CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) DAN PERUBAHAN PARADIGMA SEKOLAH CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) AND SCHOOL PARADIGM CHANGE Iskandar Agung Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Email:
[email protected] ABSTRAK Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007, khususnya mengenai kompetensi guru, perlu dipahami sebagai hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan perlu mewujudkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. Implisit, peraturan mengenai kompetensi guru selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam konsepsi continuing professional development (CPD). Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, pengadopsian CPD yang sedang dikembangkan oleh Kemdiknas bukan tanpa persyaratan, melainkan sebaliknya. Hasil kajian sejumlah pihak menunjukkan, bahwa CPD sebagai konsep pengembangan diri, khususnya bagi guru, baru akan tumbuh subur atau berkembang apabila didukung oleh lingkungan sekolah yang telah mencerminkan sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Justru di situlah permasalahannya, bahwa sebagian besar sekolah kita belum dapat dikategorikan sebagai organisasi pembelajar yang mendukung karakteristik tertentu. Atas dasar itu tulisan ini membahas mengenai pentingnya perubahan paradigma di sekolah dengan mengembangkan ke arah organisasi pembelajar yang senantiasa mampu mewujudkan tindakan antisipatif, responsif, dan proaktif terhadap perubahan dan mencapai tujuan yang lebih baik. Kata kunci: sekolah, kompetensi, pengembangan diri, berkelanjutan, perubahan. ABSTRACT Permendiknas No. 16/2007, in particular regarding the competence of teachers, need to be understood as the most open and dynamic. That is, the ability of the teacher is not a thing rigid and static, otherwise it contains the demand that teachers are able to develop and enhance the competence and professionalism of the work on an ongoing basis. Recognition has met through the provision of certificates of competency of any educator is not the reason teachers should be satisfied with the results that achieved, 1
but rather need to achieve self-sustainable development actions. The whole thing is in harmony with the spirit embodied in the concept of continuing professional development (CPD). But if you listened more, CPD is not without conditions. The study results showed a number of parties, the CPD as a concept based on encouraging selfdevelopment teachers in particular, will flourish or thrive when they are supported by a school environment has been reflected as a Learning Organization. The problem is, most schools can not be categorized as a learning organization. On the basis that a paradigm shift is necessary to develop in the direction of the school with a learning organization that is always capable of realizing anticipatory action, responsive, and adaptive to the changes in order to achieve goals and better results. Keywords: school, teachers, competence, professionalism, and change PENDAHULUAN Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa diejawantahkan ke dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara berjenjang, mulai dari pendidkan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Bangsa yang cerdas bukan hanya merupakan bangsa yang dapat bertahan hidup (survive), tetapi juga mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah maju. Bahkan dalam era kesejagatan (globalisasi) dewasa ini yang ditandai dengan iklim kompetitif yang ketat antarbangsa, persoalan kecerdasan bangsa kian mengemuka. Hanya bangsa yang cerdas dan memiliki daya saing tinggi yang dapat memetik manfaat dari situasi kesejagatan itu guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan sebaliknya. Realitanya, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tidak jarang dituding belum mengarah pada pencapaian hasil yang memuaskan. Indikasi itu diperkuat melalui hasil penelitian sejumlah pihak, bahwa pencapaian kualitas hasil pendidikan di segenap jenjang
pendidikan
masih
memperihatinkan.
Hal
itu
disebabkan
oleh
kekurangmampuan sekolah dalam menghasilkan kualitas pendidikan yang memadai, dan lebih khusus lagi tertuju pada guru sebagai pihak yang terkait langsung dalam pelaksanaan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Rendahnya kemampuan dan keterampilan guru mengajar sering dianggap sebagai biang keladi rendahnya pencapaian hasil pendidikan tersebut. 2
Tidak heran apabila pemerintah pun memberikan perhatian serius terhadap guru, dengan berupaya meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja mereka. UU No. 14 Tahun 2005 menegaskan, bahwa guru harus kompeten dan profesional, yang kemudian dijabarkan ke dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007 yang menetapkan guru harus memenuhi standar minimum kualifikasi akademik dan kompetensi yang dipersyaratkan. Khususnya yang terakhir itu, ditegaskan seorang guru dituntut untuk memenuhi standar kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik berhubungan dengan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pusat perhatian pada peserta didik; kompetensi kepribadian terkait dengan nilai dan perilaku guru, baik bagi diri sendiri, peserta didik, dan masyarakat; kompetensi sosial berhubungan dengan kemampuan dan keterampilan perilaku guru dalam kaitan dengan lingkungan sosialnya; kompetensi profesional terkait dengan pengetahuan dan kemampuan dalam menjalankan profesi sebagai guru secara profesional. Seorang guru dikatakan kompeten dan profesional setelah melalui uji sertifikasi dan/atau peniaian portofolio. Namun sejauh ini uji sertifikasi belum dilakukan, sebaliknya upaya pensertifikasian diljalankan melalui penilaian portofolio didasarkan atas dokumentasi yang terkait dengan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Penilaian dilaksanakan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, dengan mengacu pada pedoman sertifikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Dalam penilaian portofolio, bagi Guru yang dinyatakan lulus penilaian awal akan diajukan untuk memperoleh sertifikat pendidik, sedangkan yang belum lulus dianjurkan untuk memperoleh pelatihan PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) dalam jangka 3
waktu 9 hari. Bagi mereka yang dinyatakan lulus pelatihan, berhak diajukan untuk memperoleh sertifikasi pendidik, sedangkan yang
belum lulus dianjurkan untuk
mengikuti pelatihan kembali. Kesempatan mengikuti PLPG diberikan sebanyak dua kali. Guru penerima sertifikat pendidik sebagian besar merupakan jebolan dari PLPG ini. Pertanyaannya, setelah guru memperoleh sertifikat, terutama melalui pelatihan PLPG, bagaimana efektivitas pemberian sertifikat pendidik terhadap peningkatan kompetensi dan profesionalisme pelaksanaan tugas guru? Ketidakefektifan hasil yang diperoleh diprediksi tidak membawa pengaruh pula terhadap upaya meningkatkan mutu pendidikan. Di samping itu pemberian sertifikat selayaknya bukan merupakan sesuatu hal yang dipaksakan, dalam arti dapat dibentuk dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hal yang perlu dljalankan adalah memberi dorongan pada guru agar secara terus-menerus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja, sehingga diri yang bersangkutan mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, lulus uji sertifikasi, dan berhak memperoleh sertifikat pendidik. Diduga upaya pegembangan diri tidak melulu tergantung dari faktor internal, yakni berasal dari diri guru sendiri, melainkan memerlukan dukungan faktor eksternal berupa lingkungan sekolah yang kondusif. Persoalannya, kerapkali lingkungan sekolah justru menjadi penghambat kemunculan upaya pengembangan diri guru, sehingga diperlukan adanya perubahan paradigma yang selaras degannya. Berkenaan dengan yang dikemukakan terakhir itulah, tulisan ini diketengahkan.
