UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, STABILITAS FISIK DAN PENGARUH KONSENTRASI DIMETIKON DAN SIKLOMETIKON TERHADAP DAYA PENETRASI EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) PADA KRIM ANTIKERUT Cyntia Wahyuningrum, Joshita Djajadisastra, Raditya Iswandana Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Xanton merupakan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dan penelitian ini digunakan metode peredaman DPPH untuk mengetahui nilai IC50 dari ekstrak etanol kulit buah manggis dan sediaan krim. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas fisik, aktivitas antioksidan dan pengaruh perubahan konsentrasi dimetikon dan siklometikon terhadap penetrasi ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) pada sediaan krim antikerut. Formulasi topikal dengan penambahan silikon dalam basis terbukti mampu mempertahankan kontak zat aktif dengan kulit dan mencegah hilangnya zat aktif karena proses abrasi. Semua formulasi yang di buat di uji daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus betina galur Sprague dawley. Nilai aktivitas antioksidan (IC50)terbaik ada pada formula C2 yaitu 4442,8 ppm. Jumlah kumulatif xanton yang terpenetrasi dari krim yang tidak mengandung silikon adalah 436,19±59,85 µg/cm² (A), sedangkan krim yang mengandung silikon secara berturut-turut adalah 539,42±18,63 µg/cm² (B1), 576,82±52,12 µg/cm² (B2), 619,46±23,42 µg/cm² (C1), dan 1116,74±77,75 µg/cm² (C2). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya silikon akan meningkatkan daya penetrasi krim antikerut. Kata Kunci
: Xanton, krim, penetrasi, manggis, dimetikon, siklometikon, sel difusi Franz
ABSTRACT Xanthone is an antioxidant compound which is found in the pericarp of mangosteen (Garcinia mangostana L.) and this research was using DPPH to determine the IC50 of ethanolic extract of mangosteen pericarp and cream preparations. The purpose of this research is to test the physical stability, antioxidant activity assay and to compare the penetration ability between cream with silicon and without silicon. Silicon in topical formulation has the ability to prolong the active compound contact time with the skin and avoid the loss of active substance from abrasion. All formulations were examined their penetration ability by Franz diffusion cell as in vitro test using Sprague Dawley rat abdomen skin as diffusion membrane. The best antioxidant activity (IC50) is 4442.8 ppm (C2) and total cumulative penetration of xanthone from cream without silicon is
436.19±59.85 µg/cm2 (A) while the value for creams with silicon are 539.42±18.63 µg/cm2 (B1dimethicone 4%), 576.82±52.12 µg/cm2 (B2-dimethicone 8%), 619.46±23.42 µg/cm2 (C1cyclomethicone 4%), 1116.74±77.75 µg/cm2 (C2-cyclomethocone 8%), respectively. Based on these results, it can be concluded that the silicon compound will increase the penetration ability of cream preparations. Keywords
: Xanthone, cream, penetration, mangosteen pericarp cyclomethicone, Franz diffusion cell
dimethicone,
PENDAHULUAN Perkembangan dunia kosmetik saat ini telah menawarkan berbagai solusi untuk mencegah penuaan. Target utama dari bahan anti penuaan adalah kerusakan oksidatif dan metabolisme kolagen. Selain dari sinar matahari, faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya penuaan dini antara lain karena faktor genetik, gaya hidup, lingkungan, mutasi gen, rusaknya sistem kekebalan dan radikal bebas. Dari semua faktor penyebab tersebut, teori radikal bebas merupakan teori yang paling sering diungkapkan (Kosasih et al., 2006). Garcinia mangostana L. atau buah manggis merupakan salah satu primadona buahbuahan tropis. Senyawa alfa-mangostin, gamma-mangostin dan garsinon-E yang terdapat pada ekstrak kulit manggis yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan, dapat memodulasi efek kerusakan karena UV yang diinduksi oleh ROS (Radical Oxygen Species). Paparan sinar UV menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau ROS yang merupakan molekul tidak stabil (Draelos, 2010). ROS akan berikatan dengan komponen sel untuk menjadi stabil, sehingga akan merusak komponen sel seperti lemak, protein, dan asam nukleat. Kerusakan komponen sel menyebabkan penuaan dini pada kulit yang ditandai dengan kulit kering, keriput dan kusam. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut diperlukan suatu sediaan kosmetik. Silikon seperti dimetikon maupun siklometikon merupakan sebuah cairan pembawa yang bersifat lipofilik yang dapat bekerja sebagai peningkat penetrasi dengan cara memodifikasi domain lipid interseluler guna menurunkan resistensi penghalang akibat interaksi cairan lipofilik dengan lipid bilayer dari stratum korneum (Leopold et al., 2006). Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa silikon sangat substantif pada kulit dan dapat meningkatkan penetrasi dari zat aktif. Formulasi topikal dengan penambahan silikon dalam basis terbukti mampu mempertahankan zat aktif kontak dengan kulit dan mencegah hilangnya zat aktif karena proses abrasi (Séné et al., 2002). Penelitian yang akan dilakukan merupakan aplikasi dari ekstrak kuli manggis (Garcinia mangostana L.) pada sediaan krim antikerut yang mengandung beberapa konsentrasi dari minyak silikon, yaitu siklometikon dan dimetikon. Penelitian ini akan menguji daya penetrasi dari sediaan krim antikerut dikarenakan basis silikon dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.).
