Edisi I / Desember 2012
DAFTAR ISI PSIKOLOGI ULAYAT Sarlito Wirawan Sarwono RESILIENSI DAN ALTRUISME PADA RELAWAN BENCANA ALAM Gloria Gabriella Melina, Aully Grashinta, Vinaya ANALISIS HOPE PADA ATLET BULUTANGKIS INDONESIA JUARA DUNIA ERA ’70 & ’90 Esther Widhi Andangsari, Pingkan C.B. Rumondor KESENJANGAN ASPIRASI KARIR ANTARA REMAJA DAN ORANGTUA Entin Nurhayati SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PEGAWAI NEGERI SIPIL MENGHADAPI PENSIUN Christian, Clara Moningka PERILAKU INOVATIF Rusdijanto Soebardi PENGARUH GAYA BERPIKIR, INTEGRITAS DAN USIA PADA PERILAKU KERJA YANG KONTRAPRODUKTIF Mira Permatasari DINAMIKA PSIKOSOSIAL ISTRI SEBAGAI PEKERJA SEKS KOMERSIAL SEIJIN SUAMI Asep Guntur RahayuTatie Soeranti
1 17
25 37
45 57
75 89
STRATEGI COPING PEREMPUAN KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN “EYSENCK” Devi Jatmika
107
PENGARUH STRES INTERNAL DAN STRES EKSTERNAL PADA COPING DIADIK NEGATIF Yonathan Aditya Goei
119
PENGAJARAN NILAI TOLERANSI USIA 4-6 TAHUN Miwa Patnani PENGARUH PERSPEKTIF WAKTU (TIME PERSPECTIVE) TERHADAP KUALITAS RELASI SOSIAL Evanytha
131
139
Daftar Isi
ii
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
PSIKOLOGI ULAYAT Sarlito Wirawan Sarwono Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI Jalan Diponegoro 74, Jakarta 10310
[email protected] Abstract Classical psychology tends to be conservative. It deals merely with universal theories concerning individual processes. The trend towards more social oriented paradigms started when European psychologists Serge Moscovici raised the issue of social representation (1961), and Henrri Tajfel and Turner published their theories on Social Identity (1979). Psychology is no longer individual. It is related to social and cultural environment. Each group, race or ethnic has its own psychology, which is relevant to their respective context. In 1933, an Asian Psychologist, Uichol Kim and his European colleague John Berry initiate the term indigenous psychology that is defined as ”the scientific study of human behavior or mind that is native, that is not transported from other regions, and that is designed for its people”. Since there is no matching Indonesian word for “indigenous”, in an Indonesian Social Psychology Association Conference held at the University of Indonesia, Jakarta, in 1999, I coined the word “ulayat”. I borrowed the term from anthropology and the adat (traditional) law that means almost similar to Kim and Berry definition of “indigenous”. This article discusses the history, the development of theories and application of this new field in psychology in Indonesia. Keywords: social psychology, cultural psychology, Asian psychology indigenous psychology Abstrak Psikologi klasik cenderung konservatif, yang lebih banyak berurusan dengan teoriteori tentang proses-proses individual dan yang bersifat universal. Kecenderungan kepada paradigma sosial, berawal ketika psikolog-psikolog Eropa, Serge Moscovici meluncurkan gagasannya tentang reprentasi sosial (1961) dan Henrri Tajfel dan Turner mempublikasikan teori mereka tentang identitas social (1979). Psikologi tidak lagi semata-mata individual, namun terkait dengan lingkungan sosial dan kebudayaan. Setiap kelompok, ras atau etnik, jadinya punya psikologinya sendiri yang relevan dengan konteks kehidupan masingmasing. Di tahun 1933 seorang psikolog Asia, Uichol Kim dan sejawatnya orang Eropa, John Berry mencetuskan istilah indigenous psychology yang didefiniskannya sebagai “studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Karena tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous”, maka dalam sebuah Konges Ikatan Psikologi Sosial di Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1999, saya mencetuskan kata “ulayat”. Saya meminjam istilah itu dari antropologi dan hukum
1
Psikologi Ulayat
adat, karena artinya sangat mirip dengan definisi Kim and Berry tentang “indigenous”. Tulisan ini membahas sejarah, pengembangan teori dan terapan bidang psikologi baru ini di Indonesia. Kata kunci:. Psikologi sosial, psikologi budaya, psikologi Asia, psikologi ulayat
PENDAHULUAN Di Indonesia sering timbul pertanyaan, mengapa umat Indonesia yang terkenal sangat soleh beragama juga sangat tinggi angka korupsinya? Jelas, gejala itu bukan diimpor dari Barat, seperti halnya pergaulan bebas atau musik rock metal. Di Barat, pergaulan bebas atau musik rock mungkin saja marak, tetapi angka korupsi hampir nol. Padahal mayoritas orang Barat tidak taat beragama, bahkan ada yang sama sekali tidak beragama. Menurut “logika” orang Indonesia, yang taat beragama tidak mungkin melakukan hal-hal yang dilarang agama, sebaliknya orang yang mengabaikan agama adalah sebesar-besarnya kemungkinan dia berbuat dosa. Kenyataannya, media massa di sekitar bulan Juli 2012 ramai memberitakan tentang korupsi pengadaan Al Qur’an senilai puluhan milyar rupiah yang dilakukan oleh seorang anggota DPR dari komisi agama bersama oknum-oknum dari Kementerian Agama. Sudah tentu ini tidak masuk akal orang Indonesia, sehingga memerlukan penjelasan. Tetapi sulit menjelaskan gejala ini dengan teori-teori psikologi klasik, seperti Behaviorisme dan Psikologi Kognitif. Kedua teori itu mendalilkan bahwa harus ada konsistensi antara reward dan punishment (Behaviorisme), atau antar elemen-elemen kognitif dalam minda1 seseorang (Psikologi Kognitif) dengan perilaku seseorang. Padahal dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak sekali inkonsistensi seperti itu. Jika perilaku semata-mata ditinjau dari analisis psikologi Barat, khususnya Amerika Serikat, sulit memahami berbagai hal, termasuk di antaranya mengapa Hitler yang sangat religius bisa berbuat sadis dengan membunuhi jutaan umat Yahudi di Jerman. Psikolog Carl Rogers, yang juga seorang teolog, merasa gagal untuk mencari penjelasan tentang fenomena Hitler dengan menggunakan paradigma psikologi Bahaviourisme, yang pernah dipelajari dari gurunya J.B. Watson, melalui eksperimennya dengan tikus-tikus di laboratorium. Karena itu, ia mengembangkan paradigma baru dalam psikologi yaitu Psikologi Humanistik (Rogers, 1965). Rogers (1977, p15) melihat manusia sebagai: “capable of evaluating the outer and inner situation, understanding him/herself in its context, making constructive choices as to the next steps in life, and acting on those choices”. Dari situlah psikolog mulai melihat manusia sebagai sutau fenomena individual yang utuh, tidak terbagi-bagi ke dalam berbagai segmen sebagaimana dipercaya oleh teoriteori sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, psikologi memang lahir di Barat. Sebagian literatur tentang sejarah psikologi, mengakui Wilhelm Wundt, profesor filsafat dari Universitas Leipzig, Jerman, sebagai Bapak Psikologi, karena dia mendirikan laboratorium psikologi pertama di dunia pada tahun 1879 (Sarwono, 1980; Bringmann, Balance & Evans, 1975; Smith, 1982; Titchener, 1921; Butler-Bowdon, T , 2007). Sosok Wundt yang dokter pakar ilmu faal yang kemudian membelok ke bidang filsafat adalah cerminan dari sejarah panjang psikologi yang sudah berawal dari era para filsuf Yunani kuno (Socrates, Plato dan Aristotreles, + 400 SM), dilanjutkan oleh para filsuf era gereja abad XIII (Thomas Aquinas), lanjut ke era Renesance abad XVII (John Locke dan Rene Descartes) yang mulai menggeser metode filsafat logika deduksi menjadi metode ilmu pengetahuan empirik induktif, dan diteruskan lagi oleh para filsuf 1
2
Dalam bahasa Indonesia, istilah “mind” biasanya diterjemahkan dengan “jiwa”, yang juga bisa berarti soul. Untuk membedakannya dalam bahasa Malaysia mind diterjemahkan dengan kata “minda”, sedangkan soul diterjemahkan dengan “ruh”, sedangkan “jiwa” bisa meliputi kedua-duanya. Untuk tulisan ini saya mengadopsi istilah Malaysia ini ke dalam bahasa Indonesia.
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
empiris sejati seperti, masih di abad yang sama, John Locke dan di abad-abad berikutnya, antara lain James Mill (abad XVIII) dan anaknya, John Stusart Mill (abad XIX). Sementara itu, pada abad ke XVIII dan XIX juga, penelitian-penelitian dalam bidang ilmu faal2 dan kedokteran terus berkembang dengan ditemukannya berbagai hal seperti pusat-susunan syaraf pusat dan tepi, pusat sensoris dan motoris, reflex dan sebagainya (Robinson, 1929; Rice, 1987; Hans, 1994; Hall 1832; Müller, 1840; Pavlov, 1927). Perkembangan filsafat dan ilmu faal pada waktu itu menuntut penelitian empirik untuk mendasari teori-teori dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah, Wundt yang tertarik pada gejala-gejala minda, terus bereksperimen di laboratoriumnya dengan meneliti gejala-gejala persepsi dan emosi. Sampai pada suatu saat ia mengetahui bahwa sebagian persepsi, seperti ilusi, tidak bisa diterangkan dengan ilmu faal. Perbedaan antara persepsi dan data obyektif (misalnya, sendok dalam gelas tampak seakanakan bengkok) adalah hasil aktivitas minda, bukan lagi hasil persepsi. Maka ia pun mengklaim bahwa sejak itu laboratoriumnya adalah laboratorium Psikologi, bukan laboratorium ilmu faal lagi. Sejak itu pula Wundt mengembangkan penelitian-penelitian pada tingkat minda yang lebih tinggi seperti memori dan perilaku kelompok (Sarwono, 1980). Pada sisi lain, ada sejumlah literatur yang lebih menganggap William James, profesor filsafat dari Universitas Harvard, sebagai Bapak Psikologi (Richardson, 2006). Sama halnya dengan Wilhelm Wundt, William James juga mengawali pendidikan tingginya dalam ilmu kedokteran, dan khususnya mendalami ilmu faal. Namun kemudian ia tertarik kepada filsafat, menjadi asisten dosen ilmu filsafat, kemudian berpindah ke psikologi, menjadi guru besar psikologi dan menjabat sebagai ketua jurusan psikologi pada tahun 1889 (dianggap sebagai tahun lahirnya psikologi sebagai ilmu mandiri di AS), dan kembali menjadi guru besar filsafat sampai akhir masa baktinya. Tetapi berbeda dari Wundt, James tidak terkait dengan sejarah psikologi di Eropa. Seperti kaum bangsa Eropa umumnya yang bermigrasi ke Amerika beberapa waktu sebelumnya, William James berasal dari keluarga yang meninggalkan Eropa karena berbagai masalah yang terjadi di Eropa ketika itu, khususnya masasalah diskriminasi terhadap etnik dan sekte agama tertentu. Karena itu para migran sengaja memutuskan hubungan emosional, termasuk kesejarahan dari nenek moyang mereka di Eropa. Orang Amerika eks migran Eropa ini kemudian menjadi orang-orang yang berpaham pragmatik, yaitu lebih mengutamakan praktik, manfaat, atau terapan dari suatu hal, dari pada membahas teori-teorinya. Begitu juga halnya dengan William James. Karena itu karya-karya ilmiahnya meliputi berbagai bidang yang sangat beragam, seperti Pragmatism, Pluralistic Universe, The Meaning of Truth, Philosophy of Religion, dan sebagainya (Bazun, 1938; Myers, 2001) Teori-teori Psikologi Klasik Pasca Wundt, perkembangan psikologi sebagai ilmu empirik berjalan pesat. Penelitian-penelitian tentang persepsi dan kognisi membuahkan berbagai aliran, khususnya di Jerman. Di antaranya yang paling berpengaruh terhadap perkembangan sejarah psikologi di kemudian hari adalah Psikologi Gestalt, yang menyatakan bahwa persepsi terjadi karena aktivitas minda, dan minda mempersepsikan stimulus-stumulus di sekitarnya sebagai keseluruhan. Itulah yang menyebabkan kera bernama Sultan, di laboratorium Wolfgang Köhler, mampu menyambung dua tongkat yang terpisah untuk meraih pisang di luar kandangnya (Köhler, 1956). Salah satu tokoh Psikologi Gestalt, Kurt Lewin, kemudian mengembangkan teori Psikologi Gestalt ini menjadi teori Lapangan, atau biasa disebut juga dalam
2
Ilmu faal mempelajari fungsi dari organ-organ tubuh, khususnya syaraf dan kelenjar-kelenjar. Berbeda dari Anatomi, yang mempelajari struktur dan bagian-bagian tubuh. Kedua ilmu ini merupakan ilmu-ilmu dasar dari ilmu kedokteran.
3
Psikologi Ulayat
bahasa Indonesia dengan teori Medan (Field theory), yang menyatakan bahwa minda bukan saja aktif, melainkan berisi sistem kognitif yang berfungsi secara tertentu, mengikuti sistem tertentu, sehingga perilaku manusia bisa diprediksi, bahkan diintervensi, baik secara individual maupun dalam kelompok (Lewin, 1943). Sementara itu, dari Austria, berkembang sebuah aliran psikologi lain yang juga akan sangat berpengaruh dalam sejarah psikologi dunia, yaitu Psikoanalisis dari Sigmund Freud. Freud, yang seorang neurolog, penah belajar teknik hipnosis untuk menyembuhkan pasien-pasien histeria dari neurolog Perancis Jean Martin Charcot (Goetz, 1987), menyimpulkan, bahwa dengan teknik hipnosis itu sebenarnya dokter sedang menjelajahi alam ketidaksadaran pasien (unconsciousness), dan untuk itu tidak perlu pasien dihipnosis dulu. Dokter bisa melakukannya dengan teknik wawancara tertentu yang dinamakan oleh Freud sebagai teknik Psikoanalisis. Bersamaan dengan itu, Freud mengembangkan pula teori Psikoanalisis (Freud, 1940; Freud dkk, 1954), yang kemudian diteruskan oleh penganutpenganutnya seperti Carl Gustav Jung, Alfred Adler, dan putri Sigmund Freud sendiri, Anna Freud (Sarwono, 1980). Dengan demikian di Eropa (khususnya Jerman dan Austria) berkembang dua aliran utama psikologi, yaitu yang berbasis “Kognisi” dan yang berbasis “Ketidak-sadaran”. Sayangnya perkembangan Psikologi selanjutnya tidak terjadi di Eropa. Dikejar Nazi yang anti Yahudi, Freud hijrah ke Inggris, sedangkan Köhler dan Lewin pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat sudah terlebih dahulu ada E.B. Titchener, murid Wundt (bukan orang Yahudi, tetapi Skotlandia) yang pindah ke Amerika untuk menerjemahkan karya-karya Wundt di AS. Dialog-dialog antar para pakar psikologi migran dengan pakar-pakar Amerika Serikat sendiri, termasuk Wiiliam James dan John Broadus Watson menyebabkan psikologi di AS maju pesat, sehingga menghasilkan teori-teori yang umumnya bersifat behavioristik, kognitif, dan terapan (pragmatik) sampai sekarang. Publikasipublikasi, jurnal dan buku-buku psikologi, terbitan APA (American Psychological Association) bukan hanya terbaik, melainkan juga terbanyak di dunia. Tidak mengherankan jika Psikologi sedunia sekarang sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Amerika Serikat. Walaupun demikian, aliran-aliran psikologi Eropa seperti Strukturalisme dari Wundt (Carpenter, 2005) yang mengutamakan “anatomi” dari minda, dan Psikoanalisis (Strachey dkk, 1999) yang mengupas psikodinamika dari alam ketidaksadaran-subkesadaran-kesadaran, maupun Id-Ego-Superego, tidak berkembang di AS. Psikoanalisis lebih berkembang di kalangan dokter psikiatri, tetapi tidak di kalangan psikologi3. Titchener gagal mengajarkan Wundt-isme, sedangkan Frued juga tidak berhasil mempoplerkan Psikoanalisis di AS. Orang AS lebih pragmatik dan lebih suka yang kasat mata dan terukur, karena dianggap lebih obyektif. Karena itu yang berkembang di AS, dan kemudian menjadi aliran yang mendominasi dunia adalah Fungsionalisme yang dipelopori oleh William James (1981) dan Behaviorisme dengan tokohnya J.B. Watson (1913) dan B.F Skinner (Holland & Skinner, 1961). Teori-teori Psikologi Kontemporer Walaupun demikian, terbukti aliran psikologi versi AS tidak terlalu berhasil menjelaskan gejala manusia seurtuhnya. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, Carl Rogers yang belajar psikologi dari Watson, tidak bisa memahami karakter Hitler dari eksperimen tikus-tikus di laboratoriumnya. Begitu pula sejak Perang Dunia II, AS sudah terlibat dalam berbagai perang teritorial, mulai dari perang Korea dan Vietnam, sampai perang Irak dan Afghanistam, tak sekalipun AS memenangkan perang. 3
4
Sejak 1976 sampai sekarang hampir setiap tahun saya mengikuti kongres-kongres psikologi internasional, yang didominasi oleh organisasiorganisasi dan pakar-pakar psikologi Amerika Utara. Selama itu hampir tidak pernah saya menemukan sesi tentang psikoanalisis atau psikodiagnostik. Yang banyak adalah paparan hasil penelitian kuantitatif dan psikometri. Padahal di Indonesia, teknik psikodiagnostik, test proyeksi, yang dasarnya adalah teori Psikoanalisis, masih sangat popular.
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
Pasalnya, tentara AS tidak pernah mencoba memahami psikologinya orang lain yang menjadi lawan perangnya. Karena itu di tahun 1970an tentara Amerika berperang di Vietnam dengan mengenakan baju pelindung dan topi baja, serta membawa ransel seberat puluhan kilogram untuk melawan pejuangpejuang Vietnam bertopi caping, berpakaian baju hitam-tipis, bersandal jepit dan bersembunyi di guagua sempit, dan tentara AS kalah. Sementara itu, di Eropa perkembangan psikologi Pasca Perang Dunia II berjalan terus. Psikoanalisis berikut teknik terapi dan psikodiganostik test proyeksinya tetap berkembang. Salah satu penganut Psikoanalisis di Perancis adalah Roseline Davido yang mengembangkan sebuah tes proyeksi gambar tangan, yang dinamakannya ChaD (Child Hand Drawings) (Davidio,1994). Test ini, saya terapkan di Jakarta, bekerja sama dengan Davido, dibantu oleh tim psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, untuk memeriksa kepribadian sejumlah mantan teroris, dan membandingkannya dengan sejumlah siswa SMA. Hasil penelitian mengungkapkan sejumlah perbedaan konten gambar dan proses menggambar antara subyek di Eropa (Perancis) dan Indonesia (Jakarta), sedangkan di Indonesia sendiri nyata perbedaannya antara subyek mantan teroris dan siswa SMA. Hasil penelitian ini dipublikasikan menjadi sebuah buku dalam bahasa Perancis (Sarwono, 2012a). Yang sangat nyata dari penelitian tersebut adalah besarnya pengaruh budaya pada hasil test dan karenanya diperlukan pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan dari subyek yang bersangkutan bagi psikolog yang hendak menginterpretasi hasil tesnya. Dengan perkataan lain, psikologi sudah harus memperhatikan Psikologi Budaya dan Psikologi Lintas Budaya untuk memahami kepribadian seseorang. Tetapi dalam praktik psikologi zaman sekarang, psikolog tidak hanya dituntut untuk bekerja dalam tataran individu saja, melainkan juga pada taraf sosial. Meminjam istilah pakar Psikologi Ekologi, Urie Bronfenbrenner (1979), manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan mikro, exco dan makronya. Pandangan psikolog Rusia ini mewakili pandangan psikolog-psikolog Eropa yang berkembang di tahun 1970an, yaitu bahwa Psikologi bukan lagi studi tentang individu semata (persepsi, asosiasi, kognisi, emosi, psikodinamika dll), melainkan merupakan studi tentang manusia sebagai representasi kelompok kecilnya, atau manusia sebagai orang yang diidentifikasikan dengan kelompoknya. Serge Moskovici, seorang psikolog Romania, mengatakan bahwa dalam diri setiap individu terwakili ciri-ciri kelompok minoritas di mana dia menjadi bagiannya. Seorang Muslim berbeda dari seorang Kristen atau pengikut Nazi, karena pengaruh lingkungan kecilnya (Moscovici, dkk., 1969; Moscovici & Markova, 2006). Sedangkan psikolog Inggris kelahiran Polandia, Henry Tajfel, mengatakan bahwa orang cenderung mengidentifikasikan diri orang lain kepada kelompok dari mana dia berasal. Dari sinilah timbul prasangka yang kerap mewarnai interaksi sosial (Taffel, 1974). Psikologi Lintas Budaya Sejak pertengahan abad XX sampai sekarang, suatu era yang ditandai dengan makin canggihnya teknologi perhubungan dan komunikasi, pertukaran informasi antar bangsa pun berjalan makin sering dan makin lancar. Organisasi-organisasi psikologi nasional, regional maupun internasional bermunculan dan mereka berkongres setahun4, dua tahun5 atau empat tahun6 sekali. Fitur-fitur internet seperti e-mail, Facebook, Website, Blog dan sebagainya makin lama makin canggih dengan real time, sehingga interaksi antar berbagai aliran, paradigma atau pemahaman psikologi antar bangsa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia-Pasifik, bahkan Afrika berlangsung dengan sangat cepat, yang menyebabkan saling pengaruh antar berbagai paham dan teori psikologi. Stewart Carr (Carr,1996), 4 5 6
Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia), APA (American Psychological Association), ICP (International Council of Psychologists). APsyA (Asian Psychological Association), ACCP (Association of Cross Cultural Psychology) IUPsyS (International Union of Psychological Society), IAAP (International Association of Applied Psychology)
5
Psikologi Ulayat
misalnya, melaporkan gejala motivational gravity yang ditemukannya di daerah Sub-Sahara Afrika, yaitu di mana seseorang tidak seyogyanya terlalu menonjol di lingkungan sosialnya. Jika ada yang terlalu menonjol, maka lingkungan sosialnya akan menariknya kembali ke bawah, seperti halnya daya tarik bumi yang menyebabkan buah apel dari pohon jatuh menimpa kepala Newton. Gejala ini ternyata merupakan gejala umum di Asia (Jepang, Indonesia), tetapi tidak umum di negara-negara Barat. Pertukaran jurnal pun lebih sering terjadi, dan saling kutip antar jurnal dan buku text antar negara menggeser dominasi publikasi AS. Pengembangan ilmu pun sekarang tidak hanya melalui publikasipublikasi ilmiah cetak, melainkan bisa melalui publikasi elektronik, e-Books dan e-Journals, dan juga seminar-seminar ilmiah. Dalam suasana seperti itulah mulai berkembang Psikologi Budaya dan Psikologi Lintas Budaya. Psikologi budaya adalah cabang yang tidak memisahkan minda dan budaya, sehingga sebuah teori yang dikembangkan dalam salah satu budaya belum tentu bisa menjelaskan gejala yang sama dalam konteks budaya lain. Salah satu peneliti terkemuka dalam Psikologi Budaya, Richard Shweder mendefinisikan Psikologi Budaya sebagai “...the study of the way cultural traditions and social practices regulate, express, and transform the human psyche, resulting less in psychic unity for humankind than in ethnic divergences in mind, self, and emotion” (1991, p. 72). Dengan perkataan lain, Psikologi Budaya adalah pskologi yang dipelajari dalam konteks budaya tertentu (Handayani, 2008; Triandis, 1989; Markus & Kitayama, 1991, 2003). Psikologi Budaya, berbeda dari Psikologi Lintas Budaya. Jika Psikologi Budaya mempelajari psikologi dalam konteks budaya tertentu (relativitas), Psikologi Lintas Budaya membandingkan antar budaya, apakah sebuah teori atau dalil psikologi berlaku sama di berbagai budaya yang bermacammacam jenisnya. Misalnya, apakah Oedipoes Complex dari Psikoanalisis Freud berlaku juga di budayabudaya lain di luar Austria di era awal abad XX, atau apakah tingkat-tingkat perkembangan kognitif dari Piaget atau perkembangan moral dari Kohlberg berlaku secara universal. Perkembangan psikologi lintas budaya semakin marak. Tokoh-tokoh psikologi AS mulai banyak yang meminati psikologi lintas budaya, karena banyaknya migran asing yang bermukim di AS (Asia, Hispanik, Afrika dll) yang memiliki pola perilaku berbeda-beda sesuai dengan etnik dan agamanya masing-masing, juga berbeda dari perilaku main stream penduduk AS yang mayoritas kulit putih dan Kristen. Maka dibentuklah Divisi 52 (International Psychology) di lingkungan APA (American Psychological Association). Banyak psikolog AS anggota Divisi 52 ini yang juga aktivis organisasi psikologi internasional seperti ICP (International Council of Psychologists) dan ICOPE (International Conference of Psychology Education). Organisasi-organisasi ini yang anggotanya adalah psikologpsikolog dari berbagai negara di dunia merupakan ajang yang sangat efektif dalam melintas-budayakan psikologi AS. Saya sendiri melalui ICP sudah menulis 4 artikel dalam buku-buku internasional terbitan AS (Sarwono, 2004b, 2004c, 2005,2007b) dan satu artikel melalui ICOPE (Sarwono, 2011a). Interaksi akademik antar bangsa dalam bidang Psikologi Lintas Budaya nampak dalam deretan publikasi yang ditulis baik oleh orang non-AS, orang AS kerurunan asing, maupun orang AS sendiri. Peneliti-peneliti non-Amerika Serikat antara lain adalah David Y. Ho (Ho & Wu, 2001) yang berasal dari Hong Kong, Çigdem Kağitçibaşi (Smith, Bond & Kağitçibaşi, 2006; Kim dkk, 1994; ) dari Turki, van de Fons (Fons & Leung, 1997) dan Hofstede (2001) dari Belanda, Y.H. Poortinga (Berry, Poortinga & Pandey, 1997; Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1992), dan Kim Uichol (Kim dkk, 1994) dari Korea. Yang warga negara AS keturunan asing antara lain adalah Uwe Gielen (Gielen & Roopnarine, 2004; Gielen, Draguns & Fish, 2008) yang keturunan Jerman, dan H.R. Markus yang keturunan Yahudi-Inggris dan S. Kitayama yang keturunan Jepang (Markus & Kitayama, 1991;
6
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
2003). Sedangkan yang “asli”7 Amerika Serikat antara lain adalah Richard Shweder (1991) dan Henry C. Triandis (Triandis,1989; Kim dkk, 1994). Pakar psikologi Lintas Budaya Indonesia yang pernah belajar langsung dari Triandis adalah Suwarsih Warnaen (1979). Psikologi non-Barat Sementara itu, di luar psikologi Barat (Eropa dan Amerika), psikologi juga berkembang mengikuti jalurnya sendiri. Karena tidak lahir dan bertumbuh kembang di Barat, maka psikologi nonBarat seringkali tidak terlihat atau tidak terdengar. Publikasi-publikasi yang didominasi oleh Barat, hampir tidak pernah memuat tulisan-tulisan tentang psikologi non-Barat, karena dianggap di luar pakem mereka. Di era zaman keemasan Islam (abad IX-XIII) pertemuan antara ilmu kedokteran dan filsafat menghasilkan apa yang disebut Ilm al Nafs atau ilmu Jiwa. Proses sejarahnya analog dengan pertemuan ilmu kedokteran dan filsafat di era Wilhelm Wundt dan William James sepuluh abad kemudian di Eropa dan Amerika Serikat. Alhazen atau nama lengkapnya Abū Alī al-Hasan ibn al-Hasan ibn alHaytham (965-1040), adalah salah satu pakar Islam ketika itu yang banyak meneliti tentang persepsi optik, mendahului peneliti-peneliti ilmu faal sebelum Wundt seperti von Helmholtz. Karya-karya peneliti yang lahir di Iraq dan wafat di Mesir ini antara lain adalah Mizan al-Hikmah (Balance of Wisdom) dan Kitab al-Manazir (Book of Optics) (Mahmoud, 2004). Seorang dokter-filsuf lainnya (sama seperti Wundt dan James) pada masa itu adalah Ar Razi. Nama lengkapnya Muhammad ibn Zakariyā Rāzī, dalam bahasa Inggris disebut sebagai Rhases atau Rasis (Ar Razi, Ar Razi dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Muhammad_ibn_Zakariya_al-Razi). Dia lahir dan hidup di Persia (865-925), serta banyak sumbangannya kepada ilmu kedokteran. Karyanya dalam ilmu Metafisika (Filsafat), pernah diteliti oleh seorang mahasiswa S3 UIN8 , dan ternyata ia mempunyai teori tentang jiwa yang struktur dan fungsinya analog dengan Id, Ego dan Superego dari Freud (Nasution, 1995). Ia juga menulis tentang Psikologi Kematian, yang sekarang ini jadi salah satu best sellernya Komaruddin Hidayat9 (2008). Psikologi Islam, dari sejarah kebudayaannya, merupakan turunan dari filsafat Barat. Pengaruh filsafat Yunani Kuno, khususnya Aristoteles dalam pemikiran filsuf Islam besar sekali. Islam dan agamaagama Ibrahim yang berasal dari Timur Tengah (Yahudi, Kristen), misalnya, percaya kepada klasifikasi mahluk (tanaman, hewan dan manusia) yang tidak bisa saling dipertukarkan, seperti yang ditulis oleh Aristoteles dalam bukunya De Anima (On the Soul) (Lewes, 1864). Berbeda dengan kepercayaan dan agama-agama di Timur yang bersumber pada filsafat India dan Cina, bahwa ada manusia-kera (Ramayana), manusia dewa (Semar dalam wayang), reinkarnasi (manusia yang jahat menjadi hewan dalam kelahiran yang berikut) atau mahluk jadi-jadian (babi ngepet dsb). Klasifikasi seluruh hal di alam jagat raya dikembangkan oleh Aristoteles berdasarkan hukum All or None, dalam teori logikanya yang artinya, tidak mungkin sesuatu itu adalah “X” dan sekaligus bukan “X” (Bocheński, 1951; Gill, 1989). Pandangan Islam tentang jiwa juga sejalan dengan pemikiran Aristoteles yang kemudian dianut oleh filsuf John Locke (filsuf Inggris, 1632-1754) dalam teori Tabula Rasa-nya10 (Locke, 1996). Tidak mengherankan jika kemudian ada persamaan pemikiran antara Ar Razi dan Freud, dua orang dokter 7
Sebenarnya sulit menentukan yang asli dan tidak asli di Amerika Utara, karena hampir semua orang Amerika adalah imigran, kecuali keturunan Indian. 8 Abdullah Farouk Nasution, doktor dari Program Pasca Sarjana UIN (dulu IAIN). Saya adalah salah seorang kopromotornya. 9 Komaruddin Hidayat adalah Guru Besar Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta (waktu tulisan ini dibuat sedang menjabat Rektor UIN Jakarta), yang banyak menulis tentang psikologi dari sudut pandang Islam, 10 Jiwa digambarkan sebagai sebuah papan tulis (tabula rasa). Akan jadi apa papan tulis itu, tergantung pada apa yang akan dituliskan di papan tulis itu. Analog dengan tabula rasa, akan menjadi apa jiwa itu, tergantung pada pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh oleh jiwa ybs.
7
Psikologi Ulayat
yang mempelajari minda yang masa hidupnya terpisah 10 abad. Bahkan sebagian orang berpendapat (dan saya setuju dengan pendapat ini) bahwa kebangkitan kebudayaan Eropa, berikut kebangkitan ilmunya dari kekangan gereja yang selama “abad kegelapan” menguasai Eropa, adalah akibat masuknya kembali pemikiran-pemikiran maju dari pemikir-pemikir Islam dalam zaman keemasan Islam. Tetapi setelah pemikiran-pemikiran Islam masuk ke Psikologi Barat, justru Psikologi Islam tidak berkembang lebih lanjut. Tokoh-tokoh yang menyebut dirinya pakar Psikologi Islam (sebagian saya kenal pribadi) berasal dari negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan dan Bangladesh, tetapi mereka lebih banyak bicara tentang Psikologi (Barat) ditinjau dari kacamata Islam, bukan psikologinya Islam itu sendiri. Begitu juga di Indonesia. Sebagian dari komunitas psikolog muslim Indonesia mencoba mengangkat psikologi versi Islam ini ke permukaan. Di lingkungan Himpsi sudah terbentuk Asosiasi Psikologi Islami. Buku-buku dan disertasi tentang Psikologi Agama (Islam) sudah banyak dipublikasikan, di antaranya oleh Nasution (1995), Komaruddin Hidayat (2008), Ramayulis (2002) dan Jalaluddin (2008). Tetapi buku-buku itu ditulis oleh pakar teologi Islam (Nasution, Hidayat, Ramayulis) atau ilmu Komunikasi (Jalaluddin), bukan peneliti psikologi. Maka benarlah kata-kata yang ditulis Jalaluddin di sampul bukunya, bahwa buku Psikologi Agama adalah untuk “memahami perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi” (Jalaluddin, 2008). Kalau hanya itu saja, maka tetap sulit memahami perilaku manusia yang kebetulan beragama Islam. Dari pengalaman saya selama mengajar sebagai profesor tamu di Universiti Malaya (2008), saya mengetahui dari para mahasiswa maupun mahasiswi saya bahwa mereka jauh lebih toleran terhadap poligami, dari pada wanita-wanita di Indonesia pada umumnya (khususnya isteri saya). Bagaimana dengan minda wanita muslim di Arab atau di Pakistan, yang begitu taatnya pada suami dan senang saja untuk disuruh tinggal di rumah, berhenti dari pekerjaannya (walaupun banyak pembantu rumah tangga), bahkan hidup serumah dengan madu-madunya. Di Indonesia belum ada wanita yang protes karena selalu harus sholat di belakang laki-laki, dan tidak pernah dibolehkan menjadi imam dalam sholat campur jenis. Di New York sudah ada sholat Jumat yang diimami orang wanita, yang tentu saja menimbulkan kontroversi. Semua itu harus dijelaskan dengan mempelajari psikologinya orang islam itu sendiri, bukan dengan menggunakan teori-teori impor dari Barat, apalagi Amerika. Berdasarkan pengalaman saya selama meneliti para mantan teroris di Indonesia, saya merasa juga makin perlunya psikologi Islam. Apa makna jihad fi sabilillah, syahid atau mujahid, yang sampai bisa mendorong seseorang untuk melakukan teror atau bahkan sampai melaksanakan bom bunuh diri, harus dipahami melalui Psikologi Islam (Sarwono, 2012b). Psikologi Ulayat Salah satu literatur yang khas psikologi ulayat adalah buku tentang Psikologi orang Cina yang ditulis oleh Bond (2010). Buku itu mengupas tentang topik-topik dalam Chinese psychology, seperti: What is Chinese about Chinese psychology? Who are the Chinese in Chinese psychology? Socio emotional development in Chinese children. The thinking styles of Chinese people. Banyak definisi tentang psikologi ulayat (Ratner, 2008; Enriquez, 1990; Kim & Berry, 1993; Kim, Kuo-Shu & Kwang-Kuo, 2006). Salah satunya yang menurut saya bisa mewakili yang lain adalah definisi yang diajukan oleh Kim & Berry sebagai berikut: “Indigenous psychology is the scientific study of human behavior or mind that is native, that is not transported from other region and that is designed for its people.” (Kim & Berry, 1993: 2; Kim, Kuo-Shu & Kwang-Kuo, 2006: 5).
8
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
Dengan demikian Psikologi Ulayat adalah cabang psikologi yang mempelajari perilaku dan minda suatu kelompok budaya yang bukan diimpor dari luar, melainkan lahir dan berkembang dalam kelompok itu sendiri, merupakan hasil kesepakatan dari nenek moyang, para pendahulu dan para sesepuh, diteruskan turun-temurun, dari generasi ke generasi secara getok-tular, tidak ada dokumen legal, dan tidak ada cetak birunya. Misalnya, kita di Indonesia, tidak suka mengirim orangtua ke Panti Wreda (tempat perawatan untuk orang-orang lanjut usia). Selagi bisa, anak-anak akan merawat sendiri orangtuanya di usia lanjutnya sampai wafat. Akan timbul perasaan kasihan, tidak tega dan tidak terhormat bagi orang Indonesia kalau mengirim orangtua ke Panti Wreda. Sebaliknya di Belanda, banyak apartemen khusus untuk Manula (Manusia Usia Lanjut), yang dihuni oleh kaum Manula dan mereka senang tinggal di sana, karena bisa bersosialisasi dengan teman-teman seusia. Perasaan terhadap orangtua seperti yang kita rasakan di Indonesia tidak terdapat di pada orang-orang Belanda, apalagi di etnik Eskimo, di Kutub Utara. Manula di sana dihantarkan ke tengah padang salju, berikut perlengkapan berburu, dan ditinggalkan begitu saja agar dia bisa berburu untuk selamanya di padang perburuan abadi (Bertens, 2007). Mengenai kata indigenous psychology itu sendiri bukanlah asli bahasa Indonesia. Psikologi Indonesia mengimpornya dari luar. Seperti sudah diuraikan di atas, awal mula indigenous psychology adalah dari psikolog-psikolog di Barat, yang mulai menyadari bahwa ada psikologi lain, psikologi yang “bukan kita (Barat)”, psikologi yang tidak universal, psikologi yang harus dipahami dari konteks khusus, yaitu konteks waktu, lokasi, lingkungan alam dan lingkungan sosial serta budaya setempat. Karena itulah padanan atau terjemahan kata yang pas untuk indogenous psychology dalam bahasa Indonesia tidak ada. Ada yang mencoba menerjemahkannya dengan “Psikologi Asli”, tetapi kata “asli” bisa diartikan sebagai pembeda antara psikologi yang benar-benar ilmiah, dan pengetahuan lain yang diklaim sebagai psikologi (Phrenologi, Palmistri, Tarot, Para psikologi dsb). Pada diri psikolognya sendiri ada pembedaan antara lulusan S1 Psikologi dan Magister Profesi Psikologi (psikolog asli) dan yang lainnya, yang bukan psikolog asli (S1 non-MPsi, S2 dan S3 Psikologi yang S1nya non-Psi, sarjana Bimbingan dan Konseling lulusan Prodi Pendidikan dsb). Pilihan lain untuk menerjemahkan kata Indigenous psychology adalah Psikologi Pribumi. Tetapi istilah yang berasal dari Native Psychology ini sulit diterapkan di Indonesia. Seperti di AS, hampir semua penduduk Indonesia adalah pendatang, dan campuran antar berbagai ras dan etnik. Istilah Native Psychology di Amerika Utara (AS dan Kanada) digunakan untuk etnik Indian dan Australia untuk etnik Aborigin. Di Indonesia, mungkin istilah ini hanya berlaku untuk suku Anak Dalam di Jambi, etnik Papua, atau Bali Aga. Karena itu saya memilih kata Ulayat. Istilah ini saya adopsi dari khasanah ilmu Hukum, khususnya hukum adat, yaitu yang menyangkut Tanah Ulayat atau Hak Ulayat. Pengertian Hak Ulayat dapat disimak dalam buku-buku Hukum Adat (antara lain: Lukito, 2008; Sumardjono, 2001; Wiryani, 2009; Saptono, 2010) dan Undang-undang (UU tentang Agraria No. 5.29/1950; UU Pokok Agraria No. 5/1960; UU tentang Otonomi Khusus bagi Papua, No 21/2001), yang intinya adalah sebagai berikut: Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut adat, dimiliki oleh masyarakat adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (UU Agraria tahun 1950)
Kata kunci yang perlu diperhatikan dalam kutipan di atas adalah “memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Salah satu contoh praktik adat ulayat adalah sistem persawahan Subak di Bali.
9
Psikologi Ulayat
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali (Subak, http://id.wikipedia.org/ wiki/Subak)
Prinsip itulah yang berlaku dalam Indigenous Psychology, sehingga saya memilih kata Ulayat sebagai terjemahan dari Indigenous dalam konteks cabang Psikologi yang sangat partikular (khusus) ini. Psikologi Ulayat, memang seringkali dikaitkan dengan kelompok budaya etnis, suku bangsa atau bangsa. Tetapi sekarang perusahaan pun diklaim mempunyai budaya (corporate culture). Begitu juga institusi-institusi dalam masyarakat (budaya PNS, budaya tentara, budaya mahasiswa, budaya LSM dsb.). Para dosen yang pernah mengajar di kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan kampus perguruan tinggi umum, misalnya, akan merasakan bagaimana perbedaan budaya antara kedua kampus itu. Seperti halnya kelompok etnis, kelompok-kelompok non-etnis itu mengembangkan isi dan proses mindanya sendiri yang membedakannya dari kelompok lain. Bahkan jender pun punya psikologinya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Setyadi (2011) misalnya, menemukan bahwa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh para suami terhadap isterinya adalah akibat suatu gangguan kejiwaan yang disebut alexithymia, yaitu sejenis perasaan depresi, rendah diri dan irasionalitas pada suami terhadap isterinya, yang berkembang secara tidak disadari akibat peran pria dalam masyarakat dengan budaya dominasi pria yang berlaku hampir di seluruh dunia, khususnya di dunia Timur, termasuk Indonesia. Penelitian-penelitian Psikologi Ulayat yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain adalah tentang psikologi orang Batak dan tentang psikologi orang Bugis. Irmawati (2007; 2008) meneliti nilai-nilai adat Batak yang menyebabkan anak-anak orang Batak rata-rata menjadi sarjana dan maju karirnya, walaupun berasal dari orangtua yang miskin, sedangkan Tamar (2008) meneliti nilai-nilai adat Bugis yang menyebabkan orang Bugis menjadi pengusaha sukses sampai ke sebranglautan dan tersebar ke seluruh Nusantara. Saya sendiri mengkompilasi beberapa penelitian tentang prasangka oleh para mahasiswa saya yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku (Sarwono, 2006c). Dalam penelitian-penelitian itu diungkapkan antara lain bagaimana orang Indonesia berprasangka dalam bidang politik, jender dan seks, serta bagaimana prasangka terhadap militer dan Presiden Megawati. Selain itu saya menulis dan memaparkan makalah dalam berbagai topik lain tentang psikologi Ulayat seperti sexologi (Sarwono,2002; 2011b), psikologi Asia (Sarwono,2003; 2009; 2010a; 2010b), perempuan (Sarwono,2004a), tsunami Aceh (Sarwono,2005), dan wayang (Sarwono,2006a; 2006b; 2007a). Literatur lain yang bisa dikategorikan sebagai literatur psikologi ulayat di Indonesia, adalah tentang Psikologi orang Jawa yang ditulis oleh psikolog dan budayawan, asal Jawa Tengah, Darmanto Yatman (Yatman,1997; 2004) yang mengupas psikologi di balik legenda Bathara Guru, Dewa Ruci, Nyi Blorong, Semar, dan nilai-nilai kaum priyayi yang dikaitkan dengan karya-karya Panembahan Senopati, Ranggawarsita, psikoanalisisnya Sigmund Freud dan psikologi Humanistiknya Carl Rogers.
PENUTUP Kontradiksi dan diskusi antara pendekatan etic dan emic sudah berlangsung sejak Aristoteles membahas tentang konsep universal dan partikular dalam logika. Kebenaran universal berlaku untuk partikular, tetapi kebenaran partikular tidak berlaku untuk universal. Kalau diketahui bahwa semua
10
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
orang menginterpretasi penginderaannya, yang disebut “persepsi”, maka saya, atau tetangga saya, atau sopir Metro Mini pasti ber-persepsi tentang lingkungannya. Itulah etic. Tetapi persepsi yang bagaimana? Persepsi saya sebagai orang yang besar di Jawa Tengah tentang wayang, tentu berbeda dari persepsi orang lain yang tidak dibesarkan di Jawa Tengah. Sesama wanita Muslimah di Malaysia dan Indonesia punya persepsi yang berbeda tentang poligami. Itulah Emic. Kata orang Emic, kebenaran tidak akan berarti apa-apa kalau tidak sampai ke tingkat kelompok yang terkecil, bahkan sampai ke individu, karena gejala awal dalam psikologi adalah pada individu. Individu adalah subyek jadi ilmu psikologi adalah ilmu yang subyektif. Sedangkan orang Etic bilang, kalau semua ditarik sampai ke tingkat individual, maka di mana letak obyektivitas ilmunya? Ilmu harus obyektif, yang artinya harus berlaku umum, terlepas dari siapa yang mengalami dan siapa yang meneliti. Memang kita tidak bisa meninggalkan hukum-hukum, teori-teori dan dalil-dalil yang bersifat etic, yang memang selama ini berkembang di Barat. Tetapi ketika akan mempraktikkannya di lapangan, mau tidak mau kita harus memperhatikan kondisi dan situasi lingkungan setempat, yang berarti emic. Pada Kongres Ikatan Psikologi Sosial yang pertama pada tahun 1999, di Kampus UI, Depok, saya mencanangkan istilah Psikologi Ulayat ini. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika saya masih menjabat Dekan di Fakultas Psikologi UI, Mata Kuliah Psikologi Lintas Budaya, yang di dalamnya termasuk Psikologi Ulayat, menjadi mata kuliah wajib, dan sejak saya menjadi Dekan di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI pada tahun 2009, mata kuliah Psikologi Lintas Budaya menjadi mata kuliah wajib untuk Program Studi Magister (Sains dan Profesi) dan Doktor Psikologi. Maksud dan tujuan mempelajari psikologi ulayat tentunya bukan untuk menafikan psikologi umum, melainkan hanya memberi peluang kepada para peneliti dan praktisi untuk bisa lebih memahami manusia secara utuh, sesuai dengan struktur dan proses mindanya masing-masing yang mau tidak mau tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan, sosial dan budaya setempat. Untuk itulah Jurnal Psikologi Ulayat ini diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Barzun, J (1983) A strolls with William James, Harper and Row. Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (1992). Cross-cultural psychology: Research and applications. Cambridge: Cambridge University Press. Berry, J. W., Poortinga, Y. H., & Pandey, J. (Eds.).(1997). Handbook of cross-cultural psychology (2nd ed., Vols. 1–3). Boston: Allyn & Bacon. Bertens, K. (2007) Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bocheński, I. M. (1951). Ancient Formal Logic. Amsterdam: North-Holland Publishing Company. Bond, Michael Harris (2010), The Oxford Chinese Psychology, Oxford: Oxford University Press Bringmann, W.G.; Balance W D, Evans R B (July, 1975), Wilhelm Wundt 1832-1920: a brief biographical sketch, Journal of the history of the behavioral sciences 11 (3): 287-297. Butler-Bowdon, T (2007) 50 Psychology Classics, London: Nicholas Brealey Publishing. Carpenter, Shana K (August 2005). “Some neglected contributions of Wilhelm Wundt to the psychology of memory.”. Psychological reports 97 (1): 63–73 Carr, Stewart C. (1996), Social Psychology and Culture: Reminders from Africa and Asia. In H. Grad, A. Blanco & J. Georgas (Eds.). Key issues in cross-cultural psychology (pp. 68-85), Lisse, Netherlands: Swets & Zeitlinger
11
Psikologi Ulayat
Davido, R.D. (1994) The Childhood Hand that Disturbs projective test, Westpoer, USA: Preager Enriquez, Virgilio G. (1990), Indigenous Psychology: A book of readings, Manila: Philippine Psychology Research Training House Freud, Sigmund (1940), An outline of Psychoanalyisis (Abriβ der Psychoanalyse) Freud, Sigmund ed. Marie Bonaparte, Anna Freud, & Ernst Kris (1954) The Origins of Psychoanalysis: Letters to Wilhelm Fliess: Drafts and Notes 1887-1902, New York : Basic Books pages 238239 Fons van de, and Leung, Kwok (1997) Methods and Data Analysis for Cross-Cultural Research. Thousand Oaks, California: Sage Gielen, U. P., Draguns, J. G., & Fish, J. M. (Eds.) (2008). Principles of multicultural counseling and therapy. New York City, NY: Routledge. Gielen, U. P., & Roopnarine, J. L. (Eds.).(2004). Childhood and adolescence: Cross-cultural perspectives and applications. Westport: CT: Praeger. Gill, Mary Louise. (1989). Aristotle on Substance: The Paradox of Unity. Princeton: Princeton University Press. Goetz, Christopher (1987). Charcot, the Clinician. New York: Raven Press. Hall, Marshall (1832), On the Reflex Function of the Medulla Oblongata and the Medulla Spinalis. Hans, L/ F. (June, 1994), Franscois Magendie (1783-1855), Journal of Neurology, Neurosurgery, Psychiatry, 57 (6) 692, Hidayat, Komaruddin (2005), Psikologi Kematian, Jakarta: Hikmah Ho, D. Y. F., & Wu, M. (2001). Introduction to cross-cultural psychology. In L. L. Adler & U. P. Gielen (Eds.), Cross-cultural topics in psychology (pp. 3–13). Westport, CT: Praeger. Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage. Holland, James G.; Skinner, B. F. (1961), The analysis of behavior: A program for self-instruction, New York, NY, US: McGraw-Hill. Irmawati (2007) Nilai-nilai yang mendasari motif-motif penentu keberhasilan suku Batak Toba (studi psikologi ulayat), Disertasi: Universitas Indonesia, Jakarta Irmawati (2008) Pemberdayaan kearifan lokal melalui pendekatan psikologi ulayat untuk pembangunan bangsa, Pidato Pengukuhan Guru Besar Psikologi Sosial, Universitas Sumatera Utara, Medan Jalaluddin (2008), Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali James, William, (1981), Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907), Hackett Publishing Kim, Uichol & Berry, John W. (1993), Indigenous Psychology, Research and experience in cultural context, NY: Sage Publications Kim, U., Triandis, H. C., Choi, S. C.,Kağitçibaşi, Ç., & Yoon, G. (red),(1994). Individualism and collectivism: Theory, method, and applications. Thousand Oaks, CA: Sage. Kim, Uichol, Kuo-Shu Yang & Kwang-Kuo Hwang (red), (2006), Indigenous and Cultural Psychology, NY: Springer Science + Business Media Inc.
12
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
Köhler, Wolfgang. (1956). The mentality of apes. London: Routledge and K. Paul. (translated from the 2nd revised edition by Ella Winter) Lewes, George Henry (1864). Aristotle: A Chapter from the History of Science, Including Analyses of Aristotle’s Scientific Writings Lewin, Kurt. (1943). Defining the “Field at a Given Time.” Psychological Review. 50: 292-310 Locke, John (1996) An Essay Concerning Human Understanding, Kenneth P. Winkler (ed.), Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company Lukito, Ratno (2008) Hukum sakral dan hukum sekuler, Jakarta: Alvabet Mahmoud, Al Deek, (2004), “Ibn Al-Haitham: Master of Optics, Mathematics, Physics and Medicine”, Al Shindagah (November–December 2004) Markus, H.R.; Kitayama, S. (1991). “Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation”. Psychological Review 98 (2): 224–53. Markus, H.R.; Kitayama, S. (2003). “Culture, Self, and the Reality of the Social”. Psychological Inquiry 14 (3): 277–83. Moscovici, Serge & Markova,Ivana (2006) The Making of Modern Social Psychology: The Hidden Story of How an International Social Science was Created. Cambridge and Oxford: Polity Press. Moscovici, Serge, Lage, E. And Naffrenchoux, M. (1969) “Influences of a consistent minority on the responses of a majority in a colour perception task”, Sociometry, Vol.32, pp. 365–80. Cited in Cardwell, M. And Flanagan, C. (2003) Psychology AS The Complete Companion, Nelson Thornes Műller, Johannes Pieter (1840) Handbuch der Physiologie des Mensen, diterjemahkan oleh William Bily, 1843, London Myers, G.E., (2001) William James: His life and Thought, Yale University Nasution, Abdullah Faruq (1995), Filsafat Manusia, Teori dan Implementasinya Dlm Analisis Psikologi: Studi Perbandingan antara konsep Ar-razi dan Sigmund Freud, Disertasi: Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Pavlov, Ivan Petrovich (1927) Conditioned Reflexes: an investigation of the psychological activity of the cerebral cortex, diterjemahkan oleh G.V. Anrep, London: Oxford University Press Ramayulis (2002) Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya Ratner, Carl (2008), Cultural Psychology, Cross Cultural Psychology and Indigenous Psychology, NY: Nova Science Publication Rice, G. (April 1987), The Bell-Magendie-Wolker controversy, Medical History, 31 (2) 190-200 Richardson, R.D., (2006), William James: In the maelstrom of American modernism, Houghton, Miffin. Robinson, Victor (ed) (1929) Bell’s law within the description of Bell’s palsy, including a brief discussion about Charles Bll, 1774-1842, The Modern Home of Physician, a new encyclopedia of medical knowledge, NY: VM H. Wise & Co. Rogers, Carl R. (1965). A humanistic conception of man. In R.E. Farson (ed.) Science and human affairs. California: Science and Behavior Books Inc Rogers, Carl R. (1977). Carl Rogers on personal power. N.Y.: Delacorte Press.
13
Psikologi Ulayat
Saptono (2010) Hukum dan Kearifan lokal, Revitalisasi Hukum, Adat Nusantara, Jakarta: Grasindo Sarwono, Sarlito Wirawan, (1980), Berkenalan dengan tokoh-tokoh dan aliran-aliran Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang. Sarwono, Sarlito Wirawan, (2002), Cultural aspects of Sex, Paper, Congress of Indonesian Sexology Association, Denpasar, Bali Sarwono, Sarlito Wirawan, (2003), Globalization, the Revolution of Mind and Social Psychology in Asia, 5th Biennial Conference of Asian Association of Social Psychology, Manila Sarwono, Sarlito Wirawan, (2004a), Women in Indonesia, Paper, International Congress of Cross Cultural Research, San Jose, CA, USA Sarwono, Sarlito Wirawan, (2004b), Violence in Indonesia dalam L.L. Adler & F. Denmark (red) International Perspectives on Violence, Westport, Connecticut: Praeger (Ch. 6, pp 95-110) Sarwono, Sarlito Wirawan (2004c), Psychology in Indonesia, dalam M.J. Stevens & D. Wedding (red) Handbook of International Psychology, New York: Brunner-Routledge (Ch. 27, pp. 453486) Sarwono, Sarlito Wirawan, (2005), The Role of Psychology in rehabilitation of Aceh Tsunami Victims, Annual Convention of ICP (International Council of Psychologists), Fox de Iguazu, Brazil Sarwono, Sarlito Wirawan, (2005a),Families in Indonesia, dalam J. L. Roopnarine & U.P. Gielen (red) Families in Global Perspective, Boston: Pearson (Ch. 7, pp. 104-119) Sarwono, Sarlito Wirawan, (2006a), Wayang as a Reflection of Javanese way of thinking, Journal of ASIA-PACIFIC Forum, East West Center Association, Indonesia Chapter, 1 (1) Sarwono, Sarlito Wirawan, (2006b), Gods and Goddess in Wayang and Greek Mythology, 1st Convention of APsyA (Asian Psychological Association), Bali, Indonesia Sarwono, Sarlito Wirawan (2006c), Psikologi Prasangka Orang Indonesia, Jakarta: Rajawali pers. Sarwono, Sarlito Wirawan, (2007a), Wayang as reflection of Asian way of life, International Convention of Asian Studies. KL, Malaysia Sarwono, Sarlito Wirawan, (2007), What is in their minds? The Psychology of suicide bombers in Indonesia, dalam Comunian, A.L. & Roth, R. (red), International perspectives in Psychology: Proceedings of the 64th Annual International Council of Psychologists, July 10-13, 2006, Kos, Greece, Aachen: Shaker Verlag, 413-419 Sarwono, Sarlito Wirawan, (2009), A variance in Psychology: Asian Psychology, International Council of Psychologists, Mexico City Sarwono, Sarlito Wirawan, (2010a), Towards an Asian Psychology: Learning from Indonesian experience, International Conference of Psychology Education, Sydney, Australia Sarwono, Sarlito Wirawan, (2010b), Symposium on the psychology of Asian terrorism, International Conference of Applied Psychology, Melbourne Sarwono, Sarlito Wirawan, (2011a), An Indonesian Perspective on Psychological Literacy, dalam Cranney, J. & Dunn, D.S. (red), The Psychologically Literate Citizen: Foundations and Global Prespectives, Oxford: Oxford University Press Sarwono, Sarlito Wirawan, (2011b), Sexual behavior in indonesia nowadays: Data of premarital and extramarital sex, National Symposium and Workshop on Sexology 2011, Indonesian Association of Sexology, Jakarta, Oct 30, 2011
14
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 1–16
Sarwono, Sarlito Wirawan, (2012a), Déradicalisation de la personalité d’ex-terroistes, à l’aide du Davido-ChaD, 10 cas d’ex-terroristes indonésiens, Paris: Edlivre Sarwono, Sarlito Wirawan (2012b), Terorisme di Indonesia: Dalam pandangan psikologi, Jakarta: Alvabet.