FENOMENA DAMPAK SERTIFIKASI Belum terdapat kajian komprehensif untuk menilai dampak sertifikasi guru dalam meningkatkan mutu hasil pendidikan nasional. Namun pengamatan penulis di sejumlah tempat menghasilkan, bahwa pensertifikasian guru terkesan belum cukup mampu menjadi pintu masuk peningkatan mutu pendidikan, kecuali baru berfungsi sebagai kertas
berharga,
pemberian
pengakuan 4
untuk
memperoleh
tunjangan
dan
meningkatkan taraf hidup guru. Fenomena yang tampak, pensertifikasian belum mengarah
pada
kemampuan
untuk
meningkatkan
kinerja,
kompetensi,
dan
profesionalisme guru. Bahkan terdapat kecenderungan kembali bergelut dengan pola kerja lama yang cenderung pasif, searah, monoton, kurang kreatif, dan lain sejenisnya. Sertifikasi sebagai pengakuan telah menguasai kompetensi dan kemampuan mengajar yang diharapkan, tidak berbanding lurus dengan kinerja pembelajaran yang diwujudkan. Dari pengamatan lapangan diperoleh, belum terdapat perubahan signifikan antara penyusunan rencana pembelajaran (RPP) sebelum dengan sesudah memperoleh sertifikat. Sebagian besar masih menggunakan RPP pola lama yang umumnya diadopsi dari Kelompok Kerja Guru (KKG/MGMP), dan lebih berfungsi sebagai pemenuhan persyaratan administratif. Meski dalam pelatihan PLPG, guru dibekali dengan penguasaan materi/substansi mata pelajaran yang menjadi tugas pokoknya, penyusunan sylabus dan RPP, tetapi belum tampak adanya kemandirian dan kreativitas individual guru, dan bahkan tidak jarang berlangsung inkonsistensi dalam pelaksanaannya. Alasan yang umum dikemukakan, RPP sulit diterapkan karena kurang didukung oleh fasilitas belajar di sekolah yang memadai. Kinerja guru yang telah memiliki sertifikat pun masih kurang mewujudkan perilaku kerja aktif, kreatif, dan dinamis. Dalam melaksanakan tugas utama pembelajaran, masih banyak guru yang menekankan pada makna mengajar yang terpaku pada dirinya sendiri, yakni sekedar melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengajar tanpa dikaitkan dengan hal-hal di luar diri, terutama yang berasal dan berada dalam diri siswa atau sering disebut dengan makna belajar. Masih banyak guru yang menitikberatkan peraktek pendidikan pada segi pengajaran yang ditandai dengan peran guru yang dominan dan siswa hanya bersikap pasif mendengarkan dan menghafalkan pelajaran. Guru dalam menjalankan peran pembelajaran kurang memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan (makna belajar siswa) dan kurang memperlihatkan perilaku kreatif, baik dalam memahami tujuan kurikulum serta bahan kajian dan pelajaran; merumuskan 5
tujuan pembelajaran; mengelola kegiatan; mengelola waktu belajar-mengajar; mengatur ruang kelas agar menarik dan menantang; mengembangkan bentuk kegiatan belajar; dan sebagainya. Ironisnya, pengamatan mengindikasikan meski guru telah memperoleh sertifikat pendidik, namun belum mewujudkan adanya hubungan konsisten antara kompetensi dengan kinerja dalam pelaksanaan tugas. Dalam memberikan materi pembelajaran, guru masih miskin sumber kepustakaan, cenderung bergelut dengan pola pembelajaran pasif, searah, monoton, dan kurang menggunakan metode pembelajaran yang variatif. Meski ditemukan variasi metode pembelajaran, kerapkali tidak/kurang diketahui tujuan pemanfaatannya. Tidak jarang ditemukan penggunaan variasi metode lebih ditujukan untuk memenuhi instruksi dari atasannya, dan bukan didasarkan atas kebutuhan. Implikasi lebih lanjut, guru kurang memperlihatkan adanya upaya untuk merawat dan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan, sebaliknya cenderung bersikap pasif. Kemampuan mewujudkan tindakan penelitian kelas (PTK) untuk mendukung pelaksanaan tugas/kerja pun jarang dilakukan guru. Padahal melalui kegiatan PTK berfungsi ganda, di satu pihak dapat menjadi wahana bagi guru untuk mendalami, memahami, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, di lain pihak merupakan upaya pengembangan diri dan pemenuhan kompetensi dan profesionalisme kerja.
CPD DAN ORGANISASI PEMBELAJAR Sebenarnya permasalahan yang masih dihadapi guru-guru kita adalah, bagaimana agar guru senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesional kerja. Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat diperoleh hanya dengan pemberian sertifikat pendidik, tetapi sebagian besar dipengaruhi oleh upaya guru untuk mengembangkan diri secara terusmenerus, meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Dalam lingkup pembahasan yang terakhir ini, jika dicermati lebih lanjut, peraturan yang tertuang dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007 bersifat terbuka dan dinamis. Artinya, peraturan 6
mengandung tuntutan agar guru senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesional kerjanya. Seiring dengan tuntutan itu, pihak Kementerian Pendidikan Nasional pun saat ini berupaya mengembangkan konsep CPD untuk mendorong pengembangan diri guru. CPD pada dasarnya selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Permendiknas No. 16 Thn 2007. Namun CPD baru akan berjalan baik jika dihadapkan dengan kondisi dan situasi sekolah tertentu. CPD tendensi tidak/kurang akan tumbuh subur apabila dihadapkan dengan kondisi dan situasi sekolah yang bertumpu pada pengelolaan sekolah hirarkhis kaku, otoriter, kurang memiliki visi ke depan, kurang berorientasi prestasi, kurang berani mengambil resiko, kurang berani mencoba hal-hal yang baru, dan sebagainya. Leithwood, Leonard and Sharratt (1998) mengemukakan hasil temuannya, bahwa terdapat relasi antara budaya sekolah, struktur, sumber daya dan kepemimpinan. Dari berbagai pengujian lapangan yang dilakukan, berhasil menemukan bahwa CPD merupakan salah satu karakteristik sekolah yang telah berhasil mengembangkan institusinya sebagai organisasi pembelajar. Leithwood dkk mencatat, “continuing professional development refers to the extent that encouragement, opportunity and resources are provided to enable all school staff to learn, develop and implement the knowledge, skills and attitudes needed to contribute to improving the school’s performance as a whole.” Tegasnya, CPD menuntut kemampuan sekolah melepaskan diri dari kebiasaan lama yang ditandai dengan struktur hirarkhi birokratis yang ketat, iklim ketergantungan, minta petunjuk, minta pengarahan, Asal Bapak Senang, dan lain-lainnya yang memperkecil kemunculan inisiatif, kreatif, dan produktif. Penerapan CPD haruslah menghapuskan segenap hal yang berbau intervensi birokratis yang terlalu dalam dan mengatur pengelolaan pendidikan di sekolah, serta ketergantungan dengan pihak atasan, sebaliknya benar-benar menjadikan sekolah sebagai institusi yang otonom dan memiliki keleluasaan dan kebebasan untuk berkreasi dan berkembang. Situasi ini akan 7
