)
CUUCOIDES spp (DIPTERA : CERATOPOGONIDAE) SEBAGAI VEKTOR BEBERAPA PENYAKIT PADA HEWAN
Oleh MAWARDI
B.17.1187
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1986
RINKASAN Mawardi. Culicoides spp (Diptera : Ceratopogonidae) sebagai Vektor beberapa penyaki t pada Helvan. Culicoides spp (biting midges = Agas) ordo diptera, famili Ceratoponidae, merup3.ka.nlalat kecil (panjang 1,5 - 5 mm) yang berwarna coklat atau hi tam, yang biasanya menghisap darah hewan/ manusia dan bangs a unggas, yang lebih membedakan lalat ini dengan lalat lainnya karena mempunyai bercak-bercak pada sayapnya serta mempunyai kerangka sayap yane; melintang (cross-vein) yaitu: r - m. Lalat ini biasanya menyerang induk semangnya secara bergerombol dan lebih menyukai hel-Ian yang berada diluar kandang, daerah yang <'lisenanginya biasanya daerah tengkuk dan daerah bawah lmki. Pada bagian kepalanya terdapat sepflsang antenna yang relatif panjang (15 segmen), pada yang jantan antennanya berbulu lebat, sedang yang betina tidak berbulu lebat. "Mulutnya relatif kecil dan menggantung vertilml di bavlah kepala. Pada bagia:n kepala ini juga terdapat labrum yang tajam yang digunakan untuk merobek jaringan induk semang. Thorax sedikit bongkok dan menonjol keatas kepala serta pada bagian dorsalnya terdapat titik-titik hitam dan sepasang tanda hitam yang memanjang keba\'Tah yang dikenaI dengan humeral pits. Abdomennya berbentuk silinder dan terdiri dari 10 segmen, pada segmen yang ke 9 dan ke 10 ukurannya mengecil, dan pada segmen yang terakhir diperlengkapi
den"~~~~
sepasang Cerci yang terletc\k pada bagian sampingnya. Daur hidupnya mengalami metamorfosa sempurna yni.tu: telur, larva, pupa dan dewasa terdapat dalam satu priode, lam!'l.nya dari telur hingga dewasa berkisar antara 1 - 12 bulan, hal ini tergantung dari jenis (spesiesnya) dan suhu lingkungan. Sebagai ektoparasit Culicoides spp ini menghisap darah induk semang, rnenirnbulkan ketidakten?cngan hewan, rnenimbulkan kerusakan jaringan induk sernang "serta menggigi t para wisatawan yang sedang berlibur di pantai. Culicoides spp sebagai vektor penyakit: Blue tongue, Akabane, Bovine Ephemeral Fever, Leucocytozoonosis pada unggas, Afrikan Horse Sickness, Venezuelan Equine Ence phalomyelitis dan Infectious Bursal Disease serta sebagai vektor filaria dari Mansonella ozzardi dan onchocerca cervicalis. Penanggulangan lalat ini yang paling efektif adalah rnerupakan kombinasi dari kontrol secara kimiawi dan ]control melalui praktek tata laksana.
Cl~ICOIDES
spp (DIPTERA : CERATOPOGONIDAE)
SEBAGAI VEKTOR BEBERAPA PENYAKIT PADA HE1/lAN
SKRIPSI
Skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakul tas Kedokteran He"lan Institut Pertanian Beger
Oleh MAl'IARDI B.17.1187
Fakul tas Kedekteran Rel'lan Institut Pertanian Bogor 198 6
Judul skripsi
Culicoides spp (Diptera : Ceratopogonidae) sebagai vektor beberapa penyakit pada hewan
Penulis
Mawardi
Pembimbing
Drh. Soetiyono Partosoedjono M.Sc.
Menyetujui :
--ZZ~~
Drh. So etiyono Parto so edjono 11. 8c • Pembirnbing
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahim Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah s. 't!. t., karena hanya dengan rakhmat dan hidayah Nya sajalah penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mem_perol eh gelar Dokter Rewan di Fakul tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahHa penuli.§. an ini masih jauh dari sernpurna, walaupun demikian rnudahmudahan ada gunanya sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia kedokteran hewan. Pada kesempatan ini penulis rnenyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Drh. Soetiyo no Partosoedjono M.Sc. yang telah memberikan bimbingan, nasehat serta saran sejak rnulai penulisan sarnpai akhir penyelesaian skripsi ini. Penulis juga sangat rnenghargai atas bantuan dan kerja sarna yang dilakukan selarna ini oleh ternan-ternan se asrama mahasiswa Kalimantan Selatan Bogar, Perpustakaan Fakul tas Kedokteran Hewan, Balai Penyidikan Penyaki t Hewan Bogor
dan Balai Peneli tian Ter-nak Ciawi, Bogor. Akhirnya Icepada mama, ayah dan kakak-kakak tercinta,
penulis sangat berhutang budi atas semua do'a, Pengorbanan dan kesabaran menanti dengan penuh pengertian sampai penulis menyesaikan tulisan ini. Bogor, Oktober 1986 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1961 di Kandangan (Kalimantan Selatan). Orang tuanya adalah Mugeni dan Salmah. Merupakan putra terakhir dari 4 bersaudara. Tahun 1973 penulis menamatkan pendidikan dasar di S D N I Parincahan, tahun 1976 menyelesaikan sekolah lag jutan pertama di S M P Negri I Kandangan, dan pada tahun 1980 berhasil menyelesaikan sekolah lanjutan atas di SMA Negri 3 Banjarmasin, ketiga-tiganya penulis selesaikan di Kalimantan Selatan. Pada tahun 1980 itu pula penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Proyek Perintis II. Setelah menjalani kuliah selama dua semester penulis memilih bidang keahlian Kedokteran Hewan
DAFTAR lSI Halaman
...................................................... ..............................................................
vii
.. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. . .. .. .. .. . .. .. .. .
ix
.. .. .. .... .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . .
x
.. .. .. .. .. .. .. .... .. ...................................... ..
1
.............................................................. ..
5
Daur hidup ...................................................... ..
11
KATA PENGANTAR DAFTAR lSI
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPI RAN I.
Pendahul uan
II.
Morfologi 1.
2. III.
vi
a.
Telur
. .............................................. .
11
b.
Larva
............................................ " ....
12
c.
Pupa
.. ................................................ .
14
d..
Imago
.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
14
Tingkah laku serangga di alam
••••.•••
16
Peranan Culicoides spp dalam lingkungan hidup Hewan/Manusia
••...•.••••. " ........ .
1. Sebagai ektoparasit ;0.
18
•••••..••••••••••.•
18
.. . .. . . .. . . .. .. .. .. . .. ..
19
a. Blue Tongue
19
b. Akabane
............................................ ....................................................
20
......................
22
d. Leucocytozoonosis pada Unggas •••••
24
e. African Horse Sickness
•••••••••••
25
f. Venezuelan Equine Encephalomyelitis
26
g. Infectious Bursal Disease ................ ..
27
.. . .. .. .. .. .. .. . .. .. . . .. .. ..
29
Sebagai Vektor penyaki t
c. Bovine Ephemeral Fever
3. Sebagai Vektor Filaria
..... ... . . . . . . . 1. Kontrol dengan Senyawa Kimia .... . . . . . . . . . 2. Kontrol secara Fisik dan Mekanis ......... 3. Kontrol secara Alami • • • • • .0. • . . • . • • • . . . . . 4. Kontrol melalui Praktek Tata Laksana ..... V. Pembahasan ... . . .. . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . .. . VI. Kesimpulan . ................................ . VII.Saran ....................................... Daftar Pustaka ..............................
IV. Penanggulangan Culicoides spp
31 31 34-
35 36 38 4-8
4-9
50
DAFTAR GAMBAR Nomor Teks 1.
Halaman
Genus Culicoides dewasa betina, dilihat dari lateral ................................ .
2.
Genus Culicoides betina dewasa, dilihat dari dorsal ................................. .
3.
6 6
Kepala dan thorax Culicoides dewasa betina dengan hll1Ileral pits ......................... .
8
Sayap Culicoides spp dengan bercak-bercak dan kerangka sayap r - m ...•..............•..
8
5.
Kaki Culicoides spp dewasa betina •••.•...••.•
10
6.
Abdomen Cu 1 icoides spp del.msa betina ••••••. _.
10
7.
A. B. C. D.
Telur Culicoides spp •••••••••••••..•••••• Larva Culicoides spp ...•...••....•....•.. Kepala larva Culicoides spp ••••••.•••.•••• Segment terakhir larva Culicoides spp ••••••
13 13 13 13
8.
Pupa Culicoides spp, dilihat dari dorsal ....•
15
9.
Pupa Culicoides spp, dilihat dari lateral •...
15
4.
DAFTAR LAr1PIRAN Nomor Teks
Halaman
1.
Perbandingan jumlah penyidikan penyakit hewan di Indonesia ••••••••••.••.•••••••.•.••.•••
56
2.
~1orbidi ty
and mortali ty rate ••••••••••••••••••
56
3.
Distribusi neutralizing antibody terhadap virus Akabane paaa sapi dari Jawa Timur dan Bali berdasarkan j enis sapi, 1979 •••••••••••••
57
Distribusi neutralizing antibody terhadap virus Akabane pada sera sapi dari Jawa Timur dan Bal i ......................................
57
Distribusi neutralizing antib6dy terhadap virus Akabane pada sera sapi dari Jawa Timur dan Bali berdasarkan wnur sapi, 1979 •••••.••••
58
4.
5.
PENDAHULUAN Serangga famili Ceratopogonidae, Ordo Diptera mem -
3 genera yaitu: Leptoconops, Forcipomya dan Culicoides. Dari ke tiga genera itu, Culicoides merupakan genus yang terpenting, karena banyak menimbulkan permasalahan-per masalahan baik sebagai vektor penyakit, sebagai induk s.§. mang dari berbagai parasit filaria maupun sebagai para sit kulit pada hewan dan manusia
(~ervice,
1980).
Genus Culicoides mempunyai beberapa ratus jenis diantaranya yaitu:2.brevitarsis, C.hollensis, 2.furen, C. absoletus, C.sanguisuga, 2.pallidipennis, 2.belkini, C. schultzei, C.ditinctipennis, 2.picnastictus, 2. milnei,
2.
guttipennis, 2.barbosai, 2.circumscrintus, 2.imTlUnctatus, C.nubeculosus, C.riethi, 2.imicola, 2.sommermanae, 2.varii pennis, 2.puncticollis, 2.nipponensis, 2.arakawai,
2.~
latus dan 2.humeralis dll. Tersebar luas hampir di seluruh dunia (kosmopolit) kecuali di Patagonia di daerah ke pulauan Pasifik dan Selandia Baru (Brown, 1979). Umumnya Culicoides spp ini menghisap darah hewan ver tebrata, bangs a unggas, dan banyak pula diantaranya yang menggigit dan menyerang manusia serta sebagai vektor c1ari berbagai parasit pada manusia (Service, 1980). Culicoides spp yang dewasa mempunyai sinonim nama yang banyak dan perbedaan penamaan ini pada dasarnya karena perbedaan tempat/negara dimana asal Culicoides spp itu ditemukan, misalnya di Amerika dikenal dengan nama
?
