sebuah penelitian kebutuhan psikososial terhadap komunitas-komunitas di 14 kabupaten yang terkena dampak konflik di Aceh
2007
Daftar Isi i Kata Pengantar dari Menteri Kesehatan RI ii Kata Pengantar dari Bank Dunia iii Kata Pengantar dari Harvard Medical School 1 Ucapan Terima Kasih 2 Rangkuman Eksekutif 2 Rancangan Proyek 3 Temuan-temuan Kunci 7 Rekomendasi 5 Pendahuluan 10 Pola dan Metodologi Penelitian 10 Tujuan Penelitian 10 pola Penelitian 10 Struktur Wawancara 12 Fase-fase Kerja Lapangan dan Cakupan Geografis 12 Tim Peneliti dan Lapangan 13 Penelitian Desa - Rancangan dan Implikasi Strategi Sampling PNA 14 Penelitian Responden 14 Mekanisme Wawancara 15 Pemasukan dan Analisa Data 15 Pelaporan Berdasarkan Enam Daerah Geografis 15 Pantai Utara 15 Pesisir Timur 16 Daerah Tinggi Tengah 16 Daerah Tinggi Barat Daya 16 Pantai Barat Daya 17 Aceh Besar 17 Pelaporan Hasil 18 Demografi Sampel: Membandingkan PNA1 dan PNA2 22 Peristiwa Traumatik 22 Peristiwa Traumatik Selama Konflik 22 Variasi pada Peristiwa Traumatik Berdasarkan Daerah 22 Daerah dengan Jumlah Kasus yang Tinggi 22 Titik-titik Panas: Kekhususan Lokal dalam Daerah dan Kabupaten 26 Studi Kasus Titik Panas: Lembah Sungai Kluet 30 Daerah-daerah dengan Jumlah Kejadian yang Rendah 30 Trauma Menurut Gender 30 Kekerasan Seksual 31 Trauma Fisik Kepala 31 Evakuasi Paksa dan Pengalaman Pengungsian Lainnya 36 Stres Pasca-Konflik 39 Desa-desa yang Ditetapkan Sebagai “Berkonflik Tinggi” oleh Program MGKD IOM 39 Peristiwa Traumatik Masa Lalu di Desa-desa MGKD 39 Stres Pasca-Konflik di Desa-desa MGKD 39 Rangkuman: Trauma Konflik dan Ingatan Kolektif di Aceh 46 Sisa-sisa Dampak Psikososial dan Psikologis dari Kekerasan: Depresi, Kecemasan dan Traumatic Stress Disorders 46 Metode 46 Ukuran Tekanan Psikologis dan Gangguan Neuropsikiatri 46 Analisa Gejala-gejala Psikologis dan Diagnosis Psikiatri 48 Temuan-temuan 48 Penilaian Diri Akan Tekanan Emosional 49 Diagnosa Psikologis dan Psikiatri Menggunakan Instrumen-instrumen Formal 54 Pendistribusian Resiko: Pengaruh Pengalaman Traumatik Terhadap Tekanan Psikologis (Psychological Distress) 55 Pendistribusian Resiko: Kelompok yang Beresiko Tinggi 57 Pendistribusian Resiko: Trauma Fisik pada Kepala 58 Pelaksanaan Fungsi Sosial 60 Tingkat Gejala Psikologis yang Menurun: Daya Tahan Penduduk Aceh, Kebutuhan yang Berkelanjutan akan Layanan, dan Pertanyaan Mengenai Penelitian Lebih Lanjut
66 Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat 66 Sumber Daya yang Tersedia di Masyarakat 67 Persepsi Cacat Mental yang Berkaitan dengan Konflik di Komunitas 72 Persepsi LSM dan Layanan Kesehatan Publik 73 Penyakit Klinis yang Berkaitan dengan Konflik di Komunitas-komunitas ini: Temuan-temuan dari Proyek Outreach Kesehatan Mental 74 Rekomendasi
Daftar Tabel 13 18 19 20 21 21 24 27 32 34 36 36 38 38 40 42 44 49 50 50 52 52 54 56 57 58 59 59 61 61 62 66 68 68 70 70
Bagan 1 Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 1.4 Tabel 1.5 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 2.10 Tabel 2.11 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10A Tabel 3.10B Tabel 3.11 Tabel 3.12 Tabel 3.13 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5
Implementasi PNA1 dan PNA2 Lokasi Daerah dan Ukuran Sampel dari Responden PNA1 dan PNA2 Karakteristik Sampel: Gender, Usia dan Etnis berdasarkan Lokasi Karakteristik Responden PNA1 and PNA2 Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Status Perkawinan, Pendidikan dan Tempat Tinggal Responden Berdasarkan Kehadiran dari Program Komunitas Reintegrasi Pasca-Konflik (MGKD) Berdasarkan PNA and PNA2 Responden Berdasarkan Ada atau Tidaknya Program MGKD Berdasarkan Daerah dan Kabupaten Peristiwa Trauma di Masa Lalu Berdasarkan Penelitian PNA dan Daerah Peristiwa Trauma di Masa Lalu di lembah Sungai Kluet Peristiwa Trauma di Masa Lalu yang Dialami oleh Pria, Berdasarkan Daerah Peristiwa Trauma di Masa Lalu yang Dialami oleh Wanita, Berdasarkan Daerah Trauma di Kepala/ Cidera Otak Potensial: Pria Trauma di Kepala/ Cidera Otak Potensial: Wanita Evakuasi Paksa dan Pengalaman Pengungsian Lainnya Konflik Tujuan IDP, Berdasarkan Daerah (Data PNA2 Saja) Peristiwa Menegangkan yang Dialami oleh Responden Baru-baru Ini Peristiwa Trauma di Masa Lalu Berdasarkan Variabel PNA dan MGKD Peristiwa Menegangkan yang Dialami oleh Responden Baru-baru Ini, Berdasarkan Penunjukkan PNA dan MGKD HSCL Diagnosa Gejala Depresi yang Akut Kumpulan Pertanyaan Trauma Harvard (Harvard Trauma Questionaire (HTQ)) Diagnosa Gejala Akut Psikologikal Distress Secara Umum Berdasarkan Daerah Depresi, PTSD, dan Gejala Anxiety dan Didiagnosa Berdasarkan Daerah Depresi, PTSD, dan Gejala Anxiety dan Didiagnosa Berdasarkan Gender Depresi, PTSD, dan Gejala Anxiety dan Didiagnosa Berdasarkan Penunjukkan MGKD Adjusted Odds Rations*: Problem Kesehatan Mental Berdasarkan Peristiwa Traumatik di Masa Lalu Bagi Responden PNA2 Adjusted Odds Rations*: Problem Kesehatan Mental Berdasarkan Angka dari Peristiwa Menegangkan Baru-baru Ini, Bagi Responden PNA2 Adjusted Odds Ratios: Problem Kesehatan Mental Berdasarkan Penelitian dan Gender Adjusted Odds Ratios: Problem Kesehatan Mental Berdasarkan Usia (PNA1) Adjusted Odds Ratios: Problem Kesehatan Mental Berdasarkan Usia (PNA2) Trauma di Kepala Berdasarkan Gender dan Usia Bagi Aceh Timur Trauma di Kepala Berdasarkan Gender dan Usia Bagi Aceh Selatan Fungsi Sosial Berdasarkan Depresi Perilaku Mencari Bantuan Selama Enam Bulan Terakhir Persepsi Responden Akan Penyakit Mental di Dalam Komunitas dan di Rumah Seleksi Kelompok Responden pada Komunitas yang Paling Menderita dari Stres Karena Konflik atau Trauma Pandangan Terhadap Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra Pandangan Terhadap Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra, Berdasarkan Gender
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
kata pengantar dari departemen kesehatan republik indonesia
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan daerah yang tengah menghadapi serangkaian masalah yang unik, termasuk konflik yang baru saja berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian pada tahun 2005, serta tsunami yang terjadi di tahun 2004. Peristiwa-peristiwa tersebut telah membawa dampak yang luas terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu permasalahan yang paling penting untuk ditangani, selain dari masalah hukum, keamanan, sosial dan ekonomi, adalah masalah kesehatan, termasuk kesehatan mental. Kami bahagia telah meninggalkan masa-masa sulit tersebut, dan saat ini merupakan kewajiban kami untuk memulihkan aspek kehidupan yang jika tidak ditangani akan membawa pengaruh merugikan bagi rakyat, termasuk sisa-sisa dari peristiwa-peristiwa tersebut. Menyangkut masalah kesehatan, langkah-langkah komprehensif telah dirumuskan ke dalam berbagai program jangka pendek, menengah, dan panjang. Mengenai masalah kesehatan mental secara khusus, yang dampaknya cukup signifikan, Departemen Kesehatan RI telah menjalin kerjasama dengan pemerintah NAD serta LSM nasional maupun internasional. Untuk tujuan tersebut, sebuah model pelayanan kesehatan mental yang komprehensif telah dirancang dan dimulai, yang menargetkan tidak hanya daerah-daerah yang terkena tsunami, akan tetapi juga propinsi-propinsi lain dimana model ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mengembangkan kesehatan mental.
Kata Pengantar
Oleh karena itu kami sangat berbahagia melihat pelaksanaan penelitian kebutuhan psikososial ini di 14 kabupaten berkonflik tinggi, dibawa kerjasama antara International Organization for Migration (IOM), Department of Social Medicine dari Harvard Medical School serta Universitas Syiah Kuala. Saya merasa yakin bahwa hasil dari penelitian ini adalah sejalan dengan dan memberi kontribusi yang signifikan terhadap programprogram yang kami saat ini kembangkan, seperti proyek pembangunan kapasitas dalam bentuk pelatihan bagi dokter puskesmas dan rumah sakit di tingkat kabupaten, disamping pengembangan konsep Community Mental Health Nursing (CMHN), atau Perawatan Kesehatan Mental Masyarakat. Diharapkan kemitraan ini akan diikuti oleh program-program lainnya. Kepada semua pihak yang telah membuat kegiatan ini menjadi sebuah kenyataan, kami menyampaikan penghargaan kami yang setinggi-tingginya. Mari kita berharap bahwa kegiatan ini akan membawa manfaat besar bagi rakyat Aceh secara khusus, dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.
DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) Menteri Kesehatan Republik Indonesia
ii
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
iii
KATA PENGANTAR DARI DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY DAN bANK DUNIA
kata pengantar dari Department of Social Medicine, Harvard Medical School
Decentralization Support Facility (DSF), atau Fasilitas Pendukung Desentralisasi, serta World Bank, atau Bank Dunia, merasa bangga telah mendukung kegiatan penting berupa fase kedua dari Penelitian Kebutuhan Psikososial, yang dilaksanakan oleh IOM, Department of Social Medicine dari Harvard Medical School, dan para peneliti dari Universitas Syiah Kuala. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pengembangan kesehatan mental dan layanan psikososial guna mendukung upaya berbagai komunitas untuk pulih kembali secara penuh dari situasi konflik. Penelitian ini mengedepankan pentingnya memahami dan menjawab masalah-masalah psikologis dan kesehatan mental yang akut yang timbul dari konflik selama bertahun-tahun dan memberikan pelajaran penting bagi penyusunan program kesehatan mental, bukan hanya untuk propinsi Aceh namun juga di situasi pasca-konflik lainnya.
Proyek ini, berjudul PNA2, merupakan sebuah kerjasama antara IOM dan para anggota Department of Social Medicine, Harvard Medical School. Proyek tersebut dilandasi sebuah perjanjian dari IOM kepada Department of Social Medicine, yang memungkinkan para dosen dan staf departemen tersebut untuk memberikan bantuan teknis kepada proyek-proyek IOM dan untuk bekerjasama dalam pengembangan proyek-proyek kesehatan masyarakat dan mental untuk pasca-tsunami dan pasca-konflik di Aceh. Kegiatan ini juga mencerminkan sebuah komitmen yang lebih besar dari Department of Social Medicine terhadap program-program kesehatan global dan kesehatan dan HAM, dan secara lebih khusus sebuah komitmen untuk menjawab masalah kesehatan dan kesehatan mental melalui ilmu pengetahuan dan pengembangan intervensi klinis dan kesehatan publik. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami telah berkolaborasi dengan IOM dalam misi bersama ini.
Didasarkan pada temuan-temuan dari penelitian tersebut, DSF dan Bank Dunia telah mendukung program percontohan kesehatan mental IOM di tahun 2006-2007 guna menggapai penduduk sipil di desa-desa konflik tinggi di Aceh dan merespons terhadap kebutuhan kesehatan mental yang akut. Bantuan tersebut merupakan bagian dari dukungan lembaga kami yang lebih besar untuk membantu rekonstruksi pasca-konflik dan penciptaan perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
Proyek ini dirancang secara khusus sebagai sebuah “penelitian kebutuhan psikososial.” Walau proyek ini memiliki implikasi HAM yang jelas, fokus dari proyek tersebut adalah pemetaan tingkat kekerasan, pengalaman traumatik, dan gejala psikologis pada komunitas-komunitas pedesaan di Aceh guna mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan kesehatan mental dan layanan psikososial, menentukan prioritas untuk layanan tersebut, dan menyediakan data dasar bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan proyek atau penelitian lebih lanjut. Dilihat secara bersama-sama, PNA1 dan PNA2 merupakan pemetaan yang paling lengkap terhadap pengalaman traumatik di berbagai kabupaten dan kecamatan yang mengalami konflik paling tinggi di ceh. Kami berharap data tersebut akan digunakan oleh pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia, disamping juga oleh komunitas donor, untuk mendukung pengembangan program-program guna menjawab kebutuhan layanan kesehatan mental yang mengikuti kekerasan selama bertahun-tahun terhadap masyarakat pedesaan di Aceh.
Oleh karena itu dengan bahagia kami memberi selamat kepada para mitra-mitra kami atas laporan yang bernilai sangat tinggi ini dan untuk kontribusi mereka dalam rangka memahami secara lebih mendalam masalah-masalah psikososial dan kesehatan mental di Aceh.
Susan Wong Acting Sector Coordinator World Bank Social Development Unit dan atas nama DSF
Penelitian PNA1 maupun PNA2 mendokumentasikan pengalaman konflik di seluruh Aceh, disamping juga tingkat kekerasan sistematik yang tinggi terhadap penduduk sipil di berbagai kabupaten dan kecamatan tertentu. Pengalaman-pengalaman tersebut tidak akan mudah untuk dilupakan, dan masalah kesehatan mental yang tersisa – depresi, PTSD, kecemasan di masyarakat, trauma fisik pada kepala – akan berjangka panjang. Warisan kekerasan tersebut patut mendapatkan perhatian yang serius. Mereka membutuhkan pengembangan layanan kesehatan mental masyarakat untuk semua Aceh. Mereka membutuhkan program-program jelas yang ditujukan untuk memberikan layanan bagi komunitas-komunitas yang terkena dampak paling besar, yang sebagian besar secara relatif terisolir dan tidak memiliki akses terhadap perawatan yang tersedia dewasa ini. Selain itu, ingatan akan kekerasan yang telah terjadi akan membutuhkan sebuah komitmen yang berkelanjutan terhadap program- program rekonsiliasi dan ‘penyembuhan trauma’ di banyak tingkat. Kami sangat bahagia untuk telah dapat bekerja sama dengan IOM dalam mengembangkan layanan kesehatan mental kepada beberapa masyarakat-masyarakat yang terkena dampak paling parah, dan berkolaborasi dengan IOM dan banyak pihak lainnya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap program-program yang lebih luas yang ditujukan untuk menangani sisa-sisa kekerasan. Kami berharap penelitian ini akan mengarahkan perhatian terhadap kebutuhan para warga yang telah menderita kehilangan yang sangat besar dan kekerasan terhadap pribadi selama konflik dan akan memberikan sumbangan terhadap tujuan yang lebih besar, yakni penciptaan perdamaian di Aceh.
Byron J. Good Professor Medical Anthropology Department of Social Medicine Harvard Medical School
Mary-Jo DelVecchio Good Professor of Social Medicine Department of Social Medicine Harvard Medical School
iv
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
1.
Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih terhadap
Saleh Amin telah secara seksama membaca dan memberi kode
rakyat Aceh yang dengan besar hati dan berani telah bersedia
atas beberapa kelompok data kualitatif. Su Lin Lewis memberikan
untuk menjawab kuesioner kami, dan juga para informan kunci
masukan yang penting dan data dasar untuk merancang
yang memberikan data kualitatif tambahan. Puluhan kepala
metodologi sampling.
desa dan tokoh masyarakat lainnya telah menyambut baik para tim peneliti kami dan memfasilitasi proses ini.
Kesehatan
Mental
merupakan
aspek
yang
baru
dalam
penyusunan program pasca-konflik dan kami mengucapkan 2.
Terdapat lima ketua tim dan 30 staf pewawancara yang tersebar
terima kasih kepada Programme Director Mark Knight dan
di seluruh propinsi Aceh selama lebih dari 13 hari kerja
Deputy Programme Director Luc Chounet-Cambas atas kesadaran
lapangan yang sangat intensif dan melelahkan di berbagai bekas
mereka akan pentingnya sisi tersebut. Marianne Kearney
daerah konflik. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-
dengan besar hati melakukan penyuntingan terhadap laporan
beda namun terkait, seperti perawatan, konseling, kesehatan
ini, Sandanila Fatharani telah menata laporan ini, dan Adi
masyarakat dan pendidikan. Walau nama-nama mereka terlalu
Nugroho telah memberikan terjemahan yang sangat baik
banyak untuk disebut di sini, kami mengucapkan terima kasih
untuk versi bahasa Indonesia. Terakhir, Dr. Nenette Motus
atas kerja keras mereka.
telah menulis proposal awal untuk melaksanakan kegiatan ini dan memulai proses riset dengan sebuah panggilan telpon ke
3.
Departemen
Kesehatan
RI
turut
mendukung
penelitian
Harvard
Medical
School
di
bulan
Oktober
2005.
Kami
psikososial IOM di Aceh, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi di
berterimakasih kepada Dr. Nenette atas kesabaran dan rasa
Banda Aceh serta berbagai Dinkes Kabupaten di seluruh Aceh.
percayanya terhadap kerja kami.
Rumah sakit jiwa di Banda Aceh telah menyediakan sembilan juru rawat untuk bergabung dengan staf peneliti, dan beberapa
6.
Profesor Bahrein Sugihen dan tim penelitinya di Pusat
Dinkes kabupaten telah memberikan dukungan melalui para
Pengembangan
juru rawat kesehatan mental publik mereka. Kontribusi dari
Kuala merupakan konsultan-konsultan kunci atas rancangan
Studi
Kedaerahan
di
Universitas
Syiah
para juru rawat tersebut terhadap penelitian ini adalah luar
penelitian dan kerja lapangan untuk riset ini. Khususnya kami
biasa.
berterimakasih kepada Ibu Rosnani dari badan tersebut yang telah memberikan bantuan yang sangat tinggi kepada tim
4.
Para mitra peneliti IOM di Harvard Medical School bertanggung
Harvard di Aceh.
jawab atas keseluruhan rancangan penelitian, pengembangan kuesioner, pengolahan database, analisa statistik, serta laporan
Ucapan Terima kasih
7.
Bank Dunia dan Decentralization Support Facility atau Fasilitas
ini. Profesor Byron Good dan Profesor Mary-Jo DelVecchio Good
Pendukung Desentralisasi (DSF), sebuah dana multi-donor, telah
merupakan penyelidik utama dalam proyek ini. Mathew Lakoma
memberikan dukungan dan pendanaan yang sangat penting
memberikan analisa statistik yang efisien dan kreatif.
untuk riset lapangan di sepuluh kabupaten di Aceh. Harvard Medical School, dibawah kontrak dengan IOM, menyediakan
5.
Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik IOM di Aceh
pendanaan untuk penelitian lapangan di Aceh Besar, dan
merupakan forum yang sangat baik untuk perencanaan dan
kedua organisasi tersebut juga mendanai analisa data dan
pembahasan materi yang terkandung dalam laporan ini. Jesse
penulisan laporan.
Grayman adalah project manager umum dan koordinator dari penelitian ini. Para tim medis Program, dibawah kepemimpinan
8.
Hasil
dari
fase
pertama
penelitian
ini
menghasilkan
Dr. Teuku Arief Dian dan Dr. Dara Juliana, merupakan sumber
pengimplementasian sebuah program outreach psikososial dan
penyusunan program dan dukungan materi yang handal.
medis kepada penduduk desa di 25 desa berkonflik tinggi
Ucapan terima kasih tertinggi disampaikan kepada Hayatullah,
di kabupaten Bireuen. Kami ingin mengucapkan terima
yang telah bekerja secara luar biasa dalam mengatur logistik
kasih kepada semua pihak di dalam tim tersebut: Dr. Ira Aini
riset lapangan, mengawasi pemasukan data, menterjemahkan
Dania, Dr. Karliansyah, Dr. Riska Sofia, Dr. Enny Bahari, dan
wawancara dalam bahasa Aceh, dan senantiasa memberikan
ketiga juru rawat; Nifantoro Wau, Hafidh, dan Bukhari.
bantuan yang sangat handal dan tak ternilai di bawah tekanan
Dan kami ingin secara khusus berterima kasih atas dukungan
kerja.
dan kolaborasi dari Dr. Amren Rahim dan Dr. Mursyidah di Dinkes Kabupaten Bireuen.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ibrahim Puteh atas keahlian psikiatrinya dan atas bantuannya untuk mengenali sistem kesehatan dan universitas di Banda Aceh.
Photo: Dr. Teuku Arief Dian
9.
Penulis dari laporan ini adalah: Mary-Jo DelVecchio Good, Byron Good, Jesse Grayman dan Mathew Lakoma.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Rangkuman Eksekutif
Antara bulan Desember 2005 dan November 2006, sebuah tim peneliti dari International Organization for Migration (IOM) dan Department of Social Medicine, Harvard Medical School, melakukan sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial (Psychosocial Needs Assessment - PNA) di beberapa kecamatan di 14 kabupaten di Aceh dalam dua fase. Fase 2, atau Penelitian Kebutuhan Psikososial 2 (PNA2) melakukan penelitian di 75 desa-desa berkonflik tinggi di 11 kabupaten di Aceh. PNA2 ini merupakan perluasan dari riset untuk Penelitian Kebutuhan Psikososial 1 (PNA1) yang dilakukan terhadap kecamatan-kecamatan konflik tinggi di Aceh Utara, Bireuen dan Pidie, di bulan Pebruari 2006. Riset untuk penelitian kedua ini dilakukan di 10 kabupaten di bulan Juli 2006 dengan pendanaan dari Bank Dunia, lembaga multi-donor Fasilitas Pendukung Desentralisasi (DSF), IOM dan Harvard Medical School, dan di kabupaten Aceh Besar di bulan Nopember 2006, dengan pendanaan dari IOM dan Harvard Medical School. Fokus utama dari laporan ini adalah untuk menyajikan temuan-temuan yang dihasilkan dari data PNA2 dan untuk membandingkan data tersebut dengan data yang telah dianalisa dan diterbitkan dalam laporan Penelitian Kebutuhan Psikososial 1 (PNA1).1 Penelitian untuk PNA1 didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada, IOM, dan Harvard Medical School. Tujuan dasar dari proyek secara keseluruhan adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental di komunitas-komunitas yang telah terpengaruh secara mendalam oleh konflik bertahun-tahun antara angkatan bersenjata Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), setelah adanya gencatan senjata mengikuti penandatanganan Nota Kesepahaman bulan Agustus 2005. Laporan ini berfokus pada pengalaman traumatik di masa lalu dan kebutuhan psikososial dan kesehatan mental yang ada saat ini di daerah-daerah konflik di seluruh Aceh. Walau perjanjian perdamaian telah mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung selama hampir tiga dasawarsa, sebagian besar pengalaman traumatik yang dilaporkan di sini terjadi sejak awal 1990an hingga bulan Agustus 2005. Laporan ini dengan sengaja tidak mengidentifikasi kelompok atau individu yang memainkan peranan penting dalam kekerasan yang terjadi terhadap komunitas-komunitas ini.
Rancangan Proyek Proyek ini dirancang untuk menyajikan data empiris ilmiah yang dapat menjadi dasar untuk pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial untuk mendukung upaya pemulihan komunitas-komunitas tersebut. Secara spesifik, kedua penelitian tersebut berupaya untuk menentukan tingkat pengalaman traumatik yang terkait dengan konflik yang diderita oleh para anggota komunitas-komunitas tersebut, untuk memetakan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman-pengalaman tersebut di berbagai daerah dan komunitas, untuk mengukur tingkat masalah psikososial dan kesehatan mental, mengidentifikasi sub-kelompok yang beresiko tinggi di dalam penduduk, untuk mengidentifikasi pola daya tahan dan sumber daya dimanfaatkan oleh para komunitas dalam menanggulangi masalah kesehatan mental, dan untuk menilai seberapa mendesaknya akan berbagai bentuk intervensi kesehatan mental di daerah-daerah yang terkena dampak kekerasan selama berpuluh-puluh tahun. Melihat temuan akan adanya tingkat pengalaman traumatik dan gejala kesehatan mental yang luar biasa tinggi di PNA1 di Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie, PNA2 dirancang secara khusus untuk memperluas penelitian kebutuhan ke semua kabupaten berkonflik tinggi di Aceh, dan untuk membandingkan temuan-temuan di bagian-bagian Aceh lainnya dengan yang ada di penelitian komunitas index pada PNA1. Penelitian ini dirancang oleh para peneliti senior dari Harvard Medical School, yang dipimpin oleh Prof. Byron Good dan Prof. Mary-Jo Good, dan oleh Jesse Grayman, kandidat Ph.D. di Harvard beserta para staf IOM. Penelitian ini meliputi dua komponen: sebuah penelitian kualitatif dengan informan kunci yang dirancang untuk meneliti bagaimana konflik telah membawa dampak terhadap berbagai komunitas tertentu dan apa yang oleh para pemimpin komunitas dirasakan sebagai prioritas dalam menjawab dampak psikososial dari konflik; dan kedua, sebuah survei formal terhadap anggota dewasa dari komunitas-komunitas yang dipilih yang dirancang untuk mengukur tingkat pengalaman peristiwa trauma yang terkait dengan kekerasan, tingkat tekanan psikologis yang terkait dengan pengalaman-pengalaman tersebut, dan prioritas layanan yang dirasakan. Survei lapangan untuk PNA2 dilakukan oleh sebuah tim peneliti yang direkrut dan diarahkan oleh staf lapangan IOM di Banda Aceh, yang dipimpin oleh Jesse Grayman. Data dianalisa di Harvard Medical School oleh Prof. Mary-Jo Good dan Matthew Lakoma. Laporan ini ditulis oleh Mary1
Good, B., M.-J. D. Good, J. Grayman, and M. Lakoma. 2006. Penelitian Psikososial Masyarakat dari Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara. International Organization for Migration.
Jo Good, Byron Good, Jesse Grayman dan Matthew Lakoma. Sampel untuk survei kuantitatif untuk PNA2 terdiri dari 1.376 orang dewasa, berusia 17 tahun ke atas (dan untuk PNA1 sampel terdiri dari 596 responden dewasa) yang diseleksi secara acak dari komunitas pedesaan yang mengalami konflik tertinggi sejak awal 1990-an. Prosedur sampling menghasilkan sampel yang cukup tersebar yang terdiri dari pria dan wanita dewasa di dalam komunitas-komunitas yang bersangkutan. Disamping itu, informan-informan kunci, yang terdiri dari para tokoh masyarakat, telah diwawancarai di semua desa yang diteliti. Laporan ini berfokus pada analisa survei kuantitas. Untuk tujuan analisa, para komunitas dalam survei ini dibagi ke dalam 6 daerah, mengelompokkan kabupaten-kabupaten yang memiliki persamaan geografis, persamaan kebudayaan dan persamaan sejarah konflik. Keenam daerah tersebut adalah: Pesisir Utara (Aceh Utara, Bireuen, Pidie), Aceh Besar, Pesisir Timur (Aceh Tamiang, Aceh Timur), Daerah Tinggi Tengah (Aceh Tengah, Benar Meriah dan Gayo Lues,) Daratan Tinggi Barat Daya (Aceh Tenggara) dan Pesisir Barat Daya (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan.) Temuan-temuan dapat digeneralisir hanya terhadap komunitas-komunitas berkonflik tinggi di keenam daerah tersebut.
Temuan-temuan Kunci 1. Kami memperkirakan untuk menemukan bahwa komunitas-komunitas yang disurvei untuk PNA2 akan memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah dibanding daerah-daerah yang disurvei untuk PNA1, yakni Pesisir Utara, mengingat letaknya yang di pusat dalam sejarah GAM dan konflik. Namun temuan mengejutkan pertama adalah bahwa dua daerah – Pesisir Timur dan Pesisir Barat Daya – menderita kekerasan dan peristiwa traumatik yang dahsyat pada tingkat yang sebanding dengan atau bahkan lebih besar dari yang dialami di Pesisir Utara. Di komunitas-komunitas Pesisir Timur, contohnya, 80% responden melaporkan telah mengalami pengalaman perang, 45% harus melarikan diri dari bangunan terbakar dan 61% harus melarikan diri dari situasi bahaya. 7% wanita memiliki suami yang terbunuh dalam konflik, 50% responden melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang tewas, dan 45% melaporkan memiliki anggota keluarga yang diculik atau hilang. Hampir setengah, atau 47% melaporkan telah dirampas atau dimusnahkan hartanya, dan 31% mengalami pemerasan atau perampasan. Para warga di Pesisir Barat Daya, dimana kekerasan berlangsung dalam durasi yang jauh lebih singkat, melaporkan pengalaman kekerasan pada tingkat yang hampir sama. 2. Walau sampling yang digunakan untuk PNA dimaksudkan untuk mendapatkan pemetaan garis besar dari peristiwa konflik dan gejala psikologis di seluruh Aceh, namun dengan menggunakan data PNA dimungkinkan untuk menemukan mikor-lokalitas khusus, seperti misalnya studi kasus lembah Sungai Kluet di Aceh Selatan, yang tidak dapat ditangkap oleh data agregat regional semata. ‘Titik-titik panas’ tersebut yang memiliki sejarah kekerasan yang intensif, kompleks dan berkelanjutan dapat membantu dalam penentuan prioritas perancangan khusus dan penyediaan layanan psikososial dan layanan reintegrasi pasca-konflik lainnya. 3. Mengingat luar biasa tingginya peristiwa traumatik yang dilaporkan pada PNA1, kami tidak terkejut ketika melihat bahwa survei PNA2 menemukan tingkat peristiwa traumatik yang secara signifikan lebih rendah, khususnya di Daerah Tinggi Tengah dan di Aceh Besar. Namun sebuah temuan yang tidak kalah pentingnya adalah seberapa banyak warga bahkan di komunitas yang relatif mengalami konflik rendah tersebut telah dipengaruhi secara mendalam oleh konflik dan kekerasan. 69% responden di Daratan Tinggi Barat Daya, dan 68% responden di Aceh Besar dan 62% di Daerah Tinggi Tengah melaporkan mengalami peperangan. Bahkan di Daratan Tinggi Barat Daya, 12% melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, sementara 31% di Ache Besar dan 39% di Daerah Tinggi Tengah telah kehilangan seorang anggota keluarga atau teman dalam kekerasan yang terjadi. Seperempat atau 25% dari pria di Daerah Tinggi Tengah dan 32% pria di Aceh Besar melaporkan telah dipukuli secara di tubuhnya. Dengan demikian, walau kekerasan terlokalisir di berbagai daerah dan desa tertentu, namun kekerasan juga terjadi secara meluas, dan meninggalkan dampak pada sejumlah tinggi warga di komunitas-komunitas pedesaan di Aceh dan turut menyumbang terhadap kumpulan kenangan kolektif akan kekerasan yang mencekam dan berkelanjutan yang dilakukan
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
membutuhkan bantuan khusus. Mengenai masalah peristiwa stres saat ini (pasca kesepakatan perdamaian) para responden PNA2 melaporkan peristiwa stres saat ini pada tingkat yang secara signifikan lebih rendah dibanding PNA1, dengan desadesa MGKD melaporkan tingkat yang lebih tinggi daripada desa-desa non-MGKD dengan 4 dari 18 peristiwa. Namun, karena hanya 33% dari responden PNA2 yang tinggal di desa-desa MGKD, dibanding dengan 46% responden PNA1, kemungkinan terdapat sedikit sampling bias ke jumlah desa-desa konflik tinggi yang lebih rendah pada PNA2.
terhadap warga sipil pedesaan di seluruh propinsi tersebut. 4. Baik pria maupun wanita mengalami tingkat kekerasan yang luar biasa tinggi, namun tingkat dan jenis peristiwa traumatik yang dialami sebagai bagian dari konflik berbeda-beda berdasarkan gender. Pria melaporkan kekerasan fisik yang jauh lebih banyak dibanding wanita. Pada sampel PNA2, 38% pria melaporkan telah dipukuli (9% wanita), 19% melaporkan telah diserang dengan senjata api atau pisau (8% wanita), 16% pria melaporkan telah disiksa (3% wanita), 15% pria melaporkan telah ditangkap (3% wanita), dan 44% pria (dan 35% wanita) melaporkan telah menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Namun demikian, wanita sangat menderita. Sebagai contoh, di komunitas-komunitas Pesisir Barat Daya, 79% wanita mengalami peperangan dan 56% harus melarikan diri dari situasi bahaya, 52% dipaksa untuk menyaksikan hukuman fisik, 36% memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, 43% telah dirampas atau dihancurkan hartanya, dan 32% dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan. Walau tingkat kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi terhadap wanita secara relatif rendah (1% diperkosa, 4% bentuk kekerasan seksual lainnya), sebagian disebabkan oleh stigma, cerita-cerita mengenai kekerasan seksual oleh kombatan pria terhadap wanita tidak jarang terjadi. 5. Tingkat trauma fisik di kepala dan cidera otak potensial, yang diderita akibat penganiayaan, pencekikan, penenggelaman, dan bentuk penyiksaan atau kekerasan lainnya, sangatlah tinggi dan patut mendapatkan intervensi klinis dan penelitian lebih lanjut. Para pria, khususnya yang tinggal di daerah-daerah dengan tingkat konflik tertinggi, memiliki resiko yang tertinggi. Yang menakjubkan adalah, 43% dari semua pria di daerah Pesisir Timur dan 41% di Pesisir Barat Daya, melaporkan telah mengalami trauma fisik di kepala – yang merupakan persentase yang sebanding dengan yang ditemukan dalam PNA1 di Pesisir Utara. Para ahli klinis di program outreach kesehatan mental IOM yang ditugaskan di desa-desa berkonflik tinggi di Bireuen menemukan bahwa trauma fisik di kepala merupakan masalah yang seringkali dijumpai, dimana hampir seperempat dari semua pasien yang memiliki masalah kesehatan mental klinis yang cukup signifikan mengidap gejala trauma fisik pada kepala. 6. Di hampir semua daerah berkonflik tinggi yang masuk ke dalam sampel, antara sepertiga hingga dua pertiga dari semua responden pernah melakukan pengungsian, biasanya secara paksa, selama konflik. Hampir semua responden yang menceritakan kepada kami mengenai pengalaman pengungsian selama konflik sepatutnya dianggap sebagai pengungsi yang telah pulang. Namun masih terdapat ribuan keluarga transmigran Jawa yang mengungsi yang masih tinggal di propinsi Sumatera Utara di selatan Aceh, dan beberapa ribu pengungsi Aceh masih menetap di Malaysia, sehingga tidak tertangkap oleh data PNA. Pengalaman umum para pengungsi adalah mereka pulang dan menemukan desa mereka telah dibakar, sawah dihancurkan, rumah dijarah dan hewan ternak terbunuh, dan kondisi ekonomi rentan ini memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi psikososial mereka. 7. Serangkaian pertanyaan mengenai peristiwa stres atau traumatik yang ada saat ini atau berkelanjutan sejak penandatanganan kesepakatan perjanjian menerima jawaban yang jauh lebih rendah pada PNA2 dibanding pada PNA1. Pola tetap sama, bahkan di daerah-daerah dimana konflik paling besar terjadi, dan khususnya menyangkut laporan penglihatan para pelaku (47% di PNA1, 7% di PNA2), mengalami serangan (31% vs. 1%), mengalami perampokan (21% vs. 1%), kekerasan terhadap wanita (4% vs. 1%) dan kekerasan terhadap anak (7% vs. 1%). Temuan-temuan tersebut menandakan suatu perubahan yang sangat signifikan antara Pebruari 2006, ketika survei PNA1 dilaksanakan, dan ketika rasa percaya terhadap perjanjian perdamaian masih sangat terbatas dan pasukan Indonesia non-lokal baru saja meninggalkan Aceh, dan Juli 2006, ketika survei PNA2 dilakukan. Temuan-temuan PNA2 mengisyaratkan bahwa sejak bulan Juli para warga mengalami pengurangan jumlah kontak dengan pelaku dan merasakan situasi aman yang lebih tinggi.
Pola penurunan peristiwa stres yang berkelanjutan yang ditemukan dalam PNA2 berlaku juga terhadap kondisi kehidupan umum (kurangnya perumahan yang layak huni 59% vs. 38%; air/ kebersihan 75% vs. 55%; dan jaminan makanan 72% vs. 63%) serta masalah mata pencaharian (kesulitan mencari nafkah untuk keluarga 85% vs. 72%; menemukan pekerjaan 89% vs. 75%; dan memulai suatu mata pencaharian 71% vs. 56%). Namun, walau mereka secara signifikan menurun, angka-angka tersebut masih secara signifikan tinggi dalam survei PNA2. Wawancara kualitatif mengisyaratkan bahwa penyebab stres yang berkelanjutan ini mencerminkan kehancuran perekonomian desa akibat tiga dasawarsa usaha untuk menghancurkan fondasi materiil yang mendukung GAM. Oleh karena itu, pemulihan akan membutuhkan penanganan secara segera perekonomian yang rusak serta sumber daya komunitas yang telah hancur.
