RE REVIEW HUBUNGAN AGAMA DENGAN NEGARA DI INDONESIA Andi Saefullah (Pelaksana Pada Subbag Kepegawaian Kemenag Sulsel) Sidang isbat dalam rangka penetapan awal bulan Ramadhan dan tanggal 1 Syawal yang rutin dilaksanakan oleh Kementerian Agama akhir-akhir ini menuai polemik dan menjadi diskursus yang cukup menyita perhatian publik. Dari besaran biaya yang dikeluarkan, sarat dengan unsur politis, sampai menyoal kembali perlu atau tidaknya Negara (pemerintah) turut campur dalam hal tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan media, Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin menyebutkan bahwa sidang isbat adalah sidang basa-basi dan hanya menghamburkan uang negara yang konon katanya menghabiskan anggaran 9 M. Entah dari mana informasi tentang anggaran tersebut namun Kementerian Agama telah membantahnya. Bahkan Denny Januari Ali yang popular dikenal Denny JA, Direktur sebuah lembaga survey juga mengkritisi pelaksanaan sidang isbat yang menurutnya hanya mempertontonkan kebodohan umat muslim Indonesia. Kritik atau polemik tentang sidang isbat ini erat kaitannya dengan perbedaan cara penetapan awal bulan yang dianut oleh dua ormas besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah. NU dengan rukyatul hilalnya sedangkan Muhammadiyah dengan hisab imkanurukyahnya. Bagi Muhammadiyah penetapan awal Ramadhan, 1 Syawal, maupun 1 Dzulhijjah dapat diketahui cukup melalui metode hisab sehingga momen-momen penting umat Islam dapat ditetapkan jauh hari sebelumnya dan tentu saja tidak membutuhkan sidang isbat. Sedangkan Nahdatul Ulama mensyaratkan dilaksanakannya rukyatul hilal diberbagai daerah di Indonesia sehingga membutuhkan wadah penyatuan informasi sekaligus klarifikasi atas berbagai informasi pelaksanaan rukyatul hilal di beberapa daerah yang dalam hal ini dapat melalui sidang isbat. Kedua ormas yang berbeda pandangan tersebut sangat kukuh dalam memegang pandangan masing-masing, sehingga sangat wajar ketika Muhammadiyah sangat mengkritisi pelaksanaan sidang isbat sedangkan NUmendukung pelaksanaan sidang isbat. Menurut saya, Muhammadiyah menganggap bahwa penetapan awal bulan adalah domain ijtihad murni sedangkan NU selain ijtihad, terdapat unsur taabbud atau kepatuhan terhadap proses atau cara penetapan awal bulan tersebut yang tergambar dalam nash Al-Qur’an maupun hadist.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama berdasarkan kewenangan formil dan juridis yang dimilikinya tentu berkepentingan terhadap pelaksanaan sidang isbat sebagai upaya
pemerintah
memberikan kepastian di tengah keragaman yang timbul dari berbagai ormas yang ada. Meskipun polemik tentang penetapan awal bulan dan sidang isbat diatas cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut, namun tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut namun ingin lebih mengelaborasi pola hubungan antara agama dengan negara di Indonesia sehingga setidaknya pertanyaan perlu tidaknya negara ambil bagian dalam kehidupan beragama di Indonesia dapat tercerahkan. A. ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata state,staat, dan etat diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi, Negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam sebuah Negara terdiri dari masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat. Manusia sebagai mahluk sosial diciptakan Allah dalam keadaaan Iemah, tanpa bantuan Orang lain, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup, yang diperlukan. Watak dasar penciptaan diri yang serba terbatas ini, mendorong manusia untuk bekerjasama akan saling membantu. Dari proses lnteraksi Sosial itu secara evolutif membentuk komunitas hidup bermasyarakat dan akhirnya sepakat membuat kontrak politik untuk mendirikan negara. Dengan demikian, dimulai dari sini negara dapat dipahami sebagai lembaga politik atau Organisasi pemerintahan sebagai Manifestasi keberserikalan wilayah suatu masyarakat bangsa untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan bersama dengan berdasarkan sistem hukum. Dalam konteks Islam dilihat dari aspek historis, terbentuknya negara Madinah adalah setelah Nabi Muhammad SAW yang didukung seluruh komponen penduduk setempat sepakat menerima “Piagam Madinah” sebagai kontrak politik bersama. Aspirasi yang multi etnis, kultur dan agama
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