"No see urns" atau "Punkies", di Australia dan beberana negara lain dikenal dengan nama "Sandflies", tetapi nenamaan Sandflies ini pengertiamnya terlalu l.uas karena meficakup beberapa ordo diptera yang menghisap darah, termasuk didalamnya Phlebotomus (Psychodidae) dan Simulium (Simulidae) (Service, 1980). Oleh karena itu penamaan Sandflies ini sekarang sudah ditinggalkan orang. Nama lainnya yaitu "Gnats", Midges", "Biting 11idges", "Rambetuk" dan "Agas". Penamaan yang terakhir ini hanya terkenal. di Indonesia, sedangkan para entomolog di seluruh dunia lebih sering menggunakan istilah biting midges, karena istilah ini lebih membedakan mereka dari lalat kecil lainnya yang tidak bersifat menggigit (Service, 1980). Culicoides spp ukurannya sangat kecil kurang lebih 1,5 - 5 mm, dan merupakan lalat yang paling kecil yang menyerang manusia dan hel-Ian. Serangga tersebut mempunyai sepasB.ng mata yang jelas dan mempunyai sepasang antena yang relatif panjang. Culicoides jantan yang del-lBsa biasanya tidak menghisap darah dan mempunyai antenna yang berbulu lebat, tetapi pada yang betina dewasa menghisap darah dan antennanya tidak berbulu lebat. Sayap Culicoides spp ini pendek dan relatif kasar serta rangka sayap yang pertama sedikit redup, mempunyai rangka sayap melin tang (cross vein) yaitu r - m yang tidak di punyai oleh Lasiohelea dan Leptoconons. Perbedaan yang lebih menonjol ialah bercak-bercak pada sayapnya, ciri lainnya yang
3 cukup j elas yai tu Vlarnanya yang hitam serta thoraxnya yang sedikit bongkok dan menonjol keatas kepala (Tokunae;a, 1937). Lalat ini pada siang hari biasanya berkerumun/bergerombol dekat kolam dan raVia-raVia dan menyerang mangsanya pada malam hari. Lalat ini berkembane; biak di dalam hutan lebat dan rawa-raVla, dengan meletakkan telurnya di atas lumpur atau tanah yang basah terutama dekat-rawa-rawa atau dapat juga pada tumpukan sampah yang membusuk pada kotoran hewan serta pada lobang-lobang pohon yane; berair (Service, 1980) .
Telur yang panjangnya kurang lebih 0,5 mm ini setelah 2 - 9 hari menetas menjadi larva, larva ini kemudian B.kan masuk kedalam dasar lumpur untuk mencari makanan clari sisa· tlimbuh-tirnbuhan dengan mandi bullanya yang bergerigi,
s~
telah melalui 4 ins tar larva berubah menjadi pupa dan setelah 3 - 5 hari pupa tersebut berubah menjadi lalat dewasa (BrOlvn, 1969). Lalat
de~lasa
ini biasanya menyerang hewan pada malam
hari dan disaat hewan itu berada di padang rumput, jarang sekali Culicoides spp ini ditemukan menyerang di siang hari dan saat dalam kandang, selain itu sifat menyerangnya yang bergerombol (tidak satu persatu) dan biasanya menyerang mangsanya berpindah-pindah dari hewan yang satu ke he\1an yang lain, hal ini yang merupakan Culicoides spp s<'>bagai vel<::tor yang potensial terhadap beberapa penyald t seperti Blue Tongue, Akabane, Bovine Ephemeral Fever,
4
African Horse Sicknes
dll, dan juga sebagai transmisi
yang potensial dari beberapa filaria seperti mansonella ozzardi, microfilaria onchocerca cervicalis dan juga peE nah diJ.aporkan sebagai transmisi dari Trypanosoma bakry (Jenning et al ., 1983; Greiner et al ., 198 1"). Melihat potensi dari Culicoide's spp maka sangat di perlukan mempel"jari sifat-sifat biologi dan kebiasaan,cebiasaannya terutama pada saat dia menyerang mangsanya , dengan meffipelajari sifat-sifat tersebut nantinya akan
d~
pat ditangani berbagai kasu8 yang ditimbulkan oleh lalat ini.
Berdasarkan keadaan·-keadaan di' a.-tas maka tulissn ini mencoba untuk melihat potensi dari Culicoides spp sebagai vektor dari berbagai penyakit virus dan parasit filaria ser,ta cara-cara pengendaliannya dan pemberantasa=ya.
MORFOLOGI Oulicoides spp yang del,Jasa mempunyai bentuk tubuh yang silinder dengan cranial yang berbentuk bulat kecil dan ujung caudal yang melancip. Ukuran Oulicoides spp dari kepala sampai ujung abdomen rata-rata
1,5 - 5 mm dan lebar
0,5 mm (Service, 1980).
Kepala Oulicoides spp yang dewasa relatif kecil, dan pada bagian kepala ini terdapat sepasang mat a yang jelas yang ter1etak--di antara dasar antenna serta sepasang antenna yang
rel~tif
panjang yang terdiri dari
15 segmen,
b.ga segmen yang terakhir merupakan segmen yang terpanjang (Jobling,
1928 dalam Tokunaga, 1937), pada yang jan-
tan antenna ini berbulu lebat tetapi yang betina tidak berbulu lebat. Bagian mulut yang menggigit pada umQmnya sangat kecil dan hampir-hampir tidak dikenal serta tidak menonjol kedepan tetapi menggantung vertikal di baliJah kepala. Pada bagian kepala ini juga terdapat labrum yang tajam yang di gunakan untuk merobek jaringan induk semang, sepasang maxilla dan sepasang mandibulla, selain itu terdapat juga hypopharyng dan bagian bibir yang bukan digunakan untuk menembus kuli t induk semang. Oulicoides spp juga dilengkapi dengan maxilla palpi yang terdiri dari 5 segmen, maxilla palpi Oulicoides ini merupakan yang terlengkap dari semua ordo diptera, pada segmen yang ketiga dari rna xilla palpi ini diperlengkapi dengan spatulate yang beTfungsi sebagai sensory organ (Tokunaga,
1937).
6
Gambar 1. Genus Culicoides dewasa betina, dilihat dari lateral
GaP1bar 2. Genus Culicoides betina devJasa, dilihat dari dorsal
7 Thorax Culicoide.s spp ini sedikit bongkok dan :nenonjol ke atas kepala, pada bagian dorsalnya terdapat titik-titik hi tam, sel'ta sepasang tanda hi tam yang memanjang kebal-Tah yang dikenal dengan humeral pits (Service, 19130), Culicoides ini mempunyai sayan yang pendek dan relatif kasar dengan rangka sayap yang pertama relatif redup tetapi mempunyai rangka sayap yang melintang (cross-vein) yai tu r - m, hal inil:'h yang membedakan dengan JJeptoconops dan Lesiohelea (Sorvice, 1980), Menurut Tillyard's (1937) dalam Tokunaga (1937) pade rane;ka sayap Culicoides ini terdapat Costa (C) dan sub co.§. ta (Sc) yang relatif kecil, dan RadiusnYfl (R) bercnbang
d~
a yaitu R1 dan Rs dan masing-masing cabane; ini berhubungan pada bagian dasar pada R1 , ~ledianya eM) bercabang tiga yaitu M1 , M;:> dan M3+4' M1 dan M2 berjalan sejajar tetapi M'l+4 dihubungkan langsung dengan OU 1 dan M1+2 biasanya leta1mya melebihi cross vein (r - m), Pada qubitus yang pertama OU 1 berhubungan dengan
pada bagian depannya, sedang CU 2 dan 1A bentuknya kecil dan sederhana, ~13+4
Kalci Oulicoides berbentuk silinder dan relatif pendek, pada bagian depan sangat pendek dan kaki bagian tengah yang terpanjang sedangkan Leptoconops dan Lasiohelea kaki belAkang terpanjang (Macfie, 1925 dalam Tokunaga, 1937). Femur, tibia dan tarsus Culicoides panjang hampir sama untuk setiap kakinya. Kaki depan dan belakang par1.a ti bianya diper lcngkapi dengan suatu alat perlindungan yang berupa tnji
8
. .... .
.. .. .......... -. •
•
# •••
humeral pits ... " :
.... "t·. ..
. ..
..
Gambar 3. Kepala dan thorax Culicoides del'lasa betina dengan humeral pits
r - m
Gambar 4. Sayap Culicoides spp dengan bercak-bercak dan kerangka sayap r - m.
9 sedangkan pada kaki bagian tengah diperlengkapi dengan bulu-bulu halus, pada bagian tarsalnya
terdi~i
dari
~
segmen dan tiap-tiap segmen bentuknya relatif sama serta dilengkapi juga dengan bulu-bulu hal us. Abdomen bentuknya hampir silinder dan terdiri dari 10 segmen, segmen yang pertama sampai dengan yang ke tujuh strukturnya hampir bersamaan, tetapi pada tiga segmen yang terakhir lebih bermodifikasi sebagai fungsi sexual, pad a segmen lee sembilan dan ke sepuluh 1lkurannya sangat l<ecil dan pada segmen yang terakhir ini juga diperlengkapi denge.n sepasang Cerci yang terletak di bagian sampingnya
(~lalloch,
1915 dalam Tokunaga 1937).
10
Gambar 5. Kaki Culicoides spp devrasa betina
Gambar 6. Abdomen Culicoides spp dewasa betina
11 1.
Daur hidup a.
Telur Telur Oulicoides spp ini berwarna coklat atau
hitam, silindris dan berbentuk seperti pisang, panjangnya kurang lebih 0,5 rom dan lebarnya 0,15 mm, telur-telur ini dletakkan bergerumbul/berkelompok kurang lebih 30 130 butir • Menurut Partosoedjono (1986) warna telur
mul~
mula berwarna putih kuning muda kemudian berubah menjadi coklat dan ahkirnya hitam keabu-abuan dan satu kelompok telur bervariasi dari 4 - 20 butir yang diletakkan ter geletak berjajar. Telur-telur tersebut terletak diatas permukaan lumpur, atau tanah yang lembab dekan rawa tetapi bisa juga di atas sampah yang membusuk, humus, kotoran hewan atau bagian-bagaian lain didekat air (Service',198b)seperti di dalam lobang pohon, pada akar pohon pisang (Q.milnei dan Q.grahamii), Cara meletakan telur ini tergantung dari
j~
nisnya. Telur-telur ini kemudian menetas setelah berlang sung 2 - 9 hari, kecepatan menetas ini tergantung dari suhu dan jenisnya, misalnya C.subimmaculatus telurnya akan menetas setelah 5,5 hari pada suhu 25°C, O.varii pennis akan menetas setelah 37 hari pada suhu 9,8°0 (Mullem,1983; Rutz,1984).
12 b.
Larva Kurang lebih tiga hari telur akan menetas men
jadi larva, larva Culicoides ini mengalami 4 instar, lar va ini berbentuk silinder berwarna putih terang tembus, kemudian kekuning-kuningan dan dapat jfuga berwarna coklat atau hitam, pada dasarnya larva Culicoides ini rela.,. __ tif kecil yaitu 5 - 6 rom panjangnya. Pada bagian kepala larva ini terdapat sepasang mata dan sepasang antenna serta mandibulla, sedangkan pada bagian thorax terdapat tiga segmen dan bagian abdomen terdapat sembilan segmen. Pada segmen yang terakhir terdapat dua struktur seperti insang yang bergelambir empat buah yang dapat di tarik dan dijulurkan (Service, 1980). Kemudian larva ini akan berenang-renang dengan cepat, berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri/berbelit-belit masuk kEdalam dasar kolam mencari makan dari sisa-sisa tumbuh-tumbuhan dengan mandibullanya yang bergerigi. Ne nurut Partosoedjono (1986), kadang-kadang larva tersebut berdiam diri di antara massalumpur tersebut dan hanya
k~
palanya saja yang kadang-kadang menengok kekanan dan kekiri atau tiba-tiba bergerak serti ular dan kemudian berenang. Masa larva ini berlangsung antara 1 - 12 bulan, hal ini tergantung suhu dan jenisnya misalnya di Australia Q.subimmaculatus masa larvanya 37 hari, sedang di Nalaysia berlangsung l{urang lebih 90 hari (Brown, 1969).
