DAKWAH 2.01: PERANG IDEOLOGI ANTARA PUBLIK #IndonesiaTanpaJIL DAN PUBLIK JARINGAN ISLAM LIBERAL DI TWITTER Sindhunata & Ezra M. Choesin Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstrak Pada awal tahun 2012 sebuah gerakan masyarakat sipil bernama #IndonesiaTanpaFPI menuntut negara untuk membubarkan sebuah ormas Islam fundamentalis bernama FPI (Front Pembela Islam) karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut kepada kaum Islam minoritas. #IndonesiaTanpaFPI sangat mengandalkan penggunaan situs sosial media untuk mengorganisir gerakannya, sehingga sebuah gerakan balasan yang muncul dari kalangan Islam pro-FPI pun dimulai dari Twitter; gerakan tersebut bernama #IndonesiaTanpaJIL.Gerakan balasan ini percaya bahwa #IndonesiaTanpaFPI sebenarnya adalah gerakan yang diorganisir oleh kaum Jaringan Islam Liberal (JIL). Sejak saat itu, #IndonesiaTanpaJIL dan JIL terus bertikai secara diskursif di dalam Twitter. Artikel ini berkonsentrasi kepada pembentukan dua publik religius yang semata-mata dikonstitusi oleh tiap diskursusnya lewat topik diskursif yang terkait dengan kaum minoritas Islam tertindas, yaitu: Ahmadiyah, Syiah, dan Rohingya. Lewat interpretasi teks yang dilakukan dengan mencari irisan dari intensi teks dan model reader (yang dikonstruksi lewat interaksi online maupun offline) penulis telah mengidentifikasi berbagai titik temu diskursif antara ITJ dan JIL. Kedua publik religius menggunakan berbagai topik diskursif yang mereka anggap menarik semata-mata untuk menarik perhatian audiens, karena dalam konteks perang pemikiran banyaknya dukungan audiens adalah hal yang paling penting untuk melambungkan diskursusnya ke domain hegemoni. Lebih jauh lagi, artikel ini menunjukkan bagaimana logika modernitas yang terobsesi pada tatanan 1
Dakwah 2.0: maksudnya adalah artikulasi kesalehan tekstual (teks yang bersifat moral dan keagamaan) yang ada di Twitter, “2.0” mewakili era web 2.0 yang merupakan era kemunculan situs-‐situs sosial media, dan maka memiliki ragam artikulasi kesalehan yang berbeda dengan era sebelumnya, web 1.0. Pada era web 2.0 terjadi perubahan besar dalam kultur berinternet, yaitu sebuah halaman tidak semata-‐mata dibangun oleh pembuat halaman tetapi juga dibentuk oleh konten-‐konten yang diberikan pengguna yang berpartisipasi. Oleh karena itu, web 2.0 dapat dikatakan menekankan kolaborasi antara pembuat halaman dan pengguna dalam berinternet.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
ideal adalah faktor yang dapat menjelaskan budaya eksklusif pada arena sosial yang sejatinya inklusif. Kata kunci
: dakwah; publik religius; Twitter; perang ideologi; hegemoni; Indonesia Tanpa JIL; Jaringan Islam Liberal; modernitas.
In early 2012, a civil-initiated movement called #IndonesiaTanpaFPI urged the government to disband an Islamic fundamentalist group called FPI (Front Pembela Islam) because of the violence to Islamic minority group that FPI had done earlier. #IndonesiaTanpaFPI heavily relied upon Twitter in organizing their movement, so when a counter-movement from the pro-FPI emerged, it was on Twitter as well; the counter-movement called themselves #IndonesiaTanpaJIL. This counter-movement believes that #IndonesiaTanpaFPI was actually initiated and organized by Jaringan Islam Liberal (JIL). Since then, #IndonesiaTanpaJIL and JIL have been fighting discursively on Twitter. This article concentrates on the formation of two religious publics constituted solely by their discourses articulation, particularly topic related to suppressed Islamic minority groups; those are: Ahmadiyah, Syiah, and Rohingya. Through tweets interpretation by finding incision between intention of the text and model reader (that is constructed both by online and offline interaction), the writer has identified various discourse nexuses between ITJ and JIL. Both of the religious publics articulate interesting or controversial discourses on Twitter just to grasp the audience’s attention, because in the context of ideological war the number of support is the only important thing to toss their discourses to hegemonic domain. Furthermore, this article shows how the logic of modernity with its obsession to ideal order is a factor that can explain the culture of exclusivity inside a social arena that was designed for inclusivity. Keywords
: dakwah; religious public; Twitter; ideological war; hegemony; Indonesia Tanpa JIL; Jaringan Islam Liberal; modernity.
Pengantar Tulisan ini adalah hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan selama enam bulan, sejak September 2012 hingga Maret 2013. Pada bulan September 2012 hingga Desember 2012 saya tergabung dalam sebuah tim penelitian Pusat Kajian Antropologi FISIP Universitas Indonesia, tim ini dipimpin oleh Imam Ardhianto. Kami
melakukan
pendalaman
data
di
internet
dan
juga
pergerakan
#IndonesiaTanpaJIL di Jakarta, Bogor, Depok, Bandung, serta Makassar.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Selanjutnya pada bulan Januari 2013 hingga Maret 2013, saya melanjutkan penelitian ini dengan bimbingan Ezra M.Choesin. Penelitian tim lebih berkonsentrasi pada kemunculan #IndonesiaTanpaJIL, sedangkan penelitian yang saya kembangkan bersama Ezra M. Choesin lebih berkonsentrasi pada tegangan yang terjadi antara #IndonesiaTanpaJIL dengan Jaringan Islam Liberal khususnya di Twitter. Dalam penelitian yang lebih lanjut saya menelusuri titik temu topik diskursus diantara ITJ dan JIL sebagai publik religius yang berperang secara ideologis. Lebih jauh lagi, tulisan ini akan menjelaskan mengapa proses ekslusi dapat terjadi di dalam Twitter yang selama ini dianggap sebagai ruang yang merangsang terbentuknya dunia inklusif. #IndonesiaTanpaFPI Pada tanggal 6 Februari 2012 terjadi sebuah peristiwa yang secara tidak langsung menjadi pemicu
kemunculan #IndonesiaTanpaJIL. Pada hari itu sekumpulan