diakomodir dalam piagam yang terdiri 47 pasal , memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk. Di negara baru ini Nabi bertindak Iayaknya seorang kepala negara dengan Piagam Madinah sebagai Konstitusinya. Pada periode Madinah inilah totalitas ajaran lslam yang berkaitan dengan aspek social politik dan kenegaraan dapat diterapkan secara efektif, karena agama dan kekuasaan politik berjalan seiring . B. TUJUAN PEMBENTUKAN NEGARA Tujuan bermasyarakat dan bemegara ialah untuk mewujudkan kebaikan dan melindungi kepentingan bersama untuk kesejahteraan yang mereka harapkan. Menurut Al-Farabi “dalam kehidupan bernegara tidak hanya bertujuan memenuni kebutuhan pokok dan kelengkapan kehidupan, tetapi yang lebih penting adalah terciptanya kebahagiaan lahir batin, material dan spiritual”. Negara dalam usahanya mencapai tujuan dan cita-citanya diperlukan landasan moral dengan menjaga terpeliharanya kehidupan beragama, solidaritas sosial dan ahlak yang luhur sebagai proses kondisioning terbentuknya mas yarakat yang sejahtera. Di samping itu suasana yang nyaman,aman dan tertib. Sebagai tujuan asasi bernegara diperlukan pemimpin yang adil dan berwibawa serta pemerintahan yang bersih dari penyimpangan dan kezaliman. Dalam hal ini sistem hukum dan penegakan hukum oleh hakim-hakim yang adil menjadi jaminan terwujudnya cita-cita luhur tujuan bermasyarakat dan bemegara yang baik, yakni memanusiakan kehidupan manusia yang manusiawi sesuai Fitrah yang dikehendaki Allah SWT. Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen) dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Selain disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatic tersebut, lebihlebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah", maka pembicaraan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh". C. KARAKTERISTIK PEMIKIRAN KENEGARAAN DALAM ISLAM Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari’ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shari’ah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al-madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah aldiniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada : a) Ijma shahabat, b) Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan, c) Melaksanakan tugas-tugas keagamaan, d) Mewujudkan keadilan yang sempurna. Kajian-kajian mengenai pemerintahan, dan negara lebih mengutama lagi tatkala kekhalifahan Uthmaniyah runtuh, dan konsep negara bangsa (nation state) mengemuka pada awal abad XX. Dinamika menyebabkan para pemikir muslim mencari sintesa terbaik untuk merumuskan kembali konsep kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta posisi agama dalam negara. Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
pada al-Quran dan al- Hadith, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah: 1. Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. 2. Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. 3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah. 4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. 6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97). Di sinilah muncul berbagai penafsiran terhadap doktrin agama yang berkaitan dengan relasinya dengan negara. Agama ini hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan memungkinkan dibangunnya suatu pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat. Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi. Yang penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah. Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Hampir tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan ini sangat mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai negara Islam. Perdebatan panjang itu boleh jadi hanya berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan, negara manakah yang dapat disebut sebagai Negara Islam? Apakah Saudi Arabia, Iran, Pakistan, atau Sudan, yang merupakan representasi negara Islam? Atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara Islam? Namun begitu, secara teoritik, sudah ada berbagai upaya untuk mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu negara disebut sebagai negara Islam jika menerapkan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi adanya suatu Negara Islam. Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah bahwa shari’ah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam pandangannya, shari’ah harus membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan hokum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan untuk membedakan antara suatu Negara Islam dengan negara non-Islam. Sedangkan Fazlurrahman, kendati tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara Islam secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Rahman menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan negara itu, Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang paling penting yang harus dimiliki adalah Shura sebagai dasarnya. Dengan adanya lembaga Shura itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang berkompeten. Dengan demikian, kata Rahman, akan sangat mungkin antara satu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain, implementasi shari’ah Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara yang bersangkutan.