13
A
C D
Gambar 7.
A. Telur Culicoides spp B. Larva Cu1icoides spp C. Kepala larva Culicoides spp
D. Segment terakhir larva Culicoides spp
14
c. Pupa Masa pupa ini berlangsung tidak lama yaitu antara 3 - 9 hari, dan panjang tubuhnya hanya 2 - 4 mm yang terdiri dari 9 segmen, pada bagian cephalothorax terdapat duri-duri ujung dan trompet untuk bernapas, selain itu terdapat juga sepasang penonjolan seperti tanduk pada segmen yang terakhir (Service, 1980). d. Imago
Setelah berakhir mas a pupa, maka keluarlah lalat dewasa yang panjang tubuhnya hanya 1,5 - 5 mm yang diperlengkapi dengan probosis yang pendek, lalat del>laSa ini pada umumnya meyerang hewan/manusia pada malam hari sekitar jam 18 - 20 atau sekitar pukul 5 - 6 dini hari, tetapi ada juga beberapa jenis yang juga menyerang pada siang hari (C.grahamii), lalat dewasa yang jantan biasanya memakan/mengisap sari tumbuh-tumbuhan, tetapi yang betina menghisap juga darah hewan/manusia, umumnya lalat dewasa ini menyerang induk semang secara bergerombol (tidak satu persatu) dan disaat indu]e semang sedang berada dil uar kandang (exophagi c), tetapi ada juga be berapa, jenis yang
menye~ang
induk semang didalam kandang (endo-
phagic) atau meuyerang didalam rumah antara lain C.milnei dan Q.grahamii (Brolifil, 195'9.; Service, 1980).
15
l.~~j't ; J-r
,
,,:,
:ofr': . f r \.'
Gambar 8. ·Pupa. Culicoides spp, dilihat dari dorsal
Gambar 9. ··Pupa Culicoides spp, dilihat dari lateral
16
2.
Tingkah laku serangga di alam Culicoides spp yang dewasa baik yang jantan maupun
yang betina kedua-duanya menghisap sari tumbuh-tumbuhan, yang jantan akan terus pergi ketempat-tempat peristirahatannya yaitu semak-semak/ hutan-hutan yang dekat denc;an kolam untuk mencari makanannya ·.sambil menunggu si betina untuk melakukan perkawinan, biasanya yang jantan ini tidak rnenghisap darah hewan/ manusia sehingga dia hanya memakan sari tumbuh-tumbuhan, tetapi yang betina juga mengllisap darah hewan/manusia (2.anadyriensis, 2.fliethi dan C.punctatus) dan darah burung (2.distinctipennis dan
2.
pycnostictus). Umumnya lalat dewasa ini menggigi t induk semang menjelang malam hari sekitar pukul 19.30 dan aktif kembali pada subuh hari sekitar pukul 5.00 (Wood dan Kline, 1984), tetapi ada beberapa jenis yang menyerang induk semangnya pada saat hewan itu berada diluar kandang (Humphreys dan Turner, 1973) atau menyerang sapi yang sedang berada di padang rumput yang terbuka (Hayes, et aI, 1984) dan umumnya lalat ini menyerang secara bergerombol (To\-mley, et aI, 1984) dan sebagian besar lebih menyukai daerah tengkuk dan daerah bawah kaki pada kuda (2.obsoletus dan 2.dewulfi) jarang sekali yang senang menyerang daerah muka, walaupun ada juga yang senang meyerang daerah sisi tubuh bila ada lesio-Iesio di daerah tersebut (C.punctatus dan C.nubeculosus).
17 Q.sanguisuga dan Q.guttipennis (Humphreys, dan Turner, 1973) menyerang ind'lk semangnya lebih tertarik pada ukuran induk semangnya yaitu yang lebih besar dan tidak
te:.~tarik
pada tubuh induk semangnya.
Culicoides spp yang menyerang manusia di dnlam rumah at au menyerang hewan pada saat di dalam kandang seperti Q.milnei dan C.grahamii. Kemampuan terbang Culicoides spp" iiti hanya beberapa meter saja dari tempat habitat larvanya, tetapi dapat
j~
ga mencapai jarak yang cukup jauh yaitu kurang lebih 6 Kilo meter selama setengah jam (O.mohave) bila terbawa angin karena tubuhnya ringan dan sangat kecil (Brenner, et al,-·198LJ.).
Peranan Culicoides spp. Dalam Lingkungan Hidup Hewan/Manusia 1.
Sebagai Ektoparasit Walaupun Culicoides merupakan lalat yang sangat ke-
cil, tetapi hubungannya sebagai ektoparasit banyak sekali permasalahe_n-permasalahan yang ditimbulkannya. Karena sifat menyerang dari gerombolan Culicoides spp ini menim bulkan kerusakan jaringan tubuh hewan. Luka bekas gigitan serangga ini pada umumnya tidak terlalu besar, tetapi dapat meni,,'mlkan perdarahan yang cukup banyak sebab Culicoides itu sendiri menghisap darah (Uumphrey,
1973).
L~
ka bekas gigitan ini akan tetap mengeluarkan darah karena air liur dari Culicoides spp ini mengandung zat anti koagulan yang dikeluarkan di tempat gigi tan. Luka belms gigitan ini gatal dan ruembentuk vesiculae atau urticaria pada kulit, kalau hal ini dibiarkan berlangsung lama maka dapat menimbulkan demam pada induk semangnya. Di beberapa negara seperti Scotlandia, Karibia, California dan Florida, Culicoides ini dapat merupa:mn ancaman secara ekonomik yang serius, karena Culicoides spp ini menggigi t para Ivisatawan di negara tersebut ('Gibbs, 1'1<183;- Greiner, '1983). '
/,
19 2. Sebagai Vektor Penyakit a. Blue tongue Blue tongue,(BT) ialah penyakit menular, non kontagius yang disebabkan oleh arbovirus dari golongan virus untaian ganda RNA (double stranded RNA) dan termasuk famili Reoviridae, virus BT ini menyerang do mba maupun rumenansia lainnya, tetapi sapi merupakan reservoar yang potensial. Kejadian penyaki t
ini hampir 1;r:Y.'sebar luas di ~
seluruh dunia misalnya di Sudan (Mellar et al., 1983), Israel (Braverman dan Galun, 1973), Kenya (Linthic\l.In dan Davies,
198~),
Timur Tengah (Mellor, 1983; Boorman, 1983),
Amerika (Mullen,
198~),
Australia (Muller, 1985), Sene-
gal (Lefevre dan Taylor, 1983) dan Tail-ran (Lien dan Chein, 1983). Kejadian di Indonesia pertama kali rIilaporkan oleh Balai Penyidikan Penyaki t Hewan Wilayah VI Denpasar tahun 1981 dari isolasi virus BT dari Domba impor asal Australia di des a Caringin, kecamatan Ciawi, Bogor dan Semarang. Domba merupakan heyran yang paling rentan terhadap penyakit ini. Domba yang masih menyusui relatif lebih ta han terhadap penyaki t ini, sedangkan domba yang berumur sekitar 1 tahun yang paling rentan. Ada perhedaan kepekaan ras domba terhadap penyakit BT ini. Domba asli Afrika Selatan seperti ras Afrikander dan Persia kurang peka di banding dengan ras Merino. Di Israel domba ras
20
Sardinia lebih peka dibandingkan dengan ras Awassi, Di Pakistan domba ras Ramboullet lebih peka dibandingkan dengan domba Damani, tetapi kambing dan sapi kurang peka dibandingkan dengan do mba (Anonymous, 1982). Penyakit BT ditularkan oleh Arthropoda genus Culicoides, virus BT mengalami replikasi di dalam sel tubuh Culicoides spp ini. Penularannya secara inokolasi, agent penyakit dalajJl stadium infektif bertumpuk di dalam kelenjar air liur dan di keluarkan
bersama pada saat dia
menggigit at au menghisap darah. Tidak kurang dari 30 negara yang melaporkan bahlrla 9ulicoides spp merupakan vektor BT yang potensial misalnya di Afrika Selatan yaitu .Q.pallideDennis sebagai vektor utama sedang di Amerika dan Australia berturut-turut .Q.variipennis dan .Q.brevitarsis, di Sudan, Haiti, Fiji, Afrika dan Timur Tengah yaitu ,Q.variiDennis, di Spanyol, Portugal, Israel dan Yunani
yai tu C.imicola. (Birley, 1984; Muller, 1985).
b. Akabane
Akabane ialah penyakit menular, non kontagious yang disebabkan oleh arbovirus yang mempunyai inti RNA yang termasuk sub group Simbu, famili Bunyaviridae. Penyakit Akabane ini ditandai dengan arthrogryposis (AG) dan disertai atau tanpa Hydranencephalitis (HE) sehingga sinonim penyakit ini adalah Arthrogryposis Hydranencepha litis (Gde 8udana, 1981).
.::>1
Penyakit ini pertama kali terdapat di Jepang (1961), Israel (1969), Australia (1974) dan Kenya (1981), kemudian diikuti oleh laporan dari beberapa negara seperti Thailand, Hongkong, Fiji, Haiti, Afrika dan Timur Tengah. Zat kebal netralisasi terhadap virus Akabane di temukan pula di Cyprus, T'lailand dan Indonesia (Anonymous, 1982). Hewan yang peka terutama ialah sapi, domba dan kambing, tetapi bila sapi, domba dan kambing yang mas a mudanya beras&l dari daerah yang sebagian besar ternaknya terinfeksi virus Akabane, jarang sekali atau hampir tidak ada laporan tentang adanya gejala AG dan HE, sedang: kan sapi, domba dan kambing bunting yang dimasukkan dari daerah bebas penyakit Akabane ke daerah terinfeksi merupakan hewan yang sangat rentan dan sebagai akibatnya dapat terjadi abortus, mumifikasi fetus, kesulitan lahir, fetus dengan gejala AG yaitu pembengkokan perseg dian yang bersifat permanen pada kaki, torticolis yaitu pembengkokan tulang leher, scoliosis yaitu pembengkokan tulang punggung. Pada gejala HE terjadi otot gerak
me-
ngalami atropi sehingga anak sapi yang dilahirkan tidak dapat berdiri. Pada anak sapi yang . . lahir cacat dengan tanda-tanda AG dan HE biasanya dapat hidup berbulan-buIan dengan gejala gangguan kordinasi ataksia, kebutaan, disfagia atau gangguan regurgitasi (Gde Sudana, 1981). Kejadian penyakit Akabane ini di Indonesia di sinyalir di jaIVa tengah pada sapi perah impor dari Austra
22
lia 'yang melahirkan anak sapi dengan gejala AG, mumifikasi fetus, abortus dan fetus dengan gejala HE pada ta-hun 1981. Sedangkan secara serologik ditemukan zat kebal netralisasi terhadap virus a 1mbane pada sapi di Indonesia (Anonymous, 1982). Penularan penyakit Akabane terutama melalui gigitan vektor Culicoides spp. Di Australia Q.brevitarsis di Israel C.puncticollis, di Kenya C.schultzei dan di Jepang oleh Q.miharai, Q.nubeculosus dan Q.oxystoma (Muller,1985). c. Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Bovine Ephemeral Fever adalah penyaki t pada sapi ~-ang
bersifat binagna, non '.mntagius "[;:m disebabkan oleh
virus dari golongan Rhabdovirus (Soeharsono et £1., 1981). Pengalaman dari Australia menunjukan bahwa pada kejadian epizootika di Australia yang di mulai dari daerah Australia Timur laut yang meluas kedaerah lainnya. Di Victoria BEF ini dapat menimbulkan gejala penyakit 2% 5% pada suatu kelompok ternak sapi (Anonymous, 1982). Dari segi kernatian, penyakit ini tidak terlalu berarti (1%) tetapi dari. segi produksi dan tenaga kerja cukup berarti karena he\'Jan yang sedang laktasi turun produksi susunya dan hewan pekerja tidak lllampu bekerja 3 5 hari (Anonymous, 1982). Penyakit ini bila terjadi secara epizootika tidak sukar ditentukan, akan tetapi apabila hanya terjadi sporadik males agak sukar ditentukan karena gejala-gejalanya ringan dan berlangsung singkat (Anonymous, 1982).