TINJAUAN TEORITIS Kulit adalah organ terbesar tubuh dengan berat sekitar 10% total massa tubuh. Sebagai bagian terluar tubuh, kulit memiliki 2 fungsi utama, yakni fungsi proteksi dan komunikasi. Fungsi komunikasi didasarkan pada neuroreseptor, transmisi sinyal biokimia, serta pigmentasi, sedangkan fungsi protektif adalah mencegah hilangnya substansi tubuh dan penetrasi senyawa asing ke dalam tubuh. Penetrasi obat melalui kulit dapat secara difusi melalui 3 jalur potensial (Ansel, 1989 & Benson, 2005), yaitu : a. Melintasi stratum korneum (transepidermal) b. Melalui folikel rambut dengan kelenjar minyak c. Melalui kelenjar keringat Peningkat penetrasi yang bekerja di stratum korneum memiliki kemungkinan mekanisme sebagai berikut (Touitou & Barry, 2007) : a. Memodifikasi domain lipid interseluler untuk mengurangi resistensi barier lipid bilayer. Perusakan lipid bilayer dapat bersifat homogen, yakni saat peningkat penetrasi terdistribusi secara merata dalam lipid bilayer. Namun, perusakannya dapat juga bersifat heterogen, yakni terkonsentrasi dalam domain lipid bilayer tertentu. Contoh senyawa peningkat penetrasi yang bekerja mempengaruhi lipid adalah asam oleat, terpen, azon, dimetilsulfoksida (DMSO). Fenomena yang terjadi dapat berupa fluidisasi, perubahan polaritas, pemisahan fase atau ekstraksi lipid. b. Mengubah sifat kelarutan stratum korneum, ataupun memodifikasi partisi obat, sebagai koenhancer ataupun kosolven dalam jaringan. Beberapa peningkat penetrasi merupakan pelarut yang baik sehingga mungkin meningkatkan jumlah permean dalam kulit. c. Mempengaruhi desmosom yang menjaga kohesi antara korneosit dan struktur protein lainnya, mengarahkan pada pemisahan sel stratum korneum. d. Berkerja pada keratin intraseluler stratum korneum, mendenaturasi, ataupun memodifikasi konformasinya yang menyebabkan pembengkakan, hidrasi dan vakuolisasi tambahan.
Keterangan : (a) Bekerja pada lipid intraseluler (b) Kerja pada desmosom dan struktur protein (c) Kerja pada korneosit [Sumber : Touitou & Barry, 2007, telah diolah kembali]
Gambar 1.
Aktivitas peningkat penetrasi
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ekstrak etanol kulit manggis G. mangostana L. (Balitro, Indonesia), asam askorbat (Indonesia), α-mangostin (Chengdu Biopurify Phytochemical Ltd., China), dimetikon (Indonesia), siklometikon (Indonesia), gliserin (Indonesia), asam stearat (Indonesia), gliseril monostearat (Indonesia), etanol (Indonesia), metanol p.a (Indonesia), trietanolamin (Indonesia), metil paraben (Indonesia), propil paraben (Indonesia), aqua demineralisata (Indonesia), DPPH (Wako, Jepang), dan kulit tikus betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3 bulan dengan berat ±200 gram (Institut Pertanian Bogor, Indonesia). Metode Penelitian Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kulit Manggis Terhadap DPPH (2,2-Difenil-1-pikril hidrazil) DPPH adalah senyawa radikal bebas berwarna ungu. Apabila DPPH direaksikan dengan senyawa peredam radikal bebas misalnya flavonoid, intensitas warna ungu akan berkurang dan bila senyawa peredam radikal bebas yang bereaksi jumlahnya besar, maka DPPH dapat berubah warna menjadi kuning. Pada penelitian ini larutan uji dibuat dengan cara 2,0 mL dari masingmasing konsentrasi ditambahkan 1,0 mL metanol dan 1,0 mL DPPH 100 ppm. Campuran dikocok kemudian larutan uji dan blanko diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Vitamin C digunakan sebagai kontrol positif. Uji antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dan pengukuran serapan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Serapan atau absorbansi larutan uji diukur pada panjang gelombang 515,5 nm kemudian di ukur presentase inhibisi kemudian nilai IC50.
Penetapan Kadar Xanton Dalam Ekstrak Kulit Manggis Dilarutkan ekstrak kental 50,0 mg dalam metanol hingga 100,0 mL. selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara pipet 2,0 mL dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL dan dicukupkan dengan metanol sehingga didapatkan konsentrasi 20 ppm. Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 316,4 nm. Serapan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam regresi yang berasal dari kurva kalibrasi α-mangostin yang kemudian di hitung kadar xanton total dalam ekstrak kulit manggis.
Pembuatan sediaan krim Pada penelitian ini, terdapat 5 variasi basis yang dibuat, yaitu 2 variasi jenis silikon yaitu siklometikon dan dimetikon, 2 variasi konsentrasi silikon dan 1 basis tanpa silikon sebagai blangko.
Tabel 1. Formula berbagai sediaan krim Bahan Ekstrak kulit buah manggis Dimetikon Siklometikon Asam stearat Gliseril monostearat Trietanolamin Natrium metabisulfit Etanol Metil paraben Propil paraben Gliserin Aquademineralisata
Konsentrasi b/b (%) A B1 B2 C1 C2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 4 8 4 8 5 5 5 5 5 2 2 2 2 2 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 2 2 2 2 2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 10 10 10 10 10 Ad 100 Ad 100 Ad 100 Ad 100 Ad 100
a. Fase minyak disiapkan: dimetikon/siklometikon, asam stearat, gliseril monostearat, propil paraben dimasukkan ke dalam cawan penguap lalu dipanaskan pada suhu 70-80°C hingga melebur sempurna, massa ini disebut dengan massa A. b. Fase air disiapkan: metil paraben, trietanolamin, gliserin dan sebagian aquadest dihomogenkan, larutan ini disebut dengan massa B. c. Natrium metabisulfit dilarutkan dalam sebagian aquadest, larutan ini disebut massa C. d. Ekstrak kulit buah manggis dilarutkan ke dalam etanol, larutan ini disebut massa D. e. Massa A dengan massa B dicampur dalam suhu 70°C dan dihomogenkan. Kemudian massa C dan D dimasukkan ke dalam campuran massa A dan massa B saat suhu ± 40°C, massa diatas dihomogenkan dengan homogenizer (kecepatan 1200 rpm).
Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak kulit manggis Pengamatan organoleptis Sediaan diamati untuk mengetahui terjadinya pemisahan fase antara fase minyak dan fase air, bau, serta perubahan warna selama 12 minggu. Pemeriksaan dilakukan setiap 2 minggu pada semua bentuk sediaan. Pemeriksaan Homogenitas Sediaan diletakkan di antara dua kaca objek lalu diperhatikan adanya partikel-partikel kasar atau ketidakhomogenan dibawah cahaya selama 12 minggu. Pemeriksaan dilakukan setiap 2 minggu pada semua bentuk sediaan. (Iswandana, 2009)
Pengukuran Ph (Tingkat Keasaman) Tingkat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan dapar pH 7 dan pH 4. Kemudian Elektroda dicelupkan ke dalam sediaan dan dicatat nilai pH yang tertera pada layar. Pengukuran dilakukan pada suhu ruang. Pengukuran Diameter Globul Rata-rata Sediaan diletakkan di atas kaca objek dan ditutup dengan gelas penutup, kemudian diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali yang dilengkapi lensa okuler mikrometer yang telah dikalibrasi. Diameter partikel rata-rata dihitung dan dikalikan dengan faktor kalibrasi. Kenaikan viskositas akan meningkatkan stabilitas sediaan. Semakin tinggi viskositas, semakin kecil ukuran globul dan semakin besar volume ratio (Djajadisastra, 2004). Pengukuran dilakukan pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10 dan ke-12 pada sediaan krim antikerut. Penentuan Viskositas dan Sifat Aliran (Rheologi) Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Brookfield dan spindle tipe HA. Sediaan disimpan dalam wadah, lalu batang pemutar diturunkan ke dalam sediaan hingga batas yang ditentukan. Pengukuran dilakukan dengan viskometer Brookfield dengan kecepatan diatur mulai dari 0,5; 2; 5; 10; dan 20 rpm, lalu dibalik dari 20; 10; 5; 2; 0,5 rpm. Dari masing-masing pengukuran dengan perbedaan rpm dibaca skalanya ketika jarum merah yang bergerak telah stabil. Semakin tinggi viskositas, semakin kecil ukuran globul dan semakin besar volume ratio (Djajadisastra, 2004). Pengukuran dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-12 pada semua bentuk sediaan dengan penyimpanan suhu kamar. Untuk mengetahui sifat aliran, dibuat kurva antara rpm sebagai sumbu y dan usaha yang dibutuhkan untuk memutar spindle sebagai sumbu x. usaha dapat dihitung dengan mengalikan angka yang dibaca pada skala dengan faktor 7,187 dyne.cm (viskometer Brookfield tipe RV) atau faktor 0,6737 dyne.cm (viskometer Brookfield tipe LV). Uji Konsistensi Sediaan yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam wadah khusus dan diletakkan pada meja penetrometer Peralatan diatur hingga ujung kerucut menyentuh bayang permukaan krim yang dapat diperjelas dengan menghidupkan lampu. Batang pendorong dilepas dengan mendorong tombol start. Angka penetrasi dibaca lima detik setelah kerucut menembus sediaan. Pemeriksaan konsistensi dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 pada semua bentuk sediaan dengan penyimpanan suhu. Dari pengukuran konsistensi dengan penetrometer akan diperoleh yield value (Martin, A., Swarbick, J., & Cammarata, A., 1990).
Uji Mekanik (Sentrifugasi) Sediaan disentrifugasi dengan kecepatan putaran 3750 rpm selama 5 jam karena hasilnya ekivalen dengan efek gravitasi selama 1 tahun. Setelah disentrifugasi, diamati apakah terjadi pemisahan atau tidak antara fase air dengan fase minyak. Pengujian hanya dilakukan pada minggu ke-0 (Cita-Colipa, 2004). Uji Cycling Test Sampel krim berbasis silikon disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam, lalu dipindahkan ke dalam oven yang bersuhu 40±2oC selama 24 jam (satu siklus). Uji dilakukan sebanyak 6 siklus kemudian diamati adanya pemisahan fase.
Uji Aktivitas Antioksidan pada Sediaan Krim Terhadap DPPH (2,2-Difenil-1-pikril hidrazil) Sampel sediaan diambil sebanyak 15,0 gram dicukupkan dengan 100,0 mL metanol dalam labu tentukur dan dilakukan ekstraksi. Dilakukan sonikasi selama 30 menit kemudian diekstraksi dengan cara disentrifugasi selama 30 menit. Hasil yang telah di sentrifuge diambil filtratnya. Larutan filtrat tersebut memiliki konsentrasi 150.000 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran hingga di dapat 15.000 ppm. Kemudian dari konsentrasi 15.000 ppm diencerkan kembali menjadi 15 ppm, 600 ppm, 1500 ppm, 3750 ppm, dan 7500 ppm. Selanjutnya 2,0 mL dari masing-masing larutan sampel ditambahkan 1,0 mL DPPH dan 1,0 mL metanol, dihomogenkan. Larutan uji dan larutan blanko diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Serapan atau absorbansi larutan uji diukur pada panjang gelombang 515,5 nm.