membawa ke arah kemampuan untuk mewujudkan perilaku aktif, kreatif, dan mandiri dalam mengelola dan mengembangkan diri. Eksplisit, kemauan dan kemampuan pengembangan diri guru harus didukung pula oleh lingkungan sekolah yang selaras dengan iklim organisasi pembelajar. Adalah sulit mengharapkan munculnya kreativitas guru untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalisme kerja, apabila memperoleh tekanan dari pimpinannya agar tetap menjalankan rutinitas pekerjaan yang dilaksanakan selama ini. Pimpinan sendiri tidak menginginkan adanya perubahan, karena mungkin dianggap beresiko terhadap jabatan apabila mengalami kegagalan. Fiol & Marjorie (1985) memandang organisasi pembelajar sebagai proses perbaikan tindakan melalui peningkatan pemahaman dan pengetahuan. Suatu organisasi pembelajar merupakan kemampuan organisasi untuk tanggap dan mampu menjawab berbagai kondisi lingkungan internal dan eksternalnya yang mempengaruhi keberhasilannya. Senge (1990) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai “… organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together.” Pedler (1996) mendefinisikan sebagai ”… is a vision of what might be possible. It is not brought about simply by training individuals; it can only happen as a result of learning at the whole organization level. A Learning Company is an organization that facilitates the learning of all its members and continuously transforms itself”. Watkin & Marsic (1993) mengartikan sebagai “… characterized by total employee involvement in a process of collaboratively conducted, collectively accountable change directed towards shared values or principles.”. Simatupang (1995) memberi pengertian sebagai organisasi yang sangat adaptif dan responsif terhadap lingkungan eksternal dan internalnya. Sedangkan Marquardt (1996) mengatakan sebagai suatu organisasi yang berkemampuan belajar secara kolektif dan terus menerus
8
untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik, mengelola, dan menggunakan pengetahuan untuk kesuksesan organisasinya. Dahl (2002) mengatakan, organisasi pembelajar sebagai istilah yang bernada filosofis atau sikap mengenai organisasi dan peran para karyawan, di mana setiap karyawan dalam organisasi berpartisipasi dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah, memungkinkan
organisasi
untuk
terus-menerus
bereksperimen,
maju,
dan
meningkatkan kemampuannya. David A. Garvin (1993) mengemukakan, bahwa secara empiris kegiatan-kegiatan dalam organisasi pembelajar meliputi pemecahan masalah sistematik, eksperimen pendekatan-pendekatan baru, belajar dari pengalaman dan masa lalu, belajar dari pengalaman dan peraktek terbaik, dan alih pengetahuan dan teknologi secara cepat dan efisien. Tiap kegiatan dilakukan dengan menggunakan pola pikir spesifik, seperangkat alat analisis, dan pola perilaku maju. Pemecahan masalah sistematik yang dilakukan oleh organisasi adalah mendasarkan diri pada segi falsafah dan metode yang berorientasi pada mutu proses dan hasil. Hal demikian dicerminkan oleh ciri-ciri (1) lebih mengandalkan pada metode ilmiah ketimbang prakiraanprakiraan intuisi saja dalam mendiagnosis masalah (penggunaan hipotesis), (2) lebih memerlukan dukungan data (manajemen berbasis fakta) daripada hanya asumsi-asumsi, dan (3) menggunakan alat statistik seperti histogram, analisis korelasi, dan diagram sebab dan akibat. kegiatan pembelajaran juga berbentuk eksperimen. Kegiatan ini menyangkut penelitian sistematik dan menguji pengetahuan baru. Untuk itu penggunaan metode ilmiah yang paralel dengan pemecahan masalah menjadi hal yang pokok. Eksperimen dilakukan dalam dua bentuk yakni program yang sedang berlangsung dan proyek-proyek percontohan. Dari berbagai pandangan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud organisasi pembelajar adalah perilaku individu, kelompok, dan organisasi yang secara terus-menerus melakukan pembelajaran karena sikap antisipatif dan responsif terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan organisasi pembelajar semua pihak turut berpartisipasi mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan 9
secara sistematis dan komprehensif, belajar dari pengalaman sendiri, melakukan transfers ilmu penge-tahuan secara cepat ke seluruh jajaran anggota organisasi. Menurut Dahl (ibid), pengembangan organisasi pembelajar erat kaitannya dengan berbagai faktor pengaruh, yakni: kepemimpinan, struktur berbasis tim, pemberdayaan staf/karyawan, keterbukaan informasi, strategi partisipatif, dan budaya adaptif. Kepemimpinan Berbagai pendapat dilontarkan oleh pakar manajemen dan organisasi mengenai arti kepemimpinan. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dari anekaragam pengertian tentang kepemimpinan, sebagian besar mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan berhubungan dengan proses pengaruh sosial, yakni pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas dan hubungan dalam kelompok atau organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Kotter (1988) mengatakan, kepemimpinan adalah proses menggerakkan seseorang atau sekelompok orang kepada tujuan-tujuan yang umumnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak memaksa. Thoha (1993) mengemukakan, kepemimpinan merupakan kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perseorangan maupun kelompok. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan ilmu dan seni dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bertindak seperti yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien. Pandangan tradisional atas para pemimpin yang menetapkan tujuan, membuat keputusan, dan memimpin pasukan lebih mencerminkan sebuah pendekatan individualistik. Kepemimpinan (leadership) dari seorang pemimpin/ manajer dalam organisasi pembelajar membutuhkan sesuatu yang lebih daripada pendekatan individualistik itu. Dalam organisasi pembelajar, para pemimpin/ manajer belajar memikirkan mengontrol dengan dan bukan mengontrol atas orang lain. Pemimpin mengontrol dengan orang lain bermakna membangun hubungan berdasarkan visi bersama dan membentuk situasi dan kondisi yang dapat mendukung pencapaiannya. Pemimpin membantu orang-orang untuk melihat keseluruhan sistem, mendorong kerja 10
tim, memelopori perubahan, dan memperluas kapasitas orang-orang untuk membentuk masa depan. Salah satu fungsi seorang pemimpin yang terpenting dalam organisasi pembelajar adalah menciptakan visi bersama (shared visions), sebagai sebuah gambaran dari masa depan yang ideal bagi organisasi. Visi itu meliputi akan seperti apa organisasi itu, hasil/prestasi yang dicapai, dan nilai-nilai yang mendasarinya. Visi dapat diciptakan oleh pemimpin atau dengan staf/karyawan, namun tujuannya harus dimengerti secara luas dan tertanam dalam pikiran semua orang. Visi ini menghadirkan hasil jangka panjang yang diinginkan, di mana para staf/karyawan dalam bentuk tim secara bebas mengidentifikasi, menjabarkan, dan memecahkan permasalahan yang membantu pencapaian visi itu. Struktur Berbasis Tim Dalam organisasi, lazimnya status anggota dibagi ke dalam hirarkhi vertikal yang ketat dan memisahkan status dan peran pimpinan/manajer dengan bawahannya. Hubungan kerja lebih didasarkan atas deskripsi tugas dan tanggung jawab yang kaku, dengan pimpinan/manajer sebagai pembuat keputusan tunggal. Organisasi pembelajar berusaha memecahkan struktur vertikal yang kaku tersebut, di mana pimpinan bukan lagi sebagai pembuat keputusan tunggal, tetapi melibatkan bawahannya. Upaya mencapai visi dan tujuan organisasi lebih diserahkan pada tim-tim kerja yang dibentuk dalam organisasi. Pekerjaan dilaksanakan oleh tim-tim dari para staf/karyawan dengan keterampilan berbeda yang merotasikan pekerjaan untuk menghasilkan keseluruhan produk atau jasa. Tim-tim yang ada memiliki wewenang untuk membuat keputusan mengenai cara untuk melakukan sesuatu, meski dalam koridor pencapaian tujuan organisasi. Organisasi pembelajar memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan manusia di dalam organisasi,