23 Gejala klinis penyakit ini biasanya didahului dengan kenaikan suhu badan sampai
LI·2
0
C sehingga penyaki t ini di-
sebut juga Ephemeral Fever atau Bovine Epizootika l"ever, demam ini biasanya hanya berlangsung 2 - 3 hari dan akhiE nya menghilang dengan sendirinya sehingga penyakit ini di sebut juga penyakit 3 Hari, gejala klinis lainnya ialah kekakuan ekstremitas dan kepincangan, kelemahan gerak
sa~
pai tidak sanggup berdiri, kadang-kadang dapat juga diikuti oleh pengeluaran cairan dari mata, hidung, hypersaIi vasi, sesak napo.s dan gemetar (Soeharsono, 1981). Kejadian penyakit ini di Indonesia pertama kali pernah dilapo:::-kan di daerah Sumatera, tahun 1920, kemudian pa da tahun 1979 penyaki t yang sarna muncul klembali di kabupa ten Tuban (Gde Sudan a , 1979 dalam Aj1onymous, 1982), wala}!; pun baru-baru ini bf,lum ada dilaporkan tentang penyakit ini tetapi mengingat Indonesia yang tahun-tahun beJ.akangan ini banyak mengimpor sapi dari Australia dan di Australia penyaki t ini. enzootik maka perlu mendapat nerhatian. Penularan penyakit ini terutama sekali melalui'gigitan vektor penghisap darah yaitu Culicoides spp. dan belum peE nah dilaporkan penularan secara kontak langsung, di Queensland penularan penyakit ini oleh C.brevitarsis Kieff (Doherty et al., 1973), di Kenya oleh C.schultzei (Linthicum dan Davies, 1984), di Inggris oleh Q.variipennis (Jenning et al., 1982), di Australia oleh C.brevitarsis (Burgess, 1971).
24 d. Leucocytozoonosis pada unggas
Leucocytozoonosis adalah suatu penyakit yang disebabkan parasit darah yaitu Leucocytozoon caulleryi at au f!.sabrazesi pada ayam, f!.simomdi pada itik dan angsa, f:.smi thi pada kalkun. Parasi t darah ini masih digolong-kan dalam penyakit yang dapat menyebabkan malaria
ung~as
(Anonymous, 1982). Protozoa ini telah dilaporkan menimbulkan wabah diThailand, India, Birma, Filipina, Singapura, Malaysia dan lain-lain. Di Thailand Campbell (1954) menyebut penyakit ini dengan nama "Bangkok Hemorrhagic Disease". Kejadian penyakit ini di Indonesia pernah dilaporkan oleh Pro",azek tahun 1912 di Sumatera adanya f!.schuffneri yang menyerang ayam. Sedangkan di Bali penyakit ini bersifat endemik dengan angka kesakitan don angka kematian yang:- bervariasi yai tu pada anak ayam- angka kesaki tan berkisar antara 0 - 40% pada ayam dewasa 7 - 40%, sedangkan angka kematian pada an:tk ayam berkisar 7 - 50% clan pacla ayam devlasa 2 - 60% (Anonymous, 1982). Kerugian ekonomik akibat penyakit ini selain kematian dapat juga terhambatnya pertumbuhan pada ayam muda, sedangkan pada ayam dewasa penyakit ini dapat mengakibatkan penurunan dan penghentian produksi telur. Pads
1<:81 -
kun disertai dengan penurunan berat dan daya tetas telur. Cara penularan penyakit ini pada ayam adalah melalui ~igitan
agas (Sigit, Partosoedjono dan Akib, 1983) yang
25 mengandung sporozoi t. Di dalam tubuh ayam sporozoi t masule kedalam sel endothel pembuluh darah
dan berkembang
menjadi skison. Bila skison telah dewasa ia akan
pec~h
dan menghasilkan merozoit, merozoit masuk kedalam eritrosi t dan disana berkembang dan akhirnya terbentuk mikro dan makrogametosi t (Anonymous, 19S?). Di dalam tubuh Culicoides spp. mikro dan makrogametosit bertemu dan mengalami perkemb'angbiakan secara siklis yaitu terjadi p<:>rkembangan berturnt-tnrut menjadi zygot, ookinet,
oocyst dan sporozoit yang infektif pa-
da ayam (Anonymous, 1982). e. African Horse Siclmess (ABS)
AHS adalah suatu penyakit menular yang siPatnya akut atau sub akut dan menyerang hewan berkuku satu, penyebab penyakit ini adalah sejenis virus patogen yang teE masuk genus arbovirus dan tergolong virus untaian ganda lli~A
(virus double stranded RNA) (Anonymous, 1982). Kejadian penyaki t ini pertama'-kali di Afrika kemu-
dian menyebar ke Timur Tengah, Cyprus, Spanyol bar;ian
s~
latan dan beberapa negara Asia yaitu Pakistan Barat, Afganistan dan India. Di Indonesia penyakit ini belum pernah dilaporkan tetapi karena semakin berkembangnya olah raga berkuda di tanah air maka kemungkinan impor kuda dari negara tersehut dapat saja terjadi (Anonymous, 19S2). Gejala klinis yang tampak pada penyaki t ini ialah demam yang cukup tinggi dan kesusahan bernapas serta ba-
tuk yang terus-menerus, kadang-kadang juga dijumpai
le-
leran hidung yang profus berwarna kekuningan. Pad a kuda Afrika asli kematian bisa mencapai 20%, tetapi kuda yang oukan Afrika asli bisa melebihi 90% (Mellor et al, 1983). Penularan penyakit ini secara langsung dari hewan ke hewan belum pernah dilaporkan, hal ini dapat dibuktikan ·'lengan menempatkan bersama antara kuda yang saki t dengan kuda yang sehat dalam satu kandang yang bebas serangga. Culicoides spp merupakan vektor utama penyakit ini sebab biasanya wabah terjadi di daerah panas, lembab dan berawa-rawa terutama dijumpai pada kuda yang di lepas di padang rumput pada waktu malam hari. Di Afrika terkenal Q.variipennis, di Zimbabwe oleh C.imikola Kieff di Israel oleh Q.puncticollis Becker (Mellor et al, 1983). f. Venezuelan Equine Encephalomyelitis (VEE)
VEE adalah uuatu penyakit yang disebabkan oleh virus RNA (arbovirus) termasuk famili Togavariidae dengan tanda-tanda demam, anorexia,
dep~essi,
mencret, encepha-
litis dan berakhir dengan kematian (Jones et
~.,
1972).
Penyebab penyakit ini pertama kali di isolasi pleh Kubes dan Rios (1939) di Venezuela. Sej.ak saat itu epidemik dengan kematian yang tinggi dilaporkan juga di Colombia, Equ:ldor, Brasilia, Peru, Mexico, Panama, Texas dan lain-lain. Kejadian penyakit ini di Indonesia belum pernah dilaporkan (Anonymous, 1982).
27
Kerugian yang ditimbulkan penyakit ini berupa kematian pada kuda, tetapi yang lebih penting lagi karena penyakit ini bersifat zoonosis, walaupun pada manusia penyakit ini tidak seganas seperti pada kuda(Jones, 1Q72). l1emang pada umumnya penyakit VEE ini ditularkan oleh sejenis nyamuk sebagai vektornya, tetapi di Arnerika Selatan, Arnerika. Tengah dan Texas, C.arabae merupakan vektor VEE yang potensial (Fox dan Hoffman, 1971' :dalam Jones et a1., 1972). g. Infectious Bursal Disease (IED) IBD disebut juga penyakit Bursitis yang menular, penyakit ini merupakan penyakit unggas yang penting dan riit~mukan
diseluruh dunia, yang menjadi korban ialah ayam
yang berumur hingga 6 minggu. Penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai bentuk a'·ut yai tu terjadi dengan ti ba-tiba, jalan penyakit pendelc disamping kerusakan limfoit c1ibursa fabricius dan dilain jaringan limfoit. Bisa juga berbentuk menahun tanpa menimbulkan gejala-gejala yang j elas. (Res sang ,
1984-).
P:n:;yakit ini disebut juga penyakit Gumboro (Delaware, USA), karena penyakit ini pertama kali ditemukan di distrik Gumboro. (Ressang, 1984-) ~enyebab
penyakit ini ialah virus RNA yang masih be-
lum dimasukan dalam, sua-tu golongan secara taksonomi. I13DV ini dikeluarkan melaui tinja selama kira-kira 2 minggu sesudah penularan, sesudah fesli's tidak mengandung hama lagi, belum pernah dilaporkan bahwa virus ini diturunkan
28 melalni telur. Vektor utama penyakit ini didllgp. ialah tungau tetapi pernah pula dilaporkan Culicoides spp sehagai transmisi virus ini di Francis (Ihalhe
et al.,
1983)~
Masa tunas penyakit ini pendek yaitu 2 hari. Bursa membendung karena kongesti hal ini terlihat jelas pada ke empat, pada permukaan mucosa terlihat tanda-tanda radang yang jelas dan bursa membesar hingga 2 -
3 kali.
Radang disertai destruksi jaringan limfoit secara progressif, hal ini menyebabkan atropi yang jelas sekali pada bursa pada hari ke delapan
(Ressang, 19Fji'-).
29 3. Sebagai Vektor Filaria Filaria Mansonella ozzardi pernah dilaporkan di Bra zil, Colombia dan Haiti, mengganggu ketenangan penduduk karena f::'laria ini menyebabkan kegatalan pada kulit. Filaria ini ditransmisikan oleh Q.Dhlebotomus, Q.barbosai, C.furens (Linley dan Hoch, 1983). Menurut LOvlrie dan Raccurt (1984), C.barbosai merupakan tempat perkembangan dari filaria mansonella ozzardi hingga pada tahap infektif. Di daerah Amerika C.furens merupakan vektor utama dari filaria Mansonella ozzardi (Linley dan Braverman, jJ')84) • ottley, Dallemagne dan Moorhouse pada tahun 1983 di daerah Queensland dan di daerah utara Australia pernah melakw(an penyidikan pada karkas kuda yang menderita onchocerciasis, mereka berkesimp:illan bahwa Q.victoriae merupakan vektor yang potensial untuk microfilaria Onchocerca cervicalis dan ditularkan pada saat mereka menghisap darah kuda, tetapi me~upakan
c. brevi tarsis
Kieff bukan
vektor micr6filaria ini. MenurutBeveridge dan
Kummerow (1981) pernah melakukan penyidikan pada sapisapi yang menderita Bovine Onchocerciosis, kemudian dengan light-trap mereka
men~ngkap
serangga yang ada dise-
ki tar sapi yang menderi ta penyaki t tersebut, ternyata sebagian besar yang tertangkap adalah Q.marksi Lee dan Reye, Q.actoni Smith dan Forcipomyia sp, penyidikan selRnjutnya menunjukan pada C.marksi merupakan vektor uta-
30 rna dari onchocerciosis ini. Di Portugal, Onchocerciosis pada kuda dan sapi pernah dilaporkan olEh
~lendonca
dan Afonso-Roque (1982) pa-
da konperensi Parasi tologi II di Medi terrania,rnereka n,enyelidiki dari 70 ekor kuda ternyata 20% rnenderita Oncho cerciosis dan 15,25% sapi rnenderita hal yang sarna,
peny~
bab',Onchocerciosis ini ialah filaria dari Onchocerca
~
ticula dan diduga C.rubeculosus sebagai vektor. utamanya.
