Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Identifikasi Masalah
4
BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya Dalam Perspektif Hukum Intemasional
5
1. Konsep Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional a. Penggunaan Kekuatan Unilateral
6
b. Penggunaan Kekuatan Kolektif
12
2. Konsep Penentangan terhadap Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional
15
B. Rencana Serangan Amerika Serikat Ke Irak Dalam Perspektif Hukum Internasional 1. Isu Pemilikan Senjata Pemusnah Massal Irak
19
2. Isu Penggulingan Pemerintahan Saddam Husein
21
3. Isu Tentang Penguasaan Pasar Minyak Irak
23
C. Tidak Ada Justifikasi Hukum Internasional Bagi Rencana Serangan Amerika ke Irak
BAB III PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
i Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Perang yang akhir-akhir ini kembali terasa gaungnya bukanlah sesuatu yang baru
sebab usia perang itu sendiri sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian1). Perang bagaikan mesin yang mendorong tetjadinya berbagai pembantaian, pembunuhan dan bahkan penghancuran peradaban manusia. Ironisnya dampak perang yang mematikan itu seringkali tidak hanya diderita oleh pihak yang terlibat langsung, namun juga harus ditanggung oleh penduduk sipil yang tidak berdosa, bahkan mungkin akan menimpa mereka yang tidak mengerti kepentingan masalah yang dipertikaikan. Sebagai satu contoh dapat dikemukakan bahwa dalam Perang Dunia II lebih dari 220.000 penduduk tewas di kota Hirosima, Jepang, akibat serangan bom atom yang dilepaskan oleh Amerika Serikat2). Selain fakta diatas tentu masih banyak lagi korban sipil yang tewas akibat peperangan. Untuk mengantisipasi dampak perang yang semakin meluas3), maka timbul dorongan bagi komunitas intemasional untuk membuat suatu "aturan main" sehingga serangan demi serangan yang terjadi tidak dilakukan secara membabi buta hingga akhimya mengancam perlindungan hak asasi manusia4).
1)
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979,
hal. 9. 2) 3)
Republika, Jakarta, 3 Maret 2003, hal. 4.
Banyaknya jumlah korban sipil yang tewas dalam peperangan juga bisa dilihat dalam peperangan antara
Iran-Irak (1980-1988), perang Vietnam dan yang masih terus berlangsung hingga saat ini perang (pembantaian) Israel terhadap penduduk Palestina. 4)
Mengenai dampak perang ini, bandingkan dengan Teori Malthusian Law of Population dari Thomas
Robert Malthus (1766-1834), yang antara lain menyatakan bahwa peperangan merupakan salah satu unsur dari postive checks yang akan menyebabkan semakin berkurangnya penduduk dunia, sehingga hal ini akan menimbulkan dampak keseimbangan antara jumlah penduduk dunia dengan persediaan bahan pangan. Lebih lanjut mengenai Malthusian I.aw c f Population lihat : JPN Saragih,
1 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Dengan segala daya upaya telah dilakukan oleh komunitas internasional, khususnya oleh Palang Merah Internasional, akhirnya terciptalah Hukum Perang Internasional sebagaimana yang dituangkan dalam Konvensi Jenewa 1949 dimana didalamnya ditetapkan tentang perlunya pemberian perlindungan terhadap hak-hak manusia yang fundamental khususnya pada masa perang5). Begitupun Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa diinterpretasikan sebagai upaya legalisasi perang dalam Hukum Internasional sebab sebelumnya pada bulan Juni tahun 1945 (ketika itu dalam pertemuan di San Fransisco, Piagam PBB sudah diadopsi oleh 50 negara) telah disepakati bersama bahwa seluruh anggota PBB harus menyelesaikan sengketa internasional mereka melalui suatu cara yang tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional6). Bahkan secara lebih tegas Piagam PBB telah mengatur bahwa : "Tidak boleh ada ancaman atau penggunaan kekuatan yang akan digunakan untuk melawan integritas wilayah... "'). Berdasarkan hal diatas maka jelaslah bahwa Hukum Internasional lebih menghendaki penyelesaian sengketa antar negara melalui cara-cara damai sehingga penggunaan kekuatan bersenjata bisa dihindarkan, namun bila cara damai juga tidak menghasilkan kata sepakat dan negara yang bersengketa lebih memilih jalan perang, maka disinilah Konvensi Jenewa mengambil tempatnya. Dewasa ini ancaman terhadap bahaya perang telah semakin meluas dan mengerikan sebab berbagai jenis senjata pemusnah massal, seperti senjata nuklir, senjata biologi dan kimia, telah berhasil diciptakan oleh negara-negara diberbagai pelosok belahan dunia. Seiring dengan hal tersebut telah lahir berbagai Hukum Internasional yang mengatur larangan penggunaan senjata nuklir, biologi dan senjata kimia, namun hal tersebut belum menjamin berhentinya pengembangan senjata
S. Sitorus, Bunga Rampai Lingkungan Hidup, Percetakan Usaha nasional, Surabaya, 1982, hal. 107-108. 5)
Selanjutnya tentang Konvensi Jenewa lihat Mohd. Sanwani Nasntion, Hukum internasional (suatu
pengantar), Kel. Studi Hukum dan Masyarakat, hH USU, Medan, 1992, hal, 111-113. 6)
Vide Pasal 2 (3) UN Charter/Piagam PBB.
7)
Vide Pasal 2 (4) Piagam PBB.
