2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur. Sumich 1992 dalam Aprilliani 2009, menjelaskan bahwa adanya fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3)
CaCO3 + H2CO3 + H20+CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk teumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Zooxanthellae adalah suatu jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan karang. Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan hewan karang. di lain pihak, hewan karang memberikan tempat berlindung bagi zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting dalam proses pembentukan terumbu karang (Thamrin 2006). Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Claudet 2006). Secara global, sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20°C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18°C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25°C, dan dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36-40°C (Claudet 2006). Salinitas merupakan faktor pembatas dalam penyebaran terumbu karang. Terumbu karang dapat hidup pada kisaran 32-35‰ namun ada juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai 42‰ (Thamrin 2006). Nontji (1987)
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
8
menemukan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 2742‰. Cahaya dan Kedalaman merupakan Kedua faktor yang berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Claudet 2006). Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni rumah bagi lebih dari 25% dari semua spesies ikan laut yang diketahui sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata (Pelletier et al 2005). Terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjuatan (Claudet 2006). 2.2 Ikan Karang Ikan karang merupakan jenis ikan yang habitat umumnya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak. (Brokovich et al 2006). Keberadaan ikan-ikan karang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup (McClanahan and Graham 2005). Beberapa bentuk pertumbuhan karang yang beragam seperti bercabang, pipih, meja, daun, padat memungkinkan adanya celah atau ruang. Celah dan ruang yang ada inilah yang dijadikan habitat serta tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, maupun tempat bersembunyi oleh ikan demersal maupun ikan pelagis yang mempunyai nilai pasar (carr et al. 2002).
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
9
McClanahan and Graham (2005) menuturkan umumnya ikan habitatnya menetap pada daerah terumbu karang, jarang ikan-ikan tersebut keluar untuk mencari makan ataupun berlindung di daerah lain. Batas wilayah tersebut didasarkan pada pasokan makanan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan derah pemijahan. Ikan karang terbagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target adalah ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti famili Lutjanidae, Serranidae, Haemulidae; (2) kelompok jenis ikan indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator kondisi kesuburan terumbu karangn misalnya chaetodontidae. 2.3 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Pengelolaan lingkungan laut terkait dengan interaksi sosial, yang mana dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan tujuan yang di harapkan tak lepas dari beberapa faktor utama yaitu kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan (Douvere. 2008, Pemeroy dan Fanny. 2008 ). Partisipasi aktif satakeholder dalam kelembagaan merupakan bagian dari keberhasilan suatu pengelolaan lingkungan laut (Pemeroy dan Fanny. 2008). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et al. 2003) Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain dikarenakan efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya (Charles et al. 2009).
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
10
Mengingat pentingnya sumber daya laut untuk manusia, maka semakin bertambah jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya (Strub et al. 2011). Dengan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya maka akan memberikan tekanan-tekanan terhadap sumberdaya, setiap faktor yang mempengaruhi ekosistem sumberdaya juga mempengaruhi sosial dan ekonomi masyarakat, dengan demikian setiap pengguna sumberdaya di perlukan pemahaman yang baik agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang berkelanjutan (Alpizar 2006). Daerah perlindungan berbasis masyarakat merupakan pendekatan dalam upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal akan kebutuhan dimasa sekarang hingga masa akan datang dengan mengutamakan aspirasi mereka, menjadikan mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya lokal, dan meningkatkan kesehjatraan ekonomi (Vodouhe et al. 2010) Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Iskandar 2001). Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan daerah perlindungan laut merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan (Pemda Lampung 2000). Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai (Charles et al. 2009). Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
11
Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif (Dahuri 2003). Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif (Dahuri 2003). Glaser (2010) menguraikan adanya pengelolaan DPL berbasis masyarakat dengan keragaman ekosistem sumber daya yang dikelolanya, agar menjadi efektif maka dilakukan pengelolaan secara adaptif. Dalam rangka mencapai stabilitas dan kemampuan beradaptasi, unsur-unsur lokal yang membentuk inti adaptif perlu diidentifikasi dan dievaluasi secara spesifik. 2.4 Kelembagaan Adanya sumberdaya yang komplek, beragam dan rentan terhadap tekanantekanan yang ada dan bersifat dinamis, maka dalam suatu pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan harus ada kelembagaan yang di bentuk berdasarkan proses sosial (Berghofer et al. 2008). Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu. Pelembagaan nilai-nilai dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
12
