Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru Telaah Kritis atas Dokumen-Dokumen Teologis DGI/PGI oleh Julianus Mojau
Tinjauan Teologis
1. Pengantar Karena artikel ini bermaksud memeriksa dokumen-dokumen teologis DGI/PGI maka sulit sekali kami memenuhi permintaan Redaksi INTIM untuk membatasi halaman artikel ini hanya pada +/- 8 halaman saja. Kesulitan ini terkait dengan sulitnya menghindari sejumlah kutipan langsung. Hal itu kami lakukan untuk menghindari salah paham pembaca yang akan memberi kesan bahwa apa yang kami lakukan dalam artikel ini hanya sebuah rekaan penulis semata. Memang kami cukup sadar bahwa sebuah artikel yang terlalu panjang dapat menimbulkan kejenuhan pembacanya. Untuk hal ini kiranya kami dapat dimaafkan. Minat untuk memeriksa secara kritis dokumendokumen teologis DGI/PGI ini muncul karena kami melihat bahwa sejak kelahiran Orde Baru (1966) hingga keruntuhannya (1998) Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam wadah oikumenis Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI; dulu namanya: Dewan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat DGI) memperlihatkan sebuah komitmen sosial secara teologis yang kuat atau yang biasanya disebut dengan partisipasi Gereja dalam pergumulan bangsa sebagaimana dicerminkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah sebuah pilihan sikap politis Gerejagereja di Indonesia yang memberi implikasi tersendiri terhadap citra sosial Gereja-gereja itu sendiri selama Orde Baru. Apalagi kita membaca dalam pesan Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) tahun 1967, yang diselenggarakan sesudah peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto tahun 1966 melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), menyambut komitmen dan janji Orde Baru dengan penuh antusias dan optimistis untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.1 2. Gereja-Gereja di Indonesia dan Proyek Modernisasi Orde Baru Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) mencatat bahwa pembaruan sosial sebagaimana dicerminkan dalam “suasana pasca peralihan
34
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
kekuasaan politik” itu tidak bisa tidak harus ditempuh dengan jalan mengikutsertakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke dalam proses modernisasi. Konferensi menegaskan bahwa masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia harus mau mengembangkan diri menjadi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang modern apabila ingin mewujudkan cita-cita politis yang telah dinyatakannya sejak tahun 1945.2 KGM II tanpa raguragu memberi pesan kepada seluruh pimpinan dan warga Gereja-gereja anggota DGI: Dalam pemikiran Konperensi mengenai pembaharuan masjarakat, modernisasi telah ditempatkan pada pusat perhatian. Konperensi yakin bahwa tjita-tjita untuk mendirikan masjarakat adil dan makmur hanja dapat ditjapai dalam masjarakat Indonesia jang modern. Tempat jang wadjar bagi Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia djuga hanja dapat ditjapai melalui modernisasi. Bahkan untuk “survival” sadja kita harus melaksanakan modernisasi.3 Selanjutnya dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat III (KGM-III) tahun 1976 ditegaskan bahwa modernisasi Indonesia sebagai bentuk pembaruan sosial, ekonomi, politik, dan budaya pasca-peristiwa 30 September 1965 haruslah dipahami sebagai bentuk penghayatan tentang arti sejarah penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai pusat sejarah. Sambil menggarisbawahi logika pemahaman sejarah yang bersifat linear dan Kristosentris sebagaimana ditekankan oleh Latuihamallo4 serta menafikan pemahaman sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa Timur, KGM-II menegaskan hal itu: Dalam kebanyakan masyarakat Timur, terdapat pandangan tentang sejarah sebagai berikut: (1) ada yang memandang sejarah sebagai suatu lingkaran atau siklus; (2) ada yang memandang sejarah laksana siklus-siklus yang susul menyusul satu dengan yang berikutnya menuju ke depan. Panggilan kita dalam hal ini adalah untuk memantapkan di lingkungan Kristen sendiri serta memperkenalkan kepada masyarakat luas, pengertian alkitab tentang sejarah sebagai
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
suatu garis yang mengenal awal dan akhir dan yang bergerak terus ke masa depan, menuju ke kegenapan di dalam Tuhan dan akan diakhiri oleh Tuhan. Dengan demikian adanya tubrukan nilai-nilai diterima sebagai sesuatu yang wajar dalam garis yang selalu terarah ke depan. Derap modernisasi dihadapi dengan sikap terbuka, lebih dari sekedar sikap mengagungkan masa lampau. Pusat sejarah adalah karya Allah di dalam dan melalui Kristus. Dialah yang memungkinkan sesuatu yang sama sekali baru di dalam sejarah. Di dalamNya kita dapat melihat sesuatu yang baru, melalui tindakan Allah di tengah-tengah sejarah.5
Kalau kita memperhatikan sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas ini, kita dapat mengatakan bahwa sikap itu masih sangat terkait dengan isu klasik sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yaitu polarisasi ideologis Indonesia merdeka antara nasionalisme – etnis (yang mentransformasi diri menjadi golongan nasionalis Indonesia dan yang menghendaki Indonesia merdeka sebagai Negara berdasarkan Pancasila), nasionalisme-agama (Islam) dan nasionalisme-komunisme. Konsultasi berpendapat bahwa penerimaan Pancasila secara positif diharapkan dapat memberi dampak positif juga bagi hubungan Dengan kata lain, Gereja-gereja di Indonesia melihat antar-umat beragama yang berbeda di Indonesia. secara teologis bahwa modernisasi, sekalipun Oleh sebab itu, ketika Orde Baru mulai menunjukkan mengandung ambivalensi, harus diterima sebagai kekuasaan hegemonisnya dengan penyederhanaan anugerah Tuhan dan dapat merupakan wahana Partai-Partai Politik ke dalam dua kekuatan politik PDI penyelamatan Allah terhadap masyarakat, bangsa, (Partai Demokrasi Indonesia - fusi antara partaidan negara Indonesia yang sedang membarui partai Nasionalis seperti PNI dan partai-partai Kristen dirinya pasca-peristiwa 30 September 1965 itu. seperti Parkindo dan Partai Katolik; atau kami lebih