Uji Penetrasi Sediaan krim dari Ekstrak Kulit Buah Manggis dengan Sel Difusi Franz Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 - metanol (80 : 20) Untuk pembuatan dapar fosfat, kalium dihidrogenfosfat 0,2 M sebanyak 50,0 mL dicampur dengan 39,1 mL NaOH 0,2 N dan diencerkan dengan aquadest bebas CO2 secukupnya hingga 200,0 mL. (Departemen Kesehatan, 1995). Selanjutnya dapar fosfat pH 7,4 dicampur dengan metanol dengan perbandingan (80:20). Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan baku α-mangostin dibuat dengan konsentrasi 4, 5, 6, 8, 10, 12 ppm dalam metanol, lalu masing-masing konsentrasi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Uji Perolehan Kembali Sediaan ditimbang secara seksama sebanyak ± 1,0 g, kemudian dilarutkan dengan metanol dalam labu tentukur 100,0 ml. Larutan tersebut kemudian disonikasi selama 30 menit kemudian di sentrifugasi selama 30 menit. Diambil filtratnya, dilakukan pengenceran yaitu dipipet sebanyak 1,0 mL dan diencerkan dalam labu tentukur sampai 100,0 mL dengan metanol
kemudian diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis. Percobaan dilakukan secara triplo. Uji Penetrasi Membran yang digunakan adalah kulit tikus betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3 bulan. Pertama-tama tikus dikorbankan dengan menggunakan eter. Kemudian, bulu tikus dicukur dengan hati-hati. Setelah itu kulit tikus disayat pada bagian perut dengan ketebalan 0,6 ± 0,1 mm. Lalu, kulit direndam dalam dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20) selama 30 menit setelah itu dan disimpan dalam suhu 5°C. Kulit yang dapat digunakan dalam rentang waktu 24 jam. Uji penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi Franz dengan luas area difusi 2,011 cm2 dan volume kompartemen 13 mL. Kompartemen reseptor diisi dengan dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20) dan dijaga suhunya 37±0,5°C, serta diaduk dengan stirrer berkecepatan 300 rpm. Kemudian, kulit diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor dengan posisi stratum korneum menghadap ke atas. Sampel 1,0 g diaplikasikan pada permukaan kulit. Kemudian, pada menit ke-10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 sampel diambil sebanyak 0,5 mL dari kompartemen reseptor menggunakan syringe dan segera digantikan dengan dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20) sejumlah volume yang sama. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml. Lalu, dicukupkan volumenya dengan dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20). Setelah itu, diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-vis. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali. Jumlah kumulatif xanton yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2) dihitung dengan rumus (Thakker & Chern, 2003) :
Keterangan: Q = jumlah kumulatif xanton yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2) Cn = konsentrasi xanton (µg/mL) pada sampling menit ke-n V = volume sel difusi Franz !!! ἰ!! ! = Jumlah konsentrasi xanton (µg/µL) pada sampling pertama (menit ke-10) hingga sebelum menit ke-n S = Volume sampling (500 µL) A = Luas area membran (2,011 cm2) Kemudian dilakukan perhitungan fluks obat berdasarkan hukum Fick I:
Keterangan: J = Fluks (µg/cm2.jam) M = Jumlah kumulatif xanton yang melalui membran (µg) S = Luas area difusi (cm2) t = Waktu (jam) Selanjutnya dibuat grafik jumlah kumulatif xanton yang terpenetrasi (µg) per luas area difusi (cm2) terhadap waktu (jam) dan grafik fluks (µg /cm2.jam) terhadap waktu (jam).
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kulit Manggis Terhadap DPPH (2,2-Difenil-1-pikril hidrazil) Pada tahap ini dilakukan pengukuran IC50 pada ekstrak kulit manggis dengan cara melarutkan ekstrak etanol kulit manggis tersebut dalam etanol kemudian dibuat 6 konsentrasi yang berbeda yaitu 2, 4, 10, 12, 16, 20 ppm. Kemudian masing-masing di pipet 2,0 mL, ditambahkan metanol 1,0 mL dan ditambahkan 1,0 mL larutan DPPH 100 ppm. Pada pengujian ini didapatkan nilai IC50 sebesar 7,63 ppm yang dibandingkan dengan blanko positif yaitu vitamin C sebesar 2,58 ppm. Nilai IC50 ini menunjukkan nilai konsentrasi penghambatan untuk meredam 50% radikal dari DPPH. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin kuat potensi aktivitas antioksidan pada senyawa tersebut.
Penetapan Kadar Xanton Total pada Ekstrak Etanol Kulit Manggis Perhitungan xanton total ini dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak kental tersebut dalam metanol dan didapatkan konsentrasi 20 ppm. Larutan 20 ppm tersebut diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 316,4 nm kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi α-mangostin dan didapatkan kadar xanton total yang terdapat dalam ekstrak kulit manggis tersebut adalah 56,5326%.
Pembuatan Sediaan Krim Antikerut dari Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis Masing-masing sediaan krim mengandung ekstrak etanol kulit manggis 0,3% sebagai zat aktif dan terbagi atas 5 formula. Formula 1 merupakan formula yang tidak mengandung silikon dalam basisnya, formula 2 mengandung basis krim dimetikon 4%, formula 3 mengandung basis krim dimetikon 8%, formula 4 mengandung basis krim siklometikon 4% dan formula 5 mengandung basis krim siklometikon 8%. Sediaan krim formula 1 diberi simbol A, formula 2 diberi simbol B1, formula 3 diberi simbol B2, formula 4 diberi simbol C1, dan formula 5 diberi simbol C2. Formulasi sediaan dapat dilihat pada Tabel 1. Tahapan yang dilakukan pada kelima formula tersebut adalah pembuatan, evaluasi, dan uji penetrasi sediaan serta antioksidan.
