CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CLUB FOOT)
dr. Yoyos Dias Ismiarto, SpOT.(K),M.Kes, CCD, FICS
DEPARTEMEN/SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG 2015
DAFTAR ISI I.
Pendahuluan
1
II.
Insidensi
1
III.
Factor Genetic
1
IV.
Etiologi
2
V.
Diagnosa dan diagnose banding
2
VI.
Terapi
3
Therapi Non Operative/Konsevatif
3
CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CLUB FOOT)
I.
PENDAHULUAN
Congenital Talipes Equinovarus (Clubfoot) adalah salah satu kelainan bawaan pada kaki yang terpenting. Kelainan ini mudah didiagnosa tapi sulit diterapi secara sempurna walaupun oleh seorang yang sangat ahli. Kelainan yang terjadi pada Clubfoot adalah : equinus pada tumit, seluruh hindfoot varus, serta midfoot dan forefoot aduksi dan supinasi. Derajat kelainan mulai dari ringan, sedang atau berat yang dilihat dari rigiditasnya atau resistensinya, dan dari penampilannya. Pengenalan dan penanganan secara dini pada clubfoot sangat penting dimana “Golden Period” untuk terapi adalah tiga minggu setelah lahir, karena pada umur kurang dari tiga minggu ligamen-ligamen pada kaki masih lentur sehingga masih dapat dimanipulasi.
II. INSIDENSI Angka kejadiannya bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada Caucasian frekwensinya 1,2/1000 kelahiran, dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 2 : 1. Stewart, pada tahun 1951, pada penelitiannya mendapatkan insiden pada Hawaiians 4,9/1000 kelahiran. Tingginya angka pada hawaiians ini didukung oleh Ching yang melaporkan insidensi CTEV 6,81/1000 kelahiran. Angka kejadian yang tinggi pada Maori (grup Polynesia) juga dilaporkan oleh Elliot, Alldred, dan Veale. Beals melaporkan pada Maori frekwensinya 6,5 – 7 per seribu kelahiran. Di Cina 0,39/1000, Jepang 0,53/1000, Malaysia 0,68/1000, Filipina 0,76/1000, Caucasians 1,12/1000, Puerto Rican 1,36/1000, Indian 1,51/1000, Afrika Selatan (hitam) 3,50/1000, dan Pilynesia 6,81/1000 kelahiran. Kejadian terkena bilateral sekitar 50% dari kasus. Sisi kanan sedikit lebih banyak dari kiri.
III. FAKTOR GENETIK Faktor genetik hanya memegang peranan sekitar 10%, sisanya merupakan kejadian yang pertama kali didalam keluarga. Secara umum dapat dikatakan bahwa CTEV terjadi kurang berat pada kasus yang sporadis bila dibandingkan dengan ada faktor familial, dan makin banyak
1
kejadian CTEV dalam keluarga makin besar kemungkinannya punya anak dengan CTEV yang rigid . Selain faktor keturunan, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting. Gambaran ini dibuktikan oleh Idelberger, yang membandingkan insidensi CTEV pada kembar monozygot dan dizygot. Pada monozygote 13 dari 40 (32,5%) kembarannya menderita yang sama, dan pada dizygot hanya 4 dari 134 (2,9%). Dari data ini dapat menyokong adanya kedua faktor pengaruh tersebut. Pada kelurga Caucasians dapat dikatakan bila orang tua normal akan mendapat kemungkinan anak laki-laki dengan CTEV 2%, bila perempuan 5%. Bila salah satu orang tua terkena dan sudah mempunyai anak yang terkena juga maka kemungkinan punya anak lagi dengan CTEV 10% - 25%. Pada orang Maori, bila orang tua normal akan mempunyai resiko punya anak dengan CTEV laki-laki atau perempuan sebanyak 9%. Bila orang tua terkena maka kemungkinan anaknya akan terkena 30%.
IV. ETIOLOGI Teori etiologi CTEV sudah lama dikenal sejak zaman Hippocrates. Menurut teori ini penyebab CTEV adalah adanya kekuatan mekanik dari luar yang mengakibatkan terganggunya kecepatan tumbuh tulang, ligamen dan otot. Tapi teori ini sekarang sudah tidak bisa diterima lagi oleh karena kejadian CTEV tidak bertambah pada kasus dengan hamil kembar, bayi yang berat, primiparous uterus, hydramnion dan oligohydramnion. Menurut White, 1929, penyebab CTEV adalah kerusakan nervus peroneus oleh tekanan di dalam uterus. Menurut Midelton, 1934, oleh karena tidak adanya otot yang seimbang karena dysplasia peroneal dan menurut Bechtol dan Mossman, 1950, disebabkan oleh pemendekan relatif dari serabut otot yang mengalami degenerasi di dalam uterus.
V. DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING Gambaran klinik clubfoot sangat karakteristik, kaki dan tungkai bawah seperti tongkat (clublike). Terdapat lekukan yang dalam pada bagian posterior sendi ankle, kaki bagian tengah dan kaki bagian depan terjadi aduksi, inversi dan aquinus. Dengan adanya inversi dan aduksi dari kaki bagian depan akan menyebabkan terabanya benjolan tulang pada subkutis dorsum pedis sisi lateral. Kulit pada sisi cembung (dorsum pedis), tipis, teregang, dan tidak ada lekukan kulit, malleolus lateralis lebih menonjol dibanding yang medial. Kulit sisi cekung (daerah medial dan plantar) terdapat cekungan yang dalam. Tulang naviculare berdekatan langsung dengan malleolus medialis, sehingga pada palpalsi jarak antara kedua tulang tersebut tidak terdapat sela. Kaki bagian depan dalam posisi equinus dan jaringan lunak sisi plantar kaki sangat kontraktur. Dapat diraba ligamentum dan kapsul sendi sisi medial kaki dan sisi posterior sendi ankle memendek dan menebal. Terdapat juga atrofi dari otot betis
2
dan pemendekan dari kaki. Keadaan equinus ini kaku dan bila dilakukan manipulasi pasif hanya terkoreksi sedikit. Bila keadaan ini datang terlambat untuk dikoreksi, maka keadaan kontraktur akan lebih parah dan akan lebih kaku, anak akan berjalan pada sisi kaki lateral dan pada malleolus lateralis. Anak tersebut bila berjalan akan terasa sakit dan terbentuk bursa dengan cepat.
VI. TERAPI Tujuan terapi talipes equinovarus adalah : Mereduksi dislokasi atau sublokasi sendi talocalcaneonaviculare Mempertahankan reduksi Memperbaiki normal articular alignment Membuat keseimbangan otot antara evorter dan invertor, dan dorsi flexor dan plantar flexor 5. Membuat kaki mobile dengan fungsi normal dan weight bearing 1. 2. 3. 4.
Terapi harus sudah dimulai pada hari-hari pertama kelahiran, 3 minggu pertama merupakan golden period, sebab jaringan lunak pada usia ini masih lentur.
1 Therapi Non Operative/Konsevatif Perawatan non operatif dimulai sejak penderita lahir, dengan melakukan elongasi jaringan lunak yang mengalami kontraktur dan kemudian dipertahankan dengan pemasangan gips secara serial selama 6 minggu dan gips diganti setiap minggu. Dari 6 minggu sampai 12 minggu dipasang splint clubfoot tipe Denis Brown. Setelah penderita waktunya berjalan setiap malam dipasang splint sepatu Denis Brown dan siang hari memakai sepatu outflare sampai usia prasekolah. Dari serial terapi tersebut yang paling penting adalah tahap pertama yaitu elongasi jaringan lunak yang mengalami kontraktur dengan manipulasi pasif.
Elongasi dari m. triceps surae, capsul posterior, dan ligamentum ankle dan subtalar Teknik : Os calcis dipegang antara ibu jari dan jari II, ditarik ke distal dan didorong ke medial menjauhi mallelous lateralis, tangan satunya mendorong daerah calcaneocuboid ke dorsiflexi, seluruh kaki tetap dalam posisi inversi. Tidak diperbolehkan melakukan dorsiflexi daerah kaki bagian depan, hai ini akan menyebabkan kaki melengkung. (roker-bottom).
3
Elongasi dari m. tibialis posterior dan ligamentum tibionaviculare Teknik : Os calcis dipegang antara ibu jari dan jari kedua, ditarik ke distal, dengan tangan yang lain jari kedua dan ibu jari memegang naviculare dan kaki bagian tengah ditarik ke distal ke daerah ibu jari kaki dan abduksi.
Elongasi ligamentum plantar calcaneonaviculare dan jaringan lunak plantar pedis Teknik : Dengan satu tangan mendorong tumit ke proximal dan tangan yang lain memegang kaki bagian tengah ke arah dorsifleksi. Setiap tahapan di atas dilakukan sekitar 20 sampai 30 kali dan setiap gerakan dipertahankan selama 10 hitungan.
Reduksi tertutup dislokasi medial dan plantar sendi talocalcaneonaviculare Tahapan ini dikerjakan setelah tahap di atas sudah cukup berhasil. Teknik : Kaki bagian belakang dipegang dengan tangan, jari kedua di atas corpus talus (di atas sinus tarsi), dekat anterior dan distal malleolus lateralis, ibu jari pada anterior malleolus medialis. Tangan satunya memegang kaki bagian tengah dan depan di antara ibu jari dan jari kedua, dengan menggunakan traksi ke arah longitudinal, kaki dalam posisi equinus dan inversi. Selanjutnya melakukan abduksi kaki bagian tengah, mendorong naviculare ke lateral dan talus bagian anterior ke medial dengan ibu jari. Secara klinis reduksi berhasil dengan terbentuknya kontur eksterna normal pada posisi istirahat. Setelah reduksi, dilakukan pemeriksaan radiologi, sisi AP dan lateral. Dianggap berhasil bila pada gambaran AP sudut talocalcaneal lebih dari 20 derajat dan T-MT1 kurang dari 15 derajat, pada gambaran lateral sudut talicalcaneal harus antara 30-45 derajat. Keadaan terreduksi ini dipertahankan dengan gips yang diganti setiap seminggu sekali.
4
5
6
7
8
DAFTAR PUSTAKA 1. Apley’s : System of Orthopaedics and fractures, 8th edition, 2001, pp 488 – 491. 2. Tachdjian, M.O. : Pediatric Orthopedics, Second ed., vol. 4, WB. Saunders Co., Philadelphia, 1990, pp. 2428 - 2541. 3. Salter. Robert B. : Textbook of Disorder and Injuries of The Musculosceletal System, Second ed., Williams & Wilkins, Baltimore/London, 1083, pp. 117 – 120. 4. Campbell’s, Operative Orthopaedics, 9th edition, volume one, 1998, pp937-952.
.************
9