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Dari pemahaman bahwa mustahil menerapkan hukum Islam tanpa adanya negara Islam ini secara otomatis timbul juga perdebatan mengenai hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dan negara oleh para sarjana Muslim. Perbedaan pemahaman tentang hubungan ini sesuai dengan setting sosiologis, historis, antropologis, dan intelektual para sarjana tersebut. Hal itu juga dicampur dengan berbagai corak penafsiran terhadap teks al-Qur’an dan al- Hadith yang dijadikan rujukan utama. Perdebatan ini akhirnya bermuara pada dua kutub pemikiran yang sangat radikal. Pertama, menandaskan bahwa negara harus dikendalikan oleh institusi agama. Setidak-tidaknya, agama mempunyai andil dalam menentukan suatu kebijakan politik. Aliran pemikiran ini memandang agama sebagai suatu yang sempurna (perfect) dan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tak terkecuali dalam dunia Islam, di mana Islam dipandang sebagai agama yang sempurna, mengatur segala aspek, termasuk tata ruang kehidupan Negara (politik). Pada garis pemikiran kedua, secara radikal, pemikir muslim asal Mesir, Thaha Husein menegaskan bahwa negara tidaklah harus dikendalikan oleh institusi-institusi agama. Menurut Husein, sistem pemerintahan dan pembentukan negara bukanlah atas dasar prinsip keagamaan, tetapi lebih merupakan asas manfaat alamiah dan kepentingan-kepentingan praktis, yang bertautan langsung dengan ruang waktu kehidupan masa kini. Lebih lanjut, konstruk berpikir seperti itu melahirkan trikotomi yang hingga kini menguasai perdebatan tentang bagaimana relasi agama dan negara. Pertama, pola liberal yang menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubunganantara manusia dan Tuhan. Kedua, pola tradisionalis, yang mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua aturan kehidupan termasuk urusan kenegaraan. Argumen yang diberikan oleh kelompok ini adalah bahwa tugas Nabi telah selesai dan telah memberikan garis panduan yang jelas seperti ketika Nabi berada di Madinah. Ketiga, pola reformis atau sintesis, yang mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang pasti tentang masalah kenegaraan, namun ada prinsip asas yang harus ditegakkan. Pola-pola pemikiran di atas, paling tidak lahir dari dua maksud. Pertama, mencoba menelusuri dan menentukan sejauh mana Islam menggariskan kosep secara jelas tentang negara, politik, dan system pemerintahan. Pendekatan yang menekankan aspek teoritis formalis ini bertolak pada asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, penelusuran itu dilakukan untuk
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
mengidentifkasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Maksud kedua ini agaknya lebih menekankan pada aspek praktis substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam?” Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep negara tertentu, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar Islam. D. PENCARIAN BENTUK IDEAL RELASI AGAMA DAN NEGARA. Hingga kini, para pemikir muslim dengan berbagai perspektif dan latar belakang kajian, menyuguhkan konsep formulatif mengenai hubungan antara Islam, negara, dan rakyat. Kecenderungan pluralitas konsep ini dikarenakan masih adanya berbagai postulat yang tak dipikirkan (unthought) dan tak dapat dipikirkan (unthinkable) yang bermuara pada diktum: Islam identik dengan agama, agama dengan Islam, dan Islam dengan dunia. Berbagai postulat tersebut, di antaranya: pertama, ada kesinambungan antara masa lalu dan masa sekarang di dunia muslim dan juga Islam itu sendiri; kedua, Islam identik dengan negara; ketiga, akibat dari poin kedua, pengidentikan Islam sebagai agama yang berbeda dengan agama-agama besar dunia lainnya; keempat, mentalitas orang beriman, yang terdidik secara teoritik dan praktik dengan pengidentikan ini. Mentalitas itu mengelak dari perubahan historis. Ia bebas dari historisitas namun dianut dengan sangat teguh sehingga terus melekat pada sejarah masyarakat muslim; kelima, agama bagi umat Islam merupakan landasan penting dan pusat identitas dan kesetiaan; dan keenam, Islam merupakan kekuatan pemersatu dan pemberi dorongan moral (moral force). Kiranya tepat apabila faktor-faktor di atas direlevansikan dengan apa yang disebut oleh Bassam Tibi dengan fenomena “repolitisasi Islam”, yang mengandung makna bahwa Islam dijadikan sebagi ideologi politik. Menurut Bassam Tibi, gejala repolitisasi Islam ini paling tidak disebabkan oleh dua hal; pertama, umat Islam sedang mengalami krisis identitas; kedua, adanya krisis sosial—dan ekonomi serta gejala pemiskinan yang melanda umat Islam sehingga keadaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya ideologi-ideologi keagamaan yang menawarkan janji-janji pembebasan. Apa yang disebut sebagai “repolitisasi Islam” ini, dalam kehidupan bernegara, melahirkan sebuah antitesis yang disebut sebagai “depolitisasi Islam”. Jika paradigma pertama menginginkan agama tampil mengemuka di setiap lini kehidupan, termasuk formalisasi hukum-hukum agama dalam
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