dengan
memberikan
keyakinan
kepada
individu-individu
untuk
mengendalikan pekerjaan dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Pemberdayaan individu itu dilakukan dalam tim kerja. Senge (1990) mengatakan, inti dari organisasi pembelajar adalah tim kerja yang belajar. Lebih lanjut Senge (ibid) mengemukakan, “... 11
the process of aligning and developing the capacity of a team to create the results its member truly desire. It builds on the disipline of developing shared vision. It also builds on personal mastery, for talented teams are made up of talented individuals”. S. Faerman (1996) mengemukakan, tim kerja adalah “A work place team is more then a work group, ‘a number of persons, usually reporting to a common superior and having some facetoface interaction, who have some degree of interdependence in carrying out task for the purpose of achieving organizational goals... . A Fundamental belief ini organizational development is that work teams are the building blocks of organization. A second fundamental belief is that teams must manage their culture, processes, systems, and relationships, if they are to be effective. Theory, research, and practice attest to the central role teams play in organizational success. Teams and teamwork are part of the foundation of organization development”. Tim kerja merupakan suatu kelompok orang yang berusaha bersama untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Implikasinya, dalam tim kerja mengandung berbagai unsur pendukung lainnya mulai dari keahlian, kedisiplinan, sampai dengan hubungan-hubungan antar anggota maupun anggota dengan kelompok dan organisasinya yang harmonis, sinergis, dan kesetaraan. Tanpa seperangkat pendukung itu niscaya pembentukan tim kerja akan mengalami berbagai hambatan dan kekurangberhasilannya. Pemberdayaan Karyawan (Employee Empowerment) Pemberdayaan
(empowerment)
artinya
memberikan
kekuasaan,
kebebasan,
pengetahuan, dan keterampilan kepada staf/karyawan untuk membuat keputusan dan melaksanakan pekerjaannya secara efektif. Apabila pada manajemen tradisional umumnya mencoba membatasi wewenang staf/karyawan, sementara dalam organisasi pembelajar berlangsung pelimpahan kekuasaan memperluas perilaku mereka. Pelimpahan wewenang dapat direfleksikan dalam tim kerja, siklus kualitas, perluasan kerja, dan kelompok partisipasi staf/karyawan, juga wewenang pembuatan keputusan, pelatihan, dan informasi, sehingga staf/karyawan dapat melakukan pekerjaan tanpa 12
supervisi yang ketat. Dalam organisasi pembelajar, orang adalah sumber kekuatan utama, bukan merupakan biaya yang diminimalisasi. Organisasi yang menganut perspektif ini memperlakukan para karyawan dengan baik, kondisi bekerja yang baik, dan
kesempatan
untuk
mengembangkan
pribadi
yang
baik
pula
ke
arah
profesionalisme. Keterbukaan Informasi (Open Information) Informasi merupakan faktor penting dalam organisasi, yang secara langsung mempengaruhi keber-hasilan atau kegagalan perjalanan dan perkembangan organisasi itu sendiri. Informasi yang tertutup dalam suatu organisasi, dengan sendirinya akan mempengaruhi kinerja orang-orang yang berada di dalam organisasi. Bahkan, sifat informasi seperti itu dapat menghilangkan rasa kepemilikan dan kekurangpercayaan staf/karyawan terhadap organisasi itu sendiri. Dalam suatu perusahaan misalnya, informasi tentang keuntungan dalam produktivitas dan laba yang tertutup, dan oleh karenanya tidak terdapat pembagian keuntunan terhadap staf/karyawan, akan membawa pada mereka sikap kerja yang kurang termotivasi untuk bekerja baik, dan tidak menumbuhkan rasa pemilikan terhadap organisasi. Dalam organisasi pembelajar, segenap informasi yang ada haruslah bersifat transparan (terbuka) dan diketahui oleh staf/karyawan. Untuk mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi oleh organisasi serta menemukan alternatif pemecahannya, tim-tim kerja di dalam organisasi haruslah mengetahui dan memahami segenap informasi yang dimiliki oleh organisasi, mulai dari visi dan tujuan organisasi, data formal anggaran, biaya-biaya yang diperuntukkan masing-masing bagian, dan sebagainya. Keterbukaan dan pembagian informasi dalam organisasi pembelajar merupakan hal yang vital, karena tim-tim kerja di dalamnya bekerja dengan ide-ide dan informasi itu, dan bukan dengan produk atau hal-hal lainnya. Apabila orang-orang di dalam organisasi pembelajar tidak memiliki akses informasi secara benar dan total, maka mereka cenderung akan mewujudkan perilaku pekerjaan yang menebak-nebak,
13
penuh kecurigaan, dan pada akhirnya membahayakan keberlangsungan organisasi itu sendiri yang mengarah pada kegagalan. Sekolah
yang
mampu
mengembangkan
institusinya
sebagai
organisasi
pembelajardengan sendirinya akan membuka segenap informasi yang dimiliki. Peran kepala sekolah adalah memberikan akses informasi yang dibutuhkan kepada staf/karyawannya, serta melimpahkan wewenang penggunaannya. Adalah tidak mungkin mengharapkan staf/karyawan dalam suatu tim kerja dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik, apabila sekolah tidak memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilannya. Dari segi anggaran misalnya, tim-tim kerja perlu memperoleh dan mengetahui informasi yang benar dan terarah mengenai ketersediaan besaran anggaran yang dapat digunakan, sehingga dapat menyusun rencana dan strategi dalam mengembangkan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Sebaliknya, amatlah sulit memberikan suatu tugas kepada tim kerja di sekolah untuk mengembangkan program kerjanya, apabila tidak atau kurang didukung oleh informasi mengenai ketersediaan anggaran tersebut. Pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah sebagai wadah pembelajaran dan pemecahan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar-mengajar guru secara bersama misalnya, banyak yang menunjukkan kekurangberhasilannya akibat tidak mampu melibatkan guru secara optimal. Kurangnya partisipasi guru itu sendiri disebabkan oleh kurang terbukanya pengelolaan anggaran sekolah yang ditujukan untuk keperluan tersebut, seperti insentif yang tidak jelas, tidak terpenuhinya fasilitas pendukung yang diperlukan, kurang berdampak terhadap peningkatan karier guru, dan lain-lainnya, sehingga guru menjadi tidak bergairah dan kurang mendapat dukungan penuh dari sekolah. Strategi Partisipatif (Participative Strategy) Peran pimpinan yang mengacu pada prinsip mengontrol dengan (bukan mengontrol atas) dan pelimpahan tugas dan wewenang kepada bawahan dalam organisasi pembelajar, menciptakan suatu mekanisme kerja yang bergerak dari atas ke bawah dan 14
