Chapter 1
Sebuah sekolah SMA swasta di suatu tempat, tepatnya di suatu kelas, seorang guru wanita muda tengah berdiri di depan papan tulis putih yang telah penuh dengan coretan-coretan spidol hitam. Setelah merasa selesai, wanita itu mulai duduk di kursinya dan membuka buku absen. “Baik, selagi kalian mencatat, saya absen.” Para murid di kelas yang sunyi terlihat sibuk mencatat. Tapi tidak untuk salah satu murid yang duduk di bagian pojok paling belakang. Gadis yang baru saja menutup buku komiknya itu justru menatap langit dari jendela di sampingnya sambil tersenyum. Ya, tenyata sedaritadi ia sama sekali tidak memperhatikan
apa yang dijelaskan gurunya dan malah membaca komik. Akhir bahagia dari komik itu juga justru membuatnya melamun hingga… “Milenia.” Namanya terpanggil, tapi tak ada jawaban. Guru cantik itu memperhatikan sisi belakang untuk memastikan kehadiran murid yang namanya baru saja dipanggil. Lagi, sang guru memanggil, “Milenia.” Kini seluruh isi kelas menengok ke arahnya. Gadis berambut lurus itu masih tak sadar juga, hingga teman sebangkunya menyenggol. Yang merasa disenggol langsung menengok, “Apaan sih?” “Dipanggil bu Eri tuh!” bisik gadis di sebelahnya.
2
Tak lama, suara wanita di depan kelas kembali terdengar, dengan nada tinggi kali ini, “Milenia Naditha!” “Hadir,
bu!”
Spontan,
seorang
Milen
mengangkat tangan, setelah akhirnya sadar ternyata ia sudah jadi pusat perhatian di kelas. Ia langsung mengambil pulpennya dan segera membuka buku tulis dengan salah tingkah. Semua
langsung
kembali
pada
kegiatan
mencatat, beberapa ada yang tertawa melihat kelakuan teman sekelasnya itu. Dan guru bernama Eri disana hanya bisa bergeleng-geleng sebelum akhirnya lanjut absen. Suasana kelas berlangsung normal kembali. Seperti pada umumnya sekolah, bel istirahat makan adalah yang paling ditunggu para murid kebanyakan. Setelah beberapa jam terlewati,
3
akhirnya bel berbunyi. Guru-guru mengakhiri pelajaran, tak terkecuali guru di kelas Milenia. Setelah mengakhiri pelajaran dan keluar kelas, siswa-siswi berseragam putih abu-abu disana langsung berhambur untuk keluar. Oci, yang tengah memperbaiki lipatan bajunya itu menghela napas, “Parah lu, Mil. Udah kedua kali lo diabsen bu Eri nggak jawab.” “Emang nih, ckckck.” Tiba-tiba datang seorang lagi anak perempuan berbadan agak gemuk. Adel, yang juga teman sekelas sekaligus sahabat Milen dan Oci. “Ya, bu Eri sabar kok. Tenang aja.” jawab Milen
yang
tengah
membereskan
buku-
bukunya. “Karena terlalu sabar, lo jadi ambil kesempatan buat ngelamunin itu.” kata Oci melirik buku 4
komik yang baru saja dibaca Milen saat pelajaran tadi. Milen hanya tertawa renyah, sebelum akhirnya ia menarik tangan Oci dan Adel, “Udah, ah. Yuk, kita ke kantin aja.” Tak butuh waktu lama mereka sampai di kantin yang sudah penuh dengan siswa-siswi sekolah tersebut. Beruntung, Oci yang jeli langsung ambil alih kursi kosong, sementara Milen dan Adel memesan makanan. Seperti hari-hari biasanya, tiga sekawan yang sudah bersahabat sejak SD itu terlihat kompak dimanapun dan kapanpun.
***
“Assalamuallaikum…”
ucap
Milen
sambil
membuka pintu. 5
Tak ada jawaban, Milen masuk ke dalam rumahnya
yang
sederhana.
