CITY OF BOGOR IN AGE OF CHANGE : COLONIAL CITY CHARACTER BEGAN TO FADE Agus Dharma Tohjiwa Department of Architecture, Faculty of Civil Engineering and Planning, Gunadarma University
[email protected].
ABSTRACT
Bogor city formerly named Pakuan, was the capital of Pajajaran kingdom that established in 1482. Bogor is one of the most important inland city in the colonial era, bacause Bogor (formerly Buitenzorg) once served as the capital of the Dutch Indies colonial rule. Many of the physical city artifact built in the colonial period, one of which was the palace of Bogor. Architectural character of the city of Bogor also determined by the application of ethnic settlement zone (Wijkenstelsel) that is Europeanen (Europeans), Vreemde Oosterlingen (Foreign East), and the Inlander (native). After Indonesian independence, the city had gradually lost its central position as in the colonial period. In the year 1976 issued Presidential Instruction on Jabotabek where Bogor city designated as one of the capital buffer (hinterland) and as a dormitory town. The more easy access and short travel time from Jakarta to Bogor cause Bogor become one of the purposes for living. Bogor grew into settlement of the people who work in Jakarta. Commuter phenomenon in the city of Bogor seen from the high number of trips per day to Jakarta by private transportation and public transportation (including train). Currently the city of Bogor is a city that represents the combination of traditional Sundanese culture, colonial culture, and modernity of the metropolis. Physically, the city of Bogor has a lot of heritage that contribute the identity of the city. However, because extending metropolitan phenomenon that is happening right now, the character of the historic city of Bogor is now starting to fade by urban commercial culture pressure. Keywords: Bogor, colonial cities, Jabotabek.
1. Introduction In today’s competitive market conditions, the coordination and collaboration of all parties in supply chain system is prerequisite (Tarantilis, 2008). Recently, managing inventories jointly across the entire supply chain system was one of the best strategies to improve the supply chain performance, especially in reducing total cost. In modern inventory management, all parties in supply chain will agree to determine the optimal production and shipment policies jointly. Many researches proved that moving from managing inventory independently to jointly will always results in a significant cost saving. In inventory literature, the integrated vendor-buyer model was known as joint economic lot size (JELS). Goyal (1976) was the first researchers introduced JELS model where the vendor produced a product in an infinite production rate and used lot-for-lot policy to deliver a product to the buyer. Then, the model was extended by many researchers, for example Banerjee (1986), Goyal (1988), Hill (1997) and Pujawan and Kingsman (2002). The comprehensive literature review on integrated vendor-buyer problem was presented by Ben-Daya et al. (2008). In recent years, integrated vendor-buyer model under stochastic environments has received significant research attention. Sajadieh et al (2009) developed a coordinated vendor-buyer model with stochastic lead time. The vendor produces the product in batches at a finite production rate and delivers the equal-sized batches to the buyer. However, the demand in buyer side was assumed to be deterministic. Furthermore Ben-Daya and Hariga (2004) investigated vendor-buyer model under stochastic demand and variable lead time. They relaxed the assumption of deterministic lead time and assumed that the lead time consists of time to produce a batch, transportation time and non-productive time. Hsiao (2008) extended Ben-Daya and Hariga’s (2004) model and proposed a modified model under assumption of using two different reorder points and service level. Glock (2009) developed previous model and considered unequal-sized shipments. He proposed shipment-sized is determined by an increasing fixed factor. Another extensions of integrated vendor-buyer problem under stochastic demand was done by Ouyang et al (2004). He presented a model with stochastic lead time demand and contollable lead time. INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 1
PENATAAN KAWASAN WISATA DI BANTARAN KALI CODE YOGYAKARTA Wirhan Rasyid, ST, Endah Tisnawati, ST.,MT. Program Studi Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK
Tourism Society in Britain (dikutip Pendit, 1999) memberikan rumusan pariwisata sebagai kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerjanya sehari-hari serta kegiatan mereka selama berada di tempat tujuan tersebut; ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk kunjungan seharian atau darma wisata / ekskursi. Berbagai Negara telah menyadari peran penting sungai bagi berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, budaya dan sosial. Berbagai aspek yang saling berkaitan ini dikembangkan dengan memanfaatkan sungai menjadi wajah kota. Keberadaan sungai menjadi unsur penting bagi lingkungan sekitarnya. Hal ini akan memberikan dampak positif sehingga secara berkesinambungan akan berpengaruh pada nilai dan karakter kawasan tersebut. Konsep pemanfaatan sungai sebagai cityfront adalah menempatkan manusia sebagai unsur penting yang berpengaruh pada baik-buruknya suatu kawasan, sehingga segala perbuatan manusia terhadap sungai akan menimbulkan timbal balik yang sama terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kawasan bantaran sungai Code ini juga memiliki potensi sebagai tujuan wisata dan tujuan studi. Hingga saat ini telah banyak aktivitas wisata, kajian, serta karya sosial yang mengambil lokasi di kawasan Code ini. Seperti misalnya kawasan percontohan pengelolaan air bersih perkotaan, kawasan permukiman yang unik, trail wisata, upacara Merti Code dan potensi industri kerajinan yang ada, sekiranya wisata Sungai Code patut menjadi perhatian. Alangkah baiknya bila berbagai potensi obyek di kawasan Code dapat dikenali dan dikembangkan secara optimal. Khususnya Code Utara. Sebagai bagian dari kota Yogyakarta, tiap kawasan sepanjang Sungai Code memiliki keunikan tersendiri dan dapat dikembangkan. Kunjungan wisatawan lokal maupun luar tidak hanya tertuju pada satu titik di kawasan Code. Selama ini yang menjadi pusat perhatian adalah Kawasan Code di daerah Gondolayu, sehingga wisatawan tidak mengetahui adanya potensi wisata yang tidak kalah menariknya dengan wilayah Gondolayu. Setiap wilayah di Code memiliki keunikan tersendiri baik dari segi peruangan maupun kondisi sosial - seni budaya masyarakatnya. Kata kunci : penataan, wisata, kawasan Kali Code.