8. Tingkat peristiwa traumatik di masa lalu secara substansial dan signifikan lebih tinggi di desa-desa yang menerima Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik atau MGKD, baik pada PNA1 maupun PNA2. Tingkat beberapa peristiwa traumatik di masa lalu tertentu adalah 50% lebih tinggi atau lebih pada komunitas-komunitas MGKD di kedua sampel (untuk peristiwaperistiwa yang umum dialami, angka tersebut memiliki signifikansi statistik yang tinggi). Temuan-temuan tersebut mengukuhkan penentuan yang dilakukan oleh IOM dan Bank Dunia terhadap desa-desa tersebut sebagai komunitas berkonflik tinggi yang
9. Para responden dari PNA2 menderita masalah kesehatan mental yang terkait dengan kekerasan pada tingkat yang signifikan. Protokol yang diterima secara internasional untuk menentukan siapa yang menderita gejala psikologis mengindikasikan bahwa 35% total sampel PNA2 menduduki peringkat tinggi pada gejala depresi, 39% untuk gejala kecemasan, dan 10% untuk gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Persentase jauh lebih tinggi pada responden dari Pesisir Barat Daya, Pesisir Timur, dan Daerah Tinggi Tengah. Sebagai contoh, 41% responden dari Pesisir Barat Daya menderita sindrom depresi diatas tingkat cutoff yang diakui secara internasional, 43% untuk gejala kecemasan, dan 14% untuk gejala PTSD pada tingkat-tingkat tersebut.
Pada saat yang bersamaan, sebuah temuan PNA2 yang sangat signifikan adalah bahwa responden di semua kabupaten yang disurvei di bulan Juli dan Desember 2006 melaporkan tingkat yang jauh lebih rendah menyangkut depresi berat, gangguan kecemasan (anxiety), dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dibanding yang ditemukan pada PNA2. Mengingat bahwa tingkat gejala psikologis yang dilaporkan diantara para responden PNA1 (Pesisir Utara) merupakan salah satu tingkat tertinggi untuk situasi pasca konflik di seluruh dunia, kami tidak heran ketika menemukan bahwa persentase responden PNA2 yang menderita gejala depresi, kecemasan, dan PTSD tingkat tinggi (secara berturut-turut 35%, 39%, 10%) adalah jauh lebih rendah dibanding tingkat-tingkat yang dilaporkan pada PNA1 (65%, 69%, and 34%). Karena penggunaan batas penentu (cutoff) yang diakui secara internasional tersebut menghasilkan hasil yang sangat tinggi pada PNA1, penelitian kami mengembangkan cutoff yang lebih tinggi dalam rangka mengidentifikasi para pihak yang memiliki resiko untuk mengidap bentuk depresi, kecemasan, dan PTSD yang paling berat. Walau persentase juga sangat tinggi pada PNA1, mereka secara substansial dan signifikan lebih rendah dibanding dengan para responden PNA2.
Laporan ini mendokumentasikan tingkat gejala psikologis yang berkelanjutan yang terkait dengan konflik di semua daerah di Aceh, dan mendesaknya kebutuhan akan layanan kesehatan mental untuk disediakan sebagai bagian dari proses perdamaian dan pemulihan pasca-konflik. Hal ini menandakan bahwa prioritas perlu diberikan kepada Pesisir Utara, Pesisir Barat Daya, Pesisir Timur, dan Daerah Tinggi Tengah, dengan urutan seperti itu. Banyak responden menderita efek trauma kompleks – bertahun-tahun mengalami kekerasan secara berulang-ulang dan situasi yang tidak aman, dan bukan hanya satu episode trauma, diikuti dengan kembali ke sebuah situasi yang aman. Pada sebagian kasus, hal tersebut akan membutuhkan layanan kesehatan mental yang berkelanjutan. Pada saat yang bersamaan, laporan ini menemukan gejala psikologis yang secara substansial lebih rendah pada PNA2 dibanding dengan PNA1, yang memunculkan pertanyaan- pertanyaan penting mengenai daya tahan dan pemulihan.
10. Walau gejala depresi dan PTSD yang ditemukan pada PNA2 lebih rendah daripada yang ditemukan pada PNA1, jumlah keseluruhan peristiwa traumatik yang dialami seseorang masih merupakan variabel paling dapat digunakan untuk memprediksi gejala depresi dan PTSD. Odds analysis (sebuah prediksi statistik untuk resiko) yang disajikan pada laporan ini membuktikan adanya keterkaitan tersebut. Walau odds ratio adalah lebih rendah pada PNA2 dibanding dengan pada PNA1, jumlah yang lebih tinggi akan pengalaman peristiwa yang terkait dengan konflik sangat meningkatkan kemungkinan seseorang menderita gejala depresi dan PTSD atau penyakit mental yang dapat didiagnosa. Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi daripada pria untuk menderita depresi dan kecemasan. Pria dan wanita memiliki kemungkinan yang hampir sama untuk menderita PTSD. Dan pengaruh usia tidak menunjukkan pola yang jelas. Para responden yang paling tua (berusia 54-82) memiliki resiko lebih besar untuk depresi dan kecemasan secara umum. Beberapa kelompok yang lebih muda yang memiliki resiko tinggi untuk gejala psikiatri tidak memperlihatkan resiko yang berlebihan pada PNA2. 11. Dalam sebuah upaya untuk mengukur dampak gejala psikologis terhadap pelaksanaan fungsi sosial, penelitian ini menambahkan sebuah skala fungsi sosial, dan menemukan bahwa tingkat keseluruhan pengakuan akan adanya kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, seperti kerja fisik, pekerjaan rumah, adalah sangat rendah. Namun, bahkan dengan instrumen yang terbatas ini, analisa telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara keseluruhan nilai untuk pelaksanaan fungsi sosial dan depresi, kecemasan, dan PTSD. Yang sangat mencolok adalah hubungan antara gejala psikologis dan kesulitan dalam kegiatan pencarian nafkah sehari-hari – mencari nafkah, melakukan pekerjaan fisik, bertani dan menangkap ikan. Walau hubungan kausalitas tidak dapat ditemukan, studi ini memberikan bukti bahwa seseorang yang depresi atau cemas secara kronis mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan mata pencaharian. Masalah-masalah kesehatan mental memiliki konsekuensi nyata dalam penjalanan fungsi sosial, dan intervensi kesehatan mental dan mata pencaharian perlu dilakukan secara terpadu.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
12. Temuan yang menunjukkan bahwa gejala psikologis secara substansial lebih rendah pada responden PNA2, bahkan di daerahdaerah yang mengalami konflik yang cukup tinggi, dibanding dengan para responden PNA1, tidaklah diperkirakan sebelumnya dan menimbulkan serangkaian pertanyaan. Pertama, apakah hal tersebut hanya mencerminkan tingkat trauma yang lebih rendah diantara para responden tersebut? Temuan-temuan kami menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah demikian. Gejalagejala adalah lebih rendah pada kabupaten-kabupaten dimana tingkat trauma adalah sama dengan yang ada pada PNA1. Apakah perbedaan-perbedaan tersebut mencerminkan pengalaman kekerasan untuk jangka waktu yang lebih singkat bagi mereka yang tinggal di kabupaten-kabupaten PNA2? Sekali lagi, hal ini tidak dibuktikan dalam penelitian. PNA2 menemukan gejala-gejala adalah lebih rendah baik di Aceh Timur, dimana jangka waktu konflik adalah sama lamanya dengan yang terjadi di Bireuen dan Aceh Utara (PNA1), dan di Aceh Selatan, dimana konflik berlangsung baru-baru saja. Apakah perbedaan tersebut menandakan bahwa terdapat suatu perubahan antara bulan Pebruari dan Juli 2006, dan bahwa tingkat gejala mencerminkan hal tersebut? Jelas data kami menunjukkan bahwa tingkat stres yang berkelanjutan sangat menurun pada bulan Juli. Pada saat tersebut, tingkat kekerasan yang berkelanjutan (mengalami penyerangan dan perampasan, melihat bekas pelaku kekerasan) adalah jauh lebih rendah untuk semua daerah PNA2 daripada yang ditemukan pada kabupaten-kabupaten PNA1 pada saat penelitian tersebut dilakukan.
Dengan demikian, penelitian ini memperkirakan bahwa dengan meningkatnya situasi keamanan dan menurunnya tingkat stres yang berkelanjutan, maka gejala psikologis umum dan kecemasan kolektif secara signifikan berkurang. Adalah jelas bahwa para individu di dalam komunitas-komunitas tersebut memiliki daya tahan, dan proses pemulihan secara kolektif dapat berjalan jika terdapat keamanan. Pada saat yang bersamaan, kecemasan, depresi, mxaupun PTSD masih cukup tinggi di para komunitas PNA2. Riset ini menunjukkan bahwa hal ini sangat terkait erat dengan pengalaman kekerasan di masa lalu. Dan kerja klinis kami menunjukkan bahwa masalah-masalah kesehatan mental yang terkait dengan konflik masih sangat signifikan di komunitaskomunitas ini, dan bahwa masalah-masalah tersebut dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang inovatif dalam menyediakan layanan medis kepada komunitas-komunitas tersebut.
13. Walau dengan adanya sejarah kekerasan yang luar biasa terhadap penduduk pedesaan di daerah-daerah konflik tinggi di Aceh, para masyarakat tersebut dan sebagian besar individu yang berada di dalammya terbukti luar biasa kuat dan sangat berdaya tahan. Studi PNA2 telah mensurvei beberapa sumber daya agama, budaya dan masyarakat, yang dimanfaatkan oleh warga untuk menanggulangi pengalaman konflik. 91% mengatakan telah menggunakan do’a dan 54% melaporkan telah berkonsultasi dengan ahli agama untuk tujuan ini. 68% mengatakan bercerita dengan seorang teman atau anggota keluarga, dan 56% melaporkan berusaha untuk melupakan pengalamannya. Pada saat yang bersamaan, 33% menceritakan mereka mencari bantuan medis khusus untuk tujuan tersebut. Persentase untuk sebagian besar kegiatan-kegiatan tersebut adalah paling tinggi di daerah Pesisir Timur, dimana kekerasan sangat intensif. Ini hanya merupakan indikator kecil mengenai sumber daya dan proses psikologis setempat yang digunakan dalam rangka pulih dari kekerasan, dan proses politik berskala besar hampir sudah pasti memainkan peran yang sama pentingnya dalam upaya jangka panjang untuk pemulihan komunitas maupun pribadi. 14. Walau rasa tidak percaya terhadap layanan pemerintah masih tinggi, para responden menyatakan kemauan yang tinggi untuk menerima bantuan kesehatan mental, baik diberikan melalui GAM atau pemerintah Indonesia. Pembedaan tersebut tidak sebegitu penting dewasa ini, dimana gubernur dan banyak bupati adalah mantan anggota GAM. Survei PNA2 menemukan bahwa terdapat kesepakatan umum di daerah-daerah konflik tinggi bahwa masalah kesehatan mental mempengaruhi para responden serta keluarga mereka, dan tingkat kesadaran tinggi akan adanya masalah-masalah yang terkait dengan stres dan trauma di komunitas-komunitas tersebut (disebut dengan istilah tersebut dalam bahasa Aceh maupun Indonesia). 15. Para ahli klinis dari program outreach kesehatan mental IOM di Bireuen menemukan bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam survei PNA banyak ditemukan diantara warga yang didiagnosa menderita masalah kesehatan mental. Gejala PTSD sering ditemukan, dengan hampir seperempat (23%) dari pasien-pasien memenuhi kriteria PTSD, dan 42% dari semua orang yang dirawat untuk masalah kesehatan mental mengatakan bahwa penyakit mereka terkait dengan pengalaman trauma yang berhubungan dengan konflik. Trauma fisik pada kepala tampaknya merupakan sebuah fenomena klinis yang penting, dimana para pasien melaporkan mengalami gejala yang berkelanjutan sejak mereka dipukuli atau disiksa. Depresi klinis banyak dijumpai dan seringkali diasosiasikan dengan kenangan traumatik akan konflik, disertai isolasi sosial dan keterpisahaan di tengah komunitas, dan disertai pula dengan hilangnya harta dan kehancuran perekonomian yang dilakukan terhadap komunitas-komunitas tersebut.
Walau penelitian PNA2 menemukan tingkat gejala yang lebih rendah dibanding PNA1, masalah kesehatan mental yang dapat ditangani yang secara langsung terkait dengan konflik adalah sangat nyata pada komunitas-komunitas ini, dan harus ada dorongan yang mendesak untuk memberikan layanan kepada masyarakat-masyarakat tersebut. Proyek percontohan kesehatan mental IOM ini telah berhasil mendemonstrasikan satu pendekatan yang efektif untuk menangani masalah kesehatan mental yang diidentifikasi dalam penelitian ini.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
rekomendasi 1. Semua program yang dilakukan di daerah pedesaan Aceh harus mempertimbangkan luasnya dan kompleksitas kekerasan serta sisa dampak psikologis dan sosialnya diantara para komunitas. Warisan dari akumulasi peristiwa traumatik di seluruh Aceh sebagaimana yang disajikan di dalam data PNA membawa tantangan unik bahkan untuk program-program seperti pembangunan perumahan dan sekolah yang tidak secara spesifik dirancang untuk memberi bantuan psikososial. Proses konsultatif dan wawancara dengan informan kunci, secara dini dan secara seing, dan pada tingkat yang paling lokal, diperlukan untuk membentuk intervensi yang akan dikembangkan. Dari hal-hal tersebut, suatu pemahaman mengenai pengalaman historis dan dinamika sosial yang ada saat ini di lokasi-lokasi bantuan pasca-konflik tersebut akan membantu menyempurnakan prioritas untuk program dan menjamin implementasi yang lancar. 2. Masyarakat internasional perlu menyadari adanya keperluan mendesak untuk menyediakan layanan kesehatan mental kepada komunitas-komunitas yang paling terpengaruh oleh konflik. Laporan ini mendokumentasikan tingkat kekerasan traumatik yang luar biasa yang dilakukan terhadap penduduk sipil biasa di daerah pedesaan Aceh, khususnya di kabupaten, kecamatan dan desa dengan tingkat konflik tertinggi. Laporan ini, disamping temuan-temuan dari intervensi percontohan kesehatan mental IOM, menunjukkan bahwa kekerasan ini sangat terkait dengan kondisi depresi, kecemasan, dan PTSD, serta neuropsikiatri tingkat tinggi di komunitas-komunitas tersebut. Masalah-masalah tersebut belum pergi. Hampir dua tahun setelah penandatangan perjanjian perdamaian, yang mengakhiri kekerasan militer di Aceh, masalah kesehatan mental akut masih merupakan warisan yang kritis yang dibawah oleh kekerasan. Terdapat keperluan mendesak untuk memberikan tindakan kesehatan mental berbasis medis, disamping program psikososial dan mata pencaharian, bagi korban di komunitas-komunitas tersebut. 3. Penyediaan layanan kesehatan mental akan membutuhkan investasi berkelanjutan dalam pengembangan jangka panjang sistem kesehatan dan kesehatan mental di Aceh. Aceh memiliki lebih dari 4 juta penduduk, tetapi hanya tiga psikiater. Membangun sebuah sistem kesehatan mental yang akan menggapai masyarakat Aceh yang tersebar secara luas harus disadari sebagai suatu kebutuhan yang mendesak dan sebagai bidang yang membutuhkan investasi berkelanjutan berjangka panjang. Kebutuhan kesehatan mental di komunitas-komunitas tersebut hanya dapat dipenuhi melalui pengembangan sebuah sistem kesehatan yang kompeten dan efektif yang memberikan prioritas khusus kepada kesehatan mental. Badan-badan internasional, nasional maupun propinsi perlu bekerjasama dalam memperkuat kapasitas sistem kesehatan secara umum, dan khususnya dalam mengembangkan solusi inovatif terhadap tugas yang sulit untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang berbasis masyarakat. 4. Layanan outreach khusus perlu didukung untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mental yang paling mendesak di daerah darah konflik tinggi di Aceh. Walau kebutuhan jangka panjang untuk layanan kesehatan mental di Aceh hanya dapat ditangani melalui investasi dalam penyempurnaan sistem kesehatan mental publik, orang-orang yang menderita konsekuensi kesehatan mental dari kekerasan, penyiksaan, dan pengungsian seharusnya tidak dibiarkan menunggu lama. Program-program khusus yang menyediakan layanan kesehatan mental dan psikososial kepada korban konflik perlu diberikan dukungan dengan segera. Program Outreach Kesehatan Mental hasil pendanaan Kedutaan Besar Norwegia, yang dikembangkan secara bersama-sama oleh IOM dan Harvard Medical School, tampak sebagai salah satu mekanisme efektif untuk menangani kebutuhan yang akut dan mendesak dalam komunitas-komunitas yang secara relatif terisolasi. Investasi sungguh-sungguh perlu dilakukan ke dalam program-program yang membawa pelayanan secara langsung ke komunitas-komunitas tersebut. 5. Upaya terfokus untuk menangani warga yang mengalami efek trauma kompleks perlu dilakukan dalam konteks pengembangan program-program kesehatan dan psikososial yang khusus. Dalam masyarakat-masyarakat dimana 15-18% dari keseluruhan penduduk dan 25% dari pria melaporkan telah disiksa, dimana 50-70% pria muda melaporkan telah dipukuli di kepala, dicekik, atau hampir ditenggelamkan, dimana 50-60% dari semua pria dan 15-20% dari wanita melaporkan telah dipukuli, trauma kompleks merupakan sisa zaman kekerasan yang sangat sering dijumpai dan adalah penting untuk diperhatikan. Menangani masalah kesehatan mental dan psikososial yang terkait dengan PTSD dan trauma kompleks dalam lokasi yang secara relatif terisolasi dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental adalah sangat menantang. Perlu disadari secara tegas bahwa tidak ada modalitas terapeutik tunggal yang secara pasti akan efektif dan berkesinambungan. Melainkan, suatu komitmen harus dibuat terhadap pengembangan program-program terapeutik yang inovatif di lokasi-lokasi tertentu, untuk pendokumentasian tiap-tiap program, dan untuk pengevaluasian secara cermat atas efektifitas pendekatan- pendekatan terapeutik. 6. Perhatian khusus perlu diberikan kepada masalah trauma terhadap kepala, cidera otak, serta cacat fisik jangka panjang yang diakibatkan oleh penyiksaan dan kekerasan yang terkait dengan konflik. Baik laporan ini maupun PNA1 mendokumentasikan tingkat trauma kepala yang luar biasa tinggi – pemukulan terhadap kepala, pencekikan, dan penenggelaman – yang merupakan kegiatan rutin dalam penyiksaan, khususnya pria, di komunitas-komunitas dengan tingkat konflik tinggi. Trauma di kepala dapat
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
menyebabkan cidera otak dan anoxia (kurangnya oksigen pada otak) yang dapat mengakibatkan dampak emosional, kognitif dan perilaku jangka panjang. Gejala-gejala dapat meliputi berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pelatihan kerja, kurang kecakapan untuk mengambil keputusan yang menimbulkan apa yang tampaknya seperti sering mengamuk atau bahkan perilaku kriminal, disamping penderitaan pribadi. Penelitian perlu dilakukan untuk menentukan apakah program-program khusus diperlukan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Sistem medis, hukum dan pendidikan perlu diberi sosialisasi mengenai pentingnya masalah-masalah tersebut bagi orang yang telah mengalami kekerasan traumatik selama konflik. 7. Perhatian khusus perlu diberikan pada masalah kesehatan para orang-orang usia lanjut di daerah-daerah dengan konflik tinggi. Walau orang-orang muda menderita kekerasan yang luar biasa tinggi selama konflik dan pantas mendapatkan perhatian khusus, laporan ini menandakan bahwa pria dan wanita yang lebih tua mungkin terus mengalami tingkat tinggi masalah kesehatan di komunitas-komunitas ini. Hanya sedikit perhatian yang telah diarahkan terhadap pengaruh konflik terhadap orang tua. Temuan ini menandakan adanya kebutuhan riset lebih lanjut dan pengembangan program guna menjawab kebutuhan kesehatan mental dan psikososial para pria dan wanita usia lanjut di masyarakat-masyarakat ini. 8. Para kabupaten dan desa yang mengalami kekerasan yang sangat luar biasa patut diberikan perhatian khusus dalam pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial. Pengalaman peristiwa traumatik semasa konflik merupakan ‘predictor’ tunggal terbesar mengenai gangguan kesehatan mental pada PNA1 maupun PNA2. Sebuah pemetaan peristiwa konflik di seluruh Aceh menunjukkan dimana prioritas terletak untuk layanan kesehatan mental dan psikososial. Daerah ini termasuk kabupaten Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur yang berada di Pesisir Utara dan Timur, disamping juga kabupaten Aceh Selatan di pesisir Barat Daya. Selain itu, pemetaan peristiwa konflik dapat diuraikan hingga tingkat kecamatan dan desa, sehingga mengungkapkan mikro-lokalitas dimana para penyedia pelayanan kemungkinan besar akan menemukan beban kesehatan mental yang terkait dengan konflik. 9. Badan-badan nasional maupun internasional perlu menyadari kebutuhan yang berkelanjutan atas intervensi mata pencaharian di daerah-daerah konflik tinggi, yang selayaknya dikaitkan secara khusus dengan program-program kesehatan mental dan psikososial. Mata pencaharian yang rusak atau hilang adalah lebih dari sekedar efek samping konflik. Pada sebagian besar situasi, telah terjadi upaya yang dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk merusak perekonomian lokal yang dilihat oleh pihak militer sebagai basis material strategis untuk pemberontakan. Hal ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi penduduk sipil di komunitas-komunitas tersebut dan pemulihan mereka selalu disebut oleh para responden sebagai prioritas pertama. Namun komunitas-komunitas yang terkena dampak paling parah yang membutuhkan pemulihan mata pencaharian adalah juga komunitaskomunitas dengan beban kesehatan mental paling berat, yang kemungkinan akan menghambat keberhasilan program-program yang dirancang untuk pemulihan di bidang fisik atau material. Bantuan sementara untuk merehabilitasi sawah yang hancur dan perkebunan hutan, suntikan modal untuk memulai kembali perekonomian lokal, pelatihan kerja dan pengembangan koperasi usaha kecil, dapat semuanya dilihat secara sendiri sebagai intervensi psikososial, namun mereka yang menderita kecacatan akan membutuhkan bantuan kesehatan mental tegas untuk menyertai bantuan mata pencaharian yang mereka terima.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Pendahuluan
Antara bulan Desember 2005 dan Nopember 2006, sebuah tim peneliti dari International Organization for Migration (IOM) dan Department of Social Medicine, Harvard Medical School, melakukan sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial (Psychosocial Needs Assessment - PNA) di beberapa kecamatan di 14 kabupaten di Aceh. Penelitian tersebut dirancang untuk mendukung kerja IOM dalam menjawab kebutuhan psikososial dan kesehatan mental para individu, keluarga, dan masyarakat yang sangat terpengaruh kekerasan selama bertahun-tahun di Aceh. Lebih khususnya, penelitian tersebut dirancang untuk menghasilkan data empiris berkualitas tinggi guna menentukan tingkat peristiwa traumatik dan masalah kesehatan mental di masyarakat konflik tinggi di Aceh dan untuk menilai prioritas dalam rangka pengembangan layanan kesehatan mental dan intervensi psikososial. Penelitian PNA tersebut dilaksanakan dalam dua tahap. PNA1 (Psychosocial Needs Assessment Part 1) dilaksanakan di Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie, dengan didanai oleh Departemen Urusan dan Perdagangan Luar Negeri Kanada, IOM dan Harvard Medical School.2 PNA2 (Psychosocial Needs Assessment Part 2) merupakan perluasan proyek PNA1 ke kecamatan-kecamatan di 11 kabupaten lainnya di Aceh. Wawancara dilakukan di 10 kabupaten pada bulan Juli 2006, dengan pendanaan dari Bank Dunia, lembaga multi-donor Fasilitas Pendukung
Desentralisasi (DSF), IOM dan Harvard Medical School, dan di Aceh Besar di bulan Nopember 2006, dengan didanai oleh IOM dan Harvard Medical School. Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk memberikan analisa atas temuan-temuan dari data PNA2; data-data tersebut dibandingkan di dalam laporan ini terhadap data yang sebelumnya telah dianalisa dan diterbitkan dalam laporan PNA1.3 Sasaran dasar dari proyek tersebut secara keseluruhan adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental di masyarakat-masyarakat yang terkena dampak konflik selama bertahun-tahun antara angkatan bersenjata Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), setelah dilakukannya penghentian kekerasan sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman tanggal 15 Agustus 2005, dan dalam rangka menentukan prioritas untuk mengembangkan program guna menjawab kebutuhan-kebutuhan tersebut. Laporan ini berfokus pada pemetaan tingkat pengalaman traumatik di masa lalu, gejala-gejala psikologis, dan kebutuhan kesehatan mental di daerah-daerah spesifik di Aceh, yang masing-masing memiliki sejarah kekerasan yang berbeda-beda. Laporan ini secara sengaja menghindari mengidentifikasi kelompok atau individu-individu yang memainkan peran kunci dalam kekerasan yang terjadi terhadap masyarakat-masyarakat tersebut.
10. Pengembangan program bagi daerah pedesaan Aceh perlu meliputi sebuah upaya penyadaran sistematis akan dampak jangka panjang pengungsian di berbagai komunitas konflik yang terkait. Hampir setengah dari sampel melaporkan mengalami pengungsian akibat konflik. Di banyak desa, persentasenya adalah antara 90% dan 100%. Para warga yang tinggal di daerahdaerah konflik tinggi tersebut harus disadari sebagai pengungsi internal, yang memiliki segala kerentanan dan kebutuhan yang menyertai pengalaman pengungsian mereka yang baru saja terjadi. Program-program penanganan pengungsian, khususnya rekonstruksi perumahan, sekolah, jalanan dan infrastruktur lainnya yang rusak dan hancur, dan pemulihan mata pencaharian yang hilang, merupakan prasyarat segala bentuk pemulihan psikososial yang luas di masyarakat-masyarakat tersebut. 11. Terdapat simpanan ingatan yang berkelanjutan mengenai penyiksaan, kekerasan, dan pengungsian paksa yang dijalankan terhadap para komunitas dan individu di Aceh. Rasa kehilangan dan rasa ketidakadilan yang tinggi merupakan peninggalan dari kekerasan. Pertimbangan yang seksama harus diberikan terhadap upaya-upaya spesifik untuk menanggulangi kenangan- kenangan tersebut sebagai bagian dari proses perdamaian yang berkelanjutan dalam konteks pembangunan kembali Aceh. Upaya-upaya tersebut pada gilirannya akan memiliki konsekuensi terhadap sasaran yang lebih besar, yakni penyembuhan trauma bagi individu dan komunitas. Laporan ini mendokumentasikan tingkat kekerasan yang luar biasa tinggi terhadap penduduk sipil di Aceh. Sebagai sebuah penelitian kebutuhan psikososial, laporan in berfokus pada masalah-masalah klinis dan kesehatan mental yang spesifik yang terkait dengan kekerasan ini. Namun, luasnya kekerasan yang terdokumentasi dalam laporan ini memiliki implikasi sosial dan politik yang lebih luas, yang memiliki peran sangat penting dalam tujuan yang lebih besar dalam menyembuhkan trauma dan pada akhirnya menanggulangi sisa-sisa yang menyakitkan dari kekerasan di komunitaskomunitas yang turut menyumbangkan dalam penyusunan laporan ini.
2
Department of Social Medicine, Harvard Medical School, telah mengadakan sebuah kesepakatan kerjasama dengan IOM dalam rangka memberikan konsultasi teknis di bidang kesehatan mental serta proyek-proyek kesehatan masyarakat dan lingkungan yang bertujuan mendukung kegiatan pemulihan dari tsunami dan konflik di Aceh, dan untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan dan kesehatan mental di NAD. Jesse Grayman merupakan ilmuwan IOM yang bertanggung jawab atas proyek PNA. Profesor Byron Good dan Profesor Mary-Jo DelVecchio Good, Department of Social Medicine, Harvard Medical School, adalah ilmuwan senior di dalam proyek tersebut, dan Matthew Lakoma merupakan ahli biostatistik dan analis data.
3
Good, B., M.-J. D. Good, J. Grayman, and M. Lakoma. 2006. Penelitian Psikososial Masyarakat dari Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara. International Organization for Migration.
10
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
11
Pola dan Metodologi Penelitian
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki sembilan tujuan: 1. Untuk memahami bagaimana masyarakat-masyarakat yang spesifik dan daerah-daerah tertentu di Aceh telah terkena dampak konflik. 2. Untuk menentukan tingkat peristiwa traumatik spesifik yang diderita oleh penduduk umum dan oleh kelompok sosial spesifik di dalam masing-masing daerah tersebut. 3. Untuk menentukan tingkat dari jenis-jenis tertentu masalah sosial dan psikologis yang diakibatkan oleh konflik di dalam masing-masing daerah tersebut. 4. Untuk mengamati dan mendokumentasikan cara bagaimana para anggota masyarakat berbicara mengenai konflik dan mengenai proses demiliterisasi dan reintegrasi. 5. Untuk melakukan pemetaan atas dan membandingkan tingkat gejala psikologis dan masalah kesehatan mental di daerah- daerah tertentu di Aceh, sebagai upaya untuk menentukan prioritas atas pengembangan intervensi pasca-konflik. 6. Untuk menentukan prioritas para anggota dan tokoh masyarakat mengenai masalah psikososial dan kesehatan mental mana yang dianggap sebagai paling membutuhkan tindakan segera. 7. Untuk menentukan tingkat pengungsian yang dialami oleh para masyarakat di dalam daerah-daerah konflik tinggi tersebut. 8. Untuk menentukan kelompok-kelompok mana yang memiliki resiko khusus menderita pengalaman yang traumatik, gejala psikologis, dan masalah kesehatan mental, dan untuk menilai kebutuhan penyediaan layanan kesehatan mental berbasis masyarakat. 9. Untuk mengidentifikasi sumber daya di masyarakat yang mungkin dapat diajak bekerjasama dalam mengembangkan intervensi psikososial tertentu.
Pola Penelitian Penelitian PNA 2 ini merupakan survei kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di desa-desa di kecamatan berkonflik tinggi yang tersebar di 11 kabupaten di Aceh. Beberapa desa dipilih menggunakan prosedur bertingkat secara acak, dan para individu dipilih dengan mengunakan prosedur pengacakan di dalam desa-desa yang telah dipilih. Survei ini mempergunakan instrumen standar guna mendapatkan pengalaman responden atas kekerasan dan tingkat gejala psikologis yang ada saat ini, disamping pertanyaanpertanyaan terbuka yang dirancang untuk memperoleh informasi mengenai sejarah komunitas serta prioritas individual dan masyarakat untuk mengembangkan layanan. Di sini kami menjelaskan struktur wawancara,
pengambilan sampel masyarakat dan responden, tim riset, serta daerahdaerah yang diikutsertakan di dalam penelitian. Wawancara pada PNA 2 menggunakan instrumen-instrumen yang sama yang digunakan dalam PNA 1, dengan beberapa pertanyaan tambahan untuk membahas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari PNA 1. Prosedur penetapan sample (sampling) pada PNA 2 adalah sama dengan yang ada pada PNA 1 sejauh yang dimungkinkan, yang memungkinkan pembandingan antara daerah-daerah konflik tinggi di Aceh.
• Struktur Wawancara Penelitian ini meliputi komponen: wawancara informan kunci, dan survei terhadap orang-orang yang dipilih secara acak
dua dengan formal dewasa berusia
17 tahun keatas. Wawancara kualitatif terhadap informan kunci dirancang untuk menjelajahi konteks historis dari konflik di daerah-daerah dan masyarakat spesifik, untuk membahas bagaimana konflik telah berdampak pada komunitas selama masa ini dan apakah beberapa kelompok penduduk lebih rentan dibanding lainnya. Para tokoh masyarakat diminta untuk menilai prioritas komunitas mereka terhadap layanan psikososial dan kesehatan mental, dan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai cara terbaik untuk menangani dampak dari konflik. Wawancara survei formal dirancang untuk mengukur tingkat pengalaman
masa lalu atas peristiwa traumatik yang diasosiasikan dengan konflik yang bersangkutan, untuk menilai pengalaman peristiwa penyebab stres saat ini, dan untuk mengidentifikasi tingkat tekanan psikologis saat ini yang diasosiasikan dengan pengalamanpengalaman tersebut. Survei ini mengkombinasikan pertanyaan terbuka, yang dirancang khusus untuk warga Aceh yang telah mengalami konflik selama beberapa dasawarsa serta sebuah tsunami, dan berbagai skala yang tervalidasi yang telah digunakan secara luas yang memungkinkan dilakukannya pembandingan dengan penelitianpenelitian sebelumnya terhadap kebutuhan psikososial dari masyarakat konflik dan pasca-konflik di bagian dunia lainnya. Wawancara dimulai dengan pertanyaan demografis dasar diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Para responden ditanya apakah mereka terkena dampak tsunami, apakah konflik telah mempengaruhi hidup mereka atau hidup keluarga mereka, dan apakah ada anggota keluarga, termasuk responden sendiri, yang merupakan korban konflik. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut diikuti oleh pengukuran kuantitatif yang diperoleh dari skala Peristiwa Trauma Harvard yang telah tervalidasi, yang diadaptasi secara khusus untuk mewakili bentuk peristiwa traumatik yang sering dijumpai di masyarakat yang sedang disurvei. Skala-skala tersebut meliputi checklist ya/ tidak atas peristiwa traumatik yang dialami selama konflik dan sebuah checklist ya/ tidak atas pengalaman stres di masa kini dan peristiwa-peristiwa traumatik selama masa pasca-konflik.
Tingkat tekanan emosional dan psikologis diteliti dengan menggunakan seperangkat pertanyaan penilaian diri. Pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut diikuti oleh Hopkins Symptom Checklist for Depression and Anxiety versi 25 pertanyaan, yakni sebuah skala yang secara luas digunakan dalam penelitian tekanan emosional di masyarakat yang mengalami bencana dan trauma, serta Harvard Trauma Questionnaire (HTQ) yang berisikan 42 pertanyaan. HTQ merupakan sebuah pengukuran secara luas atas gejala-gejala yang berkaitan dengan trauma, meliputi 16 pertanyaan yang dapat digunakan untuk menilai Gejala Stres Pasca-Trauma (Post Traumatic Stress Disorder - PTSD). Disamping itu, pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh wacana populer mengenai pengalaman pasca-tsunami dan pasca-konflik telah dimasukkan ke dalam pengukuran-pengukuran kuantitatif guna mencari pengalamanpengalaman mimpi buruk, hantu, arwah, dan suara-suara dari orangorang yang telah meninggal. Sebuah pengukuran yang terdiri dari empat pertanyaan telah dimasukkan ke dalam Harvard Trauma Questionnaire guna meneliti adanya dan tingkat trauma di kepala yang kemungkinan telah mengakibatkan cidera otak; kuesioner tersebut menanyakan secara spesifik mengenai pemukulan di kepala, pencekikan, penenggelaman, dan cidera fisik lainnya terhadap kepala. Survei tersebut diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup dan terbuka mengenai persepsi responden terhadap layanan kesehatan mental
masyarakat mana yang paling dibutuhkan, pendapat mereka mengenai kelompok mana yang paling menderita trauma akibat konflik atau yang paling beresiko mengidap kesehatan mental, penilaian terhadap pihak-pihak yang menyediakan perawatan dan terhadap siapa para anggota masyarakat dapat berpaling untuk menanggulangi pengalaman buruk yang tersisa dari konflik, sikap terhadap layanan kesehatan publik, dan komentar serta saran mengenai proses perdamaian pascakonflik dan pembangunan kembali masyarakat. Survei ini dirancang untuk memfasilitasi pembandingan dengan studi-studi lain terhadap penduduk yang terkena dampak konflik, dengan tujuan mencari pelajaran yang dapat diperoleh menyangkut intervensi kesehatan mental yang bermanfaat dari kasus-kasus terdahulu. Sebuah bagian yang cukup besar dari survei ini juga dialokasikan untuk pertanyaan-pertanyaan terbuka, yang memungkinkan keunikan pengalaman warga Aceh untuk menentukan penafsiran dan makna analisa komparatif dan pelajaran yang diperoleh. Pelajaran yang diperoleh dari riset PNA1 di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara memungkinkan dilakukannya beberapa revisi terhadap kuesioner sebelum riset PNA2 dilakukan. Dua bagian ditambahkan ke kuesioner formal. Yang pertama adalah sebuah skala fungsi sosial yang diadaptasi untuk daerah pedesaan Aceh, yang diharapkan membantu melihat hingga sejauh mana gejala psikologis diikuti oleh disfungsi psikososial di dalam masyarakat. Yang kedua difokuskan
12
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
seluruhnya terhadap pengungsian yang berkaitan dengan konflik yang dialami masyarakat dan para individu, sebuah permasalahan yang muncul saat dilakukannya riset PNA1, dan yang merupakan masalah penting untuk misi IOM secara luas. Survey ini dirancang sebagai sebuah penelitian kebutuhan kesehatan mental. Kuesioner tidak berfokus pada penentuan siapa yang secara utama bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat dan individu di Aceh. Hasil dari studi ini dengan demikian tidak memenuhi kriteria spesifik yang umumnya dipersyaratkan dalam penyelidikan HAM. Melainkan, riset ini berupaya untuk mengaitkan pengalaman traumatik di masa lalu dengan kebutuhan kesehatan di masa sekarang sebagai cara untuk memberi masukan terhadap pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial di masyarakat-masyarakat yang terkena dampak konflik di seluruh Aceh.