Mereka yakin bahwa Allah adalah Alfa dan Omega senang menyebut dengan koalisi golongan (Wahyu 21) yang sekarang ini sedang bertindak untuk nasionalis dengan umat Kristen) dan PPP (Partai menyelamatkan dan memperbarui ciptaaan-Nya, Persatuan Pembangunan - fusi Partai-Partai Islam) di termasuk masyarakat, bangsa, dan negara samping GOLKAR (Golongan Karya - satu satunya Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari peserta Pemilu yang dianggap non-partisan) dengan pertentangan ideologis yang membahayakan NKRI.8 dukungan penuh dari ABRI melalui UU No. 3 Tahun 1975, Gereja-gereja menyambut positif kebijakan 3. Gereja-gereja di Indonesia dan Politik Asas hegemonis Orde Baru itu dan dipandangnya sebagai Tunggal Rezim Orde Baru sebuah kemajuan demokrasi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.10 Dalam Konsultasi Teologi tahun 1970 di Sukabumi, para pemimpin Gereja-gereja Protestan di Indonesia memperkokoh keyakinan bahwa proses modernisasi Keberhasilan Orde Baru melalui UU No. 3 Tahun 1975 itu harus dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai dasar tadi semakin membuat Gereja-gereja di Indonesia optimis dengan ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, ideologi Pancasila. Konsultasi, yang menurut hemat Konsultasi Teologi tahun 1979 di Tentena, yang kami mencerminkan pengaruh Simatupang, menandai Gereja-gereja di Indonesia memasuki
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
35
Tinjauan Teologis
Apa yang kita baca dari kedua kutipan di atas mengungkapkan pandangan dan sikap politis dan teologis para pemimpin Gereja-gereja di Indonesia pada awal konsolidasi kekuasaan hegemonis Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa, sekalipun menimbulkan segi-segi negatif (seperti individualisme dan hedonisme), modernisasi dapat menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat dihindari apabila bangsa Indonesia, di mana Gereja-gereja terlibat, melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.6 Sebab, demikian keyakinan mereka, proses modernisasi dipandang dapat membawa beberapa nilai yang mendukung perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat, seperti kebebasan yang memberi manusia otonomi untuk menguasai alam dan tanggung jawab yang memberi manusia untuk bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.7
menegaskan bahwa sekalipun Injil dengan ideologi tidak dapat dipersamakan begitu saja, namun Konsultasi mendorong agar Gereja-gereja memperkembangkan pemikiran teologis mengenai hubungan antara Injil dengan ideologi Pancasila untuk mendorong memperdalam kesadaran warga negara mengenai hak-haknya dan kewajibankewajibannya sebagai warga negara terhadap negara. Sebab, demikian Konsultasi menekankan, sekalipun Pancasila sebagai ideologi tidak mengandung suatu penyataan teologis namun Pancasila sebagai ideologi negera memiliki unsur yang mempersatukan dan menjamin kebebasan para warga negara untuk memuliakan Tuhan menurut kepercayaan dan keyakinan masingmasing. Itulah sebabnya Konsultasi juga menganjurkan agar umat Kristen di Indonesia perlu mempertahankan dan memelihara Pancasila sebagai dasar negara.9
Tinjauan Teologis
dasawarsa 80-an dan satu tahun sesudah Tap MPR tentang P-4 (1978), memberi kesan bahwa persoalan polarisasi ideologi negara telah selesai dengan adanya Tap MPR-RI Nomor II/1978 tentang P-4 itu. Gereja berpendapat bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila tidak lagi perlu dipolemikkan secara polaris antara mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar NKRI dan mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Konsultasi justru berpendapat bahwa tantangan yang paling nyata bagi ideologi Pancasila justru datang dari orang-orang yang mempertanyakan relevansi ideologi-ideologi politik sebagai konsekuensi dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Terhadap tantangan baru itulah Konsultasi menyerukan agar Gereja-gereja di Indonesia mengusahakan relevansi ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu masyarakat Indonesia itu di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Konsultasi menegaskan hal itu:
DGI menyebut hal itu sebagai hal yang sangat bertentangan dengan semangat P-4 itu sendiri.13 Gereja-gereja di Indonesia baru kembali merasa lega ketika GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1983 menggarisbawahi agar Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal bagi Semua Kekuatan Politik.14 Di sini Gereja-gereja kembali menyatakan sikap positif terhadap kekuasaan Orde Baru yang semakin hegemonis itu. Puncak dari sikap akomodatif Gereja-gereja terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang mengatur keseluruhan bidang kehidupan masyarakat Indonesia ialah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada Sidang Raya X DGI di Ambon tahun 1984 dengan mencantumkan dalam Tata Dasar PGI.15
Optimisme Gereja-gereja di Indonesia itu kemudian diinterupsi oleh SKB MenteriAgama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.12 S.A.E. Nababan dalam kapasitasnya sebagai Sekum
Dengan demikian, kami dapat mengatakan di sini bahwa sikap akomodatif Gereja-gereja di Indonesia terhadap Pancasila dan politik Asas Tunggal Orde Baru sebagaimana diuraikan di atas ini lebih mencerminkan sebuah strategi dari posisi tawarmenawar (the strategy of bargaining position) Gereja-