Setyadi, H. (2011). Irasionalitas peran jender, depresi maskulin, dan alexithymia pada suami sebagai faktor risiko perilaku kekerasan terhadap istri, Disertasi, Universitas Indonesia Strachey, James, Anna Freud, Alix Strachey dan Alan Tyson (penerjemah), (1999) The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, 24 jilid, Vintage. Smith, Peter B., Bond, Michael Harris and Kağitçibaşi,Cigdem (2006), Understanding Social Psychology Across Cultures. Thousand Oaks, California: Sage Sumardjono, Maria S.W. (2001) Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Kompas Tajfel, H. (1974). Social identity and intergroup behaviour. Social Science Information, 13, 65-93. Tamar, Muhamad (2008), Nilai Motivasi Wiraswasta pada pengusaha Bugis, Disertasi, Universitas Indonesia. Triandis, H.C. (1989). “The self and social behavior in differing cultural contexts”. Psychological Review 96 (3): 506–20. Titchener, Edward Bradford (1921), Wilhelm Wundt, The American Journal of Psychology, 32 (2) Warnaen, Suwarsih (2002) Stereotip etnis dalam masyarakat multietnis, Jakarta: Matabangsa Watson, J. B. (1913). Psychology as the Behaviorist Views it.Psychological Review, 20, 158-177. Wiryani, Fifik (2009) Reformasai Hukum Ulayat: Penyatuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta: Setara Press Yatman, Darmanto (1997), Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Yatman, Darmanto (2004), Psikologi Jawa Jangkep, Semarang: Limpad Internet: Ar Razi dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_ibn_Zakariya_al-Razi, diunduh 11 Juli 2012 Hak Ulayat dalam http://sukatulis.wordpress.com/2012/04/25/hak-ulayat-dan-contohnya/, diunduh 15 Juli 2012 Handayani, Christina, (2008), Kuliah Psikologi Budaya 1, http://christina5handayani.multiply.com/ calendar/item/10043/Kuliah-Psikologi-Budaya-1?&show_interstitial=1&u=%2Fcalendar%2F item, diunduh 11 Juli 2012 Hukum Adat dalam http://hukum.kompasiana.com/2012/01/17/tanah-ulayat-warisan-kusut-nenekmoyang/, diunduh 15 Juli 2012 Subak dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Subak_(irigasi), diunduh 15 Juli 2012 Tanah Ulayat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat, diunduh 15 Juli 2012
15
Psikologi Ulayat
Undang-undang: UU No.5.29/1950 tentang: Agraria UU No. 5/1960 tentang: Agraria UU No. 21/2011 tentang: Otonomi khusus bagi Papua
16
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 17–24
RESILIENSI DAN ALTRUISME PADA RELAWAN BENCANA ALAM Gloria Gabriella Melina Aully Grashinta Vinaya Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa Jakarta Selatan 12640
[email protected] [email protected] [email protected] Abstract Indonesia is among countries that are vulnerable to natural disasters. Volunteer is someone who has a desire to help others without expecting reward or known as altruism (Myers, 1999). If you see the volunteers, which is expected of individuals who have the capacity to survive even in a difficult situation in a state of disaster. Capacity is referred to as resilience (Maddi & Khoshaba, 2005). Therefore, this study aims to determine the relationship between altruism with resilience. Participants in this study were 100 volunteers who are members of an Non Government Organization (NGO). Methods of data collection use a scale of resilience and altruism. By using a quantitative approach and the concept of descriptive correlation study Pearson product moment correlation, the result showed that there is a positive and significant correlation between resilience and altruism (r = .448, p < .01) of volunteer. This is means that the higher the resilience, the higher the altruism, vice versa, the lower the resilience, the lower the altruism that is owned by a natural disaster volunteer. Keywords: volunteer, altruism, resilience. Abstrak Indonesia adalah termasuk negara yang rentan akan bencana alam. Relawan adalah seseorang yang mempunyai hasrat untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau dikenal dengan istilah altruisme (Myers, 1999). Jika melihat relawan, yang diharapkan adalah individu yang mempunyai kapasitas untuk bertahan meskipun berada dalam keadaan yang sulit dalam keadaan bencana. Kapasitas tersebut disebut dengan resiliensi (Maddi & Khoshaba, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dengan altruisme. Responden dalam penelitian ini adalah relawan bencana alam yang tergabung dalam Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) sebanyak 100 orang. Metode pengumpulan data menggunakan skala resiliensi dan altruisme. Dengan menggunakan menggunakan pendekatan kuantitatif dan konsep penelitian deskriptif korelasional Pearson product moment didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi anatara variabel tersebut adalah sebesar .448 dan signifikan pada level
17
Resiliensi dan Altruisme pada Relawan Bencana Alam
.01 (p=.000). Hal ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel resiliensi dengan altruisme pada relawan bencana alam, maka, semakin tinggi tingkat resiliensi, semakin tinggi pula tingkat altruismenya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi, semakin rendah pula altruisme yang dimiliki relawan bencana alam. Kata kunci: relawan, altruisme, resiliensi.
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang termasuk rentan akan bencana alam. Bisa dikatakan bahwa Indonesia langganan bencana alam, seperti yang paling sering terjadi adalah tanah longsor, banjir, gempa bumi, letusan gunung merapi dan tsunami. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama kurun waktu 5 tahun (2004-2009), Indonesia telah dilanda bencana alam sebanyak 4.408 kali yang terdiri dari 71 gempa bumi, dua di antaranya mengakibatkan tsunami, selain itu 24 bencana letusan gunung, 469 tanah longsor, 1.916 banjir, 158 banjir disertai tanah longsor, 1.083 bencana kekeringan, 580 angin topan dan 105 gelombang pasang (Alamendah, 2010). Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24, 2007). Kerusakan infrastruktur dan berkurangnya populasi manusia yang menjadi korban luka-luka bahkan kematian menjadi dampak yang paling terlihat. Relawan adalah seseorang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta, dan yang lainnya) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, ataupun kepentingan maupun karier (Tobing, Nugroho, & Tehuteru, 2008). Hal-hal yang dapat dilakukan relawan pada saat bencana antara lain rescue (penyelamatan), evakuasi mayat, pelayanan kebutuhan pangan dan sandang, pelayanan kesehatan, mengajak anak-anak korban bencana untuk bermain atau pemulihan sosial psikologis, logistik, serta pendataan. Dengan kondisi Indonesia yang sangat rawan akan bencana, beberapa LSM pun gencar mencari para relawan yang diharapkan sewaktu-waktu dapat dengan cepat diterjunkan ketika bencana datang. Menjadi relawan bukanlah hal yang mudah karena memutuskan untuk menolong korban bencana alam membutuhkan kekuatan yang besar. Mereka secara drastis dihadapkan oleh realita mengenaskan yaitu bencana alam yang menimbulkan banyak korban. Ketika terjun ke medan bencana, relawan harus memiliki keterampilan praktis agar bisa bertindak secara strategis, seperti kondisi psikologis yang kuat secara fisik maupun mental dan berani untuk menghadapi situasi bencana. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk langsung berhadapan dengan situasi yang tidak tenang seperti pasca bencana. Melihat fakta di lapangan, seperti mengangkat dan mencari mayat-mayat korban bencana alam akan memberikan dampak psikologis yang besar bagi seorang relawan. Selain merasa terpanggil untuk menolong sesama, menjadi seorang relawan juga harus memiliki kekuatan mental untuk bisa mengevakuasi korban-korban yang luka atau meninggal termasuk memberi pendampingan serta terlibat penuh dalam lingkungan pasca bencana dan lain sebagainya. Menjadi relawan bukan hanya mengangkat korban-korban bencana alam saja, namun juga harus mengatasi kondisi keterbatasan fisik, emosi dan mental. Keterbatasan seperti makanan yang seadanya dan kekuatan
18
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 17–24
fisik yang terbatas, pada akhirnya seorang relawan bukan hanya harus menyumbangkan tenaganya untuk menolong korban bencana alam, namun juga harus mampu menolong dirinya sendiri. Pengaruh usia juga berperan penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada kehidupannya. Pada masa dewasa awal dengan rentang umur 20 sampai 40 tahun, individu mencapai puncak perkembangan fisik, intelektual, serta peran sosial (Hurlock, 2000). Individu juga mampu mengatur pemikiran formal operasional dengan baik sehingga memungkinkan untuk merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah yang dihadapi. Ketika menghadapi masalah, sebagai orang dewasa, individu dapat berpikir logis dan melakukan adaptasi secara pragmatis terhadap kenyataan (Santrock, 2002). Dengan kemampuan-kemampuan ini individu dewasa cenderung dinilai lebih mampu untuk mengembangkan cara-cara yang efektif dalam mengatasi peristiwa yang menekan. Kemampuan merespon secara positif kondisi seperti ini disebut sebagai resiliensi. Dibutuhkan individu dengan tingkat resiliensi tinggi untuk bisa bekerja sebagai relawan yang akan berhadapan dengan berbagai resiko, tantangan dan tekanan. Jika dapat didefinisikan secara jelas, resiliensi adalah kapasitas individu bertahan dan berkembang meskipun berada di dalam situasi yang sulit percaya bahwa individu dapat belajar, berubah, dan mengatasi masalah apapun dalam kehidupan. (Maddi & Khoshaba, 2005). Maddi dan Khoshaba (2005) mengemukakan tiga dimensi dalam resiliensi yaitu: 1.
2.
3.
Komitmen: memiliki tujuan dalam hidup dan keterlibatan dalam pekerjaan, keluarga, masyarakat, sosial, dan lain-lain yang memberikan makna dalam kehidupannya serta melihatnya sebagai hal penting dan layak untuk mendapat perhatian penuh serta memberikan upaya yang terbaik terhadap pekerjaan tersebut walaupun dihadapkan pada situasi yang sulit. Kontrol: kecenderungan individu yang percaya bahwa ia mempunyai kendali penuh untuk mengubah dan menyelesaikan masalah atau kejadian yang dialaminya dibandingkan hanya menjadi korban dari masalahnya. Individu terbuka atas perubahan yng terjadi di luar kendali dan dirinya. Tantangan: melihat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sebagai sebuah tantangan atau kesempatan yang mendorong perkembangan kehidupan dibandingkan menghindarinya.
Keinginan untuk menolong sesama dan mempunyai rasa empati adalah modal utama menjadi relawan. Bencana bisa menimpa siapa saja dan menempatkan diri pada kondisi korban bencana juga bisa menjadi motivasi menolong (Saputri, 2008). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa relawan di bawah ini: “Para relawan dan SAR sudah kelelahan, mereka bekerja dari hari pertama bencana. Medan yang luas dan cukup berat cukup menguras tenaga mereka,” (Slamet, 2008) Kami semua senang menjadi relawan karena sudah jadi dorongan jiwa,” (Bayu, 2008)
Fenomena seperti ini dapat menggambarkan seseorang yang memiliki sikap altruisme karena ia mampu merasakan penderitaan orang lain (empati) dan bersedia membantu serta mengutamakan kepentingan orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Schroeder, Penner, Dovidio, dan Pillavin (1995) berpendapat bahwa relawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi suatu kegiatan tertentu secara formal. Selanjutnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2007) mengatakan bahwa relawan penanggulangan bencana adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang bekerja secara ikhlas untuk kegiatan penanggulangan bencana. Baron dan Byrne (2004) mengemukakan bahwa altruisme merupakan suatu bentuk khusus dari menolong yang dengan sukarela mengeluarkan biaya dan tenaga serta dimotivasi oleh keinginan untuk
19
Resiliensi dan Altruisme pada Relawan Bencana Alam
meningkatkan kesejahteraan orang lain dan lebih dari sekedar mendapat reward eksternal. Penelitian Rushton dan Allen (1983) yang mengukur karakteristik altruisme pada relawan, menemukan bahwa relawan mempunyai karakteristik altruisme yang lebih tinggi daripada individu yang bukan relawan. Karakterisitik tersebut antara lain empati, efikasi diri, standar moral yang tinggi, sikap dan emosi yang positif, dan emosi yang cenderung stabil. Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat diasumsikan bahwa penting bagi relawan untuk membangun kapasitas resiliensi yang baik, sehingga ia akan memberikan kemampuannya yang terbaik untuk mencapai tujuannya yaitu menolong korban bencana alam serta dapat mengatasi kesulitan atau hambatan yang terjadi di lokasi bencana alam. Jika tidak, maka individu akan kesulitan dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara resiliensi dengan perilaku menolong (altruisme) pada relawan?”
METODE Partisipan. Partisipan penelitian ini adalah relawan bencana alam yang berada di Jakarta Selatan dan Bogor yang tergabung di dalam LSM atau lembaga kerelawanan yang berusia 20 sampai 40 tahun. Jumlah sampel dari penelitian adalah 100 orang. Desain. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional. Konsep penelitian deskriptif korelasional ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis fakta dari fenomena-fenomena yang ada, khususnya mengenai aspek-aspek yang sedang diteliti (Sukmadinata, 2006). Prosedur. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling-accidental sampling, di mana individu yang dijadikan sampel tidak mempunyai kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel karena ada faktor lain atau karakteristik yang sebelumnya yang sudah direncanakan oleh peneliti. Teknik Analisis dan Alat Ukur. Penelitian ini menggunakan kuesioner yaitu cara pengumpulan data dengan mempergunakan pertanyaan atau pernyataan tertulis untuk mendapatkan informasi dari responden (Sandjaja, 2006). Pernyataan pada kuesioner ini menggunakan skala sikap tipe Likert dengan 6 rentang jawaban dimulai dari (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) agak tidak setuju, (4) agak setuju, (5) setuju sampai dengan (6) sangat setuju. Skala Likert, adalah skala yang digunakan untuk mengukur variabel yang akan diukur dan dijabarkan menjadi beberapa sub variabel dan menjadi komponen yang dapat terukur (Sugiyono, 2002) Dimensi, definisi, contoh item dan jumlah item dari Skala Resiliensi dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1.Dimensi, Definisi, Contoh Item dan Jumlah Item Skala Resiliensi Dimensi
Definisi
1. Komitmen
Memiliki tujuan dalam hidup dan keterlibatan dalam pekerjaan, keluarga, masyarakat, sosial, dan lain-lain yang memberikan makna dalam kehidupannya serta melihatnya sebagai hal penting dan layak untuk mendapat perhatian penuh serta memberikan upaya yang terbaik terhadap pekerjaan tersebut walaupun dihadapkan pada situasi yang sulit.
20
Contoh Item - Saya dapat membuat rencana untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Jumlah Item 6
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 17–24
2. Kontrol
Kecenderungan individu yang percaya bahwa ia mempunyai kendali penuh untuk merubah dan menyelesaikan masalah atau kejadian yang dialaminya dibandingkan hanya menjadi korban dari masalahnya. Individu terbuka atas perubahan yng terjadi di luar kendali dan dirinya.
- Saya tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
5
3. Tantangan
Melihat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sebagai sebuah tantangan atau kesempatan yang mendorong perkembangan kehidupan dibandingkan menghindarinya.
- Saya orang yang pantang menyerah dalam menyelesaikan pekerjaan saya.
4
Jumlah
15
Sedangkan Dimensi, definisi, contoh item dan jumlah item dari Skala Altruisme dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Dimensi dan Item Skala Altruisme Dimensi
Definisi
Contoh Item
Jumlah Item
1. Empati
kemampuan merasakan, memahami, dan peduli terhadap perasaan yang dialami oleh orang lain.
- Jika ada korban bencana alam yang sedang menangis, saya akan memberinya dorongan agar tidak terlarut dalam kesedihan.
16
2.Sukarela
perbuatan yang dilakukan didasari oleh tidak adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan dari orang lain. Tindakan ini dilakukan untuk menjunjung nilai kejujuran dan keadilan pada dirinya.
- Jika tugas saya selesai, saya menolong teman saya untuk menyelesaikan tugasnya.
10
3.Keinginan Membantu
keinginan untuk memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan bantuan meskipun tidak ada orang yang mengetahui bantuan yang telah diberikannya. Bantuan yang diberikan berupa materi dan waktu.
- Saya menyediakan waktu saya apabila ada korban bencana alam yang ingin berbincang-bincang.
10
JUMLAH
36
Hasil uji reliabilitas dan validitas dari kedua alat ukur ini diuraikan pada tabel berikut: Tabel 3. Rangkuman Hasil Validitas dan Reliabilitas Resiliensi dan Altruisme Variabel
Nilai Koefisien
Jumlah Item
Validitas
Reliabilitas
Resiliensi
.223 - .803
.810
Item = 15 Valid = 15
Altruisme
.250 - .586
.874
Item = 33 Valid = 33
Penelitian ini menggunakan Pearson product moment correlation untuk menganalisis data. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13.0 for Windows.
21
Resiliensi dan Altruisme pada Relawan Bencana Alam
ANALISIS & HASIL Berdasarkan perhitungan korelasi Pearson Product Moment Correlation yang dilakukan, didapatkan hasil r = .448, p < .01 Dengan taraf signifikansi p(.000) < .01 maka hubungan antar variabel signifikan dan positif yaitu r hitung > r tabel (.448 > .243), artinya terdapat korelasi positif yang signifikan antara resiliensi dengan altruisme. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi pada subjek, maka semakin tinggi juga tingkat altruisme nya. Dengan demikian, hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara resiliensi dengan altruisme pada relawan bencana alam diterima dan H0 ditolak. Semakin tinggi tingkat resiliensi pada subjek, maka semakin tinggi juga tingkat altruismenya. Menurut Sudjono (2006) besar r hitung antara .40 - .70 menunjukkan adanya korelasi yang sedang. Tabel 4.Penyebaran Rentang Skala Resiliensi RS
SS
15 – 33
21 – 46
34 – 52
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
Sangat rendah
-
-
47 – 72
Rendah
-
-
53 – 70
73 – 98
Tinggi
2
2
71 – 90
99- 124
Sangat tinggi
98
98
100
100
Total
Tabel 5.Penyebaran Rentang Skala Altruisme RS
SS
33 – 73
11 – 39
74 – 114
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
Sangat rendah
-
-
40 – 68
Rendah
-
-
115 – 155
69 – 97
Tinggi
-
-
156 – 198
98 – 125
Sangat tinggi
100
100
100
100
Total
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa semua responden memiliki tingkat resiliensi dan altruisme yang tergolong tinggi.
DISKUSI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dengan altruisme pada relawan bencana alam. Hasil studi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif sedang antara resiliensi dengan altruisme. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Rushton dan Allen (1983) yang menyatakan bahwa relawan mempunyai karakteristik altruisme. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa resiliensi juga merupakan karakteristik yang harus dimiliki seorang relawan. Relawan di dalam penelitian ini terbukti memiliki tingkat resiliensi yang tinggi, sehingga diasumsikan mereka adalah relawan yang mampu berhadapan dengan berbagai resiko, tantangan dan tekanan, termsuk juga emosi-emosi negatif (stressor) yang sering dihadapi relawan. Menurut Enrenreich dan Elliot (2004) stressor yang biasa dialami oleh relawan adalah adanya bahaya mengancam (penyakit, gempa susulan, dan lain sebagainya) yang menimbulkan perasaan takut, berkurang atau hilangnya
22
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 17–24
privasi, jauh dari keluarga yang menimbulkan kecemasan pada diri relawan maupun keluarganya, tuntutan fisik yang berat dan kondisi tugas yang tidak menyenangkan, beban kerja yang berlebihan dalam jangka waktu lama, konflik interpersonal yang mungkin timbul di antara anggota kelompok relawan, teringat akan tragedi, kisah, atau cerita-cerita traumatis saat bencana, dan lain sebagainya.
SIMPULAN & SARAN Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara resiliensi dengan altruisme pada relawan bencana alam. Semakin tinggi resiliensi, semakin tinggi pula altruisme. Secara umum disimpulkan bahwa tingkat resiliensi dan altruisme partisipan penelitian ini berada pada tingkat sangat tinggi. Saran bagi penelitian selanjutnya sebagai berikut: a. b.
c. d. e.
Melakukan penelitian pada beberapa organisasi kemanusiaan di kota yang berbeda agar penyebarannya lebih luas. Dalam penyusunan alat ukur, diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat memodifikasi alat ukur sehingga dapat meningkatkan validitas dan reliabilitas. Khususnya menambah item pada kuesioner resiliensi. Lebih mendalami hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil penelitian khususnya resiliensi, seperti pola asuh dan stressor yang dihadapi oleh relawan bencana alam. Menambahkan referensi penelitian mengenai relawan bencana alam. Meneliti perbedaan jenis kelamin pada altruisme relawan. Saran praktis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
b.
Bagi relawan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi relawan mengenai proses-proses psikologis yang terjadi di dalam dirinya yang terkait dengan resiliensi dan altruisme. Selain itu, para relawan juga dapat mengembangkan kapasitas resiliensi pada diri nya dengan lebih baik lagi agar dapat memaksimalkannya di dalam perilaku menolong atau altruisme. Bagi instansi pemerintahan atau LSM: Disarankan untuk mengadakan program atau kegiatan yang dapat meningkatkan pentingnya resiliensi untuk mendukung sifat altruis dari relawan. Kegiatan dapat berupa pelatihan (training, workshop) dan sharing session kurang lebih enam bulan sekali atau mengadakan program diskusi kelompok yang terdiri dari beberapa orang pada setiap kelompoknya sehingga relawan lebih dapat mengenal satu sama lainnya dan dapat berbagi pengalaman-pengalaman yang dialaminya saat terjun ke lokasi bencana alam.
DAFTAR PUSTAKA Baron, R.A., & Byrne, D. (2004). Social Psychology (10th ed). Boston: Allyn and Bacon. Enrenreich, J.H., & Elliot, T.L. (2004). Managing stress in humanitarian aid workers: A survey of humanitarian aid agencies’ psychosocial training and support of staff. Journal of Peace Psychology, 10, 5-66. Hurlock E. B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
23
Resiliensi dan Altruisme pada Relawan Bencana Alam
Maddi, S. R., & Khoshaba, D.M. (2005). Resilience at work: How to succeed no matter what life throws at you. New York, NY: Amacom. Myers, D.G. (1999). Social psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill Rushton, J.P., & Allen, N.J. (1983). Personality characteristics of community mental health volunteers: A review. Department of Psychology. Advance online publication. doi:10.1177/ 089976408301200106. Sandjaja, H.A. (2006) . Panduan penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka Santrock, J.W. (2002). Life-span development (Perkembangan masa hidup) jilid 2. Jakarta: Erlangga. Schroeder, D.A., Penner, L.A., Dovidio, J.F., & Pillavin, J.A. (1995). The psychology of helping and altruism: Problems and puzzles. New York: McGraw-Hill. Sudijono, A. (2006). Pengantar statistik pendidikan. Jakarrta : PT. Raja Grafindo Persada. Sugiyono. (2002). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2002). Statistik untuk penelitian. Bandung: IKAPI. Sugiyono. (2006). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, N.S. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. _______2007, UU nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Tobing, U.R.I.L., Nugroho, F., & Tehuteru, E.S. (2008). Peran relawan dalam memberikanpendampingan kepada anak penderita kanker dan keluarganya. Indonesian Journal of Cancer, 1, 35-39. Diperoleh dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21083539.pdf Internet: Alamendah (2010) 408 kali bencana alam dalam 5 tahun. Diperoleh dari http://alamendah.wordpress. com/2010/09/18/4-408-kali-bencana-alam-dalam-5-tahun/. Diunduh pada tanggal 28 November 2011 pukul 16.45 wib. Bayu. (2008). Dari mahasiswa sampai pengusaha, semua jadi relawan. Kompas 1 April. Diperoleh dari http://www.kompas.com. Diunduh pada tanggal 3 Desember jam 20.05 wib. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2007). Definisi Bencana. Diperoleh dari http:www.bnpb. go.id/website/asp/content.asp?id=30. Diunduh pada tanggal 27 Maret jam 20.05 wib. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2012). Relawan penanggulangan bencana alam. Diperoleh dari http://bnpb.go.id/website/asp/content.asp?id=68. Diunduh pada tanggal 29 Maret jam 11.13 wib. Saputri, M. (2008) Jiwa mau menolong itu saja modalnya. Kompas, 10 Agustus. Diperoleh dari http:// nasional.kompas.com. Diunduh pada tanggal 20 November 2011 jam 10.08 wib. Slamet. (2008). Para relawan dan tim sar mulai kelelelahan. Kompas,1April. Diperoleh dari http:// www.kompas.com diunduh pada tanggal 4 Desember jam 11.05 wib.
24
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
ANALISIS HOPE PADA ATLET BULUTANGKIS INDONESIA JUARA DUNIA ERA ’70 & ’90 Esther Widhi Andangsari Pingkan C.B. Rumondor Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir 3 No. 45, Palmerah, Jakarta Barat
[email protected] [email protected]
Abstract The present study analyzed a profiling of hope of Indonesian badminton athletes with international achievements. Previous studies have shown that hope was positively related to various outcomes such as sport, academics, physical health, psychological adjustment, and psychotherapy. The participants were consisted of athletes who used to play between 70’s and 90’s. This study utilized a qualitative approach with interpretative phenomenological analysis. Nine mental skills of athletes were used as a guideline of semi-structured interview. The verbatim of interview then analyzed with hope components. Hope was constructed by three components: goals, pathways, and agency thinking. The analysis of participant’s experience showed nine major themes that are: attitude, motivation, goals and commitment, people skills, self talk, mental imagery, managing anxiety, managing emotion, and concentration, with twelve subordinates themes. These themes are similar with high-hope people’s characteristics. Keywords: hope; mental skills; badminton athletes Abstrak Penelitian ini merupakan analisa profil hope pada atlet bulutangkis Indonesia yang meraih prestasi juara dunia. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hope memiliki relasi yang positif dengan beragam hal seperti olahraga, akademik, kesehatan fisik, penyesuaian psikologis, dan psikoterapi. Partisipan terdiri atas atlet yang pernah bertanding para era 1970 dan 1990. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisa interpretasi fenomenologi. Sembilan keterampilan mental atlet digunakan sebagai panduan dalam wawancara semi-terstruktur. Transkrip wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan komponen hope. Hope terdiri atas tiga komponen yaitu: tujuan, jalan (pathways) dan agency thinking. Hasil analisis dari pengalaman partisipan menunjukkan sembilan tema utama, yaitu: sikap, motivasi, tujuan dan komitmen, keterampilan antarpersonal, self-talk, pembayangan mental, pengelolaan kecemasan, pengelolaan emosi, dan konsentrasi. Tema-tema tersebut selaras dengan karakteristik orang yang memiliki hope tinggi. Kata kunci: hope, keterampilan mental, atlet bulutangkis
25
Analisis Hope pada Atlet Bulutangkis Indonesia Juara Dunia Era ’70 & ’90
PENDAHULUAN Olahraga bulutangkis di Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu cabang olahraga yang cukup banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Prestasi bulutangkis Indonesia saat ini dapat dikatakan semakin hari tidak semakin gemilang. Padahal dahulu atau beberapa tahun yang lalu Indonesia sempat menjadi negara yang cukup disegani karena prestasinya yang gemilang dalam kejuaraan dunia (Kurniawan, 2012). Entah mengapa prestasi dahulu belum bisa terulang kembali di era kini. Usaha perbaikan untuk kembali berharap mencapai prestasi dunia yang gemilang tetap dilakukan. Salah satunya adalah dengan fokus pada pembinaan dan pelatihan atlet-atlet muda. Sebagai contoh, salah satu klub bulutangkis di Jakarta mulai memikirkan program untuk membina aspek psikologis bagi para atlet mudanya. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa keberhasilan atlet bukan hanya penguasaan keterampilan teknis semata, namun keterampilan mental seperti dorongan yang kuat dan komitmen meraih sukses juga turut dibutuhkan (Lesyk, 2007). Bahkan sesungguhnya telah ada pergeseran fokus pembinaan para atlet. Dahulu lebih menekankan pada metode assessment untuk identifikasi atlet-atlet yang potensial dijadikan atlet superior (Epstein, 1999). Namun saat ini psikologi olahraga di era yang modern sejak tahun 1970-an lebih menekankan pada pengembangan keterampilan mental (Epstein, 1999). Wawancara antara Epstein dengan Suinn- seorang psikolog olahraga- yang dilaporkan dalam Psychology Today menyampaikan tentang keterampilan mental yang dapat digunakan oleh para atlet agar dapat meraih medali emas, yaitu manajemen stres, pengaturan diri, visualisasi, penetapan target, konsentrasi, fokus, dan relaksasi (Epstein, 1999). Penelitian mengenai keterampilan mental para atlet atau keterampilan psikologis untuk keberhasilan para atlet telah dilakukan oleh beberapa ahli, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Maksum (2006) melakukan penelitian terhadap sejumlah atlet bulutangkis Indonesia berprestasi tinggi yang menunjukkan bahwa ciri kepribadian yang menunjang prestasi atlet adalah ambisi prestatif, kerja keras, gigih, mandiri, komitmen, cerdas, dan swakendali. Studi terhadap para atlet renang nasional di Cina – negara penghasil banyak atlet berprestasi – menunjukkan bahwa keterampilan psikologis yang banyak digunakan oleh para atlet yang menghasilkan prestasi gemilang adalah penetapan tujuan, analisis unjuk kerja, dan self-talk (Wang, Huddleston, dan Lu, 2003). Tidak hanya itu, pada studi tersebut juga disebutkan bahwa para atlet renang nasional Cina banyak yang menggunakan musik sebagai sarana relaksasi. Bagian terakhir ini tidak ditemukan dalam studi yang telah dilakukan oleh Maksum (2006) pada atlet bulutangkis Indonesia. Relaksasi yang dilakukan oleh para atlet renang nasional Cina tersebut sejalan dengan relaksasi sebagai salah satu keterampilan mental atlet yang dipaparkan dalam tulisan Epstein (1999). Keterampilan Mental Keterampilan mental atau keterampilan psikologis yang telah diteliti sebelumnya pada studi yang telah dipaparkan di atas juga tidak jauh berbeda dengan keterampilan mental yang diformulasikan oleh Lesyk (2007). Lesyk menyusun formulasi keterampilan mental ini dengan pertanyaan yang mendasar tentang “what is successful athlete?” Formulasi keterampilan mental Lesyk tersebut dikenal dengan sebutan “Nine Mental Skills for of Successful Athletes” dan telah diterapkan pada para atlet di Amerika Serikat bahkan di luar Amerika Serikat. Lesyk (2007) membagi formulasi keterampilan mental menjadi 3 bagian, yaitu level I adalah keterampilan dasar (basic skills), dimana bagian ini merupakan hal-hal mendasar yang sudah menjadi bagian keseharian dalam kehidupan seseorang tidak hanya sebagai atlet dan dilakukan hingga jangkan panjang. Level II adalah keterampilan persiapan (preparatory skills), yaitu keterampilan yang harus digunakan oleh para atlet sesaat sebelum bertanding. Level III adalah
26
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
keterampilan unjuk karya (performance skills), merupakan keterampilan yang digunakan para atlet pada saat bertanding. Keterampilan mental pada keterampilan dasar adalah sikap, motivasi, tujuan dan komitmen, serta keterampilan antarpersonal. Pada keterampilan persiapan, keterampilan mental yang dimaksud adalah self-talk dan pembayangan mental (mental imagery). Sedangkan keterampilan mental pada keterampilan unjuk karya adalah pengelolaan kecemasan, pengelolaan emosi, dan konsentrasi. Rangkuman mengenai sembilan keterampilan mental dari Lesyk dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Nine Mental Skills of Successful Athletes Level
Keterampilan Mental Konsentrasi
Level III – Keterampilan Unjuk Karya
Pengelolaan Emosi Pengelolaan Kecemasan
Level II – Keterampilan Persiapan
Pembayangan Mental Self-Talk Keterampilan Antarpersonal
Level I – Keterampilan Dasar
Tujuan dan Komitmen Motivasi Sikap
Sumber: Lesyk (2007)
Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi mengenai keterampilan mental para atlet berprestasi dan juga paparan keterampilan mental menurut Lesyk yang telah diuraikan di atas dapat diasumsikan bahwa para atlet tidak cukup hanya menggunakan satu keterampilan mental atau keterampilan psikologis untuk membuatnya bisa meraih prestasi gemilang. Namun dibutuhkan seperangkat keterampilan psikologis untuk meraih prestasi yang gemilang tersebut. Salah satu konstruk psikologi positif yang terdiri dari seperangkat keterampilan psikologis ialah hope. Tulisan ini merupakan paparan studi kualitatif terhadap atlet bulutangkis Indonesia yang pernah meraih prestasi juara dunia di era ’70 & ’90. Tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai keterampilan mental para atlet bulutangkis Indonesia yang pernah meraih juara dunia. Keterampilan mental yang digunakan sebagai panduan wawancara merupakan keterampilan mental dari Lesyk (2007) yang kemudian dianalisis lewat teori hope menurut Snyder (2002). Sehingga diharapkan studi ini secara praktis dapat bermanfaat bagi para praktisi olahraga bulutangkis, atlet bulutangkis, dan pelatih bulutangkis untuk pengembangan keterampilan psikologis atlet sehingga prestasi gemilang bulutangkis dapat diraih kembali. Teori Hope Snyder (2002) menjabarkan hope sebagai kapasitas yang diyakini untuk memperoleh jalan (pathways) mencapai tujuan yang diinginkan, serta memotivasi diri melalui agency thinking dalam menggunakan jalan (pathways) tersebut. Berdasarkan teori tersebut, Lopez, Snyder, Magyar-Moe, Edwards, Pedrotti, Janowski, Turner, dan Pressgrove (2004) menjabarkan lebih lanjut mengenai hope. Hope merefleksikan persepsi individual terhadap kapasitas individu tersebut untuk (1) konseptualisasi tujuan; (2) mengembangkan strategi yang spesifik untuk mencapai tujuan; dan (3) mengawali serta secara terus menerus memotivasi diri untuk menggunakan strategi tersebut (agency thinking). Dalam
27
Analisis Hope pada Atlet Bulutangkis Indonesia Juara Dunia Era ’70 & ’90
meraih tujuan, membutuhkan dua hal penting yaitu agency thinking dan pathways thinking, yang pada akhirnya untuk menstimulasi atau merangsang pathways thinking dan selanjutnya. Tujuan tersebut menyajikan target dari rangkaian tindakan mental. Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengenai tujuan yang dimaksud oleh Snyder (2002). Tujuan dapat berupa pembayangan visual dan bisa juga berupa deskripsi verbal. Selain itu tujuan juga dapat berupa tujuan jangka pendek serta tujuan jangka panjang, dan disertai dengan derajat yang beragam dan spesifik. Tujuan yang samar-samar biasanya jarang muncul pada orang-orang dengan pemikiran hope yang tinggi, sementara penetapan tujuan yang spesifik memudahkan seseorang untuk memabayangkan pathways yang dimilikinya (Snyder, 2002). Tujuan-tujuan ini haruslah tujuan yang bernilai agar dapat terus-menerus tertanam dalam pikiran. Di sisi lain tujuan harus dapat dicapai, namun tujuan biasanya memuat derajat ketidakpastian (Snyder, Rand, dan Sigmon, 2002) Dalam rangka untuk mencapai tujuan, orang harus memandang dirinya sendiri sebagai orang yang mampu menghasilkan jalur-jalur kerja pencapaian tujuan tersebut. Proses mempersepsikan kapasitas inilah yang disebut dengan pathway thinking. Pathway thinking yang merupakan proses internal ini serupa dengan istilah “Saya akan menemukan jalan untuk menyelesaikan hal ini”. Orangorang dengan hope yang tinggi merupakan individu yang secara efektif menghasilkan beberapa jalan (pathways) dan mendapati bahwa mereka lancar dalam menemukan jalur alternatif (Snyder, Rand, dan Sigmon, 2002). Komponen motivasi pada teori hope adalah agency. Agency thinking merefleksikan pikiranpikiran sendiri mengenai dimulainya pergerakan menuju pathway dan melanjutkan kemajuan pikiran tersebut sepanjang pathway. Hasil penelitian (Synder, Lapointe, Crowson, Early, 1998, dalam Snyder, 2002) diketahui bahwa orang-orang dengan hope yang tinggi cenderung melakukan self-talk semisal “Saya bisa melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti”. Apabila terjadi hambatan, agency thinking ini membantu individu untuk memunculkan motivasi agar menemukan jalan lain (pathway) sebagai alternatif yang terbaik (Snyder, 2002). Hal yang membedakan antara hope dengan konsep lain seperti self-efficacy, optimism, dan selfesteem adalah bahwa hope harus terdiri atas jalan (pathways) dan agency thinking. Semakin banyak jalan yang dimiliki, semakin banyak agency thinking yang dimiliki untuk mencapai tujuan (Snyder, 2002). Hope merupakan komponen kognitif. Emosi positif seharusnya mengalir dari persepsi terhadap keberhasilan pencapaian tujuan. Bila situasi tertentu mendatangkan stress, maka orang-orang dengan hope yang tinggi akan menata pikiran dan tindakannya untuk mengubah hambatan menjadi sesuatu yang kurang memunculkan tekanan/stres (Snyder, 2002). Sehingga bila diperhadapkan pada emosi positif, maka individu yang bersangkutan akan memunculkan kembali tindakan-tindakan yang menyebabkan keberhasilaan pencapaian tujuan; sementara bila diperhadapakan pada emosi negatif, maka individu tersebut akan memunculkan kembali tindakan-tindakan yang menyebabkan kegagalan dalam pencapaian tujuan (Snyder, 2002). Orang-orang dengan hope yang tinggi melihat stressor sebagai tantangan, yang akan dapat memunculkan jalan alternatif serta penyaluran kembali agency pada jalan-jalan yang baru (Snyder, 2002). Hal ini menguatkan bahwa teori hope meliputi sistem yang terhubung dari penataan pikiran terhadap tujuan yang memunculkan umpan balik dari beragam point yang muncul (Snyder, Rand, dan Sigmon, 2002). Setelah mencapai satu tujuan, orang dengan hope yang tinggi cenderung akan memunculkan tujuan yang lain. Mereka mendasari tujuan tersebut pada acuan pribadi. Biasanya tujuan yang lain itu lebih atraktif daripada tujuan yang dibangun berdasarkan acuan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan hope yang tinggi lebih senang untuk memilih tujuan yang mewakili hasil sebelumnya pada tugas-tugas yang serupa (Harris, 1988; Snyder, Harris, Anderson, Holleran, Irving,
28
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
Sigmon, 1991, dalam Snyder 2002). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orang dengan hope yang tinggi secara konsisten memperoleh hasil yang lebih baik daripada mereka dengan hope yang rendah, seperti pada area akademik, atletik, kesehatan fisik, penyesuaian psikologis dan psikoterapi (Snyder, 2002). Snyder, Cook, Ruby, Rehn, dan Curry (1997) melakukan tiga studi untuk mendalami hope pada atlet yang juga berprofesi sebagai mahasiswi. Pengukuran kuantitatif digunakan untuk melihat disposisi hope, self-perception, affectivity, kapasitas fisik, dan masa prestasi. Hasil menunjukkan bahwa trait-hope memprediksikan pencapaian atletik; lebih lanjut diketahui bahwa state-hope cenderung memprediksikan pencapaian atletik melampaui disposisi hope, training, dan self-esteem, keyakinan diri, dan mood. Para peneliti tersebut juga menemukan bahwa pada atlet wanita atletik, disposisi hope secara signifikan memprediksi pencapaian atletik melampaui perbedaan kapasitas atletik dan affectivity (Snyder, Cook, Ruby, Rehn, dan Curry, 1997). Mereka menunjukkan pentingnya hope pada area olahraga. Sehingga studi ini seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bermaksud untuk menelusuri proses hope pada atlet bulutangkis Indonesia juara dunia. Bulutangkis dipilih mengingat prestasi atlet bulutangkis Indonesia yang telah mendunia.
METODE Partisipan. Pada penelitian ini, partisipan terdiri atas 2 orang mantan atlet bulutangkis yang dinilai fenomenal dalam sejarah bulutangkis Indonesia. Mereka merupakan atlet bulutangkis yang pernah meraih juara dunia pada eranya yaitu era tahun 1970-an dan tahun 1990-an. Partisipan 1 (laki-laki, 62 tahun). Prestasi yang pernah diraih antara lain: juara All England (8 kali selama kurun waktu 1968-1976), juara kedua All England (2 kali, 1975 dan 1978), Juara Dunia (1980), Thomas Cup (4 kali, 1970, 1973, 1976, dan 1979), Denmark Open (3 kali, 1971, 1972, dan 1974), Canadian Open (2 kali, 1969 dan 1971), US Open (1969), dan Japan Open (1981). Partisipan 2 (perempuan, 41 tahun). Prestasi yang pernah dicapai antara lain: Hall of Fame dari IBF (2004), Piala Herbert Scheele (2002), Juara Dunia (1993), All England (4 kali, 1990-1994), Uber Cup (2 kali, 1994 & 1996), World Badminton Grand Prix (6 kali, 1990-1996), Olympiade (1992), Indonesia Open (6 kali, 1989-1997), Malaysia Open (4 kali, 1993-1997), Japan Open (3 kali, 1992, 1994, dan 1995), Thailand Open (4 kali, 1991-1994) dan beberapa prestasi lainnya. Desain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan interpretasi fenomenologi yang bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh para partisipan (Willig, 2008). Pengambilan data melalui wawancara semi-terstruktur. Prosedur. Panduan wawancara semi-terstruktur disusun berdasarkan konsep nine mental skills of successful athletes dari Lesyk (2007). Para partisipan diwawancara pada waktu dan tempat yang terpisah antara bulan Agustus-Oktober 2011. Wawancara dilakukan dengan dibantu alat perekam suara dan kemudian dibuat transkip wawancara untuk selanjutnya dilakukan coding dan analisis. Teknik Analisis Hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan teori hope dari Snyder (2002). Interpretasi dari hasil wawancara dilakukan dalam beberapa tahap (Willig, 2008). Tahap pertama membaca secara berulang kali transkip wawancara atau verbatim. Kedua, melakukan identifikasi terhadap tema-tema yang muncul dalam wawancara tersebut. Ketiga, tema-tema tersebut dikelompokkan dalam struktur yang mengukur konsep psikologis tertentu. Keempat, penyimpulan dari pengelompokkan keseluruhan tema.
29
Analisis Hope pada Atlet Bulutangkis Indonesia Juara Dunia Era ’70 & ’90
ANALISIS & HASIL Analisis dari pengalaman partisipan yang digali lewat wawancara menunjukkan sembilan tema utama, yaitu: sikap, motivasi, tujuan dan komitmen, keterampilan antarpersonal, self-talk, pembayangan mental, pengelolaan kecemasan, pengelolaan emosi, dan konsentrasi. Subordinat dari tema-tema yang muncul pada diri partisipan antara lain: memilih olahraga bulutangkis sebagai olahraga yang dapat menghantar mereka pergi ke luar negeri, bertanding untuk menang sebagai cara untuk memberikan penghargaan pada diri sendiri, tangguh menghadapi kesulitan atau tantangan meskipun fasilitas yang tersedia minim, memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang bahkan target spesifik setiap kali latihan, menyadari diri merupakan bagian dari suatu kelompok besar, membangkitkan rasa percaya diri melalui self-talk dan berpikir realistis, menggunakan self-talk untuk mengatur pikiran, perasaan, dan tindakan selama bertanding, membayangkan gerakan lawan yang akan dihadapi dalam bertanding, menerima kecemasan sebagai bagian dari pertandingan, kecemasan membantu meningkatkan performa, menggunakan self-talk untuk mengatasi emosi, serta mampu mempertahankan fokus dan memusatkan perhatian. Ada beberapa tema subordinat yang hanya ditemukan pada partisipan 2 (perempuan) dan tidak ditemukan pada partisipan 1 (laki-laki), yaitu mengungkapkan perasaan dan pikirannya pada orang lain, dan menerima emosi melalui katarsis. “Saya lepasin semua kekesalan saya, aduh bego dan meso-mesonya uda, ngomelnya saya keluarin, kenapa sih mainnya bego gini-gini-gini, ya udah .. “ “Tapi abis itu… oke saya analisa, saya tahu, kesalahan saya tadi dimana. Jadi saya lepasin, kalo saya nahan itu juga ngak bagus karna apa, kita itu tahu dimana sih kesalahan saya tadi dimana?”
Partisipan 1 menyimpan sendiri persoalan yang dirasakannya, serta emosi yang ada tidak diungkapkannya pada orang lain namun disimpan sendiri dan digunakan sebagai motivator dalam bertanding. “Cuma karna sifat saya ga mau kalah, karna sifat saya ga mau kalah. Saya pernah sekali, 1 kali kalah umur 13 tahun, eh 13 ato 12. Waktu itu pertandingan persahabatan di ya di luar kota. Klub saya dimana orang tua saya ada itu bertanding dengan pemain. Pemain yang saya tanding itu juga masih muda tapi 15 tahun” “Ya..dan saya kalah. Dan saya saat itu sampe ya..menangis, kecewa” “Sejak itu, itu menjadi motivasi saya. Saya tidak mau kalah, saya mau ketemu lagi orang itu, setelah saya itu. Ternyata ga ketemu, karna itu persahabatan. Dia klub di luar Surabaya gitu loh”
Meskipun pada tema subordinat ditemui kesamaan pada kedua partisipan, namun ada diantaranya dihayati secara berbeda diantara kedua partisipan tersebut. Self-talk yang digunakan untuk membangkitkan rasa percaya diri dilakukan secara berbeda. Partisipan 1 melakukan self-talk dengan keras seperti seorang ayah yang sedang mendisplinkan anaknya. “Saya pokoknya pergi, saya dateng, saya pergi, saya dateng dan saya mau menang” “Pokoknya saya, apa yang ditugas, saya mesti menang” “Masak saya kalah sama dia”
Sementara partisipan 2 menggunakan self-talk secara menyenangkan. “Saya udah dirugiin orang lain, orang lain boleh ngerugiin , tapi diri saya sendiri nggak boleh dong ngerugiin diri sendiri….. jadi setelah itu, setelah itu saya bilang, siapapun boleh rugiin saya
30
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
tapi saya nggak boleh. Justru saya akan buktikan, bahwa orang lain, saya memang pantas untuk itu.” “Pada saat di lapangan saya selalu “tahan, tahan,tahan, bisa”
Selain itu pada subordinat kecemasan meningkatkan performa, partisipan 1 meskipun menerima kecemasan tersebut namun ia tetap menganggap bahwa kecemasan yang ada dinilai mengganggu dirinya. “Saya, mengatasi ketegangan, saya sering toilet tempat saya. Mau ke belakang, nggak keluar, karna seringnya tegang.. Ehh, tapi gini, tegang itu harus, ketegangan, kecemasan, ketidakyakinan diri bercampur, baur dengan keinginan untuk menang, juga ketakutan, kalah, itu akhirnya jadi satu”
Sementara partisipan 2 menilai kecemasan itu justru akan membuat dirinya tidak akan dapat menang dengan mudah pada saat bertanding. “Saat pertama masuk saya berusaha untuk.. saya tegang banget, sampai kalau belum pertandingan saya kebelakang, kalau kebetulan kalau tegang saya selalu buang air kecil itu berkali-kali bahkan puluhan kali.” “Kalau saya tegang saya berkonsentrasi….kalau saya nggak tegang sama sekali, itu saya anggap enteng lawan, dengan tegang itu kan kita nggka mau kalah, kita pasti konsentrasi dan nyiapin seperti apa di lapangan”
Kedua partisipan memiliki sikap positif terhadap bulutangkis. Mereka mendapatkan dukungan yang positif dari keluarga dan menyadari pentingnya peranan sahabat dan pelatih. Dukungan terbesar yang mereka terima adalah dari ayah sebagai orang yang setia mendampingi mereka latihan dan memotivasi. “Ya takut, yang jelas pasti takut dimarahi. Nah memang ayah saya tidak mentargetkan, tapi dengan caranya dia saja sudah, disiplinnya tinggi tujuannya kamu mesti tetep juara gitu loh. Nah, papa saya orangnya gitu. Lakukan, ya ga lakukan juga ada ganjarannya, bisa saya di hukum” (partisipan 1) “Waktu itu sih, mungkin, papi nggak pernah muji di depan saya, justru selalu kayak nantang, misalnya, “Kamu bisa nggak seperti dia?” gitu, justru mungkin ngerti juga yah sikap saya yang nggak mau kalah itu di… tantang, dan biasa sifat saya yah kalo saya sifat ininya yah memang ingin buktiin kalo apa-apa. Jadi bukan tambah ini tapi malah nambah…. Ambilnya positifnya ajah (tertawa)” (partisipan 2)
Mereka memiliki motivasi dan menginginkan reward meskipun reward tersebut tidak harus berupa materi seperti yang terjadi pada era sekarang. “O gini, gini gini gini. Karena ayah saya bertanya begini, kamu mau jadi juara dunia? Ya, tapi saya juga bertanya kalo jadi juara dunia apa rewardnya?” (partisipan 1) “Yah..itu menunjukkan bahwa mampu nggak saya untuk setelah kalah bangkit lagi, ternyata ya mampu. Sayangnya yang berikutnya ya enggak, karena memang, motivasinya sudah berkurang, kenapa, daya tarik untuk menang dapet sesuatu itu nggak ada. Namanya reward yang direct reward itu ndak ada. Ada indirect, indirect buat kita kan, apa, bisa iya bisa enggak. Jadi, ehh akhirnya ya saya berlatihnya ga, ga serius, ya artinya sudah menang delapan kali. Tujuh kali udah menang lebihnya, ndak ada orang yang berturut-turut tujuh kali” (partisipan 1) “Pengen rewardnya nggak latihan. Lebih baik jadi juara, reward datang sendiiri. Banyak sekarang yang, yah..saya pengen, pengen dapet duit, ya yang nomer dua juga dapet duit” (partisipan 1)
31
Analisis Hope pada Atlet Bulutangkis Indonesia Juara Dunia Era ’70 & ’90
“Jadi saat itu saya punya pikiran bahwa, saya ingin, pengen keluar luar biasa, jadikan lewat bulu tangkis, jadi otomatis dibutuhkan usaha untuk mencapai kesitu, disamping itu kalau saya prestasi… saya juga istilahnya mendapat terangkat, keluarga juga terangkat. Ada pemikiran kesana juga bahwa lewat bulu tangkis kita bisa berbuat sesuatu bukan untuk diri kita, untuk keluarga, untuk bangsa. Banyak hal gitu, disana juga ditanamin. Kita kan ini Indonesia, kan bangga juga yah, pada saat itu cukup berat juga yah, orang kan berharap. Jadi sebuah tanggung jawab. Balik lagi tanggung jawab juga yang buat saya sering kali lebih gigih, karena bukan untuk diri sendiri tapi untuk bangsa” (partisipan 2) “Iya ada tapi apa ya.. kamu lihat kalau kamu naik podium, kan kamu bangga, bisa beli apa saja. saya di tanemin kalau kamu mau mencapai sesuatu yah kamu harus mencapai sendiri. Bukan dari orang lain. Jadi tujuan saya yah dari bulu tangkis, saya memang ininya lewat bulu tangkis” (partisipan 2)
Mereka merencanakan sendiri target-target kecil dalam setiap latihan, bahwa prestasi hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Komitmen yang tinggi juga menyertai pencapaian target dan program yang dibuat oleh diri sendiri serta pelatih.Mengarahkan diri pada tujuan dan memiliki komitmen untuk meraih tujuan sangat terlihat pada kedua partisipan. Target mereka adalah menang, tidak mau kalah. “Disiplin yang sungguh-sungguh disiplin tinggi. Tidak bisa disebut disiplin itu hanya katakan bangun pagi, latihan. Yang kedua, fokus, kenapa, karna punya target dalam latihan. Nggak bisa, hanya cuma keliling lari pagi. Eh berapa ya misalnya, pertama 1 kilo, tapi ada waktunya nanti setelah 1 kilo diminta naik. Jadi ada target” (partisipan 1) “Karna tidak mau kalah, jadi saya betul-betul nggak mau kalah. Saya mempersiapkan diri baikbaik. Saya berusaha menang, menang, menang, menang. Dan rekor saya, di kejuaran junior menang, umur, itu tahun berapa 1964, 1964 ya kejuaraan junior itu” (partisipan 1) “Apa yang kita lakukan, kita lakukan itu harus dengan sepenuh hati. Sesuai dengan program target yang kita pake. Latihan hari ini harus lebih baik dari pada kemaren” (partisipan 1) “Saya pengen jadi nomor 1. Orang lain 10 keliling saya harus lebih jadi 11. Orang lain mungkin pada saat drilling yah, 100 bola saya harus saya harus 110. Pokoknya harus selalu lebih, jadi ngak hanya dalam hal ini, dalam latihan pun saya harus lebih.” (partisipan 2) “Betul, iya jadi pada saat latihan, atau orang lain ini, saya ngomong, sekarang atau nggak, sekarang atau nggak, jadi itu yang saya tanamkan dalam diri saya saat latihan. Itu udah kayak minum obat udah. Kalau minum obat sehari 2 kali, ini nggak, sehari 3 kali sehari 4 kali. Sempet waktu itu itu mungkin pengalaman lucu juga, saking capek, lari udah kayak nomor telefon, 135, 462, keliling maksudnya kali 3,(tertawa) jadi kalau dibilang lari nomor telepon, 135, 642, kali 3 seri, itu baru lari fisik belum latihan fisik, belum latihan akurasinya.” (partisipan 2)
Sesaat sebelum bertanding, kedua partisipan juara dunia memiliki pembayangan mental mengenai gerakan lawan secara detil. Bahkan memiliki catatan yang rinci mengenai gerakan lawan mengingat belum tersedianya sarana teknologi yang mendukung. “Saya mempersiapkan diri, memang waktu saya itu juga ada, tidak punya video untuk merekam. Gini, pertama permainan saya gimana, lawan saya gimana. Saya hanya, hanya ya dengan catatan. Saya sering juga nyatat-nyatat o orang ini ada. Catatan-catatan yang, sederhana, kemaren ini gini, ini kalah disini, ok, ok, ini gini, gini” (partisipan 1) “Saya lebih banyak membayangkan bagaimana saya harus melakukan strategi. Misalnya gini, ok, nanti waktu kosong-kosong saya pegang bola, saya coba bola pendek, kalo lawan ngenet, saya berusaha lebih cepat dari dia ngenet, atau saya dorong. Kalo dia nggak ngangkat, ya, paling taro lagi, atau dorong arah ini, jadi sederhana” (partisipan 1) “Dia lagi main, bukan saya, saya nggak mungkin bisa melihat diri saya sendiri, kalau visualisasi kita tuhkan ngak mungkin diri kita seperti apa, kalau untuk diri kita kita harus persiapannya
32
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
teknik diri kita latihan seperti apa, fisik seperti apa. Tapi kalau lawan kita bisa bayangin karena kan biar kita melihat” (partisipan 2) “Lalu sebelum pertandingan itu, maksudnya besok mau pertandingan, malam saya harus tahu diluar kepala, sampe 100% ini saya hafal kelemahan dan kelebihannya dia, saya coret-coret lagi, ini saya tutup buku. saya ulang lagi, lalu saya ngebayangin ini kelemahannyakalau saya masih ada salah saya ulang sampai betul-betul saya ulang sampai betul-betul sama” (partisipan 2)
Pada saat bertanding, mereka dapat menenangkan diri sendiri melalui self-talk termasuk membangkitkan rasa percaya diri saat kehilangan poin dalam bertanding. Mereka juga tetap dapat kembali berkonsentrasi pada pertandingan saat sempat kehilangan fokus. Kedua partisipan menerima emosi kuat yang dirasakan seperti marah, bahagia, dan kecewa sebagai bagian dari pertandingan. Itu sebabnya mereka tetap dapat mempertahankan konsentrasi mereka selama pertandingan berlangsung. “Never surrender until the game is finish. Jangan pernah menyerah sebelum pertandingan itu selesai. Walau pernah tertinggal, apa segala macem, kejar terus, memang bisa kalah” (partisipan 1) “Karena itu, jarang berbuat kesalahan diri sendiri. Jarang berbuat kesalahan diri saya, saya banyak mengambil kesalahan dari lain. Karena, karena games ini, permainan, kita tidak boleh berbuat kesalahan sendiri, artinya unfalse error. Unfalse error itu bahaya, itu bisa membuat, apalagi sekarang. Game sekarang, yang disebut reli point, begitu reli, poinnya pasti yang kena yang menang” (partisipan 1) “Saya tutup telinga aja, yang paling pengaruh itu satu, diri sendiri, kalau kita takut aja… istilahya gini, …pada saat kita masuk lapangan yang paling utama, itu tuh sebelumnya kayak tinjulah mbak, siapa yang berani menantang dia yang jatuh-jatuhan mental di situ, itu pertama kali pada saat masuk orang mungkin tau yah, orang kalau masuk dalam keadaan gini, orang pasti down, tapi coba kalo kita petangtang-petengteng lah istilahnya gitu yah, mau ngapain gitu, mau ngapain. Orang tuh kalau istilahnya bisa masuk dengan tegak itu nilai plus sendiri” (partisipan 2) “Saya mikir gini, orang lain ‘kan sudah merugikan saya, kenapa sih harus merugikan saya sendiri, kalau saya marahkan saya rugi, saya nafsu kan sudah pasti kacau, konsentrasi kacau, feeling saya kacau, pukulan saya pasti kacau, dia sudah merugikan, kenapa saya harus merugikan diri sendiri. Jadi saya pikir ok kamu merugikan saya , berarti saya nggak boleh pinggir-pinggir, kalau ke tengah, ke dalam-dalam gitu, disitu kan ada referee kan, referee kan bukan dari negara bersangkutan” (partisipan 2)
DISKUSI Tema-tema yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan merupakan komponen dan proses dari teori hope. Sikap para partisipan yang positif terhadap bulutangkis menjadikan bulutangkis sebagai bagian yang penting dalam hidup mereka. Sehingga tujuan yang mereka tetapkan merupakan hal yang penting dalam pikiran mereka. Para partisipan memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan yang spesifik yang mereka miliki membuat memudahkan mereka untuk membayangkan jalan (pathways) yang harus ditempuh (Snyder, 2002). Target menjadi pemenang atau juara dunia merupakan hal yang realistis karena sebelumnya Indonesia juga sudah dikenal dengan prestasi mendunia dalam bulutangkis. Meskipun tujuan tersebut memiliki derajat ketidakpastian (Snyder, Rand, dan Sigmon, 2002). Keberhasilan partisipan mencapai juara tertentu menghantar mereka untuk terus merancang tujuan berikutnya dan terpacu untuk meraih tujuan tersebut (Snyder, 2002). Untuk mencapai tujuan tersebut para partisipan memikirkan atau membayangkan cara untuk mencapainya. Mereka mendapati dirinya memiliki rute yang dapat dilalui untuk mencapai tujuan yang diimpikannya (Snyder, 2002). Rute tersebut terlihat dari kesadaran mereka terhadap pencapaian prestasi mereka saat itu. Kesadaran
33
Analisis Hope pada Atlet Bulutangkis Indonesia Juara Dunia Era ’70 & ’90
tersebut menjadi awalan mereka, sementara rute yang mereka tunjukkan menjadi keyakinan bahwa mereka memiliki keterampilan berikut ini: sikap, motivasi, tujuan dan komitmen, keterampilan antarpersonal, self-talk, pembayangan mental, pengelolaan kecemasan, pengelolaan emosi, dan konsentrasi. Keterampilan mental tersebut menjadi cara untuk mencapai tujuan mereka. Self-talk yang dilakukan oleh kedua partisipan juga sesuai dengan penelitian Synder, Lapointe, Crowson, Early (1998 dalam Snyder, 2002) yang menemukan bahwa orang-orang dengan hope yang tinggi cenderung melakukan self-talk seperti “Saya bisa melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti”. Self-talk yang dominan dari partisipan 2 yaitu “tahan, tahan, bisa” setara dengan “Saya bisa melakukan ini”. Sementara self-talk dari partisipan 1 yaitu “Pokoknya apa yang ditugas, saya mesti menang”, menggambarkan bahwa ia tidak akan berhenti sampai meraih posisi juara. Walaupun diteliti dalam budaya yang berbeda serta waktu yang terpaut lebih dari satu dekade, tetapi preferensi kata yang dipakai untuk memberi semangat pada diri sendiri cenderung sejenis. Pencapaian tujuan dengan mengandalkan pengetahuan akan keterampilan mental yang ada ditunjukkan oleh mereka dalam proses yang berkelanjutan hingga akhirnya para partisipan meraih juara dunia. Mereka meyakini bahwa mereka dapat mengandalkan diri sendiri untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan. Karakteristik tersebut sejalan dengan karakteristik orang dengan hope yang tinggi seperti yang dipaparkan oleh Snyder (2002). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Snyder, Cook, Ruby, Rehn, dan Curry (1997) yang menemukan trait-hope memprediksikan pencapaian atletik. Sehingga dapat dikatakan bahwa atlet yang prima membutuhkan hope yang tinggi untuk dapat mencapai prestasi dunia dalam bulutangkis.