orang yang bersenjata pisau, bambu, dan batu itu datang dengan riuh ke Desa Cikeusik, Banten. Mereka semua menatap benci kepada sekumpulan orang yang sedang berusaha melindungi sebuah rumah. Kaca-kaca rumah itu mulai pecah seiring dengan lemparan batu dari sekumpulan orang yang menatap benci itu. Berteriak “Allahu Akbar,” dua orang laki-laki yang melindungi rumah itu tiba-tiba diserang dan diseret ke genangan lumpur. Seraya terus memuji Allah SWT lewat pekikan-pekikan religius, hantaman demi hantaman bambu terlontar dari tangan mereka yang bermulut suci kepada dua orang yang tampak tergelepar tak berdaya di genangan lumpur. Perlahan-lahan genangan lumpur mulai memerah seiring dengan hilangnya kesadaran dua laki-laki malang. Kematian kedua Ahmadi (pengikut Jemaah Ahmadiyah Indonesia) itu terekam jelas dalam sebuah file video berkualitas telepon genggam. Tak hanya terekam, video itu kemudian disiarkan di berbagai acara berita televisi dan bahkan dapat diakses secara terbuka di internet. Banyak orang menjadi gempar dan memanifestasikan kemarahan (ataupun dukungan) pada Twitter, sebuah situs media sosial yang sangat terkenal di Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang marah menghujat para pelaku yang merupakan anggota dari Front Pembela Islam (FPI), sebuah organisasi masyarakat Islam yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab sang keturunan nabi terakhir.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Ahmadiyah adalah sebuah sekte di dalam agama Islam yang berasal dari India dan telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1925. Ahmadiyah terdaftar secara resmi sebagai salah satu sekte Islam yang diakui oleh negara pada tahun 1953, meskipun diiringi oleh perdebatan di antara para cendekiawan Ahmadiyah dan Islam arus utama. Pada tahun 2005, terjadi perubahan posisi politik Ahmadiyah seiring dikeluarkannya kembali fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah sebuah aliran Islam, dan pengikutnya sesungguhnya telah murtad dari agama Islam.2 Sebelumnya pada Musyawarah Nasional II MUI tahun 1980 telah dikeluarkan fatwa sejenis, dan fatwa kembali dikeluarkan karena keprihatinan MUI atas tetap berdirinya JAI. MUI menutup fatwa ini dengan memberikan himbauan pada pemerintah untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah serta membekukan segala aktivitas dan tempat berkegiatan Ahmadiyah. Tiga tahun setelah fatwa MUI mengenai Ahmadiyah dikeluarkan, pemerintah kemudian menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung No Kep-033/A/JA/6/2008 dan No 199/2008.3 Surat keputusan ini kemudian lebih populer dengan nama Surat Kesepakatan Bersama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Substansi utama dari surat keputusan tersebut adalah pelarangan penyebaran paham Ahmadiyah beserta pelaksanaannya selama JAI masih mengaku menjadi bagian dari muslim, yaitu penganut agama Islam. Pembantaian anggota FPI terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Cikeusik menimbulkan berbagai respon di situs media sosial Twitter. Salah satu respon yang paling vokal termanifestasi dalam hashtag Twitter #IndonesiaTanpaFPI sebagai bentuk ketidaksetujuan akan tindak pembantaian yang dilakukan oleh FPI. Gerakan Indonesia Tanpa FPI kemudian dijadikan nama sebuah gerakan masyarakat sipil yang pertama kali berkumpul dan melakukan demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta pada tanggal 14 2
Fatwa MUI: Penjelasan Tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah diakses dari http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&task=doc_details&gid=34&Itemid=73 pada tanggal 8 November 2012 3 “Bekasi Teken tentang Surat Pelarangan Ahmadiyah.” Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2011/10/13/057361186/Bekasi-‐Teken-‐Surat-‐Keputusan-‐ Pelarangan-‐Ahmadiyah pada tanggal 8 November 2012
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Februari 2012. Gerakan ini menuntut pembubaran FPI atas segala kekerasan yang telah dilakukan oleh ormas tersebut. #IndonesiaTanpaJIL Tekanan untuk membubarkan FPI mengundang reaksi positif dari Ulil, seorang figur utama dari JIL. Sebelum aksi offline #IndonesiaTanpaFPI dimulai, Ulil bahkan memublikasikan sebuah kuliah tweet yang berisikan dukungannya terhadap gerakan tersebut. Meskipun demikian, ada pula orang-orang yang tidak sepakat dengan #IndonesiaTanpaFPI dan turut mengartikulasikan posisi politisnya terhadap gerakan tersebut lewat Twitter. Hashtag yang digunakan untuk menandai tweet yang beroposisi dengan Indonesia Tanpa FPI adalah #IndonesiaTanpaJIL. Hashtag tersebut memiliki dua term depan yang sama dengan yang digunakan gerakan Indonesia Tanpa FPI, hal ini menunjukkan adanya ketersambungan di antara kemunculan gerakan Indonesia Tanpa FPI dengan kemunculan #IndonesiaTanpaJIL. Tiada yang pernah tahu siapa pengguna yang memulai hashtag #IndonesiaTanpaJIL. Hashtag ini muncul begitu saja di Twitter dan diproduksi serta direproduksi puluh ribuan pengguna di Twitter sejak awal kemunculannya. Munculnya JIL sebagai subyek yang ditolak sebagai tandingan dari
gerakan
penolakan
terhadap
FPI
didasari
pada
asumsi
bahwa
#IndonesiaTanpaFPI adalah gerakan yang diprakarsai oleh JIL. Hal tersebut tercermin dalam salah satu cuplikan wawancara saya dan Ardhianto dengan Hafiz (@hafidz_ary) pada suatu siang di Kota Bandung. Dalam suatu penjelasannya mengenai kemunculan gerakan ITJ, ia menyebut gerakan #IndonesiaTanpaFPI sebagai “Indonesia tanpa FPInya JIL.” Hashtag #IndonesiaTanpaJIL kemudian dijadikan sebuah halaman di situs media sosial lain, yaitu Facebook pada tanggal 19 Februari 2012.4 Terhitung lebih dari 3.000 akun Facebook memutuskan untuk bergabung ke dalam halaman tersebut pada hari pertama didirikannya halaman Facebook tersebut. Hingga tanggal 25 November 2012, jumlah akun yang memutuskan untuk bergabung ke dalam halaman Facebook ini—dalam term Facebook: fans—bertambah menjadi 35.179 akun, atau bertambah sekitar 3.900 akun per bulan. Selain halaman Facebook, 4
Page #IndonesiaTanpaJIL di Facebook: http://www.Facebook.com/IndonesiaTanpaJIL?fref=ts
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
gerakan ini juga kemudian membuat akun Twitter yang bernama @TanpaJIL yang hingga tanggal 25 November 2012 telah memiliki 17.995 followers.5 #IndonesiaTanpaJIL kemudian menjadi sebuah gerakan offline ketika mereka melakukan aksi di tempat yang sama dengan aksi Indonesia Tanpa FPI, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Semenjak kehadiran ITJ di Twitter, para pengguna yang tidak setuju dengan pemikiran JIL semakin gencar mengartikulasikan ketidaksetujuannya, baik dalam bentuk tweet yang personal maupun impersonal. JIL tidak tinggal diam, dan meskipun lebih sering diam dan tidak merespon secara tertuju kritik serta hujatan yang disampaikan publik ITJ, terkadang JIL membuat tweet sarkastik dan impersonal. ITJ dan JIL, Dua publik Religius yang Berperang Ideologi Pertikaian diskursif diantara publik ITJ dan JIL di Twitter saya lihat sebagai sebuah bentuk perang ideologi. Sejak kemunculan ITJ, JIL menemukan “musuh” ideologisnya di dalam Twitter. Kedua kubu saling berkontestasi dalam mengartikulasikan ideologinya masing-masing di Twitter. Twitter sendiri saya definisikan sebagai ruang publik, karena sepakat dengan Neal (2010: 1), ruang publik adalah semua area yang secara prinsipil terbuka dan dapat diakses oleh semua anggota dalam sebuah masyarakat. Twitter membuka keanggotaanya untuk semua orang yang hendak mendaftar tanpa terkecuali, sehingga secara prinsipil Twitter adalah ruang sosial yang terbuka untuk semua anggota dalam masyarakat. Selain keanggotaannya yang bersifat inklusif, segala artikulasi teks ideologis yang dilakukan oleh kedua publik religius pun dapat diakses oleh semua orang yang terdaftar pada Twitter (kecuali direct message6). Terminologi publik religius saya dapat dari pemikiran Hirschkind dan Larkin (2008: 5) yang menyebutkan bahwa artikulasi keagamaan yang dilakukan dalam 5