2 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
pemusnah massal oleh negara-negara yang menguasai teknologinya, seperti : Rusia, Amerika Serikat, RRC, Korea Utara, India dan Pakistan8). Kenyataan diatas mengisyaratkan negara-negara didunia untuk lebih giat lagi dalam kerjasama internasional guna mengawasi pengembangan atau produksi senjata pemusnah massal. Negara-negara yang memiliki pengaruh kuat di mata internasional seperti Amerika Serikat, Rusia, Perancis, RRC dan Inggris sebenarnya cukup menyadari keadaan itu, namun sayangnya pengawasan bersama alas pengembangan senjata pemusnah massal yang mereka prakarsai tidak diikuti oleh komitmen yang kuat dan cenderung dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan mereka sendiri9). Fakta diatas dapat dilihat dengan jelas dalam krisis Irak-Amerika yang sedang mengemuka saat ini dimana Amerika dan sekutunya (Inggris dan Australia) terus bersikeras hendak menyerang Irak, dengan atau tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan PBB, dengan alasan adanya pengernbangan senjata pemusnah massal yang dilakukan oleh Irak, padahal dari awal Irak telah cukup kooperatif dalam mematuhi Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No. 1441 tanggal 8 November 200210). Di balik rencana serangan ke Irak itu Amerika sebenarnya memiliki kepentingan lain, yakni menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein dan menguasai ladang minyak Irak. Keinginan Amerika untuk menyerang Irak secara unilateral itu tentu saja mengundang protes keras dari berbagai negara. Beberapa 8)
Rusia sampai saat ini dikabarkan telah memiliki 28.240 rudal nuklir, Amerika dengan 12.070 rudal nuklir, Perancis sebanyak 510 rudal nuklir, Inggris 400 rudal nuklir, Cina 425 rudal nuklir, India dan Pakistan masing-masing dengan 250 dan 150 rudal nuklir. Menurut Willy Brandt, mantan Kanselir Jerman, dunia lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli atau mengembangkan senjata ketimbang mengembangkan produk sandang, pangan dan pagan. Saat ini jumlah senjata nuklir yang disimpan di dunia cukup untuk memusnahkan, jika ada, delapan planet bumi. Syaefuddin Simon, “Dibalik Krisis AS-Korut”, Republika, Jakarta, 26 Februari 2003, hal.5. 9) Pasca runtuhnya Uni Soviet tahun 1989, era perang dingin seakan-akan telah berlalu. Namun dunia terkejut ketika Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin bertemu dengan Presiden Republik Rakyat Cina, Jiang Zemin di Beijing tahun lalu dimana keduanya mengecam kebijakan Presiden George Walker Bush yang berniat hendak mengembangkan senjata penangkis misil strategis untuk melindungi Amerika dan Eropa dari serangan lawan. Vladimir Putin mengancam, jika Amerika tetap meneruskan rencananya itu, maka itu berarti perang dingin akan dimulai lagi. Ibid. 10 ) Duta Besar Irak di PBB, Mohammed al-Douri menyatakan bahwa: “Irak menerima Resolusi DK PBB tanpa syarat dan secara terang-terangan”. Lebih lanjut mengenai kerelaan lrak untuk menerima Resolusi DK PBB No. 1441 tersebut lihat : Republika, Jakarta, 15 November 2002, hal. 6.
3 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
negara seperti Rusia, RRC dan Perancis telah dengan tegas menolak rencana invasi tersebut, demikian halnya mayoritas negara-negara berkembang yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok yang mendeklarasikan penolakan perang Irak, ditambah seruan penyelesaian secara damai krisis Irak oleh KTT ke XV Liga Arab. Jika Amerika Serikat dan sekutunya benar-benar mewujudkan niatnya untuk menyerang Irak sekalipun tanpa persetujuan dari Security Council (DK PBB), maka ini berarti telah terjadi pelanggaran secara terang-terangan terhadap Hukum Internasional yang berlaku.
Dalam
kaitan
ini
berbagai
kalangan
(masyarakat
intemasional)
telah
memperingatkan Amerika untuk tetap menghormati hukum internasional dalam penyelesaian krisis Irak, namun seringkali peringatan tersebut dilakukan tanpa memerinci lebih jauh tentang hukum internasional apa yang akan dilanggar oleh Amerika bila menyerang Irak tanpa persetujuan dari DK PBB.
B.
Identifikasi Masalah Sehubungan dengan hal tersebut di atas, uraian berikut akan mencoba untuk
menginventansir dan mengidentifikasi secara singkat norma-norma dalam hukum internasional tentang penggunaan kekuatan bersenjata (perang), serta norma-norma hukum internasional yang menentang perang. Selanjutnya hasil dari inventarisasi itu akan digunakan untuk menganalisa dan membahas rencana invasi Amerika ke Irak. Dengan demikian pada akhimya akan diketahui norma-norma hukum internasional apa saja yang akan dilanggar Amerika bila menyerang Irak tanpa persetujuan DK PBB.
4 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
BAB II PEMBAHASAN
A.
Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya Dalam
Perspektif Hukum Internasional Negara-negara di dunia seringkali menggunakan kekuatan bersenjata (perang) untuk menentang negara lain, namun adalah suatu kekeliruan apabila kenyataan ini dijadikan sebagai bukti dari kegagalan hukum internasional. Salah satu tugas hukum ketika dihadapkan pada kenyataan di atas adalah mengatur penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Pengaturan atas penggunaan kekuatan itu bisa dilakukan dalam dua jalan, yakni : 1). Menetapkan suatu kewajiban pokok bagi negara-negara untuk tidak menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan sengketa mereka. 2). Memberi suatu prosedur dimana masyarakat internasional itu sendiri diizinkan untuk menggunakan kekuatan”). (garis bawah oleh penulis). Cara yang disebut pertama di atas bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok Hukum Menentang Perang atau dikenal dengan The Law Against War, sedang cara yang terakhir dikenal sebagai konsep “penggunaan kekuatan unilateral” atau aturan “penggunaan kekuatan kolektif”. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas lagi maka konsep di atas dapat dibuat dalam bentuk skema sebagaimana berikut :
iii Martin Dixon, Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, Second Edition, Blackstone Press Limited, London, 1995, hal 559.
5 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Skema 1. Pengaturan Hukum Internasional Atas Penggunaan Kekuatan
Selanjutnya uraian dibawah ini akan membahas ke dua jalan penggunaan kekuatan di atas secara satu persatu.
