Citra Tubuh Perempuan Taekwondo : Femininitas dan Maskulinitas Tanpa Batas
Penulis: Cindy Efrilia Pembimbing: Dr. Irwan Martua Hidayana The construction of ideal femininity values in Jakarta urban society affects women’s view of the character of the ideal woman. This view is cause a reaction in the form of negative stereotypes of women who engaged in activities that considered not feminine. One of these activity is to pursue Taekwondo martial arts, origin of Korean’s hard martial art that using leg as a major weapon in attack. This thesis describes how taekwondoin women who have been practicing up to senior level in view of the values of the ideal feminine, and the line between femininity and masculinity in a woman. In addition, this study also shows how women's taekwondoin saw their own body image. The results of this study indicate that despite having deconstruction, women who practice taekwondo in early age still have a culture constructed by the definition of the ideal feminine woman. Keywords: Woman, taekwondo, body image, femininity, masculinity Pendahuluan Secara etimologis, olahraga berasal dari kata “disport”. Menurut Lawther, olahraga merupakan suatu hiburan dan bukan pekerjaan yang berat (Lawther, 1972). Definisi olahraga dalam Ensiklopedi Britanica adalah “..a universal form of recreation”. Selain dapat menimbulkan kesenangan, olahraga yang teratur juga memiliki banyak keuntungan fisiologis maupun psikologis. Keuntungan fisiologis yang dapat diperoleh dari latihan teratur, antara lain dapat menurunkan risiko penyakit jantung (Perlmutter & Hall, 1985), meningkatkan kesehatan jantung (Alpert, Field, Goldstein & Perry; Serfass, Gerberich, dalam Taylor, 1995), menambah
kesehatan
fisik,
mengoptimalkan
berat
badan,
meningkatkan
dan
mempertahankan kekuatan otot, menurunkan dan mengontrol hipertensi, menghilangkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan, termasuk merokok, minum alkohol dan diet yang berlebihan (Leon & Fox.; Ebbesen, Prkhachin, Mills, & Green, dalam Taylor, 1995). Keuntungan yang didapat dari olahraga, antara lain dapat menurunkan kecemasan dan depresi. Selain keuntungan fisiologis dan psikologis, olahraga juga dapat meningkatkan konsep tubuh. Pada suatu penelitian terhadap mahasiswa diketahui bahwa mereka yang berolahraga mengalami peningkatan rasa percaya diri dan penambahan konsep tubuh setelah mengikuti kelas aerobik (Johnson, Radmacker, & Terry, dalam Sheridan & Radmacker). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa olahraga memiliki banyak manfaat positif bagi siapapun yang melakukannya, termasuk perempuan.
1 Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
Universitas Indonesia
2
Secara konstruksi budaya, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang bersifat lemah lembut, penyayang, dan keibuan (Fakih, 1999). Sifat tersebut kemudian dikonstruksi secara sosial dan kultural dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama, lalu disosialisasikan secara turun temurun. Secara gender, perempuan diasosiasikan sebagai makhluk sekunder yang posisinya berada di bawah laki-laki. Perempuan selalu diidentikkan dengan hal-hal yang memiliki unsur keindahan, kelembutan, kecantikan, dan unsur-unsur lain yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Laki-laki mungkin cenderung pada agresivitas yang sifatnya fisik, sedangkan perempuan lebih kepada agresivitas yang sifatnya emosional (Kartono, 1974). Bagi perempuan tingkah laku agresif merupakan celaan, bagi anak laki-laki hal tersebut merupakan kebanggaan dan dapat diterima (Tilker, 1975). Memisahkan perempuan dan laki-laki pada dua karakter hasil konstruksi budaya, feminin dan maskulin. Feminin dan Maskulin merupakan hasil pembentukan secara sosial dan budaya, yakni masyarakat menentukan definisi dari apa itu menjadi “pria” dan bagaimana menjadi “perempuan”. Pembentukan tersebut sampai kepada kesepakatan bahwa pria adalah maskulin, agresif, senang berkompetisi, dan perempuan adalah pasif, kooperatif, dan ekspresif (Terman and Miles, 1936). Konstruksi feminin dan maskulin tersebut ternyata membawa dampak terhadap kegiatan olahraga pada perempuan. Kenyataannya, meskipun banyak manfaat yang diperoleh dengan melakukan olahraga secara teratur, perempuan lebih jarang berolahraga dibandingkan pria (Santrock,1990). Alasan mengapa perempuan jarang berolahraga adalah karena ada beberapa perempuan yang beranggapan bahwa olahraga akan meningkatkan nafsu makan mereka sehingga berat badan mereka akan naik. Alasan lainnya adalah adanya anggapan yang menyatakan bahwa olahraga adalah kegiatan yang tidak feminin (Williams, 1990). Lawrence menyatakan : “Athletic competition builds character in our boys. We don’t need that kind of character in our girls the women of tomorrow”(dalam Renzetti & Curran, 1989 : 306) Pernyataan di atas merefleksikan anggapan tradisional yang menyatakan bahwa olahraga atletik bersifat maskulin dan bertentangan dengan standar kultural yang ada tentang kecantikan yang feminin dan daya tarik wanita.