Followers artinya pengikut suatu akun tertentu, ketika suatu akun menjadi follower akan suatu akun lainnya, maka pada lini masa akun yang menjadi follower akan muncul setiap tweet dari akun yang diikutinya, kecuali tweet yang addressee-‐nya personal dan akun pengikut tidak mengikuti akun yang menjadi addressee tersebut. 6 Fitur Twitter yang memungkinkan satu akun mengirim pesan pribadi ke akun lainnya, dengan persyaratan kedua akun tersebut sudah menjadi teman (friend). Menjadi teman dalam Twitter dapat dilakukan dengan saling mengikuti (follow) satu sama lainnya.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
sebuah media tidak dapat diisolasi sebagai sebuah fenomena religi semata, melainkan juga bertindihan dengan fenomena media dan politik yang saling mengonstitusi. Hirschkind dan Larkin (2008) berkonsentrasi tentang bagaimanaa publik religius mengonstitusi identitasnya dengan memiliki tendensi sikap yang other-oriented, dan oleh karena itu kerap kali mendefinisikan diri dengan cara menegasikan dirinya dengan lawan diskursifnya. Term “publik” yang digunakan oleh Hirschkind dan Larkin berasal dari pemikiran Michael Warner. Warner (2005) memisahkan The Public (Publik) dengan a public (publik). Publik adalah totalitas sosial, dalam common sense dapat diterjemahkan menjadi masyarakat secara umumnya (seperti dalam istilah “kepentingan publik” dalam negara demokrasi). Publik dapat saja berbentuk masyarakat yang terorganisasi dalam bangsa, negara, kota, atau komunitas jenis lainnya, misalnya kekristenan dan kemanusiaan. Selain itu, Publik juga dapat berbentuk totalitas sosial yang dibatasi oleh event dan ruang yang dihadiri secara bersama. Sedangkan publik adalah hal yang berbeda dengan Publik yang kerap kali diimajinasikan sebagai totalitas sosial berbatas. Menurut Warner, publik mengada semata-mata hanya karena kesepakatan diskursif antara orang-orang asing dalam sebuah ruang diskursus yang terproyeksi di ruang publik. publik mengorganisir dirinya sendiri lewat diskursus yang terus tersirkulasi melewati temporalitas demi temporalitas hingga menyejarah. Diskursus yang mengonstitusi sebuah publik mempersatukan orang-orang asing yang tak saling mengenal namun memberikan perhatian kepada diskursus yang diartikulasikan lewat sebuah public speech. Pemisahan antara Publik yang singular dan publik yang majemuk bukan berarti membuat kedua entitas tersebut menjadi terpisah satu sama lainnya. Publik dan publik secara dialektik mempengaruhi satu sama lainnya. Saya interpretasi demikian karena menurut Warner (2005: 107), ketika sebuah diskursus yang bersifat interpublik menjadi dominan—dalam arti disepakati oleh banyak orang dari berbagai afiliasi diskursif, maka diskursus tersebut secara tidak sadar (invisible) akan meregulasi tatanan Publik. Dengan demikian, saya pun mengandaikan Publik yang singular sebagai sebuah lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil beririsan berupa publik majemuk.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Dikatakann beririsan karena diskursus bersifat sangat cair, sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan besar serta batasannya. publik ITJ dan JIL yang tumbuh di Twitter dipersatukan lewat perhatian para anggotanya terhadap diskursus yang terkait dengan ideologinya masing-masing. Setiap anggota dalam sebuah publik tidak selalu saling mengenal satu sama lainnya. Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan orang asing yang saling terikat secara diskursif ini dipersatukan atas perhatian mereka terhadap tweet yang diartikulasikan oleh opinion leader dari publiknya masing-masing. Contoh dari opinion leader misalnya: @ulil dari publik JIL dan @hafidz_ary dari publik ITJ. Para pengikut opinion leader sering kali turut berpartisipasi secara diskursif dengan cara memention7 sang opinion leader ataupun me-RT8 diskursus yang diartikulasikan oleh opinion leader. Beberapa pengikut bahkan terkadang mengartikulasikan dukungannya akan satu publik berdasarkan inisiatif mereka sendiri. @RofiUddarojat misalnya, ketika ITJ mendapat kesempatan untuk berbicara mengenai ketidaksetujuan mereka terhadap JIL pada sebuah acara radio dari saluran HardRock FM pada bulan Mei 2012, ia secara inisiatif membuat sebuah serial tweet yang menurutnya menunjukkan kesalahan berpikir @AkmalSjafril yang ketika itu berbicara di radio sebagai representatif dari publik ITJ. Pada publik ITJ, bahkan setiap kader yang juga bergabung dalam gerakan offline mendapat kesempatan untuk dilatih berartikulasi di Twitter dengan konten yang mereka buat sendiri. Media Sosial sebagai Situs Penelitian Etnografi Sebelum menjabarkan data etnografis yang saya temukan dalam penelitian ini, pembahasan metodologis sangat diperlukan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa penelitian etnografi mengenai media sosial adalah hal yang terhitung baru dan belum mapan secara metodologis—dapat diperdebatkan. Oleh karena itu, sepanjang penelitian dan penulisan pun banyak eksperimentasi metodologis yang telah saya—dengan bimbingan Ezra M. Choesin—dan tim penelitian lakukan. 7
Mengirim pesan publik yang menuju kepada satu akun atau lebih. RT adalah singkatan dari Retweet, fitur ini memungkinkan pengikut akun yang melakukan RT untuk turut membaca sebuah tweet dari akun lain yang belum tentu diikuti olehnya. 8