1. Konsep Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional a. Penggunaan Kekuatan Unilateral Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan kekuatan bisa dibedakan atas “penggunaan kekuatan unilateral” dan “penggunaan kekuatan kolektif”. Penggunaan kekuatan unilateral terjadi bilamana penggunaan kekuatan tersebut dilakukan tanpa memperoleh kewenangan dari suatu organisasi internasional yang kompeten, seperti Dewan Keamanan PBB12), oleh karena itu penggunaan kekuatan ini bisa saja diganti atau ditangguhkan oleh keamanan kolektif. Begitupun tindakan unilateral ini mungkin saja pada saat bersamaan mendapat kewenangan dari suatu organisasi yang berkompeten. Sebagai contoh dari tindakan unilateral tersebut antara lain adalah : invasi Vietnam terhadap Kamboja (1978-1979), invasi Rusia terhadap Afganistan (1980) dan invasi Amerika serikat atas Panama (1989). Penggunaan kekuatan yang memiliki
12)
Ibid
6 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
kedua elemen di atas (unilateral dan kolektif) dapat dilihat dalam kasus invasi yang dilakukan oleh Irak terhadap Kuwait pada tahun 1990 yang menimbulkan respons dari masyarakat internasional13). Secara umum penggunaan kekuatan unilateral tidak dibenarkan oleh Piagam PBB. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam pasal 1 (1) dan pasal 2 (3) dan (4) dari Piagam PBB. Pasal 1 (1) antara lain menyatakan bahwa : “To maintain international peace and security, and to that end : to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means...”. (garis bawah oleh penulis). Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa Piagam PBB menghendaki penggunaan langkah-langkah bersama (kolektif) dalam mencegah dan menghapus berbagai ancaman terhadap perdamaian, menekan agresi-agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya dan untuk membawa tujuan-tujuan yang penuh perdamaian. Sedang pasal 2 (3) mengatur bahwa : “All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice are not endangered...”. Secara lebih khusus pasal 2 (4) menegaskan bahwa : “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations...”. Begitupun dari sisi lain Piagam PBB tersebut sebenarnya secara tidak langsung juga mengakui bahwa penggunaan kekuatan bersenjata (perang) adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihapuskan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil untuk dihapuskan. Hal ini bisa diketahui dari Preambule Piagam PBB yang antara
13)
Ibid., hal. 560.
7 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
lain menyatakan bahwa : “... armed force is not used except in the common interest or in self-defence..”. Sehubungan dengan kenyataan diatas, maka ada beberapa pengecualian yang dapat diberikan dalam larangan penggunaan kekuatan tersebut, yakni dalam hal-hal sebagaimana berikut : 1). Mempertahankan Diri Secara Individual (Individual Self-Defence). Dasar hukum bagi tindakan unilateral dengan rnaksud mempertahankan diri secara individu adalah mengacu pada ketentuan pasal 51 Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa : “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective set defence if” an armed attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security...”. Selain ketentuan di atas, hak untuk mempertahankan diri ini juga telah melekat dan diakui dalam kebiasaan intemasional. Dalam prakteknya isu ini menemui beberapa kendala, diantaranya yang terlihat dalam kasus Falkland Island, yakni pulau Inggris yang diinvasi oleh Argentina. Disini Inggris tentu memiliki hak untuk mempertahankan kepulauannya, namun DK PBB telah memanggil kedua negara untuk mencari solusi atas masalah pulau tersebut. Akibatnya penerapan hak mempertahankan diri yang dimiliki oleh lnggris sesuai pasal 51 tersebut menjadi tertunda. Mrs Margareth Thatcher dan Pemerintah Inggris tentu saja tidak menerima hat ini dan menyatakan bahwa pasal 51 tidak akan berlaku hanya bila DK PBB telah mengarnbil tindakan yang efektif, yaitu menghentikan agresi, sementara kenyataannya Resolusi No.502 jelas jelas tidak dijalankan14). 2). Mempertahankan Diri Secara Kolektif (Collective self Defence). Sebagaimana halnya dengan konsep pertahananan diri individual seperti diatas, pertahanan diri kolektif juga mengacu pada ketentuan pasal 51 Piagam PBB 14)
Keberatan yang sama juga diajukan Web Amerika dan Inggris dalam kasus invasi Kuwait oleh Irak
dimana mereka menuntut hak mempertahankan diri kolektif (Collective Self-Defence). Lebih jauh mengenai tuntutan Amerika dan Inggris tersebut, lihat : Steven Wheatley, International Law, Blackstone Press Limited, London, 1996, hat. 155.
8 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
tersebut. Pertahanan kolektif ini disertai oleh beberapa syarat, antara lain hanya dilakukan atas suatu permohonan dari negara yang menjadi korban serangan bersenjata dan negara yang menjadi korban serangan tersebut harus menyatakan sendiri bahwa negaranya telah diserang. 3). Hak untuk Melindungi Bangsa-bangsa (The Right to Protect Nationals). Hak ini banyak ditentang karena dianggap bisa mencampuri urusan internal suatu negara dari bangsa yang dilindungi, padahal pasal 2 (4) Piagarn PBB jelas melarang hal ini. Untuk itu hak ini hanya dapat dibenarkan dengan dua dasar, yakni apakah sebagai suatu aspek dari pertahanan diri sehingga serangan terhadap bangsa-bangsa bisa disamakan dengan serangan terhadap negara itu sendiri, atau sebagai suatu right exempt dari pasal 2 (4). 4). Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention). Ada dua ketentuan dari Piagam PBB yang akan dipertanyakan bilamana cara ini diterapkan, yaitu : pasal 2 (4) dan (7) yang mencegah intervensi PBB dalam urusan domestik suatu negara. Namun tidak adanya perangkat internasional yang efektif untuk melindungi hak asasi manusia telah menjadi celah bagi isu ini. 5). Intervensi atas Undangan (Intervention by Invitation). Pengaruh dari Hukum Kebiasaan Internasional yang baru ini adalah untuk merevolusi hukum tradisional, dimana dinyatakan bahwa suatu negara boleh mengintervensi negara lain guna membantu pemerintah negara tersebut untuk menekan pemberontakan, kecuali dinyatakan sebagai Belligerency15). Disamping itu intervensi ini dilakukan dalam konteks perang sipil. Secara keseluruhan intervensi ini telah menghasilkan hukum modern. 6). Balasan (Reprisals). Meskipun dalam praktek isu ini telah banyak dilakukan, namun kenyataannya dalam Piagam PBB sendiri kata "reprisals " atau "retaliation " (pembalasan) 15)
Belligerency adalah status negara-negara yang secra legal berperang atau dalam keadaan kontak senjata.