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
3
Padahal kenyataannya karakter perempuan tidak selalu feminin, ada perempuanperempuan yang memiliki karakter kelaki-lakian, yang biasanya disebut perempuan tomboi1. Perempuan tomboi identik dengan stereotipe maskulin, kasar, dan tidak emosional layaknya perempuan pada umumnya. Meskipun tidak secara keseluruhan, kebanyakan perempuan dianggap tomboi karena mereka senang melakukan kegiatan yang memiliki unsur kekuatan atau kekerasan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, contohnya senang menekuni olahraga. Dunia olahraga sebenarnya identik dengan dunia laki-laki, dunia yang keras, penuh kompetisi, dan memiliki banyak aktivitas fisik. Aktivitas fisik tersebut sifatnya maskulin yang menekankan pada unsur achievement, unsur kompetitif, dan unsur kepemimpinan (Turner & Helms, 1995), yang sesuai dengan stereotipe maskulin. Berlawanan dengan perempuan yang dituntut untuk bersikap manis, sensitif, lemah lembut, dependen (Butt, 1976 : 68), non-agresif, dan lebih berorientasi pada kehidupan sosial. Perempuan yang memilih untuk berpartisipasi di dunia olahraga telah melewati batasan sosial dan akan menghadapi masalah. Gambaran tradisional dari kehidupan sosial olahraga yang identik dengan kekuatan, agresivitas, dan kesuksesan dapat menimbulkan konflik terhadap citra sosial seorang perempuan, yaitu submisif dan pasif. Oleh karena itu, perempuan-perempuan yang senang berolahraga seringkali dianggap tomboi, karena mereka mampu melakukan kegiatan fisik yang maskulin. Aktivitas olahraga perempuan muncul karena adanya gagasan bahwa kaum perempuan memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki memandang perempuan dalam segala tingkat dan kalangan untuk turut serta dan lebih menunjukkan kemampuannya dalam kegiatan olahraga. Partisipasi perempuan dalam olahraga dimulai sejak tahun 1970-an oleh negara-negara industri dengan mulai memberikan materi belajar tentang olahraga di sekolah-sekolah. Kanada menjadi negara pertama yang membentuk kebijakan yang menerima keberadaan perempuan dalam kegiatan olahraga serta kegiatan lainnya. Pada awalnya kebijakan tersebut mendapat tantangan dari kalangan masyarakat negara-negara industri lainnya yang masih menganut tatanan masyarakat ortodoks. Setelah melakukan debat cukup panjang, maka kongres dari perwakilan berbagai negara industri memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Undangundang Olahraga Amerika Serikat pasal IX pada tahun 1972. Pasal ini mengatur segala sesuatu yang secara spesifik diarahkan pada pengesahan dan perlindungan pada kaum
1
Tomboy : a girl who behave in a boyish manner (perempuan yang berperilaku layaknya laki-laki). Sumber : http://www.artikata.com/arti-187726-tomboy.html
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
4
perempuan yang berpartisipasi dalam segala kegiatan. Secara tersurat aturan tersebut berbunyi: “Setiap orang (tanpa memperhatikan jenis kelamin) memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan”. Keterlibatan
perempuan
dalam
olahraga
memiliki
peran
penting
dalam
mengharumkan nama bangsa khususnya di ajang internasional. Indonesia tidak bisa menjadi juara umum Sea Games XXVI kalau tidak ada atlet perempuan (Menpora Andi Mallarangeng, 24/1, dalam seminar Women and Sport). Sejalan dengan majunya perkembangan zaman, kesempatan yang sedemikian besar telah diberikan bagi para perempuan, khususnya perempuan Indonesia, di bidang olahraga. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya atlet-atlet perempuan Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa di berbagai event olahraga, tidak kalah dengan atlet laki-laki. Prestasi perempuan Indonesia di bidang olahraga cukup membanggakan: keberhasilan Susi Susanti sebagai peraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, keberhasilan Yayuk Basuki sebagai petenis Indonesia pertama yang menembus 20 besar dunia dan 8 besar Wimbledon, keberhasilan Nurfitryana Saiman Lantang sebagai peraih perak Olimpiade Seoul 1998, dan tak terhitung mereka yang punya prestasi di tingkat Asia atau Asia Tenggara (Kompas,19 April,1998) adalah contoh dari perempuan-perempuan Indonesia yang berhasil mengharumkan nama baik Indonesia di dunia internasional melalui olahraga. Lalu, bagaimana jika tipe olahraga yang ditekuni perempuan adalah jenis olahraga yang memang keras dan melakukan banyak kontak anggota tubuh, seperti beladiri. Beladiri merupakan bidang olahraga yang 90% kegiatannya berhubungan dengan kontak fisik yang memerlukan kekuatan bahkan kekerasan dan dianggap lebih diperuntukkan bagi kaum lakilaki daripada perempuan. Hal tersebut memunculkan efek kompetisi dalam hal agresivitas fisik dari perempuan yang menekuni beladiri terhadap agresivitas laki-laki. Satu dari beladiri tersebut adalah Taekwondo2 yang hampir seluruh unsurnya memakai kaki sebagai senjata utama dan dianggap menakutkan bagi masyarakat awam. Kaki dipakai sebagai senjata utama untuk menyerang hingga mencapai area kepala adalah suatu hal yang tidak biasa, apalagi jika yang melakukan adalah perempuan. Maka pandangan akan kelembutan dari seorang
2
Taekwondo adalah olah raga bela diri Korea yang paling populer dan juga merupakan olah raga nasional Korea. hanja untuk Tae berarti "menendang atau menghancurkan dengan kaki"; Kwon berarti "tinju"; dan Do berarti "jalan" atau "seni". Jadi, Taekwondo dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai "seni menendang atau menghancurkan dengan kaki disertai tinju kepalan tangan".
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
5
perempuan akan segera berubah menjadi pandangan antara kagum, menakutkan, dan dianggap berbahaya. Satu dari taekwondoin perempuan adalah Juana Wangsa Putri, mantan atlet taekwondo putri yang berhasil menjadi Juara Dunia Taekwondo kelas fly 58kg putri di Paris, Prancis, pada tahun 2003. Dalam bukunya yang berjudul “Tendangan Pamungkas sang ApBal Hurigi Indonesia; Sejumput Kisah Juana Wangsa Putri”, Juana, yang lahir pada 13 Februari 1977, banyak bercerita tentang awal ia berlatih taekwondo, termasuk hambatan serta larangan dari orang tua, terutama ibunya, terkait citra “keras” dari olahraga beladiri. “sejak kecil hingga remaja, Juana sama sekali tidak memiliki pikiran atau bayangan bakal menekuni olahraga beladiri semacam taekwondo yang erat dengan citra keras di mata sebagian orang” (Juana Wangsa Putri)
Namun, dari hari ke hari ia merasa menemukan dunianya di taekwondo, hal tersebut bukan tanpa hambatan karena dibalik itu, Juana Wangsa harus menghadapi ujian lebih berat lantaran kedua orang tuanya melarang aktif dalam taekwondo, berbagai hal dilakukan mereka, terutama ibunya, untuk mencegah Juana berlatih taekwondo. “aku melarangnya karena takut terjadi apa-apa dengannya. Takut dia keseleo dan cacat. Soalnya, taekwondo kan tendang-tendangan gitu. Terlebih lagi, aku juga tidak mau sekolahnya gagal.” “aku gunting pakaian seragamnya supaya dia tidak main taekwondo lagi” (Lusia, ibunda dari Juana Wangsa Putri) Akan tetapi semua usaha itu gagal karena Juana Wangsa Putri tetap berlatih secara diam-diam dengan menggunakan seragam yang dipinjamkan oleh teman-temannya. Dia tetap berlatih meskipun latihannya keras namun ikatan jalinan persaudaraan di dalamnya membuatnya nyaman dan percaya diri. Bertanding dari satu kejuaraan tingkat daerah hingga kejuaraan-kejuaraan lainnya sampai level internasional yang akhirnya mengantarkannya menjadi juara dunia Taekwondo pada tahun 2003. Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar tersebut dalam cabang olahraga beladiri taekwondo. Juana mengabdikan diri sepenuhnya kepada negara hingga pertandingannya yang terakhir yakni Asian Games XV di Doha, Qatar, di usianya yang ke 29 tahun, usia yang cukup tua untuk seorang atlet profesional. Dapat dikatakan, hidup Juana Wangsa Putri pada masa produktifnya, ia abdikan dengan memilih jalan untuk menjadi atlet olahraga keras, yakni taekwondo.