• Fase-fase Kerja Lapangan dan Cakupan Geografis Perencanaan dan pengimplementasian riset PNA menghabiskan seluruh tahun 2006. Riset Fase Pertama (PNA1) berfokus pada tiga kabupaten di pesisir utara Aceh - Pidie, Bireuen dan Aceh Utara - karena mereka dikenali sebagai pusat sejarah perkembangan Gerakan Aceh Merdeka dan merupakan lokasi beberapa dari konflik yang paling panjang dan intensif. Perencanaan untuk Fase Pertama dimulai di bulan Desember 2006, dipimpin oleh timtim dari Harvard Medical School dan IOM, dan kegiatan lapangan dilakukan selama bulan Pebruari 2006. Pusat Pengembangan Studi Kedaerah Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh merupakan mitra pelaksana survei di lapangan. Riset Fase Kedua – PNA2 – dirancang untuk memperluas survei ke semua kabupaten lainnya yang mengalami tingkat konflik yang signifikan dan dimana riset lapangan dapat dilakukan. Wawancara pokok di
lapangan selama PNA2 dilaksanakan di bulan Juli 2006 di sepuluh kabupaten di Aceh (lihat Penjelasan Sampel Berdasarkan Lokasi dan Tanggal, Bagan 1). Di bulan Nopember 2006, wawancara dilakukan di Aceh Besar, guna meningkatkan cakupan geografis riset. Dengan demikian, terkecuali kabupaten yang berupa pulau dan daerah perkotaan propinsi Aceh, kabupaten di daratan utama yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian PNA adalah Aceh Jaya (yang masih memberi tantangan transportasi akibat kerusakan tsunami) dan Aceh Singkil (yang bukan merupakan daerah konflik berintensitas tinggi). Analisa dan pelaporan data untuk ketiga fase penelitian kebutuhan psikososial dilakukan dan didanai oleh Harvard Medical School dan oleh kontrak IOM dengan Harvard Medical School.
• Tim Peneliti dan Lapangan Keseluruhan PNA dilaksanakan sebagai proyek kolaborasi antara IOM dan anggota dari Department of Social Medicine, Harvard Medical School. Disamping itu, PNA1 menampilkan kerjasama signifikan dengan dosen, staf, dan peneliti lapangan dari Pusat Pengembangan Studi Regional di Universitas Syiah Kuala, dibawah pengawasan sosiolog Profesor Bahrein Sugihen. IOM dan para stafnya mengkoordinasikan studi tersebut dan menyediakan seorang direktur proyek. Tim Harvard Medical School bertanggung jawab atas keseluruhan rancangan ilmiah dari proyek tersebut dan atas analisa data kuantitatif. Tim Harvard dan IOM berbagi tanggung jawab atas penulisan laporan-laporan proyek. Izin untuk melaksanakan penelitian ilmu sosial dan kesehatan umum di pedesaan Aceh telah diperoleh dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Gubernur Aceh. Fase-fase selanjutnya didukung oleh berbagai kesepakatan MoU antara IOM dan Departemen Kesehatan, dan juga antara IOM dengan Departemen Sosial untuk
kegiatan pasca-konflik IOM di Aceh. Proyek ini telah ditelaah dan disetujui oleh Dewan Pengkajian Institusional dari Universitas Harvard. Tim Harvard dan koordinator lapangan IOM mengembangkan rancangan studi dan survei secara umum di bulan Desember 2005. Kuesioner telah diterjemahkan, dan kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa semula, kemudian diuji di Banda Aceh di bulan Januari 2006. Pelatihan staf lapangan dilakukan sebelum tiap fase kegiatan lapangan, memberikan kesempatan untuk dilakukan uji coba dan revisi kuesioner lebih lanjut. Revisi atas kuesioner untuk penelitian PNA2 meliputi penambahan skala fungsi sosial dan pertanyaanpertanyaan mengenai pengungsian dan migrasi internal, disamping perubahan-perubahan kecil yang ditujukan untuk memperjelas beberapa pertanyaan. Strategi pemilihan desa juga dirancang untuk mengakomodir cakupan yang lebih luas pada studi fase kedua dan dijelaskan di bawah. Penelitian lapangan untuk PNA1 dilakukan oleh sebuah time peneliti di bawah arahan Pusat Pengembangan Studi Kedaerahan di Universitas Syiah Kuala, dengan pengawasan dari koordinator proyek IOM. Penelitian lapangan untuk PNA2 dilakukan oleh sebuah tim yang direkrut secara langsung oleh IOM dan diawasi oleh koordinator proyek IOM. Baik pada PNA1 maupun PNA2, tiaptiap desa dikunjungi oleh satu tim, yang selama satu hari penuh melakukan wawancara dengan informan kunci serta wawancara survei, sebagian besar menghasilkan 18 wawancara dengan para penduduk desa yang dipilih secara acak. Masing-masing tim terdiri dari enam pewawancara survei dan seorang ketua tim yang bertanggung jawab untuk mengatur survei, menjalin hubungan dengan para tokoh pemerintah dan masyarakat guna memastikan kelancaran proses masuk ke desa, serta melaksanakan wawancara dengan informan kunci. Wawancara tambahan dengan informan kunci
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
dilakukan oleh para tim dari Harvard dan Syiah Kuala, koordinator IOM serta para asisten teknis dari IOM. Koordinator IOM mewawancarai para dokter, juru rawat, dan/ atau bidan di puskesmas yang paling dekat dengan lokasi dimana tim peneliti tersebut sedang berkunjung dan juga para ahli obat tradisional. Tim-tim dari Harvard dan Syiah Kuala melakukan diskusi kelompok di beberapa masyarakat, khususnya diantara para penduduk wanita, dan bersama-sama koordinator IOM melakukan diskusi kelompok terfokus dengan para anggota GAM, termasuk komandan, mantan kombatan, para mantan narapidana, dan penduduk sipil. Penelitian PNA2 meliputi sebuah studi kasus kualitatif tambahan terhadap sejarah konflik di Aceh Selatan dan konsekuensi psikososial dan ekonomi jangka lama akibat kekerasan.
• Pemilihan Desa – Rancangan dan Implikasi Strategi Sampling PNA Sejumlah 75 desa di 11 kabupaten telah disurvei selama penelitian PNA 2.
Tigapuluh desa disurvei selama PNA1, 65 desa selama fase utama PNA2, dan 10 lagi selama survei di Aceh Besar. Prosedur sampling dirancang untuk menyeleksi sebuah sampel representatif atas desa-desa di daerahdaerah berkonflik tinggi di masingmasing kabupaten yang disurvei, bukan sebuah sampel acak atas semua desa di masing-masing kabupaten. Metodologi pemilihan di keempat kabupaten yang disurvei selama PNA2 sedikit berbeda dari prosedur penyeleksian yang digunakan di kesepuluh kabupaten lainnya, sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini. Kriteria pemilihan bergantung pada pengidentifikasian kecamatan dan desa berkonflik tinggi di masing- masing kabupaten. Baik PNA1 maupun PNA2 mendasarkan sampling kecamatan dan desa “berkonflik tinggi” pada metodologi yang telah sebelumnya digunakan oleh IOM untuk menentukan desa penerima pada Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik yang didanai oleh Komisi Eropa (Makmu Gampong Kareuna
Damé – MGKD), yang mempergunakan staf Program Pembangunan Kecamatan (PPK) milik Bank Dunia sebagai fasilitator. Program MGKD menetapkan kecamatan berkonflik tinggi berdasarkan sebuah penelitian stres konflik yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh Bank Dunia, dengan didukung oleh laporan dari para pejabat pemerintahan tingkat kecamatan, LSM lokal, tokoh GAM setempat, dan staf IOM yang bekerja untuk program MGKD di daerah tersebut. Setelah mengidentifikasi kecamatan berkonflik tinggi dengan cara demikian, Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik kemudian mengidentifikasi antara lima dan sepuluh desa berkonflik tinggi di kecamatan-kecamatan berkonflik tinggi tersebut. Untuk ketiga kabupaten di PNA1 dan ketujuh kabupaten di PNA2 yang memiliki program MGKD, 50% dari desa-desa yang dipilih untuk survei diambil dari daftar pendek (short list) desa berkonflik tinggi yang turut serta dalam program. 50% desa
Bagan 1: Implementasi PNA1 and PNA2 Fase
Kabupaten
Waktu
13
Implementasi Kelompok
Donor
Analisa & Laporan
PNA1
Aceh Utara Bireuen Pidie
Pebruari 2006
IOM & Syiah Kuala University
Canada & HMSIOM Contract
HMS & IOM
PNA2 (A)
Aceh Barat Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Tamiang Aceh Tenggara Aceh Tengah Aceh Timur Bener Meriah Gayo Lues Nagan Raya
Juli 2006
IOM
World Bank, the Decentralization Support Facility (DSF), HMS & IOM
HMS & IOM
PNA2 (B)
Aceh Besar
Nopember 2006
IOM
HMS-IOM Contract
HMS & IOM
Kabupaten Utama Tidak Terjangkau
Aceh Jaya Aceh Singkil
Municipalities dan Kabupaten Kepulauan Tidak Terjangkau
Banda Aceh Langsa Lhokseumawe Sabang Simeuleu
14
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
lainnya di dalam sampel tersebut dipilih secara acak dari sisa desa yang ada di kecamatan berkonflik tinggi yang sama yang tidak menerima bantuan dibawah program tersebut. (Dengan demikian analisa pengalaman trauma oleh responden di desa MGKD dan non-MGKD memberikan kesempatan untuk mengevaluasi validitas penetapan yang dilakukan oleh Bank Dunia dan IOM terhadap desa-desa tersebut sebagai “berkonflik tinggi.”) Namun demikian, empat kabupaten pada penelitian PNA2 - Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Besar – bukan merupakan subyek dari program MGKD, sehingga sebuah metodologi pemilihan desa lain harus digunakan. Informasi kualitatif dari staf IOM yang bekerja di kabupatenkabupaten tersebut telah dikumpulkan dan dihasilkan sebuah short list dari kecamatan berkonflik tinggi di keempat kabupaten tersebut. Desa-desa tersebut kemudian dipilih secara acak dari para kecamatan tersebut untuk dimasukkan ke dalam survei PNA2. Perbedaan dalam prosedur sampling ini mengakibatkan kemungkinan sedikit adanya kecenderungan sampling (sampling bias) ke arah jumlah desa berkonflik yang lebih sedikit di keempat kabupaten yang dimaksud. Metodologi penyeleksian desa dan pelaksanaan survei secara bertahap membawa beberapa implikasi, yang perlu difahami dengan jelas oleh para pembaca laporan ini. Pertama, temuantemuan dari penelitian PNA tidak dapat diterapkan secara umum terhadap keseluruhan penduduk kabupaten di dalam sampel kami atau terhadap Aceh secara keseluruhan. Temuantemuan tersebut mewakili kecamatan berkonflik tinggi dari keempat belas kabupaten yang dimaksud. Survei ini secara sengaja dirancang untuk menilai kebutuhan psikososial para anggota masyarakat berkonflik tinggi, dan bukan semua masyarakat di Aceh. Kedua, pelaksanaan survei secara bertahap memiliki arti bahwa segala perbedaan yang ada antara kabupaten pada PNA1 dan PNA2
dapat tercermin tidak hanya pada perbedaan pada kabupaten, namun juga perbedaan dari segi waktu. Walau tidak terlalu terlihat bahwa akan ada suatu pengaruh tinggi mewawancarai orang di bulan Pebruari dibanding di bulan Juli 2006, perlu diingat bahwa bulan Pebruari 2006 hanyalah 6 bulan setelah penandatanganan MoU (15 Agustus 2005) dimana banyak orang mungkin memiliki keraguan bahwa proses perdamaian akan bertahan. Proses perdamaian berlanjut secara aktif selama masa tersebut, mengakibatkan suatu tingkat keamanan yang cukup berbeda di banyak daerah pada bulan Juli 2006. Temuan-temuan pada penelitian ini dengan demikian membutuhkan penafsiran yang cukup bernuansa. Ketiga, tidak adanya program MGKD di keempat distrik yang disebutkan di atas, termasuk tiga di Daerah Tinggi Tengah Aceh, membawa kemungkinan kecenderungan terhadap jumlah desa berkonflik yang lebih sedikit, sebagaimana yang disinggung di atas. Keempat, beberapa kabupaten mengalami kekerasan yang sangat meluas, sedangkan lainnya mengalami kekerasan yang intensif namun hanya pada “titik-titik panas” yang sangat spesifik. Pada situasi yang kedua tersebut, prosedur sampling berdasarkan kecamatan mungkin tidak akan mempertimbangkan lokalisasi kekerasan seperti itu, sehingga menyebabkan kesulitan dalam penggeneralisasian temuan-temuan riset terhadap kabupaten-kabupaten tersebut. Dan terakhir, untuk dapat mengerti data dari keempatbelas kabupaten, telah dianggap perlu untuk mengelompokkan kabupaten ke dalam daerah-daerah, sebagaimana yang diuraikan di bawah nanti. Pengelompokan tersebut memungkinkan dilakukannya pembandingan secara keseluruhan dan penetapan prioritas untuk layanan kesehatan mental, namun hal tersebut kemungkinan tidak akan menggarisbawahi adanya daerah yang lebih kecil yang memiliki kebutuhan tinggi untuk
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
persetujuan diperoleh, para ketua tim mengadakan percakapan, biasanya di dalam meunasah – pusat kegiatan warga yang umumnya digunakan oleh anggota masyarakat pria, namun juga wanita ketika menerima tim peneliti dari luar. Catatan lapangan untuk tiap wawancara dibuat setiap hari oleh para ketua tim. Topik yang dibicarakan meliputi sejarah konflik, pemahaman penduduk setempat mengenai penyakit jiwa, cerita penyakit jiwa di dalam masyarakat mereka yang berkaitan dengan konflik, sumber daya serta prioritas lokal dalam penanganan penyakit jiwa, dan pendapat mengenai proses perdamaian.
layanan yang terkait dengan trauma.
• Pemilihan Responden Setelah tiba di desa yang dipilih, tim-tim pertama-tama melapor ke kepala desa atau sekretaris desa guna menjelaskan alasan kunjungan penelitian mereka. Ketua tim bekerjasama dengan para tokoh masyarakat tersebut untuk mendapatkan sebuah sampel acak atas 18 rumah tangga di desa yang dikunjungi. Sebagian besar desa memiliki sebuah daftar rumah tangga, dan oleh karenanya pemilihan secara acak umumnya merupakan proses yang mudah. Dengan demikian masingmasing pelaksana survei rata-rata melakukan tiga wawancara di sebuah desa. Setelah tiba di suatu rumah, pelaksana survei memilih responden secara acak di antara penduduk yang berusia 17 tahun atau lebih tua. Tidak ada kriteria stratifikasi di tingkat desa.
• Mekanisme Wawancara Jika responden yang dipilih menerima permintaan untuk berpartisipasi pada survei, sebuah lembar persetujuan dengan penjelasan mengenai proyek akan dibaca bersama-sama dengan responden, mencakup prosedur, resiko dan manfaat, pertanyaan atau kekhawatiran, kerahasiaan, dan sifat sukarela dari keiikutsertaan, dengan menggunakan bahasa Aceh atau dialek lainnya jika dibutuhkan. Lembar tersebut kemudian ditandatangani dan diberi tanggal hanya oleh pewawancara dan sebuah salinan diberikan kepada subyek wawancara termasuk sebuah daftar organisasi yang dapat membantu menangani permasalahan psikososial. Masing-masing kuesioner diberi kode angka sehingga tidak memiliki identifikasi pribadi guna menjamin kerahasiaan identitas semua responden. Para peneliti melaksanakan protokol persetujuan standar yang telah disetujui oleh Dewan Pengkajian Institusional Untuk Perlindungan Subyek Manusia dari Harvard University Faculty of Arts and Sciences.
• Pemasukan dan Analisa Data Setelah selesai dilakukannya tiap fase penelitian, data dari instrumen survei dimasukkan ke dalam sebuah database di Banda Aceh dan kemudian ditransfer ke tim di Harvard Medical School untuk pembersihan, pengembangan variabel, analisa deskriptif awal, dan analisa statistik yang lebih kompleks (dengan menggunakan SAS). Semua analisa data kuantitatif telah dilakukan oleh tim peneliti Harvard, sebagai bagian dari kolaborasi Harvard - IOM. Analisa-analisa dirancang secara khusus untuk mengidentifikasi tingkat pengalaman traumatik, tekanan (distress) psikologis dan gangguan psikiatri, faktor-faktor resiko yang terkait dengan gangguangangguan tersebut, dan prioritas di dalam masyarakat untuk intervensi kesehatan mental dan psikososial. Jawaban-jawaban yang bersifat open-ended dan kualitatif terhadap pertanyaan yang termuat pada formulir wawancara juga dimasukkan ke dalam database, disortir berdasarkan kabupaten dan gender, diberi kode untuk tema-tema yang berkembang,
Pelaporan Berdasarkan Enam Daerah Geografis Analisa data survei dilaporkan berdasarkan jenis kelamin, pengelompokan usia, dan berdasarkan perbandingan antara PNA1 dengan PNA2. Namun, dalam rangka mengatur data yang dikumpulkan dari 105 desa di 14 kabupaten di Aceh baik untuk PNA1 maupun PNA2, kami telah mengelompokkan kabupaten ke dalam enam daerah geografis berdasarkan sejarah konflik, geografi, kesukaan, dan perbedaan metodologis dari segi waktu dan pemilihan desa sebagaimana dijelaskan di atas. Disini kami menjelaskan keenam daerah geografis yang berfungsi sebagai dasar untuk sejumlah analisa komparatif di dalam penelitian ini.
• Pesisir Utara Akar historis dan ideologis dari konflik di Aceh dapat ditemui di kabupatenkabupaten sepanjang Pesisir Utara – Pidie, Bireuen, Aceh Utara, yakni kabupaten-kabupaten yang disertakan di dalam Fase Pertama penelitian psikososial (PNA1). Tiro, sebuah kecamatan di Pidie, memiliki makna historis yang penting, karena dari daerah inilah pemimpin GAM, Hasan Di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976. Para Utara
kabupaten di Pesisir juga memiliki kepadatan
penduduk yang paling tinggi dan merupakan yang paling berkembang, dengan jalan bebas hambatan merentang dari Banda Aceh sepanjang pesisir pantai melalui kabupatenkabupaten tersebut hingga Medan di propinsi Sumatera Utara, poros ekonomi dan kota terbesar di Sumatera. Lhokseumawe, di Aceh Utara, yang merupakan lokasi fasilitas kilang minyak dan gas alam yang sangat menguntungkan milik ExxonMobil, dan merupakan sumber pendapatan bagi Jakarta selama 1980an dan 1990-an, menjadi sebuah simbol kesenjangan pusat- daerah antara Jakarta dan Aceh dan pemicu pemberontakan.4 Setelah puluhan serdadu GAM dilatih di Libya dari 1986 hingga 1989, organisasi tersebut mengkonsolidasikan struktur komandonya di kabupaten-kabupaten tersebut. Dimulai di tahun 1989, pemerintah Indonesia menyatakan Aceh sebagai sebuah Daerah Operasi Militer (DOM) hingga pengunduran diri Presiden Soeharto di tahun 1998, upaya penumpasan pemberontakan militer Indonesia – di mana ribuan warga sipil terbunuh – terkonsentrasi di daerah Pesisir Utara tersebut.5 6
• Pesisir Timur Bertolak ke arah tenggara dari pesisir utara, kabupaten-kabupaten yang berada di Pesisir Timur, yakni Aceh Timur dan Aceh Tamiang, yang dilewati menuju Medan memiliki ciri historis dan geografis yang sama seperti kabupaten yang ada di pesisir utara dalam sampel kami, namun kepadatan penduduk berkurang hingga kurang dari sepertiga daerah di bagian utara. Aceh Timur khususnya menempati suatu daerah luas di pantai Sumatera dan mencakup hingga jauh ke daerah pegunungan dan bertemu dengan perbatasan
Kell, T. 1995. The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992. (Publication no. 74). Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Cornell University. 5 Ibid. 6 Schulze, K. E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studies, 2. Washington, DC: East-West Center Washington. 4
Wawancara yang dilakukan oleh para ketua tim terhadap informan-informan kunci lebih bersifat informal. Setelah
dan digunakan untuk analisa yang lebih memperhitungkan faktor budaya. Para ketua tim membuat catatan-catatan ekstensif mengenai tiap wawancara, disamping juga rangkuman analisa atas tiap desa. Data-data tersebut juga penting untuk analisa-analisa yang digariskan dalam halaman-halaman berikutnya di dalam laporan ini.
15
16
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues di pegunungan. Berjalan melalui kecamatan pedesaan di Aceh Timur antara kota Lhokseumawe dan Langsa, kita akan melalui daerah konflik yang terkenal, Idi and Peureulak.
Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues menyebut diri sebagai Gayo, kelompok etnis terbesar di daerah tinggi tersebut yang mendukung GAM maupun pasukan pemerintah selama konflik.
Pedesaan yang terletak dari jalan utama, baik yang menuju desa nelayan atau ke arah pegunungan, dan perkebunan kelapa sawit yang dahulunya dihuni oleh transmigran dari Jawa, masih tampak seperti daerah liar yang terisolasi, yang sebagian dikarenakan Aceh Timur adalah sangat jauh dari jangkauan pemerintah propinsi di Banda Aceh. Selama konflik, berbagai desa yang berisi transmigran Jawa dikosongkan dan perekonomian kecamatan lumpuh akibat eksodus masal tersebut.
Banyak responden dari Daerah Tinggi Tengah mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa, sebuah kelompok demografi transmigran penting yang disebut oleh GAM sebagai bukti ekspansi kolonial Indonesia ke Aceh dan suatu pembenaran untuk merekrut keanggotaan di daerah perbukitan selama ekspansi GAM yang cepat setelah masa DOM. Para kelompok transmigran yang rentan dan banyak suku Gayo dengan mudah direkrut oleh pasukan militer Indonesia untuk menjadi kelompok milisi pro-Indonesia di kabupatenkabupaten tersebut yang membawa dinamika konflik yang unik dan rumit di daerah Daerah Tinggi Tengah yang berbeda secara signifikan dari daerah-daerah di pesisir. Kesemua dari ketiga kabupaten yang didefinisikan sebagai “Daerah Tinggi Tengah” dalam penelitian ini menggunakan metodologi penyeleksian desa alternatif yang diuraikan di atas disebabkan oleh tidak adanya Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik pada saat dilakukannya kegiatan di lapangan.
Hingga kini, sebagian besar transmigran tersebut belum kembali, dan banyak mantan transmigran telah memilih untuk menjual tanah mereka di Aceh Timur daripada kembali walau dengan membaiknya situasi keamanan. Kepadatan penduduk di Aceh Tamiang, sebuah kabupaten baru yang memisahkan diri dari Aceh Timur, semakin meningkat dengan semakin kita mendekat Medan di Sumatera Utara dan suku yang terlihat diantara para warga bergeser dari Aceh ke Melayu. Kegiatan konflik di Aceh Tamiang tidaklah sedikit sepanjang daerah perbatasan propinsi di sini, namun lebih kecil dibanding dengan semua kabupaten di pesisir barat. Salah satu alasan penting mengapa analisa PNA memisahkan kabupatenkabupaten di pesisir timur dengan yang ada di pesisir utara adalah karena kabupaten-kabupaten tersebut dilakukan survei sebagai bagian dari PNA2 di bulan Juli 2006, hampir enam bulan setelah penelitian PNA1 di kabupaten-kabupaten di pesisir utara.
• Daerah Tinggi Tengah Daerah Daerah Tinggi Tengah Aceh yang memisahkan pesisir utara dari pesisir barat daya memiliki keragaman suku yang paling tinggi. Sebagian besar responden dari kabupaten
• Daerah Tinggi Tenggara Mayoritas responden dari kabupaten di kabupaten Aceh Tenggara mengidentifikasi diri mereka sebagai Gayo atau Alas, kelompok minoritas suku asli yang terbesar kedua di Aceh. Aceh Tenggara mengalami tingkat kekerasan yang paling rendah dibanding kelima daerah lainnya yang dijelaskan dalam laporan ini. Banyak pengungsi konflik dari bagian Aceh lainnya menemukan daerah aman sementara di daerah ini. Sebagai contoh, kurang dari 10% responden di Aceh Tenggara menyebut dirinya atau anggota keluarganya sebagai seorang korban konflik, sedangkan di semua kabupaten lainnya setidaknya 40% menjawab ya terhadap pertanyaan
yang sama. Untuk alasan ini, Aceh Tenggara merupakan titik referensi yang berguna untuk perbandingan terhadap daerah lain yang mengalami tingkat intensitas konflik yang secara signifikan lebih tinggi.
• Pesisir Barat Daya Kesemua 461 responden dari kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan di Pesisir Barat Daya mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Aceh kecuali untuk satu responden Jawa di Aceh Barat. Semua kabupaten tersebut dijadikan sasaran rekrutmen besar-besaran oleh GAM selama dua kesepakatan gencatan senjata setelah 1999, kemungkinan besar karena adanya persamaan identifikasi etnis dengan kelompok GAM di utara dan timur. Keanggotaan meningkat di daerah ini, terkadang dibawah tekanan, terjadi terlalu cepat bagi anggota baru untuk memiliki rasa identifikasi ideologis dengan perjuangan GAM, dan seringkali menghasilkan elemen kriminal, disamping pihak oportunis lainnya, yang dengan mudah diajak untuk membelot atau menjadi informan bagi militer Indonesia atau unit intelijen kepolisian.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Aceh Besar mendapat perhatian khusus dalam penelitian PNA2 karena merupakan kabupaten terakhir yang dimasukkan ke dalam penelitian dan merupakan kabupaten satu- satunya yang diwawancarai di bulan Nopember 2006, satu tahun setelah penandatanganan kesepakatan perdamaian. Aceh Besar juga merupakan kabupaten keempat di dalam sampel yang menggunakan metodologi sampling alternatif yang dijelaskan di atas diakibatkan tidak adanya program MGKD di daerah tersebut. Disertakannya Aceh Besar menjamin terwakilinya secara geografis hampir semua daerah di seluruh daratan utama Aceh untuk tujuan penelitian ini.
Pelaporan Hasil Strategi keseluruhan untuk menganalisa hasil dari data PNA2 adalah sebagai berikut. Pertama, seperti halnya dengan laporan PNA1, fokus ada pada penilaian kebutuhan akan layanan kesehatan mental dan psikososial. Setelah sebuah gambaran umum demografis terhadap sampel, tingkat peristiwa traumatik yang dialami oleh para warga di masyarakat berkonflik tinggi dilaporkan, kemudian tingkat gejala psikologis dan gangguan jiwa, bukti yang menandakan kelompok
17
mana yang memiliki resiko khusus, pandangan lokal terhadap kebutuhan akan layanan, dan sumber daya setempat yang digunakan untuk menanggulangi sisa dari kekerasan traumatik. Kedua, di sepanjang laporan terdapat perbandingan antara hasil PNA2 terhadap PNA1. Perbedaan baik dalam tingkat peristiwa traumatik dan dalam gejala psikologis memungkinkan kami untuk bertanya mengapa hasil PNA2 secara umum menemukan tingkat gejala psikologis yang lebih rendah dibanding PNA1, dan untuk mengajukan pertanyaan mengenai implikasi kebutuhan investasi berkelanjutan di bidang layanan kesehatan mental. Ketiga, hasil dari PNA1 dan PNA2 digabungkan untuk mengajukan pertanyaan mengenai daerah-daerah mana yang perlu mendapatkan prioritas khusus dalam pengembangan layanan kesehatan mental di daerah-daerah pasca konflik di Aceh. Walau terdapat sejumlah pertanyaan ilmiah dan akademis yang dapat ditelusuri melalui analisa data data ini, fokus utama di sini tetap berada pada kebutuhan akan layanan kesehatan mental dan psikososial guna menjawab konsekuensi kesehatan mentah dari kekerasan traumatik yang dikenakan terhadap penduduk sipil Aceh.
Semua wawancara dengan informan kunci menggambarkan bagaimana jawaban pasukan Indonesia terhadap ekspansi GAM di kabupaten sepanjang pesisir barat daya sejak tahun 2000 hingga perjanjian perdamaian bersifat cepat, brutal dan spektakuler. Sejarah konflik yang baru dan kacau dari daerah ini menciptakan situasi keamanan yang mencekam dan rasa saling curiga di antara para masyarakat.7
• Aceh Besar Terakhir, kabupaten Aceh Besar memiliki orientasi geografis yang unik, karena merupakan kabupaten yang berada di ujung utara propinsi Aceh (dan seluruh pulau Sumatera), dan juga mengelilingi ibu kota propinsi Banda Aceh, yang merupakan daerah paling bersifat kosmopolitan di propinsi tersebut.
7
Para penulis menghargai kontribusi penting terhadap penelitian PNA kami dari antropolog John MacDougall selama dua minggu kerja lapangan di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan di bulan Juli 2006. Hasil kerjanya telah membantu kami memahami, secara sangat rinci, bagaimana sejarah konflik daerah ini telah menimbulkan situasi keamanan yang mencekam di seluruh daerah tersebut dan rasa saling curiga diantara para komunitas.
18
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
19
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Demografi Sampel: Membandingkan PNA1 dan PNA2
Tabel 1.1 Lokasi Daerah dan Ukuran Sampel Daripada Responden PNA1 dan PNA2 Lokasi Kabupaten Pesisir Utara (PNA1)
% PNA 1 N = 596
% PNA 2 N = 1.376
Tabel 1.2 % PNA Total N= 1.972
100
-
30.23
Aceh Utara
30
-
9.08
Bireuen
30
-
9.13
Pidie
40
-
12.02
-
13
9.13
13
9.13
18
12.48
3
1.83
-
15
-
Aceh Tengah
Karakteristik Sampel: Gender, Usia dan Etnisitas berdasarkan lokasi % Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% PNA2: Total Keseluruhan N=1.376
% PNA1: Pesisir Utara N=596
% PNA1+ PNA2: Total Keseluruhan N=1.972
Gender Pria
37
51
55
58
49
50
53
51
Wanita
63
49
45
42
51
50
47
49
17-29
38
36
37
36
33
35
25
32
20-40
27
28
33
35
36
33
31
32
10.65
41-53
16
23
17
16
18
18
24
20
23
16.57
54-109
19
13
13
14
13
14
20
16
-
7
4.61
Etnisitas
Benar Meriah
-
10
7.40
Aceh
99
80
9
8
100
64
99
75
Gayo Lues
-
6
4.56
Gayo
0
0
80
30
0
23
0
16
-
12
8.22
Alas
0
0
<1
54
0
7
0
5
-
12
8.22
Jawa
0
15
10
4
<1
6
<1
4
-
34
23.99
<1
4
<1
2
0
<1
0
<1
Aceh Barat
-
14
9.69
0
<1
<1
1
0
<1
<1
<1
Aceh Barat Daya
-
4
2.74
Aceh Selatan
-
13
9.13
Nagan Raya
-
3
1.83
Aceh Besar (PNA2) Aceh Besar Kabupaten Pesisir Timur (PNA2)
-
Aceh Tamiang Aceh Timur Kabupaten Daerah Tinggi Tengah (PNA2)
Kabupaten Daerah Tinggi Tenggara (PNA2) Aceh Tenggara Kabupaten Pesisir Barat Daya (PNA2)
Kedua survei Penelitian Kebutuhan Psikososial (PNA1 dan PNA2) meliputi 1.972 orang dewasa berusia 17 tahun ke atas dari 105 desa di 14 kabupaten di Aceh. Tabel 1.1 hingga 1.6 menampilkan karakteristik demografi dari sample PNA1 dan PNA2. Tabel 1.1 mengindikasikan pengelompokan kabupaten ke dalam daerah-daerah untuk PNA1 dan PNA2 dan ukuran sampel untuk kabupaten dan daerah. Tabel 1.2 menampilkan penguraian gender dan usia berdasarkan daerah untuk sampel PNA2. Sampel keseluruhan
dibagi secara rata antara pria dan wanita. Terdapat beberapa variasi gender berdasarkan daerah, dengan sedikit over-sampling untuk pria, kecuali di Aceh Berat dimana 63% responden adalah wanita. Dikarenakan pria dan wanita berbeda dari segi jenis peristiwa traumatik yang diderita dan tingkat gejala, banyak tabel-tabel berikut memasukkan gender sebagai variabel pembeda yang penting. Pendistribusian gender dan usia secara keseluruhan menunjukkan bahwa prosedur sampling menghasilkan sebuah sampel bagus untuk orang dewasa di masyarakat
berkonflik tinggi untuk PNA1 maupun PNA2, dan bahwa secara umum sampel-sampel tersebut umumnya dapat diperbandingkan, sebagaimana ditunjukkan lebih lanjut oleh Tabel 1.3. Sampel PNA 2 mencakup populasi yang sedikit lebih muda, dengan 68% dari responden berusia 40 ke bawah, dibanding dengan 56% dari sampel pada PNA1. Selain dari hal tersebut, kedua sampel sangat serupa dari segi status kawin dan kepemilikan rumah. Persentase yang lebih besar pada responden PNA2 telah memperoleh pendidikan sekolah
Usia
Melayu Batak
menengah dan tinggi, yang menunjukkan lebih banyaknya jumlah responden muda; namun persentase responden yang tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah (8% PNA1/ 9% PNA2) atau pendidikan tinggi (5% PNA1/ 6% PNA2) adalah sebanding. Data etnisitas yang disajikan di Tabel 1.2 merupakan identifikasi-diri oleh responden pada sampel. Sebagai contoh, responden dengan etnisitas campuran dari orang tua dari suku Aceh dan Jawa, khususnya dari orang tua yang merupakan suku Jawa generasi kedua dan ketiga di Aceh, kemungkinan akan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Aceh. Seperti itu juga, keragaman minoritas etnis dan pengguna bahasa
setempat yang beragam di Aceh tidak selalu tercermin dalam suku yang diidentifikasi-diri oleh responden. Para warga di Aceh Tamiang, misalnya, mungkin akan menganggap diri mereka sebagai orang Melayu atau Aceh, namun berbicara dengan bahasa Tamiang. Hal ini khususnya terlihat dalam data dari Aceh Selatan, dimana mayoritas responden tidak menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama. Sebagian besar responden di Aceh Selatan berbahasa Aneuk Jame, Bahasa Kluet, atau Bahasa Singkil sebagai bahasa utama mereka, namun semua orang dalam sampel mengidentifikasidiri sebagai orang Aceh, sehingga menggarisbawahi hubungan yang rumit antara bahasa dan kesukaan dari segi identitas diri di sebuah bangsa yang
sebesar dan se-beragam seperti bangsa Indonesia. Di lain sisi, di daerah tinggi Aceh kelompok-kelompok minoritas etnis lebih cenderung memandang diri mereka sebagai Gayo atau Alas. Penduduk transmigran Jawa terwakili secara besar di kabupaten kabupaten yang berada di pesisir timur dan Daerah Tinggi Tengah di dalam sampel ini. Penyebaran kelompok etnis yang tidak konsisten di Aceh merupakan salah satu faktor komplikasi yang mempengaruhi pola kekerasan selama konflik. Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu mekanisme sampling desa “berkonflik tinggi” adalah dengan mengambil data dari Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik IOM (Makmu
20
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Table 1.3. Karakteristik Responden PNA1 dan PNA2 berdasarkan jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan dan tempat tinggal PNA1: N=596
Demografik
PNA2: N=1.376
PNA1+PNA2: N=1.972
Gender Pria
53
50
51
Wanita
47
50
49
17-29
25
35
32
20-40
31
33
32
41-53
24
18
20
54-109
20
Status Perkawinan
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Usia
14
21
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 1.4 responden Berdasarkan kehadiran dari program komunitas reintegrasi pascakonflik (MGKD) berdasarkan pna dan pna2 IOM Dataset (N)
MGKD
n row percentage
% MGKD+
% MGKD-
PNA1
(N=596)
n=275 46%
n=321 54%
PNA2
(N=1.376)
n=454 33%
n=922 67%
Total
(N=1.972)
n=729 37%
n=1.243 63%
16
Tidak pernah menikah
20
12
16
21
14
17
20
13
17
Menikah
77
70
74
77
70
73
77
70
73
Bercerai atau berpisah
2
3
2
<0
3
2
1
3
2
Janda/ Duda
2
16
9
2
13
8
2
14
8
Pendidikan
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Tidak berpendidikan
6
11
8
7
12
9
7
12
9
Sekolah dasar
48
48
48
42
41
41
44
43
43
Sekolah menengah
23
21
22
25
25
25
24
24
24
Sekolah kejuruan
20
13
17
21
16
19
21
15
18
Associates Degree atau Profesional
2
5
3
2
3
3
2
3
3
Universitas
2
2
2
3
3
3
2
3
3
Tempat Tinggal
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Pria
Wanita
Total
Tinggal di rumah sendiri
84
87
85
89
90
89
87
89
88
Tinggal bersama teman atau saudara
8
3
6
5
6
6
6
5
6
Tinggal di tempat tidak terawat/ rusak
4
2
3
2
1
1
3
2
Tabel 1.5 Responden Berdasarkan ada atau tidaknya program mgkd berdasarkan daerah dan kabupaten % PNA1: N=596
Lokasi
% PNA2: N=1.376
% Total N=1.972
MGKD+
MGKD-
MGKD+
MGKD-
MGKD+
MGKD-
46 18 15 13
54 12 15 27
-
-
13.94 5.58 4.56 3.80
16.28 3.50 4.56 8.22
Aceh Besar (PNA2)
-
-
-
13
-
9.13
2
Aceh Besar
-
-
-
13
-
9.13
-
-
8
10
5.78
6.70
Pesisir Utara (PNA1) Aceh Utara Bireuen Pidie
Mengontrak
2
5
3
3
2
3
3
3
3
Pesisir Timur (PNA2)
Tinggal di barak atau tenda
2
3
3
<0
<0
<0
1
1
1
Aceh Tamiang Aceh Timur
-
-
8
3 7
5.78
1.83 4.87
Daerah Tinggi Tengah(PNA2)
-
-
-
24
-
16.57
Aceh Tengah Benar Meriah Gayo Lues
-
-
-
7 11 6
-
4.61 7.40 4.56
Daerah Tinggi Tenggara (PNA2)
-
-
7
5
4.56
3.65
Aceh Tenggara
-
-
7
5
4.56
3.65
Pesisir Barat Daya (PNA2)
-
-
18
15
12.68
10.70
Aceh Barat Aceh Barat Daya Aceh Selatan Nagan Raya
-
-
8 1 8 1
6 3 5 1
5.38 0.91 5.48 0.91
4.31 1.83 3.65 0.91
Gampong Kareuna Damé – MGKD) yang didanai oleh Komisi Eropa. Pada kabupaten-kabupaten yang memiliki program MGKD, sekitar 50% desa diambil dari yang sudah ada pada sampel program MGKD, dan sekitar 50% dipilih secara acak dari desa-desa lainnya di kecamatan kecamatan yang berkonflik tinggi. Namun demikian, empat kabupaten – Aceh besar dan kabupatenkabupaten yang ada di Daerah Tinggi Tengah – tidak memiliki program MGKD. Walau semua desa diambil dari kecamatan yang berkonflik tinggi, dan
cara-cara lain dipergunakan untuk mengidentifikasi desa berkonflik tinggi di keempat kabupaten yang tidak memiliki program MGKD, terdapat kemungkinan bahwa perbedaan dalam prosedur sampling ini dapat mengakibatkan sebuah kecenderungan (bias) ke desa-desa dengan tingkat konflik yang tidak sebegitu tinggi di Aceh Besar dan Daerah Tinggi Tengah, dan oleh karena itu memiliki dampak demikian terhadap keseluruhan sampel PNA2. Tabel
1.4
dan
1.5
menunjukkan
penyebaran responden yang tinggal di desa yang dipilih untuk program MGKD IOM. Empat-puluh enam persen responden PNA1 tinggal di desa-desa yang memiliki program MGKD, sedangkan hanya 33 persen responden PNA2 hidup di desa seperti itu. Sebuah pemeriksaan yang seksama terhadap responden yang hidup di desa-desa dengan program MGKD di tiap kabupaten menunjukkan bahwa strategi sampling tidak secara merata menghasilkan 50% responden yang hidup di desadesa yang memiliki dan tidak memiliki program MGKD.