1. Pengembangan Pariwisata Pariwisata sebagai perjalanan, merupakan suatu kegiatan, yang menurut Ury (1990) sebagaiman dikutip oleh Kusworo (Fandeli, 2003). Secara tradisional pariwisata diartikan sebagai kegiatan atau pengalaman touring, yang sejalan dengan essensi pengertian tourism yaitu pergi dan mencari sesuatu yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Tourism Society in Britain (dikutip Pendit, 1999) memberikan rumusan pariwisata sebagai kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempattempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerjanya sehari-hari serta kegiatan mereka selama berada di tempat tujuan tersebut; ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk kunjungan seharian atau darma wisata / ekskursi. Pengertian ini ditegaskan lebih lanjut oleh Gunn (1994) yang menyatakan bahwa pariwisata adalah pergerakan orang yang sifatnya sementara ke tempat yang bukan merupakan tempat tinggal maupun tempat bekerja, aktivitas yang dilakukan selama mereka tinggal di tempat itu serta fasilitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sejalan dengan pengertian ini, Mathieson and Wall (1982) (dikutip Boniface, 1994) yang mendefinisikan pariwisata sebagai perjalanan sementara manusia dengan tujuan tertentu diluar pergerakan normal di tempat kerja dan tempat tinggalnya, yang akan meliputi aktivitas-aktivitas serta fasilitas yang disediakan untuk mendukung III - 2
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
WISATA ARSITEKTUR : SEBUAH APRESIASI TERHADAP KARYA ARSITEKTURAL Studi Kasus: Chicago, Illinois dan Columbus, Indiana Parmonangan Manurung Dosen Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK
Karya arsitektur dari masa ke masa kerap membawa pesan dan identitas yang menyertai kehadirannya. Bangunan-bangunan lama misalnya, hadir dengan membawa sebuah kisah tentang masa di mana dia hadir, dan dapat menjadi sebuah referensi bagi generasi berikutnya. Namun pesan dan peran sebagai referensi tersebut sering kali tidak dapat diakses oleh generasi baru, baik arsitek maupun masyarakat umum. Kurangnya penghargaan terhadap karya arsitektur lama, atau bangunan-bangunan heritage, kerap menciptakan sebuah jurang informasi atau hilangnya sebuah benang merah perjalanan arsitektur dari masa ke masa, khususnya di Indonesia. Di sisi lain, masuknya arsitektur barat yang tidak berorientasi lokal membuat penghargaan terhadap arsitektur lokal maupun arsitektur bersejarah semakin terabaikan. Wisata arsitektur yang dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, menunjukkan suatu penghargaan terhadap sebuah karya arsitektur. Selain memberi pemahaman terhadap sebuah sejarah dan perkembangan arsitektur si sebuah kota, wisata arsitektur juga merupakan suatu upaya konservasi pada bangunan-bangunan tersebut.
Kata kunci : arsitektur, wisata, konservasi, identitas, karakter kota.