SIMPULAN & SARAN Hasil dari studi ini dapat disimpulkan bahwa atlet bulutangkis yang memiliki hope yang tinggi dinilai berhasil dalam meraih prestasi juara dunia. Tujuan yang menantang untuk mencapai juara dunia disertai dengan jalur (pathways) yang direpresentasikan dalam keterampilan mental seperti: sikap, motivasi, tujuan dan komitmen, keterampilan antarpersonal, self-talk, pembayangan mental, pengelolaan kecemasan, pengelolaan emosi, dan konsentrasi. Keterbatasan dalam studi ini yaitu terletak pada waktu wawancara yang minim pada kedua partisipan. Masing-masing partisipan ditemui satu kali dan diwawancara selama 1,5 – 2 jam. Hal ini karena kesibukan para partisipan yang masih aktif di bidang olah raga baik sebagai anggota pengurus klub bulutangkis maupun wirausahawan. Sehingga perlu dilakukan studi lanjutan mengenai yang lebih mendalam untuk melihat apakah ada pathway lain dalam yang dilalui mereka, selain dari apa yang digali dengan bantuan panduan wawancara. Penelitian ini juga belum mengulas lebih dalam mengenai aspek-aspek ulayat yang khas dalam teori hope pada atlet bulutangkis Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya bisa memperhatikan aspek ulayat ini. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai penerapan hope dalam peraihan prestasi di bidang olahraga bulutangkis, khususnya di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Asian Psychological Association yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian ini pada Kongres Keempatnya di Universitas Tarumanagara, Jakarta, pada 7 Juli 2012. Artikel ini awalnya berjudul “Hope in Gold
34
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 25–36
Medal Winning Badminton Athletes”, dan ditulis dalam bahasa Inggris. Dalam jurnal ini, artikel tersebut ditulis ulang dalam bahasa Indonesia dan mengalami penambahan isi.
DAFTAR PUSTAKA Lopez, S. J., Snyder, C. R., Mgyar-Moe, J. L., Edwards, L. M., Pedrotti, J. T., Janowski, K., Turner, J. L., Pressgrove, C. (2004). Strategies for accentuating hope. In Linley, P. A., Joseph, S. (Ed.) Positive psychology in practice. New Jersey: John Wiley & sons, Inc. Maksum, A. (2006). Ciri Kepribadian Atlet Berprestasi Tinggi. Unpublished Doctoral Dissertation, Universitas Indonesia, Depok. Snyder, C. R., Curry, L. A., Cook, D. L., Ruby, B. C., & Rehm, M. (1997). The role of hope in studentathlete academic and sport achievement. Journal of Personality and Social Psychology, 73(6), 57-1267. Snyder, C. R. (2002). Rainbows in The Mind. Psychological Inquiry, 13(4),249-257. Snyder, C. R., Rand, K. L., Sigmon, D. R. (2002). Hope theory: a member of the positive psychology family. Dalam Snyder, C. R., Lopez, S. J. (Ed), Handbook of Positive Psychology (pp. 257270). New York: Oxford University Press. Wang, L., Huddleston, S., Lu, P. (2003). Psychological Skills Use by Chinese Swimmers. International Sports Journal, 7(1),48-55. ProQuest Research Library. Willig, C. (2008). Introducing to Qualitative Research in Psychology. (2nd ed.). New York: McGrawHill. Internet Epstein, R. (1999). Helping Athletes Go For The Gold. Psychology Today. 32(3),20. ProQuest. Kurniawan, P.T. (2012). Kapan Prestasi Bulutangkis Indonesia Bangkit? Kompasiana. Ditemukan kembali pada 14 September 2012. Diunduh dari http://olahraga.kompasiana.com/ raket/2012/05/26/kapan-prestasi-bulutangkis-indonesia-bangkit/ Lesyk, J. (2007). The Nine Mental Skill of a Successful Athletes. Ditemukan kembali pada 13 Juni 2012. Diunduh dari http://www.podiumsportsjournal.com/2007/02/17/the-nine-mental-skillsof-a-successful-athlete/
35
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 37–44
KESENJANGAN ASPIRASI KARIR ANTARA REMAJA DAN ORANGTUA Entin Nurhayati Fakultas Psikologi Universitas YARSI Jl Letjend Suprapto Kav 13, Cempaka Putih Jakrta 10510
[email protected]
Abstract The aim of this study is to get information about the magnitude of career aspiration gab between teenager and parents and its correlation with family interaction and emotional independence. The subject of this study are 295 students of grade 11th and 12th years of a public high school at Cempaka Putih, Central Jakarta. Result show that there is a negative significant correlation between gap aspiration career (among adolescent and their parents) and emotional independency (parental deidealization aspect, Ʈ =-0.118, ρ = 0.006). It means the higher skor in emotional independence, would be followed by the lower of aspiration career gap between parents-adolescence, and vice versa. There is also shown a negative significant correlation between gap aspiration career (between adolescent and their parents) and interaction with family (Ʈ = -0.331, ρ = 0.000). It means the higher skor in interaction with family, would be followed by the lower of aspiration career gab between adolescent and their parents). This result shows the importance of emotional development among adolescence and it’s relation wiht interaction with the family in aspiration career gab between adolescence and their parent. Key Word: career aspiration, adolescent, emotional independence, family interaction Abstrak Studi ini bermaksud melihat seberapa besar kesenjangan aspirasi karir remaja dengan orang tua berhubungan dengan oleh tingkat interaksi dan independensi emosi dengan keluarga. Remaja pada penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI dan XII sebuah SMA di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dari 295 subjek didapatkan gambaran terdapat hubungan negatif yang signifikan antara gap aspirasi karir remaja dengan independensi emosi (aspek parental deidealization, Ʈ =-0.118, ρ = 0.006). Artinya semakin tinggi independensi emosi remaja semakin rendah gap aspirasi karir antara remaja dengan orang tua, dan begitu pula sebaliknya. Begitu pula hubungannya dengan interaksi dengan keluarga menunjukkan korelasi negatif yang signifikan (Ʈ = -0.331, ρ = 0.000). Artinya semakin tinggi interaksi dengan keluarga semakin rendah kesenjangan aspirasi karir antara remaja dengan orangtua, begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan betapa penting perkembangan emosi remaja dan hubungannya dengan keluarga dalam memperkecil kesenjangan aspirasi karir antara remaja dan orang tua. Kata Kunci: aspirasi karir, remaja, independensi emosi, interaksi dengan keluarga
37
Kesenjangan Aspirasi Karir antara Remaja dan Orangtua
PENDAHULUAN Baly (1989, dalam Hellenga, Aber dan Rhodes, 2002) menyebutkan aspirasi pekerjaan adalah pernyataan tentang pekerjaan yang diinginkan pada kondisi-kondisi ideal. Kondisi ideal di sini maksudnya adalah keadaan yang berbeda dengan yang dihadapi saat ini yang dianggap mendukung si remaja untuk mencapai karir. Misalnya kondisi ideal yaitu remaja dalam keadaan dapat memilih jurusan apa pun tanpa terbebani pikiran bagaimana membayar biaya pendidikannya. Baly (1989, dalam Hellenga,dkk,2002) juga mengemukakan tentang harapan pekerjaan, yaitu pernyataan tentang pekerjaan yang diinginkan dengan mempertimbangkan factor-faktor realitas yang melingkupinya dan mungkin berpengaruh dalam meraih aspirasi pekerjaan tersebut (Baly, 1989, dalam Hellenga, dkk, 2002. Perbedaan antara aspirasi dan harapan pekerjaan ini adalah dalam mempertimbangkan faktorfaktor ataupun kondisi-kondisi yang dapat mendukung tercapainya pekerjaan. Dalam aspirasi karir, meliputi semua faktor dan kondisi yang dianggap mendukung tercapainya suatu pekerjaan. Sedangkan pada harapan karir, faktor dan kondisi yang dianggap mendukung tecapainya suatu pekerjaan tersebut diperhitungkan sebagai realitas yang dihadapi individu. Pilihan karir remaja mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia remaja. Pada masa remaja awal, pilihan karirnya masih belum realistis, kemudian mengkristal menjadi pilihanpilihan yang lebih spesifik dan mantap di akhir masa remaja. Ginsberg (1952, dalam Migunde, Agak dan Odiwuor, 2011) menyebutkan pada usia 11-14 tahun, pilihan karir remaja masih berifat tentatif, dipilih berdasarkan pada ketertarikan tanpa memperhatikan realitas yang dihadapinya. Pada usia 14 – 24 tahun, remaja mulai melakukan eksplorasi lebih lanjut dan membuat keputusan final tentang pekerjaan yang akan mereka tekuni. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hirschi (2010) yang menyebutkan bahwa setelah usia 14 tahun, seseorang mulai melakukan penyesuaian pilihan karir dengan faktor personal dan mulai berkompromi dengan faktor-faktor realistis lainnya. Super (1953 dalam Hellenga, dkk, 2002) menyebutnya dengan proses kristalisasi aspirasi karir, yang terjadi di akhir masa remaja. Levine & Hoffner (2006, dalam Porfeli, Wang & Haftung, 2008) menyebutkan bahwa pengenalan terhadap jenis-jenis pekerjaan pertama kali didapatkan dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya yang merupakan anggota keluarganya.Sedangkan sumber informasi utama yang dijadikan referensi oleh remaja dalam memilih jenis pekerjaan adalah orang tua, baru kemudian sekolah dan kerja paruh waktu (Levine dan Hoffner, 2006). Dari sumber-sumber informasi tentang pekerjaan inilah remaja memperoleh dan mengeksplorasi tentang persyaratan umum, aspek-aspek positif dan negative, saran dan informasi-informasi lain tentang suatu pekerjaan. Pengenalan terhadap suatu karir diperoleh melalui proses interaksi yang terjadi antara orangtua dengan anak. Informasi ini diserap oleh seorang anak melalui proses pemahaman sesuai dengan kemampuannya. Informasi tersebut juga akan diperkaya melalui eksplorasi yang dia lakukan terhadap lingkungannya. Sedangkan kemampuan dan kemauan mengeksplorasi lingkungan tersebut terkait dengan kelekatan dengan orang tua. Seorang anak yang memiliki kelekatan yang aman akan cenderung mengksplorasi lingkungan dengan lebih bebas dan luas dibandingkan dengan anak yang memiliki kelekatan tidak aman, atau tidak jelas dengan orang tuanya. Seorang anak yang memiliki kelekatan yang baik dengan orang tua, memiliki rasa aman dan secara emosi bisa mandiri untuk menghadapi berbagai hal (Wolf dan Betz, 2004, dalam Nota, Ferrari, Solberg dan Soresi, 2007). Selain mendapatkan informasi tentang suatu pekerjaan dan persyaratannya, dari orangtua, remaja juga mengembangkan sikap terhadap suatu pekerjaan. Penelitian menunjukkan dari orangtua, anak lebih mendapat gambaran yang negatif tentang pekerjaan (Levine & Hoffner, 2006). Hal ini terjadi
38
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 37–44
karena biasanya orangtua kembali ke rumah dalam keadaan lelah dan melampiaskan emosi-emosi negatif dari tempat pekerjaan di rumah. Keterlibatan orangtua yang terlalu jauh terhadap aspirasi karir remaja juga menunjukkan pengaruh yang negatif. Pengaruh negatif ini terutama terjadi ketika terjadi perbedaan yang cukup besar antara aspirasi karir si remaja dengan orangtua (Middletone & Loughead, 1993). Ketika terjadi perbedaan aspirasi karir antara orang tua dengan remaja, terjadilah suatu konflik. Bagaimana konflik itu diatasi menjadi kunci bagi keberhasilan seorang remaja dalam membentuk aspirasi karirnya. Berdasar hal uraian di atas, menjadi menarik bagi penulis untuk meneliti kesenjangan antara aspirasi karir remaja dengan aspirasi karir orang tua terhadap karir anaknya, ditinjau dari interaksi dan interdepensi emosi dalam keluarga. Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara interaksi dan interependensi emosi remaja dengan kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua? Pertanyaan Penelitian 1. 2.
Apakah terdapat hubungan antara interaksi dengan keluarga dengan kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua? Apakah terdapat hubungan antara interdependensi emosi dalam keluarga dengan kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua?
Hipotesis 1. 2.
Terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi dengan keluarga dengan kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua. Terdapat hubungan yang signifikan antara interdependensi emosi dalam keluarga dengan kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua.
METODE Partisipan. Partisipan terdiri dari 295 remaja yang duduk di bangku SMA Negeri di kawasan Cempaka Putih, kelas XI dan XII, terdiri dari 153 siswa kelas IPA dan 142 siswa IPS. Desain. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional. Prosedur. Kepada siswa tersebut diberikan satu set angket yang terdiri dari skala independensi emosi, interaksi dengan keluarga dan skala aspirasi karir. Teknik analisis dan alat ukur.Skala independensi emosi dikembangkan dari skala serupa yang dibuat oleh Steinberg & Silverberg (1986). Skala berupa pernyataan yang memiliki pilihan sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju, dengan skor bergerak dari 1 s.d 4. Contoh pernyataan : “Orang tuaku dan aku mempunyai kesamaan pandangan dalam hal apa pun”. Skor 1 akan diperoleh jika responden menjawab sangat setuju. Dari 4 aspek skala ini, hanya aspek parental
39
Kesenjangan Aspirasi Karir antara Remaja dan Orangtua
de-idealization-lah yang memiliki reliabilitas yang cukup, yaitu 0.601, terdiri dari 5 item, dengan skor korelasi terkoreksi item-total antara 0.295 s/d 0.459. Skala interaksi dengan orang tua dikembangkan berdasarkan pada tiga aspek yaitu aktivitas bersama keluarga, perasaan nyaman dalam mengemukakan pendapat di depan keluarga, dan perasaan nyaman dalam menyampaikan keadaan dirinya pada keluarga. Aspek tersebut ditanyakan dalam bentuk dimensi dua kutub dengan lebar rentang respon sebesar 6 poin sehingga skor akan bergerak dari angka 1 sampai 6. Reliabilitas skala interaksi ini adalah sebesar 0,798. Contoh : “Seberapa dekat hubunganmu dengan keluargamu?” Disediakan respon berupa kata tidak dekat sama sekali di sisi kiri dan sangat dekat di sisi kanan. Di antara dua kata tersebut terdapat 6 kolom yang harus dicentrang oleh responden. Skor 6 akan diperoleh jika responden memberikan tanda centrang pada kolom paling kanan (paling dekat dengan kata sangat dekat), dan skor akan semakin kecil jika responden memberikan tanda centrang semakin ke kiri (semakin dekat ke kata tidak dekat sama sekali). Skala kesenjangan aspirasi karir dikembangkan dengan mengamati tiga aspek yaitu penilaian subjek terhadap sikap setuju/tidak setuju orang tua terhadap pilihan karir si remaja, upaya ekspos positif orang tua terhadap karir pilihan si remaja dan intensitas diskusi mengenai pilihan karir si remaja. Reliabilitas skala ini adalah 0.914. Pernyataan diberikan dalam bentuk seperti pada skala interaksi dengan keluarga di atas. Contoh : “Pendapat orang tua saya mengenai cita-cita saya tersebut adalah…” Disediakan pilihan respon berupa kata sangat setuju dan sangat tidak setuju. Di antara dua kata tersebut terdapat 6 kolom yang harus dicentrang oleh responden. Skor 6 akan diperoleh jika responden memberikan tanda centrang pada kolom paling kanan (paling dekat dengan kata sangat tidak setuju), dan skor akan semakin kecil jika responden memberikan tanda centrang semakin ke kiri (semakin dekat ke kata sangat setuju).
ANALISIS & HASIL Hasil pengukuran menunjukkan pada skala independensi emosi remaja dengan orang tua, tampak bahwa independensi emosi subjek penelitian berada pada taraf sedang cenderung tinggi (range data minimum 9 maksimum 20 dengan mean 13.0664 > dibandingkan mean hipotetik 12.5 dengan range skor hipotetik minimum 5 maksimum 200 . Dalam hal ini remaja pada subjek ini relatif tidak terlalu memandang orang tuanya sebagai sosok yang sangat ideal. Pada skala kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua, kesenjangan karir remaja-orang tua subjek penelitian pada skala ini relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai tengah data lebih kecil dari nilai tengah hipotetik (nilai tengah hipotetik 18,5 > 10,8373). Sedangkan pada skala interaksi dengan orang tua, tampak bahwa subjek pada penelitian ini mempunyai tingkat interaksi yang cukup tinggi dengan orang tuanya. (nilai tengah hipotetik 18.5 < nilai tengah data 21.2983). Uji normalitas data menunjukkan hanya pada variable interaksi dengan keluargalah yang menunjukkan data terdistribusi normal. Untuk itu analisa selanjutnya menggunakan analisis non parametrik. Hasil uji korelasional menunjukkan terdapat korelasi negatif yang signifikan antara gap cita-cita dengan independensi emosi remaja di mana semakin tinggi gap cita-cita antara remaja dengan orang tua, semakin rendah independensi emosi remaja. Dalam hal ini, semakin tinggi gap cita-cita remaja dengan orang tua, semakin remaja melihat orang tua sebagai sosok yang ideal. Uji korelasi antara kesenjangan cita-cita dengan interaksi dengan keluarga menunjukkan adanya korelasi yang negatif. Di mana semakin tinggi kesenjangan cita-cita antara remaja dengan orang tua, semakin rendah interaksi dengan keluarga. Selain itu ditemukan terdapat hubungan positif yang signifikan antara
40
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 37–44
variabel independensi emosi remaja dengan interaksi dengan keluarga. Dalam hal ini semakin remaja tidak menempatkan orang tua sebagai sosok yang sangat ideal, semakin tinggi interaksi remaja dengan keluarga. Temuan pada penelitian ini sesuai dengan hipotesa penulis. Interaksi dengan orang tua memungkinkan anak mendapat informasi lebih banyak tentang suatu karir, pun menjadi kesempatan bagi orang tua untuk memberikan gambaran tentang karir tertentu yang menurut orang tua cocok bagi anaknya. Seperti yang dikemukakan oleh Porfeli, Wang dan Hartung (2008) bahwa orang tua merupakan sumber pertama bagi remaja dalam melakukan orientasi karir. Dialog karir antara orang tua dan anak ini akan memberikan pemahaman yang lebih akan suatu karir yang diidamkan orang tua maupun anak, pun peningkatan pemahaman orang tua atas kesesuaian maupun minat anak pada suatu karir. Sehingga dengan meningkatkan interaksi remaja dengan orang tua, dapat diharapkan perbedaan dalam memilih suatu karir dapat lebih dipersempit. Di atas juga disebutkan bahwa interdependensi emosi berkorelasi positif dengan gab aspirasi karir remaja-orangtua. Artinya semakin mandiri si remaja secara emosi, semakin kecil kesenjangan karir antara remaja-orangtua. Germeijs dan Verschueren (2009) menemukan bahwa rasa aman yang dimiliki oleh seorang remaja – yaitu khususnya terhadap ibunya – menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam menghadapi tugas orientasi keputusan karir, juga dalam hal eksplorasi yang luas dan mendalam terhadap lingkungan dan juga dalam hal mengeksplorasi dirinya untuk masa depannya. Sedangkan rasa aman tersebut – attachment – merupakan modal dasar tercapainya kemandirian emosi. Sehingga wajarlah jika remaja yang memiliki kemandirian emosi akan lebih mampu dan merasa aman untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya termasuk pada berbagai pilihan-pilihan karir yang ada. Dengan eksplorasi yang lebih luas dan mendalam, si anak akan lebih mampu memilih karir dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih sesuai dengan keadaan dirinya. Termasuk di dalamnya adalah persyaratan untuk dapat mencapai karir tersebut, yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya sendiri maupun lingkungan yang mana salah satunya adalah kemampuan orang tua dalam menyediakan pendidikan baginya.
DISKUSI Temuan pada penelitian ini sejalan dengan temuan dari Nota, Ferrari, Solberg, dan Soresi (2007). Nota dkk menyebutkan bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan self-efficacy remaja untuk melakukan pencarian terhadap suatu karir. Dukungan keluarga membuat remaja mampu dan mau mengarahkan dirinya sendiri untuk melakukan eksplorasi terhadap diri maupun terhadap karir yang akan ia geluti kelak. Keadaan yang demikian membuat remaja memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat membuat pilihan karir yang lebih realistis. Semakin realistis pilihan suatu karir, semakin besar kemungkinan mendapat persetujuan dan dukungan dari oleh orang tua. Temuan penelitian ini juga sejalan pendapat Hitlin (2006) bahwa keluarga membentuk aspirasi karir seseorang. Dalam penelitiannya Hitlin mencoba mengungkap bagaimana mekanisme pembentukan aspirasi tersebut terjadi. Hitlin menemukan bahwa faktor sosio ekonomi orang tua menjadi faktor yang penting dalam pembentukan aspirasi karir tersebut. Hitlin menemukan tingkat prestise pekerjaan ayah berhubungan secara positif dengan aspirasi karir remaja. Temuan lain yang cukup menarik dari penelitian ini adalah pada pengukuran terhadap independensi emosi remaja. Dari empat aspek independensi emosi remaja sebagaimana dikemukakan Steinberg dan Silverberg (1986), hanya aspek parental de-idealization yang mempunyai reliabilitas cukup baik (di atas 0.6). Sedangkan aspek lain reliabiltas skala berada di bawah 0.6). Terdapat beberapa
41
Kesenjangan Aspirasi Karir antara Remaja dan Orangtua
kemungkinan mengapa hal ini dapat terjadi. Diantaranya adalah dalam hal konsep independensi emosi tersebut. Pada penelitian ini proses adaptasi alat ukur melalui beberapa tahap. Tahap alih bahasa item, menggunakan cara backward translation, yaitu item-item asli dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian oleh pihak lain lagi, item bahasa Indonesia tersebut ditranslasikan kembali ke dalam bahasa Inggris. Selanjutnya diperbandingkan antara item asli berbahasa Inggris dengan item yang telah diterjemahkan ulang. Review terhadap hasil item terjemahan bahasa Inggris dengan item asli menunjukkan telah mencapai makna yang sama, maka item dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan telah selesai. Namun terdapat hal yang belum dilakukan dalam penelitian ini adalah uji konstruk terhadap item-item yang diadaptasi tersebut.
SIMPULAN & SARAN Kesimpulan hasil penelitian adalah terdapat hubungan terbalik antara gap cita-cita remajaorangtua dengan independensi emosi remaja terhadap orang tua.Terdapat hubungan terbalik antara gap cita-cita remaja-orangtua dengan interaksi dengan keluarga. Dari uji parsial didapatkan bahwa variabel independensi emosi remaja dan variabel interaksi remaja dengan keluarga, bersama-sama berhubungan dengan gap cita-cita, dalam hubungan yang negatif. Pada penelitian ini, responden adalah remaja yang duduk di bangku SMA Negeri. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih representative mengenai fenomena ini pada remaja umumnya, pada penelitian yang akan datang sebaiknya dilakukan perluasan subjek misalnya dengan melibatkan remaja dari kelompok lain, seperti remaja yang putus sekolah, remaja yang sudah bekerja dan lainnya. Dari sisi pengukuran, pengukuran kesenjangan aspirasi karir pada penelitian ini adalah pada persepsi remaja, yang akan datang dilakukan dengan melibatkan pengukuran terhadap orang tua. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keadaan independensi emosi remaja – dalam hal ini aspek parental de-idealization) yang meningkat, akan disertai dengan tingkat interaksi remaja dengan orang tua yang meningkat pula, serta diiringi dengan kesenjangan aspirasi karir yang menurun. Dari sini, tampak bahwa penting bagi orang tua untuk mendorong independensi emosi remaja dengan membiarkan remaja mendapat gambaran yang lebih obyektif tentang orang tua (tidak jaim). Diharapkan hal tersebut dapat mendorong remaja untuk lebih banyak berinteraksi dengan keluarga dan pada akhirnya mampu mengurangi kesenjangan aspirasi karir remaja-orangtua
DAFTAR PUSTAKA Germeijs, V., & Verschueren, K. (2009). Adolescents’ Career Decision-Making Process: Related to Quality of Attachment to Parents?, Journal Of Research On Adolescence, Vol 19 (3), 459– 483 Hellenga, Kate., Aber, M.S., & Rhodes, J.E. (2002). African American Adolescent Mothers’ Vocational Aspiration-Expectation Gap: Individual, Social and Environmental Influences. Psychology of Woman Quarterly, 26, 200-212 Hirschi, A. (2010). Swiss Adolescents’ career Aspirations: Influence of Context, Age and Adaptability. Journal of Career Development, 36(3), 228-245 Hitlin, S. (2006). Parental Influences On Children’s Values And Aspirations: Bridging Two Theories Of Social Class And Socialization. Sociological Perspectives, Vol. 49, Issue 1, pp. 25–46
42
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 37–44
Levine, K.J. & Hoffner, C.A. (2006). Adolsecents’ Conception of Work: What Is Learned From Different Sources During Anticipatory Socialization. Journal of Adolescent Research, 21, 647-653 Nota, L., Ferrari, L., Solberg, V.S.H. & Soresi, S. (2007). Career Search Self-Efficacy, Family Support, and Career Indecision With Italian Youth. Journal of Career Assessment,Vol 15, 181-193 Middleton, Eric B. & Loughead, T.A. (1993) Parental Influence on Career Development:An Integrative Framework for Adolescent Career Counseling. Journal of Career Development, Vol. 19(3), 161-173 Migunde, Q., Agak, J., & Odiwuor, W. (2011), Career Aspirations and Career Development Barrirs of Adolescents in Kisumu Municipality, Kenya. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies, 2 (5), 320-324 Porfeli, E.J., Wang, C., & Hartung, P.J. (2008). Family Transmission ff Work Affectivity and Experiences To Children. Journal of Vocational Behavior, Vol 73, 278–286 Steinberg, L. & Silverberg, S.B. (1986). The Vicissitude of Autonomy in Early Adolescent. Child Development, 57, 841-851
43
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PEGAWAI NEGERI SIPIL MENGHADAPI PENSIUN Christian Clara Moningka Program Studi Psikologi Univeristas Bunda Mulia Jalan Lodan Raya No. 2, Ancol Jakarta Utara 14430
[email protected] [email protected]
Abstract Someday, Ones must ended their working period. It is usually called retirement. Retirement is one of the frightening specter for the middle adult individuals. Fear of retirement shall cause anxiety. Overcoming anxiety can be different depending on the ability to cope with it (Cheung & Sun, 2000 cited Pajares, 2006) and enhanced by the ability and competence to perform a task, goal, or to overcome strong resistance is called self-efficacy. (Bandura, in Baron & Byrne, 2004). This study is a correlation research is aimed to understand the relationship between self-efficacy and anxiety facing retirement in the civil service civilians. The sample of the study was 87 people who will retire before the end of 2013 at the Ministry of X. This research is a quantitative study with two scales as a measurement tools, the Self Efficacy scale and Anxiety scale facing retirement adapted and developed by researchers using a Likert scale based components of self-efficacy (Bandura, 1986) and a form of anxiety facing retirement (Bucklew, 1980 From the analysis of the results obtained a negative relationship between self-efficacy with anxiety facing retirement in the civil service with a value of r = - .409 (p = .01). This means that self-efficacy is higher the lower the anxiety level civil servants who face pension, and conversely the lower the self-efficacy, the higher the anxiety level civil servants who will face retirement. Keywords: self-efficacy, anxiety, retirement Abstrak Pensiun merupakan salah satu momok yang menakutkan bagi para individu dewasa madya, apalagi bila individu tersebut sedang berada di puncak karirnya. Ketakutan akan pensiun tersebut menimbulkan kecemasan. Mengatasi kecemasan dapat berbeda tergantung pada kemampuan untuk mengatasi kecemasan tersebut (Cheung & Sun dalam Pajares, 2006) dan ditingkatkan melalui kemampuan dan kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan yang kuat yang disebut self efficacy. (Bandura dalam Baron & Byrne, 2004). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pengawai negeri sipil. Adapun sampel dari penelitian ini adalah 87 orang yang akan menjelang pensiun hingga akhir tahun 2013
45
Self Efficacy dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun
pada kementrian X. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan dua buah skala sebagai alat ukur, yaitu skala Self Efficacy dan skala Kecemasan menghadapi pensiun yang diadaptasi dan dikembangkan oleh peneliti dengan menggunakan skala Likert berdasarkan komponen self efficacy (Bandura, 1986) dan bentuk kecemasan menghadapi pensiun (Bucklew, 1980). Dari hasil analisa diperoleh diperoleh hubungan yang negatif antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai negeri sipil dengan nilai r = -.409 (p = .01). Artinya adalah semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah tingkat kecemasan pegawai negeri sipil yang akan menghadapi pensiun, dan sebaliknya semakin rendah self efficacy maka semakin tinggi tingkat kecemasan pegawai negeri sipil yang akan menghadapi pensiun. Kata Kunci : self efficacy; kecemasan; pensiun
PENDAHULUAN Pensiun adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya (Turner & Helms dalam Purnamawati, 2007). Menurut penelitian (Dinsi, Setiati, Yuliasari, 2006) pihak yang paling takut menghadapi masa pensiun adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kecemasan dan stres psikologis saat pensiun lebih banyak dialami oleh individu yang bekerja sebagai PNS. Individu yang merasa cemas baik secara psikis maupun biologis, dalam dirinya akan terjadi gangguan antisipasi akan harapan di masa yang akan datang. Kecemasan adalah perasaan campuran berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai rasa-rasa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2000). Hal senada juga dikatakan dalam Bandura (1997) bahwa individu yang mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar yang sering mengganggu kehidupan mereka. Kecemasan PNS Ini dikarenakan dari segi ekonomi pendapatan yang jauh dibandingkan dengan pendapatan pegawai lainnya. Dalam memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, penyesuaian psikologis, penyesuaian akan kondisi keuangan, kehilangan kontak sosial (Turner & Helms, 1987 dalam Putri, 2010), kehilangan harga diri karena kehilangan jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif dan kehilangan perasaan berarti dalam suatu kelompok tertentu (Turner & Helms, 1983 dalam Handayani, 2008). Seseorang yang telah habis masa purna tugasnya atau pensiun cenderung akan mengalami depresi, mental shock atau goncangan kejiwaan yang dikenal dengan istilah post power syndrome yaitu gejala kejiwaan yang kurang stabil dan muncul ketika seseorang turun dari jabatan yang dimiliki sebelumnya. Gejala ini ditandai dengan wajah yang tampak jauh lebih tua, pemurung, sakit-sakitan, lemah mudah tersinggung, merasa tidak berharga, melakukan pola-pola kekerasan yang menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat lain (Rini, 2001). Akan tetapi, dari sekian banyak penyebab di atas, faktor utama yang mendasari seorang yang cenderung cemas menghadapi pensiun adalah oleh karena perasaan kehilangan (Hadi, 2004). Untuk menangani masalah di atas, antara satu individu dengan individu yang lainnya berbeda, tergantung pada penilaian diri individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self efficacy (Sarafino, 1994). Baron dan Byrne (2004) mengemukakan self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Selain itu, self efficacy juga sebagai perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan individu dalam mengatasi kehidupan (Schultz, 1994 dalam Anwar, 2009).
46
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
Keyakinan efficacy dikatakan dapat mempengaruhi individu dalam mengintepretasikan suatu kejadian. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah dengan mudah akan yakin bahwa usaha yang mereka yang lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif yang datang. Sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009 dalam Pujiati, 2010). Ketika individu menghadapi suatu tekanan, dalam hal ini kecemasan menghadapi pensiun, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997 dalam Baron & Byrne, 2004). Individu seringkali kurang memiliki self efficacy dalam situasi interpersonal yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan sosial (Morris, 1995 dalam Baron & Byrne, 2004); atribusi yang tidak tepat, tidak memadainya karakter diri, dan tidak bersedia untuk mengambil inisiatif dalam persahabatan (Fan & Mark, 1998 dalam Baron & Byrne, 2004). Tiap individu memiliki karakteristik seperti kemampuan, kepercayaan pribadi, harapan, kebutuhan, kegigihan dalam menghadapi rintangan dan pengalaman masa lalunya (Sambodo, 2012). Self Efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu, tetapi bukan berarti tidak berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan seseorang dapat meningkatkan self efficacy (Bandura, 1986 dalam Baron & Byrne, 2004). Dalam menghadapi masa pensiun, keyakinan atas kemampuan diri sendiri dalam mengatasi tekanan akan mempengaruhi kesiapan individu dalam menghadapi pensiun. Penelitian ini akan dilakukan pada Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Pertahanan RI. Kementerian Pertahanan RI adalah salah satu Kementerian yang memiliki pegawai bukan hanya pegawai negeri sipil melainkan terdapat TNI, dimana pada level dan golongan yang sama, mulai dari gaji pokok hingga uang lauk pauk antara PNS dengan TNI adalah berbeda besarannya sehingga tentu terdapat perbedaan dari segi penghasilan walaupun golongan kerja dan masa kerja yang sama. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan kecemasan dalam menghadapi pensiun bagi pegawai negeri sipil di Kementerian Pertahanan RI. Tinjauan Teori 1.
Self Efficacy a.
Definisi Self Efficacy Self Efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan (Bandura, 1977 dalam Baron & Byrne, 2004). Woolfolk (2009) juga menyebutkan bahwa self efficacy adalah kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi khusus. Performa fisik (Courneya & McAuley, 1993; Duncan & McElnoy, dalam Adair, 1998), mencapai kesuksesan (Sanna & Pusecker dalam Hennessy, Elisabeth, Nicole, 2006), performa dalam pekerjaan (Ivancevich, Konopaske, Michael, 2007), dan kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan depresi (Cheung & Sun, dalam Pajares, Urdan, 2006), ditingkatkan melalui perasaan yang kuat akan self efficacy.
47
Self Efficacy dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun
Pada umumnya orang akan bertindak untuk mencapai tujuan, jika individu merasa akan mendapat hasil dari tindakannya tersebut. Jika ia tidak yakin bahwa tindakannya akan berhasil, maka ia merasa imbalan untuk tindakannya cenderung tidak ada atau relative hanya sedikit (Bandura dalam Baron & Byrne, 2004). Makin tinggi self efficacy seseorang, makin ia merasa yakin bahwa ia mampu merampungkan tindakannya; sebaliknya makin rendah self efficacynya, makin ia merasa tidak mampu menuntaskan tindakannya (Bandura, 1997, dalam Setiadarma, 2005). Ketika menemui kesulitan, individu yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan menyerah, sementara individu yang memiliki self efficacy yang kuat akan memunculkan usaha yang lebih besar untuk menguasai tantangan (Bandura, dalam Assaat, 2007). Dapat disimpulkan, bahwa self efficacy merupakan kemampuan seseorang dalam kompetensinya untuk mencapai suatu tujuan, serta kemampuan dalam mengatasi suatu hambatan dan kecemasan dalam situasi khusus yang dihadapinya. b.
Komponen Self Efficacy Bandura (1986) mengatakan bahwa perbedaan self efficacy pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu komponen magnitude, generality, dan strength. Masing-masing komponen memiliki implikasi yang penting di dalam performansi, yang dapat diuraikan sebagai berikut;
2.
•
Komponen Magnitude Komponen magnitude (tingkat kesulitan tugas) adalah masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu (Bandura, 1986). Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasar ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.
•
Komponen Generality Komponen generality adalah hal yang berkaitan mencakup luas bidang tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
•
Komponen Strength Komponen strength adalah berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman–pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang.
Kecemasan a.
Definisi Kecemasan Hilgard (dalam Atkinson, 1996) menjelaskan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran,
48
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
keprihatinan dan rasa takut yang kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Sementara, stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins dalam Prasetyo, Saputro, 2012). Freud (dalam Semium, 2006) mengatakan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang mengikutkan orang terhadap bahaya yang akan datang. b.
Tingkat Kecemasan Simtom-simtom somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan menurut Stern (1964) adalah muntah-muntah, diare, denyut jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai tremor pada otot. Kartono (1981) menyebutkan bahwa kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau gempar gelisah. Menurut Bucklew (1980), para ahli membagi bentuk kecemasan itu dalam dua tingkat, yaitu:
3.
•
Tingkat Psikologis Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya.
•
Tingkat Fisiologis Kecemasan sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala fisik, terutama pada fungsi sistem saraf pusat, misalnya: tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, keluar keringat dingin berlebihan, sering gemetar dan perut mual dan sebagainya.
Definisi Pensiun
Pensiun merupakan akhir dari seseorang melakukan pekerjaannya. Beverly (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masa tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapinya kelak. Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Batasan yang lebih jelas dan lengkap oleh Corsini (1987) mengatakan bahwa pensiun adalah proses pemisahan seorang individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji. Dengan kata lain masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan. Sedangkan berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidup (Schawrz dalam Hurlock, 1980)
METODE Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah pegawai negeri sipil di Kementerian X yang maksimal satu tahun sampai satu tahun setengah yaitu hingga 2013 sebelum menjelang pensiun. Adapun populasi pegawai negeri yang akan menjelang
49
Self Efficacy dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun
pensiun dari Juli 2012 hingga Desember 2013 adalah sebanyak 87 orang. Subjek penelitian diambil dengan menggunakan teknik sampling jenuh. Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel, istilah lainnya adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2007). Instrumen penelitian menggunakan dua kuesioner yaitu kuesioner self efficacy berdasarkan tiga komponen, yaitu komponen magnitude, generality, dan strength (Bandura, 1986) dan kuesioner kecemasan yang diukur melalui aspek fisiologis dan psikologis menurut Bucklew (1980) yang diadaptasi dari dua kuesioner, kuesioner self efficacy diadaptasi dan dimodifikasi dari Kurniawan (2010). Kemudian kuesioner kecemasan diadaptasi dan dimodifikasi dari Sofia (2007).Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis uji korelasi.
ANALISIS & HASIL
a.
Reliabilitas dan Validitas
Berdasarkan hasil pengujian, alat ukur self efficacy memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,846 dengan rentang validitas 0,264-0,623, dan sementara untuk alat ukur kecemasan diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0, 891 dengan rentang 0,238 – 0,632. Tabel 1.Hasil Realibilitas Self Efficacy dan Kecemasan
b.
Cronbach’s AlphaSelf Efficacy
N of Items
Cronbach’s Alpha Kecemasan
N of Items
.846
23
.891
21
Uji Normalitas
Berdasarkan nilai signifikansi dari uji normalitas (one sample K-S) skala self efficacy dan kecemasan, diketahui bahwa nilai signifikansi diatas .05, di mana untuk variabel self efficacy sebesar .397 dan variabel kecemasan sebesar 1.279 sehingga data terdistribusi normal. Tabel 2.Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test SelfEfficacy
Kecemasan
87
87
Mean
91.83
44.20
Std. Deviation
8.597
10.607
Absolute
.043
.136
Positive
.038
.136
Negative
-.043
-.044
Kolmogorov-Smirnov Z
.397
1.270
Asymp. Sig. (2-tailed)
.997
.080
N Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
50
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
c.
Uji Korelasi
Hasil pengujian menunjukkan korelasi antara variabel self efficacy dengan kecemasan menghadapi pensiun adalah hubungan yang negatif dengan Pearson Correlation -.409 (r = - 0,409) di mana r < 0 yang berarti telah terjadi hubungan linier yang negatif. Tabel 3.Hasil Uji Korelasi Correlations
V1
Pearson Correlation
V1
V2
1
-.409**
Sig. (2-tailed)
.000
N V2
87
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
87
-.409
**
1
.000
N
87
87
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
DISKUSI Hasil penelitian ini menunjukan terdapat hubungan linear yang negatif namun tidak kuat. Terdapat hubungan linear yang negatif dimana kecemasan rendah dan self efficacy tinggi dikarenakan menurut Longhurst seseorang yang siap menghadapi pensiun dengan konsep diri yang positif, punya penilaian positif mengenai dirinya cenderung ia akan lebih bahagia (Eliana, 2003). Dengan pengalaman dari pensiunan-pensiunan sebelumnya para pegawai negeri sipil Kementerian X menyadari bahwa pensiun adalah sesuatu yang perlu dipersiakan, sehingga para pegawai negeri sipil yang akan menjelang pensiun mempersiapkan masa pensiun mereka baik dari kesehatan, kondisi finansial dan persiapan mental psikologis. Para pegawai negeri sipil Kementerian X memiliki penilaian positif akan dirinya bahwa setelah mereka pensiun, mereka tidaklah kehilangan segalanya, mereka tetap memperoleh gaji pensiun, tunjangan kesehatan, bila gaji pegawai negeri sipil naik gaji pensiun juga akan disesuaikan naik walaupun besaran nominal dan fasilitas yang disediakan tidaklah sama nilainya seperti ketika mereka masih menjadi pegawai negeri sipil di Kementerian Pertahanan. Dengan mempersiapkan pensiun sebaik-baiknya sebelum mereka pensiun, pensiun bukanlah suatu hal yang paling menakutkan bagi mereka, dengan penilaian positif dan persiapan akan pensiun, akan membuat self confidence cenderung menguat. Adapun self confidence sendiri adalah keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan (Sari, 1995). Kepercayaan diri ini ditujukan pada keyakinan bahwa seseorang dapat menyebabkan sesuatu terjadi sesuai harapan-harapannya. Seorang yang siap menghadapi pensiun adalah mereka yang menetapkan tujuan pensiun, perencanaan pensiun yang efektif dimulai dengan mengidentifikasikan dan memprioritaskan tujuan pensiun (Sinar Harapan, 2003 dalam Danny, 2011). Hasil penelitian sebelumnya di Universitas Michigan yang meneliti para pensiunan menunjukkan bahwa sebanyak 75 persen pekerja yang membuat persiapan sebelumnya akan menikmati masa pensiunnya dibanding 25 persen lainnya yang tidak membuat persiapan (Sutarto & Cokro, 2008). Seorang memiliki kecemasan yang rendah ketika akan menghadapi pensiun dikarenakan individu
51
Self Efficacy dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun
telah memperoleh pelajaran dari pengalaman banyak orang, dimana diambil nilai-nilai yang dapat diambil sebagai pembelajaran dari kejadian masa lalu. Seluruh program pensiun di hari tua seseorang sangat dan sangat dipengaruhi persiapan dan kesiapan di awal jauh sebelum mereka pensiun (Sutarto & Cokro, 2008). Sutarto dan Cokro (2008) dalam bukunya juga mengatakan, jika hal tersebut tertata rapi, hal itu sudah merupakan setengah jalan keberhasilan memperoleh apa yang diinginkan ketika pensiun dan menapaki usia lanjut. Meskipun setiap individu memiliki persiapan dan kesiapan pensiun yang berbeda, mereka memiliki kesamaan mendasar yang merupakan kebutuhan utama, yaitu kesiapan materi finansial seperti ketersediaan bekal pendukung berupa tabungan, asuransi, simpanan aset dan kegiatan usaha selain penghasilan bulanan pensiun. Dengan begitu, seorang yang memiliki self efficacy tinggi akan memiliki kecemasan yang rendah meskipun self efficacy bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang yang akan menghadapi pensiun.
SIMPULAN & SARAN Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai negeri sipil di Kementerian X. Hal ini mengandunng pengertian bahwa semakin tinggi self efficacy, maka semakin rendah tingkat kecemasan menjelang pensiun pada pegawai negeri sipil di Kementerian X. Terdapat hubungan yang negatif namun tidak kuat yaitu sebesar .167 (16,7 %) saja self efficacy mempengaruhi kecemasan pada pegawai negeri sipil di Kementerian Pertahanan RI yang akan menghadapi pensiun dikarenakan pegawai negeri sipil yang akan menjelang pensiun memiliki penilaian yang positif bahwa setelah pensiun mereka tidak kehilangan segalanya, mereka tetap memperoleh gaji pensiun, tunjangan kesehatan walaupun tidak sama besaran seperti ketika masih menjadi pegawai negeri sipil. Dengan penilaian yang positif para pegawai negeri sipil mempersiapkan masa pensiun dengan sebaik-baiknya dengan penuh optimis bahwasanya pensiun bukanlah suatu yang menakutkan bila dipersiapkan dengan baik. Berikut adalah saran berdasarkan hasil studi ini; 1.
Saran Teoretis Peneliti Selanjutnya – Untuk peneliti berikutnya, diharapkan dapat memperhatikan adanya variabel-variabel kontrol seperti tingkat pendidikan, jumlah anak, dan lain sebagainya yang mempengaruhi self efficacy maupun kecemasan menghadapi pensiun, dan juga karena pada penelitian ini, hal tersebut belum menjadi bagian dari penelitian ini. – Menggunakan cakupan subyek yang lebih luas untuk dibandingkan hasilnya seperti dengan kementerian lain atau dalam satu lingkup wilayah maupun antar wilayah.
2.
Saran Praktis a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Bila dibandingkan dengan pegawai negeri sipil dulu dengan sekarang, pensiun bukanlah sesuatu yang menakutkan bila dipersiapkan dengan baik. Dengan pengalaman dan wawasan penelitian ini menjadikan tambahan wawasan bagi para pegawai negeri sipil untuk lebih mempersiapkan diri baik secara fisik maupun psikologis.
52
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
Mempersiapkan kegiatan baru setelah pensiun adalah salah satu perencanaan yang baik, kegiatan menekuni bidang usaha bisnis, kegiatan sosial, pekerjaan baru yang lebih cocok dengan usia setelah pensiun, dan lain sebagainya. Dengan begitu setelah pensiun, para pegawai negeri sipil terus dapat beraktivitas menekuni bidang usaha, kegiatan sosial, dan pekerjaan baru yang telah mereka siapkan sebelum mereka pensiun dan tidak kaget akan kehidupan yang tiba-tiba mendadak berubah tidak ada kesibukan apapun setelah pensiun karena telah bertahun-tahun menjalani rutinitas secara tiba-tiba tidak ada aktivitas atau kegiatan apapun yang bias dilakukan oleh karena persiapan yang kurang baik sebelum pensiun. Ketika mempersiapkan hal tersebut, kita telah menghindari diri kita baik fisik maupun psikis dari hal-hal yang bersifat yang bisa membangkitkan emosi, stres, diri rendah, dan pikiran negatif. b.
Instansi Pemerintahan Kementerian Pertahanan RI Instansi memberikan kebijakan tertentu pada pegawai negeri sipil yang akan menghadapi pensiun dengan memberikan waktu kerja yang fleksibel, seperti tiga bulan menjelang pensiun, diberikan kebijakan jam pulang lebih awal dariketentuan, atau jam masuk lebih longgar dari ketentuan atau hari masuk kerja yang dikurangi porsinya misalnya seminggu tiga hari masuk kerja. Hal ini untuk membiasakan para pegawai negeri sipil yang akan menghadapi pensiun untuk beradaptasi dengan kehidupan setelah pensiun nanti yang perlahan-lahan lepas dari rutinitas yang telah bertahun-tahun melekat pada diri pegawai negeri sipil tersebut. Instansi juga perlu memberikan kursus kepada para pegawai negeri sipil yang akan menghadapi pensiun dalam berwirausaha, sebagai modal mereka menjelang pensiun dan memberikan mereka wawasan dan pengetahuan untuk berwirausaha setelah pensiun nanti dan juga turut berpartisipasi membantu mereka dalam mewujudkannya.