PENANGG UUNGAN Para entcmolog pada umumnya sepakat bahwa dalam men cegah dan memberantas populasi serangga diperlukan keter paduan berbagai cara. Dalam hal
men~nggulangi
Agas ini,
ada beberapa cara yang dapat di tempuh di antaranya adalah : (1) Kontrol dengan senyawa kimia, (2) Kontrol secara fisik dan mekanis, (3) Kontrl secara alami, (4-) Kon trol melalui praktek tat a laksana. 1. Kontrol dengan senyawa kimia (insektisida)
Sebelum bahan-bahan kimia digunakan untuk mengusir atau memberantas Agas, maka terlebih dahulu ada beberapa kriteria ynng harus dipenuhi. Diantaranya : (a) Bahan tersebut secara efektif dapat membunuh minimal satu stadium siklus hidup lalat, (b) Daya kerjanya cepat, (c)
R~·
latif tidak toksik terhadap ternak itu sendiri, (d) Pemakaiannya mudah. (e)
Harganya dapat terjangkau dan (f)
Residu yang ditinggalkannya seminimal mungkin dan toxis terhadap sorangga. Cara pemberantasan dengan insektisida pada Agas ini dapat dilakukan pada induk semangnya at au pada lingkungan hidupnya, sehingga pemakaian insektisida ini dalam pemberantasan agas harus di dukung oleh pengetahuan biologinya yang J.lemadai. Umumnya populasi Culicoides spp terbesar pada musim panas, mereka mengambil makanan dengan cara menghisap
d~
rah hel-lan mamalia, bangsa unggas dan bangsa burung, s e-
32 hingga bila diberikah insektisida dipermukaan saja, aDa lagi dengan dosis yang rendah, leurang bermanfaat. Oleh sebab itu insektisida yang digunakan sebaiknya ada di ba gian dalam kuli t, sehingg,a akan turut terhisap. Tempat tinggal Culicoides spp pada saat istirahat adalah di semak-semak atau hutan-hutan di waktu siang
h~
ri dan bila lapar ia aKen menyerang induk semangnya pada waktu malam hari di padang rumput. Maka sehubungan dengan itu pemberantasan diarahkan di tempat-tempat mereka hidup dan daerah-daerah di tempat serangga tersebut hinggap dan menghisap darah (Sigit et al., 1983). Senyawa-senyawa kimia yang digunakan biasanya berupa persenyawaan organofosfat, karena mempunyai daya kerja yang baik dengan dosis kecil, akan tetapi harganya relatif mahal. Daya kerja insektisida ini biasanya sebabai racun syaraf. Racun aInn ruenghambat acetyl cholin esterase (AchE) yang diperlukan untuk menghidrolisa acetyl cholin menjadi asam asetat dan air di dalam tubuh. Oleh karena acetyl cholin di ham bat terjadilah gejala parasympatomimetik, lalat yang berkontak dengan racun akan mati beberapa meni t kemudian,(Reed et al., 1972). p~nggunaan
insektisida untuk pemberantasan Culico-
ides spp. ini sebagian besar ditujukan pada stadium larva, karena pada stadium ini rnerupakan stadium yang diang gap paling rawan dan juga paling mudah dilakukan aplikasinya, serta relatif tidak terlalu banyak mencemari ling kung an (Reed at ~9"
1972).
33 Tahun 1972 (Reed et al) pernah melaDorkan penggunaan insektisida DDT 1 lb/acre (1 1 b
~
0,4539 Kg
1
acre~
2 4-04-6,9 m ) pada stadium larva memberikan kontrol yang
efektif selama 2
ta~un,
sedangkan pemakaian Dursban 0,1
lb/acre dapat memberikan kontrol selama 1 tahun serta da pat menekan pertumbuhan larva selam 2 tahun. Kline (1985) menggunakan 4 macam larvasidal dari g£ long~n
organa fosfat dan hasilnya cukup memuaskan
yaitu
Chlorpyrifos 9 kali lebih efektif dari pada Temephos dan
22 kali lebih efektif dari pada Fenthion serta 176 kali lebih efektif dari pada
~lal·athion
untuk menyebabkan ke -
rna tian yang sama pada larva, dan diaplikasikan di atas permukaan air. Di Colorado, Halbrook (1984) dan Agun (1984) menggunakan 3 macam insektisida terhadap larva Q.variipennis yaitu Chlorpyrifos, Fenthion dan Temephos dengan konsentrasi 0,20 ppm, 0,10 ppm, 0,05 ppm untuk masing-masing insektisida
dan memberikan hasil 100%, 50%, 63,7% menu-
runkan populasi larva untuk Chlorpyrifos, 94,5%, 99% ,
90,7% menurunkan populasi larva unthk Fenthion, 99,5%, 99,7%, 99,3% menurunkan populasi larva untuk Temephos. Standfast (1984) dan Muller (198Lj.) pernah memberikan insektisida ivermectin per injeksi sub cutan pada
k~
lompok sapi yang digigit Q.brevitarsis sebanyak 200 ug/Kg berat badan, mengakibatkan kematian 99% serangga setelah 48 jam, dan masih memberikan kontrol yang efektif setepenyuntikan 24 hari.
34-
Di U.S.A Dileldrin yang digunakan untuk: lalat devrasa
ku~ang
lebih 1 - 4- Kg/ha mefuberikah
kont~ol:yang
baik
terhadap Culcoides spp. Diazinon kurang lebih 2 Kg/ha telah berhasilmenurunkan populasi Culicoides spp dengan sangat memuaskan, kedua insektisida ini disc'llprotkan ditempat-tempat perindukannya (Reed- et_al-., 1972). 2. Kont::ol seca:ca fisik dan mekanis Pemberantasan secara fisik dan mekanis yaitu dengan cara menangkapi dan uembunuh semua Culicoides spp yang tertangkap, tetapi dengan cara ini sulit dilakukan kare-La Culicoides spp ini sangatkecil. Bila memungkinkan
d~
ngan memasang kelambu pada sekeliling kandang ayam merupakan tindakan yang cukup baik untuk mencegah masuknya Culicoides spp (Anonymous, 1982). Cara lain yaitu dengan menggunakan faktor-faktor alam, dimana kita berusaha mengubah lingkungan dan keada an hidup lalat tersebut, sehingga mereka tidak tahan hidup lama di daerah tersebut. Caran3"a yai tu dengan membe,!: sihkan saluran-saluran air, kutoran-kotoran yang bertumpuk-tumpuk, mengeringkan daerah yang biasa ditinggali oleh kelompok lalat dewasa ataupun larvanya dan membakar semak-semak atau hutan-hutan yang non produktif dan sebagai sarang tempat peristirahatannya. Tujuan cara ini adalah memutuskan daur hidup lalat tersebut, sehingga P£ pulasinya terhambat dan mereka yang devrasa terusir jauh dari kelompok ternak.
35
3. Komtrol secara alami (natural control) Untuk melakukan kontrol secara alarili ini ki ta harus mengetahui dengan pasti jenis Culicoides spp yang ada di daerah tersebut,
se~[b
dari sekian banyak jenis Oulico-
ides ihi mempunyai perbedaan sifat adaptasinya terhadap alam lingkungannya, rnisalnya C.subirnrnaculatus (Edward, 1q82) akan aktif pada suhu 25°C, Q.variinennis (Mullens,
1983) akan aktif pada suhu 10,5°0, di Taiwan C.maculatus dan C.humeralis (Lien dan Chen, 1981) sangat aktif pada musirn dingin. Selain suhu lingkungan, angin dapat juga merupakan kontrol alami, karena bent uk tubuh yang sangat kecil dan ringan sehingga mudah sekali terbawa angin
rnisa~nya
di-
California bagian selatan C. mohave (brenner et al, 1984) -pernah terbawa angin sarnpai sejauh 6 Krn dari tempat perindukannya. Di U.S.S.R, Saidalieva (198·5) pernah melakukan survey terhadap C.desertorum, C.puncticollis dan C.circumscrintus, rnengatakan bahwa nematoda Heleidomermis vivipara
dari super famili
~lermi todea
IJerupakan kontrol bi-
ologik yang potensial, karena rnematoda ini rnemakan larva dari jenis: Culicoides tersebut. Hal ini juga di perkuat oleh penelitian Gafurov dan Saidalieva (1983) di daerah Soviet Asia Tengah.
36 4-. Kontrol melalui praktek tata laksana
Dalam upaya kontrol terhadap serangga pengganggu khususnya Culicoides spp ini perhatian terutama ditujukan pada sanitasi lingkungan dan ternaknya sendiri. Faktor lingkungan yang dapat mendukung berkembang biaknya lalat sedapat mungkin ditiadakan. PenEaturan air (drainage) yang baik dianggap merupak3.n salah satu cara yang menunjang keberhasilan ini, pengawasan ternak gembala yang teratur yai tu dengan memasukkan-- ternak kedalam kandang pada malam hari dan memberikan penerangan/cahaya yang cukup pada ternak di dalam kandang serta memasang jaring nyamuk yang telah di semprot dengan insektisida seperti Milathion 6% p.kim me:ilCegah- Culicoides spp kurang lebih 1 bulan. Bahan hijauan kering dan jerami-jerami di simpan p.§; da tempat yang tertutup at au jika mungkin dibuatkan satu tempat yang dapat mencegah pembusukan. Bila makanan tersebut hendak diavletkan, maka hendaknya :dilet§ikkan di tem pat yang leering, sedangkan jerami yang tidak berguna disingkirkan dari permukaan tanah dengan cs_ra di pendam atau di bakar. Dalam melakukan pemberantasan lalat ini dapat digunakan keterpaduan antara kontrol secara fisik dan mekanis dengan pemakaian bahan-bahan kimia, misalnya insektisida aerosol panas atau insektisida yang mempunyai volume yang sangat rendah
(~Ul tra
Low-Volume
=
ULV) yang
pernah digunakan untuk membunuh lalat dewasa di tempat
37 Deristirahatannya dan memberikan hasil yang sangat memuaskan • Keterpaduan cara ini
sam~~pai
sekarang dianggap
merupakan metoda yang paling akurat dan efektif di dalam menekan poplilasi Culicoides
s~p
ini (Service, 1980).