Uji Evaluasi dan Stabilitas Fisik Sediaan Krim Ekstrak Etanol Kulit Manggis Pengamatan organoleptis Pengamatan organoleptis dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan warna, bau pada sediaan krim selama 12 minggu pada penyimpanan suhu yang berbeda. Pada minggu ke-0 atau awal pembuatan, sediaan krim berwarna kuning muda, tidak berbau. Pada minggu ke-2 hingga ke-12 tidak terjadi perubahan organoleptis yang signifikan, seperti perubahan warna, dan bau. Pemeriksaan Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui adanya partikel-partikel kasar atau rekristalisasi dari ekstrak etanol kulit manggis pada sediaan krim selama 12 minggu pada penyimpanan suhu yang berbeda. Sediaan dioleskan di atas gelas objek, lalu diamati di bawah cahaya lampu dengan bantuan karton hitam. Pada sediaan krim minggu ke-0, krim yang dihasilkan bersifat homogen, tidak terdapat partikel-partikel kasar atau rekristalisasi ekstrak etanol kulit manggis. Selama penyimpanan 12 minggu, sediaan krim tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Dengan demikian, sediaan krim secara homogenitas stabil pada penyimpanan suhu kamar, rendah dan tinggi selama 12 minggu. Pengukuran pH Selama 12 minggu, pemeriksaan pH kelima sediaan tidak menunjukkan pH yang tetap. Grafik hubungan pH dengan waktu penyimpanan pada suhu kamar, tinggi dan rendah dapat dilihat pada gambar berikut.
(a)
(b)
6
6 5.5
A pH
pH
5.5
B1
5
B2
4.5
A B1
5
B2
4.5
C1 4 0
5
10
15
C1 4
C2
0
waktu (minggu)
5
10
15
C2
waktu (minggu)
(c) 6
pH
5.5
A B1
5
B2
4.5
C1
4 0
5
10
15
C2
waktu (minggu)
Gambar 2. Grafik perbandingan pH terhadap waktu untuk setiap kondisi penyimpanan : (a) suhu tinggi; (b) suhu kamar; dan (c) suhu rendah Dari grafik diatas terlihat pada suhu tinggi pH paling tidak stabil walaupun secara kesuluruhan nilai pH menunjukkan penurunan dari pH awal. Hal ini diduga akibat terjadinya pelepasan ion hidrogen yang terdapat pada α-mangostin akibat adanya proses oksidasi lambat yang bergantung pada kondisi penyimpanan. Pengukuran Diameter Globul Rata-rata Hasil pengukuran globul rata-rata pada sediaan krim mengalami perubahan. Ukuran diameter globul terbesar terdapat pada sediaan yang disimpan pada suhu tinggi dan yang terkecil terdapat pada sediaan yang disimpan suhu rendah. Suhu yang tinggi dapat mempengaruhi kestabilan dari emulsi karena fase air dan fase minyak akan semakin cepat memisah. Hal ini sesuai dengan persamaan kinetika kimia Arhenius yang menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur, maka kemampuan untuk memindahkan suatu molekul dari cairan tersebut semakin
besar sehingga globul fase air dan fase minyak akan berusaha untuk bergabung dengan fase sejenis. Penggabungan dua atau lebih globul dari fase terdispersi disebut juga flokulasi. Sesuai hukum Stokes, semakin besar ukuran globul maka akan semakin cepat laju sedimentasinya sehingga akan menurunkan viskositas. Penentuan Viskositas dan Sifat Aliran (Rheologi) Pemeriksaan viskositas terhadap semua sediaan dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 pada penyimpanan suhu kamar menggunakan alat viskometer Brookfield dengan kecepatan 0,5; 2; 5; 10; 20 rpm. Dari nilai viskositas dapat diketahui sifat aliran sediaan tersebut. Berdasarkan hukum Stokes, ukuran diameter partikel berbanding terbalik dengan viskositas mediumnya. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin tinggi viskositasnya. Semakin tinggi viskositas, maka semakin rendah laju sedimentasinya, artinya semakin stabil sediaan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel di atas, dapat diamati bahwa sediaan yang memiliki viskositas paling tinggi adalah sediaan C2 sehingga sediaan yang paling stabil adalah sediaan C2, yaitu sediaan krim dengan jumlah siklometikon 8%.
Viskositas
100000 80000
A
60000
B1
40000
B2
20000 0
C1 0
12
C2
Minggu ke-
Gambar 3. Grafik perubahan viskositas sediaan Peningkatan viskositas pada formula terjadi dikarenakan adanya tekanan geser dari pengaduk yang digunakan saat pembuatan sediaan. Tekanan geser akan mengubah struktur polimer basis sediaan menjadi agak renggang, sehingga sediaan menjadi encer saat baru dibuat. Setelah dilakukan penyimpanan, struktur dari polimer tersebut akan kembali seperti semula, sehingga sediaan menjadi lebih kental Uji Konsistensi Uji konsistensi ini diukur menggunakan alat penetrometer untuk mengetahui apakah sediaan yang diuji memiliki daya sebar yang baik atau tidak berdasarkan nilai yield value yang diperoleh. Sediaan yang baik memiliki yield value antara 100 - 1000 dyne/cm2 (Zatz & Kushia, 1996). Semakin rendah nilai yield value, maka akan semakin mudah sediaan tersebut disebar ke kulit, sebaliknya semakin tinggi sediaan yield value maka semakin sulit sediaan tersebut disebar ke kulit.