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Penelitian etnografi mengenai media sosial dikatakan belum mapan secara metodologis karena pendefinisian situs penelitian yang berbeda dengan definisi tradisional dalam ilmu Antropologi. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat intertekstual dan intergenerik diskursus yang ada di dalam situs media sosial. Postill dan Pink (2012) dalam esainya yang berjudul Social Media Ethnography: The Digital Researcher in a Messy Web menuliskan refleksi metodologis dari sebuah penelitian etnografi media sosial di Barcelona yang mereka lakukan pada tahun 2010. Berkaitan dengan situs media sosial sebagai situs penelitian, Postill dan Pink mengatakan bahwa hal tersebut tergantung dari metodologi dan metode yang dipakai. Ada dua metode utama yang biasa digunakan dalam hal ini, yang pertama: analisis konten data yang ditarik dari situs-situs media sosial (Agichtein et al., 2008; Honeycutt and Herring, 2009; Kwak et al., 2010; Oulasvirta et al., 2010 dalam Postill dan Pink, 2012: 3) dan analisis jaringan sosial (Gilbert and Karahalios, 2009; Java et al., 2007; Prieur et al., 2009 dalam Postill dan Pink, 2012: 3). Metode demikian mengonstitusi media sosial sebagai situs penelitian yang dipenuhi dengan teks, dan metode ini gambaran statistik yang sangat berguna untuk penelitian etnografi dapat diperoleh. Meskipun demikian, kelemahan dari metode ini adalah ketidakmampuannya untuk menjawab pertanyaan penelitian yang mendalam; terutama pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa.” Metode kedua adalah: penggunaan metode etnografi konvensional dalam penelitian, seperti wawancara dan pengamatan terlibat. (Cox, Clough and Marlow, 2008; Humphreys, 2007; Komito, 2011; Miller, 2011 dalam Postill dan Pink, 2012: 3). Penggunaan metode ini dapat memberi kita kebebasan untuk menggambarkan kembali media sosial sebagai sebuah lapangan yang sosial, dapat dialami (experiential), dan mobile. Saya memilih metode yang kedua dalam melakukan penelitian ini karena saya hendak menciptakan karya yang memiliki kedalaman data ketimbang gambaran besar akan fenomena kontestasi diskursus ini. Konsekuensi dari pilihan ini adalah saya harus melakukan penelitian baik secara online maupun offline. Penelitian online dibutuhkan untuk mendapatkan konten teks berupa tweet yang kemudian dapat merefleksikan diskursus apa yang menjadi penting bagi tiap publik religius. Penelitian offline kemudian dibutuhkan untuk mendapatkan sense of being there.Signifikansi mengenai betapa pentingnya
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
berada dalam “dua dunia” ini—terutama terkait dengan upaya interpretasi teks— akan dielaborasi lebih lanjut pada bagian berikutnya. Interpretasi Tweet: Pendekatan Terhadap Teks Sebelum mengelaborasi mengenai pendekatan terhadap teks dalam penelitian ini, saya hendak menjelaskan mengenai pengertian diskursus di dalam tulisan ini. Hal ini penting untuk dilakukan karena saya hendak mencari diskursus dari teks yang telah terartikulasi dalam public speech dari ITJ dan JIL. Saya mengambil pengertian sederhana dari Ricoeur yang saya dapat dari sebuah ensiklopedia filsafat di internet. Diskursus adalah pengunaan sistem tanda untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu kepada seseorang sesuai dengan ketentuan fonetik, leksikal, sintaksis, dan gaya yang ada namun bersifat lunak. Oleh karena itu, diskursus selalu melibatkan seorang pembicara atau penulis dan pendengar atau pembaca dan juga sesuatu yang diucapkan mengenai suatu realita (Dauenhauer dan Pellauer, 2012).9 Dengan demikian, diskursus dalam tulisan ini adalah apa pun yang terartikulasi dalam sebuah tindak komunikasi, termasuk public speech. Penelitian ini berangkat dari diskursus berbentuk tweet (teks) yang disirkulasikan di dalam Twitter. Tertulisnya diskursus di dalam Twitter tidak berfungsi sebagai preservasi diskursus, karena Twitter hanya membuka akses bagi 3.500 tweet terakhir bagi tiap akun, sehingga meskipun sebuah akun sudah menyirkulasikan 3.600 tweet, maka hanya 3.500 tweet terakhir yang dapat diakses, dan sisanya tidak dapat diakses. Sirkulasi diskursus dalam Twitter lebih ditujukan untuk mendapat audiens diskursus, yaitu pengguna-pengguna lain yang membacanya. Ketika diskursus yang dibakukan dalam teks bertemu audiensnya, terjadi sebuah kompleksitas. Kompleksitas ini disebabkan oleh hilangnya situasi bersama di antara penulis (author) dan pembaca (reader) seperti yang ada dalam sebuah speech event. Dibakukannya diskursus dalam teks memberi jarak dari kondisi diskursus yang verbal (speech event), yang oleh Ricoeur (dalam Paneerselvam, 1995: 128) disebut sebagai penjarakan (distanciation). Penulisan (writing) adalah masalah utama dari gagasan yang dibawa oleh teks. Penulisan hanya membuat 9 Diakses dalam http://plato.stanford.edu/archives/win2012/entries/ricoeur/ pada 15 Mei 2013.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
eksplisit beberapa karakter atau kualitas yang hadir dalam diskursus oral. Ricoeur (dalam Paneerselvam, 1995: 129-130) menjabarkan empat bentuk penjarakan. Bentuk yang pertama adalah penjarakan dari apa yang dikatakan dalam yang telah dikatakan (of the “saying” in the said). Kedua adalah berubahnya teks menjadi otonom dalam relasinya terhadap penulisnya: apa yang diacu oleh penulis tidak lagi sama dengan apa yang diacu oleh teks, atau disebut juga sebagai depsikologisasi teks. Ketiga adalah terbukanya teks terhadap siapa pun yang dapat membaca ketimbang audiens atau addressee yang spesifik. Teks pun terdekontekstualisasi dari kondisi sosio-historisnya dan membuka kesempatan untuk rekontekstualisasi dalam konteks yang baru. Bentuk yang terakhir adalah emansipasi teks dari pembatasan referensinya. Dalam peristiwa speech event (spoken discourse) ada realitas yang dibagi bersama di antara teman berbicara, dan juga ada referensi ostensive—mendefinisikan sesuatu lewat demonstrasi langsung. Teks membebaskan referensinya dari batas-batas referensi ostensive. Berkaitan dengan metode interpretasi, Ricoeur menyebutkan bahwa makna dalam teks adalah masalah semantik, dan oleh karena itu unit analisis dasarnya adalah kalimat. Ricoeur memilih kalimat karena hanya pada tataran inilah bahasa dapat mengatakan tentang sesuatu (say about something).10
Kemampuan diskursus
untuk mengatakan tentang sesuatu adalah konsekuensi dari karakteristik diskursus yang memiliki sense dan reference. Perspektif demikian didapat Ricoeur dari Frege yang membedakan sinn (sense) dan bedeutung (reference) dalam karyanya “On Sense and Reference.” Reference adalah objek yang dituju oleh kata dan sense adalah cara kata mengacu kepada objek tersebut.11 Dengan karakteristik demikian, maka dapat dikatakan bahwa diskursus adalah fenomena ekstralinguistik, karena tanda (dengan unit terkecil kalimat) menuju pada obyek keduniaan yang berada di luar bahasa.