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
6
Lain halnya dengan seorang mantan atlet terbaik regional Sumatera, yang bernama Suzan Oktaria. “pernahkah terlintas di pikiran kalian, seseorang yang agak tomboi hihihi :D, akan mengikuti pemilihan putri-putrian? Bicara tentang puteri, yang terlintas di pikiranku, Puteri merupakan sosok yang cantik, baik hati, lemah lembut, dan penuh dengan kasih sayang. Dan diriku bukanlah sosok seperti itu, terkadang diriku minder dan selalu merasa tidak cantik, tomboi dan keras kepala” (Suzan Oktaria – Atlet Taekwondo Putri Terbaik Regional Sumatera 2001 & peringkat 6 besar Puteri Indonesia tingkat Sumatera Selatan 2006) Pernyataan tersebut dibuat oleh Suzan Oktaria dalam blog pribadinya. Sekilas kalimat tersebut seolah menggambarkan bahwa perempuan yang tomboi bukanlah sosok yang baik hati, lemah lembut, dan penuh kasih sayang, terlebih lagi Suzan Oktaria adalah seorang mantan atlet taekwondo daerah regional Sumatera, seolah makin menegaskan bahwa pada mulanya ia menganggap bahwa dunia olahraga, khususnya Taekwondo, berseberangan dengan sosok seorang “Puteri”. Pernyataan tersebut menjelaskan apa yang menjadi persepsi Suzan dari citra tubuhnya sendiri sebagai mantan atlet taekwondo. Ia kemudian menyadari bahwa menekuni olahraga keras seperti beladiri, tidak selalu menjadi hambatan bagi perempuan untuk ikut dalam ajang yang menuntut citra feminin seperti kontes kecantikan setelah ia menduduki peringkat 6 dalam kontes Putri Indonesia, sebuah kontes yang menekankan pada pemahaman akan brain, beauty, and behaviour. Bertolak dari pengamatan tersebut penulis merasa perlu untuk memahami konsepsi perempuan taekwondoin akan body image, melihat fakta bahwa perempuan yang menekuni beladiri ini tidak selamanya terkurung dalam satu batasan yang dalam konstruksi gender yang disebut maskulinitas. Sejauh mana perempuan-perempuan taekwondoin ini melihat citra tubuh mereka setelah melewati pengalaman berlatih beladiri taekwondo selama bertahuntahun. Dalam penelitian ini penulis merumuskan sejumlah pertanyaan sebagai berikut: •
Bagaimana pandangan perempuan taekwondoin dalam memandang feminin dan maskulin pada diri seorang perempuan?
•
Bagaimana pola latihan taekwondo yang dijalani mempengaruhi pandangan perempuan taekwondoin terhadap nilai maskulinitas dan femininitas dalam diri mereka
•
Bagaimana citra tubuh yang terbentuk dalam diri perempuan taekwondoin?
Penulis akhirnya memilih empat informan setelah melakukan penjajagan dari sejumlah perempuan taekwondoin yang penulis ketahui memiliki kriteria yang sesuai dengan topik penelitian ini. Keempat informan ini memiliki gaya, usia, bentuk tubuh, dan prestasi yang
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
7
berbeda satu dengan yang lain. Dua informan memiliki penampilan fisik yang sesuai dengan stereotipe perempuan feminin, yakni Ranti dan Carla. Sementara dua informan lainnya memiliki penampilan fisik yang sesuai dengan stereotipe perempuan tomboi, yaitu Bila dan Magda. Kemudian kriteria dibagi lagi berdasarkan umur informan, Carla dan Magda yang masih dalam usia remaja, yaitu masing-masing berumur 17 tahun. Informan Ranti dan Bila yang sudah memasuki usia dewasa, Bila 20 tahun dan Ranti 22 tahun. Magda yang adalah atlet taekwondo usia junior untuk DKI Jakarta, Bila atlet taekwondo usia senior untuk regional Kota Depok. Informan Ranti yang merupakan atlet taekwondo FISIP usia senior untuk ajang Olimpiade UI serta finalis Abang-None Jakarta Timur tahun 2010, informan Carla pernah menjadi tim taekwondo usia junior untuk regional Kota Bandung serta pernah mewakili Jakarta Pusat dalam kontes Remaja Ceria DKI Jakarta tahun 2010 dianggap mewakili kriteria informan perempuan yang feminin secara penampilan fisik dan pernah mengikuti kontes kecantikan yang bertolak belakang dengan dunia maskulin dalam taekwondo itu sendiri.
Gender dan Kecantikan Memaknai arti feminin dan maskulin dari sudut pandang perempuan memiliki keterkaitan dengan memaknai konsep kecantikan. Memberi pengertian tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena menurut Ashad Kusuma Djaya (2007), kecantikan adalah total, mencakup ukuran-ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian (inner beauty) dengan ukuran standar pula, sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati. Kondisi ini sudah menyangkut estetika yang mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138). Kecantikan dan femininitas perempuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas femininitas perempuan. Di sisi lain, perempuan pun akan selalu mencari pengakuan kefemininitasannya dari laki-laki. Hal tersebut biasanya terlihat melalui penggambaran media, saat citra feminin digambarkan melalui simbol-simbol maskulinitas yang direpresentasi oleh perempuan yang menjadi objek seksualnya (Prabasmoro, 2006:
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
8
326). Kala seorang laki-laki digambarkan puas setelah melihat sejumlah perubahan yang dilakukan oleh tokoh perempuan, yang biasanya menjadi lebih cantik secara fisik. Naomi Wolf (2005), menyatakan bahwa kecantikan adalah mitos, yang sayangnya telah mengepung perempuan di semua lini kehidupan. Wolf memakai konsep feminis sebagai slogan perang atas kekaisaran maskulin dan budaya patriarki. Mitos kecantikan telah menciptakan kategori, kualifikasi tentang „cantik‟ yang harus diterima oleh perempuan, di antaranya dengan menjadi feminin dan diatur (Wolf, 2005: 550). Padahal, perempuan akan selalu cantik dengan atau tanpa mitos tersebut, juga harus berusaha keluar dari lingkupnya. Selain itu, perempuan juga harus mampu menekankan aspek kemandirian, kesetaraan, independensi, dan meminta hak menentukan pilihan. Begitupun dalam kasus yang diangkat dalam tulisan ini, memandang mengenai feminitas dan maskulinitas dari para perempuan yang adalah individu-individu yang telah lama menekuni olahraga beladiri yang identik dengan citra maskulin. Tubuh mereka sesungguhnya telah merepresentasikan citra feminin sekaligus maskulin dalam satu kesatuan, namun lingkungan sosial telah membaginya menjadi bagian-bagian yang terpisah, yakni melalui tampilan visual yang menampilkan mereka dalam kategori „maskulin‟ dan „feminin‟, yang sesungguhnya berlawanan. Karena sejarah dari kecantikan itu sendiri memang lekat dengan femininitas atas tekanan yang datang dari kaum maskulinitas. Kecantikan menjadi milik perempuan, tapi atas dasar kebutuhan laki-laki akan bentuk keindahan yang terpancar dari sosok feminin. Sehingga akan menarik untuk melihat lebih dalam, bagaimana dua hal yang selalu menjadi oposisi, terwujud dalam satu kesatuan, yakni perempuan-perempuan beladiri.
