyaman atau responsible bagi penyandang cacat, masih belum tersedia. 6. Tanggapan Masyarakat Pengguna Layanan Publik Untuk mengetahui pendapat atau opini masyarakat umum, khususnya pengguna layanan terminal bus yang ada di terminal Purabaya, maka penulis mengadakan jajak pendapat kepada mereka tetang penting tidaknya penyediaan fasilitas layanan publik bagi penumpang penyandang cacat. Responden yang diwawancarai ada sekitar 100 orang dengan tingkat usia dan jenis kelamin yang beragam. Penumpang di Terminal Purabaya yang berusia 17 – 26 tahun sebanyak 51 orang, usia 27 – 36 tahun sebanyak 28 orang, usia 37 – 46 tahun sebanyak 12 orang, sedangkan untuk usia 47 – 56 tahun sebanyak 6 orang dan untuk usia 57 – 66 tahun sebanyak orang. Sedangkan menurut jenis kelamin, jumlah responden yang berjenis kelamin laki – laki sebanyak 58 orang dan untuk responden perempuan sebanyak 42 orang. Dari 100 responden, ada sekitar empat orang yang mengalami cacat fisik, yaitu lumpuh dan tuna netra, hanya saja mereka didampingi oleh keluarga atau temannya. Mengenai responden yang memiliki saudara atau teman penyandang cacat, sekitar 57 responden mengakui tidak mempunyai teman atau saudara penyandang cacat. Sedangkan 39% dari responden mengakui adanya teman atau saudara mereka penyandang cacat. Mereka mengakui bahwa teman atau saudara mereka adalah penyandang cacat tuna netra sebanyak 5 orang untuk tuna rungu sebanyak 23 orang, lumpuh mempunyai prosentase terbesar yaitu sebanyak 56 orang, tuna wicara sebanyak 10 orang dan untuk autis maupun cacat mental mendapat prosentase yang sama sebanyak 3 orang. Untuk responden yang memiliki teman atau saudara penyandang cacat yang sering tidaknya bepergian menggunakan alat transportasi publik, maka sekitar 54 orang menjawab
bahwa teman atau saudara penyandang cacat jarang bepergian ke luar kota, sedangkan 28 orang menjawab sering ke luar kota, dan 18 orang menjawab bahwa teman ataupun saudaranya penyandang cacat tidak pernah bepergian ke luar kota. Dari jumlah responden yang ada, termasuk yang mengakami cacat fisik, semuanya atau hampir 100 orang menjawab bahwa teman atau saudaranya penyandang cacat menggunakan alat transportasi darat untuk bepergian. Dengan alasan, karena alat transportasi darat ini lebih praktis jika dibandingkan dengan alat transportasi yang lain. Mengenai pendapat tentang perlakuan khusus penyediaan fasilitas publik bagi penyandang cacat di terminal, bandara atau pelabuhan hanya dirasakan oleh 22 orang dari teman atau saudara responden. Sedangkan 78 orang lainnya, termasuk reponden penyandang cacat mengakui, bahwa selama ini masih belum ada perlakuan khusus di ruang layanan publik, termasuk di Terminal Purabaya ini. Untuk kualitas pelayanan bagi penyandang cacat di ruang publik, sebanyak 14 orang menjawab bahwa kualitas pelayanannya sangat baik, 14 orang lainnya menjawab baik, sedangkan 71 orang menjawab cukup baik. Khusus pelayanan yang diberikan oleh Terminal Purabaya bagi penyandang cacat, 3 orang menjawab bahwa pelayanan di Terminal Purabaya terhadap penyandang cacat sangat baik, 17 orang menjawab baik, 46 orang menjawab cukup baik, 30 orang menjawab kurang baik, dan 4 orang menjawab sangat kurang. Seberapa perlunya fasilitas publik di Terminal Purabaya, responden menjawab 75 orang perlu adanya fasilitas khusus bagi penyandang cacat, dan 25 orang menjawab tidak perlu fasilitas khusus bagi penyandang cacat. Dari angka 75 orang tersebut termasuk repsonden penyandang cacat fisik yang ditemui oleh penulis. Mengenai pendapat khusus dari responden fasilitas apa yang kira - kira diperlukan bagi penyandang cacat, 28 orang memberi pendapat ruang tunggu khusus, 24 orang memberi pendapat alat bantu seperti kursi dorong, 3 orang berpendapat fasilitas seperti ruang khusus dan toilet khusus, 1 orang menyanrankan posko, 19 orang menyarankan toilet khusus, 19 orang berpendapat perlunya jalur khusus, 1 orang menyarankan adanya penginapan, 3 orang menyarankan adanya ruang tunggu dan petugas khusus pendamping orang cacat, 1 orang menyarankan alat dorong, dan 1 orang lainnya menyanarnkan adanya adanya fasilitas seperti loket peron maupun tiket khusus bagi para penyandang cacat. 