Berdasarkan catatan historis tentang sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila selama hegemonis Orde Baru sebagaimana diuraian di atas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap penerimaan Gereja Mengenai masalah ideologi dalam ikatan terhadap ideologi Pancasila mencerminkan semakin Bangsa kita di tahun-tahun delapanpuluhan ada mengkristalnya koalisi golongan nasionalis (yang lebih dari satu pendapat. Ada yang berpenmempertahankan Pancasila sebagai dasar NKRI) dapat melihat, bahwa dalam perkembangan dengan umat Kristen Indonesia dalam pergerakan sejarah Bangsa Indonesia tidak akan ada lagi kemerdekaan Indonesia. Dalam hubungan ini, kami golongan-golongan yang berusaha menawarberpendapat bahwa menonjolkan semangat kan alternatif baik bagi Pancasila. Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa usaha- nasionalisme umat Kristen Indonesia dalam bentuk pergerakan kemerdekaan Indonesia, baik dalam arti usaha menawarkan alternatif lain bagi Pancapolitis sebagaimana ditekankan oleh Simatupang sila akan tetap terasa di tahun-tahun delapan puluhan dan bahkan meningkat sesuai dengan maupun arti kultural sebagaimana ditekankan oleh kesempatan yang ada. Terlepas dari percaturan Eka, adalah langkah strategi kontra-produktif dalam politik, perkembangan hidup modern itu sendiri, meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di di bawah pengaruh ilmu pengetahuan dan Indonesia. Sebab, dengan menekankan Pancasila teknologi modern, selalu akan mempertanyakan sebagai jalan tengah sedemikian rupa, berarti juga relevansi dari setiap ideologi. Hal itu terjadi di (sesuai dengan kesimpulan kami: penerimaan umat mana-mana. Untuk Indonesia sangat Kristen terhadap Pancasila adalah mencerminkan dibutuhkan dasar-dasar ideologi bagi kehidupan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis bersama. Dengan demikian Pancasila juga dengan umat Kristen) umat Kristen selalu berhadapselalu diuji relevansinya oleh perkembangan hadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara hidup masyarakatnya sendiri dan proses ideologis. Umat Islam dengan “cita-cita ideologis Pembangunan kita. Itu adalah wajar. Yang sendiri” dan umat Kristen dengan “cita-cita ideologis penting bagi kita sekarang adalah bagaimana sendiri” berada dalam koalisi dengan golongan menjadikan Pancasila, yang adalah ideologi pemersatu Bangsa kita kini benar-benar relevan nasionalis. Apalagi penerapan politik Asas Tunggal dalam segala usaha Pembangunan kita. yang diikuti dengan modus pembersihan Dengan perkataan lain: yang penting bagi kita lingkungan16 yang menyertai beberapa peristiwa sekarang adalah pengamalan semua sila seperti kasus Tanjung Priok (1985) dan Lampung secara seimbang dalam perencanaan dan (1989) itu ditengarai sebagai upaya Orde Baru pelaksanaan Pembangunan kita.11 mendepolitisasi aspirasi politik umat Islam.17
36
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
golongan yang lain. Seperti diperlihatkan di atas, umat Islam ideologislah yang paling sering menjadi korbannya, sebab mereka mempunyai cita-cita kebangsaan sendiri. Kami mempunyai keyakinan teologis bahwa persahabatan sejati umat Islam dan Kristen di Indonesia pada masa depan sangatlah tergantung pada seberapa konkret karya pendamaian Allah di dalam Yesus Kristus dialami oleh saudara-saudara kita yang muslim dalam sebuah format teologi sosial pluralis-liberatif/ transformatif-rekonsiliatif Kristen yang tidak lagi mengacu kepada Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia yang bersifat integralistishegemonis. Oleh sebab itu, prospek meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia pada masa depan tidak lagi terletak pada menerima atau tidak menerima Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama, tetapi pada bagaimana menggali semangat teologis liberatif-pluralisrekonsiliatif dari kedua agama Semitis tersebut. 4. Menjadi Tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang Hegemonis
Sekalipun dengan bersikap hati-hati untuk mengidentikkan Kerajaan Allah dengan perjuangan manusia untuk mengusahakan kemajuan bagi kesejahteraan, namun Gereja-gereja di Indonesia juga memahami bahwa Kerajaan Allah menyangkut perdamaian, kasih, keadilan, dan perikemanusiaan. Karena itu, Gereja-gereja di Indonesia juga meyakini bahwa Kerajaan Allah itu mempunyai dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan pemeliharaan hidup. Itulah sebabnya Gereja-gereja di Indonesia— Oleh karena itu, menurut kami, penilaian E.G. Singgih sejak Konsultasi Teologi tahun 1970 dan Sidang Raya DGI VII tahun 1971—tidak hanya mengartikan sangat tepat bahwa selama ini dalam menghadapi Kerajaan Allah itu semata-mata sebagai golongan Islam ideologis atau rezimis, sikap sosial pemerintahan Allah yang bersifat eskatologis saja.23 Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan politis Bagi Gereja-gereja di Indonesia, Kerajaan Allah yang kepenuhannya baru akan dinyatakan pada masa ketimbang pertimbangan-pertimbangan teologis.22 depan itu telah mulai menerobos masuk ke dalam Dokumen-dokumen teologis DGI/PGI selama Orde sejarah bangsa-bangsa yang tanda-tanda Baru lebih memberi kesan kuat bahwa seolah-olah Kehadiran-Nya mulai dialami oleh umat manusia persahabatan umat Kristen yang sejati dengan umat melalui kehadiran Gereja di dalam masyarakat dan Islam, termasuk dengan mereka yang menghendaki bangsa di mana Gereja melaksanakan fungsinya Indonesia dengan dasar Islam (Syariat Islam), hanya sebagai apostolat Allah. Gereja adalah tanda dapat terbangun apabila kita sama-sama menerima antisipatif akan pemerintahan Allah secara definitif pada masa eskaton. KGM-III menjelaskan Pancasila sebagai dasar NKRI. Di tengah-tengah makin maraknya aspirasi Islam rezimis atau ideologis pemahaman diri Gereja-gereja di Indonesia: akhir-akhir ini yang ditopang oleh euforia Reformasi Pada dirinya, gereja harus menjadi tanda pasca-keruntuhan formal kekuasaan hegemonis kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah Orde Baru, sebaiknya Gereja-gereja di Indonesia dunia ini. Secara konkret itu berarti bahwa tidak harus mengulangi strategi kontra-produktif itu gereja menyatakan “kesulungannya” (kepeloporsebagaimana masih sering kita dengar akhir-akhir annya) dengan sedapat mungkin mempengaini. Sudah terlalu sering Pancasila menjadi alat ruhi sejarah dunia ke arah langit dan bumi baru kekuasaan hegemonis tertentu untuk menindas
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
37
Tinjauan Teologis