Negara koloni tidak terkena status Belligerency sebab hanya negara yang berdaulat penuh saja yang dapat memiliki status ini. Lihat : IRM Ranuhandoko, Terminologi Hukum : Inggris-Indonesia", Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 89.
9 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
tidak ditemukan. Proposisi ini secara umum diarahkan oleh para penulis dan oleh DK PBB sebagai logika dan kebutuhan yang berasal dari larangan penggunaan kekuatan yang diatur dalam pasal 2 (4), perintah untuk menyelesaikan sengketa secara damai dalam pasal 2 (3) dan batasan kekuatan yang dizinkan bagi negara untuk mempertahankan diri. Dalam beberapa hal “pembalasan” ini hampir sama dengan “pertahanan diri”, perbedaannya secra esensial terletak pada maksud dan tujuan dari keduanya. “Pertahanan diri” dibenarkan untuk tujuan melindungi negara dan untuk melindungi hak-hak pokok, khususnya hak alas keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik. Sebaliknya “pembalasan” cenderung bersifat menghukum dimana upaya pemulihan dilakukan dengan jalan merusak atau dengan memaksa suatu penyelesatan sengketa yang memuaskan yang justru diciptakan melalui tindakan-tindakan illegal16) 7). Penentuan Sendiri (Self Determination). Hak atas gerakan-gerakan kemerdekaan nasional untuk mencapai keadaan menentukan (nasib) sendiri dan hak dari negara lain untuk membantu mereka alas dasar tujuan tersebut, sangatlah kontroversial. Jika diizinkan maka kedua hak itu akan benar-benar mengikis larangan penggunaan kekuatan. Dengan alasan seperti diatas, beberapa negara (mayoritas baru Majelis Umum PBB yakni negara-negara berkembang) menolak isu ini. Dari berbagai pengecualian atas larangan penggunaan kekuatan unilateral diatas, dapat dilihat bahwa secara yuridis normatif Piagam PBB hanya mengakui penggunaan kekuatan unilateral dengan tujuan untuk mempertahankan diri (self defence) baik yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif 16)
Legalitas dari serangan bom-bom atom oleh Amenka Serikat terhadap HIrosima dan Nagasaki (Jepang) patut untuk dipertanyakan. Serangan itu secara berbeda-beda telah dibenarkan sebagai suatu "pembalasan", meskipun ternyata korban yang ditimbulkannya jauh melebihi proporsi korban yang disebabkan oleh pemboman udara tunggal yang illegal yang dilakukan oleh negara-negara poros. Sebagai cara untuk mengakhiri perang dengan cepat dan dengan itu akan menyelamatkan sejumlah besar nyawa manusia baik dipihak sekutu maupun dipihak musuh dapat disamakan dengan nilai dari Doktrin Keperluan Militer. Tidak ada alasan apapun dari tindakan balasan Amerika itu yang memuaskan dilihat dari segi hukum. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Bdisi kesepuluh, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 726.
10 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Penggunaan kekuatan unilateral dengan tujuan-tujuan lain seperti di atas, tidak lebih dari interpretasi-interpretasi yang berkembang di seputar ketentuan tentang self-defence, atau interpretasi-interpretasi yang mengacu pada kecenderungan dan perkembangan dalam praktek.
b. Penggunaan Kekuatan Kolektif Penggunaan kekuatan kolektif ini bertolak belakang dengan penggunaan kekuatan unilateral seperti dimaksud di atas. Penggunaan kekuatan ini terjadi bilamana penggunaan kekuatan (langkah-langkah memaksa lainnya) dilakukan dibawah kewenangan dari organisasi internasional yang kompeten yang biasanya juga bertujuan untuk mengangkat tujuan-tujuan dari komunitas tersebut. Oleh karena itu penggunaan kekuatan kolektif akan senantiasa mengacu pada rekomendasi-rekomendasi dari organisasi-organisasi internasional yang kompeten seperti : 1). Dewan Keamanan (The Security Council). Dasar hukum bagi kewenangan DK dapat dilihat pada Bab VI pasal 33 sampai 36 dan Bab VII (“Tindakan yang Terkait dengan Ancaman-ancaman Terhadap Perdamaian, Pelanggaran-pelanggaran Perdamaian dan Tindakan-tindakan Agresi”) pada pasal 39 sampai 43. Kewenangan DK menurut Bab VI adalah : - Memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya (pasal 33), - Menyelidiki sengketa tersebut (pasal 34). . - Membuat rekomendasi-rekomendasi yang tidak mengikat untuk mengakhiri sengketa (pasal 36). - Menyerahkan sengketa hukum kepada International Court of Justice (pasal 36 (3 )) Sedangkan menurut Bab VII DK memiliki kewenangan : - Menentukan adanya ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian, atau atas adanya agresi dan membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan
11 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
langkah-langkah apa yang akan diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42 untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan (pasal 39). -
Meminta para pihak yang terkait untuk mematuhi ketetapan langkah-langkah yang diperlukan atau yang diinginkan (pasal 40).
-
Menentukan langkah mana yang tidak melibatkan penggunaan pasukan bersenjata (pasal 41).