7. Perlindungan HAM Setengah Hati Negara sebenarnya sudah memberikan ruang gerak perlindungan bagi kaum difabel, namun tarafnya masih sebatas penetapan beberapa regulasi/landasan hukum. Beberapa regulasi tersebut antara lain, Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Perhubungan No 71 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Beberapa gerakan atas implementasi terhadap regulasi ini bahkan pernah digagas mantan presiden RI Alm. Abdurrahman Wahid yaitu gerakan aksesbilitas umum nasional (GAUN). Gerakan nasional ini merupakan upaya penyediaan sarana yang aksesibel bagi kalangan difabel khususnya pada sarana transportasi publik. Adapun gagasan awalnya, arah gerakan ini direncanakan dari tempat-tempat transportasi umum, seperti stasiun, terminal hingga bandara. Hanya saja, gerakan ini sekedar wacana saat terjadi pergantian kepemimpinan nasional. Komitmen serupa ditunjukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat menginstruksikan pada para gubernur untuk menyediakan fasilitas memadai bagi kalangan difabel. Komitmen ini pun tak terlalu membawa perubahan signifikan dan justru hanya terjawab oleh tetesan air mata Wakil Presiden Budiono saat berhadapan dengan kalangan difabel pada peringatan hari penyandang cacat Tahun 2009 (Padijaya dalam Jurnal Perempuan, 2010).
Hal inilah yang kemudian menyiratkan kesan pesimisme banyak kalangan atas realisasi negara terhadap aksesibilitas penyandang cacat atas layanan publik secara inklusif. Perhatian negara dinilai hanya sebatas seremonial belaka. Kesan ini makin diperkuat dengan tiadanya respon dari pemerintahan di tingkat lokal, dimana masih banyak pemerintah daerah yang belum merumuskan secara pasti perlindungan bagi kaum difabel. Terhitung hanya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang sudah merumuskan beberapa regulasi terkait kaum difabel, antara lain Perda No 7 Tahun 1991 tentang Bangunan dalam Wilayah DKI Jakarta yang intinya mempertegas penyediaan aksesibilitas bagi kalangan difabel merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh IMB. Bahkan pemda DKI sempat mengancam mempersulit ijin pembangunan gedung pemerintah maupun swasta yang tidak memiliki akses bagi difabel. Hanya saja beberapa pemerhati HAM menyatakan bahwa implementasi atas regulasi lokal tersebut masih jauh dari harapan, sebab beberapa bangunan fasilitas publik di kota besar masih dinilai tidak mengakomodir kalangan difabel, seperti tiadanya jalan landai antara jalan dan trotoar, bentuk tangga yang terlampau tinggi, lift yang tidak ramah bagi difabel, dll (Padijaya dalam Jurnal Perempuan, 2010). Banyak komitmen kepala daerah maupun pemimpin negara yang dilanggar demi kepentingan kota yang bias dari dampak sistem kota yang terlanjut sistemik fungsionalis, dimana kehadiran kota terdominasi oleh hegemoni fungsi infrstruktur atau fungsi ekonomi semata (Verdiansyah, 2006). Kehadiran dan wujud fisik kota cenderung jauh dari rasa berkeadilan dan nilai-nilai humanis. Sarana layanan publik seringkali dirancang dengan skala antroposentris untuk manusia normal saja. Pendekatan kebijakan negara yang sifatnya sektoral-pun kurang mengakomodasikan kepentingan kaum difabel, seperti kewenangan lembaga instansi vertikal kepada penyedia layanan publik di daerah. Kementerian agama dinilai masih kurang memperhatikan sarana tempat peribadatan yang ramah bagi kaum difabel, termasuk pula perihal yang telah dibahas dalam