Perempuan Taekwondo dalam Lingkup Feminitas Sebelum menelusuri lebih dalam mengenai persepsi masing-masing informan atas tubuh mereka, penulis ingin melihat pandangan stereotip masyarakat mainstream tentang perempuan, yakni penampilan mereka secara kasat mata, bagaimana mereka melakukan perawatan kecantikan, dan bagaimana mereka merawat dan memelihara bentuk tubuh mereka. Seperti yang dipaparkan di atas, penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada perempuan-perempuan yang menekuni olahraga taekwondo sampai tingkat senior. Perempuan-perempuan yang dianggap hampir tidak memiliki sisi feminin karena menyukai olahraga yang identik dengan kekerasan dan bersifat maskulin. Dimulai dengan definisi feminin dan maskulin, masing-masing informan memiliki jawaban yang hampir sama satu sama lain, yakni ciri perempuan feminin adalah perempuan Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
9
yang memiliki karakter bertolak belakang dengan maskulin. Dari informan Magda, menurutnya perempuan feminin tidak hanya dilihat dari penampilannya semata, tetapi juga dari caranya bertutur kata, perempuan yang sudah berpakaian feminin tapi tidak menjaga tutur katanya tidak bisa dikategorikan sebagai perempuan yang feminin. Menurut informan Ranti, menjadi feminin adalah perpaduan antara penampilan fisik dan attitude, selain itu faktor umur yang semakin dewasa juga mempengaruhi kesadaran seorang perempuan untuk tampil dan berperilaku lebih feminin. Informan Bila memiliki pendapat yang sedikit berbeda, dalam pandangannya, perempuan feminin bukanlah perempuan yang memiliki sifat penurut dan kalem seperti yang dikonstruksikan masyarakat. Bila berpendapat, perempuan feminin memiliki kecenderungan untuk bersifat menggoda yakni dengan memamerkan tubuh mereka, terutama yang memiliki bentuk tubuh ideal. Meski begitu, Bila setuju bahwa melihat perempuan feminin tidak hanya dari bagaimana mereka berpenampilan, tetapi juga dari cara mereka berperilaku karena Bila melihat kebanyakan orang masih melihat dan mengkategorikan perempuan feminin hanya dari tampilan luar mereka saja. Informan Carla berpendapat bahwa tampilan fisik adalah yang utama harus menonjol dari perempuan feminin, karena penampilan luar adalah salah satu unsur utama yang dilihat individu ketika mereka berinteraksi dengan individu-individu lainnya. Beralih ke definisi perempuan maskulin dari sudut pandang perempuan yang menekuni olahraga maskulin itu sendiri. Informan Magda yang berpenampilan maskulin menyatakan bahwa memiliki penampilan maskulin seringkali diikuti dengan tanggapantanggapan miring, yang salah satunya adalah terkait dengan masalah orientasi seksual dari perempuan maskulin itu sendiri. Informan Ranti berpendapat bahwa perempuan yang berpenampilan maskulin memiliki sifat kelaki-lakian yang biasanya juga berpengaruh terhadap pemikiran mereka yang cenderung lebih simpel dan cuek. Menurutnya lagi, perempuan maskulin akan dianggap lebih kuat karena cenderung lebih menyukai kegiatankegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Bagi informan Bila, maskulin terwujud dari gerak tubuh seorang perempuan dalam berperilaku dan melakukan sesuatu yang membuatnya berbeda dari perempuan kebanyakan. Sedangkan menurut informan Carla, perempuan maskulin memiliki sifat dan penampilan layaknya laki-laki yang cenderung berantakan dan tidak menjaga penampilan. Terdapat kesamaan pandangan dari masing-masing informan terhadap apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan dari menjadi perempuan yang feminin dan perempuan yang maskulin. Keempat informan berpendapat bahwa kelebihan dari menjadi perempuan yang memiliki penampilan feminin adalah lebih disukai oleh lawan jenis, lebih dapat Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
10
diterima, dan lebih disukai oleh masyarakat karena dianggap tidak keluar dari norma-norma masyarakat. Sedangkan, kekurangan perempuan feminin menurut para informan adalah, karena citra perempuan feminin cenderung dituntut dan dibentuk untuk berperilaku lembut dan penurut maka citra negatif yang muncul adalah mereka dianggap selalu dalam posisi yang lemah, dalam konteks mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang berat dan membutuhkan tenaga sehingga harus selalu dibantu oleh orang lain. Sedangkan kelebihan dari perempuan yang maskulin adalah mereka akan dianggap lebih kuat dan mandiri oleh orang-orang di sekitar mereka. Keempat informan sepakat bahwa kekurangan dari perempuan yang memiliki gaya dan sifat yang maskulin adalah mereka tidak menarik secara fisik bagi laki-laki, cenderung ditakuti, dianggap sebagai teman biasa (disamakan dengan teman lakilaki lainnya), bahkan tidak jarang dianggap sebagai perempuan yang tidak seutuhnya “perempuan”, karena dianggap tidak memiliki sisi lembut yang diharapkan. Berlanjut ke masalah perawatan yang identik dengan perempuan feminin, informan Magda yang berpenampilan tomboy menyatakan bahwa dirinya tidak merawat diri dengan berlebihan seperti perempuan pada umumnya, ia hanya memakai lotion dan minyak wangi. Tetapi menurutnya, perempuan tetap perlu melakukan perawatan kecantikan agar tetap tampil menarik. Dari sudut pandang informan Ranti, perempuan perlu untuk melakukan perawatan kecantikan terutama selagi masih muda, untuk menarik perhatian lawan jenis. Semaskulin apapun penampilan seorang perempuan, akan lebih menarik jika mereka melakukan perawatan diri agar terlihat rapi dan terawat. Ranti biasa melakukan creambath dan waxing untuk perawatan kecantikannya. Informan Bila merasa bahwa melakukan perawatan kecantikan ke salon lebih baik dilakukan tergantung kebutuhan dan tidak perlu dijadikan keharusan bagi perempuan. Informan Bila sendiri mengunjungi salon secara rutin sebulan sekali untuk melakukan manicure, pedicure, creambath, dan lulur. Informan Carla biasa melakukan perawatan kecantikan sendiri di rumah dengan melakukan lulur. Menurutnya perempuan perlu melakukan perawatan kecantikan karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban perempuan untuk membuat penampilannya tetap rapi dan menarik. Seperti yang dikemukakan, perempuan identik dengan melakukan diet demi mengikuti definisi tubuh yang indah dalam masyakat, yang dalam hal ini berarti memiliki bentuk tubuh yang langsing bahkan cenderung kurus. Informan Ranti yang memiliki tubuh kurus dan tinggi semampai menyatakan bahwa dirinya tidak menyukai diet dan menjaga tubuhnya dengan biasa saja, hanya sesekali jika ia merasa bobot tubuhnya bertambah, baru kemudian ia melakukan diet. Perempuan tidak harus berdiet dan tidak harus memaksakan diri untuk melakukan diet karena yang terpenting adalah menjaga pola hidup sehat. Informan Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
11
Magda pun mengaku dirinya adalah tipe yang tidak suka melakukan diet, Magda baru akan melakukan diet jika ia harus menyesuaikan sesuai dengan kelas bertanding yang akan ia ikuti. Tapi dalam pandangan Magda, perempuan perlu untuk melakukan diet karena perempuan yang menarik adalah yang bisa menjaga tubuhnya dengan baik. Semakin langsing dan cantik penampilan seorang perempuan maka akan semakin banyak orang yang menyukai. Informan Bila baru melakukan diet saat ia sudah di bangku kuliah karena bobotnya yang terus naik, ia menyiasatinya dengan mengurangi porsi makan dan berlatih lebih sering daripada biasanya. Menurutnya perempuan tidak perlu melakukan diet jika memang tidak memiliki masalah dengan berat berlebih. Informan Carla menjalani diet dengan mengurangi asupan nasi dan menjaga pola makannya. Dia juga berpendapat bahwa perempuan boleh berdiet jika memang berat badannya berlebih. Masing-masing informan memiliki pandangan masing-masing dan unik terhadap isu seputar masalah gender yang umum dalam masyarakat. Feminin dan maskulin, perawatan kecantikan, dan seputar diet dalam menjaga pola makan. Akan tetapi, di balik pandangan unik tersebut, terdapat hasil akhir yang sama dalam menjawab pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya seorang perempuan bertindak dan berperilaku. Wilde menyatakan bahwa norma-norma keperempuanan telah menekan potensi tubuh perempuan. Perempuan tumbuh dengan mempelajari bahwa tubuh feminin adalah lembut, tidak berotot, pasif, dan rentan (Bartky, 1992: 20 dalam Adams, Schmitke, & Franklin, 2005: 9) Olahraga membagi garis maskulin dan feminin yang mendorong dan memungkinkan perempuan untuk menerima batas-batas fisik yang telah ditempatkan pada mereka. Dalam artian adanya keterbatasan secara fisik yang dimiliki oleh perempuan secara biologis pada akhirnya akan mengembalikan perempuan kepada perannya yang dekat dengan wilayah domestik.
