IMPLIKASI KETENTUAN ADAT DALAM PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI PAPUA The Implication of Traditional Laws/Conventions in forest Management of Papua Oleh/by : 1) Irma Yeny ABSTRACT The system on traditional usage of forest produces is basically defined by traditional Laws and Conventions. This research is aimed to identity and describe traditional values must be mantained and sustained to generate continous and sustainable forest management. Descriptive methode is used in this research, with case study technoque where village district is a village with high interaction between the people and forest. The result shows that there are aspects in traditional Laws and Conventons still relevant to natular resource profection and conservation and therefore, they are urgely to be maintained and refonud for forest management and security proposes. “Sasi” is one of the aspects should be maintained to give a relief or idle period to the forest toregenerate, rejuvenile it self for future utilization or harvest. Forest utilization that primerally open with traditional procession must be maintained as the Adat Community, the owner of the ulayat, and also as the way of investment and company working in the area. Key words : Implication, Traditional Law ABSTRAK Sistem pemanfaatan tradisional hasil hutan diperkuat dengan aturan-aturan adat setempat yang disebut adat istiadat dan hukum adat. Penelitian bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan untuk diaplikasikan dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknik studi kasus dimana wilayah desa merupakan desa dengan tingkat interaksi tinggi terhadap hutan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa masih ditemuinya aspek adat istiadat dan hukum adat sangat relevan dengan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam dan perlu di hidupkan kembali untuk mendukung pengelolaan dan pengamanan kawasan hutan antara lain : “sasi” yang perlu dilestarikan sebagai upaya memberi masa bera bagi pemanfaatan hasil hutan. Selain itu bentuk
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
29
pemanfaatan lahan yang diawali dengan prosesi adat perlu dilestarikan sebagai bentuk penghargaan kepada pemilik ulayat serta sebagai sarana sosialisasi keberadaan investor pada wilayah tersebut. Kata Kunci : Implikasi, Hukum Adat I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Papua dengan luas kawasan hutan 40.546.360 ha atau 32,79 % dari luas hutan Indonesia (Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2002), seluruhnya dibebani oleh hak milik adat suku asli Papua. Kepemilikan hutan secara adat selanjutnya dikenal dengan hak kepemilikan marga yang diwariskan secara turun temurun menurut system patrineal dan ambilineal. Hak marga tersebut diwariskan mulai dari marga tertua sampai marga termuda. Masyarakat hukum adat dalam mengatur kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan hutan untuk pemenuhan berbagai keperluan hidup sesungguhnya telah berlangsung sejak mereka hadir dan hidup disuatu wilayah. Pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat umumnya dalam bentuk pemanfaatan lahan hutan untuk usaha pertanian, sumber kayu bangunan, kayu bakar, obat-obatan tradisional serta tempat kegiatan binatang liar. Sistem pemanfaatan tradisional tersebut diperkuat dengan aturan-aturan adat yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat bersangkutan yang dikenal dengan kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut, apabila dikaji secara mendalam terdapat nilai-nilai yang sangat mendukung upaya konservasi. Permasalahannya apakah nilainilai kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan suberdaya hutan masih dipertahankan oleh generasi sekarang? Untuk menjawab masalah ini perlu dilakukan kajian nilai-nilai adat (kearifan lokal) yang dapat mendukung upaya-upaya konservasi sumberdaya hutan. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan kearifan lokal yang perlu dilestarikan untuk diaplikasikan dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan dan model pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat adat di wilayah Papua.
30
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
II. METODOLOGI Lokasi penelitian ditentukan secara disengaja (purposive sampling) dan berdasarkan pertimbangan rumpun bahasa dari komunitas masyarakat adat yang bermukim di suatu wilayah. Atas pertimbangan tersebut maka dipilih Kabupaten Sorong perwakilan rumpun bahasa West Papuana, Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama perwakilan rumpun bahasa Austronesian, Kabupaten Fak-fak dan Kabupaten Sarmi perwakilan rumpun bahasa Gelvink Bay. Desa-desa yang dipilih sebagai sasaran penelitian adalah desa-desa yang terdapat di sekitar areal konsesi IUPHHK/HPH. Pemilihan IUPHHK/HPH dilakukan dengan mempertimbangkan aksesibilitas. IUPHHK/HPH yang menjadi lokasi penelitian adalah PT. Intimpura Co Sorong, PT. Yotefa Teluk Bintuni, IPKMA Dusner Mandiri di Teluk Wondama, PT. Arfak Indra di Fakfak dan PT. Wapoga Mutiara Timber di Sarmi. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Ket :
Lokasi Sasaran Penelitian
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Papua Subyek penelitian adalah masyarakat hukum adat yang bermukim di desa-desa di sekitar kawasan konsesi HPH pada terpilih. Pengambilan responden contoh dilakukan secara purposif terhadap anggota marga yang secara turun temurun bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Responden contoh dipilih berdasarkan status sosial dalam komunitas adat dengan kategori : (1) tua-tua adat, Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