22
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
23
Peristiwa Traumatik
Peristiwa Traumatik Selama Konflik Survei ini menemukan bahwa para responden dari PNA2 di kesebelas kabupaten menderita tingkat peristiwa traumatik yang sangat tinggi. Namun demikian angka tersebut sedikit lebih rendah dibanding dengan tingkat peristiwa yang luar biasa tinggi yang dialami pada PNA1. Dalam PNA2, 73% dari sampel mengaku mengalami peperangan (dibanding dengan 78% pada responden PNA1), 33% terpaksa untuk melarikan diri dari bangunan yang terbakar (38% PNA1), dan 45% terpaksa untuk melarikan diri dari situasi bahaya (47% PNA1). Sembilan persen dari sampel PNA2 terpaksa untuk bersembunyi (16% PNA1); 23% mengalami pemukulan terhadap tubuh ((39% PNA1); sepuluh persen disiksa (18% PNA1); 37% memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh (41% PNA1); dua persen suami/ isterinya terbunuh (4% PNA1); dan tiga persen memiliki anak yang terbunuh (5% PNA1). Tabel 2.1 merangkum peristiwa-peristiwa traumatik yang dialami oleh responden dalam sampel total, membandingkan antara penelitian PNA1 dan PNA2 dan keenam daerah geografis yang didefinisikan dalam bagian mengenai Pola dan Metodologi Penelitian di atas.
Variasi Pada Peristiwa Traumatik Berdasarkan Daerah Survey ini dirancang untuk memetakan perbedaan-perbedaan pada daerah dan komunitas dari segi pengalaman mereka yang berkaitan dengan kekerasan. Untuk hampir setiap peristiwa traumatik yang dilaporkan dalam Tabel 2.1, total
sampel pada PNA2 melaporkan peristiwa traumatik yang agak lebih sedikit daripada sample PNA1, walau dengan tersebarnya peristiwa peperangan di seluruh Aceh. Catatan kaki di bawah Tabel 2.1 (“*”) menunjukkan bahwa perbedaan antara PNA1 dan PNA2 secara statistik berbeda untuk hampir setiap poin sebesar p<.0001. Namun demikian, jika kita melihat peristiwa traumatik yang dilaporkan berdasarkan daerah geografis, lokasi muncul sebagai sebuah unsur yang penting dalam memahami responden mana yang paling terkena dampak konflik. Bagian-bagian di bawah ini menampilkan beberapa variasi regional yang mencolok di dalam sampel, meletakkan variasivariasi tersebut ke dalam konteks, dan kemudian menggarisbawahi bagaimana sebuah pendekatan makro-regional untuk pendokumentasian pengalaman traumatik dapat mengaburkan intensitas peristiwa traumatik dalam tatanan lokal yang sangat spesifik.
• Daerah Dengan Jumlah Kasus yang Tinggi Telah diperkirakan bahwa PNA1 telah mensurvei komunitas-komunitas dengan tingkat kekerasan yang paling tinggi selama jangka waktu yang paling lama, disebabkan oleh peran inti daerah pesisir utara dalam sejarah GAM dan konflik, dan bahwa, secara umum, daerah-daerah lainnya akan terlihat mengalami tingkat kekerasan yang lebih rendah selama konflik. Sedikit menyimpang dari perkiraan tersebut, terdapat temuan yang menunjukkan bahwa dua daerah – Pesisir Timur an Pesisir Barat Daya – mengalami kekerasan yang parah dan peristiwa traumatik pada tingkat yang sama dengan atau bahkan melebihi Pesisir Utara. Pada komunitas- komunitas Pesisir Timur, misalnya,
80% dari responden melaporkan telah mengalami peristiwa perang, 45% pernah harus melarikan diri dari bangunan yang terbakar di masyarakatnya dan 61% harus melarikan diri dari situasi bahaya. Tujuh persen wanita memiliki suami yang terbunuh dalam konflik, 50% responden melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, dan 45% melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang diculik atau hilang. Hampir setengah, atau 47%, melaporkan harta mereka telah disita atau dihancurkan, dan 31% mengalami pemerasan atau perampasan. Warga di daerah Pesisir Barat Daya, dimana kekerasan berlangsung dalam durasi yang jauh lebih singkat, melaporkan kekerasan dalam tingkat yang hampir sama. Pengalaman yang dialami berdasarkan daerah sangat signifikan pada p<.0001 untuk sebagian besar peristiwa, dengan tingkat signifikansi yang lebih rendah untuk lainnya sebesar <.01 hingga <.05 (lihat catatan kaki “†” di bawah Tabel 2.1). Peristiwa-peristiwa yang tidak memperlihatkan perbedaan signifikan antara kedua daerah adalah yang sedikit dilaporkan di penelitian PNA1 maupun PNA2, dan di semua daerahdaerah. Penelitian kualitatif, yang sebagian kecil diuraikan dalam bagianbagian berikut, mendukung data kuantitatif dari segi sejarah kekerasan tinggi terhadap penduduk sipil di banyak desa di daerah-daerah tersebut.
• Titik-titik Panas: Kekhususan Lokal dalam Daerah dan Kabupaten Salah satu hasil yang paling membingungkan dari data PNA1 adalah perbedaan yang mencolok pada semua tingkat pengalaman traumatik
(dan gejala psikologis) antara kabupaten Pidie pada satu sisi dan kabupaten Bireuen dan Aceh Utara di sisi lainnya. Responden dari Bireuen dan Aceh Utara melaporkan jumlah kejadian dua kali lebih tinggi dibanding Pidie untuk hampir semua poin signifikan pada checklist peristiwa traumatik. Untuk merampingkan pelaporan data dari seluruh propinsi Aceh, kesemua 14 kabupaten yang dijadikan sampel telah dikelompokkan ke dalam enam daerah sebagaimana yang dijelaskan pada bagian Pola dan Metodologi Penelitian di atas. Data PNA1 dari Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara dalam laporan ini, misalnya, dikumpulkan ke dalam daerah Pesisir Utara. Data yang dilaporkan disini dari “Pesisir Utara” tidak menangkap variabilitas yang mencolok antara ketiga kabupaten. Disini terletak suatu kekurangan penting alam menyajikan hasil penelitian PNA ini pada tingkat makro-geografis yang menguraikan data yang terkumpul dari 105 desa di seluruh Aceh –masingmasing dengan sejarah konfliknya yang unik– yang dikumpulkan ke dalam enam daerah yang didefinisikan secara luas. Temuan-temuan dari penelitian kualitatif menunjukkan suatu rangkaian faktor yang mungkin turut menyebabkan adanya variasi yang intensif diantara desa-desa di dalam daerah-daerah yang didefinisikan dalam laporan ini, di dalam kabupatenkabupaten, dan bahkan di dalam kecamatan-kecamatan. Di dalam beberapa kabupaten di daerah pesisir, misalnya, terdapat konsensus umum bahwa jika kita pergi menjauhi jalan raya utama, baik menuju pegunungan
atau ke arah laut, situasi keamanan selama konflik semakin berbahaya. Di Aceh Selatan kemungkinan seseorang melakukan evakuasi ke daerah yang aman selama konflik semakin besar jika desanya lebih dekat ke daerah pegunungan. Warga dari beberapa kecamatan tertentu di Aceh Selatan dapat menjelaskan pola pengungsian warga selama konflik secara sederhana sebagai berikut: “semua orang dari desa X dan semua desa yang berada diantaranya dan pegunungan akan evakuasi selama konflik.” Alasan untuk evakuasi dijelaskan sebagai serangkaian traumatik tingkat tinggi, yang serupa dengan peristiwa- peristiwa yang ditawarkan dalam kuesioner PNA, yang tidak memberi pilihan lain selain meninggalkan desa. Tetapi mengapa beberapa kecamatan di Aceh Selatan memiliki pola seperti ini sedangkan lainnya yang memiliki geografi sejenis tidak demikian? Intervensi militer oleh pasukan Indonesia umumnya mengikuti kegiatan rekrutmen GAM sepanjang Pesisir Barat Daya, namun rekrutmen tidaklah seragam di daerah yang luas dan memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah tersebut. Setelah tiba di daerah tersebut, berbagai satuan militer dan polisi Indonesia yang diimpor dari luar Aceh memiliki reputasi atas gaya-gaya intervensi mereka yang unik. Beberapa batalion terkenal akan sikap baik mereka yang paternalistik dan simpatik terhadap penduduk sipil, sedangkan lainnya ditakuti karena kebrutalan mereka yang spektakuler dan tidak manusiawi. Kegiatan GAM juga tidak konsisten dalam perilaku mereka terhadap kaum sipil, khususnya di kabupaten-kabupaten di pesisir Barat Daya, Pesisir Timur dan Daerah Tinggi Tengah. Beberapa desa
yang dihuni oleh transmigran dari Jawa seluruhnya dikosongkan oleh pasukan GAM, menunjukkan etnisitas sebagai satu faktor yang menentukan pola spesifik kekerasan di daerah tersebut. Tingkat kekerasan juga berbedabeda atas dasar kepentingan ekonomi terhadap sumber daya alam di kedua belah pihak. Persaingan atas pertambangan emas berskala kecil di bagian utara lembah Sungai Kluet di Aceh Selatan mungkin menjelaskan mengapa desa-desa di Kluet menderita lebih banyak kekerasan dan teror antara 2001 hingga 2003. Namun seperti halnya perbedaan internal pada kabupatenkabupaten di Pesisir Utara, ceritacerita dengan kekhususan lokal yang berbeda-beda di dalam satu kabupaten seperti Aceh Selatan tidak dapat dilaporkan sebagai suatu fenomena Pesisir Barat Daya. Walau sampling yang dilakukan untuk PNA bertujuan untuk melakukan pemetaan secara garis besar atas peristiwa konflik dan gejala psikologis di seluruh Aceh, suatu pemahaman mengenai kekhususan lokal yang menentukan peristiwa traumatik konflik seperti yang digambarkan di atas adalah penting untuk pengembangan program-program yang menargetkan daerah-daerah dengan kebutuhan yang paling tinggi. Data PNA, yang mengandalkan sampel yang diambil dari 105 desa di 14 kabupaten, tidak dapat memetakan semua titik-titik panas mikro setempat dalam sejarah konflik Aceh yang panjang, namun dapat digunakan untuk mencari beberapa lokalitas percontohan yang tidak diuraikan oleh data regional yang umum.
24
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.1
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
25
Peristiwa Trauma di masa lalu berdasarkan penelitian PNA dan daerah *PNA1 Data Peristiwa Traumatik
% Pesisir Utara (N=596)
PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data % Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total Sampel PNA2 (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa meninggalkan gedung yang terbakar Dipaksa pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
78 38 47 16
68 13 33 3
80 45 61 7
62 37 40 8
69 6 12 2
79 42 57 17
73 33 45 9
74 35 46 11
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
39 26 18 13 54 17
16 6 3 4 35 4
42 19 15 16 51 12
15 8 5 6 22 3
3 3 2 3 9 3
30 21 15 13 57 18
23 14 10 10 39 10
28 17 12 11 44 12
Diperkosa Dipaksa memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
1 <1 3
0 0 2
1 1 4
1 1 4
0 0 1
1 1 3
1 1 3
1 <1 3
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
5 3 5 3 41 33
4 2 2 1 31 22
4 3 1 2 50 45
1 3 4 4 39 38
1 0 1 0 12 11
2 2 4 2 40 28
2 2 3 2 37 31
3 2 4 2 38 31
Diculik Ditangkap, ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM
5 12
3 5
7 14
3 5
1 4
4 12
4 9
4 10
3 9 8
1 8 1
5 7 3
3 4 4
2 2 1
5 13 10
4 8 5
3 8 6
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan Dipaksa menjadi buruh Dipaksa memberi makanan, tempat tinggal bagi TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak mau melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari jenazah Tidak diizinkan untuk melaksanakan pemakaman secara Islam
45 33 29 27
26 17 19 12 14 5 5 2
47 31 21 15 20 15 6 11
33 13 22 10 7 3 11 3
15 6 3 5 3 3 3 0
47 27 30 25 26 18 10 2
37 21 22 15 16 10 8 4
40 24 24 19 18 11 9 4
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk merusak properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang dipaksa untuk menghianati/ membahayakan kamu Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
6 7 3 7
8 35
Kekurangan tempat tinggal karena konflik Kekurangan makanan dan air karena konflik Sakit dan kurang akses untuk pelayanan kesehatan
Dikirim ke penjara Dipaksa dipisah dari keluarga Dipaksa diisolasi
23 12 12 6
0 0 1 3 5 3 1 14
1 3 3 6 4 7 3 29
1 1 5 2 1 4 3 12
24
21
29
82
56
75
60
46
60
7 7
0 0 1 0 0 0 0 1
4 5 4 6 6 11 7 37
2 2 3 4 3 6 4 22
3 4 3 5 4 6 5 26
34
7
31
27
26
85
65
79
75
77
69
39
71
62
61
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupatan: secara statistik beda pada p< 0.0001 [Semua Peristiwa] Kecuali…. Perkosaan NS Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga NS Pelecehan seksual lainnya NS Dikirim ke penjara p<0.01 Diculik p<0.01 Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain p<0.05 Pasangan terbunuh p<0.05 Anak terbunuh p<0.01 Pasangan diculik atau hilang NS Anak diculik atau hilang p<0.01 † PNA2 Pembandingan lokasi kabupatan: secara statistik beda pada p< 0.0001 [Semua Peristiwa] Kecuali…. Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya Dikirim ke penjara Diculik Dipaksa untuk mencari mayat Dipaksa untuk melukai salah satu anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Pasangan terbunuh Anak terbunuh Pasangan diculik atau hilang Anak diculik atau hilang
NS NS NS p<0.01 p<0.01 p<0.01 p<0.01 p<0.05 NS p<0.05 NS p<0.01
26
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Studi Kasus Titik panas: Lembah Sungai Kluet
Tabel 2.2 PEristiwa Trauma di masa lalu berdasarkan penelitian PNA dan daerah % Kabupaten Pesisir Barat Daya (N=461)
% Kabupaten Aceh Selatan (N=180)
% Lembah Sungai Kluet (N=90)
% Total Sampel (N=1.972)
MGKD+
MGKD-
MGKD+
MGKD-
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa meninggalkan gedung yang terbakar Dipaksa pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
79 42 57 17
91 53 79 27
92 62 93 30
74 35 46 11
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
30 21 15 13 57 18
43 31 20 23 76 33
46 38 25 32 85 40
28 17 12 11 44 12
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
1 1 3
2 1 6
3 2 12 *
1 <1 3
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anank hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
2 2 4 2 40 28
3 2 3 2 39 34
4 2 5 0 40 38
3 2 4 2 38 31
Diculik Ditangkap & ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM Dikirim ke penjara Dipaksa pisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
4 12 5 13 10
6 16 9 24 16
7 17 8 29 22
4 10 3 8 6
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
47 27
62 35
77 45
40 24
Dipaksa menjadi buruh Dipaksa memberi makanan dan tempat tinggal kepada TNI atau GAM Dipaksa melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
30 25
49 30
61 44
24 19
26 18 10 2
41 26 10 3
46 29 17 7
18 11 9 4
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksakan untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
4 5 4 6 6
6 8 5 5 5
12 ** 13 7 9 8
3 4 3 5 4
11
11
13
6
7 37
11 65
19 72
5 26
31 79 71
44 86 84
57 92 91
26 77 61
Peristiwa Traumatik
Berjalan ke selatan dari kabupaten di Aceh Barat Daya ke kabupaten Aceh Selatan, jalan raya utama mengikuti garis pantai menjelang masuk ke kabupaten Tapaktuan yang sunyi. Daerah kaki dari bagian dalam yang berbukit-bukit langsung terjun ke bawah di sisi kiri jalan raya tersebut, sehingga hanya menyisakan daerah sempit bagi komunitas pertanian dan perikanan. Di Aceh Selatan, semua responden dalam sampel PNA mengidentifikasi diri suku mereka sebagai Aceh. Namun pada kenyataannya, di dalam kabupaten ini yang jauh dari ibu kota propinsi Banda Aceh dan kabupaten-kabupaten yang padat penduduk di pesisir utara yang secara klasik diidentifikasi sebagai pusat budaya Aceh, jumlah warga yang berbicara menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama merupakan minoritas. Komunitas pantai di Aceh Selatan berbicara bahasa Aneuk Jame, sebuah bahasa yang lebih dekat dengan bahasa-bahasa yang digunakan di propinsi Sumatera Barat yang terletak lebih ke selatan di sepanjang pesisir barat pulau tersebut. Grup-grup daerah tinggi, seperti Kluet yang dibahas di bawah ini, juga memakai bahasa mereka sendiri. Tapaktuan tidaklah lebih dari sebuah jalur kecil pertokoan dan sebuah pelabuhan antara kaki gunung dan Samudera Hindia. Kawasan antara kaki pegunungan dan laut berakhir di perbatasan kota bagian selatan dari Tapaktuan, dan jalan raya kemudian berlaku-liku ke atas gunung dengan jurang terjal hingga ke laut di bawah yang menawarkan pemandangan yang indah. Sebuah tempat peristirahatan di puncak bukit tersebut merupakan tempat dimana Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, berhenti di tahun 1953 selama sebuah tur diplomatik di propinsi tersebut untuk mengakhiri pemberontakan Darul Islam – sebuah konflik yang berbeda melawan Republik Indonesia yang baru dibentuk yang terjadi dua dasawarsa sebelum konflik pemerintah dengan GAM. Setelah berjalan turun di bagian selatan jalur pegunungan tersebut, jalan raya belok ke arah daratan sedikit menjauhi daerah pantai, dimana tanah datar antara pegunungan dan laut melebar sebesar beberapa kilometer. Setelah melewati sebuah penjara dan sebuah fasilitas pelatihan pertanian milik negara, yang keduanya telah dibakar selama konflik, setelah beberapa puluh kilometer ke arah selatan jalan raya tersebut bertemu dengan persimpangan di Kota Fajar, sebuah kota pasar di bagian utara Sungai Kluet yang mengalir keluar
ke Samudera Hindia. Sebuah belokan ke kiri di Kota Fajar menelusuri sebuah jalanan yang terbengkalai yang sejajar dengan Sungai Kluet ke dalam bagian pedalaman yang berbukit-bukit. Warga lembah Sungai Kluet berbicara menggunakan Bahasa Kluet, yang sejenis dengan Bahasa Alas yang digunakan di daerah pegunungan Aceh Tenggara dan berhubungan jauh dengan Bahasa Karo yang digunakan oleh bangsa Batak Karo di daerah pedalaman berbukit-bukit propinsi Sumatera Utara. Perekonomian formal lembah Sungai Kluet berkembang pesat di tahun 1990-an berkat perkebunan nilam, suatu tanaman yang daunnya direbus untuk menghasilkan minyak patchouli, sebuah bahan mentah yang digunakan sebagai dasar pembuatan berbagai macam produk dalam industri minyak wangi. Perekonomian informal dari daerah lembah tersebut berkembang berkat penebangan kayu ilegal dan pertambangan emas sebagaimana disebut di atas. Penebangan kayu dan pertambangan memberikan sumber penghasilan yang strategis bagi pihak mana saja yang mengendalikannya, sehingga menciptakan sebuah persaingan yang menggiurkan dan mencekam antara GAM dan pasukan keamanan RI, khususnya antara 2001 dan 2003, ketika militer dan kepolisian Indonesia tiba di daerah tersebut guna menetralisir rekrutmen GAM besar-besaran yang terjadi secara tiba-tiba. Dalam sampel acak desa-desa yang dipilih untuk tim peneliti yang mensurvei Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, 50% dipilih secara acak dari suatu daftar pendek desa-desa yang diketahui berkonflik tinggi di dalam kecamatan berkonflik tinggi yang menerima Program Reintegrasi Masyarakat PascaKonflik IOM (lihat “Penyeleksian Desa” di bagian Pola dan Metodologi Penelitian). Sisa 50% desa yang di-sampel di kabupaten-kabupaten ini dipilih secara acak dari desa-desa yang terletak di kecamatan-kecamatan yang sama yang tidak menerima bantuan dari program IOM tersebut. Lima dari 13 desa yang dikunjungi oleh tim peneliti berada di lembah Sungai Kluet dimana para warga berbicara menggunakan Bahasa Kluet sebagai bahasa sehari-hari mereka. Banyaknya desa Kluet di dalam sampel PNA kemungkinan besar disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak desa di daerah lembah Sungai Kluet memenuhi kriteria untuk
27
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kekurangan makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurang akses pelayanan kesehatan
* Kesebelas responden di Aceh Selatan yang melaporkan “pelecehan seksual lain” yang tinggal di lembah Sungai Kluet. ** Kesepuluh Aceh Selatan yang melaporkan telah dipaksa untuk melukai anggota keluarganya yang tinggal di lembah Sungai Kluet.
28
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
dimasukkan ke dalam Program Reintegrasi Masyarakat PascaKonflik IOM, yakni memiliki sejarah konflik yang intensif, dengan banyak mantan kombatan dan mantan tapol yang pulang ke desa-desa tersebut setelah ditandatanganinya perjanjian perdamaian. Tabel 2.2 membandingkan tingkat peristiwa traumatik yang dilaporkan oleh responden selama konflik di, pertama-tama di kawasan Pesisir Barat Daya, kemudian Aceh Selatan di tingkat kabupaten, kemudian berfokus pada lima desa di lembah Sungai Kluet di Aceh Selatan. Di kawasan ini yang sudah terkenal akan kekerasan yang kacau dan bengis terhadap kaum sipil di sepanjang pesisir Barta Daya Aceh pada masa-masa akhir konflik, dimana lebih dari setengah responden (57%) dari empat kabupaten (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan) melaporkan harus melarikan diri dari situasi bahaya, suatu fokus pada peristiwa-peristiwa yang dilaporkan dari desa-desa lembah Sungai Kluet terlihat mencolok di hampir semua poin di dalam daftar. Membandingkan angka-angka dari kawasan, hingga kabupaten, hingga lembah Kluet, tidak begitu mengherankan bahwa 93% dari responden Kluet terpaksa untuk melarikan diri dalam kondisi yang sangat mencekam tersebut. Tingkat kekerasan yang sangat (penganiayaan, penyiksaan, penyerangan dengan senjata, penghancuran hak milik, perang dan cidera perang) cukup menakjubkan, dimana persentase peristiwa traumatik di lembah Sungai Kluet umumnya dua kali lipat atau lebih tinggi dibanding persentase rata-rata yang dilaporkan oleh keseluruhan sampel (PNA1 & PNA2). Di salah satu desa, selama penyiksaan dan interogasi yang tiada henti selama tiga hari berturut-turut terhadap semua pria dewasa di desa tersebut, seorang petani tua digorok dengan golok di bagian samping tubuhnya karena tidak dapat mengikuti kerja paksa dan “olah raga” yang diberlakukan oleh pasukan keamanan. Kini luka tersebut menyisakan bekas parut yang tebal, seringkali menjadi berwarna merah disertai dengan rasa sakit dan nanah, dan telah secara permanen membatasi gerak pundak kanannya sehingga ia tidak dapat mengangkat lengannya. Tidak mampu bahkan untuk bekerja di kebunnya sendiri untuk menanam kacang, ia sangat kehilangan
semangat hingga kegiatannya saat ini hanya untuk “menunggu ajal.” Selama tiga hari penyiksaan tersebut, ketika pasukan keamanan pertama kali menduduki desa tersebut, pria ini beserta tiga lelaki lainnya yang putra-putranya dicurigai sebagai kombatan GAM, dipaksa untuk menjalani malam hari direndam di dalam air kotor dan saluran irigasi. Seorang ayah dari dua kombatan remaja dipukuli di kepala sangat parah dan kemudian ditahan di dalam air di penampungan air kotor hingga hilang kesadaran; ia menderita cidera otak anoxic (kekurangan oksigen) sebagai akibatnya dan sejak saat itu tubuhnya telah kehilangan semua fungsi motorik. Walau ia sadar, mampu menjawab pertanyaan secara jelas dan masih memiliki indera perasa, tubuhnya tergolek lunglai. Ia tidak mampu duduk tegak, otot-ototnya terkontraksi, persendiannya terlipat secara permanen, tidak mampu mengendalikan buang air, dan kemampuannya untuk berbicara semakin menurun. Keluarganya menjaga kebersihannya dan merawatnya dengan penuh perhatian, namun ia tidak akan dapat pulih dari cideranya yang parah tersebut. Keluarga tersebut membutuhkan pendidikan tambahan mengenai pemberian terapi fisik, perawatan higienis untuk tubuhnya, dan memberikannya obat untuk mengurangi rasa sakit dan kejang yang akan ia derita sepanjang sisa hidupnya. Apa yang membuat pengalaman konflik oleh lembah Sungai Kluet lebih mencolok daripada kekerasan yang terjadi adalah tingkat penghinaan dan perendahan derajat yang dialami oleh penduduk tersebut. Jumlah peristiwa traumatik yang disengaja membawa luka psikologis dan rasa malu terhadap para responden umumnya tiga dan empat kali lebih tinggi dari pada angka rata-rata yang dilaporkan oleh sampel secara keseluruhan. 85% dari responden Kluet menyaksikan hukuman fisik, 40% direndahkan martabatnya di hadapan umum, 19% dipaksa untuk merendahkan martabat orang lain, 22% dipaksa ke dalam isolasi, dan 29% dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka. 12% responden Kluet merupakan satusatunya kelompok responden di seluruh Aceh Selatan yang telah dipaksa untuk melukai anggota keluarganya sendiri. Angka ini adalah empat kali lebih tinggi dibanding rata-rata sampel secara keseluruhan.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Bagian berjudul Trauma Menurut Gender menjelaskan sulitnya mengkuantifikasi kekerasan seksual, diakibatkan oleh pelaporan yang sangat rendah, namun menarik untuk dicatat bahwa persentase responden Kluet yang mengakui pemerkosaan adalah tiga kali lebih tinggi dibanding rata-rata total sampel. Persentase responden Kluet yang mengakui mereka telah dipaksa untuk memperkosa seorang anggota keluarga mereka sendiri adalah dua kali lebih tinggi dibanding dengan rata-rata total sampel, dan persentase responden Kluet yang melaporkan “serangan seksual lainnya” (12%) adalah empat kali lebih tinggi dibanding rata-rata total sampel. Saat mendengar cerita-cerita yang disampaikan oleh para informan kunci dan responden kuesioner di lembah Sungai Kluet, para peneliti senior dari Harvard, staf IOM, dan para staf pewawancara Aceh tidak mampu berbicara dan merasa lelah akibat apa yang baru mereka dengar. Para penduduk salah satu desa mengatakan bahwa mereka seharusnya mengevakuasi diri seperti para desa tetangga sebelum kekerasan dan penyiksaan mencapai puncaknya. Seorang pria muda menceritakan dirinya dipaksa berdiri membentuk suatu lingkaran dengan teman-temannya, dan satu per satu mereka diperintahkan untuk menonjok pria di sebelah kanannya dengan kekuatan penuh, beberapa kali mengelilingi lingkaran tersebut. Tonjokan yang dilakukan secara setengahsetengah dibalas dengan pukulan yang lebih parah dari para tentara yang memerintahkan para pria tersebut untuk saling menyakiti satu sama lainnya. Ketika ditanya bagaimana ia hidup dengan ingatan telah menyakiti para teman dan tetangganya yang telah ia kenal sepanjang hidupnya, ia menjawab “keadaan tersebut sangat tidak masuk akal, sehingga kami hanya bisa mentertawakannya. Memang, kami saling menonjok satu sama lain sekeraskerasnya, tetapi kita tidak memiliki pilihan! Tetapi kami hanya mentertawakan pengalaman itu, hanya itu yang bisa kami lakukan. Bagaimana kami bisa memiliki rasa dendam terhadap satu sama lain dalam situasi yang sangat tidak masuk akal tersebut? Kami tidak merasa sakit hati atau dendam tentang apa yang kami saling perbuat; kami hanya dapat tertawa jika kami mengenangnya.” Kemampuan untuk mentertawakan kondisi kekerasan dan terror yang tidak masuk akal seperti itu kemungkinan merupakan cara bertahan
29
psikososial dari para pria dan wanita yang hidup melalui pengalaman konflik yang sangat intensif dan terkonsentrasi, disamping suatu indikasi tentang kekuatan psikologis mereka untuk mampu menempatkan diri mereka di luar situasi traumatik. Contoh-contoh lain trauma penghinaan yang dilakukan di lembah Sungai Kluet tidak perlu disajikan di dalam laporan ini untuk mengerti inti dari contoh ini dari Aceh Selatan. Walau data PNA menemukan bahwa peristiwa konflik tersebar di seluruh Aceh, dan membawa dampak hampir ke semua orang, adalah mungkin untuk mengidentifikasi, dengan melakukan penelitian kuantitatif dan etnografi pendahuluan yang minimal, titik-titik panas atau lokalitas-mikro dimana kekerasan konflik yang intensif, kompleks, dan berkelanjutan mungkin menandakan prioritas untuk dilakukannya perancangan dan penyediaan layanan psikososial dan reintegrasi pasca-konflik lainnya secara spesifik. Dewasa ini hampir semua warga lembah Sungai Kluet telah pulang dari kamp-kamp pengungsian di Tapaktuan, dimana seluruh warga desa-desa hidup untuk lebih dari setahun hingga perjanjian perdamaian ditandatangani. Perkebunan dan hutan telah hancur atau terabaikan, seperti halnya banyak rumah-rumah, dan harga pasar minyak patchouli telah merosot hingga lebih rendah dari sepertiga nilainya di akhir tahun 1990-an, sebelum konflik dimulai. Para pengungsi yang pulang di desa-desa Kluet hidup di rumah-rumah sementara dan menanam tanaman yang cepat tumbuh namun berharga rendah seperti cabai dan singkong (cassava). Juga terdapat laporan-laporan yang tidak diverifikasi akan terus adanya pemerasan dan intimidasi terhadap penduduk sipil oleh kelompok-kelompok bersenjata di kawasan tersebut. Terdapat kebutuhan mendesak akan bantuan mata pencaharian sementara agar para penduduk desa di Kluet dapat merehabilitasi perkebunan mereka. Pengorganisasian dan pelatihan masyarakat untuk meningkatkan kualitas, nilai, dan pemasaran patchouli sebagai tanaman mata pencaharian juga dianjurkan. Pemeriksaan dan bantuan psikososial bagi korban konflik yang menderita depresi atau trauma harus dibarengi dengan dukungan ekonomi pasca-konflik bagi komunitaskomunitas tersebut agar semua bantuan bisa berjalan baik dan berkelanjutan.
30
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
• Daerah-daerah dengan Jumlah Kejadian yang Rendah Survei PNA2 telah menemukan tingkat peristiwa traumatik yang secara signifikan lebih rendah di daerah-daerah lainnya, khususnya di Daerah Tinggi Tenggara dan di Aceh Besar. Namun diskusi sebelumnya mengenai kekhususan lokal pengalaman konflik, seperti di Lembah Kluet, perlu membuat kita berhati-hati sebelum mengecualikan keseluruhan suatu kawasan tertentu. Temuan sebenarnya dari penelitian ini adalah betapa banyaknya jumlah warga bahkan di komunitas-komunitas dengan jumlah kejadian rendah seperti ini juga sangat terkena dampak konflik dan kekerasan. Di kawasan Daerah Tinggi Tenggara 69% dan di Aceh besar 68% responden melaporkan mengalami situasi perang. Bahkan di Daerah Tinggi Tenggara, yang umumnya dikatakan sebagai kawasan yang paling rendah terkena dampak konflik di propinsi tersebut, 12% responden melaporkan telah memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh. 32% pria di Aceh Besar (lihat Tabel 2.3) melaporkan telah dipukuli tubuhnya. Dengan demikian, walau kekerasan jelas terlokalisir di beberapa kawasan dan desa tertentu, peristiwa tersebut juga tersebar luas, membawa dampak ke sejumlah besar orang di ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, masyarakat pedesaan di seluruh Aceh.
Trauma Menurut Gender Tabel 2.3 di bawa menunjukkan peristiwa-peristiwa traumatik di masa lalu yang dialami oleh pria di berbagai kawasan geografis yang berbeda. Tabel 2.4 melaporkan informasi yang sama menyangkut wanita. Baik pria maupun wanita mengalami tingkat kekerasan yang luar biasa, namun tingkat dan jenis peristiwa traumatik yang dialami sebagai bagian dari konflik berbeda- beda berdasarkan gender. Pria melaporkan kekerasan fisik yang lebih tinggi dibanding wanita. Dari keseluruhan sampel, 44% pria melaporkan telah dipukuli (12% pada wanita), 24%
melaporkan telah diserang dengan senjata api atau tajam (10% pada wanita), 19% pria melaporkan telah disiksa (5% pada wanita), 16% pria melaporkan telah ditahan (4% pada wanita), dan 49% pria (dan 38% wanita) melaporkan telah menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Namun demikian, wanita telah menderita dengan sangat. Sebagai contoh, di masyarakat sepanjang Pesisir Barat Daya, 79% wanita mengalami peperangan dan 56% terpaksa lari dari situasi bahaya, 52% dipaksa untuk menyaksikan hukuman fisik, 36% memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, 43% telah disita atau dimusnahkan asset milikinya, dan 32% dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan.
• Kekerasan Seksual Sebagaimana diuraikan dalam laporan PNA1, pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya jarang dilaporkan di dalam data kuesioner PNA, walau para advokat HAM telah mengidentifikasi kekerasan seksual sebagai ciri penting dari kekerasan konflik di Aceh. Para pewawancara tidak menentang pilihan para responden untuk tidak melaporkan peristiwa-peristiwa yang menciptakan sigma tersebut. Perlu dicatat bahwa pada checklist peristiwa trauma, para responden dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan non-spesifik mengenai telah dihina atau dipermalukan di depan umum, atau dipaksa untuk menghina atau mempermalukan orang lain. Sebagai contoh, duabelas persen responden di daerah Pesisir Timur, 17% responden di Pesisir Utara, dan 18% responden di Pesisir Barat Daya melaporkan telah mengalami penghinaan di muka umum selama konflik. Perbedaan dari sisi gender bersifat signifikan dalam menentukan siapa yang melaporkan penghinaan yang paling banyak. Pada PNA1 maupun PNA2, pria lebih cenderung dibanding wanita untuk bercerita pengalaman dipermalukan di depan umum atau dipaksa untuk mempermalukan orang lain. Empat persen wanita di kedua kelompok sampel melaporkan serangan seksual
lainnya, dan satu persen melaporkan pemerkosaan. Secara sederhana, hal ini berarti 50 dari 965 wanita pada sampel total melaporkan suatu bentuk kekerasan seksual sebagai sebuah bagian pengalaman traumatik mereka selama konflik. Wawancara informan kunci dan diskusi kelompok informal di daerah-daerah tersebut, baik selama penelitian lapangan di PNA1 maupun PNA2, mengungkapkan tindakan penganiayaan seksual dan penghinaan jasmani melalui suatu cara yang menyiratkan bahwa terdapat lebih banyak jenis kekerasan ini yang dilakukan daripada yang telah dilaporkan kepada kami. Pria dan wanita seringkali dipaksa oleh kelompok-kelompok untuk berbaris dan melepaskan baju. Anak-anak dipaksa untuk menyentuh alat kelamin orang tua mereka yang berjenis kelamin beda. Banyak wanita di beberapa bagian kabupaten Aceh Selatan. Banyak wanita di beberapa bagian kabupaten Aceh Selatan melaporkan telah dicukur habis rambut mereka setiap dua minggu karena suami atau anak mereka dicurigai merupakan kombatan. Mereka yang bercerita telah menemukan mayat korban konflik, biasanya dibuang di tempat umum seperti pinggiran jalan dan tepi sungai, seringkali menceritakan mutilasi alat kelamin di jasad-jasad tersebut sebagai salah satu dari banyak tandatanda penyiksaan. Banyak responden berbicara mengenai bagaimana wanitawanita muda dari komunitas mereka dikirim untuk tinggal dengan sanak saudara di daerah perkotaan yang lebih aman daripada beresiko dianiaya secara seksual oleh kelompok- kelompok bersenjata yang mendiami desa mereka. Responden-responden yang sama menceritakan “pos-pos” atau bangunan kosong di dalam atau di dekat desa mereka dimana wanita- wanita muda mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual. Terakhir, cerita-cerita dari para wanita mengungkapkan bahwa peristiwa
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
penggeledahan atau penghancuran rumah yang sering terjadi dirasakan sebagai suatu serangan hebat terhadap wanita, mengingat di daerah pedesaan Aceh wanita umumnya merupakan pemilik rumah dan pria pindah ke rumah isterinya pada saat menikah. Pada kenyataannya, isteri dari seorang pria di Aceh seringkali disebut sebagai po rumoh, atau pemilik rumah.