Oleh karena itu, perempuan enggan untuk membebaskan diri dari stereotipe
gender tradisional (Wilde, 2007: 6). Konstruksi gender telah menciptakan aturan-aturan sosial yang memaksa untuk menyesuaikan diri dengan hegemonik, standar heteroseksual untuk identitas feminin dan maskulin (Butler, 1990: 270). Meskipun
keempat
informan
adalah
perempuan yang menekuni olahraga beladiri Taekwondo dan telah berlatih hingga tingkat senior, pola pikir mereka masih sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal dan stereotip yang berkembang dalam masyarakat umum mengenai definisi yang terkait dengan masalah gender, pembagian peran feminin dan maskulin. Lamanya waktu yang dihabiskan para informan untuk menekuni olahraga beladiri ini nyatanya tidak cukup untuk menggeser persepsi mereka akan definisi feminin dan maskulin yang merupakan hasil belajar sosial
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
12
mereka dalam lingkup keluarga dan lingkungan sosial tempat di mana mereka melakukan interaksi.
Stereotipe Perempuan Taekwondo Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berpartisipasi dalam olahraga yang lekat dengan stereotipe laki-laki (Wilde, 2007: 5). Zimmerman dan Reaville (1998, dalam Wilde, 2007: 5) melaporkan bahwa jumlah anak perempuan dan perempuan dewasa yang berpartisipasi dalam olahraga yang sifatnya kompetitif seperti sepak bola, tinju, dan gulat, telah semakin meningkat. Mereka juga menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam olahraga ekstrim (atau “olahraga X”) seperti snowboarding, skateboard, dan inline skating, juga meningkat. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi terhadap kecenderungan atlet wanita meningkat dalam jangkauan yang lebih luas dari olahraga adalah gagasan bahwa perbatasan antara kedua jenis kelamin tampaknya kurang berperan di kalangan generasi X'ers. Faktor lain mungkin bahwa definisi yang lebih luas dari kaum hawa mulai berkembang sebagai akibat dari perempuan menantang stereotip gender "tradisional" yang digunakan untuk mendefinisikan mereka. Perilaku gender tertentu, yang biasanya dikaitkan dengan feminitas dan maskulinitas, yang sebenarnya adalah paksaan dari sistem heteroseksualitas normatif (Butler, 1990: 270). Sebuah definisi yang memungkinkan ruang yang lebih besar dalam kemampuan perempuan untuk mengklaim definisi "keperempuanan" dan "femininitas". Faktor selanjutnya adalah mungkin bahwa kehadiran perempuan dalam jenis olahraga membantu memecahkan banyak stereotip gender tradisional, sehingga memberikan perempuan keberanian dan harga diri untuk berpartisipasi dalam berbagai olahraga dan kegiatan fisik (Wilde,2007: 5).
Taekwondo dan Body Image: Dekonstruksi nilai Femininitas Masyarakat mengharapkan perempuan untuk mengadopsi dan memenuhi spesifikasi peran dan stereotipe gender sesuai yang telah ada dalam masyarakat (Wilde, 2007: 1). Di sisi lain, permasalahan citra tubuh merupakan bagaimana individu menerima dan juga merasakan serta menginterpretasikan tentang tubuhnya. Persepsi mengenai citra tubuh bukanlah hal yang obyektif atau merupakan opini dari orang lain, seseorang dengan citra tubuh yang buruk bisa saja secara fisik cantik dan menarik di mata orang lain, dan seseorang dengan citra tubuh yang baik bisa saja dianggap tidak menarik secara fisik oleh orang lain (Thompson, 1996). Informan Magda yang memiliki penampilan tomboi tidak merasa memiliki masalah untuk berpenampilan dan bersikap maskulin. Meskipun, ibunya sudah memberitahu untuk mulai Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
13
mengurangi sisi maskulinnya dan belajar untuk menjadi sedikit lebih “perempuan”. Bahkan, Magda sempat merencanakan untuk masuk ke sekolah tinggi Angkatan Laut selepasnya ia dari SMA, namun rencananya tersebut batal dikarenakan usianya yang belum memenuhi syarat. Saat ini ia mempertimbangkan untuk melanjutkan studinya ke jurusan ilmu hukum di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal yang ada di Jakarta. Informan Magda sejak kecil menyukai hal-hal yang maskulin dan menjadi tomboi membuat dirinya merasa nyaman dan apa adanya. Oleh karena itu, ketika akhirnya ia memilih untuk menekuni olahraga beladiri taekwondo, ia tidak terlalu merasakan banyak perubahan yang terjadi antara sebelum dan sesudah ia mengikuti taekwondo. Perubahan yang ia rasakan justru dari lingkup sosial, Magda merasa ia memiliki lebih banyak teman yang loyal di lingkungan taekwondo. Lalu informan Ranti yang sejak kecil sudah diajarkan menjadi mandiri oleh sang ayah karena ia adalah anak sulung. Karena itu, ayah Ranti merasa perlu untuk mengikutsertakan ia dalam kegiatan beladiri. Ranti sendiri jatuh cinta terhadap taekwondo, menurutnya beladiri ini memiliki banyak unsur keindahan dalam gerakan-gerakannya. Faktor itulah yang menyebabkan ia rela berlatih dengan keras, seperti berlari tanpa alas kaki menyusuri daerah pasar tradisional hingga berkubang mandi lumpur saat latihan alam di daerah Puncak. Hasil yang ia rasakan adalah ia menjadi lebih kuat, lebih peduli terhadap kesehatan, dan lebih percaya diri serta optimis dalam menjalani sesuatu. Dimulai dengan latihan renang dengan alasan penyembuhan bagi penyakit asma yang dideritanya, informan Bila akhirnya menjatuhkan pilihannya pada olahraga beladiri taekwondo yang pada saat itu sudah lebih dulu ditekuni oleh kakak laki-lakinya. Lahir dalam keluarga yang memiliki latar belakang beladiri membuat informan Bila mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya sebagai seorang taekwondoin. Penulis melihat bagaimana seluruh anggota keluarganya yang ada bersamanya mendukung pada saat ia bertanding di ajang Trisakti Cup di GOR Grogol pada Juli 2012 lalu. Saat itu ayah, ibu, dan adik perempuannya datang dan mendampingi Bila sejak pagi hingga selesainya pertandingan pada malam hari. Ayahnya yang seorang mantan reporter olahraga dengan setia mendampingi Bila di sisi lapangan sambil terus merekam dengan video kameranya. Penulis merasakan bentuk dukungan yang sangat luar biasa terhadap Bila dari keluarganya. Perubahan yang dirasakan Bila secara mental membuat dirinya mampu dengan cepat beradaptasi dalam membedakan kawan dan lawan saat di dalam dan luar lapangan pertandingan. Perubahan secara fisik terlihat jelas dari bentuk tubuhnya yang sangat bugar sebagai hasil dari program pemusatan latihan kota Depok yang mengharuskan semua atlet-atletnya, baik laki-laki Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