31
(2) Tokoh agama (3) masyarakat adat yang telah berkeluarga pemilik areal konsesi. Jumlah responden dari masing-masing lokasi adalah 30 orang, yang terdiri dari 3 (tiga) orang tua-tua adat, 2 (dua) orang tokoh agama dan 25 orang warga masyarakat yang telah berkeluarga dan merupakan marga pemilik areal konsesi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknik studi kasus dimana wilayah desa dengan tingkat interaksi masyarakat yang tinggi terhadap hutan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pembentukan Ketentuan Adat Ketentuan adat yang berkembang dan diberlakukan di dalam setiap suku pada dasarnya merupakan seperangkat kebiasaan yang menjamin tatanan kehidupan anggota masyarakat yang membentuk kelompok etnis atau suku bersangkutan. Sesungguhnya ketentuan adat itu merupakan ekspresi cara-cara masyarakat generasi awal memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya secara layak berdasarkan kriteria kelayakan yang mereka pahami. Selanjutnya ketentuan adat ini dalam setiap kelompok etnis diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses pewarisan. Dalam proses pembentukan ketentuan adat terjadi perbedaan yang cukup mendasar pada definisi ketentuan adat dan adat itu sendiri. Ketentuan adat adalah peraturan yang dibuat oleh adat atau kekuasaan yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. Ketentuan adat tersebut juga dikenal dengan nama hukum adat. Sedangkan adat merupakan ukuran besar masyarakat, dan besar masyarakat adat secara umum dapat berbedabeda, mulai dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar. Lebih lanjut Vollenhoven seperti di kutip Sorojo, 1983 menyatakan : “Ada perbedaan antara adat-istiadat dan ketentuan adat. Adat istiadat atau norma adalah nilai yang dihormati namun tidak mengandung sanksi dan mengandung prinsip-prinsip pengatur yang menjadi pedoman bagi manusia, bagaimana seharusnya sebagai manusia berkelakuan Ketentuan adat adalah aturan adat yang mengandung sanksi. Bentuk sanksinya dapat berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan khususnya penguasa masyarakat hukum tersebut.” Pada rumpun bahasa West Papuana yaitu wilayah hukum adat Suku Mooi Sorong membagi komunitas hukum adat berdasarkan keturunan komunitas hukum adat menjadi tiga kelompok menurut struktur yang terkecil hingga terbesar yaitu : keluarga, marga dan suku. Pembagian tersebut berlaku sama pada rumpun bahasa Austronesian yaitu wilayah hukum adat suku Wamesa dan Wondama. Namun pada rumpun bahasa Gelvink bay khususnya wilayah hukum adat suku Baham membagi komunitas adat menurut strata sosial yaitu raja, tetua adat dan rakyat biasa. Lebih lanjut Ampofires. 1992 dalam B. Ter Haar Bzn. 1994 mengungkapkan pembagian masyarakat Arfak berdasarkan struktur menjadi empat kelompok marga yaitu keluarga, virilokal, keret dan suku. 32
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
Masing-masing suku memiliki adat istiadat atau norma yang berlaku untuk suku bersangkutan dan seringkali norma-norma tersebut memiliki kesamaan. Umumnya suku-suku di Papua memiliki kepercayaan bahwa tanah sebagai sumber kehidupan dan diasosiasikan sebagai seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, menjaga dan menyimpan manusia ketika ia mati. Kepercayaan tersebut melahirkan suatu nilai bahwa hutan memiliki fungsi sosial, religius dan ekonomi bagi masyarakat adat Papua. Berdasarkan fungsi hutan tersebut, maka dalam pemanfaatan hutan terdapat aturanaturan yang mengikat secara adat. Misalnya suku Mooi yang memiliki norma dalam pemanfataan hutan yaitu : 1. Menghargai pemilik ulayat, suatu marga yang hidup bukan pada tanah ulayatnya, menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya sehingga tidak mudah menjualbelikan tanah tersebut. 2. Memanfaatkan lahan/hutan/kebun sebatas kebutuhan hidup dan tidak boleh lebih. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam memanfaatkan lahan/ hutan/kebun tidak boleh serakah sehingga dapat dimanfaatkan oleh keturunan lainnya. 3. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai dengan alasan bahwa sungai tempat mengalirnya air sebagai sumber kehidupan, sehingga tidak boleh tercemar oleh aktifitas pertanian. Ketiga norma tersebut dalam kehidupan masyarakat suku Mooi mengindikasikan bahwa norma tersebut diketahui oleh seluruh kelompok umur baik laki-laki maupun perempuan. Namun implementasinya masih diragukan karena pada kelompok usia 12 - 25 tahun hanya sebatas mengetahui namun tidak mempraktekkannya. Sanksi atas ketidakpatuhan terhadap aturan tersebut tidak lagi dilaksanakan. Timbulnya sikap toleransi atas ketidakpatuhan disebabkan oleh semakin tingginya jumlah penduduk yang secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan akan lahan, dan tuntutan ekonomi uang. Ketentuan adat dalam bentuk norma tersebut merupakan buntuk kearifan lokal yang memilki kesamaan dengan sistem pemanfaatan hutan berdasarkan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang mengandung asas kelestarian hutan. B. Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Ketentuan adat dalam pemanfaatan hutan di Papua merupakan bentuk kearifan lokal yang dapat menyadarkan komunitas adatnya akan pentingnya memanfaatkan hutan secara rasional, baik atas pertimbangan kelestarian hutan dan kelestarian produksi. Tabel 1. Hasil penelitian yang dideskripsikan berdasarkan pengelompokkan kearifan lokal menurut Mustofa A.S, 2004.
Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
33
Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Papua No. 1.
Bentuk Ke arifan Lokal Kepercayaan dan Pantangan
2.
Etika dan Aturan
3.
Teknik dan Teknologi
4.
Praktek dan Tradisi Pengelolaan Hutan/Lahan
Contoh * Pantangan dalam menebang pohon jenis Merbau yang perawakannya tinggi besar dan berbeda dengan jenis yang sama pada suatu luasan (suku Bugui). * Wanita yang dalam keadaan Menstruasi tidak diperbolehkan ke kebun, karena diyakini dapat mendatangkan babi yang dapat merusak tanaman (suku Arfak). Menebang Pohon hanya sebatas kebutuhan saja dan jika terjadi kebakaran dan menimbulkan kerusakan pohon pemilik lainnya, maka orang yang menyebabkan kerusakan tersebut diwajibkan menanam kembali (suku Mooi) * Menumpukkan pohon yang baru ditebas disekeli li ng lahan yang berfungsi sebagai sekat bakar pada saat pembukaan lahan pertanian (sebagian besar suku di Papua). * Membuat berbagai perlengkapan alat rumah tangga, pertanian dan berburu (sebagian besar suku di Papua). * Terdapatnya jenis pohon bembuk dan ciskua menunjukkan lahan tersebut subur (suku Arfak) Melindungi wilayah sekitar sungai dan budaya “sasi” sebagai masa bera dalam memanfaatkan sumber daya alam (sebagian besar suku di Papua)
(sumber : Irma Yeny, dkk, 2004) Uraian berikut menjelaskan ketentuan adat berdasarkan jenis sumberdaya yang dimanfaatkan. 1.
Ketentuan Adat dalam Penentuan Status Kepemilikan Tanah Masyarakat Papua pada umummya membagi lahan menurut ekosistemnya. Masyarakat Mioko membuat katagori ekosistem, yaitu 'ikuwa'(hutan), 'amambako' (dusun sagu), 'kauti' (kebun) 'aminta' (sungai), 'kamota' (kampung) dan 'kamimapu' (pekarangan). Dari berbagai studi hak kepemilikan dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) sifat besar, yaitu (1) komunal dan (2) Individual. Lahan komunal sendiri dibedakan berdasarkan pada kelompok keturunan adat masing-masing wilayah baik, Klen/ Suku/ keret ataupun gabungan dari beberapa klen. Terlihat bahwa lahan hutan dan sungai menjadi milik bersama yang dibatasi oleh alam (gunung, sungai, batu, pohon besar), kampung dikuasai oleh kelompok keturunan (klen/suku/keret), sedangkan dusun sagu dimiliki oleh individu.
34
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
Berdasarkan hak kepemilikan adat maka lahan komunal dan lahan individual merupakan bagian dari hutan adat yang tertuang dalam UU 41 Tahun 1999. Hutan adat atau yang lebih dikenal dengan sebutan hutan marga tersebut merupakan hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Lahan atau tanah dalam satu kampung sebagai bagian dari kepemilikan komunal oleh salah satu marga pendistribusiannya diatur dalam ketentuan adat dengan istilah hak tanah. Hak tanah ini dimiliki oleh semua anggota keluarga dengan jumlah atau ukuran sesuai dengan keinginan dan kebiasaan adat pemberi hak tanah tersebut. Di Papua pewarisan tanah berdasarkan struktur sosial pada wilayah tersebut. Misalnya suku Bugui di pedalaman Sarmi memiliki struktur bilateral dimana bisa mengikuti garis ayah atau ibu. Namun demikian hak pewarisan tanah terbesar diberikan kepada anak pertama laki-laki. Jika dalam satu keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka pembagiannya diputuskan berdasarkan musyawarah dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan lahan masing-masing anak. Tanah-tanah tersebut sampai sekarang tidak pernah di sertifikatkan bahkan tidak pula pernah dipetakan. Batas kepemilikan hanya ditentukan dengan batas alam seperti gunung, sungai, batu ataupun sebuah pohon besar. Namun demikian batas kepemilikan lahan tersebut sampai saat ini sangat dipahami oleh masing-masing kepala suku atau yang dikenal juga dengan kepala suku. Oleh karena itu setiap penentuan status kepemilikan tanah dan perselisihan batas tanah tersebut selalu diselesaikan oleh kepala suku atau tua-tua adat. Jika dalam suatu areal terdapat kesamaan pendapat bahwa dua suku yang memiliki lahan tersebut, maka suku tertua dan terkuat yang dapat diputuskan menjadi penguasa wilayah tersebut. Pemberian hak atas tanah juga terlihat pada suku Mooi pada wilayah kelurahan Aimas kabupaten Sorong. Suku Mooi rumpun bahasa West Papuana mempunyai hukum adat yang sangat terperinci tentang pemberian hak atas tanah yang dikenal dengan hak tegestemoi (hak pemanfaatan tanah yang diwariskan secara turun temurun) berupa: a. Hak Egefmun, merupakan hak pemberian atas tanah yang dikenal dengan hak milik. Hak ini diberikan pada anak kandung (masih satu system kekerabatan patrilenal). b. Hak Subey merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada anak yang dipelihara sejak kecil namun bukan anak kandung untuk dipakai tapi tidak dimiliki. c. Hak Sukubang merupakan hak pemberian atas tanah kepada anak perempuan sebagai tempat berladang. Apabila anak tersebut menetap pada wilayah tersebut maka, lahan tersebut menjadi miliknya namun jika anak tersebut tidak menetap maka tanahnya dikembalikan. d. Hak Woti merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah membantu / melindungi dalam perang (balas jasa). e. Hak Somala merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar karena wilayah tersebut dianggap tidak aman. Pewarisan ketentuan adat tersebut dari generasi ke generasi terus berlangsung sejalan dengan masuknya peradaban baru didalam komunitas adat itu sendiri. Kondisi ini lama-kelamaan menempatkan ketentuan adat tentang pemberian hak atas tanah Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
35
tidak lagi dapat dikatakan sebagai ketentuan adat yang mengandung sanksi melainkan menjadi suatu norma yang dalam pelaksanaanya mengandung banyak pertimbangan kemanusiaan. Misalnya hak subey yang merupakan hak pakai, dewasa ini seringkali berubah menjadi hak milik sebagai akibat tidak ada tindak lanjut pengurusan hak tanah oleh pemda setempat melalui instansi yang berwenang. Demikian juga halnya dengan hak sukubang yang merupakan hak pakai sementara, namun dalam pelaksanaannya jika lahan tersebut telah dijual belikan maka walaupun hak pakai tanah tersebut sudah hilang namun pemegang hak sukubang seringkali merasa masih punya bagian hak kepemilikan pada tanah tersebut. Berbeda dengan Suku Bugui, Wamesa, Baham dan Wondama dimana proses penguasaan tanah tidak diatur secara rinci, sehingga kepemilikan tanah dilakukan dengan persetujuan ketua klen, kepala suku atau keret sebagai penguasa tanah komunal. 2.
Hukum Adat dalam Pemanfaatan Lahan Hutan Masyarakat adat suku Mooi mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat (kufok) dan hutan produksi biasa (kuwos). Pengelompokkan hutan menjadi hutan keramat dan hutan biasa berlaku diseluruh Papua dengan istilah yang berbeda pada masing-masing suku. Hutan keramat merupakan hutan yang dilindungi oleh hukum adat dan dianggap sakral. Pada hutan ini dipercaya terdapat arwah-arwah nenek moyang dan timbunan harta yang disimpan di dalam tanah. Hutan biasa (kuwos) dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat dalam berbagai bentuk dan skala kegiatan. Pemanfaatan seperti tempat berladang, berburu dan meramu hasil hutan dikenal dengan pemanfaatan skala kecil, sedangkan pemanfaatan hasil hutan oleh HPH, transmigrasi dan pembangunan pemukiman dikenal dengan pemanfaatan skala besar. Bentuk-bentuk pemanfaatan skala besar sebelum era otonomi seringkali tidak memperhatikan batasan hutan produksi biasa dan hutan keramat menyebabkan terjadinya konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan di era reformasi (kebebasan). Namun demikian ada yang akhirnya dapat diselesaikan melalui pesta adat dan pihak pemerintah maupun investor menyetujui keinginan pemilik ulayat melalui ganti rugi ulayat. Pada suatu wilayah hukum adat tersusun struktur adat dan perangkatnya. Institusi adat ini terdiri dari perangkat adat yang terdiri dari keturunan darah (tua adat/kepala suku) dan lembaga formal yang dibentuk untuk mengakomodir beberapa suku yang berbeda keturunannya yang terdapat dalam suatu wilayah (Lembaga Masyarakat Adat /LMA). Kedua lembaga tersebut mempunyai pengaruh adat yang berbeda. Tua adat atau kepala suku berperan dalam menyelesaikan konflik horisontal (sesama masyarakat adat), sedangkan LMA mengatasi konflik vertikal (masyarakat dengan investor, ataupun masyarakat dengan pemerintah). Bentuk pemanfaatan hutan menurut hukum adat yang membagi hutan menjadi hutan keramat dan hutan produksi biasa tidak terakomodir dalam UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Hal ini disebabkan kawasan hutan di kelompokkan berdasarkan fungsinya menjadi 3 (tiga) 1. Hutan Konservasi, 2. Hutan Lindung dan 3. Hutan Produksi. Lebih lanjut PP 34 Tahun 2002 menyebutkan Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Dalam kontek 36
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
ini maka, hutan keramat dapat dikelompokkan dalam zona inti yang terdapat pada setiap wilayah hutan, baik hutan produksi maupun hutan konversi. Bentuk pemanfaatannya harus bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yang mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi setempat sesuai amanat PP 34 Tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. 3.
Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan. Pemanfaatan hasil hutan dikelompokkan menjadi 2 yaitu, (a) pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dan (b) pemanfaatan Margasatwa. a. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu Dalam pemanfaatan kayu dan hasil hutan bukan kayu, dapat dikelompokkan menjadi bentuk pemanfaatan komersil dan non komersil. Pemanfaatan komersil dapat terlihat pada kesepakatan bersama dalam pemanfaatan hutan produksi pada wilayah hak ulayat beberapa (1) sub Suku Mooi dengan (2) HPH Intimpura Timber.Co, sebagai pemegang ijin hak pemanfaatan kayu dan bukan kayu dari pemerintah, serta (3) pihak pemerintah. Pemanfaatan hasil hutan tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan aturan adat, sebagai wujud penghargaan terhadap hak-hak adat dan penghormatan terhadap arwah-arwah yang mendiami hutan tersebut sebagai berikut : Langkah pertama : menyamakan keinginan dan persepsi antara pengusaha dan pemilik hak ulayat dalam hal bentuk pemanfaatan serta kompensasi yang diberikan. Langkah Kedua : melakukan upacara adat dengan tujuan membuka pintu bagi arwaharwah (Muiwe) sehingga tidak menimbulkan bencana/malapetaka. Dalam upacara tersebut pihak perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga adat serta pemilik hak ulayat duduk bersama untuk melaksanakan prosesi adat. Prosesi adat diawali dengan penyiapan bahan-bahan persembahan berupa kain timur, sirih, pinang, kapur, tembakau yang diletakkan di atas sebuah piring. Setelah benda-benda tersebut lengkap sesuai permintaan tetua adat, maka Ketua Adat yang memimpin upacara adat akan membacakan doa/mantra-mantra yang diucapkan dalam bahasa Mooi. Doa/mantra-mantra tersebut berisikan permohonan ijin pada arwah-arwah dan penguasa tanah agar dalam pelaksanaannya kelak perusahaan tidak terkena musibah. Pembacaan sumpah selama ± 30 menit diiringi lantunan lagu yang dinyanyikan oleh tetua adat lainnya. Setelah doa/mantra-mantra tersebut dibacakan, prosesi selanjutnya adalah makan bersama yang diawali dengan sajian pinang/sirih dari sesaji tersebut. Sesaji tersebut dimakan oleh ketiga belah pihak yakni (1) perusahaan, (2) pemerintah dan (3) pemegang hak ulayat. Setelah makan bersama upacara adat /ritual dapat dikatakan selesai yang diakhiri dengan jabat tangan sebagai tanda persaudaraan. Ritual adat tersebut pada umumnya dilakukan pada bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu, sedangkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang tidak memiliki ijin pemanfaatan hasil hutan kayu pada areal tersebut dalam bentuk pemanfaatannya hanya melakukan kesepakatan bersama dengan kepala suku (pemilk lahan komunal) tanpa melalui ritual adat. Selain perusahaan pemegang ijin konsesi, masyarakat adat yang tinggal di sepanjang jalan HPH juga melakukan bentuk pemanfaatan hutan komersil skala kecil, Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
37
yang merupakan sumber bahan baku sawmil-sawmil illegal. Pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilakukan pada umumnya di luar areal HPH yang merupakan kawasan hutan konversi maupun hutan lindung. Berdasarkan kesepakatan ritual adat yang dilakukan pada awal kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan ijin pemanfaatan yang di keluarkan oleh pemerintah maka, bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat adat dalam areal HPH tidak diijinkan. Pemanfaatan hasil hutan kayu komersil skala kecil yang di ketahui sumber bahan baku dari areal HPH akan mendapat sanksi dari institusi adat. Namun demkian jika dalam pelaksanaanya masyarakat adat membutuhkan sejumlah hasil hutan kayu untuk kebutuhan rumah tinggal atau fasilitas umum yang kebutuhannya bersifat insedentil maka, pihak perusahaan dan institusi adat memberi kebijakan ijin pengambilan hasil hutan kayu pada areal HPH kepada yang membutuhkan. Sedangkan untuk pemanfaatan non-komersil terlihat pada kegiatan pengambilan hasil hutan kayu untuk kepentingan pembuatan rumah. Kayu-kayu yang dibutuhkan biasanya berdiameter kecil dan dalam jumlah kecil. Selain pengambilan kayu untuk rumah, pemanfaatan kayu lainnya terlihat untuk kayu bakar dan pembuatan alat berburu dan pertanian seperti tombak dan tugal. Bentuk pemanfaatan dalam skala kecil/rumah tangga ini dilakukan hanya melalui kesepakatan pemegang ulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat yang besar. Pemanfaatan hasil hutan dalam jumlah besar maka, prosesi adat tersebut masih dilakukan pada sebagian besar suku di Papua. Namun demikian hal yang membedakan adalah tatacara dan jenis sajian yang diberikan. Dalam pelaksanaan kegiatan adat tersebut masyarakat suku Baham, Wondama dan Bugui memiliki frekwensi lebih kecil dibandingkan suku Mooi. Pemanfaatan Marga Satwa Pemanfaatan satwa ini diatur dalam hukum adat yang dikenal dengan pemanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari. Satwa berupa hewan buruan, burung serta ikan dapat dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup saja. Jika jumlah yang diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum mengadakan kegiatan berburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah-arwah agar dimudahkan dalam berburu. Penduduk percaya jika tidak dilakukan hal tersebut maka hewan buruan tidak akan tampak oleh mata sehingga tidak dapat ditangkap. Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “sasi”. Budaya sasi oleh suku Mooi merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan tumbuhan dan hewan buruan tertentu ataupun secara keseluruhan pada suatu luasan tertentu yang dikenal dengan sebutan “dusun”. Larangan pemanfaatan dusun yang dikenal dengan sasi memiliki kurun waktu 1 5 tahun. Kurun waktu berlakunya sasi pada umumnya di tentukan berdasarkan kesakralan arwah yang dipercaya menjaga wilayah tersebut. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan 1) upacara penutupan dan 2) upacara pembukaan. Sasi yang sering dilakukan oleh suku Mooi adalah sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untuk menghormati Tetua dusun yang telah meninggal, serta sebagai salah satu bentuk untuk mengenang kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahulu didoakan oleh tetua adat dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silang sebagai tanda tidak boleh dimanfaatkan. Sasi tersebut biasanya berumur satu tahun b.