penelitian ini, yaitu kewenangan Kementerian Perhubungan kepada UPTD Terminal di daerah-daerah yang masih minim mengakomodasikan kepentingan kaum difabel. Kondisi pemarginalan inilah yang kemudian apabila ditelisik keatas salah satunya diakibatkan adanya masih minimnya anggaran untuk rehabilitasi sosial dan aksesibilitas kaum difabel di Indonesia yang besaran jumlahnya hanya mencapai 0,5 persen dari total anggaran nasional setiap tahunnya (Padijaya dalam Jurnal Perempuan, 2010). Nampaknya pihak legislatif dan eksekutif sebagai pihak yang paling berwenang dalam menetapkan anggaran negara masih kurang memiliki kepekaan untuk memahami realitas bahwa kalangan difabel sebenarnya turut memberikan akses suara kepada mereka sebagai wakil sekaligus pemimpin nasional dalam pemilu. 8. Kesimpulan dan Saran Hak kalangan penyandang cacat dalam mengakses layanan publik, khususnya di Terminal Purabaya ternyata belum sepenuhnya mendapatkan perlakuan yang sepantasnya oleh negara. Fasilitas – fasilitas yang di dapatkan oleh penyandang cacat di ruang publik, khususnya Terminal Purabaya masih belum optimal. Paradigma affirmative state, khususnya yang bervarian welfare state, dimana layanan publik merupakan hak dasar warga dan tanggungjawab negara untuk memenuhinya yang berjalan pada kesetaraan HAM, ternyata masih belum berjalan baik. Perangkat-perangkat hukum yang menjamin hak penyandang cacat, seperti regulasi Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat atau Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seolah hanya pemanis belaka tatkala negara ingin dipuji sebagai insitusi yang cukup demokratis. Pasal-pasal yang secara normatif memberikan jaminan pelayanan kepada para penyandang cacat, belum berdampak banyak pada penyedia layanan di tingkatan lokal (daerah). Imbasnya, mereka (baca : pemerintah lokal) belum terlalu
―mengakrabi‖ standar layanan-layanan yang seharusnya diberikan / diporsikan bagi para warga penyandang cacat fisik. Negara yang terepresentasi melalui pihak penyedia layanan publik di Terminal Purabaya harus lebih memperhatikan standar perlakuan yang baik bagi penyandang cacat, baik berupa kualitas maupun kuantitasnya. Sebaliknya, bagi penyandang cacat, sebaiknya tidak perlu minder saat mereka berada di layanan fasilitas umum , karena bagaimanapun fasilitas tersebut adalah milik mereka sebagai warga negara yang kedudukannya sama dengan lainnya. Dengan demikian, konsekuensinya bagi pihak penyedia layanan layanan publik, harus lebih memperhatikan kesetaraan layanan khususnya para penyandang cacat. Negara sudah saatnya menjamin bahwa perencanaan pembangunan yang menyangkut layanan publik, misalnya konstruksi maupun desain fisik, menyertakan pertimbangan aksesbilitas para penyandang cacat. Para perencana pembangunan harus arif dalam memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang cacat. Praktisnya, sudah saatnyalah para penyandang cacat harus dilibatkan dalam setiap proses konsultasi perencanaan pembangunan, baik pada tingkat pusat maupun lokal (daerah). Daftar Pustaka -
Sri Wahyuni, Niniek dan Yusniati. 2005. Manusia dan Masyarakat. Jakarta : Ganeca Exact Robert Endy Jaweng , 2009, Opini ―Perspektif Baru Layanan Publik‖. Jakarta : Harian Kompas Pasolong, Harbani, 2008, Teori Administrasi Publik, Jakarta : Alfabeta Roskin Michael, G, 2000, Political Science : An Introduction. New Jersey : Prentice Hall Tim Sosial, dkk, 2003, Pelayanan bagi Penyandang Cacat, Jakarta : Pusat Praktek Pekerjaan Sosial Undang-Undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Padijaya, Rufiah, Jurnal Perempuan Edisi 65, 2010, Mencari Ruang untuk Difabel, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan Verdiansyah, Chris, Politik Kota dan Hak Warga Kota, Kumpulan Opini Harian KOMPAS, Maret 2006, Jakarta : Kompas Gramedia