kehidupan bernegara, maka depolitisasasi berupaya memarginalkan peran agama dalam wilayah negara (sekuler). Selain itu, ada pula yang mengambil jalan tengah di antara dua konstruksi berpikir ini. Yaitu dengan menjadikan agama dan negara tidak dalam wilayah integral, juga tak mengambil jalan sekuler. Agama dan negara, dalam pandangan ini, memiliki peran saling memberi dan mengisi, tanpa harus bersatu secara langsung, ataupun berhadapan secara frontal Paparan di bawah ini akan memberi sedikit pemahaman terhadap trikotomi di atas. Tiga paradigma ini merupakan pemetaan yang cukup populer dalam wacana kenegaraan Islam, meski dengan berbagai istilah yang beragam. 1) Perspektif Integralistik Integralistik di sini bukan dipahami seperti yang telah dikonsepsikan George Wilhelm Friedrich Hegel yang berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan, karena itu bukan negara yang harus mengabdi pada rakyat melainkan sebaliknya. Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan negara dan agama yang menganggap bahwa negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma ini melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Negara diletakkan sebagai lembaga politik sekaligus lembaga agama. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, dengan hukum agama sebagai sumber landasan mengatur negara. Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensif, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah system yang telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin. Tokoh utama dari aliran ini adalah antara lain Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Abu alA'la al-Mawdudi.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
2) Perspektif Sekuleristik Istilah sekulerisme bermakna “yang bukan agama”. Kata ini berasal dari bahasa latin saeculum yang pada mulanya berarti ‘masa’ atau generasi dalam arti waktu temporal. Nurcholis Madjid menjelaskan saeculum sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya adalah mundus. Tetapi saeculum memiliki arti kata waktu, sedangkan mundus sebagai kata ruang. Sedangkan lawan kata dari saeculum ialah eternum yang berarti abadi, kemudian digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara negara dan agama secara diametral. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan dalam dimensi individual. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firmanfirman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensif dalam urusan agama. Kelompok ini menekankan argumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Beliau hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak termasuk perintah membentuk negara. Menyikapi ayat yang mengandung perintah untuk mentaati ulul amri , Raziq berpendapat bahwa ayat ini tak ada kaitannya dengan pemerintahan apapun. Bagi Raziq, ulul amri pada ayat tersebut hanya mengacu pada para pembesar sahabat yang memahami seluk-beluk persoalan umat, atau yang menjadi pemimpin mereka. Ia menampik bahwa konsep tentang kepala negara mempunyai pijakan dalam Alquran. Pendapat Raziq itu tidak sepenuhnya bisa dikatakan benar. Memang benar Alquran tidak menyiapkan suatu konsep yang utuh, tetapi landasan dan nilai etika dari konsep-konsep itu terdapat dalam Alquran. Tokoh kelompok ini, diantaranya Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Muhammad Said AlAshmawi (Mesir), Ziya Gokalp, Mustafa Kemal Attaturk (Turki), Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Khuda
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Bakhsh, Khalifah Abdul Halim (India), Ghulam Ahmad Parvez (Pakistan), serta Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid (Indonesia). 3) Perspektif Simbiotik Aliran ketiga ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak bahwa Islam adalah suatu agama dalam pengertian Barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Menurut konsep ini, hubungan negara dan agama dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Teori simbiosis membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang, lalu agama memberikan justifikasinya. Agama tak harus menjadi dasar negara. Negara hanya menjadi wilayah yang mandiri. Intervensi agama adalah dalam wilayah ketika negara dianggap telah menyimpang dari norma-norma agama. Husein Muhammad menyebut paradigma simbiotik ini, di satu pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik. Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (shari’ah). Singkatnya, shari’ah memiliki peran sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Melihat realitas keberadaan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, kita bisa melihat beragamnya eksperimentasi mereka dalam menempatkan agama dalam negara. Bila dilihat dari sejauh mana suatu konstitusi memberikan perlindungan terhadap agama dan shari’ah Islam, konstitusi Negara negara muslim dapat dibagi menjadi enam katagori dengan cara melihat kombinasinya dalam menempatkan agama dan shari’ah Islam :
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
a) Negara yang menjadikan shari’ah (al-Qur’an & al-Hadith) sebagai konstitusi, contohnya Saudi Arabia. b) Negara yang konstitusinya maupun aturan dasar lainnya (seperti dekrit presiden atau ketentuan dasar yang dimuat di luar pasal-pasal konstitusi) mengamanatkan agar semua aktivitas penyelenggaraan negara diarahkan dan dibimbing oleh shari’ah seperti Iran, Libya, Pakistan. c) Negara yang konstitusinya menyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan menjadikan shari’ah Islam sebagai sumber utama pembuatan hukum / Undang-undang, misalnya Mesir. d) Negara yang konstitusinya menyatakan Islam sebagai agama Negara tetapi tidak menyebutkan shari’ah sebagai sumber utama pembuatan hukum artinya shari’ah hanya dipandang sebagai salah satu sumber dari beberapa sumber pembuatan hukum yang lain, contohnya Irak dan Malaysia. e) Negara yang tidak menjadikan Islam sebagai agama negara dan tidak menjadikan shariah Islam sebagai sumber utama pembuatan hokum namun mengakui shari’ah sebagai sumber utama pembuatan hokum yang hidup di masyarakat, contohnya Indonesia. f)