14
maupun perempuan, untuk berlatih angkat beban. Keadaan tersebut membuat Bila merasa sedikit tidak nyaman dengan bentuk tubuhnya yang maskulin, apalagi jika teman-temannya mulai membandingkan dirinya dengan temannya yang memiliki tubuh kurus dan memiliki profesi sebagai model yang jelas sangat berlawanan dengan profesi Bila. Namun karena ia merasa masih memiliki kontrak dengan pelatihan taekwondo kota Depok maka ia mencoba untuk merasa nyaman dengan tubuhnya. Informan Carla yang melihat citra tubuh perempuan taekwondoin adalah bertolak belakang dengan ciri perempuan feminin merasa nyaman dengan identitas dirinya yang adalah atlet taekwondo. Ia merasa memiliki dua karakter sekaligus di dalam dirinya, maskulin dan feminin. Carla mengakui lebih nyaman berada di tengah-tengah teman berlatih taekwondonya, namun ia menyadari bahwa dirinya harus kembali ke peran perempuan sebenarnya yang feminin, bisa berdandan, dan terlihat anggun. Peran ayahnya memang cukup menonjol dalam mengarahkan Carla, sejak memperkenalkannya ke dunia seni beladiri, ayahnya seolah tidak ingin membiarkan Carla untuk terus-menerus berkecimpung di dalamnya. Oleh karena itu, ayah Carla dengan agak sedikit memaksa Carla untuk mengikuti ajang Remaja Ceria tersebut untuk bisa lebih menampilkan dirinya sebagai perempuan yang femini, apalagi Carla memang memiliki fisik yang sesuai dengan definisi cantik dalam masyarakat Indonesia. Sekarang pun, Carla lebih suka menyebut dirinya sebagai perempuan yang memiliki karakter feminin namun memiliki kelebihan dibandingkan perempuan feminin kebanyakan, yakni dalam hal kemampuan menjaga dirinya sendiri. Secara historis, perempuan dan femininitas telah didefinisikan dalam kaitannya yang kontras, yaitu bersifat laki-laki dan maskulinitas. Olahraga dan dunia olahraga telah terikat dengan domain maskulin, dan telah ada warisan bias terhadap atlet wanita. Dalam beberapa dekade terakhir, kecenderungan ini telah coba untuk dihadapi dan ditantang. Perempuan telah distereotipekan secara sempit, diberikan kesan negatif, dan dibatasi ide bahwa mereka seharusnya tidak berpartisipasi dalam olahraga. Keringat yang berlebihan akibat olahraga dianggap menunjukkan agresi, atau persaingan, dan dianggap mulai memasukkan kekuatan fisik dan kecakapan atletik dalam definisi femininitas. Akibatnya, stereotipe tradisional untuk perempuan perlahan-lahan telah berubah dan berkembang. Hal ini kemungkinan akan membuat perempuan berhenti merasa bahwa mereka harus memilih antara olahraga dan feminitas. McClung dan Blinde (2002, dalam Wilde, 2007) menyatakan bahwa stereotipe gender dalam olahraga masih bertahan. Masyarakat memiliki pandangan bahwa perempuan yang menekuni olahraga maskulin lekat dengan stereotipe sebagai tomboi, maskulin, bahkan tidak Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
15
jarang dianggap lesbian seperti yang dialami oleh Magda. Pada penelitian ini, keempat informan mengaku bahwa orang sekitar mereka akan selalu memberikan kesan sesuai dengan penampilan yang mereka tampilkan. Informan Magda dan Bila sebagai tomboi, dan Ranti dan Carla sebagai feminin. Citra tubuh ke-empat informan dalam penelitian ini berbeda-beda, karena persepsi mengenai tubuh adalah bersifat subyektif, terlepas tentang bagaimana stereotipe gender yang selalu menyertainya. Meski demikian, citra tubuh dipengaruhi oleh budaya di sekitar individu dan cara bagaimana budaya mengkomunikasikan norma yang ada tentang berat badan, ukuran tubuh, bentuk badan dan daya tarik fisik. Pengaruh budaya yang terkadang menjadi sangat kuat, sering menekan individu dalam suatu kondisi yang menyebabkan individu mendapat gambaran khas tentang tipe tubuh yang ideal, yang sering kali bertentangan dengan realita yang ada pada tubuh individu (Thompson, 1996). Selain pengaruh budaya dalam masyarakat, citra tubuh informan disini juga dipengaruhi oleh sejauh mana mereka telah berlatih olahraga beladiri Taekwondo. Membandingkan stereotipe gender tentang perempuan dalam pandangan tradisional dengan perempuan dalam olahraga di abad 21, sangat jelas bahwa atlet perempuan saat ini mulai berani menunjukkan diri mereka dalam bidang olahraga. Kemampuan mereka untuk menantang batasan perempuan dalam hal penampilan fisik, kemampuan secara atletis, dan berpartisipasi dalam olahraga telah menunjukkan peningkatan keterlibatan mereka dalam dunia olahraga yang identik dengan maskulinitas. Tetapi bagaimanapun, stereotipe tradisional mengenai perempuan akan terus menjadi tantangan yang akan terus ada dan melekat (Wilde, 2007: 1) Menekuni olahraga beladiri, dalam kasus ini taekwondo, yang dikategorikan dalam ruang lingkup maskulin seperti yang dilakukan oleh para informan, pada dasarnya adalah sebuah proses dekonstruksi dari nilai-nilai kefemininan akan tubuh perempuan. Nilai-nilai stereotipe tradisional dalam masyarakat yang seolah menuntut perempuan untuk berlaku dan bertindak dalam posisi yang pasif dan jauh dari kesan agresif baik secara penampilan dan sifat diarahkan menjadi suatu hal yang relatif dan dinamis. Dalam kasus ini terlihat dari informan Magda dan Bila yang memiliki bentuk tubuh yang atletis layaknya laki-laki namun masih terkonstruksi oleh nilai-nilai feminitas dalam masyarakat. Di sisi lain, informan Ranti dan Carla yang memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan stereotipe feminin pada kenyataannya sangat menikmati identitas mereka sebagai perempuan yang aktif berlatih beladiri taekwondo dan tidak sungkan untuk mengakui hal tersebut kepada lingkungan tempat mereka bersosialisasi. Informan Carla secara gamblang menyatakan bahwa meskipun ia menikmati masa-masa saat ia mengikuti kontes Remaja Ceria, namun ia masih lebih Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