sebaliknya. Visi dan tujuan organisasi dibuat oleh pimpinan (dan juga dapat melibatkan bawahan), kemudian disebarkan dan diyakini bersama untuk mencapainya. Ketika bawahan dalam bentuk tim kerja berkomitmen mencapai visi tersebut, tindakan akumulatif mereka memberikan kontribusi terhadap pengembangan strategi organisasi. Dalam tahap ini pimpinan memikirkan dan menentukan strategi yang diperlukan untuk mendukung proses kerja tim, mengidentifikasi kebutuhan dan solusinya. Strategi partisipatif juga ditujukan pada upaya untuk melibatkan partisipasi pihak-pihak yang berada di luar organisasi. Budaya Adaptif (Adaptive Culture) Dalam lingkup pembahasan di sini, konsepsi budaya mungkin lebih tepat dikatakan sebagai seperangkat nilai, norma, dan aturan yang didukung oleh suatu sistem sosial. Seperangkat nilai, norma, aturan itu bukan hanya diperoleh anggota suatu sistem melalui proses belajar, tetapi kemudian menjadikannya sebagai pedoman atau acuan dalam mewujudkan pola perilaku yang sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang mendukung pula budaya atau kultur organisasi berupa seperangkat nilai, norma, aturan, keyakinan, lambang/simbol, mitos, ritual, perilaku, dan sebagainya. Cushway & Lodge (1993) mendefinisikan budaya atau kultur organisasi sebagai sistem nilai organisasi yang mempengaruhi cara dan perilaku anggota organisasi. Dahl (ibid) mengemukakan, Budaya atau kultur organisasi adalah serangkaian nilai-nilai inti atau dasar, keyakinan, dan pengertian yang disebarkan oleh para anggota organisasi. Persoalannya adalah, bilamana suatu budaya atau kultur organisasi dikatakan memiliki sifat adaptif yang kuat atau sebaliknya? Suatu budaya dapat dikatakan memiliki sifat adaptif yang kuat apabila dengan mudah dapat menerima datangnya unsur luar, sengaja maupun tidak sengaja karena dirasakan manfaatnya bagi sistem sosial yang bersangkutan. Sebaliknya, ada pula suatu sistem sosial yang teramat sulit untuk menerima masuknya unsur luar dan melakukan perubahan. Hal itu disebabkan sistem sosial yang bersangkutan telah merasa mapan dengan pola budaya yang didukung 15
semula, sehingga setiap unsur luar yang datang dan mengakibatkan suatu perubahan, dianggap akan membawa pada kondisi ketidak-seimbangan (disequlibrium) terhadap mereka. Dalam suatu organisasi tradisional yang ketat menerapkan struktur dan pembagian kerja berdasarkan hirakrkhi vertikal dari atas ke bawah, cenderung menciptakan kekuasaan dan wewenang individual, yakni di tangan pemimpin sebagai pembuat keputusan dan pengendali proses kerja bawahan. Tipe organisasi ini lebih bersifat instruksional dan bawahan sekedar menjalankan sesuai dengan status, tugas, dan tanggung jawabnya dalam organisasi. Implikasinya, bawahan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelajaran atau terlibat dalam penentuan arah organisasi. Kecenderungan lain yang muncul adalah terciptanya hubungan yang melulu didasarkan atas pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab masing-masing, kurang fleksibel, dan kecilnya rasa memiliki (sense of belonging) dari bawahan terhadap organisasinya. Namun, iklim organisasi tradisional ini sendiri mungkin dianggap telah mapan, baik oleh pimpinan maupun staf/karyawannya, meski selama ini memperoleh hasil yang kurang memadai, sehingga tidak atau kurang menginginkan adanya perubahan, Budaya adaptif yang kuat amat dibutuhkan dalam pengembangan organisasi pembelajar, karena secara langsung bermakna perubahan. Budaya adaptif itu mengacu pada sistem nilai yang ada di dalam organisasi, apakah sistem nilai itu mendukung pengembangan organisasi pembelajar untuk melakukan perubahan, atau sebaliknya. Visi ke masa depan, merupakan salah satu nilai yang perlu ada dalam organisasi pembelajar. Visi merupakan sistem nilai yang dijadikan orientasi masa depan, sehingga segenap pihak di dalam organisasi bekerja bersama untuk mencapai tujuan organisasi dari waktu ke waktu. Melalui pembentukan visi itu pula terkandung makna antisipatif dan responsif organisasi terhadap perubahan lingkungan di sekitar, yang lebih lanjut menuntut organisasi untuk melakukan perbaikkan hasil/produk yang terus meningkat sesuai dengan perkembangan jaman.
16
Menurut Dahl (ibid), kesetaraan (equality) adalah salah satu nilai budaya fundamental dalam organisasi pembelajar. Melalui nilai ini segenap anggota (pemimpin dan bawahan) berada pada kedudukan setara, dan perbedaan yang muncul hanya terletak pada status, tugas, dan tanggung jawab. Dukungan terhadap sistem nilai kesetaraan ini akan menciptakan perasaan memiliki, membentuk komunitas, dan perhatian yang bermanfaat untuk menunjang elemen-elemen lain, seperti kerja tim dan strategi partisipatif terutama dengan pihak-pihak di luar organisasi. Setiap orang dihargai dan organisasi menjadi sebuah tempat untuk menciptakan sebuah jaringan hubungan yang memungkinkan orang-orang untuk terlibat sepenuhnya dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Penekanan pada perlakuan yang baik dan hormat terhadap setiap orang menciptakan sebuah iklim rasa aman, nyaman, dan kepercayaan yang membolehkan kemunculan kreativitas dan eksperimen. Nilai dasar lainnya yang perlu ada dalam organisasi pembelajar adalah keberanian untuk mengambil resiko dan mengatasi situasi status quo. Organisasi yang tidak berani mengambil resiko akan bergelut dengan hasil/produk dari itu ke itu saja, tanpa menginginkan adanya perubahan berarti. Organisasi pembelajar menghargai dan menyambut penciptaan ide-ide baru untuk melakukan perubahan, perbaikkan, dan proses kerja baru, meski itu berupa kegagalan. Pengambilan resiko dinilai sebagai simbol pentingnya pembelajaran dan melakukan perbaikkan karenanya. Revitalisasi Sekolah: Perubahan Paradigma Revitalisasi, mungkin kata yang paling tepat untuk menunjuk pentingnya sekolah melakukan perubahan. Revitalisasi mengacu pada pengertian perlunya kebangkitan sekolah untuk mendukung upaya pengembangan diri secara terus-menerus, melakukan perubahan, dan peningkatan tujuan dan hasil. Hanya dengan tindakan revitalisasi, pencapaian tujuan dan hasil pendidikan di sekolah akan lebih terjamin dan berkelanjutan. Pentingnya revitalisasi menunjuk pada perubahan paradigma sekolah yang meletakkan komitmennya untuk melakukan perubahan. Intinya, yang dimaksud dengan revitalisasi adalah kondusivitas sistem kerja di sekolah dan berbagai pihak di 17