1. Pendahuluan Melihat perkembangan arsitektur di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa penghargaan terhadap sebuah karya arsitektur, baik arsitektur tradisional, arsitektur kolonial, maupun bangunan bersejarah lainnya sangat memerihatinkan. Beberapa kasus menunjukkan bangunan lama yang dirubuhkan guna kepentingan komersial untuk mendirikan sebuah pusat perbelanjaan. Di sisi lain, bangunan tradisional dan bangunan bersejarah lainnya, seolah terabaikan dan tidak terawat. Kurangnya penghargaan terhadap karya arsitektur di Indonesia secara perlahan membawa pada musnahnya peninggalan-peninggalan tersebut, hal ini apa bila terus berlanjut akan membawa pada hilangnya jati diri arsitektur di Indonesia. Kondisi ini juga membawa pada hilangnya referensi terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia. Generasi berikutnya hanya akan dapat melihat arsitektur tradisional, arsitektur kolonial, dan arsitektur bersejarah lainnya yang pernah ada di Indonesia melalui buku atau internet. Ironisnya, kebanyakan buku tentang arsitektur di Indonesia pun ditulis oleh penulis asing. Hal yang berbeda terjadi di negara lain, karya arsitektur mendapatkan apresiasi yang sangat besar, terutama ketika karya-karya tersebut memiliki nilai sejarah dan pengaruh terhadap perkembangan arsitektur di negara tersebut. Di Amerika misalnya, karya-karya arsitektur mendapat perhatian yang sangat besar dari pemerintah karena memiliki peran dalam membentuk karakter dan jati diri, baik dalam skala kota maupun dalam skala yang lebih besar. Paper ini mencoba mengaji dua kota di Amerika Serikat yang memiliki sejarah dalam perjalanan arsitektur, serta memberikan apresiasi yang sangat besar kepada karya-karya tersebut. Kota Chicago di negara bagian Illinois dan Columbus di Indiana merupakan kota yang memiliki sejarah dalam perjalan arsitekturnya. Ke dua kota ini juga memberikan apresiasi yang sangat besar kepada karya-karya arsitektur, bahkan mengemasnya dalam program wisata yang menyenangkan, suatu upaya yang berhasil dalam menjada kesinambungan arsitektur-arsitektur bersejarah di kota tersebut.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 3
RISET JALUR ”GREEN WAY” MENUJU KONSEP KOTA EKOLOGIS Agung Wahyudi, C. Widi Pratiwi Jurusan Teknik Arsitektur , Fakultas Teknik,Universitas Gunadarma Jurusan Akutansi , Fakultas Ekonomi,Universitas Gunadarma
[email protected]
ABSTRAK
Isu utama dari penataan kota adalah upaya-upaya untuk menciptakan ruang kota yang berkualitas bagi peningkatan kesejahteraan warganya. Perancangan kota tidak hanya sekedar menyususn massa-massa bangunan pada suatu lahan atau tapak saja tetapai aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana susunan massa bangunan tersebut dapat tersusun selaras dan seimbang dengan lingkungan sekitar, alam telah menyediakan unsur-unsur yang berfungsi sebagai aspek keseimbangan tersebut. Perancangan kota baik dalam merancang bangunan-bangunan umum maupun bangunan-bangunan rumah tinggal tidak hanya menekankan pada bentuk, struktur dan segi ekonominya saja, tetapi keselarasan dengan alam sekitarnya merupakan bagian yang menjadi pertimbangan dalam merancang kota yang ekologis. Fungsi taman kota cukup penting baik untuk keseimbangan alam maupun bagi keseimbangan jiwa yang menikmatinya. Penataan susunan massa bangunan yang direncanakan dengan baik akan berkurang nilainya jika tidak diimbangi dengan penataan ruang luar berupa taman yang baik pula. Pembuatan jalur ‘Green Way’ atau jalur hijau adalah pembuatan taman kota yang terintegrasi dengan jalur pedestrian (pejalan kaki) dan jalur sepeda. Pembuatan jalur ‘Green Way’ (jalur hijau) ini merupakan upaya mengatasi permasalahan krisis lingkungan dan krisis energi yang berfungsi sebagai sarana untuk mengurangi polusi kendaraan bermotor serta penghematan BBM . Salah satu kasus studi yang berhasil menggalakkan Green Way adalah kawasan kampus UI Depok . Secara bertahap seluruh warga UI diwajibkan bersepeda kalau ke kampus. Dari hasil analisa berbagai permasalahan, potensi dan prospek ‘Green Way’, dihasilkan sebuah konsep upaya perancangan kawasan kota ekologis berkelanjutan yang secara komprehensif mangakomodasi dan meyeimbangkan faktor ekologi, ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat dalam ruang kota. Kata kunci: Green Way, taman kota, kota ekologis
1. Kota Ekologis dan Pembangunan Berkelanjutan Kekhawatiran tentang bagaimana kota justru menjadi tempat dimana manusia tidak ‘dimanusiakan’ bermula pada awal revolusi industri industri di Inggris dan kota-kota lain di Eropa, ketika peningkatan intensitas industri justru memberi dampak bagi jeleknya kualitas lingkungan permukiman, terutama permukiman buruh. Lewis Mumford dalam The Culture of Cities (1938) mengungkapkan bahwa kota merupakan titik di mana terjadi konsentrasi maksimum bagi power dan culture suatu komunitas (Wheeler, 2004 : 16). Artinya, manusia merupakan key point yang menjadi identitas suatu kota. Kemajuan manusia adalah kemajuan peradaban. Dan peradaban tidak hanya ditandai oleh artefak, tetapi oleh penghargaan yang semestinya bagi manusia itu sendiri. Pemikiran tentang kota yang memberi tempat yang lebih nyaman bagi manusia telah digagas lebih seratus tahun yang lalu pada abad ke 19 oleh seorang ahli tata kota Ebenezer Howard dalam bukunya Garden City of Tomorrow (1898) dengan konsep Three Magnet: Town-Country-Town Country. Howard memaparkan bahwa "human society and the beauty of nature meant to be enjoyed together" (Wheeler, 2004 : 13). Bahwa kota merupakan "symbol of society - a mutual help and friendly cooperation, of fatherhood, motherhood, brotherhood, sisterhood, of wide relation between man and man ... of science, art, culture, religion", Dengan mengawinkan town dan country Howard memperkirakan adanya suatu harapan baru dan peradaban baru bagi kota-kota modern yang sudah semakin sesak. (Wheeler, 2004 : 14). Pemikiran Howard kemudian memberikan inspirasi bagi banyak perencana kota sesudahnya dan menghasilkan berbagai konsep kota dengan berbagai terminologi ; green city, eco-city, sustainable city, new urbanism dan sebagainya. Konsep perencanaan ini kemudian diperkuat dengan gagasan-gagasan III - 4
