Chapter I
Michael sedang berbicara dengan para malaikat yang lain. Rupanya di surga, tempat yang kudus, tenang, dan dipenuhi oleh sungai-sungai yang dialiri susu, telah terjadi kejadian yang menggemparkan, sesuatu yang tidak diketahui manusia. Michael yang merupakan kepala dari ‘Tujuh Malaikat tertinggi’, didampingi Gabriel salah satu dari ‘Tujuh Malaikat tertinggi’, di sampingnya, berbicara kepada para rekan-rekannya.
“Saudaraku”, Ia lalu berhenti sejenak, seakan tidak percaya apa yang akan ia katakan. Lalu bibir Michael yang kecil dan berwarna kemerahan mulai terbuka lagi, “Saudaraku... Tuhan telah meninggalkan surga.” Keheningan terjadi setelah Michael mengatakan itu, para malaikat yang lain tidak bisa mengatakan apa-apa, tulang mereka seakan dipukul oleh batu yang sangat keras, tangan mereka dingin seperti disengat lebah, para malaikat tersebut merasakan ketakutan sekaligus kesedihan.
Para Malaikat itu tidak tahu harus berbuat apa. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran mereka, Tuhan, ‘bapak’ yang menciptakan mereka, meninggalkan mereka, karena malaikat ini diciptakan hanya untuk memuja-muji-Nya, dan melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan. Mereka ini adalah ciptaan Tuhan yang paling taat, mereka sangat mencintai sang pencipta.
Kebingungan terlihat jelas di wajah para malaikat-malaikat tersebut yang putih, bersih, dan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Mereka bertanya pada diri sendiri, “Apa yang harus mereka lakukan?” selama ini mereka hanya melakukan tugas dari-Nya, dan mereka seperti kehilangan arah setelah mendengar apa yang dikatakan oleh saudara mereka, Michael.
Lalu Raphael, salah satu dari ‘Tujuh Malaikat tertinggi’, yang berbadan gelap dan memakai jubah berwarna putih , ksatria yang mengikat Azazel -malaikat yang di usir dari taman Eden- , dan melemparnya ke Dudadel, ‘Sang penyembuh Tuhan’, yang menyembuhkan Tobias dari kebutaan, bertanya dengan suara bergetar “Mich... Michael saudaraku, apa maksudmu Tuhan, sang pencipta dan penguasa alam semesta, ‘bapak’ kita meninggalkan surga? kemana ia pergi?”, Michael terdiam, ia hening, seakan tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada rekan-rekan malaikatnya . “Saudaraku, kenapa?” Raphael kembali bertanya, tetapi sekarang dengan suara yang penuh dengan kebingungan. Raphael menatap Michael, ia menunggu jawaban darinya, Michael, pemimpin dari ‘Tujuh Malaikat tertinggi’, malaikat yang paling bijaksana, dan salah
satu ciptaan-Nya yang lahir pertama kali. Michael masih terdiam seribu bahasa, Ia sekarang malah menundukan kepalanya sehingga ia dapat melihat bagian bawah jubahnya yang berwarna putih menutupi kakinya.
Malaikat lain menunggu jawaban Michael dengan perasaan cemas, ratusan hingga ribuan malaikat yang memakai jubah putih, tubuh mereka tegap, dan memiliki paras yang sangat tampan dan indah, para malaikat ini mengeluarkan cahaya hangat yang sangat terang, sehingga tempat ini terlihat sangat meyilaukan. Mereka semua mengelilingi Michael sang pejuang dari surga, malaikat yang paling kuat dari ‘Tujuh Malaikat tertiggi’, mereka menunggu untuk mendapatkan jawaban darinya.
Akhirnya Michael menengadah, sehingga para malaikat dapat melihat wajahnnya yang tampan dan menyinari cahaya, yang lebih terang dari semua malaikat yang ada disana, bahkan lebih terang dari Gabriel, “Saudaraku…” kata Michael, “Sesungguhnya aku tidak tahu dimana Tuhan kita. Aku tidak tahu alasan-Nya meninggalakan surga, meninggalkan kita semua.” terang Michael dengan suara yang pedih seakan ia hampir menangis. Tetapi sebagai malaikat, ia diciptakan dengan tidak memiliki emosi -atau lebih tepatnya, tidak diperbolehkan- ia tidak memiliki perasaan cinta kecuali kepada tuhan, ia tidak memiliki perasaan takut, ragu, apalagi sedih. Ia adalah prajurit surga yang gagah, dan bengis dalam memerangi iblis, musuh Tuhan. “Yang aku tahu” lanjut Michael, “Saat aku sedang menjalani tugasku, menjaga orang-orang Yahudi, keturunan Abraham, ‘Bapak’ kita memanggilku, Suara-Nya bergema, dari Surga.” Michael kemudian memalingkan wajahnya menghadap ke langit
“Michael, Malaikatku, dia yang sepertiKu, Pangeran Israel... Aku pergi, meniggalkan kemanusiaan.” “Setelah Tuhan mengatakan itu padaku…aku langsung menuju surga, menuju singgasana-Nya yang nampak bagaikan permata yaspis dan permata sardis... telah kosong” Michael kemudian menatap malaikat-malaikat lain yang jelas terlihat dari mata mereka bahwa mereka bingung “Bahkan Seraphim, Sang penjaga singgasana pun tidak tahu kemana dan kenapa tuhan pergi. Mereka hanya terus mengeluarkan puji-pujian.”.
Kudus, kudus, kuduslah tuhan, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan terus ada.
Lalu majulah salah satu ‘Tujuh Malaikat tertinggi’ Uriel, ‘Sang api Tuhan’ yang memegang pedang di tangan kanannya, dan api yang menyalak di tangan kirinya, dengan wajah yang emosi dan hati yang kebingungan .
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, saudaraku” tanyanya kepada Michael dengan suara yang nyaring.
Michael menoleh, ia sekarang berhadapan langsung dengan dengan Uriel, cahaya Michael yang seolah membutakan itu membuat wajahnya sulit dilihat, Michael tersenyum sedih dan berkata “Aku tidak tahu saudaraku.”
“Tapi yang pasti,” lanjutnya. “ ‘Bapa’ kita tidak hanya meninggalkan surga, tetapi ia meninggalkan kita, meninggalkan kemanusiaan, dan meninggalkan semua…”
Lalu semua malaikat terdiam. Mereka sedih, bingung, dan dipenuhi pertanyaan. Kenapa? kenapa Tuhan pergi, apa yang telah mereka lakukan, sehingga tuhan tidak lagi mendampingi mereka. Para malaikat tersebut tidak ingin ‘tersesat’ karena tidak ada lagi bimbingan dari tuhan.
Tidak ada satupun dari mereka yang bicara. Tak ada satu pun dari mereka yang mempunyai gagasan, atau ide atas apa yang harus mereka lakukan sekarang. Ide merupakan hal yang tabu bagi mereka, karena mereka tidak boleh memikirkan keinginan mereka, selama ini mereka hanya melaksanakan perintah-Nya, tanpa memikirkan kemauan mereka sendiri.
“Manusia” Kata Gabriel. Seluruh malaikat yang berada di langit bersamanya langsung menoleh ke arah Gabriel. Mereka semua menatap Gabriel, sang ‘Kekuatan Tuhan’, ‘Tujuh Malaikat tertinggi’ yang paling bijaksana. Gabriel adalah salah satu malaikat yang diciptakan di awal, karena itulah ia mempunyai pengetahuan yang banyak, dan cukup bijaksana, ialah malaikat yang hampir bisa disejajarkan dengan Michael.
“Kita harus menjaga manusia” Kata Gabriel kepada semua Malaikat, rambut pirangnya yang panjang terlihat berwarna kuning menyala, “Mulai sekarang kita harus membimbing manusia agar tidak berjalan di jalan yang salah, menggantikan peran-Nya” sambil terus melihat para saudara Malaikatnya, dengan senyumnya yang memancarkan kesedihan.
Tetapi sebelum ia dapat meneruskan kata-katanya, Raphael memotongnya, “Huh! Buat apa kita melakukan itu sekarang? Buat apa kita menjaga para binatang itu?” Semua malaikat sekarang mendengarkan Raphael, tanpa berniat untuk memotong pembicaraannya.
“Manusia adalah mahluk yang lemah, mereka adalah ciptaan-Nya yang paling lemah terhadap godaan dari iblis, semenjak diciptakan, mereka terus berperang terhadap sesamanya, melakukan genosida, sangat sedikit dari mereka, yang setia, mereka selalu berkhianat setiap kali mendapat cobaan, mereka selalu ingkar, buat apa kita membimbing mereka? Apalagi menjaga mereka, itu adalah perbuatan yang sia-sia.” katanya.
“Saudaraku, itu adalah penghujatan” kata Uriel dengan suara yang penuh dengan rasa kecewa atas apa yang dikatakan saudaranya tersebut.
“Pengujatan? Itu bukan penghujatan. Itulah yang terjadi, itulah kenyataannya. Ingat apa yang dilakukan oleh Kain? Dan apa yang dilakukan oleh keturunan Abraham, saat Sang Kudus sedang berbicara dengan Musa di Sinai?” Teriak Raphael, kepada Uriel.
Uriel diam seribu bahasa, sebenarnya ia tidak suka dengan apa yang dikatakan saudaranya. Tetapi itulah yang sebenarnya, itulah manusia, mahluk yang ditinggikan derajatnya oleh Tuhan, mahluk yang disayangi Tuhan sehingga Ia, memerintahkan malaikat untuk menyembah manusia di taman Eden, tetapi kenyataanya mereka selalu melakukan hal-hal yang buruk. Sebenarnya malaikat sangat cemburu dengan perlakuan Tuhan terhadap manusia, Tuhan sangat menyayangi manusia, Walaupun mereka selalu ingkar terhadap-Nya.
Uriel menoleh kepada Michael, ia berhadap Michael untuk membantah apa yang yang dikatakan Raphael. Ia terus menatap Michael dengan penuh harap, tetapi Michael terdiam, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, karena jauh di dalam hatinya, ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh saudaranya tersebut.
Lalu Gabriel pun kembali tersenyum, “Perang, penghianatan.” Katanya. “Mereka bahkan menghukum Yeshua, Sang Messiah”, Raphael pun diam, ia mendengarkan. Gabriel meneruskan kata-katanya “memang itulah yang mereka lakukan.”