• Trauma Fisik Kepala Suatu bentuk trauma fisik yang sering dialami selama konflik, khususnya diantara para pria, yang membawa konsekuensi mengerikan bagi kesehatan mental organik seseorang adalah cidera kepala. Pada kasuskasus terparah, cidera berat di kepala dapat menyebabkan hilangnya kendali tubuh sebagaimana yang diceritakan di studi kasus lembah Sungai Kluet di atas. Dalam kasus-kasus lainnya, para individu kehilangan kemampuan untuk mengingat, mengalami mati rasa atau hilangnya penginderaan seperti hilang penglihatan, atau mengalami gejolak perilaku secara tiba-tiba. Tingkat trauma di kepala dan cidera otak potensial, yang dialami akibat pemukulan, pencekikan, penenggelaman, dan bentuk penyiksaan atau kekerasan lainnya, sangatlah tinggi dalam sampel PNA dan memerlukan intervensi klinis dan penelitian lebih lanjut. Pria, khususnya pria muda di daerah-daerah berkonflik tinggi memiliki resiko paling tinggi. 43% dari semua pria di daerah Pesisir Timur dan 41% di Pesisir Barat Daya melaporkan mengalami trauma di kepala – suatu tingkat yang sama dengan yang ditemukan dalam PNA1 untuk Pesisir Utara. Tabel 2.5 dan 2.6 menyajikan data berhubungan dengan cidera fisik di kepala yang diderita akibat kekerasan konflik oleh pria maupun wanita secara berturut-turut.
Evakuasi Paksa dan Pengalaman Pengungsian Lainnya Tabel 2.7 menyajikan dua pertanyaan untuk checklist Peristiwa Traumatik yang
menyangkut evakuasi sebagai akibat kekerasan konflik. Setelah melihat angka-angka tersebut dalam PNA1, dan mengingat mandat utama IOM untuk menangani migrasi, pertanyaan lebih lanjut mengenai pengalaman mengungsi dimasukkan ke dalam kuesioner PNA2, termasuk informasi di bagian bawah Tabel 2.7 mengenai evakuasi secara paksa dan sukarela. Di hampir semua daerah berkonflik tinggi yang dijadikan sampel, antara sepertiga dan dua-pertiga dari semua responden mengungsi, biasanya secara paksa, selama konflik. Para responden yang menjawab ya terhadap pertanyaan mengenai evakuasi sukarela maupun paksa kemudian diberi kesempatan untuk bercerita kepada para pewawancara mengenai pengalaman pengungsian mereka, termasuk alasan utama untuk meninggalkan rumah mereka selama konflik. Daftar berikut ini, yang tidak diatur berdasarkan peringkat, menyimpulkan alasan-alasan utama yang ditarik dari jawaban terhadap pertanyaan pertanyaan tersebut. · Kontak senjata di masyarakat · Terlalu banyak pemerasan dan perampasan · Diperintahkan untuk pergi entah oleh GAM, TNI atau “kelompok-kelompok tak dikenal” · Rumah responden musnah · Diancam oleh atau takut akan TNI atau GAM · Terlalu banyak kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum sipil · Tidak diperbolehkan untuk membeli bahan pokok oleh kelompok bersenjata yang menduduki desa · Responden, atau keluarga mereka, terlibat dengan GAM · Dituduh memberikan bantuan logistik kepada kelompok-kelompok bersenjata · Responden mendengar kabar bahwa TNI atau GAM sedang mencari mereka · Semua orang lain di desa berevakuasi Hampir semua responden yang bercerita kepada kami mengalami pengalaman mengungsi mereka selama konflik harus dianggap sebagai pengungsi yang pulang, atau bagi mereka yang tinggal sangat dekat dengan rumah asal
31
mereka sebelum mengungsi, sebagai pengungsi. Masih ada ribuan keluarga pengungsi transmigran Jawa yang tinggal di Sumatera Utara di sebelah selatan Aceh, dan beberapa ribu pengungsi Aceh yang tinggal di Malaysia. Bahkan, sebagian besar transmigran Jawa telah memilih untuk menjual tanah mereka daripada menanggung resiko pulang dan menemukan kekerasan kembali. Oleh karena itu data PNA tidak mencakup pengalaman pengungsi yang saat ini hidup di luar Aceh. Mengingat hal tersebut, Tabel 2.8 berikut ini menyajikan data tentang ke mana para pengungsi yang telah pulang dalam sampel PNA2 pergi sewaktu terjadi konflik. Menelusuri angka-angka secara diagonal dari kiri atas ke kanan bawah, sangatlah jelas bahwa para pengungsi yang telah pulang dalam sampel PNA2 tidak pergi terlalu jauh selama pengungsian mereka. Sebagian besar data kualitatif menunjukkan tempat pengungsian yang dekat seperti desa tetangga, kantor kecamatan/ sekolah /mesjid, ibu kota kabupaten, kabupaten tetangga, atau kota terdekat. Dengan menghitung angka diagonal, 545 dari 595 (95%) dari responden yang bercerita kepada kami daerah dimana mereka tinggal selama evakuasi berada di kawasan geografis yang sama. Tidak terlihat di Tabel 2.8, sebuah analisa yang lebih seksama menunjukkan bahwa 505 dari responden tersebut (85%) tidak meninggalkan kabupaten mereka. pengungsian yang terlokalisir merupakan temuan yang sering muncul diantara para pengungsi yang telah pulang dalam sampel PNA2. Lamanya pengungsian berbeda-beda. Para responden melaporkan meninggalkan desa mereka selama hanya satu minggu, dan terkadang selama dua tahun. (Pengungsi yang saat ini belum pulang yang tidak terwakili di dalam sampel telah meninggalkan rumah mereka selama lima tahun atau lebih.) Namun pada umumnya, seberapa pun jangka waktu pengungsian, para pengungsi yang pulang tiba di rumah mereka yang telah kosong. Hanya dibutuhkan waktu satu atau dua hari untuk menjarah dan membakar satu seluruh desa –rumah,
32
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.3
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Peristiwa trauma di masa lalu yang dialami oleh pria, berdasarkan daerah *PNA1
Pria *†
Lokasi Kabupaten †PNA2 % Pesisir Barat Daya (N=226)
% Total Sampel (N=1.006)
% Pesisir Utara (N=315)
% Aceh Besar (N=66)
% Pesisir Timur (N=125)
% Daerah Tinggi Tengah (N=180)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=94)
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk pergi karena gedung terbakar Dipaksa untuk pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
83 43 52 20
62 12 33 6
83 44 61 10
61 33 36 8
78 9 18 3
80 46 58 21
77 37 47 14
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
56 36 25 19 61 22
32 9 9 11 35 8
66 28 24 25 62 15
25 9 8 8 25 4
5 5 3 4 15 4
48 30 25 23 63 26
44 24 19 17 49 16
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
1 <1 3
0 0 5
2 2 2
2 1 1
0 0 1
0 <1 3
1 1 2
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
2 2 5 2 49 36
2 2 2 2 26 26
0 1 1 1 59 51
1 2 5 4 37 39
1 0 1 0 18 15
2 1 4 1 45 35
1 2 4 2 43 36
Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM
8 19
6 11
11 23
3 7
1 5
7 21
6 16
Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
4 11 10
2 9 2
7 8 3
3 5 5
2 3 1
10 18 14
5 10 8
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
49 36
21 17
52 36
35 14
22 6
51 31
43 27
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
44 29
31 14
30 16
30 8
5 5
45 31
36 21
28 17 15 7
17 9 8 2
25 19 7 16
8 3 13 4
5 4 5 0
35 25 14 2
23 15 12 5
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
10 11 6 10
0 0 0 8
2 6 7 8
2 1 4 3
0 0 1 0
5 7 7 9
6 6 5 7
10
8
5
1
0
8
6
11
8
11
6
0
16
10
11 46
0 19
4 40
3 15
0 1
10 44
7 33
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
22 86 64
11 55 38
27 77 65
33 84 69
13 70 42
32 80 73
25 80 63
Peristiwa Traumatik
PNA1 VS. PNA2 Pembandingan Lokasi Kabupaten
PNA2 District Pembandingan Lokasi
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk pergi karena gedung terbakar Dipaksa untuk pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
NS NS NS
NS NS NS
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
NS NS NS NS p<0.0001 p<0.0001
NS NS NS NS p<0.0001 p<0.0001
Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
p<0.01 p<0.0001 p<0.01 p<0.0001 p<0.0001
p<0.01 p<0.0001 p<0.01 p<0.0001 p<0.0001
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.05 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 NS p<0.0001
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
p<0.0001 p<0.0001 p<0.05 p<0.001
p<0.05 p<0.0001 p<0.05 p<0.001
p<0.0001
p<0.0001
p<0.0001
p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
Peristiwa Trauma Masa Lalu Dialami oleh Informan Pria
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
33
34
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.4
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
PEristiwa trauma di masa lalu yang dialami oleh wanita, berdasarkan daerah *PNA1
Wanita *†
Lokasi Kabupaten †PNA2 % Daerah Tinggi Tengah (N=147)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=68)
% Pesisir Barat Daya (N=235)
% Total Sampel (N=966)
% Pesisir Utara (N=281)
% Aceh Besar (N=114)
% Pesisir Timur (N=121)
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk pergi karena gedung terbakar Dipaksa untuk pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
73 33 42 12
71 14 33 1
77 46 61 5
63 42 45 8
56 3 4 0
79 39 56 13
72 33 44 9
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
20 14 11 6 45 11
7 4 0 0 34 2
16 9 5 7 41 9
3 7 1 4 19 3
0 0 0 0 2 0
12 13 6 4 52 11
12 10 5 4 38 8
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
2 0 4
0 0 1
1 0 6
0 0 8
0 0 0
2 1 3
1 <1 4
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
8 3 5 4 31 30
5 2 2 0 33 20
7 5 2 3 41 38
2 3 3 4 40 37
0 0 0 0 3 4
3 4 5 2 36 22
5 3 4 3 33 27
Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM
2 5
1 2
4 5
3 3
0 2
<1 3
2 4
Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
2 7 4
0 7 0
3 6 2
2 2 2
2 0 0
1 9 6
2 6 3
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
40 28
28 18
42 26
31 11
6 4
43 24
36 21
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
11 25
12 11
12 13
13 11
0 4
15 20
12 17
16 5 8 4
12 3 3 3
14 12 4 7
6 2 9 1
0 0 0 0
17 11 6 2
13 6 6 3
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
2 2 <1 3 4
0 0 2 1 3
0 0 0 3 3
0 1 5 1 1
0 0 0 0 0
2 2 2 4 3
1 1 2 2 3
3 5 24
0 1 11
4 3 17
1 2 8
0 0 0
6 4 32
3 3 19
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
25 77 55
26 56 50
31 73 55
36 86 70
0 59 35
30 77 69
27 74 59
Peristiwa Traumatik
PNA1 VS. PNA2 Pembandingan Lokasi Kabupaten
PNA2 District Pembandingan Lokasi
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk pergi karena gedung terbakar Dipaksa untuk pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
p<0.001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
p<0.001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.01 p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.001 P<0.001 p<0.01 p<0.0001 p<0.0001
NS NS p<0.01
NS NS p<0.01
p<0.01 NS NS p<0.05 p<0.0001 p<0.0001
p<0.05 NS NS p<0.05 p<0.0001 p<0.0001
NS NS NS p<0.01 p<0.01
p<0.05 NS NS p<0.01 p<.01
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
p<0.01 p<0.0001
p<0.001 p<0.01
p<0.0001 p<0.0001 p<0.01 p<0.05
p<0.0001 p<0.0001 p=0.01 p<0.05
NS NS p<0.01 NS
NS NS p<0.05 NS
NS
NS
Peristiwa Trauma Masa Lalu Dialami oleh Informan Wanita
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untukmenghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
p<0.01
p<0.01
NS p<0.0001
NS p<0.0001
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
35
36
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
sawah, ternak, kebun, sekolah, mesjid. “Memulai dari nol” merupakan pengalaman yang sering dialami oleh para pengungsi yang pulang, dan kondisi ekonomi yang rentan memiliki dampak signifikan terhadap kondisi psikososial mereka.
Table 2.5 Trauma di kepala/ cidera otak potensial: Pria
Jika peristiwa traumatik di masa lalu yang diakibatkan konflik berbeda-beda berdasarkan sejarah kekerasan suatu kawasan diantara kawasan-kawasan di dalam PNA2, maka stres yang berkelanjutan (current stress) –yang didefinisikan sebagai kondisi yang tetap berlanjut sejak ditandatanganinya perjanjian perdamaian– mengikuti pola yang sangat berbeda. Secara keseluruhan, peristiwa yang menimbulkan stres berkelanjutan sangat sedikit dilaporkan pada PNA2 dibanding dalam PNA1. Walau terdapat beberapa variasi diantara kawasan-kawasan yang disurvei dalam PNA2, pola pelaporan peristiwa berkelanjutan yang lebih rendah tetap berlaku pada daerah-darah dimana konflik paling tinggi terjadi.Hal ini khususnya berlaku menyangkut laporan melihat para pelaku kekerasan (47% dalam PNA1, 7% dalam PNA2), mengalami penyerangan (31% vs. 1%), mengalami perampasan (21% vs. 1%), dan bahkan kekerasan terhadap wanita (4% vs. 1%) dan kekerasan terhadap anak (7% vs. 1%). Peristiwa stres pasca-konflik diantara kawasan-kawasan geografis dan antara PNA1 dan PNA2 dirangkum dalam Tabel 2.9. Temuan-temuan ini menandakan adanya perubahan yang sangat signifikan antara Pebruari 2006, sewaktu PNA1 dilaksanakan, dan Juli 2006 ketika survei PNA2 dilakukan (Nopember 2006 untuk Aceh Besar). Walau perjanjian perdamaian, atau Nota Kesepahaman (MoU), ditandatangani di bulan Agustus 2005, salah satu kemungkinan penjelasan untuk tingkat stres berkelanjutan yang tinggi di bulan Pebruari 2006 adalah bahwa pihak militer dan kepolisian Indonesia masih berada di pos-pos pedesaan di seluruh Aceh hingga akhir Desember 2005.
Lokasi Kabupaten
†PNA1 Data Trauma di Kepala
*Berbagai tipe trauma di kepala
Stres Pasca-Konflik
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
PNA1 + PNA2
†‡PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=315)
% Aceh Besar (N=66)
% Pesisir Timur (N=125)
% Daerah Tinggi Tengah (N=180)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=94)
% Pesisir Barat Daya (N=226)
% Total Sampel (N=1.006)
41
17
43
16
5
41
32
36 19 7 9
14 5 5 2
36 14 4 3
9 7 5 2
3 1 3 0
32 18 13 7
26 13 7 5
Tipe spesifik Dipukul di kepala Dicekik Hampir tenggelam Trauma di kepala lain
* Dari empat tipe cidera kepala yang berbeda, jika seorang responden menjawab ya untuk satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, lalu jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (“Berbagai macam trauma di kepala”), dimana kemudian akan memberikan informasi akan banyaknya responden yang mengalami trauma fisik kepala apapun.
Pria † PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Secara statistik berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] Tipe trauma kepala apapun- p<0.0001 Dipukul di kepala- p<0.0001 Dicekik- p<0.0001 Hampir tenggelam- p<0.01 Trauma di kepala lainnya- p<0.0001
‡ PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Tipe trauma kepala apapun- p<0.0001 Dipukul di kepala- p<0.0001 Dicekik- p<0.0001 Hampir tenggelam- p<0.01 Trauma di kepala lainnya- p<0.01
Tabel 2.6 Trauma di kepala/ cidera otak potensial: wanita Lokasi Kabupaten
†PNA1 Data Trauma di Kepala
*Berbagai tipe trauma di kepala
PNA1 + PNA2
†‡PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=281)
% Aceh Besar (N=114)
% Pesisir Timur (N=121)
% Daerah Tinggi Tengah (N=147)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=68)
% Pesisir Barat Daya (N=235)
% Total Sampel (N=966)
12
4
10
5
6
7
8
7 7 <1 2
1 1 2 0
4 8 0 1
0 4 1 0
0 6 0 0
4 1 3 0
4 5 1 1
Tipe spesifik Dipukul di kepala Dicekik Hampir tenggelam Trauma di kepala lain
* Dari empat tipe cidera kepala yang berbeda, jika seorang responden menjawab ya untuk satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, lalu jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (“Berbagai macam trauma di kepala”), dimana kemudian akan memberikan informasi akan banyaknya responden yang mengalami trauma fisik kepala apapun.
Wanita † PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Secara statistik berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] Tipe trauma kepala apapun- p<0.05 Dipukul di kepala- p=0.0001 Dicekik- p<0.001 Hampir tenggelam- NS Trauma di kepala lainnya- p<0.05
‡ PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Tipe trauma kepala apapun- NS Dipukul di kepala- p<0.01 Dicekik- p<0.01 Hampir tenggelam- NS Trauma di kepala lainnya- NS
37
38
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Di bulan Pebruari 2006, tingkat keamanan masih tidak menentu dan rasa percaya terhadap proses perdamaian masih sangat terbatas, karena walau MoU mewajibkan pemulangan 23.000 pasukan non-organik, yakni pasukan Indonesia yang diimpor ke Aceh dari daerah lain di Indonesia, keberangkatan mereka disamakan dengan lamanya proses peletakan senjata oleh GAM. Oleh sebab itu, banyak desa masih diduduki kelompok-kelompok bersenjata hingga beberapa bulan setelah MoU ditandatangani. Ingatan akan pendudukan desa di bulan Pebruari 2005 mungkin merupakan penyebab tingkat stres berkelanjutan yang tinggi bagi responden PNA1. Sedangkan di bulan Juli dan Nopember proses perdamaian telah berkembang secara signifikan, dengan masyarakat pedesaan mengalami setidaknya enam bulan perdamaian yang sesungguhnya, tanpa adanya keberadaan kelompok bersenjata yang intimidatif dan terkadang menghasut di tengahtengah mereka. Temuan-temuan pada PNA2 menyiratkan bahwa pada bulan Juli, para warga mengalami kontak yang jauh lebih rendah dengan para pelaku kekerasan di masa lalu dan merasakan keamanan yang jauh lebih besar. Pola nilai PNA yang lebih rendah juga berlaku menyangkut masalah kondisi hidup (kurangnya perumahan yang
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.7 Evakuasi paksa dan pengalaman pengungsian lainnya *PNA1 Data Pengalaman Mengungsi Dipaksa meninggalkan gedung yang terbakar Dipaksa meninggalkan bahaya Evakuasi terpaksa (PNA2 saja) Memilih untuk evakuasi (PNA2 saja)
layak 59% vs. 38%; air/ kebersihan 75% vs. 55%; dan kepastian makanan 72% vs. 63%) dan masalah-masalah yang menyangkut mata pencaharian (kesulitan mencari nafkah untuk keluarga 85% vs. 72%; mencari pekerjaan 89% vs. 75%; dan memulai kegiatan mata pencaharian 71% vs. 56%). Namun demikian, walau turun secara signifikan, angka-angka pada PNA2 masih sangat tinggi. Wawancara kualitatif menandakan bahwa penyebab stres berkelanjutan tersebut mencerminkan kerusakan perekonomian desa setelah upaya selama bertahun-tahun untuk menghancurkan sumber daya yang menopang kegiatan GAM. Konflik jelas memporak-porandakan perekonomian setempat, menghancurkan jaringan perdagangan, menghancurkan rumah, membunuh hewan ternak dan
†PNA2 Data % Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
38 47
13 33
45 61
37 40
6 12
42 57
33 45
35 46
-
30 6
55 7
36 5
6 1
43 17
38 9
-
menghambat petani untuk bekerja di ladang mereka dan penduduk muda untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Oleh sebab itu, proses pemulihan akan mensyaratkan agar peristiwa traumatik yang mengerikan yang dialami oleh komunitas-komunitas mereka dan kerusakan pada perekonomian dan sumber daya komunitas ditangani dengan cepat. Berbulan-bulan setelah selesainya kegiatan lapangan PNA dan hampir memasuki pertengahan tahun 2007 saat penyusunan laporan ini, patut diketahui bahwa di beberapa daerah di Aceh situasi keamanan masih tidak stabil, khusus di kabupaten Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur dimana munculnya laporan terjadinya pemerasan, perampasan,
†PNA2 Data
Pesisir Utara * Aceh Besar ** Pesisir Timur *** Daerah Tinggi Tengah Daerah Tinggi Tenggara Pesisir Barat Daya **** Di luar Aceh *****
* ** *** **** *****
PNA1 + PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=596)
Tabel 2.8 Konflik tujuan IDP, berdasarkan daerah (data pna2 saja)
Konflik Tujuan IDP
39
% Aceh Besar (N=63)
% Pesisir Timur (N=143)
% Daerah Tinggi Tengah (N=124)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=9)
% Pesisir Barat Daya (N=256)
% Total PNA2 Sampel (N=595)
0 100 0 0 0 0 0
2 <1 87 0 0 <1 10
3 2 0 89 0 2 4
0 0 0 11 67 22 0
<1 4 <1 0 0 95 <1
2 13 21 19 1 42 4
Termasuk pada responden yang menyinggung Lhokseumawe sebagai tujuan mereka. Termasuk pada responden yang menyinggung Banda Aceh sebagai tujuan mereka. Termasuk pada responden yang menyinggung Langsa sebagai tujuan mereka. Termasuk pada responden yang menyinggung kabupaten Aceh Jaya, Aceh Singkil, dan Simeuleu sebagai tujuan. Sebagian besar propinsi Sumatra Utara, tapi propinsi Riau, propinsi Sumatra Selatan, Jakarta dan Malaysia masing-masing hanya disinggung sekali.
ancaman bomb, serangan senjata tajam, dan pertikaian perebutan kekuasaan membuat masyarakat setempat resah. Data PNA tidak mengukur peristiwa atau gejala secara prospektif/ longitudinal, sehingga tidaklah jelas apakah tingkat stres yang berkelanjutan, beserta gejala psikologis, akan berfluktuasi dengan berubahnya kondisi keamanan.
Desa-desa Yang Ditetapkan Sebagai “Berkonflik Tinggi” oleh Program MGKD IOM Baik PNA1 maupun PNA2 mendasarkan sampling kecamatan dan desa “berkonflik tinggi” pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik dari IOM yang didanai Komisi Eropa, yang dikenal secara setempat dengan nama program Makmue Gampong Kareuna Damee (MGKD). Program MGKD mengimplementasikan proyek berdampak cepat yang diprakarsai oleh masyarakat di desa-desa yang memiliki sejarah konflik intensif, dan yang memiliki banyak mantan kombatan dan tahanan politik GAM yang pulang. Penyeleksian yang dilakukan program MGKD atas kecamatan dan desa yang berkonflik tinggi merupakan komponen penting dalam metodologi sampling PNA jika kabupaten yang diliput oleh PNA memiliki program MGKD. Secara ratarata, di tempat-tempat dimana program MGKD diberlakukan, setengah dari jumlah desa yang dijadikan sampel dalam PNA dipilih secara acak dari daftar desa yang menerima bantuan dari MGKD. Sisanya dipilih secara acak dari kecamatan
yang sama yang diidentifikasi oleh program MGKD sebagai berkonflik tinggi, namun tidak dijadikan sebagai penerima bantuan dari proyek manfaat perdamaian tersebut. 46% dari responden PNA1 dan 33% dari responden PNA2 tinggal di desa dengan program MGKD. Persentase keseluruhan adalah lebih rendah pada sampel PNA2 karena empat kabupaten – Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Besar – tidak memiliki program MGKD dan oleh karena itu menggunakan metodologi sampling yang berbeda. Perbedaan dalam prosedur sampling mengakibatkan adanya kemungkinan suatu penyimpangan sampling (sampling bias) ke arah jumlah desa berkonflik tinggi yang lebih rendah di keempat kabupaten tersebut. Namun demikian, analisa pengalaman traumatik oleh responden di desa MGKD dan nonMGKD memberikan kesempatan untuk mengevaluasi validitas penetapan yang dilakukan oleh Bank Dunia dan IOM terhadap desa-desa tersebut sebagai “berkonflik tinggi.” Dapat dinyatakan sebuah hipotesa bahwa jika penetapan konflik tinggi ternyata cukup tepat dari segi peristiwa traumatik yang dialami oleh para responden di desa-desa MGKD, maka penyimpangan sampling PNA di kabupaten-kabupaten tanpa program MGKD juga akan meningkat.
beberapa peristiwa traumatik masa lalu yang spesifik 50% lebih tinggi di masyarakat MGKD di kedua sampel (untuk peristiwa-peristiwa yang sering dialami, mereka mencapai signifikasi statistik yang tinggi). Temuan-temuan tersebut mendukung penetapan yang dilakukan oleh IOM, yang sebagian didasarkan pada data penelitian Bank Dunia terdahulu, terhadap desa-desa tersebut sebagai komunitas “berkonflik tinggi” yang membutuhkan bantuan khusus.
• Stres Pasca-Konflik di DesaDesa MGKD Tingkat stres pasca-konflik yang ada saat ini mengikuti suatu pola yang berbeda. Para responden PNA1 di desa-desa MGKD melaporkan tingkat peristiwa stres yang berkelanjutan yang secara statistik lebih tinggi untuk 13 dari 18 peristiwa yang ada di dalam checklist. Responden PNA2 secara keseluruhan, sebagaimana disinggung di bawah, melaporkan peristiwa stres pasca konflik yang berkelanjutan pada tingkat yang secara signifikan lebih rendah daripada pada PNA1, dan responden di desadesa MGKD melaporkan tingkat yang lebih tinggi hanya pada empat dari 18 peristiwa yang dicantumkan dalam checklist.
• Peristiwa Traumatik Masa Lalu di Desa-desa MGKD
Rangkuman: Trauma Konflik dan Ingatan Kolektif di Aceh
Tingkat peristiwa traumatik masa lalu secara substansial dan signifikan lebih tinggi di desa-desa MGKD baik di PNA1 maupun PNA2. Tingkat dari
Temuan umum dari pemetaan yang dilakukan di PNA2 terhadap peristiwaperistiwa konflik di seluruh Aceh adalah bahwa daerah-daerah Pesisir Timur dan
40
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.9
peristiwa menegangkan yang dialami oleh responden baru-baru ini *PNA1 Data
PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
Kurangnya tempat tinggal yang layak ditinggali Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kurangnya makanan
59 75 72
32 31 33
30 56 42
44 65 59
22 62 56
45 54 63
38 55 54
44 61 59
Kesulitan menyediakan kebutuhan bagi keluarga Kesulitan mencari pekerjaan Kesulitan memulai mata pencaharian
85 89 71
60 57 36
65 75 55
79 79 64
67 70 52
77 82 61
72 75 56
76 80 61
Kembali untuk mendapati rumah yang hancur Belajar menerima kematian anggota keluarga dan teman Tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga/ teman
21 45 14
10 27 2
18 29 7
18 37 11
6 28 3
20 34 13
16 32 9
18 36 10
Melihat pelaku kejahatan
47
3
16
10
0
5
7
19
Penolakan oleh keluarga dan komunitas Ketakutan tinggal dengan keluarga dan komunitas
3 18
0 2
2 3
1 11
0 4
1 8
1 7
2 10
Mengalami pelecehan Mengalami perampokan
31 21
0 0
3 3
1 2
0 0
1 1
1 1
10 7
Perubahan dalam prinsip beragama Perubahan dalam prinsip bermasyarakat
11 20
21 16
58 51
21 33
19 20
15 11
26 25
21 24
Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak-anak
4 7
0 1
3 <0
3 2
0 0
1 1
1 1
2 3
Penyebab Stres
*
PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua peristiwa]. Kecuali…. Penolakan oleh keluarga dan komunitas- p<0.05
†
PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Kurangnya tempat tinggal yang layak ditinggali Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kurangnya makanan Sulitnya menyediakan untuk keluarga Sulitnya mencari pekerjaan Sulitnya memulai mata pencaharian Kembali untuk mendapati rumah yang hancur Belajar menerima kematian anggota keluarga dan teman Tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga/ teman Melihat pelaku kejahatan
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
p< 0.0001 p< 0.0001 p< 0.0001 p< 0.0001 p< 0.0001 p< 0.0001 p< 0.0001 NS p< 0.0001 p< 0.0001
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total PNA2 Sampel (N=1.376)
Penolakan oleh keluarga dan komunitas Ketakutan tinggal dengan keluarga dan komunitas Mengalami pelecehan Mengalami perampokan Perubahan dalam prinsip beragama Perubahan dalam prinsip bermasyarakat Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak-anak
% Total Sampel (N=1.972)
NS p< 0.0001 p<0.05 p<0.01 p< 0.0001 p< 0.0001 p<0.01 NS
41
Barat Daya propinsi tersebut mengalami tingkat kekerasan yang sama dengan, dan terkadang lebih dari, komunitas referensi di Pesisir Utara yang dijadikan sampel dalam PNA1. Keseluruhan satuan set data adalah berguna untuk mendokumentasikan trend-trend makrogeografis ini, namun seringkali juga dapat digunakan untuk menemukan titik-titk panas mikro-lokalitas di tingkat kabupaten dan desa, bahkan di daerahdaerah dengan tingkat sejarah kekerasan yang relatif lebih rendah. Dilengkapi dengan data kualitatif, kisah-kisah mengenai apa yang telah dialami oleh para desa dan para individu selama konflik melengkapi data kuantitatif dan mengisi data-data yang tidak di tangkap oleh indikator makro. Data PNA mengenai peristiwa trauma konflik mengisyaratkan adanya tampungan ingatan kolektif yang besar mengenai kekerasan yang mencekam dan berkelanjutan yang dilakukan terhadap penduduk sipil pedesaan di Aceh. Bahkan di daerah-daerah dengan jumlah kejadian yang rendah, terdapat ingatan kolektif mengenai kehancuran yang melanda seluruh propinsi tersebut. Dari para individu, ke desa-desa, kabupaten, daerah, dan propinsi secara keseluruhan, ingatan mendalam dan rasa sakit dari sejarah Aceh yang berdarah mempengaruhi persepsi kolektif mengenai situasi keamanan saat ini dan kecemasan mengenai masa depan. Dari sisi psikososial umum, sejarah yang berdarah memiliki dampak pada posisi tiap warga dan praktek sehari-hari di Aceh, dan oleh karena itu seyogyanya mendasari dan dipertimbangkan dalam pengembangan intervensi pasca-konflik dan intervensi kemanusiaan lainnya di Aceh. Dari sisi psikososial yang spesifik, sejarah berdarah di Aceh telah secara permanen mengubah ribuan hidup, baik dari segi perekonomian yang nyata maupun keamanan psikologis, baik secara individual maupun kolektif, sebagaimana yang akan didemonstrasikan di bab-bab setelah ini.