gereja dan umat Kristen di Indonesia dengan Orde Baru berhadap-hadapan dengan golongan Islam rezimis atau ideologis dan ketakutan yang berlebihan terhadap bahaya komunisme di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perang ideologis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.18 Hal inilah yang menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru tidak mengkritik politik diskriminatif SARA Orde Baru. Kita, misalnya, tidak membaca apa-apa tentang sikap politis Gereja terhadap peristiwa Petrus (Penembakan Misterius, 1984)19, Tanjung Priok (1985), dan Lampung (1989) yang kesemuanya berlangsung seiring dengan penerapan politik Asas Tunggal. Penilaian kami ini memberi kesan berlebihan. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai kesempatan oleh para pemimpin Gereja dan umat Kristen di Indonesia, penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara dan kehidupan bermasyarakat adalah karena komitmen kebangsaan Gereja dan umat Kristen di Indonesia terhadap identitas Indonesia pasca-kemerdekaan politis 1945. Tetapi, jika kita membaca sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia sebagaimana dihimpun oleh Weinata Sairin dalam kumpulan dokumen terpilih DGI/PGI seputar masalah-masalah sosial20, terutama hak-hak kewarganegaraan, penilaian kami itu kiranya tidaklah berlebihan. Dalam dokumendokumen itu, sangat jelas diperlihatkan sebagian besar sikap sosial politis Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mencerminkan pembelaan kepentingan mereka sendiri. Gereja-gereja di Indonesia tidak memberi suara apa pun atas peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan Penembakan Misterius.21
Tinjauan Teologis
dan ikut serta menciptakan struktur kehidupan yang lebih damai, sejahtera dan adil.24 Berdasarkan kesadaran eklesiologis inilah Gerejagereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan ideologis rezim Orde Baru. Gereja-gereja di Indonesia menyatakan kesulungan atau kepeloporan mereka itu dengan berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Mereka percaya bahwa dengan berpartisipasi dalam pembangunan ideologis sebagai manifestasi kesadaran eklesiologis tadi, Gereja-gereja dapat ikut mengatasi penderitaan masyarakat dan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk ketidakadilan sebagai manifestasi dari dosa itu sendiri. KGM-IV (1984), dengan latar belakang pelaksanaannya seperti disinggung di atas, menjelaskan keyakinan teologis sosial Gereja-gereja di Indonesia berdasarkan kesadaran eklesiologis yang baru saja dikutip: Sekarang ini, Allah menempatkan gereja-gereja di dalam proses sejarah Bangsa dan Negara Pancasila yang telah melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Dengan demikian gereja-gereja terpanggil untuk “menterjemahkan” syalom dan kelimpahan yang dianugerahkan Allah kepada dunia, dengan terus menerus berusaha menyatakan tanda-tanda syalom dan kelimpahan itu sehingga menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.25 Kita masih bisa memperpanjang daftar keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia yang dikorelasikan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila itu. Tetapi, hal itu kami akhiri saja sampai di sini. Yang jelas bahwa siapa pun yang memeriksa keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia, baik sebagaimana diartikulasikan dalam KGM-KGM dan Konsultasi Teologi maupun Keputusan-Keputusan Sidang Raya DGI/PGI, akan segera melihat korelasi itu.26 Kami berpendapat bahwa kesadaran teologi sosial yang sangat kuat berkolerasi dengan pembangunan ideologis Orde Baru itu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan Simatupang yang begitu kuat tentang model pembangunan di Indonesia, yaitu model pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Simatupang begitu optimis dengan pembangunan ideologis: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Ia berpendapat bahwa sekalipun Kerajaan Allah tidaklah identik dengan ideologi Pancasila namun Pancasila dengan kelima silanya tidak pula dengan sendirinya bertentangan
38
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
dengan iman Kristen, karena itu dapat diterima secara teologis Kristiani juga. 27 Ini adalah sebuah retorika saja. Sebab, apa yang diharapkan oleh Simatupang dan menjadi nyata dalam kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan tadi sebenarnya dapat juga dikatakan oleh seorang teolog yang kesadaran teologisnya begitu dikendalikan oleh ideologi kapitalisme dan perasaan fobiatik tentang bahaya Islam rezimis dan komunisme. Seharusnya Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang memiliki tradisi teologis - seperti nyata dalam tulisan-tulisan Simatupang cs itu - yang sangat menekankan tradisi teologi monoteistis YahudiKristen yang diwarisi dari kewaspadaan teologis khas Protestantis yang menolak untuk mengidentifikasi Kerajaan Allah dengan segala bentuk perjuangan manusiawi dapat membuat Gereja menjadi sebuah tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang mendekonstruksi kekuasaan hegemonis Orde Baru dengan pembangunan ideologisnya. Tetapi, mengapa Simatupang dan dokumendokumen teologis sosial DGI/PGI begitu optimis dengan model pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila? Bukankah model pembangunan ekonomi Indonesia sebagai pengamalan Pancasila selama rezim Orde Baru itu tidak kalah eksploitatif dan menindas rakyat Indonesia dibandingkan dengan pembangunan ekonomi kapitalisme dan komunisme? Kita dapat mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas adalah sebuh reproduksi kesadaran teologi sosial yang fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme. Reproduksi kesadaran teologis sosial ini hanya akan memperkokoh hegemoni Orde Baru yang berlindung di belakang wacana pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Dalam arti ini pula, kami berani mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia untuk menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia lebih mencerminkan kekuasaan hegemonis Orde Baru. Kerajaan Allah sebagaimana diwartakan oleh Yesus kehilangan makna dan relevansinya. Yang menonjol di sini adalah gagasan tentang Kerajaan Allah khas monoteisme-monarkhial yang bersifat politisideologis dalam tradisi Raja-raja Israel yang tidak didekonstruksi hanya karena alasan-alasan fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme itu.28 Kita perlu mendekonstruksi bangunan struktur epistemologi teologi sosial ini yang membentuk kesadaran eklesiologis palsu di kalangan Gerejagereja Protestan di Indonesia selama kekuasaan
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