perundangan, peraturan daerah, tata ruang wilayah pesisir dan lautan, dan bentukbentuk lain yang dihasilkan oleh lembaga tersebut (Dahuri 2003). Menurut Dahuri (2003), pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan beserta hasilnya adalah merupakan proses politik, dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keefektifan daerah perlindungan laut dan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders tersebut. Pengelolaan DPL berbasis masyarakat dibentuk berdasarkan inisaiasi masyarakat, bila tidak ada tindak lanjut motivator maka pengelolaan tidak akan berkelanjutan, dikarenakan terkait kebutuhan masyarakat maka dalam jangka panjang masyarakat akan melakukan aktivitas di zona-zona yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan (Fernandez 2007). Tulungen et al. (2003) menyatakan dalam konteks pengelolaan daerah perlindungan laut, inisiator program telah membentuk sebuah lembaga baru yang disebut dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Adapun tugas dari badan pengelola ini adalah: (1) Membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama; (2) Bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Wilayah Perlindungan Laut yang berkelanjutan; (3) Mengatur, menjaga kelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat; (4) Melakukan pengawasan dan berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini; (5) Melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama masyarakat. 2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Jenning (2009) menguraikan Fungsi utama dalam pengelolaan adalah untuk memodifikasi tekanan-tekanan manusia terhadap ekosistem sumberdaya maka berbagai model pengelolaan telah dilakukan, salah satunya adalah pembentukan DPL, telah diusulkan untuk mendukung pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Daerah Perlindungan laut diakui di seluruh dunia, sebagai desaign untuk melindungi
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
13
sumberdaya dengan cara melindungi habitatnya, serta dapat menyelesaikan masalah konflik sumberdaya dan salah satu upaya pengembalikan sumberdaya yang telah tereklpoitasi serta kawasan yang terdegradasi (Maliao et al. 2004). Bila dilihat dari elemen evaluasi menurut Hockings dan Dudley (2006), sebuah pengelolaan kawasan konservasi dikatakan efektif atau tidak, dapat diketahui pada elemen keluaran (output) dan capaian (outcome) dari proses pengelolaan. Ketika keluaran dan pencapaian sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan konservasi maka pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan efektif. Tujuan daerah perlindungan laut adalah untuk melindungi ekosistem terumbu karang sebagai bagian keanekaragaman hayati. Keluaran dari program pengelolaan kolaboratif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat sehingga menghasilkan capaian berupa penurunan tekanan terhadap terumbu karang, maka pengelolaan daerah perlindungan laut telah berjalan dengan efektif (Made et al. 2007). Sangat di perlukan bagi suksesnya pegelolaan berkelanjutan adalah kontinuitas dan nilai-nilai sumber daya alam, dalam hal ini sumberdaya hayati dan lingkungannya salah satunya adalah partisipatif masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal sangat efektif dalam melindungi habitat flora dan fauna, untuk itu perlu adanya menciptakan keadaan yang baik bagi sosial ekonomi masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, yaitu dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, pengadaan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Hockings dan Dudley 2006). Bila keadaan sosial-ekonomi masyarakat baik maka pengelolaan DPL akan baik, sebaliknya bila di sana-sini terjadi kesenjangan sosial-ekonomi maka DPL tidak akan berhasil dengan maksimum, karena tidak ada kekompakan antar masyarakat. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan penyelenggara kelestarian lingkungan sehingga pada akhirnya akan menunjang pembangunan di kawasan lindung laut yang seimbang antara ekologis, sosial dan ekonomi (Made et al.2007).
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
14
2.6 Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dilakukan di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi lain, disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1 Penelitian Terdahulu Peneliti dan Tahun 1 Riana (2010)
Efin Muttaqin (2006)
Sumber laporan Judul 2 Efektifitas dan keberlanjutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (kasus DPL-bm blongko, minahasa selatan, DPLbm pulau sebesi, lampung selatan dan Apl pulau harapan Kepulauan seribu)
Kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002 dan tahun 2005 di daerah perlindungan laut pulau sebesi lampung
Alat Analisis -
3 Analisis De garmo untuk efektifitas DPL Analisis Keberlanjutan DPL Dengan Muti dimensional scaling
LIT, Persentase peneutupan karang hidup (English et al, 1994)
Hasil yang diperoleh 4 - Pengelolaan daerah perlindungan laut untuk DPL Bongko dan APL Pulau Harapan belum efektif, sedangkan DPL Pulau Sebesi sudah efektif. - Tingkat keberlanjutan yang ditunjukkan dengan indeks keberlanjutan (IB-DPL) program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi sudah tinggi, yaitu di atas nilai IB-DPL 50 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. - Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan pengembangan DPL adalah: a. Peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui penekanan kegiatan yang merusak lingkungan. b. Pengembangan mata pencaharian alternatif guna mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. c. Internasilisasi program DPL ke dalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu. d. Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi. - Parameter biofisik perairan lokasi penelitian seperti suhu, kecerahan salinitas dan derajat keasaman pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 tidak mengalami perubahan yang berarti dan secara keseluruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang. - Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi pada tahun 2005 mengalami perbaikan dibandingkan kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kondisi terumbu karang pada Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002. - Penurunan indeks mortalitas karang keras (HC) Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002 ini terjadi karena kerusakan terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia berkurang setelah ditetapkannya DPL
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/