16
nyaman berada di lingkungan di mana ia biasa berlatih taekwondo. Bahkan, menurutnya identitasnya sebagai atlet taekwondo adalah salah satu cara baginya untuk mendapatkan „peran‟ untuk tetap eksis dalam kehidupan sosial di lingkungan sekolahnya. Atlet-atlet perempuan sekarang ini percaya bahwa femininitas memungkinkan ruang bagi perempuan untuk memposisikan diri sebagai atlet sekaligus sebagai makhluk yang normatif gender. Apa yang ingin mereka perjuangkan adalah dengan menemukan sebuah istilah yang menggambarkan ruang tersebut (Adams, Schmitke, Franklin, 2005: 28). Masingmasing informan telah menjelaskan tentang alasan mengapa mereka bertahan dalam olahraga beladiri maskulin ini. Mereka sendiri mencoba untuk memposisikan diri secara netral dalam masyarakat, dalam arti mereka mencoba untuk tetap menjadi perempuan namun yang juga adalah seorang taekwondoin. Ada alasan kuat di balik perjuangan mereka untuk terus tekun berlatih selama bertahun-tahun, yakni adanya kenyamanan dan rasa menjadi diri sendiri saat harus berlari, menendang, memukul, dan lain sebagainya. Informan Carla dan Ranti yang memiliki penampilan sesuai dengan stereotipe feminin mengatakan bahwa mereka seringkali dianggap tidak sesuai dengan citra seorang atlet beladiri. Padahal, mereka telah berlatih sejak usia muda dan masing-masing telah menyandang sabuk merah dalam taekwondo. Peran mereka adalah untuk menunjukkan bahwa fisik yang cantik dan terlihat terawat tidak selalu mencerminkan kepribadian mereka yang sesungguhnya. Informan Ranti telah menceritakan mengenai pengalamannya berlatih dari jejeran pasar hingga berkubang di lumpur, dan informan Carla mengatakan bahwa ia hanya melakukan perawatan kecantikan di rumah saja, selain itu ia juga menyatakan lebih nyaman berada di lingkungan taekwondo. Hal tersebut membuktikan bahwa nilai femininitas tidak akan selalu ideal sebagaimana hal tersebut terlihat dari penampilan luar seorang perempuan. Kedua informan ini membuktikan bahwa mereka adalah perempuan yang cantik sekaligus tangguh. Bordo (1993) menjelaskan bahwa perempuan saat ini juga harus memiliki banyak asumsi yang berstereotipe maskulin, yakni pengendalian diri, tekad, ketegasan, disiplin secara emosional, dan sebagainya (Adam, Schmitke & Franklin, 2005: 20). Sifat pasif, tenang, dan kepatuhan tidak lagi mewakili kenormatifan perempuan. Gender sesungguhnya tidak terikat pada fakta material tubuh tetapi semata-mata adalah sebuah konstruksi sosial, sebuah fiksi, yang, oleh karena itu, terbuka untuk perubahan (Butler, 1990: 273). Perubahan norma dan selama beberapa periode melawan persepsi telah membuka peluang bagi kesempatan perempuan untuk melawan ideologi dominan dari stereotipe gender dan men-dekonstruksi nilai budaya yang telah ada. Hal ini bisa dipastikan lambat laun akan mengubah pengertian tentang femininitas yang ideal dalam masyarakat. Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
17
Kesimpulan Melihat perempuan yang menekuni olahraga beladiri memang bagai melihat benturan antara nilai-nilai tradisional dalam gender. Perempuan-perempuan tersebut seolah menembus batas antara feminitas yang lembut, pasif, dan bergantung, dengan maskulinitas yang kuat, aktif, dan melindungi. Hal tersebut membentuk stereotipe dari citra seorang perempuan taekwondo. Dianggap tidak feminin, tidak cantik, bahkan tidak „perempuan‟. Padahal kenyataannya, pengalaman berolahraga keras bagi perempuan-perempuan ini adalah sebuah sarana untuk mendapatkan pleasure dalam lingkup yang dibatasi dari ruang mereka. Pleasure di sini adalah suatu bentuk hasil dari pengalaman mereka dalam melakukan latihan intensif, disiplin diri dalam berlatih dan berkompetisi, bersaing dalam kompetisi, mengalami cedera, dan mendapatkan kemenangan. Hal-hal tersebut terkumpul dalam sebuah ruang ekspresi yang biasanya dianggap tidak lazim bagi perempuan, sehingga perempuan yang melakukannya mendapatkan kepuasan lebih. Perempuan yang aktif berlatih dan berprestasi juga mengubah stereotipe heteroseksis tentang perempuan yang melakukan kegiatan olahraga, selain juga sebagai pembuktian bahwa perempuan bisa berkembang dan melawan gagasan stereotipe tradisional mengenai feminitas dan maskulinitas. Mengenai persepsi informan tentang konsep feminin dan maskulin, meskipun keempat informan adalah perempuan yang aktif menekuni beladiri dan telah mencapai tahapan senior, pola pikir mereka masih dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang dalam masyarakat umum mengenai peran feminin dan maskulin dalam masyarakat. Bahwa perempuan feminin harus terlihat secara attitude, bisa menjaga penampilan, dan mampu merawat diri dengan baik. Tahapan berlatih taekwondo selama bertahun-tahun tidak cukup mengubah pemikiran mereka mengenai definisi dari feminin dan maskulin yang adalah hasil belajar sosial dan budaya mereka. Hal yang berubah dari para perempuan ini adalah bagaimana mereka melihat kehidupan menjadi lebih positif, memiliki gaya hidup yang lebih sehat, menjadi lebih berani, dan hal lainnya yang membentuk diri secara kepribadian dibandingkan hal yang sifatnya fisik. Hal tersebut adalah sebuah bentuk proses dekonstruksi nilai-nilai kefemininan tradisional dari tubuh perempuan yang sifatnya kaku dan statis menjadi lebih dinamis dan relatif. Perempuan bisa terlihat feminin dan lembut, namun bukan berarti mereka tidak memiliki kekuatan, begitupun sebaliknya, perempuan bisa terlihat tomboi, tetapi bukan berarti mereka tidak merawat diri. Kasus pada perempuan taekwondoin ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai femininitas dalam masyarakat bisa berdampingan dengan satu bentuk kekuatan maskulin yang menghasilkan suatu pembaharuan atau dekonstruksi dari