dalamnya untuk melakukan pembelajaran dan pengembangan diri, karena adanya ketidakpuasan terhadap tujuan dan hasil yang dicapai selama ini. Dengan revitalisasi mengharuskan sekolah dan warga sekolah untuk memperlihatkan dinamika perubahan: berupaya meningkatkan diri tanpa pernah berhenti, bereksperimen, mencoba hal baru, mengembangkan metode/teknik pembelajaran baru, dan lain sejenisnya untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik. Revitalisasi sekolah perlu direalisasikan dengan mengarahkan insititusi pendidikan sebagai organisasi pembelajar. Untuk itu sekolah perlu mengembangkan sejumlah faktor sebagai perubahan paradigma yang dilakukan, yakni terkait dengan: Budaya Sekolah Pengembangan budaya sekolah yang kuat amat dibutuhkan dalam upaya revitalisasi sekolah. Pengembangan budaya mengacu pada sistem nilai di dalam organisasi sekolah yang selaras dengan semangat organisasi pembelajar dan mendorong berlangsungnya perubahan untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik. Salah satu unsur budaya tersebut adalah dukungan terhadap visi masa depan bersama ke arah yang lebih baik. Visi merupakan sistem nilai yang dijadikan orientasi dan tantangan bersama, sehingga segenap pihak di dalam organisasi bekerja bersama untuk mengatasinya. Melalui pembentukan visi terkandung makna antisipatif, responsif, dan proaktif untuk melakukan perubahan dan perbaikkan tujuan/hasil yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Nilai dasar lainnya yang perlu dekembangkan adalah keberanian untuk mengambil resiko dan mengatasi situasi status quo. Sekolah yang tidak berani mengambil resiko akan bergelut dengan hasil/produk dari itu ke itu saja, tanpa menginginkan adanya perubahan berarti. Sekolah perlu menghargai dan menyambut penciptaan ide-ide baru untuk melakukan perubahan, perbaikkan, dan proses kerja baru. Pengambilan resiko dinilai sebagai simbol pentingnya pembelajaran dan pengembangan diri untuk melakukan perubahan dan perbaikan. 18
Unsur budaya lain adalah pengembangan nilai demokratis, keterbukaan, dan kesetaraan (equality) di lingkungan sekolah. Demokrasi bermakna sekolah perlu mengembangkan nilai kebebasan mengemukakan pendapat dari segenap pihak, terutama terkait dengan upaya melakukan perubahan dan perbaikan, dan mencari titik temu penyelesaian masalah pembelajaran dan lainnya. Suasana demokrasi dikaitkan pula dengan perlunya mengembangkan nilai keterbukaan terhadap pengelolaan segenap aspek pendidikan di sekolah, termasuk kepercayaan terhadap data dan informasi yang akurat serta penggunaan metdde/teknik pemecahan masalaj yang didasarkan atas kaidah ilmiah untuk melakukan perubahan. Dalam konteks di atas, nilai yang kalah penting dikembangkan adalah kesetaraan, di mana anggota (pemimpin dan bawahan) berada pada kedudukan setara, dan perbedaan yang muncul hanya terletak pada status, tugas, dan tanggung jawab. Dukungan terhadap sistem nilai kesetaraan akan menciptakan perasaan memiliki, membentuk komunitas, dan setiap orang dihargai untuk terlibat sepenuhnya mengembangkan potensi mereka. Penekanan pada perlakuan yang baik dan hormat terhadap setiap orang menciptakan sebuah iklim rasa aman, nyaman, dan kepercayaan yang membolehkan kemunculan kreativitas dan eksperimen. Revitalisasi lingkungan budaya sekolah yang diperlukan sebagai berikut: a) adanya visi masa depan bersama yang disebarkan, ditanamkan, dan rasa pemilikan yang kuat dari warga sekolah, serta menjadi tantangan bersama untuk diatasi; b) adanya pengembangan sistem simbol untuk penguatan visi dan mendukung upaya mengatasi tantangan; c) adanya nilai ketidakpuasan terhadap kondisi dan situasi yang ada, serta keberanian untuk mengambil resiko melakukan perubahan dan perbaikkan; d) pengembangan iklim demokrasi, transparans, egaliter, dan akuntabilitas; e) penerapan norma atau aturan yang jelas, konsisten, dan konsekuen; f) pengembangan nilai dan hubungan kerja yang harmonis, sinergis, dan mendukung satu sama lain guna pencapaian visi; g) adanya semangat kerja anggota organisasi yang kuat untuk mencapai visi dan tujuan;
h) penerapan disiplin dalam menjalankan tugas; i) 19
kecermatan pelaksanaan pekerjaan dan tepat waktu; j) penciptaan iklim lingkungan fisik dan sosial yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk mendorong pembelajaran; dan k) pengembangan iklim penghargaan (reward & punishman) yang jelas terhadap prestasi kerja dan penerapan gagasan/ide baru untuk melakukan perubahan dan perbaikkan. Kepemimpinan Sekolah Kepemimpinan merupakan hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, karena berhubungan dengan proses pengaruh yang dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas dan hubungan dalam kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan sekolah pun memerlukan revitalisasi dari pola hirarkhi kaku, ororiter, feodal, dan lain sejenisnya, ke arah yang lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkreasi mengembangkan diri dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Revitalisasi sekolah menuntut Kepala Sekolah untuk berupaya mendukung dan memperlancar pekerjaan bawahan, Kepala Sekolah menjalankan sejumlah peran sesuai dengan statusnya sebagai pimpinan sekolah, yakni sebagai koordinator segenap pekerjaan yang dijalankan bawahan, motivator, dinamisator, fasilitator, supervisor, evaluator, dan lain-lainnya. Namun sedapat mungkin perlu dihindarkan kemunculan perwujuan peran yang terlalu membatasi secara ketat dan kaku terhadap kreasi dan pelaksanaan
tugas
bawahan,
yang
justru
akan
membawa
pada
miskinnya
pengembangan diri dan menghambat pencapaian tujuan dan hasil sekolah yang lebih baik. Revitalisasi peran kepala sekolah diharapkan memiliki kemampuan bertindak sebagai koordinator terhadap tim-tim kerja yang dibentuknya melalui perwujudan sikap dan gaya kepemimpinan yang fleksibel, terbuka, demokratis, serta mampu memberikan arahan, bimbingan, dan panutan, sehingga dapat memberikan keleluasaan bagi guru untuk memunculkan gagasan, ide, dan perilaku yang kreatif dalam melaksanakan pekerjaannya. Kepemimpinan yang cenderung kaku, otoriter, dan tertutup hanya akan 20
mengarah pada perwujudan pola pelaksanaan tugas bawahan yang kurang kreatif dan inovatif, serta cenderung mengarah pada situasi rutinitas, monoton, kurang menarik, pasif, dan sebagainya. Kepala Sekolah juga hendaknya mampu memotivasi dan menggerakkan dirinya sendiri maupun orang lain (tim kerja) di sekolah untuk bersemangat dan berkreasi dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Untuk mendukung kelancaran tugas pekerjaan tim kerja di sekolah, kepala sekolah perlu mewujudakan peran fasilitatornya. Pemunculan gagasan/ide oleh tim kerja sehubungan dengan tugas pekerjaannya dipastikan membutuhkan berbagai fasilitas penunjang, yang pemenuhannya memerlukan campur tangan dari kepala sekolah dalam pengadaannya. Tanpa pemenuhan kebutuhan itu hanya akan menghambat kelancaran tugas pekerjaan staf, yang mungkin dapat membawa pada kekurangberhasilannya. Dalam upaya pemenuhan ini kepala sekolah dapat membangun hubungan dengan pihak di luar sekolah, terutama melibatkan partisipasi mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tim kerja di sekolah. Kepala sekolah perlu mempercayai staf dan memberikan kewenangan dan kekuasaan sepenuhnya pada mereka untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Meski demikian hal itu tidak terlepas dari pentingnya peran kepala sekolah untuk secara berkala melakukan pemantauan (monitoring) dan pengawasan (supervisi) terhadap pekerjaan yang dijalankan oleh tim kerja. Tindakan ini dapat memberikan masukan langsung bagi Kepala Sekolah mengenai proses pekerjaan yang dilakukan oleh tim kerja, mulai dari menyusun perencanaan, implementasi, sampai dengan perolehan hasil yang dicapai. Sejalan dengan hal itu, kepala sekolah pun perlu mewujudkan peran evaluatornya untuk mengendalikan tugas pekerjaan tim kerja di sekolah, meski tidak ikut campur terlalu dalam ataupun intervensike dalam tugas pekerjaan bawahannya. Evaluasi dapat dilakukan melalui pemberian laporan berkala oleh tim kerja, on the spot, melakukan wawancara langsung, atau bentuk lainnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran konsultatif kepala sekolah. Dalam pelaksanaan pekerjaan oleh tim kerja dapat dipastikan akan menemukan berbagai 21
