Dahsyatnya Kalimat Tahmid
“Allah Ta’ala tidak memberi suatu nikmat kepada seorang hamba, kemudian dia mengucapkan alhamdulillâh, kecuali Allah menilai hamba tersebut telah mensyukuri nikmat itu. Apabila dia mengucapkan alhamdulillâh yang kedua, niscaya Allah akan memberinya pahala yang baru lagi. Apabila dia mengucapkan alhamdulillâh untuk yang ketiga kalinya, niscaya Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi)
E
ntah berapa banyak kita mendengar atau mengucapkan kata “alhamdulillâh” baik di dalam shalat maupun dalam aktivitas keseharian. Namun, apakah kita paham tentang apa dan bagaimana makna yang terkandung di dalamnya? Hal ini layak untuk kita dapatkan jawabannya. Jangan sampai kita berulang kali menyebutkannya akan tetapi kita tidak memahami maknanya. Kalimat tahmid (alhamdulillâh; segala puji bagi Allah) termasuk kalimat pujian yang sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla. Rasulullah saw. sampai bersabda, “... doa paling afdhal adalah (ucapan) alhamdulillâh.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, AlHakim, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dari Jarir bin Abdullah ra.)
1
Dalam hadis lain, beliau pun bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih empat perkataan: subhânallâh (Mahasuci Allah) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah) dan lâ ilâha illallâh (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan allâhu akbar (Allah maha besar). Siapa mengucapkan subhânallâh, maka Allah akan menulis dua puluh kebaikan baginya dan menggugurkan dua puluh dosa darinya, dan siapa mengucapkan allâhu akbar, maka Allah akan menulis seperti itu juga, dan siapa mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka akan seperti itu juga, dan siapa mengucapkan alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn dari relung hatinya, niscaya Allah akan menulis tiga puluh kebaikan untuknya dan digugurkan tiga puluh dosa darinya.” (HR Ahmad) Mengapa ucapan hamdalah dipandang sangat utama sehingga, dalam banyak keterangan, dia dimuliakan di antara kalimat-kalimat pujian lainnya? Sesungguhnya, di dalam ungkapan hamdalah tercakup ungkapan zikir sekaligus permohonan kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, seseorang yang membaca hamdalah sesungguhnya tengah memuji Allah Ta’ala atas limpahan nikmat-Nya. Memuji Allah atas limpahan nikmat-Nya secara tidak langsung berarti meminta tambahan nikmat. Adapun Yang Mahakuasa telah berjanji, “Apabila kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian.” (QS Ibrahim, 14:7) *** Menurut para ahli bahasa (Arab), huruf alif lam, yang dibaca “al” pada kalimat hamdalah, dinamakan huruf “al istighrâq”. Artinya, huruf “al” yang maknanya menunjuk pada sesuatu yang luas, total, dan menyeluruh. Hal ini semisal dengan kata “bait” atau rumah. Kala kata “bait” ditambahan huruf “al” di depannya, sehingga menjadi “al-bait”, maknanya bukan lagi sekadar rumah, akan tetapi segala sesuatu yang terdapat dalam rumah tersebut, berikut halaman, pagar, dan seiisi rumah tersebut, tanpa terkecuali. Adapun kata “hamd” digunakan sebagai ungkapan terima kasih secara umum. Dengan kata lain, hamdun atau hamd adalah ucapan terima kasih secara total, baik saat mendapatkan pemberian yang tampak dan terasa ataupun yang tidak tampak. Seringkali kita hanya berterima kasih saat mendapatkan sesuatu yang riil dan langsung terasa saja, semisal saat mendapatkan uang, makanan, atau Susunan Redaksi
barang yang tidak kita dapatkan sehari-hari. Padahal, nikmat dari Allah tidak pernah putus kita rasakan, setiap detik kita nikmati limpahan nikmat dari-Nya, semisal udara, detak jantung, aliran darah, sistem kekebalan tubuh yang tidak pernah berhenti bekerja, dan lainnya. Maka, Ketika kata “al” disandingkan atau dilekatkan dengan pujian kepada Allah, makna pujian tersebut bermakna total, seluas-luasnya dan bersifat menyeluruh. Saat kita melapalkan ucapan alhamdulillâh, saat itulah kita memuji Allah secara total dan menyeluruh, bahkan tanpa batas, atas limpahan nikmat dari-Nya yang tidak bertepi. Dengan demikian, ucapan alhamdulillâh seyogyanya membuat kita semakin tawadhu lagi tunduk merendah di hadapan-Nya. Semua kemuliaan diri, kesuksesan, kekayaan, aneka kebaikan dan pencapaian duniawi, sesungguhnya hadir karena kemurahaan Allah semata. Kita tidak memiliki peran apapun tanpa izin-Nya. Maka, andai orang lain memuji kita atas “keberhasilan” yang kita raih, itu semata-mata karena Allah masih sayang kepada kita. Allah menutupi kekurangan diri kita, menampakan kebaikan kita, sehingga orang-orang menyangka kalau kitalah pemilik segala keutamaan tersebut. Padahal, semuanya adalah milik Allah dan tiada yang layak menerima pujian tersebut selain Allah. *** Oleh karena itu, tidak layak bagi kita untuk mengambil bagian dari pujian tersebut walau hanya sedikit, apalagi sampai menafikan Allah Ta’ala sebagai pemiliknya. Ketika mendapatkan kebaikan dan pujian, hal yang paling layak dilakukan adalah mengembalikan pujian tersebut kepada Pemiliknya yang hakiki. Ketika kita mengembalikan pujian kepada Allah Ta’ala, Dia pun akan memberikan ganjaran berlipat bagi kita. Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala tidak memberi suatu nikmat kepada seorang hamba, kemudian dia mengucapkan alhamdulillâh, kecuali Allah menilai hamba tersebut telah mensyukuri nikmat itu. Apabila dia mengucapkan alhamdulillâh yang kedua, niscaya Allah akan memberinya pahala yang baru lagi. Apabila dia mengucapkan alhamdulillâh untuk yang ketiga kalinya, niscaya Allah Ta’ala akan mengampuni dosadosanya.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi). ***
Penanggung Jawab: H. Dudung Abdulghani. Dewan Redaksi: Teh Ninih Muthmainnah, H. Dudung Abdulghani, Dr. Tauhid Nur Azhar, Yudi Firdaus. Pemimpin Redaksi: Emsoe Abdurrahman. Redaktur/ Reporter: Inayati Ashriyah, Abie Tsuraya. Layouter/Desainer: Mang Ule. Publikasi/Dokumentasi: Fajar Fakih, Yana Saputra. Sekretaris: Nita Yuliawati. Keuangan: Restu Ganggaswati. Marketing/Sirkulasi: Dadi Suryadi. email:
[email protected].
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 86 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-2
2
Konsultasi Teteh
Assalamu’alaikum Teteh, saya baru dua bulan menikah. Suami saya belum punya pekerjaan tetap. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami masih dibantu orangtua dan mertua. Kami tinggal di rumah orangtua saya. Beberapa hari lalu terjadi salah paham antara suami dengan orangtua, sehingga hubungan menjadi kurang harmonis. Suami saya pulang ke rumah orangtuanya. Sampai hari ini dia belum kembali ke rumah saya. Saya ingin menyusulnya, tapi takut salah langkah. Saya merasa serba salah, apa yang harus saya lakukan? Terimakasih.
Suami Minggat dari Rumah
W
a’alaikumussalam wr. wb. Dua bulan menikah, itu termasuk pengantin baru yang masih menikmati masa-masa bulan madu. Maka, amat disyangkan apabila moment penuh kebahagiaan tersebut harus dirusak dengan masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan secara baik-baik.
sikap baik sangka kepada-Nya. Kita layak untuk tetap berpikir positif khususnya kepada suami serta orangtua atau mertua. Jangan sampai ada buruk sangka dan kebencian. Yakinlah bahwa Allah Ta’ala akan menolong apabila kita serius untuk mendekat kepada-Nya.
Adalah kenyataan apabila saat menghadapi masalah, terutama masalah rumahtangga, seseorang seringkali menjadi guncang. Namun demikian, bisa jadi pula, gara-gara keguncangan tersebut, seseorang menjadi semakin erat memegang sesuatu. Seperti berlayar di lautan. Ketika suasana tenang, tanpa berpegangan pun tetap akan selamat. Sebaliknya, ketika ombak besar menghantam perahu, kita harus berusaha keras mencari pegangan agar selamat.
Maka, sebaiknya saudari penanya segera mengatasi kegelisahan atau keresahan hati. Meredam gelisah hati adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah. Apabila hati sudah tenang, cobalah untuk menyelesaikan masalah secara baik dan dengan kepala dingin. Lakukan komunikasi dan musyawarah dengan suami dan keluarga. Cari akar permasalahannya. Kalau sudah ketemu, mulailah ambil keputusan untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Jangan lupa mohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar Dia berkenan memberi kita solusi terbaik. ***
Saudariku, masalah rumahtangga yang tengah mendera adalah sebuah kesempatan untuk mendekat dan berpegang teguh kepada Allah Ta’ala. Jagalah
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 86 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-2
3
Asmaul Husna
AL-MÂNI’ Allah Yang Maha Mencegah “Barangsiapa di antara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah cegah dengan tangan, jika tidak sanggup, cegah dengan lisan, dan jika tidak sanggup cegahlah dengan hati, dan hati ini adalah selemah-lemah iman.” (HR Al-Bukhari)
A
llah adalah Al-Mâni’. Asma’ Allah Al-Mâni’ terambil dari kata dasar mana’a. Maknanya adalah “mencegah”, “menampik”, “terhalangi” atau lawan dari “memberi”. Kata ini berarti pula “membela”. Al-Mâni’ adalah kata sifat. Apabila dilekatkan kepada Allah Ta’ala, maknanya adalah Allah Yang Maha Mencegah dan Yang Maha Membela. Kata Al-Mâni’ yang menunjuk kepada Allah Ta’ala, baik dalam bentuk kata sifat atau kata dasar, tidak ditemukan dalam Al-Quran. Hal ini disebabkan karena kata Al-Mâni’ memberi kesan negatif, sedangkan AlQuran biasanya menghindarkan sesuatu yang memberi kesan negatif terhadap Allah Ta’ala. Kesan ini lebih kuat lagi setelah memperhatikan konteks ayat-ayat AlQuran yang menggunakan kata mana’a dalam berbagai bentuknya. Walau terkesan negatif, “mencegah” pun memiliki kesan positif. Misalnya, ketika Allah Ta’ala menangguhkan pengabulan doa seseorang. Penangguhan ijabahnya doa sesungguhnya didasarkan pada sifat Mahatahu Allah Ta’ala akan apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Bukankah kita sering menganggap sesuatu itu baik, sehingga siang malam kita memohonkan kepada Allah, padahal menurut ilmu-Nya Allah, apa yang kita minta akan membawa kemudharatan sehingga Dia tidak mengabulkannya.
Kata ini menunjukkan pula sifat Allah lainnya, yaitu Al-Hafîdz atau Allah Yang Maha Memelihara. Setiap pemeliharaan pasti mengandung pencegahan dan pembelaan. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa Allah Azza wa Jalla menampik sebab-sebab kebinasaan, kekurangan dalam hal keberagamaan (spiritual dan material) dengan menciptakan sebab-sebab yang menghasilkan pemeliharaan (al-hifdz). Meneladani Al-Mâni’ Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah cegah dengan tangan, jika tidak sanggup, cegah dengan lisan, dan jika tidak sanggup cegahlah dengan hati, dan hati ini adalah selemah-lemah iman.” (HR Bukhari) Melalui hadis ini, Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita akan pentingnya beramar ma’ruf nahyi munkar, di mana anjuran untuk mencegah keburukan menjadi sentral pembahasannya. Dan, hal ini sangat pas dengan proses peneladanan kita terhadap asma’ Allah Al-Mâni’. Allah adalah Zat Yang Maha Mencegah, yaitu mencegah hamba-Nya dari sesuatu yang buruk. Dengan demikian, peneladanan terhadap Al-Mâni’ menuntut seseorang untuk ambil bagian dalam mencegah hadirnya keburukan bagi diri sendiri maupun orang lain, baik melalui tangannya (kekuatan, kekuasaan), lisan, taupun hatinya. ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 87 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-3
4
Mutiara Kisah
Nabi Isa dan Anak Buta
A
lkisah, Nabi Isa as. melewati sebuah sungai dan beliau melihat sejumlah anak tengah bermainmain di sana. Di antara mereka ada seorang anak yang buta. Anak-anak itu kemudian menceburkan temannya yang buta ini ke sungai. Setelah itu, mereka berlarian ke sana kemari, sementara anak yang buta itu menangis dan meminta tolong. Beliau sangat kasihan dengan apa yang dialami anak itu. Maka, Nabi Isa as. pun berdoa kepada Allah agar kebutaan anak itu dihilangkan. Allah Ta’ala mengijabah doa Nabi Isa as. Seketika itu pula si anak yang buta ini bisa kembali melihat. Penglihatannya pulih dan kembali normal layaknya anak-anak yang lain. Namun, apa yang terjadi? Setelah bisa melihat, dia langsung mengejar teman-temannya itu dan
menangkap salah seorang dari mereka. Dia kemudian menenggelamkannya di sungai sampai temannya itu meninggal. Anak-anak yang lain pun ketakutan sehingga langsung melarikan diri. Melihat kejadian tersebut, Nabi Isa as. terperanjat. Dia berkata, “Ya Rabb, Engkau memang lebih tahu tentang (apa yang terbaik bagi) makhluk-Mu.” Beliau kemudian berdoa agar Allah Ta’ala berkenan mengembalikan keadaan si anak seperti semula. Allah Ta’ala pun berfirman kepadanya, “Aku sudah memberitahumu, tetapi engkau keberatan atas ketentuan dan pengaturan-Ku.” Nabi Isa as. pun langsung bersujud memohon ampun kepada-Nya. (Dikutip dari Air Mata Cinta Pembersih Dosa, Ibnul Jauzi, hlm. 233). ***
INFO TEBAR WAKAF Program Tebar Wakaf Al-Quran pada minggu ke-3 September 2016 dilaksanakan di seputaran kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. Pelaksanaan tebar wakaf di kota Bandung dilaksanakan di Masjid Ibnu Sina, Cilengkrang, Bandung dan Madrasah Miftahul Arifin Babakan Irigasi, Pasir Koja, Bandung (14/09). Mushaf yang dibagikan dikedua tempat ini berjumlah 250 eksemplar. Adapun di Sumedang, tebar wakaf dilaksanakan di Pesantren Darul Munawwir dan Madrasah Khairul Ummah (15/09), Jumlah mushaf yang dibagikan dikedua tempat ini sebanyak 200 eksemplar. ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 87 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-3
5
Kutipan Buku
Doa Orang yang Terzalimi
S
audaraku, ingatlah selalu bahwa setiap perbuatan pasti akan kembali kepada pelakunya. Jika itu perbuatan baik, kebaikanlah yang akan mendatanginya. Namun, jika itu perbuatan buruk, keburukan pulalah yang akan kembali kepadanya. Salah satu bentuk perbuatan buruk adalah berbuat zalim kepada orang lain, entah itu dengan mengambil harta miliknya dengan batil, menyakitinya dengan kata dan perbuatan, atau merusak nama baiknya. Oleh karena akibat buruk yang ditimbulkannya, Rasulullah saw. sampai harus berwasiat kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau bersabda, “Takutlah kepada doanya orang yang terzalimi karena doanya akan dikabulkan oleh Allah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim) Seorang pujangga pun berkata, “Janganlah berbuat zalim hanya karena dirimu merasa kuat. Sesungguhnya, jika berbuat zalim engkau akan menyesal. Kedua matamu akan tertidur sedangkan orang yang dizalimi terus terjaga. Dia berdoa kepada Allah, dan Allah itu tidak pernah tidur.” Dan ketahuilah saudaraku, “Ada dua macam dosa yang Allah Ta’ala dahulukan siksanya di dunia, yaitu al-baghyu dan durhaka kepada orangtua.” (HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ath-Thabrani). Al-baghyu adalah berbuat zalim, aniaya, atau sewenang-wenang terhadap orang lain. Dan, termasuk al-baghyu yang paling dimurkai Allah Ta’ala adalah berbuat zalim kepada istri sendiri. Itulah mengapa, Rasulullah saw. mengukur tinggi rendahnya martabat seorang lelaki dari cara dia bergaul dan memperlakukan istrinya. “Tidak memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia. Dan, tidak pula merendahkan wanita kecuali lelaki yang rendah pula.” (HR At-Tirmidzi) Spesifikasi Buku: Judul Buku Penulis Ukuran Harga
: Obat Gelisah Hati : Teh Ninih Muthmainnah : 13x19 cm / 270 Hlm. : Rp 50.000
* Pemesanan Hubungi: Tlp/WA : 0838.2090.5097 PIN BB : 24D267E8 – 5E9C13E8
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 87 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-3
6
Program Qurbani Menyambut momentum Idul Adha 1437 Hijriyah, Yayasan Tasdiqul Quran menyelenggarakan Program Qurbani (Qurban bagi Santri Penghapal Al-Quran). Program ini diselenggarakan untuk memfasilitasi kaum Muslim yang hendak menitipkan hewan kurban untuk para santri penghapal Al-Quran. Alhamdulillah, melalaui program ini, TasQ mendapatkan titipan dari para donatur, berupa satu ekor sapi dan 14 ekor domba. Hewan kurban ini disumbangkan kepada sejumlah pesantren dan madrasah yang ada di Cijulang, Banten, Bandung, Bogor, Majalaya dan Nusa Tenggara Timur (NTT). ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 87 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-3
7
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 87 | SEPTEMBER 2016 | MINGGu ke-3
8