42
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
43
Tabel 2.10 peristiwa trauma di masa lalu berdasarkan variabel pna dan mgkd *†PNA1 Data Peristiwa Traumatik
MGKD+ (N=275)
*‡PNA2 Data
PNA1+PNA2
MGKD(N=321)
Total (N=596)
MGKD+ (N=454)
MGKD(N=922)
Total (N=1.376)
Total (N=1.972)
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk meninggalkan gedung yang terbakar Dipaksa untuk meninggalkan bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
84 47 60 21
73 31 36 12
78 38 47 16
82 43 60 13
68 29 38 7
73 33 45 9
74 35 46 11
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
48 34 24 16 64 23
31 19 13 10 45 12
39 26 18 13 54 17
31 22 17 15 52 18
19 10 6 7 33 6
23 14 10 10 39 10
28 17 12 11 44 12
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
2 <1 5
1 0 2
1 <1 3
1 1 5
1 <1 2
1 1 3
1 <1 3
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
6 3 8 4 48 41
4 2 3 3 34 26
5 3 5 3 41 33
3 2 3 1 41 32
2 2 3 2 35 30
2 2 3 2 37 31
3 2 4 2 38 31
Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM
8 16
3 9
5 12
4 14
3 6
4 9
4 10
Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
4 14 11
2 6 4
3 9 8
6 12 9
3 6 3
4 8 5
3 8 6
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
55 41
36 25
45 33
50 27
31 17
37 21
40 24
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
36 32
23 23
29 27
27 22
19 12
22 15
24 19
29 15 19 9
17 8 6 2
23 12 12 6
24 17 9 5
12 7 7 3
16 10 8 4
18 11 9 4
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
9 9 4 9
4 5 3 5
6 7 3 7
4 5 5 7
1 1 3 2
2 2 3 4
3 4 3 5
9
5
7
6
2
3
4
11
4
7
10
5
6
6
11 47
5 26
8 35
7 32
2 18
4 22
5 26
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
27 91 72
21 74 49
24 82 60
33 77 66
25 74 59
27 75 62
26 77 61
† PNA1/MGKD+ vs. PNA1/MGKD-
‡ PNA2/MGKD+ vs. PNA2/MGKD-
Mengalami peperangan (pemboman, fire fights) Dipaksa untuk pergi karena gedung terbakar Dipaksa untuk pergi karena bahaya Dipaksa untuk bersembunyi
p<0.01 p=0.0001 p<0.0001 p<0.01
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.001
Beating to the body Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Cidera fisik yang serius dari peperangan Menyaksikan hukuman fisik Dipermalukan di hadapan publik
p<0.0001 p<0.0001 p<0.001 NS p<0.0001 p<0.001
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Pelecehan seksual lainnya
NS NS p<0.05
NS NS p<0.05
Pasangan terbunuh Pasangan hilang dan diculik Anak terbunuh Anak hilang dan diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh Anggota keluarga atau teman hilang
NS NS p<0.05 NS p<0.001 p<0.001
NS NS NS p<0.05 p<0.05 NS
Diculik Ditangkap dan ditahan oleh TNI/ POLRI atau GAM Dikirim ke penjara Dipaksa berpisah dari keluarga Dipaksa terisolasi
p<0.01 p<0.05 NS p<0.001 p<0.01
NS p<0.0001 p<0.01 p<0.0001 p<0.0001
Penjarahan dan pengrusakan properti Extortion dan perampokan
p<0.0001 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
Dipaksa untuk menjadi buruh Dipaksa untuk memberikan makanan dan tempat tinggal untuk TNI atau GAM Dipaksa untuk melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa untuk mencari mayat Tidak diizinkan untuk melakukan pemakaman secara Islam
p<0.001 p<0.05
p<0.001 p<0.0001
p<0.01 p<0.01 p<0.0001 p=0.0001
p<0.0001 p<0.0001 NS NS
p<0.05 p<0.05 NS
p<0.001 p=0.0001 NS
p<0.05
p<0.0001
p<0.05
p<0.001
Peristiwa Trauma di Masa Lalu yang Dialami oleh Informan
Dipaksa untuk melukai anggota keluarga Dipaksa untuk melukai bukan anggota keluarga Dipaksa untuk menghancurkan properti orang lain Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan anggota keluarga Dipaksa untuk menghianati/ membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang memaksa untuk menghianati/ membahayakan anda Dipaksa untuk mempermalukan orang lain Dipaksa untuk mencari anggota GAM di hutan
p<0.01
p<0.001
p<0.05 p<0.0001
p<0.0001 p<0.0001
Kurangnya tempat tinggal akibat konflik Kurangnya makanan dan minuman akibat konflik Sakit dan kurangnya akses pelayanan kesehatan
NS p<0.0001 p<0.0001
p<0.01 NS p<0.05
44
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 2.10 peristiwa trauma di masa lalu berdasarkan variabel pna dan mgkd (lanjutan halaman 43) Catatan: Jawaban variabel MGKD “ya” atau “tidak” jika IOM mempunyai Proyek Manfaat Perdamaian di Masyarakat (MGKD) di desa dimana responden tinggal. *
PNA1/ MGKD+, PNA1/ MGKD-, PNA2/ MGKD+, PNA2/ MGKD- perbandinganStatistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] Kecuali…. Kurangnya tempat tinggal p<0.01 Perkosaan NS Dipaksa memperkosa anggota keluarga NS Penganiayaan seksual lainnya p<0.05 Dikirim ke penjara p<0.05 Diculik p<0.01 Tidak ada pemakaman secara Islam p=0.0001 Dipaksa untuk merusak properti orang lain NS Pasangan terbunuh p<0.05 Anak terbunuh p=0.01 Anggota keluarga atau teman terbunuh p<0.001 Pasangan diculik atau hilang NS Anak diculik atau hilang NS Anggota keluarga/ teman, diculik/ hilang p<0.01
*†PNA1 Data
Kurangnya tempat tinggal yang layak ditinggali Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kurangnya makanan
Kurangnya tempat tinggal yang layak ditinggali Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kurangnya makanan Kesulitan menyediakan kebutuhan bagi keluarga Kesulitan mencari pekerjaan Kesulitan memulai mata pencaharian
Tabel 2.11 Peristiwa yang membuat sangat stres yang dialami oleh responden baru-baru ini, berdasarkan penunjukkan pna dan mgkd
Penyebab Stres
† Peristiwa Baru-baru Ini (Pasca-Konflik) yang Membuat Stres yang Dialami oleh Informan
*‡PNA2 Data
PNA1+PNA2
MGKD+ (N=275)
MGKD(N=321)
Total (N=596)
MGKD+ (N=454)
MGKD(N=922)
Total (N=1.376)
Total (N=1.972)
66 84 82
52 68 64
59 75 72
41 61 59
36 52 51
38 55 54
44 61 59
Kesulitan menyediakan kebutuhan bagi keluarga Kesulitan mencari pekerjaan Kesulitan memulai mata pencaharian
90 94 77
82 86 66
85 89 71
72 78 59
72 74 55
72 75 56
76 80 61
Kembali untuk mendapati rumah yang hancur Belajar menerima kematian anggota keluarga dan teman Tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga/ teman
28 50
15 41
21 45
23 34
13 32
16 32
18 36
15
13
14
11
7
9
10
Melihat pelaku kejahatan
58
38
47
7
7
7
19
Penolakan oleh keluarga dan komunitas Ketakutan tinggal dengan keluarga dan komunitas
3 21
2 15
3 18
2 7
1 6
1 7
2 10
Mengalami pelecehan Mengalami perampokan
38 27
24 16
31 21
1 2
1 1
1 1
10 7
Perubahan dalam prinsip beragama Perubahan dalam prinsip bermasyarakat
13 24
10 18
11 20
28 24
24 26
26 25
21 24
Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak-anak
6 9
3 5
4 7
2 1
1 1
2 3
1 1
PNA1/ MGKD+ vs. PNA1/ MGKDp<0.001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.01 p<0.01 p<0.01
Kembali untuk mendapati rumah yang hancur Belajar menerima kematian anggota keluarga dan teman Tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga/ teman
p<0.0001 p<0.05 NS
Melihat pelaku kejahatan
p<0.0001
Penolakan oleh keluarga dan komunitas Ketakutan tinggal dengan keluarga dan komunitas
NS p<0.05
Mengalami pelecehan Mengalami perampokan
p<0.001 p<0.001
Perubahan dalam prinsip beragama Perubahan dalam prinsip bermasyarakat Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak-anak
† Peristiwa Baru-baru Ini (Pasca-Konflik) yang Membuat Stres yang Dialami oleh Informan Kurangnya tempat tinggal yang layak ditinggali Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kurangnya makanan Kesulitan menyediakan kebutuhan bagi keluarga Kesulitan mencari pekerjaan Kesulitan memulai mata pencaharian Kembali untuk mendapati rumah yang hancur Belajar menerima kematian anggota keluarga dan teman Tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga/ teman
45
NS NS p<0.05 NS
PNA2/MGKD+ vs. PNA2/MGKDNS p<0.01 p<0.01 NS NS NS p<0.0001 NS p<0.05
Melihat pelaku kejahatan
NS
Penolakan oleh keluarga dan komunitas Ketakutan tinggal dengan keluarga dan komunitas
NS NS
Mengalami pelecehan Mengalami perampokan
NS NS
Perubahan dalam prinsip beragama Perubahan dalam prinsip bermasyarakat
NS NS
Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak-anak
NS NS
Catatan: Jawaban variabel MGKD “ya” atau “tidak” jika IOM mempunyai Proyek Manfaat Perdamaian di Masyarakat (MGKD) di desa dimana responden tinggal. * PNA1/ MGKD+, PNA1/ MGKD-, PNA2/ MGKD+, PNA2/ MGKDperbandingan Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] Kecuali…
Tidak tahu apa yang terjadi dengan anggota keluarga/ teman p<0.001
Penolakan oleh keluarga/ komunitas p<0.05
46
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
47
Sisa-sisa Dampak Psikososial dan Psikologis dari Kekerasan: Depresi, Kecemasan dan Traumatic Stress Disorders Metode • Ukuran Tekanan Psikologis dan Gangguan Neuropsikiatri Kuesioner survei dibuka dengan suatu rangkaian pertanyaan terbuka yang sangat umum mengenai dampak konflik pada individu dan kehidupan mereka; “Apakah anda atau anggota keluarga anda merupakan korban konflik? Jika ya, siapa? Dapatkan anda menceritakan apa yang terjadi?” Ini diikuti dengan pertanyaanpertanyaan mengenai daftar peristiwa traumatik, yang dibahas di atas. Seperti halnya itu juga, bagian mengenai tekanan (distress) psikologis dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat terbuka; “konflik telah membawa tekanan yang unik terhadap warga Aceh selama beberapa tahun belakangan ini. Apakah tekanantekanan tersebut telah memiliki pengaruh terhadap perasaan, energi, atau kesehatan anda dalam kehidupan sehari-hari anda? Dapatkah anda bercerita apa saja pengaruh tersebut?” Hal ini kemudian dilanjutkan dengan sebuah penilaian-diri yang sangat umum, dengan jawaban yang bersifat kuantitatif; “dalam satu tahun terakhir, apakah anda telah menemukan kesulitan menyangkut perasaan anda atau cara bagaimana anda berperasaan (misalnya, merasa depresi atau seringkali sedih, cemas, takut, atau tidak mampu mengendalikan amarah anda)?” “Jika ya, seberapa seriuskah?” (Ini diukur dalam sebuah skala 1 hingga 4, dari ‘tidak serius’ hingga ‘sangat serius’). “Jika ya, menurut anda apakah hal tersebut disebabkan oleh stres atau trauma yang berkaitan dengan konflik?” Pertanyaan umum ini kemudian diikuti
dengan permintaan kepada responden untuk menceritakan gejala psikologis atau masalah-masalah yang mereka alami dalam seminggu yang lalu, dengan menggunakan Hopkins Symptom Checklist (HSCL) untuk Depresi dan Kecemasan versi 25 pertanyaan. Limabelas gejala yang terkait dengan depresi dan 10 gejala yang terkait dengan kecemasan ditanyakan, dan responden diminta untuk menceritakan apakah mereka telah mengalaminya selama satu minggu yang lalu: ‘sama sekali tidak,’ ‘sedikit,’ ‘terkadang,’ dan ‘sering.’ Skala ini dimasukkan ke dalam Harvard Trauma Questionnaire dan telah digunakan secara luas dalam berbagai penelitian tekanan emosional pada masyarakat yang terkena bencana dan trauma (Mollica 2004). Disamping itu, para responden diminta untuk menceritakan kepada pewawancara, dengan menggunakan format yang sama, apakah mereka telah mengalami gejala atau masalah yang dicantumkan sebagai bagian dari 42 pertanyaan pada Harvard Trauma Questionnaire (HTQ), yang dikembangkan oleh Mollica and timnya untuk digunakan dalam daerah-daerah konflik. HTQ merupakan pengukuran umum atas gejala-gejala yang diasosiasikan dengan trauma dan disasosiasi, yang meliputi suatu bagian inti yang terdiri dari 16 pertanyaan untuk menilai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pertanyaan-pertanyaan tersebut disesuaikan dengan memasukkan cara-cara yang lazim digunakan di Indonesia, khususnya di Aceh, untuk menjelaskan tekanan psikologis. Kuesioner secara keseluruhan ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan
memiliki tingkat tinggi atau rendah, sebagai suatu ‘kasus’ atau ‘bukan kasus’ (misalnya, suatu kasus depresi atau kecemasan, atau suatu kasus yang membutuhkan perawatan) atau yang memenuhi syarat untuk diberi diagnosa klinis (sebagai contoh, diagnosa gangguan depresi berat, panik, atau Post-Traumatic Stress Disorder) atau yang tidak memenuhi syarat untuk suatu diagnosa.
dalam bahasa Aceh dan pewawancara terkadang menjelaskan pertanyaanpertanyaan tertentu dalam bahasa Aceh atau bahasa setempat lainnya jika perlu. Pertanyaan-pertanyaan pada HSCL dan HTQ diterjemahkan dengan menggunakan peristilahan bahasa Indonesia yang umum, jika memang ada – seperti bingung, melamun, dan pusing. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menangkap wacana populer mengenai pengalaman pasca-tsunami dan pasca-konflik yang menakutkan diikutkan dalam kuesioner guna mengungkap jika dialaminya mimpi buruk, hantu, arwah, dan mendengar suara-suara orang yang telah meninggal, pengalamanpengalaman yang kami ketahui adalah penting berdasarkan penelitianpenelitian etnografi di masa lalu. Sebuah pengukuran yang berisikan empat pertanyaan dimasukkan dari Harvard Trauma Questionnaire dalam rangka menilai adanya dan tingkat peristiwa-peristiwa yang kemungkinan menimbulkan trauma kepala atau cidera otak, termasuk pemukulan terhadap kepala, pencekikan, penenggelaman, dan cidera fisik kepala lainnya.
• Analisa Gejala-gejala Psikologis dan Diagnosa Psikiatri Tekanan psikologis (psychological distress) dapat dikonsepsualisasikan dalam dua cara: sebagai sebuah ‘variable yang berkelanjutan,” yakni sebagai suatu tingkat tekanan atau gejala, seperti depresi atau kecemasan (anxiety), berkisar secara berkesinambungan dari tingkat yang sangat rendah hingga tingkat yang sangat tinggi, dan sebagai suatu ‘variable dikotomi,’ yakni bisa
Checklist gejala psikologis dirancang terutama untuk digunakan sebagai variabel yang berkelanjutan dalam kerja atau penelitian klinis – untuk menjawab pertanyaan seperti ‘apakah pasien ini merasa lebih baik daripada yang dirasakannya satu bulan yang lalu?’ atau ‘apakah gejala psikologis sangat tinggi dalam beberapa kelompok yang beresiko?’ atau ‘apakah tingkat tekanan psikologis sangat berkorelasi dengan tingkat stres atau jumlah peristiwa traumatik yang dialami?’ Di sisi lainnya, pertanyaan mengenai ‘berapa persentase penduduk dalam desa ini yang mengalami gangguan depresi berat?’ membutuhkan pembuatan tingkatan yang bersifat dikotomi, yang menenetukan apakah seseorang adalah ‘suatu kasus’ atau ‘bukan suatu kasus’ depresi atau apakah memenuhi atau tidak memenuhi syarat diagnosa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Variabel seperti itu dapat dianalisa menggunakan odds analysis, yang mengindikasikan resiko tinggi untuk
8
mengidap suatu penyakit diantara orang-orang yang memiliki ciri khusus tertentu dibanding dengan orang lain. Dalam survei kesehatan mental, terdapat dua metode yang digunakan untuk mengubah suatu variabel berkelanjutan menjadi suatu variabel dikotomi. Yang pertama, kita dapat membuat suatu penetapan bahwa seorang responden yang melaporkan gejala di atas suatu tingkat tertentu akan dianggap sebagai suatu ‘kasus’ – sebagai contoh, mendefinisikan seseorang yang memiliki gejala depresi di atas suatu tingkat tertentu, dan oleh karena itu membutuhkan layanan kesehatan mental. Tingkat yang ditentukan oleh analis untuk menandakan titik penentuan, beserta tingkat gejala di dalam komunitas, akan menentukan berapa persentase orang yang dianggap sebagai ‘kasus’. Yang kedua, kita dapat menggunakan sebuah algoritma diagnostik, didasarkan pada praktek diagnosa psikiatri yang ada saat ini. Jika seorang responden mengindikasikan bahwa dirinya telah mengalami suatu kombinasi gejala yang memenuhi kriteria suatu diagnosa tertentu (gangguan depresi berat atau posttraumatic stress disorder, misalnya), maka orang tersebut dapat dianggap ‘memenuhi kriteria’ untuk jenis gangguan tersebut. Dalam bab-bab berikut ini, melaporkan temuan-temuan
kami kami
dalam empat cara. Pertama, kami mengikuti prosedur standar yang direkomendasikan oleh Mollica et al untuk menggunakan sebuah nilai mean 1,75 pada pertanyaan- pertanyaan mengenai depresi pada skala HSCL 15-pertanyaan dan skala kecemasan 10-pertanyaan sebagai titik penentu (cut-off point), dan 2,50 pada ke-42 pertanyaan gejala trauma pada HTQ, guna mengidentifikasi apakah seseorang menderita depresi atau gangguan pasca-traumatik.8 Penggunaan metode memungkinkan kami untuk membandingkan temuan pada sampel Aceh dengan sampel serupa dari daerah-daerah berkonflik tinggi seperti Bosnia atau Kamboja. Kedua, untuk beberapa analisa kami menggunakan titik penentu yang lebih konservatif atau tinggi, yakni 3,0 pada pertanyaan-pertanyaan mengenai depresi dan kecemasan pada HSCL dan 3,0 pada gejala-gejala trauma pada HTQ. Meninggikan tingkat penentu (cut-off) mengidentifikasikan kelompok yang lebih kecil yang saat ini menderita gejala-gejala yang lebih berat, dan memungkinkan kami untuk bertanya kelompok orang yang mana atau bentuk pengalaman traumatik apa yang menempatkan seorang individu pada resiko tinggi mengidap tekanan psikiatri yang paling parah. Kami menggunakan metode ini pada analisaanalisa PNA1 karena tingkat gejala sangatlah tinggi sehingga adalah perlu untuk mengidentifikasi kelompok orang yang lebih kecil dengan gejala
Mollica, Richard F., Laura S. MadDonald, Michael Massagli, and Derrick M. Silove. 2004. “Measuring Trauma, Measuring Torture. Instructions and Guidance on the Utilization of the Harvard Program in Refugee Traumas Versions of The Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) & The Harvard Trauma Questionnaire (HTQ)”. Cambridge, MA: Harvard Program in Refugee Trauma.
48
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
yang paling tinggi tingkatnya. Ketiga, kami mengikuti algoritma yang dibuat oleh Mollica et al (2004) guna menentukan apakah orang-orang menderita suatu kelompok gejala tertentu yang terkait dengan penyakit depresif atau PTSD, menurut American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual, Edisi 4 (DSM-IV). Karena algoritma ini didasarkan pada gejala dari sebuah daftar gejala dan bukan dari sebuah wawancara psikologis yang secara eksplisit dirancang untuk menentukan sebuah diagnosa klinis, dan karena mereka bertanya mengenai adanya gejala- gejala selama satu minggu yang lalu namun bukan durasi gejala, maka nilai-nilai yang didapat tersebut hanya dapat dianggap sebagai suatu perkiraan. Namun mereka mengindikasikan tingkat depresi dan penyakit pada masyarakat yang berkaitan dengan trauma. Sejumlah 14 pertanyaan depresi dari HSCL dimasukkan ke dalam algoritma depresi (lihat Tabel). Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai 3 atau 4 kepada dirinya sendiri pada suatu butir tertentu. Guna untuk diklasifikasikan sebagai gejala depresi, seorang subyek pada awalnya membutuhkan suatu respons positif pada salah satu dari butir pertanyaan mengenai ‘rasa depresi’ atau ‘rasa minat/ kesenangan yang menurun’. Disamping itu, sebuah nilai positif pada 4 dari ke enam gejala pada DSM-IV Kriteria A dibutuhkan untuk pengklasifikasian yang positif. Nilai positif pada 3 dari 6 gejala DSMIV Criterion A dibutuhkan jika ada
jawaban positif untuk perasaan tertekan (depressed) maupun berkurangnya minat/ rasa senang.9 10 11 Sebuah algoritma yang lebih konservatif atau tinggi juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan dinilai sebagai ‘positif pada checklist’ hanya jika peringkat berada pada tingkat yang paling tinggi, yakni 4. Semua langkah-langkah pada algoritma depresi primer tetap sama. Sekali lagi, metode ini digunakan pada PNA1 karena tingkat gejala sangatlah tinggi. Kami memberikan analisa yang serupa dalam PNA2 untuk tujuan pembandingan. Sebanyak 16 butir dari Kuesioner Trauma Harvard (HTQ) dimasukkan ke dalam algoritma PTSD. Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai pada diri mereka 3 atau 4 pada suatu butir tertentu. Untuk diklasifikasikan sebagai mengidap gejala PTSD (atau ‘memenuhi kriteria diagnostik untuk PTSD’), seorang subyek memerlukan respons positif pada 1 atau lebih gejala mengalami kembali (re-experiencing symptom), 3 atau lebih gejala penghindaran atau mati rasa (avoidance and numbing symptoms), dan 2 atau lebih gejala rangsangan (arousal symptoms). (Lihat tabel 3.2). Pengalaman sebuah peristiwa traumatik (kriteria A) telah diasumsikan terjadi pada semua responden. Sekali lagi, sebuah algoritma yang lebih konservatif juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan diberi tanda positif hanya jika nilai yang diberikan adalah 4. Semua langkah-langka dalam algoritma PTSD primer tetap sama.
Temuan-temuan Tabel 3.3 hingga 3.6 menyajikan temuantemuan tentang penilaian diri sendiri mengenai tingkat distres emosional umum, gejala dan diagnosa depresi, serta gejala dan diagnosa PTSD, baik berdasarkan gender, penelitian (PNA1 vs. PNA2, keenam kategori geografis, dan berdasarkan apakah terdapat MGKD atau tidak pada sampel. Temuan-temuan tersebut membandingkan tingkat tekanan psikologis yang sangat tinggi diantara para responden dalam penelitian PNA1 yang pertama (diwawancara pada bulan Pebruari 2005), dengan tingkat tekanan yang tampak dalam penduduk yang disurvei belakangan ini, pada PNA2, yang dilakukan di lokasi yang secara geografis berbeda dan 5 bulan setelah penelitian PNA1 dilangsungkan.
• Penilaian-Diri Akan Tekanan Emosional Tabel 3.3 melaporkan temuan-temuan dari tiga pertanyaan umum yang dirancang untuk menilai perasaan umum responden akan tekanan emosional selama satu tahun yang lalu. Dalam menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, 78% responden dalam PNA1 dari Pesisir Utara melaporkan mereka mengalami tekanan psikologis umum dalam satu tahun terakhir, dibandingkan dengan 51% pada responden PNA2. Sedangkan 97% responden PNA1 merasa tekanan disebabkan oleh konflik dan menempatkan tingkat tekanan yang mereka alami di peringkat 2,94 pada tingkat keseriusan (skala 1-4), 81% responden PNA 2 merasa tekanan yang mereka alami disebabkan oleh konsekuensi konflik dan menempatkan tingkat tekanan yang mereka alami di peringkat 2,54 pada tingkat
Mollica et al. “Disability Associated with Psychiatric Comorbidity and Health Status in Bosnian Refugees Living in Croatia” dalam Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 282(5), 04 Agustus 1999, pp 433-439. 9
10 Mollica et al. “Dose-effect Relationships of Trauma to Symptoms of Depression and Post-Traumatic Stress Disorder Among Cambodian Survivors of Mass Violence” dalam The British Journal of Psychiatry. Volume 173(12), Desember 1998, pp 482-488.
Sabin et al. “Factors Associated with Poor Mental Health Among Guatemalan Refugees Living in Mexico 20 Years After Civil Conflict” dalam Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 290(5), 06 Agustus 2003, pp 635-642. 11
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
keseriusan (skala 1-4 scale). Variasi kabupaten pada PNA2 secara jelas mengikuti tingkat-tingkat peristiwa traumatik yang dialami. Daerah Pesisir Timur (68%) dan Pesisir Barat Daya (60%) melaporkan pengalaman tekanan psikologis yang tinggi selama satu tahun yang lalu pada tingkat yang hanya sedikit di bawah responden Pesisir Utara pada PNA1 (78%), sedangkan responden dari Aceh Besar (22%) dan Daerah Tinggi Tenggara (33%) melaporkan tingkat yang jauh lebih rendah untuk pengalaman-pengalaman seperti itu. Menyangkut mereka yang melaporkan tekanan (distress), responden dari Pesisir Timur (91%), Daerah Tinggi Tengah (87%), dan Pesisir Barat Daya (81%) adalah yang paling banyak melaporkan tekanan sebagai akibat konflik dan melaporkan tingkat tekanan mereka sebagai paling berat (dengan tingkat untuk Pesisir Timur sebanding dengan temuan Pesisir Utara pada PNA1). Perbedaanperbedaan antara PNA1 dan PNA2 dan diantara daerah-daerah pada PNA2 secara statistik adalah signifikan pada p<0.0001.
Temuan-temuan tersebut mengisyaratkan bahwa ketika diminta untuk menceritakan tekanan pada satu tahun yang lalu, para responden di daerah-daerah dengan konflik paling tinggi di laporan PNA2 melaporkan tingkat tekanan yang sebanding dengan (walau sedikit lebih rendah daripada) responden PNA1, sedangkan responden PNA2 pada daerah-daerah dengan konflik yang lebih rendah melaporkan tekanan psikologis yang secara signifikan lebih rendah.
• Diagnosa Psikologis dan Psikiatri Menggunakan Instrumen-instrumen Formal Metode utama untuk mengukur tekanan psikologis yang dialami oleh para individu dalam desa konflik dalam sampel adalah melalui penggunaan kuesioner gejala psikologis yang terstandarisasi. Pertanyaan-pertanyaan ini meminta para individu untuk melaporkan apakah mereka telah mengalami gejala tertentu dalam satu minggu terakhir dan jika demikian pada tingkat yang mana, pada skala 1-4. Dengan menggunakan nilai penentu (cut-off)
49
dan algoritma diagnostik, mereka telah dikonversikan ke dalam variabel kategoris, yang disajikan sebagai persentase orang yang “mengidap gejala” (symptomatic) atau “mengidap gejala tinggi” dan yang “memenuhi kriteria” depresi atau PTSD atau yang “memenuhi kriteria batasan tinggi” untuk jenis gangguan tersebut. pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan demikian memberi peringkat terhadap pengalaman responden pada saat wawancara (selama satu minggu terakhir), dan bukan meminta mereka untuk menggambarkan pengalaman selama satu tahun terakhir. Tabel 3.4 dan tabel 3.5 mengupas tingkat gejala dan diagnosa depresi, PTSD, dan kecemasan berdasarkan daerah dan gender, baik untuk PNA1 maupun PNA2. Responden dari PNA2 menderita masalah kesehatan mental yang terkait dengan kekerasan pada suatu tingkat yang signifikan. Dengan menggunakan metode yang persis sama seperti PNA1, 35% dari total sampel PNA2 menduduki peringkat yang tinggi pada gejala depresi, 39% pada gejala
Tabel 3.1 HSCL inti diagnosa gejala depresi
Perasaan Depresi • Mudah menangis • Merasa tidak mempunyai masa depan • Merasa sedih • Merasa kesepian Ketertarikan/ Kesenangan Berkurang • Merasa tidak tertarik akan apapun • Kehilangan akan perasaan seksual atau kesenangan DSM-IV Criterion A Symptoms • Selera makan buruk • Sulit tidur • Merasa tidak mempunyai energi dan/ atau merasa semuanya adalah sebuah usaha • Menyalahkan diri sendiri untuk semua hal • Khawatir terlalu banyak akan hal-hal dan/ atau merasa tidak berharga • Mempunyai pikiran untuk menghabisi nyawa diri sendiri
Setiap gejala telah mengakibatkan terganggu atau membuat stres responden “Tidak sama sekali”, “Sedikit”, “Lumayan”, atau “Sangat sering sekali” (masing-masing 1-4 ) selama beberapa minggu terakhir.
50
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 3.2 Harvard Trauma Questionnaire (HTQ) Inti Diagnosa gejala
Gejala Mengalami Kembali (DSM-IV criterion B) • Ingatan yang berulang atau memori dari peristiwa yang sangat menyakitkan atau menakutkan • Mempunyai perasaan seakan peristiwa tersebut terjadi lagi • Mimpi buruk yang berulang • Emosi yang datang tiba-tiba atau reaksi secara fisik ketika teringat akan peristiwa yang sangat menyakitkan atau traumatis Gejala Menghindar dan Tidak Peduli (DSM-IV criterion C) • Merasa tidak menyatu atau menarik diri dari orang-orang • Tidak dapat merasakan emosi • Menghindari melakukan sesuatu atau pergi ke tempat-tempat yang mengingatkan akan peristiwa traumatis atau menyakitkan • Tidak mempunyai kemampuan untuk mengingat bagian dari peristiwa yang paling traumatis atau menyakitkan • Kurang tertarik akan kegiatan sehari-hari • Merasa tidak mempunyai masa depan • Menghindari pikiran atau perasaan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis atau menyakitkan Gejala Terbangun (DSM-IV criterion D) • Merasa kaget dan gampang terkejut • Sulit konsentrasi • Sulit tidur • Merasa selalu terjaga • Merasa mudah marah atau meledak-ledak
Setiap gejala telah mengakibatkan terganggu atau membuat stres responden “Tidak sama sekali”, “Sedikit”, “Lumayan”, atau “Sangat sering sekali” (masing-masing 1-4 ) selama beberapa minggu terakhir.
kecemasan, dan 10% pada gejala PTSD. (Dengan menggunakan kriteria diagnostik, 23% responden memenuhi kriteria gangguan depresi berat dan 12% memenuhi kriteria PTSD). Tingkat-tingkat yang dilaporkan adalah
lebih tinggi bagi responden dari Pesisir Barat Daya, Pesisir Timur, dan Daerah Tinggi Tengah – yakni daerah-daerah yang mengalami tingkat kekerasan yang paling tinggi. Sebagai contoh, 41% responden dari pesisir Barat Daya mengalami gejala depresi di atas
tingkat penentu (cut-off) yang diakui secara internasional, 43% untuk gejala kecemasan dan 14% untuk gejala PTSD pada tingkat-tingkat tersebut. Hal ini mengikuti pola PNA1, dimana tingkat gejala ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada kabupaten dengan
tingkat peristiwa traumatik yang lebih tinggi. Daerah Tinggi Tengah sedikit merupakan pengecualian. Walau tingkat traumatik sedikit lebih rendah di Daerah Tinggi Tengah dibanding di kabupaten di sepanjang Pesisir Timur dan Pesisir Barat Daya, gejala psikologis adalah sama tinggi atau lebih tinggi daripada tingkat gejala pada daerahdaerah yang disebut tadi. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan perbedaan etnis dalam pelaporan gejala (80% responden di Daerah Tinggi Tengah adalah Gayo, dan bukan orang Aceh secara etnis), atau dengan perbedaan dalam kondisi hidup secara umum di daerah ini. PNA2 dengan demikian menemukan tingkat yang signifikan akan masalahmasalah kesehatan mental yang terkait dengan trauma, yang patut mendapat intervensi khusus, dengan prioritas tertinggi meliputi Pesisir Utara (dari PNA1), kabupaten-kabupaten Pesisir Timur di sebelahnya, Pesisir Selatan (khususnya Aceh Selatan), dan Daerah Tinggi Tengah, dengan urutan seperti itu. Pada saat yang bersamaan, sebuah temuan yang sangat signifikan dari PNA2 adalah bahwa para responden di semua kabupaten yang disurvei di bulan Juli (dan Nopember) 2006 melaporkan tingkat depresi berat, gangguan kecemasan, dan PTSD
yang secara substansial lebih rendah dibanding PNA1. PNA1 melaporkan tingkat-tingkat gejala psikologis bagi responden di Pesisir Utama yang disurvei di bulan Pebruari 2006 pada tingkat yang paling tinggi yang dilaporkan di seluruh dunia. Persentase responden PNA2 yang mengalami tingkat gejala tinggi pada depresi, kecemasan, dan PTSD (secara berturut-turut: 35%, 39%, 10%), walau tinggi, adalah jauh lebih rendah daripada tingkat sejenis dari PNA1 (65%, 69% dan 34%). Karena tingkattingkat yang ditampilkan dengan menggunakan titik penentu (cut-off) tersebut sangatlah tinggi pada PNA1, kami mengembangkan analisa dengan menggunakan titik penentu yang lebih tinggi dalam rangka mengidentifikasi mereka-mereka yang beresiko mengidap depresi, kecemasan, dan PTSD yang paling berat. Walau tingkat-tingkat untuk masalah kesehatan mental berat juga ditemukan sangat tinggi dalam PNA1, mereka secara substansial dan signifikan lebih rendah pada responden PNA2. Sebagai contoh walau 18% dari penduduk pada PNA1 di Pesisir Utara memenuhi kriteria tingkat tinggi untuk depresi, hanya 4% dari keseluruhan sampel PNA2 memenuhi kriteria yang lebih ketat tersebut. Dan bahkan di Pesisir Barat Daya, Pesisir Timur, dan Daerah Tinggi Tengah, persentase yang
51
lebih rendah, yakni sebesar 6%, 5% dan 9%, dari sampel memenuhi kriteria depresi yang lebih ketat tersebut. Persentase PTSD dengan batasan tinggi bahkan lebih rendah di kabupatenkabupaten PNA2, termasuk daerahdaerah dengan nilai trauma tertinggi, dibanding dengan PNA1. Desa-desa yang ditetapkan sebagai berkonflik tinggi oleh IOM dan Bank Dunia dan dipilih untuk Program Reintegrasi Masyarakat Pasca-Konflik IOM (yakni desa-desa MGKD – yang dijelaskan pada bab mengenai sampling), menunjukkan tingkat yang secara substansial dan signifikan lebih tinggi menyangkut semua gejala psikologis dalam penelitian PNA1. (Lihat Tabel 3.6; data tersebut tidak dilaporkan dalam Laporan PNA1.) Secara mencolok, Tabel 3.6 mengindikasikan bahwa ini tidaklah benar untuk responden PNA2. Walau pada banyak pengukuranpengukuran gejala dalam PNA2 para responden MGKD melaporkan tingkat gejala yang sedikit lebih tinggi daripada responden NON-MGKD, tidak ada satupun dari perbedaanperbedaan tersebut bersifat signifikan secara statistik. Dengan demikian, walau tingkat pengalaman traumatik secara signifikan
Tabel 3.3 Psikologikal Distress secara umum berdasarkan daerah *PNA1 Data Pengalaman Tekanan Emosional Umum oleh Informan
†PNA2 Data
PNA1 + PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Mengalami tekanan psikologis umum selama tahun kemarin?
78
22
68
48
33
60
51
59
Jika Ya… Disebabkan karena konflik?
97
56
91
87
45
81
81
87
2.94 (0.85)
2.10 (0.88)
2.56 (0.78)
2.15 (0.69)
2.44 (0.91)
2.54 (0.95)
2.70 (0.93)
Jika Ya… Keseriusan (1-4 scale – mean (SD))
2.89 (1.11)
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 † PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Mengalami tekanan psikologis umum p< 0.0001 Disebabkan karena konflik? p< 0.0001 Keseriusan (1-4 scale – mean (SD)) p< 0.0001
52
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
53
Tabel 3.4 Depresi, PTSD dan Gejala kecemasan dan didiagnosa berdasarkan daerah *PNA1 Data
†PNA2 Data
PNA1 + PNA2 Data
% Pesisir Utara Total PNA1 Sampel (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Utama Depresi
55
13
24
23
16
29
23
33
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Utama Depresi
18
3
5
9
10
6
7
10
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
65
20
33
43
25
41
35
44
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
17
2
5
4
7
4
4
8
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
36
4
9
15
6
17
12
19
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
10
1
2
5
4
2
3
5
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
34
2
8
12
6
14
10
17
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
16
1
4
4
5
5
4
8
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
69
31
42
43
25
43
39
48
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
33
3
14
9
5
10
9
16
Ukuran Formal untuk Gejala Psikologis dan Diagnosa
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] †
PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: p<0.0001 [Depression-initial algorithm] p<0.05 [Depression-revised algorithm] p<0.0001 [Nilai depresi- > 1.75] NS [Nilai depresi- > 3.00]
p<0.0001 p<0.05 p<0.0001 NS
p<0.0001 [Nilai anxiety- > 1.75] p<0.001 [Nilai anxiety- > 3.00]
[PTSD-initial algorithm] [PTSD-revised algorithm] [Nilai PTSD- > 2.50] [Nilai PTSD- > 3.00]
Tabel 3.5 Depresi, ptsd, dan gejala kecemasan dan didiagnosa berdasarkan gender *PNA1 Data Ukuran Formal untuk Gejala Psikologis dan Diagnosa
†PNA2 Data
PNA1 + PNA2
% Pria (N=315)
% Wanita (N=281)
% Total PNA1 Sampel (N=596)
% Pria (N=691)
% Wanita (N=685)
% Total PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
54
57
55
20
26
23
33
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
18
19
18
6
7
7
10
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
64
67
65
31
40
35
44
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
16
18
17
3
5
4
8
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
37
35
36
11
13
12
19
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
11
10
10
3
3
3
5
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
33
35
34
8
12
10
17
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
17
16
16
3
4
4
8
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
64
75
69
33
46
39
48
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
30
36
33
8
10
9
16
* PNA1 VS. PNA2 perbandingan gender (PNA1 Pria vs. PNA2 Pria dan PNA1 Wanita vs. PNA2 Wanita): Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] †
PNA1 dalam perbandingan gender: NS [Depression-initial algorithm] NS [Depression-revised algorithm] NS [Depression score- > 1.75] NS [Depression score- > 3.00] NS [PTSD-initial algorithm] NS [PTSD-revised algorithm] NS [PTSD score- > 2.50] NS [PTSD score- > 3.00] p<0.01 [Anxiety score- > 1.75] NS [Anxiety score- > 3.00]
PNA2 dalam perbandingan gender: p<0.05 [Depression-initial algorithm] NS [Depression-revised algorithm] p<0.001 [Depression score- > 1.75] p<0.05 [Depression score- > 3.00] NS [PTSD-initial algorithm] NS [PTSD-revised algorithm] p<0.05 [PTSD score- > 2.50] NS [PTSD score- > 3.00] p<0.0001 [Anxiety score- > 1.75] NS [Anxiety score- > 3.00]
54
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
lebih tinggi bagi responden dalam desa-desa PNA yang dipilih untuk program MGKD, para responden tersebut tidak menunjukkan tingkat gejala psikologis yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh mengenai penyebab menurunkan gejala psikologis dalam penelitian PNA2 dibanding dengan penelitian PNA1.
• Pendistribusian Resiko: Pengaruh Pengalaman Traumatik terhadap Tekanan Psikologis (Psychological Distress) Sebuah pertanyaan besar untuk keseluruhan penelitian psikososial ini adalah pertanyaan mengenai apa yang membuat seseorang beresiko mengidap masalah kesehatan mental. Kami pada khususnya tertarik mengenai sejauh mana tingkat insiden traumatik yang dialami oleh para individu membawa
Tabel 3.6
resiko bagi mereka untuk mengidap masalah gangguan mental, dan kelompok gender dan kelompok usia mana yang memiliki resiko khusus untuk pengalaman traumatik dan masalah kesehatan mental. Dalam laporan PNA1, hubungan tersebut dianalisa dengan menggunakan adjusted odds ratios untuk depresi dan PTSD. Ini merupakan sebuah model statistik yang memungkinkan kita untuk menentukan seberapa besar resiko untuk suatu penyakit seperti depresi semakin meningkat bagi mereka yang telah menderita pola kekerasan traumatik tertentu atau faktor resiko lainnya. PNA1 menunjukkan bahwa hal yang paling dapat dijadikan indikasi gejala kesehatan mental adalah jumlah pengalaman traumatik yang dialami seseorang. PNA1 menunjukkan bahwa
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
hanya sedikit pola resiko khusus berdasarkan usia dan gender. Di sini kami menggunakan model statistik yang sama untuk mengkalkulasikan resiko yang terkait dengan tingkat peristiwa traumatik di masa lalu yang meningkat dan penyebab stres yang berkelanjutan (current stressor), disamping untuk kelompok gender dan usia tertentu. Tabel 3.7 menunjukkan dampak peristiwa traumatik di masa lalu terhadap peningkatan resiko gejala dan diagnosa depresi, PTSD, dan kecemasan bagi sampel PNA2. Pada semua pengukuran, suatu peningkatan jumlah peristiwa traumatik di masa lalu terlihat mengakibatkan orangorang memiliki tingkat resiko masalah kesehatan mental yang meninggi.
peristiwa traumatik tingkat tertinggi memiliki 3 hingga 12 kali resiko masalah kesehatan jiwa jika dibandingkan dengan orang yang tidak menderita peristiwa traumatik, dan resiko mereka mengidap bentuk PTSD yang berat (tingkat penentu gejala tertinggi atau batas tertinggi untuk diagnosa) meningkat 7 hingga 12 kali. Tabel ini dapat diperbandingkan secara langsung dengan Tabel 9.1 pada laporan PNA1.12
‘penyebab stres yang berkelanjutan’ (current stressors) terhadap gejala dan diagnosa kesehatan mental. Tingkat current stressor yang bertambah tinggi dikaitkan dengan resiko masalah kesehatan mental yang meningkat dalam PNA2, walau tidak sama langsungnya dan tidak sekuat daripada yang ditemukan untuk responden PNA1. (Bandingkan Tabel 3.8 di sini dengan Tabel 9.2 dalam laporan PNA1.)
Pada responden PNA1, karena gejalagejala dilaporkan ada pada tingkat yang jauh lebih tinggi, odds ratio juga sangat lebih tinggi. Namun, tetap terdapat pola hubungan yang kuat antara peristiwa traumatik yang terkait dengan konflik dan tingkat masalah kesehatan mental yang berkelanjutan.
Orang-orang
Tabel 3.8 menunjukkan pola pengaruh
Jumlah ‘current stressor’ yang diasosiasikan dengan ketidakamanan nyata atau peristiwa berdarah – khususnya jumlah orang yang melaporkan melihat pelaku atau mengalami serangan atau perampokan – adalah jauh lebih rendah dalam PNA2 daripada PNA1, menyebabkan sedikit lebih sulit untuk menafsirkan temuan-temuan ini untuk PNA2.
yang
mengalami
*PNA1 Data
Namun demikian, pengalaman penyebab stres pasca-konflik yang dilaporkan dan perasaan tidak aman dalam kehidupan sehari-hari meningkatkan resiko kesehatan mental sebanyak 3 hingga 13 kali.
• Pendistribusian Resiko: Kelompok yang Beresiko Tinggi Tables 3.9 mengupas adjusted odds ratios untuk depresi, PTSD, dan kecemasan berdasarkan penelitian (PNA1 dan PNA2) dan berdasarkan gender. Sebagaimana yang diindikasikan dalam analisa-analisa terdahulu, responden PNA1 empat kali lebih berkemungkinan daripada responden PNA2 untuk memenuhi kriteria untuk depresi, PTSD, dan 4,7 kali lebih berkemungkinan untuk mengalami gejala kecemasan tinggi. Besarnya perbedaan antara PNA1 dan PNA 2
Catatan: Jawaban MGKD- “ya” atau “tidak” jika IOM/ PIKR mempunyai Proyek Manfaat Perdamaian di Masyarakat (MGKD) di desa dimana responden tinggal.
Depresi, PTSD, dan gejala KEcemasan, dan didiagnosa berdasarkan penunjukkan mgkd
Ukuran Formal untuk Gejala Psikologis dan Diagnosa
55
†PNA2 Data
PNA1 + PNA2
MGKD+ (n=275)
MGKD(n=321)
Total (n=596)
MGKD+ (n=454)
MGKD(n=922)
Total (n=1.376)
Total (n=1.972)
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
64
48
55
25
22
23
33
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
23
14
18
8
6
7
10
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
74
58
65
36
35
35
44
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
22
13
17
5
4
4
8
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
43
31
36
13
11
12
19
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
14
8
10
3
3
3
5
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
41
27
34
11
9
10
17
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
20
13
16
5
3
4
8
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
75
65
69
42
38
39
48
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
40
27
33
10
9
9
16
* PNA1/ MGKD+, PNA1/ MGKD-, PNA2/ MGKD+, PNA2/ MGKD- perbandingan Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua ukuran] †
PNA1/ MGKD+, PNA1/ MGKD- perbandingan: p<0.0001 [Depression-initial algorithm] p<0.01 [Depression-revised algorithm] p<0.0001 [Nilai depresi- > 1.75] p<0.01 [Nilai depresi- > 3.00] p<0.01 [PTSD-initial algorithm] p<0.05 [PTSD-revised algorithm] p<0.001 [Nilai PTSD- > 2.50] p<0.05 [Nilai PTSD- > 3.00] p<0.01 [Nilai kecemasan- > 1.75] p<0.001 [Nilai kecemasan- > 3.00]
‡
PNA2/ MGKD+, PNA2/ MGKD- perbandingan: NS [Depression-initial algorithm] NS [Depression-revised algorithm] NS [Nilai depresi- > 1.75] [Nilai depresi- > 3.00] NS [PTSD-initial algorithm] NS [PTSD-revised algorithm] NS [nilai PTSD- > 2.50] NS [nilai PTSD- > 3.00] NS [Nilai kecemasan- > 1.75] NS [Nilai kecemasan- > 3.00]
12 Good, B., M.-J. D. Good, J. Grayman, and M. Lakoma. 2006. Psychosocial Needs Assessment of Communities Affected by the Conflict in the Districts of Pidie, Bireuen, and Aceh Utara. International Organization for Migration.
56
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
adalah cukup signifikan (
Major Depressive Disorder (MDD) atau Gangguan Depresi Berat, PTSD “Simptomatik”, and Kecemasan “Simptomatik Tinggi,” yang berada pada ambang signifikansi (p<.05). Perlu dicatat bahwa perbedaan antara wanita dan pria lebih kecil dibanding dengan banyak populasi normal, dimana wanita seringkali menunjukkan tingkat depresi yang jauh lebih tinggi daripada pria, yang menandakan bahwa pria kemungkinan agak lebih terpengaruh oleh gejala yang terkait dengan konflik dibanding wanita. Tabel 3.10 meneliti hubungan antara usia dan masalah kesehatan
57
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
mental untuk PNA1 dan PNA2, yang disesuaikan untuk gender dan program MGKD. Yang menarik untuk dicatat dalam dua tabel ini adalah tampaknya pergeseran resiko untuk kelompok usia dari PNA1 ke PNA2. Dalam PNA1, orang-orang muda (usia 17-29) memiliki resiko lebih besar untuk hampir semua kategori masalah kesehatan mental daripada semua kelompok usia lainnya, walau seringkali pada tingkatan yang tidak signifikan secara statistik. Untuk PNA2, pola tersebut cukup berbeda. Orang dewasa yang masih muda memiliki resiko paling rendah untuk masalah kesehatan mental,
Tabel 3.7 Adjusted Odds Ratios*: Problem kesehatan mental berdasarkan peristiwa traumatik di masa lalu bagi responden Pna2 Ukuran Formal Berdasarkan Gejala Psikologis dan Diagnosa untuk PNA2 (N=1.376)
0-3
4-7
8-10
>11
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
1.43 (0.99-2.09)
§2.25 (1.46-3.48)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
1.43 (0.72-2.84)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
• Pendistribusian Resiko: Trauma Fisik ada Kepala Salah satu bentuk trauma di antara
Seperti yang diungkapkan oleh penelitian klinis kami di Bireuen, trauma kelapa berkemungkinan memiliki dampak jangka panjang, baik
secara fisik maupun psikologis, dan patut mendapatkan intervensi klinis dan penelitian lebih lanjut. Secara keseluruhan, 17% dari seluruh sampel PNA2 menderita trauma kepala yang terkait dengan konflik; ini adalah persentase yang sangat tinggi, mengingat bahwa angka tersebut meliputi daerah berkonflik tinggi maupun yang relatif rendah, dan dapat dibandingkan dengan persentase sebesar 27% untuk sampel PNA1. Dalam PNA2, kabupaten-kabupaten yang memiliki persentase trauma kepala yang tinggi adalah sebanding dengan kabupaten Pesisir Utara yang diteliti pada PNA1. Dalam PNA2, 27% responden
Tabel 3.8 Adjusted Odds Ratios*: problem kesehatan mental berdasarkan angka dari peristiwa yang membuat sangat stres baru-baru ini, bagi responden pna2 Ukuran Formal Berdasarkan Gejala Psikologis dan Diagnosa untuk PNA2 (N=1.376)
0-3
4-7
8-10
>11
||3.56 (2.43-5.22)
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
||3.28 (2.26-4.76)
||4.34 (2.72-6.91)
||3.45 (2.21-5.40)
1.87 (0.80-4.38)
||5.98 (3.04-11.75)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
||8.69 (3.10-24.36)
||13.49 (4.48-40.67)
||10.08 (3.36-30.26)
†1.39 (1.01-1.90)
||2.11 (1.44-3.08)
||3.53 (2.52-4.96)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
||3.69 (2.69-5.06)
||5.54 (3.66-8.37)
||3.37 (2.28-4.99)
1.00
0.62 (0.24-1.58)
0.90 (0.28-2.94)
||4.73 (2.16-10.35)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
‡3.68 (1.40-9.73)
§7.01 (2.39-20.50)
‡5.91 (2.05-17.02)
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
1.00
0.88 (0.53-1.48)
1.02 (0.54-1.92)
||3.73 (2.32-5.99)
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
1.00
‡2.17 (1.31-3.58)
||4.29 (2.40-7.69)
||3.34 (1.90-5.87)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
1.00
0.83 (0.23-3.04)
3.07 (0.84-11.25)
||12.12 (4.15-35.37)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
1.00
†5.36 (1.23-23.41)
‡10.97 (2.32-51.96)
‡12.11 (2.66-55.15)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
1.00
1.13 (0.63-2.04)
1.57 (0.80-3.10)
||4.34 (2.51-7.49)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
1.00
§2.72 (1.52-4.89)
||4.97 (2.55-9.68)
||3.75 (1.96-7.21)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
0.68 (0.22-2.09)
2.01 (0.65-6.25)
||7.16 (2.91-17.60)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
2.15 (0.85-5.43)
‡4.23 (1.49-11.97)
§5.34 (2.04-14.02)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
†1.42 (1.05-1.91)
||2.48 (1.72-3.58)
||3.30 (2.37-4.59)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
||2.48 (1.87-3.29)
||3.05 (2.07-4.49)
||2.23 (1.55-3.21)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
1.52 (0.84-2.73)
1.65 (0.83-3.30)
||3.62 (2.05-6.41)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
§2.99 (1.64-5.45)
||4.64 (2.33-9.25)
||3.84 (1.93-7.64)
Odds Ratios: CI 95% Catatan: “0-3” Peristiwa = kelompok referensi. * Adjusted untuk lokasi kabupaten. Lokasi kabupaten termasuk - Aceh Besar (N=180) - Kabupaten Pesisir Timur (N=246) - Daerah Tinggi Tengah (N=327) - Daerah Tinggi Barat Daya (N=162) - Pesisir Barat Daya (N=461)
† ‡ § ||
Jumlah Peristiwa Traumatik di Masa Lalu
para responden PNA2 patut mendapat perhatian khusus, seperti halnya pada responden PNA1. Tingkat trauma di kepala dan cidera otak potensial, yang diderita akibat pemukulan, pencekikan, penenggelaman, dan bentuk lainnya dari penyiksaan atau kekerasan, yang digunakan oleh pasukan Indonesia untuk mengumpulkan informasi atau menghukum penduduk desa karena dianggap mendukung GAM, adalah sangat tinggi.
sedangkan kelompok-kelompok lainnya, khususnya kelompok yang paling tua (54 tahun ke atas), berada pada resiko tertinggi, khususnya menyangkut depresi dan kecemasan. Sebagai contoh, responden PNA2 yang lebih tua adalah lebih dari 2,5 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria untuk depresi daripada yang berusia 17-29 tahun. Hal ini menandakan sebuah pola daya tahan (resilience) yang menarik di antara orang-orang muda dalam populasi ini, disamping resiko khusus di antara orang-orang tua.
p<0.05 p<0.01 p<0.001 p<0.
Odds Ratios: CI 95% Catatan: “0-3” Peristiwa = kelompok referensi. * Adjusted untuk lokasi kabupaten Lokasi kabupaten termasuk - Aceh Besar (N=180) - Kabupaten Pesisir Timur (N=246) - Daerah Tinggi Tengah (N=327) - Daerah Tinggi Barat Daya (N=162) - Pesisir Barat Daya (N=461)
† ‡ § ||
Jumlah Peristiwa Traumatik Saat Ini
p<0.05 p<0.01 p<0.001 p<0.0001
58
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
Tabel 3.10a
Adjusted Odds Ratios: problem kesehatan mental berdasarkan usia (PNA1)
Tabel 3.9 Adjusted Odds Ratios: problem kesehatan mental berdasarkan penelitian dan gender
Ukuran Formal Berdasarkan Gejala Psikologis dan Diagnosa untuk PNA2 (N=1.376)
*Dataset: PNA1 Vs. PNA2 atau (95% CI)
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
4.01 (3.26-4.93)
0.77 (0.63-0.94)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
2.98 (2.20-4.02)
0.93 (0.69-1.25)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
3.43 (2.79-4.20)
0.71 (0.59-0.86)
4.51 (3.19-6.38)
0.72 (0.51-1.00)
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
4.04 (3.19-5.11)
0.94 (0.75-1.19)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
3.73 (2.47-5.64)
0.92 (0.61-1.38)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
4.50 (3.51-5.77)
0.78 (0.61-1.00)
Mean PTSD Score “ Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
4.76 (3.34-6.78)
0.88 (0.63-1.24)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
3.47 (2.81-4.27)
0.59 (0.49-0.71)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
4.71 (3.66-6.07)
0.78 (0.60-1.00)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
Ukuran Formal Berdasarkan Gejala Psikologis dan Diagnosa untuk PNA1 (N=589, 7 missing)
‡Gender Pria Vs. Wanita atau (95% CI)
Cukup mengejutkan, 43% pria di daerah Pesisir Timur dan 41 di Pesisir Barat Daya melaporkan menderita trauma kepala. Persentase-persentase tersebut adalah sebanding dengan yang ditemukan pada PNA1 untuk Pesisir Utara. (Lihat Tabel 2.5 dan 2.6) Perlu dicatat bahwa wanita mengalami persentase pencekikan yang lebih tinggi daripada bentuk trauma kepala lainnya, termasuk pemukulan
13
Ibid. Lihat tabel 9.5 dan 9.6
terhadap kepala. Dalam laporan PNA1 kami, kami lebih lanjut menguraikan temuan-temuan tersebut berdasarkan kabupaten dan berdasarkan kelompok usia. Hal tersebut membawa temuan menarik bahwa 68% pria muda (berusia 17-29 tahun) di Bireuen dan 67% pria muda di Aceh Utara melaporkan telah mengalami trauma kepala yang terkait dengan konflik.13 Tabel 3.11 dan 3.12 menunjukkan angka-angka yang serupa untuk Aceh Timur dan Aceh Selatan, kabupaten dengan tingkat konflik paling tinggi di daerah Pesisir Timur dan Pesisir Barat Daya. Sekali lagi, temuan-temuan tersebut adalah sangat tinggi untuk pria muda; 50% untuk Aceh Timur, 38% untuk Aceh Selatan.
Usia 17-29 (N=145) 25%
30-40 (N=185) 31%
41-53 (N=139) 24%
54-82 (N=120) 20%
atau (95% CI) Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
0.97 (0.62-1.51)
1.60 (0.99-2.61)
1.02 (0.61-1.68)
* Dataset: 0=PNA2 (referensi) p<0.0001 untuk semua ukuran psych
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
†0.46 (0.25-0.82)
0.75 (0.42-1.35)
1.03 (0.57-1.88)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
0.94 (0.59-1.50)
1.45 (0.87-2.43)
0.83 (0.49-1.39)
‡ Gender: 0=wanita (referensi), NS untuk semua ukuran psych, terkecuali berikut ini: Depresi “Merupakan Gejala” (p<0.001), Kecemasan “Merupakan Gejala” p<0.0001),
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
0.60 (0.33-1.09)
0.72 (0.38-1.36)
1.41 (0.76-2.61)
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
1.00
0.82 (0.52-1.28)
0.83 (0.51-1.34)
0.71 (0.42-1.19)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
1.00
*0.46 (0.22-0.96)
0.58 (0.27-1.24)
0.96 (0.46-2.00)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
1.00
0.66 (0.42-1.05)
0.72 (0.44-1.18)
0.59 (0.35-1.02)
Mean PTSD Score “ Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
†0.44 (0.24-0.81)
0.55 (0.29-1.03)
0.88 (0.47-1.63)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
0.95 (0.59-1.55)
1.07 (0.63-1.80)
0.87 (0.51-1.48)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
0.89 (0.55-1.43)
1.35 (0.82-2.22)
1.09 (0.63-1.86)
dan Borderline significance: Depresi (memenuhi kriteria bagi MDD), PTSD “Merupakan Gejala”, dan Kecemasan “Merupakan Gejala Tinggi” (p<0.05)
Tabel 3.10b Pesisir Timur dan 24% responden Pesisir Barat Daya mengalami trauma kepala yang terkait dengan konflik, termasuk pemukulan pada kepala, pencekikan, dan penenggelaman. Seperti yang disebutkan di atas, walau pria dan wanita sama-sama mengalami trauma di kepala, para pria, khususnya yang tinggal di daerah Pesisir Timur, memiliki resiko yang paling tinggi.
59
Namun, pendistribusian pada daerahdaerah tersebut agak berbeda daripada dalam kabupaten-kabupaten pada PNA1. Di Aceh Timur, 50% pria berusia 30-40, yang sebanding dengan persentase pada pria berusia muda, mengalami trauma di kepala. Di Aceh Selatan, 57% pria berusia 30-40 dan 52% pria berusia 41-53, lebih tinggi daripada persentase pria yang lebih muda, mengalami trauma di kepala.
• Pelaksanaan Fungsi Sosial Protokol PNA2 menambahkan sebuah skala pelaksanaan fungsi sosial pada kuesioner, guna berusaha untuk mengukur dampak aktual dari gejala psikologis terhadap pelaksanaan fungsi sosial. Kuesioner tersebut meminta responden untuk mengukur kesulitan yang mereka alami dalam
Catatan: Odd ratios disesuaikan untuk gender dan MGKD. * p<0.05 † p<0.01
Adjusted Odds Ratios: problem kesehatan mental berdasarkan usia (PNA2) Usia
Ukuran Formal Berdasarkan Gejala Psikologis dan Diagnosa untuk PNA2
17-29 (N=489) 35%
(N=1.374, 2 missing)
30-40 (N=448) 33%
41-53 (N=250) 18%
54-82 (N=187) 14%
atau (95% CI) Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
*1.47 (1.07-2.03)
†1.69 (1.17-2.45)
¶2.59 (1.75-3.82)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
1.00
1.09 (0.64-1.86)
1.02 (0.53-1.94)
1.75 (0.94-3.25)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
†1.56 (1.19-2.06)
*1.50 (1.08-2.08)
‡1.87 (1.31-2.68)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
1.63 (0.87-3.06)
0.96 (0.41-2.26)
1.05 (0.41-2.74)
Memenuhi Kriteria bagi PTSD
1.00
1.32 (0.89-1.97)
1.32 (0.83-2.11)
1.07 (0.62-1.86)
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi PTSD
1.00
1.72 (0.85-3.50)
0.45 (0.13-1.61)
0.83 (0.26-2.58)
Mean PTSD Score “Merupakan Gejala” (>2.5)
1.00
1.35 (0.86-2.13)
1.49 (0.89-2.51)
1.75 (1.00-3.07)
Mean PTSD Score “ Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
1.52 (0.79-2.93)
1.00 (0.42-2.37)
1.05 (0.40-2.76)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
1.00
†1.55 (1.18-2.03)
‡1.76 (1.28-2.42)
¶2.71 (1.90-3.86)
Mean Anxiety Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
1.00
†1.94 (1.17-3.21)
†2.22 (1.26-3.89)
¶3.37 (1.90-5.96)
Catatan: Odd ratios disesuaikan untuk gender dan MGKD. Jawaban MGKD- “ya” atau “tidak” jika IOM mempunyai Proyek Manfaat Perdamaian di Masyarakat (MGKD) di desa dimana responden tinggal. * p<0.05 † p<0.01 ‡ p<0.001 ¶ p<0.0001
60
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
melaksanakan kegiatan sehari-hari – mandi dan berpakaian, membesarkan anak, mencari nafkah, melakukan pekerjaan fisik atau memasak dan membersihkan rumah, melakukan kegiatan pertanian atau menangkap ikan, berkomunikasi dengan orangorang lain, ikut serta dalam kegiatan masyarakat, melakukan ibadah agama. Keseluruhan persentase responden yang menyatakan kesulitan dalam melaksanakan rutinitas dasar tersebut adalah sangat rendah. Walau penggunaan sebuah instrumen pengukur kecacatan yang berfokus terutama pada kecacatan yang sangat berat (misalnya, “kesulitan untuk mandi dan berpakaian”) selalu bekerja lebih efektif pada orangorang yang menderita cacat yang sangat berat dibanding pada orangorang yang menderita cacat yang lebih ringan, hal ini menciptakan kesulitan statistik yang serius bagi penganalis. (Variabel-variabel tersebut tidak memiliki normalitas dalam distribusi [median=0]; oleh karena itu, pengujian mean tidak dapat diandalkan [membutuhkan pengujian non-parametris].) Lebih lanjut, kesulitan yang paling banyak dikemukakan menyangkut mencari nafkah, melakukan pekerjaan fisik (pria), dan kegiatan pertanian atau menangkap ikan; masalah-masalah yang mencerminkan kondisi ekonomi disamping kecacatan. Namun demikian, bahkan dengan instrumen yang terbatas ini, analisa telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara keseluruhan nilai untuk pelaksanaan fungsi sosial dan depresi, kecemasan, dan PTSD. (Lihat Tabel 3.13 untuk analisa terhadap data mengenai depresi.) Yang sangat mencolok adalah hubungan antara gejala psikologis dan kesulitan dalam kegiatan pencarian nafkah sehari-hari, seperti melakukan pekerjaan, pekerjaan fisik, bertani dan menangkap ikan. Walau hubungan kausalitas tidak dapat ditemukan, trend yang nonsignifikan mengindikasikan bahwa para
responden yang menderita depresi menemukan kesulitan yang lebih besar menyangkut masalah mata pencaharian. Sebagai contoh, pria dengan nilai tertinggi untuk depresi menilai kemampuan mereka untuk mencari nafkah, melakukan pekerjaan fisik, atau kegiatan bertani atau menangkap ikan sebagai “sulit” (2), secara rata-rata, dibanding dengan semua orang lainnya yang pada umumnya menilai permasalahan mata pencaharian yang sama sebagai “sedikit sulit” (1). Masalah kesehatan mental membawa konsekuensi nyata untuk penjalanan fungi sosial, dan intervensi kesehatan mental dan pencarian nafkah perlu dilakukan secara bersamasama.
• Tingkat Gejala Psikologis yang Menurun: Daya Tahan Penduduk Aceh, Kebutuhan yang Berkelanjutan Akan Layanan, dan Pertanyaan Mengenai Penelitian Lebih Lanjut Temuan bahwa gejala psikologis secara substansial lebih rendah pada responden PNA2, bahkan pada mereka yang tinggal di daerah yang mengalami konflik cukup tinggi, dibanding dengan responden PNA1 adalah tidak disangka dan menimbulkan serangkaian pertanyaan. Pertama, PNA2 dilakukan di seluruh Aceh di daerah-daerah dengan pengalaman kekerasan yang berbeda-beda. Apakah tingkat gejala yang lebih rendah pada responden PNA2 hanya merefleksikan tingkat trauma yang lebih rendah diantara para responden tersebut? Kedua, kami mengetahui bahwa kekerasan datang ke darah-daerah (seperti Aceh Selatan dan secara lebih umum ke Pesisir Barat Daya) jauh setelah daerah-daerah lainnya (khususnya daerah pesisir timur). Apakah perbedaan dalam tingkat gejala psikologis mencerminkan exposure terhadap kekerasan untuk waktu yang lebih singkat bagi mereka yang tinggal di kabupaten-kabupaten yang terliput dalam PNA2? Ketiga, penelitian PNA2 dilakukan lima bulan setelah penelitian
PNA1. Apakah terdapat alasan mengapa perbedaan waktu penelitian ini kemungkinan telah mempengaruhi pelaporan gejala diantara para responden PNA2? Apakah hal tersebut mencerminkan daya tahan diantara para penduduk dan pemulihan bagi banyak orang? Apakah perbedaan dari segi tingkat keamanan, dengan berkembangnya proses perdamaian dari bulan Pebruari ke Juli, turut serta mengakibatkan temuan ini? Karena penelitian dilakukan dalam kabupatenkabupaten yang berbeda pada waktu yang sedikit berbeda, apakah tidak mungkin untuk menentukan apakah waktu atau tempat merupakan yang paling penting. Namun demikian, data kami mengisyaratkan adanya jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama, kita dapat berhipotesa bahwa perbedaan dalam gejala psikologis diantara penduduk PNA1 dan PNA2 hanyalah mencerminkan perbedaan tingkat kekerasan di daerah yang luas yang diliput oleh PNA2 dibanding dengan PNA1, dimana beberapa daerah PNA2 mengalami kekerasan yang lebih rendah. Hipotesa ini didasarkan pada asumsi umum bahwa tingkat peristiwa traumatik akut yang lebih tinggi akan menimbulkan gejala psikologis jangka panjang yang lebih tinggi. Hipotesa ini didemonstrasikan oleh penelitian kami. Dengan mengkalkulasikan adjusted odds ratios, baik PNA1 maupun PNA2 menemukan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat pengalaman traumatik masa lalu yang lebih tinggi beresiko menderita depresi, kecemasan dan PTSD yang secara signifikan lebih tinggi, walau rasiorasio tersebut adalah lebih tinggi pada PNA1. Jika dilihat berdasarkan darah, kabupaten-kabupaten pada PNA2 yang mengalami peristiwa traumatik tinggi juga menderita tingkat gejala dan diagnosa yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah yang mengalami tingkat kekerasan yang lebih rendah. Hal ini mengakibatkan kami untuk memperkirakan bahwa kabupaten-kabupaten dalam penelitian
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
61
Tabel 3.11 trauma di kepala berdasarkan gender dan usia bagi Aceh Timur Aceh Timur
Trauma di Kepala/ Cidera Otak Potensial
*Berbagai tipe trauma di kepala
Pria (N = 101 - 106) Usia 17 - 29 % (N = 41 - 42)
Usia 30 - 40 % (N = 19 - 20)
Usia 41 - 53 % (N = 24 – 26)
Usia 54 + % (N = 17 - 18)
50
50
42
44
45 10 10 2
50 21 0 5
35 13 0 0
28 28 0 11
Tipe Spesifik Dipukul di kepala Dicekik Hampir tenggelam Trauma di kepala lainnya
*Dari empat tipe cidera kepala yang berbeda, jika seorang responden menjawab ya untuk satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, maka jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (“Tipe trauma di kepala apapun”), dimana nantinya akan memberitahukan kita berapa banyak responden yang mengalami trauma di kepala secara fisik dari tipe apapun.
Tabel 3.12 trauma di kepala berdasarkan gender dan usia bagi Aceh Selatan Aceh Selatan
Trauma di Kepala/ Cidera Otak Potensial
*Berbagai tipe trauma di kepala
Pria (N=100-112) Usia 17 - 29 % (N = 29)
Usia 30 - 40 % (N = 30)
Usia 41 - 53 % (N = 21)
Usia 54 + % (N = 14)
38
57
52
21
34 24 31 7
53 27 27 23
48 10 0 14
14 21 14 7
Tipe Spesifik Dipukul di kepala Dicekik Hampir tenggelam Trauma di kepala lainnya
*Dari empat tipe cidera kepala yang berbeda, jika seorang responden menjawab ya untuk satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, maka jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (“Tipe trauma di kepala apapun”), dimana nantinya akan memberitahukan kita berapa banyak responden yang mengalami trauma di kepala secara fisik dari tipe apapun.
PNA 2 dengan tingkat kekerasan yang sama dengan yang ada pada penelitian PNA1 akan memperlihatkan tingkat gejala yang juga sama. Namun temuan-temuan kami tidak mendukung perkiraan tersebut. Para responden PNA2 dari Pesisir Timur dan Pesisir Barat Daya mengalami peristiwa kekerasan yang traumatik
pada tingkat yang sama dengan (atau untuk beberapa peristiwa tertentu, lebih tinggi dari) tingkat yang dialami responden PNA1 di Pesisir Utara. Namun demikian, tingkat gejala depresi, kecemasan dan PTSD mereka adalah jauh lebih rendah. Para warga daerah-daerah yang disurvei di PNA2 dengan tingkat kekerasan tertinggi dan terendah melaporkan tingkat stres
psikologis yang berkelanjutan yang secara signifikan lebih rendah daripada warga komunitas pada PNA1. Lebih lanjut lagi, para responden MGKD (dari desa-desa yang diidentifikasi sebagai telah mengalami tingkat kekerasan yang sangat tinggi) pada survei PNA1 melaporkan tingkat gejala yang secara signifikan lebih tinggi daripada para responden non-MGKD,
62
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
63
Tabel 3.13 fungsi sosial berdasarkan depresi PNA2 Data
†Pria: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
% Total Sampel (N~691)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
Ya n=139
Tidak n=525
Ya n=44
Tidak n=620
Ya n=206
Tidak n=458
Ya n=20
Tidak n=644
33
Sum Score
[Range: 0-27]
6.06 (4.40)
3.03 (3.00)
8.18 (4.58)
3.35 (3.25)
5.75 (4.01)
2.73 (2.88)
9.45 (6.35)
3.49 (3.29)
3.67 (3.56)
Mean Score
[Range: 0-3]
0.69 (0.49)
0.35 (0.34)
0.92 (0.51)
0.38 (0.37)
0.65 (0.45)
0.31 (0.33)
1.06 (0.70)
0.40 (0.37)
0.42 (0.40)
PNA2 Data
‡Wanita: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
Memenuhi Kriteria bagi Penyakit Depresi Utama
Memenuhi Kriteria Batasan Tinggi bagi Penyakit Depresi Utama
Mean Depression Score “Merupakan Gejala” (>1.75)
% Total Sampel (N~685)
Mean Depression Score “Merupakan Gejala Tinggi” (>3)
Ya n=169
Tidak n=492
Ya n=45
Tidak n=616
Ya n=264
Tidak n=397
Ya n=35
Tidak n=626
Sum Score
[Range: 0-18]
4.40 (3.80)
2.56 (2.94)
5.69 (3.95)
2.84 (3.14)
4.44 (3.67)
2.10 (2.60)
5.71 (4.10)
2.88 (3.16)
3.03 (3.28)
Mean Score
[Range: 0-2.29]
0.52 (0.45)
0.30 (0.34)
0.67 (0.45)
0.33 (0.37)
0.52(0.43)
0.24 (0.30)
0.67 (0.47)
0.33 (0.37)
0.35 (0.38)
*Mean (Standard Deviation). Skala fungi (0-3): 0-Tidak ada kesulitan, 1-Ada kesulitan, 2-Sulit, 3- Seringkali tidak dapat menyelesaikan tugas.
*laporan PNA2: fungsi sosial berdasarkan PTSD PNA2 Data
†Pria: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
Gejala PTSD “Memenuhi Kriteria” Initial Algorithm
Gejala PTSD “Memenuhi Kriteria” Revised Algorithm
% Total Sampel (N~691)
Mean PTSD score (>3) “Merupakan Gejala Tinggi”
Mean PTSD score (>2.5) “Merupakan Gejala”
Ya n=76
Tidak n=588
Ya n=18
Tidak n=646
Ya n=55
Tidak n=609
Ya n=22
Tidak n=642
Sum Score
[Range: 0-27]
6.25 (4.90)
3.33 (3.21)
9.67 (5.47)
3.50 (3.35)
6.51 (4.80)
3.41 (3.31)
8.91 (5.65)
3.49 (3.33)
3.67 (3.56)
Mean Score
[Range: 0-3]
0.71 (0.55)
0.38 (0.36)
1.08 (0.61)
0.40 (0.38)
0.75 (0.53)
0.39 (0.38)
1.00 (0.63)
0.40 (0.38)
0.42 (0.40)
PNA2 Data
‡Wanita: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
Gejala PTSD “Memenuhi Kriteria” Initial Algorithm
Gejala PTSD “Memenuhi Kriteria” Revised Algorithm
% Total Sampel (N~685)
Mean PTSD score (>3) “Merupakan Gejala Tinggi”
Mean PTSD score (>2.5) “Merupakan Gejala”
Ya n=85
Tidak n=576
Ya n=22
Tidak n=639
Ya n=77
Tidak n=584
Ya n=30
Tidak n=631
Sum Score
[Range: 0-18]
4.88 (3.77)
2.76 (3.11)
5.91 (3.15)
2.93 (3.24)
5.29 (3.90)
2.74 (3.07)
5.77 (2.98)
2.90 (3.23)
3.03 (3.28)
Mean Score
[Range: 0-2.29]
0.57 (0.43)
0.32 (0.36)
0.70 (0.38)
0.34 (0.38)
0.62 (0.46)
0.32 (0.35)
0.69 (0.35)
0.34 (0.38)
0.35 (0.38)
*Mean (Standard Deviation). Skala fungi (0-3): 0-Tidak ada kesulitan, 1-Ada kesulitan, 2-Sulit, 3- Seringkali tidak dapat menyelesaikan tugas.
*Laporan PNA2: fungsi sosial berdasarkan kecemasan †Pria: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
PNA2 Data Mean anxiety score (>1.75)
Mean anxiety score (>3)
Ya n=224
Tidak n=440
Ya n=57
Tidak n=607
% Total Sampel (N~691)
‡Wanita: Sesulit apakah rasanya bagi Anda saat melakukan kegiatan sehari-hari:
PNA2 Data Mean anxiety score (>1.75)
Mean anxiety score (>3)
Ya n=308
Tidak n=353
Ya n=67
Tidak n=594
% Total Sampel (N~685)
Sum Score
[Range: 0-27]
5.24 (4.12)
2.86 (2.93)
6.11 (4.82)
3.44 (3.33)
3.67 (3.56)
Sum Score
[Range: 0-18]
4.21 (3.67)
2.00 (2.47)
4.97 (3.96)
2.81 (3.12)
3.03 (3.28)
Mean Score
[Range: 0-3]
0.60 (0.46)
0.33 (0.33)
0.69 (0.54)
0.39 (0.38)
0.42 (0.40)
Mean Score
[Range: 0-2.29]
0.49 (0.43)
0.23 (0.28)
0.58 (0.46)
0.33 (0.36)
0.35 (0.38)
*Mean (Standard Deviation). Skala fungi (0-3): 0-Tidak ada kesulitan, 1-Ada kesulitan, 2-Sulit, 3- Seringkali tidak dapat menyelesaikan tugas.
64
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
† T-test rangkuman Analisa Fungsi sosial dan Mean scores berdasarkan ukuran Psych.: pria Sum Score (0-27)
Mean Score (0-3)
Gejala depresi “memenuhi kriteria” Initial Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
Gejala depresi “memenuhi kriteria” Revised Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
Mean depression score (>1.75) “Merupakan Gejala”
p<0.0001
Mean depression score (>3) “Merupakan Gejala”
p<0.001
Gejala PTSD “memenuhi kriteria” Initial Algorithm Gejala PTSD “memenuhi kriteria” Revised Algorithm
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
† T-test rangkuman Analisa Fungsi sosial dan Mean scores berdasarkan ukuran Psych.: wanita Sum Score (0-18)
Mean Score (0-2.29)
Gejala depresi “memenuhi kriteria” Initial Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
Gejala depresi “memenuhi kriteria” Revised Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
p<0.0001
Mean depression score (>1.75) “Merupakan Gejala”
p<0.0001
p<0.0001
p<0.001
Mean depression score (>3) “Merupakan Gejala”
p<0.001
p<0.001
p<0.0001
p<0.0001
Gejala PTSD “memenuhi kriteria” Initial Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
p<0.001
p<0.001
Gejala PTSD “memenuhi kriteria” Revised Algorithm
p<0.0001
p<0.0001
Mean PTSD score (>2.5) “Merupakan Gejala”
p<0.0001
p<0.0001
Mean PTSD score (>2.5) “Merupakan Gejala”
p<0.0001
p<0.0001
Mean PTSD score (>3) “Merupakan Gejala”
p<0.001
p<0.001
Mean PTSD score (>3) “Merupakan Gejala”
p<0.001
p<0.001
Mean anxiety score (>1.75)
p<0.0001
p<0.0001
Mean anxiety score (>1.75)
p<0.0001
p<0.0001
Mean anxiety score (>3)
p<0.0001
p<0.0001
Mean anxiety score (>3)
p<0.0001
p<0.0001
Tekanan Emosional Umum yang Dialami oleh Informan (PNA2)
sedangkan hubungan ini tidak terdapat dalam survei PNA2. Dengan demikian, hipotesa awal ini tidak terbukti. Pertanyaan kedua adalah untuk menanyakan apakah lamanya waktu suatu daerah mengalami kekerasan mempengaruhi tingkat gejala. Dinyatakan sebagai suatu hipotesa, hal ini akan menandakan bahwa suatu pengaruh durasi – bahwa orang yang mengalami trauma yang berulang kali selama masa yang lama akan lebih berkemungkinan untuk menderita gejala psikologis yang berkelanjutan daripada orang yang mengalami trauma akut untuk waktu yang pendek – dapat menimbulkan/ menjelaskan temuan ini. Secara historis, komunitas Pesisir Utara pada PNA1 dan komunitas Pantai Timur pada PNA2 mengalami konflik besar antara TNI dan GAM sejak awal masa DOM di awal 1990an dan sebelumnya. Secara kontras, konflik tersebut mulai menyentuh Pesisir Barat Daya dan Daerah Tinggi Tengah lama setelahnya, umumnya setelah tahun 2000. Hipotesa ini akan memprediksi tingkat gejala yang serupa untuk Pesisir Utara dan Pesisir Timur, tingkat yang lebih
rendah untuk Pesisir Barat Daya dan Darat Tinggi Tengah. Sekali lagi, hipotesa ini tidak terbukti. Tingkat gejala psikologis yang dilaporkan di daerah-daerah Pesisir Timur tidak hanya jauh lebih rendah daripada Pesisir Utara, namun lebih rendah daripada Pesisir Barat Daya dan Daerah Tinggi Tengah. Walau hipotesa kedua ini tidak terbukti, perlu dicatat bahwa kami tidak memiliki data mengenai lamanya durasi kekerasan yang dialami responden individual, hanya mengenai sejarah kekerasan di daerahdaerah, dan tidak ada desa-desa berkonflik tinggi yang mengalami kekerasan yang benar-benar singkat (seperti misalnya satu peristiwa tunggal). Hampir semua mengalami setidaknya 3-5 tahun kekerasan sebelum perjanjian perdamaian. Terdapat kemungkinan bahwa banyak orang telah mengalami peristiwa traumatik yang terkait dengan konflik secara berkali-kali selama jangka waktu yang lama, dan hal ini menimbulkan banyaknya tingkat gejala yang tinggi dan resiko diagnosa penyakit mental yang meningkat. Adalah mungkin bahwa dampak durasi adalah penting
pada tingkat individual dan klinis. Namun, pada tingkat keseluruhan, durasi konflik di suatu daerah tidak menjelaskan rendahnya tingkat gejala di daerah-daerah PNA2. Pertanyaan ketiga untuk ditanya, adalah apakah semakin berlalunya waktu sejak kekerasan, yakni setelah lima bulan, digabung dengan semakin membaiknya keamanan pada bulan Juli 2006 dibanding dengan bulan Pebruari, cukup mengakibatkan menurunnya tingkat gejala. Hal ini memungkinkan dua hipotesa, yakni sebuah hipotesa daya tahan dan sebuah hipotesa keamanan, yang bersama- sama berdalil bahwa perbedaan utama antara tingkat gejala psikologis PNA1 dan PNA2 adalah diakibatkan oleh berlalunya waktu dan meningkatnya keadaan keamanan. Hal ini menandakan bahwa walau sangat banyak jumlah orang yang terus menderita gejala depresi dan PTSD pada tingkat yang memenuhi kriteria untuk diagnosa psikiatri, dan beberapa orang terus mengidap gejala berat, tingkat gejala kecemasan dan depresi yang luar biasa tinggi yang ditemukan diantara responden PNA1
65
Tekanan Emosional Umum yang Dialami oleh Informan (PNA2)
telah menurun selama jangka waktu tersebut. Walau data PNA tidak bersifat longitudinal dan kami tidak dapat secara langsung menguji hipotesahipotesa tersebut, namun data tersebut konsisten dengan penjelasan mengenai daya tahan dan keamanan. PNA2 dilakukan pada saat dimana tingkat kekerasan yang ada saat itu (mengalami penyerangan dan perampasan, melihat bekas pelaku kekerasan) sangat jauh lebih rendah untuk semua daerah PNA2 dibanding yang ada pada kabupaten-kabupaten PNA1 pada saat penelitian dilakukan. (Lihat Tabel 2.9.) Penelitian tersebut dilakukan ketika pasukan militer Indonesian yang non-organik telah pergi cukup lama untuk memberikan komunitas Aceh suatu perasaan bahwa proses perdamaian akan pada akhirnya berhasil. Pada saat dilakukannya wawancara PNA2, data kami menunjukkan bahwa gejala psikologis lebih rendah di semua daerah yang diwawancarai, baik yang mengalami trauma di tingkat yang sama seperti kabupaten-
kabupaten di PNA1 maupun yang mengalami tingkat trauma yang jauh lebih rendah. Walau odds analysis menunjukkan bahwa tingkat individual pengalaman peristiwa traumatik oleh individual telah meninggikan resiko gejala psikologis pada PNA1 maupun PNA2, odds ratio tersebut adalah jauh lebih rendah dalam PNA2. Kesemua ini mendukung hipotesa bahwa dengan meningkatnya keamanan dari Pebruari ke Juli 2006, sebuah proses pemulihan masyarakat secara umum sedang berlangsung. Hal ini mendukung pengamatan kami yang lebih luas bahwa warga Aceh sangat berdaya tahan tinggi. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa daftar gejala (symptom checklists) yang digunakan dalam penelitian ini tidak hanya mengukur psikopatologi, namun bahwa mereka juga merupakan barometer yang sensitif terhadap rasa kecemasan kolektif. Data PNA keseluruhan menyiratkan bahwa gejala psikologis mencerminkan kekerasan traumatik yang berat yang
dialami di masa lalu maupun tingkat rasa keamanan dan kecemasan kolektif yang ada saat ini. Penelitian kami menandakan pada satu sisi bahwa melanjutkan proses perdamaian, menjaga dan meningkatkan keamanan, adalah sangat penting terhadap kesehatan mental orang di daerahdaerah berkonflik tinggi di Aceh. Hal tersebut juga memberikan bukti bahwa walau penduduk di sini merupakan kelompok yang berdaya tahan sangat tinggi, namun gejala yang berkaitan dengan trauma dan kondisi psikiatri yang dapat diobati masih sangat marak di komunitas-komunitas ini. Intervensi yang berkelanjutan dibutuhkan untuk menangani kondisi psikiatri yang akut dan terus menerus yang diasosiasikan dengan konflik, walau dengan berjalannya proses perdamaian. Dan dengan dikembangkannya program-program guna menjawab dampak dari kekerasan, penelitian dibutuhkan untuk memahami proses alam daya tahan dan pemulihan di Aceh dan untuk menjamin bahwa intervensi akan mendukung proses-proses tersebut.
66
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
67
Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat
Sumb e r Daya Ya n g Tersedia di Masyarakat Serangkaian pertanyaan diajukan mengenai kepada apa, atau kepada siapa, warga berpaling pada saat stres. Pewawancara bertanya kepada semua responden; “dalam enam bulan terakhir, apakah anda pernah melakukan halhal berikut ini untuk menanggulangi pengalaman buruk yang terkait dengan konflik?” Daftar pilihan jawaban diberikan dalam kolom kiri pada Tabel 4.1 di bawah. Para responden bebas untuk memilih berapapun jawaban yang mereka inginkan; masing-masing baris
dalam tabel menyatakan persentase orang yang menjawab “ya” pada kategori tersebut, namun tidak dengan mengeliminasi yang tidak menjawab lain. Oleh karena itu persentase di masingmasing kolom tidak berjumlah 100%. Perbedaan yang cukup mencolok antara PNA1 dan PNA2 dari segi jawaban terhadap masing-masing pertanyaan pada checklist kegiatan ini adalah rendah karena masing-masing pilihan tidak dibacakan kepada responden. Karena mengetahui bahwa jauh lebih banyak dari tiga persen warga yang tinggal di
daerah pedesaan Aceh berobat pada ahli obat tradisional, para peneliti memperkirakan para responden enggan untuk menyatakan demikian kepada para pewawancara, yang sebagian besar adalah perawat medis dari rumah sakit jiwa di Banda Aceh, sedangkan pewawancara lainnya adalah warga kota yang berpendidikan tinggi. Pada PNA2, para pewawancara membicarakan semua pertanyaan pada checklist, menanyakan apakah dalam enam bulan terakhir para responden bertemu dengan seorang ahli obat/
dukun, seorang tokoh agama, dan sebagainya. Para responden memiliki kesempatan untuk mengiyakan atau menyangkal penggunaan masing-masing pilihan yang ada pada tabel di atas, dan bukan mengingat cara mereka menangani stres dan mecocokkannya dengan daftar jawaban, dan ini mungkin merupakan penyebab melonjaknya jawaban positif terhadap masing-masing jawaban pada daftar. Namun demikian pola yang ditunjukkan oleh jawaban-jawaban yang diberikan oleh sampel PNA1 kurang lebih adalah
sama. Hampir semua responden dalam sampel PNA2 (91%) menggunakan doa pada saat-saat stres, diikuti oleh bercerita kepada teman dan keluarga (68%). Berkonsultasi dengan seorang ahli agama (54%) dan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi (56%) kira-kira berada pada posisi ketiga. Perawatan medis (33%), olah raga (24%) dan pengobatan tradisional (17%) juga merupakan sumber penanggulangan ingatan buruk mengenai pengalaman konflik yang patut dicatat. Tingkat kegiatan-kegiatan tersebut adalah tertinggi di daerah Pesisir Timur, dimana
kekerasan terjadi sangat intensif. Namun demikian, hal tersebut di atas hanyalah indikator kecil mengenai sumber daya dan proses psikologis setempat yang dipergunakan dalam pemulihan dan upaya untuk menanggulangi ingatan akan kekerasan. Proses politik dalam skala besar sudah pasti sama pentingnya dalam upaya jangka panjang untuk pemulihan komunitas maupun individu. Yang tidak ditunjukkan dalam Tabel 4.1 adalah perbedaan dalam gender. Dalam sampel PNA2, wanita dan pria berusaha menanggulangi pengalaman yang terkait konflik dengan cara-cara yang sama, dengan pengecualian olah raga lebih sering dilakukan oleh pria (34%) daripada wanita (16%).
Tabel 4.1 perilaku mencari bantuan selama enam bulan terakhir
Dalam 6 bulan terakhir, apakah Anda sudah melakukan hal-hal berikut untuk mengatasi pengalaman buruk sehubungan dengan konflik?
*PNA1 Data
PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Membicarakannya dengan teman atau keluarga
35
65
87
71
62
63
68
58
Mendatangi ahli pengobatan tradisional atau meminum obat tradisional
3
6
10
24
26
17
17
13
Mencari pertolongan medis (puskesmas, rumah sakit, bidan desa)
15
23
48
37
29
31
33
28
Konsultasi dengan spesialis penyakit mental (psikologis/psikiatris/ perawat kesehatan jiwa masyarakat)
1
2
1
4
1
4
3
2
Konsultasi dengan tokoh agama (imam ustad, ulama)
17
34
67
46
53
65
54
42
Do’a
71
90
98
92
74
93
91
85
Olahraga
2
9
26
32
31
23
24
18
Mencoba melupakan pengalaman tersebut
16
24
85
70
39
54
56
44
Pindah ke tempat lain
3
2
21
19
6
9
12
9
Tidak melakukan apapun
6
0
11
6
4
7
6
6
Lainnya
2
0
2
7
0
<1
2
2
Tidak tahu/ menolak/ tidak punya opini
0
0
1
<1
0
1
1
<1
Persepsi Cacat Mental yang Berkaitan Dengan Konflik di Komunitas Para responden ditanyai serangkaian pertanyaan umum mengenai masalah kesehatan mental di masyarakat mereka masing-masing. Bagian kuesioner ini dimulai dengan bertanya apakah responden merasa ada masalah kesehatan mental di komunitas mereka yang terkait dengan konflik dan/ atau tsunami, dan apakah masalah-masalah tersebut mempengaruhi responden atau keluarganya. Hasilnya disajikan pada Tabel 4.2. Terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi responden mengenai adanya masalah kesehatan mental yang terkait dengan konflik atau tsunami di masyarakat mereka, antara PNA1 dan PNA2, turun dari 66% pada PNA1 menjadi 39% pada PNA2. Namun demikian, mengingat perbedaan signifikan antara daerah-daerah pada PNA2, mungkin adalah tidak pantas
68
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
69
Tabel 4.2 persepsi responden akan penyakit mental di dalam komunitas dan di rumah *PNA1 Data
Apakah menurut Anda ada masalah kesehatan mental di komunitas Anda sehubungan dengan tsunami dan/ atau konflik? (%Ya) Bagi yang menjawab “ya”: Apakah Anda merasa bahwa masalah tersebut telah memberikan dampak pada Anda dan keluarga? (%Ya)
% Pesisir Utara (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
66
16
50
42
17
46
39
47
(n=393)
(n=29)
(n=122)
(n=137)
(n=27)
(n=214)
(n=529)
(n=922)
55
31
64
31
30
43
43
48
lebih sebanding satu sama lain dan persentase yang lebih besar pada responden Pesisir Timur yang menjawab ya terhadap pertanyaan pertama merasa bahwa masalah-masalah tersebut mempengaruhi diri mereka sendiri maupun keluarga mereka (64%
untuk membandingkan PNA2 secara keseluruhan dengan PNA1, dikarenakan mereka juga mencakup daerah-darah yang berbeda. Akan lebih masuk akal, misalnya, untuk membandingkan Pesisir Utara (66%) dengan Pesisir Timur (50%), dimana jumlahnya
responden Pesisir Timur PNA2 vs. 55% responden Pesisir Utara PNA1). Secara keseluruhan, hampir setengah dari semua responden PNA merasa bahwa terdapat penyakit mental yang terkait dengan konflik dan tsunami
Tabel 4.3 seleksi kelompok responden pada komunitas yang paling menderita dari stres
Which of the following groups in your community suffer the most because of stres or trauma related to the conflict? (%Ya)
PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data
*PNA1 Data
di dalam komunitas mereka, yang setengahnya merasa bahwa masalahmasalah tersebut mempengaruhi diri mereka atau anggota keluarga mereka. Para responden kemudian diminta untuk memberitahukan kami kelompok
orang-orang muda, mantan tahanan politik, mantan GAM, manula, dan para janda serta duda akibat konflik. Berdasarkan umpan balik pada PNA1, dalam kuesioner PNA2 dua pilihan lain dimasukkan: tokoh masyarakat, dan pasukan keamanan Indonesia. Hasilnya
karena konflik atau trauma PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data % Aceh Besar (N=180)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Wanita
65
77
95
87
70
94
87
80
Pria
81
89
97
92
74
96
92
88
Anak-anak
32
60
78
74
50
76
71
59
Pemuda
71
88
96
91
69
96
90
84
Mantan tahanan politik
19
63
81
48
63
74
68
51
Mantan tentara GAM-TNI
26
69
86
53
68
80
73
57
Orangtua
38
73
89
77
65
90
82
68
Janda/ duda akibat konflik
32
68
90
81
69
86
82
66
Tokoh masyarakat
-
72
93
72
52
88
79
79
Pasukan keamanan (RI)
-
47
65
41
48
22
40
40
Pertanyaan PNA1 “Penderitaan Masyarakat” = binary (Ya=1/ Tidak=0) Pertanyaan PNA2 “Penderitaan Masyarakat” = “Tidak menderita sama sekali”=0, “Menderita sedikit”=1, “Menderita”=2, “Sangat menderita”=3 Binary (Ya=1, jika menjawab=1, 2 or 3, No=0, jika menjawab=0)
† PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: - Apakah menurut Anda ada masalah kesehatan mental di komunitas Anda sehubungan dengan tsunami dan/ atau konflik? [p<0.0001] - Apakah Anda merasa bahwa masalah tersebut telah memberikan dampak pada Anda dan keluarga? [p<0.0001]
mana di dalam komunitas mereka paling menderita “stres atau trauma yang terkait konflik.” Responden bebas memilih jumlah kelompok yang diidentifikasi, tanpa memberikan peringkat, dari diantara kelompokkelompok berikut ini: wanita, pria, anak,
% Pesisir Utara (N=596)
Catatan:
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: - Apakah menurut Anda ada masalah kesehatan mental di komunitas Anda sehubungan dengan tsunami dan/ atau konflik? [p<0.0001] - Apakah Anda merasa bahwa masalah tersebut telah memberikan dampak pada Anda dan keluarga? [p<0.0001]
*
PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Wanita Pria Anak-anak Pemuda Mantan tahanan politik Mantan tentara GAM-TNI Orangtua Janda/ duda akibat konflik Tokoh masyarakat Pasukan keamanan (RI)
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
†
PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Wanita Pria Anak-anak Pemuda Mantan tahanan politik Mantran tentara GAM-TNA Orangtua Janda/ duda akibat konflik Tokoh masyarakat Pasukan keamanan (RI)
p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001 p<0.0001
70
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
71
Tabel 4.4 pandangan terhadap layanan kesehatan mental lsm dan mitra
*PNA1 Data
PNA1 + PNA2 Data
†PNA2 Data
% Pesisir Utara (N=596)
% Aceh Besar (N=180)
% Daerah Tinggi Tengah (N=327)
% Pesisir Timur (N=246)
% Daerah Tinggi Tenggara (N=162)
% Pesisir Barat Daya (N=461)
% Total Sampel (N=1.972)
% PNA2 Sampel (N=1.376)
Jika sebuah LSM menawarkan Anda atau anggota keluarga Anda bantuan kesehatan mental, dengan melalui GAM, akan diterimakah?
Ya- 60 Tidak- 11 DK/refuse-29
Ya-67 Tidak-10 DK/refuse-23
Ya-40 Tidak-22 DK/refuse-38
Ya-40 Tidak-35 DK/refuse-25
Ya-67 Tidak-27 DK/refuse-6
Ya-49 Tidak-23 DK/refuse-28
Ya-50 Tidak-24 DK/refuse-26
Ya-53 Tidak-20 DK/refuse-27
Jika sebuah LSM menawarkan Anda atau anggota keluarga Anda bantuan kesehatan mental, dengan melalui Pemerintah Indonesia, akan diterimakah?
Ya-51 Tidak-23 DK/refuse-26
Ya-69 Tidak-10 DK/refuse-21
Ya-37 Tidak-26 DK/refuse-37
Ya-52 Tidak-24 DK/refuse-24
Ya-69 Tidak-23 DK/refuse-8
Ya-50 Tidak-25 DK/refuse-25
Ya-53 Tidak-22 DK/refuse-25
Ya-53 Tidak-22 DK/refuse-25
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p<0.0001 [semua aktivitas] Kecuali….. “Konsultasi dengan spesialis penyakit mental” (p<0.05) “Tidak tahu/ menolak/ tidak mempunyai pendapat” (NS) † PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua aktivitas] Kecuali….. “Konsultasi dengan spesialis penyakit mental” (p<0.05) “Tidak tahu/ menolak/ tidak punya pendapat” (NS)
Tabel 4.5 pandangan terhadap layanan kesehatan mental lsm dan mitra, berdasarkan gender
*PNA1 Data % Pria (N=315)
% Wanita (N=281)
†PNA2 Data % Total PNA1 Sampel (N=596)
% Pria (N=691)
% Wanita (N=685)
PNA1 + PNA2 % Total PNA2 Sampel (N=1.376)
% Total Sampel (N=1.972)
Jika sebuah LSM menawarkan Anda atau anggota keluarga Anda bantuan kesehatan mental, dengan melalui GAM, akan diterimakah?
Ya-68 Tidak-6 DK/refuse-26
Ya-51 Tidak-16 DK/refuse-33
Ya- 60 Tidak- 11 DK/refuse-29
Ya-60 Tidak-19 DK/refuse-21
Ya-40 Tidak-30 DK/refuse-30
Ya-50 Tidak-24 DK/refuse-26
Ya-53 Tidak-20 DK/refuse-27
Jika sebuah LSM menawarkan Anda atau anggota keluarga Anda bantuan kesehatan mental, dengan melalui Pemerintah Indonesia, akan diterimakah?
Ya-51 Tidak-24 DK/refuse-25
Ya-52 Tidak-21 DK/refuse-27
Ya-51 Tidak-23 DK/refuse-26
Ya-59 Tidak-20 DK/refuse-21
Ya-47 Tidak-25 DK/refuse-28
Ya-53 Tidak-22 DK/refuse-25
Ya-53 Tidak-22 DK/refuse-25
* PNA1 VS. PNA2 lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua aktivitas] Kecuali….. “Konsultasi dengan spesialis penyakit mental” (p<0.05) “Tidak tahu/ menolak/ tidak punya pendapat” (NS) † PNA2 perbandingan lokasi kabupaten: Statistik secara signifikan berbeda pada p< 0.0001 [semua aktivitas] Except….. “Konsultasi dengan spesialis penyakit mental” (p<0.05) “Tidak tahu/ menolak/ tidak punya pendapat” (NS)
* PNA1 VS. PNA2 perbandingan gender
Tambahan Bantuan Berdasarkan Gender LSM menawarkan bantuan, melalui GAM LSM menawarkan bantuan, melalui Pemerintah Indonesia
† PNA1 and PNA2 perbandingan dalam gender (pria Vs. wanita) PNA1 Pria vs. PNA2 Pria
PNA1 Wanita vs. PNA2 Wanita
p<0.0001
P<0.0001
NS
NS
Tambahan Bantuan Berdasarkan Gender LSM menawarkan bantuan, melalui GAM LSM menawarkan bantuan, melalui Pemerintah Indonesia
PNA1 perbandingan dalam gender:
PNA2 perbandingan dalam gender:
p<0.0001
P<0.0001
NS
P<0.0001
72
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
disajikan dalam Tabel 4.3. Seperti halnya dengan hasil yang disajikan dalam Tabel 4.1, tingkat jawaban per pertanyaan meningkat secara signifikan pada PNA2 dikarenakan perubahan format dalam kuesioner. Dalam PNA2, para pewawancara membacakan masingmasing p o i n / p e r t a n y a a n d a n menanyakan kepada responden apakah mereka merasa pria, wanita, orang muda, dan kelompok komunitas lainnya yang tercantum dalam daftar terpengaruh secara tinggi oleh trauma yang terkait dengan konflik. Dalam PNA1, para pewawancara meminta jawaban tanpa membicarakan pilihanpilihan jawaban yang tersedia. Walau dengan adanya perubahan dalam format pertanyaan, dan walau dengan adanya lonjakan dalam tingkat jawaban, pola umum yang ditunjukkan oleh hasil PNA1 masih terdapat dalam PNA2. Para responden tetap menyebutkan pria (92%) dan orang muda (90%) sebagai yang paling menderita akibat trauma dan stres yang terkait konflik. Namun, para responden seringkali mengatakan bahwa semua orang di dalam komunitas mereka sangat menderita, sehingga semua pilihan (kecuali pasukan keamanan pemerintah) berada pada peringkat yang lebih tinggi daripada 65% dan sebagian besar berada lebih dari 70%. Dibanding dengan pendistribusian peristiwa traumatik berdasarkan gender dan usia, para responden secara benar mengidentifikasi pria dan orang muda sebagai yang paling rentan, namun juga jelas bahwa responden merasa tidak ada yang terkecuali dari penderitaan stres atau trauma akibat pengalaman konflik. Perbedaan antara daerah secara akurat mencerminkan perbedaan intensitas kekerasan konflik
di seluruh Aceh, namun pola umum peringkat masih sama di semua daerah propinsi tersebut.
Persepsi LSM dan Layanan Kesehatan Publik Pada banyak data kualitatif, para responden cenderung meminta adanya pendatangan layanan dan menyatakan minat untuk mendapatkan dukungan lembaga swadaya masyarakat untuk mengembangkan layanan kesehatan mental yang berbasis komunitas. Kuesioner juga menyertakan dua pertanyaan mengenai minat terhadap layanan LSM, yang dirancang untuk mengukur preferensi dalam mitra pelaksana setempat, yakni pemerintah Indonesia atau GAM, yang sekarang beroperasi di Aceh sebagai organisasi kemasyarakatan dan partai politik. P e r t a n y a an-pertanyaan tersebut diajukan sebelum diadakannya pilkada di bulan Desember 2006, ketika banyak kandidat yang didukung GAM dipilih untuk menduduki jabatan, termasuk Gubernur dan banyak Bupati. Untuk menanyakan pertanyaan tersebut dewasa ini tidak akan terlalu masuk di akal, karena GAM telah masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan di tingkat propinsi dan kabupaten. Walaupun demikian, pertanyaan tersebut bersifat hipotetis dalam upaya mengukur tingkat kepercayaan terhadap pemerintah atau GAM. Hasilnya dirangkum berdasarkan daerah pada Tabel 4.4 dan berdasarkan gender di Tabel 4.5. Pada PNA1 kami melaporkan bahwa hanya 35% responden di Bireuen dan 36% di Aceh Utara mengatakan bahwa mereka akan bersedia untuk menerima bantuan kesehatan mental jika ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.
Kami menafsirkan pernyataan ini untuk bermakna bahwa ada rasa tidak percaya yang signifikan terhadap pemerintah dan layanan pemerintah di pihak komunitas-komunitas di kedua kabupaten ini, dan bahwa hal ini merupakan halangan potensial penting dalam penyediaan layanan kesehatan mental melalui sistem kesehatan mental publik. Temuan-temuan pada PNA2 adalah senada. Di daerah-daerah dengan konflik paling tinggi, yakni kabupatenkabupaten di Pesisir Timur, hanya 37% yang mengatakan mereka akan menerima layanan tersebut. Fakta ini memberikan bukti kuantitatif terhadap kesan yang didapat dari wawancara kualitatif bahwa masih terdapat rasa tidak percaya yang cukup tinggi pada saat wawancara ini menyangkut layanan-layanan yang ditawarkan oleh sektor publik atau pemerintah. Dengan membandingkan jawaban dari penelitian PNA1 dan PNA2, lebih sedikit jumlah wanita (berturutturut, 51% dan 40%) menyatakan akan menerima bantuan kesehatan mental yang ditawarkan oleh LSM yang disediakan melalui GAM daripada pria (68% dan 60%). Lebih sedikit wanita (47%) dalam sampel PNA2 juga menyatakan bahwa mereka akan menerima bantuan kesehatan mental jika diberikan melalui pemerintah Indonesia daripada pria (59%), sedangkan setengah pria dan wanita dalam sampel PNA1 mengindikasikan bahwa mereka akan menerima tawaran tersebut. Seperempat jumlah sampel, dimana wanita lebih banyak daripada pria, menolak untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, dan 20% menjawab tidak terhadap layanan yang dilaksanakan melalui GAM dan 22% terhadap layanan yang diberikan oleh pemerintah.
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
73
Penyakit Klinis Yang Berkaitan Dengan Konflik di Komunitas-komunitas ini: Temuantemuan dari Proyek Outreach Kesehatan Mental Temuan terakhir yang diuraikan dalam penelitian ini tidak didapat dari survei PNA2, namun dari program percontohan outreach kesehatan mental IOM yang saat ini dilaksanakan di Bireuen dengan pendanaan dari Kedutaan Besar Norwegia. Tiga tim medis, masing-masing terdiri dari seorang dokter umum dan seorang perawat, yang kedua-duanya telah menjalani pelatihan di bidang kesehatan mental, telah memeriksa pasien dan saat ini memberikan perawatan kepada lebih dari 580 orang dengan masalah kesehatan mental di 25 desa, di kabupaten-kabupaten yang telah mengalami konflik tinggi. Para ahli telah menemukan bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam survei PNA sangat sering ditemui diantara orang-orang yang didiagnosa menderita masalah kesehatan mental. Gejala PTSD muncul secara luas, dengan hampir seperempat dari semua pasien memenuhi kriteria PTSD dan 42% dari semua orang yang dirawat akibat masalah kesehatan mental mengatakan bahwa penyakit mereka berkaitan dengan pengalaman trauma yang berkaitan dengan konflik.
Trauma di kepala tampak sebagai suatu fenomena klinis yang penting, dimana para pasien melaporkan mengidap gejala sejak saat dipukuli atau disiksa. Depresi klinis banyak ditemui. Dalam suasana konflik tinggi tersebut, depresi seringkali diasosiasikan dengan kenangan traumatik akan konflik, disertai isolasi sosial dan perpecahan dalam komunitas, sebagai warisan dari kekerasan, dan juga dibarengi dengan hilangnya properti dan kehancuran ekonomi. Apapun bukti yang terdapat di dalam PNA2 mengenai menurunnya tingkat gejala dibanding dengan penelitian PNA1, masalah kesehatan mental yang secara langsung terkait dengan konflik adalah sangat nyata diantara komunitaskomunitas ini, dan terdapat kepentingan yang sangat mendesak untuk memberikan perawatan terhadap penduduk ini. Proyek percontohan kesehatan mental IOM tersebut telah berhasil mendemonstrasikan satu pendekatan yang efektif dalam memberikan pelayanan terhadap komunitas- komunitas ini.
74
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
75
Rekomendasi
1. Semua program yang dilakukan di daerah pedesaan Aceh harus mempertimbangkan luasnya dan kompleksitas kekerasan serta sisa dampak psikologis dan sosialnya di antara para komunitas.
3. Penyediaan layanan kesehatan mental akan membutuhkan investasi berkelanjutan dalam pengembangan jangka panjang sistem kesehatan dan kesehatan mental di Aceh.
Warisan dari akumulasi peristiwa traumatik di seluruh Aceh sebagaimana yang disajikan di dalam data PNA membawa tantangan unik bahkan untuk programprogram seperti pembangunan perumahan dan sekolah yang tidak secara spesifik dirancang untuk memberi bantuan psikososial. Proses konsultatif dan wawancara dengan informan kunci, secara dini dan sering, dan pada tingkat yang paling lokal, diperlukan untuk membentuk intervensi yang akan dikembangkan. Dari hal-hal tersebut, suatu pemahaman mengenai pengalaman historis dan dinamika sosial yang ada saat ini di lokasi- lokasi bantuan pasca-konflik tersebut akan membantu menyempurnakan prioritas untuk program dan menjamin implementasi yang lancar.
2. Masyarakat internasional perlu menyadari adanya keperluan mendesak untuk menyediakan layanan kesehatan mental kepada komunitas-komunitas yang paling terpengaruh oleh konflik.
Laporan ini mendokumentasikan tingkat kekerasan traumatik yang luar biasa yang dilakukan terhadap penduduk sipil biasa di daerah pedesaan Aceh, khususnya di kabupaten, kecamatan dan desa dengan tingkat konflik tertinggi. Laporan ini, disamping temuantemuan dari intervensi percontohan kesehatan mental IOM, menunjukkan bahwa kekerasan ini sangat terkait dengan kondisi depresi, kecemasan, dan PTSD, serta neuropsikiatri tingkat tinggi di komunitas-komunitas tersebut. Masalah-masalah tersebut belum pergi. Hampir dua tahun setelah penandatangan perjanjian perdamaian, yang mengakhiri kekerasan militer di Aceh, masalah kesehatan mental akut masih merupakan warisan yang kritis yang dibawah oleh kekerasan. Terdapat keperluan mendesak untuk memberikan tindakan kesehatan mental berbasis medis, disamping program psikososial dan mata pencaharian, bagi korban di komunitas-komunitas tersebut.
Aceh memiliki lebih dari 4 juta penduduk, tetapi hanya tiga psikiater. Membangun sebuah sistem kesehatan mental yang akan menggapai masyarakat Aceh yang tersebar secara luas harus disadari sebagai suatu kebutuhan yang mendesak dan sebagai bidang yang membutuhkan investasi berkelanjutan berjangka panjang. Kebutuhan kesehatan mental di komunitaskomunitas tersebut hanya dapat dipenuhi melalui pengembangan sebuah sistem kesehatan yang kompeten dan efektif yang memberikan prioritas khusus kepada kesehatan mental. Badan-badan internasional, nasional maupun propinsi perlu bekerjasama dalam memperkuat kapasitas sistem kesehatan secara umum, dan khususnya dalam mengembangkan solusi inovatif terhadap tugas yang sulit untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang berbasis masyarakat.
5. Upaya terfokus untuk menangani warga yang mengalami efek trauma kompleks perlu dilakukan dalam konteks pengembangan program-program kesehatan dan psikososial yang khusus.
4. Layanan outreach khusus perlu didukung untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mental yang paling mendesak di daerahdarah konflik tinggi di Aceh.
Walau kebutuhan jangka panjang untuk layanan kesehatan mental di Aceh hanya dapat ditangani melalui investasi dalam penyempurnaan sistem kesehatan mental publik, orang-orang yang menderita konsekuensi kesehatan mental dari kekerasan, penyiksaan, dan pengungsian seharusnya tidak dibiarkan menunggu lama. Program-program khusus yang menyediakan layanan kesehatan mental dan psikososial kepada korban konflik perlu diberikan dukungan dengan segera. Program Outreach Kesehatan Mental yang dikembangkan secara bersama-sama oleh IOM dan Harvard Medical School dengan pendanaan dari Kedutaan Besar Norwegia, tampak sebagai salah satu mekanisme efektif untuk menangani kebutuhan yang akut dan mendesak dalam komunitas-komunitas yang secara relatif terisolasi.
cidera otak dan anoxia (kurangnya oksigen pada otak) yang dapat mengakibatkan dampak emosional, kognitif, dan perilaku jangka panjang. Gejala-gejala dapat meliputi berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pelatihan kerja, kurang kecakapan untuk mengambil keputusan yang menimbulkan apa yang tampaknya seperti sering mengamuk atau bahkan perilaku kriminal, disamping penderitaan pribadi.
Investasi Sungguh-sungguh perlu dilakukan ke dalam program-program yang membawa pelayanan secara langsung ke komunitas-komunitas tersebut.
Dalam masyarakat-masyarakat dimana 15-18% dari keseluruhan penduduk dan 25% dari pria melaporkan telah disiksa, dimana 50-70% pria muda melaporkan telah dipukuli di kepala, dicekik, atau hampir ditenggelamkan, dimana 50-60% dari semua pria dan 15-20% dari wanita melaporkan telah dipukuli, trauma kompleks merupakan sisa zaman kekerasan yang sangat sering dijumpai dan adalah penting untuk diperhatikan. Menangani masalah kesehatan mental dan psikososial yang terkait dengan PTSD dan trauma kompleks dalam lokasi yang secara relatif terisolasi dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental adalah sangat menantang. Perlu disadari secara tegas bahwa tidak ada modalitas terapeutik tunggal yang secara pasti akan efektif dan berkesinambungan. Melainkan, suatu komitmen harus dibuat terhadap pengembangan program-program terapeutik yang inovatif di lokasilokasi tertentu, untuk pendokumentasian tiap-tiap program, dan untuk pengevaluasian secara cermat atas efektifitas pendekatan-pendekatan terapeutik.
6. Perhatian khusus perlu diberikan kepada masalah trauma terhadap kepala, cidera otak, serta cacat fisik jangka panjang yang diakibatkan oleh penyiksaan dan kekerasan yang terkait dengan konflik.
Baik laporan ini maupun PNA1 mendokumentasikan tingkat trauma kepala yang luar biasa tinggi – pemukulan terhadap kepala, pencekikan, dan penenggelaman – yang merupakan kegiatan rutin dalam penyiksaan, khususnya pria, di komunitas-komunitas dengan tingkat konflik tinggi. Trauma di kepala dapat menyebabkan
Penelitian perlu dilakukan untuk menentukan apakah program-program khusus diperlukan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Sistem medis, hukum, dan pendidikan perlu diberi sosialisasi mengenai pentingnya masalah-masalah tersebut bagi orang yang telah mengalami kekerasan traumatik selama konflik.
7. Perhatian khusus perlu diberikan pada masalah kesehatan para orang-orang usia lanjut di daerah-daerah dengan konflik tinggi.
Walau orang-orang muda menderita kekerasan yang luar biasa tinggi selama konflik dan pantas mendapatkan perhatian khusus, laporan ini menandakan bahwa pria dan wanita yang lebih tua mungkin terus mengalami tingkat tinggi masalah kesehatan di komunitas-komunitas ini. Hanya sedikit perhatian yang telah diarahkan terhadap pengaruh konflik terhadap orang tua. Temuan ini menandakan adanya kebutuhan riset lebih lanjut dan pengembangan program guna menjawab kebutuhan kesehatan mental dan psikososial para pria dan wanita usia lanjut di masyarakat-masyarakat ini.
8. Para kabupaten dan desa yang mengalami kekerasan yang sangat luar biasa patut diberikan perhatian khusus dalam pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial.
Pengalaman peristiwa traumatik semasa konflik merupakan ‘predictor’ tunggal terbesar mengenai gangguan kesehatan mental pada PNA1 maupun PNA2. Sebuah pemetaan peristiwa konflik di seluruh Aceh menunjukkan dimana prioritas terletak untuk layanan
76
“Sebuah Penelitian Kebutuhan Psikososial Terhadap Komunitas-komunitas di 14 Kabupaten yang Terkena Dampak Konflik di Aceh”/ Juni 2007
di daerah-daerah konflik tinggi tersebut harus disadari sebagai pengungsi internal, yang memiliki segala kerentanan dan kebutuhan yang menyertai pengalaman pengungsian mereka yang baru saja terjadi. Program- program penanganan pengungsian, khususnya rekonstruksi perumahan, sekolah, jalanan dan infrastruktur lainnya yang rusak dan hancur, dan pemulihan mata pencaharian yang hilang, merupakan prasyarat segala bentuk pemulihan psikososial yang luas di masyarakat-masyarakat tersebut.
kesehatan mental dan psikososial. Daerah ini termasuk kabupaten Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur yang berada di Pesisir Utara dan Timur, disamping juga kabupaten Aceh Selatan di pesisir Barat Daya. Selain itu, pemetaan peristiwa konflik dapat diuraikan hingga tingkat kecamatan dan desa, sehingga mengungkapkan mikro-lokalitas dimana para penyedia pelayanan kemungkinan besar akan menemukan beban kesehatan mental yang terkait dengan konflik.
9. Badan-badan nasional maupun internasional perlu menyadari kebutuhan yang berkelanjutan atas intervensi mata pencaharian di daerah-daerah konflik tinggi, yang selayaknya dikaitkan secara khusus dengan program-program kesehatan mental dan psikososial.
Mata pencaharian yang rusak atau hilang adalah lebih dari sekedar efek samping konflik. Pada sebagian besar situasi, telah terjadi upaya yang dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk merusak perekonomian lokal yang dilihat oleh pihak militer sebagai basis material strategis untuk pemberontakan. Hal ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi penduduk sipil di komunitas- komunitas tersebut dan pemulihan mereka selalu disebut oleh para responden sebagai prioritas pertama. Namun komunitas-komunitas yang terkena dampak paling parah yang membutuhkan pemulihan mata pencaharian adalah juga komunitas-komunitas dengan beban kesehatan mental paling berat, yang kemungkinan akan menghambat keberhasilan program-program yang dirancang untuk pemulihan di bidang fisik atau material. Bantuan sementara untuk merehabilitasi sawah yang hancur dan perkebunan hutan, suntikan modal untuk memulai kembali perekonomian lokal, pelatihan kerja dan pengembangan koperasi usaha kecil, dapat semuanya dilihat secara sendiri sebagai intervensi psikososial, namun mereka yang menderita kecacatan akan membutuhkan bantuan kesehatan mental tegas untuk menyertai bantuan mata pencaharian yang mereka terima.
10. Pengembangan
program bagi daerah pedesaan Aceh perlu meliputi sebuah upaya penyadaran sistematis akan dampak jangka panjang pengungsian di berbagai komunitas konflik yang terkait.
Hampir setengah dari sampel melaporkan mengalami pengungsian akibat konflik. Di banyak desa, persentasenya adalah antara 90% dan 100%. Para warga yang tinggal
11. Terdapat simpanan ingatan yang berkelanjutan mengenai penyiksaan, kekerasan, dan pengungsian paksa yang dijalankan terhadap para komunitas dan individu di Aceh. Rasa kehilangan dan rasa ketidakadilan yang tinggi merupakan peninggalan dari kekerasan. Pertimbangan yang seksama harus diberikan terhadap upaya-upaya spesifik untuk menanggulangi kenangan-kenangan tersebut sebagai bagian dari proses perdamaian yang berkelanjutan dalam konteks pembangunan kembali Aceh.
Upaya-upaya tersebut pada gilirannya akan memiliki konsekuensi terhadap sasaran yang lebih besar, yakni penyembuhan trauma bagi individu dan komunitas. Laporan ini mendokumentasikan tingkat kekerasan yang luar biasa tinggi terhadap penduduk sipil di Aceh. Sebagai sebuah penelitian kebutuhan psikososial, laporan ini berfokus pada masalah-masalah klinis dan kesehatan mental yang spesifik yang terkait dengan kekerasan ini.
Namun, luasnya kekerasan yang terdokumentasi dalam laporan ini memiliki implikasi sosial dan politik yang lebih luas, yang memiliki peran sangat penting dalam tujuan yang lebih besar dalam menyembuhkan trauma dan pada akhirnya menanggulangi sisa-sisa yang menyakitkan dari kekerasan di komunitas-komunitas yang turut menyumbangkan dalam penyusunan laporan ini.
design by:
[email protected] / +62 811 1611 84
International Organization for Migration (IOM) Surya Building 13th Floor Jl. MH. Thamrin Kav. 9 Jakarta 10350, Indonesia
Ph. Fx.
+6221 3983 8529 +6221 3983 8528
[email protected] www.iom.or.id