DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............ viii ABSTRAK ................................................................................................ ix ABSTRACT ............................................................................................. x DAFTAR ISI ............................................................................................ xi DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah .............................................................................. 1 1.2 Fokus Masalah .................................................................................. 9 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 10 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 10
BAB II DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI 2.1 Dramatisme ....................................................................................... 11 2.1.1 Sejarah .................................................................................. 12 2.1.2 Asumsi Dramatisme ............................................................. 16 2.1.3 Dramatisme dan Retorika ..................................................... 18 2.1.4 Identifikasi dan Subtansi ...................................................... 19 2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan ................................... 20 2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis .......................................................... 21 2.1.7 Heurisme ............................................................................... 22 2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik ................................................ 23 2.3 Pentad Drama ................................................................................... 26
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Rasio Dramatistik ................................................................. 29 2.4 Kritik Dramatisme ............................................................................ 29 2.4.1 Kegunaan .............................................................................. 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma ......................................................................................... 31 3.2 Metode Penelitian ............................................................................. 36 3.3 Subjek Penelitian .............................................................................. 39 3.4 Objek Penelitian ............................................................................... 39 3.5 Aspek Kajian .................................................................................... 39 3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 41 3.7 Teknik Analisis Data ........................................................................ 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ................................................................................. 42 4.1.1 Latar Belakang Presiden Joko Widodo ................................... 42 4.1.2 Pendekatan Dramatisme dalam Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo ............................................................. 50 4.1.2.1 Ekstra Tekstual ................................................... 50 4.1.2.2 Tekstual Sentrik .................................................. 58 4.1.2.3 Tekstual Seminal ................................................ 92 4.2 Pembahasan ...................................................................................... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 100 5.2 Saran ................................................................................................. 101
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Nomor 2.1
4.1
Judul
Halaman
Ilustrasi Pentad Drama
26
Paragraf 1
58
Paragraf 2
61
Paragraf 3
64
Paragraf 4
66
Paragraf 5
70
Paragraf 6
72
Paragraf 7
74
Paragraf 8
75
Paragraf 9
77
Paragraf 10
80
Paragraf 11
81
Paragraf 12
82
Paragraf 13
85
Paragraf 14
86
Paragraf 15
88
Analisis Pentad Drama
90
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
2.1
Pentad Drama
28
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
1
Teks Pidato
2
Biodata Joko Widodo
3
Foto Joko Widodo saat pembacaan pidato kenegaraan pertama dan suasana pelantikan
4
Biodata Peneliti
5
Lembar Catatan Bimbingan Skripsi
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah Salah satu fenomena yang menarik dalam dunia politik Indonesia adalah Joko Widodo. Karier pria yang akrab dipanggil Jokowi ini terbilang luar biasa dari pengusaha meubel ia banting setir ke dunia politik dan terpilih menjadi Wali Kota Solo selama dua periode dengan masa bakti 2005-2010 dan 2010-2015. Belum genap masa kepemimpinannya menjadi Wali Kota Solo di periode keduanya, ia lalu ditunjuk oleh warga ibukota menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 2012. Kemenangannya sering kali dinilai memberikan harapan baru bagi pemerintahan yang baru dan bersih. Semenjak dilantik menjadi Gubernur Jakarta periode 2012-2017 pada 8 Oktober 2012, ia terus menjadi sorotan media. Muncul wacana untuk menjadikannya calon presiden ditambah hasil survey yang menunjukkan keunggulan namanya dibanding calon presiden lain. Pada 14 Maret 2014, Joko Widodo menerima mandat dari Megawati Soekarnoputri ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla. Lima hari setelah deklarasi pencalonan dirinya tepatnya pada tanggal 19 Maret 2014, Joko Widodo digugat oleh Tim Advokasi Jakarta Baru di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Ia dianggap telah melanggar hukum perdata karena meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jakarta sebelum menepati janji– janjinya menyelesaikan permasalahan Jakarta. Gugatan ini langsung diklarifikasi oleh Menteri Dalam Negeri pada saat itu, Gamawan Fauzi dengan menjelaskan Undang–Undang No. 47 tahun 2008 mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang intinya bahwa seorang kepala daerah yang hendak ikut serta dalam pemilihan presiden berhak maju setelah mengajukan surat permintaan kepada Presiden dan mendapatkan izin Presiden tanpa harus mengundurkan diri (http://pemilu.sindonews.com/read/871822/113/dari-solo-ke-jakarta-kini-incar-ri1).