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
RUMAH SUSUN SEBAGAI ALTERNATIF PERMUKIMAN DI KABUPATEN SLEMAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAERAH RESAPAN AIR Hestin Mulyandari Program Studi Arsitektur, Fakultas Sains & Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK
Sleman district has an area upstream of protected areas should be protected from damage caused by human activity. Ecologically, this area is an area of water resource and water infiltration that helps supply of ground water in the surrounding environment as well as areas that are in the lower (downstream) is the city of Yogyakarta and Bantul regency. Number of developers who build housing so that the conversion of land from agricultural land to non-agricultural land, in this case will have an impact on the limited agricultural land and environmental sustainability will be threatened. If residential development exceeds the carrying capacity of the environment in the region, it is feared will happen to environmental issues for the city of Yogyakarta and Bantul regency, in particular the problem of flooding and soil water scarcity. This study aims to provide shelter alternatives that can be applied for low-income communities.Residential flats as an alternative means of vertical to accommodate housing for the middle to the bottom with vertical residential flats. It was developed due to agricultural land began to decrease and more difficult to establish new homes in new lands. Flats do not have to be on the ground with a model village treasury twinblock (TB) or a fenced open space which is closed from villages around, but can be developed with a model that integrates the vertical residential village (city block) home-based gang or another alternative is to develop residential vertically above the village. Keywors : flat, low-income communities, water catchment area
1. Pendahuluan Kabupaten Sleman merupakan lahan bagus untuk investasi lahan, menyebabkan lahan semakin sempit, harga tanah semakin mahal, sehingga menyebabkan sebagian masyarakat terdesak menempati lahan bantaran sungai, dengan lingkungan permukiman yang padat, sebagian masyarakatnya berstatus hunian ilegal, dengan kondisi tidak layak huni. Bantaran sungai merupakan salah satu daerah yang memerlukan perhatian khusus. Kesalahan dalam penggunaan lahan di daerah bantaran sungai dapat menjadi sangat berbahaya. Hingga saat ini, banyak kesalahan yang terjadi pada pemanfaatan daerah bantaran sungai, baik berupa kesalahan penggunaan lahan, maupun kesalahan berupa perlakuan terhadap daerah di sekitar sungai. Permukiman kelompok masyarakat di bantaran sungai, sudah saatnya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Daerah. Perkembangan kawasan tersebut yang tidak terkendali terjadi pada bagian perkembangan pemukiman penduduk. Hampir seluruh rumah berhimpitan langsung dengan kanan kiri badan sungai. Kondisi di dalam kampung juga sudah sangat padat, bahkan hanya memiliki akses berupa lorong kampung yang hanya bisa dilewati orang, sepeda, dan sepeda motor. Terlihat pada gambar 1 di bawah ini, bahwa bantaran Sungai Gajah Wong sangat kompleks penggunaannya.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 5
CULTURAL ASPECT OF ARCHITECTURE AND IDENTITY Krisprantono Faculty of Architecture, Soegijapranata Catholic University, Semarang
[email protected]
ABSTRACT
Indigenous cultures that exist in the various regions of Indonesia are regarded as part of the national culture. In the past people expressed their architecture by imitating and representing natural objects such as the proportion of plants and personification of human body in order to give constructive manifestation to symbolic expression of the work the artist performs. Architecture plays an important role in the Indonesia cultural identity. It is vital that it should be included in any plans for cultural development. Therefore people basically created forms of architecture by taking natural objects, surroundings and the human body as symbolic mediums before creating symbolic tectonic forms and express as cultural aspect of their creation of built environment. The symbolic value of architecture as a product of local nature and culture is that it expresses the identity of the place. Keywords: symbol, culture, architecture, identity
I. Introduction In the Indonesian context every island in Indonesia has a different culture, making each area unique and as such there are many variations of vernacular architecture evident as a way of expressing culture. We can differentiate between them by looking at different kinds of roof shapes which are symbolic of ownership in that different forms of the roof are identified with the social status of the owner. Modernity brings the idea of the ‘International Movement in Architecture’, which seriously affects the development of third world countries, as new buildings in urban areas are built which dominate the architectural vision and seriously dilute the symbol of local architecture in their location. Modernity in the developing world can be achieved by means other than copying from foreign models. Conservation of cultural aspect is still important and this gives impact on urban growth. Most historic buildings in most big cities are usually located in the urban center where land is economically valuable. On the other hand historic building is difficult for government to cope with in providing the physical and social infrastructure for a fast growing population in the urban areas Changing the function of this area is a common solution in developing countries. In this chaotic condition Ripley gives in-depth perspective: “If we cannot preserve our total environment, we are, of course at risk ourselves. In the same way, if we cannot preserve the capacity of mankind to maintain cultural traditions and discipline of the spirit that result from such appreciation of civilization then we are surely lost intellectually as we are physically” (Ripley 1984: 16). Development through conservation is one solution in order to maintain cultural context within the development of architecture as one of the most important of built environment. 2. Signs, Symbols And Architecture