5. Kesadaran Oikumenis dalam Politik Ketahanan Nasional Salah satu pergumulan teologi sosial yang penting diperhatikan di sini ialah bagaimana Gereja-gereja di Indonesia memahami keesaan mereka sejak berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tanggal 25 Mei 1950. Tentu saja kami tidak ingin mengulangi apa yang sudah ditulis oleh para ahli sejarah Gereja di Indonesia tentang hal ini.30 Dalam uraian ini, kami hanya ingin memperlihatkan bahwa kesadaran oikumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia itu dihayati dalam hubungannya dengan kehadiran Gereja-gereja di Indonesia di dalam sebuah komitmen politik Orde Baru untuk mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.31
an baru umat manusia di mana perdamaian, keadilan, dan persaudaraan diwujudkan.33 Simatupang menghubungkan hal keesaan gereja itu dengan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Memang keesaan gereja dan kesatuan bangsa tidaklah sama. Jika dalam kesatuan bangsa ada unsur kekuasaan, dalam keesaan gereja tidak ada unsur kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang terpusat tidaklah dikenal dalam keesaan gereja. Dalam keesaan gereja, unsur satu-satunya yang mempersatukan adalah seberapa setia gereja-gereja dan warganya kepada panggilan pembebasan dan persatuan dari Tuhan sebagai kepala Gereja.34 Unsur hakiki dari keesaan gereja inilah yang dapat menjadi alat kesaksian gerejagereja di Indonesia kepada masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhan untuk menyempurnakan dan mengisi kesatuannya. Keesaan gereja-gereja di Indonesia akan memberi sebuah model bagi bangsa Indonesia bahwa kesatuan bangsa hanyalah dapat diwujudkan dengan mewujudkan kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan bagi semua orang yang hidup dalam lingkungan kesatuan itu.35
Simatupang kembali mengulangi gagasan itu dalam ceramahnya pada Sidang Raya VIII tahun 1976 di Salatiga di bawah tema “Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan” dan sub tema “Panggilan Kita untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia”.36 Pemikiranpemikiran Simatupang ini kemudian mengkristal dengan menghubungkan keesaan Gereja-gereja di Indonesia itu dengan pengamalan sila ke-3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Kita mencatat, misalnya, pada Sidang Raya IX DGI tahun 1980 di Tomohon, Simatupang menegaskan pandangannya Pada tahun 1973, T.B. Simatupang di hadapan Sidang sambil mengacu pada sila ke-3 Pancasila: BPL-DGI menyampaikan sebuah ceramah berjudul Dengan menerapkan sila Persatuan Indonesia “Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa”.32 Dalam dalam pembangunan kita, kita meningkatkan ceramah itu, Simatupang menggarisbawahi bahwa solidaritas nasional di antara semua warga pertumbuhan ke arah keesaan dalam Kristus, yang negara, semua golongan dan semua daerah merupakan sebuah keharusan teologis atas dasar hak dan kewajiban yang sama bagi sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri dalam tiap warga negara tanpa memandang asal usul, doa-Nya (Yoh. 17:21), bukanlah semata-mata demi keturunan dan kedudukan sosial. Seluruh kepentingan Gereja-gereja itu sendiri. Memang nusantara kita lihat sebagai satu wilayah yang keesaan untuk mempersatukan gereja-gereja suku tidak dikotak-kotakkan. Sebagai gereja-gereja dan denominasi teologi itu adalah hal yang penting. kita bertanggungjawab mengenai peningkatan Namun, itu bukanlah tujuan satu-satunya, juga persatuan bangsa. Perwujudan keesaan gereja bukan tujuan pada dirinya sendiri. Keesaan gereja yang dalam Tuhan telah kita miliki itu, kita tempatkan juga dalam rangka peningkatan adalah alat kesaksian agar dunia percaya bahwa persatuan dan kesatuan bangsa.37 Yesus Kristus adalah Tuhan yang membebaskan dan mempersatukan semua umat manusia yang terpecah-pecah ke dalam kotak-kotak pemisah etnis, Sejalan dengan apa yang ditekankan oleh budaya, sosial, dan politik ke dalam suatu persekutu- Simatupang di atas, Konsultasi Teologi tahun 1982 di
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
39
Tinjauan Teologis
hegemonis Orde Baru itu. Menurut hemat kami, masalah dengan teologi sosial yang mempengaruhi kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia itu bukanlah terletak hanya pada tema teologis Kerajaan Allah yang khas monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Sebab, demikian Juergen Moltmann mencatat, kemunculan teologi politik di Eropa yang kemudian banyak mempengaruhi teologi-teologi pembebasan sekarang ini (termasuk teologi feminis sendiri) sesungguhnya mengakar dalam tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Hanya saja, demikian lanjut Moltmann, kita perlu ingat bahwa kemunculan teologi politik di Eropa itu tidaklah meneruskan gagasan Kerajaan Allah yang bersifat politis-ideologis sebagaimana ditekankan oleh tradisi Raja-raja Israel. Sebab, kemunculan teologi politik Eropa adalah sebuah bentuk kritik terhadap tradisi teologis monoteitis-politis-ideologis untuk melanggengkan sebuah kekuasaan yang bersifat hegemonis.29
Tinjauan Teologis
Sukabumi, suatu Konsultasi yang dilaksanakan secara khusus untuk mempersiapkan pembentukan Gereja Kristen yang Esa (GKE) di Indonesia dalam Sidang Raya X DGI di Ambon, merekomendasikan agar Gereja-gereja di Indonesia keluar dari ikatanikatan primordial kedaerahan dan denominasional untuk menjadi suatu persekutuan bersama dalam sebuah organisasi bersama. Keesaan Gereja yang ditampakkan dalam bentuk organisasi itu akan menjadi buah sulung di tengah-tengah lembagalembaga lain sebagai tanda keselamatan Kerajaan Allah dan berkat bagi pembangunan bangsa, terutama sekali dalam membina kehidupan bersama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.38 Pemikiran teologis sosial di atas haruslah dilihat sebagai sebuah keyakinan dasar di kalangan para pemimpin Gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia bahwa NKRI adalah sebuah kenyataan kenegaraan dan kebangsaan yang sudah final. Ia adalah suatu entitas politik, sosial, dan kultural yang telah selesai dengan pengakuan kedaulatan NKRI oleh pemerintah Belanda tahun 1949. Kesimpulan kita ini dapat dibenarkan apabila kita memperhatikan sikap KGM-IV tahun 1984 di Bali tentang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam hubungan dengan sila ke-3 Pancasila. Dalam laporan itu ditekankan bahwa:
dukungan terhadap entitas sosial politik NKRI itu tidak merupakan suatu dukungan terhadap suatu yang totaliter, apalagi dalam konteks dasawarsa 80an di mana Orde Baru sudah demikian rupa mengidentifikasi dirinya dengan Negara dengan politik asas tunggalnya? Kami dapat mengatakan secara pasti bahwa kesadaran oikumenis itu mempunyai korelasi dengan politik ketahanan nasional Orde Baru yang dimulai pada Repelita III (1978/1979) dan dikenal dengan sebutan wawasan nusantara. Pesan Sidang Raya VIII yang sudah kami sebutkan di atas jelas-jelas memberi indikasi ke arah kesimpulan kami ini dengan menyebutkan relevansi dari tema dan sub-tema yang dipilih itu terhadap usaha-usaha meningkatkan Ketahanan Nasional.40 6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas ini kita dapat menyimpulkan di sini bahwa citra sosial politik Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru itu lebih dipengaruhi oleh logika kesadaran epistemologis teori sosial dan budaya a la modernisme Weberian dan tafsir kebudayaan Geertzian, yang memiliki kecenderungan kuat mengganggap bahwa “nilai” itu (teologis dan budaya serta ideologi) sebagai “nilai” yang bersifat netral. Struktur bangunan kesadaran epistemologis modernisme a la Weberian dan tafsir budaya Geertzian yang Harapan dan tanggungjawab kita di dalam positivistik itu menghasilkan teologi sosial yang tidak Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan mampu mendorong hidup menggereja Gereja-gereja Pancasila ialah, agar pengalaman-pengalaman di Indonesia dengan menjadikan Injil Kerajaan Allah pahit yang ditimbulkan oleh perpecahan di sebagai berita liberatif dan transformatif serta masa silam yang telah kita bayar dengan membongkar kekuasaan hegemonis Orde Baru. sangat mahal, tidak terulang lagi. Hal itu berarti Sebaliknya, teologi sosial itu menjadikan teks-teks bahwa melalui Pembangunan Nasional sebagai teologis liberatif-transformatif seperti Markus 1:15 dan Pengamalan Pancasila, arti dan makna kesatuan dan persatuan perlu mendapat bentuk Lukas 4:18-20 menjadi berita yang bersifat netral, dan pemantapan pada tingkat kenyataan, tanpa kalau bukan kabar angin dari langit yang kehilangan makna dan daya liberatif. Kerajaan Allah yang mengurangi arti dan makna kebhinnekaan. seharusnya menghambat mengentalnya segala Demikian juga halnya dengan kebhinnekaan harus mendapat hak dan perlindungan tanpa bentuk kekuasaan hegemonik justru telah menjadi menjadi ancaman terhadap persatuan dan berita yang penuh daya transformatif-liberatif itu kesatuan. Melalui dan di dalam proses yang mempercepat menguatnya kekuasaan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan hegemonis Orde Baru di kehidupan politik, ekonomi Pancasila, kesadaran akan persatuan sebagai dan budaya di Indonesia. Dengan demikian, berita kebersamaan dan tanggungjawab bersama Injil Kerajaan Allah atau Injil Yesus Kristus yang hendaknya mendapatkan kondisi dan suasana seharusnya dihayati sebagai berita yang yang cocok dan memadai agar dapat bertummempertanyakan keabsahan rezim Orde Baru dan 39 buh dan mekar secara wajar dan manusiawi. membongkar kekuasaan hegemonisnya justru telah menjadi berita yang membunuh kesadaran kritis Apa yang ditekankan oleh Simatupang dan para umat dan warga jemaat serta warga masyarakat itu pemimpin Kristen lain sebagaimana nyata dari sendiri. Dalam hal ini, mengikuti kebiasaan kaum kesepakatan-kesepakatan bersama yang diuraikan Marxis, teologi dan Gereja telah sungguh-sungguh di atas ini adalah suatu hal yang sangat penting. Ia menjadi pabrik opium yang setiap kali memproduksi adalah suatu sumbangan yang sangat berharga “opium” yang terpaksa dikonsumsi oleh umat dan dalam konteks NKRI sebagai sebuah entitas sosial masyarakat luas untuk menghilangkan rasa sakit politik. Yang menjadi masalah di sini ialah apakah
40
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka untuk sementara waktu.
Catatan Kaki: Bdk. S.A.E. Nababan, Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat. Laporan Konperensi Nasional Geredja dan Masjarakat (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 125 (Bandingkan bidang Politik, hlm. 9 dan Theologia, hlm. 117). 1
Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 9. Bdk. DGI, Karunia Tambah Karunia. 30 Tahun DGI (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 27-33. 2
Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 125 (bdk. seksi Politik, hlm. 9 dan Teologi, hlm. 118-119).
3
1
Pandangan Latuihamallo ini dapat dibaca dalam dua karangannya, yaitu: (a) P.D. Latuihamallo, Renungan Suci tentang Pembangunan Modern. Diucapkan pada tanggal 27 September 1975, hari ulang tahun ke-41 STT Jakarta (Jakarta: BPK Gunung
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
DGI, Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan. Laporan Konperensi Gereja dan Masyarakat (KGM-III), Klender, 15-21 Maret 1976 (Jakarta: BPK, 1976), hlm. 227-228. 5
6 Bdk. Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat (khusus tentang modernisasi) dan Pergumulan Rangkap (khusus tentang Manusia, Pembangunan, dan Modernisasi). 7 Bdk. Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan, hlm. 228.
Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 119-120. 8
Lihat Pergumulan Rangkap: Laporan Konsultasi Theologia tahun 1970, hlm. 30-33. 9
10 Bdk. Berita Oikumene, Agustus 1976, hlm. 23. Itulah sebabnya ketika euforia Reformasi tahun 1998 melahirkan begitu banyak Partai Politik—terutama dengan latar belakang keagamaan—MPH-PGI menyayangkan hal itu sebagai kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Lihat “Pokok-Pokok Pemikiran Majelis Pekerjaan Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) tentang Beberapa Masalah Aktual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VII DPR-RI, Tanggal 16 Juni 1998”, dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pesan-Pesan Kenabian di Pusaran Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), hlm. 25-30 (29).