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sendiri diikuti oleh dua pasangan calon yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad berpasangan dengan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 20092014, serta Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI pada periode 2004-2009. Dua pasang calon kemudian melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014 di kantor KPU pusat Jakarta. Hasil pengambilan nomor urut ini menempatkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa pada nomor urut pertama dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada nomor urut kedua. Joko Widodo mempunyai strategi sendiri untuk menggalang dana kampanye. Jika kebanyakan para politisi menggalang dana kampanye dari dompet sendiri atau sumbangan dari beberapa instansi terkait Joko Widodo kali ini menggalang sumbangan dari para relawan pendukungnya. Penggalangan dana kampanye tersebut dilakukan pihak Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan membuka tiga akun rekening di sejumlah bank di Indonesia. Ratusan pendukung pun beramai-ramai menyumbangkan beberapa rupiah ala kadarnya untuk mendukung pasangan calon presiden pilihan mereka tersebut. Kampanye pemilu presiden dimulai pada 4 Juni hingga 5 Juli 2014 dalam rapat terbuka dan debat calon yang terdiri dari lima sesi yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juni, 15 Juni, 22 Juni, 29 Juni dan 5 Juli 2014 yang masing-masing membahas materi masalah umum seperti masalah kepastian hukum, demokrasi, pembangunan ekonomi, politik internal, ketahanan nasional dan sebagainya. Menjelang pemilihan umum presiden, terdapat berbagai macam kampanye hitam yang dialamatkan kepada Joko Widodo, seperti isu capres boneka, keislaman Joko Widodo yang diragukan, tuduhan bahwa Joko Widodo adalah orang Tionghoa yang merupakan putra dari Oei Hong Leong, hingga klaim bahwa ia adalah antek zionis dan antek Amerika. Tanggal 9 Juli 2014 seluruh warga negara Indonesia diberikan hak untuk memberikan suaranya pada pemilu presiden dan wakil presiden. Di hari yang sama pada sore harinya, Joko Widodo mengklaim kemenangannya berdasarkan hitung cepat suara di beberapa wilayah. Lembaga survey independen mengunggulkan nama Joko Widodo sementara Prabowo juga mengklaim
Universitas Sumatera Utara
kemenangannya
sambil
mengutip
lembaga
survey
lainnya.
Sebelum
pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum, Prabowo meminta KPU menunda pengumuman agar partainya dapat memeriksa dugaan kecurangan pada proses pemungutan suara, namun permintaan ini ditolak oleh KPU. Ia menuntut diadakannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang diduga melakukan manipulasi pada proses pemilihan suara. Pada tanggal 22 Juli 2014, tepat di hari pengumuman hasil resmi oleh KPU yang menyatakan kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilihan umum dalam pidatonya yang disiarkan langsung berimplikasi bahwa ia akan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi (http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 7 tentang Penghitungan dan Hasil). Gugatan ke Mahkamah Konstitusi akhirnya dimasukkan pihak Prabowo pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak Prabowo dengan membawa bukti–bukti. Inti gugatannya adalah adanya kejanggalan jumlah DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan). Pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif, mempermasalahkan sistem noken di Papua serta kesaksian kubu Prabowo yang mengklaim merasa diancam saat pemilu berlangsung. Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan menolak secara keseluruhan gugatan tim hukum Prabowo–Hatta (http://id.wikipedia.org/ wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 8 tentang gugatan pasca pilpres) Meski kemenangan Joko Widodo sudah resmi dinyatakan secara jelas namun jalannya menuju kursi RI-1 tidak serta merta berjalan mulus. Kontroversi menjelang pelantikannya menguak semenjak terbentuknya koalisi merah putih. koalisi merah putih terbentuk sebelum pemilihan umum presiden yang merupakan himpunan partai pendukung Prabowo Subianto yang pada pemerintahan Joko Widodo disebut partai oposisi. Partai–partai tersebut adalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dari 560 total jumlah kursi DPR, koalisi merah putih memegang 63,54% atau setara dengan 352
Universitas Sumatera Utara