yield value
5000 4000 3000 2000 1000 0
A B1 B2 C1 0
12 Minggu ke-
C2
Gambar 4. Grafik perubahan konsistensi pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 Berdasarkan grafik diatas sediaan krim B2 dan C2 memiliki angka penetrasi lebih tinggi dibandingkan sediaan krim B1 dan C1. Angka penetrasi berbanding terbalik dengan yield value, semakin tinggi angka penetrasi maka akan semakin rendah angka yield value. Yield value memiliki satuan dyne/cm2, sama seperti tekanan geser (shearing stress). Hal ini berbanding lurus dengan hasil pengukuran viskositas sediaan yang semakin tinggi. Semakin tinggi viskositas sediaan maka semakin sulit kerucut menembus sediaan, sehingga semakin kecil nilai penetrasi kerucut. Nilai yield value yang tinggi menunjukkan konsistensi sediaan yang tinggi. Dengan demikian, sediaan dengan B1 dan C1 tersebut lebih mudah disebar ke kulit daripada B2 dan C2. Uji Mekanik (Sentrifugasi) Uji mekanik melalui proses sentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm dalam suatu radius sentrifugasi selama 5 jam dilakukan untuk mengetahui kestabilan dari suatu sediaan terkait dengan pemisahan fase, khususnya krim. Menurut Bechner, uji ini setara dengan efek gravitasi untuk kira-kira satu tahun. Berdasarkan tabel diatas dapat diamati bahwa formula tersebut tidak stabil karena mengalami pemisahan fase. Hal ini disebabkan oleh kurangnya emulgator basis krim yang digunakan dan adanya asam sitrat. Pemisahan emulsi ini juga mengakibatkan keluarnya pelarut dari matriks. Lapisan minyak berada di atas, sedangkan lapisan air berada di bawahnya tertahan oleh matriks. Hal ini disebabkan oleh massa jenis minyak lebih kecil dibandingkan massa jenis air. Uji Cycling Test Uji ini dilakukan selama 6 siklus. Sediaan disimpan pada suhu rendah selama 24, lalu disimpan pada suhu tinggi selama 24 jam berikutnya. Berdasarkan hasil pengamatan, semua sediaan menunjukkan sifat yang stabil secara organoleptis dan homogenitas.
Uji Aktivitas Antioksidan pada Sediaan Krim Terhadap DPPH (2,2-Difenil-1-pikril hidrazil) Sampel sediaan diambil sebanyak 15,0 gram dicukupkan dengan 100,0 mL metanol dalam labu tentukur dan dilakukan ekstraksi. Dilakukan sonikasi selama 30 menit kemudian
diekstraksi dengan cara disentrifugasi selama 30 menit. Hasil yang telah di sentrifuge diambil filtratnya. Larutan filtrat tersebut memiliki konsentrasi 150.000 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran hingga di dapat 15.000 ppm. Kemudian dari konsentrasi 15.000 ppm diencerkan kembali menjadi 15 ppm, 600 ppm, 1500 ppm, 3750 ppm, dan 7500 ppm. Selanjutnya 2,0 mL dari masing-masing larutan sampel ditambahkan 1,0 mL DPPH dan 1,0 mL metanol, dihomogenkan. Larutan uji dan larutan blanko diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Serapan atau absorbansi larutan uji diukur pada panjang gelombang 515,5 nm. Pada kelima formula ini terdapat perbedaan jumlah silikon dalam basisnya formula A merupakan formula tanpa menggunakan silikon sama sekali dalam basisnya, formula B1 memiliki kandungan dimetikon 4%, formula B2 memiliki kandungan dimetikon 8%, formula C1 memiliki kandungan siklometikon 4%, formula C2 memiliki kandungan siklometikon 8%. Hasil yang didapatkan secara berturut-turut adalah 4442,775 ppm, 4882,708 ppm, 5131,667 ppm, 5200,833 ppm, dan 5298,333 ppm. Terdapat pengaruh basis silikon yang bertindak sebagai peningkat penetrasi.
Uji Penetrasi Sediaan krim dari Ekstrak Kulit Buah Manggis dengan Sel Difusi Franz Uji penetrasi dilakukan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz. Prinsip kerja difusi Franz adalah dengan meletakkan membran semi permeabel di antara kompartemen donor dan reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang melewati lapisan epidermis kulit menuju cairan reseptor diukur kadarnya menggunakan teknik analisis spektrofotometri UV-VIS. Membran yang dipakai pada uji penetrasi adalah kulit tikus betina strain Sprague-Dawley yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan ± 200 gram. Alasan digunakan kulit tikus sebagai membran adalah kulit tersebut lebih mudah didapat dibandingkan kulit manusia dan memiliki permeabilitas yang mirip dengan manusia walaupun tetap lebih besar dibandingkan manusia. Koefisien permeabilitas kulit manusia sebesar 92,27 cm/jam x 105 , sedangkan kulit tikus yang sudah dicukur bulunya memiliki koefisien permeabilitas sebesar 103,08 cm/jam x 105 (Wester & Maibach, 1990). Selain itu, penggunaan kulit tikus dapat mengurangi variasi antar individu karena berat tikus yang digunakan berada pada rentang yang sama dan diberi perlakuan yang sama (Barret, 1969). Kulit yang diambil adalah kulit bagian abdomen karena bagian tersebut merupakan bagian kulit tikus terluas. Sebelum dilakukan proses pengulitan, bulu-bulu tikus yang berada di permukaan dicukur menggunakan silet sampai bersih, setelah itu tikus dikuliti tanpa diambil bagian lemaknya. Sisasisa lemak dapat dihilangkan menggunakan pinset secara berhati-hati agar tidak merobek bagian kulit tersebut. Kulit yang sobek tidak dapat digunakan karena akan mempengaruhi hasil penetrasi. Penghilangan lemak dilakukan untuk memperkecil variasi dari kulit tikus karena tujuan dari penetrasi ini adalah zat aktif dapat mencapai lapisan subkutan. Adanya lemak akan mempengaruhi penetrasi zat aktif ke dalam lapisan subkutan. Kulit tersebut kemudian direndam dalam dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20) sebelum digunakan atau dapat disimpan pada suhu 5°C agar tidak rusak dalam rentang waktu 24 jam.