arti
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
18
perempuan yang ideal dalam masyarakat. Feminin tidak lagi mewakili hal yang bersifat lemah, nilai-nilai femininitas harus memiliki banyak asumsi yang juga memiliki unsur stereotipe maskulin, tentang pengendalian diri, tekad, disiplin, dan ketegasan dalam segala hal. Hal tersebut dapat dibuktikan, salah satunya melalui olahraga. Persoalan citra tubuh atau body image adalah hal yang sifatnya personal dari individu dalam memandang diri dan tubuh mereka sendiri, yang dalam kasus ini secara langsung maupun tidak langsung, dipengaruhi oleh budaya dalam masyarakat dan kebiasaan mereka dalam berlatih beladiri taekwondo. Masing-masing informan memiliki citra tubuh yang berbeda-beda dalam memandang bagaimana perempuan feminin yang ideal dan bagaimana mereka memandang tubuh mereka sendiri. Pada intinya para informan memiliki citra tubuh yang positif terhadap tubuh mereka masing-masing. Dua informan yang memiliki gaya keseharian yang merepresentasikan penampilan tomboi memang merasa agak sedikit terganggu dengan stereotipe orang-orang bahwa mereka adalah perempuan yang kuat dan jauh dari kesan feminin, tetapi hal ini tidak menjadi masalah besar karena mereka lebih peduli terhadap penilaian orang-orang dekat yang memang mengerti karakter mereka yang sesungguhnya. Kedua informan lainnya yang memiliki penampilan sesuai dengan stereotip feminin pun merasa nyaman, apalagi penampilan mereka sesuai dengan konsep perempuan ideal dalam masyarakat. Hanya saja, mereka merasa perlu untuk lebih menegaskan bahwa mereka adalah perempuan yang menekuni beladiri taekwondo karena seringkali penampilan mereka membuat orang berpikir bahwa mereka lemah. Tetapi bagaimanapun, para informan tetap memiliki sisi feminin dalam keunikan mereka masing-masing terlepas dari stereotipe gender yang lekat dengan mereka. Bila yang maskulin dan Ranti yang feminin rutin pergi melakukan perawatan ke salon, sedangkan Magda yang maskulin dan Carla yang feminin merasa tidak terlalu perlu untuk pergi ke salon. Fakta tersebut bertolak belakang dengan stereotipe gender feminin dan maskulin dalam masyarakat, dimana perempuan yang terlihat feminin akan dianggap lebih banyak melakukan perawatan dibandingkan dengan perempuan yang terlihat maskulin. Perempuan yang giat melakukan olahraga adalah bagian dari proses dekonstruksi dari nilai-nilai femininitas. Citra tubuh keempat informan telah memperlihatkan bahwa feminin dan tomboi tidak bisa dilihat melalui penilaian secara fisik semata. Informan yang terlihat feminin tidak selalu memiliki sisi feminin yang utuh dalam dirinya. Begitupun sebaliknya, informan yang terlihat maskulin tidak selalu merupakan sosok yang kuat di dalamnya. Nilainilai gender dalam masyarakat mungkin melekat dan tetap akan membentuk stereotipe,
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
19
namun gender dalam personal tetaplah suatu hal yang sifatnya subjektif, unik, dan tidak mutlak.
Daftar Pustaka Abdullah, I. 2006
Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Adams, N., Schmitke,A., dan Franklin, A. 2005 „Tomboys, Dykes, and Girly Girl: Interrogating the Subjectivities of Adolescent Female Atheletes‟. Women’s Studies Quarterly, Vol. 33, No. 1/2, hlm. 17-34. New York: The Feminist Press at the City University. Bordo, S. 1993
Butler, J. 1990
Butt, D. S. 1976
Unbearable Weight: Feminism, Western Culture, and the Body. Berkeley, CA: University of California Press. „Performative Acts and Gender Constitution: An Essay in Phenomenology and Feminist Theory‟. Performing Feminisms: Feminist Critical Theory and Theatre. Ed. Sue-Ellen Case, hlm. 270282. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Psychology in Sport, the Behavior, Motivation, Personality and Performance of Athletes. New York: Van Nostrand Rheinhold Company.
Djaja, Ashad Kusuma 2007 Natural Beauty Inner Beauty. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Fakih, M. 1999.
Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kartono, K. 1974
Teori-teori Kepribadian dan Mental Hygiens. Bandung: Alumni
Prabasmoro, A.P 2006
Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Jakarta: Jalasutra.
Pratiwi, D., Aur, Alexander., dkk. 2008 Tendangan Pamungkas sang Ap-Bal Hurigi Indonesia; Sejumput Kisah Juana Wangsa Putri. Jakarta: Pustaka Intermassa. Santrock, J. W.
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.
20
1990
Adolescence. 4th edition. WM.C: Brown Publishers.
Sheridan, C.L. dan Radmacker, S.A. 1992 Health Psychology, Challenging the Biomedical Model. John Wiley & Son, Inc. Taylor, S.E. 1995
Health Psychology. 3rd ed. Mc Graw Hill, Inc.
Terman, L. M. dan Miles, C. M. 1936 Sex and Personality. New York: McGraw-Hill Tilker, H.A. 1975
Development Psychology Today. 2nd Ed. New York: Random House, Onc.
Turner, J.S. dan Helms, D.B. 1995 Lifespan Development (5th edition). Tokyo: Holt, Rinehart, & Winston. Whang, S. C. dan Whang, J. C. 1999. Tae Kwon Do : the State of the Art. Broadway Books. Wilde, K. 2007
Women in Sport: Gender Stereotype in the Past and Present. Women‟s Gender and Studies of Barbara A. Roberts. Canada: Athabasca University.
Williams, N. dan Einrig, H. 1990 The New Guide To Women’s Health. London: Tiger Books International. Wolf, Naomi 2005
(1998)
Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Alia Swastika (penerjemah). Jakarta: Niagara. „Ragunan, Pembinaan Olahraga Jalur Pendidikan‟. Artikel dalam Harian Kompas edisi 19 April 1998, hlm 9. Jakarta: PT. Gramedia.
Website: http://www.artikata.com/arti-187726-tomboy.html, diakses pada 12 Februari 2012, 15:03 wib www.olympic.or.id/index.php/section/gallery/type/1/id/232, diakses pada 31 Januari 2012, 19.07 wib
Universitas Indonesia Citra tubuh..., Cindy Efrilia, FISIP UI, 2013.