Symbols may aid in the understanding of divisions and classifications through their distinguishing marks, signs or characteristics. Signs and symbols may simply inform through the use of messages, but they may also be designed in such a way as to demand an active aesthetic response. We can define religious buildings by the use of symbols for churches or mosques based on the forms widely used in the past for religious symbols such as the stars and moon, and the cross. Signs used on architecture must therefore be clearly related to the structure itself. The roof as a head is an important part that can represent in the ‘imagery and symbolism’ of the entire building form. Widely impression of architecture of the house, these themes are clearly demonstrated in the form of houses, where status is represented through location, design and materials. Javanese traditional buildings in the past, they expressed the status through different roof types; they expressed themselves by identifying the symbol of their house in order to demonstrate their status in their society. These III - 6
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
BAGENEN DI DIENG, MAKNA DAN KONSEP NILAI TATA RUANG DALAM Heri Hermanto, Djunaedi, Sudaryono Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik dan ilmu Komputer Universitas Sains Al Qur’an Wonosobo Dosen Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik Program Doktor Ilmu-Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada
[email protected]
ABSTRAK
Dieng adalah dataran tinggi yang berada di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi. Aktivitas peribadatan telah berlangsung lama di Dieng jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha.Candi tertua di Indonesia di Dataran Tinggi Dieng diperkirakan dibangun abad IX oleh Sanjaya (732-760) Raja Mataram Kuno. Hasil penelitian Arkeologis antara UGM dan National University of Singapura juga menunjukkan bahwa di kawasan Candi Dieng ditemukan pecahan keramik yang berasal dari Dinasti Tang (618 M- 906 M) dan pecahan kaca warna biru dan hijau yang diperkirakan berasal dari Persia, penemuan tersebut memberikan data yang paling lengkap tentang luasnya jangkauan perdagangan Mataram Kuno waktu itu Antara tahun 1900 -1940, Dataran Tinggi Dieng dan daerah sekelilingnya Menjadi pusat penanaman tembakau. Sejak munculnya komuditas kentang pada tahun 1971, maka sebagaian besar penduduk Dataran Tinggi Dieng mengganti tanaman tembakau dengan kentang, alih fungsi yang besar-besaran tersebut, dari sisi ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan sebagaian besar penduduk Dataran Tinggi Dieng, tetapi disisi lain juga menimbulkan problematika kerusakan lingkungan yang semakin tahun semakin mencemaskan. Bagenen didalam sumber lokal kitab Centhini (1814-1823 ) dinamakan sebagai totor (tungku perapian) pada awalnya hanya berfungsi sebagai penghangat tubuh, ruangan, dan untuk membakar tembakau. Bagenen di Dataran Tinggi Dieng sekarang mempunyai fungsi-fungsi yang sangat beragam seperti ; sosial, budaya, agama, dan ekologi.Keberadaan Bagenen dengan berbagai bentuk, modifikasinya, dan fungsinya tetap dipertahankan oleh penduduk di 13 desa yang ada di Dataran Tinggi Dieng sampai sekarang. Penelitian ini didasari pada dua pertanyaan , 1) Apakah fungsi dan makna Bagenen bagi penduduk Dataran Tinggi Dieng dan 2) Bagaimanakah Bagenen sebagai konsep nilai tata ruang dalam. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi deskriptif model Husserlian. dengan teknik induktif-deduktif, data diperoleh dari 32 informan dengan metoda indept interview. Dari 10 tema yang ditemukan dicari hubungan substantive yang hasilnya kemudian didialogkan untuk mendapatkan konsep. Hasil penelitian ini merumuskan konsep fungsi dan makna Bagenen yaitu; a) Genen tanda kehidupan, b)Genen dan solidaritas masyarakat, serta merumuskan konsep nilai tata ruang dalam yaitu a). Bagenen sebagai pengikat kebiasaan masyarakat Dieng. Keyword; Dataran Tinggi, Bagenen, fungsi dan makna
1. Pendahuluan Dieng adalah dataran tinggi yang berada di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi. Keberadaan gua-gua kuno di Dieng, menunjukkan aktivitas peribadatan telah berlangsung lama sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha (Rahardjo,2002:175). Candi tertua di Indonesia berada di Dataran Tinggi Dieng diperkirakan dibangun abad IX oleh Sanjaya (732-760) Raja Mataram Kuno (prasasti Mantyasih), masa tersebut dihubungkan dengan masa Dinasti Tang di Cina (Purwadi.2007:1). Penyebaran Islam di Wonosobo dan sekitarnya, diperkirakan bermula di Dataran Tinggi Dieng pada jaman Raden Patah (1478-1513).(Babad Kedu). Di Kawasan Candi Dieng ditemukan pecahan keramik yang berasal dari Dinasti Tang (618 M- 906 M) dan pecahan kaca warna biru dan hijau yang diperkirakan berasal dari Persia, penemuan tersebut memberikan data yang paling lengkap tentang luasnya jangkauan perdagangan Mataram Kuno waktu itu ( Penelitian Arkeologis antara UGM dan National University of Singapura Juni 2010). Kitab Centhini (1814-1823), Sumber lokal tertua yang mengungkapkan tentang cerita-cerita mistis di sekitar Candi Dieng. Menurut Lombard, penulisan Serat Centhini merupakan upaya dari pihak pusat INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 7