Larutan yang digunakan sebagai cairan pada kompartemen reseptor adalah dapar fosfat pH 7,4 dan metanol dengan perbandingan (80:20). Metanol digunakan untuk membantu melarutkan zat aktif yaitu ekstrak kulit manggis. Sebelum digunakan, dapar fosfat-metanol harus selalu dicek pH-nya. Perubahan pH larutan akan mempengaruhi hasil analisis spektrofotometri karena dapat mengakibatkan perubahan serapan atau daya serap dan panjang gelombang maksimum zat tersebut, seperti perubahan serapan hiperkromik dan hipokromik serta perubahan panjang gelombang hipsokromik dan batokromik (Harmita, 2006). Suhu yang dibutuhkan selama proses difusi berlangsung adalah suhu 37°C. Suhu ini mirip dengan suhu tubuh normal manusia. Suhu harus dijaga konstan karena perubahan suhu akan mempengaruhi penetrasi zat aktif dari sediaan tersebut. Semakin tinggi suhu, maka akan semakin cepat dan semakin banyak zat aktif yang masuk ke dalam kompartemen reseptor karena membran kulit menjadi lebih permeabel. Penjagaan suhu dilakukan dengan cara mengalirkan air dari termostat ke dalam pelapis air (water jacket). Proses pengadukan pada cairan reseptor dibantu menggunakan pengaduk magnetik berkecepatan 300 rpm. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses homogenisasi dari zat yang terpenetrasi ke dalam cairan pada kompartemen reseptor. Perbedaan kecepatan pengadukan akan mempengaruhi analisis hasil penetrasi. Pengadukan berkecepatan tinggi menjadikan larutan cepat homogen dibandingkan kecepatan rendah. Oleh karena itu, kecepatan pengadukan harus dijaga agar tetap konstan. Kondisi perlakuan pada masing-masing sediaan yang akan diuji diusahakan sama karena akan mempengaruhi nilai koefisien variasinya. Misalnya, adanya gelembung udara atau pusaran pada saat proses difusi berlangsung dapat mempengaruhi analisis hasil penetrasi secara signifikan. Pusaran tersebut menyebabkan timbulnya celah antara membran dengan cairan reseptor sehingga dapat menghalangi penetrasi zat aktif menuju cairan reseptor. Proses pengambilan sampel diusahakan pada titik yang sama serta digunakan syringe yang sama untuk menghindari pengaruh terhadap analisis hasil penetrasi sediaan tersebut. Ketebalan kulit tikus yang digunakan juga memenuhi kriteria tebal sekitar 0,66 mm serta luas permukaan tikus yaitu sekitar 2,011cm2. Jumlah sampel yang diambil dari cairan kompartemen reseptor adalah 0,5 ml kemudiaan diencerkan dengan labu tentukur 5,0 ml menggunakan dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20). Volume sampel yang diambil segera digantikan oleh dapar fosfat pH 7,4-metanol (80:20) dengan volume yang sama untuk menjaga agar konsentrasi selalu rendah. Keadaan ini disebut sink condition. Kompartemen donor sebagai sumber dan kompartemen reseptor sebagai sink (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1993). Setelah itu, xanton yang terpenetrasi diukur konsentrasinya menggunakan alat spektrofotometer UV-VIS. Teknik analisis spektrofotometri lebih disukai karena penggunaannya mudah dan proses analisisnya cepat walaupun terdapat banyak kekurangan seperti sensitivitas dan selektivitasnya kurang baik karena dapat mendeteksi gugus kromofor selain xanton, yaitu: metil paraben, dan propil paraben.