10
Ricoeur (dalam Panneerselvam: 124) menyebutkan bahwa intensi utama dari bahasa adalah untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu (to say something about something). Intensi ini mencakup apa yang disebutnya sebagai double direction of language: arah yang ideal (to say something) dan referensi yang nyata (to say about something). 11 Frege, Gottlob. On Sense and Reference. Diakses dalam http://philo.ruc.edu.cn/logic/reading/On%20sense%20and%20reference.pdf pada 8 Januari 2013
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Lewat masukan perspektif dari Ricoeur, saya melihat pembakuan teks dalam bentuk diskursus memunculkan perbedaan kemungkinan makna. Satu kutipan yang sangat ringkas dalam mengutip perspektif Ricoeur mengenai kegiatan membaca adalah ketika ia menuliskan bahwa kegiatan membaca adalah sebuah piknik yang dihadiri oleh penulis dan pembaca, yang mana penulis membawa kata-kata dan pembaca membawa makna (dalam Uggla, 2010: 17). Penekanan terhadap peran pembaca dalam memproduksi makna lewat aktivitas membaca teks kemudian dikritik oleh Umberto Eco di dalam sebuah kuliah umum yang kemudian dijadikan buku. Buku yang kemudian diberi judul Interpretation and Overinterpretation (1992) berangkat dari perhatian Eco terhadap kecenderungan pemberian penghargaan yang berlebihan terhadap hak pembaca dalam membaca, interpretasi teks (Eco, 1992: 23). Perhatian inilah yang akhirnya memulai elaborasi Eco dalam buku tersebut. Sangat penting untuk menyoroti kategori yang Eco buat dalam tulisannya. Eco (1992: 63-65) membedakan empirical author dari model author dan empirical reader dengan model reader. Berkaitan dengan interpretasi, yaitu upaya pencarian makna akan teks, empirical reader adalah aktor yang melakukan pendugaan mengenai model reader yang didalilkan oleh teks. Hal ini demikian karena pada dasarnya intentio operis (intensi dari teks) yang mandiri adalah untuk memproduksi model reader yang dapat melakukan dugaan mengenai intensi dari teks tersebut. Model reader, dalam melakukan interpretasi, berupaya mencari tahu model author (bukan empirical author) yang pada akhirnya bertepatan dengan intentio operis. Oleh karena itulah, intentio operis adalah hasil dari dugaan yang dilakukan oleh pembaca; maka validasi interpretasi tidak dilakukan dengan mencari intensi penulis, ataupun secara plural berada pada setiap interpretasi pembaca teks, melainkan dibangun atas upaya validasi teks itu sendiri, yaitu pertemuan antara satu interpretasi dengan interpretasi lainnya dalam porsi yang serupa. Jika diterjemahkan dengan lebih operasional, yaitu dengan lingkup yang lebih kecil, mengenai keabsahan dugaan—yang memang merupakan tujuan utama dari elaborasi ini, cara untuk membuktikan sebuah dugaan—dan juga cara untuk melakukan dugaan—adalah dengan melakukan verifikasi dugaan dengan teks secara keseluruhan (text as a coherent whole).
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Berangkat dari masukkan perspektif dari Ricoeur dan Eco, maka saya menempatkan diri sebagai seorang empirical reader di dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam interpretasi saya akan melakukan dugaan terhadap teks. Ketika menduga, pengetahuan mengenai empirical author akan menjadi pemandu saya untuk mengkonstruksi model author ketika membaca teks. Dengan demikian, pengetahuan mengenai para empirical author—yang juga menjadi interlokutor— dalam penelitian ini menjadi relevan untuk menemukan pertemuan antara intentio operis dan model author. Penelitian offline pun menjadi sangat penting dalam memperkaya pengetahuan saya mengenai empirical author. Pada tulisan ini saya telah mendalami satu empirical author JIL, yaitu Ulil Abshar Abdalla (@ulil). Serta dua empirical author dari ITJ, yaitu Hafidz (@hafidz_ary) dan Mang Iping (@m_iping). Ketiga empirical author tersebut adalah opinion leader dari publik religiusnya masing-masing. Ideologi dan Hegemoni, dari publik menuju Publik Publik dalam penelitian ini saya definisikan sebagai sebuah totalitas sosial berbentuk negara, yaitu negara Indonesia. Pertimbangan pertama adalah karena artikulasi kesalehan tekstual yang dilakukan oleh kedua publik dilakukan dalam Bahasa Indonesia, dan bahasa ini tidak digunakan di tempat lain secara luas selain negara Indonesia. Pertimbangan berikutnya adalah nama #IndonesiaTanpaJIL secara jelas menyatakan bahwa gerakannya hanya ingin menghilangkan pemikiran JIL dari “tanah Indonesia” saja. Lebih jauh lagi, misi JIL adalah untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang plural. Oleh karena itu, jika ingin melihat kesinambungan antara perang ideologi antar publik religius dan pengaruh atau upaya pengaruhnya terhadap Publik, pendefinisian Publik sebagai negara Indonesia pun menjadi sangat relevan. Untuk menjelaskan perang ideologi di antara kedua publik religius, saya menggunakan pemikiran dari Comaroff dan Comaroff (1991) mengenai ideologi dan hegemoni. Ideologi adalah sistem makna, nilai, dan kepercayaan yang diartikulasikan yang dapat diabstraksikan sebagai pandangan dunia dari kelompok sosial manapun. Ideologi adalah sebuah domain yang berada di bawah sebuah domain yang lebih superior, yaitu domain hegemoni. Dipengaruhi oleh gagasan