PEMBAHASAK
Selama ini perhatian penelitian terhadap parasitologi di Indonesia masih sangat kurang, kalau dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya, misalnya ; bakteriologi, virologi, immunologi dan lain-lain, hal ini dapat dibuktikan denGan sedikitnya literatur-literatur yang berhubungan dengan parasitologi terutama entomologi, sebaEai gambaran dari laporan tahunan hasil penyidikan penyakit helifan di Indonesia periode tahun 1982-1983 dan tahun 19831984- (Lamp. 1) terlihat bahlifa penyidikan tentang entomo-
logi hanya satu kali, sedangkan untuk bakteriologi dan virologi masing-masing sebanyak 13 dan 18 kali. Dilain pihak prioritas penelitian lebih diarahkan pada usaha-usa ha yang langsung meningkatkan populasi ternak, sedang penelitian parasitologi sekarang masi)l\" dianggap sebagai pelengkap saja. Diperkirakan tidak kurang dari 300 jenis Culicoides yang hidup di alam ini yang tersebar luas hampir diseluruh dunia, dan hampir terdapat merata di setiap negara, umumnya Culicoides spp ini menyebabkan permasalahan yanE sama seluruhnya, tetapi ada jenis Culicoides tertentu yang lebih menyukai sebagai vektor penyaki t tertentu a:tau hanya sebagai pengganggu
keten~ngan
heYlan saja, Culicoi-
des spp yang ada di alam antara lain: C.pallidepennis, C.variipennis, C.brevitarsis, Q.imicola, Q.puncticollis, C.schultzei, Q.miharai, Q.nubeculosus, Q.oxystoma, Q.ara-
39
bae, Q.barbosae, Q.furens, a.phlebotomus, Q.victoriae C.marksi Lee and Reye, C.actoni,
Q. subimmaculatus, Q.ma
culatus, C.humeralis, C.mohave, Q.desertonum, Q.circumscriptus, C.milnei, Q.pycnostictus, dan lain-lain. Menurut Sigit, Partosoedjono dan Akib (1983) pads. laporan penelitian Inventarisasi dan pemetaan parasit Indonesia, tahap pertama, Culicoides
ya~g
ada di Indone-
sia ialah : Q.arakawae, Q.guttifer, Q.perep;rinus, Q.ama miensis, C.oalpifer, Q.humeralis, Q.sub flavescens, Q. ridecitus, Q.orientalis, C.huffi dan C.schultzei, dari semua jenis Culicoides spp tersebut, Culicoides arakm·rae merupakan yan(;
palinf~
dominan. Di JaNa dcm Bali eul icoi-
des ini tampaknya menyebar rata dan dapat di temui hampir pada setiap kandang ayam, sedangkan diluar Jawa dan Bali Agas ini belum pernah diteliti. Beberapa laporan dari luar negri Culicoides spp ini umumnya menyerang hewan mamalia, bangsa burung dan bangsa unggas, tetapi di Indonesia (Sigi t,; Partosoedjono,; Akib, 1983) pernah melakukan penelitian langsung terhadap Culicoides spp ini merupakan vektor yang potensial terhadap penyaki t Leuo.ocytozoonosis, walaupun di Indonesia belum pernah diteliti langsung dan dilaporkan tentang penydci t-penyaki t lain ya:1g ·ii tularkan oleh Culicoides spp, tetapi karena Inilonesia merupalmn negara berke:1'\bang yang ingin meningkatkan produksi ternaknya, baik untuk konsumsi daging maupun konsumsi susu, maka sejak beberapa tahun yang lalu Indonesia mulai mengimpor ternak sapi
dari bebcrapa negara misalnya Australia, Sclandia Baru, Amerika Serikat, maka penyaki t-penyaki t yang sebell:.mnya tidak terdapat di Indonesia, dengan impor tersebut kemunE kinan akan di temukan penya:d t tersebut. Penyakit Blue Tongue (BT) merupakan penyakit menular yang non kontagius, di Indonesia penyaki t ini pertarna kali dilaporkan oleh Balai Penyidikan Pcnyaki t Hevlan Wilayah VI Denpasar tahun 1981 dari isolasi virus BT pada domba impor asal Aust:':'alia di Bogor clem di Semarang. Penyakit ini terutama cekali ditularkan oleh Culicodes spp. Hewan yang rentan terutama domba sedangkan sapi merupakan reservoir yang potensial, oleh sebab itu bila "~ernak
dalam satu kandang terdapat
sapi dan domba hal ini
akan mempermudah peranan Culicoides spp sebagai vektor BT ini. Peranan Culicoides spp se1agai vektor utama BT diIndonesia, pernah diamatL
di desa Caringin, Kecamatan
Cial-li, Bogor tahun 1981 pada domba-domba impor asal Australia yang dipelihara dalam satu kandang tapi dalam kotak-kotak yang terpisah (Lamp. 2) ternyata domba-domba terse but memperlihatkan gejala-gejala saki t yang sarna, hal ini membuktikan bahVla lwntalc langsung bukan merupakan penularan penyakit ini, tetapi vektor arthropod inilah ya,g utamanya. Hal ini pernah juga dibuktikan oleh peneIi ti yang sarna pada biri-biri, teronyata sangat mengarah pada penyakit BT yang disebabkan oleh virus dan dipindahkan oleh velctor (arthropod).
4-1 Penyakit Akabane di Indonesia memang belwn pernah dilaporkan tetapi secara serologik ditemukan zat kehal netralisasi terhadap virus Akabane pada Eapi di Indonesia hal ini pernah dilaporkan di daerah Jawa Tengah, Ja"ra Timur dan Bali tahun 1981pada sapi perah impor asal australia yanG melahirkan anaknya dengan gejala AG dan HE mumifikasi fetus dan abortus. Sapi domba dan kambing mempunyai kerentanan yang sarna terhadap penya'ci t ini, sedang Culicoides spp merupakan vektor utamanya, sehincga penyebaran pe;waki t ini di Indonesia akan C'?P[lt meluas, karena semua jenis sapi yang ada di Indonesia, ternyata dapat terinfeksi oleh virus Akabane (Lamp. 3) sedangkan prevalensi neutralizing antibodi berdasarkan daerah sera tidak menunjukan perbedaan nyata
(Lamp~
I,).
Hasil pemeriksaan serologik menunjukkan bahva sapi sejak umur muda (sampai 1 tahun) telah mengandung antibodi (12/22= 54-,5%) yang didapat dari infeksi melalui gigitan vektor atau didapat dari induk (Collostral antibodi; Kenn.ikan prosentase positip antibodi meningkat sejalan dengan umur sapi (lihat Lamp. 5), hal ini disebabkan oleh karena iklim di Indonesia yang memungkinkan vektor-vektor penyebar penyakit ini aktip sepanjang tahun. Di Indonesia sapi rata-rata mulai bunting pada umur 2 - 3 tahun. Pada umur ini 17/18 (94-,4-%) sapi telah memiliki antibodi terhadap penyakit Akabane. Dengan demikian kemungkinan besar kasus AH hanya tinggal 5,6%.
42
Belum ada kasus AH di Indonesia yane; dilaporkan, mungkin disebabkan kecilnya angka prosentase sapi yans tidak mengandung antibodi (5.6%) pada umur 2 - 3 tahun atau tingginya prosentase Eapi yang mengandung antibodi
(100%) pada umur 3 tahun at au lebih.(Gde Sudana, 1981). Kepentingan Oulicoides spp sebagai vektor dari BEF pernah dilaporkan di Queensland (Doherty, 1969.; Oatley,
1970 dan Australia (Burgess, 1971). Di Indonesia penyakit yang sarna pernah juga timbul tahun 1979 (Gde Sudana, et aI, 1979). Gejala klinis sapi-sapi saki t yang diamati eli Tuban dan Lamongan r,1irip sekali dengan gejala-gejala klinis yang diinokulasi secara buatan dengan virus Ephemeral Fever di Australia, yaitu s.danya demam, anorexia, kekakuan otot gerak sehingga menimbulkan pincang, tremor, tidak mau berdiri dan adanya exudat· hidung yang bersifEt sereus (Snowdon, 1970). Penyebaran penyakit perkandang yang diamati memberikan gambaran bahwa penyaki tnya tidak menular secara kontak, melainkan ker:·ungkinan di tularkan oleh vektor. Lingkungan alam di daerah i tu dimana banyak sawah berisi air, adalah sangat baik untuk lalat-lalat culicoides spp. Oulicoides spp diduga keras bertindak sebagai vektor Ephemeral Fever di Australia (Standfast, et aI, 1973). Penyebaran penyakit pada sapi di Tuban dan Lamongan lebih lambat bila dibandingkan dengan penyebaran Ephemeral Fever di Australia. Diduga hutan-hutan jati yang ada di-
4-3 sekeliling Tuban dan Lamongan bertindak sebagai "natural barrier" • Leucocytozoonosis suatu penyakit yang disebabkan parasit darah dan ditularkan oleh Culicoides spp (Sigit, Partosoedjono, Akib, 1983), Culicoides spp ini merupakan vektor yang cukup menimbulkan permasalahan pada peternakan ayam di Indonesia. Di Bali penyakit ini sif'atnya endemik. Anghl sakit penyakit ini bervariasi ditentukan antara lain oleh populasi vektor (Culicoides spp), umur ayam dan cara pemeliharaan. Ayam tertular penyaki t karena gigi tan Agas yang mengandung sporozoit. Didalam tubuh ayam sporozoi t masuk ke dalam sel endothel pembuluh darah dan "jerkembang menjadi skison.
~ila
skison telah dewasa ia akan pecah dan
menghasilkan merozoit, merozoit yang dihasilkan oleh skison akhirnya ma"11].:: kedalam eri trosi t, disana berkembang akhirnya terben-:;uklah mikro dan makrogametosoi t. Di dalam tubuh Culicoides spp selanjutnya mikro dan makrogametosoit bert emu dah berkembang berturut-turut menjadi Zygot, ookinet, oocyst dan sporozoite "rang selanjutnya infe:ctif pada ayam (Sigi t et a1., 1983). Pada peternakan ayam C:ulicoides ini selain sebagai vektor Leucocytozoon, dia dapat juga mengganggu ketenll,ngan ternak ayam, sebagai akibatnya pada ayam-ayam muda akan terhambat pertumbuhan badannya, setelah dewasa
tida~
mencapai berat badan yang maksimal (Sigit et al., 1983).
44 Pada penyakit AHS, Culicoides spp merupakan vektor utama, dan penyakit ini tidak pernah dilaporkan
penulara~
nya secara langsung dari hel-lan ke hewan, hal ini dapat di buktikan dengan menempatkan bersama antaJ7a kuda yang sehat dengan kuda yang sakit dalam satu kandang yang bebas serangga, ternyata !euda yang sehat akan tetap sehat. Selain kuda infeksi alami dapat juga terjadi pada he wan bagal dan keledai, kambi ng Angc;ora di18porkan pelm ter hadap penyakit ini. Bagal, keledai, gajah, zebra dan anjing tidak sepeka seperti \
ini belum pe::-nah dilaporkan,
tetapi karena adanya hewan-hewan yang dapat bertindak sebagai reservoir dari virus ARS dan juga karena terdapat vektor Culicoides spp maIm Icemungkinan akan timbulnya penyakit ini besar sekali (t1ellor, 1983). VEE m3rupakan penyakit yane; disebabkan oleh sejenis. virus yang urnurnnya menyerang bangs a kuda, penyakit ini bi asanya di tularkan oleh nyamulc, tetapi pernah dilaporkan di Amerika Selatan, Amerilw Tengah dan Texas, .Q.ar8bae (1!'ox dan Hoffman, 1971 dalam Jones et al, 1972). Seperti juga pada penyaki t AHS, penyaki t nah dilaporkan di Indonesia,
VEE ini memang bel1.L-n peE
tetapi karena semakin her -
kembangnya olah raC;2. berkuda di tanah air maIm kemunckinan impor kuda dari negara tersebut bisa saja terjadi. Perhitungan ekonomi secara mutlak akibat kerugian yang ditimbulkan oleh parasi t
ini (Culicoides spp) me-
LI·5
mang agak sulit dan belum pernah dilakukan, tetapi berdasarkan perkiraan kerugiannya cukup besar, sebab selain sebagai vektor dari beberapa penyakit dan beberapa fila- . ria, Culicoides spp ini dapat juga mengganggu ketenangan hewan, sehingga hewan tersebut gelisah, nafsu makan berkurang sehingga terhambat pertumbuhan badannya, selai.n i tll sebagai ektoparasi t c.ia dapat menimbulkan dermatitis yang cukup berarti pada kulit ternak, akibatnya mutu kulit akan turun dan harga
jualnyapu~
Di beberapa negara seperti lifornia dan Florida (Federova
menjadi rendah.