-
Mempertimbangkan bilamana langkah-langkah yang diatur dalam pasal 41 tidak cukup atau terbukti tidak cukup, maka DK boleh bertindak dengan kekuatan di laut, darat dan udara demi memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan ini termasuk demontrasi, blokade dan operasi-operasi lainnya di darat, laut dan udara oleh kekuatan anggota-anggota PBB (pasal 42).
-
Memperoleh dukungan dari seluruh anggota PBB antara lain berupa pasukan bersenjata, pelatihan dan fasilitas-fasilitas termasuk hak untuk melintas (pasal 43 ).
2). Majelis Umum (The General Assembly). Kegagalan dari DK PBB untuk menegakkan langkah-langkah yang efektif dalam tahun 1945-1990 telah mendorong beberapa negara untuk mencari metode alternatif guna menggembleng komunitas internasional melawan negara-negara yang jahat. Resolusi Majelis Umum merupakan manifestasi atas keprihatinan-keprihatinan tersebut. Begitupun, vitalitas dari DK telah mengakibatkan isu ini banyak diperdebatkan. 3). Organisasi-organisasi regional (Regional Organisations). Dasar hukum bagi kewenangan dari organisasi-organisasi regional ini bisa dilihat dalam pasal 52 sampai 54. Pasal 52 yang menyatakan: “Nothing in the present Charter precludes the existence of regional arrangements or agencies for dealing with such matters relating to the maintenance of international peace and security..”.
12 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
2. Konsep Penentangan terhadap Penggunaan Kekuatan Dalam Perspektif Hukum Internasional
Secara historis, jauh sebelum Hukum Internasional berkembang seperti sekarang ini, ternyata konsep menentang perang sudah sejak awal ditentukan oleh Hukum Intemasional. Hal ini bisa dilihat dari : 1. Perjanjian Westphalia tahun 1648 yang mengantarkan Hukum Internasional ke dalam era modern, membangun gagasan atas kedaulatan negara yang tidak terkekang oleh kekuatan-kekuatan luar17) 2. Convenant LBB 1919 telah berupaya untuk mendorong pembatasan-pembatasan prosedur atas kemampuan negara-negara untuk berperang, seperti: -
Negara-negara disyaratkan untuk menyelesaikan sengketa pada arbitrase
-
Penyelesaian melalui pengadilan
-
Untuk ditinjau oleh Dewan LBB
-
Menunggu 3 bulan setelah penyerahan atau keputusan
-
Menyetujui untuk tidak berperang dengan mematuhi keputusan atau laporan. Selanjutnya Hukum Intemasional bergerak ke arah suatu penolakan atas hak
negara-negara untuk menggunakan perang sebagai suatu instrumen dari kebijakan nasional dalam praktek hubungan internasional, yakni seperti yang dimuat dalam General Treaty for The Renunciation of War 1929, yang juga dikenal sebagai Pact of Paris atau Kellogg Briand Pact, walaupun kemudian upaya-upaya komunitas intemasional untuk melepaskan dunia dari peperangan terlihat gagal dengan meletusnya Perang Dunia II. Untuk itu Perancang Piagam PBB memutuskan larangan mutlak bagi seluruh penggunaan kekuatan militer
oleh
negara
secara individu kecuali dalam hal
mempertahankan diri. Langkah-langkah penggunaan perang hanya dapat diambil di 17)
Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi dan ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia,
raja-raja di Benua Eropa mengklaim kedaulatan negara mereka. Sebagai konsekuensi hubungan antar negara tidak dapat lagi dilakukan berdasarkan hukum administrasi negara melainkan hukum antar negara yang saat ini dikenal sebagai Hukum Internasional. Lihat : J.H Verjil, International Law in Historical Perspective, Leyden, Sijthoff, 1968.
13 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
bawah DK dan oleh badan-bandan regional dimana Dewan Keamanan bisa mendelegasikan kekuasaannya. Adapun larangan penggunaan kekuatan (perang) dalam Piagam PBB antara lain diatur dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Pasal 1. Tujuan dari Piagam PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan dengan itu mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk mencegah dan menghapuskan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan aksi-aksi agresi atau pelanggaran-pelanggaran lain terhadap perdamaian, dan untuk membawa tujuan-tujuan damai, dan menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa-sengketa internasional atau keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya suatu pelanggaran terhadap perdamaian. Berdasarkan ketentuan pasal 1 di atas dapat dilihat bahwa piagam PBB menekankan langkah-langkah kolektif dalam penggunaan kekuatan dimana hal tersebut diambil hanya dalam rangka untuk mencegah dan menghapuskan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, menekan aksi-aksi agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya. 2. Pasal 2 “Seluruh anggota harus menyelesaikan sengketa internasional mereka dengan maksud-maksud damai, dalam suatu cara yang tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan.” (ayat 3). “Seluruh anggota harus membatasi diri mereka dalam hubungan internasional, dari ancaman atau penggunaan kekuatan menentang keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik dari negara manapun, atau dengan cara-cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.” (ayat 4). Secara umum pasal 2 (4) tersebut dianggap sebagai suatu aturan jus cogens yang melarang seluruh kegiatan agresi militer, namun ketentuan ini mendapat pengecualian dalam hal-hal sebagai berikut : hak untuk mempertahankan diri (pasal
14 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
51), penggunaan kekuatan sebagai tindakan yang diizinkan DK (Bab VIII), penggunaan kekuatan sebagai tindakan oleh Badan-badan regional (Bab VIII). Dalam prakteknya, ketentuan pasal 2 (4) telah diclaimed oleh beberapa negara agar memperluas pengecualiannya untuk hal-hal berikut : 1. Intervensi dari super power untuk menentukan/memilih kembali regime yang bersahabat/ramah. 2. Misi penyelamatan. 3. Balasan. 4. Penggunaan kekuatan utnuk perang sipil. 5. Intervensi kemanusiaan. (Bandingkan dengan pengecualian atas penggunaan kekuatan unilateral yang telah diuraikan sebelumnya). Pengecualian-pengecualian di atas ternyata terbukti hanya dipergunakan sebagai justifikasi negara-negara maju dalam melakukan intervensinya ke negara lain. Malahan pengecualian-pengecualian tentang penggunaan kekuatan secara universal tersebut telah menimbulkan kecaman.18) Padahal Pasal 2 (7) Piagam PBB telah menetapkan prinsipnya, yakni: “... mencegah intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang secara esensial berada dalam , jurisdiksi domestik tiap negara, kecuali untuk menerapkan langkah-langkah penegakan di bawah Bab VII ...” Bentuk yang paling serius dari penggunaan kekuatan di bawah hukum internasional adalah “aksi agresi". Secara definitif agresi telah ditetapkan oleh Majelis Umum PBB sebagai invasi/serangan oleh kekuatan bersenjata dari suatu negara yang ditujukan pada wilayah negara lain atau oleh adanya pendudukan militer meskipun bersifat sementara; pengeboman; blokade pelabuhan, yang dilakukan terhadap negara-negara pantai; atau dengan mengirim suatu gerombolan bersenjata untuk mengadakan aksi-aksi kekuatan bersenjata guna melawan negara lain.”