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Gramsci mengenai hegemoni, Comaroff dan Comaroff menerjemahkan konsep hegemoni sebagai sebuah tatanan tanda (signs) dan praktik, relasi dan pemisahan, gambar dan epistemologi yang diterima secara taklid sebagai sesuatu yang natural. Menyadur Bourdieu (1977: 167 dalam Comaroff & Comaroff, 1991), apa yang menjadi hegemoni adalah apa yang aksiomatik, sesuatu yang tidak lazim menjadi subyek penjelasan dalam suatu argumen. Kekuatannya menghalangi orang-orang untuk berpikir dan mengatakannya, hegemoni terus beroperasi dalam kesunyian. Ketika sebuah diskursus berada dalam domain ideologi, diskursus tersebut masih terus dapat direkognisi dan diartikulasikan sehingga sangat rentan dikontestasikan oleh diskursus dari kelompok lain. Sedangkan ketika diskursus berada dalam domain hegemoni, diskursus menjadi digdaya dan beroperasi dalam diam, mengatur tatanan namun tak terartikulasikan maupun terekognisi. Kembali lagi kepada pemikiran Warner yang menyatakan bahwa ketika diskursus sebuah publik diambil menjadi diskursus Publik, maka diskursus tersebut akan meregulasi tatanan Publik secara tidak terlihat, dalam arti tidak disadari oleh publik-publik yang ada di dalamnya. Dengan demikian, perang ideologi yang dilakukan oleh kedua publik religius dalam penelitian ini saya lihat sebagai upaya masing-masing publik untuk melambungkan diskursusnya dari domain ideologi ke domain hegemoni. Dalam hal ini, domain hegemoni adalah diskursus yang berlaku secara interpublik sehingga mengatur tatanan Publik. ITJ dan JIL, Pertemuan Topik Diskursif Lewat elaborasi interpretasi terhadap beberapa serial tweet yang terkait dengan kekerasan terhadap kaum minoritas Islam tertentu, saya telah melakukan pemetaan diskursus yang ada di balik artikulasi kesalehan tersebut. Di antara empat serial tweet yang diartikulasikan oleh tiga empirical author, ada beberapa topik diskursus yang menjadi titik pertemuan di dalam perang pemikiran ini. Diskursus yang pertama adalah mengenai toleransi dan pluralisme. Ulil dan Iping sepakat mengenai pengertian akan toleransi, meskipun mereka memiliki posisi yang berbeda terhadap pluralisme. Ulil menganggap pluralisme sebagai sebuah sikap yang tingkatannya melampaui toleransi dan oleh karena itu adalah sebuah tujuan baginya untuk mempromosikan masyarakat yang pluralis. Bagi Ulil, pluralisme adalah jawaban terbaik dari keberagaman yang ada di muka bumi ini.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Sikap yang plural akan membuat seseorang terbuka untuk berdialog di tengah perbedaan dengan pikiran yang terbuka. Dialog lintas kelompok ini bukan diadakan untuk mengasimilasi diri ke kelompok lain, atau dalam tuduhan yang sering menyerang pluralis, membenarkan semua hal—terutama kepercayaan— melainkan untuk saling belajar dan saling memahami satu sama lainnya di tengah perbedaan. Berbeda dengan Ulil, Iping menganggap sikap toleransi adalah sikap yang paling sesuai untuk menghadapi apa yang dinamainya pluralitas—kondisi keberagaman yang kodrati, diambil dari fatwa MUI. Jika Ulil menganggap pluralisme sebagai suatu kemajuan di atas sikap toleransi, Iping menganggap pluralisme sebagai pemikiran yang harus dilawan. Meskipun tidak tertulis di dalam serial tweetnya, penolakan Iping terhadap kehadiran Ahmadiyah dan Syiah menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan ideologi pluralisme. Diskursus mengenai pro dan kontra mengenai kehadiran Syiah dan Ahmadiyah adalah titik temu diskursif yang kedua. Berbeda dengan Ulil sang pluralis yang menganggap konten akidah Syiah dan Ahmadiyah adalah hak penganutnya— maka tidak patut untuk dinilai dan dievaluasi oleh kaum di luar penganutnya, Iping secara tegas menyatakan bahwa Syiah dan Ahmadiyah bukanlah bagian dari Islam, dan bahkan merusak Islam. Bagi Iping, Syiah dan Ahmadiyah merusak Islam karena kedua ajaran yang tidak sesuai akidah sejati dari Islam itu dapat mengaburkan mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah di dalam Islam. Sebagai sedikit ilustrasi pertentangan antara keduanya, dibawah ini adalah kutipan dari serial tweet yang disampaikan oleh Ulil maupun Iping: @ulil: Saya ingin tutup tweet siang ini dg mengatakan: Syiah adalah bagian dr Islam. Juga Ahmadiyah. Mari kita bangun toleransi internal. @m_iping: Kalau Syiah disebut Islam, kenapa harus menempatkan Ali bin Abi Tholib begitu “istimewa” dan “menyingkirkan” sahabat Abu Bakar, Umar, dll.?
Titik temu berikutnya adalah mengenai batas toleransi. Ulil menganggap bahwa golongan yang mengampanyekan kekerasan dan intoleransi adalah jenis golongan yang tidak patut untuk ditoleransi, dan bahkan patut dibubarkan. Senada dengan Ulil, Iping dan Hafidz pun memiliki standar tersendiri dalam bertoleransi. Bagi mereka setiap perbedaan dapat ditoleransi asalkan tetap sesuai dengan akidah
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
agamanya, oleh karena itulah Ahmadiyah dan Syiah yang dianggap borok dan membusuki agama Islam tidak patut ditoleransi. Peran negara menjadi satu titik temu diskursif yang terakhir. Ulil yang dipengaruhi oleh filsafat liberalnya secara tegas menolak campur tangan negara secara aktif terhadap gangguan yang tidak obyektif, seperti konten kepercayaan pada Ahmadiyah. Pada sebuah wawancara ia mengatakan bahwa menurutnya negara hanyalah penjaga malam yang boleh beraksi ketika ada gangguan obyektif seperti penyerangan terhadap rumah beribadah dan gangguan tangible lainnya. Berlawanan dengan Ulil, Iping menganggap negara semestinya bersikap tegas terhadap aliran yang menyimpang seperti Ahmadiyah dan Syiah, atau dalam kata lain turut mengatur isi konten akidah keagamaan. Lebih jauh lagi, pada serial tweet yang diartikulasikan oleh Hafidz, ia menuntut peran aktif negara dalam melakukan resolusi pembantaian kaum Islam minoritas di luar negeri, seperti Islam Palestina dan Rohingya di Myanmar. Tweet dibawah mengilustrasikan pandangan ITJ mengenai peran negara yang harus pro-aktif dalam mengatur halhal yang berhubungan dengan kelompok keagamaan: @m_iping: Bukannya pemerintah lambat mengatasi kekerasan berkedok agama, tetapi pemerintah tidak tegas terhadap faham/aliran/sekte yang menyimpang. @hafidz_ary: pemerintah indonesia harus memimpin diplomasi menekan myanmar untuk menghentikan pembantaian.12
Berkaitan dengan hal ini, fakta bahwa Ulil pernah mengatakan pada saya secara langsung bahwa seharusnya kaum mayoritas—dalam konteks agama di Indonesia maka kaum mayoritas adalah Islam—mendahulukan isu kekerasan domestik ketimbang luar negeri, menunjukkan betapa Ulil sebagai representasi JIL dan Hafiz serta Iping sebagai representasi ITJ hidup dalam semesta yang berbeda. Ulil mempunyai kecenderungan untuk membingkai pemikirannya dalam konteks menjadi seorang warga negara di sebuah negara demokrasi, sedangkan Hafiz dan Iping selalu membingkai pemikirannya dalam konteks menjadi seorang muslim di bumi. 12