Sco~landia,
~
&,
Karibia, Ca-
1981) Culicoides
spp merupa:,an ancaman ekonomik yang cukup seri us, karena Culicoides spp ini menyerang para wisatawan ya;l.g sedang berlibur dinegara tersebut, sehingga mengurangi minat pada wisatmran lainnya untuk berlibur ke negara tersebut akibatnya menurunkan pendapatan negara tersebut dari segi industri parawisata. Di Indonesia bc}um pernah diteliti langsung pengaruh lalat ini terhadap perkembangan industri parawisata, tetapi dinerkirakan hal yang sarna dapat saja terjadi mcngingat Indonesia merupakan nagal'a yang banyak mempunyai,
sung~i
dan danau.
Culicoides sPP ID'?rupakan vektol' yang potensia,l dari beberapa penyakit, hal ini disebabkan oleh sifat menyerang induk semangnya yang bergerombol, dal!l biasanya gerombolan Culicoides spp ini tidak hanya menyerang satu macam induk semang saja, tetapi berpindah-pindah dari satu induk semang ke induk semang lainnya untuk mencari
46
makanannya, di tambah dene;an bentuk tubuhnya yang sangat kecil maka pemberantasan ataupun pengendaliannya cukup suli t. Lalat ini pada siang hari bia.32.nya berkerumun/bergerClmbol dekat kolam dan rawa-ral'ia dan menyerang mangsanya pada malam hari. Agas ini mempunyai metamorfosa sempurna mulai telur, larva, pupa sampai dewasa. Telur diletakkan pada tempat-tempat yang berair a:l;au lembab dan larvanya juga hidup di tempat
terse~)ut,
melihat banyaknya
+;c,·:pat-tempat seperti ini di Indonesia maka hal ini sangat menguntungkan untuk berkembang bialmya lalat tersebut, sehingga kemungkinan seluruh kepulauan Indonesia terdapat lalat ini. Lalat dewasa ini menghisap darah hewan mamalia pada malam hari dan sesudahnya ia beristirahat di semak-semak pohon dan gulma. Agas ini mempunyai jarak +;erbang yang pendek, akan tetapi mudah terbawa angin. IBD merupakan penyakit bursitis yang menular,
peny~
kit ini merupakan penyakit unggas yang penting dan ditemukan diseluruh dunia, yang menjadi korban adalah ayam yang berumur 6 minggu, penyakit ini tidak pernah dilapoE kan penularannya melalui telur, tetapi diduga transmisi penyaki t ini ole:l vektor Culicoides spp. (Res sang, 19S/j·). Culicoides spp sebagai vektor dari filaria Mansonella ozza~di
dan mikrofilaria Onchocerca cervicalis pernah di-
amati di Queensland, Australia, Fortugal, Haiti dan lain-
'->7 lain, karenC'.
m'.~ngganggu
ketenangan penduduk sebab fila-
ria ini menimbulkan kegatalan pada kuli t (Baker, 1984). Beveridge dan Kummerow (1981) mengamati sapi yang menderita Bovine Onchocercosis, kemudian dengan lighttrap
mer~ka
menangkap serangga yang ada disekitar sapi
yang menderita penyakit tersebut, ternyata sebagian besar yang tertangkap adalah C.marksei Lee dan Reye, dan C.actoni Smith sehingga diduga 'i{uat bahwa Culicoides
STlTl
merupakap vektor utamanya. Penanggulangan Culicoides spp ini memang cuku]) sulit karena sifat menyerangnY8 yang berC;0ron1bol dan nada malam hari serta menyenangi hewan pada saat berada diluar kandang, sehingga tidak ada satupun macam kontrol y8.ng efektif untuk memberantas Culicoides spp ini, tetadi untuk mengontrol lalat ini harus merupakan kombinasi dari ke empat cara yaitu : (1) kontrol dengan senyawa kimia (2) kontrol secara fisik dan mekanik, (3) kontrol secara alami, (4) kontrol melalui prakte'i{ tata
la]'~sana.
Untuk
melakukan kontrol tersebut harus didukung penget8huan biolocinya yang memadai sehingga diharapkan mendap8.t hasil yang efisein dan efektif.
KESH1PULAN 0ulicoides spp merupakan lalat kecil yang menghisap darah hewan mamalia, bangsCl 0urung dan bane-sa unggas, asanya menyerang induk semang pada saat
men~elang
bi
ma1am
hari dan akan ':(l:tif kembali menjelanr; subuh hari, dnerah yang disukai ia1ah daerah tengkuk dan claerah bOI'1::\h
1<:a 1d,
jarang seka1i yang senang daeral1 muka, tetapi ada juga yang senang daerah sisi tubuh, sifat m'2T'yerangnya berEerombo1 dan 1ebih rnenyukai hewan yang di1epas di nndo.ne; rumput. TJalat ini menjalani metamori'osa sempurna yai tu telur, larva, pupa dan dewasa dalam satu periode. Culicoides spp rnerupako.n vektor utama dari beberapa penyakit antara lain: (a) Blue Tongue, (b) Akabane, (c) BEF, (d) Leucocytozoonosis, (e) ARS, (f) VEE, (g) IBD dan beberapa filaria antaranya : Fi,laria Mansonel 1 a ozzaT' di dan mikpofilaria Onchocerca cervicalis. Sebagai ektoporasit Culicoidea app menggnnr;gu ketenangan dari hel'1an, menyebabkF\TI der1lJatitia, vesi.clllae dan urticaria, pada manuaia dapat nenimbulkan kegatalan pada kulit. Penanggu1angan Cu1icoides spp ia12 '1 de o1gan memperbaiki sanitasi dan tata laksana serta pemberian insektisida yang tepat misalnya DDT, Dursban, Chlornyrifos, Temephos, Fenthion, Malathion dan Ivermectin.
•
SARAN 1. Terhadap ternak masuk dari luar negri;
Pintu masuk ternak dari luar negri ke Indor· ')sia melalui karantina harus dipenuhi bagi ternak-ternak yang baru masu!e. Fascilitas karantina, seharusnya dipenuhi untu!e segala kemungkinan sehingga pemasukan penyakit terna!e yang tidak ditemukan eli Indonesia dapat dihindar!ean. Misalnya : Pemeri!esaan !euda, harus dilaku!ean terhadap pe,lyaki t AHS, VEE secara serologis. 2. Mengingat Cul±coides spp merupakan vektor yang poten-
sial untu!e berbagai penyakit darah, yang dapat merupakan ancaman bagi peternakan di Indonesia, maka perlu disiapkan
tena~Cl.
dan f'ascilitas yang mampu untuk
s ewaktu-vlaktu mendet.eksinya.
3. Pengamanan ternak-ternak
terhadap serangan Culicoi-
des spp:
3.1. mela!esanakan aktif surveillance secara continous dan teratur
3.2. spraying tetap dilaksanakan elengan inteE val tertentu
sesua~
dengan bahan yang
dipergunakan serta sifat-sif'at serangga yang menjadi sasaran ~.
Menghimbau para peneliti entomolog veteriner untu!e melanjutkan penelitian tentang Culicoides spp sebagai vektor Denyakit pada hewan ternak di Indonesia.
DAFTAR PUS TAKA Anonymous, 1982. Pedoman Pengendalian Penyaki t Hewan Menular. Jilid II, III, IV, V. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Baker, K. P.; Collins, E. A. 1984. A disease resembling sweet itch in Hongkong. Equine Vet. Journal 16 (5): 467 - 468.
Beveridge, I.; Kummerow, E. L.; Wilkinson, P.; Copeman, D. B. 1981. An investigation of biting midges in relation to their potensial as vector of bovine onchocerciosis in North Quennsland. Journal of the Aus'!;. Entomological Society 20 (1): 39 - 45. Dalam Review of Applied Entomohrgy 70 (1): 1L~5. 1982. Birley, M. H.; Braverman, Y.; Frish, K. 1984. Survival and blood-feeding rate of some CUlicoides spp (Dipt: Ceratopo~onidae) in Israel. Environmental Entomology 13 (2): 424- - 429. Dalam Revievl of Applied Entomology 72 (10): 2626. 1984. Boorman, J. P. T.; Wilkinson, P. J. 1983. Potensial vector of blue tongtte in Lesbon, Greece. Vet. Record
113 (17):395 - 396. Braverman, Y.; Galun, R. 1973. The occurrence of Culicoides in Israel with reference to the incidence of blue tongue. Refuah Veterinarith 30 (3/4): 1?1 - 127. Dalam Rev:iel, of Applied Entomology 62 (S): 1886. 1QS4. Brown, H. Id. 1969. Basic Clinical Parasi tCllogy. Di'l;erjemahkan oleh Rukmono, B et al., 1979. Dasar Parasitologi ~dinis. Edisi ke tlga-.- Gramedia. Jakarta. Burges, G. vi. 1971. Bovine Ephemeral Fever: a review. Vet. Bulletin 41 (11): 887 - 895. Dalam Review of Applied EntomoIOgy 61 (8): 1502. 1973. Doherty, R. L.; Carley, J. G.; 8taufast,H. A.; Dyce, A. L.; Kay, B. H.; Snowdon, Iv. A. '1973. Isolation of arboviruses f'rom mosquitoes, biting midges, sandflies and vertebrates collected in Queensland, 1969 and 1970. Transactions of' Royal Soc i ety of' Tropical t'8dicine and Hygiene 67 (4): 536 - 543. Dalam Review of Applied Entomology 6~(6): 1303. 1974. Edward, P. B. 1982. Laboratory observations on the biology and lif'e cycle of the Australian biting midges C.subimmaculatus (Dipti Ceratopogonidae). Journal of Hedlcal Entomology 19 (5): 545 - 552.
51 Gde Sudana dan M. ~lalole. 1981. Laporan I Penyidikan Penyakit Hewan "Blue Tongue" di desa Oaringin, Kabupaten Bogor. Balai Penyidikan Penyaki t Hewan vlilayah VI. Denpasar. Gde Sudana dan Y. Miura. 1981. Penyakit Akabane. Pemeriksaan serologik terhadap sapi dari Jawa Timur dan Bali. BPPH Wil. VI. Denpasar. Gibbs, E. P. J.; Greiner, E.O. 1982. Blue tongue infection in Oulicoides spp associated with livestock in Florida and Car~bbean Region. In double stranded RNA virus. Proceeding of the first International symposium on Double Stranded RNA viruses, held October 510, 1982, at Frenchman's Reef, st. Thomas, U.S. Virgin Island (edited by Compans, R. ~I.; Bishop, D. H. L) New York USA: Elseiver Biomedical 375 - 382. Dalam Revie\v of Applied Entomology 72(5) :1120. 1984. Greiner, E. 0.; Garris, G. r.; Rollo, R. T.; Knausenberger, \-,. I.; Jones., J. E.; Gibbs, E." P. J. 1984. Preliminary studies on the Culicoides spp. as Potensial vector of Blue tongue in the Caribbean Region. Preventive Vet. Med. 2, 398 - 399. Dalam Review of Applied Entomology 72 (7): 1708. 1984. Harwood, R. F. 1981. Health. 7th Ed. New York.