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI STRATEGI PENGELOLAAN RUANG BERBASIS MASYARAKAT Endy Marlina, Endah Tisnawati Program Studi Arsitektru, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Strategi ini didasari oleh pemahaman bahwa masyarakat adalah subyek, bukan obyek pembangunan. Hal ini serupa dengan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peningkatan intensitas pengalihfungsian lahan di daerah bantaran sungai di satu sisi dan intensitas kejadian bencana serta kemerosotan kualitas lingkungan di sisi lainnya mendasari pentingnya dilakukan upaya-upaya pengelolaan ruang khususnya di daerah bantaran sungai. Untuk menjamin keberhasilan kegiatan pengelolaan ruang serta sesuai dengan amanah hukum di atas, perlu ditemukan strategi pelibatan masyarakat yang tepat dalam kegiatan pengelolaan ruang. Penyusunan rumusan ini memerlukan pemahaman komprehensif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Karakter budaya masyarakat bantaran sungai yang spesifik merupakan kekayaan lokal. Nilainilai ini perlu dikelola untuk meningkatkan kemanfaatannya dalam upaya peningkatan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan dalam usaha pengelolaan ruang yang diarahkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam pengelolaan kualitas lingkungan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan rumusan pemberdayaan masyarakat yang tepat dalam upaya pengelolaan ruang bantaran sungai. Kata kunci: budaya, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan ruang
1. Latarbelakang Dalam pasal 28 h UUD 1945 dinyatakan bahwa rumah adalah hak dasar rakyat, dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Peningkatan kebutuhan lahan yang sangat pesat mempengaruhi peningkatan pemanfaatan lahan. Terbatasnya ketersediaan lahan mengakibatkan variasi alternatif pengalihfungsian lahan, termasuk lahan di daerah bantaran sungai. Fenomena ini disejajarkan dengan intensitas bencana banjir dan tanah longsor yang tinggi menjadi dasar diperlukannya upaya pengendalian pengalihfungsian lahan di daerah bantaran sungai. Dinamika perkembangan penduduk di Kabupaten Sleman yang berlangsung sangat pesat membawa pengaruh terhadap pemanfaatan lahan. Signifikasi peningkatan kebutuhan lahan mempengaruhi signifikasi pemanfaatan lahan di daerah bantaran sungai sebagai alternatif lahan murah dewasa ini. Hal ini juga dipengaruhi oleh image Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata yang mengakibatkan Kabupaten Sleman menjadi daerah sasaran dominan pengalihfungsian lahan di DIY. Hal yang terlewat adalah bahwa pemanfaatan bantaran sungai yang tidak terkendali dapat mengakibatkan gangguan terhadap fungsi sungai dan akan merusak ekosistem sungai tersebut. Upaya pengelolaan daerah bantaran sungai merupakan kegiatan yang segera harus dilaksanakan. Perencanaan tata ruang yang mengakomodasi daerah rawan bencana sudah mulai disusun, namun demikian masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena tindak lanjut dengan upaya sosialisasi, implementasi penataan ruang/penerapan dan penegakan peraturan/hukum, pembelajaran/pemberdayaan masyarakat dan aparat, pemantauan hingga penerapan sistem peringatan dini dan teknologi pengendalian bencana masih sangat minim. Fenomena lain yang mengakibatkan kurang terkendalinya pemanfaatan lahan di suatu daerah adalah adanya penyelewengan kebijakan.
III - 8
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
ANALISIS LONCAT AIR PADA LANTAI HILIR BENDUNG POKOH DESA TRIHANGGO, KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN D.I. YOGYAKARTA Ryan Fuady, Ratna Septi Hendrasari Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Yogyakarta
ABSTRAK
Bendung adalah bangunan air yang berfungsi untuk menaikkan elevasi muka air. Lantai hilir bendung merupakan bagian dari struktur bendung yang berfungsi sebagai tempat terjadinya loncat air dan sebagai bangunan peredam energi. Loncat air terjadi karena perubahan aliran dari superkritis menjadi subkritis. Dampak dari loncat air adalah terjadinya gerusan langsung (scouring) pada tanah dasar. Gerusan langsung yang terjadi secara terus menerus pada tanah dasar sangat berbahaya bagi kestabilan struktur bendung. Dengan adanya lantai hilir, diharapkan dapat mencegah terjadinya gerusan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keamanan Bendung Pokoh ditinjau dari panjang loncat air yang terjadi di lantai hilir bendung. Penelitian ini merupakan penelitian langsung di lapangan yang dilakukan di Bendung Pokoh, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Parameter yang diamati yaitu ketinggian air di atas mercu bendung (d). Alat yang digunakan untuk mengukur ketinggian air di atas mercu yaitu dengan mistar pengukur. Pengukuran dilakukan sebanyak 12 variasi dengan selang waktu maksimal satu bulan dan minimal satu minggu. Data penelitian dianalisis untuk memperoleh debit air limpasan melalui mercu dan untuk memperoleh panjang loncat air yang terjadi di hilir bendung. Dari data tersebut diperoleh grafik hubungan antara ketinggian air di atas mercu (d) dengan debit aliran (Q) dan panjang loncat air (Lj). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar nilai tinggi air di atas mercu maka semakin besar debit aliran limpasannya, dan juga semakin panjang loncat air yang terjadi di hilir bendung. Tingkat keamanan Bendung Pokoh masih aman ditinjau dari panjang loncat air yang terjadi tidak melebihi panjang lantai hilir bendung, sehingga lantai hilir masih dapat untuk mencegah terjadinya gerusan langsung dengan tanah dasar. Kata kunci: bendung, lantai hilir, loncat air, scouring.