permasalahan dan hambatan, yang pemecahannya (mungkin) dikonsultasikan kepada sekolah. Untuk itu kepala sekolah harus senantiasa membuka diri dan waktunya terhadap bawahannya yang ingin berkonsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan tugas pekerjaannya. Kepala sekolah pun dituntut untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuannya, sehingga benar-benar dapat berperan sebagai orang yang mampu memberikan jalan keluar terhadap tim dalam upaya memecahkan permasalahan dan hambatan yang dihadapi. Revitalisasi kepemimpinan di sekolah yang diperlukan meliputi hal-hal: a) memiliki visi ke depan; b) memiliki kemampuan sebagai agen perubahan/ pembaharuan; c) berani mengambil resiko untuk melakukan perubahan dan kemajuan organisasi; d) mempercayai orang lain untuk mengerjakan tugas dalam bentuk tim kerja; e) bertindak atas dasar sistem nilai, dan bukan atas dasar kepentingan individu; f) kemampuan menjalankan
peran
sebagai
koordinator,
fasilitator,
konsultatif,
pembimbing,
supervisor, motivator, dan lain-lainnya; g) meningkatkan kemampuan secara terusmenerus sepanjang hayat; h) memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan konflik internal organisasi; i) kemampuan melibatkan pihak di luar sekolah; j) memiliki self-awareness (kesadaran diri) dan mampu mengendalikan emosi diri; l) memiliki kemampuan mengelola emosi atau perasaan, seperti menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan, tahan uji, sabar, dan sebagainya; m) memiliki kemampuan self-motivation, baik bagi diri sendiri dan orang lain; n) memiliki impulse control (mampu mengendalikan naluri/insting atau ledakanledakan emosi diri); dan o) memiliki people skill, berupa kemampuan empati dan membina hubungan yang baik dan haromins dengan orang lain, berdasarkan prinsip demokratis, keterbukaan, dan kesetaraan (egaliter). Pengembangan Tim Kerja (Teamwork) Revitalisasi sekolah bermakna adanya upaya untuk memecahkan struktur vertikal yang kaku, di mana pimpinan bukan lagi sebagai pembuat keputusan tunggal, tetapi melibatkan bawahannya. Upaya mencapai visi dan tujuan organisasi lebih diserahkan 22
pada tim-tim kerja yang dibentuk dalam organisasi. Pekerjaan dilaksanakan oleh timtim kerja dengan pemilikan wewenang untuk membuat keputusan mengenai cara untuk melakukan sesuatu, meski dalam koridor pencapaian tujuan organisasi. Sekolah selayaknya memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan manusia di dalam organisasi,
dengan
memberikan
keyakinan
kepada
individu-individu
untuk
mengendalikan pekerjaannya dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Struktur berbasis tim ini bisa diartikan sebagai pemberian wewenang dan kekuasaan terhadap tim kerja dengan mengacu pada kebutuhan dan kegiatan yang ada, baik dalam lingkup bagian-bagian yang terdapat dalam sistem dan hirarkhi sekolah, ataupun pada tim-tim bentukan yang didasarkan atas kriteria tertentu, misalnya mata pelajaran. Partisipatif Segenap Pihak Yang dimaksud dengan strategi partisipatif dalam tulisan ini mengacu pada upaya pelibatan/partisipasi segenap pihak di sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa dalam mendukung kegiatan di sekolah. Terutama masyarakat dan orangtua siswa, partisipasi diartikan sebagai proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara sekolah. Partisipasi masyarakat dan orangtua terhadap sekolah merupakan proses yang berusaha melibatkan secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan proses pembelajaran di sekolah. Paling sedikit partisipasi yang dapat diwujudkan oleh masyarakat dan orangtua meliputi: a) keikutsertaan menentukan kebijakan dan program sekolah; b) keikutsertaan mengawasi pelaksanaan kebijakan dan program sekolah; c) keaktifan dalam pertemuan rutin di sekolah; d) keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler; e) keikutsertaan mengawasi mutu sekolah; f) keaktifan dalam pertemuan Komite Sekolah; g) pengeluaran untuk membiayai pendidikan; h) keterlibatan
dalam pengembangan
iklim sekolah; dan i) partisipasi dalam
pengembangan sarana-prasarana sekolah. Pemberdayaan Staf (Employee Empowerment)
23
Pemberdayaan
(empowerment)
artinya
memberikan
kekuasaan,
kebebasan,
pengetahuan, dan keterampilan kepada staf sekolah/karyawan untuk membuat keputusan dan melaksanakan pekerjaannya secara efektif. Pelimpahan wewenang dapat direfleksikan dalam tim kerja, siklus kualitas, perluasan kerja, dan kelompok partisipasi staf/karyawan, juga wewenang pembuatan keputusan, pelatihan, dan informasi, sehingga staf/ karyawan dapat melakukan pekerjaan tanpa supervisi yang ketat. Revitalisasi sekolah haruslah bertumpu pada penilaian bahwa orang adalah sumber kekuatan utama, bukan merupakan biaya yang diminimalisasi, sehingga perlu memperlakukannya dengan baik, kondisi bekerja yang baik, dan kesempatan untuk mengembangkan pribadi yang baik pula ke arah profesionalisme. Dalam kasus pengelolaan mata pelajaran misalnya, sekolah perlu melimpahkan sebagian besar kekuasaan kepada Tim Guru untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Masing-masing tim guru mata pelajaran mewujudkan tindakan mulai mengidentifikasi permasalahan, kebutuhan, menyusun perencanaan kerja, menentukan strategi atau cara meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar, melaksanakan program yang telah direncanakan, melakukan pemantauanevaluasi, dan revisi yang diperlukan terhadap pelaksanaan program, sampai dengan mengevaluasi hasil akhir sebagai umpan balik (feedback) terhadap perencanaan yang dibuat. Meski demikian keseluruhan tim bergerak dalam koridor mencapai visi dan tujuan sekolah, saling berhubungan satu sama lain, dan terintegrasi secara sinergis dalam sistem organisasi. Dalam konteks inilah kepala sekolah sebagai pimpinan puncak di sekolah perlu mencerminkan peran koordinatif dan fasilitator terhadap program kerja yang dijalankan oleh tim. Keterbukaan Informasi (Open Information) Dalam revitalisasi sekolah perlu memanfaatkan segenap informasi yang ada secara maksimal dan transparan (terbuka) untuk mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi oleh sekolah serta menemukan alternatif pemecahannya. Tim24