DAFTAR PUSTAKA Adair, J. G,. Belanger. D,. Kenneth. L. D. (1998). Advances In Psychological Science: Social, Personal and Cultural Aspects.East Sussex: Psychology Press. Anwar, A.I.D. (2009). Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Psikologi USU. Assaat, I. (2007). Persepsi Atas Program Akselerasi Dan Stres Akademik. Jurnal Provitae Volume 3. Jakarta: Fakultas Psikologi Untar. Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. (1996). Pengantar Psikologi.. Jakarta: Erlangga. Bandura, A. (1986). Social Foundations Of Thought And Action; A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice-Hall. Baron, R,. & Byrne. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Bucklew, J. (1980). Paradigma for Psychopatology. A Contribution to Case History Analysis. New York: J.B. Lippenscott Company. Chaplin, J. P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
53
Self Efficacy dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun
Corsini, R. J. (1987). The Concise Encyclopedia of Psychology. Canada : John Willey & Sons. Dinsi, V,. Setiati, E., Yuliasari, E. (2006). Ketika Pensiun Tiba. Jakarta : Wijayata Media Utama. Eliana, Rika. (2003). Konsep Diri Pensiunan. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hadi, P. (2004). Depresi dan Solusinya. Yogyakarta: Tugu Publisher. Handayani, Y. (2008). Gambaran Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Hennessy, D. A., Elizabeth. L. M,. & Nicole. M. (2006) “The Effects of Fatal Vision Goggles on Drinking and Driving Intentions in College Students.”Journal of Drug Education. Hurlock. (1980) Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Hurlock. (1994). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi V. Jakarta: Erlangga. Ivancevich, J. M,. Konopaske, R,. Michael, T. M. (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jilid 7. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga Kartono, K. (1981). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Rajawali. Kurniawan, R. (2011). Pengaruh self-efficacy dan motivasi belajar mahasiswa terhadap kemandirian belajar mata kuliah analisis laporan keuangan pada mahasiswa Program studi pendidikan akuntansi angkatan 2008 Fakultas ilmu sosial dan ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta Pajares, F,. & Urdan, T. C. (2006). Self-Efficacy Beliefs of Adolescent. A Volume in Adolescene and Education. United States of America: Information Age Publishing.Inc. Pujiati, NA. (2010). Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Kemandirian Belajar Siswa; studi terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia. Purnamawati, N. D. (2007). Gambaran Psychological. Skripsi Fakultas Psikologi. Depok: Universitas Indonesia. Putri, N. E. (2010). Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun (Studi Korelasional Terhadap Karyawan Pt Badak Ngl, Bontang, Kalimantan Timur). Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas FIP Universitas Pendidikan Indonesia. Sarafino, E. (1994).Heath Psychology 2nd. New York: John Wiley & Sons. Sari, N.P. (1995). Peran Dukungan Sosial Terhadap Kepribadian Diri Pada Remaja. Jakarta: Rajawali. Semium, Y. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius. Setiadarma, M. P. (2005). Self-Handicaping Dan Prokrastinasi Dalam Proses Pendidikan. Jurnal Provitae Volume 1. Jakarta: Fakultas Psikologi Untar. Sofia, K. (2007). Pengaruh Konsep Diri Terhadap Tingkat Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Penanaman Modal Kabupaten Sumenep. Skripsi Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri Malang Stern, P. (1964). The Abnormal Person and His World. London. D van Nostrand Co. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Suryabrata, S. (2008). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
54
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 45–56
Sutarto, J,T,. & Cokro, I. (2008. Pensiun Bukan Akhir Segalanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology; Active Learning Edition. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Internet: Bandura, A. (1986). Self-Efficacy (Efikasi Diri). Retrieved 28 April 2012 from http;//treepjkr.multiply. com/reviews/item/22. Bandura, A. (1997). Self-Efficacy (Efikasi Diri). Diambil pada tanggal 28 April 2012. Retrieved; http;// treepjkr.multiply.com/reviews/item/22 12 April 2010. Baron, R,. &Byrne. (1997). Self Efficacy (Efikasi Diri). Diambil pada tanggal 28 April 2012. Retrieved; http;//treepjkr.multiply.com/reviews/item/22. Danny. (2011) Siapkan Kebutuhan Masa Pensiun Sekarang. (Rencanakan Hidup Anda, Hidupkan Rencana Anda dari Koran Sinar Harapan, 2003). Diunduh 17 Maret 2012 from http:// payonefortwo.blogspot.com/2011/11/siapkan-kebutuhan-masa-pensiun-sekarang.html. Prasetyo, B. E,. Saputro, D. K. (2012). Pengaruh Psikologi Trauma dan Cemas Yang Ditimbulkan Pada Seseorang Yang Mengalami Patah Tulang (Fraktur) Pada Bagian Tungkai Bawah. Diambil pada tanggal 10 Juni 2012. Retrieved; http://bambangekoprasetyo.blog.esaunggul.ac.id/. Rini, J. F. (2001). Pensiun dan Pengaruhnya. Diambil pada tanggal 28 April 2012. Retrieved; http;// www.psikologi.com/usia/pensiun.htm. Sambodo, A.T. (2012). Perilaku Individu. Retrieved 17 Maret 2012 from http://aji-t.blogspot. com/2012/03/perilaku-individu.html.
55
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
PERILAKU INOVATIF Rusdijanto Soebardi HIMPSI DKI Jakarta Plaza Ciputat Mas, Blok B/B Jalan Ir. H. Juanda No. 5 A Ciputat, Tangerang
[email protected]
Abstract Innovative work behavior has the aim to improve the performance and competence of the organization in achieving its goal. As a perspective of organizational behavior, the innovative work behavior is the interaction between the individual, group process and organizational processes, which affects the range of leadership behaviors and performance expectations of employees when the realization of innovative work behavior is completely done. The purpose of this study was to test the effect of leadership behavior through the mediation of performance expectations, in revealing the individual’s innovative work behavior. The population study was a group of companies on transportation and logistics business lines involving 199 employees. One is a holding company and the other nine are affiliate companies. Sampling design used is Proportionate Stratified Random Sampling. Measurements used De Jong-IWB (Innovative Work Behavior). Data collection and analysis of research data used path analysis. The results showed the value of total effect = 0.47 which suggests that there is direct or indirect effect between leadership behavior, and the performance expectations of innovative work behavior as a mediator. Key word: leader behaviors, expected performance outcomes, inovative work behavior. Abstrak Perilaku kerja inovatif dapat mendorong kinerja dan mengembangkan kompetensi organisasi dalam upayanya mencapai sasaran yang ditetapkan. Sebagai salah satu aspek perilaku organisasi, perilaku kerja inovatif pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara individu sebagai pekerja, kelompok sebagai suatu proses kerja, dan proses organisasional sebagai praktek manajemen yang biasa dilakukan di dalam organisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekspektasi kinerja pekerja dalam memberikan makna terhadap perilaku pemimpin dalam memunculkan perilaku inovatif di dalam pelaksanaan tugas. Populasi penelitian dilakukan pada kelompok perusahaan logistik yang secara praktek manajemen mendorong seluruh jajaran pekerja untuk dapat mengembangkan perilaku inovatif dalam pelaksanaan pekerjaan. Pemilihan sampel pada populasi yang melibatkan sepuluh perusahaan diperoleh 199 subyek penelitian dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling. Dengan skala perilaku inovatif yang dikembangkan De jong dan dengan teknik analisis jalur diperoleh total efek sebesar 0,47. Ada pengaruh ekspektasi kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memediasi perilaku pemimpin terhadap perilaku inovatif pekerja. Kata kunci: perilaku pemimpin, ekspektasi kinerja, perilaku kerja inovatif.
57
Perilaku Inovatif
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dunia usaha saat ini semakin dihadapkan pada situasi yang kian menuntut adanya perubahan untuk dapat meningkatkan dan mempertahankan kelangsungan usaha. Saat ini isu perubahan yang dihadapi semakin rumit karena menyentuh berbagai sektor usaha. Isu globalisasi ekonomi mengakibatkan perubahan dalam kebijakan pemerintahan, pola kepemimpinan, pola perdagangan antar negara, yang merupakan suatu ancaman sekaligus sebagai peluang dalam mengembangkan usaha menjadi lebih mampu bersaing. Di sisi lain isu teknologi informasi menyebabkan perubahan paradigma dalam mengelola usaha menjadi lebih efektif, di mana kebutuhan akan pendekatan cara baru dalam aspek kinerja, pemanfaatan pengetahuan, aspek biaya yang terukur, menjadi suatu kebutuhan untuk mempertahankan pertumbuhan dan pengembangan usaha menjadi lebih efisien dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat. Para peneliti memiliki keyakinan bahwa inovasi merupakan solusi dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Inovasi mengandung pengertian sebagai tindakan korektif terhadap perubahan, yang berpengaruh terhadap percepatan siklus perencanaan dalam menghasilkan suatu produk baru dan pelayanan yang dapat memberikan nilai manfaat serta kepuasan yang lebih tinggi kepada para stakeholder (Kanter, dalam Fonceca, 2002) dan (Imai, 1986). Efektivitas kerja semakin mendapat tempat dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan aspek pola kerja. Penyesuaian perilaku yang berbasis keilmuan sudah menjadi kebutuhan dalam menyikapi dampak tematis perubahan teknologi, di sisi lain membutuhkan penyesuaian psikososial pekerja dalam pelaksanaan pekerjaan, baik secara individu, kelompok, maupun proses organisasional (West, 1996). Konsepsi tersebut di atas diyakini pula oleh para praktisi manajemen bahwa, perilaku kerja inovatif yang mengarah pada efektivitas kerja akan mempercepat akselerasi keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan (Van De Ven, dalam Fonceca, 2002). Prijono Sugiarto selaku Presiden Direktur Astra (dalam www.infobanknews.com,2011)-menyatakan dalam ulang tahun korporasi yang ke 54, bahwa sejak 1982 hingga tahun 2011, PT Astra International, Tbk telah menghasilkan 3.600.000 tema perilaku kerja inovatif perorangan yang dikenal dengan istilah suggestion system. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa perilaku kerja inovatif dipandang sebagai kebijakan yang menyeluruh dalam meningkatkan kompetensi organisasi. Praktek manajemen mendorong seluruh jajaran karyawan untuk berpartisipasi aktif tidak hanya secara perorangan namun juga dilakukan secara kelompok baik pada level manajemen bawah-menengah-maupun atas, yang biasa dikenal sebagai Quality Control Circle (QCC) - Quality Control Project (QCP) dan Business Performance Improvement (BPI). Perilaku kerja inovatif yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis membutuhkan komitmen, keterlibatan, dan kepemimpinan manajemen dalam mengembangkan faktor penunjang yang bersifat teknikal maupun non teknikal yang mampu mendorong perilaku inovatif dalam setiap peran pekerjaan (Prijono, 2011). Faktor teknikal berhubungan dengan prasarana penunjang hingga pengembangan kompetensi teknis pekerja dalam melakukan inovasi kerja. Sedangkan faktor non teknikal berhubungan dengan proses pengembangan soft skill pekerja yang terbentuk berdasarkan proses pembelajaran dengan lingkungan sosial organisasi. Dalam pemahaman praktis, perilaku kerja inovatif merupakan kontinum perilaku yang melibatkan proses berfikir kreatif (intra personal) hingga meyakinkan orang lain (interpersonal) dalam setiap pelaksanaan ide pada situasi pekerjaan ( De jong & Hartog, 2010). Dari sudut pandang pekerja, efektivitas perilaku kerja inovatif berhubungan dengan pengamatan pekerja dalam mengantisipasi permasalahan pekerjaan dan respon rekan kerja terhadap alternatif
58
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
solusi yang diajukan (De jong & Hertog 201). Efektivitas perilaku inovatif akan tercapai jika motif dasar pekerja, seperti, kompetensi-otonomi dan keinginan dalam membangun sinergi sosial, mampu memberikan dorongan bagi para pekerja untuk dapat mengekplorasi ide ide baru (Deci & Ryan, dalam Franken, 2002). Membangun sinergi sosial sebagai representasi konsep diri eksternal (Scholl, 2002) mengandung makna kerja sama yang saling menguntungkan, dan perasaan saling memiliki. Sedangkan kompetensi merupakan motif sentral karyawan dalam mempersepsikan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu secara tepat dan benar. Lebih jauh Deci & Ryan mengatakan bahwa persepsi positif terhadap kompetensi diri akan terbentuk jika didahului dengan adanya perasaan otonomi diri yang terbentuk karena adanya keleluasaan sosial untuk bertindak. Pemimpin sebagai orang yang paling berpengaruh dalam melakukan pengaturan tugas dan orang (bawahan) memberikan andil besar terhadap perilaku inovatif individu di dalam organisasi De Jong & Hertog ( 2010). Pemahaman terhadap perilaku kerja seorang pemimpin, bermuara pada bagaimana seorang pekerja mempersepsikan, harapan, dan perilaku atasan dalam mengembangkan perilaku kerja inovatif di dalam unit kerjanya. Selain itu, kreativitas yang juga merupakan salah satu komponen perilaku inovatif, dapat berkembang jika pemimpin dalam mengelola tugas bawahan menunjukkan kreativitasnya, terutama dalam mengelola pekerjaan yang bervariasi dengan tuntutan perubahan yang beragam (Ulrich,1997). Pemberian kesempatan untuk melakukan kesalahan yang terukur dan terkendali, berhubungan erat dengan tingkat kesediaan karyawan untuk mengeksplorasi perilaku kerja secara kreatif (De Jong & Hertog, 2010) Sedangkan efektivitas perilaku pemimpin bergantung pada bagaimana seorang pemimpin secara situasional melakukan pengelolaan dan pengorganisasian tugas, membangun hubungan dengan bawahan, sebagai cara pendekatan dirinya dalam mengintervensi proses kerja dalam unit kerja yang dikelolanya (Yukl, 2010). Data empiris dari Yuan dan Woodman (2010) memberikan dukungan bahwa kualitas hubungan dengan atasan, maupun pendekatan atasan yang lebih berorientasi pada penyelesaian tugas, menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja inovatif bawahan. Berdasarkan paparan hasil studi dan deskripsi di atas, maka penulis bermaksud untuk meneliti pengaruh faktor motivasional pekerja dalam memberikan makna perilaku kepemimpinan, terhadap kemunculan perilaku kerja inovatif. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: Apakah ada pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif, dengan ekspektasi kinerja sebagai mediator?
Manfaat Penelitian 1. 2.
Memberikan umpan balik bagi perusahaan tentang efektivitas program perilaku kerja inovatif yang telah dilakukan, khususnya perilaku kerja inovatif perorangan. Memberikan kontribusi pemikiran teoritis terhadap perilaku organisasi dengan melakukan studi empirik terhadap aspek individual /ekspektasi kinerja, aspek kelompok/perilaku kepemimpinan, dan aspek organisasional/ pemilihan populasi pada perusahaan yang mendorong praktek perilaku kerja inovatif.
59
Perilaku Inovatif
Kerangka Teoritik Perilaku Kerja Inovatif. Setiap inovasi akan selalu diikuti dengan suatu perubahan, walaupun dalam setiap perubahan tidak akan selalu diikuti dengan munculnya ide baru, yang secara positif berpengaruh terhadap perubahan, perkembangan dan pertumbuhan suatu organisasi. Ada persinggungan area antara inovasi, kreativitas, dan perubahan, namun secara operasional mendifinisikan ketiganya ada perbedaan yang nyata (West, 1990). Secara umum, para ahli melihat perbedaan antara perilaku inovatif dan kreativitas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni tingkat kebaruan ide dan tingkat interaksi sosial sebagai konsekwensi aplikasi ide di dalam pekerjaan. Dari segi proses, kreativitas dipandang sebagai sebuah proses kognitif yang bersifat intra personal, sedangkan inovasi lebih menekankan pada antar individu dalam kelompok kerja (Rank, Nelson & Allen, 2009). Kreativitas merupakan salah satu aspek gagasan dari inovasi, sedangkan inovasi mencakup keduanya, yakni ide dan implementasi nyata dari ide yang diajukan (West & Farr, dalam Rank, dkk,2009). Meskipun inovasi tidak mengisyaratkan kebaruan absolut, namun bisa dipandang sebagai sebuah inovasi jika perubahan yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang baru oleh individu, kelompok atau organisasi. Bentuk Inovasi bisa bervariasi, mulai dari inovasi yang bersifat minor hingga inovasi yang sifatnya sangat penting. Inovasi bisa ditemukan mulai dari hanya dalam bentuk perubahan prosedur administratif-pelayanan hingga inovasi yang terjadi karena adanya perubahan teknologi. Perilaku kerja inovatif merupakan rangkaian kegiatan kerja yang secara bertahap dilakukan oleh pekerja dalam mengembangkan dan meningkatkan perilaku kerja yang efektif (De Jong & Hertog, 2010). Tahapan tersebut meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut: Pertama, tahu dan memahami lingkup pekerjaan dan potensi permasalahan yang dihadapi dan yang mungkin akan terjadi. Ke dua, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kualitas kerja dan secara kreatif mengupayakan tindakan solusi. Ke tiga, membangun kerjasama dan komitmen bersama untuk merealisasikan usulan perbaikan inovatif dalam proses kerja kelompok. Ke empat, mengaplikasikan usulan perbaikan dalam pekerjaan. Tahapan perilaku tersebut adalah proses yang harus dilalui karyawan dalam mengembangkan perilaku kerja inovatif (De jong & Hertog, 2010). Ekspektasi Kinerja Sebagai individu, setiap pekerja menginginkan keberhasilan dan hasil yang terbaik bagi dirinya dalam menumbuhkan semangat kerja selama berkarier. Pilihan perilaku dalam bekerja selalu didahului dengan proses pengamatan, evaluasi diri yang disesuaikan dengan harapan pribadinya sebelum dilakukan pengambilan keputusan untuk dilakukan. Harapan atau ekspektasi merupakan keyakinan subyektif pekerja dalam memilih dan menetapkan kinerja yang diyakininya akan berhasil. Semakin tinggi ekspektasi karyawan terhadap suatu hasil kerja, maka semakin besar kinerja yang diupayakan oleh karyawan, demikian pula sebaliknya. Dalam gambaran yang lebih praktis, ekspektasi kinerja memberikan arah terhadap perilaku kerja, jika pekerja memiliki keyakinan positif dan memberikan dampak terhadap suatu penilaian kinerja yang baik, maka perilaku inovatif akan menjadi suatu pilihan bagi dirinya (Scholl, 2002). Dalam pemahaman motivasi kerja, perilaku kerja inovatif dipengaruhi oleh ekspektasi kinerja karyawan sebagai keyakinan subyektif yang bersifat motivasional. Jika perilaku kerja inovatif sebagai pilihan pekerja semata-mata untuk mengembangkan dan meningkatkan efektivitas kerja, maka pekerja
60
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
lebih mengutamakan nilai-nilai motivasi yang bersifat intrinsik, yang menurut Scholl (2002) lebih mengutamakan konsep diri internal. Sedangkan konsep diri eksternal ialah jika pilihan terhadap perilaku kerja inovatif merupakan upaya pekerja untuk memperoleh penerimaan dan pengakuan sosial. Ekpektasi kinerja akan semakin menjadi pertimbangan pekerja dalam menetapkan pilihan kinerja bagi dirinya jika aspek lingkungan, khususnya intervensi perilaku pemimpin memberikan kesempatan seluas luasnya untuk melakukan inovasi kerja sebagai upaya meningkatkan kinerja tugas (Deci & Ryan, dalam Franken, 2002). Perilaku Pemimpin Pemimpin mempengaruhi organisasi dengan gaya kepemimpinannya sebagai representasi nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku dan dilaksanakan dalam mengelola karyawan (West,1990). Ekspektasi pekerja terhadap perilaku kerja inovatif merupakan proses interaksi pekerja dengan ekspektasi pemimpin terhadap perilaku inovatif dalam upayanya meningkatkan kinerja unit kerja yang dikelolanya (Scott & Bruce, 2002). Interaksi pemimpin dengan orang yang dipimpin merupakan interaksi yang bersifat pembelajaran yang selanjutnya memberikan corak pada dinamika proses kerja kelompok. Dalam hal ini Kanter (dalam Fonseca, 2002) berpendapat bahwa dibutuhkan pembelajaran yang bersifat sosio kultural yang diwujudkan dalam proses kerja kelompok untuk dapat mewujudkan perilaku kerja yang efektif. Tingkat ekspektasi pekerja terhadap perilaku inovatif dipengaruhi oleh tingkat apresiasi positif terhadap perilaku inovatif dari orang orang yang berpengaruh di sekitar dirinya. Pemimpin memiliki ragam perilaku yang mampu mengarahkan perilaku kerja seorang bawahan (Yukl, 2010). Pendekatan terhadap tugas-pendekatan terhadap orang(bawahan)-dan kombinasi keduanya yaitu pendekatan terhadap perilaku bawahan. Lebih jauh Yukl (2010) menjelaskan perilaku pemimpin di dalam organisasi dapat dikatagorikan sebagai berikut; 1)
Melakukan perencanaan dan pengorganisasian (Planning & Organizing).
Perencanaan dan pengorganisasian secara hirarkhis memiliki tingkat perbedaan dalam lingkup pencapaian tujuan pekerjaan. Pada level pelaksana, perencanaan akan semakin detil dengan lingkup capaian yang semakin terarah dengan tenggat waktu pencapaian yang semakin pendek. Sedangkan semakin tinggi kedudukan seorang karyawan, maka perencanaan dan pengorganisasian pekerjaan serta tanggung jawab yang dibebankan akan semakin bersifat kualitatif dan membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang (Yukl, 2010). Perilaku kepemimpinan dalam aspek ini meliputi, pengidentifikasian / penetapan langkah-langkah pencapaian sasaran, penetapan waktu pencapaian, mengembangkan prosedur kerja, hingga pengendalian dalam aspek biaya dan pencapaian sasaran. 2)
Melakukan klarifikasi peran dan target pekerjaan (Clarifying).
Klarifikasi merupakan bentuk komunikasi tentang perencanaan, kebijakan, dan ekpektasi peran yang telah ditetapkan atasan terhadap bawahan (Yukl, 2010). Tujuannya agar bawahan mengetahui secara pasti apa yang akan dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Dimensi klarifikasi meliputi perilaku kepemimpinan dalam mendefinisikan peran dan tanggung jawab bawahan, menetapkan kinerja pencapaian target bawahan, serta memberikan tugas-tugas tambahan. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, klarifikasi peran dan sasaran kerja memiliki hubungan yang kuat dengan efektivitas perilaku kerja bawahan (Yukl, 2010). Sasaran pekerjaan yang jelas dan terukur, akan memperkuat upaya bawahan dalam meningkatkan arah perilaku mereka dalam mencari cara-cara yang tepat untuk pencapaiannya (Bandura, dalam Franken, 2002). Lebih jauh
61
Perilaku Inovatif
dalam hasil penelitian Yuan dan Woodman (2010) menyimpulkan bahwa, perilaku inovatif sebagai suatu persyaratan kerja memiliki hubungan yang sangat positif terhadap perilaku inovatif di dalam pelaksanaan tugas. 3)
Mengawasi pelaksanaan pekerjaan dan pencapaian kinerja (Monitoring)
Perilaku pengawasan seorang pemimpin merupakan rangkaian aktivitas dalam memperoleh informasi tentang proses pelaksanaan perencanaan yang telah dilakukan bersama bawahan, mengetahui tingkat pencapaian target kerja yang telah ditetapkan bersama hingga cara-cara yang digunakan bawahan dalam melaksanakan pencapaian target yang telah ditetapkan dalam periode perencanaan. Lingkup pengawasan meliputi indikator-indikator pencapaian hasil kerja yang kemudian dibandingkan dengan jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan sebagai indikator produktivitas, hingga penetapan pertemuan periodik untuk mengevaluasi progres perencanaan dan progres pencapaian hasil kerja secara keseluruhan (Yukl, 2010). Dari studi eksperimen yang dilakukan oleh Callahan dan Larson (dalam Yukl, 2010), disimpulkan bahwa pengawasan secara tidak langsung terhadap sebuah pekerjaan akan lebih meningkatkan kinerja bawahan, jika dibandingkan dengan pengawasan yang dilakukan secara langsung oleh pimpinan. 4)
Memberikan dukungan (Supporting)
Dimensi ini merupakan dukungan psikologis atasan berupa penerimaan dan perhatian terhadap perasaan dan kebutuhan bawahan. Memberikan dukungan merupakan komponen perilaku pemimpin dalam konsep “path-goal leadership” yang dikembangkan oleh House & Mitchel (Achua & Lussier, 2010), di samping perilaku yang bersifat directive, participative, dan berorientasi pada pencapaian prestasi. Penelitian yang dilakukan Yuan dan Woodman (2010) menunjukkan bahwa perilaku yang didukung atasan memiliki hubungan positif dengan perilaku inovatif di tempat kerja. Dukungan dari atasan mampu membangun hubungan yang efektif dengan bawahan, di mana atasan dapat menumbuhkan sikap loyalitas – sesuai dengan sikap yang diharapkan seorang atasan terhadap bawahannya. Ikatan emosi yang mampu dibangun karena adanya suatu dukungan terhadap bawahan akan memudahkan atasan untuk bekerjasama. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, dukungan atasan akan meningkatkan kepercayaan diri, resistensi penolakan terhadap keinginan atasan, serta timbulnya dorongan untuk berbuat lebih terhadap keinginan atau harapan atasan (Scott & Bruce, 2002). 5)
Melakukan pengembangan terhadap bawahan (Developing)
Atasan memiliki peran yang amat penting dalam mengembangkan bawahan (Achua & Lussier, 2010). Pengembangan bawahan merupakan bentuk praktek manajemen sumber daya manusia dalam mengembangkan kompetensi dan mengembangkan karier bawahan. Dimensi ini meliputi perilaku atasan dalam hal melakukan coaching, mentoring, dan career counselling, di mana indikator perilaku kepemimpinan meliputi pengenalan kekuatan dan kelemahan bawahan, peningkatan kapabilitas dengan melakukan pelatihan dan pemberian tugas tambahan, hingga promosi jabatan (Yukl, 2010). Pengembangan terhadap bawahan memiliki beberapa keuntungan, baik terhadap pimpinan maupun organisasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa atasan akan merasa puas bila berhasil mengembangkan dan menolong orang lain untuk maju dan berkembang, namun di sisi lain hal tersebut juga akan memberikan dampak kesiapan bagi bawahan dalam menerima penugasan yang diberikan oleh atasan. Dari segi organisasi, pengembangan bawahan yang dilakukan secara terstruktur akan meningkatkan upaya kinerja bawahan, komitmen serta akan menumbuhkan kesiapan karyawan
62
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
dalam menerima beban tanggung jawab – jika pada suatu saat semua hal tersebut memang dibutuhkan oleh organisasi (Robbin, 2009). 6)
Memberikan Pengakuan dan penghargaan (Recognizing)
Pemberian apresiasi terhadap kinerja yang berdampak nyata terhadap pekerjaan, dan selanjutnya dapat memberikan sumbangan positif terhadap kelompok, unit kerja maupun organisasi. Pengakuan terhadap kinerja atau hasil kerja bawahan memiliki dampak terhadap penguatan perilaku kerja maupun komitmen kerja karyawan (Achua & Lussier, 2010) Indikator perilaku kepemimpinan dalam dimensi ini meliputi pujian yang bersifat formal maupun informal, mencalonkan bawahan pada ritual formal bagi karyawan berprestasi yang diadakan secara formal oleh perusahaan, pujian secara langsung maupun tidak langsung dalam pertemuan formal maupun informal, dan pemberian penghargaan dalam bentuk sertifikat atau benefit lainnya. Dari beberapa penelitian terlihat bahwa pemberian pujian dapat memberikan efek langsung terhadap peningkatan upaya atau motivasi kerja, peningkatan kepuasan kerja, hingga meningkatnya kinerja bawahan. Pemberian pujian dan pengakuan terhadap karyawan beprestasi yang dilakukan secara formal, dapat memberikan manfaat bagi organisasi dan atasan. Melalui upacara atau ritual formal, penghargaan yang diberikan kepada karyawan berprestasi dapat sekaligus berfungsi sebagai alat sosialisasi kepada seluruh karyawan lainnya. Manfaat lainnya adalah dapat dilihat sebagai model perilaku yang diakui, dibenarkan dan disarankan oleh perusahaan untuk kemudian dapat diikuti oleh seluruh karyawan (Robbin, 2009). 7)
Memberikan kesempatan konsultasi (Consulting)
Dimensi ini merupakan upaya pemimpin untuk mendorong dan memfasilitasi bawahan dengan mengikut sertakan bawahan untuk dapat memikirkan, mengevaluasi, hingga melakukan pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah pekerjaan yang dihadapi karyawan atau unit kerja. Dimensi perilaku ini merupakan dimensi penting dalam kepemimpinan partisispatif yang dikembangkan oleh Vroom, di mana pemimpin meminta pendapat bawahan dan sumbang saran ide, sebagai sarana pengambilan keputusan, namun keputusan akhir tetap berada pada tanggung jawab pimpinan (Nahavandi, 2009). Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap dimensi ini menunjukkan bahwa melibatkan karyawan untuk ikut memikirkan dan memutuskan permasalahan kerja, memberikan dampak terhadap kompetensi bawahan dalam pengambilan keputusan, membangun kekompakan kelompok, serta meningkatkan kualitas dan konsensus terhadap keputusan yang telah dilakukan antara atasan dan bawahan (Yukl, 2010). Dalam hubungannya dengan perilaku kerja inovatif perorangan, Scott dan Bruce (2002) menyimpulkan bahwa hubungan baik antara atasan dan bawahan–di mana atasan memberikan kesempatan untuk maju dan berkembang dengan jalan meningkatkan kompetensi yang bermanfaat bagi pelaksanaan pekerjaan bawahan-berhubungan secara langsung dengan perilaku kerja inovatif perorangan. 8)
Memberikan pendelegasian pekerjaan (Delegating)
Dimensi ini merupakan dimensi perilaku dari kepemimpinan partisipatif, di mana bawahan mendapatkan kewenangan atau kekuasaan dalam menetapkan sendiri cara-cara terbaik dalam penyelesaian suatu pekerjaan. Bawahan memiliki kewenangan untuk memutuskan apa yang diyakininya, sedangkan atasan relatif terlibat dalam pilihan alternatif keputusan yang diajukan bawahan, namun keputusan akhir berada pada kewenangan bawahan (Achua & Lussier, 2010). Survey yang dilakukan oleh Yukl (2010), dengan menggunakan skala dan wawancara dengan atasan, menyimpulkan bahwa
63
Perilaku Inovatif
tujuan seorang pemimpin mendelegasikan tugas terhadap bawahan di antaranya untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan meningkatkan kemampuan bawahan dalam pengambilan keputusan, mendorong bawahan agar cepat beradaptasi terhadap permasalahan pekerjaan, serta meningkatkan komitmen bawahan terhadap penyelesaian tugas. 9)
Memberikan arah terhadap perubahan – Envisioning change
Dimensi ini merupakan gambaran pernyataan yang bersifat kualitatif dan merupakan arah yang akan dicapai oleh organisasi. Visi merupakan gambaran nilai, dan harapan yang bersifat ideal dari anggota organisasi maupun stake holder. Visi harus dapat memberikan tantangan dalam pencapaiannya, namun harus realistis. Oleh karena itu visi lebih merupakan suatu sasaran jangka panjang yang ideal bila dibandingkan dengan target yang hanya memiliki makna yang sempit dengan tenggat waktu pencapaian yang singkat. Jabaran visi harus didukung dengan pernyataan misi, sasaran strategis, dan pernyataan nilai sebagai aspek pendukung dalam pencapaian visi (Yukl, 2010). Seorang pemimpin yang efektif harus dapat menjabarkan visi dengan elemen pendukungnya menjadi suatu program yang konkret yang mampu membawa perubahan perilaku pada level-level dibawahnya (Achua & Lussier, 2010). 10)
Memberikan dukungan terhadap inovasi (Providing Inovation)
Dukungan merupakan suatu bentuk bantuan yang bersifat psikologis atau fisik yang diberikan atasan kepada bawahan (Yukl, 2010). Dalam kaitannya dengan inovasi, atasan memberikan dukungan sepenuhnya terhadap upaya-upaya inovatif yang dilakukan bawahan, mulai dalam bentuk sumbang saran ide kreatif sampai pada pemenuhan sarana kebutuhan bawahan untuk mengimplementasikan ide inovatif dalam pekerjaan,agar dapat memberikan stimulasi intelektual kepada bawahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan memberikan kepuasan bagi bawahan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ekstrinsik. Dukungan atasan terhadap perilaku kerja inovatif memberikan pemahaman dan penerimaan bagi bawahan bahwa perilaku inovatif yang akan dimunculkan berada pada situasi kendali bawahan, yakni dengan terbentuknya nilai-nilai subyektif sosial maupun penerimaan positif atau sikap positif terhadap perilaku inovatif (Ajzen & Fishben, 1991). 11) Mengamati perubahan eksternal (External monitoring) External Monitoring merupakan dimensi perilaku pemimpin dalam menyikapi perubahanperubahan di luar organisasi yang kemudian bisa berdampak terhadap organisasi yang dipimpinnya (Yukl, 2010). Indikator perilaku dalam dimensi ini adalah mengamati informasi yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi, menggunakan sarana yang tepat dalam memperoleh informasi, mengamati kebutuhan serta perilaku pelanggan, mempelajari kebijakan pesaing, hingga melakukan perencanaan strategis sebagai tindakan korektif. 12)
Mengambil resiko dan menunjukkan perilaku teladan (Taking Risk & leading By example).
Nilai seorang pemimpin harus ditunjukkan dalam perilaku nyata. Dalam budaya paternalistik, perilaku pemimpin harus sesuai dengan nilai-nilai yang akan dibangun dalam organisasi (walk the talk). Apa yang diucapkan atau diharapkan oleh seorang pemimpin harus diwujudkan dalam bentuk perilaku keseharian kerja agar dapat diteladani oleh bawahan. Perilaku pemimpin harus mencerminkan visi, misi dan nilai-nilai yang dikembangkan. Mendorong dan memberikan pengaruh terhadap bawahan dalam pencapaian visi, amat bergantung pada ekspektasi, rasa percaya diri, dan kemampuan bawahan.
64
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
Ekspektasi yang tinggi terhadap visi, misi, dan nilai dengan rasa percaya yang tinggi dari pimpinan dalam mencapainya, akan memberikan pengaruh positif terhadap perilaku kerja bawahan (Yukl, 2010). Ragam dan intensitas perilaku kepemimpinan di atas dipersepsikan oleh pekerja dalam membangun kompetensi dan otonomi pekerja dalam membangun sinergi sosial di dalam unit kerjanya, sebagai kesiapan dirinya untuk melakukan perilaku inovatif dalam pekerjaan (Deci & Ryan, dalam Franken, 2002). Lebih jauh Scott & Bruce (2002) mendukung pernyataan di atas, bahwa persepsi positif terhadap perilaku kerja inovatif berhubungan signifikan dengan perilaku kerja inovatif perorangan di dalam pekerjaan. Namun demikian sebaliknya akan terbentuk persepsi negatif pada diri karyawan, jika perilaku pimpinan maupun sikap rekan kerja kurang memberikan dukungan terhadap perilaku kerja inovatif. Secara empirik, Yuan dan Woodman (2010), menjelaskan bahwa ekspektasi positif terhadap penetapan kinerja optimal berhubungan positif dengan perilaku kerja inovatif, sedangkan ekspektasi terhadap resiko sosial berhubungan secara negatif dengan perilaku kerja inovatif. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diajukan sebagai dasar dalam merumuskan permasalahan: 1. 2. 3.
Apakah ada hubungan antara perilaku pemimpin dengan perilaku kerja inovatif? Apakah ada hubungan antara ekspektasi kinerja dengan perilaku kerja inovatif? Apakah ada pengaruh perilaku pemimpin terhadap perilaku kerja inovatif perorangan, dengan ekspektasi kinerja bawahan sebagai variabel mediator?
Hipotesis Ada pengaruh positif perilaku pemimpin terhadap perilaku kerja inovatif, dengan ekspektasi kinerja sebagai mediator.
METODE
Populasi dan Sampel Penelitian Hasil penelitian akan digeneralisasikan pada populasi penelitian yang mencakup 10 perusahaan dengan total 1296 karyawan yang tergabung dalam kelompok usaha jasa pelayanan logistik dan tranportasi yang secara praktek telah mengembangkan perilaku kerja inovatif secara terstruktur dan sistematis. Dengan metode nomogram Harry King dan agar sampel penelitian dapat mewakili keseluruhan populasi, maka ditetapkan 15 % dengan tingkat kepercayaan lima persen sebagai acuan yang dianggap layak dalam menetapkan sampel penelitian (Sugiyono, 2003). Dan untuk memperoleh keterwakilan sampel pada keseluruhan populasi, maka Proportionate Stratified Random Sampling digunakan penulis untuk menetapkan 194 subyek penelitian sebagai dasar perhitungan dan penetapan sampel penelitian yang mewakili jumlah karyawan dan jumlah level manajemen dari masing masing perusahaan yang terlibat dalam penelitian ini.
65
Perilaku Inovatif
Tabel 1.Distribusi sampel penelitian Perusahaan A
∑ Karyawan 163
B
316
C
142
D
144
E
105
F
150
G
75
H
73
I
74
J TOTAL
54 1296
Level Manajemen
∑ Sampel
Puncak
0
Menengah
9
bawah
15
Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah Puncak Menengah bawah
0 21 27 0 9 13 0 9 13 0 6 10 0 8 13 0 3 8 0 4 8 0 3 8
Puncak
0
Menengah bawah
3 4 194
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan berisi sejumlah daftar pertanyaan yang penyusunannya berdasarkan skala likert. Khusus untuk mengungkap perilaku kerja inovatif digunakan skala penelitian dari empat dimensi perilaku kerja inovatif dari De Jong (2010) yang memiliki validitas dan reliabilitas yang signifikan pada penelitian 703 subyek penelitian dengan lini usaha manufaktur, informasi teknologi, pelayanan hukum, dan perusahaan yang bergerak dalam konsultan manajemen. Dengan model analisis confirmatory factor analysis, diperoleh hasil bahwa dimensi dimensi seperti, eksplorasi ide, membangkitkan ide, memenangkan ide, dan aplikasi ide, memiliki kontribusi terhadap keseluruhan kontruk instrumen perilaku kerja inovatif dengan tingkat signifikansi p<0.001. Sedangkan uji korelasi antar faktor perilaku kerja inovatif menunjukkan hasil yang signifikan dengan koefisien korelasi yang bergerak antara 0.60 hingga 0,74 (De Jong 2010).
66
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
Sedangkan skala pengukuran perilaku kepemimpinan, dan ekspektasi kinerja, menggunakan konsepsi pemikiran dari Yukl (2010), Deci & Ryan (dalam Franken, 2002), Scholl (2002) yang dalam penetapan dimensi skala pengukuran telah dimodifikasi oleh penulis agar memiliki kesesuaian dengan budaya organisasi dan praktek manajemen yang menekankan pentingnya kontribusi kerja inovatif dari seluruh lapisan manajemen dengan sistem insentif yang dijalankan X% di atas perusahaan yang sejenis. Validitas dan Reliabilitas Skala Pengukuran Uji validitas isi skala pengukuran, dilakukan dengan meminta umpan balik dan koreksi dari dua orang paraktisi manajemen, setelah seluruh skala pengukuran berhasil disusun berdasarkan dimensi konsepsi teoritisnya. Sedangkan validitas dan reliabilitas item skala pengukuran dilakukan dengan melakukan uji coba pada 35 orang pekerja, dimana sampel uji coba tidak diikut sertakan pada penelitian utama. Tabel di bawah merupakan jumlah aitem setelah dilakukan uji coba: Tabel 2. Uji validitas dan reliabilitas butir No
Skala Pengukuran
∑ Aitem
∑ Aitem Valid & Reliabel
r kritis
Reliabilitas
1
Perilaku Kerja Inovatif
17
10
0,35
0,69
2
Ekspektasi Kinerja
10
10
0,35
0,83
3
Perilaku Pemimpin
35
35
0,35
0,96
Berdasarkan analisis dimensi perilaku kerja inovatif, masing masing dimensi memberikan kontribusi kepada kontruksi instrumen perilaku inovatif dengan tingkat signifikansi p<0,01. dengan koefisien korelasi yang bergerak antara 0,56 hingga 0,71. Dimensi ekspektasi kinerja juga memiliki kontribusi terhadap keseluruhan kontruksi, dengan koefisien korelasi 0,79 dan 0,94 dengan signifikansi p<0,01. Perilaku kepemimpinan bergerak antara 0,79 hingga 0,94 dengan p<0,01. Mempertimbangkan perolehan validitas dan reliabilitas item skala pengukuran pada tabel 2 di atas serta untuk memudahkan perolehan data penelitian di lapangan, maka komposisi jumlah item yang digunakan pada penelitian utama adalah sebagai berikut: Tabel 3.Jumlah aitem Penelitian Utama No
Skala Pengukuran
∑ Aitem
1
Perilaku Kerja Inovatif
10
2
Ekspektasi Kinerja
10
3
Perilaku Pemimpin
18
ANALISIS & HASIL Dari hasil pengumpulan data, ada penambahan lima subyek penelitian yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini: satu orang presiden direktur, satu orang kepala cabang, satu orang supervisor yang merupakan representasi level manajemen puncak dan menengah. Sedangkan dua orang merupakan posisi pelaksana yang merupakan representasi level manajemen bawah. Sehingga keseluruhan sampel penelitian yang diikut sertakan dalam analisis berjumlah 199 subyek.
67
Perilaku Inovatif
Pengolahan data dilakukan melalui bantuan program SPSS (Statistical Product And Service Solution) versi 16.0 untuk menganalisis pola hubungan antara variabel penelitian. Dengan metode analisis korelasi product moment pola hubungan baik secara mandiri maupun simultan dihitung dan diformulasikan seperti bagan 1 di bawah ini; Bagan 1 : Korelasi antar variabel penelitian
Hasil analisis seperti pola hubungan pada bagan 1 di atas sebagai dasar untuk mengetahui lebih jauh pola pengaruh variabel penelitian terhadap perilaku kerja inovatif. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis), dengan formulasi sebagai berikut: Total Effect = Direct Effect + Indirect Effect
Untuk mengetahui koefisien bangunan rumusan di atas, dengan melakukan perhitungan berdasarkan persamaan variabel bebas dan variabel terikat yang dibandingkan dengan persamaan variabel mediator dengan variabel terikat, dengan rumusan persamaan sebagai berikut:
rx1y rx2y a b c
: : : : :
rx1y =
b
+
ac
rx2y =
c
+
ab
koefisien korelasi antaravariable bebas dengan variebel terikat. koefisien korelasi antarvariabel mediator dengan variabel terikat koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel mediator koefisien direct effect koefisien indirect effect
Berdasarkan analisis hubungan Pearson Product Moment dalam memperoleh hubungan antara variabel penelitian diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah. Tabel 4. Pola hubungan antar variabel penelitian. N
Jumlah Aitem
Mean
SD
Perilaku Pemimpin
Ekspektasi Kinerja
Perilaku Kerja Inovatif
Perilaku Pemimpin
199
18
3,85
8,48
1
0,69**
0,47**
Ekspektasi Kinerja
199
10
3,92
3,78
0,69**
1
0,56**
Perilaku Kerja Inovatif
199
10
3,90
3,72
0,47**
.56**
1
Variabel Penelitian
68
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
Tabel 4 menjelaskan korelasi antar variabel penelitian di mana koefisien korelasi seluruhnya signifikan pada tingkat 0,01. Sedangkan untuk mengetahui effect pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif diperoleh koefisien sebagai berikut: 0,47 (total effect) = 0,16 (direct effect) + 0,31 (indirect effect). Sehingga berdasarkan asumsi teoritis yang dikemukakan dalam hipotesis penelitian, hasil temuan empiris menjelaskan: 1. 2. 3. 4.
Koefisien korelasi sebesar 0,47, menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara perilaku pemimpin dengan perilaku kerja inovatif. Koefisien korelasi 0,56 memberikan penjelasan adanya hubungan signifikan antara ekspektasi kinerja sebagai aspek motivasional dengan perilaku kerja inovatif. Koefisien korelasi sebesar 0,69 menjelaskan pada hubungan siginifikan antara perilaku pemimpin dengan ekspektasi kinerja Koefisien regresi sebesar 0,47 menjelaskan bahwa ada pengaruh perilaku pemimpin terhadap perilaku inovatif pekerja, dengan ekspektasi kinerja sebagai mediator.
DISKUSI Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah ekspektasi kinerja sebagai proses motivasional perorangan dapat berperan sebagai mediator pada pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku kerja inovatif yang dikembangkan secara perorangan oleh pekerja, tidak dapat dipisahkan dengan aspek motivasional pekerja. Data menunjukkan bahwa ekspektasi kinerja sebagai aspek motivasi kerja berperan tidak utuh dalam memediasi perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif. Efek perilaku kepemimpinan dapat bersifat langsung dalam mempengaruhi perilaku kerja inovatif. Akan tetapi di sisi lain bersifat tak langsung, yaitu terdapat ekspektasi kinerja sebagai aspek motivasi pekerja yang berperan sebagai mediator antara perilaku kepemimpinan terhadap kemunculan perilaku inovatif pekerja. Secara struktural, dari 199 pekerja yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 63 pekerja secara proporsional menduduki jabatan struktural seperti: direktur, general manajer, kepala cabang, kepala departemen, dan supervisor, sebagai representasi tingkatan manajemen atas dan menengah. Sedangkan sisanya sebagai representasi manajemen bawah yang berada pada level staff dan pelaksana yang mewakili fungsi marketing, sumber daya manusia, keuangan dan akunting, business development, procurement, teknologi informasi dan operasional. 1.
Pengaruh langsung
a. Posisi pemegang jabatan berpengaruh terhadap pekerja dalam menetapkan pilihan perilaku kerja yang mampu berdampak pada efektivitas kerja. Untuk itu, perilaku inovatif dapat menjadi pilihan sebagai persyaratan yang harus dilakukan pekerja untuk dapat berhasil. Semakin tinggi jabatan maka semakin membutuhkan pengorganisasian pekerjaan secara cermat dalam pelaksanaannya. Prinsip prinsip untuk melakukan alur perencanaan-pelaksanaan- pengendalian- dan tindak lanjut hasil evaluasi permasalahan, semakin menjadi kebutuhan pekerja dalam mengelola pekerajaan. Sehingga prinsip perilaku inovatif yang mengutamakan kreativitas-sinergi-implementasi nyata dalam pelaksanaan pekerjaan, menjadi rangkaian aktivitas yang mutlak harus dilakukan pekerja, terutama untuk mencapai efektivitas kerja yang diharapkan.
69
Perilaku Inovatif
b. Jenis pekerjaan tertentu seperti sistem analis IT, dan fungsi pengembangan sistem lainnya pada masing masing bidang seperti : HRD, Bisnis, Marketing, IT, secara karakteristik dan tuntutan tugas memang mempersyaratkan perilaku inovatif. Untuk mencapai kesesuaian persyaratan pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki pemegang jabatan, maka pekerja akan mengembangkan kompetensi diri dalam melakukan aktivitas yang dipersyaratkan, sebagai upaya untk mempertanggung jawabkan hasil kinerja yang dicapainya kepada masing masing atasan. Apabila seorang atasan memberikan keleluasaan untuk mengembangkan kompetensi, maka sejalan dengan berkembangnya otonomi diri pekerja (bawahan), ia akan semakin mempertahankan efektivitas kerjanya dengan tetap mempertahankan sinergi dengan rekan kerja lain dalam mengembangkan perilaku kerja inovatif (Deci & Ryan, dalam Franken, 2002). c. Pengaruh langsung perilaku kepemimpinan terhadap perilaku inovatif pekerja dapat diketahui berdasarkan temuan empiris dalam penelitian berikut ini: c.1.
c.2. c.3. c.4. c.5.
2.
Dukungan (supporting) psikologis atasan terhadap perilaku pekerja memiliki hubungan secara langsung terhadap dimensi perilaku kerja inovatif seperti: eksplorasi ide (idea exploration)- mengajukan alternatif solusi yang tepat (idea generating)-meyakinkan rekan kerja atas ide yang diyakininya (idea championing). Mendukung/menyediakan sarana & prasarana inovasi yang berhubungan secara langsung dengan idea generating dan idea championing. Memberikan kesempatan pada bawahan untuk ikut serta terlibat dalam memecahkan masalah kerja (consulting) berhubungan dengan idea generating dan idea championing. Memberikan tugas yang menantang (challenge), berhubungan dengan idea exploration dan idea championing. Pendelegasian tugas (delegating) dan pengakuan (recognition) berhubungan dengan idea generating
Pengaruh tidak langsung
Praktek perilaku kerja inovatif pada populasi penelitian telah dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis. Pemberian insentif diberikan kepada pekerja yang berhasil mengembangkan perilaku inovatif yang memenuhi persyaratan dan kriteria tim penguji. Selama tahun 2011 kelompok perusahaan tempat penelitian ini dilakukan (10 perusahaan) secara group telah menghasilkan 205 perilaku kerja inovatif yang dilakukan secara kelompok maupun perorangan yang berhasil distandardisir dan diaplikasikan di dalam pekerjaan. Perilaku kerja inovatif, memiliki keterkaitan yang sangat erat antara arah kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan puncak dengan realisasi pencapaian masing masing tingkatan manajemen dan fungsi. Atasan memiliki peran yang amat sentral dalam memfasilitasi dan mengendalikan usulan inovatif yang diusulkan oleh bawahan. Usulan inovatif yang dilakukan secara tertulis dan sistematis oleh bawahan dievaluasi oleh atasan berdasarkan prinsip, Quality, Cost, Delivery, Safety, Morale (QCDSM), agar keterkaitan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan puncak, tetap dapat dikendalikan dan tetap fokus pada tujuan awal. Usulan inovatif yang lolos pada tahap eliminasi oleh atasan, diajukan untuk selanjutnya diuji dihadapan komite usulan perbaikan inovatif, yang selanjutnya diputuskan untuk distandardisasikan untuk diaplikasikan dalam pekerjaan. Usulan inovatif yang memenuhi kualifikasi dan memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan organisasi ditetapkan sebagai usulan perbaikan inovatif perusahaan dalam mewakili pada konvensi perbaikan inovatif tingkat grup maupun tingkat korporat. Pengaruh tidak langsung perilaku kepemimpinan yang lebih dominan terhadap perilaku kerja inovatif dapat dijelaskan seperti uraian di bawah ini:
70
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
a.
b.
Aspek motivasional memainkan peran yang amat penting dalam setiap usulan perbaikan inovatif yang diajukan oleh pekerja. Pekerja akan menggunakan seluruh upaya, pengetahuan, kemampuan teknikal, maupun kemampuan dalam membangun sinergi sosial dengan rekan kerja maupun atasan, dalam setiap usulan perbaikan inovatif. Atasan sebagai wakil manajemen, memiliki kepentingan dalam merealisasikan sasaran unit kerjanya sesuai dengan ketetapan yang telah digariskan oleh manajemen, yaitu dengan berperan sebagai promotor sekaligus fasilitator dalam melakukan tindakan korektif terhadap setiap usulan perbaikan inovatif bawahan. Kondisi di atas menyebabkan ekspektasi kinerja (dimensi efektivitas dan dimensi penerimaan/pengakuan sosial) memiliki peran penting dalam setiap pengajuan usulan perbaikan inovatif. Pengaruh eksternal tidak serta merta memberikan pengaruh secara langsung, namun di mediasi oleh peran ekspektasi kinerja terhadap perilaku kerja inovatif yang akan dilakukan pekerja. Pola hubungan ekspektasi kinerja dengan perilaku kerja inovatif menunjukkan bahwa dimensi pengakuan/penerimaan sosial (motivasi ekstrinsik) memiliki pola hubungan yang lebih dominan jika dibandingkan dengan dimensi efektivitas kerja (motivasi intrinsik). Dimensi pengakuan sosial memiliki hubungan yang dominan dengan keseluruhan dimensi perilaku kerja inovatif dengan urutan nilai tertinggi pada idea championing-idea generating-idea exploration-dan idea aplication. Sedangkan efektivitas kerja memiliki hubungan dengan dimensi idea aplicationidea championing-idea generating-dan idea exploration. Kondisi di atas menjelaskan hal-hal berikut: b.1. Untuk pekerjaan tertentu dengan otonomi dan rutinitas yang tinggi serta bersifat administratif, cenderung memiliki pola kerja yang relatif terstruktur dengan prosedur baku yang jelas. Persyaratan pekerjaan relatif kurang membutuhkan usulan perbaikan inovatif dalam periode waktu yang singkat, seperti misalnya pada fungsi accounting, finance, programmer, dan tugas administratif di level pelaksana. Dengan kata lain, efektivitas proses kerja kelompok lebih menjadi pertimbangan karyawan, daripada efektivitas kerja pribadi karyawan yang bersangkutan. b.2. Pengaruh tidak langsung dengan pengakuan sosial yang lebih dominan dari dimensi efektivitas kerja, bisa saja terjadi pada pekerja yang tidak inovatif yang cenderung resisten terhadap perubahan yang memberikan pengaruh terhadap pekerja yang inovatif.
SIMPULAN & SARAN Berdasarkan hasil analisa data dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat efek pengaruh yang signifikan antara perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif, dengan ekspektasi kinerja sebagai mediator. Efek mediasi ekpektasi kinerja berperan sebagian dan menunjukkan pengaruh tidak langsung yang lebih dominan jika dibandingkan dengan pengaruh langsung perilaku kepemimpinan terhadap perilaku kerja inovatif. Ekspektasi pekerja (efektivitas dan pengkuan sosial) sebagai aspek motivasi pekerja memiliki andil besar dalam memunculkan perilaku inovatif dalam pelaksanaan pekerjaan. Ekspektasi pekerja memberikan makna positif terhadap perilaku kepemimpinan dengan urutan hubungan seperti : dukungan inovasi-tantangan tugas-consulting,recognition, dukungan sarana-delegating dalam melakukan perilaku kerja inovatif yaitu, idea exploration-idea generating-idea championing-dan idea aplication.
71
Perilaku Inovatif
Saran 1.
Dilihat dari detail perolehan mean variabel penelitian dan hubungan dimensi variabel perilaku kepemimpinan, ekspektasi kinerja, dan perilaku kerja inovatif, memberikan gambaran bahwa pada organisasi yang mengutamakan perilaku inovatif sebagai kebijakan kerja, maka ekspektasi kinerja sebagai aspek motivasi pekerja perlu memperoleh perhatian khusus dalam mengoptimalkan perilaku kerja inovatif. Ekspektasi kinerja sebagai representasi motif intrinsik (efektivitas kerja) dan motif ekstrinsik (pengkuan/penerimaan sosial) perlu difasilitasi disamping dengan karakteristik kepemimpinan yang telah disebutkan di atas perlu membangun iklim kerja inovatif yang lebih dapat mendorong ekspektasi kinerja level pelaksana (low management) terhadap perilaku inovatif. Beberapa alternatif yang dapat mendorong iklim kerja inovatif antara lain: (1) Kebijakan organisasi dalam rencana kerja tahunan (RKT) diterjemahkan oleh masing masing unsur pimpinan fungsi menjadi area pengembangan fungsi (2) masing masing pimpinan unit secara spesifik menjabarkan pada area pengembangan tugas (3) ditawarkan kepada pekerja (4) proses mentoring dan coaching dari unsur pimpinan dan bertanggung jawab terhadap kepesertaan bawahan dalam usulan inovatif (5) ada Callendar of event yang pasti dalam penilaian dan presentasi di tingkat fingsi-perusahaangroup bisnis-antar group bisnis (6) ada ritual and award dengan upacara formal yang melibatkan unsur pimpinan puncak baik di tingkat perusahaan atau group-antar group (7) ada insentif yang signifikan dapat dirasakan oleh pekerja. Setidaknya tahapan tersebut di atas dapat membangun iklim kerja inovatif, disamping memberikan pembelajaran secara konkrit dalam mengatasi dan mengantisipasi permasalahan pekerjaan.
2.
Dalam paragraf sebelumnya dijelaskan perilaku inovatif dalam organisasi bukan hanya sekedar permasalahan tematis semata, namun merupakan proses sosio kultural yang terbentuk berdasarkan proses belajar sosial. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa ekspektasi kinerja memberikan dampak tak langsung yang lebih dominan pada perilaku pemimpin dengan perilaku kerja inovatif. Walaupun perilaku inovatif sebagai perilaku kerja yang diformalkan dan sebagai keseharian praktek manajemen, tampak ekspektasi dalam memperoleh pengakuan sosial berhubungan secara signifikan dengan perilaku kerja inovatif. Kondisi tersebut memberikan pemahaman bahwa aspek situasional organisasi memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja. Melihat kondisi tersebut di atas untuk penelitian yang akan datang perlu mengikut sertakan aspek iklim kerja sebagai variabel penilitian. Iklim kerja sebagai aspek situasional organisasi merupakan kaidah perilaku yang memiliki muatan norma perilaku yang dibenarkan kemunculannya di dalam organisasi. Juga perlu mempertimbangkan pengambilan data dari dua sisi. Atasan diminta menilai hasil kerja bawahan dan bawahan melakukan penilaian terhadap perilaku pemimpin. Kondisi ini akan membantu untuk mengetahui lebih jauh karakteristik perilaku inovatif yang terjadi, dan sekaligus mengembangkan hasil penelitian ini yang hanya mengandalkan “self reporting” dari subyek penelitian.