1. Pendahuluan Bendung merupakan bangunan air yang mempunyai beberapa fungsi, antara lain adalah untuk menaikkan elevasi muka air, sebagai pengukur debit, dan sebagai bangunan penangkap air. Selain itu pada bagian hilir bendung terdapat lantai hilir, kolam olak yang berfungsi sebagai peredam energi. Penelitian ini lebih spesifik pada analisis debit air limpasan mercu, analisis loncat air, panjang loncat air, dan tipe aliran sub kritis – super kritis – sub kristis. Loncat air terjadi karena perubahan aliran dari superkritis di saluran peluncur bendung, berubah menjadi aliran subkritis di hilir bendung. Dampak dari loncat air adalah terjadinya gerusan (scouring) karena gerakan alirannya memutar ke arah vertikal dan berbalik ke arah horisontal, sehingga peranan lantai hilir sangat penting untuk mencegah terjadinya gerusan langsung pada tanah dasar. Gerusan yang terjadi secara terus menerus pada tanah dasar sangat berbahaya untuk kestabilan struktur bendung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui debit air yang melimpas melalui mercu bendung, mengetahui panjang loncat air yang terjadi di lantai hilir bendung, dan tingkat keamanan bendung ditinjau dari panjang loncat air yang terjadi di lantai hilir bendung. Lokasi penelitian berada di Bendung Pokoh yang terletak di Dusun Kronggahan, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta. Lokasinya dapat dilihat pada Gambar 1.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 9
PASAR SEBAGAI RUANG PRIVAT MASYARAKAT Endy Marlina, Arya Ronald, Sudaryono, Atyanto Dharoko Program Studi Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
[email protected]
ABSTRAK
Bangkitnya kegiatan ekonomi masyarakat pasca gempa DIY bulan Mei 2006 yang lalu adalah fenomena menarik yang dapat ditelusuri untuk mengungkapkan tata nilai dan budaya masyarakat yang mendasari penciptaan ruangnya. Studi ini dilakukan dengan metoda fenomenologi yang menekankan pada realitas keseluruhan untuk mengungkapkan makna transenden dibalik realitas yang tertangkap secara visual. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bagi masyarakat Kabupaten Bantul dan Gunungkidul, pasar adalah ruang privat. Pasar mengakomodasi berbagai kegiatan masyarakat yang mempengaruhi tatanan fisik pasar itu. Penelusuran tatanan fisik dan kegiatan masyarakat pasar menunjukkan bahwa kontrol ruang-ruang di pasar dilakukan dengan pengaturan akses atau campur tangan pihak lain ke dalam zona privat para pengguna pasar. Para pengguna pasar mengatur tatanan fisik ruang mereka untuk dapat memasukkan ‘bagian dari mereka’ ke dalam zona privatnya. Tatanan dan pengaturan kontrol ruang ini menunjukkan bahwa interaksi sosial yang berkembang pada masyarakat telah diimplementasikan dalam realisasi pasar sebagai ruang privat bagi mereka. Kata kunci: interaksi sosial, pasar, ruang privat, tatanan fisik
1. Pendahuluan Norberg Schulz menyatakan bahwa pengertian ruang mencakup aspek fisik maupun aspek psikologis (Schulz, 1977). Dengan demikian ruang dapat dilihat sebagai ‘space’ yang erat kaitannya dengan aspek fisik ruang – ruang merupakan suatu bentukan fisik yang dapat dilihat secara visual; dan dapat juga dilihat sebagai ‘place’ yang erat kaitannya dengan aspek psikologis – ruang merupakan wadah aktivitas manusia yang dapat merefleksikan tata nilai dan budaya manusia yang menggunakannya. Hubungan antara ruang dan penghuninya (manusia) merupakan rekaman dari perjalanan hidup manusia yang apabila ditelusuri dapat memberikan gambaran perilaku manusia serta perubahannya selama kurun waktu penghunian ruang tersebut (Habraken, 1998). Pernyataan ini menunjukkan bahwa setelah diciptakan ruang akan tumbuh dan berkembang bersama dengan manusia yang menghuninya. Pada tanggal 27 Mei 2006, wilayah DIY dan sekitarnya diguncang gempa bumi yang cukup besar (6,9 skala Ritcher) yang menewaskan sekitar 5700 orang dan merusak lebih dari 140.000 bangunan. Bencana ini meninggalkan kerugian yang cukup besar khususnya di wilayah DIY dan Jawa Tengah, baik berupa kerugian jiwa dan fisik wilayah. Segera pasca bencana ini, sektor ekonomi sebagai salah satu sektor utama pendukung kehidupan manusia, terlihat segera bangkit. Proses ini ditunjang dengan berbagai kegiatan renovasi (perbaikan) dan rekonstruksi (pembangunan kembali) sarana pendukungnya, termasuk diantaranya adalah pasar. Terkait dengan bentuk fisiknya, proses penciptaan ruang di pasar didasari oleh ide dan gagasan yang merupakan refleksi dari pandangan-pandangan, pemikiran, dan tata nilai suatu masyarakat. Hal ini mendasari penelitian tentang pasar di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul pasca gempa bulan Mei 2006. 2. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sistem peruangan pasar pasca gempa DIY 2006. Pasar dilihat sebagai satu kesatuan fenomena, merupakan tempat berkumpul dan terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Penyebutan ‘sistem’ pada peruangan kegiatan pasar adalah untuk menggambarkan keterkaitan antara manusia sebagai pengguna, aktivitas yang dilakukan, dan ruang yang mewadahinya. Sistem peruangan pasar merupakan keterkaitan antara lingkungan, ruang, dan aktivitas ekonomi. Sistem ini terkait erat dengan manusia sebagai aktor perencana, perancang, dan pengendali III - 10
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
KAMAR TIDUR MULTIFUNGSI YANG NYAMAN Agil hidayat Saputro, Elmiana Laela Azmi, Salvator Santoso, Sigit Pramana Putra Program Studi Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK
Kamar merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi mahasiswa. Baik itu kamar kost maupun ruang kamar didalam rumah tinggal. Kamar ini mewadahi berbagai macam aktifitas mahasiswa seperti belajar, istirahat, bekerja, tidur, dan lain-lain. Adanya keterbatasan ruang dan tuntutan aktifitas mahasiswa yang banyak menimbulkan pemikiran untuk membuat kamar tidur mahasiswa yang multifungsi sekaligus nyaman untuk berbagai macam aktifitas didalamnya. Untuk membuat kamar menjadi multifungsi dan nyaman dibutuhkan furniture yang tepat dan ringkas yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga menciptakan suatu ruang yang dapat menampung berbagai aktifitas tersebut didalamnya. Selain itu penekanan warna dalam suatu ruang juga sangat mempengaruhi kenyamanan penghuni didalamya. Warna mendominasi ruang, sehingga sangat mempengaruhi visualisasi penghuni didalamnya. Kata kunci: Kamar Multifungsi, Kenyamanan ruang, Pewarnaan
1. Pendahuluan Kamar kost adalah salah satu pilihan solusi tempat tinggal sementara bagi mahasiswa khususnya yang berasal dari luar kota. Mereka cenderung memilih tempat tinggal sementara yang dekat dengan kampus dan harga sewa sesuai dengan kantong mereka. Sehingga kamar kost adalah merupakan tempat terpenting bagi mahasiswa untuk melakukan aktifitas dan rutinitas sehari-hari setelah berkuliah. Ukuran kamar kost sangat terbatas. Hanya satu buah ruang dengan luas berkisar antara 7,5 m2 – 2 12 m . Ada kamar kost dengan tambahan kamar mandi dalam maupun menjadi satu diluar kamar. Untuk ruang yang terbatas ini harus dapat menampung berbagai macam aktifitas mahasiswa. Aktifitas yang diwadahi dalam kamar kost seperti makan, tidur, istirahat, belajar, bekerja dan lain-lain dilakukan didalam satu ruang kost. Sehingga mahasiswa harus pintar-pintar dalam menata perabot didalamnya sehingga dapat menampung aktifitas tersebut diatas. Kebutuhan furnitur standar seperti kasur, almari, meja, dan benda elektronik lain harus ada didalam kamar karena merupakan furnitur yang mendukung aktifitas mahasiswa. Penataan furnitur akan menjadi sulit apabila terlalu banyak furnitur pendukung didalam ruang sehingga memperkecil ruang gerak mahasiswa itu sendiri. Penataan furnitur harus diimbangi dengan tingkat kenyamanan pengguna ruang. Tingkat kenyamanan pengguna ruang akan lebih terasa apabila mahasiswa dalam melakukan aktifitas didalamnya menjadi mudah dan tidak terbebani oleh keadaan ruang yang terbatas. Untuk membuat kamar kost menjadi nyaman, maka penataan furnitur dapat diringkas sedemikian rupa sehingga dapat mewadahi bermacam-macam benda sebagai pendukung aktifitas sehari-hari. Furnitur yang dapat diringkas juga akan memperluas ruang gerak mahasiswa untuk dapat difungsikan dengan aktifitas lain, sehingga ruangan menjadi lebih nyaman. Selain memperhatikan faktor penataan furnitur untuk menghasilkan ruang yang nyaman, perlu diperhatikan juga 3 elemen penting dalam suatu ruang yaitu lantai, dinding, dan plafon. Penggunaan material ketiga elemen itu sangat mempengaruhi suasana dalam ruang. Terutama dinding yang merupakan elemen paling menonjol dalam suatu ruang. Dinding identik dengan pewarnaan dinding. Lapisan dinding dapat dilakukan dengan memberi cat maupun wallpaper. Pengguanaan warna cat sangat mempengaruhi kenyamanan pengguna ruang. Pengaruh visualisasi warna akan memberi kesan sendiri dalam ruang. Penataan furnitur dengan warna dinding yang tepat akan menimbulkan kenyamanan dalam kamar.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SIMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
III - 11