Negara yang menyatakan diri sebagai negara sekuler dan berusaha agar shari’ah Islam tidak mempengaruhi sistem hukumnya, contohnya Turki. Dalam konteks keIndonesiaan, Masdar Farid Mas’udi menyatakan pendapatnya tentang
bagaimana seharusnya relasi agama dan negara di Indonesia : “Melihat lebih dalam dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda. Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya. Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, puasa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (alahwal al-syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak berhak memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu pernikahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri. Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansi hukum agama terhadap hukum negara. Dalam konteks hukum negara kebangsaan, hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti hukum adat. Ahmad Sukardja, saat membandingkan antara Piagam Madinah dan UUD 1945 menyatakan bahwa kedua konstitusi ini menganut paham urusan agama merupakan bagian dari urusan negara, dan hukum agama merupakan sumber bagi hukum negara. Bedanya dalam Piagam Madinah menunjuk pada shari’ah agama tertentu yakni shari’ah Islam, sedang dalam UUD 1945 tidak eksplisit menunjuk shari’ah Islam. Pembahasan mengenai relasi negara dan agama yang akan berlaku di Indonesia sudah dimulai oleh para pendiri bangsa. Menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut, persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945 Satu hal yang menarik dalam konsep kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yaitu terdapat sintesa kreatif antara nila-nilai kemanusiaan dan spritualitas dalam hakikat manusia yang monopluralis. Dengan kata lain, manusia dengan segala kekuatan yang dimiliki berusaha mengatasi kehidupan dalam bentuk kebebasan. Dalam konteks Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ditempatkan diatas segala-galanya dan merupakan suatu bentuk kesepakatan moral bangsa Indonesia yang diracik oleh founding fathers bangsa ini. Hubungan agama dan negara di Indonesia tidak ditempatkan dalam konteks dikotomi, melainkan ditempatkan pada posisi yang harmonis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
nilai religuis-ilahiyah. Dengan demikian, dasar filosofis hubungan agama dan negara adalah dengan menempatkan nilai kemanusiaan dan religius-ilahiyah diatas segalanya sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Bangsa Indonesia tidak menolak modernisasi sejauh tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Negara berkewajiban melindungi segenap warga negara dalam memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing dan berkepentingan dalam hal terciptanya kondisi keberagamaan yang harmonis. Keharmonisan antar umat beragama maupun antar umat dalam satu agama menjadi tanggung jawab moral sekaligus tanggung jawab politis negara (pemerintah). Negara berhak mengambil langkah-langkah preventif ataupun persuasif dalam rangka menjamin terlaksananya kehidupan religuitas warga negara. Peran atau keterlibatan pemerintah dalam mengatur pola kehidupan beragama masyarakat Indonesia tentu terbatas dan tidak melampaui hal-hal yang bersifat privat. Pemerintah harus mengambil jarak dari hal-hal yang bukan menjadi kewenangannya karena bisa jadi langkah-langkah yang diambil pemerintah menjadi kontra produktif dan menjadikan masyarakat antipati terhadap berbagai program pemerintah. Pemikiran filosofis mengenai hubungan negara dan agama oleh para pendiri negara (founding fathers) Republik Indonesia telah diselesaikan secara final. Para pendiri negara berupaya untuk tidak terjebak dalam terperangkap dalam dikotomi antara negara sekuler dengan negara agama, karena dikotomi tersebut akan menafikan adanya kompleksitas dan dinamika hubungan negara dan agama yang khas Indonesia. Pola relasi hubungan antara agama dengan negara di Indonesia berbeda dengan pola hubungan agama dan negara di dunia Barat. Hubungan negara dan agama di Indonesia adalah bersifat substansial, artinya dalam agama terdapat ajaran dan nilai yang bersifat substantif yang mengandung prinsip etis dan moral bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai agama menjadi acuan dan pedoman dalam menjalankan dan melaksanakan kehidupan masyarakat dan politik kenegaraan. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia adalah negara BerKetuhanan Yang Maha Esa, dengan tipe negara Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusian Yang Adil dan beradab.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer