CITRA GURU DALAM KUMPULAN CERPEN SOETJI MENULIS DI BALIK PAPAN TULIS KARYA SN RATMANA
ANDI FIRLIANA WIDIARLI ARUPALAKA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
xiii
CITRA GURU DALAM KUMPULAN CERPEN SOETJI MENULIS DI BALIK PAPAN TULIS KARYA SN RATMANA
Skripsi diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora
oleh
ANDI FIRLIANA WIDIARLI ARUPALAKA NPM 0703010076 Program Studi Indonesia
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
Skripsi ini telah diujikan pada hari Senin, 7 Januari 2008
PANITIA UJIAN
KETUA
PEMBIMBING
Kushartanti, M.Hum.
Sunu Wasono, M.Hum.
PANITERA
PEMBACA I
Mamlahatun Buduroh, M.Hum.
M. Yosefina Mantik, M.Hum.
PEMBACA II
Kushartanti, M.Hum.
Disahkan pada hari
, tanggal
KOORDINATOR
oleh
DEKAN
PROGRAM STUDI
Dewaki Kramadibrata, M.Hum.
Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
ii
Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, Januari 2008
Andi Firliana W. A. 0703010076
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
iii
Sebuah persembahan pertama, dari putri pertama,
kepada:
Ibunda, Ayahanda
Adinda: Rezka, Rezki, Arina
Tak lupa, Rifky di Surga
dan Mas Beny yang tercinta
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
iv
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum wr. wb. Ternyata memang benar bahwa ketika membuat sebuah skripsi, ada saja rintangan yang harus kita dihadapi. Mulai dari gonta‐ganti judul dan topik, laptop terkena virus hingga akhirnya rusak, lupa menyimpan data skripsi di berbagai tempat, selebor menyimpan data/flashdisk, berkali‐kali revisi, gagal bertemu dosen, bolos kuliah, rindu keluarga, sakit, konflik dengan pacar, dikerjai orang di luar kota ketika mencari data, tidak sempat merawat diri, kehabisan tinta printer, kekurangan kertas, kehujanan, kehabisan pulsa, kelaparan, kehabisan uang, kesiangan, ketiduran, mengurangi waktu bermain ataupun berpacaran, hingga mencari sumber bacaan yang sudah tua dan akurat. Ini baru pengalamanku seorang. Bagaimana dengan yang lain? Pasti lebih variatif lagi. Sepertinya semua itu hanya bisa dirasakan ketika kita membuat sebuah skripsi. Segala rintangan tersebut tidak akan mungkin bisa saya lalui tanpa izin dari sang Khalik, Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada kata yang pantas diucapkan pada‐Nya selain syukur dan puji yang sedalam‐dalamnya. Terima kasih , Ya Allah. Karena Engkau, berbagai rintangan tersebut berhasil saya lalui dengan baik dan lancar. Selanjutnya adalah keluarga tercinta yang tidak pernah luput dari ingatan saya: Bunda, Ayah, Rezka, Rezki, Arina (Co’mo’‐ku), Rifky (Alm.), Nenek Puang, Nenek Nura, Mba Nyai, Mas Sono, Kak Lisa, Kak Irma, Yuni, Ibu di Banyuwangi, Mba Fayaqun, Mba Furqon, Rima, Fauzan, serta semua om, tante, dan sepupu lainnya. Kalian selalu hadir di masa‐masa kelam ketika saya mengerjakan skripsi ini. Doa dan bantuan kalian mempermudah langkah ini untuk mencapai nilai akhir yang diinginkan.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
v
Terima kasih kepada pembimbing terbaik yang pernah ada, Bapak Sunu Wasono, M.Hum. Terima kasih atas kesabaran Bapak menghadapi saya yang apa adanya ini. Bimbingan dari Bapak merupakan pengalaman tak terlupakan karena telah membuat saya mengerti bagaimana cara membuat skripsi. Terima kasih juga kepada Ibu M. Yosefina Mantik, M.Hum. dan Mba Kushartanti, M.Hum. yang sudah bersedia menjadi pembaca skripsi saya. Terima kasih atas masukan serta waktu yang diberikan, mengingat Ibu Fina dan Mba Kiki sedang sibuk‐sibuknya mengurus nilai‐nilai mahasiswa lain. Terima kasih juga kepada Mba Mamlahatun, M.Hum. selaku panitera dalam sidang saya. Selain itu, saya juga ingin berterima kasih kepada dosen‐dosen Program Studi Indonesia: Ibu Dewaki Kramadibrata, Ibu Pamela L. Kawira, Ibu Felicia N. Utorodewo, Ibu Riris K. Sarumpaet, Ibu Indra, Ibu Nitrasattri, Ibu Edwina Satmoko, Ibu Priscilla F. Limbong, Bapak Liberty, Bapak Harimurti Kridalaksana, Bapak Djoko Kentjono, Bapak Muhadjir, Bapak Frans Asisi Datang, Bapak Maman S. Mahayana, Bapak Syahrial, Bapak Yoesoev, Bapak Umar M., Bapak Rasyid Sartuni, Mas Ibnu Wahyudi, Mba Niken, Mba Dien, Mba Ratna, Bang Asep, Bang Daniel, dan semua atas ilmu dan pelajaran yang diberikan. Terima kasih juga kepada pihak‐pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini: bapak‐bapak di PDS H.B. Jassin, khususnya Mas Endo, berkat kebaikhatian Mas Endo, saya bisa membeli buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis di H.B. Jassin. Selain itu, wawancara dalam skripsi ini pun tidak akan bisa terwujud tanpa bantuan dari sepupu yang baik, Kak Dondy. Terima kasih atas segala informasi dan bantuannya sehingga saya bisa sampai ke Tegal. Selanjutnya adalah Bapak SN Ratmana, terima kasih atas kesediaan Bapak yang mau diwawancarai oleh saya. Bapak benar‐benar sosok guru yang baik dan hebat. Mohon maaf karena tiga hari kemarin sudah merepotkan Bapak dan keluarga. Saya, Lhies, dan Lisa benar‐benar menikmati perjalanan kemarin. Salam untuk Ibu Ita dan suami serta Dik Bagus dan kakaknya yang lucu.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
vi
Kepada teman‐teman IKSI 2003 yang keren abiz: Irma (sohib yang rame), Arne (inget! Just the two of us!), Kelik (pria baik hati, pelindung semua wanita iksi 2003), Atre (pinter‐pinter pilih model poni, Tre), Yovie (sosok yang selalu hadir di tengah‐tengah kegalauan), Rincut (wets, Mamet! Walau hanya sesaat, tapi banyak yang bisa dikenang), Nelly (the bipa girl. Tenkyu for making one of my dreams come true. Jangan ragu‐ragu untuk menghubungi gw kalo‐kalo butuh model iklan ☺), Nia (teman yang selalu ceria. Kapan merit?), Lia (pertemuan yang singkat), Etik (si kecil‐kecil cabe rawit. Kayanya kita baru deket pas masa‐masa gw skripsi. Masih nunggu di Stasiun?), ‐I‐ (the sport girl), Amel (terlihat jutek, namun ternyata baik hati), Yunita (pertemuan yang singkat), Harry (pria baik hati, pujaan semua wanita iksi 2003), Amir (pria baik hati, penolong di iksi 2003. Semoga skripsinya lancar, ya Mir!), Rio (pria metroseksual iksi 2003 yang baik hati. Hehehe..), Rendra (predikat mas ganteng tetep lo yang pegang, Ren!), Ino (si jago kartu), Teteh (teman yang kocak. Orang pertama yang gw kenal di iksi 2003), Indah (pertemuan yang singkat), Luizta (sosok yang selalu ingin “bersaing” dengan gw dalam hal apapun, tetapi selalu gagal. Apalagi masalah kepopuleran. Hwahahaha… :p), Lauwrens (pertemuan yang singkat), Afwa (pria baik hati, pendiam di iksi 2003), Nurul (pertemuan yang singkat), Ika (sosok guru sejati), Lulu (temen seperjuangan pas skripsi‐an), Aldi (pertemuan yang singkat), Nindi (baik hati dan tidak sombong serta gemar menabung), Rime (si miss trendsetter sekaligus penyanyi andalan iksi 2003), Fadjri (wih! Mpo nyang luar biasa. Kapan merit?), dan Siti (pertemuan yang singkat). Selain itu, senior dan alumni yang telah mencerahkan hari‐hari selama di IKSI: Kani, Cai (Skripsi itu enak, Cai! Hehehe), Fifi, Dimas, Nazar, Gita, Iwied, Dea, Gemmy, Rahmi (Mio, senang bisa ngajar bareng di Yamaha), Asep, Pras, Desril, Mba Nana, Bunda, Angka (Serunya satu tronton sama Angka), Bontel dan Omba (dua alumni yang baru kenal gue pas gue uda mau keluar :p). Terima kasih atas memorinya. Kemudian terima kasih juga kepada adik‐adik yang hadir saat sedang merangkai skripsi ini, 2004: Khakha, Yasmin, Genih, Dimas, Uthe, Oi, Ayu, Cha‐cha, Dewi, Nuri, dan semua. Untuk 2005: Anin, Naana, Lodoh, Arin, Vidya, Ine, Wita,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
vii
Saras, Santri, Ridwan, Eki, Aryo, Inne, Miu, Cippy, Donna, Yuki, Mila, Adi, Samsu, dan semua. Ada juga 2006: Temut‐temut, Nia, Tiko, Ucha, Aad, dan semua. Untuk 2007: diwakili oleh hanoboy (inget karena uda ikut fansclub‐nya), dan semua. Mungkin kita akan lebih akrab di lain kesempatan. Untuk teman‐teman selama kuliah yang sudah mengisi hari‐hari selama saya kuliah di FIB UI: Ochit (terima kasih atas memorinya), Rijal, Nova (terima kasih atas memorinya), Bahrian (terima kasih atas memori dan bantuannya), Shali, Yuri, Hanna, Sugi, Mey‐mey, Dhila, Adhi (Paman Sekumku), Bima, Rubby, Yudi, Mba Lay, Ulet, Ali, Mba Iis (Alm.), Mba Uchie, BeGe, Oka, dan semua. Kalian teman terbaik di FIB. Selama tiga tahun tinggal di Depok, tempat untuk berlindung ketika tidak pulang ke rumah adalah Wisma Ayunda. Oleh karena itu, terima kasih kepada Bapak dan Ibu Bill. Lalu, suasana kosan tidak akan hidup tanpa kehadiran temen‐ teman, seperti Marvi, Gita, Adzan, Niza, Tiki, Fanny (Wah, guys, kita bakalan kangen nih sama Warteg Alo, Sasari, Jaya, Warteg Banyak, dan lainnya) Wirna, Hasna, Meldy, Dani, Novi, dan Melody (Ruru=rumet baru. Senang bisa berbagi denganmu). Terima kasih secara khusus saya sampaikan untuk orang‐orang non‐UI yang mau tidak mau terlihat selama menyelesaikan skripsi ini ☺. Ada Teh Mumun, Teh Sali, Teh Tety, Mas Wildan, Mas Aswin, Mas Aji, dan Mas Johan (Thank you for your love and support). Mba Danti, Adenita, Mas Tommy, Mas Athun (Mas yang satu ini makin mirip aja sama Darius, Aku doakan semoga cepat dapat jodoh…), Wibi, teman‐ teman Siaware XI yang sudah memberi dukungan dari dulu sampai sekarang: Ikhsan, Dado, Fajar, Ratie, Romy, Deby, Fitri (Love u all ‐iiii‐). Hati ini tidak lupa kepada pihak‐pihak, seperti bapak dan ibu yang bertugas di perpustakaan FIB, Pak Marsha (petugas gedung IX), ibu‐ibu, mas‐mas, mba‐mba di Kansas yang sudah melayani saya dengan makanan dan minumannya selama 4,5 tahun. Orang‐orang di Kopma juga, Mas Sam dan Mas Yo. Selain itu, petugas‐ petugas di Subbag dan para satpam FIB UI. Terima kasih atas segala bantuan yang secara tidak disadari telah mendukung dan menyertai saya selama kuliah di FIB UI.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
viii
Terakhir, untuk Mas Beny, sosok yang sudah hadir sejak aku masih bimbang memilih skripsi atau tidak. Karena kamu, inspirasi selalu datang padaku. Terima kasih sudah hadir dalam kehidupanku, menemani di saat aku dalam masa sulit, mencari solusi di saat aku sedang berada di jalan buntu, dan menjadi cahaya di malam gelapku. Tetap ada di sisiku ya… Ngomong‐ngomong, Utangku sudah lunas, Mas. Aku sudah ke Banyuwangi. Aku sudah menyelesaikan skripsi. Sekarang tinggal giliranmu! Jangan buat aku terlalu lama menunggu … ☺ Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………... ii LEMBAR PERTANGGUNGJAWABAN ……………………………………….. iii LEMBAR PERSEMBAHAN …………………………………………………….. iv PRAKATA ………………………………………………………………………… v DAFTAR ISI …..…………………………………………………………………... x ABSTRAK ……………………………………………………………………….... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………... 1 1.2 Masalah …………………………………………………………………..… 7 1.3 Tujuan ……………………………………………………………………… 7 1.4 Ruang Lingkup …………………………………………………………….. 7 1.5 Metode ……..………………………………………………………………. 8 1.6 Pendekatan …………………………………………………………………. 9 1.7 Manfaat …………………………………………………………………….. 12 1.8 Sistematika Penulisan …………………………………………………….... 13
BAB 2 SELAYANG PANDANG TENTANG SN RATMANA ……………… 15 2.0 Pengantar …………………………………………………………………... 15 2.1 Sekilas Riwayat Hidup SN Ratmana ………………………………………. 16 2.2 Komentar Tentang SN Ratmana dan Karya-karyanya …………………….. 21 2.3 Karya-karya SN Ratmana ………………………………………………….. 27 2.4 Ulasan Cerpen-cerpen SN Ratmana ……………………………………….. 29
BAB 3 CITRA GURU DALAM CERPEN-CERPEN SN RATMANA ……….. 39 3.0 Pengantar …………………………………………………………………... 39 3.1 Komentar tentang citra ideal seorang guru di masyarakat ………................ 40
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
x
3.2 Guru sebagai sosok yang tegas dan bertanggung jawab …………………... 53 3.3 Guru sebagai bahan ejekan dan objek pemerasan …………………………. 67 3.4 Guru sebagai pribadi yang hidupnya tidak berkecukupan ………………… 81 3.5 Guru sebagai sosok yang emosional dan irasional ……………………….. 87 3.6 Guru sebagai pribadi yang dikagumi murid ……………………………… 93 3.7 Guru sebagai pribadi yang tertekan ………………………………………. 95 3.8 Guru sebagai pribadi yang bangga, berjasa, dan membutuhkan pengakuan …………………………………………..... 104 3.9 Guru sebagai sosok yang tabah …………………………………………… 111 3.10 Guru sebagai korban politik/keadaan …………………………………… 114
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………. 120 4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 120 4.2 Saran ……………………………………………………………………... 123
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….... 125 LAMPIRAN ……………………………………………………………………... 130 RIWAYAT HIDUP PENULIS …………………………………………………. 144
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
xi
ABSTRAK
ANDI FIRLIANA WIDIARLI ARUPALAKA. “Citra Guru dalam Kumpulan Cerpen Soetji Menulis di Balik Papan Tulis Karya SN Ratmana” (di bawah bimbingan Sunu Wasono, M.Hum.) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008. Hingga kini penelitian terhadap karya sastra yang menampilkan tokoh guru belum banyak dilakukan orang. Justru karena itulah, penelitian ini mengambil objek kumpulan cerpen Soetji Menulis di Balik Papan Tulis karya SN Ratmana yang di dalamnya banyak menyoroti kehidupan guru. Penelitian difokuskan pada citra guru yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian kepustakaan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ada sembilan citra guru yang dihadirkan oleh Ratmana dalam cerpen-cerpennya. Pertama, guru sebagai pendidik yang tegas dan bertanggung jawab. Kedua, guru sebagai bahan ejekan dan objek pemerasan. Ketiga, guru sebagai pribadi yang hidupnya tidak berkecukupan. Keempat, guru sebagai sosok yang emosional dan irasional. Kelima, guru sebagai pribadi yang dikagumi murid. Keenam, guru sebagai pribadi yang tertekan. Ketujuh, guru sebagai pribadi yang bangga, berjasa, dan membutuhkan pengakuan. Kedelapan, guru sebagai sosok yang tabah. Terakhir, guru sebagai korban politik/keadaan. Dapat disimpulkan bahwa cerpen-cerpen SN Ratmana cenderung memotret kehidupan guru sebagaimana wajarnya. Guru yang hadir dalam cerpen-cerpennya adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan. Dalam beberapa hal, apa yang
tergambar
di
dalam
cerpen-cerpen
tersebut
tidak
mencerminkan
harapan/pandangan masyarakat tentang guru yang ideal.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Profesi guru sering dikaitkan dengan mutu pendidikan, seakan-akan hanya guru yang bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. Selain masalah pendidikan, persoalan-persoalan di sekitar buku pelajaran dan biaya pendidikan juga kerap dikaitkan dengan guru. Singkat kata, kehidupan guru menjadi perhatian banyak pihak termasuk para pengarang karya sastra. Telah lama guru menjadi bahan perbincangan masyarakat. Setiap kali ada masalah yang berkaitan dengan pendidikan, moralitas bangsa, dan perbaikan kurikulum, guru senantiasa menjadi topik pembicaraan. Koran dan media cetak lainnya pun mengulas keberadaan dan peran guru. Pada intinya, banyak pihak yang
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
1
menaruh perhatian terhadap guru. Tak heran kalau pengarang juga terdorong untuk menyoroti status, peran, dan problematika guru di dalam karya-karyanya. Beberapa pengarang yang akan disebutkan hanyalah sebagian dari sekian banyak contoh yang menyoroti guru. Ada banyak karya sastra kita yang berbicara tentang guru. Karya-karya tersebut merupakan kreasi para sastrawan dari berbagai macam angkatan. Beberapa nama, seperti Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Aspar, Umar Nur Zain, dan Umar Kayam merupakan sebagian dari sastrawan Indonesia yang telah menghasilkan goresan tinta mengenai guru. Mereka memiliki pencitraan tersendiri terhadap seorang guru. Mochtar Lubis (1952) dalam karyanya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung menampilkan sosok guru di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Seorang Isa dikisahkan perjalanan hidupnya menuju pembebasan psikologis. Isa digambarkan oleh Mochtar Lubis sebagai tokoh yang berwatak lembut, penakut, dan enggan terlibat dalam revolusi karena takut dicap sebagai mata-mata atau pengkhianat. Hidupnya diliputi dunianya. Pikirannya penuh dengan mimpi-mimpi buruk dan ancaman
terus-menerus
dari
kekerasan
yang
semuanya
terselubung.
Ketidakberdayaan seksualnya juga merupakan penderitaan batin. Hal ini yang menyebabkan “kemacetan” dalam perkawinannya dengan Fatimah. Namun, pada akhir cerita, Isa berhasil mengatasi ketakutan yang selama ini selalu mengganggu jiwanya. Kesadaran ini pula yang memulihkan kejantanannya sebagai laki-laki. Ia tak lagi impoten. Berbeda dengan Mochtar Lubis yang menyoroti aspek kejiwaan seorang guru yang hidup dalam kancah revolusi di kota Jakarta, Gerson Poyk (1973) dalam Sang
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
2
Guru menampilkan lika-liku kehidupan guru di daerah Maluku. Ada beberapa sosok guru yang ditampilkan di dalam Sang Guru. Latar yang digunakan Gerson Poyk dalam Sang Guru adalah Ternate dan Manado. Saat itu Manado telah diduduki Permesta.1 Gerson Poyk menyoroti kehidupan dua orang guru, yaitu Ben dan Frist. Mereka merupakan pendatang di pulau Manado. Ben dicitrakan sebagai sosok guru yang patuh dan sangat menghormati ibunya, sedangkan Frist dicitrakan sebagai guru muda lucu/periang yang suka menyindir guru-guru senior. Dalam kehidupan yang serba kekurangan, ditambah adanya kekacauan yang ditimbulkan oleh pemberontak Permesta, para guru tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Hanya saja, kekacauan yang ditimbulkan oleh pemberontak Permesta telah memaksa para pemuda, termasuk para guru (Ben dan Frist), memilih masuk tentara. Akan tetapi, keputusan mereka ini tidak disetujui Sofie, istri Ben. Dengan meminta bantuan saudaranya yang merupakan komandan Ben dan Frist, Sofie berhasil mengeluarkan kedua guru tersebut. Di akhir cerita, atas usulan Frist, Ben membuka usaha baru menjadi seorang pemarut kelapa. Berbeda dengan Mochtar Lubis dan Gerson Poyk, Aspar (1976) menampilkan citra guru yang mengalami nasib cukup “suram”. Latar tempat yang digunakan adalah kota Makassar. Di dalam novel yang berjudul Arus ini, diceritakan nasib seorang guru sekolah dasar yang merangkap menjadi mahasiswa bernama Sofyan. Ia menghadapi kebimbangan antara mengajar untuk mencari nafkah atau melanjutkan studi sesuai 1
Permesta (Perdjuangan Semesta) adalah sebuah gerakan pemberontakan di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi Selatan. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
3
dengan keinginan ibunya. Di akhir cerita, sang guru keluar dari pekerjaannya dan kembali menjadi mahasiswa. Namun, semua itu tidak dapat diselesaikannya. Dengan demikian, Sofyan tidak memenuhi harapan ibunya. Ia mengambil keputusan terakhir, yaitu menjadi suami dari Rosmala (teman ketika ia masih mengajar), sekaligus menjadi ayah dari tiga anaknya. Novel lain yang juga berbicara tentang guru adalah Bu Guru Dwisari karya Umar Nur Zain (1982). Berbeda dengan novel-novel sebelumnya, citra guru dalam karya tersebut oleh pengarang ditampilkan sedemikian sempurna (ideal). Disebut ideal karena tokoh yang ditampilkan, yaitu Dwisari, hampir tidak memiliki kelemahan ataupun kekurangan. Ia digambarkan sebagai sosok guru muda yang cantik, kaya, pintar, sabar, rendah hati, cerdas, pemberani, dan jago bela diri. Setiap ada masalah, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat, Dwisari tampil dengan berbagai solusi. Ia berhasil mengatasi murid-muridnya yang akan tawuran. Ia pun bisa membuat seorang menteri mendengarkan dan mengabulkan permintaannya untuk memperbaiki pendidikan bangsa. Dwisari benar-benar sosok guru ideal yang hampir tidak dapat ditemukan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Sementara itu, Umar Kayam (1992) dalam Para Priyayi mencitrakan guru sebagai seorang priyayi yang berjasa dalam pembentukan watak atau mental generasi sebelumnya dan pascakemerdekaan. Setting tempat dan waktu di dalam novel ini mulai dari perkampungan di Solo, Wonogiri, Yogya, sampai Istana Mangkunegara, dan lain-lain yang mencakup tiga generasi di masa transisi Indonesia, dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, Gestapu, sampai akhir 60-an. Tokoh utama dalam novel ini adalah Soedarsono yang berasal dari keluarga buruh tani. Orang tua dan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
4
sanak saudaranya berharap ia dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia bisa bersekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya, melewati zaman Belanda dan zaman Jepang, tumbuh sebagai guru, opsir Peta, dan istri asisten wedana. Akhirnya, cita-cita keluarganya berhasil. Untuk sekadar informasi tambahan, Wildan Yatim juga mengangkat kehidupan guru dalam karyanya. Dalam Pergolakan, misalnya, ia menampilkan sosok guru bernama Salam dalam merombak cara hidup lama dengan cara baru yang bersifat ‘kota’. Sementara itu, N.H. Dini dengan novelnya yang berjudul Pertemuan Dua Hati berkisah tentang guru SD yang sengaja hendak menempatkan peran dan tanggung jawab seorang guru. Bu Suci harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya sakit ayan, muridnya bengal, dan rekan sejawatnya kurang memberi dukungan. Namun, ia tetap menjunjung tinggi idealisme profesinya sebagai guru. Bagaimana pun beratnya kenyataan tersebut, ia jalankan semuanya dengan baik. Ia berhasil melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dan ibu guru. Jadi, dapat disimpulkan sementara bahwa ada banyak karya sastra kita yang bercerita tentang guru. Sungguh pun begitu, belum banyak peneliti yang memfokuskan studi mereka pada citra guru di dalam karya sastra Indonesia. Hal tersebut telah ditelusuri di beberapa universitas yang memiliki jurusan Sastra Indonesia. Dari penelusuran yang telah dilakukan ke beberapa tempat, seperti perpustakaan FIB UI, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Padjadjaran
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
5
(Unpad), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Gajah Mada (UGM), diperoleh informasi sebagai berikut. Di FIB UI, Unpad, UPI, dan UGM belum ada peneliti yang membahas citra guru di dalam karya sastra, sedangkan di UNJ, terdapat satu skripsi yang meneliti citra guru. Nama peneliti tersebut adalah Sri Kasmanawati.2 Skripsi yang dibuat pada tahun 1997 ini berjudul “Citra Guru pada Novel Arus Karya Aspar dan Novel Sang Guru Karya Gerson Poyk yang Ditampilkan dalam Perwatakan Tokoh Utama, Serta Implikasinya dalam Pengajaran Sastra di SMU”. Penelitiannya memberikan informasi tentang hasil perbandingan kedua novel, baik dari aspek perwatakan tokoh utama, maupun citra guru. Dengan demikian, kajian itu menghasilkan penegasan tentang persamaan dan perbedaan watak tokoh dan citra guru ideal pada novel Arus dan Sang Guru. Minimnya penelitian tentang citra guru telah mendorong saya untuk meneliti karya sastra Indonesia yang berbicara tentang guru. Tentunya, tidak semua karya sastra yang berbicara tentang guru akan dianalisis. Keterbatasan waktu dan tenaga membuat saya hanya memilih satu dari sekian banyak pengarang. Setelah melakukan seleksi, pilihan akhirnya jatuh pada sastrawan bernama SN Ratmana. Pilihan itu didasarkan pada latar belakang Ratmana yang juga merupakan seorang guru. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar karya-karyanya menyoroti kehidupan guru. Ia pun tampak konsisten dalam menampilkan sosok guru di dalam karyanya. Gaya penulisan SN Ratmana memiliki ciri khas tersendiri. Cara penyajian yang menarik
2
Mahasiswi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
6
juga mendorong saya memutuskan memilih karya-karya SN Ratmana sebagai objek penelitian.
1.2 Masalah Sejalan dengan latar belakang, masalah yang hendak diteliti adalah bagaimanakah citra guru yang terdapat dalam cerpen-cerpen SN Ratmana. Selain itu, juga akan diteliti apakah ada kesejajaran dan kesesuaian antara citra guru yang terdapat dalam cerpen-cerpen SN Ratmana dengan gambaran guru yang ideal dalam masyarakat.
1.3 Tujuan Berdasarkan masalah yang telah diungkapkan, tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dan mengungkapkan citra guru yang ditampilkan oleh SN Ratmana dalam cerpen-cerpennya. Penjelasan dan pengungkapan tersebut ditempuh dengan menelaah unsur intrinsik dan ekstrinsik yang relevan. Dalam hal ini, akan dilihat bagaimana guru itu digambarkan pencerita lewat berbagai sudut pandang, dialog, dan pengisahan. Dari situlah akan diperoleh hubungan antara citra guru yang tergambar dalam cerpen-cerpen SN Ratmana dan gambaran guru yang ideal dalam masyarakat.
1.4 Ruang Lingkup Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, karya-karya SN Ratmana yang mengangkat tema guru tidaklah sedikit. Tidak hanya cerpen, novelnya yang bertemakan guru pun tidak hanya satu. Namun, karena pertimbangan waktu,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
7
penelitian ini hanya dibatasi pada cerpen-cerpen SN Ratmana yang diambil dari buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis. Dalam karya SN Ratmana ini, penelitian difokuskan pada tokoh-tokoh guru yang dilukiskan karya tersebut.
1.5 Metode Sejalan dengan tujuan penulisan skripsi ini, metode yang penulis terapkan adalah metode deskriptif analisis. Secara konkret realisasi atau pelaksanaan metode itu dapat dijabarkan sebagai berikut. Penelitian ini dimulai dari pengumpulan data mengenai SN Ratmana yang mencakup karya-karya dan esai-esainya yang dipublikasikan lewat koran, majalah, dan buku. Setelah semuanya terkumpul, penulis mulai membaca dan menetapkan karya yang hendak dianalisis. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, karya sastra yang dibuat oleh pengarang adalah novel dan cerpen. Selain menulis novel dan cerpen, SN Ratmana pun aktif menulis esai dan sajak di beberapa media cetak. Sebagian besar dari karya Ratmana yang bercerita tentang guru adalah cerpen. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, esai atau dokumendokumen tertulis dari SN Ratmana yang berkaitan dengan guru dijadikan sumber bacaan tambahan. Artikel-artikel yang ditulis oleh berbagai pengamat, baik pengamat pendidikan, sastra, maupun pengarang pun dikumpulkan. Sejalan dengan tujuan penelitian ini, untuk mendukung data yang ada, dilakukan wawancara dengan SN Ratmana. Dari wawancara itu, diharapkan informasi yang relevan dengan karya dan kepengarangan Ratmana dapat diperoleh, khususnya informasi yang belum diperoleh lewat dokumen tertulis. Sementara itu,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
8
untuk mendeskripsikan citra guru dalam karya Ratmana, dilakukan analisis langsung terhadap cerpen-cerpennya. Dalam hal ini, karya sastra diutamakan sebagai bahan kajian.
1.6 Pendekatan Dalam penelitian ini, saya menggunakan pendekatan sosiologis. Pada dasarnya, pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa karya sastra diciptakan manusia (pengarang) untuk dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra tidak bisa berdiri sendiri. Ia ada karena diciptakan pengarang. Ia dapat dibaca banyak orang karena jasa pihak lain, yaitu penerbit. Karya sastra pun menjadi bermakna karena dibaca orang (masyarakat). Intinya, karya sastra dilahirkan dari berbagai macam faktor. Itulah sebabnya, pemahaman terhadap karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mengelilinginya. Sebuah karya sastra biasanya tidak terpaku pada suatu wilayah otonom yang serba fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut-paut unsur ekstrinsik sastra. Hal itu sesuai dengan pendapat Ariel Heryanto (1984:49) yang mengatakan bahwa sejauhjauh seorang sastrawan hendak mengelak dari segala fakta yang melahirkan, mengasuh, dan mendewasakannya, ia tak mungkin membuat karya sastra yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan pengalaman, pengetahuan, pikiran, dan perasaannya sendiri. Melalui pendekatan sosiologis, karya sastra dapat dikaitkan dengan pengarang, penerbit, pembaca, dan berbagai hal lainnya yang dirujuk karya sastra. Oleh karena itu, menganalisis sebuah karya sastra yang hanya berkutat pada unsur
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
9
intrinsik tidak saja melepaskan karya tersebut dari konteks dan fungsi sosialnya, tetapi juga mengesampingkan pengarang yang berada di sekitarnya. Dengan mengaitkan karya sastra pada pengarang, dapat dikaji seberapa jauh sebuah karya sastra mempunyai relevansi dengan kehidupan pengarang. Selain itu, karya sastra juga dapat dikaitkan dengan ideologi atau pandangan hidup pengarang. Pendekatan ini juga memungkinkan seorang peneliti menyoroti seberapa jauh profesi seorang pengarang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan tema karangannya. Dalam kajian sosiologis, seperti yang dikatakan oleh Damono (2002:11), tugas peneliti adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Seorang peneliti diharapkan dapat menghubungkan dua hal tersebut sehingga hubungan antara pengarang dan karya dapat terlihat dengan jelas oleh peneliti. Data yang dikumpulkan dalam menggunakan pendekatan sosiologis, masih menurut Damono (2002:39), bisa berasal dari berbagai hal yang menyangkut hubungan-hubungan antara karya sastra dan sistem sosial yang menjadi lingkungannya. Nilai-nilai dan norma tingkah laku, riwayat hidup pengarang, proses penerbitan, pembaca sasaran, dan berbagai isu sosial lain bisa saja dikumpulkan sebagai data untuk kemudian diproses dan dinilai oleh si peneliti. Namun, meskipun ada karya yang erat kaitannya dengan kehidupan pengarangnya, bukan berarti bahwa karya sastra merupakan fotokopi kehidupan seseorang. Selain pengarang, penerbit juga menjadi faktor yang ikut menentukan wujud karya sastra. Oleh karena itu, penerbit yang menjadi pengemas karya yang diciptakan pengarang tentu dapat diperhitungkan sebagai faktor penting ketika kita menafsirkan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
10
karya sastra. Bagaimana pun, penerbit mempunyai kepentingan yang didasarkan pada ideologi tertentu ketika bersedia menerbitkan karya seorang pengarang. Kehidupan sastra Indonesia ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1940-an dapat dijadikan contoh. Ketika itu Jepang menguasai penerbitan Penerbit Balai Pustaka yang semula menjadi corong pemerintah kolonial Belanda. Alhasil, di bawah Jepang karya-karya yang diterbitkan pada masa itu hampir semuanya seragam. Waktu itu, karya sastra yang beredar hanya berupa propaganda. Sebelumnya pun, Balai Pustaka menerbitkan karya-karya yang sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Faktor siapa pembaca yang dituju pengarang merupakan faktor lain lagi yang dapat diperhitungkan dalam meneliti karya sastra. Biasanya karya sastra ditulis oleh pengarang untuk pembaca yang sezaman. Sangat besar kemungkinannya seorang pembaca yang datang dari zaman kemudian memiliki pemahaman yang berbeda dengan pembaca yang sezaman dengan ketika sebuah karya sastra dilahirkan. Jarak waktu, pandangan, pengalaman, dan berbagai hal lainnya menjadi sebab pemahaman yang berbeda-beda. Artinya, makna karya sastra dan pemaknaan orang terhadap karya sastra dapat berubah-ubah. Dengan demikian, dalam konteks penafsiran, faktor siapa pembaca karya sastra itu berpengaruh terhadap makna sebuah karya sastra. Sosiologi sastra tidak hanya memfokuskan penelitian pada teks sebagai benda budaya yang otonom. Sumber-sumber yang di luar teks sastra itu pun merupakan bahan penting. Faktor-faktor lain, seperti kondisi zaman, situasi sosial, dan situasi ekonomi juga dapat mempengaruhi penciptaan karya sastra. Damono (2002:39—40) mengemukakan bahwa pengetahuan mengenai sejarah, situasi sosial, struktur sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, riwayat hidup pengarang,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
11
dan lain-lain juga merupakan sumber yang sangat berharga. Data yang berkenaan dengan semua itu bisa dilakukan dengan berbagai cara pula, tidak hanya dengan memeriksa sumber tertulis. Wawancara mendalam, kuesioner terbuka maupun tertutup, dan pengamatan adalah beberapa saja dari cara-cara yang bisa ditempuh. Atas dasar uraian tersebut, penelitian difokuskan pada cerpen-cerpen SN Ratmana dalam kaitannya dengan pengarang. Dalam hal ini, penelusuran terhadap dinamika kepengarangan Ratmana yang mencakup pertanyaan-pertanyaan, seperti tema-tema apa sajakah yang digarap Ratmana, bagaimana proses kreatif Ratmana, apa motivasi Ratmana menulis, bagaimana karya-karya Ratmana memiliki kaitan dengan profesi, dan sikap hidup Ratmana menjadi sangat penting. Berdasarkan pengamatan sementara, cerpen-cerpen SN Ratmana banyak yang menyoroti kehidupan guru. Hal itu ditandai dengan banyaknya tokoh guru dan setting sekolah dalam cerpen-cerpen Ratmana. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, wajarlah jika penelitian ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana citra guru yang ditampilkan oleh SN Ratmana di dalam karya-karyanya.
1.7 Manfaat Hasil penelitian ini mungkin bisa mengawali pembicaraan tentang guru dalam karya SN Ratmana, mengingat penelitian sebelumnya hanya membahas tema-tema dan manfaat karya SN Ratmana dalam pembelajaran di sekolah. Paling tidak, penelitian ini dapat dijadikan data sekunder bagi peneliti lain yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai karya SN Ratmana. Dalam lingkup yang lebih luas, hasil analisis ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam penyusunan sejarah sastra
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
12
Indonesia serta memperkaya khazanah kajian sastra Indonesia, mengingat sejarah sastra Indonesia dapat dikatakan masih belum komprehensif. Dengan penelitian ini, saya mencoba memberikan semacam sumbangan informasi tentang dinamika kepengarangan SN Ratmana, khususnya karya-karyanya yang secara tematik berbicara tentang guru atau yang berkaitan dengan kehidupan guru.
1.8 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri atas empat bab. Keempat bab itu adalah bab 1 yang berupa pendahuluan mencakup latar belakang penulis melakukan penelitian ini. Selanjutnya ada masalah, tujuan pokok, manfaat, ruang lingkup, metode, pendekatan, dan sistematika penulisan guna memberikan penjabaran mengenai isi skripsi ini. Bab 2 merupakan bab selayang pandang tentang Ratmana. Dalam bab ini, akan ditunjukkan seperti apa persoalan yang muncul dalam karya SN Ratmana selain persoalan guru. Selain itu, di dalam bab ini pun disampaikan informasi mengenai riwayat hidup serta karya-karya hingga artikel-artikel yang ditulis oleh SN Ratmana. Sosok Ratmana yang menjadi buah bibir para pengamat sastra maupun nonsastra dimuat di dalam subbab komentar tentang SN Ratmana dan karya-karyanya. Akhir dari bab 2 ini merupakan penjabaran ulasan cerpen-cerpen SN Ratmana yang tidak berbicara tentang guru. Citra guru yang ditampilkan SN Ratmana melalui cerpen-cerpennya dibahas di dalam bab 3. Semua ini terbagi menjadi beberapa subbab disertai analisis langsung pada cerpen-cerpennya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
13
Skripsi ini diakhiri dengan Bab 4 yang berisi kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan di dalam bab 2 dan 3. Penulisan skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka dan dilengkapi dengan lampiran yang berisi daftar karya-karya Ratmana serta wawancara yang telah dilakukan dengan Ratmana.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
14
BAB 2 SELAYANG PANDANG TENTANG SN RATMANA
2.0 Pengantar Salah satu aspek yang perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam penelitian yang
menggunakan
pendekatan
sosiologis
adalah
sosiologi
pengarangnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini disajikan segala hal-ihwal mengenai SN Ratmana, mulai dari riwayat hidupnya, tanggapan orang tentang diri dan karyakaryanya, judul karya-karyanya, hingga ulasan singkat mengenai isi karya-karyanya. Ulasan mengenai karya-karya Ratmana hanya berupa deskripsi cerpen-cerpen yang tidak bertemakan guru. Cerpen-cerpen tersebut diambil dari tiga kumpulan cerpennya, yaitu Sungai, Suara, dan Luka, Asap Itu Masih Mengepul, dan Dua Wajah dan Sebuah Sisipan.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
15
2.1 Sekilas Riwayat Hidup SN Ratmana Soetjiningrat Ratmana yang dikenal dengan nama SN Ratmana merupakan seorang pengarang Indonesia. Ia lahir pada tanggal 6 Maret 1936 di Kuningan, Jawa Barat. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini merupakan putra dari pasangan suami istri M. Thayib dan Suprapti. Ayah Ratmana pernah menjadi Kepala Jawatan Penerangan, sedangkan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. Ada pepatah yang mengatakan bahwa buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Hal ini terbukti pada diri Ratmana. Ayahnya ternyata gemar menulis karya fiksi dan nonfiksi. Salah satu cerita fiksinya berjudul Kunci Wasiat, sedangkan karya nonfiksinya yang pernah diterbitkan berjudul Orang Hidup Pergi ke Alam Barzah. Sementara itu, meskipun bukan penyanyi terkenal, Ibu Ratmana termasuk orang yang pintar bernyanyi. Siapa yang menyangka bahwa Ratmana ternyata senang sekali menyanyi. Hingga saat ini ia masih hafal dan sering menyanyikan beberapa lagu. Antara tahun 1940—1970-an, Ratmana berhasil menghafal empat ratus lagu, baik lagu Indonesia maupun lagu Jepang. Hal ini dibuktikannya dengan menulis ulang lirik-lirik yang ia nyanyikan. Adik dari Suciati dan Sucimardiko ini merupakan seorang guru lulusan B-1 Ilmu Alam dan mendapat ijazah Sarjana Muda dari Institut Pendidikan Guru di Yogyakarta pada tahun 1964. Dalam kariernya sebagai pendidik, ia sering berpindah lokasi kerja, mulai dari Semarang, Tegal, Subah Kabupaten Batang, hingga Pangkah di Kabupaten Tegal. Sesungguhnya, dalam keseharian, ia tidak terlalu suka keluyuran. Tuntutan pekerjaan membuat Ratmana harus menjalankan itu semua
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
16
dengan sukarela. Meskipun demikian, ia tidak pernah mengeluh menjalankan pekerjaan ini karena guru adalah pekerjaan yang ia sukai. SN Ratmana mengakhiri masa lajangnya pada tanggal 7 September 1968 dengan meminang bekas muridnya sendiri, yakni Budi Artiningrum. Akan tetapi, kebersamaan mereka tidak berlangsung lama karena istrinya wafat pada tanggal 21 September 1998. Pernikahan yang hanya berusia 30 tahun ini meninggalkan tiga orang anak, yakni Iftitah Texiani, Luhur Istighfar, dan Istiadah Mulyati. Dalam kepengarangannya, Ratmana menggunakan nama SN Ratmana dalam karya-karya yang dihasilkan. Sebenarnya, nama asli pengarang ini adalah Soetjiningrat. Namun, ia kurang nyaman dengan nama tersebut karena suka diejek temannya. Konon, menurut teman-temannya, tulisan SN Ratmana dapat dimuat di surat kabar karena namanya mirip dengan nama perempuan.3 Terdorong oleh keinginannya untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan teman-temannya, ia mengubah namanya. Apa pun nama baru itu, yang jelas, unsur Rat harus ada. Namun, ia bingung, Rat yang mana. Karena tidak mau pusing, akhirnya, ia pun menggabungkan kata Rat dan mana sehingga terbentuklah nama Ratmana. Nama Soetjiningrat disingkatnya menjadi SN. Alhasil, nama SN Ratmana-lah yang ia gunakan dalam karya-karya selanjutnya. Nama tersebut pertama kali digunakan di dalam cerpennya yang berjudul “Permata”. Meski mengaku tidak produktif, hingga tahun 2007, ia sudah menghasilkan 85 cerita pendek yang ia tulis sejak masih belajar di bangku SMA pada tahun 1956 di
3
Redaktur merasa kasihan pada wanita pengarang sehingga tulisan mereka lebih diutamakan dimuat dalam sebuah media cetak.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
17
Pekalongan. Ratmana adalah seorang cerpenis yang digolongkan H.B. Jassin ke dalam angkatan 66. Kemampuannya dalam menghasilkan karya sastra pun mulai dipertimbangkan. Karya-karya Ratmana akhirnya mulai dimuat dalam kumpulan cerpen, seperti Sungai, Suara dan Luka (1981); Asap Itu Masih Mengepul (1997); Dua Wajah dan Sebuah Sisipan (2001); dan Soetji Menulis di Balik Papan Tulis (2005). SN Ratmana diangkat menjadi pegawai negeri pada tanggal 1 Juni 1961. Ia pensiun dari jabatan Pengawas SLTA di Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 1 Juni 1996. Jika dihitung dari tanggal pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Ratmana telah 35 tahun menjadi guru. Namun, sebenarnya ia sudah menjadi guru swasta di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1958—1960. Ini berarti, profesi sebagai guru telah ia geluti selama 37 tahun. Ratmana, bersama beberapa pelajar yang gemar membaca buku dan majalah kesusastraan, secara tidak sengaja menjadi kelompok yang bersahabat. Semua ini berawal dari sebuah perpustakaan kecil di luar sekolah. Pemilik buku-buku ini sebenarnya adalah Djawatan Pendidikan Masyarakat. Mereka mempercayakan pengelolaannya pada sebuah organisasi anak sekolah, yaitu Peladjar Islam Indonesia (PII). PII sendiri menugaskan dua orang anak SMA Negeri yang duduk di kelas dua B untuk mengurusnya, yaitu Taufiq Ismail dan Soetjiningrat. Taufiq Ismail adalah teman sekolah sekaligus saingan Ratmana dalam dunia karang mengarang. Dengan beranggotakan lima orang, para murid Pekalongan ini membentuk sebuah geng yang terdiri dari Muhsin Jalaludin Zuhdy, Hadi Utomo,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
18
Sukanto A.G., Taufiq Ismail, dan SN Ratmana. Semuanya suka membaca dan menulis. Tak jarang mereka mengirimkan tulisan-tulisannya ke majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Menurut Taufiq Ismail, dari kelima anak tersebut, karya yang pertama dimuat adalah sajak dari Muhsin Jalaludin Zuhdy. Selanjutnya, secara berturut-turut prosa dari Hadi Utomo dan SN Ratmana, serta puisi dari Sukanto AG dan Taufiq Ismail pun akhirnya masuk di majalah asuhan dari H.B. Jassin ini. Namun, menurut Ratmana, sebenarnya karya Taufiq-lah yang lebih dahulu dimuat di majalah. Dalam pandangan SN Ratmana, kehadiran sebuah karya sastra menjadi sangat berarti jika tidak sekadar dihasilkan dari coretan tangan saja. Ia akan memiliki nilai tinggi jika muncul dari empati pengarang terhadap hal yang disampaikannya. Dengan demikian, pengarang dapat menempatkan diri sebagai sosok yang ditulisnya. Menurut Ratmana, sastra berbicara kepada manusia atas dasar nurani. Oleh karena itu, tidak ada aturan baku mengenai karya sastra, termasuk cerpen yang baik dan yang jelek. Baginya, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu “menjerat” pembaca ke dalam masalah yang dikemukakan oleh penulis. Tokoh sastra yang sangat ia kagumi sekaligus ia benci adalah Pramoedya Ananta Toer.4 Diakuinya, karya Pramoedya yang berjudul Dari Kutub ke Kutub merupakan novel yang paling ia sukai. Novel ini pun yang menjadi motivator Ratmana dalam berkarya. Namun, suatu hari ia membaca kumpulan cerpen 4
Pramoedya Ananta Toer secara luas juga dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia lahir di Blora, Jawa Tengah, tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 30 April 2006. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
19
Pramoedya yang berjudul Subuh. Di dalam kumpulan cerpen tersebut terdapat tiga buah cerpen, yaitu “Blora”, “Jalan Kurantil 56”, dan “Dendam”. Diakuinya tentang salah satu cerpen tersebut dalam kutipan wawancara berikut.
Dulu saya menemukan sebuah buku kecil yang begitu saya baca, saya terheran-heran. Dalam image saya, yang namanya buku itu adalah ilmu, memberi informasi. Pengarangnya itu harus lebih pintar dari pembaca. Buku yang baik adalah buku yang memberikan petuah-petuah, sedangkan buku ini tidak. Kalimat pertamanya saja sudah berbunyi ‘Saudara, kamu musti tahu apa yang diharapkan oleh semua tokoh. Bebas, bebas, itu lebih merdu dari lagu kebangsaan itu.’ Saya pikir, kok ada penulis yang ber-aku-kamu dengan pembacanya. Kesannya akrab sekali. Jadi, saya tidak pernah lagi itu baca karya-karyanya yang terakhir. Buku kecil itu berjudul Subuh. Di dalam buku itu ada tiga buah cerpen, antara lain “Blora”, “Jalan Kurantil 56”, dan “Dendam”. Namun, “Jalan Kurantil 56” dan “Dendam” tidak mencekam seperti “Blora”.5
Jadi, setelah membaca cerpen “Blora”, Ratmana bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tidak akan mau lagi membaca karya-karya Pramoedya. Sastrawan lain yang menjadi inspiratornya adalah Trisno Juwono (melalui karyanya yang berjudul “Tinggul”) dan Subagio Sastrowardoyo lewat “Kejantanan di Sumbing”. Kecakapan Ratmana dalam berorganisasi membuatnya pernah menjadi Ketua Majelis Dikdasmen, yaitu majelis mengurus pendidikan SR. Selain itu, pada tahun 2002 sampai 2007, Ratmana terpilih sebagai Kepala Dewan Pendidikan. Ia pun aktif di organisasi Muhammadiyah. Sejak tahun 1994 sampai sekarang, Ratmana merupakan Ketua Yayasan Galang di Tegal. Sementara itu, kepiawaian Ratmana dalam membuat cerpen membawanya meraih beberapa penghargaan. Tahun 2000, SN Ratmana bersama Wisran Hadi dan
5
Pernyataan ini didapat ketika saya mewawancarai Ratmana pada tanggal 6—8 November 2007. Ia terlihat antusias dalam memberikan keterangan ini.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
20
Acep Zamzam Noor meraih penghargaan sastra dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka menyambut Bulan Bahasa dan Sastra. Penghargaan yang didapatkan SN Ratmana adalah sebagai sastrawan penulis cerita pendek, sedangkan Wisran Hadi dan Acep Zamzam Noor berturut-turut sebagai penulis drama dan puisi. Tahun 2003, Ratmana bersama Budi Darma, Danarto, dan Hamsad Rangkuti diminta untuk mewakili Indonesia mengikuti kegiatan Masyarakat Sastra di Empat Negara (Mastera): Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Indonesia. Tahun 2005, ia mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian, yaitu Anugrah Pakar Seni. Ratmana mengaku bahwa ada banyak manfaat yang ia dapat selama menulis. Salah satunya, yakni mendapat royalti dari Kompas selama karya-karyanya masih dicari masyarakat. Selain itu, ia pun mendapat banyak teman, bahkan penggemar. Ia tidak pernah membayangkan karyanya dijadikan bahan penelitian beberapa mahasiswa dari berbagai kota. Untuk itu, ia selalu bersyukur atas segala berkah yang diberikan-Nya.
2.2 Komentar tentang SN Ratmana dan Karya-karyanya Tidak semua karya yang lahir dari seorang pengarang mendapat tanggapan dan kritik dari pembaca, bahkan pengamat sastra. SN Ratmana merupakan satu dari sekian banyak pengarang yang mendapat respon dari para pembaca karyanya. Seorang cerpenis sekaligus novelis, Wildan Yatim (1983), memuji pembukaan cerpen Ratmana. Menurutnya, cerpen Ratmana memiliki daya pikat yang kuat sehingga pembaca ingin tahu persoalan apa sebenarnya yang akan disodorkan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
21
oleh penulis. Pengamat sastra lain, yaitu Endarmoko (1982), mengatakan bahwa teknik penulisan cerpen Ratmana sudah bukan merupakan persoalan. Ada beberapa cerpen yang seperti mencoba lepas dari tradisi penulisan cerpen pada umumnya. Hal itu, menurut Endarmoko, hanya dapat dikerjakan oleh penulis yang telah menguasai benar teknik penulisan cerpen. Ia menyebut “Kambuh” dan “Rambut” sebagai contoh. Hal lain disampaikan Sulaiman dalam artikelnya yang berjudul “Misi Suci dan Dua Wajah SN Ratmana”.6 Menurutnya, cerpen-cerpen Ratmana hampir semuanya merupakan cerpen realistis-konvensional. Maksudnya, cerpen-cerpen Ratmana diangkat dari pengalaman pribadi, pengalaman orang lain yang berhasil dihayati sebagai pengalaman sendiri, dan renungan batin mengenai kehidupan sekitar. Dikatakan Sulaiman lebih lanjut bahwa sebagai penulis realis Ratmana cenderung hanya memilih kejadian atau peristiwa yang sungguh-sungguh menarik sebagai bahan cerpen-cerpennya. Di sinilah, menurut Sulaiman, letak kekuatan cerpen-cerpen Ratmana. Pendapat lain diungkapkan oleh Sunu Wasono (2004) dalam tulisannya yang berjudul “Kelugasan dan Kenetralan sebagai Wujud Gaya Realis pada Beberapa Cerpen S.N. Ratmana”. Menurutnya, gaya penulisan cerpen-cerpen Ratmana hampirhampir tidak berubah. Ia tidak beranjak dari gaya realis. Karya semacam itu memperlihatkan kesan seolah-olah objek (realita) tampil sebagaimana adanya. Hal itu ditandai oleh penempatan subjek-pencerita pada posisi hanya sebagai pelapor kenyataan. Dengan begitu, subjek-pencerita berdiri pada posisi yang jauh dari objek 6
M. Sulaiman. “Misi Suci dan Dua Wajah SN Ratmana,” Suara Merdeka, 11 April, 2004, hlm. 8.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
22
yang diceritakannya. Kalaupun pencerita juga menjadi salah satu tokoh, dia bisa mengendalikan emosinya untuk tidak mengintervensi persoalan yang bergulir di antara tokoh lain. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Goenawan Mohamad (2001) dalam kata pengantar pada kumpulan cerpen Dua Wajah dan Sebuah Sisipan.
“Cerita-cerita pendek Ratmana dalam kumpulan ini menunjukkan bagaimana seorang bertahan dalam tradisi realisme – sesuatu yang baginya tampak wajar, dan dilakukannya dengan lempeng dan lancar, tapi bukannya tanpa persoalan. Dalam pelbagai cerita ini, tak ada sebuah gerakpun yang menendang, meletup, mengagetkan, mencari efek. Saya pernah menyebut cirinya ‘obyektivitas sebagai gaya’. Dalam cerita-ceritanya, realisme itu menampilkan obyek seakan-akan sesuatu yang otonom, terbentang atau bercengkrama di luar sana, dan subyek seakan-akan memandang dari sudut tersembunyi” (hlm. xii).
Kekuatannya yang lain terletak pada teknik penulisan, cara bercerita, metode berkisah, penyajian peristiwa, dan lukisan kejadian. “Dalam hal ini,” masih menurut Mohamad, “Ratmana—dengan nada rendahnya, dengan kesabarannya yang sistematik—adalah seorang pembangun suspense dengan kecakapan yang sering tak tampak pada penulis-penulis mutakhir.” (hlm. xiii). Dengan suspense, ia menunda sebuah informasi. Penundaan itulah yang menggerakkan cerita dan menggerakkan pembaca yang mengikuti cerita itu. Selain menyelipkan beberapa suspense, Ratmana juga kerap memasukkan beberapa kejutan (surprise) yang sederhana. Menurut Taufiq Ismail dalam “Guru yang Menulis Cerpen dan Novel di Tengah Generasi Nol Buku”,7 Ratmana
7
Tulisan ini dibuat ketika Taufiq Ismail diminta menjadi pembicara dalam peluncuran novel kedua SN Ratmana, yaitu Sedimen Senja, 6 Maret 2006, di Taman Ismail Marzuki.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
23
menganyam tokoh-tokohnya ke dalam konflik-konflik dengan rapi di antara teknik surprises yang menyegarkan. Seno Gumira Adjidarma pun mengungkapkan kesederhanaan dan keahlian Ratmana dalam memasukkan surprise. “Kisah cerpennya yang jauh dari pretensi membuat surprise, begitu wajar dan sederhana. Adalah kemampuan Ratmana yang membuat ‘hal yang biasa-biasa itu’ menarik dan lancar diikuti tanpa perlu mengindah-indahkan atau menegang-negangkan cerita.”8 Beberapa pendapat yang telah penulis sebutkan tersebut merupakan pendapat pengamat karya-karya Ratmana secara umum, sedangkan karya-karya Ratmana yang berkisah tentang guru diamati oleh beberapa pengamat, seperti Maman S. Mahayana dan Yakob Sumarjo. Dalam sebuah peluncuran novel kedua SN Ratmana yang berjudul Sedimen Senja di Taman Ismail Marzuki, Maman S. Mahayana (2006) berkomentar sebagai berikut.
“Secara sosiologis, SN Ratmana seperti merepresentasikan semangat zamannya tentang sisi lain kehidupan guru. Di sinilah, pengalaman masa lalu pengarang menghadirkan semacam slide yang menawarkan kehidupan guru sekitar akhir tahun 1960-an sampai dasawarsa 1970-an. Sebuah potret yang tergeletak di pojok ruangan. Pengarang lalu memungutnya, membersihkannya dari segala debu, membingkainya dengan figura [sic!] yang lebih baru, dan menggantungkannya di ruang tamu. Seperti sedimen yang mengendap sekian lama, tiba-tiba mencair, mengaliri obsesi yang baru membentuk sebuah narasi. Ia sepatutnya dijadikan tugu peringatan, sebuah monumen berupa novel tentang serangkaian nostalgia yang indah bagi para pelakunya.”
Mahayana pun mengatakan bahwa Ratmana telah memilih masa lalu sebagai nostalgia yang indah. Sedimen Senja telah merepresentasikan roh guru sejati. Ia tak
8
Pendapat Seno Gunira Ajidarma ini dimuat dalam sampul belakang buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis karya SN Ratmana.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
24
berkhotbah, tetapi peristiwa di dalamnya mengajari kita tentang etika korps, percintaan yang santun, toleransi, dan dedikasi. Mahayana menangkap kesan bahwa Ratmana tidak ingin mengulangi kasus cerpen “Kubur” yang menghebohkan itu.9 Yakob Sumarjo (1975) pun memberikan komentar terhadap beberapa karya Ratmana. Hal ini disampaikannya dalam harian Pikiran Rakyat.
“Ia punya keyakinan yang menjadi bagian dari hidupnya, dan mungkin menjadi pangkal obsesi kepengarangannya, yaitu kenyataankenyataan sosial yang pincang disekelilingnya [sic!]. Dan terutama sekali kepincangan-kepincangan kehidupan guru. Hal itu nampak dengan kuat dalam cerpen “Mendiang” dan “Guru”. Ia kenal sekali kehidupan ini sehingga sedikit saja berbicara tentang lingkungan hidup, ia berhasil memberikan informasi yang impresif.” (hlm. 5).
Sementara itu, disebutkan pula tanggapan seorang pimpinan Penerbit Wacana Bangsa, Suriali Andi Kustono, dalam menanggapi buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis. Ia berkata, “…buku tersebut merupakan gambaran wajah pendidikan di Indonesia. Di dalamnya dikupas mengenai gambaran manusia dalam pandangan seorang sastrawan yang guru atau guru yang sastra.”10 Tanggapan lain terhadap karya SN Ratmana dapat ditemukan dalam bentuk skripsi. Tanggapan tersebut berasal dari seorang mahasiswa bernama Muhammad Sulaiman.11 Judul skripsinya adalah “Masalah Agama dalam Cerpen ‘Kubur’”.12
9
Cerpen Ratmana yang berjudul “Kubur” termasuk cerpen yang paling populer di antara cerpennya yang lain karena sempat mengundang reaksi yang cukup keras. Mengenai hal tersebut, lihat pendapat Muhammad Sulaiman yang masih di dalam subbab ini. Cerpen “Kubur” ini terdapat di dalam buku pertamanya yang berjudul Sungai, Suara dan Luka. 10 Dikutip oleh Wie dalam artikelnya yang berjudul “Diluncurkan. Buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis,” Kompas Jawa Tengah, 9 Maret, 2005, hlm. 8. 11 Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 1983, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Kini, M. Sulaiman menjadi pengajar sastra Indonesia di Universitas Pancasakti, Tegal.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
25
Menurut Sulaiman, cerpen “Kubur” yang merupakan satu-satunya cerpen keagamaan Islam yang bisa dijumpai dalam kumpulan cerpen pertamanya sempat mengundang reaksi yang cukup keras dari masyarakat pembaca sehingga membuat Ratmana menulis sebuah cerpen untuk meralat cerpen tersebut. Peneliti lain yang pernah membahas karya Ratmana dalam skripsinya, yaitu Mukhridin (2002) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Unsur Pendidikan Kumpulan Cerpen Dua Wajah Karya SN Ratmana dan Implikasinya bagi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMU”. Ia mengungkapkan aspek-aspek didaktis yang ditemukan dalam cerpen-cerpen Ratmana. Peneliti lainnya, yaitu Cusin (2006), melalui skripsinya yang berjudul “Analisis terhadap Unsur Didaktis dalam Kumpulan Cerpen Asap Itu Masih Mengepul Karya SN Ratmana sebagai Upaya Pemilihan Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMU” membahas unsur didaktis dan cara Ratmana menyampaikan unsur didaktis tersebut di dalam karyanya. Selain Mukhridin dan Cusin, ada juga Umi Maghfiroh (2006). Dalam skripsinya yang berjudul “Tema Cerita Karya-karya SN Ratmana”, ia mengungkapkan tema-tema apa saja yang terdapat dalam karya-karya SN Ratmana. Ia mengidentifikasikan tema-tema yang muncul dalam karya-karyanya SN Ratmana, yaitu pendidikan, misteri, keagamaan, penjajahan, kematian, dan sosial.
12
Dengan judul yang sama, Sulaiman pernah mengirim ulasan singkat dari skripsinya ini ke harian Terbit yang dimuat pada tanggal 12 Juli 1991.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
26
2.3 Karya-karya SN Ratmana Pria yang mencintai dunia baca sejak sebelum sekolah ini mulai menulis sejak tahun 1950-an. Pada dekade tersebut, ia menghasilkan sajak berjudul “Tjeritera Kamar” dan delapan cerpen, yaitu “Permata”, “Air Rasa”, “Dua Orang Pasien dan Kucing”, “Anugerah yang Pahit”, “Keluh”, “Batubara”, “Ulang Tahun”, dan “Hati yang Berbelah”. Namun, cerpen pertamanya yang berjudul “Di Muka Tungku” tidak dikirim ke media karena, menurut Ratmana, belum layak untuk diterbitkan. Meskipun Ratmana terkenal sebagai seorang cerpenis, karya pertamanya yang dimuat di media adalah sajaknya, “Tjeritera Kamar”. Sajak tersebut hadir di lembar budaya gelanggang majalah Siasat tahun 1955 dengan menggunakan nama sebenarnya, yaitu Soetjiningrat. Setelah itu, barulah bermunculan cerpen-cerpen SN Ratmana di media. “Permata” merupakan cerpennya yang pertama kali dimuat di media cetak, yaitu majalah Kisah tahun 1956. Ketika itulah, ia menggunakan nama SN Ratmana untuk pertama kalinya. Memasuki dekade selanjutnya, karya-karya SN Ratmana semakin banyak mewarnai majalah dan koran, seperti Kisah, Siasat, Abadi, Gema Islam, Sarinah, Sastra, Horison, Kompas, Suara Merdeka, Terbit, dan Pikiran Rakyat. Tahun 1999, sebuah novelnya terbit secara bersambung di harian Republika. Novel tersebut merupakan novel pertama Ratmana dengan judul Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Berbicara 1966—1998 (2002). Setelah itu, muncul novel keduanya, Sedimen Senja (2006), yang mengangkat tema guru. Novel lainnya, “Slogan”, yang ditulisnya pada tahun 1977 ditemukan dalam bentuk ketikan di H.B. Jassin. Novel yang berkisah
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
27
tentang guru dan mempunyai jalan cerita yang serupa dengan Sedimen Senja itu tidak atau belum diterbitkan. Kumpulan cerita pendeknya yang sudah diterbitkan, yaitu Sungai, Suara, dan Luka (Sinar Harapan, 1981), Asap itu Masih Mengepul (Balai Pustaka, 1998), dan Dua Wajah dan Sebuah Sisipan (Kepel Press, 2001). Terakhir, ia menerbitkan kumpulan cerpen tentang kehidupan guru, yaitu Soetji Menulis di Balik Papan Tulis (Wacana Bangsa, 2005). Karya tersebut diluncurkan pada bulan Maret 2005, tepat pada ulang tahunnya yang ke-69. Kumpulan cerpen itu berisi 18 cerpen yang khusus bercerita tentang guru dengan tebal 170 halaman. Selama lebih dari 50 tahun perjalanannya menulis karya, Ratmana telah menghasilkan puluhan cerpen, sajak, dan esai, serta menerbitkan sejumlah buku. Tiga cerpennya, yaitu “Kubur”, “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”, dan “Mendiang” dimuat dalam empat antologi sastra. Cerpen “Kubur” dimuat di dalam Angkatan 66: Prosa dan Puisi karya H.B. Jassin, sedangkan “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga” yang menang dalam sayembara penulisan cerpen Kincir Emas (1975) dimuat dalam buku kumpulan cerpen Dari Jodoh sampai Supiyah. Cerpen Ratmana yang berjudul “Mendiang” dimuat oleh Satyagraha Hoerip di dalam 30 Cerpen Indonesia dan Cerita Pendek Indonesia dan Jakarta. Selain itu, cerpen ini juga dimasukkan dalam Apresiasi Cerita Pendek (2) dan bersama cerpen lainnya dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam buku Kritik Sastra Indonesia Mutakhir. “Tojo” merupakan cerpen yang dimuat dalam Cerpen Kompas Terpilih 1970—1980 Dua Kelamin bagi Midin. Selain “Tojo”, cerpen “Sepi Tanpa Tepi” juga menjadi cerpen pilihan yang dimuat di Cerpen Kompas Terpilih 1981—1990 Riwayat
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
28
Negeri Yang Haru. Cerpen ini pun terdapat dalam buku Dari Fansuri ke Handayani. Sebuah buku berjudul Bidadari Sigar Rasa: Suara Jawa Tengah memuat cerpencerpen Ratmana, seperti “Sepi Tanpa Tepi”, “Wali”, “Mendiang”, “Tasini”, dan “Kubur”. Tahun 2002, cerpen Ratmana pernah diangkat menjadi sinetron di sebuah stasiun televisi swasta, yakni Lativi. Tidak tanggung-tanggung, ada dua buah cerpen yang digarap, yaitu “Errata” dan “Magrib Menggelap”. Bagi Ratmana, peristiwa ini merupakan kebanggaan tersediri dalam sejarah hidupnya. Dua tahun belakangan ini, Ratmana masih aktif membuat cerpen. Tiga cerpen terbarunya telah dimuat di harian Suara Merdeka. Cerpen-cerpen tersebut adalah “Duh”, “Lelaki Tua dalam Tiga Peristiwa”, dan “Orong-orong”. Cerpen “Duh” dimuat pada tanggal 14 Mei 2006, sedangkan “Lelaki Tua dalam Tiga Peristiwa” dan “Orong-orong” masing-masing dimuat pada tanggal 1 April 2007 dan 21 Oktober 2007. Selama proses berkaryanya itu pula Ratmana menghasilkan esai-esai yang dipublikasikan dalam harian Kompas. Ini saya cantumkan di bagian lampiran.
2.4 Ulasan Cerpen-cerpen SN Ratmana Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kumpulan cerita pendek SN Ratmana yang sudah terbit, yaitu Sungai, Suara, dan Luka (1981), Asap itu Masih Mengepul (1998), Dua Wajah dan Sebuah Sisipan (2001), dan Soetji Menulis di Balik Papan Tulis (2005). Berikut ini adalah paparan singkat mengenai cerpen-cerpen tersebut.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
29
2.4.1 Kumpulan cerpen Sungai, Suara, dan Luka Sungai, Suara, dan Luka memuat enam belas cerpen. Kumpulan cerpen ini terbagi atas tiga bagian, yaitu “Sungai yang Keruh”, “Suara dari Sudut Sana”, dan “Luka”. Di dalam bagian pertama, ada enam buah cerpen, yaitu “Kubur”, “Persona Non Grata”, “Seorang Pelopor Sebuah Angkatan”, “Sang Profesor”, “Kambuh”, dan “Tojo”. Pada bagian kedua, juga terdapat enam buah cerpen, yakni “Tamu”, “Pada Malam yang Keruh”, “Pak Sapran”, “Diagnosa”, “Mendiang”, dan “Guru”. Sementara di dalam bagian ketiga, terdapat empat buah cerpen, yakni “Anjing yang Setia”, “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”, “Bungkam”, dan “Rambut”. Delapan dari enam belas cerpen tersebut bukan merupakan cerita tentang guru. Secara garis besar, cerpen-cerpen Ratmana yang tidak bercerita tentang guru ini merupakan potret sosial yang mungkin terjadi di sekitar kita. Sebagai contoh, cerpen “Seorang Pelopor Sebuah Angkatan”, “Sang Profesor”, “Pada Malam yang Keruh”, dan ”Tojo” menampilkan setting zaman revolusi, proklamasi, dan masa pendudukan Jepang dan Sekutu. Setting yang dibuat oleh SN Ratmana membuat pembaca seolaholah bisa melihat dan merasakan zaman-zaman tersebut. Selanjutnya adalah cerpen “Kubur”. Cerpen yang sempat ramai dibicarakan orang ini bercerita tentang suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah keluarga. Pertentangan terjadi antara paman dengan seorang putranya. Pertentangan ini berkaitan dengan masalah agama. Konflik yang terjadi dilancarkan lewat surat karena mereka tinggal di kota yang berlainan. Pertentangan yang terjadi itu berkenaan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
30
dengan soal penembokan kubur istri paman. Sebelumnya, “Kubur” pernah dimuat di dalam majalah Sastra no. 10/11 tahun II/1962. Salah satu cerpen yang menarik di dalam kumpulan cerpen ini adalah “Seorang Pelopor Sebuah Angkatan”. Ratmana dengan lihai menceritakan bagaimana seorang pengarang membuat karya sastra, apa yang dirasakan ketika sedang dikejarkejar deadline, serta strategi dalam menarik perhatian pembaca, dan menyaingi pengarang-pengarang lain. Dalam cerpen tersebut, ditampilkan sosok pengarang yang berambisi menjadi orang kaya dengan tulisan-tulisannya. Cerpen “Sang Profesor” dan “Kambuh” termasuk cerpen yang berbau sensual, dalam hal arti mengandung unsur yang mengarah ke seks, tetapi tidak vulgar. Pilihan kata yang begitu halus dan jalan cerita yang ditampilkan hanya sekadar untuk membuat pembaca merasa penasaran dan terpacu untuk membaca sampai selesai. “Sang Profesor” mengangkat kisah seorang ahli di bidang agama yang tertarik pada orang yang sejenis, sedangkan “Kambuh” merupakan cerpen yang absurd. Cerpen “Pada Malam yang Keruh” dan “Tojo” memiliki tema yang hampir sama. Kedua cerpen ini mengangkat kisah mengenai orang China (dalam “Pada Malam yang Keruh”) dan orang Jepang (dalam “Tojo”) yang dicurigai oleh masyarakat Indonesia. Meskipun mereka tidak bersikap seperti orang-orang China dan Jepang pada umumnya,13 kebaikan hati mereka tidak begitu saja diterima dan dipercaya oleh masyarakat. Gaya penceritaan pengarang yang menempatkan orang China dan orang Jepang tersebut sebagai tokoh utama membuat pembaca merasa
13
Mengingat setting yang dibuat adalah zaman penjajahan, secara umum orang China dan Jepang dianggap sebagai sosok yang jahat.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
31
prihatin. Sepertinya pengarang mencoba menyampaikan bahwa ada di antara warga China maupun Jepang yang memiliki hati nurani yang tulus untuk bermasyarakat dengan warga Indonesia. Cerpen “Tojo” dimuat di Kompas, 27 September 1977. Terakhir adalah cerpen “Rambut”. Dalam cerpen ini juga ada unsur absurditas. Isi dari cerpen ini lebih kepada guyonan. Cerpen ini pernah dimuat di harian Kompas, 11 Januari 1981.
2.4.2 Kumpulan cerpen Asap Itu Masih Mengepul Dari sepuluh cerpen yang dimuat di dalam kumpulan cerpen ini, ada tujuh cerpen, yakni “Sepi Tanpa Tepi”, “Tidur”, “Tuan Besar Tempe”, “Gila”, “Letih”, “Ayah”, dan “Sang Paduka” yang tidak bercerita tentang guru. Agak berbeda dengan kumpulan cerpen Sungai, Suara, dan Luka, cerpen-cerpen yang ada pada Asap Itu Masih Mengepul secara umum tidak mengambil setting zaman tertentu. Namun, secara keseluruhan cerpen-cerpen ini masih mengangkat kisah tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, di dalam antologi ini, ada beberapa cerpen yang isinya berupa sindiran yang dikemas secara halus oleh SN Ratmana, baik melalui tokoh, maupun tidak. Cerpen “Sepi Tanpa Tepi” pernah hadir di dalam harian Kompas, 22 Agustus 1982. Cerita yang dibuat oleh Ratmana ini terasa sekali gaya realisnya. Ratmana menciptakan tokoh yang ingin tahu rasanya mati. Di dalam cerpen ini, diperlihatkan bahwa waktu yang diberikan selama kita masih hidup harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Alangkah tidak etis jika kita berkeinginan untuk mati selagi masih diberi kesempatan hidup.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
32
Selanjutnya adalah cerpen “Tidur”. Cerpen ini bercerita tentang usaha seorang laki-laki yang ingin melihat temannya tidur. Ada rasa penasaran yang tak terbendung dari tokoh “aku” yang ingin melihat ekspresi wajah teman barunya ketika memejamkan mata atau tidur. Berbagai upaya telah ia lakukan, tetapi selalu saja gagal. Suatu hari, ia akhirnya berhasil mendapatkan temannya itu tidur. Namun, ia salah mengira karena ternyata temannya itu telah meninggal. Sebuah potret sosial mengenai gambaran kehidupan yang terjadi di sekitar kita tampak pada cerpen “Tuan Besar Tempe”. Di dalam cerpen ini, diperlihatkan bahwa seorang pemimpin atau atasan tidak boleh menjadi bahan pembicaraan, apalagi jika omongan tersebut menjelek-jelekkan pimpinan. Cerpen ini mengingatkan saya pada masa orde baru yang tidak memperbolehkan masyarakat membicarakan hal negatif apa pun tentang presiden yang saat itu sedang memimpin bangsa ini. Disinggung pula bahwa orang kecil atau bawahan harus mengikuti semua perintah atasan. Cerita yang disisipi guyonan ini dikemas dengan baik oleh Ratmana tanpa menimbulkan reaksi negatif di masyarakat pembaca. Cerpen “Tuan Besar Tempe” pernah dimuat di Kompas, 10 November 1985. Di dalam cerpen “Gila” pengarang berusaha memperlihatkan kehidupan manusia yang sudah mulai “gila”. Ratmana menampilkan tokoh orang gila yang sadar dari kegilaannya, namun di mata orang lain ia tetap dianggap gila. Meskipun demikian, masyarakat selalu mendengar dan mempercayai ucapan-ucapan dari orang gila ini. Hal ini terlihat pada dialog-dialog antara orang gila itu dan orang-orang di sekitarnya. Bagaimana negeri ini tidak “gila” melihat yang waras saja sudah percaya pada yang gila.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
33
Teknik penceritaan yang agak berbeda dari cerpennya yang lain tampak pada cerpen “Letih”. Dalam cerpen ini, Ratmana menggunakan teknik penceritaan akuan. Awalnya, “aku” ditujukan pada seorang anak laki-laki. Kemudian, di tengahtengah cerita, “aku” digambarkan sebagai tokoh lain, yaitu seorang kepala sekolah. Mungkin cerpen ini diangkat dari kisah hidup pengarang yang ketika itu sedang menghadapi masalah pertama di pekerjaan barunya sebagai kepala sekolah. Ia sengaja memasukkan informasi mengenai kondisi orang yang pernah berurusan dengannya. Orang tersebut adalah anak laki-laki yang dibicarakan di awal cerita. Sementara itu, inti cerita dari cerpen “Sang Paduka” hampir serupa dengan “Sang Profesor”. Sepertinya ada sindiran yang secara halus ingin disampaikan pengarang. Lagi-lagi Ratmana menampilkan sebuah sosok yang dikagumi dan dipuja oleh banyak orang. Di hadapan semua orang, tokoh Sang Paduka hadir sebagai sosok yang imperialis, kolonialis, dan berwibawa, padahal semua itu tak lebih dari sebuah topeng belaka. Di balik itu semua, ia adalah orang yang haus akan kepuasan dan kekuasaan. Meskipun demikian, hal ini tidak diketahui oleh masyarakat karena statusnya yang merupakan seorang Paduka.
2.4.3 Kumpulan cerpen Dua Wajah dan Sebuah Sisipan Di dalam kumpulan cerpennya yang ketiga ini, penerbit menghadirkan enam belas cerpen, sama seperti Sungai, Suara, dan Luka yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berjudul “Wajah Pertama”. Bagian kedua berjudul “Sisipan”, dan bagian ketiga berjudul “Wajah Kedua”. Pada bagian pertama, dihadirkan tujuh buah cerpen, yakni “Langkah Pertama”, “Dimulai dengan Kesulitan”, “Karena Siang
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
34
Terlalu Panas”, “Aib”, “Magrib Menggelap”, “Errata”, dan “Di Pojok Kota Semarang”. Bagian kedua hanya berisi dua buah cerpen, yaitu “Si Pembual” dan “Dua Lelaki”, sementara bagian ketiga, berisi cerpen “Luh”, “Vvveeee!!!!”, “Sunat”, “Tamu Agung”, “Hanya Beberapa Milimeter”, “Wali”, dan “Mulus”. Dari enam belas cerpen yang ada pada kumpulan cerpen ini, sembilan di antaranya tidak bercerita tentang guru. Tema yang diangkat pada Dua Wajah dan Sebuah Sisipan lebih variatif dibandingkan dengan dua kumpulan cerpen sebelumnya. Sebagai contoh awal, cerpen “Magrib Menggelap”. Cerpen ini lebih bersifat syi’ar. Beberapa pesan moral, seperti tidak boleh memfitnah dan tidak boleh membohongi diri sendiri, disampaikan secara tersirat oleh pengarang. Cerpen “Kubur” yang sempat mengundang reaksi dari masyarakat pembaca menjadikan Ratmana membuat semacam ralat. Hal ini diwujudkan melalui sebuah karya sastra berjudul “Errata” yang dimuat dalam majalah Horison. Dalam cerpen ini, Ratmana seperti menceritakan kembali peristiwa ketika menghadapi orang-orang yang merasa dibicarakan di dalam cerpennya. Lewat cerpen inilah ia klarifikasi bahwa cerpen yang ia buat hanya sekadar menuangkan gejala kemasyarakatan, yang kebetulan terjadi di lingkungan keluarganya, ke dalam bentuk sastra. Ia pun merasa tulisannya itu bernilai sastra. Nama-nama tokoh yang hampir serupa dengan nama yang ada di dunia nyata dianggap sebagai ilham seorang pengarang ketika membuat karya sastra. Selanjutnya, sebuah potret sosial terlihat pada cerpen ”Dua Lelaki” dan “Luh”. Kedua cerpen di atas menyingkap masalah perselingkuhan dan penyesalan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
35
dalam hidup. Dalam “Dua Lelaki”, Ratmana menceritakan kehidupan pria-pria hidung belang yang gemar mencari “hiburan” ketika ada waktu senggang. Kasus seperti ini belum banyak dibicarakan, namun sebenarnya sudah marak terjadi di lingkungan kita. Tokoh Darto digambarkan mendapat masalah karena ternyata wanita yang biasa ditidurinya adalah kakak dari pacar anaknya. Sementara Fredy telah salah mengira seorang wanita yang dia kira pelacur di tempat tersebut. Di luar perkiraannya, ternyata wanita itu sedang mengantar suaminya. Wanita tersebut pun memilih dan membayar langsung pelacur pilihannya. Hal ini dilakukan lantaran sedang tidak bisa melayani sang suami. Di dalam “Luh”,14 Ratmana menggambarkan seorang wanita yang punya saudara cacat. Penyesalan akan sikapnya yang terkadang suka tidak menghiraukan adiknya itu datang ketika adiknya wafat secara tidak wajar. Selama tiga hari berturutturut adiknya menangis, hingga pada akhir tangisnya mata tersebut bukan sekadar mengeluarkan luh, melainkan cairan berwarna kuning kecokelatan, pertanda luhnya bercampur darah. Keunikan cerita ditemukan pada cerpen “Vveeeeeeee!!!” dan “Mulus”. Lewat cerpen ini, Ratmana membawa imajinasi kita ke hal-hal yang berbau sensualitas. Secara garis besar, cerpen “Vveeeeeeee!!!” menampilkan suara hati para pelacur yang merasa selalu ditindas dan dihina, padahal mereka merasa bahwa mereka pun merupakan salah satu pihak yang turut andil dalam pembangunan negara. Mereka ingin diakui oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada bagian akhir cerita, pengarang menggambarkan situasi ribuan peserta kongres Aswabur (Asosiasi Wanita 14
Luh = air mata.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
36
Penghibur) yang berhamburan dari sebuah gedung dalam keadaan telanjang bulat. Tanpa kecuali, semuanya dengan telanjang menghampiri demonstran anti-Aswabur. Sementara itu, cerpen “Mulus” menghadirkan tokoh Herman yang punya hobi mengumpulkan rambut wanita. Rambut yang dimaksud di sini adalah rambut pada alat kelamin wanita. Benda ini diperoleh dari para wanita yang pernah tidur dengannya. Meskipun demikian, ia sebenarnya lebih suka dengan wanita yang alat kelaminnya bersih tanpa bulu. Pilihan kata yang sederhana dan umum pada kedua cerpen ini memudahkan kita untuk larut dalam imajinasi itu. Cerpen “Sunat” hanya berupa suara hati anak kecil yang mau disunat. Lain halnya dengan “Tamu Agung” dan “Wali”, kisah dalam kedua cerpen ini juga berkenaan dengan religi. Kejadian yang ada pada cerpen “Tamu Agung” dan “Wali” sepertinya tidak asing atau sesuatu yang benar-benar terjadi di masyarakat. “Tamu Agung” bercerita tentang seorang laki-laki tua yang tahu bahwa ajalnya sudah dekat. Tamu agung di sini dideskripsikan sebagai malaikat pencabut nyawa. Dalam cerpen “Wali”, dikisahkan sebuah perdebatan antara keluarga Pak Kardi dan masyarakat di sekitarnya. Di hari yang sama, keluarga Pak Kardi yakin betul bahwa kematian Pak Kardi terjadi sebelum subuh, sedangkan warga bersikeras bahwa Pak Kardi telah menjadi imam ketika mereka sholat Subuh di masjid. Kehebohan peristiwa ini membuat banyak orang sering datang ke makam Pak Kardi. Warga menduga bahwa Pak Kardi adalah seorang wali. Istri dan anak Pak Kardi merasa terganggu dengan kondisi ini. Perkara ini pun akhirnya dibawa ke pengadilan. Cerpen “Wali” pernah dimuat Kompas, 2 Juli 2000.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
37
Demikianlah deskripsi singkat riwayat hidup dan proses kreatif SN Ratmana. Dari deskripsi tesebut, setidaknya terlihat bagaimana tema yang digarap Ratmana. Bagaimana guru terkait dengan cerpen-cerpen Ratmana akan disampaikan dalam uraian bab berikut.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
38
BAB 3 CITRA GURU DALAM CERPEN-CERPEN SN RATMANA
3.0 Pengantar Dapat dikatakan bahwa sebuah karya sastra merupakan jelmaan dari hasil cipta manusia yang peka terhadap masalah-masalah kehidupan sosial di masyarakat. Kehidupan sosial ini mencakup berbagai kalangan, salah satunya adalah guru. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002), guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah. Sebagai seorang pendidik, guru mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sering menjadi sorotan publik ketika terjadi masalah di dunia pendidikan. Banyaknya masalah yang juga melibatkan guru membuat citra
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
39
guru menjadi beragam di masyarakat. Dalam hal ini, SN Ratmana yang juga merupakan seorang guru menggambarkan berbagai macam citra guru dalam cerpencerpennya. Sehubungan dengan hal tersebut, seperti yang sudah dijelaskan dalam bab pendahuluan, penelitian ini akan menjelaskan dan mengungkapkan bagaimana citra guru dalam cerpen-cerpen SN Ratmana. Akan tetapi, sebelum memasuki pembahasan tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai citra guru yang ideal di masyarakat.
3.1 Komentar tentang Citra Ideal Seorang Guru di Masyarakat Sebelum memaparkan citra guru yang terdapat dalam cerpen-cerpen Ratmana, ada baiknya dibahas dulu definisi dari citra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002:216), citra dibatasi sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Definisi lain dari citra adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia (Eddy, 1991), citra disebut juga imaji. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa citra adalah gambaran yang dimiliki seseorang atau lebih mengenai pribadinya. Ketika kita mengaitkan citra dengan guru, berarti yang akan dibicarakan adalah sebuah gambaran dari seorang guru mengenai tingkah laku (perbuatan), penampilan, sifat (karakter), dan pribadi yang dimilikinya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
40
Secara umum, ada beragam gambaran sosok seorang guru yang dihadirkan Ratmana dalam cerpen-cerpennya. Dari hasil pembacaan, setidaknya ada sembilan citra seorang guru dalam cerpen-cerpen SN Ratmana. Dalam pengklasifikasian ini, tidak dapat dipastikan bahwa satu cerpen hanya mewakili satu citra guru karena telah ditemukan beberapa cerpen yang memiliki lebih dari satu citra guru. Sebelumnya, perlu dipaparkan terlebih dahulu gambaran ideal seorang guru di masyarakat. Gambaran mengenai guru ini dihimpun dari berbagai macam sumber, seperti buku Menjadi Guru Profesional karya E. Mulyasa dan Guru adalah Segalagalanya karya Earl V. Pullias dkk., serta pengalaman hidup masyarakat. Pengalaman hidup di sini hanya merupakan informasi tambahan. Masyarakat mempunyai gambaran yang berbeda-beda mengenai guru yang ideal. Dengan demikian, dapat dilihat apakah cerpen-cerpen Ratmana sudah mencakup citra guru yang dikenal masyarakat atau belum. Setiap guru memiliki kepribadian yang sesuai dengan latar belakang mereka sebelum menjadi guru. Kepribadian dan pandangan guru serta latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Guru adalah manusia unik yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Perbedaan karakter ini akan menyebabkan situasi belajar yang variatif. Dengan banyaknya karakter, tercipta ragam citra dari seseorang. Sebuah citra dapat terbentuk dari peran, fungsi, tugas, atau penampilan orang tersebut. Gambaran yang melekat pada guru diserap oleh masyarakat sehingga tertangkap citra guru yang ideal. Berbicara tentang citra guru tidak bisa dilepaskan pada peran, fungsi, tugas, atau penampilan saja, tetapi perbuatan dan tindak-tanduk guru pun menjadi
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
41
pertimbangan. Oleh karena itu, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai bagaimana gambaran umum dari peran atau fungsi seorang guru. Mulyasa (2007) menyebutkan 18 peran atau fungsi guru yang ideal, yaitu guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan kulminator. Sementara itu, Pullias (1983) mengidentifikasi 14 peran guru yang ideal, yaitu guru sebagai pembimbing, pendidik, pembaru, teladan, pencari, penasihat, pencipta, orang yang berwibawa, pengilham cita-cita, pekerja rutin, perombak, penutur cerita dan pelakunya, orang yang berani menghadapi kenyataan, dan penilai. Ada beberapa citra guru yang sama antara yang digambarkan Mulyasa dan Pullias. Kesamaan citra ini akan dijadikan satu kesimpulan baru, sedangkan sisanya akan digabungkan. Dapat dikatakan bahwa dari peran-peran yang sudah disebutkan terlihat citra guru yang dikonsepkan atau diharapkan masyarakat. Dengan kata lain, citra guru ideal tidak jauh dari apa yang telah digambarkan Mulyasa dan Pullias. Berikut uraian-uraiannya.
3.1.1 Guru sebagai pendidik Pullias (1983) berpendapat bahwa guru sebagai pendidik mencoba untuk menguasai kegiatan-kegiatan tertentu yang kiranya dapat membantu murid untuk membuat hal-hal yang sulit dan rumit menjadi dimengerti dan berarti. Sementara itu, Mulyasa (2007) menilai bahwa guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, anutan, dan identifikasi bagi para murid dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
42
memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, mandiri, disiplin, dan wibawa. Berkaitan dengan tanggung jawab, guru harus mengetahui dan memahami nilai, norma moral, dan norma sosial, serta berusaha berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam pembelajaran di sekolah dan kehidupan bermasyarakat. Berhubungan dengan disiplin, dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan para murid di sekolah. Oleh karena itu, dalam menanamkan tindakan dan perilaku disiplin, guru harus memulai dari dirinya sendiri. Berkenaan
dengan
wibawa,
guru
harus
memiliki
kelebihan
dapat
merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan. Menurut Pullias, guru yang berwibawa adalah guru yang tahu dan sadar bahwa ia tahu. Seorang guru perlu mempunyai pengetahuan yang luas. Memang benar bahwa guru tidaklah sempurna, namun sebagai pemegang kewibawaan sesungguhnya ia tahu lebih banyak daripada mereka yang diajarnya.
3.1.2 Guru sebagai pengajar Sebagai pengajar, guru harus memiliki tujuan yang jelas, yakni membuat keputusan secara rasional agar murid memahami keterampilan yang dituntut oleh pembelajaran. Sejak ada kehidupan, sejak itu pula guru telah melaksanakan pembelajaran. Hal tersebut memang merupakan tanggung jawabnya yang pertama
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
43
dan utama. Berkembangnya teknologi belum mampu menggantikan peran dan fungsi seorang guru.
3.1.3 Guru sebagai pembimbing Seorang guru adalah seorang pembimbing dalam proses belajar-mengajar. Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi murid, melihat keterlibatan murid dalam pembelajaran, memaknai kegiatan belajar kepada murid, dan melaksanakan penilaian terhadap murid.
3.1.4 Guru sebagai pelatih Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan intelektual dan motorik sehingga hal ini menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Sebagai pelatih, guru bertugas melatih murid dalam pembentukan kompetensi dasar sesuai dengan potensi masing-masing.
3.1.5 Guru sebagai penasihat Guru merupakan seorang penasihat bagi murid, bahkan bagi orang tua. Ia mungkin tidak mempunyai pendidikan khusus untuk menjadi penasihat dan mungkin juga tidak ingin menasihati orang. Banyak guru cenderung menganggap bahwa
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
44
menasihati seseorang itu serupa dengan mengatur hidup orang lain. Oleh karena itu, mereka tidak begitu senang berada dalam situasi seperti ini. Akan tetapi, menjadi guru pada tingkat mana pun memang berarti menjadi penasihat dan menjadi orang kepercayaan.
3.1.6 Guru sebagai pembaharu (inovator) Seorang guru ideal adalah guru yang dapat memaparkan ilmu pengetahuannya dengan istilah-istilah yang dimengerti oleh murid. Dalam hal ini, terdapat jurang yang luas antara generasi tua dan muda sehingga mereka mempunyai kesukaran untuk mengerti satu sama lain. Murid yang belajar di masa sekarang secara psikologis sulit untuk memahami, mencerna, dan mewujudkan ilmu pengetahuan yang diterima dari guru. Guru harus menjembatani jurang ini. Tugas guru adalah memahami bagaimana keadaan jurang pemisah ini dan bagaimana menjembataninya secara efektif. Menurut Zakiyah dalam “Pendidik Profesional”,15 sebagai inovator, guru diharapkan melakukan seleksi informasi tidak hanya didasarkan nilai informasi generasi yang lampau, tetapi juga pada kemungkinan relevansi dan nilainya bagi generasi yang sedang tumbuh. Dalam hal ini, seorang pendidik harus memasukkan aspek masa depan tatkala menyeleksi informasi tersebut.
3.1.7 Guru sebagai model dan teladan Guru merupakan model atau teladan bagi para murid dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Menjadi teladan memang merupakan bagian 15
S. U. Zakiyah, “Pendidik Profesional,” Pikiran Rakyat, 1 Desember, 2005, hlm. 2.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
45
pengajaran yang tidak dapat dielakkan oleh seorang guru. Secara teoretis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan.
3.1.8 Guru sebagai pribadi Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya. Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan.
3.1.9 Guru sebagai peneliti/pencari Pembelajaran merupakan seni yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian yang di dalamnya melibatkan guru. Itulah sebabnya guru merupakan seorang pencari atau peneliti. Dia tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu. Oleh karena itu, dia sendiri merupakan subjek pembelajaran. Dengan kesadaran bahwa dia tidak mengetahui sesuatu, dia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian. Sikap guru yang senantiasa mencari sangat mudah dirasakan dan ditiru oleh murid. Usaha mencari pengetahuan terus-menerus oleh guru itu meyakinkan murid-muridnya bahwa tidak tahu merupakan hal yang wajar dalam hidup, bahkan hal itu lebih merupakan alat untuk berkembang daripada halangan.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
46
3.1.10 Guru sebagai pendorong krativitas Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran. Guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Sebagai orang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreativitas merupakan hal yang universal. Oleh karena itu, semua kegiatannya ditopang, dibimbing, dan dibangkitkan oleh kesadaran itu. Ia sendiri adalah seorang kreator dan motivator yang berada di pusat proses pendidikan.
3.1.11 Guru sebagai pekerja rutin Guru bekerja dengan keterampilan dalam kegiatan rutin tertentu yang amat diperlukan dan cukup memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka dapat mengurangi atau merusak keefektifan guru dalam semua peranannya. Di samping itu, kegiatan rutin yang tidak disukai guru pun dapat merusak dan mengubah sikapnya terhadap pembelajaran. Sebagai contoh, dalam setiap kegiatan pembelajaran, guru harus membuat persiapan tertulis. Apabila guru tersebut tidak menyukai tugas ini, dia akan merusak keefektifan pembelajaran.
3.1.12 Guru sebagai perombak/pemindah kemah Menurut Pullias (1983), guru adalah seorang perombak. Dia membantu pelajar meninggalkan hal yang lama supaya dapat mengalami hal baru. Guru sebagai perombak berusaha mengetahui di dalam diri setiap muridnya tentang pandangan dan kebiasaan manakah yang kini menghalangi kemajuan murid. Mulyasa (2007)
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
47
menggunakan istilah pemindah kemah untuk perombak. Menurutnya, guru adalah seorang pemindah kemah yang suka memindah-mindahkan dan membantu murid meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami. Secara umum dapat disimpulkan bahwa guru sebagai perombak/pemindah kemah adalah guru yang berusaha keras untuk mengetahui masalah, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah menghalangi kemajuan muridnya. Guru pun berusaha membantu murid menjauhi dan meninggalkan hal tersebut dan mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai.
3.1.13 Guru sebagai pembawa cerita Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita, manusia bisa mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang dihadapinya dan menemukan gagasan untuk kehidupan yang diperlukan oleh orang lain sehingga bisa disesuaikan dengan kehidupan mereka. Selain itu, cerita pun dapat membuat kita belajar untuk menghargai kehidupan sendiri. Guru sebagai pembawa cerita menuturkan berbagai cerita tentang kehidupan kepada murid. Guru tidak takut menjadi alat untuk menyampaikan cerita-cerita tentang kehidupan karena dia tahu sepenuhnya bahwa cerita itu sangat bermanfaat bagi murid dan dia berharap dapat menjadi pembawa cerita yang baik.
3.1.14 Guru sebagai aktor Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
48
penonton. Penampilan yang bagus dari seorang aktor akan mengakibatkan para penonton tertawa, mengikuti dengan sungguh-sungguh, dan bisa pula menangis karena terbawa oleh penampilan sang aktor. Untuk bisa berperan sesuai dengan tuntutan naskah, guru sebagai aktor harus menganalisis kemampuan dan persiapannya, memperbaiki kelemahannya, menyempurnakan aspek-aspek baru dari setiap penampilannya, serta mempergunakan pakaian dan tata rias sebagaimanamestinya. Sebagai aktor, penelitian yang dilakukan guru tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan pada kepribadian manusia tersebut sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya. Dengan demikian, dia dapat merencanakan kembali pekerjaannya.
3.1.15 Guru sebagai emansipator Adakalanya murid menilai bahwa dirinya merupakan pribadi yang tidak berharga, dicampakkan orang lain, dan selalu diuji dengan berbagai kesulitan. Dalam situasi seperti ini, murid pun menjadi putus asa. Untuk itulah, guru hadir sebagai seorang emansipator. Dia membangkitkan murid supaya pribadinya menjadi lebih percaya diri. Hal ini senada dengan Zakiyah (2002) yang mengatakan bahwa sebagai emansipator, guru diharapkan membantu membawa individu atau kelompok ke tingkat perkembangan kepribadian lebih tinggi, dalam hal sikap ilmu pengetahuan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
49
dan keterampilan yang memungkinkan mereka dapat berdiri sendiri dan membantu sesamanya.16
3.1.16 Guru sebagai evaluator Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran murid. Mengingat kompleksnya proses penilaian, guru perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai karena sebuah penilaian perlu dilakukan secara adil.
3.1.17 Guru sebagai pengawet Salah satu tugas pendidikan adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun masa depan. Salah satu sarana pendidikan yang diwariskan secara turun-temurun adalah kurikulum atau dapat diartikan sebagai program pembelajaran. Dalam perkembangannya, kurikulum memiliki sifat yang fleksibel sehingga memungkinkan guru melakukan perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai pengawet, guru harus berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya. Dia harus menguasai materi standar yang akan disajikan 16
Ibid.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
50
pada murid. Itulah sebabnya, setiap guru dibekali pengetahuan sesuai dengan bidang yang dipilihnya.
3.1.18 Guru sebagai kulminator Belajar di ruang kelas tidak bersifat insidental, melainkan terencana, artifisial, dan sangat selektif. Guru harus mampu menghentikan kegiatannya pada suatu unit tertentu dan kemudian maju ke unit berikutnya. Untuk itu, diperlukan kemampuan menciptakan suatu kulminasi (akhir) pada unit tertentu dari suatu kegiatan belajar. Hal ini bisa berbentuk menutup pelajaran, menarik atau membuat kesimpulan bersama murid, melaksanakan penilaian, mengadakan kenaikan kelas, atau mengadakan karya wisata. Guru sebagai kulminator adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi).
3.1.19 Guru sebagai pencipta Guru adalah pencipta. Dalam waktu yang sama, dia adalah orang yang merangsang daya cipta orang lain. Guru sebagai pencipta peka terhadap kemampuan menciptakan sesuatu yang tak terbatas oleh muridnya. Apabila seorang guru dapat dengan cepat mengetahui bahwa lingkungannya dipenuhi dengan murid-murid kreatif, mereka akan dapat bekerjasama dan saling menikmati hasil karya mereka masing-masing.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
51
3.1.20 Guru sebagai pengilham cita-cita Guru sebagai pengilham cita-cita dapat menyampaikan kepada murid mengenai nilai dan makna tiap-tiap individu. Jika dikaitkan dengan pendapat itu, kecakapan dan latihan-latihan yang telah dilakukan sehari-hari mempunyai tujuan dan arti yang tidak sia-sia. Guru yang tekun tentu ingin membebaskan diri dari berbagai macam pendapat yang dapat menghalangi pelaksanaan pekerjaannya dengan baik. Dia tahu bahwa dia takkan mampu memberikan cita-cita besar kepada muridmurid apabila dia sendiri tidak mempunyai pandangan tersebut.
3.1.21 Guru sebagai orang yang berani menghadapi kenyataan Dari berbagai macam kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap orang, ada beberapa perkara yang dicari dengan sengaja dan ada yang selalu luput dari pandangan. Guru berusaha bersikap objektif terhadap murid. Tidaklah mudah untuk mempunyai pandangan mengenai diri sendiri yang objektif sifatnya. Ada banyak bahaya dalam proses menghadapi kenyataan. Untuk itu, setiap individu harus mempunyai harga diri. Perasaan ini harus dipertahankan apabila orang itu meninjau dirinya secara lebih teliti dan menemukan banyak ciri yang tidak disukainya. Selagi guru menunjukkan kekurangan si murid, dia juga harus menjelaskan jalan apa yang harus ditempuh si murid agar dapat menuju ke arah perkembangan yang lebih baik. Kesimpulannya, citra guru yang diciptakan pendidik terbentuk sebagaimana yang ditentukan oleh peran yang diharapkan masyarakat. Ketika kita mendengar kata guru, paling tidak yang terbayang dalam benak kita adalah sejumlah hal yang digambarkan oleh Mulyasa dan Pullias, yaitu guru sebagai pendidik, pengajar,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
52
pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu (inovator), model atau teladan, pribadi, peneliti/pencari, pendorong kreativitas, pekerja rutin, perombak/pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, kulminator, pencipta, pengilham cita-cita, dan orang yang berani menghadapi kenyataan.
3.2 Guru sebagai Pendidik yang Tegas dan Bertanggung Jawab Seorang guru harus memiliki kemampuan sosial dan personal. Kemampuan sosial adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar, sedangkan kemampuan personal terkait dengan kemampuan dan potensi dalam diri seorang guru. Sebagai seorang pendidik, guru diharapkan dapat menjadi orang tua di sekolah maupun luar sekolah. Citra guru sebagai pendidik yang tegas dan penuh tanggung jawab ini terlihat dalam beberapa cerpen SN Ratmana, salah satunya “Di Pojok Kota Semarang”. Cerita ini diawali dengan guru yang sedang mengawasi para murid yang sedang ujian. Ketegasan seorang guru dalam mendidik muridnya bisa ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menerapkan peraturan larangan keras untuk menyontek. Dalam cerpen ini, digambarkan bahwa di tengah-tengah ujian, tiba-tiba kelas dikagetkan oleh seorang murid yang menyampaikan berita tentang teman sebangkunya yang sakit. Kelas yang awalnya tenang menjadi gaduh karena semua berusaha mencari tahu tentang kejadian itu. Murid yang dinyatakan sakit adalah seorang perempuan bernama Tati. Ia sedang tidak enak badan hingga akhirnya pingsan. Sebagai orang tua di sekolah, para guru melakukan berbagai upaya untuk
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
53
menyadarkan dan menyembuhkannya. Ada dua tokoh guru yang hadir dalam cerpen ini, yaitu guru “aku” sebagai tokoh utama dan guru Rahmat. Sebenarnya “aku” sangat panik dengan kondisi seperti ini, sampai-sampai para murid yang sedang diawasi ujian pun ditinggalkannya. Ia sadar betul bahwa para murid pasti mengambil kesempatan dalam peristiwa ini, tetapi untuk sementara hal tersebut tidak begitu dipedulikannya. Belum sempat dibawa ke rumah sakit, Tati sadar. Kali ini kedua guru tersebut menawarkan diri untuk mengantar Tati pulang. Tentu saja ini juga salah satu upaya untuk melindungi atau menjaga Tati. Di akhir cerita, “aku”, Rahmat, dan Endang (teman Tati) mengantar Tati pulang. Tanpa disangka, setibanya di rumah Tati, mereka disambut keluarga Tati dengan sikap yang kasar. Keluarga Tati mengira keterlambatan Tati adalah karena sedang pergi berpacaran. Cerpen “Di Pojok Kota Semarang” menghadirkan sosok guru yang tegas dan bertanggung jawab. Jika kita perhatikan cerita di bagian awal tersebut, Ratmana menyinggung soal budaya murid yang mencontek saat ujian. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Para pelajar tidak kuawasi benar, sebab mereka sudah kuancam, barang siapa berbuat curang, atau lazimnya disebut ngepek, maka pekerjaannya tidak akan kuperiksa yang berarti mendapat nilai nol. Mereka jadi takut sebab memang sudah pernah ancaman itu kulakukan. Kejam memang dirasakan oleh para pelajar tindakan semacam itu seperti halnya anggapanku terhadap guruku yang dulu bertindak demikian. Bagaimana pun mau tidak mau aku harus mengurangi penyakit yang umum menjangkiti para pelajar, penyakit terlalu mengejar nilai dengan jalan curang. (hlm. 17— 18).
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
54
Mungkin bagi beberapa murid, tindakan tersebut hanyalah kata-kata indah belaka karena pada kenyataannya guru sering tidak memperhatikan dengan benar perbuatan muridnya itu. Namun, ada juga guru yang betul-betul membuktikan omongannya. Seperti kutipan tersebut, untuk mencegah perbuatan mengejar nilai dengan cara yang curang, perlu ada ketegasan dari guru sehingga murid benar-benar mendapat nilai dengan cara yang murni. Tokoh “aku” merasa bersyukur karena Rahmat mau membantunya. Sikap Rahmat yang cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan untuk menyadarkan Tati sangat berbeda dengan “aku”.
Cepat-cepat Rahmat mengambil sepedanya. “Tunggui Tati sampai aku datang kemari” katanya dari atas sadel. Sepeda dikayuhnya cepat-cepat. Kagum aku pada semangat dan kesungguh-sungguhan Rahamat dalam menolong Tati ini. Atau sekurangkurangnya aku kagum pada kesigapannya dalam memutuskan sesuatu tindakan. Terus terang pikiranku terlalu lamban untuk hal-hal serupa itu. Bahwa kami menolong Tati kurasa memang menjadi kewajiban kami karena kami adalah gurunya. (hlm. 20).
Tindakan yang dilakukan guru Rahmat merupakan bagian dari rasa tanggung jawabnya sebagai orang tua di sekolah. Kesigapan Rahmat menunjukkan bahwa ia adalah guru yang tegas. Apabila terjadi sesuatu pada Tati, tentunya sebagai guru, “aku” dan Rahmat akan menanggung beban yang lebih berat lagi. Oleh karena itu, tidaklah heran melihat usahanya yang begitu gigih dalam mencari cara membawa Tati ke rumah sakit. Salah paham yang terjadi antara keluarga Tati dan kedua gurunya meninggalkan rasa tidak enak pada diri Tati. Ia telah berusaha agar tidak terkena
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
55
masalah. Namun, kondisi yang tidak fit membuatnya sulit untuk menghindar dari masalah yang akan dihadapinya. Tati tahu bahwa ia tidak boleh pulang telat. Meskipun mencoba berjalan secepat mungkin agar bisa tiba di rumah sedini mungkin, Tati tetap tidak berhasil meloloskan diri dari pantauan keluarganya yang telah menunggu di depan rumahnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Tati berjalan paling depan. Langkahnya langkah orang yang terburuburu. Tidak sepatah kata pun ia ucapkan. Kami mengikuti langkahnya yang berakhir pada sebuah rumah pekarangan yang cukup lebar. Waktu dia sampai di ambang pintu rumahnya kulihat dari sebuah bangku di tempat kegelapan berdiri seorang laki-laki. “Kenapa kamu pulang? Ayo balik!” bentak laki-laki itu tiba-tiba, “Tidak usah menginjak rumah ini. Balik!” “Saya sakit, Mas” “Bosan aku mendengar alasanmu!” kata laki-laki itu pula sambil mendorong tubuh Tati. “Ayo balik! Tidak sudi aku kepondokan gadis macam kau, tahu!” “Maaf, saudara. Sebentar saya jelaskan duduk persoalan keterlambatan Tati,” kata Rahmat sambil mendekati laki-laki itu. “Saudara tidak usah ikut campur. Saya sedang memarahi adik saya sendiri.” “Kami berdua ini gurunya.” “Saya tidak peduli apa gurunya apa lurahnya. Semuanya tidak usah ikut campur!” kata laki-laki itu dengan nada meninggi. “Hei Tati, kenapa diam?” ... Aku tidak tahan lagi, mau maju bicara dengan laki-laki itu, tapi Rahmat menarikku. Aku masih mau terus maju, sebaliknya Rahmat menarikku makin kuat. Terpaksa aku menuruti kehendak kawanku itu, meninggalkan pekarangan rumah Tati. Murid kami itu mengejar kami. Mula-mula cuma menangis, tetapi akhirnya terucap kata-kata: “Terima ... terimakasih [sic!], Pak. Dan ma ... maaf.” “Ya, ya.” (hlm. 22—23).
Karena belum sempat menjelaskan duduk persoalan, “aku”, Rahmat, dan Endang pun diusir. Geram sekali rasanya kedua guru tersebut dikira dan diperlakukan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
56
seperti itu. Namun, mereka tidak mau ambil pusing karena tanggung jawabnya sebagai guru telah dijalankan dengan baik. Cerpen ini diselesaikan Ratmana pada tahun 1963. Jadi, latar waktu cerpen tersebut adalah sekitar tahun 1960-an. Saat itu Ratmana sudah membeberkan usaha murid dalam menyontek. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kehidupan nyata, sebuah pendapat dikemukakan oleh guru bernama Derianto.17 Ia mengatakan bahwa menyontek sudah menjadi tradisi kalangan siswa dan mahasiswa berbagai sekolah dan universitas. Sebagai guru, Derianto merasa perlu melakukan analisis terhadap murid yang senang menyontek. Sekolah-sekolah di Indonesia mengajarkan murid untuk berpikir, bukan menghafal. Oleh karena itu, masih menurut Derianto, tidak ada gunanya menyontek bagi murid yang tidak belajar untuk berpikir. 18 Di sisi lain, ada seorang guru mengaku kecewa dengan murid sekarang yang sering mencontek. Silvi Anhar,19 seorang guru SD di Jakarta, dalam tulisannya berjudul
“Ayooo...
Kamu
Ketahuan...
Nyontek
Lagi...
Nyontek
Lagi...”
mengungkapkan kekecewaannya terhadap murid yang menyontek. Meskipun telah diancam berkali-kali, murid tetap saja melakukan kegiatan tersebut. Dengan memberikan ujian, guru berharap dapat mengetahui sampai sejauh mana materi diterima atau dipahami siswa. Dengan demikian, apabila hampir sebagian besar siswa mendapat nilai kurang dari Standar Kriteria Belajar Minimum (SKBM), guru tersebut akan melakukan introspeksi untuk dirinya dan juga siswanya. 17
Derianto merupakan seorang guru di salah satu SD Negeri Jakarta. Di blog yang ia tulis tidak tercantum nama sekolah tempatnya mengajar. 18 Dikutip dari tulisan Derianto yang berjudul “Nyontek? Masih Level?” tanggal 1 Desember 2007 di http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php?start=0&t=15. 19 Silvi Anhar. “Ayooo... Kamu Ketahuan... Nyontek Lagi... Nyontek Lagi...” dalam http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3941.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
57
Dalam cerpen “Di Pojok Kota Semarang” ini, Ratmana tidak hanya menyoroti guru yang tegas dan bertanggung jawab. Ia pun memberikan gambaran bahwa budaya menyontek memang sudah ada sejak dulu. Masalah yang diangkat Ratmana dalam cerpennya ini merupakan berita yang aktual sampai sekarang. Selain dalam cerpen “Di Pojok Kota Semarang”, citra guru sebagai pendidik yang bertanggung jawab dapat pula ditemukan dalam cerpen “Diagnosa”. Melalui cerpen “Diagnosa”, Ratmana menanggapi kasus pergaulan bebas yang terjadi di kalangan murid. Cerpen ini bercerita tentang seorang dokter yang tahu bahwa ada murid dari temannya, yang merupakan seorang guru, terkena pergaulan bebas. Suatu hari, seorang wanita muda datang ke seorang dokter untuk berobat. Dari perwatakan wanita muda itu, dokter mengira-ngira usia wanita tersebut sekitar 19 tahun. Ia pun mulai curiga. Namun, ketika mengajukan beberapa pertanyaan, tidak tampak keraguan pada wanita itu dalam menjawab pertanyaan dokter. Beberapa pertanyaan, seperti siapa nama suaminya, berapa usia perkawinannya, sudah punya anak atau belum, apa pekerjaan suaminya, dan sebagainya, dijawabnya dengan tegas, lancar dan memesona. Semua berjalan dengan baik hingga suatu hari dokter tersebut mendapat tugas memeriksa kesehatan para pemuda tamatan Sekolah Lanjutan Atas yang ingin memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Ia kaget karena pemuda yang akan ia periksa adalah pemuda yang mengantar wanita muda waktu itu. Setelah ditelusuri, ternyata segala informasi yang dikatakan oleh wanita muda itu palsu. Data
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
58
diri yang digunakannya adalah data dari kakaknya yang telah bersuami. Pantas saja dia tahu betul segala jawaban dari pertanyaan dokter. Merujuk pada pendapat Mulyasa (2007:37) bahwa guru yang bertanggung jawab harus mengetahui dan memahami nilai dan norma moral, berarti seorang guru berkewajiban menanamkan arti nilai dan norma moral kapada murid-muridnya. Tanggung jawab guru sebagai orang tua tidak hanya di sekolah. Orang tua berharap agar guru pun membantu memperhatikan anak-anaknya di luar sekolah. Guru sebagai pendidik mencoba untuk menanamkan pengetahuan bahwa pergaulan bebas dapat merusak masa depan murid itu sendiri. Penanaman ini pun tidak sekadar dalam bentuk teori, tetapi dengan memberikan contoh kasus dari orang yang pernah terjerumus di dalamnya. Jika murid mengerti dan menjadikannya pengetahuan yang berarti, maka guru dapat dikatakan berhasil mendidik muridnya agar tidak terkena pergaulan bebas. Dalam kehidupan nyata, banyaknya kasus kawin usia dini dan hubungan seks bebas terkait dengan minimnya pendidikan seks yang diperoleh si anak dari orang tua maupun guru di sekolahnya. Persoalan seks bebas itu bermula dari kurangnya pendidikan budi pekerti dalam keluarga. Orang tua maupun keluarga seharusnya memberikan pendidikan agama yang cukup agar si anak tidak terjebak pergaulan bebas. Selain orang tua, peran guru di sekolah sudah ikut menentukan dalam mencegah pergaulan bebas di lingkungan pendidikan sekolah. Penjelasan yang cukup dari guru di sekolah akan membuat siswa paham dan mengerti dampak yang akan ditimbulkan kalau melakukan hubungan seks bebas dan kawin pada usia dini.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
59
Melahirkan pada usia dini akan membawa dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup si bayi maupun kesehatan ibunya. Melalui cerpen “Diagnosa”, Ratmana ingin mengingatkan betapa maraknya pergaulan bebas. Hal tersebut bisa terjadi pada siapa pun. Oleh karena itu, guru sebagai orang tua di sekolah juga perlu mewaspadai segala perilaku dan pergaulan dari murid-muridnya. Kepedulian seorang guru pada murid sebenarnya merupakan wujud dari tanggung jawab yang harus diterapkan kapan pun dan di mana pun. Tanggung jawab dan kepedulian guru dalam cerpen ini terlihat lewat kutipan berikut.
Pikiranku lari pada seorang teman yang jadi guru pada sebuah sekolah lanjutan. Beberapa minggu yang lalu dia datang padaku. Dengan nada yang sangat murung dia menuturkan tentang pergaulan yang keterlaluan di antara sekelompok murid-muridnya. Malah temanku itu bertanya apakah di antara murid-muridnya ada yang pernah datang kepadaku meminta pertolongan, atau petunjuk-petunjuk akibat pergaulan semacam itu. Andaikata ada, dia meminta agar aku tidak merahasiakan. “Demi ketinggian norma pergaulan dan pendidikan kita,” katanya. Sebenarnya dia sedang mencari fakta yang kongkret tentang pegaulan yang ia ceritakan sendiri. (hlm. 49).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sebagai seorang pendidik, selain di sekolah, secara tidak langsung guru pun mempunyai kewajiban melindungi muridmuridnya dari hal-hal negatif. Pergaulan bebas yang menjadi potret buram kehidupan remaja membuat tanggung jawab guru menjadi lebih berat. Seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan peredaran VCD porno menjadi perkara yang lumrah di kalangan remaja. Di dalam diri remaja terdapat potensi besar berupa idealisme, sikap kritis, dan inovatif yang akan menjadi penentu berhasil tidaknya kebangkitan sebuah bangsa.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
60
Selain dua cerpen tersebut, Ratmana juga membuat sebuah cerpen yang berjudul “Karena Siang Terlalu Panas”. Dalam cerpen ini, guru juga diperlihatkan sebagai sosok yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Cerpen ini mengisahkan seorang guru yang harus menjemput adiknya di stasiun. Ia berangkat pada jam menjelang kedatangan adiknya. Setibanya di sana, guru “aku” bertemu dengan seorang ibu bernama Sri yang kebetulan mengenal dirinya. Sri merupakan kenalan dari Suharti, murid “aku”. Percakapan yang singkat antara “aku” dan Sri yang tergesa-gesa ternyata menimbulkan efek yang tidak enak bagi “aku”. Ia dimintai tolong untuk menyampaikan pesan kepada Suharti. “aku” sudah berusaha menghindar dari permintaan itu, tetapi rasa kasihan terhadap Sri menjadi pertimbangan. Setelah “aku” tiba di rumah yang dituju, orang yang dicari “aku” ternyata tidak ada di rumah tersebut. Isi pesan Sri kepada Suharti adalah bahwa barang milik Sri berupa besek ada yang tertinggal. Barang tersebut diminta diantarkan Edi atau dikirim lewat pos secepatnya. Untungnya, ada orang sebelah rumah Suharti yang mendengar ketukan pintu “aku”. Sayangnya orang itu tidak menunjukkan sikap bersahabat. Dia justru mencecarkan pertanyaan yang menambah kekesalan “aku”. Misteri Sri yang minta tolong pada “aku” dan sikap orang di sebelah rumah Suharti akhirnya terkuak ketika “aku” bertemu Suharti di sekolah. Suharti menuturkan bahwa orang yang tinggal di sebelah rumahnya itu adalah Edi, suami Sri. Mereka habis bertengkar yang mengakibatkan kepergian Sri dari rumahnya. Dalam cerpen ini, kita hampir tidak menemukan apa sebenarnya yang dipermasalahkan cerpen tersebut. Cerpen ini hanya menggambarkan seorang guru
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
61
yang apes karena keluguan atau kebodohannya. Paling tidak, lewat cerpen ini SN Ratmana berusaha menampilkan seorang guru yang mau membantu seorang ibu secara maksimal. Hal ini memperlihatkan wujud kepedulian seorang guru terhadap masyarakat di sekitarnya. Peristiwa dalam cerpen tersebut tidak hanya menunjukkan guru sebagai pendidik yang bertanggung jawab, tetapi juga sebagai orang yang berwibawa. Menilik perkataan Pullias (1983:62—64), ia menyebutkan bahwa guru yang berwibawa adalah guru yang tahu dan sadar bahwa ia tahu. Guru harus rendah hati dan mempunyai keberanian sebagaimana seorang pemimpin. Ia harus menjadi orang yang tahu dan yakin akan pengetahuannya. Guru memang tidak sempurna, tetapi sebagai pemegang kewibawaan sesungguhnya ia tahu lebih banyak daripada orang yang diajarkannya. Tindakan dari tokoh “aku” dalam cerpen “Karena Siang Terlalu Panas” memperlihatkan bahwa ia adalah seorang guru yang berwibawa. Setelah berusaha menghindar, akhirnya “aku” terpaksa menuruti permintaan Sri. Meskipun ada perasaan berat, “aku” tetap menjalankan perannya sebagai guru yang bertanggung jawab. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
“Saya rasa Anda masih punya tempo untuk mengambilnya dengan naik becak.” “Tidak mungkin,” katanya sambil menggeleng. Kenapa tidak mungkin? Tanyaku dalam hati. Perjalanan pulang balik ke rumah Suharti paling lama memakan waktu dua puluh lima menit. Atau barangkali dia tidak punya uang untuk ongkosnya. Terus terang ada perasaan berat di hatiku untuk begitu saja memenuhi permintaannya, meskipun aku sudah mengenal keluarga Suharti.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
62
“Begini saja, mBak,” usulku, “Kopor saya tunggukan disini [sic!] sementara Anda mengambil barang yang ketinggalan itu dengan naik becak. Kalau kebetulan Anda tidak ........” Kalimat itu tidak kulanjutkan. Kuatir kalau-kalau menyinggung perasaanya. Siapa tahu dugaanku tadi keliru. Kuperhatikan reaksinya. Nampaknya dia kecewa melihat sikapku. Beberapa saat matanya berkedipkedip memandangku. “Tolonglah Dik, katakan hal itu pada Suharti. Benar-benar saya mengharapkan kesudian Adik,” katanya dengan nada memelas. Anak yang digendongnya tiba-tiba menangis, meronta-ronta, meminta sesuatu dengan ucapan-ucapan yang tidak kupahami. Namun perempuan itu tenang saja. Nampaknya kepastian dariku dianggapnya lebih penting daripada menuruti kehendak anaknya. Hanya pada saat gerakan si anak begitu membahayakan dia memeganginya erat-erat. “Bagaimana, Dik?” desaknya pula dengan suara yang menghiba. Aku jatuh kasihan padanya. Kupikir apa yang ada di depanku bukanlah tontonan yang mesti dibiarkan saja. “Baiklah,” kataku kemudian. (hlm. 26—27).
Guru mungkin mulai beranggapan bahwa keputusannya selalu tepat (Pullias, 1983:64). Namun, sikap ini memungkinkan seseorang yang berada dalam kedudukan kewibawaan menghadapi masyarakat dengan senang hati dan penuh penghargaan. Guru semacam ini melayani semua orang dengan cara yang sama. Ia menumbuhkan penghargaan kepada pengetahuan, kekuatan, keterbatasan, serta hubungannya dengan perkembangan manusia. Berkenaan dengan hal tersebut, Ratmana dalam cerpennya ini menggambarkan citra guru yang bertanggung jawab dan berwibawa di masyarakat, serta dapat diteladani semua orang. Selanjutnya, lewat cerpen “Tamu” Ratmana menghadirkan guru sebagai pendidik yang tegas di sekolah. Ini merupakan tanggung jawab sekaligus kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang guru. Guru berkewajiban mengajar dan membimbing murid di sekolah. Peran guru sebagai pengajar telah diuraikan dalam bab 2.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
63
Sementara itu, peran guru sebagai pembimbing memerlukan kompetensi yang tinggi
untuk
melaksanakan
empat
hal,
yakni
merencanakan
tujuan
dan
mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai, melihat keterlibatan murid dalam pembelajaran, memaknai kegiatan belajar, dan melaksanakan penilaian (Mulyasa, 2007:41—42). Jika keempat hal tersebut telah dijalani dan dilewati dengan baik, maka guru itu tergolong sebagai pendidik yang ideal. Kembali pada cerpen “Tamu” yang dibuat Ratmana, cerpen ini bercerita tentang tokoh guru bernama Amin yang memilih untuk tidak bergabung dengan guru lainnya di ruang guru. Kebetulan saat itu ruang guru sedang dalam perbaikan sehingga untuk sementara ruang guru pindah ke bangunan darurat yang letaknya berseberangan dengan ruangan kelas, terpisah oleh jalan raya. Waktu istirahat yang begitu singkat membuat Amin malas untuk pergi ke gedung tersebut. Ketika sedang menikmati saat-saat istirahat, tanpa disangka ada murid yang bertingkah laku mencurigakan. Amin melihat seorang pelajar menyerahkan sehelai foto kepada temannya. Di luar dugaannya, ternyata foto tersebut merupakan foto wanita telanjang. Perbuatan muridnya itu, bagi Amin, sangat tidak bisa dimaafkan. Untuk mencegah kejadian seperti ini lagi, Amin segera melaporkan peristiwa tersebut kepada direktur sekolah. Alhasil, murid itu dihukum tidak boleh masuk sekolah selama 10 hari. Sikap Amin yang tegas dan keras terhadap muridnya ini memperlihatkan kepeduliannya pada anak tersebut. Sebagai orang tua, sudah sewajarnya mereka marah melihat anaknya melakukan kesalahan. Apalagi perbuatan anak tersebut termasuk fatal, yaitu membawa foto telanjang ke sekolah dan memperlihatkannya
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
64
pada murid lain. Tidak tertutup kemungkinan ada lagi murid lain melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, memberi hukuman berat bisa dijadikan contoh agar murid lain tidak ada pikiran atau keinginan untuk mengulang kejadian tersebut. Hal ini diungkapkan tokoh Amin lewat kutipan berikut.
“Kalau saya memarahimu tidak berarti kau harus bersalah pada saya,” kata Amin sesudah agak lama berdiam diri. “Sebagai gurumu saya berkewajiban menegur dan memarahimu kalau kamu melakukan kenakalan atau apa saja yang mengganggu ketertiban sekolah, ngerti!” (hlm. 45—46).
Gambaran guru sebagai pengajar dan pembimbing menurut Mulyasa sejalan dengan yang digambarkan SN Ratmana dalam cerpennya. Mulyasa menyebutkan bahwa guru sebagai pembimbing memerlukan kompetensi yang tinggi. Amin dalam “Tamu” menggunakan wewenangnya sebagai guru ketika menghukum muridnya. Ia membuat keputusan yang dinilai rasional. Hukuman yang diserahkan pada direktur sekolah bukan berarti membuat Amin tidak mau/tidak berani memberi hukuman, tetapi ia yakin bahwa direktur sekolah bisa lebih bijaksana dalam memberikan hukuman. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Jadi benar saya memarahimu tapi engkau tidak secara langsung bersalah pada saya. Oh ya, bagaimana sikap Bapak Direktur terhadapmu?” “Saya dihukum, sepuluh hari tidak diperbolehkan masuk sekolah.” “Dua orang temanmu lainnya?” “Tidak diapa-apakan.” “Tidak diapa-apakan?” “Hanya diberi nasihat-nasihat dan dilaporkan pada orang tua masingmasing.” “Kau pahami nasihat-nasihat itu?” “Ya, Pak. Sungguh-sungguh saya merasa berdosa pada Tuhan.” Seperti tersentak, Amin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut si tamu. Diawasinya pelajar itu. Dia curiga kata-kata itu hanya sekedar [sic!] menyenangkan hati Amin.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
65
“Lantas apa yang mesti kau perbuat sesudah pengakuan ini?” “Tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.” “Bagus, bagus,” kata Amin kegirangan. “Saya rasa semuanya cukup bagus bagimu. Terimalah nasihat-nasihat dan hukuman dari Bapak Direktur itu, kemudian bertobat. Saya cukup jadi saksi apakah kamu bisa mematuhi kata-katamu itu ataukah tidak.” (hlm. 46).
Sehubungan dengan kasus yang dipaparkan Ratmana dalam cerpen “Tamu”, dalam dunia nyata, kasus membawa foto porno mulai merembet ke video porno. Hampir semua murid sudah memiliki ponsel (telepon seluler). Dengan teknologi ini, gambar dan video porno mulai marak dan digemari para pelajar. Sebagai contoh kasus, sebuah razia dilakukan oleh jajaran Kepolisian Polresta Mojokerto untuk memastikan apakah ada gambar dan video porno yang sengaja disimpan dalam ponsel siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Mojokerto bulan September 2007 yang lalu.20 Hal yang sama terjadi juga di Pekalongan. Untuk mencegah peredaran gambar porno di sekolah, siswa SD, SLTP, dan SLTA di Kota Pekalongan dilarang membawa ponsel di sekolah. Tidak sedikit siswa yang ketahuan membawa ponsel dengan gambar porno, seperti diungkap di berbagai media.21 Peristiwa yang terjadi di daerah Mojokerto dan Pekalongan ini memperlihatkan bahwa persebaran gambar atau video porno sudah demikian luas hingga pelosok daerah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus seperti ini sudah lebih marak lagi terjadi di daerah ibu kota.
20
Dikutip dari website http://beritaheboh.wordpress.com/2007/10/03/polisi-razia-ponsel-pelajardua-diketahui-terdapat-file-dan-video-porno/#more-262 tanggal 1 Desember 2007. 21 “Sebaiknya Siswa Dilarang Bawa Ponsel di Sekolah” dalam Suara Merdeka, 16 Desember, 2006, hlm. 1.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
66
Ponsel memang sangat membantu komunikasi siswa dengan keluarganya, terutama bila terjadi sesuatu di sekolah. Namun, dampak negatifnya lebih besar karena mereka bisa menyebarkan gambar-gambar porno ke teman-temannya. Mereka pun menggunakan ponsel saat pelajaran berlangsung sehingga mengganggu siswa lain, bahkan mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini, guru perlu berlaku tegas. Dengan demikian, mungkin kondisi semacam ini bisa berkurang. Dalam cerpen “Tamu”, kasus yang diangkat SN Ratmana adalah membawa foto porno. Dilihat dari tahun pembuatan cerpen, yaitu 1963, latar waktu yang digunakan Ratmana dalam cerpen ini adalah sekitar tahun 60-an. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kasus foto/gambar porno telah lama ada di dunia pendidikan.
3.3 Guru sebagai Bahan Ejekan dan Objek Pemerasan Bagaimana citra guru di benak para siswanya? Dengan tidak bermaksud menggeneralisasi, Indriyani (Kompas, 2007:1) menyatakan bahwa sebagian siswa merasa “alergi” dengan guru. Guru masih dicap sebagai killer, pemarah, bawel, dan sombong. Belum lagi, ada siswa yang sering berharap agar guru mata pelajarannya tidak masuk. Yang lebih memprihatinkan, masih menurut Indriyani, murid melakukan “ritual” yang diamini teman-teman sekelasnya, seperti “Mudah-mudahan ibu/bapak A tidak masuk kelas!” dan sebagainya. Adakalanya ketika seorang guru mengalami musibah, siswa bukan bersimpati dan berempati, tetapi bersorak-sorai meluapkan kegembiraan karena gurunya pasti tidak akan mengajar. Kasus ini menunjukkan bahwa guru belum bisa menjadi sosok
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
67
anutan yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya. Dengan kata lain, guru belum menjadi best of the best; the best friend, the best teacher, ataupun the favourite teacher, seperti yang dikatakan oleh Indriyani (2007). Hal ini tentunya berakar pada sosok guru itu sendiri dalam berinteraksi dengan siswanya, baik di kelas maupun di luar kelas. Sebagai makhluk sosial, guru terkadang mengalami masa sulit di dalam hidupnya. Ketika baru pertama kali mengajar, ia diganggu, dikerjai, bahkan diejek oleh murid-muridnya sendiri. Mungkin itulah sebabnya, ada guru yang memberikan kesan galak atau tegas di awal pertemuan supaya tidak dianggap remeh oleh para murid. Tidak hanya sebagai bahan ejekan, guru pun ada yang menjadi korban pemerasan sekolah dan pemerintah. Ia harus menghadapi masa-masa di mana harus membayar iuran, membeli seragam, bahkan dimutasi akibat suatu kesalahan yang disengaja maupun tidak. Sosok guru yang menjadi bahan ejekan dan objek pemerasan ini dituangkan Ratmana dalam empat cerpennya yang berjudul “Langkah Pertama”, “Dimulai dengan Kesulitan”, “Tamu”, dan “Upeti”. Cerpen “Tamu” hadir kembali dalam subbab ini karena cerpen ini juga menghadirkan guru yang menjadi bahan ejekan murid-muridnya. Cerpen “Langkah Pertama” bercerita tentang kegundahan hati guru yang akan menghadapi ujian praktik mengajar. Rasa gundah yang ia rasakan merupakan pengaruh dari rasa takut akan gagalnya ia ketika ujian. Ia takut pada para eksaminator yang terdiri dari orang berkebangsaan Eropa, direktur sekolah itu sendiri, dan tiga orang dosen. Kehadiran mereka memang memberi kemungkinan bahwa kelas tidak akan gaduh atau sampai ada murid yang berani berbuat kurang ajar. Tentunya ini
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
68
akan menguntungkan bagi Nyoto, si guru. Namun, tetap saja ia deg-degan menghadapi semua ini. Meskipun Nyoto telah berkali-kali melatih diri, tetap saja ia temukan beberapa kesulitan, seperti bagaimana memulai mengajar yang baik atau kata-kata apa yang harus diucapkan pertama kali, dan sebagainya. Untuk mengatasi itu semua, Nyoto berkonsultasi pada temannya, Hidayat. Sebenarnya, usia Hidayat yang jauh di bawah Nyoto membuatnya merasa digurui. Akan tetapi, itu tidak menjadi masalah mengingat hal tersebut dapat memberikan dampak positif bagi Nyoto. Di akhir cerita, setelah melalui berbagai persiapan, Nyoto dapat melalui ujian yang mencemaskannya itu. Dalam cerpen ini, gaya pencerita yang digunakan Ratmana adalah diaan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Dalam kecemasannya kadang-kadang Nyoto merasa menjadi korban dari sistem pendidikan yang praktis. Pada Kursus B-1 yang diikutinya tidak ada mata kuliah Praktek (baca: praktik, penulis) Mengajar, tetapi sekarang dia harus diuji mengajar sesudah lulus dalam mata ujian lainnya. Memang mengajar nampaknya sangat mudah. Suatu kecakapan yang dapat diperoleh dari pengalaman, tanpa ketekunan. Tetapi bahwa dia bisa tidak lulus dari kursus tadi karena tidak lulus dalam ujian Praktek [sic!] Mengajar, sangat ia rasakan sebagai sesuatu yang tidak adil. (hlm. 1—2).
Dengan teknik ini, Ratmana menempatkan posisinya sebagai orang yang tahu segala yang dilakukan dan dirasakan Nyoto. Penjabaran mengenai perasaan Nyoto digambarkan Ratmana dengan baik dan jelas. Bisa jadi kemahiran Ratmana dalam menceritakan pengalaman seorang guru dalam mengajar ini merupakan pengalaman pribadinya atau pengalaman guru di sekitarnya. Secara keseluruhan, dalam cerpen ini
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
69
tidak ada konflik. Cerita hanya dihabiskan pada kecemasan Nyoto yang akan menghadapi ujian praktik mengajar. Teknik penceritaan yang digunakan Ratmana menimbulkan kesan bahwa pengarang hanya ingin menyampaikan cerita tentang langkah pertama seorang guru. Secara umum masalah yang diangkat dalam cerpen “Langkah Pertama” merupakan pengalaman yang rata-rata dialami guru ketika pertama kali mengajar. Ada seribu satu perasaan yang berkecamuk di dalam hati mereka, seperti grogi, tenang, deg-degan, bimbang, santai, dan sebagainya. Dalam hal ini, penampilan juga turut menjadi perhatian utama. Jika kita kembalikan dalam cerpen Ratmana, tokoh Nyoto pun mengalami hal yang serupa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
Keesokan harinya sebelum berangkat ke tempat ujian dia berdiri di depan cermin lebih lama daripada biasanya. Belum pernah dia memperhatikan cara dirinya sendiri berdandan begitu teliti seperti pada pagi itu. Pantaskah kombinasinya? Apakah potongan celananya patut dikenakan oelh seorang guru? Apakah sepatu yang berbunyi ‘kiyet-kiyet’ tiap kali digunakan untuk melangkah itu tidak ditertawakan oleh murid? Entah berapa kali saja Nyoto memutar tubuh di depan cermin seperti peragawati yang sedang berdandan, dan entah berapa kali pula ia menjenguk ke dalam cermin untuk meyakinkan bahwa kumisnya, kumis yang jarangjarang itu, telah tercukur bersih. Dan hampir setiap tertatap wajahnya sendiri, wajah yang bulat dan berkacamata itu, timbul pertanyaan dalam benaknya: ‘Pantaskah aku jadi guru?’. Karena kesalnya akhirnya dia menjawab sendiri: ‘Tidak ada barang yang tidak pantas pada jaman [sic!] yang serba darurat ini’. (hlm. 6—7).
Dalam kenyataannya, di masa sekarang pun orang masih mengalami apa yang dirasakan Nyoto dalam “Langkah Pertama”. Seorang guru bernama Lyntrias (2006) mengaku lumayan grogi karena tahu keterbatasannya, yaitu sering lupa dan suaranya, menurut beberapa temannya, datar sehingga membuat mengantuk. Untunglah ada
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
70
temannya, yang sudah punya pengalaman menjadi dosen lebih dahulu, memberinya motivasi dan dorongan agar ia lebih dulu menguasai suasana dan menciptakan situasi sehingga ia sudah bisa diterima oleh mereka. Pengalaman lain dipaparkan oleh Asuwir Azzurri22 ketika ia mengajar sebagai dosen. Proses mengajar ia jalani dengan cukup lancar walau masih merasakan “masih harus banyak belajar” untuk menjadi dosen atau pengajar yang baik. Berbekal melihat dosen mengajar, pengalaman mengisi workshop dan seminar, dan wawancara dengan berbagai teman, akhirnya proses mengajar di minggu awal dapat dilalui dengan baik. Ada beberapa catatan menarik dari pengalaman dari Azzurri ini. Pertama, sebelum mengajar muncul keinginan kuat untuk mengajar dengan baik, keinginan untuk membantu orang lain memahami pelajaran dengan mudah muncul begitu kuatnya. Akibatnya, materi di modul telah dipelajari berulang-ulang. Kedua, berangkat dari hal tersebut, perlahan-lahan ia mulai memahami sudut pandang dari sisi seorang pengajar. Beberapa pengalaman tersebut kembali menunjukkan bahwa cerpen Ratmana termasuk cerpen yang kisahnya itu aktual, seolah-olah Ratmana tahu bahwa sampai kapan pun kurang lebih beginilah peristiwa dan perasaan yang dialami seorang guru baru. Cerpen yang memperlihatkan guru sebagai bahan ejekan terlihat dalam cerpen “Dimulai dengan Kesulitan”. Cerpen ini berkisah tentang seorang guru baru yang mempunyai kekurangan, yaitu tidak bisa menyebutkan huruf R. Hari pertama ke sekolah, ia berpakaian lengkap: jas dan celana wol abu-abu, dasi merah, dan sepatu hitam yang licin dan mengkilap. Di hari pertamanya mengajar, para murid lebih 22
Dikutip dari website http://azuwir.web.id/?p=4, tanggal 1 Desember 2007.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
71
tersita perhatiannya pada penampilan sang guru. Bagi mereka penampilan guru barunya ini sangat unik. Ketika mulai mengajar, sebenarnya guru ini sudah merasa ada yang tidak beres di belakangnya. Bisik-bisik di antara para murid pun mulai terdengar. Ada yang menanyakan namanya, mengomentari pakaiannya, hingga mempertanyakan daerah asalnya. Guru itu sadar betul bahwa dirinya telah gagal menarik perhatian dan konsentrasi para siswa pada pelajaran yang disajikannya. Ia pun berjanji bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi lagi. Namun, ternyata hal tersebut tidak bisa diwujudkan. Di kelas berikutnya kembali ia menjadi bahan ejekan para murid. Ia benar-benar merasa dihina dan diremehkan oleh murid-murid tersebut. Namun, sebagai guru baru, ia hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu. Cerpen “Dimulai dengan Kesulitan” menunjukkan ketidakberdayaan guru yang dikerjai oleh murid-muridnya. Niatnya untuk menyita perhatian murid di kelas ternyata malah menjadi korban tertawaan. Perhatikan kutipan berikut.
“Kamu tahu kilya-kilya dalyi daelyah mana asal saya?” tanya si guru. Mula-mula tidak ada yang menjawab. Kemudian seorang pelajar putri berkata: “Yogya” “Solo” susul yang lain. “Ah, bukan. Klaten!” Guru itu buru-buru gembira karena merasa telah dapat mengubah kelas yang nampaknya mati menjadi hidup. Namun, suasana segera berubah sama sekali ketika ada seorang pelajar menjawab sinis sekali: “Gunung Kiduuuulllll!” Gelak mengisi ruangan seketika. Guru itu tidak dapat berbuat apaapa kecuali berdiri layaknya orang yang kebingungan. Suara terkekeh-kekeh yang dilebih-lebihkan jelas merupakan ejekan terhadap dirinya. Meskipun demikian, guru baru itu tidak tahu bagaimana cara mengatasi kekurangajaran tersebut. (hlm. 13).
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
72
Tidak hanya diperlakukan seperti itu, guru ini pun lantas ditertawai dan dikerjai sedemikian rupa seperti dalam kutipan berikut.
Begitu dia mulai menerangkan pelajaran sudah ia dengar suara-suara menahan tawa. Dia sudah bisa menduga apa sebenarnya yang mereka ketawakan, tapi dia terus berbicara dengan suara yang lantang seolah tidak terjadi apa-apa. Desis-desis mulut terus saja ia dengar dari berbagai arah, termasuk dari kelompok anak-anak perempuan. Kedongkolan pun makin lama makin menumpuk di hatinya. Dia berhenti berbicara. Pandangan diedarkannya ke seluruh ruangan. Tiba-tiba timbul pikiran untuk menundukkan sikap kurang ajar yang diperlihatkan oleh para pelajar dengan jalan menguji sampai sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang baru saja disajikannya. Ia pikir siswa yang tidak memperhatikan pelajarannya, pasti tidak bisa menjawab pertanyaan yang akan diajukannya dan itu pasti menjadi pukulan yang meruntuhkan kekurang ajaran mereka. “Itu yang pakai baju lolyek!” katanya sambil menuding seorang pelajar yang duduk di deretan kursi belakang. “Lihatlah papan tulis kilyi. Coba telyangkan mengapa sudut Ely sama dengan sudut Es!” Tanpa berpikir lama pelajar tadi menjawab dengan suara yang pasti: “Sebab gayis Pe-Ey sejajay dengan gayis Es-Te!” Kembali keriuhan mengisi kelas. Para pelajar tertawa terbahakbahak, bahkan ada yang memukul meja. Mereka kegirangan seolah-olah mendapatkan hiburan yang luar biasa menyenangkannya. Pelajar baju lorek yang baru mengucapkan kalimat tadi menjadi pusat perhatian kawankawannya. Pelajar itu tersenyum bangga, sedangkan si guru diam saja. Matanya yang sipit berkedip-kedip mengawasi pelajar yang baru ditanyainya. Pemuda tanggung itu sedikitpun tidak menunjukkan sikap takut. Si gur dua kali menelan ludah sehingga jakunnya yang besar itu bergerak jelas sekali. (hlm. 14—15).
Amarah memang mengisi dada guru baru itu, tetapi ia tidak bisa melahirkannya dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Ia hanya duduk termangu hingga bel berbunyi tanda pelajaran telah usai. Ini pun membuktikan bahwa dirinya telah gagal menghadapi tantangan pertamanya sebagai seorang guru. Berkaitan dengan kasus tersebut, yang diharapkan masyarakat dari seorang guru adalah memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Mulyasa,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
73
dalam hal ini, menyebutkan peran guru yang demikian itu tergolong dalam guru sebagai pribadi. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik terkadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya. Seperti yang telah disinggung di dalam bab 2, ujian berat bagi guru dalam hal ini adalah rangsangan memancing emosinya (Mulyasa, 2007:48).
Guru yang mudah marah akan membuat murid takut, dan
ketakutan dapat mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran serta rendahnya konsentrasi murid. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi dalam cerpen Ratmana. Perasaan kesal yang dipendam guru baru tersebut tidak membuat murid menjadi takut. Hal ini diperlihatkan Ratmana dalam kutipan berikut.
Kalimat itu diucapkan oleh si guru demikian mendatar sehingga sedikitpun [sic!] tidak menimbulkan rasa takut di hati para pelajar. Mereka lebih cenderung untuk menaruh kasihan. Lebih-lebih lagi karena wajah guru muda itu nampak memelas. Beberapa kali guru itu mondar-mandir di dekat papan tulis. Amarah mengisi dadanya, tapi dia tidak bisa melahirkannya dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Kemudian ia lebih memilih duduk di kursi guru yang tinggi kehendak untuk mengajar sudah hilang sama sekali. Para pelajar diam, meskipun sesekali masih terlihat ada satu dua orang yang tersenyum-senyum. (hlm. 15).
Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui kemampuan yang dimiliki guru tersebut, misalnya keagamaan, olahraga, dan lain sebagainya. Keluwesan bergaul harus dimiliki karena jika tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan guru tersebut jadi kurang bisa diterima oleh masyarakat. Selanjutnya adalah cerpen “Tamu”. Selain menghadirkan guru sebagai sosok pendidik yang tegas, cerpen “Tamu” juga menampilkan guru yang dijadikan korban ejekan para murid. Amin yang menjadi guru baru di sekolah itu pernah dikerjai oleh
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
74
muridnya. Murid tersebut adalah murid yang datang untuk meminta maaf karena telah membawa gambar porno ke sekolah. Setelah mengetahui kebenaran itu, Amin pun mulai melupakan dan membiarkan kejadian itu lewat begitu saja. Ternyata murid yang mengerjainya itu mengakui perbuatannya dan meminta maaf atas peristiwa yang terjadi satu setengah bulan lalu itu. Dia berpikir, andaikata peristiwa foto itu tidak terjadi, tentu murid tersebut tidak akan menyesali perbuatannya. Kasus yang ada dalam cerpen “Dimulai dengan Kesulitan” kembali terulang dalam cerpen “Tamu”. Meskipun tidak serupa, tetapi kedua cerpen ini sama-sama menampilkan guru baru yang menjadi korban ejekan para murid. Sebagai guru baru, tokoh Amin tidak menyangka dirinya akan dikerjai oleh salah satu murid yang ada di kelas itu. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Satu setengah bulan yang lalu pada hari pertama ia mengajar di kelas dimana si tamu duduk belajar, sebagai guru baru yang menggantikan guru lain, Amin banyak-banyak mengajukan pertanyaan kepada pelajar tentang pelajaran yang sudah mereka terima dari guru mereka terdahulu. Tiap mengajukan pertanyaan kepada seseorang pelajar selalu ia tanyakan pula namanya. Ketika ia bertanya pada pelajar yang sekarang bertamu ke rumah pondokannya itu, Amin mendapat jawaban sesuatu nama. Biasa saja nama itu pada pendengarannya. Tetapi begitu pelajar itu menyebutnya seketika kelas dipenuhi ketawa yang riuh. Amin kebingungan waktu itu. Makin menunjukkan keheranannya makin diketawakan para pelajar dia. Amin merasa dipermainkan, tetapi merasa terlalu pagi untuk marah-marah, apalagi dia belum tahu duduk perkara yang sebenarnya. Belakangan Amin baru tahu bahwa pelajar itu telah membohonginya. Nama yang dikatakannya pada waktu itu bukanlah namanya sendiri, melainkan nama teman duduknya. (hlm. 47).
Alasan murid memilih guru baru sebagai objek mungkin karena belum ada hubungan yang terjalin dengan baik di antara mereka. Mereka belum saling mengenal
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
75
satu sama lain. Namun, sebenarnya hal ini tidak pantas dilakukan oleh murid yang berpendidikan. Sikap dan tingkah laku murid di sekolah merupakan cerminan guru yang mendidiknya. Dalam cerpen Ratmana, Amin mengetahui kebenaran bahwa dirinya dulu dikerjai oleh murid yang sekarang berdiri di hadapannya. Permintaan maaf murid tersebut membuat Amin mencoba untuk melupakan dan membiarkan kejadian itu lewat begitu saja. Akan tetapi, andaikata peristiwa foto itu tidak terjadi, tentu murid tersebut tidak akan menyesali perbuatannya. Dugaan Amin ini tampak dalam kutipan berikut.
“Perbuatan yang kau lakukan satu setengah bulan yang lalu itu adalah kekurangajaran.” “Ya, Pak. Karena itu saya minta maaf.” “Baru sekarang?” Si tamu cuma berkedip-kedip. “Apakah sudah terlambat, Pak?” “Saya yakin engkau tidak akan meminta maaf atas kekuarangajaranmu satu setengah bulan yang lalu, andai kata siang tadi tidak terjadi peristiwa foto itu. Begitu bukan?” Juga si tamu tidak menjawab. (hlm. 47).
Beberapa kasus menunjukkan bahwa murid yang nakal adalah murid yang merasa dirinya tidak diperhatikan gurunya. Adakalanya murid merasa tidak disenangi suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, murid butuh pengalaman, pengakuan, dan dorongan dari seorang guru. Menurut Mulyasa (2007), guru harus tahu bahwa pengalaman, pengakuan, dan dorongan dapat membebaskan murid dari self image yang tidak menyenangkan, kebodohan, dan perasaan tertolak. Dalam hal ini, guru hadir sebagai emansipator. Tugas seorang emansipator (Zakiyah, 2002:2)
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
76
adalah membantu membawa individu atau kelompok ke tingkat perkembangan kepribadian lebih tinggi, dalam hal sikap ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka dapat berdiri sendiri dan membantu sesamanya. Dengan kata lain, murid tidak lagi mengalami krisis perhatian dan kasih sayang karena guru telah hadir bersama mereka sehingga diharapkan tidak ada lagi tindakan murid yang membuat guru baru ataupun guru lainnya kesal. Cerpen berikut ini adalah cerpen yang memperlihatkan ketidakberdayaan guru sebagai objek pemerasan pihak-pihak tertentu. Guru yang sering diartikan digugu lan ditiru (dapat dipercaya dan menjadi teladan) dijadikan korban perpanjangan tangan “sang penguasa” untuk menyiapkan kader-kader yang menurut dan seragam. Nasib guru yang dirugikan ini terlihat pada cerpen “Upeti”. Cerita bermula dari seorang laki-laki bernama Wardoyo. Ia adalah seorang kakanwil di sebuah kota. Lelaki ini terkenal sering memeras para guru secara tidak langsung. Hal ini pun tercium oleh pers sehingga dimuat di sebuah media cetak. Wardoyo mewajibkan semua guru di provinsi itu membeli satu stel pakaian seragam dengan harga jauh di atas pasaran. Alasannya bahwa laba dari penjualan pakaian ini untuk membiayai pembangunan gedung pegawai. Seorang guru bernama Parlan membeberkan permasalahan ini ke media cetak. Meskipun informasi itu telah tersebar luas, Wardoyo sama sekali tidak merasa takut karena ia telah mempersiapkan segalanya untuk menangkis berita tersebut. Parlan yang menjadi narasumber media justru akan dijadikan tumbal. Di dalam media cetak, Wardoyo mengatakan bahwa pembelian pakaian seragam bagi para guru bersifat sukarela, tidak ada paksaan. Agar pernyataannya dibenarkan oleh
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
77
pers, ia menyogok para pers dengan cara mengundang mereka untuk makan bersama di rumahnya. Ternyata usaha Wardoyo berhasil. Penarikan upeti tidak hanya berupa pembelian seragam. Usaha Wardoyo yang ingin mendapatkan uang para guru dilakukan dengan membuat keputusan bahwa koreksi ujian sekolah harus dilakukan dengan komputer. Konsekuensinya pekerjaan koreksi harus dipusatkan di ibu kota provinsi dan ditangani biro jasa komputer. Alhasil, para guru se-provinsi terbebas dari tugas mengoreksi kertas-kertas ujian. Lagi-lagi keterangan dari Parlan tidak digubris atau dicium oleh pers sehingga informasi ini tidak dimuat di media cetak. Sebagai seorang guru, Ratmana prihatin dengan kondisi yang dialami para guru yang menjadi korban pungutan liar. Dengan dibuatnya cerpen ini, mungkin ia menginginkan agar masyarakat tahu bahwa kasus upeti guru ini bukanlah isapan jempol belaka. Wujud upeti yang disinggung dalam cerpen “Upeti” adalah pembelian seragam dan pengalihan pekerjaan. Menurut Arifiyadi (2007), penarikan upeti tidak hanya dialami oleh pegawai baru karena semua pegawai harus melewati ‘pos’ ini. Hal ini sudah mendarah daging di dalam lingkungan pemerintahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk kecil, sedangkan tuntutan yang diajukan cukup berat dan menjadi sorotan. Dengan kata lain, PNS dituntut profesional dengan gaji yang tidak profesional. Masalah upeti memang paling sulit untuk diberantas. Dapat dikatakan bahwa upeti tergolong ke dalam relativity crime, seperti yang dikatakan oleh Teguh Arifiyadi. Menurut korban, ini masuk dalam kategori korupsi, tetapi menurut penerima ini masuk kategori upah tambahan maupun uang untuk ‘pos’ tak terduga.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
78
Berdasarkan pengalaman Arifiyadi dalam artikelnya yang berjudul “Analisa tentang Masalah Upeti”, pos-pos uang yang tidak jelas tersebut hampir dimiliki oleh setiap satuan kerja, baik di pusat maupun di daerah. Istilah mereka untuk uang-uang tersebut adalah “uang yang sudah dipertanggungjawabkan” atau istilah populernya adalah “Dana Non-Budgeter”. Dikatakan lebih lanjut oleh Arifiyadi bahwa “Dana Non-Budgeter” tersebut dapat bersumber dari upeti setiap rapelan gaji/penghasilan pegawai, uang perjalanan dinas untuk pegawai yang tidak benar-benar jalan (alias hanya tanda tangan), uang pemberian dari rekanan/perusahaan yang memenangkan tender/lelang di unit kerja berkaitan, penggelapan pajak penghasilan oleh oknum tertentu, dan hasil manipulasi pertanggungjawaban keuangan (misalnya kuitansi palsu, tandatangan palsu, bahkan kegiatan fiktif). Semua cara tersebut dapat dikatakan sebagai seni korupsi. Berkaitan dengan kenyataan tersebut, sebagai korban, Parlan dalam cerpen “Upeti” yakin bahwa alasan yang dikemukakan oleh Wardoyo adalah alasan yang dicari-cari. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut, “Pegawai tidak hanya guru, mengapa hanya guru yang diwajibkan membeli pakaian seragam? Ini bentuk lain dari penarikan upeti, kata Parlan lagi.” (hlm. 154). Kerugian lain dirasakan para guru karena keputusan Kakanwil yang membuat ujian sekolah dikoreksi dengan menggunakan komputer. Alhasil, pekerjaan koreksi yang biasanya ditangani guru harus dialihkan biro jasa komputer di ibu kota. Hal ini pun ditentang oleh tokoh Parlan. Dampak dari sistem komputerisasi ini terlihat dalam kutipan berikut.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
79
Parlan menentang komputerisasi itu. Pada setiap kunjungannya ke daerah-daerah, di hadapan para guru, Parlan berkata bahwa program komputerisasi koreksi ujian itu merugikan guru. Kerugian pertama, kata Parlan, para guru tidak menerima honorarium koreksi. Berarti hilang pemerataan rezeki di kalangan guru. Yang ada justru pemusatan rezeki, kata ketua perhimpunan guru itu. Kedua, katanya lebih lanjut, para guru tidak mendapatkan angka kredit yang sangat bermanfaat bagi pengembangan karier guru. (hlm. 156).
Sungguh mengerikan membayangkan kalau praktik ini terjadi dari Sabang sampai Merauke. Guru yang masih memiliki hati nurani akan terus tertindas, sedangkan yang tidak akan menjadi besar. Faktor budaya “korupsi berjamaah” bisa jadi merupakan penyebab utama pemungutan upeti. Itulah sebabnya masalah upeti dan sejenisnya dikatakan sebagai relativity crime, tergantung melihat dari sudut pandang mana. Namun, yang menjadi tolak ukur jujur atau tidaknya seseorang adalah hati nurani. Citra guru yang terdapat dalam empat cerpen tersebut tidak terdapat dalam peran atau fungsi guru ideal yang dibuat oleh Mulyasa dan Pullias. Keempat cerpen tersebut merupakan wujud keprihatinan Ratmana terhadap nasib guru. Hal-hal yang diungkapkan Ratmana dalam cerpen-cerpen tersebut adalah realita yang apa adanya terjadi di sekitar kita. Sebagai manusia biasa, orang yang berprofesi sebagai guru atau apa pun sama-sama mengawali kariernya dengan merasa canggung. Guru bisa berbuat salah atau keliru ketika sedang mengajar. Bagaimanapun latar belakang seseorang yang memutuskan menjadi guru, tidak akan mempengaruhi niatnya yang tulus untuk mengajar para murid. Sekalipun guru harus menghadapi pungutan-pungutan liar yang memberatkan, mereka tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
80
Cerpen-cerpen tersebut menunjukkan bahwa masih banyak ketidakadilan yang ditemui guru dalam meniti kariernya di dunia pendidikan.
3.4 Guru sebagai Pribadi yang Hidupnya Tidak Berkecukupan Kehidupan ekonomi para guru umumnya amat mengenaskan. Dikatakan umumnya karena ada pula guru yang pinter nyambi proyek di luar jam mengajar dengan penghasilan sampingan yang amat besar. Namun, hal ini hanya dapat dihitung dengan jari. Selebihnya, kehidupan ekonomi mereka di bawah standar hidup layak. Jangankan untuk membeli buku-buku baru yang sesuai perkembangan zaman, atau berlangganan koran dan majalah ilmiah, untuk makan sehari-hari saja mereka harus berhutang di warung tetangga. Kondisi guru yang serba kekurangan memberikan dampak yang berbeda-beda pada guru. Ada yang menerima kenyataan itu dengan lapang dada, ada pula yang mencari jalan lain guna menutupi kekurangan itu. Untuk menutupinya, seorang guru ada yang melakukan tindakan positif dan negatif. Wujud tindakan positif, misalnya, dilakukan dengan memberikan kursus atau menjalankan pekerjaan lain yang tidak mengganggu jam mengajar. Sementara itu, kehidupan ekonomi yang tidak berkecukupan dapat membuat guru melakukan hal-hal negatif. Citra guru sebagai pribadi yang hidupnya tidak berkecukupan tampak pada cerpen Ratmana yang berjudul “Guru”. Dalam cerpen “Guru”, pengarang menampilkan susahnya penghidupan bekas seorang guru. Guru tersebut meminjam uang ke sana kemari, termasuk pada bekas muridnya, tanpa mengembalikannya kepada yang bersangkutan. Modus yang
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
81
digunakan pun sangat tidak mencurigakan. Berawal dari bertamu ke rumah salah satu bekas murid, menumpang bermalam, dan keesokan harinya pergi tanpa menimbulkan kejanggalan. Usaha untuk meminjam uang dilakukan bekas guru yang bernama Pak Barjo ini dipertemuan berikutnya. Setelah meminjam uang, Pak Barjo pun menghilang. Janji yang akan mengembalikan uang si bekas murid dalam dua hari itu tidak dipenuhinya. Kekhawatiran istri si bekas murid terbukti menjadi kenyataan. Suatu hari, si bekas murid menghadiri sebuah acara. Di tempat itu, ia bertemu dengan salah satu keluarga Pak Barjo, yaitu Pak Setiaji. Betapa kagetnya bekas murid itu mendengar pembicaraan Pak Setiaji dengan sahabat lama Pak Barjo, yakni Pak Usman. Ternyata, si bekas murid bukanlah orang pertama yang menjadi korban Pak Barjo. Sebelumnya, Pak Usman pun pernah mengalami peristiwa yang sama. Pada akhirnya, pihak keluargalah yang harus menanggung malu. Berdasarkan uraian cerita tersebut, terlihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pak Barjo ini sebenarnya memperlihatkan betapa memprihatinkan kehidupan guru, apalagi setelah dia pensiun. Mungkin kondisi ekonomi yang begitu memprihatinkan mendasari ia berbuat hal tersebut. Tentunya dengan latar belakang ini timbul rasa prihatin dalam diri kita. Akan tetapi, tetap saja perbuatan Pak Barjo ini salah dan bisa merusak citra guru yang baik di masyarakat. Usaha yang dilakukan Pak Barjo untuk mendapatkan uang adalah dengan membuat suasana yang terburu-buru. Kedatangannya yang secara tiba-tiba menghampiri korban dan langsung meminjam sedikit uang untuk keperluan mendadak tidak dapat membuat korban berpikir panjang. Alhasil, korban pun
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
82
meminjamkan uangnya tanpa sempat membayangkan dampak yang akan ia terima. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Pembicaraan kami singkat sekali. Tidak sampai sepuluh menit. Tanpa pikir panjang kupenuhi permintaannya. Uang itu langsung kuambilkan dari amplop gaji yang baru saja kuterima. Di luar dugaan istriku marah-marah karenanya. Ternyata uang gajiku sudah habis dibagi-baginya dalam rencana pengeluaran yang sangat terperinci. Tanpa sisa barang serupiah pun. “Mudah-mudahan dia bisa memenuhi janjinya,” hiburku. “Kalau dia bohong?” “Ikhlaskan saja. Dia bekas guruku. Kalau sampai utang itu tidak dibayar anggap sajalah sebagai balas budiku kepadanya.” (hlm. 71).
Guru-guru Indonesia dapat dikatakan sebagai guru dengan loyalitas paling baik di dunia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menghargai guru senior yang telah mengajar puluhan tahun. Guru senior telah berjasa dalam profesinya dalam menyandang pencerdasan bangsa. Sudah seharusnya masa pensiun mereka diperhatikan dan diubah ke arah yang lebih baik. Berdasarkan kejadian yang dipaparkan SN Ratmana dalam cerpennya, ada hikmah yang dapat diambil dan dijadikan renungan. Pertama, kita harus memikirkan bagaimana sesungguhnya fungsi dan kedudukan guru di masyarakat. Kedua, guru adalah sosok pendidik yang betul-betul punya harga diri, menjunjung tinggi kode etik, dan berkompeten di bidangnya sehingga layak untuk dihargai. Jangan sampai muncul berita-berita negatif di media cetak seperti guru pesta seks, pesta shabushabu, mencabuli, memerkosa, dan menghamili anak didik, bahkan kena skors karena menganiaya muridnya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
83
Menurut Toto Suharya (Pikiran Rakyat, 2006:4), sesungguhnya kedudukan guru menurut kacamata agama Islam sangat vital. Al-Ghazali yang dikutip Suharya berpendapat bahwa barang siapa memilih pekerjaan sebagai guru, sesungguhnya ia memiliki pekerjaan yang penting. Begitu pentingnya keberadaan guru di masyarakat, sampai-sampai ajaran Islam menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah nabi dan rasul. Hal tersebut berdasarkan kepada banyaknya hadis yang menghargai orang berilmu. Orang yang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah. Namun, masih menurut Al-Ghazali, tugas guru sebenarnya tidak lebih dari pemberi peringatan (nasihat dan bimbingan) kepada murid agar berperilaku sesuai dengan aturan norma, nilai sosial, dan agama yang berlaku di masyarakat, dan mengajarkan ilmu sesuai dengan bidangnya. Cerpen selanjutnya masih mengenai dampak negatif dari kondisi guru yang kehidupannya tidak berkecukupan, yaitu cerpen “Pak Sapran”. Agak berbeda dengan cerpen-cerpen tersebut yang tokoh utamanya adalah guru, tokoh utama cerpen “Pak Sapran” adalah seorang pembantu sekolah. Pak Sapran sudah cukup lama menjadi penjaga sekaligus pembantu sekolah tersebut. Suatu hari, warga sekolah digemparkan dengan hilangnya berko sepeda murid-murid. Semua menduga bahwa yang melakukan pencurian itu adalah Pak Sapran. Untuk membersihkan namanya, Pak Sapran bersama Pak Untung—guru—menjebak si pencuri dengan memakai umpan sepeda. Setelah diketahui, ternyata pelakunya adalah Pak Bambang, guru tamatan SGA yang juga mengajar di sekolah itu. Sayangnya, kejadian ini hanya disaksikan oleh Pak Sapran. Kepala Sekolah yang mendengar keterangan ini dari Pak Untung agak sangsi dengan informasi
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
84
tersebut. Namun, laporan ini tetap disampaikan kepada Kepala Yayasan Sekolah. Ternyata Kepala Yayasan pun tidak mengambil tindakan atas informasi ini. Ia justru meminta Pak Untung dan Kepala Sekolah meninjau alasan dibalik tindakan yang dilakukan Pak Bambang. Keputusan Kepala Yayasan yang tidak mau menghukum Pak Bambang tidaklah tepat. Segala tindakan kriminil sudah seharusnya ditindaklanjuti. Masalah yang diangkat oleh SN Ratmana dalam cerpennya tersebut mengingatkan kita pada nasib guru-guru di Indonesia yang amat mengenaskan. Wajarlah bila mereka nekat berbuat kejahatan ketika merasa titik penderitaan sudah sampai puncak kulminasi. Hal ini semata-mata dilakukan agar kehidupan mereka tidak begitu menderita. Terlepas kedatangan mereka ada yang menggerakkan secara politis atau tidak, rasanya wajar juga bila mereka sampai melakukan demo hanya untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pemerintah tidak pernah mudah tersentuh nuraninya hanya dengan imbauan. Mereka harus diberi shock teraphy agar menyadari hal yang telah mereka perbuat. Para guru adalah sosok pelayan fungsional. Dengan gaji kecil dan tanpa jaminan hidup yang cukup, dapat dipastikan profesionalisme kerja mereka tidak optimal. Menurut Saratri Wilonoyudho (Kompas, 2001:1 dan 11), guru mengalami dua macam stres struktural. Pada tataran mikro, jelas berkait dengan kondisi sosialekonomi. Guru-guru di kota besar menghadapi paradoks kehidupan nyata. Mereka mendidik anak-anak orang kaya, yang datang naik Mercy, BMW, atau Toyota, sementara untuk menyekolahkan anaknya sendiri guru mengalami kesulitan biaya (ini bagi mereka yang hidupnya hanya dari gaji guru belaka). Anak-anak golongan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
85
mampu sudah lebih maju beberapa langkah dibanding gurunya. Mereka mampu berlangganan majalah luar negeri, koran, internet, komputer, VCD, dan sebagainya. Sementara bagi guru, untuk sekadar langganan koran saja tidak mampu. Anak-anak golongan mampu itu dibekali tambahan keterampilan, dikursuskan komputer, internet, matematika, balet, musik, dan seterusnya. Sebaliknya, guru-guru di desa-desa terpencil juga mengalami masalah yang berdimensi lain. Pengalaman mereka ketika KKN di desa terpencil ada amat mengenaskan. Seorang guru harus berjalan kaki 5—10 kilometer untuk mencapai lokasi SD-nya, lewat jalan terjal, licin, dan berbahaya. Dengan menilik kembali cerpen yang dibuat oleh Ratmana, alasan Pak Barjo melakukan pencurian tidak jauh dari kenyataan yang dipaparkan tersebut. Paling tidak, hal ini dapat dilihat dari dugaan Kepala Yayasan berikut, “Saya rasa watak kriminil tidak dimilikinya. Atau sekurang-kurangnya perbuatannya lebih banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi,” (hlm. 80). Jika pembelaan Kepala Yayasan benar adanya, maka sungguh sangat memprihatinkan mendengar atau melihat seorang guru, yang banyak dijadikan anutan, melakukan pencurian untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarganya. Kondisi finansial yang memprihatinkan tidak menutup kemungkinan guru berbuat kriminal, yang dalam hal ini adalah mencuri, guna menutup kekurangan kebutuhan pokok. Kita mengenal ungkapan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” yang maknanya murid biasanya bulat-bulat mencontoh gurunya. Oleh karena itu, sebaiknya guru jangan memberi contoh yang buruk. Itu semua memperlihatkan bahwa guru adalah sosok yang diharapkan menjadi suri teladan bagi murid-muridnya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
86
Tindak-tanduk guru akan dilihat oleh murid. Jika seorang guru memberikan contoh yang baik, maka murid akan mengikutinya, demikian pula sebaliknya. Namun, dalam kenyataannya tidak seperti itu. Paling tidak, Ratmana dalam beberapa cerpennya mengungkapkan bahwa ada guru yang berani melakukan tindakan tercela.
3.5 Guru sebagai Sosok yang Emosional dan Irasional Adalah hal yang lazim jika guru dijadikan suri teladan setiap golongan masyarakat. Segala tingkah laku dan tindakan positif yang mereka lakukan kerap menjadi anutan para murid. Namun, di antara mereka, juga ada yang tingkah laku dan tindakannya tidak pantas dijadikan contoh. Beberapa dari mereka ada yang berani menggunakan kekerasan pada muridnya. Ada juga yang merupakan seorang penipu, pembohong, bahkan pencuri. Cerpen-cerpen yang mengungkapkan citra guru seperti ini muncul dalam cerpen “Asap” dan “Pak Sapran”. Sosok emosional seorang guru dihadirkan Ratmana melalui cerpennya yang berjudul “Asap”. Cerpen ini merupakan cerpen yang di dalam kumpulan cerpen sebelumnya berjudul “Asap Itu Masih Mengepul”. Kisah yang diangkat adalah mengenai seorang guru yang dimutasi karena sering melakukan kekerasan terhadap murid. Sebenarnya ada latar belakang lain yang menyebabkan ia dimutasi. Guru ini adalah anak dari gembong PKI.23 Banyak warga yang mempertanyakan kehadiran
23
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 dan dicap oleh rezim Orde Baru ikut mendalangi pemberontakan G30S pada tahun 1965. Namun, tuduhan dalang PKI dalam pemberontakan tahun 1965 tidak pernah terbukti secara tuntas, dan masih dipertanyakan seberapa jauh kebenaran tuduhan bahwa pemberontakan itu didalangi PKI. Sumber luar memberikan fakta lain bahwa PKI tahun 1965 tidak terlibat, melainkan didalangi oleh Soeharto (dan CIA). Hal ini
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
87
guru tersebut karena bagaimana mungkin guru yang mendidik anak-anak mereka merupakan anak dari tokoh yang sangat dibenci oleh semua orang. Masalah yang menyangkut diri guru itu pun menjadi rumit dan berlarut-larut. Semuanya berawal dari surat kaleng yang isinya mempersoalkan adanya seorang anak gembong PKI yang diangkat menjadi pegawai negeri dan bahkan guru yang mengajar mata pelajaran Pancasila. Surat tersebut juga disertai tembusan dari instansi lain, yakni Kandep Dikbud. Setelah ditindaklanjuti oleh kepala sekolah, keputusan yang ia dapat untuk pegawainya itu adalah menonaktifkan sementara sampai ada keputusan baru dari ketua tim skrining. Sambil menunggu keputusan selanjutnya, kepala sekolah menugaskan guru itu di perpustakaan. Guru itu sering mengeluh karena merasa tidak dihargai oleh para murid, yakni diperlakukan seperti pesuruh. Alhasil, ia pun mendapat izin untuk mengajar pelajaran selain Pancasila. Setelah sekian lama, akhirnya keputusan dari kormin keluar. Guru itu dimutasikan ke Brebes. Akan tetapi, kepala sekolah Brebes tampak menolak kedatangan guru ini. Entah apa yang dilakukan kepala sekolah Brebes tersebut, yang pasti mutasi ke Brebes dibatalkan. Di akhir cerita, setelah dinonaktifkan dan di-“gantung”, guru tersebut dimutasikan ke Randudongkal. Ia pun hidup tenang setelah pindah ke sana. Cerpen
“Asap”
tidak
hanya
membicarakan
guru
sebagai
korban
kesewenangan, tetapi juga menjabarkan kekerasan yang dilakukan tokoh guru terhadap muridnya. Guru yang diceritakan dalam cerpen ini harus dimutasi ke
masih diperdebatkan oleh golongan liberal, mantan anggota PKI dan beberapa orang yang lolos dari pembantaian anti PKI.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
88
Randudongkal karena latar belakang orang tuanya yang merupakan gembong PKI dan tindakannya yang sering menggunakan fisik dalam menghukum murid. Berikut ini adalah kutipannya.
Sejak awal bertugas di sekolah ini, guru yang satu itu sudah terlibat kasus. Belum sampai sebulan aku jadi atasannya, aku sydah harus berhadapan dengan kelompok pemuda yang akan menyeroyoknya. Soalnya, guru itu menempeleng murid yang kedapatan merokok di sekolah. Si murid agaknya lapor pada kawan-kawannya sekampung. Datanglah kira-kira lima belas pemuda mencari guru yang ringan tangan itu. Untunglah yang bersangkutan sempat menyembunyikan diri. (hlm. 134).
Sosok guru muda yang dihadirkan pengarang sebenarnya adalah guru yang baik. Dia termasuk orang yang menjunjung tinggi peraturan sekolah. Baginya, tata tertib sekolah adalah sesuatu yang harus ditegakkan. Sayangnya, dalam menegakkan disiplin, ia sering bertindak emosional. Tindakan lain yang memperlihatkan ia melakukan perbuatan yang berlebihan ada pada kutipan berikut.
Suatu saat, kebetulan dia jadi petugas piket, menjumpai beberapa siswa datang terlambat. Anak-anak itu dikumpulkannya, dicatat nama dan kelasnya masing-masing, lalu diberinya nasihat. Kalau berhenti sampai di situ saja sebenarnya tidak ada masalah, tetapi ternyata anak-anak tersebut diberi hukuman untuk melakukan push-up. Ternyata salah seorang di antara mereka tidak mau menjalani hukuman itu. Si guru marah. Murid yang bandel itu tetap tidak mau menjalani hukuman. Hampir saja terjadi perkelahian. Untunglah beberapa guru lain ikut campur tangan sehingga kejadian yang tidak diharapkan bisa dihindari. Tidak kusangka bahwa masalah itu masih berkelanjutan. Keesokan harinya Ayah si anak bandel tersebut datang ke sekolah ditemani seorang tentara yang kukenal sebagai Danramil kecamatan kami. “Masalahnya bukan karena push up. Akan tetapi, bentakan-bentakan kasar yang dilontarkan guru itu telah menyakiti hati anak saya,” kata tamuku. “Andaikata dia sampai memukul anak saya, pastilah dia saya ajak duel. Bahkan, sekarang pun saya siap berkelahi melawan dia. Bapak boleh pilihkan tempat di mana kami berkelahi. (hlm. 135—136).
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
89
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, orang tua guru ini merupakan tokoh PKI sehingga segala tindak kekerasan yang dilakukannya sering dibesarbesarkan oleh masyarakat sekitar. Proses mutasi yang dijalaninya membuat hidup guru tersebut menjadi tidak terarah. Selama menunggu keputusan atasan, ia harus rela dipindah-tugaskan, mulai dari menjadi petugas perpustakaan, dialihkan menjadi guru Tata Negara, hingga dinonaktifkan mengajar. Secara tidak langsung, ia telah dirugikan atas kesalahan yang tidak sepenuhnya ia lakukan. Ayahnya yang merupakan gembong PKI mempersulit kariernya sebagai guru, khususnya guru mata pelajaran Pancasila. Kondisi ini pun berdampak pada kehidupan keluarganya. Adik guru itu tidak jadi dilamar lantaran keluarga si pria melihat adanya masalah yang rumit pada keluarga guru ini. Akan tetapi, segalanya kembali normal setelah semua masalah berhasil diselesaikan. Jika kita kembali pada perbuatan emosional yang dilakukan guru itu, seharusnya ia menggunakan akal sehat ketika ingin menghukum murid. Sebagian besar guru pasti dapat menakar sendiri hukuman apa yang pantas diberikan kepada muridnya. Tentunya mereka akan mulai dengan nasihat dan larangan. Baru kalau si anak sudah tidak bisa diatur, atau kalau dia sudah nakal sekali, mungkin pukulan ke bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya terpaksa harus dilakukan. Di sisi lain, seorang guru tidak hanya bertindak secara emosional, ada di antaranya yang merupakan seorang penipu, pembohong, bahkan pencuri. Kehidupan mereka yang tidak berkecukupan—seperti yang telah disinggung di subbab sebelumnya—bisa memotivasi mereka melakukan hal-hal di luar dugaan kita, misalnya menggunakan sihir. Hal ini sudah dapat digolongkan ke dalam tindakan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
90
yang irasional. Ratmana menyajikan persoalan tersebut melalui cerpennya yang berjudul “Pak Sapran”. Cerpen ini sudah disinggung di subbab sebelumnya. Akan tetapi, tindakan kriminal yang dipaparkan pada subbab sebelumnya masih dalam batas wajar (rasional). Dalam cerpen “Pak Sapran”, selain mencuri, ternyata Pak Bambang pun menggunakan sihir. Setelah tahu bahwa dirinya kepergok oleh Pak Sapran, Pak Bambang menghampiri Pak Sapran dan memberikan sebuah botol kecil. Begitu botol itu terpegang, seketika Pak Sapran pingsan. Informasi ini diperoleh oleh Pak Untung melalui istri Pak Sapran. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
Botol kecil menyerupai botol minyak wangi itu kuterima tanpa keketahui apa gunanya. “Ini botol apa? Buat apa?” “Pak Untung, oh, Pak Bambang jahat sekali,” … “Dia menyodorkan botol kecil itu kepada suami saya. Begitu botol terpegang seketika suami saya pingsan. Ya, Pak. Suami saya pingsan. Melihat Pak Sapran pingsan, Pak Bambang malah terus lari.” “Jadi?” “Celaka, Pak.” “Celaka bagaimana? Sampai sekarang belum siuman? Belum sadar?” “Sudah. Tapi begitu sadar dia terus mengamuk.” “Mengamuk?” “Semua perabot rumah dihancurkan. Piring, cangkir, dan kemudian dia mengambil pisau. Si Munah, anak kami, dikejar mau dibunuhnya. Untunglah anak itu bisa lari keluar. Bagaimana, Pak Untung?” “Sekarang dia juga terus mengamuk?” “Iya, Pak.” (hlm. 84).
Untuk mencegah Pak Sapran menyebarkan kenyataan bahwa Pak Bambanglah pelaku pencurian berko sepeda, Pak Bambang rela menyihir Pak Sapran dengan menggunakan sebuah botol kecil. Perbuatan Pak Bambang ini benar-benar tindakan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
91
yang tidak masuk akal. Meskipun latar Pak Bambang melakukan pencurian karena masalah ekonomi, menggunakan sihir kepada orang lain benar-benar sudah salah dan kelewat batas. Dalam Wikipedia,24 sihir dari segi istilah merupakan satu perbuatan menyakiti atau mempengaruhi badan atau hati atau akal orang yang disihir dengan tanpa melalui sentuhan sama sekali. Sihir dilakukan di luar dari hukum alam untuk mencapai tujuan tertentu, contohnya menyakiti seseorang, mengobati penyakit dan juga meramal masa depan. Penggunaan istilah sihir dalam bahasa Melayu pada kebiasaannya merujuk kepada ilmu hitam. Ilmu hitam (black magic) merupakan ilmu yang bersifat jahat. Kekuatannya bersumber dari hawa nafsu sedangkan sumber energinya berasal dari kegelapan. Black magic itu sendiri sangat tua usianya, setua peradaban manusia pertama, Adam dan Hawa. Karena itu, ilmu yang dihasilkan luar biasa dahsyatnya. Kekuatan sihir itu sendiri sebenarnya lemah, tetapi karena terbakar oleh hawa nafsu benci, sombong, takut, dan marah yang luar biasa besar, energi listriknya akan mempengaruhi materi.25 Dari dua cerpen tersebut, Ratmana mencoba menghadirkan sisi lain seorang guru. Bukanlah hal yang tidak mungkin jika seorang guru berani menggunakan kekerasan terhadap murid, menjadi penipu, pencuri, bahkan pengguna sihir. Latar belakang guru-guru tersebut berbuat demikian pun beragam. Ada yang karena terlalu disiplin dengan tata tertib sekolah, hingga masalah ekonomi.
24
Dikutip dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Sihir pada tanggal 2 Desember 2007. Dikutip dari http://misteri4.tripod.com/ILMU_HITAM.HTML, tanggal 2 Desember 2007.
25
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
92
3.6 Guru sebagai Pribadi yang Dikagumi Murid Sebagai makhluk sosial, guru pun mengalami kisah cinta dalam hidupnya. Perasaan itu timbul mulai dari rekan sesama guru hingga murid. Mungkin hal yang wajar jika benih asmara itu hadir pada seorang guru dengan guru lain, mengingat mereka memang berada dalam satu lingkungan. Yang menjadi masalah adalah ketika percintaan tersebut terjadi pada guru dengan murid. Dalam hal ini, yang kerap terjadi adalah murid mencintai gurunya sendiri. Ratmana menuangkan fenomena ini dalam karyanya yang berjudul “Mendiang”. Dari sekian banyak cerpen Ratmana, cerita tentang percintaan seorang guru termasuk yang paling sedikit. Cerpen “Mendiang” menceritakan seorang siswi bernama Wati yang jatuh cinta dan tergila-gila pada bapak gurunya. Akan tetapi, pak guru menolak cinta siswi itu. Kegagalan terus-menerus yang dialami murid tersebut dalam bercinta membuat murid putus asa sehingga mempengaruhi kegiatan belajar dan nilainya di sekolah. Suatu hari, Wati tiba-tiba menghilang dari sekolah. Ada yang mengatakan bahwa kegagalan dan keputus-asaan Wati dalam hal percintaan membuatnya lari ke dunia pelacuran. Di akhir cerita, guru yang dicintai Wati tersebut mendapatkan bekas muridnya itu telah meninggal sebagai istri dari seorang suami tua keturunan Tionghoa. Berdasarkan uraian tersebut, mungkin apa yang dirasakan Wati sebenarnya hanya rasa kagum, tetapi ia sendiri menganggap rasa itu adalah perasaan cinta. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Pada suatu saat sekolah kami mendapat tambahan guru pengajar, seorang guru olahraga. Masih bujangan, ganteng dan simpatik sekali gaya
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
93
bicaranya. Namanya Marman. Belum sampai sebulan guru itu mengajar, Wati sudah jatuh cinta kepadanya. Perasaan cintanya terwujud dalam perbuatan yang menyolok [sic!] sekali. Setiap berangkat sekolah dia selalu singgah dulu ke rumah pondokan guru itu. Pulang sekolah juga selalu menyertainya. Hampir tiap sore Wati datang ke rumah kekasihnya. Bahkan malam hari pun kadang-kadang datang juga ke sana. Marman kewalahan. Dengan segala daya dia berusaha menghindari pertemuan dengan Wati. (hlm. 58—59).
Dari kutipan tersebut, kita dapat melihat bahwa penampilan fisik seorang guru dapat mempengaruhi cara pandang murid terhadap dirinya. Terlebih lagi jika murid merasa mendapat perlakuan khusus. Ia akan merasa si guru memberikan perhatian dan menanggapi sinyal cinta darinya. Padahal, guru itu sendiri merasa melakukan hal yang wajar, sama seperti pada murid-murid yang lain. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa guru telah bersikap wajar terhadap muridnya.
Pada suatu sore, masih dalam kwartal pertama, Wati datang ke rumah pondokanku untuk bertanya soal-soal pelajaran. Tentu saja kulayani dengan sikap seorang guru terhadap murid. Sore berikutnya dia datang lagi. Juga membicarakan pelajaran. Sore berikutnya lagi ia datang juga. Yang dibicarakan sudah bukan pelajaran melulu. Aku mulai curiga karena terhadap Marman pun diawali dengan hal-hal seputar pelajaran sekolah. (hlm. 59).
Keagresifan seorang murid dalam menyatakan cintanya dapat membuat guru melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun, untuk menunjukkan sikap penolakan, tindakan seperti yang ada pada kutipan berikut pun kerap dilakukan.
… Dugaanku tidak meleset. Tiap sore dia datang ke pondokanku, semata-mata buat mengobrol yang tidak menentu. Aku sering mengelakkan pertemuan-pertemuan dengan dia, dengan menyuruh pembantu rumah tangga kami mengatakan bahwa aku sedang pergi atau sedang tidur. Tetapi, Wati memang gadis yang agresif. Bila sore hari dia sering tidak berhasil menemuiku, maka pada suatu hari dia datang magrib-magrib.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
94
Aku baru saja selesai menjalankan solat dan bermaksud dudukduduk di beranda depan. Tiba-tiba saja dia sudah memasuki pekarangan rumah. Tidak ada kesempatan bagiku untuk mengelak. Aku terpaksa menemuinya. Dia mengobrol dengan lagak yang bebas seperti mengobrol dengan kawannya sendiri, tentang hobbynya (baca: hobinya, penulis), tentang film, tentang makanan kesukaannya dan lain-lain. Berkali-kali aku mengingatkannya sebaiknya segera pulang saja, belajar menghadapi pelajaran esok harinya. Tetapi anjuranku tidak dihiraukannya. Aku jadi mual mendengar obrolannya. Pada puncak kemualanku, aku bangkit dari duduk sambil berkata : “Aku banyak kerja malam ini. Aku mau mengoreksi ulangan.” (hlm. 59—60).
Berdasarkan ulasan tersebut, disimpulkan bahwa sosok guru yang baik hati ternyata dapat menimbulkan kesalahpahaman. Namun, dalam hal ini memang guru tidak dapat mengelak untuk melakukan hal tersebut. Mereka adalah guru. Sudah sewajarnya guru berusaha menarik perhatian muridnya. Mungkin dengan demikian, hubungan antara guru dan murid bisa lebih akrab layaknya orang tua dengan anak.
3.7 Guru sebagai Pribadi yang Tertekan Untuk
beberapa
kondisi,
guru
bisa
menyuarakan
aspirasinya.
Ketidaksanggupan mereka menghadapi situasi yang serba kekurangan memicu keberanian mereka untuk berbicara di depan masyarakat. Mereka ingin diperhatikan karena mereka merasa pantas mendapatkannya. Paling tidak, ini dapat dijadikan ungkapan balas budi atas jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada generasi muda penerus bangsa. Akan tetapi, ada pula guru yang lebih memilih diam dan meratapi nasib yang menimpanya. Untuk suatu peristiwa, seorang guru ada yang tidak mau menyuarakan isi hatinya. Beberapa di antara mereka ada yang mau berbagi apa yang dirasakan,
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
95
tetapi untuk menyuarakan isi hatinya itu pun dibutuhkan keberanian. Pada kenyataannya, banyak dari mereka yang memilih diam dan bungkam karena tertekan, bahkan pergi jauh dari masalah yang mengganggunya. Namun, ini bukan berarti ia pasrah menerima keyataan yang ada. Situasi seperti ini disorot oleh Ratmana melalui empat cerpennya, yaitu “Aib”, “Bungkam”, “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”, dan “Ssstttt!!!”. Pertama, cerpen “Aib”. Cerita ini mengangkat kisah cinta antara Iwan dan Yanti yang keduanya berprofesi sebagai guru dalam satu sekolah. Mereka difitnah telah berbuat asusila di pantai. Pencerita dalam cerpen ini adalah “aku” yang disapa Iwan sebagai Jon. Posisi Jon di dalam cerpen ini bukan sebagai tokoh yang tahu segala pikiran tokoh lain. Ia mendeskripsikan cerita berdasarkan peristiwa yang ia lihat. Dalam cerpen ini, Jon diceritakan sedang bersama Iwan yang akan pergi keluar kota. Sambil menunggu kereta yang akan dinaiki Iwan, Jon mendengarkan keluhkesah temannya ini di sebuah ruangan sambil minum kopi. Iwan tidak menyangka teman-temannya tidak ada yang mempercayai penjelasannya. Berdasarkan keterangan yang diberikan Iwan, Jon merasa tindakan teman-temannya yang lain merupakan hal yang wajar karena kebetulan ketika peristiwa tersebut terjadi dan belum menyebar di masyarakat, Iwan mendapat tugas keluar kota, sedangkan Yanti menghilang begitu saja sehingga ketika kabar ini tersiar orang-orang pun semakin mengira mereka menyembunyikan diri. Akhir cerita, peristiwa ini membuat keduanya dikeluarkan dari sekolah guna meredam omongan masyarakat tentang gosip tersebut.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
96
Berdasarkan cerita singkat tersebut, dapat dilihat dua insan yang sedang dimabuk asmara ini tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan di pantai bisa berdampak negatif bagi keduanya. Hal ini terlihat dalam perkataan Iwan berikut, “Memang mungkin aku telah gila waktu itu. Gila. Kenapa aku tidak juga pulang padahal sudah lewat tengah malam? Juga Yanti sudah agak sinting mungkin. Dia menuruti saja kemauanku, tanpa takut dimarahi orang tua. Kami duduk-duduk, omong-omong sambil melepas pandang ke laut luas.” (hlm. 38). Iwan lebih memilih diam dan tidak menanggapi peristiwa ini. Sekalipun saat itu ia menyuarakan kebenaran, tidak ada satu orang pun yang mau mempercayainya. Bagaimana tidak, kondisi yang terjadi pada Iwan memang tidak menguntungkan baginya. Ditambah lagi, pengirimannya keluar kota karena tugas semakin membuatnya sulit untuk membuat alibi. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
“Keadaan memang kurang menguntungkan bagimu, Wan. Begitu peristiwa terjadi, sebelum diketahui oleh umum, kau lantas mendapat tugas keluar kota. Oleh masyarakat diartikan kau menyembunyikan diri. Lari.” (hlm. 34). “Sayangnya Wan, Yanti juga menghilang bersama dengan kepergian dinasmu ke Semarang. Andaikan dia tetap datang mengajar seperti biasa mungkin kehebohan tidak sehebat sekarang. Tahukah kau bahwa hampir semua orang menduga kalian melarikan diri berdua?” (hlm. 37).
Usahanya untuk melamar Yanti, gadis yang dicintainya, pun gagal karena orang tua Yanti tidak menyetujui hubungan mereka. Kejadian ini membuat Iwan rela dimutasi ke luar kota. Meskipun demikian, bukan berarti ia mengaku salah, tetapi lebih karena ingin lari dari suara-suara masyarakat di sekitarnya. Coba lihat kutipan berikut.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
97
“Jangan-jangan kau kira kehadiranku disini [sic!] cuma kauanggap mau mencari muka saja. Terserahlah Wan, terserah padamu, tapi yakinlah aku tidak selicik dugaanmu. Juga kawan-kawan tidak sekejam yang kauduga. Kuputusan mereka tentang dirimu cuma untuk meredakan kehebohan masyarakat.” “Bagaimana pun sikap kalianadalah pernyataan bahwa kalian adalah kelompok orang yang suci, bergaya alim, sedangkan aku orang yang terkutuk, orang yang harus menyingkir dari dunia yang serba bersih.” “Apa yang menimpa dirimu adalah tragedi. Tragedi yang menimpa seorang guru muda. Mungkin lain waktu bisa juga menimpa diriku. Pendek kata selagi masyarakat kota kecil ini memandang seorang guru harus memiliki kesempurnaan moral seperti nabi, maka nasib yang sekarang menimpa dirimu bisa menimpa teman-teman lain.” “Andaikata menimpa diri kalian juga kalian harus menyerah saja pada keadaan?” tanyanya sambil menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi. Aku terdiam. Sampai beberapa saat aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Dia menatapku tajam-tajam. (hlm. 34—35).
Tidak adanya guru yang mempercayai pembelaan Iwan, membuatnya benci pada orang-orang di sekitarnya. Ia tertekan dengan kondisi yang sedang dihadapinya. Untuk itu, ia memilih menuruti permintaan pihak sekolah untuk pergi dari sekolah yang bersangkutan. Selanjutnya adalah cerpen “Bungkam”. Cerpen “Bungkam” bercerita tentang guru yang dulunya merupakan pemuda biasa yang aktif demonstrasi melawan pemerintahan lama. Suatu hari, secara tidak sengaja ia mendengarkan perdebatan teman-temannya mengenai Pemilihan Umum yang dianggap sebagai sandiwara belaka. Pemerintah yang sekarang dilahirkan oleh demonstrasi, justru melarang demonstrasi. Perdebatan tersebut mengingatkan guru itu pada dirinya yang masih muda dan aktif mengikuti demonstrasi-demonstrasi melawan pemerintahan lama. Saat itu, ia merupakan pimpinan yang tampil ke depan dan berbicara lantang sekali.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
98
Pengalamannya sebagai pimpinan demonstran pernah membawanya ke dalam sel penjara. Selain menjadi guru, ia merupakan seorang penulis berita dan sastra di media cetak. Ada seorang kawan lamanya memberikan tawaran untuk keluar dari dunia guru dan bergabung dengannya dalam rezim pemerintahan. Namun, ia menolak dan lebih memilih menjadi guru sekaligus penulis. Di kemudian hari, tersiar berita bahwa sejumlah media cetak dilarang terbit selama waktu yang tidak ditentukan. Guru itu pun jadi bingung mencari cara dan tempat untuk mengeluarkan aspirasinya. Tekanan yang dirasakan guru tersebut membuatnya tidak bisa konsentrasi dalam mengerjakan pekerjaan lain. Dilihat dari uraian tersebut, profesi guru yang disandang tokoh utama membuatnya lebih memilih diam. Padahal, latar belakang guru ini adalah pemuda yang aktif menyuarakan aspirasi rakyat. Dalam cerpen “Bungkam”, pengarang tidak memaparkan alasan guru menolak tawaran temannya. Semua itu diserahkan kembali kepada pembaca. Cerpen ini juga menyinggung soal kekurangan profesi guru. Coba lihat kutipan berikut. “Sebelum pergi aku perlu mengingatkanmu. Dengan sikapmu yang kaku itu kariermu sebagai guru tidak akan berkembang. Sampai kapan pun engkau tetap jadi bawahan, diperintah oleh orang lain, dibebani aneka perintah dan tugas.” (hlm. 112). Saya tidak sependapat dengan kutipan tersebut. Dalam proses belajarmengajar, guru menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
99
berbagai model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan dan peran guru tetap penting dan menentukan. Memang setiap guru adalah pendidik, tetapi tidak setiap pendidik adalah guru. Dikatakan demikian karena setiap orang bisa menjadi atau menempati posisi sebagai pendidik. Orang tua, disadari atau tidak, adalah pendidik bagi anak-anaknya. Para mubalig, tokoh masyarakat atau anutan umat, adalah pendidik bagi masyarakatnya. Para pemimpin bangsa seharusnya juga menjadi pendidik bagi bangsa yang dipimpinnya, bahkan, para selebriti pun menempati posisi sebagai pendidik karena mereka menjadi anutan bagi yang mengidolakannya. Yang membedakan guru dengan tokoh-tokoh tersebut adalah bahwa guru adalah pendidik yang profesional. Dalam cerpen “Bungkam” disebutkan juga bahwa karier sebagai guru tidak akan membuat si guru berkembang. Dalam kehidupan nyata, seorang guru bernama Dewi Indriyani (Kompas, 2007:1) mengungkapkan bahwa guru adalah seorang profesional dengan keterampilan yang spesifik. Dengan keterampilannya itu, guru memberikan layanan pendidikan yang tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga berkaitan dengan isu, masalah, dan konflik, baik yang bersifat intrapersonal, impersonal, maupun interpersonal. Jika kita mengaitkan perkataan Indriyani dengan tulisan SN Ratmana dalam cerpennya, dapat disimpulkan bahwa guru dapat berperan sebagai pengarang. Ia harus kreatif dan inovatif menghasilkan karya yang akan digunakan melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
100
Di akhir cerpen, pengarang menyelipkan kata-kata berikut, “Untuk kedua kalinya guru itu membisu. Bahkan sampai berdiri di depan kelas, sikap itu masih bisa dipertahankannya beberapa saat. Tetapi tentu saja dia tidak bisa terus membungkam, sebab memang bungkam bukanlah sifat manusia yang fitri.” (hlm. 114). Sepertinya kalimat tersebut merupakan pesan dari pengarang untuk pembaca. Mungkin melalui cerpen ini Ratmana berharap agar rakyat tidak diam saja menghadapi rezim pemerintah yang gagal dalam membawa bangsa ke arah lebih baik. Perasaan tertekan juga dialami guru dalam cerpen “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”. Cerpen ini melukiskan seorang guru yang selalu dihantui oleh ketakutan terhadap bayangan-bayangannya sendiri. Dalam kenyataan, apa yang senantiasa ditakutinya itu sebenarnya tidak ada. Menurut Sulaiman, ketakutan tanpa obyek yang kongkret, suatu keadaan yang dalam psikologi eksistensial disebut kecemasan (anxiety).26 Inilah yang dirasakan oleh guru tersebut. Selain menjadi guru, ia pun selalu menulis reportase kegiatan RKI (Remaja Kota Ini) maupun ulasan sajak-sajak anggota RKI di Berita Dunia, sebuah koran terbitan Ibu Kota. Secara tidak disengaja, beberapa pihak pemerintahan menilai adanya persamaan antara RKI dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Alhasil, segala yang berbau PKI pun dikaitkan dengan apa yang terjadi di RKI, contohnya dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Satu di antara hasil renungannya ialah terlihatnya gejala kesukaan warga RKI pada sajak-sajak protes. Bahkan belum lama berselang dalam sebuah resepsi yang diselenggarakan oleh Dewan Pemuda Indonesia 26
M. Sulaiman menyebutkan istilah ini di bagian analisisnya terhadap cerpen “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
101
seorang warga RKI tampil di podium mendeklamasikan puisi tulisan penyair Hendra yang bertema lapar. Kontan seorang pengunjung berkomentar, bahwa pada masa pembangunan seperti sekarang, sajak yang bertema kepincangan sosial hanya patut ditulis atau dibaca oleh orang yang anti pemerintah. Siapakah yang anti pemerintah kalau bukan PKI, pikirnya. Juga pembredelan Berita Dunia baru-baru ini, menurut penilaiannya, adalah wujud lain persamaan antara RKI dan PKI. Kenyataan menunjukkan bahwa koran yang melanggar peraturan Laksus itu, dus, tentunya disenangi PKI, selama ini telah memberi peluang seluas-luasnya bagi anggota RKI untuk berkreasi di bidang karang-mengarang. Bukankah itu suatu bukti lagi? (hlm. 126—127).
Di cerpen ini, guru yang dihadirkan secara tidak langsung telah terlibat dengan dunia politik. Kondisi yang terjadi saat itu adalah susahnya beraktivitas jika berkaitan dengan komunis. Rasa was-was selalu menghantuinya. Ia takut ditahan karena membangun sebuah perkumpulan yang dikira meneruskan Partai Komunis. Alhasil, ia selalu diam dan bungkam ketika ada orang yang menanyakan hal yang berhubungan dengan RKI. Rasa takut yang berlebihan membuat guru itu selalu resah di mana pun ia berada. Cerpen lainnya yang memperlihatkan kebungkaman seorang guru, yakni cerpen “Ssstttt!!!”. Cerpen ini memperlihatkan keaktifan seorang guru dalam memasuki dunia politik. Dikisahkan seorang Kepala Sekolah di sebuah desa yang dikabarkan mencalonkan diri menjadi perdana menteri. Berita ini pun terdengar oleh para wartawan sehingga banyak dari mereka yang mendatanginya untuk melakukan wawancara. Kepala sekolah tidak mau mengakui keinginannya di depan wartawan. Orang-orang di sekitarnya pun diminta untuk diam jika ada wartawan yang mencari informasi. Sepertinya, ia belum siap menghadapi resiko mencalonkan diri sebagai perdana menteri.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
102
Banyaknya wartawan yang datang dan mengerumuni Kepala Sekolah mengakibatkan Kepala Sekolah menjadi pingsan. Akhirnya, sebagian dari para wartawan ini mengantar Kepala Sekolah ke rumah sakit kota. Sisanya mencari informasi dari Wakil Kepala Sekolah dan murid-murid. Namun, hasilnya tetap nihil. Cerpen ini menampilkan sosok guru yang ingin menjadi perdana menteri. Ada semacam opini yang terbentuk bahwa seorang guru tidak pantas menjadi perdana menteri. Ia dianggap tidak mampu menjadi pimpinan suatu bangsa. Steriotipe yang terbentuk di masyarakat adalah bahwa tugas seorang guru hanyalah mengajar, sama seperti kiyai yang hanya berdakwah. Padahal, beberapa dari mereka cukup pintar dan tangkas mengikuti perjalanan politik Indonesia. Paling tidak, ketika seorang guru mampu menembus satu posisi penting di pemerintahan, mungkin kehidupan guru bisa lebih diperhatikan. Para wartawan dalam cerpen ini jadi sangsi akan berita bahwa Kepala Sekolah mencalonkan menjadi perdana menteri. Bagi mereka, adalah mustahil seorang guru mencalonkan diri menjadi perdana menteri. Guru hanya pantas menjadi kepala desa. Semua ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Saya yakin kita telah tertipu. Sumber berita kita keliru. Mungkin kepala sekolah itu mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa, bukan perdana menteri.” “Tidak!” kata wartawan majalah X. “Akulah satu-satunya wartawan yang sempat berdialog dengan dia. Kalau persoalannya sesederhana itu, pastilah dia membantah dan tidak perlu menyebut-nyebut kode etik segala.” … “Aku sempat omong-omong dengan dia. Aku cukup terkesan oleh gaya bicaranya. Jangan lupa dia seorang sarjana lho.” “Ya, tetapi mestinya sarjana keguruan. Jadi dia cuma cocok jadi guru atau kpala sekolah yang memimpin murid dan guru dalam jumlah tidak
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
103
lebih dari dua ribu orang. Akan tetapi, untuk menjadi perdana menteri, oh nanti dulu.” (hlm. 151—152).
Diam bukanlah solusi yang tepat ketika kita dihadapi berbagai macam masalah. Dengan bersuara atau menyampaikan masalah ke permukaan, segalanya menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan salah paham. Melalui empat cerpennya, Ratmana menunjukkan pribadi guru sebagai sosok yang tertekan. Saya menangkap bahwa semua yang dialami guru dalam cerpen-cerpen di subbab ini merupakan realita yang dirasakan guru dan dikemas oleh Ratmana dalam bentuk sastra.
3.8 Guru sebagai Pribadi yang Bangga, Berjasa, dan Membutuhkan Pengakuan
Dalam sebuah kelas, seorang guru menanyakan cita-cita anak didiknya. Dengan lantang, para murid menjawab dokter, penyanyi terkenal, insinyur, pilot, dan lain sebagainya. Namun, ketika ditanya ada yang mau menjadi guru atau tidak, para murid hanya diam, tiada jawaban. Pertanyaan mengenai cita-cita seorang anak didik nantinya di masa depan adalah pertanyaan yang sederhana. Akan tetapi, dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tersebut, ada satu hal yang membuat hati kita terenyuh manakala kita mendengarkan jawaban dari murid kita. Pertanyaan itu adalah pertanyaan terakhir sebagaimana yang ditanyakan oleh sang guru, adakah yang mau jadi guru? Jawabnya tidak ada yang bersedia jadi guru, ataupun kalau ada yang bersedia jumlahnya kecil (minoritas). Ini tidak seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang mendapatkan jawaban-jawaban yang responsif dan antusiasif dengan pilihan-pilihan profesi yang berkelas, menjanjikan, dan berprospek.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
104
Guru bukanlah profesi yang menarik untuk ditekuni dan digeluti sebagai jalan hidup. Guru identik dengan pekerja rendahan, identik dengan kenestapaan, dan identik dengan kemiskinan (secara materi). Tidak ada yang “mengenakkan” dari profesi ini. Dengan demikian, tampak adanya rasa ketidakbanggaan ketika kita menjadi seorang guru. Cerpen-cerpen Ratmana tidak ada yang membicarakan tidak enaknya menjadi seorang guru. Yang ada, cerpen-cerpen Ratmana menceritakan kebanggan dari orang-orang yang berprofesi sebagai guru. Hal ini dapat dilihat dalam cerpennya yang berjudul “Si Pembual”. Dalam cerpen “Si Pembual”, pengarang menghadirkan seorang guru yang sombong. Kebanggaan akan profesinya sebagai guru diceritakan pada orang-orang yang sedang duduk di sekitarnya. Teknik penceritaan dalam cerpen ini adalah akuan. Namun, tokoh “aku” bukan si guru dalam cerpen, melainkan orang yang duduk di sebelah guru tersebut. “aku” bertindak sebagai pencerita. Isi cerpen ini sejalan dengan pendapat Mulyasa dan Pullias tentang guru sebagai peneliti/pencari. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, proses pembelajaran merupakan sebuah seni. Dalam pelaksanaannya diperlukan penelitian yang di dalamnya melibatkan guru. Di sinilah peran guru sebagai pencari atau peneliti terlihat. Cerpen “Si Pembual” bercerita tentang guru yang telah mengajar di SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi dalam kurun waktu 35 tahun. Pengalaman yang pernah dirasakan guru itu selama menjadi guru, yaitu menjadi guru SD, mengawasi
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
105
Kinrohoshi27 di sekolah, mengawal Kolonel Simatupang, menanamkan pada orang di sekitarnya bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripada menjadi guru, menjadi guru SMP, mempelajari Fisika dan Kesusastraan, mengetahui karya-karya sastra Indonesia, dan sebagainya. Segala ceritanya ini membuat orang di sekitarnya semakin kagum pada guru tersebut, terkecuali pencerita yang duduk di sebelahnya. Baginya, semua perkataan guru tersebut hanyalah bualan saja. Mungkin sikap pencerita ini sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa tidak sepantasnya seorang guru membeberkan dengan gaya cerita yang demikian. Namun, bisa saja apa yang dibeberkan guru itu merupakan realita. Melalui uraian tersebut, sekilas memang gaya bertutur guru tersebut terlihat berlebihan sehingga membuat kita yang mendengar merasa ada kesombongan pada dirinya. Sejak awal, ia bercerita tentang pengalaman hidupnya ketika baru menjadi guru. Ia merasa bangga menjadi guru SD karena penguasaan materi seorang guru SD begitu luas. Bagaimana tidak, mulai dari pelajaran matematika hingga olahraga bisa dikuasainya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Nah, itulah keistimewaanku. Pertama kali aku diangkat jadi guru adalah guru SD. Dulu namanya SR, Sekolah Rakyat. Orang umumnya menganggap derajat guru SD lebih rendah daripada guru Sekolah Menengah. Itu keliru. Keliru sama sekali! Mereka justru guru yang sejati. Guru SD-lah yang meletakkan fondasi [sic!] bagi seseorang siswa untuk menjadi sarjana. Kecuali itu mereka secara teknis pun adalah orang-orang yang luar biasa. Aku menghayatinya, Nak. Bayangkan, sebagai guru baru kelas aku harus mengajar Olahraga termasuk main kasti, sampai Ilmu Pasti, mulai Menari sampai Geografi, dari Imlak sampai Mencongak, dari
27
sejenis kerja bakti pada masa penjajahan Jepang.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
106
Menggambar sampai Menyanyi. Juga mengawasi Kinrohoshi alias kerja bakti. Ha, ha, ha........, Betul kan?” (hlm. 89—90).
Selain cerita tersebut, disampaikan pula bahwa dirinya pernah turut serta dalam perang kemerdekaan sebagai pengawal Kolonel Simatupang. Coba lihat kutipan berikut.
“Hampir dua minggu aku ikut jadi pengawal Kolonel Simatupang. Kau kenal nama Simatupang bukan? Ya, yang sekarang kita kenal sebagai Jenderal T.B. Simatupang. Meskipun masih bujang, tetapi beliau tegas, pemberani dan berwibawa. Aku pernah jadi pengawal beliau selama beliau bergerilya di daerah Kudu.” (hlm. 91).
Simatupang atau yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang adalah seorang tokoh militer dan Gereja di Indonesia. Ia merupakan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948—1949) dan Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950—1954). Orang yang selalu merasa berutang ini mengisi hari-harinya dengan menjadi aktifis gereja. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Simatupang turut berjuang melawan penjajahan Belanda. Tahun 1954—1959 ia diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Ia kemudian mengundurkan diri dengan pangkat Letnan Jenderal dari dinas aktifnya di kemiliteran karena perbedaan prinsipnya dengan Presiden Soekarno waktu itu. 28 Melihat biografi singkat Simatupang, terlihat bahwa ia termasuk orang yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai orang yang dapat mengawal kemana pun ia pergi, tentunya merupakan kebanggaan tersendiri.
28
Informasi ini diperoleh dari website http://id.wikipedia.org/wiki/T.B._Simatupang pada tanggal 1 Desember 2007.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
107
Kebesaran nama seorang Simatupang membuat guru yang sempat menjadi pengawalnya ini bangga luar biasa. Setelah meneruskan studi ke Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), ia pun menjadi guru SMP yang mengajar Matematika. Kecepatan dan kelancaran guru ini untuk bisa mengajar murid SMP membuat ia semakin bangga dengan kemampuannya. Guru ini pun menanamkan pada orang di sekitarnya bahwa tidak ada profesi yang lebih mulia daripada menjadi guru. Hal ini tampak dalam dua kutipan berikut.
“Sesudah pengakuan kemerdekaan aku kembali jadi guru. Masih guru SD, tapi tiap sore aku beljar disebuah [sic!] SMA swasta. Tepat tiga tahun aku bisa lulus. Banyak orang menyarankan agar aku menjutkan ke universitas, biar bisa jadi dokter atau insinyur. Tapi mereka terdiam kalau kutanya, apakah jabatan yang lebih mulia daripada guru. Semua bungkam, sebab mereka sadar bahwa guru adalah profesi yang paling mulia. Karena itu aku melanjutkan studi ke PGSLP, Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Alangkah merdunya nama itu P-G-S-L-P!” (hlm. 91). “Tepat sembilan bulan sepuluh hari, seperti lamanya orang hamil, aku digodok di PGSLP,” kata Si Tua lagi. “Aku lulus. Ijazahku nomor satu! Seketika aku meloncat, jadi guru SMP. Martabatku sebagai guru meningkat. Selamat tinggal SD! Terbebaslah aku dari mengajar Kasti Aku ganti memegang avak yang terberat: Ilmu Pasti atau istilah sekarang Matematika. Jadilah aku Malaikat, sebab Matematika adalah pelajaran yang paling ditakuti oleh siswa. Ketika itulah aku mengajar ayah kalian. Bayangkan Nak, betapa jauh jarak diantara [sic!] kita. Kamu belum jadi manusia, bahkan calon manusia pun belum, aku sudah jadi malaikat di SMP. Ha, ha, ha.......” (hlm. 92).
Dengan tidak bermaksud subjektif, seorang guru biasanya haus akan ilmu sehingga informasi apa pun kerap menjadi sesuatu yang baru dan menantang untuk diketahui. Untuk mendapatkan itu semua, guru rajin membaca buku, koran, dan lain sebagainya. Untuk alasan itu pula guru dalam cerpen ini mempelajari Fisika dan
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
108
Kesusastraan. Di SMA, selain mengajar Fisika, ia pun menanamkan pada muridmuridnya bahwa karya-karya sastra Indonesia itu penting untuk diketahui. Alhasil, para murid pun diperintahkan untuk membaca karya-karya seperti Chairil Anwar,29 Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.
“Ya. Iyalah para pelajar sangat senang pada pelajaranku. Mengapa? Soalnya aku tidak mengajari mereka ilmu-ilmu sastra yang kering itu. Aku membimbing mereka bagaimana menikmati karya sastra. Mereka kuwajibkan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya, untuk dijadikan bahan diskusi. Kutekankan pada mereka kelak boleh saja mereka jadi insinyur, dokter, apoteker, atau cuma pegawai Depnaker, tetapi mereka harus bisa berbicara siapa itu Chairil, Pramoedya, Shakespeare, Tolstoy, dan lain-lain, dengan bahasa mereka sendiri. Mereka kularang membebek pada pendapat orang lain, kritikus sastra sekalipun.” (hlm. 93).
Dari satu sisi, tampak dengan jelas kesombongan guru ini dalam menceritakan realita pengalaman hidupnya, tetapi di sisi lain kita bisa melihat ada rasa ingin diakui dari guru yang menjadi pengajar dengan sejuta pengalaman, ilmu, dan kepintaran dalam dirinya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
“Boleh saya ikut bicara, Pak?” tanyaku sesudah kejengkelan ini tak tertahan. Si Tua itu mengamati lewat bingkai atas kacamatanya. “Apakah Bapak tidak pernah berpikir kebalikan dari yang Bapak katakan?” “Maksud Anda?”
29
Chairil Anwar adalah seorang penyair besar Indonesia yang karya-karyanya abadi sepanjang zaman. Ia lahir di Medan, 26 Juni 1922 dan meninggal dengan usia yang sangat muda pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta. Pendidikan yang sempat ditekuninya adalah HIS dan MULO (tidak tamat). Ia adalah ujung tombak Angkatan 45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi. Tidak seperti penyair angkatan terdahulu, Pujangga Baru, yang cenderung mendayu-dayu dan romantis, katakata dalam puisi-puisi Chairil terlihat sangat lugas, solid dan kuat. Salah satu puisinya yang paling sering dideklamasikan berjudul Aku dengan lariknya yang terkenal "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!". Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Buku kumpulan puisinya yang diterbitkan Gramedia adalah Aku ini Binatang Jalang (1986).
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
109
“Apalah artinya kemajuan pendidikan kalau secara militer kita lemah sehingga dengan mudah keamanan dikacau oleh kekuatan asing?” kataku. “Bagaimana kemajuan pendidikan dapat kita raih kalau ekonomi kita koratkarit? Mana mungkin pendidikan punya arah yang jelas kalau politik kita tidak stabil? Jadi Pak, politikus punya peranan penting, begitu pula militer, dokter, wartawan, bahkan juga pe.......” “He, Nak! Kau dengar omongannya?” tanya Si Tua kepada kedua permuda (baca: pemuda, penulis) sahabatnya tanpa menghiraukan bicaraku. “Ya, Pak.” “Saya dengar.” “Orang yang bisa bicara semacam itu pastilah orang yang pernah dididik oleh guru.” “Betul, Pak.” “Maksud saya begini, Pak.” kataku lagi. “Saya menghargai profesi guru, tapi saya tidak sependapat dengan Bapak bahwa profesi guru adalah profesi yang paling.......” “Cukup, cukup! Aku hanya butuh pengakuan bahwa guru sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tanpa guru masyarakat kita tidak menentu. Bobrok, brengsek, dan berantakan.” “Tapi tanpa profesi yang lain guru akan......” “Cukup. Anda dengar kataku? Cukup!” Kutatap Si Tua. Terpancar dari matanya sikap otoriter seorang guru tua. Aku tidak mau menyerah. Toh aku bukan murid yang sedang diajar olehnya. “Pak, sekarang banyak juga guru yang brengsek. Karena itu.....” “Bohong. Bohong besar! Tidak ada guru brengsek. Mungkin meksudmu pegawai yang bertugas mengajar, bukan guru. Anda harus bisa membedakan antara pengajar dengan guru. Anda ingin lihat contoh guru? Lihatlah ini!” kata Si Tua sambil menuding dadanya sendiri. (hlm. 94—95).
Perkataan si guru yang menunjukkan minta diakui terlihat jelas dalam kutipan tersebut. Sudah lama guru diterlantarkan. Guru juga manusia, bukan dewa, apalagi hamba sahaya. Guru juga butuh baju baru dan kado istimewa, butuh aktualisasi bermartabat, butuh ensiklopedi dan internet, butuh kemerdekaan kreatif, butuh hati yang dirona motivasi dan prestasi, dan butuh memboyong piala, selain pahala. Intinya, guru butuh diakui jasanya oleh semua orang.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
110
Lewat cerpen ini, Ratmana ingin menunjukkan kenyataan bahwa ada yang suka dengan sikap guru yang seperti itu, tetapi ada pula yang tidak. Hal ini terlihat di akhir cerita ketika ada bekas muridnya yang merupakan seorang tentara menyapa lantaran mengenali suara si bekas guru. Sikap positif yang ditunjukkan tentara itu memperlihatkan bahwa mungkin apa yang diceritakan guru tersebut benar adanya. Hal ini membuat dua orang lain yang mendengarkan cerita tersebut semakin kagum pada guru tersebut. Akan tetapi, tidak dengan pencerita yang duduk di sebelahnya. Menurutnya, semua perkataan guru tersebut hanyalah cerita yang dilebih-lebihkan.
3.9 Guru sebagai Sosok yang Tabah Tidak henti-hentinya Tuhan menguji manusia, baik dengan kelebihan maupun kekurangan. Kita tidak dapat mendemo, memprotes, atau menentang keputusan-Nya, tetapi harus menghadapinya dengan tabah karena masing-masing sudah ada bagiannya. Mereka yang diberi kelebihan harta diuji apakah mau bersyukur dan punya tenggang rasa terhadap kaum lemah. Kalau tidak bersyukur akan merasa miskin terus dan penghasilannya selalu dianggap tidak mencukupi. Kemudian dicari tambahan, kadang-kadang melupakan etika. Di sisi lain, mereka yang diberi kekurangan harta diuji apakah mau berusaha untuk menjadi lebih baik. Citra guru sebagai sosok yang tabah ini hadir dalam cerpen SN Ratmana yang berjudul “Hanya Beberapa Milimeter”. Berikut ini diperlihatkan ketabahan seorang guru dalam menjalankan kehidupannya. Cerpen “Hanya Beberapa Milimeter” bercerita tentang seorang kepala sekolah yang harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
111
Rumahnya di Tegal, sedangkan sekolah tempat ia mengajar di Subah, kira-kira jaraknya 95 kilometer. Dalam keseharian, kepala sekolah ini melewatkan perjalanannya dengan menggunakan bus. Belakangan ini, dalam perjalanannya itu, ia sering melihat bayang-bayang seorang guru yang telah meninggal. Sebelum meninggal guru tersebut mengajar di sekolah yang dipimpin kepala sekolah ini. Mereka jarang bertegur sapa karena perjumpaan itu hanya terjadi pada hari Sabtu, tetapi entah kenapa kepala sekolah jadi lebih sering melihatnya setelah ia wafat. Bayang-bayang wajah Jawahir—nama guru yang telah wafat tersebut—sering hadir di mana saja sepanjang jalan antara Tegal dan Subah. Suatu hari, ketika sedang makan siang di sebuah warung soto, kepala sekolah bertemu dengan kawan lamanya, Fajari. Mereka saling bercerita tentang kehidupan sehari-hari masing-masing. Betapa terkejutnya Fajari mendengar pengalaman kawan lamanya ini yang harus menempuh puluhan kilometer untuk pergi mengajar. Apalagi kendaraan yang digunakannya adalah sebuah bus. Fajari menyebutkan bahwa nasib para penumpang di dalam kendaraan umum ada di tangan dan kaki sopir. Cerita Fajari ini membuat kepala sekolah berpikir bahwa nasibnya begitu dipertaruhkan ketika berangkat dan pulang kerja. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi dihantui oleh bayang-bayang Jawahir. Cerpen ini merujuk pada kehidupan dan kematian. Untuk sampai ke hal tersebut, pengarang menggunakan guru sebagai objeknya. Hadirnya guru-guru di dalam cerpen ini tidak berarti kisah tentang guru dalam cerpen menjadi mubazir atau tidak layak untuk dikupas. Melalui cerpen ini, Ratmana ingin menggambarkan sosok
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
112
guru yang baik dan penuh perjuangan menjalankan tugas. Hal ini tampak pada tokoh “aku” dalam kutipan berikut.
Rumahku di Tegal tapi aku diangkat jadi Kepala Sekolah SMA Negeri di Subah, Kabupaten Batang, yang jaraknya dari Tegal kira-kira sembilan puluh lima kilometer. Konsekuensinya tiap hari aku harus bolakbalik Tegal-Subah yang memakan waktu tidak kurang dari empat jam. Belum lagi aku terbiasa dengan gaya hidupku yang baru aku mendapatkan pengalaman yang aneh tentang salah seorang anak buahku. (hlm. 99).
Di sini terungkap bagaimana “aku” yang merupakan kepala sekolah menunjukkan ketabahannya dalam menjalankan tugas. Dalam perjalanan itu, guru ditampilkan berada dalam situasi yang beresiko. Guru tersebut tabah dan tidak mengeluh meskipun menempuh puluhan kilo untuk sampai di sekolah. Penyampaian pesan terlihat dalam dialog berikut.
“Jam berapa kamu berangkat kerja?” “Persis subuh, sampai di rumah kembali paling cepat jam lima sore.” “Itu kamu kerjakan tiap hari?” “Ya.” “Apa kendaraanmu?” “Kupilih kendaraan yang besar dan banyak kawan” “Bus maksudmu? “Ya.” “Edan! Kalau begitu kamu bisa jadi wali.” “Apa? Wali?” tanyaku kaget. “Ya, tua nang gili alias tua di jalanan.” “Apa boleh buat. Itulah konsekuensinya jadi pegawai negeri.” “Tapi begini, Rat. Untuk jadi wali, seperti halnya para sopir dan kernet, menurut orang bijak, kamu harus memiliki sikap pasrah yang luar biasa.” katanya dengan serius. “Berapa kilo jarak Tegal—Subah?” “Sembilan puluh lima kilometer.” “Perjalananmu sembilan puluh lima kilometer, tapi antara celaka dan selamat, antara hidup dan mati, di perjalanan yang panjang itu kadang-kadang Cuma berjarak beberapa milimeter saja.” “Maksudmu?”
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
113
“Keselamatan penumpang kendaraan umum ada di tangan dan kaki sopir. Sedikit kurang dalam saja kaki sopir menginjak rem atau atau salah beberapa derajat saja sopir memutar stir, kendaraan bisa menabrak atau masuk jurang. Mampuslah para penumpang! Kau pernah perhatikan berapa sih cengkraman rem bus pada as roda? Hanya beberapa milimeter!” “Ah, kalau aku sih yakin bahwa keselamatan ada di tangan Allah.” “Itu jelas, tapi jangan lupa bahwa tangan Allah pula yang menggerakkan tangan dan kaki sopir. Karena itu kamu harus pasrah padaNya.” (hlm. 103—104).
Cerpen ini juga menyajikan sosok guru yang baik dan disukai oleh rekan seprofesinya. Tokoh Jawahir selalu terbayang oleh “aku” karena watak dan perilakunya yang menyenangkan. Kepergian Jawahir membuat semua orang yang mengenalnya sedih dan kehilangan, khususnya “aku”. Jawahir digambarkan sebagai orang yang periang dan suka humor (hlm. 99). Ia pun tergolong ke dalam guru yang menjunjung tinggi disiplin. Murid-murid menyukainya bukan saja karena sifatnya yang periang, melainkan karena penguasaan materi pelajarannya yang mendalam (hlm. 100). Mungkin kesan baik selama mengenal Jawahir telah membuat kepala sekolah tidak mudah melupakan anak buahnya ini.
3.10 Guru sebagai Korban Politik/Keadaan Tidak bisa dipungkiri, perubahan zaman telah mengubah pandangan masyarakat atas profesi guru. Di lain pihak, munculnya realitas baru di masyarakat ikut mengubah sosok guru. Sosok guru sekarang tidak seperti yang dilukiskan oleh kakek-nenek kita dulu, sebagai makhluk serba tahu, serba bisa, dan memiliki wibawa tinggi.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
114
Guru di masa lalu dinilai memiliki kualitas, karakternya kuat, memiliki semangat berkorban untuk masyarakat. Oleh karena itu, para guru di masa lalu juga memiliki peran penting di masyarakat. Paling tidak, mereka sering dianggap berkemampuan membimbing masyarakat. Pendek kata, guru dianggap paling tahu, paling pas diminta nasihat, dan cocok dijadikan pembimbing masyarakat. Kini, sosok guru sudah mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Dahulu guru bisa hidup berkecukupan di tengah masyarakat yang kekurangan. Kini, justru sebaliknya, guru hidup berkekurangan di tengah masyarakat yang kian pandai dan berkecukupan secara ekonomi. Mungkin kondisi seperti ini yang menjadi salah satu pemicu guru untuk berkecimpung dalam dunia politik. Malangnya, banyak guru yang terpaksa gagal pula menjadi pendidik dan jatuh sebagai pekerja belaka. Tugas guru hanya mengajar, bukan mendidik. Jadi, di sekolah guru-guru itu cuma berniat bekerja, bukan mengabdi. "Pengabdian" adalah tuntutan yang tak masuk akal lagi. Sekolah dengan watak industrilah yang menghasilkan guruguru bermental buruh. Peristiwa semacam ini ternyata tidak luput dari pandangan SN Ratmana. Tiga cerpennya yang berjudul “Bungkam”, “Anjing yang Setia”, dan “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga” menggambarkan bagaimana guru bergelut di jalur politik. Cerpen “Bungkam” dan “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga” sudah disinggung di subbab sebelumnya. Hadirnya kedua cerpen tersebut di dalam subbab ini karena pada kedua cerpen tersebut terlihat bagaimana guru sebagai korban politik/keadaan. Seperti
yang
telah
disebutkan
tersebut,
cerpen
“Bungkam”
pun
memperlihatkan keterlibatan guru sebagai korban dari politik. Cerita tentang guru
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
115
yang dulunya merupakan pemuda biasa yang aktif demonstrasi melawan pemerintahan lama, kini menjadi seorang penulis berita. Di akhir cerita, dikabarkan bahwa koran ibu kota dilarang terbit selama waktu yang tidak ditentukan. Guru itu pun jadi bingung mencari cara dan tempat untuk menulis. Akhir cerpen ini memperlihatkan kebungkaman media-media di tahun 1960an. Saat itu adalah masa demokrasi terpimpin, di mana Sukarno masih berkuasa penuh atas pemerintakan Indonesia. Ricklefs (2005:548—549) menyebutkan bahwa pada bulan Januari 1965, posisi PKI di Jakarta tampak semakin kuat ketika Sukarno melarang partai Murba. Ini menjadi bukti bagi orang-orang yang berpendapat bahwa Sukarno benar-benar menginginkan PKI memegang kekuasaan karena para pemimpin Murba seperti Adam Malik telah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap Sukarno. Kini PKI meningkatkan tuntutannya bagi retooling Malik dan Chaerul Saleh. Mereka kehilangan sedikit-banyak kekuasaan dalam perubahan susunan kabinet pada bulan Maret, tetapi masih tetap duduk dalam pemerintahan. Pada akhir bulan Februari, 21 surat kabar di Jakarta dan Medan yang menentang PKI dilarang terbit. Angkatan darat bereaksi dengan mulai menerbitkan surat kabar sendiri. Selanjutnya adalah cerpen “Anjing yang Setia”. Cerpen ini menceritakan peristiwa pemecatan seorang direktur SMU dari jabatannya. Alasan pemecatannya adalah karena ia termasuk salah satu antek tokoh revolusi. Ia pun merupakan orang yang mengagungkan Bung Karno, seorang tokoh yang pernah bergelar Pemimpin Besar Revolusi. Direktur SMU ini begitu senang dengan posisinya dulu. Tidak ada yang membuatnya bangga selain menjadi seorang direktur sekolah.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
116
Sekarang jabatannya diserahkan kepada Kapten X. Ia adalah mantan komandan kompi pasukan gerilya. Dalam pidatonya, Kapten X memerintahkan agar para pelajar menjunjung tinggi disiplin sekolah serta mengajak para guru agar lebih meningkatkan semangat kerja. Setelah upacara serah terima jabatan selesai, mantan direktur tersebut keluar dari sekolah tanpa ada yang mengucapkan selamat jalan ataupun mengantarkannya sampai ke pintu halaman sebagaimana layaknya kepergian seorang tamu, apalagi bekas direktur. Sekeluarnya dari halaman sekolah itu, direktur ini tidak merasa sebagai seekor anjing kudisan yang dihalau dari pekarangan keluarga terhormat, tetapi seekor anjing yang setia pada tuannya. Hal ini tampak pada kutipan berikut. Betapa pun pedih dan kecewa tapi dia tidak pernah menyesali tindakannya yang menyebabkan terjadinya segala bentuk penderitaan. Dia tidak pernah menyesal. Lebih-lebih karena dia ingat pada koran terbitan kemarin yang memuat berita bahwa tokoh yang ia agungkan dan pernah bergelar “Pemimpin Besar Revolusi” telah dilarang meninggalkan kediamannya, menerima tamu atau kegiatan lain. Dia jadi merasa senasib dengan tokoh itu, meskipun dia memiliki kebebasan yang relatif lebih luas. (hlm. 123).
Dari kutipan tersebut, terlihat usaha pengarang yang ingin menunjukkan keteguhan hati seorang bawahan terhadap atasannya. Kesamaan prinsip yang ditanamkan pada diri direktur dengan tokoh yang dikaguminya dapat membuatnya bertahan, tidak kecil hati, bahkan malah merasa terhormat. Meskipun ia bukan seorang guru, ia terlihat bangga sekali dengan jabatannya sebagai direktur SMU itu. Kondisi dan situasi pada cerpen tersebut mengingatkan saya pada tahun 1966, ketika kebijakan Soeharto konon menyulut kekerasan di Jakarta, yang pada akhirnya mendesak kekuatan Sukarno menyerahkan kekuasaannya pada Soeharto untuk
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
117
memulihkan ketertiban. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern (2005:567—569), disebutkan bahwa para pemuda pro-Sukarno dan anti-Sukarno berkelahi di jalan-jalan ibu kota. Permainan manuver halus antara Sukarno dan Soeharto—yang menghasilkan kekerasan berdarah di ibu kota—berakhir dengan meyakinkan untuk kemenangan Soeharto. Sukarno pun mengadakan pertemuan kabinet di Jakarta, lalu dengan menggunakan helikopter pergi ke Bogor. Soeharto mengutus tiga orang jenderal untuk Sukarno agar mau menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan pemerintahan, dan melindungi Presiden atas nama Revolusi. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Maret 1966 dan dikenal sebagai peristiwa Supersemar. Dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para pendukungnya menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Ada kesan bahwa cerpen “Anjing yang Setia” ini berangkat dari peristiwa yang telah diuraikan. Ketika Soeharto mulai berkuasa, seluruh jajaran pemerintahan dan instansi lainnya mulai diganti oleh orang-orang militer. Mereka yang proSukarno pun ditangkap dan disingkirkan. Demikian juga dengan Direktur SMA di kota tersebut. Posisinya sebagai kepala sekolah digantikan oleh Kapten X, seorang perwira Kodim. Cerpen terakhir yang memperlihatkan eksistensi guru dalam politik adalah “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”. Seperti yang telah disebutkan dalam subbab sebelumnya, cerpen ini melukiskan seorang guru yang selalu dihantui oleh ketakutan terhadap bayangan-bayangannya sendiri. Dalam kenyataan, apa yang senantiasa
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
118
ditakutinya itu sebenarnya tidak ada. Guru ini digambarkan sebagai penulis reportase kegiatan RKI (Remaja Kota Ini) maupun ulasan sajak-sajak anggota RKI di Berita Dunia. Dalam cerpen ini, guru yang dihadirkan secara tidak langsung telah terlibat dengan dunia politik. Kondisi yang terjadi saat itu adalah susahnya beraktivitas jika berkaitan dengan komunis. Rasa was-was selalu menghantuinya. Ia takut ditahan karena membangun sebuah perkumpulan yang dikira meneruskan Partai Komunis. Alhasil, ia selalu diam dan bungkam ketika ada orang yang menanyakan hal yang berhubungan dengan RKI. Rasa takut yang berlebihan membuat guru itu selalu resah di mana pun ia berada. Keresahan guru ini tergambar dalam kutipan berikut.
Sampai hari ini tak terjadi apa-apa atas dirinya. Kemarahan sang Kepala Jawatan belum nampak kelanjutannya. Juga semua koran baik-baik saja. Tak ada yang mencelakakan dirinya. Tetapi dia toh tetap kuatir kalaukalau ada orang di luar RKI yang tiba-tiba mengungkapkan pelarangan Walikota atas penyelenggaraan drama RKI. Mungkin saja ada ayah anggota RKI yang kecewa melihat anaknya sudah bersusah payah berlatih drama lebih dua bulan lamanya, mungkin juga wartawan yang selalu haus berita, atau bisa saja seseorang yang sengaja menangguk ikan di air keruh. Bila peristiwa itu sampai muncul di koran, menurut pendapatnya, bencana tidak dapat dielakkan lagi. Mungkin dirinya ditahan sebagai orang yang berani menentang pembesar, mungkin dipecat dari sekolahnya, atau hukuman lainnya yang pasti memberatkan dirinya sebagai ayah tujuh orang anak. Ia yakin, kalau terjadi demikian, anak-anak RKI atau siapa saja tidak ada yang bisa melindunginya (hlm. 129—130).
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
119
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Karya sastra merupakan hasil cipta yang mendapat pengaruh dari latar belakang, lingkungan, atau pengalaman seorang pengarang. Karya yang dibuat melalui pengalaman pribadi atau lingkungan seorang pengarang ada yang berdasarkan kehidupan nyata dan ada pula yang hanya berdasarkan imajinasi belaka. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak mengherankan jika ada pengarang yang mencoba menuangkan pengalaman hidupnya lewat sebuah karya sastra. Sebagai guru, SN Ratmana telah menciptakan banyak karya yang diangkat dari realita kehidupan yang telah ia jalani selama menjadi guru.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
120
Secara umum, ada beragam sosok guru yang dihadirkan Ratmana dalam cerpen-cerpennya. Hampir dalam semua cerpen Ratmana terdapat tokoh guru, meskipun tokoh itu tidak selalu memegang peran utama (tokoh utama). Ini merupakan ciri khas tersendiri dari seorang SN Ratmana. Berangkat dari hal ini, dapat kita lihat kekonsistenan Ratmana dalam membuat cerita tentang guru. Citra guru tercipta dari peran, fungsi, atau tindakannya sebagai guru. Murid dan masyarakat mengharapkan seorang guru yang ideal. Untuk menjadi sosok yang ideal berarti guru tersebut dituntut untuk sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna, demikian halnya dengan guru. Ia hanya manusia biasa yang dapat khilaf ketika melakukan sesuatu. Setelah membandingkan citra guru yang ada dalam karya-karya SN Ratmana dengan uraian tentang guru yang ideal, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Apa yang digambarkan Ratmana dalam cerpen-cerpennya cenderung berbeda dengan gambaran tentang guru yang ideal menurut pendapat masyarakat, sebagaimana yang teruraikan dalam dua buku yang dijadikan referensi dalam penelitian ini. Mulyasa dan Pullias mencoba membentuk sebuah opini bagaimana citra guru yang ideal di masyarakat. Sementara dalam cerpen-cerpen Ratmana yang berbicara tentang guru, guru digambarkan sebagai manusia biasa. Ratmana cenderung tidak menampilkan guru yang ideal atau yang diharapkan masyarakat. Ia menggambarkan kekurangan guru sebagaimana yang ia lihat di dalam dunia nyata. Nampaknya Ratmana ingin menggambarkan guru yang dilihat dan dialaminya sendiri. Cerpen-cerpen SN Ratmana mengangkat citra guru yang beragam, tetapi hampir semuanya merupakan citra guru yang ada di dunia nyata. Secara umum, ada
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
121
sembilan citra guru yang dihadirkan oleh Ratmana dalam cerpen-cerpennya. Pertama, guru sebagai pendidik yang tegas dan bertanggung jawab. Citra seorang guru yang bertanggung jawab ini dapat dijumpai dalam cerpen “Di Pojok Kota Semarang”, “Diagnosa”, “Karena Siang Terlalu Panas”, dan “Tamu”. Kedua, guru sebagai bahan ejekan dan objek pemerasan. Citra guru yang demikian tampak pada empat cerpen, yaitu “Langkah Pertama”, “Dimulai dengan Kesulitan”, “Tamu”, dan “Upeti”. Ketiga, guru sebagai pribadi yang hidupnya tidak berkecukupan. Untuk gambaran ini, dapat dilihat dalam cerpen “Guru” dan “Pak Sapran”. Keempat, guru sebagai sosok yang emosional dan irasional. Keemosionalan dan keirasionalan guru tidak luput dari kekhilafan. Hal ini tertulis dalam cerpen “Asap” dan “Pak Sapran”. Kelima, guru sebagai pribadi yang dikagumi murid, sebagaimana tertulis dalam “Mendiang”. Keenam, guru sebagai pribadi yang tertekan. Sebagai manusia biasa, adakalanya guru tidak berdaya ketika mendapatkan masalah atau musibah. Guru yang hidupnya tertekan ini tertuang dalam cerpen-cerpen Ratmana yang berjudul “Aib”, “Bungkam”, “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”, dan “Ssstttt!!!”. Ketujuh, guru sebagai pribadi yang bangga, berjasa, dan membutuhkan pengakuan. Satu cerpen yang menghadirkan citra guru seperti ini, yaitu “Si Pembual”. Kedelapan, guru sebagai sosok yang tabah. Citra guru yang tabah juga hanya tampak pada satu cerpen, yakni “Hanya Beberapa Milimeter”. Terakhir, guru sebagai korban politik/keadaan. Ratmana dengan gaya penceritaan yang mudah untuk dipahami menampilkan sosok guru yang menjadi korban politik/keadaan dalam cerpen “Bungkam”, “Anjing yang Setia”, dan “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
122
Dari sembilan citra guru yang ada pada cerpen Ratmana, tujuh di antaranya belum termasuk dalam citra guru yang ideal menurut masyarakat, sebagaimana yang dipaparkan oleh Mulyasa dan Pullias. Citra guru tersebut, yaitu guru sebagai bahan ejekan dan objek pemerasan; guru sebagai pribadi yang hidupnya tidak berkecukupan; guru sebagai sosok yang emosional dan irasional; guru sebagai pribadi yang dikagumi murid; guru sebagai pribadi yang tertekan; guru sebagai pribadi yang bangga, berjasa, dan membutuhkan pengakuan; dan guru sebagai korban politik/keadaan.
4.2 Saran Dikaitkan dengan banyaknya karya sastra yang berbicara tentang guru, penelitian terhadap citra guru dalam karya lain masih sangat mungkin untuk dilakukan. Penelitian ini baru sebatas menjelaskan dan mengungkapkan citra guru dalam cerpen-cerpen SN Ratmana. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika ada penelitian lebih lanjut lagi yang melihat bagaimana citra/gambaran tentang guru di dalam karya sastra. Memang telah ada yang meneliti citra guru, tetapi dibandingkan dengan banyaknya karya yang bertemakan guru seharusnya ada lebih banyak lagi orang yang meneliti guru dalam karya sastra. Dibandingkan dengan penelitian terhadap karya dari pengarang lain, penelitian ini dapat dikatakan masih sebagian kecil atau tergolong ke dalam penelitian awal. Menarik kiranya jika penelitian selanjutnya membandingkan karya SN Ratmana dengan karya pengarang lain yang mengambil latar tempat, budaya, dan sejarah yang berbeda. Kebetulan semua tokoh guru dalam
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
123
buku yang saya teliti (Soetji Menulis di Balik Papan Tulis) berjenis kelamin laki-laki. Tidak tertutup kemungkinan ada karya-karya yang ditulis pengarang lain yang menampilkan tokoh guru berjenis kelamin perempuan sehingga akan menarik jika hal tersebut dijadikan objek penelitian baru. Selain itu, ada kemungkinan juga citra guru berjenis kelamin perempuan berbeda dengan citra guru berjenis kelamin laki-laki. Barangkali faktor penulis (laki-laki atau perempuan) juga menentukan atau setidaknya berpengaruh terhadap pelukisan citra guru. Ini semua merupakan masalah yang menarik untuk diteliti. Diharapkan penelitian lanjutan tersebut bisa menjadi penelitian yang lebih komprehensif. Semoga penelitian ini bisa memberikan inspirasi dan manfaat bagi peneliti lain, khususnya mereka yang selalu tertarik dengan dunia sastra. Diharapkan penelitian ini dapat merangsang munculnya penelitian serupa dengan objek yang berbeda atau mungkin sebaliknya sehingga bisa memberi sumber informasi dan memperkaya khazanah kritik sastra Indonesia.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
124
DAFTAR PUSTAKA Sumber dari artikel dan buku: Ajidarma, Seno Gumira (Ed.). 2003. Cerpen Kompas Terpilih 1970—1980: Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: Kompas. Aprianto, Anton. “Guru Pukul Murid Dilaporkan ke Polisi,” dalam Tempo, 1 Desember, 2005. Cusin. 2000. “Analisis terhadap Unsur Didaktis dalam Kumpulan Cerpen Asap Itu Masih Mengepul Karya SN Ratmana sebagai Upaya Pemilihan Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMU,” Cirebon: Skripsi Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Swadaya Gunung Djati. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _____. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Eddy, Nyoman Tusthi. 1991. Kamus Istilah Sastra Indonesia. Flores: Nusa Indah. Endarmoko, Eko. 1982. “Cerita Tentang Guru,” dalam Puteri, no. 88, Maret. Fathurrohman, Pupuh dan Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama. Heryanto, Ariel. 1984. “Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sastra,” dalam Budaya Sastra. Jakarta: Rajawali. Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Indriyani, Dewi. “Menjadi Guru yang Selalu Ditunggu,” dalam Kompas, 17 Maret, 2007, hlm. 1. Ismail, Taufiq. 2006. “Guru Fisika yang Menulis Cerpen dan Novel di Tengah Generasi Nol Buku,” sebuah artikel yang dibuat ketika menjadi pembicara di Peluncuran Buku Sedimen Senja karya SN Ratmana. Jakarta.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
125
_____ dkk. (Ed.). 2001. dari Fansuri ke Handayani. Jakarta: Horison Kakilangit The Ford Foundation. Jassin, H.B.. 1968. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung. Junus, Umar. “Sastra sebagai Renungan,” dalam Sinar Harapan, 23 Desember, 1978. Kasmanawati, Sri. 1997. “Citra Guru pada Novel Arus Karya Aspar dan Novel Sang Guru Karya Gerson Poyk yang Ditampilkan dalam Perwatakan Tokoh Utama, Serta Implikasinya dalam Pengajaran Sastra di SMU,” Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (IKIP Jakarta). Mahayana, Maman S.. 2006. “Novel dengan Semangat Guru Sejati,” sebuah artikel yang dibuat ketika menjadi pembicara di Peluncuran Buku Sedimen Senja karya SN Ratmana. Jakarta. Maghfiroh, Umi. 2006. “Tema Cerita Karya-karya SN Ratmana,” Tegal: Skripsi Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti. Mukhridin. 2002. “Analisis Unsur Pendidikan Kumpulan Cerpen Dua Wajah Karya SN Ratmana dan Implikasinya bagi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMU,” Tegal: Skripsi Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti. Mulyadi, Efix. “Lebih Jauh dengan SN Ratmana,” dalam Kompas, 14 Mei, 2000, hlm. 4. Mulyasa, E.. 2007. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurbiajanti, Siwi. “Sosok 50 Tahun Pak Suci Menulis,” dalam Kompas, 8 Agustus, 2005, hlm. 16. Pullias, Earl V. dan James D. Young. 1983. Guru Adalah Segala-galanya. Bandung: Tarate. Radhar (Ed.). 2006. Cerpen Kompas Terpilih 1981—1990: Riwayat Negeri Yang Haru. Jakarta: Panca Dahana. Ratmana, SN. 1981. Sungai, Suara dan Luka. Jakarta: Sinar Harapan. _____. 1997. Asap Itu Masih Mengepul. Jakarta: Balai Pustaka.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
126
_____. 2001. Dua Wajah. Yogyakarta: Kepel Press. _____. 2002. Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Berbicara. Magelang: Indonesiatera. _____. 2005. Soetji Menulis di Balik Papan Tulis. Tegal: Wacana Bangsa. _____. 2006. Sedimen Senja. Jakarta: Kompas. _____. “Duh,” dalam Suara Merdeka, 14 Mei, 2006, hlm. 30. _____. “Lelaki Tua dalam Tiga Peristiwa,” dalam Suara Merdeka, 1 April, 2007, hlm. 30. _____. “Orong-orong,” dalam Suara Merdeka, 21 Oktober, 2007, hlm. 30. _____. “Permata,” dalam Kisah, no. 9, September, 1956, hlm. 37. Ricklefs, M.C.. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200—2004. Jakarta: Serambi. Safitri, Ririn Indah. “Jika Murid Salah, Bolehkah Guru Menghukum?” dalam Kompas, 30 Mei, 2005, hlm. 1. “Sebaiknya Siswa Dilarang Bawa Ponsel di Sekolah,” dalam Suara Merdeka, 16 Desember, 2006, hlm. 1. Suharya, Toto. “Setingkat di Bawah Nabi,” dalam Pikiran Rakyat, 27 November, 2006, hlm. 4. Sulaiman, Muhammad. 1986. “Masalah Agama dalam Cerpen ‘Kubur’,” Depok: Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia. _____. “Misi Suci dan Dua Wajah SN Ratmana,” dalam Suara Merdeka, 11 April, 2004, hlm. 18. Sumarjo, Yakob. “SN Ratmana Pengarang Guru,” dalam Pikiran Rakyat, 19 Februari, 1975, hlm. 5. Soetjiningrat. “Tjerita Kamar,” dalam Siasat, 31 Djuli, 1955, hlm. 425. “Tiga Pengarang Raih Penghargaan Sastra,” dalam Kompas, 4 Oktober, 2000, hlm. 9. Tim Penyusun. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
127
Tohari, Ahmad (Kurator). 2005. Bidadari Sigar Rasa: Suara Jawa Tengah. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. “Wanita ‘Guru’ TK Mencuri,” dalam Kompas, 14 Maret, 2004, hlm. 8. Wasono, Sunu. 2004. “Kelugasan dan Kenetralan sebagai Wujud Gaya Realis Pada Beberapa Cerpen S.N. Ratmana,” dalam Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Wie. “Diluncurkan, Buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis,” Kompas Jawa Tengah, 9 Maret, 2005, hlm. 8. Wilonoyudho, Saratri. “Merenungkan Perjalanan Hidup Guru,” dalam Kompas, 12 September, 2001, hlm. 1 dan 11. Yatim, Wildan. 1983. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir. Jakarta: Gramedia. Zakiyah, Siti Umi. “Pendidik Profesional,” dalam Pikiran Rakyat, 1 Desember, 2005, hlm. 2 dan 11.
Sumber dari internet: Anhar, Silvi. “Ayooo... Kamu Ketahuan... Nyontek Lagi... Nyontek Lagi...,” dalam http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3941, 1 Desember, 2007. Arifiyadi, Teguh. “Analisa tentang Masalah Upeti,” dalam http://teguharifiyadi. wordpress.com/2007/06/22/analisa-ttg-masalah-upeti/, 22 Juni, 2007. Azzurri, Asuwir. “Mengajar di Q-Collage,” dalam http://azuwir.web.id/?p=4., 1 Desember, 2007. Choi. “Upeti Guru,” dalam http://homeschoolspirit.blogspot.com/2007/04/upetiguru.html., 9 April, 2007. Derianto. “Nyontek? Masih Level?” dalam http://www.forumpendidikan.com/ viewtopic. php?start=0&t=15. 1 Desember, 2007. ”Guru Terfavorit Tingkat SMP dan SMA,” dalam http://www.readybb.com/ boyzforum/ viewtopic.php?t=30153.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
128
http://beritaheboh.wordpress.com/2007/10/03/polisi-razia-ponsel-pelajar-duadiketahui-terdapat-file-dan-video-porno/#more-262, 21 September, 2007. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071031222501AAy843q, 7 Agustus, 2007. http://id.wikipedia.org/wiki/T.B._Simatupang, 1 Desember, 2007. “Ilmu Hitam: Imajinasi atau Energi?” dalam http://misteri4.tripod.com/ILMU_ HITAM.HTML. Lyntrias. “Pengalaman Pertama Mengajar,” dalam http://lyntrias.wordpress.com/ 2006/08/15/pengalaman-pertama-mengajar/., 15 Agustus, 2006. “Seragam Dinas, Guru SD dan SLTP Resah,” dalam http://www.pontianakpost.com/ berita/index.asp?Berita=Singkawang&id=22640, 10 Maret, 2003. “Sihir,” dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Sihir, 1 Desember, 2007. “Tidak Naik Kelas, Wali Murid Genjoti Guru Kelas,” dalam http://meteorkendal. wordpress.com/2007/07/07/tidak-naik-kelas-wali-murid-genjoti-guru-kelas/, 7 Juli, 2007.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
129
LAMPIRAN
Lampiran 1: Berikut ini adalah daftar karya-karya SN Ratmana yang pernah dimuat di berbagai media cetak. Selain itu, dicantumkan juga judul artikel-artikel para pengamat yang membicarakan Ratmana. Esai-esai SN Ratmana: 1. “Sisi Manis Profesi Guru,” dalam Kompas, 14 Agustus, 1996, hlm. 4. 2. “Bagaimana Guru SMA Berbahasa Indonesia,” dalam Kompas, 3 September, 1985, hlm. 4—5. 3. “Beban Moril Para Pengajar Bidang Studi ‘Penting’,” dalam Kompas, 26 Januari, 1981, hlm. 4. 4. “Guru dan Teater,” dalam Kompas, 3 Desember, 1984, hlm. 5. 5. “Mari Mencintai Manusia,” dalam Kompas, 15 Mei, 1983. 6. “Nasib Malang Menimpa Novel-novel Kita,” dalam Kompas, 20 Maret, 1970, hlm. vii. 7. “Catatan Atas Dua Kali Sayembara Naskah Drama Televisi,” dalam Kompas, 27 Agustus, 1974. 8. “Majalah Kisah: Sekilas dalam Kenangan dan Perbandingan,” dalam Kompas, 23 Desember, 1974. 9. “Sandiwara Radio Bahasa Daerah RRI Yogyakarta Kegiatan Budaya yang Perlu Digalakkan,” dalam Kompas, 25 Februari 1975, hlm. v. 10. “Kesan Sesudah Nonton Wayang Orang Sri Wedari: Wayang Orang Hanya Laku bagi Para Turis?” dalam Kompas, 14 Januari, 1976, hlm. viii. 11. “Pendidikan Kesenian di SMA, Siapa Pengajarnya? Honorarium Guru Tidak Tetap Tiap Jam Pelajaran Rp70,-” dalam Kompas, 6 April, 1976, hlm. iv. 12. “Ditemukan Lagu Jenis Baru: Pop Kanak-kanak,” dalam Kompas, 1 Maret, 1977, hlm. v.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
130
13. “Simbolisme Dibalik Lagu-lagu Ciptaan Arimah?” dalam Kompas, 12 Desember, 1978, hlm. v. 14. “Jaman Keemasan Lagu Siriosa Sudah Berlalu,” dalam Kompas, 17 September, 1979, hlm. iv. 15. “Tembok-tembok yang Membatasi Cerita Filem Kita,” dalam Kompas, 18 Oktober, 1977, hlm. v. 16. “Lagu-lagu Pop Sebagai Saluran untuk Melihat Aspirasi Masyarakat: Perlu Penyaringan Tapi Juga Pendekatan yang Lapang Dada,” dalam Kompas, 12 Oktober, 1976, hlm. v. 17. “Lirik Lagu-lagu Jenaka Tahun 50-an,” dalam Kompas, 27 Mei, 1978, hlm. vi. 18. “Jassin, Sekarang Sudah Tahun’80-an Lho!” dalam Kompas, 26 Mei, 1980, hlm. iv. 19. “Sastra dan Televisi,” dalam Kompas, 16 Maret, 1986, hlm. viii.
Judul artikel-artikel yang menulis tentang SN Ratmana dan karya-karyanya: 1. Sujiwo Tejo. “Sastra Tegal Tanpa Biografi,” dalam Kompas, 8 November, 1993, hlm. 16. 2. Dudy Hidayat. “Pentingnya Tradisi ‘Kemerdekaan Berpikir’ dalam Pendidikan Kita,” dalam Kompas, 15 Oktober, 1996, hlm. 4. 3. Muhammad Sulaiman. “Masalah Agama dalam Cerpen ‘Kubur’,” dalam Terbit, 12 Juli, 1991, hlm. 9. 4. Siwi Nurbiajanti. “SN Ratmana, Empati dan Ketulusan Guru dalam Berkarya” dalam Kompas, 9 Maret, 2005, hlm. 8. 5. Hend. “Kuburnya Ratmana Pernah Menghebohkan Sanak Familinya,” dalam Berita Buana, 19 Maret, 1976, hlm. 3. 6. Zainal Abidin MK. “Wawancara dengan Ratmana,” dalam Kompas, 19 Desember, 1982, hlm. viii. 7. Korrie Layun Rampan. “‘Mendiang’: SN Ratmana,” dalam Pelita, 26 Januari, 1982, hlm. v. 8. Goenawan Mohamad. “Sorotan: ‘Kubur’,” dalam Sastra, 10 November 1962.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
131
Lampiran 2: Wawancara dengan narasumber, yaitu SN Ratmana dilakukan pada tanggal 6—8 November 2007 di Jalan Rajawali I No.13, Kel. Randugunting, Tegal. Lokasi tersebut merupakan kediaman dari Bapak Ratmana sendiri. Di sana, ia tinggal bersama putri pertamanya, Iftitah. Iftitah telah bersuami dan memiliki dua orang anak. Dalam melakukan wawancara ini, penulis ditemani oleh Lisa dan Lis. Wawancara ini tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Oleh karena itu, ada beberapa pembicaraan yang terpotong. Hasil wawancara ini penulis sunting tanpa mengurangi keutuhan hasil wawancara.
Nama narasumber
: Bapak SN Ratmana
Usia
: 73 tahun
Firly (F): Assalamualaikum Bapak. Ratmana (R): Waalaikum salam. Tunggu, tunggu. Dari tiga orang ini, yang mana yang namanya Firly? F: Hehehe, saya Bapak. R: Oh, ya ya ya. Mari semuanya, silakan duduk. Silakan dinikmati tehnya. F, Lisa (La), dan Lis (Li): Terima kasih Bapak… (ketika kami sedang menikmati kudapan, Ratmana mulai mengambil satu album foto di depannya.) R: Ini foto M. Sulaiman. F: Oh begitu. Foto ini diambil ketika dia sudah lulus, Pak? R: Ini dia sudah jadi dosen di Pancasakti. F: Oh, jadi ketika dia menganalisis cerpen “Kubur”, buku ini belum terbit ya, Pak? R: Belum. Waktu itu saya juga menanyakan Sulaiman, “Kenapa ketika Anda menganalisis cerpen saya, Anda tidak menghubungi saya?” Dia bilang, “Supaya lebih objektif, Pak.”
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
132
F: Hehehe, mungkin karena penelitiannya menggunakan pendekatan struktural Pak. Kalau saya, kebetulan pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan sosiologi sastra, Pak. Jadi, informasi dari pengarang termasuk penting. Memang itu hanya sebagai sumber tambahan saja, yang lebih kuatnya itu sumber-sumber yang ada di artikel, dan bahan tertulis lainnya. Begitu, Pak. R: Oh ya. Nah, ini lagi (kembali Ratmana menunjukkan sebuah foto). Acara ini diprakarsai oleh orang yang juga tamatan Fakultas Sastra, namanya Halisanghats*. Katanya seangkatan Maman juga. Nah, dia menyebut pertemuan itu bukan peluncuran buku tetapi Pengadilan Sastra, sampai polisi tuh bertanya, “Kok ada pengadilan dilakukan tidak di pengadilan negeri itu sebabnya apa?”. (Saya tersenyum dan tertawa kecil mendengar informasi ini). F: Pengadilan itu mengenai cerpen “Kubur”, Pak? R: Bukan, ini Asap Itu Masih Mengepul. F: Oh, soalnya saya teringat yang dikatakan Sulaiman dalam skripsinya bahwa cerpen tersebut pernah dicekal dan sebagainya. Itu bagaimana ceritanya ya, Pak? R: Oh, jadi, cerpen “Kubur” itu fakta yang saya pindahkan jadi cerita pendek. Sedikit saya dramatisir gitu lho. Sampai nama tempat dan nama orangnya pun sama. Nah itulah, ketika menulis, saya sadar bahwa ini kenyataan. Tapi, dalam hemat saya, saudara sepupu saya yang saya sebut-sebut itu bukan orang sastra. Jadi tidak akan mungkin baca, bayangan saya begitu. (Tiba-tiba pembicaraan terhenti karena saya ditelepon). R: Jadi, kuburan itu ada di Pekalongan, di kompleks pemakaman keluarga. Semua keluarga kami itu biasanya kuburannya pake nisan. Tahu-tahu, saudara sepupu saya, yaitu putranya almarhumah, ….* Suami almarhumah dan adik-adiknya tidak setuju karena alasan agama. Lalu, salah seorang adiknya marah betul. Masing-masing punya argumen berbeda. Nah, suatu saat saya datang ke situ bersama salah seorang adik yang termasuk tidak setuju itu untuk menceritakan bahwa argumen itu tidak benar. Dan untuk mendramatisir, saudara saya yang tinggal di Blitar itu membuka buku dan memperlihatkan sikap sombong. Nah, semua itu saya tuangkan di dalam cerpen “Kubur”.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
133
F: Saat itu usia bapak berapa? R: 26 tahun Saya masih bujang, masih guru baru. Saya masih ingat betul saya kirim …*. Pada suatu saat, saya dengan ibu segala sempat singgah di hotel Roman*. Saya membayangkan kalau dia mengetahui cerita ini pasti marah karena dia bukan sastrawan. Kalau sastrawan pastikan melihat karya dari sudut pandang sastra. Bulan November dia datang ke pondokan saya, dan marah-marah. F: Seperti yang di dalam dialog “Errata” ya Pak? R: Iya… hahaha… Saya bilang itu kan karya sastra. Anda harus melihat dari segi sastra. Sastrawan seperti Gonawan Mohamad itu juga melihatnya dari segi sastra. Tetapi, hal itu tidak membuat pria tadi redam. Nah, kebetulan, nama resmi saudara saya itu Hari Muryono, tapi tidak ada yang mengenal dia dengan nama itu. Orang umumnya memanggilnya Mas Yon, sedangkan kami sekeluarga biasa memanggilnya Mas Wiwi. Jadi, sesungguhnya nama Hari di cerpen itu bukan nama asli. Nama asli Harjo itu Murdiharjo, tetapi dalam keseharian Prayit, dari Prayitno. Anda tahu tokoh partai Hartono Marjono, wakil anggota DPA? Dia adalah teman saya waktu SD. Saya pikir, saya sudah siap jika memang harus masuk penjara. Tahu-tahu saudara sepupu saya ini tulis surat. Lalu sesudah dinasehati ayahnya, bahwa pertama, itu saudara sendiri, kedua, orang yg tersebutnya tidak tahu jadi tahu, makanya damai saja. Akhirnya istrinya minta saya untuk datang dan permintaan terakhirnya adalah buatlah tulisan yang merehabitir cerpen itu. Lah, saya bingung, mengingat ini bukan artikel. (Pembicaraan terhenti karena ada tamu). R: Mana ada cerita yang mencabut cerita lagi. Saya pikir, harus ngomong apa ini. Jadi, semua yang saya alami itu saya ceritakan saja kembali. Tapi, saya jadi menyesal membuat cerpen itu karena Mas Hari itu menduga saya dibantu oleh Mas Harjo. Padahal itu sama sekali tidak benar. Kini Mas Hari sudah menjadi warga negara Australia. F: Jadi, akhirnya tidak masuk pengadilan ya Pak? R: Tidak. Suatu hari ada pembicaraan sastra. Di situ ada Gus Dur, Jassin, dsb. Ketika saya menyapa Pak Jassin, heboh sekali dia. Dia bilang, “Kamu itu Ratmana! Cerpen
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
134
‘Kubur’-mu itu sudah merepotkan saya. Biar saya tarik kamu ke pengadilan.” dengan nada tertawa. (Pembicaraan terhenti lagi, semua menikmati kudapan dan teh yang disajikan Ibu Iftitah. Lalu, tiba-tiba Ratmana berbicara pada tamu yang datang tersebut. Tamu tersebut adalah sepupu saya.) R: Jadi, ini mahasiswa Fakultas Sastra, dan saya juga penulis sastra. Dia ini mau menulis skripsi tentang saya. Saya pikir, kok ada orang Jakarta yang mau datang, putri-putri lagi, mau menulis tentang saya. (Pembicaraan terhenti lagi) R: Novel Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Berbicara ini pernah dimuat secara bersambung di dalam sebuah harian. F: Oh, jadi ini novel yang dimaksud itu. Saya pikir Sedimen Senja Pak. R: Bukan. Ini novelnya. (Pembicaraan kembali terhenti) F: Bisa cerita sedikit tentang kumpulan cerpen Soetji Menulis di Balik Papan Tulis? R: Ada sebuah lembaga yang mau menerbitkan. Dari pada mencari lagi, kan di Tegal ini ada guru yang juga menulis sastra. Jadi, saya dijadikan prototype. Hal ini disodorkan ke walikota dan DPR, tapi mereka menolak. Tidak ada pemkot menerbitkan cerita pendek, bantah mereka. Mereka pikir, membuat cerpen itu seperti main-main, buang-buang uang. Alhasil, walikota* yang dulunya merupakan murid saya itu datang dan minta maaf serta memberitahukan batalnya pembuatan buku itu karena tidak ada pemkot yang berbuat demikian. Saya juga tidak mau memaksakan karena kesannya jadi bagaimana begitu. Lalu, dikatakannya lagi bahwa dia tidak mempermasalahkan siapa pun penerbitnya. Soal biaya peluncuran nanti jadi tanggung jawabnya. Ternyata memang benar. Peluncuran buku ini bertepatan dengan ulang tahun saya. Namun, saat itu buku ini tidak habis dibeli oleh Pemkot. Lalu, akhirnya buku ini disodorkan ke UPS. Mereka borong beberapa ratus. Setelah itu buku ini dibagikan secara cuma-cuma ke guru-guru.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
135
(Pembicaraan terhenti karena sudah magrib dan saya harus kembali ke hotel untuk istirahat. Setelah sholat Isya dan makan malam, saya kembali ke rumah Ratmana untuk melanjutan wawancara tersebut). F: Apa yang ingin Bapak sorot dari karya Bapak yang tentang guru itu? R: secara umum, saya membuat cerpen berdasarkan pengalaman. Karena kondisi saya guru, maka saya banyak mendapatkan pengalaman itu dari profesi saya. Seperti pada cerpen yang berjudul “Guru”. Saya prihatin. “Tamu” juga. Kok ada murid yang begiu nakal. Lalu “Upeti”, disitu menunjukkan bahwa guru diperas. Mereka dimintai iuran. Mereka diminta beli seragam oleh KORPRI. “Asap” itu sebenarnya oleh Umam mau difilmkan karma menyangkut HAM. Suadah pernah menonton sinetron saya yang di fimkan? F: Hah? Film apa Pak? R: Nah, tidak tahu ya? “Magrib Menggelap” pernah menjadi sinetron di Lativi. Tidak hanya itu, “Errata” juga pernah. Semua ini ditampilkan di Cermin (Cerita Mini) pada saat bulan Ramadhan. … F: Cerpen Bapak yang tentang guru dalam Soetji Menulis di Balik Papan Tulis itu sebagian besar kisahnya dari penglaman pribadi Bapak ya, Pak? R: Ya, tidak hanya pengalaman pribadi, tetapi juga pengalaman teman. Misalnya, “Langkah Pertama”. Tokoh Nyoto di situ adalah teman saya. Ada juga “Di Pojok Kota Semarang”, itu juga dari pengalaman teman saya. Suatu saat di ruang tunggu itu pada jam istirahat teman-teman tergelak-gelak melihat dua teman saya. Ternyata sore hari sebelumnya dua teman saya itu mengantar seorang siswi yang jatuh pingsan. Mereka sampai mendorong sepeda segala. Sampai di rumah murid itu, orang tua murid malah marah-marah, baik pada murid maupun pada kedua guru itu. Setelah pulang, mereka pun saling meledek bahwa mereka memang tidak ada tampang baikbaik. Demikian pula dengan “Karena Siang Terlalu Panas”. Itu pengalaman teman saya. Dia menolong sorang wanita yang kelihatannya kerepotan karena ada barang yang ketinggalan. Sampai di rumah wanita itu dia malah dimarahi. Ternyata wanita itu baru diusir suaminya. Ini menggambarkan bahwa kadang-kadang guru itu punya
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
136
posisi yang unik. Mereka sering dianggap harus punya sikap yang ideal padahal tidak semua begitu. F: Lalu dalam “Mendiang” menggambarkan dua tokoh guru? R: Kalo itu pengalaman pribadi. Sampai-sampai nama saya sendiri yang saya gunakan di situ. (Ratmana tersenyum malu). Suatu hari saya sedang di rumah sakit dan bertemu dengan mantan murid saya itu. Tiba-tiba saya ingat dengan tingkah laku murid itu yang menyukai teman saya, seorang guru olahraga di sekolah. Lalu, saya dengar kabar bahwa murid ini menjadi pelacur dan tidak lama kemudian meninggal. Usianya masih dini. Saya jadi berpikir bagaimana usia masih begitu muda, tetapi ternyata sudah ‘dipanggil’ duluan. Menurut saya, kalau dari segi seks, gairah seksnya itu besar sakali karena meskipun tidak mendapatkan guru ganteng, guru jelek pun diambilnya. Hahaha. Banyak yang bilang kalau cerpen itu bagus. Korrie Layun Rampan juga bilang demikian. Ternyata, tidak hanya Korrie yang berpendapat demikian, Satyagraha Hoerip bahkan sampai dua kali memasukkan cerpen itu dalam antologi cerpennya. Di Malaysia, cerpen ini juga dimasukkan dalam antologi cerpen. Cerpen itu diilhami oleh kalimat yang ditulis oleh Taufik Ismail, yaitu alangkah singkatnya hidup ini. Muhammad Sulaiman mengkritik bahwa saya terlalu terangterangan mencantumkan kalimat itu. Baginya, seharusnya kalimat tersebut disimpulkan sendiri oleh pembaca. F: Bagaimana dengan “Kerisik Daun-daun Pohon Mangga”, Pak? R: Oh iya, itu, kalau boleh disebutkan, cerpen itu adalah pemenang keempat sayembara Kincir Emas. Jadi nomor satunya “Jodoh” karya A.A. Navis. Cerpen ini pun merupakan pengalaman teman saya. F: Sebuah koran Kompas menyebutkan Bapak tidak suka keluyuran, tetapi di cerpen banyak disebutkan nama-nama
kota di sekitar Tegal. Bagaimana bapak
menjelaskannya? R: Yaa, definisi keluyuran apa dulu nih? Saya kan dulu sempat menjadi kepala sekolah. Dulu, peraturan yang berlaku adalah bahwa kepala sekolah itu harus di tempatkan di tempat lain. Kebalikan dengan sekarang. Semua itu saya tempuh dengan menggunakan bus. Bayangkan, 95 KM lho!
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
137
F: Berapa lama Bapak menjadi kepala sekolah? R: Ehm, barangkali satu tahun ya. Saat itu saya merangkap menjadi penjaga sekolah. Saya tidur di sekolah. F: Lalu, benar ya bahwa Bapak pernah mau menjadi perdana menteri? R: Hahaha. Itu mah dunia fantasi saya saja. F: Menurut saya, cerpen itu menunjukkan bahwa adanya misi seorang guru yang ingin menjadi pemimpin bangsa. Mungkin dengan harapan bahwa jika guru tersebut terpilih, maka ia dapat memberikan perubahan dalam kehidupan para guru. (Setelah itu Ratmana bercerita tentang partai Golkar, PPP, dsb.) F: Bagaimana dengan “Pak Sapran”? Saya lihat guru menggunakan magic. Di situ saya lihat bahwa seorang guru bisa berbuat kejahatan karena faktor ekonomi. R: Kebetulan kakak saya menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Dia cerita bahwa temannya itu mencuri sepeda. Dan yang mengetahui hal ini adalah penjaga sekolah. F: Kalau “Aib” Pak? R: Jadi dulu itu ada guru di SMA berpacaran. Kebetulan ada hansip yang sedang patroli. Lalu, teman2 yang lain minta supaya guru tersebut dimutasi. F: Jadi, sebenarnya karya bapak itu sudah banyak sekali ya pak. Sampai tahun 1990 karya bapak berjumlah sekitar 75 buah, tetapi setelah saya hitung sepertinya tidak demikian. R: Begini, awal-awal saya menulis itu masih rendah mutunya. Makanya tidak semua saya masukkan, misalnya “Bedjo” di Suara Merdeka. Ada teman saya yang mengatakan bahwa cerpen ini sangat lucu. F: Berarti cerpen Bapak banyak beredar di Jawa Tengah ya Pak. R: Iya. Terakhir yang dimuat di Suara Merdeka adalah cerpen “Wali”. F: Lalu, sudah berapa lama Bapak menjadi guru? R: Begini, saya menjadi guru negeri tahun 1960. Saya pernah menjadi guru swasta pada tahun 1958. Tahun 50-an itu guru masih sangat langka, apalagi guru SMP dan SMA sehingga ada pendidikan PGSLP. Cerpen “Langkah Pertama” itu menunjukkan bagaimana proses menjadi guru pada masa itu, di mana ada ujian prakteknya. F: Bicara soal PGSLP, saya jadi teringat dengan cerpen “Si Pembual”.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
138
R: Hahaha… F: Iya Pak. Saya pikir, kok ada guru yang seperti ini. R: Orang sering meremehkan guru. Guru sering dilecehkan, bahkan sesama guru. Tapi, banyak dari cerpen itu yang merupakan fantasi saya. F: Oh begitu. Saya sempat mengira itu cerita pribadi karena sampai kurun waktunya pun detil. R: Gonawan Muhamad juga menganggapnya realis. Jadi, Dua Wajah dan Sebuah Sisipan itu sebelumnya berjudul Dua Wajah saja. Ada 14 cerpen yang saya ajukan ke Pernas. Dari situ diajukan ke tingkat nasional untuk diterbitkan dan semua ini dibantu juga oleh Ford Foundation. Karena dinilai masih terlalu tipis, makanya ditambahkan sisipan. Nah, di sinilah cerpen “Dua Lelaki” dan “Si Pembual” dimasukkan. F: Bapak pensiun tahun berapa? R: 1996. Kan guru pensiun di usia 60 tahun. F: Kalau nama SN Ratmana itu pertama kali digunakan di cerpen apa Pak? R: “Permata” tahun 1956. F: Kalau Soetjiningrat? R: Itu di syair “Tjerita Kamar” tanggal 21 Juli 1955. F: Bagaimana dengan cerpen yang pertama kali Bapak tulis? R: Oh, ada beberapa. Tetapi ya istilahnya tidak layak untuk dimuat. Satu di antaranya ada yang berjudul “Di Muka Tungku”. Saya terkesan oleh peristiwa zaman Agresi Militer Belanda II. Saat itu, kami tinggal di daerah yang serba kekurangan. Udara yang dingin saat itu membuat kami sering berkumpul di muka tungku. Lalu, ada tokoh terkenal yang bagi saya punya posisi yang bertolak belakang. Dia adalah Pramoedya Ananta Toer. Yang menyebabkan saya jatuh cinta pada sastra itu Pramoedya, tapi yang membuat saya benci sedemikian rupa sehingga saya bersumpah tidak mau membaca karyanya lagi itu juga Pramoedya. Jadi, saya tidak pernah lagi itu baca karya-karyanya yang terakhir. Dulu saya menemukan sebuah buku kecil yang begitu saya baca, saya terheran-heran. Sampai-sampai saya banting beberapa kali. Dalam image saya, yang namanya buku itu adalah ilmu, memberi informasi. Pengarangnya itu harus lebih pintar dari pembaca. Buku yang baik adalah buku yang
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
139
memberikan petuah-petuah, sedangkan buku ini tidak. Kalimat pertamanya saja sudah berbunyi ‘Saudara, kamu musti tahu apa yang diharapkan oleh semua tokoh. Bebas, bebas, itu lebih merdu dari lagu kebangsaan itu.’ Saya pikir, kok ada penulis yang ber-aku-kamu dengan pembacanya. Kesannya akrab sekali. Buku kecil itu berjudul Subuh. Di dalam buku itu ada tiga buah cerpen, antara lain “Blora”, “Jalan Kurantil 56”, dan “Dendam”. Namun, “Jalan Kurantil 56” dan “Dendam” tidak mencekam seperti “Blora”. Nah, selanjutnya pada bulan Juli sebelumnya sudah terbit sebuah majalah kegemaran anak-anak SMA, yaitu majalah Kisah. Wah, itu dunia saya sekali. Saya, Taufiq Ismail, dan Hadi Utomo merasa cocok sekali dengan majalah itu. (Pembicaraan terhenti karena Ratmana menerima telepon) R: Saya aktif di organisasi Muhammadiyah dan pernah menjadi ketua majelis Dikdasmen yaitu mengurusi pendidikan SR, itu mulai dari sebelum pensiun. Lalu saya pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan selama lima tahun, yakni dari tahun 2002 sampai 2007. Oleh karena itu, saya sempat meluncur ke Kuala Lumpur. Sekarang saya masih menjadi Ketua Yayasan Galang sejak tahun 1994. Yayasan Galang ini yayasan yang memberi beasiswa pada siswa SMA. F: Kalau mengenai karya Pak, dari tahun 2000—2007 kira2 sudah berapa karya yang Bapak hasilkan? R: Tahun 2000 saya mendapat penghargaan dari Mendiknas. Kemudian tahun 2001 terbit kempulan cerpen saya, yaitu Dua Wajah dan Sebuah Sisipan. Tahun 2002, novel saya yang berjudul Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Berbicara terbit cetakan pertamanya. Cetakan kedua terbit pada tahun 2005. Tahun 2003, saya termasuk orang yang diundang dalam Mastera, yakni Masyarakat Sastra dari Empat Negara, antara lain Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Siangapura. Dari empat Negara itu yang diutus ada 10 orang. Lalu, tahun 2002 juga cerpen saya diangkat menjadi sinetron di Lativi. Tahun 2006, ada Sedimen Senja. Oh iya, tahun 2005 saya mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian sebagai Anugerah Pakerti Seni. Nama saya ditulis: S.N. Retmana. Jadi, dulu itu ada pakar pendidik bernama Prof. Retmono. Nah, saya dikira meniru-
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
140
niru namanya, padahal saya lebih tua dari dia. Dan nama saya itu bukan Retmana, tetapi S.N. Ratmana! F: Kalau dari tahun 2000—2007 Bapak masih menulis cerpen? R: Masih. Yang belakangan ini saya salurkan ke beberapa penerbit. Saya bukan dokumentator yang baik, jadi ya begitulah. Namun, kalau dikira-kira jumlahnya itu sekitar 75 buah. F: Kalau sajak, Pak? R: Begini, kalau sajak pertama saya ya “Tjerita Kamar”, lalu sajak kedua saya pernah dimuat di Gema Islam, judulnya “Ia Berjalan Sendiri” dan yang namanya puisi itu punya pengucapan yang berbeda, ada suasana batin yang khusus tentang puisi. Jadi menurut saya membuat puisi itu lebih sulit daripada cerpen. Ketika saya menanyakan pendapat Taufiq Ismail tentang puisi saya yang di Gema Islam itu, ia berkomentar bahwa puisi saya tidak bagus. Saya bilang, jelas saja karena saya bukan penulis puisi. (Pembicaraan terhenti karena Pak Ratmana masuk ke kamar untuk mengambil sebuah buku.) R: Kita harus bersyukur karena sekarang pendidikan itu sudah mudah. Bapak saya itu pernah menjadi Kepala Djawatan Penerangan di Kota Pekalongan, padahal dulu dia SD saja tidak tamat. Namun, meski demikian, ketika diminta berpidato, ia tidak kalah dengan orang-orang hebat sekarang. F: Nama beliau siapa pak? R: Muhammad Thajub. F: Kalau Ibu? R: Suprapti. Di dalam novel Lolong saya cantumkan nama tersebut. Ibu saya itu senang sekali menyanyi. Mungkin Anda tidak tahu. Saya itu sangat-sangat terkesan dengan pelajaran menyanyi ketika sekolah dulu, terutama lagu Jepang. Makanya dalam beberapa cerpen saya, ada yang saya cantumkan beberapa potongan lagu Jepang. F: Oh, iya pak, seperti di dalam cerpen “Gila” dan “Tojo”. R: Ya betul. Ada juga di cerpen “Sunat”. F: Bapak berapa bersaudara?
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
141
R: Tiga. Saya anak terakhir. Kakak pertama saya bernama Suciati. Dia lahir tanggal 21 April 1929 di Kendal. Yang kedua, Sucimardiko. Mardiko itu artinya merdeka. Dia lahir tanggal 16 Desember 1930 di Andomai, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. F: Apa bapak tau peneliti-peneliti karya bapak? R: Oh, ya saya kurang tahu. Dulu ketika Taufiq Ismail menerima sebuah penghargaan, saya turut diundang. Saya pikir kehadiran saya di situ sebagai tamu. Namun, ternyata banyak dari mereka yang menyapa saya dan mengatakan bahwa banyak karya saya yang telah dibicarakan. Jadi, yang namanya penelitian terhadap sebuah karya tidak harus diketahui oleh pengarangnya. Ada seorang mahasiswi yang pernah menganalisis karya saya. Saya kecewa dengan tulisannya. Menurut saya penelitian itu kacau sekali, baik dari segi bahasa maupun analisisnya. Ketika saya tanyakan pada pembimbingnya, yaitu Muhamad Sulaiman, dikatakannya bahwa persyaratan administrasi mahasiswi tersebut sudah memenuhi syarat. Katanya tidak enak jika harus ditolak dan ditunda-tunda kelulusannya. Saya pikir, justru saya yang malu untuk membubuhkan tanda tangan saya jika saya membaca skripsi seperti itu. Nanti saya tunjukkan. Ada juga yang dari universitas di Cirebon. F: Bagaimana dengan novel Bapak yang berjudul “Slogan”? Sepertinya novel tersebut belum Bapak terbitkan. R: “Slogan”? Yang mana ya? F: Bapak tidak ingat? R: Di mana Anda lihat novel tersebut? F: H.B. Jassin, Pak. Nanti saya fotokopi dan kirim ke Bapak via pos. R: Ya ya. Tolong kirim ke saya. Saya benar-benar tidak ingat. F: Selanjutnya, bagaimana didikan orang tua Bapak? R: Begini, mungkin kepenulisan saya ini merupakan turunan dari ayah saya. Ayah saya itu merupakan seorang penulis fiksi. Sayangnya, saya tidak sempat memiliki warisan buku-bukunya. Saya cuma ingat bapak saya pernah mengarang buku berjudul Kunci Wasiat. Ada juga buku yang pernah saya baca sendiri, ini bukan fiksi. Tentang peristiwa Isra’ mi’raj. Ayah saya memberi judul Orang Hidup Pergi ke Alam Barzah. Nah, jangan terkejut. Ibu saya itu tidak pernah sekolah sama sekali. Zaman dulu itu
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
142
dipertanyakan perempuan yang sekolah. Dia bisa menulis dan membaca karena diajarkan oleh kakaknya yang belajar di sekolah yang cukup tinggi. Sekolah tersebut seperti IPDN. Ibu saya itu senang menyanyi. Nah, mungkin kesenangan saya menyanyi itu merupakan turunan dari ibu. Antara tahun ‘40 sampai ’70 kira-kira Anda tahu saya dapat menghafal berapa lagu? F: Berapa ya pak? Mungkin 100 lagu? R: Empat ratus lagu! Saya pernah menulis semua teks lagu tersebut. Lagu seperti “Bengawan Solo”, “Sumpah Pemuda”, “Sepasang Mata Bola”, “Widuri”, “Kemesraan”, dan sebagainya saya tahu semua. (Ia pun mulai melantunkan beberapa lagu.) F: Saya juga suka lagu-lagu lama Pak. Hehe, mungkin ini pertanyaan terakhir Pak. R: Apa itu? F: Apa manfaat konkret yang Bapak dapatkan dari menulis? R: Oh, banyak sekali. Bayangkan, saya bukan penulis yang produktif, tetapi saya bisa mendapatkan dari penerbit Kompas kiriman uang royalti. Jadi, selagi buku saya masih laku, saya dikirimkan uang royalti. Rumah ini bukan karena saya punya uang, tetapi bantuan dari bekas murid saya yang punya toko alat-alat bangunan. Saya sangat bersyukur. Tahun 1981 ketika buku Sungai, Suara, dan Luka terbit, saya dapat uang Rp600.000. Saat itu, uang dengan jumlah tersebut sangat besar. Jadi, ada manfaat materi dan imateri. Contoh keuntungan imateri, dulu karya saya dimuat di majalah Tempo. Dulu itu majalah bergengsi. (Pembicaraan kembali terhenti karena makan siang). R: Intinya, saya bersyukur di usia seperti ini saya masih menulis. Ada novelet “Lolong” dan beberapa cerpen lainnya. F: Um, Pak. Saya boleh minta beberapa buku Soetji Menulis di Balik Papan Tulis untuk H.B. Jassin, Pak Sunu Wasono, dan Perpustakaan FIB UI? R: Oh, ya boleh. Kebetulan saya masih ada beberapa eksamplar. F: Baiklah. Terima kasih banyak atas kesempatan dan waktu yang Bapak sediakan. R: Sama-sama. Saya juga berterima kasih sudah dikunjungi jauh-jauh dari Jakarta. Saya doakan semoga skripsi Anda berjalan dengan lancar. Amin.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
143
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Andi mahasiswi
Firliana Program
Widiarli Studi
Arupalaka
Indonesia,
merupakan
Fakultas
Ilmu
Pengatahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. Putri pertama dari Kolonel CHB Amrin Arupalaka dan Andi Nurhasanah ini merupakan gadis berdarah Bugis-Makassar yang dilahirkan di Prabumulih, 23 Juli 1984. Selama menjadi mahasiswi, Firly (demikian sapaan akrabnya) aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan yang diadakan di kampusnya, antara lain Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) 2004, Pemilihan Raya (Pemira) FIB UI 2005, Festival Bulan Bahasa Indonesia (Falasido) 2005, IKSI Pergi ke Sekolah (IPSE), dan Indonesia Tebar Pesona (ITP) 2006. Selain itu, ia juga aktif dalam organisasi kampus, seperti Senat Mahasiswa 2004 dan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) di bidang sekretariat. Saking aktifnya berorganisasi, ia sempat gagal pada satu mata kuliah, yaitu Fonologi, yang berdampak terlambatnya target lulus dari FIBUI (empat tahun). Meskipun demikian, ia tidak putus asa, semua dijalani dengan sebagaimana-mestinya. Belakangan ini, ia menjadi pengajar privat untuk orang Korea dan Jepang di Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) UI. Namun, sebenarnya gadis yang ingin menjadi model iklan ini lebih suka bekerja di dunia perkantoran. Semua ini ingin ia capai sebelum mengakhiri masa lajangnya.
Citra guru..., Andi Firliana Wdiarli Arupalaka, FIB UI, 2008
144