Maksudnya pembantaian terhadap kaum minoritas Islam Rohingya di Myanmar.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Topik Diskursif Populer dan Kontroversi untuk Memenangkan Audiens Sepakat dengan klaim Warner, bahwa perhatian adalah hal prinsipil yang menentukan keabsahan seseorang dapat dikatakan menjadi anggota suatu publik atau tidak. Hal ini disebabkan oleh logika sederhana bahwa tanpa perhatian orang lain, sebuah artikulasi diskursus—meskipun disampaikan di ruang publik—tidak akan menjadi publik. Meskipun demikian, dalam konteks perang ideologi; keanggotaan seseorang dalam sebuah publik tidak hanya dibatasi oleh perhatiannya akan suatu publik, melainkan juga preferensi diskursifnya diantara publik yang bertikai. Karena seperti yang sudah dielaborasi sebelumnya pada bagian pemikiran Hirschkind dan Larkin, publik yang bertikai akan memiliki tendensi untuk menjadi other-oriented. Oleh karena itu, secara otomatis setiap anggota dari publik harus memperhatikan dan memahami publik yang menjadi lawannya. Pemahaman akan lawan diskursif menjadi penting untuk menciptakan diskursus yang beroposisi dengan lawannya dalam upaya setiap publik untuk terus melawan demi memenangkan perang ideologi. Kembali kepada bagaimana perhatian menjadi penting dalam sebuah konstitusi publik. Perang ideologi hanya dapat dimenangkan dengan jumlah pendukung yang banyak. Oleh karena itu, sangat esensial bagi kedua publik untuk menarik perhatian para audiens, terutama yang belum menentukan posisinya dalam perang ideologi ini. Seperti yang diungkapkan Ulil dalam sebuah wawancara saya dengannya, jika para audiens Twitternya diibaratkan sebagai partisipan pemilu; maka diskursu yang ia artikulasikan lebih ditujukan kepada mereka yang belum menentukan pilihan politiknya secara teguh (swing voters). Sederhananya, semakin banyak perhatian maka semakin besar peluang sebuah diskursus untuk mempersatukan banyak orang, semakin banyak orang yang sepakat akan satu diskursus maka semakin besar peluang suatu diskursus untuk memasuki domain hegemoni, dalam arti diskursus tersebut secara tidak terlihat meregulasi Publik dan atau dalam bahasa Bourdieu diterima secara aksiomatik tanpa dipertanyakan keabsahannya lagi. Masuknya ideologi masing-masing publik dalam domain hegemoni adalah sebuah kemenangan absolut dari perang ideologi ini.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Artikulasi diskursus dalam berbagai titik temu diskursif di antara ITJ dan JIL adalah bentuk dari perang ideologi di antara dua publik religius tersebut. Tulisan ini secara khusus menelusuri topik tweet yang berhubungan dengan topik kekerasan terhadap kaum Islam minoritas. Sepanjang tahun 2012 terjadi berbagai kasus kekerasan terhadap kaum minoritas Islam di Indonesia dan dunia. Tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah terjadi di Indonesia pada bulan Februari 2012 di Cikeusik, Banten dan juga di Cianjur, Jawa Barat. Kasus di Cikeusik menewaskan tiga jemaah Ahmadiyah. Bulan April 2012, Mesjid Baiturrahim di Tasikmalaya, Jawa Barat yang merupakan mesjid Ahmadiyah dirusak oleh sekelompok ormas Islam dan juga penduduk setempat. Bulan Oktober 2012, FPI mendatangi dan merusak mesjid Nasir di Bandung, Jawa Barat yang merupakan mesjid Ahmadiyah, penyerangan ini adalah upaya FPI untuk melarang Ahmadiyah untuk merayakan Idul Adha. Berkaitan dengan Syiah, pada bulan Agustus 2012, yaitu ketika perayaan lebaran, terjadi kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura. Sebelumnya, pada bulan Juni 2012 juga terjadi pembantaian terhadap kaum Rohingnya di Myanmar. Kasus-kasus kekerasan terhadap kaum minoritas Islam inilah yang mewarnai berita-berita media mainstream pada tahun 2012. Selain pada media mainstream, orang-orang juga berlomba-lomba menunjukkan opininya terhadap kasus-kasus kekerasan tersebut di Twitter, termasuk para interlokutor di dalam penelitian ini. Saya melihat pengambilan topik kasus-kasus kekerasan oleh interlokutor dalam artikulasi kesalehan memiliki hubungan terhadap upaya pencarian perhatian dari audiens. Kasus-kasus kekerasan memang sering terjadi, tetapi hal ini tentu saja tidak terjadi setiap hari. Oleh karena itulah, kasus kekerasan selalu menarik perhatian orang—walaupun argumen ini bisa dikritisi seiring semakin bertambahnya jumlah kasus kekerasan, sehingga kasus kekerasan pelan-pelan hanya menjadi komoditas media saja. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam konteks pertarungan ideologi, dukungan dalam bentuk afirmasi—yang membuat orang tersebut secara otomatis menjadi bagian dari publik yang disetujuinya—menjadi hal yang penting untuk membesarkan pengaruh sebuah publik, semakin banyak orang yang mendukung, maka semakin besar peluang sebuah diskursus untuk diterima secara Publik dan maka meregulasi Publik tersebut secara tidak terlihat.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Sebuah ilustrasi berbasis empiris yang dapat menunjukkan bagaimana logika ini bermain adalah diskursus mengenai eksistensi Ahmadiyah. Pro-kontra mengenai status keislaman Ahmadiyah adalah salah satu topik yang terus mewarnai pertikaian diantara ITJ dan JIL. ITJ memiliki ideologi yang menolak status keislaman Ahmadiyah, dengan alasan Ahmadiyah melakukan penistaan agama dengan memiliki kitab lain selain Al-Qur’an serta mengakui nabi lain setelah Rasul Muhammad. Sedangkan dalam ideologi JIL, Ahmadiyah tetap layak disebut Islam, karena menurut JIL—dengan pengaruh filasafat liberal—setiap orang berhak untuk mempercayai apa yang hendak mereka percayai, dan lagi pula JIL sendiri menganggap konsep penistaan agama adalah hal yang problematis— tercermin dalam diskusi akhir bulan JIL, Oktober 2012. Pertarungan ideologi mengenai keislaman Ahmadiyah ini sebenarnya tidak semata-mata berbicara tentang status keislaman Ahmadiyah semata, penolakan maupun penerimaan terhadap Ahmadiyah mencerminkan ideologi dari tiap publik tersebut. Lebih jauh lagi, penerimaan maupun penolakan mempunyai relasi diskursif dengan ideologiideologi lain dari tiap publik yang melatarbelakangi sikap mereka terhadap kasus