Uji Perolehan Kembali Xanton Sediaan-sediaan yang telah dibuat, diukur kembali persentase kadarnya untuk mengetahui apakah sediaan tersebut memenuhi batas spesifikasi uji perolehan kembali atau tidak. Persentase perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil kadar yang diperoleh dengan hasil kadar sebenarnya. Kriteria cermat diberikan jika hasil analisis memberikan rasio antara 88-112% (Harmita, 2006). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil perolehan rata-rata formula A, B1, B2, C1, dan C2 secara berturut-turut adalah 101,89±2,62%, 102,05±1,68%, 98,332±2,40%, 95,74±5,32%, 102,30±6,39% . Dengan demikian, semua sediaan memenuhi batas spesifikasi. Uji Penetrasi Xanton Sediaan yang diuji penetrasinya adalah sediaan yang stabil, yaitu pada awal pembuatan minggu pertama. Proses pengujian ini dilakukan selama 8 jam. Sampel diambil pada 11 titik, yaitu pada menit ke-10, menit ke-30, menit ke-60, menit ke-90, menit ke-120, menit ke-180, menit ke-240, menit ke-300, menit ke-360, menit ke-420, dan menit ke-480. Sampel yang diambil sebanyak 0,5 ml ini kemudian diencerkan dalam labu 5,0 ml dengan dapar fosfat pH 7,4metanol 80 : 20. Setelah itu, diukur serapannya secara spektrofotometri pada panjang gelombang 255.4 nm. Uji penetrasi perkutan secara in vitro, memiliki 2 parameter utama, yaitu jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi, baik dalam bentuk massa/luas area atau persentase dosis terpenetrasi dan laju penetrasi atau fluks (Lehman, Rzaszutak, & Raney, 2008). Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dihitung persentase xanton yang terpenetrasi. Jumlah zat yang terpenetrasi dapat diamati pada Gambar 5. Fluks dihitung dengan menarik garis linear dari kurva jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi terhadap waktu sehingga didapat persamaan y = a + bx, b atau kemiringan garis menyatakan nilai fluks yang dapat diamati pada Gambar 6. Nilai ini secara normal menyatakan unit tunggal pada permukaan kulit (Utley, 2001). Cara lain untuk menghitung fluks adalah menggunakan persamaan hukum Fick pertama, yaitu jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi melalui satuan luas dalam satuan waktu. Hasil uji penetrasi menunjukkan jumlah xanton yang terpenetrasi selama 8 jam secara berurutan dari yang terbanyak adalah C2 > C1 > B2 > B1 > A dengan nilai 1116,74±77,75 µg/cm², 619,46±23,42 µg/cm², 576,82±52,12 µg/cm², 539,42±18,63 µg/cm², 436,19±59,85 µg/cm². Berdasarkan jumlah xanton yang terpenetrasi dapat dihitung persentase jumlah xanton yang terpenetrasi dari dosis yang diaplikasikan. Persen xanton yang terpenetrasi dari sediaan krim secara berturut-turut dari C2, C1, B2, B1, dan A yaitu 0,51±0,07%, 0,62±0,02 %, 0,66±0,05%, 0,70±0,02%, dan 1,20±0,17%.
Jumlah terpenetrasi (µg/cm2)
1200 1000 800
A
600
B1
400
B2
200
C1
0
C2 0
100
200
300
400
500
600
Waktu (menit)
Gambar 5. Jumlah kumulatif xanton total yang terpenetrasi selama 8 jam 2.50
Fluks
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 A
B1
B2
C1
C2
Formula
Gambar 6. Fluks xanton total dari sediaan krim
KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji penetrasi secara in vitro dengan sel difusi Franz yang di lakukan selama 8 jam dapat disimpulkan bahwa sediaan krim yang mengandung basis silikon memberikan hasil penetrasi yang lebih tinggi dibanding krim dengan basis tanpa silikon. Dari 2 jenis silikon yang digunakan, silikon jenis siklometikon memberikan hasil yang lebih baik untuk peningkat penetrasi dibandingkan dengan silikon jenis dimetikon. Kemudian setelah dilakukan uji stabilitas fisik, disimpulkan bahwa krim yang telah dibuat tidak stabil dikarenakan pada saat uji sentrifugasi terjadi pemisahan fase. Untuk nilai IC50 dari hasil uji aktivitas antioksidan pada
sediaan krim adalah 5298,33 ppm (A), 5200,83 ppm (B1), 5131,67 ppm (B2), 4882,71 ppm (C1), dan 4442,78 ppm (C2). Berdasarkan hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan sediaan C2 > C1 > B2 > B1 > A sehingga formula C2 memiliki sifat antioksidan terbaik.
DAFTAR ACUAN 1. Ansel, H. C. (1989). Pengantar bentuk sediaan farmasi edisi keempat. (F, Ibrahim, Penerjemah). Jakarta: UI Press, 106-107. 2. Barret, C. (1969). Skin penetration. Journal Society Cosmetic Chemists , 20, 487-499. 3. Benson, H.A. (2005). Transdermal drug delivery: penetration enhancement techniques. Current Drug Delivery , 2, 23-33. 4. Chaverri, J., N.Cardenas-Rodriguez, M. Orozco-Ibarra, & J.M. Perez-Rojas. (2008). Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana L.). FoodChem. Toxic., 46, 3227– 3239. 5. Cita-Colipa. (2004). Guideline on stability testing of cosmetics products, 1-7. 6. Djajadisastra, J. (2004). Cosmetic stability. Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok: Seminar Setengah Hari HIKI. 7. Draelos, Z.D. (2010). Cosmetic dermatology products and procedures. Singapore : John Wiley & Sons, 281-282. 8. Iswandana, R. (2009). Penetapan daya penetrasi secara invitro dan uji stabilitas fisik sediaan krim, salep, dan gel yang mengandung kurkumin dari kunyit (Curcuma longa L). Skripsi Program Sarjana Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 35. 9. Kosasih, E.N., Tony S., & Hendro H. (2006). Peran antioksidan pada lanjut usia. Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia. Jakarta, 48-49. 10. Leopold, C.S., & Maibach, H.I. (1996). Effect of lipophilic vehicles on in vivo skin penetration of methyl nicotinate in different races. International Journal of Pharmaceutics. 139, 161-167. 11. Martin, A., Swarbick, J., & Cammarata, A. (1990). Farmasi fisik Jilid II edisi ketiga terj. dari Physical Pharmacy oleh Joshita. Jakarta: UI Press, 1143-1183. 12. Nanjwade, Basavaraj K. (2009). Silicone based drug delivery systems. Departement of Pharmaceutics KLE University. Kamataka: Woorkshop KRE COP Bidar. 3-13. 13. Séné, C., D. Neun, L. Tan-Sien-Hee, & K. Ulman, (2002). Silicones as excipients for topical pharmaceutical applications. Dow Corning (Life Sciences), 3-6. 14. Thakker, K. D., & Chern, W. H. (2003). Development and validation of in vitro release tests for semisolid dosage forms - case study. Dissolution Technology, 10-15. 15. Touitou, E., & Barry, B. W. (2007). Chemical permeation enhancement. Enhancement in Drug Delivery.