Steven Wheatley, Op.cit. hal 158.
15 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Untuk itu Majelis Umum mengeluarkan Resolusi No. 3314/74 yang menetapkan bahwa perbuatan agresi merupakan suatu kejahatan yang menentang perdamaian dengan mana timbul tanggung jawab di bawah hukum internasional. Dalam kaitan ini PBB sebelumnya telah menegaskan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara sehingga membuat tidak syah upaya kekuatan apapun yang dilakukan oleh suatu negara untuk merubah urusan internal negara lain. (Deklarasi Majelis Umum PNN 1965 tentang intervensi yang tidak dapat diterima dalam Hubungan domestik negara-negara, Resolusi 2131/XX). Selain norma-norma hukum internasional seperti tersebut di atas, masih banyak norma-norma hukum internasional yang. mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai dan menentang penggunaan kekuatan, antara lain : -
Deklarasi dari prinsip dan Hukum Internasional 1970 tentang larangan penggunaan kekuatan ekonomi (embargo ekonomi), yakni : merupakan kewajiban setiap negara untuk menahan diri atas aksi mereka dalam penggunaan kekuatan militer, politik, ekonomi maupun bentuk-bentuk paksaan lainnya.
-
International Court of Justice telah memutuskan bahwa upaya kekerasan apapun yang dilakukan oleh suatu negara untuk merubah kebijakan-kebijakan internal/eksternal dari negara lain dapat menjadi suatu pelanggaran Hukum Internasional. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa komunitas internasional menginginkan
terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, untuk itu segala bentuk penggunaan kekuatan harus dihindarkan dan ditanggulangi. Sarana yang digunakan untuk menampung dan merealisir keinginan komunitas internasional tersebut dimanifestasikan oleh berbagai norma Hukum Internasional antara lain sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
16 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
B.
Rencana Serangan Amerika Serikat Ke Irak Dalam Perspektif Hukum Internasional Isu sentral yang dikemukakan oleh Amerika Serikat di mata internasional guna
merealisir tujuannya untuk menyerang Irak adalah dengan membuat tuduhan bahwa Irak memiliki sejumlah senjata pemusnah massal (nuklir, biologi dan kimia) yang dikuatirkan akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Belakangan semakin terungkap bahwa sebenarnya ada dua isu pokok lain yang dapat dianggap sebagai dorongan kuat bagi Amerika untuk menginvasi Irak dengan ataupun tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Kedua isu yang dikemas rapi dibalik isu sentral seperti tersebut di atas adalah keinginan Amerika untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dan nafsu untuk menguasai pasar minyak Irak. Uraian berikut ini akan membahas kemungkinan ketiga isu itu dalam perspektif Hukum Intemasional.
1. Isu Pemilikan Senjata Pemusnah Massal Irak Isu ini semakin hari semakin tidak relevan mengingat kenyataan bahwa Tim Inspeksi Senjata Pemusnah Massal PBB yang diketuai oleh Hans Blix hingga kini belum memiliki bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (kecuali mungkin Al Samoud yang sudah dimusnahkan Irak atas rekomendasi Tim Inspeksi Senjata PBB). Irak memang pernah memiliki senjata pemusnah massal, namun menurut Der Spiegel, pasokan bahan senjata tersebut didapat Irak secara legal justru dengan mengantongi 711 lisensi dari Departemen Perdagangan Amerika sendiri.l8) Di samping itu transaksi atas bahan pembuat senjata tersebut telah terjadi sejak Gulf War I atau Perang Teluk I (Irak-Iran, 1980-an) sehingga mustahil bila Irak masih menyimpannya selama lebih dari dua dasawarsa, lagipula dalam Perang Teluk II (1990) Irak telah diserang habis-habisan oleh Amerika. Lebih jauh lagi bahwa embargo perdagangan yang dipelopori Amerika terhadap Irak selama kurun waktu 18)
Sunarsip, “Minyak di Balik Krisis lrak”, Republika, Jakarta, 13 Maret 2003. hal 5.