Ahmadiyah. Misalnya mengenai finalitas Al-Qur’an, ITJ yang menganggap AlQur’an sebagai kitab suci terakhir tentu saja menolak keislaman Ahmadiyah mengingat mereka mensakralkan kitab lain selain Al-Qur’an. Sedangkan JIL yang skeptis terhadap finalitas Al-Qur’an, tentu saja tidak dapat mengklaim kumpulan puisi Mirza Ghulam sebagai literatur yang tidak absah untuk dijadikan panutan muslim. Dengan demikian, ketika seseorang menyepakati satu diskursus yang partikular dari satu publik, peluang bahwa ia kemudian akan tergabung dalam jejaring diskursus yang lebih besar dari publik tersebut tentu menjadi lebih besar. Tatanan Ideal, Modernitas dan Budaya Berkebun Elaborasi perang ideologi di antara dua publik religius dalam penelitian ini mengingatkan saya pada sebuah pemikiran yang dikeluarkan pada tahun 1989 oleh Zygmunt Bauman, seorang sosiolog terkenal. Pemikiran ini ia artikulasikan dalam bukunya yang bertemakan genosida. Pada salah satu bagian ia mengatakan bahwa genosida pada era modern disebabkan oleh hadirnya visi seorang tukang kebun dalam melihat masyarakat (1989: 91-92). Tukang kebun selalu memiliki intensi untuk membuat kebun yang sempurna secara aestetik, dan oleh karena itu
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
ia mempunyai desain sempurna dalam melakukan kegiatan berkebunnya. Ketika sang tukang kebun mendefinisikan suatu tanaman sebagai rumput liar yang tak sesuai dengan visinya tentang taman yang ideal, maka ia akan membasmi rumput liar tersebut. ITJ dan JIL adalah dua publik yang memiliki visi tukang kebun dalam melihat masyarakat. Kedua publik tersebut memiliki taman ideal yang ingin mereka wujudkan. Hadirnya visi mengenai taman ideal menyebabkan tiap publik memiliki parameter tersendiri dalam mendefinisikan apa yang tepat dan tidak tepat di dalam masyarakat. Ketika tiap publik mendefinisikan sebagian habitat sosial di dalam masyarakat sebagai rumput liar, maka mereka akan berusaha memusnahkannya. Meskipun demikian, berbeda dengan konteks pemikiran Bauman yang mengacu pada tindak genosida; dalam konteks perang ideologi apa yang dimusnahkan bukanlah suatu kelompok sosial tetapi pemikiran. Oleh karena itu, ketimbang mengatakan ITJ dan JIL berupaya melakukan tindak genosida saya lebih suka menggunakan term ideocide. Perlu diperhatikan bahwa ideocide yang saya maksud berbeda dengan ideocide yang dimaksud oleh Appadurai (2006). Bagi Appadurai (2006: 117) ideocide adalah kata yang mengacu pada fenomena pendefinisian kepada sekelompok orang, suatu negara, atau suatu cara hidup sebagai berbahaya dan berada di luar lingkaran kemanusiaan. Kelompok yang kemudian didefiniskan demikian akan sangat rawan dijadikan sebagai target yang layak untuk pembasmian. Terminologi ideocide yang saya pakai mengacu pada pembunuhan ideologi. Cide berarti “untuk membunuh” dalam Bahasa Yunani (Greek),13 sedangkan ideo saya pilih sebagai kata depan karena dalam Bahasa Latin “ideologi” diterjemahkan sebagai idelogiae.14 Dengan demikian, ideocide pada tulisan ini berarti tindak pemusnahan ideologi atau pemikiran. Dimensi materialitas ideologi dalam konteks penelitian ini adalah pengartikulasian diskursus yang mengonstitusi kedua publik religius, ITJ dan JIL; khususnya teks berupa tweet. Pendeknya, untuk saya ideocide beroperasi dalam realita intralinguistik, sedangkan dalam pengertian Appadurai pembasmian juga beroperasi dalam realita ekstralinguistik. 13
http://www.history.com/topics/what-‐is-‐genocide (terakhir diakses pada 11 Mei 2013) http://translate.google.com/#en/la/ideology (terakhir diakses pada 11 Mei 2013)
14
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
ITJ dan JIL memiliki taman idealnya masing-masing. Bagi ITJ, JIL adalah rumput liar dalam tamannya; rumput liar yang turut membantu pertumbuhan rumput liar lainnya seperti Ahmadiyah, Syiah, LGBT, dan lain-lain. Sebaliknya, untuk JIL; ITJ adalah rumput liar yang mengancam taman ideal berupa masyarakat berideologi pluralisme. Lewat artikulasi kesalehan, dua publik religius tersebut melakukan ideocide dengan menyasari satu sama lainnya. Semuanya semata-mata karena mereka tidak sepakat dalam merancang sebuah desain taman ideal. Ruang publik yang semestinya bersifat inklusif pun digubah menjadi sebuah ruang yang penuh dengan pemusnahan.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
Daftar Pustaka Buku Appadurai, Arjun. 2006 Fear of Small Numbers. London: Duke University Press. Bauman, Zygmunt. 2008
Modernity and Holocaust. Cambridge: Polity Press.
Comaroff, Jean., & John Comaroff. 1991
Of Revelation and Revolution: Christianity, colonialism, and consciousness in South Africa. Chicago: The University of Chicago Press.
Eco, Umberto. 1992
Interpretation and Overinterpretation. New York: The Press Syndicate of the University of Cambridge.
Uggla, Bengt K. 2010
Ricoeur, Hermeneutics, and Globalization. New York: Continuum International Publishing Group.
Warner, Michael. 2005
Publics and Counterpublics. New York: Zone Books.
Jurnal Akademis: Hirschkind, Charles., & Brian Larkin. 2008
“Media and The Political Forms of Religion.” Social Text, 26 (3), 3-5.
Neal, Zachary. 2010
“Seeking Common Ground: Three Perspectives on Public Space.” Urban Design and Planning, 163 (2): 59-66
Postill, John., & Pink, Sarah. 2012
“Social Media Ethnography: The Digital Researcher in a Messy Web.” Media International Australia.
Paneerselvam, S. 1994
“Metaphorical Reference in Paul Ricoeur: Philosophical Quarterly, XXI (1), 44-52.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013
A
Study.”
Indian
— 1995
“Paul Ricoeur's Hermeneutical Theory Philosophical Quarterly, XXII (2), 123-132.
of
Discourse.”
Indian
Internet: Dauenhauer, Encyclopedia
Bernard., of
David
Pellauer.
Philosophy (Winter
"Paul
2012
Ricoeur." The
Edition).
Diakses
Stanford dalam
http://plato.stanford.edu/archives/win2012/entries/ricoeur/ pada 15 Mei 2013. Frege,
Gottlob.
On
Sense
and
Reference.
Diakses
dalam
http://philo.ruc.edu.cn/logic/reading/On%20sense%20and%20reference.pdf pada tanggal 8 Januari 2013.
Dakwah 20..., Sindhunata, FISIP-UI, 2013