Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty “The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention.”
64
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
A. Batalnya Perjanjian Internasional Sebuah perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan apabila terpenuhi beberapa kondisi yang dipersyaratkan baik oleh Konvensi maupun berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Pasal 42 (1) Konvensi menyebutkan bahwa, “the validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention.” Hal ini untuk mencegah negara-negara mengelak kewajiban yang dibebankan oleh perjanjian dengan memberikan alasan yang dibuat-buat terhadap keabsahan perjanjian.41 Namun ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan dibatalkannya sebuah perjanjian internasional. Beberapa hal tersebut akan dibahas dalam bagian ini dengan lebih rinci.
1. Kewenangan Membuat Perjanjian Internasional Konstitusi sebagian besar negara-negara di dunia menentukan bahwa kepala negara tidak dapat membuat atau meratifikasi perjanjian internasional tanpa persetujuan lembaga legislatif. 42 Permasalahan akan muncul terhadap keabsahan perjanjian tersebut apabila kepala negara tetap membuat perjanjian internasional tanpa mengindahkan konstitusi, dengan alasan apapun. Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Sebagian menyebutkan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum 41 42
B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990, hlm. 44-66. Lihat L. Wildhaber, Treaty Making Power and Constituion: An Interpretational and Comparative Study, 1971.
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
65
asalkan konstitusi negara tersebut cukup dikenal oleh negaranegara di dunia, indikator yang sebenarnya sangat subjektif. Sebagian lain menyatakan bahwa perjanjian tersebut sah, namun dengan pengecualian apabila salah satu pihak sepatutnya mengetahui pihak yang lain telah bertindak dengan melanggar konstitusi. Sebagian besar negara sepakat dengan pendapat kedua, yang selaras dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Wina, yaitu: (1) A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. (2) A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. Pasal 46 sebenarnya mempertimbangkan hubungan antara lembaga legislatif dengan eksekutif dalam sebuah negara. Tapi yang perlu diingat adalah tindakan pihak eksekutif untuk membuat perjanjian tetap mengikat negara tersebut. Hanya saja yang perlu dipertimbangkan adalah pejabat eksekutif mana yang berwenang untuk mewakili negara dalam membuat sebuah perjanjian internasional. Akan mustahil bila seorang tukang ketik dianggap dapat mewakili negara sebagaimana seorang Menteri Luar Negeri. Berdasarkan Pasal 7 (1) Konvensi, seseorang dianggap mewakili sebuah negara untuk menerima atau memberikan
66
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
kesaksian terhadap sebuah naskah perjanjian atau untuk tujuan memberikan persetujuan mengikatkan diri terhadap sebuah perjanjian, dengan syarat: a. Menunjukkan surat kuasa yang sepatutnya; atau b. Disimpulkan dari pengalaman dan praktik negara-negara atau keadaan lain yang menunjukkan bahwa orang tersebut memang mewakili negara untuk tujuan tersebut dan memberikan surat kuasa. Pasal 7 (2) menyatakan bahwa kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri, dilihat dari sifat tugas dan fungsi mereka tanpa membawa surat kuasa, dipertimbangkan sebagai perwakilan negara untuk tujuan melakukan segala tindakan
yang
diperlukan
dalam
pembuatan
perjanjian
internasional. Pada kenyataannya, kondisi ini jarang terjadi, namun pernah terjadi sebagaimana kasus penandatangan Perjanjian London (London Accord 1960) yaitu perjanjian pendirian negara Cyprus yang ditandatangani oleh perwakilan Cyprus Yunani dan perwakilan Cyprus Turki. Keabsahan kedua orang tersebut dipertanyakan di Mahkamah Internasional sebagai penanda tangan perjanjian tersebut.43 Terhadap ketentuan dalam Pasal 7, apabila tidak terpenuhi maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai perwakilan negara dalam membuat perjanjian internasional, dan bila telah 43
Baca Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006. Hlm 35-69.
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
67
dibuat perjanjian maka perjanjian tersebut tidak memiliki akibat hukum, kecuali setelahnya dikonfirmasi kembali oleh negara tersebut.
2. Larangan Tertentu Dalam Menyetujui Perjanjian Walaupun seseorang telah mendapatkan kewenangan untuk membuat perjanjian atas nama negara, berdasarkan Pasal 7, terkadang bisa saja terjadi terdapat sebuah pembatasan atau larangan tertentu (specific restriction) terhadap kewenangannya tersebut. Contoh ketika perwakilan tersebut diingatkan untuk tidak menandatangani perjanjian kecuali perjanjian tersebut mengandung ketentuan khusus yang menurut negaranya sangat penting. Bila perwakilan tersebut melanggar ketentuan tersebut maka Pasal 47 menyatakan bahwa pelanggaran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali larangan tersebut telah disampaikan kepada perwakilan negara lain sebelum perjanjian ditandatangani. Pasal 47 Konvensi Wina lengkapnya berbunyi, “if the authority of a representative to express the consent of a State to be bound by a particular treaty has been made subject to a specific restriction, his omission to observe that restriction may not be invoke as invalidating the consent expressed by him unless the restriction was notified to the other negotiating State prior to his expressing such consent.”
68
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
3. Penggunaan Kekerasan Dengan Ancaman (Threat) atau Kekuatan Militer (Use of Force) Pasal 52 Konvensi Wina menyatakan “A treaty is void if its conclusion has been procured by the threat or use of force in violation of the principles of international law embodied in the Charter of the United Nations.” Kekerasan dalam bentuk ancaman dan kekuatan militer ini dilarang oleh Pasal 2 (4) Piagam PBB. Dalam Konvensi Wina tidak dijelaskan maksud dari ancaman, sehingga penyusunan Perjanjian PBB tentang Konvensi Hukum Laut mengadopsi kedua Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina tentang Larangan Kekerasan Militer, Politik, dan Ekonomi dalam Pembuatan Perjanjian Internasional (Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economic Coercion in the Conclusion of Treaties). Dalam Paragraf Pertama Konvensi tersebut negara anggota mengutuk segala bentuk ancaman atau penggunaan tekanan, apakah dalam bentuk militer, politik, maupun ekonomi, oleh setiap negara untuk memaksa negara lain melakukan tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian internasional dengan melanggar prinsip persamaan kedaulatan negara dan kebebasan berkontrak. Perjanjian yang dilakukan di bawah ancaman kekerasan sering disebut dengan istilah “unequal treaties”, walaupun istilah ini terlihat tidak sesuai dengan maksud dalam Konvensi dan
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
69
sedikit mengambang, karena belum tentu perjanjian tersebut isinya tidak seimbang. Negara-negara yang berpendapat bahwa unequal treaty adalah tidak sah jarang sekali memberikan definisi tentang istilah itu sendiri.
4. Kekeliruan (Error) Kekeliruan adalah sebuah salah tafsir atau anggapan terhadap sebuah fakta yang dapat menghilangkan kesepakatan. Sebuah negara dapat menyatakan keliru terkait dengan sebuah fakta atau situasi yang diasumsikan oleh negara tersebut pada saat
pembuatan
perjanjian
sehingga
berakibat
pada
ditandatangani perjanjian tersebut. Maknanya, sekiranya tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan sebuah fakta atau kondisi, maka perjanjian tersebut tidak akan dibuat atau dilanjutkan oleh negara tersebut karena tidak akan ada kata sepakat dari para pihak. Kata sepakat yang sebenarnya hanya akan terjadi bila semua fakta atau situasi difahami secara sama oleh semua pihak. Pasal 48 Konvensi Wina selengkapnya adalah: (1) A State may invoke an error in a treaty as invalidating its consent to be bound by the treaty if the error relates to a fact or situation which was assumed by that State to exist at the time when the treaty was concluded and formed an essential basis of its consent to be bound by the treaty. (2) Paragraph 1 shall not apply if the State in question contributed by its own conduct to the error or if the circumstances were such as to put that State on notice of a possible error.
70
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
(3) An error relating only to the wording of the text of a treaty does not affect its validity; articles 79 then applies. Kekeliruan hanya dapat membatalkan perjanjian apabila kekeliruan tersebut mengenai unsur pokok atau dasar dari perjanjian itu sendiri. Namun bila kekeliruan terjadi hanya mengenai redaksi naskah perjanjian tidak akan membatalkan persetujuannya untuk terikat dengan perjanjian tersebut.44
5. Penipuan (Fraud) Sebagaimana
halnya
kekeliruan,
penipuan
dapat
mengakibatkan anggapan salah terhadap sebuah fakta, tapi berbeda dengan kekeliruan, penipuan dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. Negara pihak yang menjadi korban dari tindakan tersebut dapat menyatakan telah terjadi penipuan dan menarik kesepakatannya untuk terikat pada perjanjian tersebut.45
6. Korupsi Perwakilan Negara Pasal 50 Konvensi Wina mengatur mengenai korupsi yang dilakukan oleh perwakilan sebuah negara dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Korupsi dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung yang dilakukan oleh perwakilan
negara
tersebut
dalam
membuat
perjanjian
internasional. Pasal 50 lengkapnya berbunyi: “if the expression of a 44 45
Pasal 48 (3) Konvensi Wina Pasal 49 Konvensi Wina
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
71
State’s consent to be bound by atreaty has been procured through the corruption of its representative directly or indirectly by another negotiating State, the State may invoke such corruption as invalidating its consent to be bound by the treaty.”
7. Akibat Batalnya Perjanjian Internasional Akibat hukum terhadap perjanjian internasional yang tidak sah sangat tergantung dari penyebab tidak sahnya perjanjian tersebut. Dalam kasus perwakilan negara bukanlah orang yang sah secara hukum46 dan perjanjian yang dibuat di bawah ancaman47, kekerasan senjata48, maupun perjanjian yang bertentang dengan asas-asas hukum umum49, maka perjanjian tersebut tidak sah, atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan untuk kasus mengenai ketentuan hukum nasional tentang kewenangan membuat perjanjian, larangan ketentuan khusus,
kekeliruan,
penipuan,
ataupun
korupsi,
serta
penggunaan kekerasan militer dan ancaman merupakan pilihan bagi para pihak, karena perjanjian tersebut tidak batal secara otomatis melainkan dapat dibatalkan oleh para pihak. Perjanjian akan tetap sah selama belum ada pihak yang mengajukan
46 47 48 49
Pasal 8 Konvensi Wina Pasal 51 Konvensi Wina Pasal 52 Konvensi Wina Pasal 53 Konvensi Wina
72
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
tuntutannya, dan hak untuk menuntut juga dibatasi pada kondisi tertentu.50 B. Berakhirnya Perjanjian Internasional Pasal 26 Konvensi Wina menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya, para pihak tidak dapat melepaskan diri mereka dari kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian, suka atau tidak suka, kalau tidak, maka hubungan hukum yang timbul akan sia-sia. Aturan hukum tentang berakhirnya perjanjian mencoba memberi solusi yang cukup adil bagi semua pihak. Pasal 42 (2) Konvensi mencoba melindungi hubungan hukum di antara para pihak dengan mengatur sebagai berikut: “The termination of a treaty, its denunciation or the withdrawal of a party, may take place only as a result of the application of the provisions of the treaty or of the present Convention. The same rule applies to suspension of the operation of a treaty.” Sebagaimana halnya pembuatan perjanjian internasional, maka berakhirnya perjanjian juga harus didasarkan pada persetujuan bersama negara-negara. Pasal 18 UU Perjanjian Internasional mengatur mengenai hal-hal yang menyebabkan berakhirnya sebuah perjanjian internasional, yaitu, apabila: a. Terdapat kesepakatan antara para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; 50
Lihat Pasal 45 Konvensi Wina
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
73
c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. Objek perjanjian hilang; h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Selain itu ada juga kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan perjanjian internasional berakhir, yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian ini.
1. Persetujuan Para Pihak Pasal 54 Konvensi Wina menyebutkan bahwa berakhirnya perjanjian atau penarikan diri para pihak dapat dilakukan bila sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut, atau setiap saat dengan persetujuan dari semua para pihak setelah melakukan konsultasi dengan negara pihak lainnya. Sebaliknya, sebuah perjanjian multilateral tidak dapat berakhir hanya semata-mata dengan alasan jumlah negara anggota tidak memadai untuk melaksanakan perjanjian. Pada dasarnya, hampir semua perjanjian di abad modern ini telah memuat ketentuan berakhirnya perjanjian dan cara menarik diri dari perjanjian tersebut. Terkadang juga diatur secara jelas bahwa perjanjian akan berakhir pada waktu yang sudah ditentukan, atau ketika sebuah kejadian terjadi. Bahkan ada perjanjian yang memberikan waktu khusus bagi para pihak
74
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
semata-mata untuk menarik diri dari perjanjian yang sudah dibuat. Berakhirnya perjanjian atau menarik diri dari perjanjian dapat dilakukan dengan persetujuan semua pihak dalam perjanjian. Dulunya, perjanjian dapat diakhiri hanya melalui cara yang sama ketika perjanjian tersebut berlaku. Maksudnya kalau perjanjian tersebut berlaku dengan cara diratifikasi, maka untuk mengakhirinya juga cukup dengan meratifikasi perjanjian baru yang lain, dan tidak perlu mengakhiri perjanjian yang terdahulu. Tapi hal ini sudah tidak diakui lagi saat ini. Malah Komisi Hukum Internasional berpendapat bahwa perjanjian juga dapat diakhiri sepenuhnya dengan cara yang tidak langsung melalui tindakan para pihak, yang jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka sudah tidak
berkehendak lagi untuk melanjutkan
perjanjian tersebut. Hak penuh untuk melakukan pembubaran atau penarikan diri dari perjanjian pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali memang diatur dalam perjanjian tersebut. Namun peluang untuk itu tetap diberikan sebagaimana diatur melalui Pasal 56 Konvensi Wina, yang menyebutkan: (1) A treaty which contains no provision regarding its termination and which does not provide for denunciation or withdrawal is not subject to denunciation or withdrawal unless: a. It is established that the parties intended to admit the possibility of denunciation or withdrawal; or
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
75
b. A right of denunciation or withdrawal may be implied by the nature of the treaty. (2) A party shall give not less than twelve months’ notice of its intention to denounce or withdraw from a treaty under paragraph 1. Jadi pembubaran ataupun penarikan diri dari perjanjian diperbolehkan dengan cara memberitahukan sebelum 12 bulan dari masa tersebut. Selain beberapa cara di atas, ada juga cara berakhirnya perjanjian atas persetujuan bersama yang dilakukan kemudian hari, dinamakan abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat dilakukan secara terang-terangan dengan membuat perjanjian baru untuk mengakhiri perjanjian lama. Atau bisa juga dilakukan secara diam-diam dengan membuat perjanjian baru mengenai hal yang sama tapi ketentuan substansinya sudah berbeda dengan yang lama. Abrogasi ini harus dilakukan dengan persetujuan semua negara para pihak.
2. Berakhirnya Perjanjian Karena Pelanggaran Perjanjian Pelanggaran terhadap isi perjanjian bilateral oleh salah satu pihak memberikan hak pada pihak lain untuk menghentikan perjanjian baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian tertentu saja dalam perjanjian.51 Kekuasaan negara yang dirugikan untuk mengakhiri perjanjian merukan salah satu sanksi utama terhadap pelanggaran perjanjian. Negara yang 51
Pasal 60 (1) Konvensi Wina: “A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles to the other to invoke the breach as a ground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in part.”
76
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
menderita kerugian juga dapat mengajukan gugatan kompensasi terhadap kerugian yang telah dialaminya akibat pelanggaran perjanjian tersebut. Permasalahan akan menjadi lebih rumit ketika perjanjian tersebut merupakan perjanjian multilateral dengan banyak negara anggota di dalamnya. Sebagai contoh nyata, ketika negara A melanggar perjanjian, maka tidak serta merta negara B akan dapat mengajukan penghentian perjanjian, karena hal ini bisa saja tidak adil bagi negara C, D, dan negara lainnya yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Menurut Pasal 60 (2) Konvensi Wina, pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak akan menimbulkan hak bagi pihak lain untuk mengakhiri pelaksanaan perjanjian sebagian ataupun seluruhnya, dengan persetujuan seluruh negara anggota. Harus digarisbawahi bahwa pelanggaran perjanjian hanya dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian apabila pelanggaran tersebut terkait dengan materi atau substansi yang sangat penting dan serius. Pasal 60 (3) memberikan pengertian dari pelanggaran materi (material breach) sebagai ‘(a) a repudiation of the treaty not sanctioned by the present Convention’; atau (b) the violation of a provision essential to the accomplishedment of the object or purpose of the treaty.’ Pengertian ini tidak sempurna karena tidak menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang penting tidak mengandung pelanggaran materi kecual hal tersebut merupakan pelanggaran yang serius. Sebagai contoh, jika sebuah negara
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
77
membuat perjanjian untuk mengirimkan 1000 ton batu bara namun hanya mengirimkan 999 ton saja, maka berdasarkan pengertian Pasal 60 (3), salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan pengakhiran perjanjian hanya karena kekurangan pengiriman yang sangat kecil nilainya tersebut (jumlah batu bara disini merupakan hal yang substansial). Pelanggaran perjanjian tidak secara otomatis mengakhiri perjanjian, melainkan hanya memebrika peluang bagi pihak yang dirugikan untuk mengakhiri atau menghentikan perjanjian. Bahkan pihak yang dirugikan bisa kehilangan haknya untuk mengakhiri perjanjian apabila setelah mengetahui fakta bahwa telah terjadi pelanggaran, pihak tersebut menyetujui untuk tetap melanjutkan perjanjian, baik secara terang-terangan ataupun secara diam-diam melalui tindakannya yang tetap melanjutkan perjanjian. Perjanjian juga dapat diakhiri apabila terjadi sebuah peristiwa yang menyebabkan objek perjanjian tersebut musnah, atau peristiwa-peristiwa lain yang menyebabkan perjanjian tersebut tidka mungkin untuk dilaksanakan. Contohnya bila sebuah perjanjian dilakukan terkait penggunaan danau sebagai sumber energi, tentu akan mustahil perjanjian tersebut dilanjutkan bila danau yang menjadi objek perjanjian tersebut telah mengering. Hal ini juga tidak menyebabkan perjanjian berakhir dengan sendirinya, melainkan memberikan peluang bagi para pihak untuk memilih mengakhiri atau tetap melanjutkan perjanjian
78
Chapter Sixe – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
tersebut. Ketentuan ini bertentangan dengan kebiasaan hukum internasional terdahulu. Perubahan keadaan secara fundamental juga dapat memberikan peluang untuk mengakhiri perjanjian internasional (rebus sic stantibus)52, Norma ius cogens atau munculnya kaidah hukum baru akan membatalkan dan mengakhiri sebuah perjanjian dengan sendirinya53. Kovensi Wina tidak membahas masalah perang terkait dengan berakhirnya perjanjian internasional. Namun hukum kebiasaan menentukan bahwa perjanjian bilateral akan berakhir apabila terjadi perang di antara kedua negara tersebut. Sedangkan bagi perjanjian multilateral, perjanjian hanya dihentikan di antara sesama negara yang berperang saja, hal ini tidka berlaku apabila perjanjian tersebut memang dilakukan di saat perang terjadi dan terkait dengan kekerasan perang.54
3. Akibat Berakhirnya Perjanjian Pasal 70, 71 (2) dan Pasal 72 Konvensi Wina mengatur mengenai akibat berakhirnya atau dihentikannya perjanjian. Pasal 70 (1) menyebutkan bahwa akibat berakhirnya perjanjian dapat melepaskan
para
pihak
dari
semua
kewajiban
untuk
melaksanakan ketentuan dalam perjanjian, dan hal ini tidak akan
52 53 54
Pasal 62Konvensi Wina Pasal 64 Konvensi Wina Boer Mauna, Ibid. Hlm. 162.
Chapter Six – Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
79
mempengaruhi setiap hak, kewajiban maupun kondisi hukum yang telah dilakukan oleh para pihak sebelumnya. Apabila perjanjian berakhir karena bertentangan dengan norma hukum baru, maka para pihak harus menghindari sebisa mungkin untuk melaksanakan kewajiban yang timbul atas dasar norma yang bertentangan tersebut, dan mengusahakan untuk menyesuaikan
dengan
norma
hukum
baru,
atau
bila
pertentangannya sangat fundamental, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.