17 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
belasan tahun terakhir ini praktis telah memberatkan kemampuan finansial Irak, belum lagi penetapan zona larangan terbang yang menghambat arus akses Irak dari dan ke dunia luar.19) Dengan fakta-fakta di atas, Amerika sebenarnya tidak memiliki hak apapun untuk meneruskan niatnya menyerang Irak kecuali Dewan Keamanan menyetujuinya. Bila pemerintahan Bush tetap bersikeras juga atas kebijakannya itu, maka berarti telah terjadi berbagai pelanggaran atas Hukum Internasional secara terang-terangan, tepat di depan mata masyarakat internasional. Pada point ini norma-norma hukum internasional yang akan dilanggar oleh Amerika bila benar-benar menyerang Irak tanpa persetujuan DK PBB adalah : 1. Pasal 1 (1) Piagam PBB. Dengan menyerang Irak maka Amerika telah mengkhianati cita-cita luhur dari PBB untuk : “... menggunakan langkah-langkah kolektif dalam mencegah dan menghapuskan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, untuk menekan aksi-aksi agresi atau pelanggaran-pelanggaran lain terhadap perdamaian dan untuk membawa tujuan-tujuan damai.” 2. Pasal 2 (4) Piagam PBB. Pelanggaran terhadap kewajiban yang diberikan oleh pasal ini untuk “... membatasi diri mereka dalam hubungan internasional dari ancaman atau penggunaan kekuatan..” 3. Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314/1974. Resolusi ini menetapkan bahwa “Tindakan agresi merupakan suatu kejahatan yang menentang perdamaian dengan mana akan timbul tanggung jawab di bawah hukum internasional.” 4. Deklarasi prinsip-prinsip Hukum internasional, 1970.
19)
Enna Nurhaina Burhan, “Lain Irak Lain Israel Dalam Konflik Timteng”, Waspada, 28 Februari 2003.
18 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Di sini dinyatakan bahwa : “Merupakan kewajiban tiap negara untuk menahan diri atas aksi mereka dalam penggunaan kekuatan militer, politik, ekonomi, maupun bentuk-bentuk paksaan lainnya.” Dari norma-norma hukum internasional tersebut di atas, terlihat bahwa serangan Amerika ke Irak berarti pengingkaran terhadap kesepakatan internasional tentang penggunaan larrgkah-langkah kolektif dalam menangani masalah-masalah yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, sekaligus sebagai bukti ketidakmampuan Amerika dalam membatasi diri mereka dari penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan demi kepentingannya semata-mata. Aksi penyerangan terhadap Irak berarti aksi agresi yang kelak harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.
2. Isu Penggulingan Pemerintahan Saddam Husein Isu lain dibalik rencana Amerika untuk menyerang Irak adalah keinginan Amerika untuk mengganti pemerintahan Saddam Hussein dengan “pemerintahan boneka” seperti yang berhasil mereka ciptakan di Afganistan beberapa waktu lalu. Keinginan Amerika itu jelas menggambarkan betapa mereka tidak lebih dari negara imperialis belaka yang senang melakukan intervensi atau dominasi politik di negara lain, termasuk melakukan penetrasi budaya kedalamnya. Suka tidak suka, pemerintahan Saddam Hussein adalah pemerintahan yang berdaulat di Irak. Oleh karena itu tidak ada pihak manapun, bahkan PBB sekalipun yang berwenang untuk mencampuri itu (pasal 2 (7) Piagam PBB). Justifikasi yang mungkin akan digunakan oleh Amerika atas keinginannya untuk mengganti pemerintahan Saddam adalah dengan menggunakan salah satu pengecualian pasal 2 (4) Piagam PBB, yakni : “intervensi negara superpower” untuk menetapkan regime yang bersahabat. Dasar justifikasi hukum ini pernah digunakan oleh Uni Soviet dan Amerika, antara lain : intervensi Amerika atas Republik Dominika (1965), Grenada (1983), Panama (1989) dan yang terakhir adalah intervensi Amerika untuk mengganti rezim Taliban di Afganistan.
19 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Argumentasi yang diajukan oleh Amerika terhadap intervensi ini adalah kepedulian negara superpower atas masalah-masalah demokrasi, Hak Azasi Manusia, Tatanan Internal, Perlindungan Bangsa-bangsa Asing dan lain-lain. Justifikasi yang digunakan Amerika di atas ternyata tidak diterima sebagai suatu aturan kebiasaan internasional, malah intervensi semacam itu secara universal telah banyak ditolak. Piagam PBB sendiri sebenarnya tidak mengatur “intrevensi super power” itu. “Intervensi super power” tersebut tidak lain berasal dari interpretasi yang sempit atas pasal 2 (4) Piagam PBB. Dalam Piagam PBB larangan penggunaan kekuatan (pasal 2 (4))hanya memperoleh pengecualian atas hal-hal berikut: hak menentukan nasib sendiri (pasal 51), aksi-aksi yang dibenarkan oleh DK PBB (Bab VII) atau aksi-aksi yang dilakukan oleh badan-badan regional (Bab VII). Oleh karena itu “intervensi super power” yang mungkin akan dipergunakan kembali oleh Amerika itu adalah illegal menurut hukum internasional. Norma-norma hukum internasional lain yang menentang intervensi urusan politik dalam negeri suatu negara (sebagaimana yang hendak dilakukan oleh Amerika terhadap Irak) adalah : 1. Pasal 2 (4) Piagam PBB: “Seluruh Anggota harus membatasi diri mereka, dalam hubungan internasional dari ancaman atau penggunaan kekuatan menentang keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik dari negara manapun ....”. 2. Pasal 2 (7) Piagam PBB: “... mencegah intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang secara esensial berada dalam jurisdiksi domestik tiap-tiap negara, kecuali untuk menerapkan langkah-langkah penegakan dibawah Bab VII”. Ketentuan ini menegaskan kedaulatan internal negara dimana badan internasional yang sekompeten PBB sekalipun tidak berhak mencampuri urusan internal suatu negara, apalagi campur tangan yang dilakukan oleh satu negara seperti Amerika. 3. Deklarasi Majelis Umum PBB 1965 tentang “Intervensi yang Tidak Dapat Diterima Dalam Hubungan Domestik Negara-negara” (Resolusi MU No.2131 /XX).
20 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
4. Pasal 1 (1) “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966 and International Covenant on Civil and Political Rights, 1966”: “Seluruh masyarakat memiliki hak untuk menentukan diri sendiri. Atas dasar kebajikan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka. . .”