Entomology in Human and Animal Mac millon Publishing 00. Inc.
Hayes, M. E.; Mullen, G. R.; Nusbaum, K. E. 1984. Oomparison of Oulicoides spp (dipt:Oeratopogonidae) attracted to cattle in an open pasture and bordering woodland. Mosquito News 44(3): 368 - 370. Dalam Review of Aplied Bntomology 73(5): 1282. 1S85. Holbrook, F. R.; Agun, S. K. 1984. ~ield trial of pesticides to control larvae o. variipenn-i s (Oeratopogonidae). Mosquito News 44 "(2): 233 - 235. Dalam Revielfl of Applied Entomology-"72 (10): 2629. 193 2". Humphrey, J. G.; Turner, E. O.JR. 1973. Blood feedine; activity of female Oulicoides (Dipt:Ceratoponidae). J.of Med. Entomology 10(1): 79 - 83. Jenning, M.; Platt, G. S.; Bowen, E. T. 1982. The Susce£ ribility of O.variipennis (Dipt:Oeratopogonidae) to lab. infection wi tnR~f't Valley fever virus. Transactions of the royal Society of Tropical Madicine and Hygiene 75(9): 587 - 589. Dalam Reviel-l of Applied Entomology _'7'TC1): 134. 1983.
52 Jenning, H.; Boorman, J. P. T.; Ergun, H. 1983. Culicoides from Ivestern Turkey in relation blue tongue disease of sheep and cattle. Revue d'elevage et de medicine veterinaire des Pay Tropicaux 36(1):67-70 Dalam Re~iew of Applied Entomology 72(1=3):224. 1984. Jones, R. H.; Potter, H. W. Jr.; Rhodes, R. A. 1972. Ceratopogonidae attacking horse in soute Texas during the 1971 VEE epidemic. Hosquito News 32(4): 507 - 509. -Kline, D. L.; Wood, J. R.; Robert, R.R.; Baldwein, K. F. 1985. Laboratory evaluation of four organophosphat compounds as larvacides against field collected salt marsh Culicoides spp. (Dipt:Ceratopogonidae). Journal of the Alrierican mos qui to cbntrol association 1 (1): 48 - 50. Lefevre, P. C.; Taylor, N. P. 1983. Epidemiology of bluetongue in sheep in Senegal •. Revue d'elevage et de medicine veterinaire des Pays Tropicaux 36(3): 241-245. Dalam Review of Applied EntomologY-72(6); 1442. 1984. -Lien. J. C.; Chen, C. S. 1983. Seasonal succession some common spesies of the genus Culicoides (Dipt:Ceratopogonidae) in eastern Tail-ran. J. of the Formosan medical association 82(3): 399 - 409. Linley, J. R.; Hoch, A. L.; Pinheiro, F. P. 1983. Biting midges (Dipt:Oeratopo~onidae) and human health. J. of Hed. Entomology 20(4): 347 - 364. Linthicl.1..TJl, K. J.j Davis, F. G. 1984. Aerial collec·t;ion of O.schultzei group (Dipt:Oeratopogonidae) in Kenya. Mosquito News 44(4): 601 - 603. Halviya, R. K and Prasad, J. 1977. Ephemeral Fever. A clinical and epidemiological study in croos-bred COvlS and buffaloes. Indian Vet. Journal 54:LL40-444. Mellor, P. S. et al., 1983. Infection of Israel Culj.coides spp WItnAfrican Horse Sickness, Blue tongue-ana-Akabane viruses. Acta Virologica 25(6):401-407. Dalam Review of Applied Entomology 71(10) :2972. 1983. Hilahe, E et al., 198~. Study of a virus isolated from a naturar-population of Culicoides spp. (Dipt:Cerato pogonidae). Annales de Virologie 134(1):73 - 86. Dalam Review of Applied Entomology '72(11):2951. 1984.
53 Mendonca, 11. M; Afonso-Roque, M. M. 1982. Onchocerciasis in Portugal Prelimiary result. Onchoc ercosis au Portugal-result Preliminaires. Revista Iberica de Parasitologia Vol. Ext. 439-447. Dalam Revie1." of Applied Entomology 70(12): 3347. 1982. Mullens, B. A.; Rutz, D. A. 1983. Development of immature Q.variipennis (Dipt:Ceratopogonidae) at constant laboratory temperatures. Annals of the entomological socety of Amarica 76(4):747-751. Dalam Review of Applied Entomology-'2(1-3): 228. 1984. Mullens, B. A.; Rutz, D. A. 1984. Age structureand survivorship of C.var3.ipennis (Dipt:Ceratopogonidae) in central New York state, USA. J. of Med. Entomology 21(2):194 - 203. Muller, M. J. 1985. Experimental infection of C.brevitarsis from south-east Queensland with three serotypes of bluetongue virus. Austr. J. BioI. Sciences 38 (1): 73-77 •. Ottley, M. L.; Dallemagne, C.; Moorhouse, D. E. 1983. Equine Onchocerciasis in Queensland and the Northern Territory of Australia. Austr. Vet. Journal 60(7): 200-203. Reed, D. M.; Collet, G. C.; Lovry(fr, P. G. 1972. Report on the control of the biting Gnats, LeEtoconops ker teszi Kieff in the vicinity of salt la_ e Cl ty, U't81i In the Proceeding Abartement assosiation, held at stu dent union building little theatre, vleber State Colle ge, Ogden, Utah, USA, Utah mosquito ab.AS. 15-17. Ressang, A. A. 1984. Patologi khusus Veteriner. kedua. Denpasar.
Edisi
Saidalieva, K. u. 1985. The finding of nematodes of the super family nermatoidea in' blood sucking midges of Uzbekistan. Uzbekistan Biologicheskii Zhurnal no.1, 43-45. Dalam Review of Applied En·t:;omology 73(7): 1903. 1985. Service, M. 11. 1980. A guide to Medical Entomology. Mac millon International College. Sigit, S. H.; S. Partosoedjono ; M. S. Akib. 1983. Laporan penelitian Inventarisasi dGn Pemetaan parasit Indonesia tahap pertama : ektoparasit. Proyek pep:LlJgJ~a:tard~p..l?en~em!2angan perguruan tinggi. Institlit Pertahian Bogor;
Soeharsono ; I Gde Sudana ; Unruh, D. H. 1981. Kecurigaan,letupan penyakit Ephemeral Fever pada sapi Onc£ 1e d~ Tuban dan Lamongan. BPPH Ivil. VI. Denpasar. Snowdon, W. A. 1971. Some aspects of the epizootiology of Bovine Ephemeral Fever in Australia. Austr. Vet. Journal 47. Snol-rdon, ~l. A. 1970. Bovine Ephemeral Fever. The reaction of cattle to different strains of Ephemeral Fever virus and antigenic comparison of two strains of virus. Austr. Vet. Journal 46 : 258-266. Standfast, H. A. et a1., 1973. Rerort of Ephemeral Fever in Australia: Bull. off. Int. Epiz. 79(5-6): 615-625. Standfast, H. A.; Muller, M. J.; liilson, D. D. 1984. Mortality of C.brevitarsis (Dipt:Ceratopogonidae) Fed on cattle-treated with Ivermectin. J. of Ec.onomic Entomology 77(2):419-421. Tokunaga, M. 1937. Sandflies (Ceratopogonidae, Diptera) from Japan. Macmi1lon International College Ed. Japan. Townley, P.; Baker, K. P.; Quinn, F. J. 1984. Prefentia1 landing and engorging sites of Cu1icoides spp. landing on a horse in Ir1and. Equ~ne Vet. Journal 16(2) :117-120. 1981. Livestock Entomology. In·tercience pUblication John 11i1ey and Sons. New York.
I',illiams, R. E.
\'Iood, J. R.; Kline, D. L. 1984. A survey of Ceratopogonidae biting midges problems associated with Posada Del sol resort, Guanaja, Honduras. Journal of the Florida Anti-Mosquito Association 55(1):22-27. Dalam Reviel'/ of Applied Entomology 730):560. 1981).
LAMPI RAN
56 Lampiran 1.
Tahun
Perbandingan jurnlah penyidikan penyakit hewan di Indonesia
Penyakit parasit Cacing: Serangga: Protozoa 1 x
Penyakit : Penyakit bakterial: viral
1982/83
3 x
1983/84
3 x
Sumber
Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit he ~lan di Indonesia priode tahun 1982-83 dan ta hun 1983-84. Direktorat Kesehatan Hewan, Di rektorat j enderal Peternakan, Departemen Per tanian, Jakarta 1985.
Lampiran 2.
1 x
6 x
6 x
1 x
'7
x
12 x
Morbidity dan mortality rate
Morbidity Kelom-: Jumlah pok domba : rate
Mortality : Case fatality rate : rate
I
22 ekor
63,6%
4,5%
7,196
II
20 ekor
35,0%
0%
0%
III
9 ekor
100%
0%
0%
Sumber:
I Gde Sudana dan Malole. M. 1981. Laporan I Pe!1yidikan Penyaki t Hewan "Blue Tongue". Di desa Caringin, Kabupaten Bogor. Balai Penyi dikan Penyaki t Hewan \~ilayah VI Denpasar.
57 Lampiran 3.
Distri busi neutralizing anti body terhadap virus Akabane pac'ia sapi dari JmJa Timur dan Bali berdasarkan jenis sapi, 1979
Jumlah sera yang diperiksa
Ras sapi
Ongole
Positip
%
jumlah
25
20
80,0
Brahman
3
3
100,0
Friesien Holstein
2
2
100,0
60
L>7
78,3
Bali Sumber
I Gde Sudana dan Miura, Y. 1981. Penyaldt Akabane. Pemeriksaan serologik terhadap sapi dari Jawa Timur dan Bali. BPPH. viiI. VI Denpasar
Lampiran 4.
Distribusi neutralizing antibody terhadap virus Akabane pada sera sapi dari Javra Ti mur dan Bali.
Asal sera . . (PrOPJ,nsl/
~
Jumlah sera yang diperiksa
Positip jumlah
%
Jawa Timur
30
25
83,3
Bali
60
'+7
78,3
Jumlah
90
72
80,0
Sumber:
I Gde Sudana dan Miura, Y. 1981. Penyaldt Akabane. Pemeriksaan serologik terhadap sapi dari Jawa Timur dan Bali. BPPH. \ViI. VI Denpasar.
53 T,f\T!lpiran 5.
Umu~
dalam bulan
Distribusi neutralizing a.ntibody terhadap vi rus Akabane p8ds sera sapi nari Jawa Ti mur dan Bali berdasarkan umur s":0i, 1 07 0 •
JlunlCl hnsera yang diperiksa
Positip
%
jumlah
, ...C)
2?
1/
Sf-f· -'
?L)
1Fl
T" ,o
::>5 - 37
18
17
(VI· II
38
25
2')
100,0
12
/
Sumber
~
,
J Gde Sudana dan MiurA., Y: 1')81. Pp.nY:l'6 t Akabane. Petn0r.l ksaan s erolor;i k to.rhndap sapi dari Jmm Timur dan Bali. BPPH. "Iil. VI Denpasar.