Inilah
rumah
seorang Milen. Meski tinggal di daerah perumahan biasa, disinilah kehangatan Milen berasal. Dari dinding-dinding putih yang terpampang beberapa bingkai foto, terlihat jika penghuni rumah ini hanyalah ia, kedua saudaranya, dan kakek-neneknya. Milen mulai duduk di sofa untuk bersandar dan beristirahat sejenak. Beberapa detik kemudian sesosok lelaki yang terlihat sedikit urakan namun tampan, datang menghampiri Milen dan duduk di sebelahnya, “Woy!” Milen yang menutup mata itu langsung kaget dan memukul pelan bahu orang di sebelahnya yang mulai terkikik, “Abang!”
6
Yudha. Kakak lelaki Milen yang setahun lebih tua
darinya.
Selain
Yudha,
Milen
juga
mempunyai seorang lagi kakak perempuan bernama Nissa, yang empat tahun lebih tua darinya. Yah, umur Milen dengan kakakkakaknya memang berjarak berdekatan. “Mama kemana?” tanya Milen yang kemudian melepas tas ranselnya. Tidak, panggilan ‘mama’ yang dimaksud Milen bukanlah sosok ibu. Melainkan sosok nenek berumur kepala lima. Beginilah kehidupan Milen dan saudara-saudaranya. Karena suatu perceraian, sejak umurnya menginjak lima tahun, ia telah tinggal bersama nenek dan kakeknya, yang ia panggil sampai saat ini dengan sebutan ‘mama’ dan ‘papa’. Lalu orangtuanya? Tentu mereka memanggil ‘ayah’ dan ‘ibu’ untuk kedua orangtuanya. 7
Yudha mengangkat bahu, “Nggak tau.” “Lo gak kuliah lagi ya, Bang?” Pertanyaan Milen hanya dibalas tawa oleh lawan bicaranya. Kakaknya yang satu ini memang sedikit pemalas, tapi sebenarnya memiliki otak yang encer. Bisa dibuktikan dengan ia berkuliah di salah satu Universitas ternama dan terkenal dengan jurusan yang diambilnya, IT. Sementara Milen mulai membuka sepatunya, Yudha bersandar pada kursi, “Gimana di sekolah tadi? Jadi trend topic lagi?” Seakan sudah mengerti sikap adiknya yang suka buat masalah karena sikapnya yang aneh, pertanyaannya cukup membuat bibir Milen maju, “Gak. Palingan cuma tadi lagi diabsen
8
malah keasyikan berubunga-bunga sama ending komik baru.” Lagi-lagi Yudha terkikik, “Gimana gak mau terkenal lo di sekolah.” “Ish!” Milen yang sudah selesai melepas sepatu langsung melempar sepatunya ke arah sang kakak, tapi berhasil tertangkap Yudha dengan sempurna. Yudha kenal sekali karakter adiknya. Yudha juga suka baca komik dan nonton kartun Jepang atau lebih sering dikenal anime. Persis Milen. Tapi dibanding dirinya, Milen melebihi kakak lelakinya. Hobinya yang menyukai Jepang dari setiap sudut sudah pada level yang tinggi. Bahkan Yudha juga tahu, adiknya yang mengambil
ekstrakulikuler
mading
di
sekolahnya ini direkrut karena gambar manga
9
buatannya. Makanya, hampir satu sekolah kenal, siapa si ‘harajuku girl’. Milen berdiri dan membawa tasnya, kemudian berjalan. Sepertinya ia akan segera ke kamar. Sementara Yudha hanya mendengus, “Woy, beresin nih sepatu!” “Capek. Abang aja ya, tolongin.” Tak menghiraukan kakaknya, Milen justru naik tangga, meninggalkan Yudha yang tercengang. Milen memang berbeda dari perempuan lain. Uniknya.
***
10