38
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
dan diakhiri dengan upacara adat serta doa kepada arwah agar buah/ikan yang akan dipanen akan membawa berkah. Pencabutan bambu dilakukan oleh penduduk yang ingin memanen buah/ikan tersebut. Budaya “sasi” tersebut merupakan bentuk kearifan tradisonal dalam pemanfaatan dan mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Pada beberapa ketentuan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran akan diberikan sanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat ringannya suatu pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan (mencuri hasil kebun dengan jumlah sedikit), maka sanksi yang diberikan relatif ringan dan biasanya hanya berupa denda sejumlah uang dengan batas waktu yang tidak terlalu ketat. Berbeda dengan pelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah besar tanpa ijin. Pada pelanggaran seperti ini akan dilakukan penegakkan sanksi adat berupa denda yang cukup besar dan dengan waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa lalu penentuan lamanya batas waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisional seperti menuangkan sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanah merupakan jumlah hari atau batas waktu pembayaran denda. Namun dewasa ini penentuan waktu tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Penentuan waktu dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan diketahui oleh para saksi. Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa terdapat ketentuan adat dalam pemanfaatan hasil hutan baik hasil hutan kayu/non kayu maupun margasatwa yang terdapat pada suku Mooi. Ritual adat yang dilakukan untuk mengawali pemanfaatan hutan dan sasi bagi jenis flora dan fauna selain dilakukan oleh suku Mooi juga dilakukan oleh suku Bugui di pedalaman Sarmi. Namun demikian pelaksanaannya dewasa ini sudah mulai melemah, bahkan untuk pelaksanaan sasi sudah semakin sulit ditemui di lapangan. Khususnya pada ritual adat yang dilakukan mengawali pemanfaatan flora dan fauna pelaksanaanya hanya dilakukan pada bentuk pemanfaatan skala besar. Selain itu sejalan dengan masuknya injil di Papua, ritual adat yang seringkali dilakukan sudah mulai bergeser menjadi ritual keagamaan. Dalam kegiatan ritual sudah tidak lagi ditemui sesaji, bahkan nyanyian yang biasanya di ucapkan untuk para arwah sudah diganti dengan puji-pujian kepada Tuhan Y.M.E. c.
Implementasi Ketentuan Adat dalam Pengelolaan Hutan Implementasi ketentuan adat dalam pengelolaan hutan tampak pada bentuk pemanfaatan hutan seperti Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) di Papua. Menurut sebagian besar masyarakat ijin tersebut dianggap cukup mengakomodir kepentingan adat terutama dalam aturan-aturan adat dalam pemanfaatan hutan. Masyarakat adat yang memiliki hak marga dapat diberikan ijin pemanfaatan hutan dengan membentuk Koperasi. Selanjutnya koperasi yang beranggotakan masyarakat adat dapat menentukan investor yang mampu memanfaatkan hasil hutan dengan system kompensasi hak marga serta fee bagi anggota dan pengurus koperasi tersebut. Jika areal hutan adat yang diusulkan juga merupakan areal konsesi HPH yang telah memiliki ijin pemanfaatan sebelumnya, maka masyarakat adat terlebih dahulu meminta ijin pemanfaatan kepada pemegang ijin HPH untuk bekerjasama dalam memanfaatan hutan tersebut. Teknik pemanenanpun diatur menurut kesepakatan adat yang berlaku di wilayah hukum adat tersebut.
Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
39
Namun ijin ini kemudian disalah gunakan oleh oknum adat yang duduk dalam pengurus, bahkan sejak tahun 2004 SK Gubernur Papua tersebut dicabut karena sebagian investor tidak memperhatikan kaidah penebangan yang ramah lingkungan. Berbeda dengan model HPH dimana masyarakat hanya mendapat kompensasi hak marga yang dihitung berdasarkan produksi kayu yang dihasilkan dan tidak memiliki kuasa penuh dalam menggerakkan perusahaan. Bahkan oleh sebagian pihak dianggap sama sekali tidak mengakomodir aturan adat. Untuk mengakomodir kepentingan adat dalam mengelola hutan, PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II Bonggo sejak tahun 2003 mencoba melakukan beberapa kesepakatan dengan pihak adat. Ketentuan adat yang menjadi kesepakatan bersama dan sudah mulai diterapkan oleh PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II Bonggo antara lain : 1) Pelibatan masyarakat adat dalam penentuan areal rencana kerja tahunan (RKT) untuk menghindari masuknya RKT pada areal hutan keramat atau yang dilindungi dan menghindari tebangan melebihi RKT yang telah disepakati, 2) Hasil tebangan tidak boleh ditinggalkan pada areal hutan tanpa dikelola secara lanjut atau dimanfaatkan, jika terdapat sisa tebangan yang tidak dimanfaatkan maka pemilik ulayat berhak memanfaatkan hasil tebangan tersebut. 3) Dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “para-para adat” sebelum kegiatan penebangan awal pada setiap RKT. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecelakaan dalam kegiatan penebangan akibat roh-roh halus. Perubahan managemen perusahaan dengan membuka peluang sebesarbesarnya untuk masyarakat adat tampak pada pemberian kesempatan kerja melalui pelibatan tenaga masyarakat local dalam kegiatan HPH khusunya dalam kegiatan TPTI dan produksi. Selain kesepakatan tersebut ketentuan adat masyarakat lokal yang dewasa ini seringkali menjadi perhatian khusus para inverstor di Papua antara lain : 1). Tanah tidak dapat dijual (investor hanya memanfaatkan kayu kayu bukan lahannya), 2) Kayu merbau yang terlihat besar diantara lainnya tidak boleh ditebang dan hanya dimanfaatkan untuk keperluan pembibitan serta dianggap sakral, 3) Penebangan tidak boleh dilakukan sepadan sungai dan wilayah yang dianggap keramat, 4) Setiap survey RKT harus melibatkan pemegang ulayat, untuk menghindari terjadinya penebangan pohon keramat, serta menjadi sarana untuk menentukan batas hak marga masing-masing marga pemilik lahan hutan. Aturan adat yang menjadi perhatian khusus tersebut, sebenarnya sebagian besar telah di terapkan dalam kegiatan HPH yang melakukan kegiatan pemanenan dengan system TPTI. Jika dikaji secara teliti bahwa dalam petunjuk TPTI telah mengadopsi beberapa ketentuan yang dalam masyarakat adat teleh diatur oleh ketentuan adat yang dianutnya. Ketentuan-ketentuan di maksud seperti : 1). Radius 200 m dari tepi mata air 2). Sekurang-kurangnya 100 m di kiri dan kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman. 3). Jurang dan tebing curam >40 % 4). Lokasi yang ditetapkan sebagai areal konservasi dan penelitian. 40
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
Selanjutnya dalam Tahapan kegiatan TPTI khususnya pada kegiatan penebangan telah ditetapkan asas-asas meliputi : a). Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap tebang untuk dimanfaatkan agar perusahaan memperoleh keuntungan financial, dan memberikan ruang tumbuh kepada permudaan yang dapat menghasilkan riap kayu leboh besar dari padapohon tua. b). pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin dengan meminimalkan limbah pembalakan c). Penebangan menggunakan arah rebah menuju pangkal jalan sarad agar dapat memperkecil kerusakan dan tegakan tinggal. d). penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor berdri yang dibuat dan dipetakan dalam kegiatan ITSP. Tahapan kegiatan TPTI tersebut sangat identik dengan kearifan tradisional masyarakat setempat khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan yang lestari. Namun berbagai keterbatasan yang dimilki oleh pemegang konsesi dalam hal pelaksanaan dan instansi teknis dalam pengawasan, mengakibatkan banyak terjadi pelanggaran dalam system TPTI tersebut. Ketidakmurnian pelaksanaan ini menyebabkan masyarakat melalui tokoh adat mengambil bagian dalam pengawasan yang mengacu pada aturan adat setempat. Kesepakatan tersebut selanjutnya dijadikan alat kontrol bagi penguasa hutan. Jika pelaku ekonomi tersebut tidak mengindahkan maka, masyarakat tidak segan-segan menuntut ganti rugi dan menutup areal kerja tersebut. Kondisi ini sudah terlihat pada masyarakat suku baham pada areal konsesi PT. Arfak Indra. Berdasarkan ketentuan-ketentuan adat yang memiliki nilai konservasi maka diusulkan suatu model pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat yang dapat meminimalkan tingkat degradasi hutan seperti pada Gambar 2 : Pengelolaan Hutan Berisiko Kecil Penebangan Illegal
Pelibatan Masyarakat Hukum Adat
Pengawasan Instansi Teknis
Penegakkan Hukum