jumlah kursi DPR sementara partai pendukung Joko Widodo yang terdiri atas Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) hanya memegang 36,46% kursi DPR dengan jumlah 208 kursi parlemen. Partai oposisi terlihat menguasai lebih banyak kursi di lembaga legislatif tersebut jika dibandingkan dengan partai pendukung Joko Widodo sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden _Indonesia_2014 bagian 1 tentang kandidat) Menjelang pemerintahan Joko Widodo, koalisi merah putih memegang kendali terhadap parlemen. koalisi merah putih mulai bergerak di parlemen saat pemilihan ketua DPR. koalisi merah putih bersitegang mengenai legalisasi menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Yang pada intinya, partai pemenang pemilu tidak harus menjadi pimpinan di parlemen. Terpilihnya lima elite dari partai politik koalisi merah putih sebagai pimpinan DPR dan dominannya koalisi pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di parlemen diduga akan menjadi ganjalan bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalankan program yang juga butuh persetujuan DPR (http://lipsus.kompas.com/topik pilihanlist/3143/1/ pro.kontra.uu.md3). Hal ini menimbulkan amarah bagi partai pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla yang disebut koalisi indonesia hebat dimana partai–partai tersebut pernah sekali melontarkan wacana untuk membuat parlemen tandingan. Kondisi politik menjelang pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla kian hari kian bertambah buruk. Diduga, efek dari manuver lawan politik Joko Widodo-Jusuf Kalla ini akan sangat terasa setelah keduanya resmi dilantik. Joko Widodo-Jusuf Kalla membutuhkan persetujuan DPR untuk merevisi anggaran ataupun penerapan kebijakan terkait subsidi. Selain itu, pemerintah juga butuh bekerja sama dengan kepala daerah se-Indonesia, yang sebagian besar berasal dari partai politik koalisi merah putih. Sehingga pada akhirnya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla pun ikut campur tangan melobi koalisi merah putih agar partai pendukungnya bisa ajukan pimpinan ke DPR. Tidak tanggung–tanggung, PDI-P siap kurangi jatah menteri
Universitas Sumatera Utara
bagi koalisi merah putih yang akan bergabung pada pemerintahan Joko Widodo. Padahal, pada masa kampanye Joko Widodo pernah mengutarakan bahwa pemerintahan bukan ajang bagi–bagi kekuasaan. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu yang mengusung Joko Widodo mencurigai ada maksud tersembunyi dibalik ngototnya partai politik yang tergabung dalam koalisi merah putih tersebut untuk menguasai jajaran pimpinan DPR dan MPR beserta alat kelengkapannya. PDI-P khawatir koalisi merah putih sedang merancang strategi untuk menghambat pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 20 September 2014. Koalisi merah putih menyatakan bahwa keinginan partai koalisi merah putih untuk menduduki kursi kepemimpinan semata–mata demi kemaslahatan bangsa dan meningkatkan peran dan fungsinya (DPR dan MPR) dalam pembangunan nasional ke depan bukan untuk mengincar kekuasaan. Wacana penjegalan pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla terdapat pada pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang juga merupakan adik kandung Prabowo Subianto. Hashim mengaku ia menjadi penyandang dana utama Joko Widodo selama masa kampanye pilkada DKI Jakarta. Ini bukan pertama kalinya Hashim mengungkit soal dana kampanye saat pilkada Jakarta. Di masa kampanye pilpres, Hashim menyebut dirinya dibohongi Joko Widodo. Ia mengaku mengeluarkan Rp. 52.000.000.000 (lima puluh dua miliar) untuk kampanye pilkada Jakarta. (http://www.pemilu.com/jokowi-vs-prabowo-pilpres-2014/) Hashim mengatakan, ada harga yang harus dibayar Presiden terpilih Joko Widodo atas langkahnya "meninggalkan Jakarta" dan mencalonkan diri dalam pilpres yang lalu. Hashim, dalam artikel yang ditayangkan "The Wall Street Journal" online, menganggap langkah Jokowi itu sebagai "personal betrayal". Ia menyatakan, koalisi merah putih yang menguasai parlemen akan menjadi oposisi yang aktif dan konstruktif dalam mengawal pemerintahan Joko Widodo. Prabowo kini aktif terlibat dalam membangun dan memimpin koalisi di parlemen. koalisi merah putih, memiliki otoritas yang cukup untuk mengawasi pemerintahan Joko Widodo, termasuk penentuan sejumlah jabatan di pemerintahan dan lembaga seperti kepala polri, panglima TNI, hakim agung dan anggota Mahkamah. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan pun turun tangan menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa tidak akan ada yang mengganggu pelantikan Joko Widodo sebagai presiden pada 20 Oktober 2014. Ia membantah isu tentang rencana penjegalan Joko
Widodo maupun
penundaan
pelantikan
tersebut.