tim kerja di dalam sekolah haruslah mengetahui dan memahami segenap informasi yang dimiliki, mulai dari visi dan tujuan, data formal anggaran, biaya-biaya yang diperuntukkan masing-masing bagian, dan sebagainya. Keterbukaan dan pembagian informasi dalam sekolah merupakan hal yang vital, karena tim-tim kerja di dalamnya bekerja dengan ide-ide dan informasi itu. Ketidak adaan atau kesulitan memperoleh akses informasi secara benar dan total, cenderung akan mengarah pada perilaku pekerjaan yang menebak-nebak, penuh kecurigaan, dan pada akhirnya membahayakan keberlangsungan program kerja. Peran kepala sekolah adalah memberikan akses informasi yang dibutuhkan kepada staf/karyawannya, serta melimpahkan wewenang penggunaannya. Adalah tidak mungkin mengharapkan staf/karyawan dalam suatu tim kerja dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik, apabila sekolah tidak memberikan informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan benar untuk menunjang kelancaran dan keberhasilannya. Pengembangan Lingkungan Fisik Lingkungan fisik di sekolah pun merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam revitalisasi sekolah, karena dapat mempengaruhi perilaku warga sekolah. Lingkungan fisik yang rapih, asri, aman, dan nyaman akan menimbulkan rasa dan sikap kebetahan warga sekolah, terutama dalam melaksanakan pekerjaannya. Lingkungan fisik seperti itu tidak harus berupa bangunan megah dan membutuhkan biaya relatif besar, tetapi benar-benar dikelola dan ditata sedemikian rupa untuk memenuhi menciptakan kondisi dan situasi sekolah yang kondusif. Simak saja, bagaimana sikap dan perilaku yang cenderung diwujudkan oleh warga sekolah apabila dihadapkan dengan kondisi dan suasana fisik sekolah yang bising, pengap, kurang tertata rapih, kotor, kurang aman, dan sebagainya. Kondisi dan situasi serupa itu dapat menimbulkan ketidakbetahan dan ketidaknyamanan bagi warga sekolah untuk bekerja. Aktivitas di sekolah akan berjalan kurang lancar, dan warga sekolah pun ingin cepat-cepat meninggalkan lingkungan sekolah yang dinilai kurang kondusif tersebut. 25
Pembinaan Hubungan Kerja Revitalisasi sekolah bermakna perlunya mengembangkan dan membina hubungan kerja yang harmonis, sinergis, dan saling mendukung satu sama lain dari segenap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru. Hubungan ketiga pihak ini menjadi unsur penting untuk duperhatikan serius sebagai pendukung keberhasilan atau kekurangberhasilan pencapaian hasil pendidikan di sekolah. Harus dipahami, meski guru merupakan ujung tombak pembelajaran, namun kelancaran pelaksanaan peran dan tugas guru tidak terlepas dari dukungan Pengawas dan Kepala Sekolah. Permasalahan, hambatan, dan kesulitan guru dalam menjalankan tugas pembelajaran, seyogyanya dapat teratasi melalui bimbingan, bantuan, binaan, dan lain sejenisnya dari Pengawas dan Kepala Sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tulisan ini menguraikan pentingnya revitalisasi sekolah dengan mengarahkan dan mengembangkan sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Tulisan bermaksud
menunjukkan
bahwa
trend
tersebut
memiliki
relevansi
dalam
penyelenggaraan pendidikan kita, terutama dalam menciptakan iklim pembelajaran dan pengembangan diri secara terus-menerus berdasarkan kondisi, situasi, dan kebutuhan yang dihadapi. Pengembangan organisasi pembelajar di sekolah akan lebih menyemarakkan aktivitas pembelajaran di sekolah, baik terhadap tenaga pendidikan dan non-kependidikan yang ada maupun siswa yang sedang menjalani proses belajar di sekolah. Saran Seiring dengan pembahasan di atas, sejumlah saran dikemukakan. Pertama, diperlukan sosialisasi meluas mengenai pentingnya revitalisasi sekolah agar berkembang ke arah organisasi pembelajar, serta merubah sikap mental segenap pihak di sekolah sesuai 26
dengan jiwa dan semangat yang dituntut dalam organisasi pembelajar. Kedua, peraturan perundangan menegaskan pemberlakuan desentralisasi pendidikan melalui konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar pada sekolah untuk mengelola segenap aspek pendidikan yang ada. Konsistensi dan konsekuensi otonomi sekolah melalui penerapan MBS hendaknya benar-benar diberlakukan dengan sekecil mungkin menghindarkan campur tangan yang terlalu dalam dari pihak atasan ke dalam pengelolaan sekolah, yang justru dapat mematikan daya kreativitas pihak-pihak di sekolah. Ketiga, untuk jangka panjang perlu dipikirkan memperkecil rasio pengawas/sekolah agar Pengawas dapat menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Jumlah sekolah yang terlalu besar yang menjadi tanggung jawab seorang Pengawas, hanya membawa pada fungsi pengawasan yang kurang intensif dan efektif, terutama dalam memberikan binaan, bimbingan, dan bantuan terkait dengan tugas pembelajaran guru. Keempat, perlunya melengkapi fasilitas dan sumber belajar yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, termasuk penyediaan fasilitas ICT. Penerapan budaya organisasi yang antisipatif, adaptif, dan responsif
amat tergantung dari kelengkapan fasilitas dan
sumber belajar pendukung di sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang berlokasi jauh dari pusat kota dan menghadapi kesulitan tersendiri dalam memperoleh sumber belajar yang
dibutuhkan.
Kelima,
perlunya
memberikan
pelatihan/penataran
guna
meningkatkan pemahaman, penguasaan, dan kemampuan Kepala Sekolah mengenai perilaku kepemimpinan yang dapat mendorong kemajuan dan perubahan sekolah.
PUSTAKA ACUAN Dahl, Robert L., Manajemen, Jakarta: Gramedia, 2002. Davis, Keith, Human Behavior at Work Organization Behavior, New York: McGraw Hill Book Co., 1981. Faerman, Sue, Learning Organizations, New York: McGraw-Hill, 1996. Fiol, C. M. & A.L. Marjorie, Organizational Learning, Academy of Management Review, Oktober, 1985. 27
Fiedler, Fred, E., A Theory of Leadership Effectiveness, New York: Mc Graw- Hill Book Company, 1967. Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Jakarta: Gramedia, 2003 Hersey, Paul, Blanchart, Kenneth H., Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2000. Kotter, John P., The Leadership Factor, New York: Free Press. Luthans, F., Organizational Behavior, New York: McGraw-Hill, Inc., 1995. Marquardt, M.J., Building the Learning Organization, New York: McGraw-Hill, 1996. Mortimore, P., et al, School Matters: The Junior Years, Somerset: Open Books, 1998. Pedler, M., Burgoyne, J. and Boydell, T., The Learning Company. A strategy for sustainable development, London: McGraw-Hill, 1996. Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16 Tahun 2007. Reddin, W.J., Managerial Effectiveness, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1970 Scott, W.G., Human Relation in Management, in Organization and Management Theory and Practice, Washington: The American University Press, 1962. Senge, P.M. 1990, The Fifth Discipline The Art and Practice of the Learning Organization, New York: Doubleday. Simatupang, B.M., Iso Seri 14000 dalam Fokus Organisasi Belajar, Manajemen & Usahawan Indonesia, Organisasi Belajar (Learning Organization), No. 11/Th.XXIV, 1995. Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
28