3. Isu Tentang Penguasaan Pasar Minyak Irak
Kalau pada isu sebelumnya Amerika memakai “jubah imperialis”, maka dalam isu ini Amerika menambah koleksinya dengan “jubah kolonialis”. Keinginan Amerika untuk menguasai pasar minyak Irak adalah satu indikasi bagi kaum kolonialis. Motif penguasaan minyak Irak tersebut adalah hidden agenda (agenda tersembunyi) di balik rencana invasi Amerika ke Irak. Agenda mana pernah mereka terapkan secara sukses di Afghanistan. Berdasarkan estimasi dari berbagai sumber selain Elf-Aquitance dan Total Fina, besarnya cadangan minyak Irak adalah 25-30% lebih besar dari cadangan minyak Arab Saudi. Oleh karena itu wajar jika Amerika menjadikan isu ini sebagai salah satu dorongan kuat untuk menginvasi Irak. Dalam perspektif Hukum Internasional, keinginan Amerika tersebut jelas-jelas melanggar banyak norma Hukum Internasional, antara lain : 1. Resolusi Majelis Umum PBB No. 217 A(III) tentang “Deklarasi Universal atas Hak Azasi Manusia” yamg antara lain menyatakan: “... untuk mengangkat pengembangan hubungan persahabatan antar negara ...”. 2. Pasal 1 (2) “International Covenant on Economic and Social Rights and International Covenant on Civil and Political Rights” menyatakan: “Semua bangsa demi tujuan mereka sendiri, secara bebas dapat mengatur kekayaan dan sumber daya alamnya . . .” 3. Pasal 2 Deklarasi Rio 1992 manyatakan bahwa: “Negara, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip Hukum Internasional, memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunannya . . .”
21 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
Selain norma-norma Hukum Internasional di atas, tentu masih banyak lagi norma-norma Hukum Internasional yang memberi kedaulatan melekat pada setiap negara untuk menguasai sumber daya alamnya. Oleh karena itu keinginan Amerika untuk menguasai pasar minyak Irak jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap Hukum Internasional.
C.
Tidak Ada Justifikasi Hukum Internasional Bagi Rencana Serangan Amerika ke Irak Secara keseluruhan, baik itu isu senjata pemusnah massal, isu penggulingan
pemerintahan Saddam Hussein maupun isu penguasaan pasar minyak Irak oleh Amerika (bahkan isu yang manapun yang dapat diajukan Amerika) tidak ada yang dapat dijustifikasi oleh Hukum lnternasional. untuk itu Amerika sebagai negara besar harus selalu menghormati dan mematuhi Hukum Internasional sebab segala bentuk pelanggaran terhadapnya kelak akan menimbulkan tanggung jawab di bawah Hukum Intemasional. Begitupun, bila Amerika dan sekutunya akhirnya benar-benar meletuskan Perang Teluk III di Irak tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB, maka Dewan Keamanan harus segera mempertimbangkan penggunaan kekuatan di darat, laut dan udara untuk memelihara dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional (pasal 42 Piagam PBB). Perancis, Rusia dan RRC adalah negara yang cukup berpengaruh untuk memprakarsai langkah yang mungkin harus diambil oleh Dewan Keamanan tersebut. Dengan argumen hukum seperti di atas (bahkan masih banyak argumen lain yang bisa dikemukakan), apakah Amerika akan menuntaskan niatnya untuk menginvasi Irak ? Lantas apakah mereka masih pantas mengaku sebagai global cop, negara demokrasi terbesar dan negara yang sangat menjunjung tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia ? Jawabannya ada ditangan Mr. Bush dan kawan-kawan, kita hanya bisa wait and see.
22 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
BAB III PENUTUP
Belum habis rasa terkejut dunia atas krisis ekonomi yang gelombangnya menerpa hampir semua negara di dunia, kini datang kejutan lain yang semakin hari semakin menarik perhatian masyarakat internasional. Kejutan tersebut tidak lain adalah genderang perang yang ditabuh oleh Amerika dan sekutu-sekutunya (Inggris, Italia, Australia, Spanyol) dengan menjadikan lrak sebagai targetnya. Berbagai seruan dan desakan dari masyarakat internasional yang menginginkan Amerika untuk mengurungkan niatnya menyerang Irak tersebut, telah menggema dari berbagai pelosok belahan dunia. Jutaan orang dari berbagai negara turun ke jalan untuk memprotes rencana aksi Amerika itu. Lebih dari itu Rusia, Perancis dan RRC telah mengisyaratkan akan menggunakan hak vetonya jika Amerika mendesak lahirnya Resolusi baru bagi frak (setelah Resolusi 1441). Salah satu perangkat yang dapat digunakan untuk mencegah penggunaan kekuatan oleh Amerika dalam krisis Irak tersebut adalah norma-norma hukum intemasional seperti telah diuraikan di atas. Namun jika Amerika tetap merealisir niat dan keinginannya untuk menginvasi Irak maka hukum intemasional harus segera ditegakkan baik melalui penggunaan kekuatan oleh Dewan Keamanan PBB maupun melalui mekanisme Mahkamah Internasional di Den Haag.
Fiat justida et pereat mundus
23 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006
DAFTAR PUSTAKA
I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum : inggris-Indonesia”, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi kesepuluh, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. J.H Verjil, International Law in Historical Perspective, Leyden, Sijthoff, 1968. JPN Saragih, S. Sitorus, Bunga Rampai Lingkungan Hidup, Percetakan Usaha Nasional, Surabaya, 1982. Martin Dixon, Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, Second Edition, Blackstone Press Limited, London, 1995. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979. Mohd. Sanwani Nasution, Hukurn internasional (suatu pengantar), Kel. Studi Hukum dan Masyarakat, FH USU, Medan, 1992.
Surat kabar :
Republika, Jakarta, 15 November 2002. Republika, Jakarta, 26 Februari 2003. Republika, Jakarta,
3 Maret 2003.
24 Jelly Leviza : Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif…,2005 USU Repository©2006