Konstitusi
(http://nasional.kompas.com/read/2014/10/07/20455591/Hashim.Sebut.Ada.Harg a.yang.Harus.Dibayar.Jokowi.atas.Pencapresannya) Menjelang pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla, pesta syukuran rakyat di sebagian jalan protokol Jakarta siap merayakan pelantikan Joko Widodo. Sebelum pelantikannya Joko Widodo tengah bersiap dengan pidato kenegaraan pertamanya. Ia menyampaikan pidato pertamanya sebagai RI-1 usai pembacaan sumpah di Gedung DPR/MPR. Diduga, Tim 11 yang merupakan orang terdekat Joko Widodo yang sudah mendampingi sejak mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI Jakarta memang diminta oleh Joko Widodo untuk mempersiapkan struktur naskah pidato. Namun naskah pidato tetap ditulis dan difinalisasikan sendiri oleh Joko Widodo. Awalnya, MPR memberikan alokasi waktu 45 menit bagi Joko Widodo untuk berpidato. Namun durasi ini dipangkas oleh Joko Widodo
yang
hanya
memanfaatkan
waktu
sebanyak
10
menit.
(http://www.jpnn.com/read/2014/10/19/264520/Siapa-Saja-Pembuat-Pidato-Pela ntikan-Jokowi-) Tanggal 20 Oktober 2014 menjadi sejarah besar bangsa Indonesia. Pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla berlangsung aman tanpa penjegalan seperti yang dijanjikan Ketua MPR Zulkifli Hasan. Seusai mengucap sumpah jabatan presiden, Joko Widodo menyampaikan pidato yang tidak terlalu panjang. Dalam pidatonya, beberapa hal diuraikan Joko Widodo, sebagaimana janjinya dalam masa kampanye pemilu presiden lalu. Misalnya, mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Joko Widodo mengingatkan pentingnya menjadikan sektor maritim sebagai prioritas. Ia juga menyatakan pentingnya persatuan dan kerja keras. Sebagai sebuah kajian, ilmu komunikasi terus mengalami perkembangan, baik menyangkut teori, metode penelitian, maupun dari aspek praktis. Teori–teori komunikasi juga sering dilihat dari segi topik seperti yang dilakukan Littlejohn dengan menggelompokkan teori komunikasi menjadi sebuah buku yaitu
Universitas Sumatera Utara
Encyclopedia of Communication Theory (2009) yang di dalamnya memuat lengkap berbagai macam teori mulai dari teori sistem, semiotika, wacana (discourse), produksi pesan, proses dan penerimaan pesan, interaksionisme simbolik, dramatisme, naratif, realitas sosial dan budaya, pengalaman dan interpretasi, hingga teori kritis. Adapula yang melihat teori komunikasi dari topik dan levelnya, sebagaimana dikerjakan Heath dan Bryant dalam bukunya Human Communication Theory and Research: Concepts, Contexts, and Challenges (2012) yang mencakup proses komunikasi, bahasa, makna, dan pesan, informasi dan ketidakpastian, persuasi, komunikasi interpersonal, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Tanpa menghilangkan tradisi kualitatif yang lebih dahulu berkembang, dalam dekade 90-an metode penelitian komunikasi diperkaya dengan analisis wacana (discourse analysis). Analisis wacana berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Kehadiran buku–buku yang berkenaan dengan wacana antara lain Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999,2005) dan Titscher dkk (2000) serta penerbitan buku dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai analisis teks maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis) di program Strata-1, Strata-2, dan Strata-3 Ilmu Komunikasi, bahkan dalam dunia praktis terutama bidang humas korporasi (Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 260) Berkenaan dengan praktek komunikasi, dewasa ini masyarakat, terutama para pelaku komunikasi cenderung menggunakan teknik pengemasan pesan (message packaging) demi memperoleh tujuan–tujuan komunikasinya. Mereka tidak lagi sekedar membuat, menampilkan, dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diingininya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi oleh visi dan misi strategisnya sekaligus mengirimkannya kepada khalayak melalui cara dan taktik yang sangat persuasif. Dalam konteks ini, mereka mengembangkan suatu wacana tertentu jika bermaksud menyampaikan pesan kepada khalayak. Sekarang ini, kesadaran wacana memang cenderung bertambah bukan saja dipihak yang memproduksi pesan tetapi juga dipihak yang menerima pesan (Hamad, 2004: 10)
Universitas Sumatera Utara