Gambar 2. Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Pelibatan Masyarakat Adat : Masyarakat adat dilibatkan dalam setiap tahap mulai dari perencanaan lokasi, areal penebangan (RKT), serta kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan. Pelibatan ini dilakukan sebagai kontrol agar hal-hal yang tidak diijinkan dalam adat dapat terlindungi. Selain itu pelibatan masyarakat tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan wawasan dan ketrampilan masyarakat serta yang tidak kalah pentingnya peningkatnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
41
Pengawasan Instansi Teknis: Instansi teknis ikut serta dalam pengawasan dan pemberian ijin sesuai undang-undang yang berlaku. Penegakkan Hukum : Pada kasus perambahan hutan illegal yang melibatkan cukong, sebagian besar dimodali oleh oknum TNI/POLRI, dimana penegakkan ketentuan adat tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penegakkan hukum formal harus ditegakkan, jika penegakkan hukum formal tidak ditegakkan maka dapat memperparah kondisi hutan di Papua. Dengan demikian rantai pelibatan aparat dalam bisnis perdagangan kayu sedikit banyak dapat diputuskan. Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat adat : Masyarakat adat pemilik hak marga atas tanah merupakan pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan, sedangkan dalam pelaksanaan pemanfaatan dan modal dapat bermitra dengan HPH pemegang ijin baik dalam satu areal maupun areal lainnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan : 1. Ketentuan masyarakat adat terhadap ketentuan adat dalam pemanfaatan hutan adat terhadap ketentuan adat dalam pemanfaatan hutan adat mulai melemah yang disebabkan beberapa faktor-faktor seperti : Tingginya interaksi masyarakat lokal dengan pihak luar, terjadinya alih pengetahuan dan teknologi luar, desakan ekonomi dan kebijakan pemerintah. 2. Pada suku tertentu seperti suku Mooi, Baham dan Bugui, penghargaan terhadap kepala suku dan tua-tua adat masih cukup tinggi terutama dalam penyelesaian masalah-masalah adat. 3. Adat istiadat yang di temui berupa sasi dan prosesi adat atau “para-para adat” sangat relevan dengan konservasi sumber daya alam seperti : bentuk sasi sebagai upaya memberi masa bera bagi pemanfaatan hasil hutan. Pemanfaatan lahan yang diawali dengan prosesi adat sebagai bentuk penghargaan kepada pemilik ulayat serta sebagai sarana sosialisasi keberadaan investor pada wilayah tersebut. B. Saran 1. Budaya sasi dan bentuk-bentuk pemanfaatan yang konservatif sudah mulai memudar, namun perlu ditegakkan kembali untuk melindungi kepunahan suatu jenis flora maupun fauna, sehingga perlu dibuat perangkat hukumnya agar dapat mengikat seluruh masyarakat. 2. Agar peran adat tetap terjaga maka baik dalam pemanfaatkan hutan maupun dalam hal penegakkan sanksi, perangkat adat perlu selalu alih generasi melalui pembinaan-adat sehingga jika kepala suku suatu wilayah tersebut meninggal tidak terjadi kevakuman dan hilangnya proses regenerasi adat. Pembinaan dan pengembangan tersebut harus didukung dengan pembinaan dan pengembangan terhadap institusi adat yang terdapat ditingkat desa hingga ke tingkat RT, misalnya dengan mengangkat kepala adat atau pengurus adat yang sudah wafat. Tindakan itu akan memperkuat kembali aturan-aturan atau kebiasaan yang barangkali sudah ada yang mulai dilupakan masyarakat. 42
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 29 - 43
3. Pergeseran kebijakan di bidang kehutanan dalam mengelola hutan lebih menekankan pada aspek kesejahteraan masyarakat harus diikuti dengan perubahan mendasar pada perangkat yuridisnya. DAFTAR PUSTAKA Ahcmad Rizal, Abdullah Tuharea, Ifhendri, 2000. Kajian Peran Hukum Adat dan Hak Ulayat dalam Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info teknis BPK Manokwari No. 10 Tahun 2000. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. B. Ter Haar Bzn. 1994. Begin selen en stelsel van het adatrecht.(terjemahan). Pradnya Paramita. Jakarta. Bierstedl, Robert. 1970. The Social Order, Tata. Mc Graw-Hill Publising C.Ltd. Bombay-New Delhi. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2002. Pembangunan Kehutanan Pada Era Otonomi Khusus Provinsi Papua. (tidak diterbitkan) Gunawan Wiradi, 1999. Sekitar Masalah Hak Ulayat dan Hukum Adat pada Umumnya. Hlm. 1-8 Dalam Didik Suharjito Hak-hak Penguasaan Atas Hutan Indonesia. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Irma yeny,dkk, 2004. Kajian Hukum Adat dalam Upaya Pengentasan Illegal Logging di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan PapuaMaluku. Tidak diterbitkan. Kayoi,M. 2003. Pembalakan Haram di Papua. Tropika Indonesia. Concervation Internasional Indonesia. Mustofa Agung Sardjono, 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan; Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press, 2004. Surojo Wignjodipuro,S.H, 1983. Pengantar dan Asas- asas Hukum Adat. Gunung Agung. Jakarta. Soekanto, 1954. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Penerbit Soeroengan Jakarta. Undang-undang Pokok-pokok Agraria Tahun 1960. Pasal 5 UUPA Tahun 1960. Penerbit Staf Penguasa Perang Tertinggi, Jakarta.
Implikasi ketentuan adat dalam pemanfaatan (Irma Yeni)
43