72
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 57–74
DAFTA PUSTAKA Achua, C.F., & Lussier, R.N. ( 2010). Effective leadership. Canada :Cengage Learning International Offices. Ajzen, I., & Fishben, M. (1991). The theory of planned behavior. Journal of Organizational Behavior and Human Decision Process, 50,179-211. Baron, R.A., Byrne, D., Johnson, B.T. (1998). Exploring social psychology. Boston: Allyn And Bacon A Viacomm Company. De Jong, J., & Den Hartog, D., (2010). Measuring inovative work behavior. Journal of Creativity And Inovation Management, 19, (1) , 23 – 36. Fonseca, J. (2002). Complexity and inovation in organizations. London:Routledge. Franken. R.E. (2002). Human motivation : Growth Motivation & Self Regulation. USA: Wadsworth Thomson Learning. Imai, M. (1986). Kaizen : The key to japan’s Ltd.
competitive success. Japan: The Kaizen Institute,
Nahavandi, A. (2009). The art and science of leadership. New Jersey :Pearson Education, Inc. Rank, J., & Nelson, N,E., & Allen, T.D. (2009). Leadership predictor of inovations and tasks performance: Sub ordinates’ self esteem and self presentation as moderator. Journal Of Occupational and Organizational Psychology, 82, 465-489. Robbins,S.P., Judge.T.A. ( 2009). Organizational behavior. London:Pearson Education Ltd. Sugiyono.(2003). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Ulrich. D. (1997), Human resource champion: The next agenda for adding value and delivering result. Boston : Harvard Business School Press. West, M.A. & Altink, W.M.M., (1996). Inovation At Work: Individual, Group, Organizational And Socio Historical Perspectives, European Journal Of Work And Organizational Psychology, 5, (1) , 3-11. Yuan, F., & Woodman, R.W., (2010).Innovative behavior in the work place: The role of performance an image outcome expectations. Academy of management journal, 53:323-341. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations.
New Jersey: Pearson Prentice Hall
Internet: Prijono Sugiarto (21 Februari 2011). Net Quality income Astra capai Rp. 4 triliun. Diunduh 10 Maret 2011, dari http://www.infobanknews.com Scott.S.G., & Bruce. R.A. (2002). The influence of leadership , individual attributes, and climate on inovative behavior: A model of individual innovation in the work place: Internet:http://cpba. louisville.edu/bruce/research/fininno.htm, 1-22. Scholl, W. Richard., (2002). Sources motivation model: Motives Behind Work Behavior. www.uri.edu/ research/scholl.
73
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
PENGARUH GAYA BERPIKIR, INTEGRITAS DAN USIA PADA PERILAKU KERJA YANG KONTRAPRODUKTIF Mira Permatasari Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa Jalan Letjen TB Simatupang No.157 Jakarta Selatan
[email protected]
Abstract This study explores the effects of thinking style, integrity and age on counterproductive work behavior (CWB). Using between subject design for 122 workers in young adulthood and 68 workers in middle adulthood, the study utilizes rational experiential inventory (REI) to determine the thinking style and self-report questionnaire to measure counterproductive work behavior and integrity. Regretion statistic found that integrity and age theirselves and interaction between them, have some effects on CWB. High-rational high-experiential thinking style have interact with integrity in affecting CWB. Key words: Counterproductive work behavior, thinking style, integrity, adulthood. Abstrak. Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh gaya berpikir (cognitive-experiential selftheory/CEST), integritas (theory of moral identity) dan usia pada perilaku kerja yang kontraproduktif (counterproductive work behavior / CWB). Menggunakan desain penelitian between subject dengan sampel 122 pekerja dewasa muda dan 68 pekerja dewasa madya. Alat ukur menggunakan rational experiential inventory (REI) untuk gaya berpikir dan kuesioner self-report untuk perilaku kerja yang kontraproduktif dan integritas. Hasil menunjukkan bahwa integritas dan usia mempengaruhi perilaku kontraproduktif. Sedang tipe gaya berpikir yang berinteraksi dengan integritas dalam mempengaruhi perilaku kerja yang kontraproduktif adalah tipe gaya berpikir high-rational high-experiential. Kata kunci : perilaku kontraproduktif, gaya berpikir, integritas, usia dewasa.
PENDAHULUAN Perilaku individu di dunia kerja ada yang menguntungkan, baik itu untuk dirinya sendiri, kerja sama kelompok, maupun perusahaan, namun ada pula yang tidak menguntungkan. Perilaku yang menguntungkan seperti mentaati peraturan perusahaan, mengisi waktu bekerja dengan sungguhsungguh, atau bisa bekerja sama dalam kelompok (teamwork). Perilaku yang tidak menguntungkan seperti melakukan pelecehan fisik maupun verbal pada teman kerja, menolak bekerjasama, mencuri, melakukan sabotase, menunda-nunda pekerjaan, malas dan berbohong (Impelman, 2006; Marcus & Schuler, 2004; Penney & Spector, 2005; Yang 2008). Perilaku kerja yang menguntungkan disebut perilaku kerja yang produktif, sedang yang tidak menguntungkan disebut perilaku kerja yang kontraproduktif
75
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
(counterproductive work behaviour atau CWB). Istilah perilaku kerja yang kontraproduktif untuk selanjutnya akan disingkat menjadi perilaku kontraproduktif. Di antara banyak definisi perilaku kontraproduktif, penelitian ini memilih definisi dari Gruys dan Sacket (2003), yakni any intentional behavior on the part of an organization member viewed by the organization as contrary to its legitimate interests, yang dipahami sebagai perilaku yang sengaja dilakukan oleh pekerja, yang bertentang dengan kepentingan organisasi. Kepentingan organisasi disini adalah yang mempertimbangkan etika dan nilai-nilai moral universal. Definisi ini sesuai dengan tujuan penelitian karena menekankan pada niat individu untuk berperilaku kontraproduktif. Gruys dan Sacket (2003) menetapkan definisi ini untuk membatasi bentuk perilaku kontraproduktif menjadi sebelas bentuk, yakni pencurian, perusakan properti perusahaan, agresi verbal untuk menyakiti hati temannya, agresi fisik yang mengganggu dan membahayakan rekan kerja, menyalahgunaan waktu, menyalahgunaan sumber daya perusahaan, menyalahgunaan informasi, rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya kualitas kerja, dan menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang. Mengapa perilaku kontraproduktif bisa terjadi? Impelman (2006) menyebutkan karena adanya interaksi antara variabel individu dan lingkungan kerja. Interaksi itu artinya variabel individu bisa memengaruhi terbentuknya norma-norma lingkungan kerja, sebaliknya lingkungan kerja juga bisa memengaruhi perilaku pekerja. Variabel lingkungan kerja, dicontohkan Impelman (2006) seperti penerapan peraturan, pengawasan dan norma-norma di lingkungan kerja. Mendukung pendapat tersebut, Greenberg (2002) mencontohkan pekerja lebih jarang mencuri pada perusahaan yang lebih kecil atau sedikit karyawannya, karena mereka lebih mungkin tertangkap dan dikenali secara pribadi. Pekerja juga lebih sering mencuri properti perusahaan daripada properti pribadi teman kerja. Variabel individu yang memengaruhi perilaku kerja kontraproduktif menurut Everton, Jolton & Mastrangelo (2007), Impelman (2006), Marcus & Schuler (2004) serta Penney & Spector (2005), antara lain adalah komponen-komponen individu yang terkait dengan usia, seperti penurunan kemampuan kognitif, meningkatnya aspek kepribadian conscientiousness dan agreeableness, konsep diri yang semakin positif, regulasi emosi yang pasif dan berkembangnya integritas. Ada pula komponen yang tidak terkait langsung dengan usia yakni persepsi terhadap stimulus yang menimbulkan emosi. Terkait dengan usia, penelitian Martinko (2002, dalam Fine, Horowitz, Weigler, & Basis (2010) dan Henle (2005, dalam Fine, dkk., 2010) menyebutkan pekerja yang sering melakukan perilaku kontraproduktif adalah pegawai yang berusia muda. Namun dari pengamatan, dan wawancara peneliti dengan pihak HRD di beberapa perusahaan, perilaku kontraproduktif bisa jadi bukan dominasi pegawai berusia muda. Pegawai senior yang telah berusia dewasa madya bisa juga menjadi frustasi, tidak puas dan melakukan perilaku kontraproduktif, akibat penurunan kognitif yang terjadi pada usia dewasa madya. Ada beberapa aspek kemampuan kognitif yang cenderung menurun pada dewasa madya, diantaranya adalah kemampuan mengingat, waktu untuk melakukan divergent thinking - kemampuan menyelesaikan masalah dengan berbagai solusi (Foos & Boone, 2008), waktu untuk mengalihkan perhatian dari satu tugas ke tugas berikutnya (Langley, Rokke, Stark, Saville, Allen, & Bagne, 2008), dan mempelajari hal-hal baru (Negash, Romain, MacLeod, Howard, Jr., & Haris, 2004). Semua aspek penurunan kognitif ini bisa menimbulkan benturan pada lingkungan kerja yang tidak bisa menerima hal ini, dan rasa frustasi pada pekerja dewasa madya. Beberapa faktor kepribadian yang terus berkembang selama usia dewasa bisa menjadi penghalang perilaku kontraproduktif. Costa & McCrae (1980, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008), menyebutkan faktor kepribadian itu adalah seperti conscientiousness - tipe kepribadian yang berciri tekun, teratur, dan disiplin; agreeableness – membuat individu bisa menerima situasi dan menoleransi kesulitan yang dihadapinya regulasi emosi, konsep diri yang positif dan integritas.
76
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
Pada dewasa madya juga lebih berkembang self-evaluation positif yang akan mempengaruhi persepsi dan intensitas perasaan individu terhadap stimulus yang kurang menyenangkan atau menimbulkan emosi negatif, sehingga menghalangi terjadinya perilaku kontraproduktif dengan mempertimbangkan resiko atau hasil akhir suatu tindakan (Lockenhoff, T., & Lane, 2008).. Mengenai persepsi, Colbert, Mount, Harter, Witt, & Barrick, (2004) mengatakan, persepsi yang positif terhadap situasi kerja dihubungkan dengan semakin rendahnya tingkat perilaku kontraproduktif. Sementara Marcus & Schuler (2004), Penney & Spector (2005), Fine, dkk (2010) mencontohkan persepsi terhadap kejadian eksternal yang dinilai merugikan diri pekerja, misalnya terhadap ketidakcukupan gaji, ketidakadilan dan merasa posisinya terpinggirkan, kurang kesempatan dalam meraih kemajuan, bisa menimbulkan frustasi, stres dan ketidakpuasan kerja, yang berujung pada perilaku kontraproduktif. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti memahami perilaku kerja yang kontraproduktif sepertinya merupakan suatu perilaku yang telah dipikirkan akibatnya dan terencana. Benarkah demikian ? Bila ditinjau dari teori proses berpikir dual-process, perilaku kontraproduktif belum tentu telah dipikirkan masak-masak dan terencana, karena yang kelihatannya rasional ternyata bisa dipengaruhi proses berpikir experiential, yakni proses berpikir yang cepat, mendasarkan diri pada pengalaman dan terpicu oleh stimulus yang bisa menimbulkan emosi (Teglasi & Epstein, 1998). Individu akan mengolah informasi berdasarkan cara yang rasional, yakni penuh pertimbangan dan logis, dan yang berdasarkan intuisi. Keduanya bekerja pada saat yang bersamaan dan saling memengaruhi. Individu bebas memilih cara yang akan digunakannya untuk memproses informasi atau stimulus yang didapatkannya, sehingga menghasilkan tindakan atau keputusan tertentu. Epstein & Pacini (2000-2001) dan Zhang & Sternberg (2006, dalam Zhang L.-F., 2008) menyatakan, cara yang dipilih individu dalam memproses informasi disebut gaya berpikir atau thinking style. Menurut peneliti, antara persepsi dan gaya berpikir terdapat kesamaan bahwa keduanya merupakan bagian dari proses kognitif, dipengaruhi oleh emosi dan pengalaman individu. Berdasar persamaan antara persepsi dan gaya berpikir, meski gaya berpikir tidak pernah dihubungkan dengan perilaku kontraproduktif, maka peneliti menduga, gaya berpikir bisa diteliti pengaruhnya terhadap perilaku kerja yang kontraproduktif. Salah satu teori dual-process gaya berpikir yang banyak dieksplorasi adalah CognitiveExperiential Self Theory (CEST) dari Seymour Epstein (1983), namun teori ini belum pernah dihubungkan dengan perilaku kerja yang kontraproduktif. CEST merupakan teori dual-process yang menjelaskan bahwa untuk beradaptasi dengan lingkungannya atau dalam menyelesaikan tugas, individu memproses informasi menggunakan dua gaya berpikir, yakni gaya berpikir experiential dan gaya berpikir rasional. Dua gaya berpikir ini akan membentuk schema. Penjelasan CEST mengenai schema sama dengan penggambaran Piaget, yakni representasi abstrak dalam memori yang terbentuk dari tindakan atau pengalaman nyata. Gambaran ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan pengalaman baru. Kumpulan schema disebut schemas atau schemata, bertanggung jawab untuk memproses dan mengingat informasi secara efisien dan mengarahkan perhatian kita pada hal / pengalaman baru yang relevan dengan schema yang ada (Teglasi & Epstein, 1998) Gaya berpikir rasional dan experiential ini beroperasi dengan peraturan-peraturan yang berbeda, nampak bertentangan, namun keduanya bekerja secara interaktif atau saling memengaruhi, dalam waktu yang bersamaan (Teglasi & Epstein, 1998). Epstein (1983, dalam Teglasi & Epstein, 1998; Epstein & Pacini, 2000-2001) menjelaskan, gaya berpikir rasional adalah gaya pemrosesan informasi secara logis, analitis, membutuhkan proses secara sadar, penuh usaha dan perhatian, mempertimbangkan sebab akibat dan konsekuensi jangka panjangnya, terencana, relatif lambat, dan relatif bebas dari emosi. Proses pemikiran dengan gaya rasional biasanya bisa dijelaskan secara verbal. Gaya berpikir
77
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
ini lebih cocok untuk tindakan-tindakan yang lambat dan penuh pertimbangan dan penilaian normatif, penyelesaian masalah yang berorientasi pada tindakan, konstruktif, menggunakan analisa tanpa menggunakan nafsu. Gaya berpikir experiential menurut Teglasi dan Epstein (1998), dan Epstein dan Pacini (20002001) adalah cara memproses informasi secara otomatis, tidak sepenuhnya disadari, cepat dan otomatis. Stimulus yang biasa diproses secara experiential adalah stimulus yang terkait dengan emosi, atau membangkitkan emosi individu. Epstein dan Pacini (2000-2001) menjelaskan, fungsi pengalaman masa lalu dalam gaya berpikir experiential sama pentingnya dengan pengalaman yang langsung dialami saat ini. Pengalaman masa lalu akan divisualisasikan ketika individu dihadapkan pada stimulus yang melibatkan emosi, seperti harus menjalani kehidupan yang penuh stres dengan berbagai tuntutan, ketika memperkirakan sesuatu dan ketika merasa cemas, sehingga individu akan merasa lebih aman dan lebih fleksibel. Gaya berpikir experiential bekerja lebih cepat daripada gaya berpikir rasional, sehingga mampu memengaruhi keputusan atau penilaian yang seharusnya akan lebih baik bila dibuat secara rasional. Meskipun gaya berpikir rasional bisa mengontrol gaya berpikir experiential, namun kontrol ini tidak selalu berhasil, tergantung dari waktu dan kemauan individu. Contohnya seperti hasil penelitian Kirkpatrick dan Epstein (1992, dalam Teglasi & Epstein, 1998) tentang fenomena ratio-bias, partisipan melaporkan bahwa mereka sadar akan pilihannya yang tidak rasional, tapi tidak mampu menyingkirkan apa yang mereka sebut sebagai kata hati. Epstein dan Morling (1995, dalam Teglasi & Epstein, 1998) menekankan, perbedaan fundamental antara experiential dan rasional adalah bahwa gaya berpikir experiential dipengaruhi langsung oleh pengalaman dan emosi yang menyertai pada pengalaman tersebut, sedang gaya berpikir rasional adalah hasil dari pengetahuan dan aturan-aturan yang diajarkan oleh lingkungan dan budaya dimana individu tinggal. Proses saling mempengaruhi ini biasanya terjadi diluar kesadaran manusia, sehingga sistem rasional sering gagal mengontrol pengaruh experiential. Kecenderungan individu untuk menggunakan suatu gaya berpikir tertentu dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, pengalaman, intensitas perasaan individu ketika berhadapan dengan stimulus tertentu, self-control dan self-regulation (Epstein & Pacini, 2000-2001). Sedang pengelompokan tipe gaya berpikir berdasar alat ukur Rational-Experiential Inventory (REI) mengelompokkan empat tipe gaya berpikir yakni tinggi di kedua variabel (high-rational, high-experiential), rendah di kedua variabel (low-rational, low-experiential), tinggi di satu variabel dan rendah di variabel yang lain (high-rational, low-experiential dan low-rational, high-experiential) (Shiloh, Salton, & Sharabi, 2002). Sayangnya, sampai saat ini tidak terdapat penjelasan ciri-ciri tipe tersebut. Bila gaya berpikir selama ini tidak pernah dihubungkan dengan perilaku kerja yang kontraproduktifi, faktor lain yang sering disebut sebagai pengaruh terjadinya perilaku kontraproduktif adalah integritas. Tidak semua orang bisa mengembangkan integritas, karena terkait dengan kemampuan individu dalam menerima dan menjalani kejadian luar biasa, misalnya stres atau peristiwa yang traumatis (Staudinger & Kunzmann, 2005). Sangat sedikit teori yang bisa dijadikan landasan pembahasan mengenai integritas bila dikaitkan dengan teori psikologi perkembangan. Dalam penelitian ini dipilih moral identity theory dari Augusto Blasi (1983, dalam Narvaez & Lapsley, 2009), yang berkembang akibat ketidakpuasannya pada teori perkembangan moral dari Kholberg. Blasi menilai Kholberg kurang memberi tempat pada peran self dalam menerima nilai-nilai moral. Menurut Blasi (2004) karakteristik utama teori Kholberg adalah pemahaman moral yang dituntun oleh perkembangan logika. Hal ini tidak mampu menjawab mengapa pemahaman mengenai nilai moral tidak menjamin seseorang melakukan tindakan moral. Karena individu tidak hanya membuat keputusan moral melalui pertimbangan yang mendalam, tetapi
78
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
seperti memiliki intuisi mengenai apa yang benar dan salah, tetapi sering tidak menyadari alasannya dan kesulitan untuk menjelaskan tindakannya. Pada titik inilah peran self bisa menjelaskan mengapa pengetahuan mengenai nilai moral tidak menjamin seseorang melakukan tindakan moral, karena bila pemahaman nilai moral tersebut tidak tidak sesuai dengan self –nya, maka individu tidak akan melakukan tindakan moral tertentu. Sayangnya peneliti tidak bisa menemukan sumber langsung tulisan Blasi, melainkan dari pembahasan mengenai pendapat Blasi tentang integritas dari penulis lain. Augusto Blasi (1983, dalam Puka 2004), menjelaskan bahwa integrity is self-consistency. It expresses a concern for the unity of one’s subjective sense of self through the consistency of its chosen commitment. Integritas adalah suatu konsistensi antara self dengan komitmen yang telah dipilih individu. Menurut Blasi (1983 dalam Walker, 2004), self adalah kesatuan pengalaman, nilai-nilai, beliefs, dan trait, yang aktif berperan dalam menyaring dan menyesuaikan nilai-nilai moral, untuk dicocokkan dalam diri individu. Penjelasan Blasi tentang integritas dalam moral identitiy theory ini selanjutnya dieksplorasi oleh beberapa ahli, diantaranya Puka (2004); Schlenker, Miller, & Johnson, (2009), dan Walker (2004). Walker (2004) menyatakan, integritas atau self-consistency ini merupakan suatu motif mendasar yang mampu memaksa individu untuk menyesuaikan keputusan dan tindakannya. Integritas mencerminkan perasaan terdalam yang tidak hanya dirasakan individu itu sendiri, namun juga dikenal dan diketahui orang lain lewat tindakan-tindakan individu. Puka (2004) menjelaskan, di dalam integritas terkandung dua hal, yakni tanggung jawab dan identitas moral. Tanggung jawab berisi hasrat, komitmen, dan perasaan tanggung jawab individu terhadap serangkaian norma dan hubungan dengan orang lain. Identitas moral diartikan sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai dan komitmen moral individu yang menyatu dalam self-nya. Bila itu terjadi, maka akan terjadi konsistensi antara keadaan internal (perasaan dan pikiran) dengan tindakan, serta konsistensi ucapan dan perilaku di segala situasi. Jadi, integritas muncul bila nilai-nilai moral telah terintegrasi ke dalam self, sehingga terjadi koherensi antara nilai-nilai moral yang dipahami, dengan beliefs, tindakan, komitmen dan perkataannya. Blasi (2004) sendiri tidak memberikan pedoman kapan atau pada usia berapakah integrasi itu diharapkan bisa terjadi. Blasi hanya memberikan kepastian, bahwa bila hal itu terjadi, maka akan menetap pada diri individu, karena sudah menjadi identitas diri individu, yang akan menuntun setiap perasaan, perkataan dan perbuatannya. Memang tidak ada penelitian yang menegaskan usia berapa integritas diharapkan ada pada diri individu. Peneliti menduga, usia dewasa madya lebih mungkin mengembangkan integritas. Dugaan ini didasarkan pada pendapat Bird (2006), Caron (2003), dan Schaie (1977 – 1978 dalam Papalia & Feldman, 2008) yang menyatakan bahwa dewasa madya akan merasakan lebih sedikit konflik di dalam self-nya, karena seluruh pengalaman telah terintegrasi kedalam diri individu. Integrasi ini akan meningkatkan konsistensi antara apa yang dipikirkan dan dirasakan dengan tindakan. Hal inilah yang disebut Blasi (1983, dalam Puka, 2004) sebagai terbentuknya integritas. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menduga bahwa gaya berpikir bisa menuntun individu berperilaku kontraproduktif, namun bila integritasnya tinggi, maka akan mampu mencegahnya dari berperilaku kontraproduktif. Usia pekerja, yang terkait dengan perubahan individual, juga bisa menjadikan perilaku kontraproduktif pekerja meningkat atau menurun. Dari hal tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian, yakni : “Apakah gaya berpikir, integritas dan usia berinteraksi memengaruhi perilaku kerja yang kontraproduktif ?”. Hipotesis umum atau hipotesa utama penelitian ini adalah : 1.
Gaya berpikir, integritas dan usia berinteraksi mempengaruhi perilaku kontraproduktif.
79
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Selain itu, penelitian ini juga menguji hipotesis lain, yakni : Gaya berpikir mempengaruhi perilaku kontraproduktif. Integritas mempengaruhi perilaku kontraproduktif. Usia memengaruhi perilaku kontraproduktif. Terdapat interaksi antara gaya berpikir dan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Terdapat interaksi antara gaya berpikir dan usia dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Terdapat interaksi antara integritas dan usia dalam memperngaruhi perilaku kontraproduktif
METODE Partisipan. Partisipan pekerja dalam penelitian ini adalah 190 orang wartawan dari 14 media, berusia 24 - 55 tahun. Dari jumlah ini, dewasa muda (24 – 39 tahun) sebanyak 122 orang ( 74 lakilaki dan 48 perempuan), dan dewasa madya (40 – 55 tahun) sebanyak 68 orang ( 50 laki-laki dan 18 perempuan). Profesi wartawan dipilih karena bekerja berdasar target dan kreatifitas, sehingga tidak bisa terlalu terikat pada peraturan kantor. Ketidakterikatan pada peraturan kantor ini menyebabkan faktor individual lebih berperan untuk terjadinya perilaku kontraproduktif (Bechtoldt, Welk, Hartig, & Zapf, 2007). Desain. Desain penelitian menggunakan between subject design untuk membandingkan variabel gaya berpikir, integritas dan perilaku kontraproduktif antara pekerja usia dewasa muda dan dewasa madya. Teknik analisis & alat ukur. Instrument penelitian yaitu REI (Rational-Experiential Inventory). untuk mengukur gaya berpikir, dan dua kuesioner self-report untuk mengukur integritas dan perilaku kontraproduktif. Sementara untuk mengetahui usia pekerja digunakan data pekerja. REI merupakan alat ukur yang pertama kali diciptakan oleh Epstein (1996, dalam Pacini & Epstein, 1999) berdasar CEST. Kuesioner menggunakan skala Likert, antara 1 hingga 4, dengan item unfavourable diskor secara terbalik. Skor terendah adalah pada angka satu dikalikan jumlah item kuesioner, dan skor tertinggi adalah pada angka empat dikalikan jumlah item kuesioner. Untuk melihat pengaruh IV (gaya berpikir, integritas dan usia) pada DV (perilaku kontraproduktif), dan interaksi antara IV terhadap DV digunakan perhitungan statistik regresi univariate. Untuk menentukan validitas item, dilakukan perbandingan antara r hitung dan r tabel. Suatu item disebut valid bila r hitung > r tabel. Nilai validitas (r hitung) harus dibandingkan dengan r tabel pada level of significance (α =.005) dan derajat bebas df = jumlah item – 2 (Pratisto, 2009). Perhitungan r tabel masing-masing alat ukur dan item valid adalah : 1.
80
REI. a. Subskala rasional r (0.05; 18) pada uji satu arah = 0.2992, hasilnya adalah item valid = 10 dan item tidak valid = 10. Contoh item valid :Berpikir keras dan lama tentang sesuatu memberi saya sedikit kepuasan. b. Subskala experiential r (0.05; 18) pada uji satu arah = 0.2992, hasilnya adalah iitem valid = 19 dan item tidak valid = 1 Contoh item valid :Saya mencoba menghindari situasi yang membutuhkan pemikiran mendalam tentang sesuatu.
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
Catatan : Karena jumlah item yang valid pada sub-skala experiential lebih banyak, guna keseimbangan item, maka hanya 10 item dari skala experiential yang digunakan, untuk dijadikan item penelitian, berdasar r hitung yang lebih besar. 2.
Kuesioner integritas r (0.05; 76) pada uji satu arah = 0.228, hasilnya adalah item valid = 36 dan item tidak valid = 49. Contoh item valid : Cenderung membenarkan dan membela orang yang akrab dengannya, meskipun orang tersebut salah.
3.
Kuesioner perilaku kontraproduktif r (0.05;80) pada uji satu arah = 0.220, hasilnya adalah item valid = 38 dan item tidak valid = 44. Contoh item valid :Berdebat dengan penuh kemarahan dengan atasan
Hasil reliabilitas alat ukur dengan menggunakan model Cronbach’s Alpha, merupakan model internal korelasi berdasarkan rata-rata korelasi antar item (Pratisto, 2009) adalah : 1. REI subskala rasional r alpha = 0.771 lebih besar dari r tabel (0.05; 8) = 0.707 2. REI subskala experiential r alpha = 0.812 lebih besar dari r tabel (0.05; 8) = 0.707 3. Kuesioner integritas r alpha = 0.370 lebih besar dari r tabel (0.05; 34) = 0.339 4. Kuesioner perilaku kontraproduktif r alpha = 0.380 lebih besar dari r tabel (0.05; 36) = 0.325 Hasil uji coba menunjukkan bahwa seluruh alat ukur reliabel.
ANALISIS & HASIL Dari 190 partisipan, 104 partisipan bisa dikategorikan sebagai memiliki gaya berpikir rasional (54 orang) dan gaya berpikir experiential (50 orang). Penentuan gaya berpikir partisipan, apakah rasional atau expxeriential dilihat dari perbandingan total jumlah skor masing-masing skala. Bila skor di skala rasional tinggi (diatas mean), maka partisipan disebut memiliki gaya berpikir rasional, demikian pula sebaliknya bila skor di skala experiential tinggi (diatas mean), maka individu tersebut memiliki gaya berpikir expxeriential (Pacini & Epstein, 1999). Sedang 86 partisipan merupakan kelompok kedua yang memiliki skor tinggi (diatas mean) di kedua sub-skala (hig-rational, high-experiential = 25 orang) atau rendah (dibawah mean) di kedua sub-skala (low-rational, low-experiential = 61 orang), akan dianalisa sebagai kelompok tersendiri. Dari uji t-tes diperoleh hasil pada gaya berpikir rasional menunjukkan dewasa muda memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada dewasa madya (F = 1.057, p = 0.000), seperti tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Uji t-tes gaya berpikir rasional.
Gaya Berpikir Rasional
Usia
N
Mean score
SD
F
p
Muda
29
32.34
1.565
1.057
.000
Madya
25
29.36
1.221
Total
54
Sedang pada gaya berpikir experiential (F = 0.003, p = 0.552), gaya berpikir high-rational, high experiential (F = 1.209, p = 0.572), dan gaya berpikir low-rational, low-experiential (F = 1.209, p =
81
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
0.572) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata skor pada dewasa muda dan dewasa madya, seperti pada tabel 2 dan 3 berikut: Tabel 2. Uji t-tes gaya berpikir experiential.
Gaya Berpikir Experiental
Usia
N
Mean score
SD
F
p
Muda
34
28.50
2.538
.003
.552
Madya
16
28.00
2.828
Total
50
Tabel 3. Gambaran Partisipan dengan Gaya Berpikir Rasional dan Experiential sama-sama tinggi atau sama-sama rendah . GB Experiential
Usia Muda
GB Rasional
Rendah
Tinggi
Rendah
16
0
Tinggi
0
Mean
SD
p
16
1.73
.448
.572
43
43
1.67
.480
16
43
59
Rendah
9
0
9
1.73
.448
Tinggi
0
18
18
1.67
.480
9
18
27
Total Madya
GB Rasional
Total
Total
.572
N= 86; F= 1.209 Uji pengaruh variabel seperti pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Hasil uji pengaruh gaya berpikir, integritas dan usia terhadap perilaku kontraproduktif. β
t
p
Gaya Berpikir
-1.841
-.912
.364
Integritas
-.651
-3.945
.000
Usia
-6.171
-2.602
.011
Integritas_gayaberpikir
1.963
.975
.332
Usia_gayaberpikir
.397
.158
.875
usia_integritas
6.088
2.570
.012
Usia_GB_Integritas
-.415
-.165
.869
Independent Variable
Keterangan: Dependent Variable: Perilaku Kontraproduktif. R = .481 R2 = .231 F= 4.859 N = 104 p< 0.05
Pada nilai konstanta F = 4.859, maka disimpulkan : 1. 2.
82
Hipotesa pertama, yakni terdapat interaksi antara gaya berpikir, integritas dan usia dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif, ditolak (p = 0.869 > 0.05, β = - 0.415). Hipotesa kedua, yakni gaya berpikir mempengaruhi perilaku kontraproduktif juga ditolak (p = 0.364 > 0.05, β = -1.841).
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
3.
Hipotesa ketiga, integritas mempengaruhi perilaku kontraproduktif diterima (p = 0.000 < 0.05, β = - 0.651). Hipotesa keempat, usia memengaruhi perilaku kontraproduktif, diterima (p = 0.011 < 0.05, β = - 6.171). Dengan melihat konstanta beta yang negatif menandakan usia dewasa muda lebih banyak melakukan perilaku kontraproduktif daripada dewasa madya. Hipotesa kelima, terdapat interaksi antara gaya berpikir dan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif, ditolak (p = 0.875 > 0.05, β = 0.397) .. Hipotesa keenam, terdapat interaksi antara gaya berpikir dan usia dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif, ditolak (p = 0.875 > 0.05, β = 0.397) . Hipotesa ketujuh, terdapat interaksi antara integritas dan usia dalam memperngaruhi perilaku kontraproduktif f (p = 0.012 < 0.05, β = 6.088). Interaksi antara integritas dan usia berarti bahwa tinggi rendahnya dua variabel tersebut akan memengaruhi perilaku kontraproduktif. Contohnya adalah tingginya integritas seharusnya mempengaruhi rendahnya perilaku kontraproduktif. Tapi bila integritas tinggi berinteraksi dengan usia dewasa muda, membuat perilaku kontraproduktif lebih tinggi dibandingkan tingkat integritas yang tinggi berinteraksi dengan usia dewasa madya. Artinya, usia turut berperan pada perilaku kontraproduktif. Disisi lain, Tingginya perilaku kontraproduktif makin terjadi bila tingkat integritas rendah berinteraksi dengan dewasa muda. Sedang tingkat integritas rendah yang seharusnya memicu tingginya perilaku kontraproduktif akan bisa lebih menurun perilaku kontraproduktifnya bila usia individu ada pada dewasa madya. Bila dibandingkan besar pengaruhnya antara integritas (β = -0.651) dan usia (β = -6.171) pada perilaku kontraproduktif, ternyata lebih besar pengaruh usia terhadap perilaku kontraproduktif. Sumbangan pengaruh gaya berpikir, integritas dan usia pada perilaku kontraproduktif (R2 = 0.231) hanya 23,1 %.
4.
5. 6. 7.
8. 9.
Sedang untuk 86 partisipan yang memiliki gaya berpikir low-rational low-experiential (n = 25 partisipan) dan high-rational high-experiential (n = 61 partisipan), ingin diketahui pengaruhnya terhadap perilaku kontraproduktif dan interaksinya dengan variabel usia dan integritas. Namun sebelumnya akan dilihat apakah ada perbedaan yang signifikan diantara kedua tipe gaya berpikir tersebut pada kelompok usia dewasa muda dan dewasa madya. Berikut hasil analisanya: Tabel 5. Gambaran Partisipan dengan Gaya Berpikir Rasional dan Experiential sama-sama tinggi atau sama-sama rendah . GB Experiential
Usia Muda
GB Rasional
Rendah
Tinggi
Rendah
16
0
Tinggi
0
Mean
SD
p
16
1.73
.448
.572
43
43
1.67
.480
16
43
59
Rendah
9
0
9
1.73
.448
Tinggi
0
18
18
1.67
.480
9
18
27
Total Madya
GB Rasional
Total
Total
.572
N = 86; F= 1.209
83
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
Dari konstanta F = 1.209, p = 0.572, diketahui tidak ada perbedaan yang sifnifikan antara tipe gaya berpikir high-rational, high experiential dan gaya berpikir low-rational, low-experiential pada dewasa muda dan dewasa madya. Tabel 6. Perhitungan regresi gaya berpikir high-rational, high-experiential dan low-rational, low-experiential Independent variable
Standardized Coefficients β
t
p
GB sama-sama tinggi dan rendah
.041
.197
.844
Gaya berpikir dan integritas
-.472
-2.686
.009
Usia dan gaya berpikir
.220
1.422
.159
Keterangan: dependent variable : perilaku kontraproduktif. R = 0.357, R Squared =0.128 F= 3.997
Dari tabel diatas bisa disimpulkan usia tidak berinteraksi dengan gaya berpikir (p = 0. 159, β = - 0. 220), yang menunjukkan tidak adanya saling pengaruh antara usia dan tipe gaya berpikir high-rational, high-experiential dan tipe low-rational, low-experiential. Gaya berpikir tipe highrational, high-experiential dan tipe low-rational, low-experiential sendiri tidak memengaruhi perilaku kontraproduktif (p = 0. 844, β = - 0. 041). Namun terdapat interaksi antara gaya berpikir tipe highrational, high-experiential dan tipe low-rational, low-experiential dan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif (p = 0.009, β = - 0. 472). Untuk mengetahui gaya berpikir manakah yang lebih dominan berinteraksi dengan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif dilakukan perhitungan regresi. Hasilnya, interaksi gaya berpikir high-rational, high-experiential dan integritas yang lebih dominan memengaruhi perilaku kontraproduktif (β = - 0.283, p = 0.024), seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Perhitungan regresi interaksi gaya berpikir low-rational, low-experiential dan integritas. Independent variable Low-rational, low-experiential dan integritas
Standardized Coefficients β
F
t
Sig.
-.114
.304
-.551
.587
Dependent variable : perilaku kontraproduktif. R = .013, R Squared =- .030
Tabel 7. Perhitungan regresi interaksi gaya berpikir high-rational, high-experiential dan integritas. Independent variable High-rational, high-experiential dan integritas Dependent variable : perilaku kontraproduktif. R = 0.283, R Squared = 0.80
84
Standardized Coefficients β
F
t
Sig.
-.283
5.325
-2.308
.024
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
Dari tiga variabel penelitian yang ingin dilihat pengaruhnya terhadap perilaku kontraproduktif, yakni gaya berpikir, integritas dan usia, hanya integritas dan usia yang berpengaruh terhadap perilaku kontraproduktif. Integritas dan usia juga berinteraksi dalam memengaruhi kontraproduktif. Variabel yang lain, yakni gaya berpikir, tidak memengaruhi perilaku kontraproduktif. Gaya berpikir juga tidak berinteraksi dengan usia dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Bila diinteraksikan dengan integritas, dari empat tipe gaya berpikir, dua gaya berpikir, yakni tipe high-rational high-experiential dan dan tipe low-rational, low-experiential, yang bisa mempengaruhi perilaku kontraproduktif. Dari dua gaya berpikir tersebut, yang lebih dominan adalah gaya berpikir high-rational, high-experiential. DISKUSI Gaya berpikir ternyata bukan menjadi faktor yang memengaruhi perilaku kontraproduktif, seperti dugaan peneliti. Hipotesa peneliti bahwa gaya berpikir memengaruhi perilaku kontraproduktif berdasarkan penelitian gaya berpikir seperti yang dilakukan Berger (2005), Maas & Bos (2009), dan Neys dan Glumic (2008), bahwa gaya berpikir experiential dan rasional bisa menghasilkan perilaku yang berbeda. Bisa jadi hal tersebut karena perilaku kontraproduktif diukur hanya dengan kuesioner self-report, sehingga kurang mampu menilai pengaruh gaya berpikir pada perilaku kontraproduktif. Hal ini menjadi salah satu kelemahan penelitian yang bisa diperbaiki pada penelitian selanjutnya. Dugaan peneliti bahwa dewasa madya akan lebih banyak menggunakan gaya berpikir rasional, juga terbantahkan. Dugaan ini muncul karena meskipun menurut Labouvie-Vief (2006), pada dewasa madya terjadi penurunan kemampuan kognitif, namun dengan meningkatnya conscientiousness, dan perkembangan aspek kepribadian lain, seperti regulasi emosi pasif dan evaluasi diri yang positif, maka dewasa madya akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Hal ini merupakan salah satu ciri gaya berpikir rasional. Namun hasil analisis skor rata-rata gaya berpikir rasional antara dewasa muda dan dewasa madya menunjukkan bahwa rata-rata skor rasional dewasa muda lebih tinggi daripada dewasa madya. Sebaliknya, pada gaya berpikir experiential, high-rational high-experiential dan low-rational low-experiential, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan rata-rata skor antara dewasa muda dan dewasa madya. Penjelasan mengapa mean score rasional dewasa muda lebih tinggi, bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh lebih tingginya tingkat kemampuan kognitif pada dewasa muda, berupa lebih banyak menggunakan gaya berpikir rasional. Kemampuan menggunakan gaya berpikir rasional menjadi salah satu pedoman pengukuran gaya berpikir rasional, terlihat pada item subskala rasional REI, yang mengukur kemampuan (ability). Penjelasan lain juga bisa dirujuk dari penelitian Ebner, Riediger, & Lindenberger (2009), bahwa penurunan kemampuan mengingat menjadikan dewasa madya lebih menyukai mendasarkan diri pada schemata, sehingga lebih mendasarkan pada pengalamannya. Proses berpikir seperti ini adalah salah satu ciri gaya berpikir experiential. Variabel lain, yakni integritas menjadi faktor yang memengaruhi perilaku kontraproduktif berarti memperkuat hasil penelitian Caron (2003); Fine dan kawan-kasan (2010); Impelman (2006); Marcus dan Schuler (2004), bahwa semakin tinggi integritas pekerja maka semakin mampu meredam kecenderungan perilaku kontraproduktif. Bila pada kelompok partisipan dengan gaya berpikir tipe rasional dan experiential integritas tidak berinteraksi dengan gaya berpikir dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif, maka pada partisipan dengan gaya berpikir tipe high-rational high-experiential dan tipe low-rational low-experiential, integritas berinteraksi dengan gaya berpikir dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Setelah dianalisis lebih lanjut, gaya berpikir high-rational high-experiential yang berinteraksi dengan integritas, tapi gaya berpikir low-rational low-experiential tidak berinteraksi dengan integritas.
85
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
Penelitian gaya berpikir selama ini tidak menjelaskan seperti apa sebenarnya ciri-ciri atau perbedaan antar empat tipe tersebut. Penelitian yang menggunakan CEST dan REI juga tidak ada yang pernah meneliti pengaruh high-rational high-experiential dan tipe low-rational low-experiential pada perilaku. Karenanya, hasil yang menunjukkan gaya berpikir high-rational high-experiential berinteraksi dengan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif merupakan hasil penelitian baru yang analisanya membutuhkan penelitian lanjutan. Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh usia terhadap perilaku kontraproduktif, yakni semakin tinggi usia individu, maka perilaku kontraproduktif semakin rendah. Penelitian psikologi kepribadian dewasa seperti yang dilakukan oleh Costa & McRae (1980, dalam Papalia, dkk., 2008); Mickler dan Staudinger (2008); dan Staudinger dan Kunzmann (2005), menyatakan bahwa terdapat aspek kepribadian yang berubah selama masa dewasa madya, seperti regulasi emosi, conscientiousness, dan self-evaluation, dapat dikaitkan dengan perilaku pekerja. Dengan perubahan di beberapa aspek kepribadian menyebabkan dewasa madya lebih tidak gegabah melakukan sesuatu yang merugikan, sehingga makin menurunkan tingkat perilaku kontraproduktif.
SIMPULAN & SARAN Gaya berpikir, integritas dan usia tidak berinteraksi dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Hasil analisis ini, selain menjawab pertanyaan utama penelitian, juga menolak hipotesis utama penelitian. Hasil lainnya adalah pertama, variabel gaya berpikir tidak memengaruhi perilaku kontraproduktif. Gaya berpikir tidak memengaruhi perilaku kontraproduktif. Gaya berpikir tipe rasional, experiential, dan lowrational low-experiential juga tidak berinteraksi dengan integritas maupun usia dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Tapi gaya berpikir tipe high-rational high-experiential berinteraksi dengan integritas dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif, tapi tidak berinteraksi dengan usia. Integritas dan usia secara sendiri-sendiri memiliki pengaruh terhadap perilaku kontraproduktif. Integritas dan usia juga berinteraksi dalam memengaruhi kontraproduktif. Saran Untuk penelitian selanjutnya tentang pengaruh gaya berpikir pada perilaku kontraproduktif bisa dicoba dengan melakukan eksperimen, dan bukan hanya berdasarkan self-report. Selama ini gaya berpikir dihubungkan dengan stimulus yang menimbulkan emosi melalui eksperimen langsung. Self-report untuk integritas dan perilaku kontraproduktif memiliki bias yang tinggi, karena memberi kesempatan partisipan untuk tidak jujur. Untuk penelitian selanjutnya, mungkin bisa ditambah dengan wawancara terstruktur dan penilaian orang lain (rekan kerja dan atasan) terhadap partisipan, untuk pembanding jawaban partisipan. Wawancara sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli untuk bisa menggali jawaban sebenarnya dari partisipan. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai gaya berpikir tipe high-rational high-experiential dan tipe low-rational low-experiential dalam memengaruhi perilaku kontraproduktif. Untuk itu memerlukan jumlah partisipan yang lebih banyak agar jumlah partisipan dengan gaya berpikir tipe high-rational high-experiential dan tipe low-rational low-experiential memenuhi syarat untuk dianalisa secara statistik. Selain itu confounding variable, yakni self-control, conscientiousness, agreeableness, kemampuan kognitif dan konsep diri yang positif, perlu dikontrol untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat.
86
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 75–88
DAFTAR PUSTAKA Bechtoldt, M. N., Welk, C., Hartig, J., & Zapf, D. (2007). Main and moderating effects of selfcontrol, organizational justice, and emotional labour on counterproductive behaviour at work. European Journal Of Work and Organizational Psychology, 16 (4) , 479 – 500. Berger, C. R. (2005). Slippery Slopes to Apprehension:Rationality and Graphical Depictions of Increasingly Threatening Trends. Communication Research; 32 , 3. Bird, K. (2006). Integrity in the Workplace: An Analysis of Integrity, Personality and Occupation. Fullerton: California State University. Blasi, A. (2004). Moral Functioning: Moral Understanding and Personality. In D. K. Lapsley, & D. Narvaez, Moral Development, Self, and Identity (pp. 335-348). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Caron, S. J. (2003). Personality Characteristics Related to Counterproductive Behaviors in the Workplace. Fullerton: California State University. Colbert, A. E., Mount, M. K., Harter, J. K., Witt, L. A., & Barrick, M. R. (2004). Interactive Effects of Personality and Perceptions of the Work Situation on Workplace Deviance. Journal of Applied Psychology Vol. 89, No. 4 , 599–609. Ebner, N. C., Riediger, M., & Lindenberger, U. (2009). Schema Reliance for Developmental Goals Increases From Early to Late Adulthood: Improvement for the Young, Loss Prevention for the Old. Psychology and Aging Vol. 24, No. 2 , 310–323. Epstein, S., & Pacini, R. (2000-2001). The Influence of Visualization on Intuitive and Analytical Information Processing. Imagination, Cognition and Personality Vol (20) 3 , 195-216. Everton, W. J., Jolton, J. A., & Mastrangelo, P. M. (2007). Be nice and fair or else: understanding reasons for employees’ deviant behaviors. Journal of Management Development Vol. 26 No. 2 , 117-131. Fine, S., Horowitz, I., Weigler, H., & Basis, L. (2010). Is good character good enough? The effects of situational variables on the relationship between integrity and counterproductive work behaviors. Human Resource Management Review 20 , 73–84. Foos, P. W., & Boone, D. (2008). Adult Age Differences in Divergent Thinking: It’s Just a Matter of Time. Educational Gerontology, 34 , 587–594. Greenberg, J. (2002). Who stole the money, and when? Individual and situational determinants of employee theft. Organizational Behavior and Human Decision Processes 89 , 985–1003. Gruys, M. L., & Sackett, P. R. (2003). Investigating the Dimensionality of Counterproductive Work Behavior. International Journal Of Selection And Assesment Vol. 11, No. 1 . Impelman, K. (2006). Predicting Counter-Productive Workplace Behavior: Item Level Analysis of an Integrity Test. Ann Arbor: ProQuest Information and Learning Company. Labouvie-Vief, G. (2006). Emerging Structures of Adult Thought. In J. J. Arnett, & J. L. Tanner, Emerging adults in America: Coming of age in the 21st century (pp. 59-84). Washington, DC: American Psychological Association. xxii, 340 pp. Langley, L. K., Rokke, P. D., Stark, A. C., Saville, A. L., Allen, J. L., & Bagne, A. G. (2008). The Emotional Blink: Adult Age Differences in Visual Attention to Emotional Information. Psychology and Aging Vol. 23, No. 4 , 873–885.
87
Pengaruh Gaya Berpikir, Integritas dan Usia pada Perilaku Kerja yang Kontraproduktif
Lockenhoff, C. E., T., C. J., & Lane, R. D. (2008). Age Differences in Description of Emotional Experiences of Oneself and Others. The Journal of Gerontology , 92. Maas, M., & Bos, K. v. (2009). An affective-experiential perspective on reactions to fair and unfair events:Individual differences in affect intensity moderated by experiential mindsets. Journal of Experimental Social Psychology . Marcus, B., & Schuler, H. (2004). Antecedents of Counterproductive Behavior at Work: A General Perspective. Journal of Applied Psychology, Vol. 89, No. 4 , 647–660. Mickler, C., & Staudinger, U. M. (2008). Personal Wisdom: Validation and Age-Related Differences of a Performance Measure . Psychology and Aging Vol. 23, No. 4 , 787–799. Narvaez, D., & Lapsley, D. K. (2009). Moral identity and the development of moral character. In L. S. D. Medin, Moral cognition and decision making, Vol. 50 of the Psychology of Learning and Motivation series (pp. 237-274 ). Notre Dame: Elsevier. Negash, S., Romain, L., MacLeod, D., Howard, D., Jr., J. H., & Haris, M. (2004). Age Related Differences in Implicit Learning of Higher-order Regularities When Age Groups are Matched on Overall Accuracy. The Gerontologists , 519. Neys, W. D., & Glumicic, T. (2008). Conflict monitoring in dual process: theories of thinking. Cognition vol 106 , 1248–1299. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human Development. New York: McGraw-Hill International Edition. Penney, L. M., & Spector, P. E. (2005). Job stress, incivility, and counterproductive work behavior (CWB): the moderating role of negative affectivity . Journal of Organizational Behavior 26 , 777–796. Pratisto, A. (2009). Statistik Menjadi Mudah dengan SPSS 17. Jakarta: Elex Media Computindo. Puka, B. (2004). Altruisme and Character. In D. K. Lapsley, & D. Narvaez, Moral Development, Self and Identity (pp. 161-187). London: Lawrence Erlbaum Associates. Schlenker, B. R., Miller, M. L., & Johnson, R. M. (2009). Moral Identity, Integrity and Personal Responsibility. In D. Narvaez, & D. K. Lapsley, Personality, Identity and Character (pp. 316340). Cambridge: Cambridge University Press. Shiloh, S., Salton, E., & Sharabi, D. (2002). Individual differences in rational and intuitive thinking styles as predictors of heuristic responses and framing effects. Personality and Individual Differences vol. 32 , 415–429. Staudinger, U. M., & Kunzmann, U. (2005). Positive Adult Personality Development: Adjustment and/ or Growth? European Psychologist Vol. 10(4) , 320–329. Teglasi, H., & Epstein, S. (1998). Temperament and personality theory: The Perspective of CognitiveExperiential Self Theory. School Psychology Review; 27, 4 , 534. Walker, L. J. (2004). Gus in the Gap: Bridging the Judgment–Action Gap in Moral Functioning. In D. K. Lapsley, & D. Narvaez, Moral Development, Self, and Identity (pp. 1-20). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Yang, J. (2008). Can’t serve customers right? An indirect effect of co-workers’ counterproductive behaviour in the service environment. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 81, , 29–46. Zhang, L.-F. (2008). Thinking Styles and Emotions. The Journal of Psychology, 142(5) , 497-515.
88
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
DINAMIKA PSIKOSOSIAL ISTRI SEBAGAI PEKERJA SEKS KOMERSIAL SEIJIN SUAMI Asep Guntur Rahayu Tatie Soeranti Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Jl. Dharmawangsa I/1, Kebayoran Baru, DKI Jakarta 12140
[email protected] [email protected] Abstract Life is choice, including the role that we choose to fulfill our live. Sometimes, life is very cruel when most of the time we are forced to take bad decisions, simply because any better options are unavailable. The life of wives who also work as prostitutes is an example of how cruel life really is. They must live their lives in two different characters, as a wife as well as a prostitute. The first requires them to behave the same as the common wives used to behave, and the latter forces them to act similar to all prostitutes used to act. Therefore, what they have to do as wives contradicts to what they have do as prostitutes. Thus, it leads them to have a psychological strain in their lives. As life must go on, they must also figure out ways to undertake the strain. The psychological strain and the ways taken to loose the strain are unique and interesting. Therefore, this research will be focused on both subjects. In the more specific points, the psychological problems of wives who also work as prostitutes will be elaborated further in the process of learning and synchronizing the live concept of those women. Keywords: prostitute; wive; role; self concept; social learning. Abstrak Hidup adalah pilihan, termasuk peran apa yang akan kita pilih dalam mengisi hidup ini, itu sepenuhnya terserah kita. Tetapi terkadang hidup ini kejam, karena seringkali kita dihadapkan kepada pilihan yang semuanya tidak menyenangkan bagi kita. Seperti halnya yang dialami oleh istri yang bekerja sebagai PSK, mereka harus menjalankan dua status yang saling berlawanan. Sebagai seorang isteri, mereka dituntut untuk bertingkah laku layaknya ibu rumah tangga lainnya. Sedangkan sebagai PSK ia harus bertingkah laku seperti PSK pada umumnya. Apa yang dilakukannya pada saat menjadi ibu rumah tangga sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya pada saat mereka menjadi PSK. Ketidakselarasan antara dua peran yang harus dijalankan oleh isteri yang juga PSK telah memicu ketegangan psikologis dalam diri mereka. Ketegangan psikologis tersebut harus mereka atasi agar mereka tetap bisa menjalankan kehidupannya. Ketegangan psikologis dan cara-cara para PSK untuk meredakannya merupakan hal unik dan menarik untuk yang menjadi fokus dari penelitian ini. Secara lebih spesifik, permasalahan psikologis
89
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
istri yang juga sebagai PSK akan digali melalui proses belajar, dan keselarasan serta ketidakselarasan konsep diri dalam kehidupannya. Keywords: seks komersial, istri, peran, konsep diri, belajar sosial
PENDAHULUAN Pekerja Seks Komersial (PSK) atau pelacur adalah bagian dari komunitas yang dikenal dengan pelacuran, dimana menurut Nasir dalam Syam (2010), pelacuran adalah suatu komunitas yang memiliki keunikan tidak saja dari kehidupan yang sering dianggap menyimpang, tetapi juga dari sisi tindakannya yang “melegalisasi” seksualitas kontraktual dalam kehidupannya. Berkaitan dengan tingkah laku dan kecenderungan individu kepada masalah-masalah seks, Syam (2010, h. 5) menjelaskan bahwa: “Sebagaimana dunia sosial lainnya, seksualitas memiliki performance, tata cara, interaksi, dan upacaraupacaranya sendiri. Dengan demikian, seksualitas bukanlah sekadar masuknya kelamin laki-laki (penis) ke dalam kelamin perempuan (vagina) namun ia telah memiliki hukum otonominya sendiri.”
Berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa seseorang terjerumus kedalam pelacuran. Ada beberapa pelacur yang memiliki suami dan mereka mengaku bahwa dirinya melacurkan diri sudah mendapat restu suaminya. Sebagaimana disampaikan Sabar Turnip, Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, Dinas Sosial Sumatera Utara dalam Kompas.com tanggal 9 Juni 2009 (Sawabi, 2009): “Alasan kesulitan ekonomi penyebab wanita menjadi PSK, juga karena rendahnya pendidikan, korban perdagangan manusia (human trafficking), korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta gaya hidup yang konsumtif. Lemahnya keimanan suami turut mendorong terjerumusnya wanita ke lembah hitam, terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan Dinas Sosial Sumut, terdapat wanita yang menjadi PSK itu keinginan dari suaminya.”
Pada kenyataannya kejadian serupa tidak hanya dialami oleh para PSK di negara kita, tetapi dialami pula oleh PSK yang ada di negara lain, seperti di Thailand. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh mantan PSK Thailand yang bernama Bua Boonmee dalam biografinya yang berjudul, “Miss Bangkok” (Boonmee & Pierce, 2009), yang menuturkan percakapannya dengan Yuth, suaminya: “Nok told me that her husband doesn’t mind her servicing the customers as long as she doesn’t stay overnight with them. She said that most of them ask for hand jobs only. His (Yuth) replay surprise me. Well, I suppose I don’t mind either, as long as you don’t go of Thai guy. Only farangs (farang, This Tahi word means “Westerner”. It refers to any foreigner from Europe, the USA, Australia, Canada, etc). I think I was secretly hoping that the thought of me being intimate with another man would incite a mixture of jealousy and chivalry in Yuth and he would rush to protect my virtue. In my imagined version of events, he would go to extremes to keep me from selling my body - an extreme in Yuth’s case being that he would look for a job.”
Pada kenyataannya, pelacur juga adalah manusia yang memiliki sisi psikologis yang dinamis, di mana ada susah dan senang, ada sedih dan gembira serta ada kepura-puraan dan realita dalam dirinya. Syam (2010, h. 7) menjelaskan: “Secara kultural, pelacur dikonstruksikan sebagai perempuan malam atau perempuan nakal yang menempati lembah hitam. Sebutan yang dilekatkan kepada mereka pun bervariasi: perempuan jalanan, lonte, sundal, pekerja seks, pelacur, atau begenggek. Mereka adalah kelompok perempuan yang terbuang dari dunia terang, baik, dan terhormat. Dalam banyak hal, mereka sesungguhnya adalah korban dari sebuah sistem sosial yang tidak ramah terhadapnya. Mereka adalah orang yang sedang berada di dalam kenyataan hidup yang sebenarnya mungkin tidak diharapkannya.”
90
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
Menjadi PSK telah menimbulkan ketegangan psikologis dalam diri pelakunya. Pengetahuan tentang norma-norma kesusilaan, larangan keagamaan yang pernah diajarkan di lingkungan keluarga dan lingkungan sosial lainnya sebelum mereka terjebak menjadi PSK harus berhadapan dengan kenyataan yang sangat bertolak belakang yaitu bekerja sebagai PSK. Untuk meredakan ketegangan tersebut para PSK membutuhkan alasan yang tepat untuk mempertahankan diri dari serangan yang dilakukan oleh keyakinannya sendiri atas konsep-konsep kesusilaan, agama dan norma sosial yang terluka akibat pilihan perannya sebagai PSK. Selama ini dinamika psikologis para pelacur jarang terekspose ke ranah publik, sehingga publik pada umumnya sinis memandang perikehidupan mereka sebagai penjual tubuh dan kenikmatan seksual tanpa tahu dan peduli pertentangan psikologis yang melingkupinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui kehidupan di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) istri sebagai PSK yang direstui oleh suaminya, (2) mengetahui pengetahuan, harapan dan penilaian istri sebagai PSK yang direstui oleh suaminya terhadap dirinya dan lingkungannya terkait pekerjaannya sebagai PSK, dan (3) mengetahui kongruensi dan inkongruensi konsep diri yang terjadi pada istri sebagai PSK yang direstui oleh suaminya. Dalam pendekatan Dramaturgi, Goffman (1959) menjelaskan bahwa perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya. Teori ini berasumsi bahwa ketika manusia berinteraksi dengan orang lain, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, mereka melakukan pertunjukkan bagi orang lain. Berkenaan dengan itu, Goffman menyebut dunia ini sebagai sebuah panggung sandiwara, tempat orang-orang bermain teater. Goffman kemudian membagi arena dalam kehidupan ini menjadi dua bagian utama yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat pertunjukkan dilaksanakan, di mana ada aktor dan khalayak. Contoh panggung depan dalam kasus ini adalah tempat prostitusi di Jatinegara, Jakarta (tempat mangkal). Di tempat mangkal para PSK mengelola perilaku mereka untuk menampilkan kesan yang diinginkan. Sementara, panggung belakang adalah tempat di mana para PSK tidak dapat dilihat oleh khalayak. Di area ini para PSK dapat berperilaku apa adanya tanpa ditutup-tutupi. Contoh panggung belakang dalam kasus ini adalah kehidupan kesehariannya. Menurut Hurlock (dalam Ghufron & Risnawati, 2010), konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif dan prestasi yang mereka capai. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Ghufron & Risnawati, 2010), konsep diri terdiri dari tiga dimensi atau aspek. Pertama, pengetahuan, yakni apa yang individu ketahui tentang dirinya. Ke dua, harapan, yakni pandangan tentang kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan. Ke tiga, penilaian, yakni individu berperan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri. Dengan pengetahuan terhadap dirinya, individu akan mengetahui siapa dirinya saat ini dan potensi apa yang dimilikinya (diri realitas). Sedangkan melalui harapan-harapannya, individu akan menciptakan seperti apa seharusnya dirinya di masa yang akan datang (diri ideal). Yang terakhir berupa penilaian yaitu membandingkan antara diri realitas dengan diri ideal. Hasil penilaian tersebut disebut konsep diri. Dalam konsep diri yang disampaikan oleh Rogers (dalam Hall & Lindzey, 2005), dikenal adanya konsep kongruensi dan inkongruensi yaitu, bahwa konsep diri manusia seringkali tidak tepat secara sempurna dengan realitas yang ada. Menurut Rogers bahwa dampak kongruensi dan inkongruensi menyebabkan manusia akan merasa gelisah ketika konsep diri mereka terancam. Untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan, manusia akan mencoba menyelaraskan dua hal yang berlawanan tersebut dengan mencari alasan yang dapat menjadi pembenaran tindakan.
91
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
METODE Partisipan. Dalam penelitian ini data akan diambil dari wawancara dan observasi yang dilakukan penulis di lokasi tempat “mangkal”/bekerja para subjek penelitian yaitu di tempat mangkal PSK di daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Desain. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Marshal (1995, dalam Sarwono, 2006) menjelaskan bahwa riset kualitatif sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kompleksitas dalam interaksi manusia. Oleh karena itu karakteristik mendasar dari pendekatan ini adalah kekuatan narasi yang elaboratif sehingga dapat mengungkapkan kompleksitas realita masalah yang ditelitinya. Dengan narasi yang elaboratif, pendekatan kualitatif diharapkan dapat mengungkapkan detil-detil rumit dari fenomena yang diteliti, yang mana hal ini sulit terungkap dalam penelitian kuantitatif. Basis dari penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis fenomenologis yaitu berusaha memahami pengalaman unik yang dialami secara sadar oleh individu. Pengalaman unik tersebut tentu sangat subjektif dan unik karena akan berbeda antara pengalaman satu individu dengan individu yang lainya walaupun fenomenanya sama. Poerwandari (2005, h. 45) menyatakan sebagai berikut; “Dengan istilah subjektif, yang dimaksud adalah bahwa penelitian kualitatif mengungkap data dari persfektif subjek yang diteliti.”
Sementara, Sarwono (2006, h. 197) menyatakan; “Teori ini menekankan pada metode penghayatan atau pemahaman interpretatif (verstehen). Kenyataan merupakan ekspresi dari dalam pikiran seseorang oleh karena itu, realitas tersebut bersifat subjektif dan interpretatif.”
Prosedur. Wawancara terhadap subjek penelitian dilakukan pada malam hari dan di tempat yang telah disepakati, yaitu di bekas Gudang Telkom yang terletak di Pasar Enjo. Hal tersebut merupakan hasil kesepakatan antara peneliti dengan pihak penanggungjawab subjek. Dipilihnya waktu wawancara malam hari dengan pertimbangan karena tempat tinggal mereka yang jauh dari lokasi tempat mereka mangkal dan pada umumnya mereka baru datang di lokasi sekitar pukul 20:00 WIB. Untuk tempat wawancara sengaja dipilih bekas Gudang Telkom yang saat ini digunakan oleh pedagang sayur. Dipilihnya tempat tersebut dengan pertimbangan agar subjek merasa nyaman karena tempat tersebut adalah lingkungan yang sudah subjek kenal dan sekaligus tempat bersembunyi para PSK saat ada razia. Selain itu, juga diharapkan subjek tidak merasa ragu, canggung atau bahkan takut dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal ini juga karena peneliti dengan subjek baru pertama kali bertemu sehingga perlu dibangun perasaan percaya dan percaya untuk memulai wawancara.
ANALISIS & HASIL Deskripsi Situs Penelitian Jatinegara merupakan salah satu tempat yang masuk dalam wilayah Pemerintah Kota Jakarta Timur, dimana Jatinegara terkenal dengan Stasiun kereta apinya yaitu “Stasiun Jatinegara” dan juga pusat penjualan batu aji “gems centre” yang letaknya berseberangan dengan stasiun kereta. Selain terkenal dengan stasiun kereta api dan pusat batu ajinya, Jatinegara juga terkenal dengan lokalisasinya yaitu daerah Prumpung dan Gunung Antang. Prumpung sendiri letaknya disebelah selatan stasiun kira-kira lima ratus meter ke arah cawang, sedangkan Gunung Antang terletak satu
92
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
deret dengan stasiun kearah sebelah barat, tepat di jembatan perlintasan kereta api yang memotong jalan raya Jatinegara - Senen. Pada kenyataannya praktik prostitusi tidak hanya terlokalisasi di dua tempat tersebut yaitu di Prumpung dan Gunung Antang, tetapi sudah menyebar ke wilayah di sekitarnya. Pada awalnya para PSK selain di Prumpung dan Gunung Antang, “mangkal” di taman sebelah kanan dan kiri “jembatan layang/fly over” Jatinegara. Sekitar tahun 2000an kawasan taman tersebut dibersihkan dari para PSK dan fungsinya dikembalikan sebagai kawasan hijau di wilayah Jakarta Timur. Setelah adanya pengembalian fungsi taman jembatan layang Jatinegara menjadi jalur hijau, maka para PSK wanita dan waria berpindah tempat. PSK wanita menyamarkan diri sebagai penjual minuman berpindah tempat ke trotoar setelah lampu merah pertigaan Jalan Gusti Ngurah Rai dengan Jalan Raya Bekasi Timur sampai pintu perlintasan kereta api ke pasar Enjo. Untuk PSK waria pindah ke kolong jembatan layang dan di sepanjang rel sekitar jembatan layang bercampur dengan penjual HP bekas dan tukang urut tradisional. Sebagaimana tempat prostitusi kelas bawah lainnya, situasi tempat “mangkal” PSK wanita di Jatinegara tidak dilengkapi dengan tempat “eksekusi”/hubungan intim yang layak. Di situ hanya tersedia dua kamar untuk tempat berhubungan intim. Sebetulnya tempat hubungan intim tersebut lebih layak disebut “gubuk” karena hanya berupa ruangan persegi panjang ukuran 1.5 m lebarnya dan 2 m panjangnya. Dinding dari kamar itu sendiri terbuat dari terpal setinggi 2 m dan alasnya dari kardus. Untuk atapnya sendiri tidak ada, hanya ada daun pisang karena gubuk itu sendiri terletak diantara dua rumpun pisang. Tarif sewa gubuk dipatok seharga Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah) untuk satu kali hubungan intim pada malam minggu dan Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) selain malam minggu. Bagi PSK wanita yang berjualan minuman, mereka mangkal di jongko tempat minumannya dijual. Minuman di sajikan diatas sebuah kotak kayu kira-kira ukurannya panjang 1,5 m, lebar 0,8 m dan tingginya 1,3 m. Kotak kayu tersebut dilapisi seng atau almunium tipis dan ditambahkan 3 (tiga) buah roda yang masing-masing 2 (dua) buah roda besar disamping kanan dan kiri dan satu roda kecil di sebelah depannya. Selain kotak kayu, ada bangku panjang yang bisa menampung 4 sampai 5 orang yang digunakan oleh penunggu barang dagangan/ PSK dan juga pelanggannya untuk ngobrol tahap perkenalan atau sekedar obrolan ringan sebelum transaksi dilakukan. Sebagaimana lazimnya tempat prostitusi yang selalu berkaitan erat dengan masalah gairah seksual dan kebutuhan untuk berhubungan intim dengan durasi yang lama, maka di Jatinegara tidak sulit untuk mendapatkan penjual obat-obat kuat. Di sebelah barat Stasiun Jatinegara atau lebih tepatnya dimulai dari seberang Polres Metro Jakarta Timur sampai ke halte bus way Kebon Pala terdapat banyak penjual obat kuat di jongko-jongko dengan lampu neon yang terang mangkal di badan jalan. Selain dari obat kuat dijual pula alat kontrasepsi (kondom) dan alat-alat lain yang berhubungan dengan masalah seksual. Gambaran PSK di Jatinegara Secara umum, PSK selalu berpenampilan seksi bahkan cenderung seronok. Tapi dari hasil pengamatan lapangan di Jatinegara ada sedikit perbedaan penampilan di antara 3 (tiga) kelompok PSK yang mangkal di daerah itu. Kelompok PSK Waria berdandan paling seronok, pada umumnya memakai celana sangat pendek dan baju tank top dilengkapi dengan make-up yang menor, kebanyakan dari mereka memiliki postur tubuh tinggi langsing. PSK Wanita pada umumnya memakai pakaian yang ketat dengan make up yang sedikit mencolok, rata-rata dari mereka memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Sedangkan PSK Wanita yang berjualan minuman pada umumnya menggunakan pakaian yang tidak mencolok, cenderung sama dengan pakaian yang digunakan oleh wanita muda pada
93
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
umumnya yaitu bawahan menggunakan celana jeans dipadukan dengan kaus casual untuk atasannya, yang sedikit membedakan dari wanita pada umumnya yaitu kebiasaan mereka untuk merokok. Kesan tentang penampilan PSK di Jatinegara disampaikan pula oleh Olivia (2009) seorang blogger dalam tulisannya dengan judul PSK, Olivia mengatakan dalam situs blognya: “Khusus untuk para perempuan Jatinegara, mungkin karena mereka telah sukses mematahkan stereotip PSK di kepala saya. Saya kebanyakan nonton film atau baca komik, mungkin; di otak saya tergambar PSK sebagai Barbie hidup yang merokok di pinggir jalan dengan syal bulu dan stoking jala. Tetapi para perempuan Jatinegara tampak seperti perempuan biasa. Kurus- kurus, memakai kaus atas atasan sejenis, dan jeans.”
Hal yang disampaikan oleh Olivia mengenai pakaian dan penampilan PSK di Jatinegara memang benar adanya, tetapi untuk masalah merokok tidak sepenuhnya benar. Hasil observasi menunjukkan bahwa ada beberapa PSK di Jatinegara yang merokok. Menurut mereka kebiasaan merokok tersebut dimulai saat mereka bekerja sebagai PSK. Hal tersebut karena mereka terpengaruh oleh pelanggannya yang kebanyakan para perokok. Subjek Pertama (S) S adalah seorang wanita yang sudah berumur, menurut pengakuan usianya sudah 40-an tahun. Perawakannya tinggi besar dan agak gemuk. Berpakaian santai dengan menggunakan T- Shirt dan celana Jeans. Tidak terlihat ciri-ciri kalau dia adalah PSK yang biasa memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki hidung belang. Panggung Depan dan Panggung Belakang S menjelaskan bahwa memang terdapat perbedaan dalam cara berpakaian sehari-hari dengan pada saat dia akan melaksanakan tugas rutinnya sebagai PSK. S menjelaskan, “Pakaiannya ya begini.. khusus untuk disini.. kalau di rumah mah pake daster.. (tertawa) masih ngargain lingkungan...”
S menjelaskan bahwa memang dia sengaja tidak memakai pakaian yang seksi karena malu dan juga dilarang oleh suami. Bagi S sendiri dengan pakaian yang seksi atau pakaian yang biasa-biasa saja tidak terlalu berpengaruh terhadap minat tamu: “Nggak.. malu saya.. semenjak saya kerja di sini... gak pernah saya pakai yang terlalu mencolok.. diomelin sama laki saya.. Kadang-kadang tamu ada yang gak mau terlalu keren gitu... kadang ada tamu cari yang alami.”
Terkait dengan cara bertingkah laku dan berbicara saat bekerja sebagai PSK, S menjelaskan bahwa pada dasarnya saat di kontrakan dia adalah pribadi yang pendiam. “Kalau dirumah.. diem gak pernah bertetangga... Paling keluar untuk beli lauh..” Lebih jauh S menjelaskan bahwa kalau sedang mangkal sebagai PSK, dia harus merubah dirinya menjadi lebih aktif dalam berkomunikasi, seperti penjelasannya sebgai berikut : “Bisanya kalau ada orang baru di rel.. kita manggil-manggil.. ya iya.. Mas gimana sini (tertawa)... namanya usaha.. kalau gak begitu ye.. tamu kadang-kadang ada yang malu.. pengennya disamperin.. ada yang nyamperin sendiri.. tapi saya mah jarang nyamperin tamu.. sudah tua malu.. nanti tamu nggak mau.. diem gitu.. kalo ada tamu yang nyamperin hayu.. udah tua gak pede.. dari dulu semenjak di sini saya gak kaya orang-orang nyari tamu.. duduk diem.”
94
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
Penjelasan S menunjukkan ia menerapkan standar ganda dalam berpenampilan, gaya bicara dan berperilaku. Dia membedakan antara penampilan, gaya bicara dan perilaku saat di tempat kostnya dengan saat dia mangkal sebagai PSK di Jatinegara. Pengetahuan Terkait dengan pekerjaannya sebagai PSK, subjek mengetahui dengan pasti apa yang harus dia lakukan dengan pekerjaannya tersebut. S menjelaskan bahwa dia mengetahui dari temannya di kampung yang sudah lebih dahulu bekerja di Jatinegara sebagai PSK. Menurut S, untuk tempat “eksekusi”/ hubungan intim bisa dilakukan di gubuk/kamar yang ada di dekat rel atau di hotel tergantung dari tamu, tetapi bayarannya berbeda; “Tergantung tamunya.. ada yang enam puluh rebu.. lima puluh rebu.. ada yang nawar tiga pulu.. ada yang nawar lima belas... sinting kata ku .. (tertawa) kaya beli cabe.. (tertawa).. lima puluh rebu sudah sama kamar... kamar sepuluh rebu.. disitu ada dua kamar... sebelah sana ada tempat banci... tempatnya dipisah... kalau dicampur bau.. Di Hotel NT... kadang-kadang ada yang seratus rebu ada yang seratus lima puluh.. tergantung tamunya kalo ketemu yang baek ya baek.. ya yang pasti sih seratus rebu... itu terima bersih... yang bayar hotel tamunya... sekali maen di Sinta empat jam.”
Berdasarkan pengakuannya, tamu yang dilayani oleh S bervariasi dari sisi usia maupun pekerjaannya. “Ada yang anak muda (tertawa)... ada bapak-bapak.. anak mudanya ya ABG-ABG iya banyak kalau itu... kadang-kadang bapak-bapak pengennya yang anak muda.. kalo anak muda maunya yang ibu-ibu.. katanya kalo yang ibu-ibu pengalaman.. saya kadang minder.. manggilnya saja ibu.. kalau ngajak itu,.. Bu pasarannya berapa.”
S sangat berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai PSK. Hal tersebut karena sering kali ada razia terhadap PSK terutama menjelang bulan Puasa. Bahkan S sendiri pernah tertangkap, seperti dijelaskan oleh S, “Pernah tiga kali... yang di Polsek sekali.. dibawa ke Cipayung... yang ngurus budhe saya... bayar tujuh ratusan di Cipayung.. di Polsek dua ratusan...”
Lebih jauh S menjelaskan bahwa sebagai PSK, banyak suka dan duka yang dialaminya; “Ya gitu lah... banyak dukanya dari pada sukanya... kadang-kadang dapat tamu rese.. kasar... jadi kalau masuk itu kayak nganggap bukan sama orang.. kayak sama kambing.. mentang-mentang dia beli maunya puas.. aneh-aneh.. kadang perempuanya diminta di atas.. kadang ada yang minta sepong .. sinting kali perempuan suruh nyepong.. kaya banci... kalo sayanya ngotot gak mau.. dianya diem.”
Mengenai pandangan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Jagalan Klender terhadap pekerjaannya sebagai PSK, menurut S tidak ada yang terlalu ambil pusing. Hal tersebut dikarenakan daerah Jagalan adalah tempat kost para PSK yang mangkal di Jatinegara. Adapun tetangga dan keluarganya di kampung, menurut S, mereka sudah tahu kalau S bekerja sebagai PSK di Jakarta. Sebagaimana dituturkan S: “Tau.. karena sudah tahunan mereka pasti tau... mereka tidak mencemooh.. karena kalau di kampung sana sudah biasa.. sebagian ada yang jadi TKW sebagian ada yang di sini.... (tertawa)..”
Terkait masalah kehidupan sebagai PSK yang harus berganti-ganti pasangan dalam setiap berhubungan badan. S menjelaskan bahwa ada penyuluhan dari pihak yayasan tentang kesehatan reproduksi. Pada saat penyuluhan tersebut dibagikan juga obat yang S sendiri tidak tahu itu obat apa. Selain itu dibagikan juga kondom. Sebagaimana diceritakan oleh S,
95
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
“Ada dari yayasan... dikasih obat.. nggak tau obat keputihan atau HIV.. kadang-kadang tiga bulan sekali ada pengobatan gratis..”
Harapan Dulu S bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik, tetapi tidak kesampaian. “Tadinya mah cita-citanya... Mau jadi ibu rumah tangga yang bener... (tertawa)..”
S sendiri tidak mau bercita-cita yang tinggi, karena dia merasa berpendidikan rendah, hanya tamatan SD, “Ya.. sekolahnya saja SD.. gimana mau jadi dokter?... Saya berhenti sekolah karena orang tua tidak ada biaya.. orang tua saya punya anak sebelas.. dulu mah orang tua punya anak kaya ternak.. (tertawa)..”
Di masa yang akan datang, S juga berharap bisa berhenti sebagai PSK dan menjalani hidup sebagaimana orang kebanyakan, S menjelaskan, “Mau jadi orang bener.. saya mau berhenti.. kalo razia capek harus lari-lari.. ketiduran hanya pake koran... Badan saya masih begini.. ya saya belum bener... Iya lagi kecil mah dari SD sampe lulus kalo sore ngaji.. kakek saya kan Ustad.”
Penilaian S menilai bahwa bekerja sebagai PSK sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Apalagi sekarang S sudah tua, sehingga sebenarnya merasa malu masih menjadi PSK. Hal tersebut seperti yang S jelaskan kepada peneliti, “Iya.. kadang-kadang kalau lagi sendiri.. lagi pusing... ko kerja begini cape.. udah tua.. malu sama tamu.. ada yang panggil Tante.. Ibu...”
Terkait dengan masalah rumah tangga, S menilai bahwa pekerjaanya sebagai PSK sudah mendapat restu dari suaminya. Seperti yang S jelaskan kepada peneliti, “Nggak marah .. yang penting di sini aja melayani tamu-tamu tuh... nggak kayak orang-orang di bawa ke rumah.. malu sama lingkungan..”
S juga merasa tidak mengkhianati suaminya karena hubungan badan yang dia lakukan dengan tamu tidak didasari oleh rasa suka melainkan hanya karena dibayar. Seperti yang S jelaskan kepada peneliti, “Nggak... sama tamu mah sudah gak punya napsu... hanya karena uang saja...”
Kongruensi dan Inkongruensi Hasil wawancara dengan S menunjukkan dengan jelas bahwa telah terjadi inkongruensi atau ketidaksejajaran antara konsep diri yang diyakini oleh S dengan realita yang dia lakukan. S menyadari bahwa pekerjaanya sebagai PSK telah membuatnya malu dan merasa berdosa, tetapi sampai saat ini S belum bisa memutuskan kapan dia akan berhenti. Subjek Kedua (P) P adalah seorang wanita yang usianya hampir sama dengan S, menurut pengakuan usianya sudah 40 tahun. Perawakannya tidak terlalu tinggi, dan agak sedikit gemuk. Tinggi badannya antara 160 cm an dengan wajah agak tirus dan potongan rambut lurus sebahu.
96
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
Panggung Depan dan Panggung Belakang P menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam cara berpakaian sehari-hari dengan pada saat dia akan melaksanakan tugas rutinnya sebagai PSK. P menjelaskan, “Kalau ini agak pendek.. agak ketat.. kalau di rumah yang agak longgar.. saya malu..”
Lebih jauh P menjelaskan bahwa dari rumah dia berpakaian biasa saja agar tidak kelihatan oleh tetangganya: “Pakaiannya biasanya pakai celana panjang.. nanti saya ganti pakai celana pendek lagi.. ini saya baru sampai.. kalau di sana nanti saya buka sweater-nya dan pakai kaus pendek.. baju dan celananya ditipkan di warung pak A atau Pok B... gak usah ganti.. dalamnya sudah pakai celana pendek... tinggal buka saja.”
Sedangkan untuk perilaku PSK yang suka menggoda lelaki yang lewat di tempat mereka mangkal adalah hal yang wajar dan “harus” menurut P. Karena tamu yang datang ke lokasi tempat mangkal PSK tidak semuanya mudah berkomunikasi karena ada juga yang pendiam. “Iya.. lah... kebanyakan laki-laki kan ada pemalu.. ada juga kan yang sudah biasa slonong boy.. biar kita godain.. tetap aja gak mau.. kalau di rumah sih nggak.. kalo di sini ya tuntutannya ya begitu.. kalau kita diam kita gak dapat duit.. kalau di sini harus agak pinter ngerayu dikit.. jangan jutek.. tapi kadang kalo kita mikir.. kita di rumah pakai pakaian ibu-ibu rumah tangga lah kadang saya dasteran.. kadang namamya laki-laki hidung belang suka aja godain.”
Penjelasan P menunjukkan ia menerapkan standar ganda dalam berpenampilan, gaya bicara dan berperilaku. Dia membedakan antara penampilan, gaya bicara dan perilaku saat di tempat kostnya dengan saat dia mangkal sebagai PSK di Jatinegara. Pengetahuan Terkait dengan pekerjaannya sebagai PSK, menurut P, pada awalnya dia tidak mengetahui, tetapi kemudian diberitahu oleh temannya. Selain itu, pengalamannya menjadi PSK telah turut pula menambah pengetahuannya. Hal tersebut termasuk teknik P dalam menghadapi razia yang mungkin saja terjadi pada saat dia melayani tamu: “Nggak tau.. dikasih tau oleh teman saya itu.. begini.. begini.. begini.. pada saat ada razia saya lihat ada orang yang lari sambil tarik celana... jadi saya punya inisiatif kalau maen di situ ini jangan dibuka semua.. sebelah saja.. jadi kalau ada razia tinggal bet.. kabur.”
Untuk masalah tarif kencan dan berhubungan intim, menurut P bisa dilakukan di kamar/gubuk yang ada di dekat rel atau di hotel tergantung dari tamu, tetapi bayarannya berbeda. “Ya lima puluh.. empat puluhan.. kalo tamu tanya.. emang kalo ngamar disini berapa mbak.. saya bilang enam puluh sama kamar.. kan kamar sepuluh ribu.. ada yang nawar.. ada yang nggak.. tergantung dari tamunya.. yang muda pun begitu.. sama.. nah jadikan mereka yang hobi yang muda.. ah yang tua segini yang muda segini.. mending yang muda.. tapi kan kalo orang niatnya cuman kepengen buang... nggak peduli.. cocok harga.. bawa... Kalau di hotel,... harga hotel yang biasa enam lima (ribu) ac tujuh lima (ribu).. Kitanya kalau di bawa ke hotel tarif nya seratus lima puluh.. Beda kalau di sini hanya buka celana sebelah.. dan atasan tidak dibuka.. kalau di hotel bugil.. jangka waktunya juga lama kalau di hotel lebih lama bisa dua kali main.. di sini tidak ada foreplay.. Kalau di hotel harus perjanjian dulu.. paling banyak dua kali maen paling lama dua jam... Pokoknya dua kali maen kelar.. kalo tidak ada perjanjian ada tamu yang nakal seenak-enaknya dia dilama-lamain dia.. disengajain lamanya.. perjanjian dulu itu pokoknya paling banyak dua kali maen paling lama dua jam.. kalo lebih dari itu bayar lagi... kita bilang
97
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
umpamanya kalau belum dua jam dia minta pulang.. saya gak mau dipotong.. kadang ada tamu perjanjian dua jam.. tamunya ribet.. kita mau pulang bisanya dipotong sama dia.. makanya perjanjian kalo situ yang batalin.. kita gak mau dipotong.. enakan yang STW.. masalah perjanjian dipegang.. kalo yang muda-muda biasanya rese...mungkin karena mereka sering nonton gini.. gini.. gini.”
Berdasarkan pengakuannya, tamu yang dilayani bervariasi dari sisi usia maupun pekerjaannya: “Saya punya pelanggan SMP.. mungkin satu karena nonton ya.. kalo saya punya kenalan itu orang tuanya sibuk ..dianya sering nonton.. untuk melampiaskan itu makanya dia lari ke sini.. maennya di hotel.. SMP sih tapi badanya gede tinggi gak kaya SMP.. baru tamat tahun ini sekarang masuk SMA.. Kayak anak sendiri jadinya.. ngelonin anak sendiri... (tertawa)... yang tua juga ada banyak .. yang kakek-kakek ada juga.. kadang saya mikir gini, Ya Allah sudah bau tanah masih mau begini aja.. kapan insyafnya.”
Selain anak sekolahan dan bapak-bapak, menurut P banyak juga aparat yang datang ke tempatnya mangkal untuk berkencan dengan PSK. Tetapi tidak semua tamu yang mengajak kencan dilayani oleh P. Menurutnya dia harus pilih-pilih tamu karena ada juga tamu yang rese dan bahkan bisa mencelakakan dirinya. P juga kadang enggan untuk melayani kalau dia tahu bahwa tamu tersebut adalah aparat (tentara atau polisi). Alasan P menolak karena menurutnya aparat biasanya membayar seenaknya: “Nggak.. kadang kita gak mau karena bayarnya seenaknya.. ini cerita beberapa tahun lalu ya Mas.. masuk ke dalam.. sampai di dalam tiba-tiba saya dikasih sepuluh ribu... marah saya... marah-marah juga terus keluarin kartu anggotanya.. saya bilang gini.. bapak aparat tapi kenapa harga diri bapak cuman segini.. kalau emang bapak gak mau bayar yang sesuai jangan mainin.. emangnya nonok negara.. terus ngotot mainin beceng lho... kita gak mau maen sama aparat karena bayarannya tidak sesuai.. tapi sekarang aparat pinter.. nyarinya yang muda-muda jadinya kita aman lah.. (tertawa).”
P juga sangat berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaanya sebagai PSK. Hal tersebut karena sering kali ada razia terhadap PSK terutama menjelang bulan Puasa. Bahkan P sendiri pernah tertangkap, seperti dijelaskan oleh P, “Saya pernah ketangkep sekali waktu di luar.. dibawa ke Cipayung ditebus tujuh ratus lima puluh (ribu).. tiga hari.. saya nggak melalui RT, RW.. karena saya takut ketahuan.. ada orang yang mau nolong dia ngakunya wartawan kota.. jadi saya bisa keluar tanpa melalui RT, RW.”
Mengenai pandangan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya terhadap pekerjaannya sebagai PSK, menurut P mereka sangat membenci PSK. Lingkungan tempat kost P, masyarakatnya taat beribadah sehingga mereka membenci prostitusi. Tapi bagi P sendiri, sikap masyarakat di lingkungan tempat kostnya yang memusuhi prostitusi justru menjadi keuntungan, karena P bisa sekaligus menyembunyikan diri dan pekerjaannya. Orang-orang tidak ada yang menyangka kalau P bekerja sebagai PSK di Jatinegara. “Ya mungkin kalau mereka tau kalau saya cerita-cerita.. kayaknya mereka benci sama PSK gitu.. karena di sana orang soleh semua.. sengaja saya cari tempat begitu agar gak keciri kerjaan saya di sini.. saya sebetulnya malu lho... kalo kebutuhan saya dicukupin.. saya gak mau lagi.. sampai saya pernah nantang... kita pisah aja di sini biarin si kecil saya bawa.. mudah-mudahan Insya Allah kalo emang ada orang yang betul-betul gitu lho.. dia mau ngangkat.. saya gak mandang dekil atau muda.. yang penting jamin kehidupan saya.. jangan sampai ada kekurangan.. saya gak akan keluar lagi.. saya sudah ikrar.. sudah lama itu.”
Terkait dengan masalah kehidupan sebagai PSK yang harus berganti-ganti pasangan dalam setiap berhubungan badan. P menjelaskan bahwa dia selalu berusaha menjaga kesehatannya, dengan berobat sebulan sekali dan minum antibiotik.
98
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
“Saya minum vitamin.. saya juga berobat.. sebulan sekali saya ke dokter minta disuntik antibiotik.. saya alasan suami saya nakal... saya minum Amoxcilin dan Super Tetra.. saya tidak minum tiap hari.. saya minum dua hari sekali.. dokter bilang kalo kita sering minum antibiotik takutnya suatu saat kita sakit.. tidak bisa diobati karena tubuhnya kebal.”
Selain minum vitamin dan berobat, P juga memiliki teknik tersendiri untuk menghidari berhubungan badan dengan tamu yang memiliki penyakit kelamin yaitu dengan cara meraba alat kelamin tamunya. “Makanya kita harus hati-hati.. kalo disini kita kan gelap.. kita pegang aja (penis).. itu emang kalau ada penyakit kan basah tuh.. kita cium tangan kita itukan baunya laen... kita ngerti lah.. bau pesing sama bau peju sama bau penyakit itu kita bisa bedain.. kalau kita pegang aja ada terasa kayak grundil gitu aja kita nggak mau.. ke hotel kan terang bisa kelihatan.. kalau disini gak tau.. kita pegang saja gak usah jijik.. kadang ada tamu yang tidak mau pakai kondom.. yang berpendidikan maaf ya mas kadang yang kuliahan pun mereka kesini.. tapi mereka pakai pengaman.”
P juga mengerti dan mengetahui bahwa pekerjaannya sebagai PSK adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. P sadar bahwa apa yang dilakukannya sebagai PSK adalah “dosa”. P juga takut kalau nanti meninggal dunia akan mendapat siksaan. P juga menjelaskan tentang perasaannya saat pertamakali mangkal sebagai PSK. “Bukannya bersalah lagi. tapi takutttt.. kalau lihat orang dikuburin.. kita jadi inget mati.. nanti besok mati begini.. begini.. tapi kalau mikir lagi besok makan gak ada duit... begini lagi... sekarang saya terus terang.. kalo malam ini saya keluar gak dapat uang besok gak makan... saya gak munafik gak bohong.. sekarang emang lagi bener-bener susah... saya harus gigih bisar besok si kecil makan.. si kecil jajan.. pokoknya pulang harus bawa uang.”
Harapan Dulu P bercita-cita menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, tetapi tidak kesampaian. “Saya gak pernah muluk-muluk.. saya tuh selalu bikin diari.. cita-cita itu ingin jadi orang berguna bagi nusa dan bangsa.. tapi cita-cita belum tercapai.. tapi alhamdulillah dari sejak kecil saya tidak pernah nyusahin.. Pokoknya saya dari gadis tidak pernah nyusahin orang tua.”
Pada masa yang akan datang, P juga berharap bisa berhenti sebagai PSK dan menjalani hidup sebagaimana orang kebanyakan. P berkeinginan untuk mempraktikkan keahliannya dalam membuat kue jajanan pasar. Penilaian P menilai bahwa bekerja sebagai PSK sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Tetapi semua ketidaknyamanan tersebut P kesampingkan karena menurutnya tuntutan untuk memperoleh uang demi kelangsungan hidup lebih penting dari sekedar ketidaknyamanan sebagai PSK. Terkait dengan masalah rumah tangga, P menilai bahwa pekerjaannya sebagai PSK sudah direstui oleh suaminya, dan suaminya pun tidak marah saat P memutuskan untuk bekerja sebagai PSK. P juga merasa tidak mengkhianati suaminya karena hubungan badan yang dia lakukan dengan tamu tidak didasari oleh rasa suka melainkan hanya karena dibayar.
99
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
Kongruensi dan Inkongruensi Hasil wawancara dengan P menunjukkan telah terjadi inkongruensi atau ketidaksejajaran antara konsep diri yang diyakini oleh P dengan realita yang dia lakukan. P mengetahui dan menyadari bahwa pekerjaannya sebagai PSK yang menjajakan dirinya adalah perbuatan dosa, tetapi kenyataanya dia tetap bekerja sebagai PSK. Subjek Ketiga (K) K adalah seorang wanita muda, menurut pengakuan usianya kurang dari 30 tahun. Perawakannya tidak terlalu tinggi bahkan bisa masuk kategori pendek, dan agak sedikit gemuk. Panggung Depan dan Panggung Belakang K menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam cara berpakaian sehari-hari dengan pada saat dia akan melaksanakan tugas rutinnya sebagai PSK: “Ya kalau dari rumah sih kita gak enak,... ya begini ya ganti,.. dari rumah biasa lah pakai celana gitu kan,... ya biasa lah namanya di depan orang tua, masa kita senakal-nakalnya kita kan kita gak ini sama tetangga ya,.. kalau dari rumah biasa.. nanti gantinya di sini,... ya kaya begini kalau di sini (tertawa....) terbuka sedikit.”
Menurut K, caranya bertingkah laku dan berbicara saat di rumah dengan saat mangkal di Jatinegara, sangat berbeda. K menjelaskan bahwa di rumah dia tidak berani untuk bertingkah laku seperti yang ia tunjukan pada saat bekerja sebagai PSK: “Ah,.. kalau di rumah nggak berani (ketawa..) Merokok juga di kamar,... ya nggak enak lah, tapi keluarga mah tau kalo saya merokok... karena dulu saya pernah di cafe.. gitu.”
Hal tersebut dikarenakan sebenarnya keluarga K tidak tahu bahwa dia bekerja sebagai PSK di Jatinegara. “Kalo keluarga sih taunya saya ngamen, dulunya saya pengamen keliling.. karena dulu ngamen keliling saya bubar,... ada yang nggak bereslah salah satu,.. jadi kita bubar. Orang tua mah taunya saya ngamen keliling satu grup padahal nggak.”
Tidak seperti saat di rumah, pada saat mangkal K juga lebih berani dan lebih aktif dalam melakukan komunikasi dengan tamu yang datang ke tempat tersebut. “Ya,. kadang-kadang... Kadang-kadang ya saya mah berani... kadang enggak ya (senyum) jadi cuek aja ya (tertawa)... Kadang kalau dia yang penasaran melihat kita dia yang nyamperin.. kadang kalo lagi ini tuh cowok ko diem aja... saya samperin siapa tahu mau ngamar .... kadang-kadang jadi.”
Penjelasan K menunjukkan bahwa pada kenyataannya dia melakukan dua hal berbeda yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan. Pada saat di rumah, K berpenampilan biasabiasa, sopan. Hal tersebut sangat berbeda dengan perilaku saat dia bekerja sebagai PSK di Jatinegara. Pengatahuan Terkait dengan pekerjaannya sebagai PSK, K menjelaskan bahwa dia sebenarnya mengetahui dari temannya. Walaupun begitu, menurut K tidak ada bedanya antara bekerja di kafe dengan bekerja sebagai PSK.
100
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
“Cuman temen itu sebelumnya bilangin lah,.. kalau emang kerjanya.. kehidupan di cafe kan tau.. yah gak jauh sama serperti ini cuma bedanya tempat saja kan.. kalau di sini di rel... di kafe lebih bagusan lah.. cuman kalau masalah tamu-tamu masalah relasi ya sama saja.. kalau misalnya kita selesai kerja dibooking-boking juga kalau kita saling cocok saling ini jalan nunggu selesai kerja.. gitu... ya sebelumnya dibilangin kan... De,. kalau di rel kan begini-begini terus akbibatnya ya begini-begini.. resikonya satu razia kedua namanya di jalan gitu kalau kita gak bisa bawa diri.. ya kan.. kitu harus... makanya hidup namanya di dunia kayak gini kita harus berteman gitu.”
Untuk masalah tarif kencan dan tempat berhubungan badan, menurut K bisa dilakukan di gubuk yang ada di dekat rel atau di hotel tergantung dari tamu, tetapi bayaranya berbeda. “Di luar kaya ke hotel gitu,.. enam lima (ribu).. Kadang-kadang saya bilang sama tamu dua setengah (dua ratus lima puluh ribu) sama kamar,.. Kadang-kadang sama tamu ditawar.. kan kalau di hotel minimal batasnya kan dua jam,.. “mbak dua ratus aja ya sama kamar”.. Kamarnya kan enam lima, tapi ya udah daripada saya sepi di sini.. paling kan dua jam gak lama ya... saya bilang ya udah ayo... kadang-kadang ada yang nawarnya brekele.. gak mau.. nyepelekennn... he.. he... (tertawa).. kalau disini enam puluh minimal.. tapi kadang ditawar.. lima puluh ya... di sini kan harga pasarannya... kita tinggiin kita nggak laku... kita terlalu murah juga kita gimana.. gitu kan.. Harga pasaran di situ enam puluh.. Cuman ya paspasnya lima puluh.. Nggak nyampe se jam.. lima menit.. sepuluh menit.”
Berdasarkan pengakuannya, tamu yang dilayani oleh K pada umumnya adalah langganannya, tetapi kadang-kadang selain langganan ada juga tamu baru yang menggunakan jasanya. “Ya.. namanya di situ mah kadang kita.. kebanyakan sih kenalan ya,.. kadang kalo rejeki... kenalan kita dapet tapi ada juga yang baru...”
Menurut K ada sedikit perbedaan pendekatan untuk tamu yang sudah jadi langanannya dengan tamu yang baru pertama kali dia kenal. “Kalau yang sudah kenal mah... kita ngerti yah... Langsung... kalau namanya baru kenal yah (senyum) kita tawar-tawar dulu.. terus cocok apa nggaknya.. cocok ya curn (mau).. kalau nggak ya nggak.. tapi kadang ada tamu yang,.. kita ngopi dulu,.. minum dulu,.. santai aja ya mbak,.. ada yang gitu... gak sama sih.”
Menurut pengakuan K, ada juga tamu yang ditolaknya karena ia tidak suka dengan penampilan dan perilakunya. Selain itu masalah usia tamu juga jadi pertimbangan K. Walaupun pada dasarnya dia memang mencari uang tetapi tetap saja ada beberapa pertimbangan yang membuat dia menolak diajak kencan oleh tamu. “Kadang ada juga sih.. saya ngeliat tamunya.. kadang-kadang ada tamu yang baru deket aja sudah bau badanya gak nahan.. saya gak mau ngamar sama yang gitu teh... bukannya sih kita milih ganteng gimana ya.. kita kan nyari duit.. kalo masalah ganteng ... nyari yang ganteng kapan dapat duitnya... tapi kadangkadang kalau melihat tamu sudah dekil udah gini.. mau nawar tinggi juga gak mau.. kadang-kadang ada tamu aki-aki (kakek-kakek) ngajak ngamar.. tidak tega.”
Selain hati-hati dalam memilih tamu, K juga sangat berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaanya sebagai PSK. Hal tersebut karena sering kali ada razia terhadap PSK. Selama bekerja sebagai PSK, K pun pernah kena razia sebanyak dua kali: “Saya dua kali kena razia... dibawa ke Cipayung... saya mah cuman empat hari.. syaratnya keluar RT/RW Kelurahan G (Depsos).. agak ada nyogoknya sedikit.. diminta bayar juga perorang lima ratus (ribu).. saya habis berapa itu.. belum RT, RW, G, belum ongkosnya bolak balik yah (senyum)... ya abis sejuta setengah mah itu saya... makanya kalau ada razia pada ngacir kayak... sekarang mah razia gak dikejar-kejar.. kalau dulu razia dikejar-kejar sampai ke pasar-pasar... tapi sekarang razianya pinter.. lebih pinter .. saya kena
101
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
kemarin begini.. dijebak... penampilannya pakai kaos pakai sendal “brekele”.. ternyata Buser.. Masih mending razia gabungan.. daripada razia comotan.. tamunya pakai kolor,.. Mbak kalau ngamar berapa... mbak kalo ke hotel berapa.. karena cocok lalu saya jalan... sampai di depan hotel,.. “Eh turun Kamu..” .. “Busyet Deh..” ya ampun kena ketangkep.. taunya di dalam mobil sudah banyak... makanya sekarang mah jadi pelajaran.”
Menurut K, keberadaan PSK bagi masyarakat disekitar tempat dia mangkal tidak terlampau dipermasalahkan, karena memang PSK disitu sudah lama. Hanya saja kalau ada razia dan para PSK lari tunggang langgang, kadang orang-orang di pasar menyorakinya. Menurut dia, hal tersebut adalah bagian dari resiko seorang PSK: “Kalau masyarakat disini.. di Enjo.. cuek aja.. kalo masalah ada razia lari ke dalem.. ya namanya pasar Huuu... gitu ya.. pada nyorak.. tapi wajarlah namanya di pasar.. tapi kita harus tebel kuping ya.”
Karena lingkungan yang tidak begitu peduli tersebut itulah yang membuat K senang mangkal di Jatinegara. Selain itu, di Jatinegara relatif bebas dan lebih aman dibandingkan dengan di tempat lain seperti di Prumpung dan Gunung Antang. “Nggak di sini mah bebas,. cuman bayar kamar aja sepuluh ribu.. di bawah pohon pisang... kalau malam minggu lima belas (ribu).. tidak ada harus bayar tiap malam.. hanya partisi pasi saja kalau ada teman ada apa-ada apa... makanya saya betah di sini... sebenarnya tempat ginian di Gunung Antang ada... lebih rame cuman di sana rese.. jeger-jegernya.. tentara.. kebanyakan tentara.. dulu saya pernah nongkrong di sana... sampai masuk rumah sakit tiga hari pendarahan... dipake tentara... udeh nggak dibayar... bayangin aja dari jam enam di pakai... pendarahannya bukan karena barang saya yang luka.. jadi saya tuh disuruh yang enggak-enggak... ada yang minta ke pantat.. paling risih.. paling benci.. ada yang minta di kenyot (dihisap) sampai keluar di mulut.”
Terkait dengan masalah kehidupan sebagai PSK yang harus berganti-ganti pasangan dalam setiap berhubungan badan. K menjelaskan bahwa dia selalu berusaha menjaga kesehatanya dengan minum antibiotik. Selain itu ada juga penyuluhan kesehatan. “Ya.. kalau masalah takut selalu ada.. tidak semua pelanggan mau pakai kondom.. saya ada pernah yang bilangin.. Teh kalau mau ke sini minum dulu Super Tetra satu Amoxsilin satu sebelum berangkat.... Kalo penyuluhan Ya.. Ada... dari Yasayan.. dikasih kondom,.. kadang dikasih tau.. hari anu kesana ya mbak... saya pernah berobat ke situ.... kalau dulu mah gratis.. sekarang sudah bayar enam puluh (ribu).. kita masuk ke dalam diperiksa disuruh ngangkang.. sampai ke dalam-dalamnya.. terus disuntik tetanus.. ada juga dikasih obat.. ada juga dokter-dokter yang praktek di situ.. dikasih biskuit, aqua dan obat.. dikasih kondom juga.”
K juga mengerti dan mengetahui bahwa pekerjaannya sebagai PSK adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. K sadar bahwa apa yang dilakukannya sebagai PSK adalah dosa. Bahkan untuk menyambut bulan Puasa tahun ini, K sudah punya rencana untuk berhenti dulu sebagai PSK dan beralih menjadi pengamen keliling: “Kalo bulan puasa nggak ramai... malah kalau bulan puasa pengennya gak keluar.. Malu... Sebenernya saya nih punya rencana sama temen saya di sini.. gimana kita mau puasa .. gimana mbak kalau ikut ngamen aja.. ngamen apa De.. kita nyewa-nyewa itu deh.. karaoke di bis-bis.. namanya bulan puasa kita malu.. keduanya tamunya ge gak bakalan banyak.. dan banyak razia.. ada sih niat mau ngamen.. seumpamanya pendapatannya lumayan ya diteruskan.. tapi kalau tidak ya saya kembali lagi.. misalnya dapat seratus ribu kalau cuman lima puluh ribu.. hanya dapat capenya saja buat apa.. untuk susunya aja tidak cukup.. gak bisa nyimpan.”
102
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
Harapan Menurut K, sering terpikir oleh dirinya untuk berhenti bekerja sebagai PSK. Dia ingin kalau berhenti nanti dia mau jualan tetapi sampai saat ini belum bisa diwujudkan karena masalah dana: “Keinginan sih ada..saya ingin berhenti.. saya ingin dagang seperti buah..pengennya dagang sih..”
Penilaian K menilai bahwa bekerja sebagai PSK sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Ia juga tahu dan sadar bahwa bekerja sebagai PSK adalah dosa. Kalaupun sampai saat ini dia tetap bekerja sebagai PSK, hal tersebut semata-mata karena dia tidak memiliki sumber penghasilan lain untuk membiayai kehidupannya. Kongruensi dan Inkongruensi Hasil wawancara dengan K menunjukkan telah terjadi inkongruensi atau ketidaksejajaran antara konsep diri yang diyakini oleh K dengan realita yang dia kerjakan. K mengetahui dan menyadari bahwa pekerjaannya sebagai PSK yang menjajakan dirinya adalah perbuatan “dosa”, tetapi kenyataanya dia tetap bekerja sebagai PSK. Analisis Inter-Subjek Berdasarkan pengakuan subjek, mereka mengetahui cara kerja PSK dari teman mereka yang memberikan penjelasan secara garis besar tentang apa yang harus dilakukan saat subjek bekerja sebagai PSK. Selanjutnya para subjek menuturkan bahwa mereka belajar hal-hal yang lebih detail termasuk trik-trik dalam menghadapi razia dari sesama PSK pada saat mangkal. Sesuai dengan Miller dan Dollard dalam Sarwono (2002, h. 26) yang menyatakan bahwa tujuan (goal) sama, tetapi tingkah laku balas berbeda. Dalam keadaan ini kalau orang pertama mendapat ganjaran, sedangkan orang ke dua tidak, maka orang ke dua akan meniru tingkah laku orang pertama. Apa yang dilakukan oleh para PSK adalah hasil belajar sosial. Mereka meniru apa yang dilakukan oleh PSK lainnya yang sudah terlebih dahulu mangkal di Jatinegara. Peniruan tersebut dilakukan dari mulai cara berperilaku, berdandan, berkomunikasi dengan tamu sampai kepada trik dalam menghadapi razia. Pengetahuan, harapan dan penilaian adalah tiga aspek konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (dalam Ghufron & Risnawati, 2010). Hasil wawancara terhadap para PSK mengenai ketiga aspek konsep diri tersebut telah dipaparkan sebelumnya. Dari ketiga aspek tersebut pada akhirnya membentuk konsep diri masing-masing subjek yaitu konsep diri sebagai isteri yang direstui bekerja sebagai PSK oleh suami. Dari uraian hasil wawancara dengan PSK menunjukkan bahwa sebenarnya mereka mengetahui konsep-konsep sosial yang berkembang dan diyakini oleh anggota masyarakat lainnya. Seperti konsep tentang “dosa” dan “rasa takut”, di mana mereka tahu dan sadar bahwa pekerjaannya sebagai PSK adalah sebuah dosa. Tetapi penghayatan terhadap konsep dosa tersebut tidak sampai mencegah mereka untuk tidak bekerja sebagai PSK. Mereka hanya sekedar tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah dosa. Bahkan bagi mereka lebih takut kena razia daripada hanya sekedar “dosa” dan “neraka”. Inkongruensi telah terjadi pada cara berpikir dan berperilaku para PSK. Mereka menganggap bahwa menjadi PSK adalah pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Walaupun tidak secara mendalam, mereka tahu bahwa pekerjaan sebagai PSK adalah dosa. Tetapi dia tidak pernah mencoba untuk berhenti dan sampai sekarang masih bekerja
103
Dinamika Psikososial Istri sebagai Pekerja Seks Komersial Seijin Suami
sebagai PSK. Mereka justru merasa bahwa keputusannya untuk bekerja sebagai PSK adalah keputusan yang benar. Dengan menjadi PSK dia bisa mendapat uang dan dengan uang itu dia bisa membiayai kebutuhan hidupnya.
SIMPULAN & SARAN Berdasarkan hasil dan analisis penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal: Pertama, panggung depan dan panggung belakang istri yang menjadi PSK memiliki perbedaan. Kehidupan subjek pada saat di rumah atau tempat kostnya berbeda dengan pada saat mereka bekerja sebagai PSK. Hal tersebut dilakukan dengan alasan agar masyarakat di sekitar tempat mereka kost tidak tahu bahwa mereka bekerja sebagai PSK maka mereka bertingkahlaku seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Sedangkan pada saat mereka bekerja sebagai PSK, mereka bertingkahlaku seperti PSK lainnya dengan alasan agar tamu tertarik dan memakai jasanya. Ke dua, Pengetahuan subjek terhadap pekerjaannya sebagai PSK, merupakan hasil belajar dan meniru dari rekan PSK lainnya yang sudah lebih dahulu mangkal di tempat tersebut. Di samping itu ada juga pengalaman yang diperoleh secara otodidak pada saat mereka bekerja sebagai PSK. Harapan subjek di masa yang akan datang adalah bisa berhenti menjadi PSK dan bisa hidup layak seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya. Mereka kebanyakan berkeinginan untuk berwiraswasta. Subjek menilai bahwa pekerjaannya sebagai PSK adalah pekerjaan yang tidak diharapkan, tetapi hanya itulah pekerjaan yang bisa mereka lakukan karena keterbatasan tingkat pendidikan, keterampilan dan modal. Ke tiga, telah terjadi inkongruensi dalam konsep diri subjek. Dosa, ketakutan, cinta, kasih saying dan konsep sosial lainnya telah dimaknai lain oleh mereka. Pemaknaan baru yang menyimpang adalah hasil dari kompromi psikologis antara pemahaman pada saat sebelum menjadi PSK yang tersimpan dalam superego, dengan upaya mereka untuk meredakan ketegangan psikologis atas pelanggaran yang mereka lakukan terhadap konsep sosial tersebut. Kepada seluruh pemangku kepentingan, diharapkan dapat mempelajari secara mendalam phenomena istri yang menjadi PSK, sehingga ditemukan akar permasalahan untuk masing-masing individu istri yang menjadi PSK. Hal ini sangat diperlukan guna menentukan intervensi yang tepat bagi masing-masing PSK yang memiliki permasalahan berbeda-beda. Pada akhirnya hasil penelitian ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada tindak lanjut dari semu pihak baik pemerintah, LSM dan masyarakat yang peduli terhadap penanganan masalah prostitusi.
DAFTAR PUSTAKA Boonmee, B., & Pierce, N. (2009). Miss Bangkok: Memoirs of a Thai prostitute. Bangkok: Maverick House. Ghufron, N. M., & Risnawati, R. S. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. New York: Doubleday. Hall, C. S, & Lindzey, G. (2005). Teori-teori holistik (Organismik-fenomenologis). (Cetakan ke-7. A. Supratiknya, Ed.). Yogyakarta: Kanisius. Poewandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Perfecta.
104
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 89–106
Sarwono, J. (2006). Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Syam, N. (2010). Agama pelacur: Dramaturgi transendental. Yogyakarta: LKiS. Internet: Olivia. (2009). PSK. Diakses pada 1 Januari 2012, dari http://thepinkpiggy.multiply.com/journal Sawabi, I. (2009). Ya ampun, banyak suami paksa istri jadi PSK. Diakses pada 1 Januari 2012, dari http://regional.kompas.com/read/2009/06/09/1059099/ Ya.Ampun.Banyak.Suami. Paksa. Istri.Jadi.PSK
105
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
STRATEGI COPING PEREMPUAN KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN “EYSENCK” Devi Jatmika Fakultas Psikologi Universitas Bunda Mulia Jalan Lodan Raya No. 2, Ancol Jakarta Utara 14430
[email protected] Abstract Sexual harassment occurs everywhere, anytime, against especially toward women. This study attempts to find the difference in sexual harassment coping strategies’ based on Eysenck personality type (extrovert-introvert). There are two kinds of coping strategies: a) problem focused coping and b) emotion focused coping. The instrument in this research is a questionnaire that was given to young adulthood women (20-40 years old). Subjects in this research are 192 female. The mean score of problem focused coping dimension is 42.14 (SD=7.64) and the mean score of emotion focused coping dimension is 37.02 (SD=4.19) on women who have introvert personality type. The mean score of problem focused coping dimension is 48.60 (SD=6.69) and the mean score of emotion focused coping dimension is 38.02 (SD=4.02) on women who have extravert personality type. Research hypothesis was denied; c2 (1) =0.537, sig/p 0.449> 0.05 thus there is no difference in women coping strategies as victim of sexual harassment. Keywords: coping strategies; sexual harassment; personality type (extravertintrovert). Abstrak Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, setiap waktu dan terutama terhadap perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan strategi coping perempuan korban pelecehan seksual ditinjau dari tipe kepribadian “Eysenck” (ekstrovertintrovert). Strategi coping meliputi dua jenis yaitu: a) problem focused coping dan b) emotion focused coping. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang diperuntukkan bagi perempuan dewasa muda (20-40 tahun). Subyek penelitian sebanyak 192 orang. Perempuan bertipe kepribadian introvert memiliki nilai rata-rata pada dimensi problem focused coping 42.14 (SD=7.64), sementara dimensi emotion focused coping memiliki nilai rata-rata 37.02 (SD=4.19). Perempuan bertipe kepribadian ekstrovert memiliki nilai rata-rata pada dimensi problem focused coping 48.60 (SD=6.69) sementara dimensi emotion focused coping memiliki nilai rata-rata 38.02 (SD=4.02). Hipotesis penelitian tidak terbukti, χ2(1)= 0.537, sig/p 0.449> 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan strategi coping pada perempuan korban pelecehan seksual bertipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian introvert. Kata kunci: strategi coping; pelecehan seksual; tipe kepribadian (ekstrovertintrovert).
107
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
PENDAHULUAN Pelecehan seksual berasal dari kata “’pelecehan’ dan ‘ seksual’. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke-3 (Alwi, Lapoliwa, Sugono, Kridalaksana, Adiwimarta, Suratman, Nainggolan, Sutiman, Murniah, Patoni, Burhabudin, Gaffar, Hanid, Haryanto & Sutini, 2003), kata dasar ‘leceh’ berarti hina, tidak berharga, dan bernilai rendah. Oleh karena itu, pelecehan dapat diartikan sebagai proses menjadikan sesuatu menjadi hina dan tidak berharga. Sedangkan ‘seksual’ mengandung arti halhal yang menyangkut seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita (Swasti, Pasaribu, & Gusman, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut, pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara pria dan wanita (Kusmana, 2005). Menurut Papu (2002), segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut tergolong dalam pelecehan seksual. Di Indonesia istilah pelecehan seksual dipakai setelah banyak kasus ditampilkan oleh kalangan pers. Kasus-kasus pelecehan seksual mulai banyak dibicarakan, tetapi penelitian bersifat empirik masih relatif sedikit (Kusmana, 2005). Sebuah survei yang dilakukan oleh tim peneliti kekerasan terhadap perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membagi tindak kekerasan dalam tiga kategori, yaitu: (a) kategori ringan (terdiri dari ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal, disiuli atau dikomentari kata yang berbau seks, diajak berbicara cabul, dan ditelepon seks); (b) kategori sedang (terdiri dari diintip dengan maksud seksual, dicolek, diraba atau digerayangi, dipaksa memegang organ tubuh pelaku, dicuri cium, dipertontonkan alat kelamin, dan dipertontonkan benda atau foto porno); dan (c) kategori berat (terdiri dari usaha perkosaan dan perkosaan). Hasil survei tersebut menemukan dari 542 reponden sebanyak 4,6% pernah mengalami kekerasan seksual yang cukup berat, 75,1% mengalami kekerasan tingkat sedang, dan 91,7% pernah mengalami kekerasan tingkat ringan (Abdullah, Dzuhayatin, & Pitaloka, 2001). Menurut Kusmana (2005), penyebab mendasar pelecehan seksual sama dengan dasar terjadinya diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan (kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi upah, perkosaan, pelacuran, dan perdagangan perempuan). Penyebab utamanya adalah adanya kekuasaan dan ketidaksetaraan ekonomi serta pandangan seksis yang meluas dalam masyarakat, yaitu posisi kaum laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan. Pandangan ini kemudian membenarkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan menyatakan bahwa dengan mempelajari data yang ada, rentang usia 25-40 tahun merupakan usia yang paling rentan sebagai korban maupun pelaku kekerasan (40%-50%), meskipun tidak ada uji statistik dalam pengolahan data ini (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2005). Pada rentang usia ini merupakan masa-masa puncak semangat, daya tahan, tenaga dan semangat bagi perempuan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada subjek perempuan berusia 20-40 tahun (Hurlock, 1998). Pada perempuan yang mengalami pelecehan pertama kalinya, peristiwa itu seringkali diabaikan, berusaha mengartikannya bukan sebagai bentuk pelecehan, dan menghindar. Cara yang lebih banyak digunakan ini disebut sebagai strategi tidak langsung (indirect strategies of coping) namun tidak begitu efektif. Sementara strategi langsung (direct strategies of coping) yang lebih sedikit dilakukan korban seperti melawan, menyuruh atau meminta pelaku untuk menghentikan, mengancam akan memberitahu
108
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
orang lain, melaporkan ke pihak berwajib lainnya, dan memukul pelaku (Gutek & Koss dalam O’Toole & Schiffman, 1997). Larse (dalam Pervin, 1996) menyebutkan bahwa perbedaan kepribadian individu membuat individu memberikan respon emosional yang berbeda. Karakteristik mendasar dari kepribadian terletak pada dimensi ekstrovert-introvert (dimensi E) dan dimensi neurotic-stable (dimensi N). Eysenck meyakini bahwa setiap orang pasti berada pada suatu posisi dalam kontinum kedua dimensi tersebut (Abidin & Suyasa, 2003). Masing-masing orang bukanlah ekstrovert atau introvert sejati, namun lebih pada kecenderungan kontinum dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert (Posella, 2006). Eysenck mengemukakan bahwa seseorang yang ekstrovert dikenal memiliki kepribadian optimis, terbuka, senang bergaul, aktif, riang, mempunyai banyak teman, cenderung agresif, mudah kehilangan kesabaran, kurang dapat mengontrol perasaannya dengan baik dan impulsif. Introvert adalah kebalikan dari ekstrovert, yaitu pendiam, terkontrol, berhati-hati, introspektif, reflektif, jarang berperilaku agresif, tidak mudah hilang kesabaran, tidak menyukai pengambilan keputusan yang impulsif, dan lebih menyukai kehidupan yang teratur daripada kehidupan yang penuh tantangan dan resiko (Pervin & John, 1997; Abidin & Suyasa, 2003). Perbedaan dalam kepribadian ekstrovert dan introvert ini mempengaruhi cara orang dalam menghadapi situasi sekitar secara berbeda. Cara seseorang dalam mengatasi masalah disebut dengan coping. Cara mengatasi masalah setiap individu bergantung pula pada cara pandang/penilaian terhadap masalah yang dihadapi. Suatu masalah dapat dinilai sebagai tantangan, melukai perasaan, menimbulkan perasaan kehilangan, atau sebagai ancaman (Lazarus, 1976). Lazarus (1984) membedakan dua kategori coping, yakni problem-focused coping (active coping) dan emotion-focused coping (passive coping). Problem-focused coping adalah strategi coping aktif yang digunakan untuk mengurangi kecemasan dengan menghadapi situasi atau masalah sebenarnya. Emotion-focused coping adalah strategi coping aktif secara emosi dan kognitif (menggunakan perasaan dan pikiran) ketika masalah atau peristiwa yang membuat stres muncul. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kecemasan (emosi) seseorang terkait dengan situasi yang terjadi. Bentuk dari emotion-focused coping ini seperti menjaga jarak, menghindar, dan melarikan diri (Pervin, 1996; Posella, 2006). Gallaghar (dalam Posella, 2006) menemukan bahwa perilaku coping pada introvert berbeda dengan ekstrovert. Pada kenyataannya, coping berhubungan dengan kepribadian. Ekstrovert berkorelasi positif dengan strategi coping aktif dengan menghadapi situasi (Baoyong dalam Posella, 2006). Halammandaris dan Power (dalam Posella, 2006) menemukan sebaliknya bahwa individu dengan tipe kepribadian introvert berkorelasi dengan strategi aktif yang berfokus pada emosi, serta bertujuan mengurangi stres. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan adanya kesesuaian antara situasi dan strategi coping. Problem focused coping lebih adaptif dalam situasi yang dapat diubah sedangkan emotion focused coping lebih tepat ketika situasi berada di luar kontrol. Berdasarkan dari uraian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan strategi coping terhadap peristiwa pelecehan seksual, pada perempuan dewasa muda antara tipe kepribadian ekstrovert dengan introvert. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang digunakan seseorang menurut tipe kepribadiannya dalam mengatasi peristiwa pelecehan seksual.
109
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
METODE Partisipan. Kriteria subjek penelitian ini adalah perempuan usia dewasa muda dengan rentang usia 20-40 tahun dan pernah menjadi korban perilaku pelecehan seksual dalam bentuk apapun. Tingkat pendidikan akhir subyek dibatasi minimal adalah Sekolah Menengah Umum (SMU). Pengambilan subyek dengan rentang usia 20-40 tahun berdasarkan data dari Komnas Perempuan (2006) menyebutkan bahwa rentang usia antara 25-40 tahun merupakan usia yang paling rentan menjadi korban maupun pelaku kekerasan. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswi-mahasiswi di beberapa kampus, karyawati-karyawati dari dua perusahaan swasta yang terletak di daerah Jembatan Tiga (perusahaan A dan E) dan sebuah perusahaan swasta di daerah Sudirman (perusahaan G), perempuan yang bekerja di tempat bimbingan belajar dan preschool, serta di tempat umum sebuah mal M di Pluit. Desain. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif non eksperimental yang ditujukan untuk mengukur perbedaan. Prosedur Penelitian. Tahap pertama dari penelitian ini adalah penulis mencari fenomena dari lingkungan social yang diperoleh dari topik bahasan dalam sebuah surat kabar. Kemudian, penulis menggali aspek psikologis yang dapat diteliti dari fenomena tersebut dan membuat tema penelitian. Berdasarkan teori-teori dan data-data statistik yang didapatkan, penulis menyusun hipotesis penelitian dan membuat rancangan alat ukur untuk mengukur dua variabel penelitian yaitu variabel tipe kepribadian dan variabel strategi coping terhadap pelecehan seksual. Rancangan alat ukur ini diuji validitas isi oleh dua dosen pembimbing, untuk selanjutnya dilakukan uji coba/ try out. Uji coba kuesioner strategi coping dan tipe kepribadian diberikan pada 34 sampel setelah itu dilanjutkan dengan analisis butir dan uji reliabilitas menggunakan SPSS 13.0 for Windows. Hasil uji coba menunjukkan adanya kecenderungan social desirability yang disebabkan oleh kesalahan konsep saat merancang alat ukur kepribadian. Penulis kemudian memperbaiki alat ukur untuk tipe kepribadian dan disebarkan kembali kepada 50 sampel. Setelah itu, peneliti melakukan analisis hasil butir dan uji reliabilitas kembali dengan SPSS 13.0 untuk memperoleh butir-butir yang valid dari try out alat ukur tipe kepribadian Setelah melewati proses uji validitas dan reliabilitas, maka kedua alat ukur siap digunakan untuk pengambilan data penelitian. Setelah persiapan penelitian selesai, kuesioner yang telah lengkap dibagikan kepada sampel penelitian sebanyak 200 orang perempuan dewasa muda berusia 20-40 tahun di Jakarta, yakni daerah Jembatan Tiga, Sudirman, dan Pluit. Pengambilan data berlangsung dari tanggal 1 Juni-15 Juli 2007. Setelah pengambilan data selesai, ditemukan 8 sampel yang dianggap gugur atau tidak dapat disertakan datanya dalam penelitian karena tidak mengisi lengkap data kontrol pelecehan seksual, tidak mengerjakan sesuai dengan petunjuk instruksi, dan tidak menjawab kuesioner sampai selesai. Total sampel yang memenuhi syarat sebanyak 192 orang. Teknik analisis & alat ukur. Kuesioner dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti. Kuesioner pertama mengukur bentuk-bentuk pelecehan yang pernah dialami oleh subyek dengan petunjuk pengisian berupa “Ya” atau “Tidak”. Subyek pertama-tama harus menjawab “Ya” (pernah) atau “tidak” (tidak pernah) mengalami tiap pernyataan bentuk pelecehan seksual. Kemudian jika “Ya” (pernah) subyek harus mengisi kolom selanjutnya yang menyatakan apakah subyek terganggu dengan perlakuan tersebut
110
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
atau tidak terganggu. Subyek yang merasa terganggu dengan perlakuan tersebut berarti telah menjadi korban pelecehan seksual. Subyek juga dapat mengisi dengan memberi lingkaran dari 11 dampak psikologis yang dirasakan subyek karena peristiwa pelecehan seksual tersebut dan menambah dampak psikologis yang dirasakan dengan menulis pada pilihan lainnya. Begitu pula, pada dampak fisik yang dirasakan subyek. Subyek dapat memilih lebih dari satu dampak psikologis dan dampak fisik yang dirasakan. Kuesioner ini dibuat agar data yang menunjukkan bahwa subyek pernah menjadi korban pelecehan seksual lebih akurat selain itu, data ini dapat dijadikan gambaran statistik (survei) pelecehan seksual dalam penelitian. Alat ukur dari strategi coping terhadap pelecehan seksual dan tipe kepribadian disusun dengan menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat setuju (favorable) sampai dengan sangat tidak setuju (unfavorable). Kuesioner kedua yaitu sebuah kuesioner yang berisi butir-butir pernyataan yang menunjukkan strategi coping yang digunakan terhadap peristiwa pelecehan seksual. Jumlah butir strategi coping yang sudah valid berjumlah 25 butir. Kuesioner ke tiga yaitu alat ukur kepribadian dimana setelah uji validitas dan realibilitas terdiri dari 42 butir. Pada teori Eysenck, tipe kepribadian introvert pada dasarnya merupakan kebalikan dari ekstrovert. Oleh karena itu, semakin tinggi skor subyek, maka semakin tinggi indikator-indikator yang mengarah pada tipe kepribadian ekstrovert, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subyek semakin mengarah pada tipe kepribadian introvert. Pengukuran. Batasan operasional. Alat ukur strategi coping disusun sendiri oleh penulis berdasarkan skala coping (Folkman, Lazarus, Dunkel-Shetter, DeLongis & Gruen, 1986) Problem focused coping terbagi menjadi tiga indikator. Confront coping yaitu perilaku asertif, melibatkan agresi atau pengambilan resiko untuk merubah situasi, dengan pertanyataan item seperti “Saya menegur pelaku pelecehan untuk menghentikan tindakannya” (α= .805). Seeking sosial support yaitu berusaha mencari dukungan informasi dan emosional, dengan contoh aitem “Saya menceritakan peristiwa pelecehan seksual yang saya alami pada orang-orang terdekat saya (α= .0.62). Plan problem solving yaitu menganalisa situasi untuk menghasilkan solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk memperbaiki masalah, dengan contoh pernyataan aitem “Saya berusaha mencari jalan terbaik untuk menghadapi peristiwa pelecehan yang saya alami” (α= .0.73). Strategi emotion focused coping terdiri dari lima indikator. Self control berarti usaha untuk mengontrol perasaan diri sendiri, dengan contoh aitem “Saya berusaha mengendalikan emosi ketika mengalami pelecehan seksual” (α= .059). Distancing berarti membuat usaha kognitif untuk melepaskan diri sendiri dari situasi atau membuat terlihat positif, dengan aitem: “Saya berbicara pada diri saya bahwa peristiwa pelecehan seksual itu tidak penting untuk dicemaskan”. Escape-avoidance yang berarti berpikir penuh harapan (wishful thinking) mengenai situasi atau membuat tindakan untuk melarikan diri atau menghindar, dalam alat ukur dinyatakan dengan aitem: “Saya mencoba melupakan peristiwa pelecehan seksual itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan” (α= .56). Accepting responsibility berarti mengakui peran diri seseorang dalam suatu masalah, dengan aitem: Peristiwa pelecehan seksual yang saya alami adalah tanggung jawab saya untuk mengatasinya” (α=0.7). Positive appraisal yakni berusaha untuk mencari arti positif dari kejadian dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi: “Saya meninjau ulang kejadian pelecehan seksual yang saya alami dengan cara lebih positif” (α=0.69).
111
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Tabel 1. Hasil Reliabilitas Alat Ukur Strategi Coping Dimensi
Indikator
Reliabilitas (α) Sebelum
Sesudah
Banyak butir Sebelum
Analisis Butir Problem focused coping
Emotion focused coping
Butir reliabel
Sesudah
Analisis Butir
Confront coping
0.805
0.805
4
4
3, 7, 19, 25
Plan problem solving
0.625
0.625
4
4
1, 10, 15, 16
Seeking social support
0.733
0.733
4
4
4, 9, 13, 20
Escape-avoid
0.004
0.566
4
2
6, 8
Distancing
0.422
0.692
4
2
22, 27
Positive reappraisal
0.609
0.693
4
3
23, 26, 31
Self control
0.053
0.595
4
2
11, 32
Accepting responsibility
0.745
0.745
4
4
5, 14, 17, 30
Jumlah butir keseluruhan:
32
25
N uji coba alat ukur = 34 orang subyek
Tabel 2. Hasil Reliabilitas Alat Ukur Tipe Kepribadian Reliabilitas (α) Dimensi
Indikator
Sebelum
Sesudah
Analisis Butir Ekstrovert
Sebelum
Sesudah
Butir yang reliabel
Analisis Butir
Sosiabilitas tinggi
0.600
0.674
6
4
3, 19, 27, 38
Talkative
0.672
0.672
6
6
14, 26, 28, 34, 36, 40
Asertif
0.590
0.649
6
5
9, 22, 25, 31, 37
Optimis
0.727
0.727
6
6
1, 5, 11, 16, 20, 42
Impulsif
0.766
0.824
6
5
17, 21, 23, 33, 39
Aktif
0.564
0.632
6
4
6, 8, 10, 35
Riang
0.492
0.530
6
5
2, 15, 18, 24, 32
42
25
Jumlah butir keseluruhan: N uji coba alat ukur = 50 orang subyek
112
Banyak butir
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
ANALISIS & HASIL Subyek dikelompokkan menjadi dua tipe kepribadian yaitu subyek dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, sehingga terlebih dahulu dibuat norma persentil dari skor total dimensi ekstrovert. Hasil dari norma persentil diperoleh skor X minimum 66 (cP=0.5) hingga 102 (cP=21.9) dikategorikan sangat rendah berarti kelompok tipe kepribadian introvert (kode 1). Skor 124 (cP=77.6) hingga 152 (cP=100) dikategorikan sangat tinggi berarti kelompok tipe kepribadian ekstrovert (kode 2). Berdasarkan norma persentil tersebut, diperoleh sebanyak 42 subyek dengan tipe kepribadian introvert, 50 subyek dengan tipe kepribadian ekstrovert, dan 100 subyek tidak termasuk dalam kategori kepribadian manapun (un-classified). Total dari subyek keseluruhan setelah dilakukan pengelompokkan menjadi 92 subyek. Pada perempuan dengan tipe kepribadian introvert diperoleh nilai rata-rata 42.14 (SD=7.64) untuk dimensi problem focused coping dan nilai rata-rata 37.02 (SD=4.19) untuk dimensi emotion focused coping. Pada perempuan dengan tipe kepribadian ekstrovert diperoleh nilai rata-rata sebesar 48.60 (SD=6.69) untuk dimensi problem focused coping dan nilai rata-rata 38.02 (SD=4.02) untuk dimensi emotion focused coping. Uji perbedaan pemilihan strategi coping pada perempuan korban pelecehan seksual ditinjau dari tipe kepribadian ini menggunakan Chi-Square crosstabs dengan bantuan SPSS 13.0 for Windows. Sebanyak 92 subyek hasil proses screening, kemudian dicari perbedaan dalam penggunaan strategi coping. Dari hasil pengujian diperoleh hasil untuk tipe kepribadian introvert sebanyak 13 subyek menggunakan strategi problem focused coping dan 8 subyek menggunakan strategi emotion focused coping. Untuk tipe kepribadian ekstrovert sebanyak 16 subyek menggunakan strategi problem focused coping dan 6 subyek menggunakan strategi emotion focused coping. Nilai Chi-Square (χ2 hitung)=0.573 dan (df)= 1. Berdasarkan tabel, didapat χ2 tabel adalah 3.84. Oleh karena, χ2 hitung<χ2 tabel (0.573<3.84). Berdasarkan probabilitas, diperoleh sig/p 0.449> 0.05, maka Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan dalam penggunaan strategi coping pada perempuan korban pelecehan seksual ditinjau dari tipe kepribadian. Hasil survei berdasarkan usia terhadap jumlah respon dari bentuk pelecehan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik, verbal, dan tertulis. Tabel 3. Gambaran Data Pelecehan Seksual Fisik, Verbal, dan Tertulis Bentuk pelecehan Fisik
Verbal
Tertulis
(%)
(%)
(%)
20-24
59.8
57.8
46.7
25-29
29.3
31.3
36
30-34
7.2
6.9
9.3
35-39
2.7
2.7
5.3
≥ 40
1.0
1.3
2.7
Total
100
100
100
Usia
113
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Tabel 4. Lima Bentuk Pelecehan Fisik Terbanyak pada Perempuan Korban Pelecehan Seksual berdasarkan Usia Usia Bentuk pelecehan fisik
20-24
25-29
30-34
35-39
≥ 40
Persentase (%) Laki-laki tersenyum nakal
7.5
3.5
9
3
1
Laki-laki tidak dikenal mencolek bagian tubuh
7
3
0.9
0.1
0
Laki-laki tidak dikenal mengedipkan atau mengerlingkan mata
6.5
3.3
0.7
0.3
0.1
Laki-laki menatap penuh nafsu
6.1
3.3
1
0.4
0.1
Laki-laki tidak dikenal merapatkan tubuhnya ke tubuh korban
5.6
3.1
0.5
0.2
0.1
Tabel 5. Dua Bentuk Pelecehan Seksual Tertulis pada Perempuan Korban Pelecehan Seksual berdasarkan Usia Bentuk pelecehan tertulis
Usia 20-24
25-29
30-34
35-39
≥ 40
Persentase (%) Laki-laki memperlihatkan benda atau gambar porno Laki-laki pernah mengirim sms porno
34.7
21.3
5.3
2.7
1.3
12
14.7
4
2.7
1.3
Tabel 6. Gambaran Data Dampak Psikologis yang Dialami Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dampak psikologis
Persentase (%)
Rasa marah
28.5
Merasa dihina atau direndahkan
19.8
Merasa gelisah atau gugup
18.5
Kecemasan
10.9
Merasa tercekam atau ketakutan ketika sendirian
8.0
Tidak berdaya
3.1
Depresi
2.9
Menurunnya rasa percaya diri
2.9
Merasa bersalah
2.2
Kehilangan kontrol
2.0
Menurunnya motivasi
1.1
114
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
Tabel 7. Gambaran Data Dampak Fisik yang Dialami Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dampak fisik
Persentase (%)
Sakit kepala
27.3
Gangguan tidur
24.8
Mual
17.6
Berbicara sambil menangis
12.1
Gangguan makan
10.9
Gangguan lambung (gastrointestinal)
3.6
Menurun atau meningkatnya berat badan
3.6
DISKUSI Setelah dilakukan analisis dan pengolahan data, diperoleh hasil kedua tipe kepribadian, yakni introvert dan esktrovert menggunakan kedua strategi coping (problem focused coping dan emotion focused coping), dengan perincian tipe kepribadian introvert sebanyak 13 subyek menggunakan strategi problem focused coping dan 8 subyek menggunakan strategi emotion focused coping. Untuk tipe kepribadian ekstrovert sebanyak 16 subyek menggunakan strategi problem focused coping dan 6 subyek menggunakan strategi emotion focused coping. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pemilihan strategi coping pada perempuan korban pelecehan seksual antara tipe kepribadian ekstrovert dengan perempuan korban pelecehan seksual dengan tipe kepribadian introvert. Hasil ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian seseorang tidak membatasi individu untuk menggunakan strategi coping yang dirasa lebih cocok dengan dirinya. Sebagaimana menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor lain seperti level ancaman yang dipersepsi seseorang, sumber daya psikologis berupa keterampilan memecahkan masalah, keterampilan social dan dukungan social lebih mempengaruhi penggunaan strategi coping. Uji perbedaan dari masing-masing indikator problem focused coping diperoleh hasil adanya perbedaan pada indikator-indikatornya yang terdiri dari plan problem solving, confront coping, dan seeking social support antara perempuan korban pelecehan seksual yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert dengan tipe kepribadian introvert. Nilai rata-rata pada setiap indikator pada perempuan dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih tinggi daripada perempuan dengan tipe kepribadian introvert. Hanya dalam indikator emotion focused coping yaitu self control menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai rata-rata pada tipe kepribadian introvert lebih tinggi daripada tipe kepribadian ekstrovert. Di lain pihak, individu dengan tipe kepribadian introvert memiliki karakteristik pendiam, terkontrol, introspektif, reflektif, jarang berperilaku agresif, tidak mudah hilang kesabaran, tidak menyukai pengambilan keputusan yang impulsif (Posella, 2006; Pervin & John, 1997). Hal ini sesuai dengan indikator self control yang berarti usaha untuk mengontrol perasaan diri sendiri, menyimpan perasaan dalam diri. Karakteristik dari tipe kepribadian introvert mendukung dalam penggunaan self control. Pada data tambahan, diperoleh hasil pelecehan seksual yang paling banyak dialami yaitu pelecehan seksual secara fisik pada kategori usia 20-24 tahun sebanyak 59.8% dan semakin bertambahnya usia pelecehan seksual secara tertulis lebih banyak dialami. Hal ini dapat dilihat pada usia 40 pelecehan seksual tertulis sebanyak 2.7% paling tinggi diantara pelecehan fisik dan verbal.
115
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
SIMPULAN & SARAN Berdasarkan hasil studi ini, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan yang lebih muda mempunyai kecenderungan mendapat perilaku pelecehan seksual secara fisik. Hal ini mungkin disebabkan perempuan lebih muda memiliki sex appeal yang lebih menarik daripada perempuan yang usianya lebih dewasa. 1.
Saran teoretis
Saran ini ditujukan bagi para praktisi dalam bidang kajian psikologi sosial dan psikologi perempuan dewasa muda. Saran bagi penelitian selanjutnya untuk penelitian secara kuantitatif disarankan menggunakan sampel yang lebih besar, pengambilan sampel hendaknya adalah perempuan yang terbukti telah menjadi korban pelecehan seksual. Pembagian kuesioner dapat diberikan kepada perempuan yang melaporkan kasus pelecehan seksual kepada lembaga khusus yang menangani. Selain itu, penggunaan regresi untuk mengetahui faktor-faktor mana yang paling mempengaruhi penggunaan strategi coping pelecehan seksual. Selain itu, perlu adanya tambahan secara kualitatif berupa wawancara agar diperoleh data yang lebih mendalam seperti persepsi perempuan korban pelecehan seksual, dinamika coping, sejauh mana pelecehan seksual itu berdampak terhadap fisik dan psikologis yang dirasakan korban terhadap dirinya dan konsekuensi yang dihadapi perempuan korban pelecehan seksual jika melakukan strategi coping tertentu. 2.
Saran praktis
Saran untuk perempuan korban pelecehan seksual. Beberapa karakteristik dari tipe kepribadian ekstravert mendukung dalam penggunaan strategi problem focused coping seperti sosibilitas tinggi, talkative, riang, optimis, berani, dan asertif. Maka dari itu, saran bagi perempuan ekstravert yang pernah menjadi korban pelecehan seksual diharapkan agar menegur pelaku pelecehan, melakukan tindakan untuk menghentikan perilaku pelecehan seksual terhadap dirinya dan menceritakan atau melaporkan perilaku pelecehan yang dialaminya kepada orang terdekat seperti keluarga, teman, maupun pihak berwenang agar memperoleh solusi penyelesaian masalah. Namun, adapula beberapa karakteristik dari tipe kepribadian yang dapat menjadikan penggunaan strategi coping tidak efektif dalam menghadapi peristiwa pelecehan seksual seperti cenderung agresif dan impulsif. Hal ini dikarenakan pengambilan keputusan yang terburu-terburu dan disertai dengan agresi justru dapat memperburuk situasi. Bagi perempuan intravert yang memiliki karakteristik sosiabilitas rendah, pendiam, penakut, pasif agar dapat bersikap lebih berani, tidak memendam sendiri dan tidak malu dalam menceritakan masalah yang berkaitan dengan peristiwa pelecehan seksual yang pernah dialaminya kepada orang-orang terdekat. Saran ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mengurangi dampak psikologis yang dialami, karena strategi coping yang tidak efektif dapat menimbulkan dampak jangka panjang berupa trauma berkepanjangan, depresi, dan ketakutan jika sendirian. Perempuan juga perlu mengutarakan dampak psikologis dengan berkonsultasi pada psikolog. Selain itu, perempuan perlu mewaspadai situasi-situasi yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual, seperti tidak berjalan sendirian di tempat gelap, memakai busana sopan yang tidak mengundang perilaku pelecehan, menjaga diri baik-baik ketika berada di tempat ramai dan menghindari gerombolan orang yang mungkin dapat melakukan keisengan tertentu. Bagi perempuan yang mengalami perilaku pelecehan seksual terus menerus baik oleh orang yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya dan memerlukan bantuan hukum untuk menanganinya dapat melaporkan kasus yang dialaminya kepada Lembaga Bantuan Hukum.
116
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 107–118
Saran bagi psikolog. Peran praktisi psikolog diperlukan untuk menangani dampak psikologis akibat dari peristiwa pelecehan seksual. Psikolog perlu menggali persepsi korban pelecehan seksual dan mengkategorikan seberapa serius peristiwa tersebut bagi korban. Dengan mengenali persepsi dari pelecehan seksual tersebut dapat dicari strategi coping yang cocok untuk mengatasinya. Kemudian, jika ada strategi coping yang keliru atau tidak efektif perlu ditelusuri hubungannya dengan tipe kepribadian yang dimiliki oleh korban pelecehan seksual. Pemberian terapi dapat diberikan kepada korban jika diperlukan. Salah satu model terapi yang dapat dilakukan seperti terapi kelompok, dengan mengumpulkan perempuan korban pelecehan seksual dalam satu tempat untuk saling bercerita dan memberi solusi mengenai dampak negatif yang dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, L., & Suyasa, P. T. Y. S. (2003). Perbedaan penguasaan tugas perkembangan antara remaja yang memiliki tipe kepribadian ekstravert dan remaja yang memiliki tipe kepribadian introvert. Jurnal Phronesis, 5, 93-110. Alwi., Lapoliwa, H., Sugono, D., Kridalaksana, H., Adiwimarta, S., Suratman, S., Nainggolan, D., Sutiman., Murniah, D., Patoni, A., Burhabudin, E., Gaffar, A., Hanid, A., Haryanto & Sutini. (2003). Kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Folkman S., Lazarus, R. S., Dunkel-Schetter, C., DeLongis. A., & Gruen. R.J. (1986). Dynamics od a stressful encpunter: Cognitive appraisal, coping and encounter outcomes. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 992-1003. Hurlock, E. B. (1998). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Istiwidayanti & Soedjarwo, Penerj.). Jakarta: Erlangga. Lazarus, R. S. (1976). Patterns of adjustment (3rd ed.). New York: MacGraw-Hill. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company. Pervin, L. A. (1996). The science of personality (1st ed.). New York: John Wiley & Sons. Pervin, L. A., & John, O. P. (1997). Personality: Theory and research (7th ed.). New York: John Wiley & Sons. Internet: Abdullah, I., Dzuhayatin, S. R., Pitaloka, D. (8 November 2001). Bias gender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan secara ligitatif. Retrieved 19 September 2006, from http://72.14.235.104/search?q=cache:KrZAnuQKWDEJ:www.cpps.or.id/new/seminar/S306.p df+survey+laporan+pelecehan+seksual&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=24. Kusmana, G. (2005). Pelecehan seksual di tempat kerja (Kondisi di Indonesia dan cara mengatasinya). Retrieved 20 September 2006, from http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/ vol1_vi_2005/pelecehan_seksual.php. Kusmana, G. (2005). Pelecehan seksual di tempat kerja (Kondisi di Indonesia dan cara mengatasinya). Diunduh 20 September 2006, dari http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/ vol1_vi_2005/pelecehan_seksual.php.
117
Strategi Coping Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Papu, J. (2002). Pelecehan seksual di tempat kerja. Retrieved 4 September 2006, from http://www.epsikologi.com/seks.htm Posella, D. (2006). Coping styles used by introverts and extroverts in varying stress situations. Retrieved 8 September 2006, from http://web.sbu.edu/psychology/lavin/daniella.htm. Surat Kabar: Swasti, A., Pasaribu, N., & Gusman, Y. (2006, July 20). Pelecehan seksual tidak bisa dianggap remeh. Kompas, p. 42.
118
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
PENGARUH STRES INTERNAL DAN STRES EKSTERNAL PADA COPING DIADIK NEGATIF Yonathan Aditya Goei Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan UPH Tower Lippo Karawaci Jalan MH Thamrin, Boulevard 1100 Tangerang 15811
[email protected] Abstract A lot of research found the negative effect of stress on the ability of couples to cope. This present study tried to further study this phenomenon by differentiating the source of stress and using dyadic analysis. This study tested the effect of external and internal stress on negative dyadic coping. The data was collected from 203 couples, and Actor-Partner Interdependence Model (APIM) was used to guide the statistical analysis. The results showed external stress did not have direct effect on negative dyadic coping. However, external stress had a direct effect on internal stress. Internal stress had a direct effect on negative dyadic coping. It was also found that internal stress has a couple oriented pattern, internal stress affected the negative dyadic coping of actor and partner as well. Implication of these finding was discussed. Keyword: external stress, internal stress, negative dyadic coping, APIM Abstrak Banyak penelitian menemukan pengaruh buruk stres terhadap kemampuan pasangan melakukan coping. Penelitian ini mencoba lebih lanjut meneliti fenomena tersebut dengan membedakan sumber stres dan menggunakan analisa diadik. Penelitian ini menguji pengaruh stres internal dan stres eksternal terhadap coping diadik negatif pasangan. Data dikumpulkan dari 203 pasangan, dan metode statistik dilakukan mengikuti Actor-Partner Interdependence Model (APIM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres eksternal tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap coping diadik negatif, tapi stres eksternal akan mempengaruhi stres internal yang kemudian akan mempengaruhi coping diadik negatif. Stress internal mempunyai orientasi pasangan, oleh karena itu stress internal suami bukan hanya mempengaruhi coping suami tapi juga istri. Implikasi dari hasil ini juga didiskusikan. Kata kunci: stres eksternal, stres internal, coping diadik negatif, APIM.
119
Pengaruh Stres Internal dan Stres Eksternal pada Coping Diadik Negatif
PENDAHULUAN Pernikahan merupakan lembaga penting dalam kehidupan manusia. Lembaga ini mempunyai berbagai fungsi seperti mengatur kekerabatan, membentuk identitas keluarga, mengatur tingkah laku seksual, mendukung pendidikan anak, saluran pengaliran ekonomi dan pengasuhan antar generasi, serta menempatkan seseorang dalam keluarga, kekerabatan, dan masyarakat (Whitehead, 2004). Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan kestabilan dan kualitas pernikahan menurun, seperti yang ditunjukkan dari meningkatnya angka perceraian dan menurunnya kualitas pernikahan (Rogers & Amato, 1997). Badan Urusan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia mencatat terjadinya kenaikan angka perceraian 70% antara tahun 2005 dan tahun 2010 (Putra, E.P., 2012). Perceraian ini juga tidak mengenal agama. Kelompok born again christian di Amerika Serikat yang berjanji hanya kematian yang bisa memisahkan mereka, juga mempunyai angka perceraian yang sama dengan kelompok lain di Amerika Serikat (Barna, 2004). Tingginya angka perceraian dan turunnya kepuasan pernikahan ini mempunyai pengaruh buruk bagi kesehatan mental dan fisik bagi bagi pasangan maupun anak-anak mereka. Fincham (2003) menyimpulkan bahwa pernikahan yang tidak berbahagia berhubungan dengan penyakit seperti kanker, sakit jantung, penyakit kronis. Pernikahan yang tidak berbahagia juga akan menimbulkan konflik pasangan yang akhirnya berakibat buruk bagi perkembangan anak. Seriusnya akibat yang ditimbulkan dari pernikahan yang buruk ini menyebabkan banyak ahli tertarik untuk meneliti masalah pernikahan. Kebanyakan penelitian terdahulu menekankan pada masalah komunikasi dan konflik (Bradbury, Rogge & Lawrence, 2001). Mereka berpendapat problem dalam pernikahan disebabkan oleh kurangnya kemampuan komunikasi, akan tetapi beberapa peneliti mulai menyadari kemampuan komunikasi yang baik tidak menjamin kepuasan pernikahan. Oleh karena itu fokus penelitian pada pernikahan mulai bergeser ke arah yang lain. Rauer, Karney, Garvan dan Hou (2008) mengusulkan perlunya meneliti tentang stress dan bagaimana pasangan mengatasi stres. Penelitian tentang stres dalam pernikahan juga banyak berfokus pada stres mayor. Memperhatikan hal-hal di atas penelitian ini berfokus pada pengaruh stres sehari-hari khususnya stres dari luar hubungan pernikahan dan stres dari hubungan pernikahan pada kemampuan coping diadik dari pasangan. Coping diadik adalah proses coping yang melibatkan kedua pihak dari pasangan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa coping diadik menyumbangkan 35 % variance dari kepuasan pernikahan. Oleh karena itu akan bermanfaat jika pasangan bisa mengetahui ha-hal yang mempengaruhi coping diadik, sehingga mereka bisa mencegah terjadinya coping diadik yang buruk. Dengan demikian mereka bisa mencegah pernikhaan mereka memburuk. Penelitian ini juga menggunakan metode statistik yang relatif baru yang disebut APIM (Actor-Partner Interdependence Model). APIM memungkinkan peneliti untuk meneliti keterkaitan antara suami istri, misalnya pengaruh stres istri terhadap kemampuan coping istri dan juga suami. Pasangan suami istri saling mempengaruhi satu sama lain, oleh karena itu menganalisa keterkaitan antara suami istri dengan menggunakan analisa regresi berganda akan melanggar asumsi observsi bebas dari statistik (Kenny, Kashy & Cook, 2006). Stres dalam pernikahan Pasangan dalam sebuah hubungan pernikahan saling mempengaruhi satu sama lain. Tindakan atau keadaan suami akan mempengaruhi istri dan sebaliknya (Cutrona & Gardner, 2006). Demikian pula halnya dengan stres. Stres dari suami/istri akan mempengaruhi istri/suami. Oleh karena itu Bodenmann (1995) berpendapat stres dalam pernikahan sebaiknya dikonseptualisasikan sebagai stres
120
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
diadik. Stres diadik didefinisikan sebagai keadaan stres yang menimpa atau mempengaruhi pasangan (Bodenmann, 1995). Mayoritas penelitian tentang pengaruh stres pada pernikahan tidak membedakan sumber stres. Hal inilah yang mungkin merupakan salah satu penyebab penelitian tentang pengaruh stres pada pernikahan mendapat hasil yang berbeda-beda bahkan bertentangan. Oleh karena itu Randall dan Bodenmann (2009) mengusulkan perlunya membagi stres dalam pernikahan menurut sumbernya. Mereka menamakan stres yang berasal dari luar hubungan pernikahan seperti stres karena tetangga, pekerjaan, atau anak-anak sebagai stres eksternal. Pada lain pihak, stres yang berasal dari masalah dalam pasangan itu sendiri dinamakan sebagai stre internal. Contoh dari stres internal antara lain stres yang disebabkan karena perbedaan kebiasaan, atau tujuan hidup diantara pasangan suami-istri. Stres internal dan stres eksternal mempunyai pengaruh berbeda pada hubungan suami istri. Stres eksternal tidak selalu berakibat buruk, bahkan kadang-kadang stres eksternal ini dapat meningkatkan kepuasan pernikahan. Akan tetapi stres ini dapat mempengaruhi stres internal sehingga berpengaruh buruk, jika tidak ditangani dengan baik. Di lain pihak, stres internal mempunyai pengaruh yang lebih serius pada kehidupan pernikahan daripada stres eksternal (Story & Bradbury, 2004). Coping Diadik Sama seperti stres dalam pernikahan, coping dalam hubungan suami-istri juga sebaiknya dikonseptualisaikan sebagai coping diadik, karena coping dari salah satu pasangan akan mempengaruhi pasangan yang lain. Bodenmann (2005, hal.36) menyatakan, “One cannot examine one partner’s stres appraisals or coping efforts without considering the effects on the other partner and the marriage” Bodenmann (1995) yang pertama kali memperkenalkan istilah coping diadik ini mendasarkan teorinya dari teori Lazarus dan Folkman (1984), dan memperluasnya sehingga mencakup interaksi antara suami dan istri. Bodenmann mendefinisikan coping diadik sebagai suatu proses dimana pasangan berkolaborasi dan berbagi sumber daya untuk mengatasi permasalahan yang mempengaruhi pasangan baik langsung ataupun tidak langsung. Dengan demikian coping diadik selalu memperhitungkan keterkaitan antara suami dan istri. Sumber stres memang tidak selalu harus berasal dari kedua pasangan (suami dan istri) secara bersamaan. Bisa saja stres berasal dari salah satu pasangan, tapi akhirnya stres dari salah satu pasangan itu akan mempengaruhi pasangan yang lain, sehingga menuntut coping dari kedua belah pihak. Salah satu jenis dari coping diadik ini adalah coping diadik negatif (Bodenmann, 2005). Coping diadik negatif pada intinya adalah tindakan pertolongan yang dilakukan oleh salah satu pasangan kepada pasangan yang lain, akan tetapi tidak dilakukan dengan tulus dan benar. Misalnya, tindakan pertolongan yang disertai dengan cemoohan, tindakan/kata-kata kasar, dilakukan dengan setengah hati, atau pura-pura menolong padahal tidak melakukan apa yang dijanjikan. Model stres transaksional dari Lazarus dan Folkman (1984) mengindikasikan bahwa strategi coping yang dipakai seseorang dapat berubah tergantung dari keadaan stres yang dihadapi. Coping bukan merupakan sesuatu yang statis, tapi dinamis tergantung dari jenis stresor dan apraisal seseorang pada waktu tertentu. Dengan demikian strategi coping seseorang dapat berubah jika jenis stresor yang dihadapi dan/atau appraisal seseorang terhadap stresor tersebut berubah (Moos & Holahan, 2003). Bodenmann sebagai pencetus coping diadik juga mempunyai konsep yang serupa tentang adanya pengaruh jenis stres dan appraisal pada tipe coping diadik yang akan dipakai oleh pasangan. Dalam konteks pernikahan jenis stres dan khususnya asal stres berpengaruh terhadap tipe coping diadik yang dipakai. Pasangan akan lebih mudah bekerja sama jika sumber permasalahan berasal dari luar hubungan mereka berdua seperti masalah pekerjaan atau anak, dibandingkan dengan jika sumber
121
Pengaruh Stres Internal dan Stres Eksternal pada Coping Diadik Negatif
permasalah berasal dari hubungan mereka berdua seperti perbedaan hobi atau tujuan hidup. Misalnya seorang suami/istri akan lebih mudah menolong pasangannya yang sedang mengalami masalah di kantor, daripada menolong pasangannya yang baru saja bertengkar dengan mereka karena perbedaan tempat tujuan wisata. Dengan demikian dibandingkan dengan stres eksternal, stres internal akan lebih berpengaruh terhadap coping diadik negatif (Randall & Bodenmann, 2009). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan antara stres eksternal, stres internal, dan coping diadik negatif. Analisa data dilakukan dengan mengikuti Actor-Partner Interdependence model (APIM) (lihat diagram 1). Model ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui baik efek aktor maupun efek partner. Yang dimaksud dengan efek aktor adalah pengaruh variabel bebas individu terhadap variabel terikat individu itu sendiri, sedangkan efek partner adalah pengaruh variabel bebas individu terhadap variabel terikat pasangannya. Dengan demikian model APIM ini dapat menangkap efek keterkaitan antara suami dan istri sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang relasi pernikahan dibandingkan dengan perhitungan statistik biasa regresi berganda (Charania & Ickes, 2009). Regresi berganda tidak dapat mengukur efek variabel bebas individu terhadap variabel terikat psangannya karena akan melanggar asumsi pengamatan independen dari statistik (Kenny, Kashy & Cook, 2006).
Gambar 1. Model APIM. Ada dua anggota dalam dyad (1 dan 2), satu variabel bebas (X) dan satu variabel tergantung (Y). E menggambarkan error variance yang tidak dijelaskan oleh APIM. a adalah efek aktor sdangkan p efek partner.
Analisa diagram kerja diilustrasikan di gambar 2. Stres Internal 1
Stres External 1
Coping diadik Negatif 1
Stres External 2
Coping diadik Negatif 2 Stres Internal 2 Gambar 2. Hubungan antara stres eksternal-stres internal- coping diadik negatif. Kode: 1= pria, 2=wanita.
122
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
Pertanyaan riset Bagaimana stres eksternal dan stres internal seseorang mempengaruhi coping diadik negatif baik pada diri sendiri maupun pasangannya? Hipotesa 1. 2.
Stres eksternal mempunyai pengaruh signifikan terhadap stress internal dan coping negatif baik terhadap diri sendiri maupun pasangan. Stres internal mempunyai pengaruh signifikan terhadap coping negatif baik terhadap diri sendiri maupun pasangan
METODE
Partisipan Partisipan dari penelitian ini adalah jemaat dari berbagai gereja di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka adalah pasangan yang sudah menikah paling sedikit satu tahun dan baik suami dan istri bersedia mengisi kuesioner tanpa saling berkonsultasi. Beerdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Ackerman, Donnellan and Kashy (2011), untuk model penelitian ini dibutuhkan jumlah sampel paling sedikit 180 pasangan. Jumlah kuesioner yang disebarkan adalah 350 pasangan, 230 pasangan mengembalikan kuesioner, tetapi data dari 27 pasangan tidak dapat dipakai karena beberapa alasan seperti, hanya satu pihak dari pasangan yang mengisi, atau lupa mengisi data demografi. Dengan demikian ada data dari 203 pasangan yang dapat dianalisa. Usia responden berkisar antara 20 dan 60 tahun dengan rata-rata 41.7 tahun (SD=7.9). Lama pernikahan antara 1 sampai 39 tahun dengan rata-rata 13.9 tahun (SD=7.9). Mayoritas pasangan mempunyai dua anak. Latar belakang etnis dari para responden adalah: 57.6 % keturunan Tionghoa, 20.4 % Jawa, 13.8 % Batak, dan 8.2 % yang lain adalah Minahasa, Timor, Maluku adan etnis campuran. Lebih dari 59 % responden lulus sarjana dan lebih dari 11% mempunyai gelar pasca sarjana. Dari 406 responden 31 % diantaranya mempunyai pengeluaran keluarga diatas Rp. 10.000.000, 26 % antara Rp. 6.000.000 – Rp. 10.000.000 dan 26% antara Rp. 3.000.000 - Rp. 6.000.000. Dalam penelitian ini tidak ada satupun dari variabel demografi ini mempunyai hubungan signifikan dengan kepuasan pernikahan.
Alat ukur Pertanyaan Demografi. Responden diminta untuk mengisi umur, jenis kelamin, etnis, lama menikah, pengeluaran keluarga, jumalh anak, dan pendidikan tertinggi. Dyadic Coping Inventory. Dyadic Coping Inventory digunakan untuk mengukur strategi coping diadik dari responden. DCI adalah alat ukur yang terdiri dari 37 item dengan 5 pilihan likert. Inventori ini mengukur persepsi seseorang tentang coping diadik dari diri sendiri dan pasangannya. Alat ukur ini mempunyai 9 dimensi, yaitu komunikasi stress dari diri sendiri, coping diadik mendukung diri sendiri, coping diadik delegasi diri sendiri, coping diadik negatif diri sendiri, komunikasi stress pasangan, coping diadik mendukung pasangan, coping diadik delegasi psangan, coping diadik negatif pasangan, coping diadik bersama, tapi hanya dimensi coping diadik negatif yang dipakai. Instrumen ini mempunyai konsistensi internal yang bagus (.77) dan telah melalui test analisa faktor (Bodenmann, 2008). Dalam penelitian ini didapatkan level alpha yang cukup bagus (pria =
123
Pengaruh Stres Internal dan Stres Eksternal pada Coping Diadik Negatif
.77, wanita = .76). Contoh pertanyaan seperti, pasangan saya menyediakan dukungan tetapi dengan terpaksa dan tanpa motivasi. Multidimensionnal Stres Questionnaire for Couples (MSF-P). MSF-P dipakai untuk mengukur level stres yang dipersepsikan. Alat ukur ini dikembangkan oleh Bodenmann (2007) untuk menganalisa hubungan antara berbagai jenis stres yang dipersepsikan dengan coping diadik pada hubungan pernikahan. MSF-P mempunyai 6 skala, tetapi dalam peneltian ini hanya satu skala yang dipakai (internal and external). Confirmatory Factor Analysis (CFA) telah dilakukan dengan menggunakan AMOS pada dua skala dari MSF-P dan didapatkan struktur dua faktor terbukti mempunyai “adequate fit” (RMSEA = .074 and RMR = .034). Dalam enelitian ini didapatkan alpha level yang cukup baik untuk internal perceived stres (pria = .77, wanita = .76) dan eksternal perceived stres (pria = .76, wanita = .75). Alat ukur ini meminta responden untuk menyatakan pendapat tentang seberapa menekan situasi yang ditanyakan dalam alat ukur. Contoh pertanyaan seperti, perbedaan pendapat dengan pasangan, masalah kesehatan.
Prosedur Penerjemahan alat ukur. Semua alat ukur ditulis dalam bahasa Inggris, oleh karena itu perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia karena mayoritas responden tidak mengerti bahasa Inggris dengan baik. Penerjemahan dilakukan sesuai dengan metode “back translation” (Behling & Law, 2000). Semua alat ukur diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kemudian alat ukur dalam bahasa Indonesia ini diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh penterjemah yang tidak mengetahui alat ukur asli (dalam bahasa Inggris). Alat ukur hasil penterjemahan kembali ke bahasa Inggris ini dibandingkan kembali dengan alat ukur asli, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan. Setelah itu alat ukur yang sudah dalam bahasa Indonesia itu diperiksa kecocokannya dengan budaya Indonesia. Kata-kata atau ungkapan yang tidak umum dipakai di Indonesia diganti dengan kata-kata dan ungkapan yang lebih sesuai. Misalnya dalam MSF-P ditanyakan mengenai ukuran apartemen, hampir semua responden tinggal di rumah oleh karena itu apartemen diganti dengan rumah. Prosedur pengumpulan data. Dalam pengumpulan data peniliti menemui responden secara langsung ataupun menemui individu kunci yang akan membantu dalam pengumpulan data. Semua responden baik yang bertemu dengan peneliti langsung ataupun bertemu dengan individu kunci mendapatkan informed consent dan satu set alat ukur. Setelah mereka mengisi kuesioner mereka mendapatkan debriefing information.
Teknik Analisis Langka pertama dalam analisa data adalah filter data untuk memeriksa akurasi pemasukan data, data yang hilang, dan asumsi analisa multivariate analysis. Analisa data dilakukan dengan menggunakan Actor-Partner Interdependence Model (APIM) dan parameter APIM dihitung dengan menggunakan multi level modelling. Multi level modelling adalah metode statistik yang dipakai untuk menganalisa data yang mempunyai lebih dari satu tingkat. Dalam penelitian ini ada dua tingkat. Tingkat pertama adalah dyad dan tingkat kedua adalah suami dan istri (Kenny, Kashy & Cook, 2006). Sebelum analisa APIM dilakukan, perlu dilakukan Omnibus Test of Distinguishability untuk mengetahui apakah data dari masing-masing pihak dalam dyad (suami dan istri) berbeda secara empiris. Pasangan dalam penelitian ini secara konsep dapat dibedahkan karena mereka adalah pria dan wanita, akan tetapi belum tentu dapat dibedahkan secara empiris (Kenny & Kashy, 2006). Hasil. tes menunjukkan data pasangan dari penelitian ini berbeda secara empiris. Oleh karena itu analisa data yang dipakai adalah APIM untuk distinguishable dyad yaitu APIM untuk pasangan yang berbeda secara empiris.
124
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
HASIL & ANALISA Analisa Deskriptif dan Pendahuluan Analisa deskriptif dan pendahuluan mencakup rata-rata dan standar deviasi untuk semua variabel bebas dan variabel terikat baik untuk pria maupun wanita, dan paired samples t tests untuk memeriksa perbedaan nilai pria dan wanita di tiap variabel. Selain itu korelasi antara semua variabel bebas dan terikat untuk pria dan wanita ditampilkan dalam matrik korelasi. Tabel 1 mengpresentasikan nilai rata-rata dan standar deviasi untuk semua variabel yang diteliti. Tidak anda perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam semua variabel. Tabel 1.Nilai rata-rata dan standar deviasi untuk pria dan wanita Pria Variabel
Wanita
M
SD
M
SD
T
p
Stres Internal
1.82
.53
1.88
.55
-1.65
.10
Stres Eksternal
1.83
.53
1.82
.53
.30
.77
Coping diadik Negatif
1.00
.6
1.03
.58
-.95
.34
*p <.05
Sementara korelasi antara semua variabel baik untuk pria maupun wanita ditunjukkan dalam Tabel2. Angka di bidang diagonal tabel menunjukkan korelasi antara pria dan wanita untuk semua variabel yang diteliti. Nilai dari pasangan suami istri untuk stres internal (r=.53, p<.01), stres eksternal (r=.26, p<.01), dan coping diadik negatif (r=.58, p<001) mempunyai korelasi signifikan. Hasil ini mendukung dugaan bahwa pasangan suami istri saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini yang menyebabkan analisa untuk pasangan suami istri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode statistik biasa (multiple regression) karena asumsi observasi independen tidak dapat dipenuhi, oleh karena itu penelitian ini menggunakan analisa diadik dan khususnya Actor-Partner Interdependence Analysis (APIM). Tabel 2. Korelasi untuk semua variabel (pria dan wanita) Pria Internal Stres
External Stres
Coping Diadik Negatif
Stres Internal
.53*
.56*
.25*
Stres Eksternal
.43*
.26*
.14
Coping Diadik Negatif
.25*
.15*
.58*
Wanita
Note. Korelasi untuk pria berada di atas diagonal, korelasi untuk wanita ada di bawah diagonal. Nilai diagonal menggambarkan korelasi antara variabel pria dan wanita. * p < .05
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa stres eksternal mempunyai korelasi signifikan dengan stres internal akan tetapi tidak mempunyai korelasi signifikan dengan coping diadik negatif, hal ini berlaku baik untuk pria maupun wanita. Untuk pria dan wanita, coping diadik negatif hanya mempunyai korelasi signifikan dengan stres internal.
125
Pengaruh Stres Internal dan Stres Eksternal pada Coping Diadik Negatif
Analisis Diadik: Stres Internal 1 .56 .29 Stres Eksternal 1
Koping Diadik Negatif 1
.26 .17
Stres Exksternal2
Koping Diadik Negatif 2
.17 .29
.38 Stres Internal 2
Gambar 3. APIM, Kode: 1= pria. 2=wanita.
DISKUSI Nilai signifikan dari analisa APIM ditampilkan di grafik 3 di atas. Hasil ini menunjukkan bahwa coping diadik negatif tidak dipengaruhi oleh stres eksternal tapi hanya dipengaruhi oleh stress internal, akan tetapi stres internal dipengaruhi oleh stres eksternal. Hal ini mengindiksikan bahwa stres dari luar hubungan suami istri, seperti stress karena pekerjaan, konflik dengan tetangga, dan lain-lain tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap coping negatif pasutri. Walaupun demikian, stres eksternal akan memperburuk stres internal yaitu stres dari permasalahan diantara pasangan suami istri seperti perbedaan kepribadian atau tujuan hidup. Dengan kata lain, jika pasangan suami istri itu mempunyai masalah internal, stres eksternal akan memperburuk permasalahan mereka yang akhirnya membuat coping negatif juga semakin parah. Pengaruh stres eksternal terhadap stres internal pada pria lebih tinggi daripada pengaruh yang sama pada wanita. Pria yang mempunyai stres dari luar relasi seperti permasalah di tempat kerja, akan cenderung untuk membawa stres ini ke dalam relasi suami istri, sedangkan wanita lebih bisa mengurangi pengaruh itu. Hal ini mengindikasikan bahwa wanita lebih bisa mengelola stres lebih baik daripada wanita, mengingat tingkat stres eksternal pria dan wanita tidak berbeda (lihat tabel 1). Hasil ini sesuai dengan penelitian Repetti dan Wood (1997). Mereka menemukan bahwa wanita mampu mengelola stres lebih baik dibandingkan dengan pria, sehingga wanita lebih bisa mencegah agar stres eksternal tidak terbawa kedalam relasi dengan pasangan mereka. Ketidak mampuan pria Indonesia untuk mengelola emosi dibandingkan dengan wanita, kemungkinan disebabkan oleh pendidikan. Pria Indonesia dibiasakan untuk tidak menunjukkan emosi. Dari kecil mereka dididik untuk tidak menangis atau menunjukkan emosi yang berlebihan di depan umum, karena hal tersebut dianggap sebagai tanda kelemahan. Akibatnya mereka tidak mengenal emosi mereka, yang juga berarti sulit bagi mereka untuk mengelola emosi mereka. Berbeda dengan hasil korelasi, hasil analisa diadik ini dapat menunjukkan interaksi antara suami dan istri, sesuatu yang tidak dapat ditunjukkan oleh analisa korelasi. Coping diadik negatif dari pria dan wanita dipengaruhi oleh level internal stres dari dirinya sendiri (efek aktor) dan juga pasangannya (efek partner). Stres mengurangi kemampuan seseorang untuk mengelola kejadian yang menimpa
126
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
dirinya dengan baik, sehingga mereka cenderung untuk tidak dapat mengelola stres dengan baik dan tidak melakukan coping dengan baik (Neff & Karney, 2004). Dengan demikian semakin besar level stres internal seseorang, semakin besar kemungkinan mereka untuk melakukan coping diadik negatif. Hasil di atas yang menunjukkan bahwa coping diadik negatif dipengaruhi oleh efek aktor dan efek partner mendukung pendapat Lederman, Bodenmann, Rudaz, dan Bradbury (2010 bahwa coping diadik negatif bersifat “couple oriented.” Sekalipun coping diadik negatif bersifat “couple oriented” tetapi dibandingkan dengan pria, wanita lebih terpengaruh oleh stres internal suaminya. Pria memang juga terpengaruh oleh stres internal istrinya, tapi pengaruhnya tidak sebesar pengaruh stres internal suami terhadap coping negatif istri. Hal ini sesuai dengan pendapat Bodenmann, Lederman dan Bradbury (2007). Dia berpendapat dibandingkan dengan pria, wanita lebih mudah untuk menyerap stres pasangannya tapi lebih sukar untuk menularkan stres kepada pasangannya. Wanita juga lebih berorientasi interpersonal dibandingkan dengan pria, oleh karena itu wanita lebih mudah terganggu jika hubungan dengan pasangannya bermasalah (Nolen-Hoeksema and Hilt (2009). Sifat wanita yang lebih interpersonal inilah yang mungkin bisa menjelaskan hasil yang agak bertentangan antara pengaruh stres eksternal dan stres internal terhadap istri. Dibandingkan dengan pria, wanita mempunyai kemampuan pengendalian emosi pribadi lebih baik sehingga lebih mampu mencegah pengaruh stres internal supaya tidak terimbas ke stres internal, tetapi ternyata wanita lebih rentan terhadap pengaruh stres internal pasangannya. Hal ini juga mungkin terpengaruh oleh soal budaya. Wanita Indonesia dididik untuk menganggap bahwa urusan rumah tangga adalah kewajiban istri, oleh karena itu jika ada masalah dalam rumah tangga para istri lebih merasa terganggu daripada suaminya.
SIMPULAN DAN SARAN Stres memang berpengaruh negatif terhadap kemampuan pasangan untuk mengelola stres, akan tetapi ternyata efek dari eksternal stres berbeda dengan efek dari internal stres. Stres eksternal tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap coping diadik negatif, akan tetapi eksternal stres dapat memperbesar internal stres yang kemudian memperburuk coping diadik negatif. Memperhatikan hasil ini maka pasangan suami-istri akan mendapat manfaat jika secara pribadi mereka belajar cara mengatasi stres secara individual, sehingga mereka bisa mengelola stres eksternal dengan baik. Dengan demikian stres eksternal tidak akan merembes kedalam relasi mereka dengan pasangan. Hal ini khususnya perlu dipelajari oleh para suami karena ternyata dibandingkan dengan para istri, para suami cenderung tidak bisa mengelola stres. eksternal dengan baik. Coping diadik negatif ternyata berorientasi pasangan, stres internal seseorang tidak hanya mempengaruhi coping diadik negatif yang bersangkutan tapi juga pasangannya. Oleh karena itu pasangan juga akan mendapat manfaat jika mereka belajar bagaimana cara mengatasi stres sebagai pasangan dengan cara yang lebih konstruktif. Penelitian tentang pengaruh stres internal dan eksternal terhadap coping diadik negatif ini akan semakin lengkap jika peneliti juga meneliti coping pribadi, untuk melihat apakah benar pengaruh stres eksternal terhadap stres internal dimediasi/moderasi oleh coping pribadi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah meneliti jenis stres yang lain seperti stres kronis dan stres menahun.
127
Pengaruh Stres Internal dan Stres Eksternal pada Coping Diadik Negatif
DAFTAR PUSTAKA Ackerman, R., Donnellan, M. B., & Kashy, D. (2011). Working with dyadic data in studies of emerging adulthood: specific recommendations, general advice, and practical tips. In F. Fincham & Ming Chui (Eds.), Romantic relationship in emerging adulthood (pp. 67-100). Cambridge, MA: Cambridge Univ Press. Bodenmann, G. (1995). A Systemic-transactional conceptualization of stress and coping in couples. Swiss Journal of Psychology, 34-39. Bodenmann, G. (2005). Coping dyadic and its significance for marital functioning. In T. K. Revenson, Couples coping with stress: Emerging perspectives on dyadic coping (pp. 33-50). Washington DC: APA Book. Bodenmann, G., Lederman, T., & Bradbury, T.N. (2007). Stress, sex, and satisfaction in marriage. Personal Relationships, 14, 551-569. Bradbury, T. , R. Rogge & E. Lawrence. (2001). Reconsidering the role of conflict in marriage. In Booth, Couples in conflic. London: Lawrence Erlbaum Charania, M., & Ickes, W. J. (2009). Research methods for the study of personal relationships. In Perlman. &. Vangelisti, The Cambridge handbook of personal relationships (hal. 51-72). New York, NY: Cambridge University Press. Cutrona, C.E., & Gardner, K.A. (2006). Stress in couples: the process of dyadic coping. In Perlman &. Vangelisti, The Cambridge handbook of personal relationship (hal. 501-515). Cambridge: Cambridge University Press Fincham, F.D. (2003). Marital conflict: Correlates, structure and context. Current Directions in Psychological Science, 12, 23-27 Kenny, D.A., Kashy, D.A., and Cook, W.L. (2006). Dydic data analysis. New York, NY: Guilford Press. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York, NY: Springer. Lederman, T., Bodenmann, G., Rudaz, M., & Bradbury, T.N. (2010). Stress, communication, and marital quality in couples. Family Relationships, 59, 195-206. Moos, R.H. & Holahan, C.J. (2003). Dispositional and contextual perspectives on coping: Toward and Integrative Framework. Journal of Clinical Psychology , 1387-1403. Neff, L.A., & Karney, B. (2004). How does context affect intimate relationships? Linking external stress and cognitive processes within marriage. Personality and Social Psychology Bulletin, 30, 134-148. Nolen-Hoeksema, S., & Hilt, L. M. (2009). Gender differences in depression. In I. Gotlib & C. Hammen (Eds.), Handbook of depression (2nd ed., hal. 386–404). New York, NY: Guilford. Randall, A.K. & Bodenmann, G. (2009). The Role of stress on close relationships and marital satisfaction. Clinical Psychology Review, 105-115. Rauer, A.J., Karney, B.R., Garvan, C.W. & Hou, W. (2008). Relationship risks in context: A cumulative risk approach to understanding relationship satisfaction. Journal of Marriage and Family , 1122-1135. Repetti, R.L. & Wood, J. (1997). Effects of daily stress at work on mothers’ interaction with preschoolers. Journal of Family Psychology, 11, 90-108.
128
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 119–130
Rogers, S. J. and P. R. Amato. (1997). Is marital quality declining? The evidence from two generatons. Social Forces, 1089-1100. Story, L.B., & Bradbury, T.N. (2004). Understanding marriage and stress: Essential questions and challenges. Clinical Psychology Review, 23, 1139-1162. Internet: Barna, G. (2004, September 8). The Barna Update. The Barna Group: http://www.barna.org/FlexPage. aspx?Page=BarnaUpdateNarrow&BarnaUpdateID=170 Diunduh 16 November 2007. Putra, E.P. (24 Januari 2012). Angka perceraian pasangan Indonesia naik drastis 70 persen. Republika Online. Diunduh dari www.republika.co.id. Whitehead, B. D. (2004). Testimony of Barbara Dafoe Whitehead, before the Committee on Health, Education, Labor and Pensions Subcommittee on Children and Families U.S. Senate.National Marriage Project: http://marriage.rutgers.edu/Publications/Print/Print%20Whitehead%20 TESTIMONY.htm Diunduh 1 Oktober 2008
129
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 131–138
PENGAJARAN NILAI TOLERANSI USIA 4-6 TAHUN Miwa Patnani Fakultas Psikologi Universitas YARSI Jl. Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta Pusat 10510
[email protected] Abstract UNESCO had declared year of 1995 as the year of tolerance. This declaration was triggered by the raising of conflict and violence, that is indicated the declining of tolerance against differences. Based on this assumption, it was believed that tolerance was importance so we can live together in peace. This teaching tolerance activity was designed for children age 4-6 years, because in fact children learn to act intolerance since they were in early age. Its flexibility made this activity could be done either in school or home setting. This teaching tolerance activity was summarized from need analysis and another program aimed to teaching tolerance, such as United Nation, Living Values and Education for Mutual Education Program. The conclusions of the materials are: self respect, respect for others, respect the differences, and peaceful conflict resolution. Those four materials were breaking into 16 small activities with much considering the areas of development, such as social-emotional, language and cognitive, physic-esthetic, and then motivation. Those 16 activities mostly arranged in the form of games, since children were close to play and games activity. Checklist method combined with systematically observation conducted by teacher was used to evaluate this activity. Keywords: tolerance, teaching Abstrak Tahun 1995 dideklarasikan sebagai tahun toleransi oleh UNESCO. Hal ini dipicu oleh makin meningkatnya konflik dan kekerasan yang mengindikasikan adanya penurunan sikap toleransi. Dengan demikian, toleransi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mencapai kehidupan bersama yang damai. Kegiatan pengajaran nilai toleransi ini dirancang untuk anak usia 4-6 tahun, mengingat sikap tidak toleran mulai dikembangkan sejak anak berusia dini. Kegiatan pengajaran ini mudah untuk dilakukan baik di rumah maupun sekolah. Aktivitas dalam kegiatan pengajaran ini disimpulkan dari materi program pendidikan toleransi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Living Values dan Education for Mutual Education Program. Materi yang diajarkan dalam kegiatan ini adalah: penghargaan terhadap diri sendiri, penghargaan terhadap orang lain, penghargaan terhadap perbedaan budaya, dan penyelesaian konflik secara damai. Keempat materi ini kemudian dijabarkan dalam 16 aktivitas dengan memperhatikan perkembangan anak secara sosial emosional, bahasa kognitif, fisik estetis dan motivasi. Semua aktivitas dalam kegiatan ini menggunakan metode bermain yang sangat dekat dengan kehidupan anak. Evaluasi terhadap kegiatan ini menggunakan metode observasi sistematis yang dikombinasikan dengan checklist yang dilakukan oleh pengajar. Kata kunci: toleransi, pengajaran
131
Pengajaran Nilai Toleransi Usia 4-6 Tahun
PENDAHULUAN Mengingat pentingnya toleransi bagi kehidupan bersama antar bangsa, maka tahun 1995 dideklarasikan sebagai tahun toleransi oleh Perserikataan Bangsa-Bangsa (PBB). Dasar pemikiran dari deklarasi ini adalah terjadinya peningkatan tindakan yang tidak toleran, kekerasan, rasis, diskriminasi terhadap bangsa, agama, suku dan kelompok minoritas. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengancam demokrasi dan perdamaian, sehingga akan menghambat perkembangan yang dicitacitakan oleh segenap bangsa (UNESCO, 1996). Vogt (1997) menyatakan bahwa toleransi adalah kesadaran untuk menerima sesuatu yang tidak disukai, atau dianggap memberikan ancaman, dalam rangka menjaga hubungan baik dengan orang lain. Toleransi akan memungkinkan seorang individu untuk menerima perbedaan dan menyikapi konflik dengan cara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar lain seperti keadilan, kebebasan dan kesamaan. Tidak adanya toleransi akan menyebabkan kehidupan di dunia dipenuhi dengan tindak kekerasan seperti terorisme, pembunuhan dan sebagainya. Melihat pentingnya toleransi bagi kehidupan bersama, maka perlu adanya upaya untuk mengajarkan nilai toleransi sehingga menjadikan seorang individu mampu bersikap toleran dalam menghadapi berbagai perbedaan di sekitarnya. Dalam rangka pengajaran nilai toleransi, pendidikan memegang peranan yang penting. Banyak penelitian yang dilakukan di berbagai latar belakang budaya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan sikap toleransi (Vogt, 1997). Selain itu, PBB (dalam UNESCO, 1996) menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang paling penting untuk mencegah kecenderungan sikap tidak toleran. Hal ini mengingat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 26 menyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mendorong saling pengertian, toleransi dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa memandang perbedaan ras dan agama. Rendahnya toleransi terhadap perbedaan yang memicu terjadinya berbagai konflik dan kekerasan mengindikasikan belum optimalnya pengajaran nilai yang dilakukan selama ini. Von Thun (dalam Stern & Seligman, 2002) menyebutkan bahwa sistem pendidikan selama ini lebih menekankan pada penyampaian pengetahuan dan kurang menekankan pada keterampilan serta mengembangkan kemampuan siswa, sehingga siswa kurang memiliki kemampuan untuk menghargai dan menerima perbedaan yang ada di sekitarnya. Sikap tidak toleran akan membawa konsekuensi pada kurangnya keterampilan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, yang menjadi tugas perkembangannya ketika memasuki masa anak awal (early childhood). Menurut Green (2001), jika anak tidak pernah diajarkan untuk dapat melihat dan menerima orang lain yang berbeda, maka ia akan menyikapi perbedaan tersebut dengan ketakutan dan perasaan terancam. Menurut Burgess (2004), mengajarkan toleransi kepada anak dapat dilakukan sejak anak masih berusia dini. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada usia 3 tahun, anak menunjukkan kecenderungan untuk lebih menyukai orang yang memiliki kesamaan dengan mereka, dan pada usia 4-5 tahun anak sudah mampu mengenali karakteristik sosial berdasarkan warna kulit, yang mengindikasikan anak mulai membentuk stereotipe pada kelompok tertentu. Menurut Moore (2005), bermain merupakan cara yang memungkinkan pembentukan hubungan timbal balik dan menemukan keunikan yang dimiliki orang lain. Dengan demikian, untuk mengajarkan toleransi dapat digunakan media bermain yang akan memungkinkan anak berinteraksi dengan orang lain yang berbeda dan menemukan keunikan yang dimiliki oleh orang lain, sehingga anak akan belajar memahami adanya perbedaan di sekitarnya.
132
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 131–138
METODE
Peserta Kegiatan pengajaran nilai toleransi ini ditujukan untuk anak usia 4-6 tahun. Pemilihan peserta yang berusia dini berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: 1.
2.
3.
Pada usia 4-6 tahun anak mulai menunjukkan kecenderungan untuk bersikap tidak toleran yang terlihat dari perilaku mengucilkan teman tertentu dalam kegiatan bermain (Miller, 2001), sehingga perlu upaya mengajarkan nilai toleransi pada anak sejak usia dini, yaitu 4-6 tahun. Anak belajar bersikap tidak toleran dari lingkungan di sekitarnya yang banyak memberikan contoh dan model sikap tidak toleran (Green, 2001). Dengan demikian, dirasakan perlu untuk membekali anak dengan nilai toleransi sejak anak berusia dini. Usia dini merupakan usia emas untuk menyerap berbagai materi sebagaimana dikemukakan oleh Djalal (2004). Dengan demikian diharapkan nilai toleransi akan lebih mudah diserap ketika diberikan sejak anak berusia dini.
Materi Materi dalam kegiatan pengajaran nilai toleransi ini disimpulkan dari analisis kebutuhan yang dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, serta berbagai materi program pendidikan toleransi yang sudah ada seperti halnya pendidikan toleransi dari PBB, Program Living Values dan Education for Mutual Understanding Program. Dari berbagai sumber ini, disimpulkan bahwa materi pengajaran nilai toleransi dalam tulisan ini adalah: 1.
Penghargaan terhadap diri sendiri Penghargaan terhadap diri sendiri berarti seorang individu menganggap dirinya sendiri mempunyai nilai/harga sehingga pantas untuk dihargai.
2.
Penghargaan terhadap orang lain Penghargaan terhadap orang lain berarti memperlakukan orang lain sebagai individu yang mempunyai martabat dan hak yang sama dengan diri sendiri.
3.
Penghargaan terhadap perbedaan budaya Penghargaan terhadap perbedaan budaya adalah kesediaan seorang individu untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda dengan dirinya.
4.
Penyelesaian konflik secara damai Penyelesaian konflik secara damai adalah penyelesaian konflik yang bersifat non kekerasan dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Tujuan Tujuan yang akan dicapai dari setiap materi kegiatan pengajaran nilai toleransi ini, yaitu: 1. 2. 3.
Menumbuhkan pemahaman pada anak bahwa ia mempunyai nilai/harga sehingga pantas untuk dihargai Mendorong anak untuk memperlakukan orang lain sebagai individu yang mempunyai martabat dan hak yang sama dengan dirinya Menumbuhkan kesediaan pada diri anak untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda
133
Pengajaran Nilai Toleransi Usia 4-6 Tahun
4.
Menumbuhkan kemampuan anak untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut.
Tujuan tersebut akan dicapai dengan memperhatikan empat komponen perkembangan seperti yang dikemukakan oleh National Association for The Education of Young Children (dalam Santrock, 1998) bahwa pendidikan usia dini harus dapat menyediakan pengalaman dalam semua area perkembangan, yaitu perkembangan sosial dan emosional, perkembangan bahasa dan kognitif, perkembangan fisik, serta perkembangan estetik dan motivasi. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan pengajaran ini diharapkan dapat mencapai tujuan pengajaran toleransi dan memberikan pengalaman pada semua area perkembangan anak.
HASIL & ANALISIS Keempat materi pengajaran nilai toleransi kemudian diwujudkan ke dalam bentuk aktivitas yang akan disesuaikan dengan empat area perkembangan, sehingga dengan demikian secara keseluruhan terdapat 16 aktivitas dalam pengajaran ini. Pelaksanaan kegiatan dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah maupun orangtua di rumah. Kegiatan yang dilakukan tidak memerlukan ruang khusus seperti ruang kelas, namun juga dapat dilakukan di luar ruangan sepanjang tersedia tempat bagi anak untuk dapat melakukan aktivitasnya. Rangkuman materi, tujuan dan komponen perkembangan yang dijadikan dasar penyusunan kegiatan ini dapat dilihat dalam tabel1-5 berikut ini. Tabel 1. Rancangan kegiatan pengajaran nilai toleransi Materi
Pengertian
Tujuan
Komponen perkembangan
Penghargaan terhadap diri sendiri
Menganggap diri sendiri mempunyai nilai/harga sehingga pantas untuk dihargai
Menumbuhkan pemahaman pada anak bahwa ia mempunyai nilai/ harga sehingga pantas untuk dihargai
Perkembangan sosial dan emosional Perkembangan bahasa dan kognitif Perkembangan fisik Perkembangan estetik dan motivasi
Penghargaan terhadap orang lain
Memperlakukan orang lain sebagai individu yang mempunyai martabat dan hak yang sama dengan kita
Mendorong anak untuk memperlakukan orang lain sebagai individu yang mempunyai martabat dan hak yang sama dengan dirinya
Perkembangan sosial dan emosional Perkembangan bahasa dan kognitif Perkembangan fisik Perkembangan estetik dan motivasi
Penghargaan terhadap perbedaan budaya
Kesediaan seorang individu untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda dengan dirinya
Menumbuhkan kesediaan pada diri anak untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda
Perkembangan sosial dan emosional Perkembangan bahasa dan kognitif Perkembangan fisik Perkembangan estetik dan motivasi
Penyelesaian konflik secara damai
Penyelesaian konflik yang bersifat tanpa kekerasan dan dapat diterima oleh pihakpihak yang terlibat dalam konflik.
Menumbuhkan kemampuan anak untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut.
Perkembangan sosial dan emosional Perkembangan bahasa dan kognitif Perkembangan fisik Perkembangan estetik dan motivasi
134
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 131–138
Tabel 2. Bentuk aktivitas materi penghargaan pada diri sendiri Tujuan umum aktivitas : Menumbuhkan pemahaman pada anak bahwa ia mempunyai nilai/harga sehingga pantas untuk dihargai Komponen Perkembangan
Tujuan khusus sesuai komponen perkembangan
Aktivitas yang dilakukan
Sosial dan emosional
Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan ketrampilan sosial melalui peningkatan kontrol diri anak dengan bimbingan, modeling, mendorong serta mengarahkan anak berperilaku seperti yang diharapkan dengan memberi batasan yang jelas
Aktivitas 1: Mengenali berbagai ekspresi wajah yang berbeda
Fisik
Memberi kesempatan anak menggunakan motorik kasar seperti berlari, meloncat dan berlatih keseimbangan
Aktivitas 2: Simulasi gerakan mendaki gunung dan mengenal orang dari negara lain
Estetik dan motivasi
Mendorong rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami dunia di sekitarnya
Aktivitas 3: Mengenali bendera negara-negara di dunia
Bahasa dan kognitif
Memberi kesempatan anak mengembangkan pemahaman mengenai konsep diri melalui observasi, interaksi dengan orang lain dan obyek yang nyata.
Aktivitas 4: Bercerita tentang karakteristik diri sendiri
Tabel 3. Bentuk aktivitas penghargaan pada orang lain Tujuan umum aktivitas : Mendorong anak untuk memperlakukan orang lain sebagai individu yang mempunyai martabat dan hak yang sama dengan dirinya Komponen Perkembangan
Tujuan khusus sesuai komponen perkembangan
Aktivitas yang dilakukan
Sosial dan emosional
Memberi kesempatan anak mengembangkan keterampilan sosial melalui peningkatan kontrol diri anak dengan bimbingan, modeling, mendorong serta mengarahkan anak berperilaku seperti yang diharapkan dengan memberi batasan yang jelas
Aktivitas 5: Memberikan pertolongan kepada teman yang sedang membutuhkan
Bahasa dan kognitif
Memberi kesempatan anak melihat manfaat dari membaca dan menulis untuk memahami diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar
Aktivitas 6: Memahami empat kata yang dapat digunakan untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain
Fisik
Memberi kesempatan anak menggunakan motorik kasar
Aktivitas 7: Memahami perbedaan warna kulit
Estetik dan motivasi
Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan apresiasi dan ekspresi estetik melalui musik dan seni
Aktivitas 8: Mengenal dan mencoba alat musik suatu daerah
Tabel 4. Bentuk aktivitas materi penghargaan terhadap perbedaan budaya Tujuan umum aktivitas : Menumbuhkan kesediaan pada diri anak untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda Komponen Perkembangan Sosial dan emosional
Tujuan khusus sesuai komponen perkembangan
Aktivitas yang dilakukan
Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan ketrampilan sosial melalui peningkatan kontrol diri anak dengan bimbingan, modeling, mendorong serta mengarahkan anak berperilaku seperti yang diharapkan dengan memberi batasan yang jelas
Aktivitas 9: Bekerja sama dengan orang lain yang memiliki perbedaan
135
Pengajaran Nilai Toleransi Usia 4-6 Tahun
Bahasa dan kognitif
Memberi kesempatan anak melihat manfaat dari membaca dan menulis untuk memahami diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar
Aktivitas 10: Mewarnai dan menulis nama rumah adat
Fisik
Memberi kesempatan anak menggunakan motorik kasar
Aktivitas 11: Mengenali gerakan beladiri dan negara asalnya
Estetik dan motivasi
Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan apresiasi dan ekspresi estetik melalui musik dan seni
Aktivitas 12: Mengenal lagu daerah salah satu suku bangsa di Indonesia
Tabel 5. Bentuk Aktivitas Materi Penyelesaian Konflik Secara Damai Tujuan umum aktivitas : Menumbuhkan kemampuan anak untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut. Komponen Perkembangan
Tujuan khusus sesuai komponen perkembangan
Aktivitas yang dilakukan
Sosial dan emosional
Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan keterampilan sosial melalui peningkatan kontrol diri anak dengan bimbingan, modeling, mendorong serta mengarahkan anak berperilaku seperti yang diharapkan dengan memberi batasan yang jelas
Aktivitas 13: Melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama
Bahasa dan kognitif
Memberi kesempatan anak melihat manfaat dari membaca dan menulis untuk memahami diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar
Aktivitas 14: Mengenali perayaan hari raya agama
Fisik
Memberi kesempatan anak menggunakan motorik halus
Aktivitas 15: Berjabat tangan untuk menyelesaikan konflik
Estetik dan motivasi
Mendorong rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami dunia di sekitarnya
Aktivitas 16: Mewarnai gambar rumah ibadah
Evaluasi Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan dari kegiatan pengajaran nilai toleransi ini akan digunakan metode checklist yang dikombinasikan dengan observasi yang sistematis. Pengajar menulis kriteria performance yang akan dinilai untuk setiap aktivitas yang dilakukan dengan melihat tujuan yang akan dicapai dari aktivitas tersebut. Jika perilaku maupun sikap tersebut muncul, maka pengajar akan memberi tanda pada daftar yang telah ditulisnya. Jika terdapat hal penting yang muncul pada perilaku maupun sikap yang muncul, maka pengajar dapat menambahkan catatan tersendiri. Evaluasi akan dilakukan pada setiap pertemuan, sehingga akan terlihat proses yang terjadi selama anak mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir. Diskusi Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia salah satunya disebabkan oleh kurangnya kemampuan individu untuk menghargai perbedaan. Di tengah menurunnya kemampuan individu untuk bersikap toleran terhadap perbedaan, maka penanaman nilai toleransi merupakan hal yang mutlak perlu untuk dilakukan. Penanaman nilai toleransi ini dapat dilakukan sejak anak berusia dini dengan harapan agar nilai toleransi ini dapat terinternalisasi sejak dini dalam diri seorang anak. Hal ini mengingat ketidakmampuan untuk menghargai perbedaan bahkan sudah mulai terlihat pada masa anak. Terlepas dari berbagai faktor yang menyebabkan, mengajarkan
136
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 131–138
sikap toleransi ini tampaknya sudah menjadi hal yang sangat penting diajarkan sejak anak berusia dini. Seperti diketahui, masa anak adalah masa emas untuk belajar, sehingga masa anak ini juga merupakan masa yang paling tepat untuk mengajarkan nilai toleransi. Kegiatan ini merupakan salah satu alternatif kegiatan yang sesuai untuk anak karena kegiatan ini dirancang dengan mempertimbangkan aktivitas yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Mengingat masa anak adalah masa bermain, maka seluruh aktivitas dalam kegiatan ini berupa permainan yang dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar ruangan. Dengan metode bermain ini, diharapkan dapat menarik minat anak untuk terus terlibat dalam kegiatan ini. Hal ini mengingat dalam kegiatan ini ada 16 aktivitas yang saling berkaitan, sehingga harus dilakukan secara berurutan. Sifatnya yang informal membuat kegiatan ini tidak terikat dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, dan dapat dilakukan oleh orang tua di lingkungan rumah. Orang tua dapat menyesuaikan materi yang diberikan dengan kondisi yang sesuai. Misalnya untuk mengenalkan keanekaragaman budaya suku-suku di Indonesia, dapat diganti dengan keanekaragaman budaya antar Negara jika peserta adalah anak-anak yang tidak dibesarkan di lingkungan suku-suku di Indonesia. Salah satu kelebihan dari kegiatan ini adalah adanya perhatian terhadap empat komponen perkembangan anak, yaitu sosial emosi, bahasa kognitif, fisik dan estetik motivasi. Hal ini sesuai dengan konsep pembelajaran yang tidak hanya menekankan pada pemahaman kognitif, namun juga menyentuh sisi afeksi dan psikomotor. Dengan demikian diharapkan nilai toleransi ini akan lebih dipahami dan diinternalisasiskan dalam sikap dan perilaku anak sehari-hari. Materi yang digunakan dalam kegiatan ini disimpulkan dari berbagai materi pendidikan toleransi seperti yang dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Program Pendidikan Living Values dan Education for Mutual Understanding (EMU). Dari berbagai materi ini kemudian dilakukan penyesuaian dengan tujuan dari kegiatan ini, sehingga terpilih empat materi yaitu penghargaan terhadap diri sendiri, penghargaan terhadap orang lain, penghargaan terhadap perbedaan budaya dan penyelesaian konflik secara damai. Ke empat materi tersebut dipandang sebagai komponen yang harus dimiliki untuk dapat bersikap toleran. Dengan demikian, diharapkan materi dalam kegiatan ini memiliki kesinambungan dengan berbagai materi pengajaran toleransi yang lain, namun tetap memiliki karakteristik tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi peserta kegiatan pengajaran ini.
SIMPULAN & SARAN Sikap toleran dan tidak toleran bukan merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, tapi merupakan sikap yang dipelajari. Anak dapat menjadi tidak toleran terhadap perbedaan karena ia mendapatkan contoh dari lingkungan sekitar. Dengan demikian, sikap toleran pun sebenarnya dapat diajarkan. Dengan memilih materi yang memang berkontribusi dalam membentuk sikap toleran, serta menyesuaikan dengan tahap perkembangan anak yang lekat dengan dunia bermain, maka kegiatan pengajaran nilai toleransi ini memberikan alternatif kegiatan yang menyenangkan bagi anak sekaligus mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya toleransi pada anak-anak. Kegiatan pengajaran nilai toleransi ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk pengembangan lebih lanjut, disarankan untuk menggali lebih banyak data dari lapangan, terkait dengan bentuk-bentuk sikap tidak toleran pada anak-anak, sehingga aktivitas yang diajukan dapat lebih beragam. Selain itu karena sifatnya informal, maka kegiatan ini belum dapat menyatu dengan kurikulum pendidikan formal yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, perlu dirancang langkah-langkah khusus guna memberi masukan pada instansi yang berwenang agar pengajaran nilai toleransi ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia.
137
Pengajaran Nilai Toleransi Usia 4-6 Tahun
DAFTAR PUSTAKA Miller, K. (2001) Ages and stages. Birth through eight years. Revised. Florida: Telshare Publishing Co., Inc. Santrock, J.W. (1998) Child development. 8th edition. USA; The McGraw-Hill Companies Inc. Stern,S & Seligmann,E. (2002) The end of tolerance? Germany: Alfred Herrhausen Society for International Dialogue. Vogt, P.W. (1997) Tolerance and education learning to live with diversity and difference. California; Sage Publication Internet: Burgess, K.D. (2004) Teaching tolerance: closing the book on hate. http://www.preschoolerstoday. com/resources/articles/tolerance.htm diunduh tanggal 02 Mei 2005 Djalal, F. 2004. Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini dalam http://www.depdiknas.go.id/ go.php?a=1&to=f767 diunduh tanggal 24 November 2004 Green, P. (2001) Teaching kids tolerance dalam http://www.wholefamily.com/aboutyourkids/children/ prejudice.html diunduh tanggal 02 Mei 2005 Moore, T. (2005). Teaching tolerance. Help your child learn to live and play in diverse world. http:// www.scholastic.com/earlylearner/age4/social/teachtolerance.htm diunduh tanggal 02 Mei 2005 UNESCO. (1996) Final Report on the United Nations Year for Tolerance dalam http://www. unesco. org/tolerance/ diunduh tanggal 03 Maret 2005
138
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 139–148
PENGARUH PERSPEKTIF WAKTU (TIME PERSPECTIVE) TERHADAP KUALITAS RELASI SOSIAL Evanytha Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640, Indonesia
[email protected] Abstract One important and basic aspect of human subjective experience is time. Existentialists stated that humans are beings who exist in relation to a specific time and place, and specific meaning. Time is an element of human existence, which underlies and regulate individual social behavior. The objective of this study was to examine the effect of time perspective on quality of social relation. Participants were 96 undergraduate students. This study used Zimbardo Time Perspective Inventory and Positive Relation with Others scales. The ZTPI contains five dimensions: Past-Positive, Past-Negative, PresentHedonistic, Present-Fatalistic and Future. Data analysis used multiple regression. The result showed there was effect of five dimensions of time perspective on quality of social relation. Dimensions of Past-Positive and Future partially had significant effect on quality of social relation. Key words: time perspective, quality of social relation, Zimbardo Time Perspective Inventory Abstrak Salah satu pengalaman subyektif terpenting bagi manusia adalah waktu. Para eksistensialis menyatakan bahwa manusia adalah makhluk (being) yang ada dalam hubungannya dengan waktu dan tempat tertentu, serta makna tertentu. Waktu merupakan elemen dari eksistensi manusia, yang mendasari dan mengatur perilaku sosial individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perspektif waktu (time perspective) terhadap kualitas relasi sosial. Partisipan penelitian ini adalah 96 mahasiswa. Penelitian ini menggunakan skala Zimbardo Time Perspective Inventory dan Positive Relations with Others. Perspektif waktu meliputi lima dimensi, yaitu Past-Positive, Past-Negative, Present-Hedonistic, Present-Fatalistic dan Future. Analisis data menggunakan multiple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima dimensi perspektif waktu secara bersama-sama berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial. Secara parsial, dimensi PastPositive dan Future berpengaruh signifikan terhadap kualitas relasi sosial. Kata kunci: perspektif waktu, kualitas relasi sosial, Zimbardo Time Perspective Inventory
139
Pengaruh Perspektif Waktu (Time Perspective) Terhadap Kualitas Relasi Sosial
PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, dan kehidupan dalam kelompok dianggap sebagai salah satu mekanisme evolusioner dengan mana manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan berkembang (Caporael, 1997 dalam Taylor, Dickerson, & Klein, 2005). Kehidupan dalam kelompok sosial telah memungkinkan individu untuk menghindari efek negatif dari keterbatasan fisik manusia terhadap spesies lain yang lebih besar, memiliki “senjata” seperti gigi dan taring, dan tingkat mobilitas serta kecepatan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa relasi sosial merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia (Taylor,dkk,2005). Individu dikatakan memiliki kualitas relasi sosial yang positif jika mereka memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan penuh kepercayaan dengan orang lain; memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain; memiliki kemampuan empati, afeksi, dan keintiman yang kuat dengan orang lain; dan memiliki pemahaman tentang memberi dan menerima dalam hubungan antarmanusia. Individu dengan skor rendah dalam kualitas relasi sosial yang positif memiliki sedikit hubungan yang dekat dan sedikit rasa percaya terhadap orang lain; mengalami kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, dan memperhatikan orang lain; terisolasi (terasing) dan frustrasi dalam hubungan interpersonal; dan tidak bersedia membuat kompromi-kompromi untuk mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain (Ryff; 1989,1995). Penelitian di bidang psikologi telah menunjukkan manfaat kehidupan kelompok bagi manusia, yang antara lain meliputi manfaat kesehatan dari hubungan sosial dan dukungan sosial, terutama pada saat stres. Penelitian Seeman (1996 dalam Taylor, dkk, 2005) melaporkan bahwa individu yang memiliki tingkat kuantitas dan kualitas relasi sosial yang tinggi berada pada tingkat risiko kematian yang rendah. Uraian di atas menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan memiliki kualitas relasi sosial yang baik merupakan hal yang penting bagi kehidupan yang optimal (Ryff & Singer, 1998 dalam Taylor, dkk, 2005). Namun demikian, manusia tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan aspek sosial saja. Para filsuf dan psikolog eksistensial telah mendefinisikan manusia dalam berbagai aspek yang esensial bagi eksistensinya. Heidegger (1962) menyatakan bahwa eksistensi manusia ada dalam waktu. Rollo May (dalam Monte & Sollod, 2003) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk (being) yang ada dalam hubungannya dengan waktu, tempat, serta makna tertentu. Salah satu pengalaman subyektif terpenting bagi manusia adalah waktu. Waktu merupakan elemen dari eksistensi manusia, yang mendasari dan mengatur perilaku sosial individu (Boniwell & Zimbardo, 2004). Waktu begitu banyak meresapi dan mendefinisikan eksistensi individu, sehingga waktu dapat berkaitan dengan berbagai konstruk psikologis (Zimbardo & Boyd, 1999). Zimbardo, Keough, dan Boyd, (1997) mendefinisikan perspektif waktu sebagai “cara individu dan budaya membagi arus (flow) pengalaman manusia menjadi kategori temporal masa lampau, masa sekarang, dan masa depan yang terpisah”. Perspektif waktu dibagi atas lima dimensi atau faktor, yang meliputi Past-Positive, Past-Negative, Present-Hedonistic, Present-Fatalistic, dan Future (Zimbardo & Boyd, 1999). Terdapat sejumlah penelitian mengenai perspektif waktu dalam kaitannya dengan variabel-variabel psikologis tertentu. Zimbardo,dkk (1997) melaporkan hasil penelitian mereka bahwa Present Time Perspective merupakan prediktor perilaku mengemudi berisiko, penggunaan akohol, merokok, dan konsumsi zat psikoaktif secara ilegal. Penelitian lain menemukan adanya hubungan antara perspektif waktu dengan variabel-variabel sikap, nilai, dan status, seperti prestasi akademik, kesehatan, pola tidur, dan pemilihan pasangan (Boniwell & Zimbardo, 2004).
140
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 139–148
Meskipun proses yang berkaitan dengan waktu merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, namun ternyata psikologi hanya memberikan perhatian yang relatif sedikit dalam mengeksplorasi perspektif waktu secara sistematis (Boniwell & Zimbardo, 2004). Telah ada sejumlah upaya untuk meneliti hubungan antara perspektif waktu dan variabel-variabel psikologis tertentu, namun penelitian-penelitian tersebut sering berfokus pada satu dimensi waktu, seperti hanya dimensi masa kini (Present) atau masa depan (Future). Penelitian-penelitian awal tentang ketiga orientasi waktu juga menunjukkan hasil yang tidak konsisten (Carr, 1985 dalam Boniwell & Zimbardo, 2004). Belum banyak penelitian yang meneliti ketiga orientasi waktu tersebut secara bersamaan dan sebagian besar penelitian belum berhasil memberikan gambaran multidimensional dari perspektif waktu (Boniwell & Zimbardo, 2004). Penelitian-penelitian tentang perspektif waktu umumnya dilakukan dalam konteks budaya Barat. Penelitian tentang peran perspektif waktu pada budaya-budaya tertentu menunjukkan adanya pola tertentu. Cara hidup budaya Barat terutama merefleksikan orientasi berpikir ke masa depan, yang menjalankan nilai-nilai kapitalis (Boniwell & Zimbardo, 2004). Budaya Timur memiliki fokus yang lebih besar ke masa lampau (Snyder & Lopez, 2007), dan cenderung melihat self dan individu lain berada dalam hubungan harmonis yang saling tergantung satu sama lain (Kim, Triandis, Kagitcibasi, Choi, & Yoon, 1994; Markus & Kitayama, 1991 dalam Snyder & Lopez, 2007). Oleh karena itu, agar dapat memperoleh hasil penelitian yang komprehensif mengenai perspektif waktu dan adanya kemungkinan perbedaan budaya dalam konstruksi dan interpretasi perspektif waktu, maka penelitian ini ingin mengkaji pengaruh kelima dimensi perspektif waktu terhadap kualitas relasi sosial dalam konteks budaya Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Snyder dan Lopez (2007) yang menyatakan bahwa para pemikir psikologi positif di masa depan seharusnya tidak mengasumsikan bahwa teori-teori dan skala-skala yang didasarkan pada budaya Barat dapat diterjemahkan secara langsung pada budaya Timur. Lebih lanjut, Snyder dan Lopez (2007) juga menyatakan bahwa setiap teori dan pengukuran lintas budaya harus diuji sebelum membuat simpulan bahwa suatu penemuan dapat diterapkan secara universal. Kualitas Relasi Sosial Kualitas relasi sosial merupakan salah satu dari enam dimensi Psychological Well-Being yang dikemukakan oleh Ryff (1989, 1995), yaitu dimensi positive relation with others. Lima dimensi Psychological Well-Being lainnya meliputi self-acceptance, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Relasi sosial merupakan hal yang penting bagi individu, baik secara mental maupun fisik. Isolasi sosial diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih buruk. Individu yang memiliki lebih banyak tipe relasi sosial dan menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas sosial berada pada tingkat risiko lebih rendah terhadap penyakit dan kematian daripada individu yang terisolasi secara sosial (Berkman, Vaccarino, & Seeman, 1993Æbelum tercantum dalam Daftar Pustaka; Cohen, 1988; House, Landis, & Umberson, 1988; dalam Pressman, Cohen, Miller, Barkin, Rabin, Treanor, 2005). Perasaan kesepian diasosiasikan dengan kesehatan fisik yang buruk, status imunitas yang buruk, merokok, konsumsi alkohol, kebiasaan olah raga yang buruk, kebiasaan tidur yang buruk, dan insomnia (Fees, Martin, & Poon, 1999; Kiecolt-Glaser, Garner dkk., 1984; Berkman & Syme, 1979; Cohen dkk., 1997; dalam Pressman dkk., 2005). Menurut Yau dan Ho (1993), terdapat sejumlah prinsip yang mengarahkan tindakan sosial dalam budaya Timur, yaitu: (a) kepentingan kolektif atau kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan individu, (b) pemenuhan kewajiban sosial eksternal lebih diutamakan daripada pemenuhan kebutuhan
141
Pengaruh Perspektif Waktu (Time Perspective) Terhadap Kualitas Relasi Sosial
internal individu, dan (c) melindungi ketentraman sosial lebih diutamakan daripada ekspresi diri. Orientasi budaya Asia cenderung memusatkan perhatian pada pemenuhan kewajiban, sedangkan orientasi budaya Barat cenderung menganggap ekspresi diri dan pemenuhan kebutuhan individual sebagai hak yang harus dipertahankan terhadap pelanggaran oleh orang lain atau otoritas kolektif (Yau & Ho, 1993). Perspektif Waktu (Time Perspective) Perspektif waktu meliputi lima dimensi atau faktor, yaitu Past-Positive, Past-Negative, PresentHedonistic, dan Present-Fatalistic (Zimbardo dan Boyd, 1999). Past-Positive. Dimensi Past-Positive dicirikan oleh konstruksi positif, bersemangat, dan kerinduan terhadap masa lampau. Individu dengan perspektif waktu Past-Positive memiliki pandangan yang sehat terhadap kehidupan, tingkat kebahagiaan dan harga diri yang tinggi (Zimbardo & Boyd, 1999). Past Negative. Orientasi Past-Negative ditandai oleh pandangan yang negatif dan tidak menyukai masa lampau. Skor dimensi Past-Negative berkorelasi signifikan dengan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, rasa rendah diri, dan agresi (Zimbardo & Boyd, 1999). Present-Hedonistic. Individu dengan orientasi Present-Hedonistic dicirikan oleh orientasi terhadap kesenangan dan kenikmatan saat ini, tanpa mengorbankan hari ini untuk imbalan di masa depan (Zimbardo & Boyd, 1999). Mereka mencari sensasi baru dan menggairahkan, terbuka terhadap persahabatan dan petualangan seksual, dan bertindak dengan sedikit pertimbangan terhadap konsekuensi tindakan mereka, yang membuat mereka berisiko terhadap kecanduan, kecelakaan, serta kegagalan akademik dan karir (Boniwell & Zimbardo, 2004). Present-Fatalistic. Orientasi Present-Fatalistic mengungkapkan keyakinan bahwa masa depan telah ditakdirkan dan tidak dipengaruhi oleh tindakan-tindakan individu, sedangkan masa kini harus dijalani dengan kepasrahan (penerimaan) karena manusia ada di dalam kekuasaan takdir (Zimbardo & Boyd, 1999), serta diasosiasikan dengan keputusasaan dan keyakinan bahwa kekuatan-kekuatan dari luar mengontrol kehidupan individu (Boniwell & Zimbardo, 2004). Present-Fatalistic berkorelasi signifikan dengan agresi, kecemasan, dan depresi (Zimbardo & Boyd, 1999). Future. Dimensi Future dicirikan oleh perencanaan dan pencapaian tujuan masa depan (Zimbardo & Boyd, 1999). Mereka memperhatikan konsekuensi dari keputusan dan tindakan saat ini, bekerja bagi tujuan dan imbalan di masa depan, seringkali dengan mengorbankan kesenangan saat ini, menunda kepuasan, dan menghindari godaan untuk membuang-buang waktu (Boniwell & Zimbardo, 2004). Budaya Barat memiliki pandangan yang cenderung linier mengenai waktu dan menekankan orientasi ke masa depan. Misalnya dengan membuat rencana dan menempatkan nilai bagi waktu, seperti “waktu adalah uang” (Snyder & Lopez, 2007). Budaya Timur menghargai kekuatan dari “menoleh ke belakang” dan memahami kebijaksanaan orang-orang yang lebih tua. Selain itu, budaya Timur cenderung melihat self dan individu lain berada dalam hubungan harmonis yang saling tergantung satu sama lain (Kim, Triandis, Kagitcibasi, Choi, & Yoon, 1994; Markus & Kitayama, 1991 dalam Snyder & Lopez, 2007). Penekanan terhadap manusia tersebut tampaknya membuat budaya Timur cenderung kurang memberikan perhatian terhadap aspek waktu dibandingkan budaya Barat (Snyder & Lopez, 2007). Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perspektif waktu (PastPositive, Past-Negative, Present-Fatalistic, Present-Hedonistic, dan Future) terhadap kualitas relasi sosial.
142
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 139–148
Hipotesis. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh perspektif waktu (Past-Positive, Past-Negative, Present-Fatalistic, Present-Hedonistic, dan Future) terhadap kualitas relasi sosial.
METODE Partisipan. Partisipan penelitian ini adalah 96 mahasiswa (32 pria, 64 wanita). Usia partisipan berada pada rentang 18 sampai 41 tahun (M = 20.20, SD = 2.82). Desain. Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimen karena tidak dilakukan kontrol langsung atau tidak dilakukan manipulasi terhadap variabel bebas dan randomisasi. Variabel yang diteliti adalah kualitas relasi sosial dan perspektif waktu (time perspective). Prosedur. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling. Partisipan penelitian ditentukan secara aksidental, yaitu individu yang dijumpai oleh peneliti pada saat pengambilan data, memenuhi kriteria penelitian dan bersedia berpartisipasi sebagai partisipan. Alat ukur. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini Zimbardo Time Perspective Inventory (ZTPI) dan skala Positive Relation with Others. Zimbardo Time Perspective Inventory (ZTPI) digunakan untuk mengukur perspektif waktu. Terdapat lima faktor atau dimensi dalam perspektif waktu, yaitu: Past-Positive, Past-Negative, Present-Hedonistic, Present-Fatalistic, dan Future (Zimbardo & Boyd, 1999). Pada versi asli dari ZTPI terdapat 56 item, namun yang digunakan dalam analisis data penelitian ini sebanyak 41 item. 15 item tidak digunakan dalam analisis data karena korelasi item-total yang rendah. ZTPI berbentuk skala Likert yang terdiri dari enam pilihan jawaban, dengan rentang dari Sangat Tidak Benar sampai Sangat Benar. Koefisien alpha Cronbach berkisar dari 0.664-0.798. Contoh item skala ZTPI: “Berpikir tentang masa lalu membuat saya merasa senang” (Past Positive). Pengukuran kualitas relasi sosial pada penelitian ini menggunakan skala positive relation with others yang merupakan subskala dari dimensi dari Psychological Well-Being Scale (Ryff, 1989, 1995; Abbott, Ploubidis, Huppert, Kuh, & Croudace, 2010). Skala PWB terdiri dari enam subskala, yaitu selfacceptance, autonomy, environmental mastery, purpose in life, personal growth, dan positive relation with others. Untuk pengukuran kualitas relasi sosial, maka digunakan hanya subskala yang relevan dengan tujuan penelitian ini, yaitu subskala positive relation with others. Skala positive relation with others terdiri dari 7 item dalam bentuk skala Likert dengan enam pilihat jawaban, yang berkisar dari “Sangat Tidak Setuju” sampai “Sangat Setuju”. Koefisien alpha Cronbach untuk skala positive relation with others adalah 0.720 (M = 30.26, SD = 4.85). Contoh item: “Saya sering merasa kesepian karena saya hanya punya sedikit teman dekat dengan siapa saya berbagi kekuatiran”. Teknik Analisis. Penelitian ini menggunakan teknik multiple regression untuk mengetahui pengaruh perspektif waktu terhadap kualitas relasi sosial. Uji reliabilitas instrumen penelitian menggunakan alpha Cronbach. Analisis data menggunakan SPSS 13.0 for Windows.
ANALISIS & HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari perspektif waktu Past-Positive, Past-Negative, Present-Fatalistic, Present-Hedonistic, dan Future secara bersama-sama terhadap kualitas relasi sosial (F = 4.792, sig (p) = 0.001, p < 0.01). Sumbangan perspektif waktu Past-Positive, Past-Negative, Present-Fatalistic, Present-Hedonistic, dan Future terhadap kualitas
143
Pengaruh Perspektif Waktu (Time Perspective) Terhadap Kualitas Relasi Sosial
relasi sosial adalah sebesar 21% (R square = 0.210), sedangkan sisanya sebesar 79% dipengaruhi faktor lain. Secara parsial, perspektif waktu Past-Positive (t = 3.273, p < 0.01) dan Future (t = 2.670, p < 0.01) merupakan prediktor yang signifikan terhadap kualitas relasi sosial. Perspektif waktu PastPositive (Beta = 0.324) lebih berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial dibandingkan dengan Future (Beta = 0.261). Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Perspektif Waktu terhadap Kualitas Relasi Sosial Dimensi Time Perspective
t
Sig (p)
Beta
Past-Positive
3.273
0.002
0.324
Past-Negative
-1.329
0.187
-0.150
Present-Hedonistic
-1.278
0.205
-0.142
Present-Fatalistic
0.759
0.450
0.084
Future
2.670
0.009
0.261
DISKUSI Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif waktu Future dan Past-Positive berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Zimbardo dan Boyd (1999), bahwa individu yang berorientasi Past-Positive memiliki pandangan yang sehat terhadap kehidupan, dan dimensi Past-Positive berkorelasi positif dengan tingkat kebahagiaan, harga diri (self-esteem), dan keramahan (friendliness). Pandangan yang sehat terhadap kehidupan, harga diri yang positif serta keramahan tersebut membuat individu dengan perspektif waktu Past-Positive mampu bersikap hangat, mampu mempercayai orang lain, mampu berempati dan memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, yang membuat mereka mampu menjalin relasi sosial yang positif dengan orang lain. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa perspektif waktu Future berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial. Boniwell dan Zimbardo (2004) menyatakan bahwa individu dengan perspektif waktu masa depan (Future) dicirikan oleh perencanaan dan pencapaian tujuan masa depan, serta memperhatikan konsekuensi dari tindakan saat ini. Mereka bekerja bagi tujuan di masa depan, seringkali dengan mengorbankan kesenangan saat ini dan menghindari godaan untuk membuang-buang waktu. Individu dengan orientasi Future secara umum lebih sukses dalam pendidikan dan karir daripada individu dengan perspektif waktu lainnya. Namun orientasi terhadap masa depan yang berlebihan cenderung untuk mengurangi kebutuhan individu akan hubungan sosial, dan rasa keterlibatan dalam komunitas dan tradisi kultural (Boniwell & Zimbardo, 2004). Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa yang sebagian besar berasal dari kelas menengah dan hidup di Jakarta, sehingga mereka memiliki pola berpikir yang berorientasi kepada masa depan, yaitu keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan. Misalnya, lulus kuliah dengan hasil yang baik dan mendapat pekerjaan. Selain itu, status sebagai mahasiswa juga membuat mereka dapat memperoleh akses yang lebih mudah kepada informasi, misalnya internet, buku, dan film, sehingga mereka tidak asing dengan nilai-nilai budaya Barat, yang salah satunya menekankan orientasi ke masa depan.
144
Jurnal Psikologi Ulayat, Edisi I/Desember 2012, hlm. 139–148
SIMPULAN & SARAN Manusia merupakan mahkluk sosial, sehingga memiliki kualitas relasi sosial yang positif dengan orang lain merupakan hal yang penting bagi kehidupan yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima perspektif waktu (Past-Positive, Past-Negative, Present-Hedonistic, Present-Fatalistic, dan Future) secara bersama-sama berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial. Secara parsial, terdapat dua dimensi perspektif waktu yang berpengaruh terhadap kualitas relasi sosial, yaitu Past-Positive dan Future. Keterbatasan penelitian ini adalah dalam hal karakteristik partisipan yang relatif homogen dari segi pendidikan, usia, dan tingkat sosial ekonomi. Penelitian selanjutnya yang melibatkan partisipan dengan latar belakang sosial dan etnis yang lebih bervariasi akan memperkaya hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Abbott, R. A., Ploubidis, G. B., Huppert, F. A., Kuh, D., & Croudace, T. J. (2010). An evaluation of the precision of measurement of Ryff’s psychological well-being scales in a population sample. Social Indicators Research, 97, 357-373. Boniwell, I., & Zimbardo, P. G. (2004). Balancing time perspective in pursuit of optimal functioning. Dalam P. A. Linley, & S. Joseph. (Eds). Positive psychology in practice. New Jersey: John Wiley & Sons. Heidegger, M. (1962). Being and time. Oxford: Basil Blackwell Publisher, Inc. Monte, C. F., & Sollod, R. F. (2003). Beneath the mask. An introduction to theories of personality (7th ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc. Pressman, S. D., Cohen, S., Miller, G. E., Barkin, A., Rabin, B. S., Treanor, T. T. (2005). Loneliness, Social Network Size, and Immune Response to Influenza Vaccination in College Freshmen. Health Psychology, 24, 297–306. Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychologicalwell being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081. Ryff, C. D. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727. Snyder, C. R., & Lopez, S. L.(2007). Positive psychology. The scientific and practical explorations of human strength. California: Sage Publication, Inc. Taylor, S. E., Dickerson, S. S., & Klein, L. C. (2005). Toward a biology of social support. Dalam C. R. Snyder, & S. J. Lopez (Ed.). Handbook of positive psychology. Oxford: Oxford University Press. Yau, D., & Ho, F. (1993). Relational orientation in Asian social psychology. Dalam U. Kim, & J. W. Berry. Indigenous psychologies. Research and experience in cultural context. Vol. 17, Cross cultural research and methodology series. London: Sage Publications, 240-259. Zimbardo, P. G., Keough, K. A., & Boyd, J. N. (1997). Present time perspective as a predictor of risky driving. Personality and Individual Differences, 23, 1007-1023. Zimbardo, P. G., & Boyd, J. N. (1999). Putting time in perspective: A valid, reliable individualdifferences metric. Journal of Personality and Social Psychology, 77, 1271-1288.
145