DGI, Realisme yang Berpengharapan: Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa Delapan Puluhan. Laporan Konsultasi Teologi mengenai Partisipasi Gerejagereja dalam Pembangunan, Tentena, 1-5 April 1979 (Jakarta: DGI, 1981), hlm. 220. Hasil Konsultasi ini kemudian direkomendasikan kepada Sidang Raya DGI IX di Tomohon Tahun 1980. Lihat Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa 1980-an. Bahan Persiapan Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 1980 di Tomohon, hlm. 27. Tampaknya rekomendasi Konsultasi itu diterima dalam Sidang Raya sehingga dalam Keputusan Sidang tentang Garis-Garis Besar Haluan serta Kebijakan Umum Rencana Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa isu ideologi negara dianggap telah selesai, dan karena itu perhatian lebih banyak diarahkan pada bagaimana berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Lihat Datanglah Kerajaan-Mu: Roh Kudus Membaharui Gereja menjadi Saksi dalam Pergumulan Bangsa. Notulen Sidang Raya IX DGI, 19-31 Juli 19980, Manado11
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
41
Tinjauan Teologis
Kesadaran hidup menggereja yang dibangun berdasar jenis teologi sosial yang dipengaruhi oleh logika epistemologi positvisme Weberian itu semakin diperparah oleh kondisi psikologis sejumlah teolog tentang bahaya Islam rezimis/ideologis dan komunisme. Perasaan fobiatik ini telah menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru lebih senang membangun kemitraan atau persahabatan yang kental dengan kekuasaan hegemonis Orde Baru atas nama ideologi Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia a la UUD 1945. Dalam kemitraan dan persahabatan yang kental dengan rezim hegemonis Orde Baru itulah solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan lemah di dalam masyarakat hanyalah sebagai apendiks dalam pembangunan ideologis, yang dikenal dengan jargonnya: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Menurut hemat kami, citra sosial politik Gereja semacam ini perlu diakhiri. Gereja harus membangun citra sosial politiknya dengan mengembangkan kesadaran hidup menggereja yang bersifat liberatif-transformatif. Hanya dengan mengembangkan model hidup menggereja seperti inilah Gereja-gereja di Indonesia dapat benat-benar menjadi Gereja yang menjalankan visi dan misi kemanusiaan yang telah dirintis oleh Yesus Kristus, yaitu dengan jalan menjadi senasib dengan mereka yang dikorbankan oleh kekuasaan hegemonis Romawi dalam kolaborasinya dengan para penguasa lokal di Palestina. Terlepas dari hidup menggereja seperti ini maka Gerejagereja di Indonesia tidak pantas lagi menyebut diri sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus!!
Mulia, 1976); (b) “Missiology and Politcs: Christian Alterness in Indonesia”, dlm. SEAJT, Vol. 10. Number 2-3 (Oktober 1968-Januari 1969), pp. 99-131.
Tomohon, Sulawesi Utara (Jakarta: DGI, 1980), hlm. 174-191. Cetak miring adalah penekanan penulis. 12
Lihat Tanggapan DGI bersama MAWI berjudul Tanggapan DGI-MAWI atas Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Sekretariat DGI dan Sekretariat MAWI, 1980). 13
Lihat S.A.E. Nababan, “Penyelenggaraan Kebebasan Beragama dan Pemeliharaan Kerukunan Beragama”. Ceramah pada Penataran para pendeta yang diselenggarakan oleh DGI, Juli-Agustus 1979, di lima kota di Indonesia yang berbeda. Ceramah ini kemudian dimuat dalam Berita Oikumene, September 1979, hlm. 15-19.
17
Karel Steenbrink mencatat bahwa sekalipun umat Islam dan Kristen sama-sama menerima Pancasila untuk melawan Komunisme yang dipandang sebagai yang mengandung faham ateisme dan sekularisme dan telah memberi dampak terhadap teologi Islam tentang agama-agama lain (khusus Islam), tetapi dengan membatasi peran agama hanya pada urusan-urusan liturgis dan ajaran tanpa ada hubungannya dengan urusan publik, telah menimbulkan rasa frustrasi di sebagaian kalangan umat Islam, terutama Islam politik/rezimis, di mana ia menyebut korban Tajung Priok dan Lampung sebagai bagian dari penolakan umat Islam rezimis atas Pancasila sebagai Asas Tunggal. Karel Steenbrink, “Indonesian Politics and A Muslim Theology of Religions: 1965-1990”, dlm. I.C.M.R., Vol. 4, No. 2, Dec. 1993, pp. 222-246.
Tinjauan Teologis
18
14
Lihat “Pandangan DGI tentang Pancasila sebagai Azas Tunggal bagi Semua Kekuatan Sospol—1983", dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm.307-310. Memang harus dicatat di sini bahwa pencantuman Pancasila sebagai asas satu-satunya dalam Tata Dasar PGI adalah mendahului kesepakatan bersama yang berlangsung di Ancol, Jakarta, 2-3 Desember 1986 yang difasilitasi oleh Bimas Kristen. Juga perlu diingat bahwa PGI menolak sebutan Asas Tunggal sebagaimana diusulkan Eka Darmaputera. Itulah sebabnya PGI keberatan ketika Majalah Tempo menulis sebuah berita berjudul: Asas Tunggal bagi Gereja. Tentang perdebatan dan kesepakatan itu, lihat Berita Oikumene, Desember 1986, hlm. 4-6 dan Berita Oikumene, Januari 1987, hlm. 7-11. Sehubungan dengan sikap menerima dan menyepakati itulah maka pemerintah Orde Baru mengucapkan terima kasih kepada sikap positif Gereja-gereja itu. Lihat Berita Oikumene, Mei 1987, hlm. 4-5. 15 Lihat Memasuki Masa Depan Bersama, hlm. 57 (Tata Dasar Bab III, pasal 5).
Istilah bersih lingkungan adalah sebuah terminologi yang khas dalam politik rezim Orde Baru yang semakin mencuat ke permukaan setelah penerapan politik Asas Tunggal itu. Itulah sebabnya sejak saat itu setiap calon anggota DPR/MPR-RI harus menjalani apa yang disebut dengan litsus (penelitian khusus), apakah mereka terlibat dan/atau termasuk ke dalam salah satu golongan yang diberi label ekstrim kirim (Komunisme/PKI dan Islam Ideologis/Rezimis). Augustin Sibarani melukiskan hal ini secara karikaturis dengan pemeriksaan kuku seperti dilakukan oleh seorang guru SD terhadap murid-muridnya yang tidak membersihkan kotoran kukunya. Lihat Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik, (Jakarta: Garda Budaya dan IASI, 2001), hlm. 187. 16
42
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Kelahiran rezim Orde Baru sendiri tidak dapat dilepaskan dari kondisi psiko-politik secara ideologis pasca-perang dunia kedua. Bandingkan karangan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 35 di atas. Bdk. Benedict R. O’G Anderson dan Ruth T. McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, terj. Galuh HE Akoso, dkk. (Yogyakarta: LKPSM, 2001). 19
Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa antara tahun 1983-1985, ada sekitar 5.000-10.000 orang penjahat atau yang diperhalus dengan gali (gabungan anak-anak liar) dibunuh. Ia menyebut ada tiga alasan pembunuhan itu: (1) sebagai “shock therapy” untuk mengendalikan apa yang oleh rezim Orde Baru disebut para penjahat sosial; (b) adanya upaya untuk menghancurkan hubungan erat antara penjahat dan pejabat; (c) sebagai penyelesaian antara dua jenderal yang bersaing secara kotor. Menurut Nordholt, rupanya para penjahat itu adalah semacam “penjahat yang dilindungi oleh pejabat negara”. Dalam hal ini, ia memberi kesan bahwa Pemuda Pancasila adalah “bandit-bandit politik Golkar dan Istana”. Lihat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 20-22. 20
Di sini kami ingin merujuk kepada kumpulan dokumen terpilih sebagaimana kami sebutkan dalam catatan kaki nomor 10 dan 14 di atas, yaitu dokumendokumen DGI/PGI yang sunting oleh Weinata Sairin. 21
Sejauh dapat kami lacak, hanya ada satu pendeta Protestan yang memberi kritik atas tindakan Orde Baru dengan penembakan misterius itu, yaitu Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo. Lihat Broto Semedi Wiryotenoyo, “Gereja, Mengapa Engkau”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1984, hlm. 17-18. E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 20. 22
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
23
Bdk. T.B. Simatupang, “Penugasan Sidang Raya IX DGI di Tomohon (1980)”, dlm. Berita Oikumene, Maret 1981, hlm. 25-28. Juga bandingkan Keputusan SR IX DGI tahun 1980 tentang “Garis-Garis Haluan serta Kebijakan Umum Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa”, dlm. Datanglah Kerajaan-Mu, hlm. 175.
Melihat Tanda-tanda Zaman, hlm. 214-215. Cetak miring adalah penekanan penulis.
24
32 Artikel ini mulanya merupakan ceramah T.B. Simatupang pada Sidang BPL-DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang. Lihat T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 106-115. 33 Bdk. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman, hlm. 108-110. Juga Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111.
Iman Kristen dan Pancasila, hlm. 111-112.
34
Lihat Kehadiran Kristen....hlm. 111 dan Iman Kristen dan Pancasila, hlm.125. . Bdk. John Titaley, “Gereja Kristen Yang Esa: Konteks Tonggak-Tonggak Sejarahnya”, dlm. Berita Oikumene, Mei-Juni/1991 , hlm. 7-10. 35
36 Bdk. T.B. Simatupang, “Panggilan untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan PGI, Visi Baru untuk Era baru dengan Generasi Baru. Dunia”, dlm. Yesus Kristus Membebaskan dan Laporan Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat Mempersatukan. Notulen Sidang Raya VIII DGI, V, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 12-18 April 1989 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, Salatiga, 1-12 Juli 1976. Lampiran 13, hlm. 432-454. 1989) dan Membangun Masyarakat Pancasila yang 37 T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila Bersatu, Adil, Berdaulat dan Beradab. Laporan (Jakarta: BPK gunung Mulia, 1985), hlm. 138. Cetak Konferensi Gereja dan Masyarakat VI, Pesekutuan miring adalah penekanan penulis. Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di 38 Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1994). Lihat Memasuki Sejarah Bersama, hlm. 57. Bdk. Yesus Kristus Kehidupan Dunia. Laporan Sidang Raya 27 Tentang pandangan Simatupang lihat artikel kami X DGI 1984, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, berjudul: “ Teologi Politik T.B. Siamatupang: Sebuah Ambon (Jakarta: DGI/PGI, 1984) dan Memasuki Masa Telaah Kritis” yang akan diterbitkan dalam Gema Depan Bersama: Lima Dokumen Keesaan GerejaJurnal Duta Wacana, Edisi No. 59 (2003) gereja di Indonesia. Keputusan Sidang Raya X DGI, 21-31 Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon, Maluku 28 Bdk. George V. Pixley, Kerajaan Allah: Artinya bagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986). Kehidupan Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, terj. Aleks Tabe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 39 Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Gereja hlm. 34-49. Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 78. Komitmen Gereja-gereja di Indonesia terhadap NKRI itu secara 29 Dalam hal ini, Moltmann menyebut hegemoni sangat intensif dibicarakan dalam Sidang Raya IV DGI Gereja (catatan: Moltmann sendiri tidak menyebut tahun 1961. Dalam Sidang Raya itu, dengan memilih istilah “hegemoni”—ini adalah penyebutan penulis). Lihat Juergen Moltmann, The Trinity and the Kingdom tema “Yesus Kristus Terang Dunia”, Gereja-gereja secara sangat mendalam membicarakan masalah of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, sosial politik, khususnya masalah disintegrasi 1989), pp. 191-222. bangsa. Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di 30 Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia Indonesia, (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984), hlm. 87. (Yogyakarta: PPIP “Duta Wacana”, 1984). 26
40 Lihat Yesus Kristus Membebaskan dan Studi Institut Oikumene tahun 1973 tentang Mempersatukan, hlm. 323. Kesatuan Bangsa mencatat bahwa ada hubungan yang erat antara kesadaran ekumenis di kalangan Pdt. Julianus Mojau M.Th. adalah dosen STT Intim di Gereja-gereja di Indonesia dengan kesatuan bangsa. bidang misiologi yang sementara melanjutkan Lihat Kesatuan Bangsa. Hasil Diskusi dalam studinya di Yogyakarta
31
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 5 - Semester Ganjil 2003
43
Tinjauan Teologis
Lihat Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 75. Konsultasi Teologi Tahun 1982, sambil mengacu kepada teks-teks kritis dari Nabi Amos dan Matius 23, menegaskan bahwa tugas Gereja ialah “menghadirkan keadilan Kerajaan Allah sebagaimana ditekankan oleh Matius 23:23 adalah sejalan dengan cita-cita Negara Pancasila”. Oleh sebab itu, pembangunan yang berkeadilan sosial haruslah dihayati sebagai pengamalan Pancasila itu. Lihat DGI, Memasuki Sejarah Bersama: Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja. Laporan Konsultasi Teologi, Sukabumi, 15-19 Januari 1982 (Jakarta: DGI, 1982), hlm. 67-70. Cetak miring adalah penekanan penulis. 25
Konsultasi yang bertema Kesatuan Bangsa. Brosur No. 2 tahun 1973 (Jakarta: IOI, 1973), hlm. 21. Juga lihat Notulen Sidang BPL DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang, dengan tema Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa, hlm. 57.