Semua perkembangan ini tentu aja mengharuskan kita menata kembali cara pandang kita terhadap pendekatan komunikasi. Bahwasanya dari segi caranya pesan dikelola terdapat satu pendekatan lain dari komunikasi. Itulah yang disebut perspektif komunikasi sebagai wacana. Komunikasi sebagai proses konstruksi realitas dalam pandangan ini dipilih peneliti karena penelitian dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” melalui pembentukan sebuah wacana (discourse) sebagai “pengganti” dari realitas atau kenyataan pertama. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana itu adalah suatu proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of reality sehingga realitas yang telah diwacanakan itu disebut dengan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed of reality) (Hamad, 2004: 234). Dari uraian di atas, kita dapat menarik implikasi bahwa khasanah teori komunikasi konstruksi realitas (communication as discourse) tidak hanya bersifat mengirimkan pesan, memajang sejumlah pesan untuk menarik perhatian, memanfaatkan simbol untuk menciptakan makna tertentu, atau membangun suasana kebersamaan. Komunikasi juga bersifat mengemas kepentingan dalam bentuk struktur pesan yang bermakna. Kehadiran ragam pendekatan komunikasi ini juga memberikan implikasi pada metode penelitian komunikasi. Pendekatan konstruksi realitas menghidupkan metode analisis wacana untuk membongkar realitas dibalik wacana. Akhirnya, perspektif komunikasi sebagai wacana memberi implikasi sosial. Kita dapat mendayagunakan wacana untuk kebaikan pada level individu, kelompok, organisasi sosial, dan global. Mengurangi dan mencegah konflik individu, sosial dan global melalui wacana yang bersifat meredam kekerasan (Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 266). Penggunaan discourse dalam dunia politik ini lebih biasa lagi, bahkan telah menjadi tradisi. Para aktor politik senantiasa menciptakan discourse manakala mereka berbicara politik. Hal itu mereka lakukan bukan saja untuk menyampaikan ideologi politik yang diyakininya, melainkan pula untuk menciptakan opini publik demi meraih keuntungan–keuntungan politik yang ingin diperolehnya, entah itu kekuasaan, jabatan, maupun material (Nimmo, 2005: 92).
Universitas Sumatera Utara
Hampir di segala tindakan, komunikasi Presiden dianggap penting sebagai unsur politik Presiden modern. Seiring berjalannya waktu, Presiden lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap komunikasinya. Sekarang ini, banyak presiden yang memiliki staff yang dikhususkan untuk kegiatan komunikasi tunggalnya. Komunikasi Presiden menjadi pusat pertumbuhan politik di media massa dalam abad terakhir. Kebanyakan masyarakat sebenarnya hanya berharap pemimpinnya untuk berkomunikasi lebih intens dan panjang lebar tentang masalah publik saat ini, mereka tidak peduli tentang formalitas dalam pemerintahan. (Ryfe, 2005: 3) Banyak literatur menganalisis tentang kemampuan presiden untuk memimpin opini publik. Penelitian seperti ini biasanya menganalisis kemampuan presiden untuk memanipulasi popularitas mereka seperti drama politik, pembuatan pidato dan kunjungan ke negara lain (MacKuen 1983; Ragsdale 1984, 1987). Dengan mempelajari sebuah pidato sebenarnya tidak berpatokan pada aspek fisilogi dan psikologi dari si pembicara. Namun, mempelajari bahasa yang disampaikan. Esensi dari bahasa terdiri dalam penugasan konvensional, secara sukarela diartikulasikan sesuai dengan unsur pengalaman (Sapir, 1921: 183). Penelitian tentang pidato dengan menggunakan perspektif dramatisme semacam ini masih jarang dilakukan oleh akademisi di Indonesia, namun penelitian semacam ini sudah mulai marak diberlakukan di wilayah barat. Bahkan saat ini sudah terdapat jurnal online khusus yang membahas analisis teori yang diciptakan oleh Kenneth Burke terkhususnya Dramatisme. Hal ini yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji secara keilmuan pidato presiden Joko Widodo dalam perspektif dramatisme.
1.2 Fokus Masalah Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus yang akan diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana strategi manipulasi bahasa (dramatisme) yang didesain Presiden Joko Widodo dalam pidatonya dalam upaya pembentukan realitas?”
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini di lakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut: 1. Untuk mengetahui manipulasi bahasa (dramatisme) yang didesain Presiden Joko Widodo dalam pidatonya. 2. Untuk mengetahui realitas sosial yang ingin dibentuk Presiden Joko Widodo dalam pidatonya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan dampak positif dan menambah pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi 2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa sumbangan pengetahuan baik kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi maupun
masyarakat
secara
umum
untuk
memperluas
wacana
pengetahuannya tentang dramatisme melalui pidato pemimpin. 3. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan sumbangan dan masukan yang berhubungan dengan tema penelitian.
Universitas Sumatera Utara